• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Pengadilan Agama Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Pengadilan Agama Medan"

Copied!
123
0
0

Teks penuh

(1)

MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN

SENGKETA DI PENGADILAN AGAMA MEDAN

TESIS

Oleh :

ERPI DESRINA HASIBUAN

107005137/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN

SENGKETA DI PENGADILAN AGAMA MEDAN

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Ilmu Hukum Pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh :

ERPI DESRINA HASIBUAN

107005137/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Judul Tesis : MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DI PENGADILAN AGAMA MEDAN

N a m a : ERPI DESRINA HASIBUAN

N I M : 107005137

Program Studi : Magister Ilmu Hukum

Menyetujui, Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum Ketua

)

(Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum) (Dr. T. Keizerina Devi, SH, CN, M.Hum Anggota Anggota

)

Ketua Program Studi Dekan

(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 26 Juli 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua

: Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum

Anggota : 1. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum

2. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum

3. Dr. Dedi Harianto, SH, M.Hum

(5)

ABSTRAK

Penumpukan perkara di Mahkamah Agung solusi mengatasinya dengan pemberdayaan pasal 130 HIR/ 154 Rbg dan intensifitas Perma No. 2 Tahun 2003 dan telah diperbaharui dengan Perma No. 1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di pengadilan yang mewajibkan proses mediasi sebelum pemeriksaan perkara. Permasalahan yang terjadi adalah bagaimana pelaksanaan mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Pengadilan Agama Medan serta apa yang menjadi penyebab keberhasilan dan kegagalan mediasi di Pengadilan Agama Medan. Pemecahan masalah tersebut dilakukan penelitian secara yuridis, sosiologis untuk menganalisis pelaksanaan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa di Pengadilan Agama Medan, persentase keberhasilan mediasi, faktor-faktor penyebab efektifitasnya di Pengadilan Agama Medan dengan melakukan penelitian terhadap hakim/mediator, advokat dan pencari keadilan. Pada pembahasan masalah dalam melakukan analisis dipergunakan teori islah.

Pelaksanaan mediasi di Pengadilan agama Medan, dibagi dalam 4 (empat)

tahapan, yaitu : 1). Tahap pendaftaran Perkara, 2). Tahap penetapan Mediator, 3). Tahap pelaksanaan Mediasi dan 4). Tahap akhir Mediasi.

Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan mediasi di Pengadilan Agama Medan adalah asfek Mediator, aspek Perkara, aspek para pihak dan aspek Sarana sedangkan faktor yang menjadi penyebab kegagalan mediasi di Pengadilan agama Medan yaitu: (1) faktor substansi hukum (2 Struktur hukum, dan (3) Cultural hukum (masyarakat/budaya),

Mengatasi ketidakpastian pelaksanaan mediasi diperlukan pembaharuan terhadap peraturan Mahkamah Agung perlu memaksimalkan fungsi lembaga Mediasi profesional di luar pengadilan dengan membuat aturan setiap perselisihan/sengketa hendaknya diselesaikan terlebih dahulu pada lembaga Mediasi profesional di luar pengadilan sebelum akhirnya dibawa penyelesaiannya ke pengadilan dan diharapkan Peradilan Agama dapat dijadikan sebagai peradilan keluarga, sehingga Pengadilan Agama memerlukan bentuk mediasi yang ideal yang dituangkan dalam bentuk undang-undang yang dapat dijadikan landasan hukum bagi pelaksanaan mediasi di Pengadilan Agama, khususnya Pengadilan Agama Medan, yaitu mendudukkan

mediasi atau specifically mediasi keluarga secara proporsional dalam konteks

penyelesaian sengketa keluarga di Indonesia dengan demikian diharapkan dapat meminimalisir perkara yang menyangkut keluarga.

(6)

ABSTRACT

Stacking cases in the Supreme Court can be solved by empowering Article 130 HIR/154 Rbg and intensifying the Regulation of Supreme Court No.2/2003 which has been amended by the Regulation of Supreme Court No.1/2008 on the Procedure of Court Mediation which requires mediation process before the case investigation (proceedings). The problems discussed in this study was how mediation as the alternative to dispute settlement in Medan Religious Court was implemented and what caused the success and failure of mediation in Medan Religious Court. A sociological juridical study was conducted to solve the problem by analyzing the implementation of mediation as the alternative to dispute settlement in Medan Religious Court, the percentage of successful mediation, and the factors causing the effectiveness of mediation in Medan Religious Court by conducting a research on judges/mediators, advocates and litigants. The theory of reconciliation was used to discuss the problem in the analysis.

The implementation of mediation in Medan Religious Court is divided inbto 4 (four) phases: 1) case registration, 2) mediator establishment, 3) implementation of mediation, and 4) final stage of mediation.

The factors influencing the success of mediation in Medan Religious Court were the aspects of mediator, case, parties involved, and facility, while the factors that caused failure of mediation in Medan Religious Court were the factors of legal substance, legal structure, and legal culture (community/culture).

To solve the uncertain mediation implementation, the regulations of Supreme Court need to be reformed, the function of professional mediation institution out side of the court needs to be maximalized by making the rule saying that any dispute should be first settled through the professional mediation institution out side of the court before the case is brough to court of law, and Religious Court can be functioned as family justice that Religious Court needs an ideal form of mediation set forth in the form of lawthat can be used as the legal base for the implementation of mediation in Religious Court, especially Medan Religious Court, to position the mediation or specifically family mediation proportionally in the context of family dispute settlement in Indonesia, and so it is expected to be able to minimize the cases related to family issues.

(7)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah Penulis panjatkan kepada Allah SWT Yang Maha

Pengasih dan Maha Penyayang atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga tesis ini

dapat diselesaikan.

Penulis menyadari bahwa penulisan ini masih terdapat kekurangan sehingga

penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun serta terdapat

penelitian-penelitian lain yang lebih baik dan relevan dengan tesis ini pada masa yang

akan datang.

Penulis juga menyadari bahwa tesis ini dapat diselesaikan karena dukungan dan

bantuan berbagai pihak, untuk itu Penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada :

1. Prof.Dr. Runtung Sitepu, SH.M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum USU juga

selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Penguji.

2. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MS, sebagai Ketua Program studi Magister Ilmu Hukum.

3. Prof. Dr.Budiman Ginting,S.H., M.Hum. , selaku Anggota Komisi Pembimbing

dan Penguji.

4. Ibu Dr. T.Kazerina Devi, SH.CN. M.Hum. sebagai Komisi Pembimbing dengan

penuh perhatian memberikan dorongan, bimbingan dan saran kepada penulis.

5. Ibu Dr. Idha Aprilia, SH., M.Hum., selaku Anggota Komisi Penguji.

6. Para Dosen yang telah memberikan ilmu dan pengarahan kepada Penulis selama

menuntut ilmu pengetahuan di Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah

(8)

7. Seluruh pegawai Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara atas segala pelayanan dan dorongan kepada Penulis.

8. Ketua dan wakil ketua Pengadilan Agama Medan, Mediator Pengadilan Agama

Medan serta Hakim Pengadilan dan Panitera Pengadilan Agama Medan.

9. Kedua Orang Tua tercinta yang mendidik dengan penuh rasa kasih sayang,

menanamkan budi pekerti yang luhur serta iman kepada Allah SWT, Semoga

amal dan ibadahnya diterima disisiNya.

