• Tidak ada hasil yang ditemukan

Estimasi Ketinggian Planetary Boundary Layer Indonesia Menggunakan Data Ecmwf Interim Reanalysis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Estimasi Ketinggian Planetary Boundary Layer Indonesia Menggunakan Data Ecmwf Interim Reanalysis"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

ESTIMASI KETINGGIAN

PLANETARY BOUNDARY

LAYER

INDONESIA MENGGUNAKAN DATA ECMWF

INTERIM

REANALYSIS

VIVI FITRIANI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Estimasi Ketinggian Planetary Boundary Layer Indonesia Menggunakan Data ECMWF Interim Reanalysis adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

VIVI FITRIANI. Estimasi Ketinggian Planetary Boundary Layer Indonesia Menggunakan Data ECMWF Interim Reanalysis. Dibimbing oleh AHMAD BEY dan TANIA JUNE.

Planetary Boundary Layer (PBL) merupakan lapisan terendah dari troposfer yang mendapat pengaruh secara langsung dari permukaan bumi, lapisan ini memiliki peranan penting dalam iklim, cuaca dan kualitas udara. Struktur PBL yang sangat kompleks dan berubah-ubah terhadap waktu menyebabkan PBL sangat sukar untuk diobservasi dari luar angkasa. Salah satu parameter yang paling relevan dan fundamental untuk diselidiki adalah ketinggian PBL. Ketinggian PBL dapat diestimasi melalui analisis profil vertikal atmosfer, seperti profil vertikal suhu, turbulensi dan komposisi atmosfer.

Dalam penelitian ini ketinggian PBL di Indonesia diestimasi menggunakan tujuh metode gradien berdasarkan profil vertikal kelembaban relatif (RH), suhu virtual (Tv), suhu potensial (ϴ), suhu potensial virtual (ϴv), kelembaban spesifik (q), indeks refraktivitas atmosfer (N), dan kecepatan angin (V), yang diperoleh dari data ECMWF Interim Reanalysis selama enam bulan di wilayah 10oLU– 10oLS, 90oBT –150oBT dengan resolusi spasial 2,5o x 2,5o. Hasil analisis menunjukkan bahwa beberapa metode menghasilkan ketinggian yang hampir sama untuk tempat dan waktu tertentu seperti pada wilayah 2,5oLU 92,5oBT dan 5oLS 140oBT. Metode gradien q dan N konsisten lebih rendah sedangkan metode gradien ϴv konsisten lebih tinggi bila dibandingkan dengan metode gradien lainnya. Untuk menguji ketahanan dan ketidakpastian parametrik dan struktural dari hasil estimasi ketinggian PBL di Indonesia menggunakan tujuh metode gradien, lima uji statisistik digunakan yaitu uji Student’s t, uji F, uji korelasi linear Pearson, uji korelasi Spearman Rank, dan uji Kolmogorov Smirnov. Ditemukan bahwa terdapat hubungan korelasi yang signifikan antar ketujuh metode gradien yang dibandingkan, serta terdapat pula perbedaan yang signifikan secara statistik antar ketujuh metode gradien. Rata-rata perbedaan ketinggian PBL ratusan hingga ribuan meter menunjukkan bahwa estimasi ketinggian PBL di Indonesia memiliki ketidakpastian struktural.

Hasil uji statistik menunjukkan pula bahwa metode gradien RH merupakan metode yang baik untuk mengestimasi ketinggian PBL di Indonesia. Estimasi ketinggian PBL dibagi berdasarkan variasi bulanan dan variasi diurnal. Ditemukan bahwa terdapat variasi bulanan dan harian yang tinggi di wilayah daratan bila dibandingkan dengan wilayah lautan yang relatif lebih konstan. Ketinggian PBL di Indonesia menggunakan metode gradien RH sekitar 2100 m – 4324 m selama siang hari dan pada malam hari ketinggian PBL berada di bawah 2900 m. Di atas lautan, PBL pada saat siang hari ditemukan pada ketinggian 1100 m – 2100 m dan relatif konstan pada malam dan dini hari.

(5)

SUMMARY

VIVI FITRIANI. Estimation of Planetary Boundary Layer Heights Over Indonesia Using ECMWF Interim Reanalysis Data. Supervised by AHMAD BEY and TANIA JUNE.

Planetary Boundary Layer (PBL) is the lowest layer of the troposphere, directly influenced by Earth's surface and play a major role on climate, weather, and air quality. Due to its complexity and variation over time, PBL become more difficult to observe from space. One of the parameters that are most relevant and fundamental to be investigated is the height of PBL. PBL heights may be estimated from vertical profiles of the atmosphere, such as vertical profiles of temperature, turbulence and atmospheric composition.

PBL heights in Indonesia are estimated using seven gradient-based methods of relative humidity (RH), virtual temperature (Tv), potential temperature (Ɵ), potential virtual temperature (Ɵv), specific humidity (q), atmospheric refractivity (N) and wind speed (V), which are derived from ECMWF Interim Reanalysis data for six months at 10oN–10oS, 90oW –150oE with a spatial resolution of 2.5o x 2.5o. The estimation results indicate that some of the methods showed identical results for a given place and time, for example in the region of 2.5oN 92.5oE and 5oS 140oE. q and N gradient methods are consistently lower while the gradient method ϴv is consistently higher than all of the gradient methods used. Student's t test, F test, Pearson linear correlation test, Spearman Rank correlation test, and Kolmogorov-Smirnov test are used to test the robustness and parametric structure of uncertainties of the seven gradient methods. It was found that there are significant correlations and differences between the seven gradient methods. The average differences PBL heights ranging from hundreds to thousands of meters indicate that the estimated PBL heights have the structure of uncertainty.

Statistical test results also show that the RH gradient method is a method that is good enough to estimate the height of PBL in Indonesia. Estimated height of PBL divided by the monthly variation and diurnal variation. High monthly and daily variations are generally found in the entire land, whereas ocean regions are relatively constant. PBL heights in Indonesia using gradient method of RH is about 2100 m – 4324 m at local noon and at night were at below 2900 m. Over the oceans, PBL heights during the day are found at 1100 m to 2100 m and relatively constant for the rest of the day.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Klimatologi Terapan

ESTIMASI KETINGGIAN

PLANETARY BOUNDARY

LAYER

INDONESIA MENGGUNAKAN DATA ECMWF

INTERIM

REANALYSIS

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(8)
(9)

Judul Tesis : Estimasi Ketinggian Planetary Boundary Layer Indonesia Menggunakan Data ECMWF InterimReanalysis

Nama : Vivi Fitriani NIM : G251140021

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Ahmad Bey Ketua

Dr. Ir. Tania June, M.Sc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Klimatologi Terapan

Dr. Ir. Impron, M.Sc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MSc. Agr

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul Estimasi Ketinggian Planetary Boundary Layer Indonesia Menggunakan Data ECMWF Interim Reanalysis. Serta shalawat dan salam kepada Rasulullah saw, keluarganya yang mulia dan sahabat – sahabat terpilih Beliau.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Ahmad Bey selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. Tania June, M.Sc selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan saran dan motivasi dalam pelaksanaan penelitian hingga dalam penyelesaian penulisan karya ilmiah ini.

Terima kasih pula penulis ucapkan kepada Givo Alsepan yang banyak membantu dalam proses pengumpulan data, serta kepada La Gandri yang sangat membantu dalam proses pengolahan data. Ungkapan terima kasih khususnya disampaikan kepada Bapak, Ibu, Kakak, dan Adik tercinta, serta seluruh keluarga dan teman-teman atas doa, dukungan dan kasih sayangnya.

Penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat memberi manfaat bagi yang membutuhkan.

Bogor, Agustus 2016

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 4

Ruang Lingkup Penelitian 4

2 METODE 5

Waktu dan Tempat Penelitian 5

Bahan 5

Alat 5

Prosedur Analisis Data 5

Estimasi Ketinggian PBL 5

Stabilitas Atmosfer 8

Tes Statistik dan Estimasi Ketidakpastian 10

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 11

Perbedaan Sistematis antar Metode 11

Analisis Stabilitas Atmosfer 13

Pola Bulanan dan Harian 19

Distribusi Estimasi Ketinggian PBL 25

4 SIMPULAN DAN SARAN 29

Simpulan 29

Saran 29

DAFTAR PUSTAKA 30

LAMPIRAN 32

(12)

DAFTAR TABEL

1 Metode untuk mengestimasi ketinggian PBL 6

2 Hasil perbandingan tujuh metode gradien menggunakan uji statistik

untuk estimasi ketiggian PBL 18 2 Estimasi ketinggian PBL menggunakan tujuh metode gradien pada

2,5oLU 92,5oBT untuk (a) 0700 WIB 13 Februari 2015 dan (b) 1300 WIB 13 Februari 2015. Pada 5oLS 140oBT (c) 0900 WIT 30 Juni 2015 dan (d) 1500 WIT 30 Juni 2015. Profil vertikal berupa kelembaban relatif (RH), suhu virtual (Tv), suhu potensial (ϴ), suhu potensial virtual (ϴv), kelembaban spesifik (q), indeks refraktivitas atmosfer (N), dan kecepatan angin (V). Estimasi ketinggian PBL ditunjukkan oleh

garis putus-putus. 12 bulan di estimasi menggunakan tujuh metode gradien. Hasil estimasi berdasarkan waktu analisis berbeda yaitu 0700 WIB, 1300 WIB, 1900

