• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKAMETODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian Status Gizi Balita Berdasarkan Indeks - BB/U - TB/U - BB/TB Ketahanan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKAMETODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian Status Gizi Balita Berdasarkan Indeks - BB/U - TB/U - BB/TB Ketahanan"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ketahanan Pangan

2.1.1. Defenisi Ketahanan Pangan

Ada beberapa defenisi ketahanan pangan, antara lain :

(2)

2. Internasional Confrence in Nutrition, (FAO/WHO, 1992) mendefenisikan ketahanan pangan sebagai akses setiap rumah tangga atau individu untuk memperoleh pangan pada setiap waktu untuk keperluan hidup sehat.

3. World Food Summit 1996 memeperluas defenisi diatas dengan persyaratan penerimaan pangan sesuai dengan nilai dan budaya setempat.

4. World Bank 1996: Ketahanan Pangan adalah: akses oleh semua orang pada segala waktu atas pangan yang cukup untuk kehidupan yang sehat dan aktif.

5. Oxfam 2001: Ketahanan Pangan adalah kondisi ketika: “setiap orang dalam segala waktu memiliki akses dan kontrol atas jumlah pangan yang cukup dan kualitas yang baik demi hidup yang aktif dan sehat. Dua kandungan makna tercantum di sini yakni: ketersediaan dalam artian kualitas dan kuantitas dan akses (hak atas pangan melalui pembelian, pertukaran maupun klaim).

6. FIVIMS (Food Insecurity and Vulnerability Information and Mapping Systems, 2005 ): Ketahanan Pangan adalah: kondisi ketika semua orang pada segala waktu secara fisik, sosial dan ekonomi memiliki akses pada pangan yang cukup, aman dan bergizi untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi (dietary needs) dan pilihan pangan (food preferences) demi kehidupan yang aktif dan sehat.

7. Hasil Lokakarya Ketahanan Pangan Nasional (DEPTAN, 1996) mendefenisikan ketahanan pangan adalah kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan anggota rumah tangga dalam jumlah, mutu dan ragam sesuai dengan budaya setempat dari waktu kewaktu agar dapat hidup sehat.

(3)

yang cukup, mutu yang layak, aman, dan juga halal, yang didasarkan pada optimalisasi pemanfaatan dan berbasis pada keragaman sumber daya domestik. Salah satu indikator untuk mengukur ketahanan pangan adalah ketergantungan ketersediaan pangan nasional terhadap impor (Litbang Deptan, 2005).

2.1.2. Sistem Ketahanan Pangan

Secara umum, ketahanan pangan mencakup 4 aspek, yaitu Kecukupan

(sufficiency), akses (access), keterjaminan (security), dan waktu (time) (Baliwaty , 2004). Dengan adanya aspek tersebut maka ketahanan pangan dipandang menjadi suatu sistem, yang merupakan rangkaian dari tiga komponen utama yaitu ketersediaan dan stabilitas pangan (food availability dan stability), kemudahan memperoleh pangan (food accessibility) dan pemanfaatan pangan.

Terwujudnya ketahanan pangan merupakan hasil kerja dari suatu sistem yang terdiri dari berbagai subsistem yang saling berinteraksi, yaitu subsistem ketersediaan mencakup pengaturan kestabilan dan kesinambungan penyediaan pangan. Ketersediaan pangan menyangkut masalah produksi, stok, impor dan ekspor, yang harus dikelola sedemikian rupa, sehingga walaupun produksi pangan sebagaian bersifat musiman, terbatas dan tersebar antar wilayah, pangan yang tersedia bagi keluarga harus cukup volume dan jenisnya, serta stabil dari waktu kewaktu.

(4)

Surplus pangan tingkat wilayah, belum menjamin kecukupan pangan bagi individu/masyarakatnya.

Sedangkan subsistem konsumsi menyangkut pendidikan masyarakat agar mempunyai pengetahuan gizi dan kesehatan yang baik, sehingga dapat mengelola konsumsi individu secara optimal sesuai dengan tingkat kebutuhannya. Konsumsi pangan tanpa memperhatikan asupan zat gizi yang cukup dan berimbang tidak efektif bagi pembentukan manusia yang sehat, daya tahan tubuh yang baik, cerdas dan produktif (Thaha, dkk, 2000).

Apabila ketiga subsistem diatas tidak tercapai, maka ketahanan pangan tidak mungkin terbangun dan akibatnya menimbulkan kerawanan pangan (Suryana, 2003).

