• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV RELEVANSI II KORINTUS 5: 18-21 BAGI PEMBERITAAN MENGENAI YESUS KRISTUS DALAM KONTEKS KEBERAGAMAN AGAMA DI INDONESIA Pada bagian-bagian sebelumnya, Penulis telah membahas bagaimana Rasul Paulus

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "BAB IV RELEVANSI II KORINTUS 5: 18-21 BAGI PEMBERITAAN MENGENAI YESUS KRISTUS DALAM KONTEKS KEBERAGAMAN AGAMA DI INDONESIA Pada bagian-bagian sebelumnya, Penulis telah membahas bagaimana Rasul Paulus"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

59

BAB IV

RELEVANSI II KORINTUS 5: 18-21 BAGI PEMBERITAAN MENGENAI YESUS

KRISTUS DALAM KONTEKS KEBERAGAMAN AGAMA DI INDONESIA

(2)

60

I. Gambaran Umum Pluralisme Agama di Indonesia

Pluralitas keagamaan adalah sebuah realita dalam kehidupan masyarakat Indonesia dengan berbagai dimensinya. Secara umum, hal ini tampak pada adanya keberagaman agama di Indonesia, bahkan termasuk keberagaman paham atau ajaran secara intern dalam umat beragama itu sendiri. Kemajemukan memang sebuah realita kehidupan, namun seringkali pula realita tersebut membawa suatu masalah tersendiri dalam kehidupan, baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun dalam kehidupan beragama. Indonesia mungkin sebuah negara yang unik, karena di dalamnya berkembang berbagai agama besar di dunia. Agama Hindu sebagai agama yang pertama kali datang ke Indonesia datang dengan memperkenalkan kehidupan pemerintahan melalui sistem kerajaan yang melampaui batas-batas lokal (kesukuan). Agama Budha, sebagai agama berikutnya yang datang, membawa pola yang hampir sama dengan agama Hindu. Selain itu, agama Budha juga meninggalkan berbagai warisan monumental diantaranya adalah Candi Borobudur yang menjadi salah satu keajaiban dunia. Agama Islam yang datang dan berkembang dengan pola dari bawah. Dalam artian, agama Islam berangkat dari tradisi kemasyarakatan yang ada sehingga penyebaran agama Islam dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat. Hal inilah yang membuat agama Islam di kemudian hari mengalami perkembangan yang pesat yang pada akhirnya menjadi agama mayoritas di Indonesia. Agama terakhir yang berkembang di Indonesia adalah agama Kristen, baik Katholik maupun Protestan. Agama Kristen yang dibawa oleh para zending yang umumnya berasal dari Eropa, datang bersamaan dengan datangnya para kolonial. Hal inilah yang membuat adanya paradigma dalam masyarakat pada umumnya bahwa agama Kristen adalah “agama kaum penjajah”. Selain lima agama tersebut, sebenarnya masyarakat Indonesia pada umumnya juga mempunyai agamanya sendiri (agama suku atau agama tradisional)1. Seperti di Sumba ada kepercayaan Marapu, di Batak ada kepercayaan Parmalim, di Jawa ada Kejawen, dan lain sebagainya.

Secara empiris memang tidak dapat disangkal, bahwa masyarakat Indonesia, apalagi masyarakat dunia, sangat plural. Pluralitas yang dialami sebagai kenyataan seringkali mengakibatkan gesekan-gesekan (konflik) dalam hal bermasyarakat dan hidup bersama, yang kadang kala berujung pada pertumpahan darah. Dalam sejarah umat manusia, ternyata agama dapat menjadi salah satu sumber atau pemicu permusuhan/pertikaian (konflik). Mengapa agama

(3)

61

yang mencita-citakan kebaikan bagi umat manusia malah bisa menjadi pemicu atau bahkan sumber konflik?

Dalam sejarah kehidupan bangsa Indonesia, ternyata ada kalanya konflik yang terjadi mengatasnamakan agama sebagai penyebab utamanya. Padahal, jika ditelusuri secara objektif maka bukanlah agama penyebab konflik tersebut. Misalnya saja GAM (Gerakan Aceh Merdeka), di mana paradigma masyarakat umum konflik yang terjadi adalah karena rakyat Aceh memperjuangkan syariat Islam dan Negara Islam. Jika menelusuri sejarah konflik GAM terjadi, maka sumber konflik bukanlah masalah agama. Arrifin Assegaf mengungkapkan bahwa konflik tersebut ternyata lahir karena adanya diskriminasi sosial, pelanggaran HAM, pemerkosaan hukum Islam, dan lain-lain. Ironisnya, hal itu dilakukan oleh pemerintah, bukan oleh umat agama lain. Konflik yang terjadi bukan karena sentimen terhadap agama lain, walaupun mereka sendiri mencita-citakan Negara Islam. Konflik juga bukan karena pertentangan etnis, tetapi masih berada dalam tingkat konflik vertikal berhadapan dengan kebijakan pemerintah pusat.2 Contoh lain adalah konflik Ambon/Maluku, di mana konflik yang terjadi juga mengatasnamakan agama sebagai penyebab konflik. Arrifin Assegaf mengungkapkan bahwa konflik saling membunuh secara biadab yang terjadi di Ambon dan Maluku sama sekali bukan konflik agama, melainkan karena adanya rasa „super‟ dibanding yang lain – di mana rasa ini muncul karena adanya pengaruh kolonialisme di masa lalu. Diskriminasi yang terjadi akhirnya membawa agama ke ranah konflik.3 Dewasa ini, selain menjadi “kambing hitam” atas konflik yang terjadi, agama juga bisa menjadi penyebab konflik itu sendiri. Hal ini seringkali dikarenakan adanya perbedaan pandangan teologis, rasa curiga satu terhadap yang lain, penafsiran ajaran secara eksklusif, dan lain-lain. Misalnya saja kasus penutupan Gereja oleh umat agama lain di beberapa tempat, karena adanya praktik-praktik yang dicurigai sebagai kristenisasi. Pembangunan tempat ibadah yang dipermasalahkan, karena dikhawatirkan mengganggu dan membawa pengaruh negatif bagi masyarakat di luar agama tersebut. Diakonia-diakonia gereja kepada masyarakat umum yang seringkali dipermasalahkan, karena diisukan sebagai praktik kristenisasi. Konflik antar agama juga bisa diakibatkan oleh perbedaan ideologi dalam agama-agama itu sendiri. Hal ini terjadi

2 Arrifin Assegaf, Memahami Sumber Konflik Antar Iman; dalam Th. Sumartana, dkk, Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan

Agama di Indonesia (Yogyakarta: Interfidei. 2001). Hlm. 27-28

3

(4)

62

tatkala masing-masing agama mengklaim bahwa dirinyalah atau ajarannya yang paling benar.4 Dengan demikian, tampak bahwa fakta keberagaman agama di Indonesia ternyata rentan terhadap adanya konflik. Baik konflik karena adanya manipulasi atau provokasi dari pihak-pihak tetentu, maupun konflik yang terjadi karena perbedaan ideologi agama satu dengan yang lainya. Ibarat mata uang koin yang punya dua sisi, begitupun juga dengan keberagaman agama. Di satu sisi memang dapat membawa konflik dalam kehidupan bersama. Namun, di sisi lain keberagaman agama di Indonesia merupakan suatu fakta yang berpotensial demi pembangunan iman masing-masing agama/kepercayaan. Hal itu tercapai bilamana masing-masing agama mau menerima dan membuka diri terhadap fakta keberagaman tersebut, sehingga muncul kesadaran untuk saling belajar dari satu sama lain demi pembangunan iman yang diyakininya sendiri berikutnya praksisnya dalam kehidupan sehari-hari.

