• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Kadar dan Profil Disolusi serta Mutu Fisik Tablet Glimepirid 2 mg Generik dan Generik Bermerek

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perbandingan Kadar dan Profil Disolusi serta Mutu Fisik Tablet Glimepirid 2 mg Generik dan Generik Bermerek"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

PERBANDINGAN KADAR DAN PROFIL DISOLUSI

SERTA MUTU FISIK TABLET GLIMEPIRID 2 MG

GENERIK DAN GENERIK BERMERK

SKRIPSI

ZAENAB SALSABILA AL-KAFF

1112102000084

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

(2)

ii

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

PERBANDINGAN KADAR DAN PROFIL DISOLUSI

SERTA MUTU FISIK TABLET GLIMEPIRID 2 MG

GENERIK DAN GENERIK BERMERK

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

ZAENAB SALSABILA AL-KAFF

1112102000084

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

(3)
(4)
(5)
(6)

vi ABSTRAK

Nama : Zaenab Salsabila Al-kaff Program Studi : Farmasi

Judul : Perbandingan Kadar dan Profil Disolusi serta Mutu Fisik Tablet Glimepirid 2 mg Generik dan Generik Bermerek

Glimepirid merupakan senyawa golongan sulfonilurea generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatan diabetes melitus tipe II yang pada dosis rendah dapat memberikan onset cepat, durasi kerja yang lama dan efek samping hipoglikemia yang kecil. Glimepirid termasuk dalam Biopharmaceutical Classification System

(BCS) kelas II, yaitu permeabilitas tinggi namun kelarutannya rendah. Penelitian ini dilaksanakan untuk membandingkan mutu sediaan glimepirid. Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Sampel yang digunakan berjumlah 4 sampel, yaitu satu tablet glimepirid generik dan tiga generik bermerek. Terhadap keempat sampel tersebut dilakukan uji penetapan kadar, uji disolusi dan kualitas fisik berupa organoleptis, kekerasan dan keseragaman kandungan. Penetapan kadar dilakukan dengan menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) dan uji disolusi menggunakan alat tipe II (bentuk dayung) yang berkecepatan 75 rpm dalam medium dapar fosfat pH 7,8. Hasil dari penetapan kadar tablet glimepirid generik, generik bermerek A, B dan C secara berturut-turut yaitu 98,19%, 99,69%, 98,92% dan 101,79%. Hasil dari uji disolusi menunjukkan bahwa keempat sampel tablet memiliki pola profil disolusi yang sama dengan persen kumulatif tablet glimepirid generik, generik bermerek A, B dan C secara berturut-turut adalah 93,79%, 96,34%, 95,17% dan 98,75%. Hasil uji kekerasan tablet glimepirid generik, generik bermerek A, B dan C yaitu 4,46 Kg, 7,33 Kg, 2,34 Kg dan 8,35 Kg. Hal ini menunjukkan bahwa tablet glimepirid generik bermerek B tidak memenuhi persyaratan, namun hal ini tidak mutlak karena tidak ada syarat baku dari buku resmi Farmakope Indonesia untuk uji kekerasan. Berdasarkan data yang diperoleh tidak ada perbedaan mutu dalam hal terpenuhinya syarat baku yang tercantum dalam Farmakope Indonesia edisi V.

(7)

vii ABSTRACT

Name : Zaenab Salsabila Al-kaff Program Study : Pharmacy

Title : Comparison of Assay, Dissolution Profile and Physical Quality of Generic and Branded Generic of 2 mg Glimepiride Tablet

Glimepiride is a third generation of sulfonylurea type compound that was used on Type II Diabetes Mellitus on a low dosage that can give a fast onset, long duration of action and small hypoglycemia side effect. Glimepiride was included in Class 2 of Biopharmaceutical Classification System (BCS), which means that it has a low level of solubility. This study was performed to test the quality of glimepiride tablet. The sampling method used in this research was purposive sampling. There were 4 samples that used in this study. 1 sample was a generic glimepiride, while the other 3 were branded generic glimepirides. Four of the samples were given assay test, dissolution profile and physical quality form of organoleptic, hardness and content similarity test. Methods that were used in this study were High Performance Liquid Chromatography (HPLC) method for assay and dissolution test using by type 2 (paddle shape) with 75 rpm speed in a medium of pH 7,8 phosphate buffer. Results from generic glimepiride, branded generic A, B and C tablets assay sequentially are 98,19%, 99,69%, 98,92% dan 101,79%. The dissolution test shows that all samples have the same dissolution profile, with cumulative percentage generic glimepiride, branded generic A, B and C sequentially are 93,79%, 96,34%, 95,17% and 98,75%. Results from hardness test of generic glimepiride and branded generic A, B and C tablets sequentially are 4,46 Kg, 7,33 Kg, 2,34 Kg dan 8,35 Kg. This result shows that branded generic B do not meet the requirement that was needed, however this result is not absolute due to the absence of standard requirement from Indonesian Pharmachopoeia. Based on data that was obtained, there was noquality difference in compliance requirement of the fifth edition ofIndonesianPharmachopoeia.

(8)

viii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, rasa syukur serta pujian senantiasa kita panjatkan kehadirat

Allah SWT yang melimpah rahmat dan hidayah-Nya serta segala anugrah-nya

berupa kesehatan, pemikiran dan ide sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini. Salawat serta salam semoga selalu tercurah kepada junjungan nabi

Muhammad SAW, keluarga, para sahabat dan pengikutnya yang senantiasa

mengikuti sunnahnya hingga akhir zaman.

Skripsi ini penulis susun untuk memenuhi salah satu syarat menempuh

ujian akhir guna memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi

Fakultas Kedokteran dan Imu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Adapun judul skripsi ini adalah “Perbandingan Kadar dan Profil Disolusi serta Mutu Fisik Tablet Glimepirid 2 mg Generik dan Generik Bermerk

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan selesai dengan baik tanpa bantuan

dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Drs. Umar Mansur, M.Sc., Apt selaku pembimbing I dan Yuni Anggraeni

M.Farm., Apt selaku pembimbing II, yang telah meluangkan waktu,

tenaga dan pikiran serta dengan sabar membimbing dan mengajari

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

2. Prof. Dr. H. Arif Sumantri, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan

Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. Nurmeilis, M.Si., Apt selaku ketua Program Studi Farmasi Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Dr.Azrifitria, M.Si., Apt selaku Penasehat Akademik yang telah

membimbing dan memberikan saran dalam perkuliahan selama 4 tahun.

5. Ibu dan bapak Dosen serta Staf Akademik Program Studi Farmasi Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Staf laboran : Kak Eris, Mba Rani, Kak Lisna, Kak Yaenab, Kak Walid,

Kak Ramadi, Kak Tiwi yang telah membantu penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini.

7. Ayahanda tercinta, Ja’far Ahmad Al-kaff dan Ibunda tercinta, Ida Farida

(9)
(10)
(11)

xi DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

HALAMAN PENGESAHAN ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... x

DAFTAR ISI ... xi

1.4 Tujuan Penelitian ... 3

1.5 Manfaat Penelitian ... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Uraian Zat Aktif ... 4

2.1.1 Monografi Zat Aktif ... 4

2.1.2 Efek Farmakologis ... 4

2.1.3 Penggunaan Terapeutik ... 4

2.1.4 Mekanisme Kerja ... 5

2.1.5 Farmakokinetik... 5

2.1.6 Efek Samping ... 6

2.2 Pengertian Generik dan Paten ... 6

2.2.1 Obat Generik ... 6

2.7 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) ... 18

2.7.1 Cara Kerja KCKT... 18

2.7.2.5 Wadah Fase Gerak ... 20

2.7.2.6 Fase Gerak ... 20

2.8 Validasi Metode ... 21

(12)

xii

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ... 23

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 23

3.2 Alat dan Bahan ... 23

3.2.1 Alat ... 23

3.2.2 Bahan ... 23

3.3 Prosedur Penelitian ... 23

3.3.1 Pengambilan sampel ... 23

3.3.2 Sifat Fisik ... 25

3.3.2.1 Uji Organoleptis ... 25

3.3.2.2 Uji Kekerasan ... 25

3.3.2.3 Keseragaman Kandungan ... 26

3.3.3 Penetapan Kadar ... 26

3.3.3.1 Pembuatan Dapar fosfat ... 26

3.3.3.2 Pembuatan Fase Gerak ... 26

3.3.3.3 Pembuatan Larutan Induk Glimepirid ... 26

3.3.3.4 Penetapan Panjang Gelombang ... 26

3.3.3.5 Verifikasi Metode ... 27

3.3.3.5.1 Linearitas ... 27

3.3.3.5.2 Akurasi... 27

3.3.3.6 Penetapan Kadar ... 27

3.3.4 Uji Disolusi ... 27

3.3.4.1 Pembuatan Larutan Induk ... 27

3.3.4.2 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum ... 28

3.3.4.3 Pembuatan Kurva Kalibrasi ... 28

3.3.4.4 Uji Disolusi Sampel Tablet Glimepirid ... 28

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29

4.1 Hasil Evaluasi Sifat Fisik Tablet... 29

4.1.1Organoleptik ... 29

4.1.2 Uji Kekerasan ... 29

4.1.3 Keseragaman Kandungan ... 30

4.2 Penetapan Kadar ... 31

4.2.1 Panjang Gelombang Maksimum dalam Medium Fase Gerak ... 31

4.2.2 Kurva Kalibrasi ... 31

4.2.3 Akurasi ... 31

4.2.4 Penetapan Kadar ... 32

4.3 Uji Disolusi ... 33

4.3.1 Panjang Gelombang Maksimum dalam Medium Fosfat pH 7,8 ... 33

4.3.2 Kurva Kalibasi ... 34

4.3.3 Uji Disolusi ... 34

4.3.4 Analisa Statistik Uji Disolusi ... 36

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 39

5.1 Kesimpulan ... 39

(13)

xiii

(14)

xiv

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Kriteria Penerimaan Hasil Uji Disolusi ...15