2.1.3. Rawan pangan

(5)

Menurut Food An Agriculture Organization Of The United Nations (FAO)

dan Undang Undang nomor 7 tahun 1996 tentang pangan, maka kondisi rawan pangan dapat diartikan bahwa individu atau rumah tangga masyarakat yang tidak memiliki akses ekonomi (penghasilannya tidak memadai atau harga pangan tidak terjangkau), tidak memiliki akses secara fisik, untuk memperoleh pangan yang cukup kehidupan yang normal, sehat dan produktif, baik kualitas maupaun kuantitasnya.

Rawan pangan dapat mengakibatkan kelaparan, kurang gizi dan gangguan kesehatan, termasuk didalamnya busung lapar. Bahkan dalam keadaan yang paling fatal dan menyebabkan kematian.

Kejadian krisis pangan dan gizi dapat diantisipasi apabila gejala gejala kekurangan pangan dan gizi serta masalahnya dapat secara dini diidentifikasi dan kemudian dilakukan tindakan secara tepat dan cepat sesuai dengan kondisi yang ada (Badan Ketahanan Pangan Propinsi Sumut, 2005).

2.2. Pendapatan Pangan Keluarga

(6)

Tidak cukupnya persediaan pangan keluarga menunjukkkan adanya kerawanan pangan keluarga (Household Food Insecurity), artinya kemampuan keluarga untuk membeli pangan keluarga untuk memenuhi pangan, baik jumlah maupun mutu gizinya bagi seluruh keluarga belum terpenuhi (Soekirman, 2000). 2.3. Pengeluaran Pangan keluarga

Hasil SUSENAS (1996-1998) menunjukkan pengeluaran bagi keluarga miskin berkisar 60-80% dari pendapatan dan bagi keluarga mampu berkisar antara 20 -59%. Hal ini sesuai dengan hukum Engel, pada saat terjadinya peningkatan pendapatan, konsumen/ keluarga akan membelanjakan pendapatannya untuk pangan dengan proporsi yang semakin kecil. Sebaliknya bila pendapatan menurun, porsi yang dibelanjakan untuk pangan makin meningkat (Soekirman, 2000). Sedangkan menurut asumsi Berg (1986) persentasi pengeluaran pangan keluarga dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu : pengeluaran pangan <45% dikatergorikan sebagai keluarga kaya, pengeluaran pangan 46-79% dikategorikan sebagai keluaraga menengah, dan pengeluaran pangan > 80% termasuk kategori keluarga miskin.

Peningkatan pendapatan berlebih lanjut tidak hanya akan meningkatkan keanekaragaman konsumsi pangan, tetapi juga akan berakibat pada peningkatan konsumsi lemak, protein hewani dan gula, termasuk peningkatan komsumsi pangan dari luar rumah. Sedangkan disisi lain terjadi penurunan konsumsi pangan yang lebih murah, yaitu pangan pokok berpati dan protein nabati (Soekirman, 2000).

2.4. Konsumsi Pangan

(7)

dan minuman bagi konsumsi manusia yang termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan atau pembuatan makanan dan minuman (Depkes, 2004).

Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi (dimakan) atau diminum seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu. Jenis dan jumlah pangan merupakan informasi yang penting dalam menghitung jumlah zat gizi yang dikonsumsi (Hardinsyah, 1994).

Secara umum, faktor faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan adalah faktor ekonomi dan harga dimana keadaan ekonomi keluarga relatif mudah diukur dan berpengaruh besar pada konsumsi pangan, terutama pada golongan miskin, selain pendapatan, faktor ekonomi yang mempengaruhi konsumsi pangan adalah harga pangan dan non pangan. Harga pangan yang tinggi menyebabkan berkurangnya daya beli yang berarti pendapatan riil berkurang. Keadaan ini menyebabkan konsumsi pangan berkurang sedangkan faktor sosio-budaya dan religi yaitu aspek sosial budaya berarti fungsi pangan dalam masyarakat yang berkembang sesuai dengan keadaaan lingkungan, agama, adat, kebiasaan dan pendidikan masyarakat tersebut. Kebudayaan suatu masyarakat mempunyai kekuatan yang berpengaruh terhadap pemilihan bahan makanan yang digunakan untuk dikonsumsi. Kebudayaan mempengaruhi seseorang dalam konsumsi pangan yang menyangkut pemilihan jenis bahan pangan, pengolahan, serta persiapan dan penyajiannya (Baliwati, 2004).