Kesadaran bahwa secara empiris kekristenan tidak berdiri sendiri, melainkan berada di tengah-tengah keberagaman agama membuat beberapa kalangan termasuk para teolog membuka diri dan berupaya merumuskan kembali iman Kristen yang selama ini dipegangnya. Iman terhadap Yesus Kristus kini mulai ditelaah kembali demi menghadirkan Yesus Kristus dalam dunia yang penuh dengan konteks, khususnya keberagaman agama. Hal ini dikarenakan pemahaman dan iman akan diri Yesus ternyata seringkali membuat adanya masalah antara umat Kristen dengan umat agama lain. Oleh karena itu, agaknya umat Kristen perlu merumuskan ulang misi dan paham mengenai Yesus agar pemberitaan mengenai Yesus Kristus tidak menambah daftar konflik antar agama, namun turut memberikan pengaruh yang positif dalam perdamaian antar umat beragama. Dalam misinya untuk memberitakan Injil, khususnya memberitakan Yesus Kristus, rasul Paulus tentunya mempunyai pola-pola pemberitaannya sendiri. Apakah pola rasul Paulus dalam memberitakan Yesus Kristus tersebut, seperti dalam teks II Korintus 5:18-21, relevan bagi pemberitaan Yesus Kristus dalam konteks keberagaman agama di Indonesia?

4

(5)

63

II. II Korintus 5: 18-21 sebagai Dasar Memberitakan Yesus Kristus

Berdasarkan pemaparan gambaran umum keberagaman agama di Indonesia seperti di atas, tampak bahwa agama dapat menjadi salah satu sumber atau pemicu permusuhan atau pertikaian (konflik). Padahal, tidak ada agama yang menghendaki yang namanya konflik. Setiap agama menghendaki “yang baik” bagi penganutnya dalam keterikatannya dengan yang transendental (illahi). Ada agama yang berhenti sampai di situ, namun ada pula agama-agama yang melihat kebaikan itu sebagai nilai yang tidak boleh dimilki sendiri tetapi harus diteruskan kepada orang lain. Hal inilah yang menjadi dasar sikap dan keyakinan agama-agama missioner, yakni memberitakan kebenaran yang dianutnya. Persoalan yang seringkali menjadi isu dalam masyarakat adalah masalah pemberitaan agama yang dianggap menganggu kerukunan hidup umat beragama. Dilihat dari segi keyakinan agama masing-masing, pemberitaan agama merupakan suatu hal atau tugas yang mulia karena bertujuan ingin menyelamatkan orang lain dari kesesatan. Akan tetapi, bagi pihak lain pemberitaan agama tersebut dianggap sebagai suatu sikap yang ingin menyesatkan mereka. Dari perspektif tersebut, sebenarnya kedua belah pihak termotivasi oleh niat luhur mengajak orang lain ke-keselamatan di satu pihak dan menjaga orang lain dari kesesatan. Namun, pada kenyataannya niat luhur tersebut diperhadapkan pada pertanyaan: adakah keselamatan dalam agama lain? Terkait dengan hal ini, Schillebeeckx sebagaimana yang dikutip oleh Knitter mengatakan bahwa “keyakinan teguh yang terus dipegang seseorang sebagai kebenaran di mana yang lainnya salah tidak dimungkinkan lagi sekarang. Dalam konteks ini (keberagaman agama), kalau ada yang mengatakan bahwa cara seseorang merupakan satu-satunya kemungkinan yang ada untuk memahami kebenaran agama (keselamatan), berarti ia hidup dalam „zaman yang sesat‟”.5 Berdasarkan hal tersebut, maka umat Kristen sebenarnya dituntut untuk bisa terbuka terhadap agama-agama lain, namun dengan tidak mengesampingkan kesetiaan iman terhadap Yesus Kristus sebagai satu-satunya Juruselamat bagi mereka. Ketika mengarahkan diri pada keterbukaan, maka orang Kristen dituntut untuk merumuskan kembali misi maupun pemahaman mengenai Yesus Kristus (kristologi) yang melekat pada dirinya.6 Hal ini merupakan sebuah upaya untuk menghadirkan Yesus Kristus,

5

Paul F. Knitter, Pengantar Teologi Agama-agama (Yogyakarta: Kanisius. 2008). Hlm. 7-8

6

(6)

64

yang merupakan pengejawantahan Kerajaan Allah, di dalam konteks keberagaman agama di Indonesia. Dengan demikian, jika karya kematian Kristus membawa pendamaian antara manusia dan dunia dengan Allah, maka seyogyanya pemberitaan mengenai Kristus-pun juga mampu membawa dan menghadirkan perdamaian di antara agama-agama.

Rasul Paulus merupakan seorang misionaris Kristen pertama.7 Sebagai seorang misionaris, maka tampaknya rasul Paulus memang mempunyai suatu pola tersendiri di dalam memberitakan Yesus Kristus. Hal ini – salah satunya – tampak/terbukti dari teks II Kor 5: 18-21, di mana rasul Paulus dapat memberitakan Yesus Kristus secara relevan dan kontekstual dalam konteks jemaat di Korintus. Bertolak dari pola rasul Paulus dalam memberitakan Yesus Kristus, maka bagaimanakah sebaiknya orang Kristen memberitakan Yesus Kristus dalam konteks keberagaman agama di Indonesia?

a. Merumuskan ulang Misi

Dalam proses memberitakan Yesus Kristus, rasul Paulus tampaknya memang mengalami suatu pergumulan. Seringkali peristiwa Damsyik disebut sebagai peristiwa “pertobatan” rasul Paulus. Padahal menurut Bosch, peristiwa tersebut tidak menggambarkan “pertobatan” rasul Paulus, melainkan suatu peristiwa yang membuat Saulus – yang kemudian menjadi Paulus – menggumuli akan panggilannya untuk memberitakan Injil atau Yesus Kristus. Dengan kata lain, peristiwa tersebut bukanlah peristiwa “pertobatan”, melainkan peristiwa “pemanggilan”.8

Melalui refleksi atas peristiwa Damsyik tersebut, rasul Paulus ternyata mengalami suatu transformasi. Terkait dengan hal ini, Bosch mengatakan bahwa “rasul Paulus mengalami suatu revisi yang dasariah terhadap persepsinya tentang Yesus dari Nazaret dan tentang nilai hukum Torah yang menyelamatkan”.9

Jika dikatakan bahwa peristiwa Damsyik merupakan peristiwa “pemanggilan”nya, maka bisa dikatakan pula dalam refleksinya terhadap peristiwa tersebut rasul Paulus menghayati dan menggumuli kembali imannya, sehingga merumuskan ulang “misi”nya dan memberitakan Injil. Perubahan konsep misi Paulus tersebut tampak dalam ucapannya di I Kor 1: 17, di mana dia mengatakan bahwa

7

David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen; Sejarah Teologi Misi yang Mengubah dan Berubah (Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1997). Hlm. 194

8 David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen, hlm. 195-197 9

(7)

65

keterpanggilannya bukan untuk membaptis melainkan untuk memberitakan Injil. Selain itu, tampaknya rasul Paulus juga memahami bahwa berita Injil bukanlah hanya untuk orang Yahudi, melainkan juga untuk orang non-Yahudi. Dengan kata lain, misi yang dipahami oleh Paulus kini bukanlah misi untuk membaptis atau mengkristenkan orang Yahudi, melainkan misi Injil yang mendunia.10 Oleh karena itu, rasul Paulus bisa sampai pada pemahaman bahwa pendamaian Allah berlaku bagi seluruh manusia dan dunia (II Kor 5:18-19). Dalam terang demikian, maksud misi Paulus adalah memimpin orang pada keselamatan di dalam Kristus. Keselamatan tersebut didapatkan di dalam perjumpaan dengan Allah yang di dalam Yesus Kristus menyatakan karya-Nya.11 Dengan kata lain, karya keselamatan Allah – yang dipahami oleh rasul Paulus sebagai karya pendamaian Allah bagi manusia dan dunia – dapat terwujud secara nyata tatkala Yesus Kristus diberitakan tidak hanya bagi orang Yahudi, namun juga bagi orang non-Yahudi.