WIB, dan 0100 WIB 15

5 Perbandingan spasial rata-rata median ketinggian PBL ketujuh metode

gradien di wilayah Indonesia. 16

6 Nilai kuartil bulanan dan tahunan ketinggian PBL wilayah 5oLS 140oBT, berdasarkan data Januari-Juni 2015. Untuk setiap metode, nilai kuartil ke-25, ke-50, dan ke-75 ditampilkan berdasarkan waktu analisis

1500 WIT (atas) dan 2100 WIT (bawah) 21

7 Sama seperti pada Gambar 6 dengan wilayah 2,5oLS 135oBT untuk

waktu 0900 WIT (atas) dan 1500 WIT (bawah). 22

8 Sama seperti pada Gambar 7 dengan wilayah 2,5oLS 135oBT untuk

waktu 0900 WIT (atas) dan 1500 WIT (bawah). 23

9 Sama seperti pada Gambar 8 dengan wilayah 7,5oLS 110oBT untuk

waktu 0700 WIB (atas) dan 1900 WIB (bawah). 24

10 Median ketinggian PBL harian selama enam bulan menggunakan

metode RH 26

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Nilai profil vertikal atmosfer wilayah 2,5oLU 92,5oBT pukul 0700 WIB

Tanggal 13 Februari 2015 32

2 Nilai profil vertikal atmosfer wilayah 2,5oLU 92,5oBT pukul 1300 WIB

Tanggal 13 Februari 2015 33

3 Nilai profil vertikal atmosfer wilayah 5oLS 140o BT pukul 0900 WIT

WIB Tanggal 30 Juni 2015 34

4 Nilai profil vertikal atmosfer wilayah 5oLS 140o BT pukul 1500 WIT

WIB Tanggal 30 Juni 2015 35

5 Tabel Persamaan Regresi Linear antar Data ECMWF dan NOAA pada

wilayah 2,5oLU 92,5oBT dan 5oLS 140oBT 36

6 Richardson Number pada wilayah 2,5oLU 92,5oBT pukul 0700 WIB 37 7 Richardson Number pada wilayah 2,5oLU 92,5oBT pukul 1300 WIB 38 8 Richardson Number pada wilayah 5oLS 140o BT pukul 0900 WIB 39 9 Richardson Number pada wilayah 5oLS 140oBT pukul 1500 WIB 40 10 Contoh script untuk memplot median ketinggian PBL harian selama

enam bulan menggunakan menggunakan metode gradien RH menjadi

(14)
(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Atmospheric Boundary Layer (ABL) atau yang juga sering dikenal sebagai Planetary Boundary Layer (PBL) merupakan bagian dari troposfer yang mendapat pengaruh secara langsung dari permukaan bumi dengan rentang waktu respon sekitar satu jam atau kurang (Liu & Liang 2010). Menurut Von Engeln & Teixeira (2013), ABL memiliki pengaruh sangat besar terhadap proses fisika di atmosfer dan juga sistem iklim secara keseluruhan. Seperti halnya proses awan, fluks panas daratan dan lautan, serta siklus hidrologi atmosfer sangat kuat dipengaruhi oleh lapisan batas ini.

ABL yang merupakan bagian paling bawah dari atmosfer memiliki peranan penting dalam iklim, cuaca dan kualitas udara. Proses yang berlangsung di ABL mengontrol pertukaran momentum, air dan sisa dari proses kimia antara permukaan bumi dan troposfer bebas, dan proses ini sering kali dijadikan sebagai parameter dalam model-model atmosferik (Liu & Liang 2010; Seidel et al. 2010). ABL sangat sulit untuk diobservasi dari luar angkasa, sehingga tidak mudah mengidentifikasi karakteristiknya dalam skala global, selain itu struktur dari ABL sangat kompleks dan berubah-ubah.

Salah satu parameter ABL yang paling relevan dan fundamental untuk diselidiki adalah ketinggiannya (Von Engeln & Teixeira 2013). Parameter ini menentukan proses- proses penting di troposfer seperti distribusi aerosol, aktivitas konvektif, serta formasi awan dan kabut. Ketinggian ABL merupakan kunci dari model cuaca, iklim dan kualitas udara dalam menentukan pencampuran turbulensi, difusi vertikal, perpindahan secara konvektif, proses sedimentasi aerosol dan deposisi polutan di atmosfer (Liu & Liang 2010). Ketinggian ABL sulit diukur secara langsung dengan pengukuran meteorologi standar, sehingga perlu diestimasi melalui analisis dari profil vertikal suhu, turbulensi, atau komposisi atmosfer (Coen et al. 2014; Luo et al. 2014).

Ketinggian ABL bervariasi terhadap waktu (pagi, siang, sore, dan malam hari) dan tempat (lintang tinggi, lintang sedang, lintang rendah, daratan, dan lautan) (Arya, 1999). Variabilitas dari ketinggian ABL didominasi oleh siklus diurnal yang sangat kuat, biasanya rendah pada malam hari, ketika permukaan menjadi lebih stabil karena pendinginan dari radiasi inframerah, kemudian akan bertambah tinggi dengan cepat hingga mencapai beberapa kilometer pada siang hari ketika pemanasan matahari menyebabkan kondisi yang tidak stabil (Liu & Liang 2010).

(16)

2

Banyak penelitian yang berhasil mengidentifikasi ketinggian ABL menggunakan data observasi seperti data radiosonde, GPS Occultation, data dari remote sensing atau data reanaliasis. Seidel et al (2010) mengestimasi klimatologi global ketinggian ABL menggunakan data radiosonde dengan metode berbasis gradien yang diturunkan dari profil vertikal suhu dan kelembaban atmosfer. Data radiosonde diambil dari 505 stasiun di seluruh dunia, ditemukan bahwa enam metode gradien yang dibandingkan memberikan hasil estimasi yang berbeda beberapa ratus meter. Wang & Wang (2014) melakukan penelitian yang mirip menggunakan data observasi radiosonde untuk mengestimasi ketinggian mixing layer (h) di atmosfer menggunakan data dari 79 stasiun di Amerika Utara selama periode 1998 – 2008. Hasil estimasi yang dilakukan menggunakan empat metode berbasis gradien, salah satunya yaitu metode gradien indeks refraktivitas (N), menunjukkan kecocokan yang baik dengan observasi LIDAR, yang memghasilkan estimasi klimatologi h di wilayah Amerika Utara 1675 ± 303 m.

Basha & Ratman (2009) menggunakan resolusi tinggi radiosonde profil refraktivitas untuk mengidentifikasi ketinggian ABL di stasiun wilayah tropis (13,5oN, 79,2oE) yang kemudian dibandingkan dengan pengukuran menggunakan Global Positioning System (GPS) Radio Occultation ((RO). Dari observasi jangka panjang 2,5 tahun atas resolusi vertikal radiosonde diperoleh korelasi yang sangat baik, mengindikasikan bahwa N juga dapat digunakan untuk mendeteksi ketinggian ABL. Ketinggian ABL yang dihasilkan melalui pengukuran independen N dari radiosonde resolusi tinggi dan GPS RO, menunjukkan hubungan korelasi yang baik antara keduanya. Ketinggian ABL ditemukan lebih tinggi selama periode premonsoon, diikuti oleh monsoon dan postmonsoon, serta nilai minimum pada kondisi musim dingin. Radiosonde juga digunakan untuk melihat variasi diurnal yang dikumpulkan selama waktu berbeda tiap harinya untuk musim tertentu dan menunjukkan terjadinya variasi diurnal yang sangat kuat.

Terdapat beberapa penelitian tentang karakteristik ABL dari luar angkasa menggunakan instrument remote sensing, seperti yang dilakukan oleh Coen et al (2014), menggunakan pengukuran remote sensing dan in situ dalam menentukan klimatologi ketinggian ABL di dataran tinggi Swiss. Penelitian ini menggunakan beberapa instrument remote sensing seperti profil angin, Raman LIDAR dan Radiometer Microwave, serta beberapa algoritma seperti metode parsel dan bulk Richardson number, inversi suhu permukaan, analisis gradien aerosol atau kelembaban, yang dikembangkan dan diuji selama satu tahun pengukuran, kemudian metode tersebut divalidasi menggunakan pengukuran radiosonde. Radiometer microwave menunjukkan ketinggian convective boundary layer yang cocok dengan ketinggian radio sounding dengan bias median < 25 m dan R2 > 0,70, dan memungkinkan analisis dari variasi harian ABL dengan resolusi temporal yang tinggi.

(17)

3 dengan instrumen berbasis ruang menjadi model prediksi cuaca (Von Engeln & Teixeira 2013). Von Engeln & Teixeira (2013) menggunakan data renalisis dari ECMWF Reanalysis Era-Interim untuk mengestimasi klimatologi ketinggian ABL yang selanjutnya dihitung dan dianalisis dengan menggunakan beberapa metode gradien dari profil vertikal atmosfer. Metode ini dibandingkan untuk memperoleh ketinggian ABL dari suhu atmosfer, tekanan, dan kelembaban relatif (RH). Tiga metode berdasarkan gradien vertikal RH, suhu virtual dan suhu potensial dipilih untuk penentuan klimatologi ketinggian ABL. Metode berbasis RH digunakan untuk menangkap inversi pada cap dari convective boundary layer. Penentuan klimatologi ketinggian ABL menggunakan ECMWF menunjukkan banyak fitur klimatologi yang diharapkan, seperti ketinggian ABL yang rendah di wilayah pantai, di mana awan stratus ditemukan dan ABL tumbuh sebagai akibat dari udara yang diadveksi di atas air laut yang hangat ke arah daerah tropis sepanjang perjalanan angin. Variasi musiman dan harian yang besar umumnya di temukan di seluruh wilayah daratan. Ketinggian ABL dapat mencapai 3 km, kebanyakan di wilayah gurun pada siang hari, begitu juga nilai yang besar ditemukan di area ITCZ.