(8)
(9)
[image:9.612.114.530.172.673.2]

Menurut Widia Karya Nasional Pangan dan Gizi Tahun 2004, angka kecukupan energi rata-rata yang dianjurkan (per orang per hari) adalah :

Tabel 2.1. Angka Kecukupan Energi dan Protein Rata Rata yang Dianjurkan

No Umur Energi (Kkal) Protein (gr)

Anak :

1 0-6 bl 550 10

2 7-11 bl 650 16

3 1-3 th 1000 25

4 4-6 th 1550 39

5 7-9 th 1800 45

Pria

6 10-12 th 2050 50

7 13-15 th 2400 60

8 16-18 th 2600 65

9 19-29 th 2550 60

10 30-49 th 2350 60

11 50-64 th 2250 60

12 65+ th 2050 60

Wanita

13 10-12 th 2050 50

14 13-15 th 2350 57

15 16-18 th 2200 55

16 19-29 th 1900 50

17 30-49 th 1800 50

18 50-64 th 1750 50

19 65+ th 1600 45

Hamil

20 Trimester I + 180 + 17

21 Trimester 2 + 300 + 17

22 Trimester 3 +300 + 17

Menyusui

23 6 bl pertama + 500 + 17

24 6 bl kedua + 550 + 17

(10)

2.5. Status gizi Anak Balita

Menurut Supariasa 2001 status gizi merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujudan nutriture dalam bentuk variabel tertentu.

Menurut Mc Lareen yang dikutip oleh Berg (1981) memberikan batasan gizi atau nutrisi sebagai suatu proses dimana mahluk hidup memanfaatkan makanan untuk keperluan pemeliharaan fungsi organ tubuh, pertumbuhan dan penghasil energi. Manfaat makanan diperoleh melalui proses pencernaan, penyerapan, transport dalam tubuh, penyimpanan, metabolisme dan membuang sisa yang tidak diperlukan oleh tubuh.

Menurut Siswono (2002), status gizi seseorang sangat dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain tingkat pendapatan, pengetahuan gizi dan budaya setempat. Tingginya pendapatan tidak diimbangi dengan pengetahuan gizi yang cukup, akan menyebabkan seseorang menjadi konsumtif dalam pola makan sehari hari. Dapat dipastikan bahwa pemilihan suatu bahan makanan lebih didasarkan pada pertimbangan selera ketimbang gizi.

(11)

Malnut risi terdiri dari : 1) under weight terjadi apabila intake < kebutuhan, dan 2) obesitas, terjadi apabila intake > kebutuhan (Halomoan, 1999).

Status gizi anak balita secara langsung dipengaruhi oleh asupan gizi (konsumsi pangan) dan penyakit infeksi. Kedua penyebab tersebut sering terjadi dan saling mempengaruhi. Penyebab langsung ini dapat timbul karena tiga faktor penyebab tidak langsung seperti ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, pola pengasuhan anak serta ketersediaan air bersih dan pelayanan kesehatan dasar. Lebih jauh masalah gizi disebabkan oleh kemiskinan, pendidikan, ketahanan pangan dan kesempatan kerja yang sempit (Depkes RI, 1995).

2.6. Pengukuran Status Gizi Balita

Untuk mengetahui , menilai status gizi dapat dilakukan secara langsung dengan pemeriksaan Antropometri, pemeriksaan tanda tanda klinik, penilaian secara biokimia dan pemeriksaan biofisik. Untuk penelitian di lapangan lebih sering digunakan Antropometri, karena relatif murah dan mudah, objektif dan dapat dengan cepat dilakukan pengukuran serta dapat dilakukan setiap orang setelah dilatih.

Status gizi anak balita dapat diukur dengan indeks antropometri BB/U, TB/U, dan BB/TB.

2.6.1. Penilaian Status Gizi Secara Antropometri

(12)

Pengukuran antropometri relatif mudah dilaksanakan, akan tetapi untuk berbagai cara, pengukuran antropometri ini membutuhkan keterampilan, peralatan dan keterangan untuk pelaksanaanya. Jika dilihat dari tujuannya antropometri dapat dibagi menjadi dua yaitu :

1. Untuk ukuran massa jaringan : pengukuran berat badan, tebal lemak dibawah kulit, lingkar lengan atas. Ukuran massa jaringan ini sifatnya sensitive, cepat berubah, mudah turun naik dan menggambarkan keadaan sekarang.

2. Untuk ukuran linier : pengukuran tinggi badan, lingkar kepala dan lingkar dada. Ukuran linier sifatnya spesifik, perubahan relatif lambat, ukurannya tetap atau naik, dapat menggambarkan riwayat masa lalu.