Jika rasul Paulus merumuskan ulang misinya agar karya pendamaian Allah nyata bagi manusia dan dunia lewat pemberitaan mengenai karya Yesus Kristus, maka apakah orang Kristen juga perlu merumuskan kembali misinya agar karya pendamaian Allah nyata dalam konteks keberagaman agama di Indonesia yang rentan terhadap konflik? Jika memang benar demikian, maka rumusan misi seperti apakah yang sekiranya relevan?

Misi selalu identik dengan pengutusan dan pemberitaan. Namun, bila melihat sejarah dari misi itu sendiri maka misi tampak lebih kepada “ekpansi agama”. Konsep mengenai misi pada masa itu adalah (a) penyebaran iman, (b) perluasan pemerintahan Allah, (c) pertobatan orang-orang kafir, dan (d) pendirian jemaat-jemaat baru.12 Pada masa lalu, dalam usaha misinya para misionaris Barat menekankan pentingnya pertobatan individu dan mengesampingkan dimensi sosial yang ada, termasuk nilai-nilai positif dalam agama lain. Hal inilah yang menyebabkan misi Kristen menempatkan orang-orang beragama lain sebagai orang-orang kafir, yang tidak memliki kebenaran ilahi.13 Sementara itu, Widi Artanto mengatakan bahwa “misi Kristen yang tidak menyentuh realitas sosial yang nyata adalah

10

Bandingkan dengan pendapat Bosch, bahwa visi misioner Paulus bersifat universal (mendunia). Dalam hal ini, Paulus mempunyai pemahaman misi “oikumenis”. Dalam arti, seluruh dunia yang didiami harus dijangkau dengan Injil. Lihat David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen, hlm.203-204

11

David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen, hlm. 211

12 David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen, hlm. 1

13 Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner, hlm. 121. Lihat pula pada hlm. 98-100, di mana Widi menyebutnya dengan “misi

(8)

66 misi yang tidak relevan”.14

Senada dengan hal tersebut, Stan Nusbaum berpendapat bahwa misi dalam konteks keberagaman agama seharusnya bersifat universal, dalam arti mampu menjangkau masyarakat dengan latar belakang yang berbeda – termasuk latar belakang agama.15 Dengan demikian, maka tampak bahwa orang Kristen perlu merumuskan kembali konsepnya mengenai misi di dalam konteks keberagaman agama.

Hal yang seringkali disalahpahami mengenai misi adalah mempertobatkan atau mengkristenkan orang lain. Padahal, tujuan utama misi sebenarnya adalah menghadirkan Kerajaan Allah (kingship), bukan menjadikan seluruh dunia menjadi beragama Kristen. Rasul Paulus sendiri beranggapan bahwa keterpanggilannya adalah untuk memberitakan Injil, bukan untuk membaptis (I Kor 1: 17). Masalah apakah orang nantinya memutuskan untuk menjadi Kristen atau tidak adalah kepentingan nomor sekian. Yang terutama adalah menghadirkan Kerajaan Allah melalui pewartaan. Menurut Kurt Piskaty, “misi Kristen berarti melanjutkan misi Kristus menjadikan Kerajaan Allah (kingship) sebagai suatu realitas yang hidup di dalam dunia ini. Kerajaan Allah merupakan warta utama dalam pengajaran Yesus: sebuah Kerajaan yang mewujudkan rencana Allah di tengah-tengah umat manusia, yang memenuhi harapan-harapan dan kerinduan-kerinduan hati manusia, yang menantang tingkah laku manusia dan memanggil kepada pertobatan, yang sudah hadir namun belum selesai, yang bertumbuh seperti biji sesawi dan bertujuan untuk menjadi ragi masyarakat manusia. Kerajaan Allah diperkenalkan melalui tindakan-tindakan dan perkataan-perkataan Kristus dan diwariskan melalui Alkitab”.16

Dengan kata lain, misi menghadirkan Kerajaan Allah terlaksana tatkala orang Kristen memberitakan Yesus Kristus, karena Kerajaan Allah itu sendiri tercermin baik dalam ajaran/perkataan maupun kehidupan Yesus. Yesus Kristus adalah pengejawantahan Kerajaan Allah di dunia.17 Oleh karena itu, orang Kristen memang

14

Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner, hlm. 125

15

Stan Nusbaum, A Reader`s Guide to Transforming Mision (New York: Orbis Books, Maryknoll. 2005). Hlm 27-29

16

Kurt Piskaty, Motif-motif Karya Misioner Kristen dalam Misi, Evangelisasi, Penghayatan Iman oleh Georg Kirchberger (ed.) (Maumere: Ledalero. 2004). Hlm. 17. Bandingkan juga dengan pendapatnya Bosch, yang mengatakan bahwa Misi Kristen pada hakikatnya juga adalah cerminan hubungan yang dinamis antara Allah dengan dunia (David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen, hlm. 13).

17 Bevans sendiri berpendapat bahwa Yesus adalah autobasileia. Yesus adalah gambaran yang paling jelas tentang Allah dan

(9)

67

sudah seharusnya memberitakan Yesus Kristus demi terwujudnya Kerajaan Allah (kingship) di dunia yang beragam konteksnya.18

Salah satu aspek dalam hadirnya Kerajaan Allah adalah damai sejahtera. Damai tersebut sudah dinyatakan oleh Allah melalui kedatangan Yesus Kristus (band Luk 2: 14). Berdasarkan hal tersebut, maka misi memberitakan Yesus Kristus, yang merupakan pengejawantahan Kerajaan Allah, bisa dikatakan pula dengan misi rekonsiliasi.19 Menurut Widi Artanto, misi rekonsiliasi merupakan misi yang memperjuangkan relasi baru antara manusia untuk membangun kembali relasi lama yang dirobek-robek oleh kecurigaan, apriori, keterasingan, permusuhan, dan peperangan yang disebabkan oleh perbedaan agama dan budaya.20 Dengan demikian, maka bisa dikatakan pula pemberitaan mengenai Yesus Kristus dalam terang misi rekonsiliasi terutama terfokus pada karya Yesus Kristus yang mendamaikan manusia dan dunia dengan Allah.