Dinamika ketinggian ABL di ekuator Indonesia (khususnya di wilayah maritim) sangat penting dalam pemahaman mengenai mekanisme yang mengontrol iklim global yang berasosiasi dengan suhu permukaan laut yang tinggi. Sebagai contoh, dinamika ABL menentukan pembentukan konveksi dan variasi konveksi awan di atas benua maritim yang berkaitan erat dengan perilaku El Nio-southern oscillations (ENSO) (Hashiguchi et al. 1995). Namun, penelitian mengenai ketinggian ABL di Indonesia belum banyak dilakukan, mengingat sedikitnya informasi mengenai dinamika ketinggian ABL di wilayah Indonesia. Oleh karena itu, penelitian ini akan diestimasi ketinggian ABL di Indonesia baik secara temporal maupun spasial.

Penelitian untuk mengestimasi ketinggian ABL ini menggunakan profil vertikal atmosfer yang diperoleh dari data reanalisis yaitu ECMWF Interim Reanalysis selama periode Januari 2015 hingga Juni 2015. Data reanalisis ini merupakan data keluaran ECMWF (Europian Center for Medium Range Weather Forecasting) yang tersedia dari 1 Januari 1989 hingga sekarang dan akan terus disediakan secara real-time. Data grid yang diproduksi meliputi variasi 3-jam parameter permukaan yang menjelaskan kondisi cuaca gelombang lautan dan permukaan daratan, dan variasi 6-jam parameter udara atas dari troposfer dan stratosfer (Dee et al. 2011). Panjang data selama 6 bulan digunakan untuk melihat variasi diurnal dan bulanan dari ketinggian ABL. Pada penelitian ini digunakan metode berbasis gradien dari beberapa profil vertikal atmosfer ECMWF Interim Reanalysis untuk mengestimasi ketinggian ABL di Indonesia.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian pada latar belakang, pada penelitian ini diestimasi ketinggian PBL menggunakan tujuh metode gradien berdasarkan profil vertikal atmosfer dari data ECMWF Interim Reanalysis, dengan tujuan penelitian sebagai berikut:

(18)

4

2. Melihat pola bulanan dan harian ketinggian PBL di wilayah Indonesia

3. Melihat sebaran estimasi ketinggian PBL secara spasial di seluruh wilayah Indonesia menggunakan metode terpilih

.

Manfaat Penelitian

Informasi mengenai ketinggian PBL dapat dimanfaatkan untuk mengetahui kekuatan proses pencampuran polutan dalam model kualitas udara dan merupakan parameter yang penting dalam model cuaca dan iklim.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan di seluruh wilayah Indonesia 10oLU–10oLS, 90oBT –150oBT menggunakan data ECMWF Interim Reanalysis dengan resolusi spasial 2,5o x 2,5o. Pada penelitian ini dibahas mengenai estimasi ketinggian PBL menggunankan tujuh metode gradien yang diturunkan dari profil vertikal atmosfer ECMWF. Profil vertikal atmosfer dari data ECMWF yang digunakan berupa level tekanan, geopotensial, suhu, kelembaban spesifik, kelembaban relatif, angin u dan angin v. Pada penelitian ini diinvestigasi perbedaan sistematis antar tujuh metode gradien, sebagai contoh wilayah yang ditampilkan adalah 2,5oLU 92,5oBT mewakili wilayah lautan dan 5oLU 140oBT mewakili wilayah daratan yang selanjutnya dilakukan analisis terhadap stabilitas atmosfer dari kedua wilayah tersebut. Melihat pola bulanan dan harian ketinggian PBL di wilayah Indonesia, dengan beberapa contoh wilayah seperti 5oLU 140oBT, 0oLU 102,5oBT, 2,5oLS 135oBT, dan 7,5oLS 110oBT, serta melihat sebaran estimasi ketinggian PBL Indonesia secara diurnal dan bulanan.

(19)

5

2

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada Minggu I September 2015 sampai dengan Desember 2015 di laboratorium Meteorologi dan Pencemaran Atmosfer, Departemen Geofisika dan Meteorologi, FMIPA-IPB.

Bahan

Untuk mengestimasi ketinggian PBL digunakan data profil vertikal atmosfer seluruh wilayah Indonesia (10oLU–10oLS, 90oBT –150oBT) dari bulan Januari 2015 sampai dengan Juni 2015 yang diperoleh dari data ECMWF Interim Reanalysis dengan resolusi spasial 2,50 x 2,50. Profil vertikal dari data ECMWF yang digunakan untuk menentukan ketinggian PBL berdasarkan level tekanan yaitu 1000 mb, 975 mb, 950 mb, 925 mb, 900 mb, 875 mb, 850 mb, 825 mb, 800 mb, 775 mb, 750 mb, 700 mb, 650 mb, 600 mb, 550 mb, 500 mb, 450 mb, 400 mb, 350 mb, 300 mb, dan 250 mb, dengan beberapa parameter yaitu geopotensial, suhu, kelembaban spesifik, kelembaban relatif, angin u dan angin v. Empat waktu analisis yang digunakan yaitu 00 UTC, 06 UTC, 12 UTC dan 18 UTC atau pada waktu lokal 0700 WIB, 1300 WIB, 1900 WIB, dan 0100 WIB. Data ini dapat diunduh dari halaman website http://apps.ecmwf.int. Untuk menganalisis stabilitas atmosfer digunakan data NOAA yang diperoleh melalui website : http://ready.arl.noaa.gov.READYamet.php.

Alat

Penelitian ini menggunakan seperangkat Personal Computer (PC), perangkat lunak ODV 4 untuk merubah bentuk data *.nc menjadi data *.txt, perangkat lunak Microsoft Office 2007 dan Matlab R2009a untuk pengelolahan data dan NCAR Command Language Version 6.1.2 (NCL) digunakan untuk memplot grafik secara spasial.

Prosedur Analisis Data

Estimasi Ketinggian PBL

(20)

6

menggunakan metode gradien vertikal dari kelembaban spesifik, gradien vertikal kelembaban relatif dan gradien vertikal indeks refraktivitas atmosfer, yang menunjukkan bahwa tinggi PBL terdapat pada ketinggian �

�� ,

Tujuh metode berdasarkan variabel atmosfer dari data reanalisis ECMWF dipilih dan dibandingkan dalam penelitian ini. Tujuan metode berbasis gradien yang digunakan untuk mengestimasi ketinggian PBL di wilayah Indonesia dirangkum pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Metode untuk Mengestimasi Ketinggian PBL

Metode Gradien Deskripsi Simbol Sumber

Kelembaban

Relatif

Tinggi PBL diestimasi dari level minimum

gradien vertikal kelembaban relatif RH

(Von Engeln & Teixeira

2013; Seidel et al. 2010)

Suhu Virtual Tinggi PBL diestimasi dari level maksimum

gradien vertikal suhu virtual TV

(Von Engeln & Teixeira

2013; Seidel et al. 2010)

Suhu Potensial Tinggi PBL diestimasi dari level maksimum

gradien vertikal suhu potensial Ɵ

Tinggi PBL diestimasi dari level maksimum

gradien vertikal suhu potensial virtual Ɵv

(Basha & Ratnam 2009;

Seidel et al. 2010)

Kelembaban

Spesifik

Tinggi PBL diestimsasi dari level minimum

gradien vertikal kelembaban spesifik q

(Von Engeln & Teixeira

gradien vertikal indeks refraktivitas atmosfer N

(Basha & Ratnam 2009;

peningkatan maksimum nilai shear angin V

(Subrahamanyan et al.,

2012; Dewi, 2012;

Hooper & Eloranta,

(21)

7

Estimasi ketinggian PBL menggunakan tujuh metode gradien yang berbeda yaitu sebagai berikut:

1) Level minimum gradien vertikal kelembaban relatif, RH. 2) Level maksimum gradien vertikal suhu virtual,TV.

Penentuan nilai suhu virtual dengan menggunakan persamaan berikut:

� ≅ �(1 + 0,61 ) (1)

dengan T adalah suhu (K), dan q adalah kelembaban spesifik (kg/kg) (Riegel 1992 hal 298).

3) Level maksimum gradien vertikal suhu potensial, Ɵ.

Suhu potensial adalah suhu yang dimiliki oleh parsel udara ketika mengembang maupun termampatkan secara adiabatik dari tekanan (P) dan suhu (T) yang dimiliki oleh parsel udara tersebut terhadap tekanan standar Po (1000 mb). Penentuan nilai suhu potensial menggunakan persamaan berikut:

� =� Po P

0,286

(2) (Wallace & Hobbs 2006 hal 78).

Ketinggian PBL dapat dilihat dari nilai maksimum gradien vertikal suhu potensial ��

�� ≫0, menyatakan bahwa tinggi PBL berada pada ketinggian �� ��

yang bernilai maksimum.

4) Level maksimum gradien vertikal dari suhu potensial virtual, Ɵv.

Suhu potensial virtual merupakan suhu udara virtual yang mengembang dan menyusut secara adiabatik ke ketinggian Po. Penentuan nilai suhu potensial virtual menggunakan persamaan berikut:

� =� Po

P 0,286

(3) (Riegel 1992 hal 333).

Lokasi dengan gradien vertikal maksimum suhu potensial maupun suhu potensial virtual, menunjukkan transisi dari daerah konveksi kurang stabil di bawa ke daerah yang lebih stabil di atasnya (Oke 1988).