10.Kepada Suamiku tercinta, anak-anakku Inspirasiku yang membuatku ingin terus

maju dan maju, Adi Perdana Lubis, Nida’ul Haq Lubis, Riedha Rizkiyah Lubis

dan Seila El-Saadah Lubis, Saudara-saudaraku, Kakak dan Adik yang penulis

sayangi, atas kesabaran dan pengertiannya serta memberikan do’a dan semangat

kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan Tesis ini.

11.Kepada Rekan-rekan di Program Magister Ilmu Hukum, dan rekan-rekan yang

tidak dapat disebutkan satu persatu.

Akhirnya penulis berharap semoga Tesis ini dapat memberi manfaat dan

menyampaikan permintaan yang tulus jika seandainya dalam penulisan ini, penulisan

Tesis ini terdapat kekurangan dan kekeliruan di sana-sini, penulis juga menerima

kritik dan saran yang bertujuan serta bersifat membangun untuk menyempurnakan

penulisan Tesis ini.

Penulis

(9)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Erpi Desrina Hasibuan

Tempat/Tgl. Lahir : Tapanuli Selatan, 3 Oktober 1968

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

PENDIDIKAN

SD : Hutanopan Tahun 1975 – 1981

SLTP : Hutanopan Tahun 1981 – 1984

SLTA : Padang Sidimpuan Tahun 1984 – 1987

S1 IAIN : Medan Tahun 1993

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 12

E. Keaslian Penelitian... 13

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 13

1. Kerangka Teori ... 14

2. Konsepsi ... 18

G. Metode Penelitian ... 19

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 19

2. Sumber Data Penelitian ... 21

3. Teknik Pengumpulan Data ... 22

4. Analisis Data ... 23

(11)

BAB II : PELAKSANAAN MEDIASI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA DI PENGADILAN AGAMA MEDAN

A. Pengertian Mediasi ... 25

B. Berbagai Bentuk Mediasi dalam Masyarakat Indonesia ... 30

C. Pelembagaan Mediasi ... 36

D. Keahlian yang harus dimiliki Mediator ... 64

E. Tahapan-tahapan Mediasi ... 67

1. Tahap Pra Mediasi ... 67

2. Tahap-tahap Proses Mediasi ... 68

3. Tahap Akhir Hasil Mediasi ... 76

F. Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan Agama Medan ... 76

1. Tahap Pendaftaran Perkara ... 76

2. Tahap Penetapan Mediator ... 81

3. Tahap Pelaksanaan Mediasi ... 83

4. Tahap Akhir Pelaksanaan Mediasi ... 87

BAB III : KEBERHASILAN MEDIASI DAN PENYEBAB KEGAGALAN MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA MEDAN A. Faktor-faktor yang Menyebabkan Keberhasilan Mediasi .... 92

B. Faktor-faktor yang Menyebabkan Kegagalan Mediasi ... 96

1. Faktor Substansi Hukum ... 96

2. Faktor Aparatur Hukum ... 97

(12)

BAB IV : PENUTUP

A. Kesimpulan ... 103

B. Saran ... 105

(13)

ABSTRAK

Penumpukan perkara di Mahkamah Agung solusi mengatasinya dengan pemberdayaan pasal 130 HIR/ 154 Rbg dan intensifitas Perma No. 2 Tahun 2003 dan telah diperbaharui dengan Perma No. 1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di pengadilan yang mewajibkan proses mediasi sebelum pemeriksaan perkara. Permasalahan yang terjadi adalah bagaimana pelaksanaan mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Pengadilan Agama Medan serta apa yang menjadi penyebab keberhasilan dan kegagalan mediasi di Pengadilan Agama Medan. Pemecahan masalah tersebut dilakukan penelitian secara yuridis, sosiologis untuk menganalisis pelaksanaan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa di Pengadilan Agama Medan, persentase keberhasilan mediasi, faktor-faktor penyebab efektifitasnya di Pengadilan Agama Medan dengan melakukan penelitian terhadap hakim/mediator, advokat dan pencari keadilan. Pada pembahasan masalah dalam melakukan analisis dipergunakan teori islah.

Pelaksanaan mediasi di Pengadilan agama Medan, dibagi dalam 4 (empat)

tahapan, yaitu : 1). Tahap pendaftaran Perkara, 2). Tahap penetapan Mediator, 3). Tahap pelaksanaan Mediasi dan 4). Tahap akhir Mediasi.

Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan mediasi di Pengadilan Agama Medan adalah asfek Mediator, aspek Perkara, aspek para pihak dan aspek Sarana sedangkan faktor yang menjadi penyebab kegagalan mediasi di Pengadilan agama Medan yaitu: (1) faktor substansi hukum (2 Struktur hukum, dan (3) Cultural hukum (masyarakat/budaya),

Mengatasi ketidakpastian pelaksanaan mediasi diperlukan pembaharuan terhadap peraturan Mahkamah Agung perlu memaksimalkan fungsi lembaga Mediasi profesional di luar pengadilan dengan membuat aturan setiap perselisihan/sengketa hendaknya diselesaikan terlebih dahulu pada lembaga Mediasi profesional di luar pengadilan sebelum akhirnya dibawa penyelesaiannya ke pengadilan dan diharapkan Peradilan Agama dapat dijadikan sebagai peradilan keluarga, sehingga Pengadilan Agama memerlukan bentuk mediasi yang ideal yang dituangkan dalam bentuk undang-undang yang dapat dijadikan landasan hukum bagi pelaksanaan mediasi di Pengadilan Agama, khususnya Pengadilan Agama Medan, yaitu mendudukkan

mediasi atau specifically mediasi keluarga secara proporsional dalam konteks

penyelesaian sengketa keluarga di Indonesia dengan demikian diharapkan dapat meminimalisir perkara yang menyangkut keluarga.

(14)

ABSTRACT

Stacking cases in the Supreme Court can be solved by empowering Article 130 HIR/154 Rbg and intensifying the Regulation of Supreme Court No.2/2003 which has been amended by the Regulation of Supreme Court No.1/2008 on the Procedure of Court Mediation which requires mediation process before the case investigation (proceedings). The problems discussed in this study was how mediation as the alternative to dispute settlement in Medan Religious Court was implemented and what caused the success and failure of mediation in Medan Religious Court. A sociological juridical study was conducted to solve the problem by analyzing the implementation of mediation as the alternative to dispute settlement in Medan Religious Court, the percentage of successful mediation, and the factors causing the effectiveness of mediation in Medan Religious Court by conducting a research on judges/mediators, advocates and litigants. The theory of reconciliation was used to discuss the problem in the analysis.

The implementation of mediation in Medan Religious Court is divided inbto 4 (four) phases: 1) case registration, 2) mediator establishment, 3) implementation of mediation, and 4) final stage of mediation.

The factors influencing the success of mediation in Medan Religious Court were the aspects of mediator, case, parties involved, and facility, while the factors that caused failure of mediation in Medan Religious Court were the factors of legal substance, legal structure, and legal culture (community/culture).