Bertolak dari situasi Jemaat Korintus yang sedang berkonflik, yang sifatnya komunalistik, maka misi perdamaian yang diangkat/dirumuskan oleh Paulus agaknya tepat untuk merespon situasi tersebut.21 Situasi konflik di mana masing-masing berseteru satu sama lain mengindikasikan adanya relasi yang rusak. Dengan mengatakan bahwa Allah mendamaikan dunia dan manusia dengan diri-Nya melalui Kristus, maka secara tidak langsung pula Paulus juga ingin mengatakan kepada Jemaat Korintus bahwa mereka – yang secara pribadi dengan Allah telah didamaikan – supaya berdamai juga dengan sesamanya. Dalam hal ini, situasi keberagaman agama di Indonesia kurang lebih sama dengan situasi di Jemaat Korintus pada waktu itu. Keberagaman agama di Indonesia yang rentan konflik, agaknya membuat misi rekonsiliasi cukup relevan. Hal ini dikarenakan konflik yang terjadi umumnya bukanlah konflik yang bersifat religius atau ideologis, melainkan bersifat komunalistik.22 Konflik komunalistik dalam artian bahwa orang semakin tidak mampu

18

Bandingkan dengan pendapatnya Bevans, bahwa sasaran utama teologi misi adalah mewartakan nama Yesus. Lihat Stephen B. Bevans dan Roger P. Schroeder, Terus Berubah Tetap Setia, hlm. 565

19

Bandingkan Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner, hlm. 175-176

20

Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner, hlm. 176

21

Bandingkan dengan pendapat Bosch bahwa pemahaman rasul Paulus tentang misi bukanlah suatu bangunan abstrak yang bergantung pada sebuah prinsip universal, melainkan suatu analisis tentang realitas yang didorong oleh suatu pengalaman mula-mula yang memberikan Paulus sebuah pandangan dunia yang baru. David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen, hlm. 194

22 Terkait dengan hal ini, Th. Sumartana berpendapat bahwa konflik antar-agama acapkali dipicu oleh perbedaan doktrinal yang

(10)

68

menghayati dirinya sebagai “saudara sebangsa” atau “sama-sama manusia”. Realita yang terjadi adalah pada akhirnya orang terbawa pada penghayatan diri “saya/kami” berhadapan dengan “kamu/mereka”. Pada akhirnya, perbedaan agama-lah yang dijadikan kambing hitam atas konflik yang terjadi. Padahal, walaupun ada perbedaan ideologi namun jika masing-masing pihak merasa bahwa mereka semua adalah satu dan tidak membenarkan diri dalam kelompoknya masing-masing, maka niscaya konflik tidak akan terjadi. Konflik mengakibatkan tiap-tiap pihak yang terkait saling berseteru satu sama lain dengan membela kebenaran yang diyakininya. Relasi yang rusak akibat konflik yang terjadi membutuhkan adanya pemulihan demi kehidupan bersama yang lebih baik. Dalam konteks seperti inilah Widi mengatakan bahwa teks II Kor 5: 18-19 seyogyanya tidak hanya dipahami dalam pengertian rohani. Maksudnya, misi rekonsiliasi Allah di dalam Kristus seyogyanya tidak hanya dimengerti sebagai pendamaian dosa demi keselamatan jiwa manusia, melainkan juga sebagai pemulihan kemanusiaan manusia. Ketika kemanusiaan manusia terpulihkan, maka tidak hanya hubunganya dengan Allah pulih melainkan juga hubunganya dengan sesama dan alam.23 Dengan demikian, rumusan misi yang cukup relevan dalam konteks keberagaman agama di Indonesia adalah misi rekonsiliasi dan teks II Kor 5: 18-21 dapat menjadi dasar misi rekonsiliasi.

b. Merumuskan/menginterpretasikan Ulang Kristologi

Refleksi Paulus atas peristiwa Damsyik rupanya juga membuatnya mengimani bahwa Yesus adalah Mesias/Kristus. Dalam hal ini, tampak bahwa sebenarnya Paulus mengalami transformasi iman. Ia yang dulunya seorang Yahudi yang masih dalam menantikan Mesias dan tidak mengimani Yesus sebagai Mesias yang dijanjikan, kini telah mengimani bahwa Yesus dari Nazaret itulah Mesias yang dijanjikan. Berdasarkan teks II Kor 5: 18-21 – Paulus rupanya memberitakan ke- Mesias-an Yesus Kristus tidak sebagai gelar, melainkan karya-Nya sebagai Mesias yang memperdamaikan manusia dan dunia dengan Allah

Hubungan antar-agama di Indonesia; dalam Th. Sumartana, dkk, Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan Agama di Indonesia. Hlm. 79. Lihat pula Frans Magnis-Suseno, Pluralisme Agama, Dialog, dan Konflik di Indonesia; dalam Th. Sumartana, dkk, Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan Agama di Indonesia. Hlm. 71

23

(11)

69

(rekonsiliator).24 Hal itu agaknya juga dikarenakan Paulus merumuskan ulang pemahaman mengenai diri Yesus sebagai Mesias/Kristus menjadi Yesus sebagai rekonsiliator agar relevan dalam konteks jemaat Korintus yang sedang berkonflik. Rumusan kristologi bahwa Yesus adalah Mesias yang membawa keselamatan dan pembebasan kini telah dirumuskan ulang oleh rasul Paulus. Yesus kini lebih cenderung diberitakan oleh Paulus sebagai Mesias yang membawa pendamaian Allah bagi manusia dan dunia, di mana karya kematian-Nya juga membawa penghapusan pelanggaran (pembenaran) dan penebusan. Perumusan ulang tersebut bukan karena Paulus tidak lagi mengimani Yesus sebagai Mesias/Kristus, melainkan baginya lebih penting memberitakan karya Yesus sebagai Mesias daripada gelar mesianis-Nya. Selain itu, bahasa perdamaian dirasa oleh Paulus cukup kontekstual dan relevan dalam konteks jemaat Korintus yang sedang berkonflik. Perumusan ulang tersebut ternyata juga membuat Paulus memahami bahwa Karya Yesus yang mendamaikan manusia dengan Allah berlaku tidak hanya bagi orang Yahudi saja, melainkan bagi seluruh manusia dan dunia. Dengan adanya perumusan ulang tersebut, Yesus Kristus kini dapat diberitakan secara relevan oleh Paulus di dalam mengemban misi rekonsiliasi dari Allah.

Seperti halnya Paulus, maka orang Kristen pun juga harus merumuskan ulang pemahaman terhadap Yesus (kristologi). Mengapa? Hal ini karena penghayatan iman dan pemahaman akan Yesus mempengaruhi pola dan seperti apa Yesus diberitakan di dalam konteksnya. Ketika Yesus diimani dan diimani sebagai satu-satunya Juruselamat, di mana agama lain dianggap kafir, maka pemberitaan tersebut hanya akan menambah daftar konflik antar agama di Indonesia. Bagi orang Kristen, Yesus memang satu-satunya Juruselamat. Namun, hal tersebut seyogyanya tidak membuat orang Kristen menutup mata terhadap adanya kebenaran lain yang diyakini oleh umat agama lain.25 Perumusan tersebut juga seyogyanya diupayakan agar kontekstual, sehingga pada nantinya Yesus Kristus tidak hanya “dinikmati” oleh umat Kristen saja, namun juga umat lain. Dalam arti, kebenaran maupun iman akan Yesus Kristus juga dapat diterima dalam konteks keberagaman agama dan juga menjadi salah satu hal yang dapat dijadikan pembelajaran bersama – terkait dengan adanya unsur saling belajar satu sama lain dalam pluralisme agama.

24

Dalam memberitakan Yesus Kristus, yang terpenting (fokus pemberitaan) bagi rasul Paulus adalah pemberitaan mengenai karya-Nya dan bukan gelar – sekalipun gelar-gelar yang dikenakan pada diri Yesus juga penting bagi dirinya. Lihat ulasannya dalam Bab II.