5) Level minimum gradien vertikal kelembaban spesifik, q.

6) Level minimum gradien vertikal indeks refraktivitas atmosfer, N.

Indeks refraktivitas atmosfer atmosfer (N) merupakan kombinasi dari informasi suhu dan kelembaban yang dapat digunakan untuk menentukan ketinggian PBL. Indeks refraktivitas atmosfer (N) dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut (Wang & Wang 2014):

� = � −1 106 = 77,6 P+ 3,73 1052 (4)

(22)

8

=

+�P (5)

dengan � = 0.622, dan w adalah mixing ratio (Wallace & Hobbs 2006 hal 80). Jika w << 1, maka w ~ q (Riegel 1992 hal 292), sehingga pada perhitungan pers. 5 digunakan nilai q.

7) Level maksimum gradien vertikal dari kecepatan angin atau shear angin maksimum, V.

Penentuan ketinggian PBL dilakukan dengan mengidentifikasi ketebalan Entrainment Layer (EL). EL terletak di atas Mixed Layer (ML) yang ditandai dengan meningkatnya shear angin terhadap ketinggian �

��.

Menurut Arya 1988 dalam Subrahamanyam et al. 2012, bahwa di bagian atas ML, umumnya ada kecenderungan intrusi udara kering dari atmosfer bebas, mengakibatkan peningkatan yang tajam dari nilai shear angin. Oleh karena itu, puncak besar dari nilai shear angin dihubungankan dengan ketinggian ML. Ketinggian PBL dapat dilihat dari nilai maksimum pada gradien vertikal kecepatan angin atau shear angin maksimum, artinya bahwa tinggi PBL terdapat pada ketinggian �

�� yang bernilai maksimum (Dewi

2012). Kecepatan angin dihitung dengan menggunakan persamaan berikut: = 2+ 2 1/2 (6)

dengan V adalah kecepatan angin (m/s), u adalah komponen angin zonal (m/s) dan v adalah komponen angin meridional (m/s) (Hooper & Eloranta 1986), untuk menentukan shear angin dapat dihitung melalui persamaan berikut: dengan u adalah komponen angin zonal (m/s) dan v adalah komponen angin meridional (m/s) dan z adalah ketinggian (m) (Subrahamanyan et al., 2012).

Stabilitas Atmosfer

(23)

9

Bulk-Richardson number (RiB)

Richardson number merupakan rasio antara gaya bouyance dengan shear angin, yang digunakan untuk mengidentifikasi stabilitas dinamis dari lapisan atmosfer. Nilai Ri yang negatif mengindikasikan atmosfer dalam keadaan unstable, sedangkan nilai positif mengindikasikan kondisi stable dari atmosfer (Friedrich et al, 2012).

Secara umum stabilitas statis terdiri dari tiga kondisi kestabilan, yaitu stabil, tidak stabil dan netral. Faktor utama stabilitas atmosfer adalah hubungan suhu dengan ketinggian. Tingkat dimana suhu bervariasi terhadap ketinggian disebut laju surut (lapse rate). Lapse rate mempunyai pengaruh yang signifikan pada gerak vertikal udara. Mekanisme dimana udara dipindahkan secara vertikal terkait pada konsep Adiabatic Lapse Rate. Kondisi Lapse rate dibagi menjadi tiga kategori antara lain SALR (Saturated Adiabatic Lapse Rate), DALR (Dry Adiabatic Lapse Rate), dan ELR (Environmental Lapse Rate). Jika ELR < DARL hal ini menyebabkan parsel udara cenderung stabil, sedangkan kondisi tidak stabil terjadi jika ELR > DARL. Kondisi netral terjadi jika suhu parsel udara sama dengan suhu udara lingkungan sehingga suhu keduanya akan sama pada ketinggian yang sama, hal ini berarti laju penurunan suhu lingkungan sama dengan laju penurunan adiabatik kering (ELR = DALR). Kondisi ini dapat terjadi pada siang ataupun malam (Rati 2013). Stabilitas lokal dianggap sudah tidak relevan/berhubungan dalam menggambarkan stabilitas atmosfer, karena kadang gagal dalam memperhitungkan karakter non-lokal turbulensi. Hal ini memunculkan pemahaman baru yang lebih kompleks daripada yang sebelumnya, yaitu stabilitas statis-non-lokal. Dalam menentukan stabilitas atmosfer, parsel udara akan bergerak vertikal (naik atau turun) dari semua titik asal. Untuk melihat pengaruh statifikasi non-lokal dilakukan dengan beberapa cara berikut. Pertama, untuk menentukan daerah tidak stabil menggunakan perpindahan parsel udara secara stabilitas statis non-lokal. parcel udara yang memiliki Ө relatif maksimum berdasarkan konsep akan naik secara adibatik. Begitu pula sebaliknya, parsel

udara yang memiliki Ө yang relatif minimum akan turun secara adiabatik pula

hingga menyentuh sounding atau permukaan. Daerah tempat pergerakan parsel tersebut disebut sebagai daerah statically unstable, dengan kriteria ��

�� < 0. Untuk

wilayah diluar daerah unstable, diidentifikasi sebagai daerah statically stable dengan ��

�� > 0, dan statically neutral untuk daerah dimana ��

�� = 0 (Wallace &

(24)

10

Tes Statistik dan Estimasi Ketidakpastian

Salah satu tujuan penting penelitian ini adalah untuk mengukur ketidakpastian parametrik dan struktural dari estimasi ketinggian PBL. Ketidakpastian estimasi ketinggian PBL Indonesia selama 6 bulan berdasarkan metode yang berbeda dievaluasi menggunakan lima uji statistik:

1. Membandingkan rata-rata ketinggian PBL dari metode gradien yang berbeda menggunakan uji Student’s t. Uji ini digunakan untuk menguji hipotesis nol bahwa antara dua sampel, yaitu ketinggian PBL dari dua metode yang berbeda, memiliki rata-rata yang konsisten (tidak signifikan berbeda) berdasarkan dua rata-rata sampel, ragam dan ukuran data. Menggunakan taraf kepercayan 5%, jika nilai P hitung lebih kecil dari nilai � (0,05), maka nilai rata-rata kedua metode berbeda secara signifikan (Walpole 1992). 2. Membandingkan keragaman dari ketinggian PBL menggunakan uji F. Uji F

digunakan untuk menguji hipotesis nol, bahwa dua sampel memiliki keragamaan yang konsisten. Jika nilai P lebih kecil dari 0,05 dengan taraf kepercayaan 5%, maka kedua sampel memiliki keragaman yang berbeda secara statistik (Walpole 1992).

3. Mengukur hubungan/keterkaitan antara ketinggian PBL dari metode gradien yang berbeda dan menguji hipotesis nol, bahwa kedua sampel tidak berkorelasi signifikan. Pengujian hubungan korelasi kedua sample menggunakan uji Korelasi Linear Pearson dan uji Korelasi non-parametric Spearman rank (Wilks 2006) . Koefisien dari kedua uji korelasi memiliki rentang antara -1 sampai 1 (-100% - 100%), dan nilai P yang kecil mengindikasikan bahwa kedua sampel signifikan berkorelasi secara statistik. 4. Membandingkan distribusi fungsi kumulatif antara ketinggian PBL

(25)

11

3

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tiga analisis ketinggian PBL disajikan di bawah ini. Pertama, diinvestigasi perbedaan sistematis antara tujuh metode gradien. Kedua, melihat pola bulanan dan harian ketinggian PBL di wilayah Indonesia. Ketiga, melihat sebaran estimasi ketinggian PBL secara spasial di seluruh wilayah Indonesia menggunakan metode terpilih.

Perbedaan Sistematis antar Metode

Tujuan dasar dari analisis ini adalah untuk menentukan ketahanan dari estimasi ketinggian PBL di wilayah Indonesia selama enam bulan dan sensitivitas metode yang dipilih. Gambar 2 menunjukkan estimasi ketinggian PBL pada pagi hari dan siang hari di lautan dan daratan. Estimasi ketinggian PBL menggunakan tujuh metode gradien didasarkan pada variabel yang berbeda dari profil vertikal atmosfer yaitu kelembaban relatif (RH), suhu virtual (Tv), suhu potensial (ϴ), suhu potensial virtual (ϴv), kelembaban spesifik (q), indeks refraktivitas atmosfer (N), dan kecepatan angin (V). Estimasi ketinggian PBL ditunjukkan oleh garis putus-putus.

Hasil estimasi ketinggian PBL di Indonesia menggunakan tujuh metode gradien kadangkala menunjukkan nilai yang sama, seperti pada kasus di koordinat 2,5oLU 92,5oBT yang merupakan wilayah lautan, pada tanggal 13 Februari 2015 pukul 0700 WIB (Gambar 2a), estimasi ketinggian PBL sebesar 1977 m dan pukul 1300 WIB (Gambar 2b) sebesar 1983 m, nilai-nilai tersebut dihasilkan dari enam metode gradien yang mengestimasi ketinggian PBL pada ketinggian yang hampir sama. Sedangkan metode shear angin menghasilkan ketinggian PBL pada 0700 WIB dan 1300 WIB masing-masing sebesar 2241 m dan 3686 m.