To solve the uncertain mediation implementation, the regulations of Supreme Court need to be reformed, the function of professional mediation institution out side of the court needs to be maximalized by making the rule saying that any dispute should be first settled through the professional mediation institution out side of the court before the case is brough to court of law, and Religious Court can be functioned as family justice that Religious Court needs an ideal form of mediation set forth in the form of lawthat can be used as the legal base for the implementation of mediation in Religious Court, especially Medan Religious Court, to position the mediation or specifically family mediation proportionally in the context of family dispute settlement in Indonesia, and so it is expected to be able to minimize the cases related to family issues.

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejarah panjang peradaban manusia selalui diwarnai konflik baik dari level

komunitas terkecil seperti rumah tangga hingga ke tingkat menengah seperti

antara partai, golongan sampai ke komunitas terbesar antar bangsa, agama dan

negara. Konflik tersebut sering dilatarbelakangi oleh berbagai motif dan

kepentingan. Salah satu penyebabnya adalah karena hilangnya nilai-nilai

kebajikan, kemanusiaan, kedamaian dan persaudaraan antara individu atau

kelompok.

Konflik mengandung pengertian1 "benturan", seperti perbedaan pendapat,

persaingan, pertentangan antar individu dan individu, kelompok dan kelompok,

individu dan kelompok, dan antara individu atau kelompok dengan pemerintah.

Konflik terjadi antar kelompok yang memperebutkan hal yang sama. Sebuah

konflik berubah atau berkembang menjadi sebuah sengketa bilamana pihak yang

merasa dirugikan telah menyatakan rasa tidak puas atau keprihatinannya, baik

secara langsung kepada pihak yang dianggap sebagai penyebab kerugian atau

kepada pihak lain.2

1

Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta:Gramedia Widiasarana Indonesia,

1992), hlm.145.

2

Siti Megadianty Adam dan Takdir Rahmadi, Sengketa dan Penyelesaiannya, (Jakarta:

(16)

Kebanyakan dari sengketa yang terjadi, mengambil jalan dengan cara

menyelesaikan sengketanya lewat jalur hukum di Pengadilan, untuk dimensi

hukum perdata Islam maka arahnya ke Pengadilan Agama. Hampir semua kasus

perdata akhirnya diajukan pula ke pengadilan yang tertinggi untuk kasasi karena

selalu tidak puasnya para pihak yang kalah. Bahkan ada kecenderungan orang

sengaja mengulur waktu dengan selalu mempergunakan upaya hukum, bahkan

walaupun kurang beralasan dilanjutkan pula ke Peninjauan Kembali.3

Upaya Penyelesaikan sengketa atau perkara di Pengadilan, maka jalan

pertama yang ditempuh di sana akan ditawarkan sebuah bentuk perdamaian yang

bernama Mediasi dalam menyelesaikan sengketa, perkara atau bahkan konflik.

4

Merekonsiliasi dan memperbaiki hubungan antara pihak-pihak terkait

sangat diperlukan demi terciptanya kembali kehidupan yang harmonis, damai dan

saling pengertian, para Nabi dan Rasul diutus oleh Allah SWT ke dunia dengan

tujuan menebarkan Rahmat dan Kedamaian di muka bumi sebagaimana

ditegaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Anbiya ayat 70 yang artinya ”Tidak Kami

utus Engkau wahai Muhammad kecuali untuk menjadikan rahmat bagi sekalian

alam”.

Perdamaian adalah jawaban yang paling lembut sekaligus penyelesaian

yang sama-sama menguntungkan (win-win solution) dan tidak ada yang merasa

dipecundangi, dan rasa egoisme para pihak akan sirna seiring dengan

3

Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 29.

4

Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum

(17)

terpenuhinya perdamaian sehingga terbangun nilai-nilai persaudaraan (ukhuwwah)

yang lebih kuat. Menciptakan konsep tersebut bukan hal yang mudah, karena

masing-masing pihak telah terbius dengan ambisi masing-masing untuk saling

ingin menguasai/memenangkan/mengalahkan.

Islam mengenal konsep perdamaian yang dikenal dengan istilah

Shulhu/Ishlah sebagaimana dalam Al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 10 yang

artinya: “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. sebab itu

damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah

terhadap Allah, supaya kamu mendapat Rahmat”.

Shulhu adalah5 “suatu proses penyelesaian sengketa dimana para pihak

mengakhiri perkara mereka secara damai”. Shulhu memberikan kesempatan

kepada para pihak untuk memikirkan jalan terbaik dalam dalam menyelesaikan

sengketa yang dapat memuaskan para pihak yang dilakukan secara suka rela tanpa

ada paksaan. Sulh menjadi sesuatu yang harus ada diantara kaum muslimin,

kecuali suatu perdamaian yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan

yang halal.6

Konsep shuhlu dalam Islam tidak berbeda dengan Mediasi yang

dipraktekkan di sejumlah Negara-negara di dunia. Penggunaan Mediasi untuk

menyelesaikan sengketa bukan merupakan fenomena baru. Di Amerika Serikat

kelompok Imigran Quaker, Cina dan Jahudi mula-mula lebih cenderung

menerapkan model-model mediasinya ketimbang mengikuti sistem peradilan

5

Ibid, hlm.159.

6

Syekh al-Imam Muhammad bin Ismail Al- Kahlani, subulussalam Juz 4 (Mesir: Syarikat

(18)

Amerika. Perhimpunan tenaga kerja juga telah menggunakan Mediasi sejak di

keluarkannya Arbitration Act 1888.7

Mediasi adalah:8

Cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh Mediator. Mediasi

merupakan

sebagai Mediator, yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan yang membantu pihak-pihak yang bersengketa mencapai penyelesaian (solusi) yang diterima oleh kedua belah pihak.

Mediasi di Indonesia merupakan bagian dari tradisi dari masyarakat, oleh

karena itu pengembangannya lebih dipengaruhi oleh faktor budaya, namun

seringkali faktor ketidakefisienan penyelesaian sengketa melalui Pengadilan turut

memperkuat komitmen mereka menggunakan Mediasi.9

Hukum Acara Perdata Indonesia yaitu HIR (Herzien Indonesis Reglement)

dalam Pasal 130 dan R.bg (Rechtsreglement Buitengewesten) Pasal 154 telah

mengatur lembaga perdamaian, dimana hakim yang mengadili wajib terlebih

dahulu mendamaikan para pihak yang berperkara sebelum perkaranya diperiksa

secara ajudikasi (Penyelesaian perkara atau sengketa di pengadilan). Pasal 130

ayat (1) jo. Pasal 131 ayat (1) HIR, berbunyi sebagai berikut: Jika pada hari yang

ditentukan itu kedua belah pihak datang, maka pengadilan negeri dengan

pertolongan ketua mencoba akan memperdamaikan mereka.10

7

Jacqueline M. Nolan – Hlmey, Alternative Dispute Resolution in a Nutshell (St. Paul –

Minnesota: West Publishing Co, 1992), hlm. 54-55.

8

PERMA No. 1 tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Pasal 1 angka 7.

9

Runtung Sitepu, “Pemberdayaan Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Indonesia”, Disampaikan dalam pidato pengukuhan Guru Besar Tetap dalam bidang Ilmu Hukum Adat pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2006, hlm. 25.

10

(19)

Selanjutnya ayat (2) mengatakan: Jika perdamaian yang demikian itu dapat

dicapai, maka pada waktu bersidang, diperbuat sebuah surat (akta) tentang itu,

dalam mana kedua belah pihak dihukum akan menaati perjanjian yang diperbuat

itu, surat mana akan berkekuatan dan akan dijalankan sebagai putusan yang

biasa.11

Agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, seorang Mediator harus

memahami fungsi apa saja yang harus ia perankan dalam suatu proses Mediasi.