25

(12)

70

Menghadapi fakta adanya keberagaman agama yang menuntut adanya keterbukaan, beberapa teolog mencoba merumuskan kristologi – secara kontekstual. Seperti John Hick, sebagaimana yang dikutip oleh Harold Coward, ia merumuskan teologi Copernican. Seperti halnya matahari yang menjadi pusat seluruh tata surya, demikian juga Allah merupakan pusat dari semua agama yang ada.26 Demikian halnya Wilfred Cantwell Smith, sebagaimana yang dikutip juga oleh Harold Coward, yang berpendapat demikian:

Jikalau wahyu Kristen tidak benar, maka ada kemungkinan untuk membayangkan bahwa Allah membiarkan orang Hindu memuja Dia atau orang Muslim mematuhi Dia atau orang Budha merasa berbelaskasihan kepada sesamanya, tanpa tanggapan-Nya, tanpa uluran tangan-Nya untuk merangkul mereka. Namun, karena Allah adalah sebagaimana ada-Nya, karena Dia adalah Allah sebagaimana diwahyukan Kristus, maka orang lain memang hidup di hadirat-Nya. Juga, oleh karena itu kita (sebagai orang Kristen) mengetahui hal ini demikian.27

Di sisi lain, ia juga berpendapat bahwa “kelirulah bila kita mengidentifikasikan „agama‟ kita sendiri, atau tradisi itu, dengan Allah atau kebenaran mutlak, lebih sebagai yang illahi daripada sebagai jalan kepada atau dari yang illahi”.28 Tokoh lain yang juga mendasarkan pandangannya secara teosentris adalah Stanley Samartha. Sebagaimana yang dikutip oleh Harold Coward, Samartha berpendapat bahwa “kewajiban orang Kristen dewasa ini bukanlah pada agama Kristen, juga bukan kepada bentuk-bentuk budaya agama Kristen yang telah kita warisi, melainkan kepada Allah, yang pada saat Dia mewahyukan diri-Nya dalam Yesus Kristus, membebaskan kita dari belenggu partikular kita agar kita memiliki hubungan baru dengan tetangga-tetangga kita dalam komunitas yang lebih besar”.29 Lain halnya pula dengan Pannikar, seperti yang dikutip oleh Coward, yang membuat suatu terobosan dengan kristologi yang lebih terbuka, bahwa semua agama memiliki kebenaran dan penyingkapan kebenaran tersebut dapat memberikan pencerahan timbal balik bagi semua yang terlibat.30 Lebih lanjut lagi, Pannikar mengungkapkan – sebagaimana yang dikutip oleh Harold Coward –bahwa Kristus tidak melulu Yesus. Kristus juga “ada” dalam agama-agama

26

Harold Coward, Pluralisme, hlm. 58-59; lihat juga John Hick, Ketidakmutlakan Agama Kristen, dalam John Hick dan Paul F. Knitter (ed), Mitos Keunikan Agama Kristen, hlm. 36-37

27

Harold Coward, Pluralisme, hlm. 63

28

Wilfred Cantwell Smith, Pemberhalaan; Dalam Perspektif Perbandingan, dalam John Hick dan Paul F. Knitter (ed), Mitos Keunikan Agama Kristen, hlm. 95

29 Harold Coward, Pluralisme, hlm. 77 30

(13)

71

lain.31 Bisa dikatakan pula, Allah juga menyatakan diri-Nya melalui “Kristus” – dalam bentuk yang berbeda – dalam agama-agama lain.32

Tampaknya tuntutan untuk lebih terbuka terhadap keberagaman agama telah membuat para teolog di atas mendasarkan pemikirannya pada teosentris. Pandangan mereka memang benar, jika pemikiran-pemikiran tersebut untuk memahami perihal Allah sebagai sumber keselamatan dan bahwa kebenaran yang absolut adalah Allah sendiri. Namun, pandangan-pandangan tersebut agaknya sulit diterima terkait dengan permasalahan mengenai penyataan Allah yang diimani dan dipahami oleh masing-masing agama berbeda. Dengan mengalihkan dasar pemikiran pada teosentris, maka hal itu terkesan seperti menghindari adanya perbedaan dan merelatifkan semua agama. Sederhananya, yang terpenting adalah iman kepada Allah, bukan iman terhadap pernyataan Allah dalam masing-masing agama (mis Yesus Kristus, Al-Qur‟an/Muhammad, Krishna, dll). Memang benar Allah-lah yang menjadi pusat kebenaran tertinggi. Namun, hal itu bukan berarti mendistorsikan (mengurangi) makna pernyataan Allah dalam masing-masing agama. Bukan berarti pula tidak ada keunikan dalam tiap-tiap agama. Mengalihkan pemikiran pada teosentris secara tidak langsung mengaburkan iman kepada Yesus Kristen (dalam agama Kristen). Yesus Kristus menjadi sama halnya dengan Muhammad, Krishna, dll. Padahal, bagi orang Kristen Yesus Kristus merupakan adalah unik dan pusat iman. Dalam arti, umat Kristen mengenal dan memahami Allah berangkat dari Yesus Kristus, di mana Allah diyakini menyatakan diri-Nya melalui ajaran dan kehidupan Yesus. Seseorang disebut Kristen, karena ia menetapkan hidup mengikuti dan mengimani Yesus Kristus sebagai Juruselamat. Bandingkan dengan pendapat Bevans yang mengatakan bahwa “penanggalan atas klaim agama menyangkut keunikannya sama artinya dengan mengosongkan identitas agama bersangkutan”.33

Oleh karena itu, secara faktual dan historis, kekristenan tidak bisa dilepaskan dari iman terhadap Yesus Kristus.

31

Harold Coward, Pluralisme, hlm. 81; Bandingkan juga ketika ia berpendapat bahwa “Kristus tidak boleh dikungkung dalam Yesus dari Nazaret. Kristus adalah perantara antara Yang Illahi dengan ciptaan, sehingga agama-agama lain dapat menyebut Kristus dengan Krishna atau Budha”, Harold Coward, Pluralisme, hlm. 83; bandingkan pula Knitter yang berpendapat bahwa “keillahian sungguh-sungguh ada dalam Yesus, namun dapat ditemukan mengatasi Yesus”, Paul F. Knitter, Menggugat Arogansi Kekristenan. Hlm. 85

32Bandingkan dengan pendapat Kniiter bahwa “misteri Allah tidaklah sederhana tetapi plural”, Paul F. Knitter, Menggugat

Arogansi Kekristenan. Hlm. 86

33

(14)

72

Bertolak dari teks II Kor 5:18-21, sekalipun Rasul Paulus menyatakan bahwa perdamaian, pembenaran, dan penebusan itu berasal dari Allah dan berlaku bagi manusia dna dunia, namun ia tidak mengingkari bahwa melalui kematian Kristus-lah Allah menyatakan semuanya itu kepadanya. Rasul Paulus mengimani bahwa dirinya beroleh pendamaian, pembenaran, dan penebusan adalah melalui penghayatan iman terhadap Yesus Kristus. Dengan kata lain, bagi Rasul Paulus Yesus Kristus adalah pernyataan Allah satu-satunya. Namun, ia pun juga tidak memungkiri bahwa pendamaian yang dinyatakan Allah melalui Kristus tersebut ditujukan untuk semua orang, bahkan dunia. Pola kristologi Rasul Paulus tersebut agaknya diikuti oleh beberapa teolog lainnya. Seperti halnya dengan Karl Rahner, sebagaimana yang dikutip oleh Harold Coward, di mana ia agaknya lebih terbuka dengan tetap menegaskan keeksklusifan dan universalitas Kristus di samping sekaligus menghormati kehendak Allah untuk menyelamatkan yang sifatnya universal.34 Sekalipun Rahner menekankan universalitas keselamatan dari Allah (untuk semua orang bahkan dunia), namun ia tetap mempertahankan bahwa secara historis keselamatan hadir dalam peristiwa Yesus Kristus.35 Bandingkan pula dengan pendapatnya Knitter, yang walaupun ia mengusulkan meninjau kembali keunikan Yesus Kristus namun ia – di sisi lain – tetap menegaskan keunikan Yesus Kristus.36 Tampaknya para teolog tersebut, sekalipun mengarahkan diri pada keterbukaan terhadap agama lain, namun di sisi lain mereka tetap mempertahankan Kristus, sebagaimana yang mereka imani di mana Allah menyatakan keselamatan atau pendamaian melalui diri-Nya. Mengapa orang Kristen perlu mempertahankan iman terhadap Kristus di dalam keterbukaannya terhadap agama lain?