Sebaliknya, estimasi ketinggian PBL di wilayah daratan 5oLS 140oBT pada pukul 0900 WIT 30 Juni 2015 (Gambar 2c) menunjukkan empat nilai yang berbeda, metode Tv mengestimasi ketinggian PBL di wilayah ini pada ketinggian 2260 dan metode V pada ketinggian 5769 m. Metode RH dan Ɵv memberikan estimasi yang sama yaitu sebesar 3094 m, dan metode Ɵ, q, dan N mengestimasi ketinggian PBL pada ketinggian yang sama yaitu 2530 m. Siang hari pukul 1500 WIT di lokasi yang sama (Gambar 2d) estimasi PBL tertinggi ditunjukkan oleh metode V sebesar 5746 m, diikuti metode Tv dan Ɵv 746 m lebih rendah, dan metode RH, q, dan N sebesar 3671 m.

(26)

12

(27)

13

Analisis Stabilitas Atmosfer

Besarnya nilai RiB dapat digunakan untuk membedakan aliran turbulen dan aliran laminar. RiB merupakan besaran tak berdimensi yang menunjukkan parameter stabilitas dinamis yang berhubungan dengan stabilitas vertikal dan shear vertikal. Aliran laminar akan menjadi turbulen jika nilai RiB menurun drastis hingga berada di bawah critical value yang setara dengan 0,25. Aliran turbulen akan tetap turbulen jika RiB sama dengan 1, tetapi akan berubah menjadi laminar pada saat RiB lebih besar dari 1(Subrahamanyan et al. 2012). Sedangkan berdasarkan Stull (2000), kondisi atmosfer yang tidak stabil dan turbulen apabila nilai Ri berada di bawah 0,25 (Ric). Untuk nilai RiB yang berada di atas Ric , maka kondisi atmosfer stabil dan memiliki aliran laminar.

(28)

14

Berdasarkan sounding lingkungan, memungkinkan untuk membuat kesimpulan tentang distribusi vertikal turbulensi. Analisis sounding dapat digunakan untuk melihat pengaruh stratifikasi non-lokal dengan beberapa cara berikut. Pertama, untuk menentukan daerah tidak stabil menggunakan perpindahan parsel udara berdasarkan stabilitas statis non-lokal. Parcel udara yang

memiliki Ө relatif maksimum akan naik secara adibatik. Begitu pula sebaliknya,

parsel udara yang memiliki Ө yang relatif minimum akan turun secara adiabatik

pula hingga menyentuh sounding atau permukaan. Daerah tempat pergerakan parsel disebut sebagai daerah statically unstable, dengan kriteria ��

�� < 0. Untuk

wilayah di luar daerah tidak stabil (unstable), diidentifikasi sebagai daerah stabil (statically stable) dengan kriteria ��

�� > 0, dan keadaan netral (statically neutral)

untuk ��

�� = 0.

Dalam penentuan daerah lapisan udara yang mengalami turbulen, maka diperlukan pengujian terhadap kedua jenis stabilitas atmosfer, yaitu stabilitas dinamik dan stabilitas statis non-lokal. Lapisan udara dengan ketidakstabilan statis diestimasi menggunakan metode stabilitas statis non-lokal dan Richardson Number digunakan untuk mengidentifikasi ketidakstabilan dinamik lapisan udara. Turbulen terjadi ketika pada lapisan udara mengalami ketidakstabilan statis atau ketidakstabilan dinamis. Sedangkan aliran laminar terjadi ketika aliran mengalami stabil statis dan dinamis (Wallace & Hobbs 2006 hal 397).

(29)

15

Gambar 4 menunjukkan perbandingan estimasi ketinggian PBL di wilayah Indonesia berdasarkan tujuh metode gradien. Data dipisahkan berdasarkan waktu lokal seperti yang telah dijelaskan pada metodologi penelitian, dan setiap batang merepresentasikan rata-rata ketinggian PBL seluruh lokasi Indonesia (terdapat 225 titik) selama enam bulan (nilai median seluruh data selama Januari 2015 – Juni 2015).

Secara umum nilai rata-rata ketinggian PBL berada di antara 700 m dan 3700 m, dengan q dan N menunjukkan nilai terendah. Di antara metode gradien

lainnya, ketinggian PBL berdasarkan gradien Ɵv konsisten lebih tinggi, dan

metode berdasarkan gradien q dan N konsisten rendah. Tingginya estimasi yang ditunjukkan oleh metode Ɵv, mungkin disebabkan karena mengandung ketidakpastian yang besar dikarenakan oleh kesalahan dalam pengukuran kelembaban dan oleh sebab itu menyebabkan fluktuasi yang signifikan dalam menghasilkan ketinggian PBL (Liu & Liang 2010). Metode berbasis suhu Tv menunjukkan estimasi yang sama atau tidak jauh berbeda terhadap metode RH. Penurunan rata-rata ketinggian PBL metode q, dan N maksimum pada 1300 WIB ke minimum pada 0100 WIB berturut-turut sekitar 532 m dan 197 m, sementara metode lainnya tidak menunjukkan perbedaan yang jelas. Sedangkan metode RH dan q menunjukkan nilai minimum pada 0700 WIB dan maksimum pada 1300 WIB, dengan perbedaan berturut-turut sebesar 232 m dan 631 m. Metode V

Perbandingan Metode Berdasarkan

Rata-Rata Enam Bulan Nilai Median Ketinggian PBL (m) Seluruh Indonesia

(30)

16

menunjukkan variasi diurnal yang sangat kuat, dimana PBL tertinggi ditemukan pada siang hari (1300 WIB) dan rendah pada malam harinya.

Rendahnya hasil estimasi rata-rata ketinggian PBL yang ditunjukkan oleh metode q dan N di wilayah Indonesia sesuai dengan hasil temuan Von Engeln dan Teixeira (2013) bahwa di wilayah 10oLU ke arah selatan, profil N didominasi oleh tekanan uap air pada ketinggian yang lebih rendah dan menurun dengan cepat terhadap ketinggian (Von Engeln & Teixeira 2013). Sehingga metode yang didasarkan pada gradien refraktivitas dapat didominasi oleh tekanan uap air pada ketinggian yang lebih rendah ketika gradien yang lebih kuat ditemukan dekat permukaan laut yang hangat (begitu pula pada permukaan daratan), hal ini pula yang mempengaruhi metode q, sehingga menyebabkan banyak ditemukannya nilai ketinggian rendah untuk metode berbasis N dan q.

(31)

17 Secara spasial perbandingan estimasi ketinggian PBL di wilayah Indonesia menggunakan tujuh metode gradien yang berbeda disajikan pada Gambar 5. Nilai dari tiap posisi lintang dan bujur merupakan nilai median selama enam bulan (Januari 2015 – Juni 2015) dan seluruh waktu analisis (0700 WIB, 1300 WIB, 1900 WIB, dan 0100 WIB) di Indonesia. Metode gradien RH dan metode gradien Tv menunjukkan hasil estimasi yang mirip di wilayah Indonesia, rata-rata median ketinggian PBL di seluruh daratan berkisar antara 1732 m hingga 4132 m, dengan ketinggian PBL di wilayah lautan yang lebih rendah di bawah 2132 m. Metode ϴ dan ϴv menunjukkan estimasi yang sedikit berbeda, di mana metode ϴv mengestimasi ketinggian PBL di wilayah pantai lebih tinggi hingga mencapai 4532 m. Metode gradien q dan N menunjukkan estimasi yang konsisten lebih rendah dari ketujuh metode di seluruh wilayah Indonesia, nilai median ketinggian PBL ditemukaan di bawah 2132 m untuk wilayah daratan, sementara di lautan ketinggian PBL berada di antara 532 m – 1532 m. Estimasi ketinggian PBL dengan metode V menunjukkan nilai ketinggian berkisar diantara 1732 m hingga 3732 dan pola berlawanan ditunjukkan oleh metode ini, ditemukannya PBL yang lebih tinggi di beberapa wilayah lautan dibandingkan dengan daratan.

Gambar 5 menunjukkan bahwa metode gradien yang berbeda menghasilkan rata-rata ketinggian PBL yang berbeda-beda pula untuk wilayah di Indonesia selama enam bulan. Permasalahannya adalah apakah perbedaan ketinggian PBL yang dihasilkan signifikan secara statistik? Tabel 2 menunjukkan hasil uji statistik yang dilakukan untuk menguji signifikansi perbedaan antara dua metode gradien yang berbeda. Terdapat lima uji statistik yang digunakan untuk membandingkan tiap metode gradien. Setiap bagian dari tabel 2 menunjukkan persentase kasus perbandingkan dengan nilai signifikan statistik P ≤ 0,05 pada bagian sudut kiri bawah dan rata-rata nilai uji statistik ditunjukkan pada bagian sudut kanan atas tabel.

Secara keseluruhan, ditemukan korelasi signifikan secara statistik antara ketujuh metode pada perbandingan (Tabel 2, c dan d), dengan hasil yang mirip antara korelasi Pearson dan Spearman. Rata-rata nilai koefisien ~90 % untuk perbandingan q dan N. Hubungan yang menarik ditunjukkan pada korelasi antara

metode gradien berbasis suhu (Tv, Ɵ, Ɵv) dan metode N, ditemukan korelasi yang

rendah antar kedua jenis metode. Ini mengungkapkan bahwa meskipun keduanya mengandung informasi suhu dan uap air, kontribusi yang diberikan untuk masing-masing metode berbeda. Korelasi sempurna yang ditunjukkan oleh metode q dan N, menunjukkan bahwa kontribusi uap air memiliki porsi yang lebih banyak untuk metode N daripada metode Tv, Ɵ, dan Ɵv di troposfer bagian bawah (Basha & Ratnam 2009). Nilai koefisien terendah ditunjukkan oleh perbandingan antara V terhadap metode lainnya. Pada sebagian besar kasus, rata-rata nilai koefisien korelasi mendekati nol dan bernilai negatif dengan mayoritas nilai yang signifikan secara statistik merupakan konsekuensi dari hasil merata-ratakan nilai koefisien korelasi yang positif dan negatif yang signifikan.