Tabel 3.1 Tablet Glimepirid Generik Bermerek yang Beredar di Pasaran ...24

Tabel 3.2 Tablet Glimepirid Generik yang Beredar di Pasaran ...25

Tabel 4.1 Hasil Uji Organoleptis ...29

Tabel 4.2 Hasil Uji Kekerasan ...30

Tabel 4.3 Hasil Uji Keseragaman Kandungan ...30

Tabel 4.4 Hasil Uji Akurasi ...32

Tabel 4.5 Hasil Penetapan Kadar ...33

Tabel 4.6 Hasil Uji Disolusi Tablet...35

(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Struktur Glimepirid ...4

Gambar 2.2 Pengaduk Tipe 1 (Bentuk Keranjang ...13

Gambar 2.3 Pengaduk Tipe 2 (Bentuk Dayung) ...14

(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Alat Uji Disolusi ... 43

Lampiran 2. Spektrofotometri UV-VIS ... 43

Lampiran 3. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi ... 44

Lampiran 4. Sonikator ... 44

Lampiran 5. Hardness Tester ... 45

Lampiran 6. Bagan Alur Penelitian ... 45

Lampiran 7. Sertifikat Analisis Natrium Dihidrogen Fosfat ... 46

Lampiran 8. Sertifikat Metanol Grade HPLC ... 47

Lampiran 9. Sertifikat Analisis Standar Glimepirid ... 48

Lampiran 10. Kromatogram Hasil Analisa Standar Glimepirid ... 50

Lampiran 11. Kromatogram Hasil Analisa Sampel ... 51

Lampiran 12. Kurva Kalibrasi Glimepirid Dalam Metanol: Fosfat ... 53

Lampiran 13. Kurva kalibrasi Glimepirid Dalam Fosfat pH 7,8 ... 53

Lampiran 14. Data Kurva Kalibrasi Dalam Metanol: Fosfat ... 54

Lampiran 15. Data Kurva Kalibrasi Dalam Fosfat pH 7,8 ... 54

Lampiran 16. Prosedur Pembuatan larutan yang Digunakan ... 55

Lampiran 17. Hasil Uji Akurasi ... 56

Lampiran 18. Hasil Uji Kekerasan Tablet... 56

Lampiran 19. Data Penetapan Kadar ... 57

Lampiran 20. Keseragaman Kandungan Tablet Generik dan Generik Bermerek A ... 58

Lampiran 21. Keseragaman Kandungan Tablet Bermerek A dan B ... 59

Lampiran 22. Hasil Persen Pelepasan Kumulatif Tablet Inovator ... 60

Lampiran 23. Hasil Persen Pelepasan Kumulatif Tablet Generik ... 61

Lampiran 24. Hasil Persen Pelepasan Kumulatif Tablet Bermerek A ... 62

Lampiran 25. Hasil Persen Pelepasan Kumulatif Tablet Bermerek B ... 63

Lampiran 26. Analisa Statistik Pelepasan Glimepirid ... 64

Lampiran 27. Perhitungan Persen Kadar Uji Penetapan Kadar ... 77

Lampiran 28. Perhitungan Persen Kadar Uji Keseragaman Kandungan ... 77

(17)

1

UIN Syarif Hidayatullah

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Saat ini jenis obat yang beredar di pasaran terbagi atas obat generik dan

obat inovator atau paten. Obat generik ini pun dibagi lagi menjadi 2, yaitu obat

generik dan obat generik bermerk. Obat generik merupakan obat dengan nama

resmi International Nonpropietary Names (INN) yang telah ditetapkan dalam

Farmakope Indonesia atau buku standar lainnya untuk zat berkhasiat yang

dikandungnya. Obat generik bermerek atau bernama dagang merupakan obat

generik dengan nama dagang yang menggunakan nama milik produsen obat yang

bersangkutan. Obat inovator atau paten merupakan obat yang masih memiliki hak

paten dalam jangka waktu tertentu (Permenkes, 2010). Setelah habis masa

patennya, obat yang dulunya paten dengan merk dagangnya kemudian masuk ke

dalam kelompok obat generik bermerk atau obat bermerk (Idris dan Widjajarta,

2006).

Dalam sudut pandang masyarakat biasanya mutu obat generik kurang baik

dibandingkan dengan obat bermerk. Harga obat generik yang terbilang relatif

murah membuat masyarakat tidak percaya bahwa obat tersebut memiliki kualitas.

Kurangnya informasi seputar obat generik adalah salah satu faktor penyebab obat

generik dipandang sebelah mata oleh masyarakat (Idris dan Widjajarta, 2006).

Mutu dijadikan dasar acuan untuk menetapkan kebenaran khasiat (efikasi)

dan keamanan (safety). Mutu suatu sediaan obat dapat ditinjau dari berbagai aspek

antara lain aspek teknologi yang meliputi stabilitas fisik dan kimia dimana sediaan

obat (tablet, kapsul dan sediaan lainnya) harus memenuhi kriteria yang

dipersyaratkan Farmakope (Harianto dkk, 2006). Mutu obat yang berbeda antara

produk-produk obat dari zat berkhasiat sama bisa jadi karena perbedaan formula

yang digunakan, metode dari produk pabrik pembuat yang digunakan, kerasnya

prosedur kontrol kualitas dalam proses pembuatan, dan bahkan metode

penanganan, peralatan, pengemasan dan penyimpanan (Ansel dkk, 1999). Maka

dari itu kontrol kualitas terhadap obat generik sangat penting untuk membantu

(18)

UIN Syarif Hidayatullah

tentang obat generik yaitu sebesar 31,9%. Dimana hanya 14,1% yang memiliki

pemahaman mengenai obat generik yang benar, sedangkan 85,9% masih memiliki

pemahaman yang salah mengenai obat generik. Sumber informasi tentang obat

generik sendiri paling banyak diperoleh dari tenaga kesehatan, yaitu sebesar

63,1%. Oleh karena itu, masih sangat dibutuhkan informasi mengenai obat

generik secara strategik terutama di era Jaminan Kesehatan Nasional.

Salah satu obat generik yang beredar dipasaran adalah tablet Glimepirid

(GMP). Glimepirid adalah senyawa golongan sulfonilurea generasi ketiga yang

digunakan untuk pengobatan diabetes melitus tipe II yang pada dosis rendah dapat

memberikan onset cepat, durasi kerja yang lama dan efek samping hipoglikemia

yang kecil. Glimepirid termasuk dalam Biopharmaceutical Classification System

(BCS) kelas II, yaitu permeabilitas tinggi namun kelarutannya rendah (Ammar,

2006). Untuk obat yang mempunyai kelarutan rendah laju disolusi merupakan

tahap penentu pada proses absorpsi obat (Shargel & Yu, 1999; Leuner &

Dressman, 2000). Oleh karena itu dilakukan uji disolusi untuk mengetahui

seberapa banyak persentase zat aktif yang terlarut dan memberikan efek terapi di

dalam tubuh (Syamsuni, 2007).

Parameter penting lain untuk menentukan mutu obat adalah penetapan

kadar zat aktif, yang bertujuan untuk mengetahui apakah kadar zat aktif yang

terkandung di dalam suatu sediaan sesuai dengan yang tertera pada etiket dan

memenuhi syarat seperti yang tertera pada masing-masing monografi. Bila zat

aktif obat tidak memenuhi syarat maka obat tersebut kemungkinan tidak akan

memberikan efek terapi yang optimal, sehingga kedua uji ini merupakan faktor

penting dalam menentukan efektivitas suatu obat dalam tubuh manusia. Hal ini

tidak hanya dapat digunakan sebagai alat utama untuk memantau konsistensi dan

stabilitas produk obat tetapi juga sebagai teknik yang relatif cepat dan murah

untuk memprediksi penyerapan suatu sediaan obat (Zhang et. al, 2010).

Harga tablet Glimepirid generik adalah Rp. 945,- per tablet. Harga tablet

glimepirid inovator adalah Rp. 5.600,- per tablet, Glimepirid generik bermerk A

adalah Rp. 4.500,- per tablet dan generik bermerk B adalah Rp. 4.114,- per tablet.

Dari data tersebut dapat dikatakan bahwa harga tablet glimepirid generik bermerk

(19)

UIN Syarif Hidayatullah

pembuat obat tidak perlu menanggung biaya yang tinggi untuk melakukan riset

dan promosi. Sedangkan pada obat generik bermerk atau obat paten memiliki

biaya riset dan operasional yang tinggi dari biaya kemasan hingga promosi

sehingga harganya bisa jauh lebih mahal dari obat generik. Penetapan harga obat

generik sepenuhnya ditentukan pemerintah. Sementara harga obat bermerk dan

paten masih diserahkan pada mekanisme pasar karena di Indonesia belum ada

mekanisme regulasi harga obat (Anwar, 2010).