Mempertahankan iman terhadap Kristus bukan berarti tertutup dan menolak kebenaran dalam agama lain. Merumuskan kembali pemahaman terhadap diri Yesus (kristologi), bukan berarti mengalihkan pusat iman pada Allah dengan mengesampingkan bahwa dalam iman Kristen Allah menyatakan diri-Nya melalui Yesus Kristus. Iman terhadap Yesus Kristus adalah tetap bahkan harus ada dalam diri umat Kristen, namun kristologi-lah

34

Harold Coward, Pluralisme, hlm. 73

35

Harold Coward, Pluralisme, hlm. 75

36Knitter mengartikan “unik” bukan dalam artian sesuatu yang dimiliki seseorang yang membedakannya dari yang lain. Menurut

(15)

73

yang senantiasa harus berkembang agar Yesus bisa senantiasa dihadirkan sepanjang masa dan dalam setiap konteks.37 Pluralisme tidak identik dengan Relativisme yang menganggap semua agama sama saja dan mengesampingkan keunikan masing-masing. Namun, pluralisme itu mengakui dan menghargai kebenaran yang terdapat di dalam semua agama, di mana ada kerelaan untuk saling belajar satu sama lain demi pencarian kebenaran yang sejati.38 Bagi umat Kristen, Yesus Kristus adalah kebenaran mutlak. Bagi umat Kristen, Yesus Kristus adalah satu-satunya pernyataan Allah dan jalan keselamatan. Tetapi, keyakinan ini tidak harus membuat orang Kristen menutup diri dan merendahkan kebenaran yang diyakini oleh agama lain, namun seyogyanya mau belajar dari umat lain demi memperkaya imannya.39

Dalam merumuskan ulang kristologi, umat Kristen perlu menjaga imannya terhadap Yesus. Knitter mengatakan bahwa dalam tiap-tiap agama ada faktor atau hal-hal yang tak ternegosiasikan dan masalah tersebut bagi umat Kristen menyangkut tentang – keunikan – Yesus Kristus. Hal-hal yang tak ternegosiasikan tersebut ialah:

Di dalam Yesus, Allah telah melakukan sesuatu yang sangat khusus, sesuatu yang belum pernah dilakukan, dan tidak akan dilakukan, di mana pun.

Karena sesuatu yang khusus ini, Yesus mungkin memiliki kesamaan dengan para tokoh lain, namun Ia tetap berbeda, berbeda tanpa bisa dikurangi. Perbedaan ini harus dipelihara.

Sesuatu yang khusus dilakukan Allah di dalam Yesus itu penting – sangat penting – bukan hanya bagi umat Kristiani, tetapi juga bagi semua orang.40

37

Bandingkan dengan pendapatnya Gerrit, di mana ia membedakan antara teologi dan iman dalam bingkai menjaga “kemurnian iman”. Emanuel Gerrit Singgih, Bergereja, Berteologi, dan Bermasyarakat (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen. 2007). Hlm. 172

38Bandingkan dengan pendapat Wyanto, “Pluralisme agama itu sendiri mengasumsikan bahwa kebenaran sejati itu memang

tidak ada, semuanya relatif. Yang menjadi masalah bukanlah ada atau tidaknya standar kebenaran sejati yang berlaku bagi semuanya, tetapi adalah semua agama memiliki unsur kebenaran – semuanya patut saling belajar/mendengar, dan janganlah terlalu cepat mengklaim bahwa padanya ada kebenaran sejati yang sempurna. Kebenaran sejati itu masih harus dicari bersama”, lihat M. W. Wyanto, Diktat (Pengantar) Teologi Agama-agama, UKDW, 2009. Hlm. 7. Dengan demikian, pluralisme agama tidak hanya bertujuan untuk saling menghargai saja, namun juga saling belajar demi memperkaya iman masing-masing.

39

Bandingkan dengan pendapatnya Rahner yang dikutip oleh Knitter, bahwa komitmen iman memerlukan suatu norma yang pasti (kepastian) dari Allah dan bagi umat Kristen hal itu terpenuhi dalam diri Yesus Kristus. Lebih lanjut lagi Knitter mengatakan bahwa komitmen religius mengisyaratkan adanya keyakinan bahwa Allah telah benar-benar memanggil seseorang kepada Kristus, bukan karena ini adalah satu-satunya panggilan yang Allah berikan kepada manusia. Paul F. Knitter, Pengantar Teologi Agama-agama, hlm. 124-125.

40

(16)

74

Yesus Kristus adalah penyataan Allah kepada manusia, namun hal itu bukan berarti menyamakan Yesus dengan tokoh-tokoh illahi dalam agama lain atau penyataan Allah yang lain. Semua agama pastilah mempunyai keunikannya masing-masing dan hal itu tidak perlu dijadikan sama/seragam atau dihilangkan. Yesus Kristus unik, namun unik di sini bukanlah dalam artian lebih daripada yang lain. Knitter menafsirkan kembali keunikan Yesus sebagai berikut: “Dia bukan kebenaran Allah yang total, definitif, tidak tertandingi, tetapi Dia membawa a universal, decisive, indispensable truth (suatu warta yang universal, menentukan, sangat perlu)”.41

Sekalipun demikian, bukan berarti Knitter tidak menganggap Yesus unik.42 Yesus tetap unik, namun keunikannya bersifat relasional. Dalam arti tidak berdiri sendiri, melainkan dengan yang lain. Bukan keunikan individual yang mengesampingkan dan mengabaikan yang lain.43

Selain menegaskan kembali keunikan Yesus yang relasional, Knitter juga mengusulkan kristologi sakramental. Sakramen, satu kata yang bagi umat kristiani berarti “simbol”, memang sangat berpengaruh karena ada sesuatu di dalamnya dan bisa dirasakan yang memang benar ada atau sudah ada di sana, namun mungkin belum hadir atau aktif di dalam hidup sebagaimana seharusnya. Umat kristiani agaknya sudah memahami Yesus sebagai sakramen, karena mereka selalu merasa bahwa Yesus mewujudkan, menyatakan, dan memampukan mereka merasakan sesuatu yang mengubahkan kehidupan mereka. Dengan menghayati Yesus sebagai sakramen-representatif, maka para pengikut Yesus bisa tetap berpegang pada keyakinan tentang apa arti Yesus bagi mereka dan, sejalan dengan itu, mengakui apa yang Allah katakan dalam agama-agama lain. Menghayati Yesus sebagai sakramen rahmat kasih Allah dan keadilan Allah yang dipenuhi Roh tidak hanya akan memampukan umat kristiani mengakui kehadiran Roh dalam umat beragama lain, tetapi juga akan menuntut mereka untuk mendengarkan, belajar dari, dan karena itu terlibat dalam dialog dengan Roh itu. Hal ini berarti bahwa umat kristiani yang yakin bahwa Firman Tuhan di dalam Yesus itu “absolut” atau “definitif” harus, secara paradoks, mengakui bahwa

41

Paul F. Knitter, Menggugat Arogansi Kekristenan. Hlm. 160. “a universal”, Knitter tidak menggunakan “the” tetapi “a”, karena menurutnya apabila orang Kristen tidak lagi bersikeras bahwa Yesus merupakan satu-satunya Sabda Allah yang menyelamatkan, kita terbuka pada kemungkinan – iman Kristen kita dalam pewahyuan universal akan mengusulkan probabilitas – bahwa ada pengejawantahan realitas illahi lain yang universal, menentukan, sangat perlu, di samping Yesus.