(32)

18

Tabel 2. Hasil perbandingan tujuh metode gradien menggunakan uji statistik untuk estimasi ketinggian PBL*

*

Setiap bagian dari tabel pada sudut kanan atas menunjukkan nilai rata-rata terhadap test statistik yang relevan dan persentase dari beberapa kasus terhadap uji statististik dengan hasil signifikan

(P≤ 0,05) pada sudut kiri bawah. Setiap tabel merepresentasikan 24 perbandingan dari rata-rata

bulanan dan rata-rata harian wilayah Indoensia selama 6 bulan (Januari 2015 s/d Juni 2015). Uji Statistik yang digunakan yaitu (a) Perbedaan estimasi rata-rata ketinggian PBL Indonesia dievaluasi dengan Uji t Student, (b) Rasio keragaman estimasi ketinggian PBL Indonesia dievaluasi dengan Uji F, (c) Koefisien Korelasi Linier Pearson, (d) Koefisien Korelasi Spearman

dan (e) Statisik D dari Uji Kolmogorov-Smirnov yaitu perbedaan distribusi ketinggian PBL

(33)

19

Begitu pula dengan RH dan Tv, memberikan nilai perbedaan rata-rata sebesar 167 m dan persentase perbedaan 87,5%, ini menunjukkan bahwa dari 24 kasus perbandingan terdapat 12,5% perbandingan yang tidak signifikan berbeda antara perbadingan RH dan Tv. Hasil uji statistik menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov menunjukkan persentase yang sangat tinggi ~100% hampir disemua metode, ini mengindikasikan bahwa kedua metode yang diujikan berasal dari distribusi kumulatif yang berbeda. Sebaliknya metode q dan N menunjukkan persentase yang cukup rendah yaitu 38%, hasil ini sesuai dengan yang diharapkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara keduanya. Tingginya persentase hasil uji t, uji F dan Kolmogorov- Smirnov yang signifikan secara statistik (Tabel 2, a, b dan e) memperkuat gagasan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara ketujuh metode gradien.

Seluruh hasil uji statistik pada tabel 2 dapat digunakan untuk menentukan ketidakpastian struktural dari estimasi ketinggian PBL dan berkaitan dengan pemilihan metode (Seidel et al. 2010). Rata-rata ketinggian PBL berbeda ratusan hingga ribuan meter untuk kebanyakan metode yang dibandingkan. Sehingga, rata-rata estimasi ketinggian PBL di Indonesia memiliki ketidakpastian struktural.

Pola Bulanan dan Harian

(34)

20

Perbedaan spasial dalam perubahan ketinggian PBL bulanan dapat dijelaskan bahwa metode yang berbeda kadang-kadang menunjukkan variasi bulanan yang berbeda untuk wilayah dan waktu tertentu sehingga menunjukkan bahwa metode- metode yang ada tidak dapat dilihat sebagai pengganti satu sama lainnya (Seidel et al. 2010).

Tabel 3 mengindikasikan persentase kasus ketinggian PBL yang berbeda signifikan antara siang hari (1300 WIB) dan malam hari (1900 WIB), dengan banyaknya kasus yang menunjukkan perbedaan yang signifikan. Data reanalisis ECMWF cocok digunakan untuk menganalisis variasi diurnal karena data tersedia dalam empat waktu dalam sehari dengan rentang 6-jam, sehingga penelitian ini mampu melihat perbedaan diurnal dari ketinggian PBL.

Untuk kasus harian, hanya 12 wilayah sepanjang garis ekuator (100o BT-127,5oBT) yang dibandingkan untuk melihat perbedaan diurnal antara ketinggian PBL siang hari dan malam hari. Metode Ɵv menunjukkan 58% kasus yang berbeda signifikan, dan menunjukkan kecenderungan yang besar (45% kasus yang signifikan) untuk ketinggian PBL terendah pada malam hari. Metode lainnya juga menunjukkan persentase wilayah yang signifikan berbeda cukup besar (33%-50%), dengan kecenderungan yang sama untuk ketinggian PBL terendah pada malam hari. Perubahan diurnal juga dapat dibandingkan besarnya terhadap struktur ketidakpastian estimasi ketinggian PBL. Sebagai contoh, variasi bulanan dan harian ketinggian PBL pada empat wilayah ditunjukkan oleh Gambar 6, 7, 8, dan 9, yang juga mengilustrasikan perbedaan antara ketujuh metode gradien.

Gambar 6 menunjukkan keragaman data hasil estimasi ketinggian PBL di wilayah 5oLS 140oBT yang merupakan wilayah Papua Barat. Estimasi terendah ditunjukkan oleh metode q dan N (nilai median selama 6 bulan pada siang hari sebesar 1443 m dan 1194 m dan pada malam hari sebesar 1019 m dan 991 m) dan kedua metode ini menunjukkan variasi keragaman yang cukup besar (rentang interkuartil berturut-turut untuk siang hari dan malam hari sebesar 1486 dan 1746 untuk metode q, dan 1215 m dan 705 m untuk metode N). Rata-rata metode gradien berbasis suhu menunjukkan variasi bulanan yang rendah pada bulan januari hingga Juni (Gambar 6, atas), khususnya metode Tv pada bulan Januari dan Februari yang menunjukkan keragaman data yang sangat rendah (rentang interkuartil berturut-turut sebesar 29 m dan 16 m), begitu pula metode ϴv pada bulan Februari (sebesar 17 m). Sebaliknya metode V menunjukkan keragaman PBL bulanan yang sangat besar dengan rentang interkuartil sebesar 3795 m untuk bulan April dan 2881 m pada bulan Januari. Estimasi ketinggian PBL umumnya sangat tinggi, dengan ketinggian median berada diatas 3000 m. Ketujuh metode gradient menunjukkan variasi bulanan dengan nilai yang cukup tinggi pada bulan Januari dan Juni. Pola diurnal yang paling menonjol ditunjukkan oleh metode V, nilai PBL rendah pada malam hari bila dibandingkan dengan siang hari (dengan median ketinggian sebesar 532 m dan 3664 m). Metode lain yaitu metode Ɵ dan

(35)

21

Ketinggian PBL(m) – 5oLS 140oBT, 1500 WIT

Ketinggian PBL(m) – 5oLS 140oBT, 2100 WIT

(36)

22

siang hari (Gambar 7 atas) daripada tengah malam (Gambar 7 bawah) dengan nilai median berturut-turut sebesar 2259 m dan 547 m (untuk metode RH). Secara umum, terdapat keragaman data ketinggian PBL pada masing-masing bulanan di wilayah ini. Metode ϴv menunjukkan keragaman yang sangat besar bila dibandingkan dengan metode lainnya, rentang interkuartil sebesar 2218 m. Begitu pula metode RH, Tv, ϴ, dan V (rentang interkualtil berturut- turut sebesar 2202 m, 1682 m, 2208 m , dan 1173 m), namun pada bulan Mei pukul 0100 WIB (Gambar 7, bawah), keempat metode – metode ini menunjukkan variasi ketinggian PBL yang sangat rendah, dengan rentang interkualtil berturut-turut sebesar 15 m, 12 m, dan 12 m, kecuali metode V menunjukkan keragaman data yang tinggi yaitu sebesar 4043 m. Rata-rata median ketinggian PBL pada bulan ini sangat rendah sekitar 311 m.

Ketinggian PBL(m) – 0oLU 102,5oBT, 1300 WIB

Ketinggian PBL(m) – 0oLU 102,5oBT, 0100 WIB

(37)

23 Ketinggian PBL pada pagi hari di wilayah 2,5oLS 135oBT (Gambar 8) rata-rata sekitar 2000 m. Beberapa metode menunjukkan adanya pola diurnal seperti metode RH dan Tv, sedangkan metode lainnya menunjukkan pola diurnal yang berlawanan ( PBL yang lebih tinggi pada pagi hari) namun temuan ini tidak konsisten untuk semua metode maupun bulan. Pada pukul 1500 WIT (Gambar 8, bawah) menunjukkan rendahnya variasi bulanan untuk semua metode gradien.

Ketinggian PBL(m) – 2,5oLS 135oBT, 0900 WIT

Ketinggian PBL(m) – 2,5oLS 135oBT, 1500 WIT

(38)

24

Ketinggian PBL(m) – 7,5oLS 110oBT, 1300 WIB

Ketinggian PBL(m) – 7,5oLS 110oBT, 1900 WIB

Gambar 9. Sama seperti pada Gambar 8 dengan wilayah 7,5oLS 110oBT untuk waktu 0700 WIB (atas) dan 1900 WIB (bawah).

(39)

25 sebesar 2510 m dan 1225 m), sedangkan metode ϴv dan q menunjukkan pola berlawanan, dengan PBL lebih tinggi pada malam hari daripada siang hari (perbedaaan nilai median berturut-turut sebesar 1 m dan 492 m).