Untuk memastikan bahwa kualitas produk tablet glimepirid generik tidak

lebih rendah dari kualitas tablet glimepirid bermerek, maka dilakukan penelitian

perbandingan mutu fisik, profil disolusi serta penetapan kadar tablet glimepirid

generik dan generik bermerk.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana perbandingan kadar, profil disolusi serta mutu fisik sediaan

tablet glimepirid generik dan generik bermerek?

1.3 Hipotesa

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dikemukakan suatu hipotesis

bahwa kadar, profil disolusi serta mutu fisik sediaan tablet glimepirid generik dan

generik bermerek tidak memiliki perbedaan bermakna.

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan kadar, profil

disolusi serta mutu fisik tablet glimepirid generik dan generik bermerek.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat Penelitian ini adalah untuk memberikan informasi kepada

masyarakat, apoteker, dokter, perawat dan tenaga kesehatan lain tentang kualitas

(20)

4

UIN Syarif Hidayatullah

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Zat aktif 2.1.1 Monografi Zat Aktif

Zat aktif : Glimepirid

Rumus molekul : C24H34N4O5S

Berat Molekul : 490,62

Struktur kimia :

Gambar 2.1 Struktur Glimepirid (Sumber: Pharmawiki, 2007)

Pemerian : Serbuk; putih sampai hampir putih

Kelarutan : Larut dalam dimetilformamida; sukar larut dalam metanol;

agak sukar larut dalam metilen klorida; praktis tidak larut

dalam air (Ditjen POM, 2014).

2.1.2 Efek farmakologis

Glimepirid adalah senyawa golongan sulfonilurea generasi ketiga yang

digunakan untuk pengobatan diabetes melitus tipe II yang pada dosis rendah dapat

memberikan onset cepat, durasi kerja yang lama dan efek samping hipoglikemia

yang kecil.

2.1.3 Penggunaan Terapeutik

Glimepirid merupakan obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea

(21)

UIN Syarif Hidayatullah

Diabetes Melitus Tipe 2. Pada DM tipe 2 terjadi defek sekresi insulin dari

pankreas, resistensi insulin di perifer dan gangguan regulasi produksi glukosa hati.

Terapi DM tipe 2 meliputi modifikasi gaya hidup termasuk di dalamnya diet dan

latihan jasmani serta terapi farmakologik berupa obat hipoglikemik oral (OHO)

dan insulin.

2.1.4 Mekanisme Kerja

Glimepiride memiliki efek pankreatik dan ekstrapankreatik. Efek

pankreatik berupa sekresi insulin, terjadi setelah obat ini berikatan dengan

reseptornya di sel Beta dan menyebabkan penutupan KATP channel yang

menimbulkan depolarisasi membran sel dan pelepasan insulin. Meskipun bekerja

melalui mekanisme yang sama, glimepiride terikat pada reseptor yang berbeda

dengan obat golongan sulfonilurea lainnya. Glimepiride terikat pada protein

dengan berat molekul 65 kD sedangkan sulfonilurea berikatan dengan protein

berberat molekul 140 kD. Perbedaan ini menyebabkan glimepiride lebih spesifik

terhadap sulfonilurea receptor (SUR1) pada sel Beta dibandingkan glibenclamide.

Implikasinya adalah turunnya risiko iskemia miokardium. Glimepiride

membutuhkan konsentrasi 3 kali lebih besar dibandingkan glibenclamide untuk

dapat menghambat KATP channel miokardium. Berbeda dari golongan sulfonilurea

lainnya yang meningkatkan sekresi insulin pada fase akut, glimepiride dikatakan

dapat memperbaiki baik fase akut maupun fase lambat sekresi insulin. Meskipun

demikian, dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk memperjelas mekanisme aksi

ini (Paulus W, Ignatia SM., 2004).

2.1.5 Farmakokinetik

Glimepiride diabsorpsi hampir sempurna melalui saluran cerna. Kadar

glimepiride darah akan menurun bila diberikan bersama-sama dengan makanan.

Volume distribusi glimepiride adalah 8,8 L dan berikatan dengan protein plasma

lebih dari 95%. Glimepiride mengalami metabolisme oksidasi di hati terutama

oleh enzim sitokrom P450 II C9. Metabolit glimepirid diekskresi melalui urin

(22)

UIN Syarif Hidayatullah

2.1.6 Efek Samping

Gejala saluran cerna dan sakit kepala. Gejala hematologik termasuk

trombositopenia, agranulositosis, dan anemia aplastik dapat terjadi walau jarang

sekali. Glimepirid dapat meningkatkan Anti Diuretik Hormon (ADH), dan dengan

frekuensi sangat jarang menyebabkan hiponatraemia dan fotosensitivitas.

Hipoglikemia dapat terjadi bila dosis tidak tepat atau diet terlalu ketat; juga pada

gangguan fungsi hati atau ginjal atau pada orang usia lanjut (Sukandar, 2008).

2.2 Pengertian Generik dan Paten 2.2.1 Obat Generik

Obat Generik menurut Peraturan Menteri Kesehatan No.

HK.02.02/MENKES/068/I/2010 adalah obat dengan nama resmi International

Nonpropietary Names (INN) yang telah ditetapkan dalam Farmakope Indonesia

atau buku standar lainnya untuk zat berkhasiat yang dikandungnya. Nama generik

ini ditempatkan sebagai judul dari monografi sediaan obat yang mengandung

nama generik tersebut sebagai zat tunggal.

Ada dua macam Obat generik yaitu obat generik tanpa merek dagang dan

obat generik dengan merek dagang. Obat generik bermerek atau bernama dagang

merupakan obat generik dengan nama dagang yang menggunakan nama milik

produsen obat yang bersangkutan (Permenkes, 2010). Satu nama generik dapat

diproduksi berbagai macam sediaan obat dengan nama dagang yang berlainan.

Produksi obat generik merupakan salah satu upaya penyediaan obat yang

bermutu dengan harga yang terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Obat

generik umumnya memiliki harga yang lebih murah, beberapa faktor yang

menyebabkan hal tersebut, antara lain:

1. Dalam harga obat nama dagang, terdapat komponen biaya promosi

yang cukup tinggi mencapai sekitar 50% dari HET (Harga Eceran

Tertinggi) baik melalui iklan untuk obat bebas/obat bebas terbatas dan

melalui detailer untuk obat keras, sedangkan obat generik tidak

(23)

UIN Syarif Hidayatullah

2. Harga obat dengan nama dagang biasanya ditetapkan berdasarkan

mekanisme pasar dengan memperhitungkan harga kompetitor,

sedangkan harga obat generik lebih didasarkan pada biaya kalkulasi

nyata (Yunarto N., 2010).

3. Harga obat dengan nama dagang biasanya mengikuti harga inovator

dari obat yang sama, sedang obat generik di Indonesia ditetapkan oleh

pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Yunarto N., 2010).

Di Indonesia, pembuatan obat generik maupun obat bermerek oleh Badan

Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) diatur dalam Pedoman Cara Pembuatan

Obat yang Baik (CPOB). Persyaratan registrasi obat sangat ketat, BPOM baru

akan menyetujui obat generik mendapatkan nomor registrasi dan beredar jika

sudah memenuhi syarat seperti: produsen memiliki sertifikat CPOB dari BPOM,

obat tersebut sudah tervalidasi baik proses, maupun analisanya, serta mesin dan

peralatan yang digunakan untuk produksi dan analisa sudah terkualifikasi. Selain

itu produk obat juga harus memenuhi seluruh standar yang digunakan dalam

identitas, kekuatan, kualitas dan kemuraian (Yunarto N., 2010).

Contoh obat generik antara lain Paracetamol, Diazepam, Dekstrometorfan,

Difenhidramin, Chlorpheniramin maleat, Amoksisilin, Eritrnomisin, dan lain -

lain. Sedangkan contoh obat generik bermerek antara lain Amoxsan (amoksisilin),

Voltadex (Natrium diklofenak), dll.

2.2.2 Obat Paten

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No.

HK.02.02/MENKES/068/I/2010 obat paten merupakan obat yang masih memiliki

hak paten. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001, paten diberikan

untuk jangka waktu selama 20 (dua puluh) tahun terhitung sejak tanggal

penerimaan dan jangka waktu itu tidak dapat diperpanjang. Selama masa 20 tahun

itulah, perusahan farmasi pemegang hak paten memiliki hak eksluksif di

Indonesia untuk memproduksi obat yang dimaksud.

Setelah habis masa patennya, obat yang dulunya paten dengan merk

dagangnya kemudian masuk ke dalam kelompok obat generik bermerk atau obat

(24)

UIN Syarif Hidayatullah

dipasarkan selama 20 tahun pertama tersebut tetap menjadi milik perusahaan yang

dulunya memiliki hak paten atas obat tersebut. Contoh dari obat paten antara lain

Norvasc®, Actic®, Imitrex®, Zymar® dan lain-lain.

2.3 Tablet

Tablet adalah sediaan padat, dibuat secara kempa-cetak berbentuk rata

atau cembung rangkap, umumnya bulat, mengandung satu jenis obat atau lebih

dengan atau tanpa zat tambahan. Zat tambahan yang digunakan dapat berfungsi

sebagai zat pengisi, zat pengikat, zat penghancur, dan zat pelicin (Anief, 1994).