42 Bagi Knitter, keunikan seseorang ialah apa yang membuat orang itu khusus atau khas yang tanpa hal itu, orang tersebut

bukan sebagaimana adanya, Paul F. Knitter, Menggugat Arogansi Kekristenan. Hlm. 169

43

(17)

75

keabsolutan atau kedefinitifan itu “membutuhkan” yang lain dan bahwa keyakinan itu bisa demikian kalau yang lain itu didengarkan dan diajarkan. Umat kristiani memang sesungguhnya telah menemukan kepenuhan kasih Allah yang menyelamatkan dan kuasa di dalam Yesus Kristus, tetapi mereka tidak bisa berpendapat bahwa kepenuhan ini hanya terdapat di dalam Yesus Kristus.44 Dengan menghayati Yesus sebagai sakramen-representatif, umat Kristen juga dapat menghayati bahwa di dalam Yesus mereka beroleh pendamaian. Namun mereka pun juga tidak menutup mata bahwa pendamaian Allah berlaku bagi semua manusia, tidak hanya bagi orang Kristen saja. Dengan merumuskan ulang misi dan pemahaman terhadap Yesus, maka orang Kristen dapat mempunyai dasar di dalam memberitakan Yesus, dapat menjaga imannya terhadap Yesus, serta dapat menghadirkan perdamaian – di mana Allah menyatakannya melalui Yesus Kristus – secara relevan dan kontekstual dalam konteks keberagaman agama di Indonesia. Lalu, dengan adanya perumusan ulang seperti di atas, bagaimanakah orang Kristen memberitakan Yesus Kristus dalam konteks keberagaman agama di Indonesia?

c. Memberitakan Karya Yesus Kristus

Berdasarkan teks II Kor 5: 18-21, rasul Paulus ternyata lebih menekankan pemberitaan mengenai Yesus Kristus pada karya-Nya, dibanding gelar-gelar mesianis-Nya. Terkait dengan hal tersebut, penulis tidak membahas secara mendalam dalam Bab ini karena hal tersebut sudah penulis paparkan dalam Bab II. Pada bagian Bab III, Penulis juga sudah menyinggung bagaimana kesadaran Paulus akan kerasulannya yang membuat merasa mempunyai kesadaran untuk memberitakan Injil – khususnya karya pendamaian Allah melalui Kristus. Kesadaran untuk memberitakan karya pendamaian Allah rupanya tidak semata-mata didasarkan atas refleksinya atas pengalaman di Damsyik, namun pemberitaan itu dilakukan oleh Paulus supaya karya pendamaian Allah kepada manusia dapat menjadi nyata. Allah memang sudah menyatakan karya pendamaian tersebut melalui kematian Yesus Kristus. Namun, pendamaian itu menjadi nyata hanya ketika orang menaruh iman kepada Yesus Kristus, selaku sang rekonsiliator. Jika tidak ada orang yang memberitakan bahwa melalui Kristus Allah telah menyatakan karya pendamaian-Nya sehingga orang tidak

44

(18)

76

mengetahui perihal karya pendamaian Allah bagi manusia, maka karya pendamaian Allah sulit terwujud secara nyata (terhambat). Rasul Paulus tampaknya mempunyai kesadaran tersebut (II Kor 5: 19 “…Ia telah mempercayakan berita pendamaian itu kepada kami”). Oleh karena itu, di satu sisi ia memberitakan berita pendamaian Allah kepada Jemaat di Korintus agar mereka mengalami pendamaian dengan Allah (II Kor 5: 20). Di sisi lain, pemberitaan tersebut dimaksudkan agar tercipta perdamaian di dalam diri jemaat Korintus itu sendiri. Dengan kata lain, pemberitaan Paulus mengenai karya pendamaian Allah juga mengisyaratkan adanya praksis iman dari Jemaat Korintus itu sendiri. Jika memang mereka mengimani Kristus, yang adalah rekonsiliator dalam karya pendamaian Allah, maka sudah selayaknya mereka mewujudnyatakan damai tersebut dalam kehidupan bersama mereka. Lalu, bagaimana orang Kristen memberitakan karya Yesus Kristus, dalam terang misi rekonsiliasi, dalam konteks keberagaman agama di Indonesia, agar karya pendamaian Allah terwujud nyata?

Situasi keberagaman agama di Indonesia yang rentan terhadap konflik, tampaknya membuat perdamaian perlu untuk diupayakan. Perkataan Hans Kung yang sering didengungkan adalah “tak ada perdamaian dunia tanpa perdamaian agama-agama”. Berdasarkan hal tersebut, tampaknya memang perlu ada perdamaian di antara agama-agama terlebih dahulu agar perdamaian dunia tercipta. Dalam situasi seperti inilah, karya pendamaian Allah bagi manusia memang perlu diberitakan. Menurut Hans Kung, “agama merupakan sesuatu dalam diri manusia untuk dihayati, bukan sekedar konsep teknis yang abstrak, merupakan iman yang konkret, bukan sekedar lembaga”.45

Agama memang selalu bersangkutan dengan iman sebagai dasar hidup seseorang. Sekalipun iman terkait erat dengan penghayatan personal dan bersifat individual, antara seseorang dengan Allah, namun iman juga mempunyai sisi komunal di mana implikasinya bersentuhan dengan komunitas sosial. Di dalam komunitas sosial banyak sekali konteks yang ada. Dengan konteks yang ada tersebut, agama mengajarkan umat yang memeluknya untuk bisa menghayati kehidupan ini di mana hal tersebut merupakan bagian dari religiusitas. Penghayatan itu bukan hanya bersifat abstrak, melalui pemikiran atau pemahaman, tetapi juga secara konkret, melalui

45 Hans Kung, Sebuah Praksis Kehidupan dalam Bambang Subandrijo, Agama dalam Praksis (Jakarta: BPK Gunung Mulia dan

(19)

77

tindakan nyata. Dengan kata lain, iman tidak hanya dihayati dalam bentuk pemikiran namun juga dalam bentuk praksis.

Jika iman terwujud dalam pemikiran maupun praksis, maka begitu pula dengan pemberitaan mengenai Yesus Kristus. Menurut Mortimer Arias, seperti yang dikutip oleh Bevans, “pewartaan adalah tindakan untuk mengkomunikasikan Injil tentang Yesus dan Injil dari Yesus“. Pewartaan tidak hanya mengenai kisah hidup Yesus, melainkan juga ajaran dari Yesus.46 Jika Allah telah mempercayakan berita pendamaian kepada rasul Paulus, maka begitu pula halnya orang Kristen saat ini di mana Allah juga telah mempercayakan berita pendamaian tersebut kepadanya untuk diberitakan. Bevans mengatakan bahwa “dalam dunia pascamodern, perhatian khusus mesti dijuruskan kepada pewartaan tentang Yesus sebagai satu-satunya penyelamat dunia sejati, walaupun ada kenyataan menyangkut keabsahan agama-agama lain. Namun, pewartaan selalu tentang Yesus Kristus”.47 Dengan demikian, pewartaan merupakan undangan bagi orang-orang yang percaya akan Injil dari dan tentang Yesus guna bersama-sama menjadikan Injil itu kelihatan dan kedengaran di tengah dunia. Pewartaan juga merupakan undangan bagi umat agama lain, di mana di dalamnya mengandung unsur meyakinkan namun dilakukan dengan kerendahan.48 Berdasarkan hal di atas, maka orang Kristen memang perlu memberitakan karya Yesus Kristus, yang mendamaikan manusia dan dunia dengan Allah, bukan gelar-gelar mesianis-Nya sekalipun itu juga penting, demi terwujudnya perdamaian, dan pemberitaan tersebut terwujud dalam praksis dalam kehidupan bersama. Praksis itu sendiri terwujud dalam suatu dialog kehidupan. Mengapa disebut dialog? Menurut Widi, “dalam dialog terjadi sikap saling menghargai, karena orang berkepercayaan lain tidak dijadikan objek yang „nasibnya‟ ditentukan oleh penganut agama tertentu. Dialog itu sendiri bukan sekedar alat atau strategi misi, melainkan dialog sebagai misi. Dialog dalam misi mempunyai tugas pokok untuk mengarahkan kerinduan bersama manusia dalam mencari kebenaran yang penuh, kemanusiaan yang penuh, dan tanggung jawab bersama terhadap alam semesta. Dialog sebagai misi merupakan dialog kehidupan, karena di dalamnya mengandung sikap untuk