Penerapan konsep Mediasi akan membawa hasil maksimal apabila semua pihak

mempunyai komitmen yang sama, niat yang sama dan saling memahami draf-draf

yang disodorkan oleh semua pihak, termasuk mengutamakan pikiran yang positif

(positive thinking) terhadap solusi yang ditawarkan para pihak sebagai mitra

runding. Kesamaan ini perlu dibangun agar sejak awal semua pihak tidak terjebak

oleh egoisme semu dan saling merasa paling benar.

Mediasi akan berhasil jika semua pihak mempunyai tekat untuk sepakat

mengakhiri perselisihan dan mencari solusi jitu yang saling menguntungkan

semua pihak. Agar semua pihak terikat dan dapat melaksanakan hasil Mediasi,

maka materi perdamaian haruslah dituangkan dalam bentuk tulisan yang

transparan, sederhana, riil dan memiliki dasar hukum yang jelas. Perdamaian yang

dihasilkan melalui Mediasi akan sangat membantu menyelesaikan konflik dengan

lebih singkat, mudah dan memupuk rasa persaudaraan.

11

Wantjik Saleh, Hukum Acara Perdata RBG/HIR, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990),

(20)

Berbekal berbagai kemampuan tersebut Mediator diharapkan mampu

melaksanakan perannya untuk menganalisis dan mendiagnosis suatu sengketa

tertentu dan kemudian mendesain serta mengendalikan proses intervensi lain

dengan tujuan menuntun para pihak untuk mencapai suatu mufakat yang sehat.

Peran penting yang harus dilakukan Mediator dalam suatu Mediasi antara lain

adalah: 12

1. Melakukan diagnosa konflik,

2. Mengidentifikasikan masalah serta kepentingan-kepentingan kritis,

3. Menyusun agenda,

4. Memperlancar dan mengendalikan komunikasi,

5. Mengajak para pihak dalam proses ketrampilan tawar menawar,

6. Membantu para pihak mengumpulkan informasi penting,

7. Menyelesaikan masalah dan menciptakan pilihan-pilihan,dan

8. Mendiagnosa sengketa untuk memudahkan penyelesaian problem.

Mediasi akan terlaksana secara meyakinkan bila dilaksanakan secara

pribadi dan rahasia. Kerahasian akan membantu Mediator untuk membangun

kepercayaan dan mengembangkan laporan konstruktif dengan pihak-pihak.

Kerahasian juga akan membuat aman bagi pihak-pihak untuk memberikan

informasi, juga akan menciptakan kondisi aman di mana pihak-pihak dapat

mengemukakan kebutuhan dan kepentingannya tanpa kekhawatiran akan

dirugikan. Kerahasian merupakan syarat penting yang harus tetap dijaga dalam

Mediasi.

Peluang penerapan Mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa di

pengadilan juga diatur dalam HIR Pasal 130 /154 R.Bg, di mana pada persidangan

12

Garry Goodpaster, Panduan Negosiasi dan Mediasi, Terjemahan Nagor Simanjuntak

(21)

pertama hakim wajib mendamaikan para pihak yang bersengketa, namun dalam

prakteknya belum di dayagunakan secara optimal. Hakim-hakim di pengadilan

masih bersifat pasif dan upaya menuju kearah penyelesaian sengketa secara

perdamaian diserahkan sepenuhnya kepada inisiatif para pihak yang bersengketa.

Mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih

cepat dan murah serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para

pihak menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan

dan pengintegrasian Mediasi kedalam proses beracara di Pengadilan dapat

menjadi salah satu alat yang efektif mengatasi masalah penumpukan perkara di

pengadilan serta memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga Pengadilan

dalam menyelesaikan sengketa disamping proses pengadilan yang bersifat

memutus (ajudikatif).

Upaya perdamaian yang tercantum dalam Pasal 130 HIR/154 RBg yang

selama ini dilakukan oleh Hakim tingkat pertama secara pasif, perlu diubah

menjadi bersifat aktif, dimana untuk mencapai hasil yang optimal Mahkamah

Agung Republik Indonesia (MARI) merasa sikap aktif Hakim itu perlu

dilengkapi dengan pengetahuan, kemampuan dan keterampilan yang cukup.

Perlunya dicarikan penyelesaian yang lebih mendasar yaitu mengurangi

lajunya perkara-perkara yang diajukan ke Mahkamah Agung atau dengan

membatasi perkara-perkara yang tidak perlu sampai ke Mahkamah Agung, antara

lain dengan sedapat mungkin menyelesaikan perkara di pengadilan tingkat

(22)

alternatif baik di luar pengadilan maupun di dalam pengadilan.13

Bentuk penyelesaian sengketa dengan cara Mediasi yang sekarang

dipraktikkan terintegrasi dengan proses Peradilan.14

Landasan yuridisnya mengenai Mediasi secara tertulis di Indonesia,

awalnya terdapat di dalam hukum acara perdata yaitu HIR Pasal 130 dan R.bg 154

telah mengatur tentang lembaga perdamaian, dimana Hakim yang mengadili wajib

terlebih dahulu mendamaikan para pihak yang berperkara sebelum perkaranya

diperiksa secara adjudikasi dan untuk memberdayakan pasal tersebut, maka

dikeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2003

tentang Pemberdayaan Lembaga Perdamaian dalam Pasal 130 HIR dan Pasal 154

Rbg. Selanjutnya untuk melengkapinya, dikeluarkan pula Peraturan Mahkamah

Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

Penyelesaian sengketa dengan

cara Mediasi yang dewasa ini dipraktikkan di pengadilan memiliki kekhasan,

yaitu dilakukan ketika perkara sudah di daftar di pengadilan (connected to the

court).

Peradilan Agama sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman secara

tegas kewenangannya diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 3 tahun 2006

menegaskan, “Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaaan kehakiman

bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu.”

13

Runtung Sitepu, Op.Cit.,hlm. 5

14

(23)

Kewenangan Pengadilan Agama dapat diketahui dari ketentuan Pasal 49 dan Pasal

50 Pasal 49 Undang-Undang No. 3 tahun 2006 Tentang Peradilan Agama

menyebutkan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa,

memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang

beragama Islam di bidang: 1. Perkawinan, 2. Waris, 3. Wasiat, 4. Hibah, 5.Wakaf,

6. Zakat, 7. Infaq, 8. Shadaqah, dan 9. Ekonomi Syariah.15

Beberapa perkara di Pengadilan Agama yang tidak wajib Mediasi, yaitu.16

“Perkara volunter (perkara yang tidak mengandung sengketa tetapi ada

kepentingan hukum serta diatur dalam Undang-undang) dan perkara yang

menyangkut legalitas hukum, seperti Itsbat nikah, pembatalan nikah, hibah dan

wasiat serta perkara yang salah satu pihaknya tidak hadir di persidangan”.

Secara teoritis, penyelesaian sengketa melalui Mediasi di Pengadilan

Agama membawa sejumlah keuntungan, di antaranya perkara dapat diselesaikan

dengan cepat dan biaya ringan dan mengurangi kemacetan dan penumpukan

perkara (court congestion) di pengadilan.