Parameter dan indeks antropometri yang umum digunakan untuk menilai status gizi anak adalah indikator Berat Badan Menurut Umur (BB/U), Tinggi Badan menurut Umur (TB/U), Berat Badan menurut Tinggi badan (BB/TB) (Depkes RI, 1995)

2.6.1.1 Indeks Berat Badan Menurut Umur (BB/U)

(13)

Sebaliknya keadaan abnormal, terdapat dua kemungkinan perkembangan berat badan yaitu berkembang lebih cepat atau berkembang lebih lambat dari keadaan normal. Berdasarkan sifat-sifat ini, maka indeks berat badan menurut umur (BB/U) digunakan sebagai salah satu indikator status gizi. Oleh karena sifat berat badan yang stabil maka indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi seseorang pada saat kini (current nutritional status).

2.6.1.2 Indeks Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U)

Tinggi badan merupakan ukuran antropometri yang menggambarkan pertumbuhan skeletal. Dalam keadaan normal, tinggi badan tumbuh bersamaan dangan pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan, relatif kurang sensitif terhadap masalah defisiensi zat gizi jangka pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan baru akan tampak pada saat yang cukup lama.

Indeks TB/U lebih menggambarkan status gizi masa lampau, dan dapat juga digunakan sebagai indikator perkembangan sosial ekonomi masyarakat. Keadaan tinggi badan anak pada usia sekolah (tujuh tahun), menggambarkan status gizi masa balitanya. Masalah penggunaan indeks TB/U pada masa balita, baik yang berkaitan dengan kesahihan pengukuran tinggi badan maupun ketelitian data umur (Jahari, 1998).

2.6.1.3Indeks Berat Badan Menurut Tingi Badan (BB/TB)

(14)

dengan percepatan tertentu. Indeks BB/TB merupakan indikator yang baik untuk menyatakan status gizi masa kini dan masa lalu, terlebih bila data umur yang akurat sulit diperoleh. Oleh karena itu indeks berat badan menurut tinggi badan disebut pula sebagai indikator yang independen terhadap umur. Karena BB/TB memiliki keuntungan dan kelemahan, terutama bila digunakan terhadap anak balita (B. Abas, 1998).

2.7. Desa Tertinggal

2.7.1. Pengertian Desa Tertinggal

(15)

longsor, gunung api, maupun banjir atau daerah yang sebagian besar wilayahnya berupa pesisir. Permasalahan yang dihadapi desa tertinggal antara lain kualitas sumber daya manusia di daerah tertinggal relatif lebih rendah di bawah rata-rata nasional akibat terbatasnya akses masyarakat terhadap kesehatan (Kementrian Daerah Tertinggal, 2004).

2.8. Kerangka Konsep

Kondisi desa tertinggal dapat mempengaruhi kondisi ketahanan pangan keluarga baik secara kualitatif maupun kuantitatif dan merupakan penyebab tidak langsung masalah status gizi anak balita.

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Gambaran Ketahan Pangan Keluarga di Desa Tertinggal Kecamatan Pintupohan Meranti

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Status Gizi Balita Berdasarkan

Indeks - BB/U

- TB/U

- BB/TB

Ketahanan Pangan Keluarga :

- Kualitatif - Kuantitatif Desa

Tertinggal

[image:15.612.109.529.374.525.2]

Gambar

Tabel 2.1. Angka Kecukupan Energi dan Protein Rata Rata yang Dianjurkan
Gambar 2.1. Kerangka Konsep Gambaran Ketahan Pangan Keluarga di Desa Pangan Keluarga

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilaksanakan di kawasan Sungai Latuppa, Kelurahan Latuppa, Kecamatan Wara Utara, Kota Palopo pada bulan Mei sampai Juni 2016 yang bertujuan untuk

Aspek kompetensi lain inilah yang mencabar para mahasiswa untuk lebih proaktif dalam pelbagai program dan aktiviti tambahan di luar dewan kuliah yang bernilai tambah

yang telah melimpahan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan judul “Pengaruh Penerapan Model

Berdasarkan hasil penelitian tentang pengaruh pemberian ekstrak daun kari (Murraya koenigii L.) terhadap kadar glukosa darah mencit (Mus musculus) yang diinduksi

Walau bagaimanapun, peserta kajian ini menyatakan bahawa keterlibatan mereka terhadap MBK secara keseluruhannya adalah bersifat secara tidak langsung, iaitu apabila

Namun sebagian lain (≤ 25%) menilai masih kurang memadai, untuk pemberian layanan pendidikan anak berkebutuhan khusus, dan Dari sisi hasil (outcome) menunjukkan adanya

Guru membagikan tugas kepada setiap kelompok untuk mencari informasi berdasarkan gambar dan teks yang telah dibagikan.. Setiap kelompok memiliki topik yang berbeda

Dari penelitian ini akan diperoleh gambaran mengenai kesejahteraan, interaksi sosial dan kemampuan manajemen, pendapatan, biaya serta investasi, yang akan mengetahui