Perbedaan perilaku pagi/malam hari jelas mengindikasikan metode gradien tidak sensitif terhadap variasi diurnal yang sama akibat adanya perbedaan proses di PBL. Sebagaimana contoh yang telah dijabarkan di atas, terdapat keragaman yang cukup besar pada masing-masing wilayah terhadap pola variasi bulanan dan diurnal ketinggian PBL. Hal ini dapat dijelaskan dalam hal kondisi iklim yang berlaku terkait dengan sirkulasi umum global atmosfer (Seidel et al. 2010). Perbedaan ketinggian PBL bulanan dan harian sangat bergantung pada tingkat pemanasan matahari yang diterima oleh permukaan. Siklus harian pemanasan radiasi menyebabkan terjadinya siklus harian pada fluks panas terasa dan panas laten antara bumi dan udara. Siklus ini adalah faktor penting terhadap perbedaan ketinggian PBL antara pagi, siang, dan malam hari

Distribusi Estimasi Ketinggian PBL

Dari hasil lima uji statistik untuk melihat ketahanan dan sensitivitas ketujuh metode gradien, maka metode terpilih yang direkomendasikan untuk mengestimasi ketinggian PBL di Indonesia adalah metode gradien RH. Metode RH menunjukkan keragamn data dan memiliki nilai median ketinggian PBL yang lebih baik, serta mampu menunjukkan variasi diurnal dan bulanan ketinggian PBL di beberapa wilayah Indonesia, bila dibandingkan dengan metode gradien lainnya. Hasil estimasi ketinggian PBL Indonesia menggunakan data reanalisis ECMWF Interim dapat disajikan dalam bentuk peta dengan resolusi spasial 2,5o x 2,5o. Data yang ditampilkan adalah nilai median ketinggian PBL selama enam bulan (Januari-Juni 2015), yang selanjutnya akan dipisahkan berdasarkan variasi bulanan dan diurnal. Gambar 10 menunjukkan median ketinggian PBL untuk waktu analisis berbeda. Cukup signifikan terlihat perbedaan siklus diurnal ketinggian PBL antara daratan dan lautan, siklus diurnal hampir tidak terlihat di lautan. Siklus diurnal berupa pemanasan dan pendinginan di permukaan daratan menghasilkan struktur lapisan batas yang terus berkembang. Biasanya konvektif PBL terbentuk pada saat mendekati matahari terbit, berkembang selama siang hari dan akhirnya menghilang menjelang malam hari (Hoffert & Sud 1976).

(40)

26

Sumatera dan Jawa Barat dengan ketinggian 2100 m - 2500 m pada siang hari (1300 WIB), dan jelas terlihat di bawah 2000 m pada sisa harinya.

Beberapa wilayah di Indonesia pada pukul 1900 WIB masih mengalami pemanasan permukaan yang masih cukup tinggi akibat besarnya pemanasan radiasi matahari yang diterima oleh permukaan pada saat siang hari, seperti pada wilayah Sulawesi, Maluku, Papua dan sebagian kecil pulau Sumatera. Terlihat bahwa pada 1900 WIB rata-rata ketinggian PBL masih berada di sekitar ± 2700 m, sedangkan wilayah lainnya seperti pulau Jawa dan Kalimatan mengalami penurunan rata-rata ketinggian sekitar 1000 m hingga 2500 m. Siklus diurnal terlihat jelas di wilayah Kalimantan Barat, Kalimatan Tengah, dan Kalimantan Selatan dengan nilai maksimum 2300 m pada siang hari, kemudian mengalami penurunan ketinggian PBL pada pukul 1900 WIB sampai pukul 0100 WIB dini hari hingga pada ketinggian ±300 m. Walaupun dengan resulusi spasial yang cukup rendah yaitu 2,5o x 2,5o, penemuan ini cukup mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Hashiguchi et al (1995) yang melakukan penelitian di wilayah ekuator Indonesia menggunakan radar Doppler L Band, menemukan bahwa wilayah ekuator Indonesia pada hari yang cerah mengalami siklus diurnal yang sangat signifikan yaitu ketinggian PBL paling rendah pada pagi hari (0800 WIB) ditemukan di ketinggian 300 m, kemudian secara bertahap mengalami peningkatkan ketinggian 3-5 km hingga 1600 WIB berlanjut mengalami penurunan ketinggian pada malam hari hingga pagi hari berikutnya sekitar 300 m.

(41)

27

Gambar 11 . Rata-rata median ketinggian PBL bulanan menggunaan metode RH.

(42)

28

rendah bila dibandingkan dengan wilayah utara ekuator. Fenomena ini dapat dijelaskan bahwa pada bulan Januari ITCZ bergerak ke arah selatan ekuator, sehingga wilayah yang bertepatan dengan letak ITCZ mengalami kelembaban yang tinggi akibat tingginya curah hujan, menyebabkan pemanasan di wilayah ini tidak seintens wilayah di utara ekuator. Fenomena ini sesuai dengan hasil temuan dari Chan & Wood (2013), menunjukkan bahwa ketinggian PBL musiman minimum bergerak ke utara dan selatan mengikuti pergerakkan ITCZ.

Tipe iklim yang beragam juga ikut mempengaruhi variasi ketinggian PBL di Indonesia. wilayah dengan tipe iklim monsun khususnya wilayah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan menunjukkan ketinggian PBL yang lebih rendah pada bulan Januari hingga Maret. Sebaliknya pada bulan Juni, PBL ditemukan lebih tinggi pada wilayah ini. Pulau Jawa yang juga beriklim tipe monsun menunjukkan pola yang berlawanan, dimana PBL tertinggi terjadi pada bulan Februari, sedangkan pada bulan-bulan lainnya PBL lebih rendah. Pada wilayah Papua bagian timur, menunjukkan adanya variasi ketinggian PBL yang sesuai dengan pola iklim tipe monsun. PBL tertinggi ditemukan pada bulan Juni yang merupakan bulan kering akibat rendahnya curah hujan dan ketinggian PBL terendah terjadi pada bulan Januari yang merupakan bulan basah. Wilayah dengan rangkaian pegunungan seperti Sulawesi, Maluku, dan Papua, menunjukkan variasi bulanan ketinggian PBL yang sangat kuat. Nilai ketinggian PBL tertinggi terjadi pada bulan Maret, diikuti bulan Mei, dan Juni, sedangkan bulan-bulan lainnya ditemukan lebih rendah. Ketinggian PBL di wilayah ini juga dipengaruh oleh faktor iklim. Sebagian wilayah yang disebutkan di atas beriklim tipe lokal, yang hanya mengalami satu kali maksimum curah hujan bulanan dalam satu tahun yang terjadi pada bulan Mei hingga Agustus (Tukidi 2010). Sehingga pada bulan Mei hingga Juni, ketinggian PBL lebih rendah pada wilayah ini. Pada bulan Maret yang merupakan bulan kering, ketinggian PBL sangat tinggi. PBL yang lebih tinggi pada bulan kering (musim kemarau) dari pada bulan basah (musim hujan) dapat dijelaskan dengan argumen yang melibatkan rasio Bowen. Selama musim kemarau, pemanasan permukaan oleh radiasi matahari lebih banyak digunakan untuk evaporasi air, sedangkan pada musim kemarau, pemanasan radiasi matahari lebih banyak digunakan sebagai fluks panas terasa untuk mendorong terjadinya pencampuran vertikal udara kering (Chan & Wood 2013).

(43)

29

4

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Ketujuh metode berbasis gradien umumnya menghasilkan estimasi ketinggian PBL yang berbeda satu sama lainnya selama enam bulan. Rata-rata ketinggian PBL berbeda ratusan hingga ribuan meter untuk metode gradien yang dibandingkan, yaitu perbandingan antara metode gradien RH, Tv, Ɵ, Ɵv dan V. Sehingga, rata-rata estimasi ketinggian PBL di Indonesia memiliki ketidakpastian struktural. Metode q dan N konsisten menghasilkan estimasi ketinggian PBL signifikan terendah, sebaliknya metode Ɵv konsisten menghasilkan estimasi ketinggian PBL tertinggi. Terdapat perbedaan yang signifikan secara statistik (nilai rata-rata, keragaman, dan distribusi fungsi kumulatif) antar ketujuh metode gradien. Hubungan korelasi antara ketujuh metode gradien signifikan secara statistik, ditemukan koefisien korelasi yang tinggi antara metode q dan N, dan

antara metode RH, TV, Ɵ dan Ɵv, serta ditemukannya hubungan korelasi yang negatif. Variasi bulanan dan diurnal ketinggian PBL berbeda di setiap wilayah Indonesia. Wilayah lautan ditemukan lebih konsisten terhadap variasi diurnal dan bulanan bila dibandingkan dengan wilayah daratan yang lebih bervariasi.

Penelitian ini merekomendasikan metode RH sebagai metode yang digunakan untuk mengestimasi ketinggian PBL di wilayah Indonesia. Di wilayah daratan, pada pukul 0700 WIB rata-rata ketinggian PBL berkisar antara 1500 m – 2900 m, pukul 1300 WIB berada pada ketinggian 2100 m – 4324 m, pada pukul 1900 WIB ketinggian PBL berkisar 300 m – 2900 m, dan pukul 0100 WIB PBL berada pada ketinggian 300 m – 2900 m. Fluks panas radiasi matahari merupakan salah satu faktor penting dalam penentuan ketinggian PBL. Di wilayah Lautan, ketinggian PBL pada pukul 0700 WIB 900 m hingga 2100 m, pada 1300 WIB, 1900 WIB, dan 0100 WIB sebesar 1100 m – 2100 m. Ketinggian PBL di Indonesia dipengaruhi oleh kondisi topografi dan tipe iklim masing-masing wilayah.

Saran

(44)

30

DAFTAR PUSTAKA

Aldrian, E., 2001. Pembagian Iklim Indonesia Berdasarkan Pola Curah Hujan

Dengan Metoda “ Double Correlation .” Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca, 2(1), pp.2–11.

Arya, S.P.,1999. Air Pollution Meteorology and Dispersion 1st Editio., New York: Oxford University Press. Inc.