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (PERMA) Nomor 1

Tahun 2008, menyebutkan bahwa Mediasi sudah dimasukkan ke dalam proses

peradilan formal dalam Pasal 2 ayat (1) yang menegaskan bahwa semua perkara

perdata yang diajukan ke pengadilan wajib didahulukan penyelesaian melalui

perdamaian dengan bantuan Mediator. Tidak menempuh prosedur Mediasi

15

Undang-Undang No. 3 tahun 2006, Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor

7 Tahun 1989. Tentang Peradilan Agama.

16

Keputusan Mahkamah agung Republik Indonesia Nomor: KMA/032/SK/IV/2006

(24)

berdasarkan peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan pasal 130

HIR dan atau 154 R.Bg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum.17

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Proses Mediasi

harus memerlukan beberapa tahapan. Persidang pertama yang dihadiri para pihak,

hakim mewajibkan para pihak yang berperkara menempuh Mediasi terlebih

dahulu sebelum sidang dilanjutkan ke tahap berikutnya dan para pihak memilih

para Mediator dan hakim menunjuk dan menetapkan Mediator sekaligus

menyerahkan fotocopy berkas perkara kepada para Mediator.

Bila tercapai kesepakatan dalam proses Mediasi maka para pihak

merumuskan kesepakatan secara tertulis dan memberitahukan hasil kesepakatan

itu kepada hakim untuk memenuhi pengukuhan kesepakatan sebagai akta

perdamaian oleh hakim.18 Jika para pihak tidak menghendaki kesepakatan

perdamaian dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian, kesepakatan perdamaian

harus memuat klausul pencabutan gugatan dan atau klausula yang menyatakan

perkara telah selesai .19 Tujuan Mediasi adalah: 20

1. Bagi para pihak yang berperkara Mediasi bertujuan untuk:

a. Tercapainya penyelesaian sengketa yang menghasilkan

keputusan yang dapat diterima oleh semua pihak sehingga para pihak tidak menempuh upaya banding dan kasasi.

17

PERMA No. 1 tahun 2008, tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Pasal 2 ayat 3.

18

Runtung Sitepu, Op.Cit., hlm. 6.

19

PERMA No. 1 tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Pasal 17 angka 6.

20

(25)

b. Penyelesaian perkara lebih cepat dan biaya murah.

c. Hubungan baik para pihak yang bersengketa tetap dapat di jaga.

d. Lebih tinggi tingkat kemungkinan untuk melaksanakan

kesepakatan.

2. Bagi Pengadilan Agama, tujuan Mediasi adalah untuk mengurangi

kemacetan dan penumpukan perkara (court congestion) di pengadilan, dan memperlancar jalur keadilan (acces to justice) di masyarakat.

Berdasarkan latar belakang tersebut maka Penulis melakukan penelitian

dengan judul “Mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa di Pengadilan

Agama Medan”.

B. Rumusan Permasalahan

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut di atas, maka penulis

merumuskan Permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana pelaksanaan Mediasi dalam Menyelesaikan sengketa di

Pengadilan Agama Medan?.

2. Bagaimana keberhasilan dan kegagalan Mediasi sebagai Alternatif

Penyelesaian Sengketa di Pengadilan Agama Medan?.

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian yang terdapat dalam rumusan masalah, maka yang

menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan mengkaji Pelaksanaan Mediasi dalam

Menyelesaikan Sengketa di Pengadilan Agama Medan.

2. Untuk mengetahui dan mengkaji Keberhasilan dan Penyebab Kegagalan

(26)

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki manfaat teoritis dan praktis. Adapun manfaat

tersebut adalah sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

Manfaat penelitian ini adalah sebagai bahan atau data informasi di

bidang ilmu hukum bagi kalangan akademis untuk mengetahui dinamika

masyarakat dan seluruh proses mekanismenya, khususnya masalah

Mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa di Pengadilan Agama.

Selain itu penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi

penyempurnaan pranata peraturan hukum dalam kasus-kasus sengketa

yang diproses di Pengadilan Agama khususnya Pengadilan Agama Medan.

2. Secara Praktis

Manfaat penelitian ini secara praktis sebagai bahan masukan bagi

aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, dan advokat) serta Notaris

dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) serta Mediator, sehingga Aparat

Penegak Hukum dan para pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa

di Pengadilan Agama mempunyai persepsi yang sama dalam

menyelesaikan masalah.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di

perpustakaan Universitas Sumatera Utara diketahui bahwa penelitian tentang

(27)

belum pernah dilakukan dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama.

Sebelumnya pernah dilakukan penelitian oleh Emirza Henderlan Harahap,

Magister Ilmu Hukum, Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara dengan judul

“Mediasi Dalam Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah” dan penelitian

lainnya oleh Nurhilmiyah, Magister Ilmu Hukum, Pasca Sarjana Universitas

Sumatera Utara, dengan judul penelitian “Mediasi di Pengadilan pasca keluarnya

perma nomor 1 tahun 2008 tentang Mediasi di Pengadilan”. Jika di konprontir

penelitian sebelumnya dengan penelitian ini adalah berbeda dalam

pembahasannya. jadi penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas

keilmuan yaitu jujur, rasional, obyektif dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat

dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas masukan

serta saran-saran yang membangun sehubungan dengan pendekatan dan

perumusan masalah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Ishlah

(mendamaikan). Secara istilah, ishlah dapat diartikan sebagai perbuatan terpuji

dalam kaitannya dengan perilaku manusia.21

21

E. van Donzel, B. Lewis, dkk (ed), Encyclopedia of Islam, (Leiden E.J. Brill, 1990),

Jil. IV, hlm. 141.

Karena itu, dalam terminologi Islam

secara umum, Ishlah dapat diartikan sebagai suatu aktifitas yang ingin membawa

(28)

menurut ulama fikih, kata Ishlah diartikan sebagai perdamaian, yakni suatu

perjanjian yang ditetapkan untuk menghilangkan persengketaan di antara manusia

yang bertikai, baik individu maupun kelompok.22

a. Teori Ishlah.

Berdasarkan penjelasan

terminologi di atas, studi ini memilih menggunakan beberapa teori yaitu :

Teori Ishlah bersumber dari Al-Quran. Ishlah disebut dalam ayat di

dalam Al-Quran sebagai berikut:

1. Ishlah memiliki nilai yang sangat luhur dalam pandangan Allah,

yaitu pelakunya memperoleh pahala yang besar (An-Nisa 114).

2. Ishlah antara suami-isteri yang di ambang perceraian; dengan

mengutus al-hakam (juru runding) dari kedua belah pihak; Q.S.

An-Nisa: 35. dan lain-lain.

3. Ishlah itu baik, terutama ishlah dalam sengketa rumah tangga

(An-Nisa128).