Untuk menjaga mutu tablet tetap sama, dilakukan uji-uji sebagai berikut:

1. Uji Sifat Fisik

1.) Uji keseragaman sediaan

Keseragaman sediaan dapat ditetapkan dengan salah satu dari 2

Pengujian keseragaman kandungan dilakukan jika jumlah zat aktif

kurang dari 50 mg per tablet atau kurang dari 50% dari bobot satuan

sediaan (Siregar, 2008).

2.) Uji Keseragaman Ukuran

Diameter tablet tidak lebih dari 3X dan tidak kurang dari 1⅓ tebal

tablet (Anonim, 1979).Alat yang digunakan adalah jangka sorong. Sebuah

tablet diletakkan pada ujung alat dengan posisi horizontal, digerakkan

jangka sorongnya hingga menyentuh tablet, kemudian diameter tablet

dibaca pada skala.

3.) Uji kekerasan tablet

Pada umumnya tablet harus cukup keras dan tahan pecah waktu

dikemas, dikirim dan waktu penyimpanan tetapi tablet juga harus cukup

(25)

UIN Syarif Hidayatullah

dapat dipatahkan dengan jari bila tablet perlu dibagi dalam pemakaiannya.

Tablet diukur kekuatannya dalam kg, pound atau dalam satuan lainnya. Alat

yang digunakan sebagai pengukur kekerasan tablet biasanya adalah

hardness tester (Ansel, 1989).

4.) Uji keregasan tablet

Keregasan tablet dapat ditentukan dengan menggunakan alat

friabilator. Pengujian dilakukan pada kecepatan 25 rpm, tablet dijatuhkan

sejauh 6 inci pada setiap putaran, dijalankan sebanyak 100 putaran. Tablet

ditimbang sebelum dan sesudah diputar, kehilangan berat yang dibenarkan

yaitu lebih kecil dari 0,5% sampai 1% (Lachman, dkk, 1994).

5.) Uji Waktu hancur

Waktu hancur adalah waktu yang dibutuhkan tablet pecah menjadi

partikel-partikel kecil atau granul sebelum larut dan diabsorbsi. Peralatan uji

waktu hancur terdiri dari rak keranjang yang mempunyai 6 tabung yang

terletak vertikal di atas ayakan mesh nomor 10. Selama percobaan, tablet

diletakkan pada tiap lubang keranjang, kemudian keranjang tersebut

bergerak naik turun dalam larutan transparan(Ansel H.C., 1989).

Masing-masing sediaan tablet mempunyai prosedur uji waktu hancur dan

persyaratan tertentu. Uji waktu hancur tidak dilakukan jika pada etiket

dinyatakan tablet kunyah, tablet isap, tablet dengan pelepasan zat aktif

bertahap dalam jangka waktu tertentu (Siregar, 2008).

2. Uji penetapan kadar zat berkhasiat

Uji penetapan kadar zat berkhasiat dilakukan untuk mengetahui

apakah tablet tersebut memenuhi syarat sesuai dengan etiket. Bila kadar obat

tersebut tidak memenuhi syarat maka obat tersebut tidak memiliki efek terapi

yang baik dan tidak layak dikonsumsi. Uji penetapan kadar dilakukan dengan

menggunakan cara-cara yang sesuai pada masing-masing monografi antara

lain di Farmakope Indonesia (Dirjen POM, 1995).

3. Uji disolusi

Obat yang telah memenuhi persyaratan kekerasan, waktu hancur,

keregasan, keseragaman bobot, dan penetapan kadar, belum dapat menjamin

(26)

UIN Syarif Hidayatullah

dilakukan pada setiap produksi tablet. Disolusi adalah proses pemindahan

molekul obat dari bentuk padat kedalam larutan pada suatu medium (Dirjen

POM, 1995).

2.4 Penetapan Kadar Tablet

Penetapan kadar zat aktif bertujuan untuk mengetahui apakah kadar zat

aktif yang terkandung di dalam suatu sediaan sesuai dengan yang tertera pada

etiket dan memenuhi syarat seperti yang tertera pada masing-masing monografi.

Bila zat aktif obat tidak memenuhi syarat maka obat tersebut tidak akan

memberikan efek terapi dan juga tidak layak untuk dikonsumsi.

Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) paling sering digunakan untuk

menetapkan kadar senyawa-senyawa tertentu seperti asam amino,

asam-asam nukleat, dan protein-protein dalam cairan fisiologis; menentukan kadar

senyawa-senyawa aktif obat, produk hasil samping proses sintesis, atau

produk-produk degradasi dalam sediaan farmasi; memonitor sampel-sampel yang berasal

dari lingkungan; memurnikan senyawa dalam suatu campuran; memisahkan

polimer dan menentukan distribusi berat molekulnya dalam suatu campuran;

kontrol kualitas; dan mengikuti jalannya reaksi sintetis.

Dalam penetapan kadar zat aktif untuk glimepirid dapat dilakukan dengan

berbagai macam metode, antara lain:

1. Farmakope Indonesia edisi V (2014)

Metode penetapan kadar untuk tablet glimepirid dilakukan dengan

cara kromatografi cair kinerja tinggi. Dengan menggunakan fasa gerak

natrium fosfat monobasa P yang dilarutkan dalam air dan kemudian diatur

pH nya hingga 2,1-2,7 dengan penambahan asam fosfat 10%, serta

penambahan 500 ml asetonitril P. Pengencer dibuat dengan

mencampurkan asetonitril P-air (9:1). Larutan standar: sejumlah glimepirid

dilarutkan dalam pengencer hingga kadar lebih kurang 0,1 mg/ml. Larutan

uji: 5 tablet dimasukkan ke dalam labu ukur yang sesuai untuk

memperoleh kadar 0,1 mg/ml, berdasarkan jumlah yang tertera pada etiket.

Tambahkan air lebih kurang 10 % dari volume labu, kocok hingga semua

tablet larut. Tambahkan asetonitril P lebih kurang 70% volume labu dan

(27)

UIN Syarif Hidayatullah

menit, dengan sesekali dikocok. Biarkan hingga suhu ruang, tambahkan

asetonitril P sampai tanda dan saring. Sistem KCKT yang digunakan pada

metode ini dilengkapi dengan detector 228 nm dan kolom 4 mm x 12,5 cm

berisi bahan pengisi L1. Laju alir lebih kurang 1 ml/menit.

2. Kumar et al (2015) dalam Journal of Chemical and Pharmaceutical Research

Metode penetapan kadar untuk tablet gilmepirid dilakukan dengan

cara kromatografi cair kinerja tinggi. Fasa gerak yang digunakan

merupakan dapar fosfat 25% (7,0 g kalium dihidrogen orto-fosfat

dimasukkan ke dalam labu ukur 1000 ml, dilarutkan dengan air. Adjust

dengan asam fosfat hingga pH 3.0) dan metanol (Grade HPLC) 75%. Fasa

gerak juga dapat digunakan sebagai pengencer. Larutan standar: 10 mg

glimepirid dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml, ditambahkan 70 ml

pengencer dan sonikasi. Tambahkan dengan pengencer yang sama hingga

garis tanda. Dari larutan tersebut dipipet 1,0 ml dan dimasukkan ke dalam

labu ukur 10 ml, ditambahkan dengan pengencer hingga garis tanda untuk

mendapatkan konsentrasi akhir. Larutan uji: 10 mg glimepirid

dimasukkan ke dalam labu ukur 10 ml, ditambahkan 7 ml pengencer dan

sonikasi. Tambahkan dengan pengencer yang sama hingga garis

tanda.pipet 1,0 ml dari larutan dan masukkan ke dalam labu ukur 10 ml,

tambahkan dengan pengencer hingga garis tanda untuk mendapatkan

konsentrasi akhir. Sistem kromatografi yang digunakan dilengkapi dengan

detektor 254nm dan kolom 4,6 x 150 mm; 5 µm. Laju alir lebih kurang 1

mL per menit. Volume injeksi 20 µl.

2.5 Disolusi

Kadar obat dalam darah pada sediaan peroral dipengaruhi oleh proses

absorpsi dan kadar obat dalam darah ini menentukan efek sistemiknya. Obat

dalam bentuk sediaan padat mengalami berbagai tahap pelepasan dari bentuk

sediaan sebelum diabsorpsi. Tahapan tersebut meliputi disintegrasi, deagregasi

dan disolusi. Efektivitas dari suatu tablet dalam melepas obatnya untuk absorpsi

sistemik agaknya bergantung pada laju disintegrasi dari bentuk sediaan dan

(28)

UIN Syarif Hidayatullah

laju disolusi dari obat padat tersebut. Seringkali disolusi merupakan tahapan yang

membatasi atau tahap yang mengontrol laju bioabsorpsi obat-obat yang

mempunyai kelarutan rendah, karena tahapan ini seringkali merupakan tahapan

yang paling lambat dari berbagai tahapan yang ada dalam penglepasan obat dari

bentuk sediaannya dan perjalanannya ke dalam sirkulasi sistemik (Martin, 2008).

Proses disolusi merupakan langkah penentu dari proses absorbsi, maka

faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan disolusi akan mempengaruhi

kecepatan absorbsi bahan obatnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan

disolusi tersebut adalah :

1. Sifat-sifat fisika kimia obat

Sifat-sifat fisika kimia yang mempengaruhi laju disolusi meliputi :

kelarutan, betuk kristal, dan kompleksasi serta ukuran partikel (Shargel

dan Yu, 1999).

2. Faktor formulasi sediaan

Berkaitan dengan bentuk sediaan, bahan pembantu dan pengolahan

(processing). Pengaruh bentuk sediaan pada laju disolusi tergantung pada

kecepatan pelepasan zat aktif yang terkandung di dalamnya (Shargel dan

Yu, 1993).