Basha, G. & Ratnam, M.V., 2009. Identification of atmospheric boundary layer height over a tropical station using high-resolution radiosonde refractivity profiles: Comparison with GPS radio occupation measurements. Journal of Geophysical Research Atmospheres, 114(16), pp.1–11.

Chan, K.M. & Wood, R., 2013. The seasonal cycle of planetary boundary layer depth determined using COSMIC radio occultation data. Journal of Geophysical Research: Atmospheres.

Coen, M. et al., 2014. Determination and climatology of the planetary boundary layer height by in-situ and remote sensing methods as well as the COSMO model above the Swiss plateau. Atmospheric Chemistry and Physics Discussions, 14(10), pp.15419–15462. Available at: http://www.atmos-chem-phys-discuss.net/14/15419/2014/.

Dee, D.P. et al., 2011. The ERA-Interim reanalysis: Configuration and performance of the data assimilation system. Quarterly Journal of the Royal Meteorological Society, 137(656), pp.553–597.

Dewi, S., 2012. Identifikasi Ketebalan Lapisan Batas Atmosfer Menggunakan Profil Angin Radar Doppler di Daerah Tanggerang dan Sekitarnya. Institut Teknologi Bandung.

Friedrich, K. et al., 2012. Stability and turbulence in the atmospheric boundary layer: A comparison of remote sensing and tower observations. Geophysical Research Letters, 39(3), pp.1–6.

Hashiguchi, H. et al., 1995. Observations of the planetary boundary layer over equatorial Indonesia with an L-band clear-air Doppler radar: Initial results. Radio Sci., 30(4), pp.1043–1054. Available at: http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1029/95RS00653/abstract.

Hoffert, M.I. & Sud, Y.C., 1976. Similarity Theory of the Buoyantly Interactive Planetary Boundary Layer with Entrainment. Journal of the Atmospheric Sciences, Volume 33(Issue 11), pp.2136–2151.

Hooper, W.P. & Eloranta, E.W., 1986. Lidar measurements of wind in the planetary boundary layer: the method, accuracy and results from joint measurements with radiosonde and kytoon. Journal of Climate and Applied Meteorology, 25(7), pp.990–1001.

Kursinski, E.R. et al., 1997. Observing Earth’s atmosphere with radio occultation

(45)

31 Liu, S. & Liang, X.Z., 2010. Observed diurnal cycle climatology of planetary

boundary layer height. Journal of Climate, 23(21), pp.5790–5809.

Luo, T., Yuan, R. & Wang, Z., 2014. Lidar-based remote sensing of atmospheric boundary layer height over land and ocean. Atmospheric Measurement Techniques, 7, pp.173–182. Available at: http://www.atmos-meas-tech.net/7/173/2014/.

McGrath-Spangler, E.L. & Denning, A.S., 2013. Global seasonal variations of midday planetary boundary layer depth from CALIPSO space-borne LIDAR. Journal of Geophysical Research Atmospheres, 118(3), pp.1226–1233. Medeiros, B., Hall, A. & Stevens, B., 2005. What controls the mean depth of the

PBL? Journal of Climate, 18(16), pp.3157–3172.

Oke, T.R., 1988. Boundary Layer Climates 2nd ed., New York: Halsted Press. Rati, C., 2013. Analisis Karakteristik Parameter-Parameter Atmospheric

Boundary Layer Dengan Data Radiosonde (Studi Kasus : Kota Serang)(Skripsi). Bogor : Institut Pertanian Bogor.

Riegel, C.A., 1992. Fundamentals of Atmospheric Dynamics and Thermodynamics A. F. C. Bridger, ed., World Scientific Pub Co Inc.

Seidel, D.J., Ao, C.O. & Li, K., 2010. Estimating climatological planetary boundary layer heights from radiosonde observations: Comparison of methods and uncertainty analysis. Journal of Geophysical Research: Atmospheres, 115(16), pp.1–15.

Stull, R.B., 2000. Meteorology for Scientists and Engineers Second., USA: Brook/Cole, Cengage Learning.

Tukidi, 2010. Karakter Curah Hujan di Indonesia. Jurnal Geografi UNNES, 7(2), pp.136–145.

Von Engeln, A. & Teixeira, J., 2013. A planetary boundary layer height climatology derived from ECMWF reanalysis data. Journal of Climate, 26(17), pp.6575–6590.

Walpole, R.E., 1992. Pengantar Statistika Edisi ke 3., Jakarta: PT. Gramedia. Wang, X.Y. & Wang, K.C., 2014. Estimation of atmospheric mixing layer height

from radiosonde data. Atmospheric Measurement Techniques, 7(6), pp.1701– 1709.

Wallace, J. M.,& Hobbs, P. V., 2006. Atmospheric Science, Second Edition: An Introductory Survey (International Geophysics) Second edi., Academic Press; 2 edition, Elsevier.Inc.

(46)

32

Lampiran 1 Nilai profil vertikal atmosfer wilayah 2,5oLU 92,5oBT 00 UTC (0700 WIB) Tanggal 13 Februari 2015

(47)

yyyy-mm-33 Lampiran 2 Nilai profil vertikal atmosfer wilayah 2,5oLU 92,5oBT 06 UTC

(1300 WIB) Tanggal 13 Februari 2015

(48)

yyyy-mm-34

(49)

35 Lampiran 4 Nilai profil vertikal atmosfer wilayah 5oLS 140oBT 06UTC (1500

(50)

36

Lampiran 5 Tabel Persamaan Regresi Linear antar Data ECMWF dan NOAA pada wilayah 2,5o LU 92,5o BT dan 5oLS 140o BT

(51)

37 Lampiran 6 Richardson Number pada wilayah 2,5o LU 92,5o BT pukul 0700 WIB

LAPISAN (M) RiB DINAMIS STATIS TURBULEN

79 - 129 -48.92 TIDAK STABIL TIDAK STABIL YA

129 - 236 9.25 STABIL STABIL TIDAK

236 - 301 -16.08 TIDAK STABIL TIDAK STABIL YA

301 - 427 -16.91 TIDAK STABIL TIDAK STABIL YA

427 - 564 -18.10 TIDAK STABIL TIDAK STABIL YA

564 - 713 -5892.32 TIDAK STABIL TIDAK STABIL YA

713 - 876 -54.70 TIDAK STABIL TIDAK STABIL YA

876 - 1055 -0.31 TIDAK STABIL TIDAK STABIL YA

1055 - 1250 -495.67 TIDAK STABIL TIDAK STABIL YA

1250 - 1522 20.82 STABIL STABIL TIDAK

1522 - 1735 29.17 STABIL STABIL TIDAK

1735 - 1957 25.96 STABIL STABIL TIDAK

1957 - 2195 7.42 STABIL STABIL TIDAK

2195 - 2499 23.10 STABIL STABIL TIDAK

2499 - 2858 -6.97 TIDAK STABIL TIDAK STABIL YA

2858 - 3286 14.71 STABIL STABIL TIDAK

3286 - 3740 49.36 STABIL STABIL TIDAK

3740 - 4262 211.78 STABIL STABIL TIDAK

4262 - 4820 40.45 STABIL STABIL TIDAK

4820 - 5414 112.82 STABIL STABIL TIDAK

5414 - 6071 45.28 STABIL STABIL TIDAK

6071 - 6805 43.19 STABIL STABIL TIDAK

6805 - 7524 125.93 STABIL STABIL TIDAK

7524 - 8263 473.07 STABIL STABIL TIDAK

8263 - 9080 11.71 STABIL STABIL TIDAK

9080 - 9957 9.39 STABIL STABIL TIDAK

Gambar

Gambar 1. Lokasi Penelitian wilayah Indonesia 10 oLU–10oLS, 90oBT –150oBT
Gambar 2. Estimasi ketinggian PBL menggunakan tujuh metode gradien pada
Gambar 3. Profil vertikal  Bulk-Richardson number (RiB) pada 2,5oLU 92,5oBT
Gambar 4.  Nilai rata-rata dari median ketinggian PBL Indonesia selama enam
+7

Referensi

Dokumen terkait

selain itu, kami juga memberikan menu pilihan berupa sate, gulai dan tongseng yang sudah tidak asing lagi dengan nuansa ibadah aqiqah.. Kami lebih mengutamakan terpenuhinya

Selain itu, lapisan tipis sel surya organik menggunakan larutan PEDOT:PSS yang berfungsi sebagai penyangga agar tidak terjadi arus singkat pada sel surya organik

Berdasarkan dari penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan bahwa aplikasi enkripsi SMS dapat mengimplementasikan algoritma Vigenere dan Advanced Encryption

pada stasiun bumi, penelitian ini mengimplementasikan protokol AX.25 ke dalam mikrokontroler untuk mengirimkan data telemetri yang telah terkapsulasi kepada stasiun

dalam huruf a, perlu menetapkan Keputusan Kuasa Pengguna Anggaran Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar tentang penetapan UKT Calon Mahasiswa Baru S1 Gelombang I,

Disajikan dalam Simposium Sehari “Penyakit Japanese Encephalitis/Hendra-like Encephalitis dan tindakan antisipatif yang perlu dilakukan”, Jakarta 18 Mei 1999 diselenggarakana

Untuk meningkatkan prestasi belajar siswa guru disarankan untuk menggunakan metode yang tepat dan lebih kreatif dalam mengembangkan bahan ajar yang inovatif; Kepada

Penelitian pengendalian persediaan obat generik melalui analisis ABC ini dilakukan untuk mendapatkan pengelompokan persediaan obat generik berdasarkan besarnya nilai investasi