4. Teori ishlah ini jika diterapkan untuk memahami Mediasi di

pengadilan agama berbunyi sebagai berikut:

a) Para pihak yang bersengketa di pengadilan agama adalah

orang mukmin. Setiap orang mukmin dengan sesama

mukmin lainnya adalah bersaudara. Persaudaraan antara

orang mumin merupakan persaudaraan seagama yang

memiliki konsekuensi hukum yaitu antara orang mukmin

22

Abu Muhammad Mahmud Ibn Ahmad al-Aynayni, al-Bidyah fi Syarh al-hidyah,

(29)

dilarang saling mendhalimi dan membiarkannya

didhalimi, perumpaan seorang mukmin dengan mukmin

lainnya laksana seperti tubuh tetapi jadilah hamba-hamba

Allah SWT yang bersaudara (wa kunu ibadallahi

ikhwana).23

b) Akibat persaudaraan antara orang mumin, jika mereka

bersengketa di pengadilan agama maka mereka harus

mencari penyelesaian sengketa tersebut dengan ishlah

karena ishlah merupakan perintah Al-Quran yang

ditujukan bagi orang yang beriman fa ashlihu baina

akhawaikum artinya: maka damaikanlah diantara

saudaramu.

c) Pasangan suami isteri yang bersengketa di pengadilan

agama adalah orang mukmin. Jika mereka mengangkat

seorang hakam untuk mengishlahkan mereka di dalam

menghadapi kemelut dalam rumah tangganya Allah akan

memberi taufiq kepada suami isteri itu (An-Nisa ayat 35).

d) Para pihak yang bersengketa di pengadilan agama dan

menyelesaikan sengketa dengan ishlah memiliki nilai yang

sangat luhur dalam pandangan Allah SWT, yaitu pelakunya

memperoleh pahala yang besar (An-Nisa ayat 114).

23

Lihat Ibnu Katsir, Tafsir Al-Quran Al-Adhim. (Beirut: Dar El-Fikr, 1999), juz II

(30)

b. Teori Sistem Hukum (Lawrence M. Friedman).

Teori ini digunakan untuk melihat implementasi Mediasi.

Menurutnya, sistem hukum terdiri atas tiga elemen, yaitu elemen

struktur, substansi dan budaya hukum.24

Kelembagaan hukum adalah bagian dari struktur hukum

seperti Mahkamah Agung, dan badan-badan peradilan di bawahnya

termasuk Pengadilan Agama beserta aparaturnya. Hakim pengadilan

sebagai struktur Pengadilan memiliki peran yang penting di dalam

meningkatkan keberhasilan Mediasi. Keberhasilan dan kegagalan

Mediasi ditopang oleh kemampuan dan kecakapan Mediator di

dalam menjalankan perannya.

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang

Prosedur Mediasi di Pengadilan merupakan salah satu elemen

substansi hukum. Elemen substansi ini dapat memberikan kepastian

kepada para pihak yang bersengketa untuk menemukan jalan keluar

dari sengketa yang sedang dihadapi. Peraturan Mediasi ini paling

tidak berisi mengenai substantif dan prosedural Mediasi.

Terkait dengan budaya hukum ini, Mediasi di Pengadilan Agama

sesungguhnya merupakan produk dari sistem hukum yang cara

pemanfaatan dan penggunaannya sangat tergantung dengan nilai dan

keyakinan masyarakat sebagai pengguna Mediasi tersebut. Nilai dan

keyakinan merupakan bagian dari budaya masyarakat.

24

Lawrence M. Friedman, American Law (New Yor: KW.W. Norton and Company, 1984)

(31)

Jika masyarakat menilai dan berkeyakinan bahwa Mediasi dapat

berperan sebagai sarana penyelesaian masalah sengketa yang

dihadapi maka tujuan Mediasi akan tercapai sebagai mekanisme

penyelesaian sengketa yang cepat dan biaya ringan, reputasi para

pihak tidak terganggu, dan hubungan baik tetap terjaga.

Ketertiban adalah tujuan pokok dan pertama dari segala

hukum. Kebutuhan terhadap ketertiban ini syarat pokok

(fundamental) bagi adanya suatu masyarakat yang teratur.

Di samping ketertiban, tujuan lain dari hukum adalah tercapainya

keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya menurut masyarakat

dan zamannya. Untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat ini

diperlukan adanya kepastian dalam pergaulan antar manusia dalam

masyarakat.

2. Konsepsional

Dalam tulisan ini, yang dimaksud dengan Mediasi adalah proses

penyelesaian perselisihan atau sengketa yang terjadi antara dua pihak atau lebih

yang dilakukan dengan bantuan pihak ketiga (Mediator) untuk mendapatkan

suatu hasil yang saling menguntungkan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata Mediasi diberi arti sebagai

proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai

penasihat.25

25

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar

(32)

Mediasi adalah suatu proses dimana pihak netral yang telah disepakati

oleh pihak-pihak yang bersengketa, bertindak sebagai seorang fasilitator bagi

kepentingan negosiasi mereka dan membantu mereka mencapai solusi yang saling

menguntungkan.26

Mediasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa antara dua pihak atau

lebih melalui perundingan atau cara mufakat dengan bantuan pihak netral yang

tidak memiliki kewenangan memutus.27

Alternatif penyelesaian sengketa adalah penyelesaian sengketa melalui

jalur non pengadilan yang pada umumnya ditempuh melalui cara-cara

perundingan yang dipimpin atau diprakarsai oleh pihak ketiga yang netral atau

tidak memihak.28

Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa

atau-beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni

penyelesaian di luar Pngadilan dengan cara Konsultasi, Negosiasi, Mediasi,

Konsiliasi, atau penilaian ahli.29

G. Metode Penelitian

Metode penelitian digunakan dalam suatu penelitian ilmiah. Penelitian

ilmiah ialah penalaran yang mengikuti suatu alur berpikir atau logika yang

26

Alternative Dispute Resolution (ADR), http:/www.fmladr.com/services.html. Available, diakses tanggal 2 Juni 2011.

27

Takdir Rahmadi, Mediasi Penyelesaian sengketa melalui pendekatan mufakat, (Jakarta:

Raja Grafindo Persada, 2010), hlm.12.

28

Maria SW Sumardjono, Mediasi Sengketa Tanah, (Jakarta: Kompas, 2008). hlm.4

29

UU RI No. 3 tahun 1999, Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

(33)

tertentu dan yang menggabungkan metode induksi (empiris), karena penelitian

ilmiah selalu menuntut pengujian dan pembuktian empiris dan hipotesis-hipotesis

atau teori yang disusun secara deduktif.30

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis

normative, yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan

kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif. Metode penelitian

normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research)

yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam

buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan

oleh hakim melalui proses pengadilan (law is decided by the judge through

judicial process).31 Penelitian hukum normatif berdasarkan data sekunder

dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis

normatif-kualitatif.32

Logika keilmuan yang juga dalam penelitian hukum normatif

dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum

normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri. Penelitian

hukum ini dikatakan juga penelitian yang ingin menelaah sinkronisasi

suatu peraturan perundang-undangan, yang dilakukan secara vertikal dan

horizontal. Ditelaah secara vertikal berarti akan dilihat bagaimana

30

Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20,

(Bandung: Rineka Cipta, 1994), hlm.105.

31

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Grafitti

Press, 2006), hlm.118.

32

(34)

hirarkisnya, sedangkan secara horizontal adalah sejauh mana peraturan

perundang-undangan yang mengatur pelbagai bidang itu mempunyai

hubungan fungsional secara konsisten.