3. Faktor alat uji disolusi dan parameter disolusi

Dapat meliputi : wadah, suhu, media pelarutan dan alat disolusi yang

digunakan, dan faktor-faktor lain seperti bentuk sediaan, lama

penyimpanan dan kondisi penyimpanan produk (Shargel dan Yu, 1993).

Ada 2 macam alat yang digunakan untuk uji disolusi yaitu jenis alat uji

disolusi dengan pengaduk berbentuk keranjang dan pengaduk berbentuk dayung.

a. Pengaduk Bentuk Keranjang

Alat ini terdiri dari sebuah wadah bertutup yang terbuat dari kaca atau

bahan transparan lain yang inert, suatu motor, suatu batang logam yang

digerakkan oleh motor dan keranjang berbentuk silinder. Sebagian wadah

tercelup di dalam suatu tangas air yang berukuran sedemikian sehingga

(29)

UIN Syarif Hidayatullah

pengujian berlangsung dan menjaga agar gerakan air dalam tangas air

halus dan tetap (Dirjen POM, 1995).

Gambar 2.2 Pengaduk Tipe 1 (Bentuk Keranjang)

b. Pengaduk Bentuk Dayung

Alat ini sama seperti alat pertama, bedanya pada alat ini digunakan dayung

yang terdiri dari daun dan batang sebagai pengaduk. Sejumlah volume

media disolusi seperti yang tertera dalam masing-masing monografi

dimasukkan ke dalam wadah, pasang alat, biarkan media disolusi hingga

suhu 37oC ± 0,5o, dan angkat termometer. Masukkan 1 tablet atau 1 kapsul

ke dalam alat, hilangkan gelembung udara dari permukaan sediaan yang

diuji dan alat dijalankan pada laju kecepatan sesuai dengan yang tertera

pada masing-masing monografi. Dalam interval waktu yang ditetapkan

atau pada tiap waktu yang dinyatakan, cuplikan yang diambil adalah

(30)

UIN Syarif Hidayatullah

disolusi dan bagian atas dari keranjang berputar atau daun dari alat

dayung.

Gambar 2.3 Pengaduk Tipe 2 (Bentuk Dayung)

Kecuali dinyatakan lain dalam masing-masing monografi, persyaratan

dipenuhi bila jumlah zat aktif yang terlarut dari sediaan yang diuji sesuai dengan

tabel penerimaan. Pengujian dilanjutkan sampai tiga tahap kecuali bila hasil

pengujian memenuhi tahap S1 atau S2. Harga Q adalah jumlah zat aktif yang

terlarut seperti yang tertera dalam masing-masing monografi, dinyatakan dalam

persentase kadar pada etiket, angka 5% dan 15% dalam tabel adalah persentase

kadar pada etiket, dengan demikian mempunyai arti yang sama dengan Q (Dirjen

(31)

UIN Syarif Hidayatullah

Tabel 2.1. Kriteria Penerimaan Hasil Uji Disolusi Tahap Jumlah

lebih besar dari Q, tidak lebih dari 2 unit sediaan yang lebih

kecil dari Q-15% dan tidak satu unit pun yang lebih kecil

Pada metode ini digunakan medium dapar fosfat dengan pH

7.8 (0.58 g Kalium fosfat and 8.86 g Natrium fosfat anhidrat dalam

1000 ml aquadest, adjust dengan 10% asam fosfat atau 1 N NaOH

hingga pH 7,8. Tipe pengaduk 2 (bentuk dayung) dengan kecepatan

75 rpm selama 15 menit. Fasa gerak: 0.5 g Natrium fosfat anhidrat

dilarutkan dalam 500 ml aquadest. Adjust dengan 10% asam fosfat

hingga pH 2,1-2,7. Tambahkan 500 ml asetonitril. Larutan

pengencer: metanol dan air (1:1). Larutan standar di preparasi

dengan campuran asetonitril : air (90:10) dengan kosentrasi 0,125

mg/ml, diambil 4,0 ml dari larutan dan dimasukkan ke dalam labu

ukur 200 ml, encerkan dengan medium dan aduk, diambil 15 ml

dari larutan dan dimasukkan ke dalam labu ukur 50 ml, encerkan

dengan larutan pengencer hingga garis tanda dan aduk. Sehingga

(32)

UIN Syarif Hidayatullah

Larutan sampel: diambil sekitar 10 ml larutan uji dan dipindahkan

ke tabung sentrifuge. Sentrifuge selama 5 menit pada 2500 rpm.

Dipipet 3,0 ml dari supernatan dan dimasukkan ke dalam labu ukur

10 ml, encerkan dengan larutan pengencer hingga garis tanda, dan

aduk. Sistem kromatografi yang digunakan dilengkapi dengan

detektor UV 228 nm. Kolom: 4.0-mm × 12.5-cm; L1. Laju alir 1,0

ml/menit. Volume injeksi 50 µ L.

b. Metode 2

Jika produk sesuai dengan tes ini, pada pelabelannya menunjukkan

bahwa memenuhi disolusi USP metode 2. Medium: pH 7,8 dapar

fosfat (tambahkan 250 mL 0,2 M Kalium fosfat ke dalam 223 ml

0,2 M NaOH, encerkan dengan aquadest hingga 1 L, adjust dengan

0,2 M NaOH atau asam fosfat hingga pH 7,8 ; 900 ml. Tipe

pengaduk 2 dengan kecepatan 75 rpm selama 45 menit. Dapar pH

5,3: 4,0 g/L amonium asetat dalam aquadest, adjust dengan asam

asetat hingga pH mencapai 5,3. Fase gerak: asetonitril dan dapar

pH 5,3 (1:1). Pengencer: metanol dan asetonitril (1:1). Larutan

induk standar: 0,22 mg/ml glimepirid dalam pengencer. Larutan

standar: (L/1000) mg/ml dalam medium, dari larutan induk standar.

Dimana L adalah berat (mg) tablet dalam label. Dari larutan uji

diambil beberapa ml larutan kemudian disaring dengan penyaring

yang cocok. Sistem kromatografi yang digunakan dilengkapi

dengan detektor UV 225 nm. Kolom: 4.6-mm × 10-cm; 5- µm; L1.

Laju alir 1,3 ml/menit. Volume injeksi 100 µL.

2. Induri M., et al dalam Journal of Chemistry

Dalam jurnal ini uji disolusi dilakukan dengan menggunakan medium 900

ml dapar fosfat pH 7,8. Tipe pengaduk 2 dengan kecepatan 75 rpm selama 30

menit. Larutan induk standar: 10,0 mg standar dimasukkan ke dalam labu ukur

100 ml, sejumlah 30 ml NaOH ditambahkan kedalam labu dan sonikasi.

Tambahkan metanol hingga garis tanda. Larutan sampel: Dari larutan uji diambil

(33)

UIN Syarif Hidayatullah

diamati di spektrofotometri UV-VIS yang diukur pada panjang gelombang 225

nm.

2.6 Spektorfotometri Ultraviolet

Spekrofotometer sesuai dengan namanya adalah alat yang terdiri dari

spektrometer dan fotometer. Spektrometer menghasilkan sinar spektrum dengan

panjang gelombang tertentu dan fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya

yang ditransmisikan atau yang diabsorpsi. Jadi, spektrofotometer digunakan untuk

mengukur energi secara relatif jika energi tersebut ditransmisikan, direfleksikan,

atau diemisikan sebagai fungsi panjang gelombang (Khopkar, 2008). Bila cahaya

(monokromatik maupun campuran) jatuh pada suatu medium homogen, sebagian

dari sinar masuk akan dipantulkan sebagian diserafp dalam medium itu, dan

sisanya diteruskan (Basset, dkk., 1994).

Spektrofotometri dapat dianggap sebagai perluasan suatu pemeriksaan

visual, yang dengan studi lebih mendalam dari absorpsi energi radiasi oleh

macam-macam zat kimia sehingga dilakukannya pengukuran ciri-ciri serta

kuantitatifnya dengan ketelitian yang lebih besar (Day dan Underwood, 1983).

Dalam aspek kuantitatif, suatu berkas radiasi dikenakan pada cuplikan (larutan

sampel) dan intensitas sinar radiasi yang diteruskan diukur besarnya. Radiasi yang

diserap oleh cuplikan ditentukan dengan membandingkan intensitas sinar yang

diteruskan dengan intensitas sinar yang diserap jika tidak ada spesies penyerap

lainnya (Sudjaji dan Rohman, 2007).

Pengukuran serapan cahaya oleh larutan molekul diatur dengan hukum

Lambert- Beer, yang ditulis sebagai berikut:

Log I0/It = A = ε bc

Dengan I0 adalah intensitas radiasi yang masuk, It adalah intensitas radiasi

yang ditransmisikan, A dikenal sebagai absorbans dan merupakan ukuran jumlah cahaya yang diserap oleh sampel, ε adalah tetapan yang dikenal sebagai koefisien ekstingsi molar dan merupakan absorbans larutan 1 M analit tersebut, b adalah

panjang jalur sel dalam cm, biasanya 1 cm, dan c adalah konsentrasi analit dalam

(34)

UIN Syarif Hidayatullah

Dalam produk farmasi, konsentrasi dan jumlah biasanya dinyatakan dalam

gram atau miligram dan bukan dalam mol sehingga untuk keperluan analisis

produk ini, hukum Lambert-Beer ditulis dalam bentuk berikut ini:

A = A (1%, 1cm) bc

A adalah absorbans yang diukur, A (1%, 1cm) adalah absorbans larutan

1% b/v (g/100 ml) dalam satu sel berukuran 1 cm, b adalah panjang jalur dalam

cm, dan c adalah konsentrasi sampel dalam g/100 ml. Karena pengukuran

biasanya dibuat dalam sel berukuran 1 cm (Watson, 2010).