46

Stephen B. Bevans dan Roger P. Schroeder, Terus Berubah Tetap Setia, hlm. 608

47

Stephen B. Bevans dan Roger P. Schroeder, Terus Berubah Tetap Setia, hlm. 615

48 Stephen B. Bevans dan Roger P. Schroeder, Terus Berubah Tetap Setia, hlm. 609. Bandingkan juga pendapatnya bahwa

(20)

78

berbagai kehidupan.49 Jika pemberitaan mengenai Yesus Kristus, dalam terang mewujudnyatakan karya pendamaian Allah, maka seyogyanya pemberitaan tersebut juga dilakukan secara damai, tidak menekankan superioritas diri atau agama Kristen. Oleh karena itu, pemberitaan mengenai Yesus Kristus yang mendamaikan manusia dan dunia dengan Allah perlu diwujudkan dalam dialog kehidupan. Pemberitaan dalam dialog kehidupan mengartikan adanya pemberitaan secara verbal maupun tindakan, baik secara personal maupun sebagai komunitas Kristen.50

Pertama, pemberitaan secara verbal mengenai Yesus agaknya lebih tepat jika ditempatkan dalam dialog teologis antar iman. Hal ini dikarenakan pemberitaan secara verbal seringkali menimbulkan masalah, kecuali dalam khotbah di Gereja. Pemberitaan secara verbal secara biasa/sepihak – dalam konteks keberagaman agama – dapat membuat orang beragama lain beranggapan kristenisasi. Berbeda halnya jika pemberitaan secara verbal tersebut ditempatkan dalam suatu dialog teologis, di mana pihak lain juga diundang untuk bisa berkomunikasi dan berbagi. Dengan adanya dialog teologis antar iman, maka berbagai masalah teologis yang merupakan titik temu maupun titik berbeda agama-agama dapat dibicarakan dengan terbuka atas dasar saling menghargai pandangan dan penghayatan iman masing-masing. Dialog teologis ini juga harus diadakan secara intelektual, sehingga perasaan curiga dan klaim-klaim yang bersifat emosional dapat dikendalikan. Dalam arti, masing-masing pihak dapat berpikiran jernih, sehingga dapat bersedia untuk saling mendengarkan dan berdialog.51 Dalam dialog tersebut, orang Kristen dapat memberitakan arti dan makna pendamaian yang Allah nyatakan melalui Kristus kepada umat agama lain. Dengan demikian, maka karya Yesus Kristus yang mendamaikan manusia dan dunia dengan Allah dapat diberitakan kepada umat agama lain secara damai, tanpa menimbulkan suatu kecurigaan ataupun masalah dengan pihak lain, sehingga dapat turut mewujudkan perdamaian. Di samping itu, umat Kristen pun juga dapat belajar mengenai karya pendamaian Allah bagi manusia dan dunia menurut penghayatan iman umat agama lain, agar imannya sendiri akan pendamaian dapat semakin diperkaya.

49 Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner, hlm. 123 50 Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner, hlm. 289 51

(21)

79

Kedua, pemberitaan melalui tindakan, baik secara personal maupun sebagai komunitas Kristen, juga diperlukan di samping pemberitaan secara verbal. Memberitakan karya Yesus yang mendamaikan melalui tindakan berarti setiap tindakan orang Kristen juga seyogyanya mencerminkan perdamaian itu sendiri. Sederhananya, jika seseorang mengimani bahwa Kristus mendamaikan manusia dengan Allah, maka seyogyanya ia mewujudkan perdamaian dalam kehidupannya sehari-hari. Damai diwujudkan bukan hanya dalam komunitas sesama Kristen saja, melainkan juga dalam komunitas umum dengan masyarakat yang berlainan agama. Memberitakan karya Yesus Kristus melalui tindakan juga berarti menerapkan pola hidup sama seperti Dia yang telah memulihkan martabat manusia dan relasi manusia dengan Allah. Jika di dalam karya pendamaian Kristus telah berkarya untuk membenarkan manusia, maka seyogyanya orang Kristen tidak menganggap dirinya paling benar dibanding yang lain. Apalagi jika sampai menghakimi dan menyalahkan sesuatu yang dipegang sebagai kebenaran atau diimani dalam agama lain. Jika karya Kristus mengartikan penebusan bagi seluruh manusia, maka seyogyanya orang Kristen pun juga memperlakukan sesamanya, termasuk yang beda agama, sebagaimana orang yang ditebus (merdeka). Dalam arti, tidak melarang, membatasi, atau bahkan mengintimidasi kebebasan orang lain dalam beragama, baik memeluk maupun melaksanakan ibadahnya. Ketika orang Kristen menerapkan cinta kasih, keadilan, dan perdamaian dalam hidup bersama dengan umat lain, maka di saat itulah karya pendamaian Allah sedang dalam proses diberitakan dan nyata dalam konteks keberagaman agama.52

Dengan demikian, tampak bahwa teks Alkitab II Kor 5: 18-21 relevan dan bahkan dapat dijadikan dasar/acuan dalam pemberitaan Injil, khususnya dalam memberitakan Yesus Kristus, dalam konteks keberagaman agama di Indonesia. Pemberitaan mengenai Yesus Kristus memang seyogyanya didahului dengan perumusan ulang misi dan pemahaman akan Yesus. Hal ini dikarenakan konteks yang berbeda mempengaruhi pola pemberitaan Yesus Kristus secara relevan dan kontekstual. Perumusan ulang misi berikut paham-paham mengenai diri Yesus, yang disesuaikan dengan konteks keberagaman agama, akan mampu membawa umat Kristen terbuka terhadap agama lain, dengan tetap menyatakan kesetiaan

52

(22)

80

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari pelatihan pembuatan produk olahan nangka adalah menciptakan produk olahan dari buah nangka yang memiliki nilai jual dengan memberdayakan masyarakat desa

Kewajiban Pembayaran Bank Umum yang dijamin oleh Pemerintah meliputi pembayaran kepada Kreditur atau Nasabah Penyimpanan dalam negeri dan luar negeri, baik dalam mata uang

[r]

Dalam “Siang Makkah” penyair menggambarkan pengalaman spiritualnya di tengah panasnya suhu udara Makkah yang tidak dapat terlepas dari suara gamelan yang gaduh

Keterbatasan yang ditemukan dalam penelitian ini dapat menjadi sumber bagi penelitian yang akan datang adalah: Uji efek mediasi dalam penelitian ini tidak mampu membuktikan motivasi

Sambung nyawa mengandung senyawa kimia, seperti flavonoid, sterol tak jenuh, triterpenoid, polifenol, saponin, steroid, asam klorogenat, asam kafeat, asam vanilat,

Jika ada anggota yang datang ke kantor untuk melakukan penyetoran atau pembukaan rekening baru sirela dan nasabah tersebut meminta brosur, maka teller BMT Harapan Umat