Penelitian ini bersifat Deskriftif Analitis. Yakni untuk mencari

penyelesaian permasalahan, memberikan gambaran atau merumuskan

masalah sesuai dengan keadaan/ fakta yg ada. Deskriftif Analitis berarti

bahwa penelitian ini menggambarkan suatu peraturan hukum dalam

konteks teori-teori hukum dan pelaksanaanya, serta menganalisis fakta

secara cermat tentang pelaksanaan Mediasi sesuai dengan penggunaan

peraturan perundang-undangan dalam penyelesaian sengketa di Pengadilan

Agama.

2. Sumber Data Penelitian

Sumber-sumber penelitian dapat dibedakan menjadi

sumber-sumber penelitian yang berupa bahan hukum primer dan

bahan-bahan hukum sekunder, yang digunakan dalam penelitian ini.

Sumber-sumber penelitian dapat dibedakan menjadi Sumber-sumber-Sumber-sumber penelitian

yang berupa bahan-bahan hukum primer, sekunder dan bahan-bahan

hukum tersier, yaitu :

a) Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang

bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Terdiri dari

perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam

(35)

hukum primer yang otoritasnya di bawah undang-undang adalah

peraturan pemerintah, peraturan presiden atau peraturan suatu badan

hukum atau lembaga negara.

b) Bahan Hukum Sekunder

Berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan

merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum

meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum

dan komentar-komentar atas putusan Pengadilan. Bahan hukum

sekunder terutama adalah buku teks karena buku teks berisi

mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan

pandangan-pandangan klasik para sarjana yang mempunyai klasifikasi tinggi.33

c) Bahan hukum Tersier

Berupa bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan

penjelasan terhadap bahan hukum sekunder seperti kamus umum,

kamus hukum, kamus, majalah dan jurnal ilmiah.34

Jadi penelitian ini menggunakan bahan hukum Primer,

Sekunder dan Tersier sebagai sumber penelitian.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan:

a. Library Research yaitu Penelitian Kepustakaan dilaksanakan

dengan cara mempelajari dan mengkaji Peraturan

33

Petter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramitha, 2005),

hlm 141.

34

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudi, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan

(36)

Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 dan peraturan

lainnya, buku-buku yang berisi mengenai teori Mediasi atau

jenis bacaan lain yang ada hubungannya dengan masalah

Mediasi.

b. Deepth interview (wawancara mendalam) dilakukan sebagai

sarana untuk mengetahui secara mendalam mengenai

pelaksanaan Mediasi. Wawancara dilakukan kepada pejabat,

Ketua ketua Pengadilan Agama dan Hakim di Pengadilan

Agama serta Mediator. Selain itu juga wawancara dilakukan

dengan para pihak mengenai pelaksanaan Mediasi.

4. Analisis Data

Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif

dapat dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaidah hukum

dan kemudian konstruksi dilakukan dengan cara memasukkan pasal-pasal

ke dalam kategori-kategori atas dasar pengertian-pengertian dasar dari

sistem hukum tersebut. Data yang diperoleh melalui studi dokumen, studi

kepustakaan dan peraturan perundang-undangan dianalisis berdasarkan

metode kualitatif, yaitu dengan melakukan :35

a. Menemukan konsep-konsep yang terkandung dalam bahan-bahan

hukum (konseptualisasi) yang dilakukan dengan cara memberikan

interpretasi terhadap bahan -hukum tersebut.

35

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Grafindo, 2006),

(37)

b. Mengelompokkan konsep-konsep atau peraturan-peraturan yang

sejenis atau berkaitan. Kategori-kategori dalam penelitian ini

adalah Mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa di

Pengadilan Agama Medan.

c. Menemukan hubungan di antara pelbagai kategori atau peraturan

kemudian diolah.

d. Menjelaskan dan menguraikan hubungan di antara pelbagai

kategori atau peraturan perundang-undangan, kemudian dianalisis

secara deskriptif kualitatif. Sehingga mengungkapkan hasil yang

diharapkan sebagai kesimpulan atas Permasalahan.

5. Teknik Penarikan kesimpulan

Cara penarikan kesimpulan yang dilakukan oleh penulis adalah

pola pikir secara induktif-deduktif yang akan membantu penelitian ini

dalam taraf konsistensi serta konseptual dan prosedur tata cara

sebagaimana yang diterapkan oleh azas-azas hukum yang berlaku dalam

perundang-undangan yang bertujuan untuk memberikan gambaran

terhadap permasalahan yang akan dijawab.36

a) Reduksi data, yaitu proses pemilihan, pemusatan, perhatian pada

penyederhanaan, pengabstrakan dan trans ormasi data.

Penarikan kesimpulan

dilakukan dengan cara:

b) Penyajian data, dilakukan secara naratif dari teks yang belum

teratur, atau masih berupa matrik, grafik, bagan guna

menggabungkan informasi sehingga padu dan mudah dimengerti.

36

Lexi Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (edisi revisi), (Bandung: PT.Remaja,

(38)

c) Penarikan kesimpulan, dari hasil penyajian data dapat dilihat oleh

peneliti apa yang sedang terjadi sehingga dapat menentukan

(39)

BAB II

PELAKSANAAN MEDIASI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA

DI PENGADILAN AGAMA MEDAN

A. Pengertian Mediasi

Istilah Mediasi secara etimologi berasal dari bahasa latin, mediare yang

berarti berada ditengah. Makna ini menunjuk pada peran yang ditampilkan pihak

ketiga sebagai Mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan

menyelesaikan sengketa para pihak. “ Berada di tengah” juga bermakna Mediator

harus berada pada posisi netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa.

“Mediator harus mampu menjaga kepentingan para pihak yang bersengketa secara

adil dan sama, sehingga menumbuhkan kepercayaan (trust) dari para pihak yang

bersengketa”.37

Mediasi merupakan suatu proses damai dimana para pihak yang bersengketa

menyerahkan penyelesaiannya kepada seorang Mediator (seseorang yang mengatur

pertemuan antara dua pihak atau lebih yang bersengketa) untuk mencapai hasil

akhir yang adil, tanpa membuang biaya yang terlalu besar, akan tetapi tetap efektif

dan diterima sepenuhnya oleh kedua belah pihak yang bersengketa secara sukarela.

Dalam Colllins English Dictionary and Thesaurus disebutkan bahwa “

Mediasi adalah kegiatan menjembatani antara dua pihak yang bersengketa guna

37

(40)

menghasilkan kesepakatan (agreement)”. 38

Penjelasan Mediasi dari sisi kebahasaan (etimologi) lebih menekankan

kepada keberadaan pihak ketiga yang menjembatani para pihak bersengketa untuk

menyelesaikan perselisihannya, dimana hal ini sangat penting untuk membedakan

dengan bentuk-bentuk lainnya seperti Arbitrase, Negosiasi, Adjudikasi dan

lain-lain.

Kegiatan ini dilakukan oleh Mediator

sebagai pihak yang ikut membantu mencari berbagai alternatif penyelesaian

sengketa. Posisi Mediator dalam hal ini adalah mendorong para pihak untuk

mencari kesepakatan-kesepakatan yang dapat mengakhiri perselisihan dan

persengketaan.

Pengertian Mediasi secara etimologi tersebut diatas masih sangat umum

sifatnya, belum menggambarkan secara konkret esensi dan kegiatan Mediasi secara

menyeluruh, untuk itu perlu diuraikan pengertian Mediasi secara terminologi yang

diungkapkan para ahli resolusi konplik. Para ahli resolusi konplik beragam dalam

memberikan definisi Mediasi sesuai dengan sudut pandang masing-masing.