2.7 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)

Kromatografi cair kinerja tinggi atau KCKT atau sering disebut dengan

HPLC (High Performance Liuid Chromatography) dikembangkan pada akhir

tahun 1960-an dan pada awal tahun 1970-an. Saat ini, KCKT merupakan teknik

pemisahan yang diterima secara luas dan paling cepat berkembang untuk analisis

dan pemurnian senyawa tertentu dalam suatu sampel.

Kegunaan umum KCKT adalah untuk: pemisahan sejumlah senyawa

organik, anorganik, maupun senyawa biologis; analisis ketidakmurnian

(impurities); analisis senyawa-senyawa tidak mudah menguap (non-volatil);

penentuan molekul-molekul netral, ionik, maupun zwitter ion; isolasi dan

pemurnian senyawa; pemisahan senyawa-senyawa yang strukturnya hampir sama;

pemisahan senyawa-senyawa dalam jumlah sekelumit (trace elements), dalam

jumlah banyak dan dalam skala proses industri. KCKT merupakan metode yang

tidak destruktif dan dapat digunakan baik untuk analisis kualitatif maupun

kuantitatif (Gandjar & Rohman, 2007 ; Harmita, 2006).

2.7.1 Cara Kerja KCKT

Kromatografi merupakan teknik dimana solut atau zat-zat terlarut terpisah

oleh perbedaan kecepatan elusi, dikarenakan solut-solut ini melewati suatu kolom

kromatografi. Pemisahan solut-solut ini diatur oleh distribusi solut dalam fase

gerak dan fase diam. Penggunaan kromatografi cair secara sukses terhadap suatu

masalah yang dihadapi membutuhkan penggabungan secara tepat dari berbagai

macam kondisi operasional seperti jenis kolom, fase gerak, panjang dan diameter

(35)

UIN Syarif Hidayatullah

Pada dasarnya, instrumentasi KCKT terdiri atas delapan komponen pokok,

yaitu: wadah fase gerak, sistem penghantaran fase gerak, alat untuk memasukkan

sampel, kolom, detektor, wadah penampung buangan fase gerak, tabung

penghubung, dan suatu komputer atau integrator atau perekam (Gandjar &

Rohman, 2007).

2.7.2 Komponen KCKT 2.7.2.1 Pompa

Pompa atau sistem penghantaran fase gerak pada KCKT bertujuan untuk

menjamin berlangsungnya proses penghantaran fase gerak secara tepat,

reprodusibel, konstan dan bebas dari gangguan. Pompa yang digunakan untuk

KCKT harus memenuhi syarat sebagaimana syarat wadah pelarut, yaitu pompa

harus inert terhadap fase gerak. Bahan pompa ang digunakan harus terbuat dari

bahan yang tahan terhadap eluen, seperti gelas, baja tahan karat, teflon dan batu

nilam (Gandjar & Rohman, 2007).

2.7.2.2 Injektor

Cuplikan harus dimasukkan ke dalam pangkal kolom (kepala kolom)

dengan cara diinjeksikan secara langsung ke dalam fase gerak yang mengalir

dibawah tekanan tertentu menuju kolom dengan menggunakan suntikkan yang

terbuat dari bahan tembaga tahan karat dan katup teflon yang dilengkapi dengan

keluk sampel (sample loop) internal dan eksternal. Diusahakan agar sesedikit

mungkin terjadi gangguan pada kemasan kolom (Gandjar & Rohman, 2007 :

Johnson & Stevenson, 1991).

2.7.2.3Kolom

Kolom merupakan jantung kromatograf yang berfungsi untuk memisahkan

masing-masing komponen. Untuk menahan tekanan tinggi, kolom dibuat dari

bahan yang kokoh seperti stainless steel atau campuran logam dengan gelas

(36)

UIN Syarif Hidayatullah

2.7.2.4 Detektor

Detektor berfungsi untuk mendeteksi atau mengidentifikasi adanya

komponen cuplikan yang ada dalam eluat dan mengukur jumlahnya. Detektor

pada KCKT dikelompokkan menjadi 2 golongan yaitu: detektor universal

(mampu mendeteksi zat secara umum, tidak bersifat spesifik dan selektif) seperti

detektor indeks bias dan detektor spektrometri massa; dan golongan detektor

spesifik yang hanya akan mendeteksi analit secara spesifik dan selektif, seperti

UV-Vis, detektor fluoresensi dan elektrokimia (Gandjar & Rohman, 2007 :

Harmita, 2006).

2.7.2.5 Wadah Fase Gerak

Wadah fase gerak harus bersih dan lembam (inert). Adah pelarut kosong

ataupun labu laboratorium dapat digunakan sebagai wadah fase gerak. Wadah ini

biasanya dapat menampung fase gerak antara 1 sampai 2 liter pelarut. Sebelum

digunakan, fase gerak ini harus dilakukan degassing (penghilangan gas), karena

adanya gas pada fase gerak akan berkumpul dengan komponen lain terutama di

pompa dan detektor sehingga akan mengacaukan analisis. Sedangkan adanya

partikel yang kecil dapat terkumpul dalam kolom atau dalam tabung yang sempit,

sehingga dapat mengakibatkan suatu kekosongan pada kolom atau tabung

tersebut. Oleh karena itu, fase gerak sebelum digunakan harus dsaring terlebih

dahulu untuk menghindari partikel-partikel kecil tersebut (Gandjar & Rohman,

2007).

2.7.2.6 Fase Gerak

Fase gerak merupakan suatu peubah yang dapat mempengaruhi proses

pemisahan dalam sistem KCKT. Fase gerak atau eluen biasanya terdiri atas

campuran pelarut yang dapat bercampur yang secara keseluruhan berperan dalam

daya elusi dan resolusi. Daya elusi dan resolusi ini ditentukan oleh polaritas

keseluruhan pelarut, polaritas fase diam, dan sifat komponen-komponen sampel.

Untuk fase normal (fase diam lebih polar daripada fase gerak), kemampuan elusi

meningkat dengan meningkatnya polaritas pelarut. Sementara untuk fase terbalik

(37)

UIN Syarif Hidayatullah

meningkatnya polaritas pelarut (Gandjar & Rohman, 2007 : Johnson & Stevenson,

1991).

Fase gerak yang paling sering digunakan untuk pemisahan dengan fase

terbalik adalah campuran larutan bufer dengan metanol atau campuran air dengan

asetonitril. Untuk pemisahan dengan fase normal, fase gerak yang paling sering

digunakan adalah campuran pelarut-pelarut hidrokarbon dengan pelarut yang

terklorisasi atau menggunakan pelarut-pelarut jenis alkohol. Pemisahan dengan

fase normal ini kurang umum dibanding dengan fase terbalik (Gandjar &

Rohman, 2007).

2.8 Metode Validasi

Validasi metode analisis menurut United States Pharmacopeia (USP)

dilakukan untuk menjamin bahwa metode analisis yang dilakukan akurat, spesifik,

reprodusibel dan tahan pada kisaran analit yang akan dianalisis.

2.8.1 Akurasi

Akurasi adalah kedekatan hasil penetapan yang diperoleh dengan hasil

sebenarnya. Akurasi dinyatakan sebagai hasil perolehan kembali dari analit yang

ditambahkan. Untuk pengujian senyawa obat, akurasi diperoleh dengan

membandingkan hasil rujukan dengan bahan rujukan standar. Syarat akurasi yang

baik yaitu 98-102%.

% ℎ � = ℎ � � ���ℎ � � %

(Harmita, 2006 : Johnson&Stevenson, 1991).

2.8.2 Linearitas

Linearitas adalah kemampuan metode analisis yang memberikan respon

yang secara langsung atau dengan bantuan transportasi matematik yang baik,

proporsional terhadap konsentrasi analit dalam sampel. Rentang metode adalah

pernyataan batas terendah dan tertinggi analit yang sudah ditunjukkan dapat

ditetapkan dengan kecermatan, keseksamaan dan linearitas yang dapat diterima.

Dalam prakteknya, digunakan satu seri larutan yang berbeda

(38)

UIN Syarif Hidayatullah

sering ditemukan rentang konsentrasi yang digunakan antara 0-200%, jumlah

sampel yang dianalisis sekurang-kurangnya delapan buah sampel.

� =�

Sxo : Standar deviasi dari fungsi

Parameter lain yang harus dihitung adalah simpangan baku residual (Sy)

� = √ Σ � − �

Dimana Y1 : a+bx

(39)

23

UIN Syarif Hidayatullah

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Penelitian II dan laboratorium

Formulasi Sediaan Padat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada bulan Januari – Juni 2016.

3.2 Alat dan Bahan 3.3.1 Alat

Alat-alat yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah Dissolution Tester

(ERWEKA), Spektrofotometer Ultraviolet (HITACHI U-2910), High

Performance Liquid Chomatoghraphy (Dionex), membran filter, sonicator

(Elmasonic), Stopwatch, Neraca analitik (KERN ACJ/AC5), pH meter (HORIBA),

mikro pipet, alat-alat gelas dan alat laboratorium lainnya.

3.3.2 Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metanol (grade

HPLC), aquadest, aquabidest, asam fosfat, potassium dihydrogen ortho

phosphate, Dibasic sodium phosphate anhidrat, sodium dihydrogen phosphate

dihydrate (grade analisis), standar glimepirid, tablet glimepirid generik (Dexa

Medica), Amaryl (Aventis), Amadiab (LAPI) dan Metrix (Kalbe Farma).

3.3 Prosedur Penelitian

3.3.1 Teknik Pengambilan Sampel

Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah

purposive sampling. Teknik purposive sampling merupakan cara pengambilan

sampel sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu penarikan sampel yang didasari

pada keperluan penelitian (Sugiyono, 2012). Sampel yang digunakan untuk

penelitian sebanyak 4 sampel, di mana terdapat 1 generik dan 3 generik bermerek.

Sampel diperoleh dari beberapa apotek di Jakarta Timur, di mana dipilih

(40)

UIN Syarif Hidayatullah

tahun kadaluarsa yang sama yaitu tahun 2017. Tempat pengambilan sampel

dipilih sesedikit mungkin atas alasan meminimalkan perbedaan faktor kesalahan

luar yang dapat menurunkan mutu obat begitu pula dengan pemilihan tahun

kadaluwarsa yang sama.

Sampel yang digunakan adalah tablet glimepirid generik dan tablet

glimepirid generik bermerk dengan tahun kadaluarsa yang sama yang diambil dari

apotek di Jakarta Timur. Sampel yang digunakan yaitu tablet glimepirid generik

yang diproduksi oleh Dexa Medica, sedangkan untuk tablet glimepirid generik

bermerek yaitu Amaryl yang diproduksi oleh Sanovi Aventis, Metrix yang

diproduksi oleh Kalbe Farma dan Amadiab yang diproduksi oleh LAPI. Berikut

adalah tablet glimepirid yang beredar dipasaran:

Tabel 3.1 Tablet Glimepirid Generik Bermerek yang Beredar di Pasaran

(41)

UIN Syarif Hidayatullah

Tabel 3.2 Tablet Glimepirid Generik yang Beredar di Pasaran

No. Nama Pabrik

1. Glimepirid Hexapharm jaya

2. Glimepirid Kimia farma

3. Glimepirid Dexa Medica

Menurut Gay, jumlah sampel minimal yang dapat diterima yaitu 10% dari

populasi, namun untuk populasi yang sangat kecil diperlukan minimal 20% dari

populasi (Husein, 2005). Berikut adalah perhitungan jumlah sampel yang

digunakan terdapat dari nelitian:

Generik = 3 x = 0,6 atau = 1 sampel generik

Generik Bermerek = 17 x = 3,4 atau = 3 sampel generik bermerek

Pemilihan sampel generik (1 dari 3) atau generik bermerek (3 dari 17) ini

dipilih berdasarkan pertimbangan kelengkapan tersedianya tablet glimepirid 2 mg

yang beredar di beberapa apotek di Jakarta Timur dengan kecocokkan tahun

kadaluarsa yang sama atau mendekati sama satu sama lain.

3.3.2 Sifat Fisik 3.3.2.1Uji Organoleptis

Tablet diamati secara visual meliputi : warna (homogenitas), bentuk

(bundar, permukaan rata/cembung), cetakan (garis patah, tanda, logo, pabrik), dll.

3.3.2.2Uji Kekerasan

Uji kekerasan dilakukan dengan mengambil masing-masing 10 tablet dari

tiap sampel, yang diukur dengan memberi tekanan terhadap diameter tablet. Alat

yang biasa digunakan adalah hardness tester. Alat ini diharapkan dapat mengukur

berat yang diperlukan untuk memecahkan tablet. Persyaratan kekerasan tablet

umumnya berkisar 4-8 kg, bobot tersebut dianggap sebagai batas minimum untuk

(42)

UIN Syarif Hidayatullah

3.3.2.3 Keseragaman Kandungan

Dilakukan penetapan keseragaman sediaan yaitu keseragaman kandungan,

dengan cara ditimbang 10 sediaan satu per satu dan dihitung rata-ratanya,

kemudian ditetapkan kadar zat aktifnya dari masing-masing sediaan sesuai dengan

metode penetapan kadar. Kecuali dikatakan lain dalam masing-masing monografi

persyaratan keseragaman kandungan dipenuhi jika kadar zat aktif antara 85,0% -

115,0% dari yang tertera pada etiket dan simpangan baku relatifnya kurang dari

atau sama dengan 6,0% (Dirjen POM, 1995).

3.3.3 Penetapan Kadar

3.3.3.1Pembuatan Dapar Fosfat

Ditimbang seksama sejumlah 7,0 gram potassium dihydrogen ortho

phosphate, dimasukkan ke dalam labu ukur 1000 ml. Dilarutkan dengan aquadest

hingga garis tanda. Adjust pH akhir pada buffer hingga mencapai 3,0

menggunakan asam fosfat (Kumar et al., 2015).

3.3.3.2 Pembuatan Fase Gerak

Fase gerak dipreparasi dengan campuran 250 ml (25%) buffer dan 750 ml

(75%) metanol (grade HPLC) kemudian dihilangkan gelembungnya dengan

sonicator selama 10 menit. Kemudian larutan disaring menggunakan membran

filter 0,45 µ. Fase gerak dapat digunakan juga sebagai pelarut (Kumar et al.,

2015).

3.3.3.3 Pembuatan Larutan Induk Glimepirid

Ditimbang saksama sejumlah 50,0 mg standar glimepirid, dimasukkan ke

dalam labu ukur 100 ml. Ditambahkan pelarut fase gerak ke dalam labu hingga

garis tanda dan sonikasi (Kumar et al., 2015).

3.3.3.4 Penentuan Panjang Gelombang

Dibuat larutan standar glimepirid dengan konsentrasi 3 µg/mL, kemudian

dilakukan pemindaian dengan spektrofotometri UV-VIS pada panjang gelombang

(43)

UIN Syarif Hidayatullah

3.3.3.5 Verifikasi Metode 3.3.3.5.1 Uji Linearitas

Dibuat larutan standar glimepirid dengan konsentrasi 1, 2, 3, 4, 5 µg/mL,

kemudian masing-masing konsentrasi disuntikkan sebanyak 20 µl ke sistem

KCKT pada kondisi kolom C18 (4,6x150 mm, 5 µm), pH 3,0, laju alir 1,0

ml/menit dan panjang gelombang 254 nm. Lalu dicatat luas puncaknya yang

ditunjukkan pada kromatogram dan dibuat kurva kalibrasi serta dihitung

persamaan regresinya (y = a + bx). Dihitung koefisien korelasi (r) dari kurva

tersebut (Kumar et al., 2015).

3.3.3.5.2 Akurasi

Dibuat larutan glimepirid dengan konsentrasi 1 µg/mL, 3 µg/mL dan 5

µg/mL. Kemudian disuntikkan ke KCKT dengan volume penyuntikan 20 µl.

Dilakukan sebanyak tiga kali. Kemudian dihitung persentase akurasi (% diff) dari

masing-masing konsentrasi larutan tersebut (Kumar et al., 2015).

3.3.3.6 Penetapan Kadar

Ditimbang dan serbukkan tidak kurang dari 20 tablet. Timbang saksama

sejumlah serbuk tablet setara dengan lebih kurang 10 mg glimepirid, kemudian

dimasukkan ke dalam labu tentukur 25 ml. Pelarut fase gerak ditambahkan

kedalamnya hingga garis tanda dan sonikasi. Dipipet 125 µl dari larutan tersebut

dan dimasukkan ke dalam labu ukur 10 ml, kemudian ditambahkan pelarut hingga

garis tanda. Diinjeksikan lebih kurang 20 µl ke sistem KCKT dan dideteksi pada

panjang gelombang 254 nm dengan laju alir 1 mL/menit (Kumar et al., 2015).

3.3.4 Uji Disolusi

3.3.4.1 Pembuatan Larutan Induk

Dibuat larutan induk standar glimepirid dengan menimbang 50,0 mg

standar glimepirid, masukkan ke dalam labu ukur 25 ml, sejumlah 7,5 ml NaOH

0,1 M ditambahkan ke dalam labu dan sonikasi. Tambahkan metanol hingga garis

(44)

UIN Syarif Hidayatullah

3.3.4.2Penentuan Panjang Gelombang Maksimum

Dibuat larutan dengan konsentrasi 2 µg/mL dari larutan induk, kemudian

dideteksi dengan spektrofotometri UV-VIS pada panjang gelombang 200-400 nm.

Dicatat panjang gelombang maksimumnya (Induri M. et al., 2012).

3.3.4.3 Pembuatan Kurva Kalibrasi

Dibuat larutan dengan konsentrasi 0,5; 1; 1,5; 2; 2,5 dan 4 µg/mL dari

larutan induk. Masing-masing konsentrasi diamati absorbansinya di

spektrofotometri UV-VIS yang diukur pada panjang gelombang maksimum.

Digunakan metanol sebagai blanko (Induri M. et al., 2012).

3.3.4.4 Uji Disolusi Sampel Tablet Glimepirid yang Dijual di Apotek

Sebanyak 6 tablet glimepirid sampel dimasukkan ke dalam alat disolusi

dengan alat disolusi tipe 2 yang berisi medium dapar fosfat pH 7,8 sebanyak 900

ml pada suhu 37oC. Dengan kecepatan pengadukan 75 rpm selama 20 menit.

Pengambilan cuplikan sampel sebanyak 5 ml dilakukan pada detik ke 30, menit ke

1, 2, 3, 5, 10, 15, dan 20. Setiap pengambilan sampel diganti dengan media

disolusi dengan volume yang sama (Induri M. et al., 2012). Apabila hasil

pengujian tidak memenuhi tabel penerimaan untuk S1 yaitu tiap unit sediaan tidak

kurang dari Q+15%, maka pengujian dilanjutkan ke tahap S2 yaitu dengan

menguji kembali 6 tablet glimepirid lainnya. Rata-rata dari 12 unit tersebut

(S1+S2) adalah sama dengan atau lebih besar dari Q dan tidak satu unit pun yang

lebih kecil dari Q-15%. Apabila hasil pengujian tidak pula memenuhi tabel

penerimaan untuk S2, maka pengujian dilanjutkan sampai tahap S3. Tahap S3

dilakukan dengan menguji kembali 12 tablet glimepirid lainnya dengan rata-rata

dari 24 unit tersebut (S1+S2+S3) adalah sama dengan atau lebih besar dari Q,

tidak lebih dari 2 unit sediaan yang lebih kecil dari Q-15% dan tidak satu unit pun

(45)

29

UIN Syarif Hidayatullah

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Evaluasi Sifat Fisik Tablet Glimepirid

4.1.1 Hasil Uji Organoleptis

Pada pemeriksaan fisik berupa organoleptis tablet diamati secara visual.

Keempat sampel tablet memiliki warna, bentuk dan cetakan yang berbeda-beda.

Namun apabila dilihat dari sisi rabaan, keempat sampel tablet memiliki permukaan

yang halus tidak ada permukaan yang berlubang ataupun cacat.

Tabel 4.1 Hasil Uji Organoleptis

4.1.2 Kekerasan Tablet

Tablet yang baik harus cukup keras untuk dapat tahan, tidak pecah dan tidak

rapuh selama proses pengemasan, distribusi, penyimpanan, hingga saat digunakan.

Untuk itu, dilakukan uji kekerasan tablet. Berdasarkan literatur, kekerasan tablet

yang dianggap baik ialah minimal 4-10 Kg (Sulaiman, 2007). Uji kekerasan

dilakukan terhadap keempat sampel yang masing-masingnya menggunakan 10 tablet

uji. Pada tablet glimepirid generik bermerek B memiliki nilai kekerasan di bawah

persyaratan, yaitu 2,34 Kg. Ketiga sampel lain memiliki kekerasan rata-rata yang

berkisar antara 4,46 - 8,35 Kg, sehingga dapat dikatakan bahwa ketiganya memenuhi

persyartan uji kekerasan.

Bulat, permukaan rata Garis patah ditengah, logo pabrik (DX) &

Oval, permukaan rata Garis patah, logo pabrik (KALBE) Generik

bermerek C

Merah muda, homogen

(46)

UIN Syarif Hidayatullah

Tabel 4.2 Hasil Uji Kekerasan Tablet

Sampel Bobot rata-rata (mg)

Kekerasan (Kg)

Generik 168,55 4,46

Generik Bermerek A 171,00 7,33

Generik Bermerek B 51,12 2,34

Generik Bermerek C 170,42 8,35

Menurut Lachman dkk (1994), perbedaan kekerasan dapat terjadi karena

beberapa faktor seperti perbedaan tekanan kompresi yang diberikan atau perbedaan

massa granul yang mengisi die pada saat pencetakan tablet. Selain itu, berbedanya

nilai kekerasan juga dapat diakibatkan oleh variasi jenis dan jumlah bahan tambahan

yang digunakan pada formulasi. Bahan pengikat adalah contoh bahan tambahan yang

bisa menyebabkan meningkatnya kekerasan tablet bila digunakan terlalu banyak.

4.1.3 Keseragaman Kandungan

Hasil uji Keseragaman kandungan menunjukkan bahwa sepuluh tablet

generik, generik bermerek A, B, dan C memiliki kadar yang masuk dalam

persyaratan keseragaman kandungan yang ditetapkan oleh Farmakope Indonesia V

yaitu kadar glimepirid terletak antara 90% hingga 110% dari yang tertera pada etiket,

dan simpangan baku rekatif tidak lebih dari 6%.

Tabel 4.3 Hasil Uji Keseragaman Kandungan Tablet Glimepirid Generik dan Generik Bermerek

rata 98,67±1,73 99,88±1,92 98,90±1,60 100,83±1,90 RSD

(47)

UIN Syarif Hidayatullah

Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa hasil uji keseragaman kandungan

tablet glimepirid yang paling besar yaitu tablet glimepirid generik bermerek C

sebesar 100,83±1,90, disusul dengan tablet glimepirid generik A sebesar 99,88±1,92,

kemudian tablet glimepirid generik B sebesar 98,90±1,60 dan yang terakhir tablet

glimepirid generik sebesar 98,67±1,73. Hal ini berarti bahwa baik tablet glimepirid

generik maupun generik bermerek semuanya memenuhi persyaratan Farmakope

Indonesia edisi V.

Uji keseragaman kandungan ini dilakukan karena jumlah zat aktif tablet

glimepirid kurang dari 50 mg per tablet atau kurang dari 50% dari bobot satuan

sediaan, sehingga dapat menjamin bahwa setiap tablet mengandung jumlah zat aktif

sesuai spesifikasi dengan variasi yang kecil dalam batch. Selain itu, untuk

memastikan apabila uji disolusi memberikan hasil yang tidak semestinya hal itu

bukan dikarenakan jumlah kadar dari zat aktif yang dikandung dalam masing-masing

tablet.

4.2 Penetapan Kadar

4.2.1 Penentuan Panjang Gelombang pada Medium Fase Gerak (Metanol:Fosfat)

Penentuan panjang gelombang maksimum dalam medium fase gerak

(metanol:fosfat) terdeteksi pada panjang gelombang 254 nm. Menurut Kumar et al.,

dalam medium fase gerak (metanol:fosfat) glimepirid memberikan panjang

gelombang maksimum 254 nm. Hal ini sesuai dengan rujukan yang digunakan dalam

penelitian. Panjang gelombang maksimum dipilih karena pada panjang gelombang

tersebut zat akan memberikan respon yang maksimum, terutama apabila konsentrasi

analit yang akan dianalisis kecil konsentrasinya.

4.2.2 Kurva Kalibrasi

Kurva kalibrasi standar glimepirid dalam fase gerak metanol:dapar fosfat

(75:25) dihasilkan garis lurus dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0,9996, nilai tersebut memenuhi syarat linearitas yaitu r ≥ 0,999 (Synder, Kirkland dan Glajch, 1997). Persamaan regresi linear yang diperoleh adalah y = 0,1665x + 0,1686.

Berdasarkan persamaan y = a + bx, maka diperoleh nilai a (intercept) = 0,1686 dan

Gambar

Tabel 2.1 Kriteria Penerimaan Hasil Uji Disolusi ..........................................15 Tabel 3.1 Tablet Glimepirid Generik Bermerek yang Beredar di Pasaran .....24 Tabel 3.2 Tablet Glimepirid Generik yang Beredar di Pasaran ......................25 Tabel 4.1 Hasil Uji Organoleptis ....................................................................29 Tabel 4.2 Hasil Uji Kekerasan ........................................................................30 Tabel 4.3 Hasil Uji Keseragaman Kandungan ................................................30 Tabel 4.4 Hasil Uji Akurasi ............................................................................32 Tabel 4.5 Hasil Penetapan Kadar ....................................................................33 Tabel 4.6 Hasil Uji Disolusi Tablet.................................................................35 Tabel 4.6 Hasil Uji Analisa Statistik ...............................................................37
Gambar 4.1 Profil Disolusi Tablet Glimepirid ................................................35
tablet glimepirid generik dan generik bermerek?
Gambar 2.1 Struktur Glimepirid
+7

Referensi

Dokumen terkait

PENETAPAN KADAR AMOKSISILIN DALAM TABLET SECARA KCKT (KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI)..

Dalam penelitian ini dilakukan penetapan kadar kaptopril secara kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) metode fase balik menggunakan kolom VP-ODS (4,6 mm x 25 mm), fase gerak

1) Produk obat yang tidak memerlukan studi in vivo. 2) Produk obat “copy” yang hanya berbeda kekuatan uji disolusi terbanding dapat diterima untuk kekuatan yang lebih

Telah dilakukan penetapan kadar zat aktif pada tablet parasetamol 500 mg dengan metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) dengan menggunakan detektor UV-Vis dengan

Penelitian ini dilakukan menggunakan alat Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT), yaitu s istem kromatografi yang terdiri dari kolom Acclaim ® (C18)

Penetapan kadar levofloksasin dalam tablet dilakukan dengan metode kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) menggunakan kolom VP-ODS (250 x 4,6 mm) (Shimadzu) dengan perbandingan

Penyusunan Karya Tulis Ilmiah yang berjudul “Uji Perbandingan Mutu Fisik Tablet Allopurinol 100 mg Generik dan Generik Bermerek” ini merupakan salah satu syarat

Disolusi suatu kapsul atau tablet adalah jumlah atau kadar dalam persen zat berkhasiat dari sediaan padat yang terlarut pada suatu waktu ter- tentu dalam kondisi