Christopher W.More menyatakan Mediasi adalah “intervensi dalam sebuah

sengketa atau negoisasi oleh pihak ketiga yang bersengketa, bukan merupakan

bagian dari kedua belah pihak dan bersifat netral. Pihak ketiga ini tidak mempunyai

wewenang untuk mengambil keputusan. Dia bertugas untuk membantu pihak-pihak

38

Lorna Gilmour, Penny Hand, Cormac McKeown, Colllins English Dictionary and

(41)

yang bertikai agar sukarela mau mencapai kata sepakat yang diterima oleh

masing-masing pihak dalam sebuah persengketaan.39

Menurut Takdir Rahmadi, Mediasi adalah “suatu proses penyelesaian

sengketa antara dua pihak atau lebih melalui perundingan atau cara mufakat dengan

bantuan pihak netral yang tidak memiliki kewenangan memutus”.40

Pengertian Mediasi dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah “Sebagai

proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai

penasehat”.41 Pengertian dari segi bahasa tersebut mengandung tiga unsur penting,

yaitu:42

1. Mediasi merupakan proses penyelesaian perselisihan atau sengketa yang

terjadi antara dua pihak atau lebih.

2. Pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa adalah pihak-pihak yang

berasal dari luar pihak yang bersengketa.

3. Pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa tersebut bertindak sebagai

penasihat dan tidak memiliki kewenangan apa-apa dalam pengambilan keputusan.

Secara yuridis, pengertian Mediasi lebih konkret ditemukan dalam

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di

Pengadilan. Dalam PERMA tersebut dinyatakan bahwa “Mediasi adalah43

39

Christopher W.More (selanjutnya disebut Christoper W.More II), Mediasi lingkungan,

(Jakarta:Indonesian Centre for Environmental Law dan CDR Associates,1995), hlm. 18.

“cara

40

Takdir Rahmadi, Op.Cit., hlm.12.

41

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar

Bahasa Indonesia, (Jakarta:Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,1988), hlm. 569.

42

Syahrizal Abbas.Op.Cit., hlm. 3.

43

(42)

penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan

para pihak dengan dibantu oleh Mediator”.

Pengertian Mediasi dalam PERMA No.1 Tahun 2008 tidak jauh berbeda

dengan esensi Mediasi yang dikemukakan para ahli resolusi konflik, namun

pengertian ini menekankan pada satu aspek penting dimana Mediator proaktif

mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa. Mediator harus mampu

menemukan alternatif-alternatif penyelesaian sengketa. Tidak hanya terikat dan

terfokus pada apa yang dimiliki oleh para pihak dalam penyelesaian sengketa

mereka. Mediator harus mampu menawarkan solusi lain, ketika para pihak tidak

lagi memiliki alternatif penyelesaian sengketa atau para pihak sudah mengalami

kesulitan atau bahkan deadlock (jalan buntu) dalam penyelesaian sengketa, oleh

karena itu Mediator harus memiliki beragam konsep yang dapat memfasilitasi dan

membantu para pihak dalam menyelesaikan sengketa mereka.

Berdasarkan beberapa defenisi dan pengertian diatas, dapat diidentifikasikan

unsur-unsur esensial Mediasi sebagai berikut:44

1. Mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa melalui perundingan

berdasarkan pendekatan mufakat atau konsensus para pihak.

2. Para pihak meminta bantuan pihak lain yang bersifat tidak memihak

yang disebut Mediator.

3. Mediator tidak memiliki kewenangan memutus, tetapi hanya membantu

para pihak yang bersengketa

44

(43)

Mediasi sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa memiliki ruang

lingkup utama berupa wilayah hukum Privat/Perdata. Sengketa-sengketa perdata

berupa sengketa keluarga, waris, bisnis, kontrak, perbankan dan berbagai jenis

sengketa perdata lainnya dapat diselesaikan melalui jalur Mediasi.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa (selanjutnya disingkat UU Nomor 30 Thn 1999) sebagai

dasar pelaksanaan Mediasi diluar pengadilan tidak ditemukan batasan-batasan

penyelesaian sengketa melalui Mediasi secara jelas, namun secara implisit batasan

Mediasi tertuang dalam UU Nomor 30 Thn 1999, pasal 6 ayat (1) berbunyi:“

Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui

alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan

mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri”. 45

PERMA No.1 Tahun 2008, sebagai aturan pelaksanaan Mediasi yang

diintegrasikan di pengadilan (non litigasi) secara tegas menentukan ruang lingkup

Mediasi, dimana Mediasi dilakukan terhadap semua sengketa perdata, sebagaimana

yang tersebut dalam Pasal 4 berbunyi.

“ Kecuali perkara yang diselesaikan melalui presedur pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan keberatan atas putusan Komisi pengawas

45

(44)

Persaingan Usaha, semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan Tingkat Pertama wajib lebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui perdamaian dengan bantuan mediator “.

Ketentuan pasal ini menggambarkan ruang lingkup sengketa yang dapat

dimediasi adalah seluruh perkara perdata yang menjadi kewenangan Peradilan

Umum dan Peradilan Agama.

Proses Mediasi dimana segala sesuatu yang dihasilkan harus merupakan

hasil kesepakatan atau persetujuan para pihak yang terdiri dari dua pihak yang

bersengketa maupun lebih dari dua pihak. Adakalanya disebabkan berbagai faktor

para pihak bersengketa tidak berhasil mencapai penyelesaian, sehingga Mediasi

berakhir dengan jalan buntu. Situasi seperti inilah yang membedakan Mediasi

dengan litigasi. Proses litigasi pasti akan berakhir dengan sebuah penyelesaian

hukum berupa putusan hakim, meskipun putusan hakim tidak selalu dapat

mengakhiri sengketa.

B. Berbagai Bentuk Mediasi Dalam Masyarakat Indonesia

Penyelesaian sengketa alternatif telah lama digunakan oleh masyarakat

tradisional di Indonesia dalam rangka menyelesaikan sengketa di antara mereka.

Penyelesaian sengketa alternatif secara tradisional dianggap efektif dan merupakan

tradisi yang masih hidup di dalam masyarakat.46

46

Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia (Bandung: CV. Mandar

(45)

Sejak zaman dahulu, masyarakat Indonesia telah mempraktekkan Mediasi

dalam penyelesaian konflik, sebab mereka percaya bahwa dengan melakukan usaha

damai maka akan mengantarkan mereka dalam kehidupan yang harmonis, adil,

seimbang dan terciptanya nilai-nilai kebersamaan yang kuat dalam kehidupan

bermasyarakat.

Beberapa daerah di Indonesia menganggap bahwa kepala desa atau kepala

suku masih dianggap kekuasaan tertinggi dalam memimpin desa, dan sebagai

perantara atau memberikan keputusan dalam persengketaan antara rakyat.47

Dalam masyarakat hukum adat sudah sejak lama sengketa-sengketa yang

terjadi diselesaikan secara musyawarah dan mufakat melalui lembaga-lembaga adat

seperti peradilan desa atau yang disebut dengan peradilan adat. Biasanya yang

bertindak sebagai hakim dalam lembaga tersebut adalah tokoh-tokoh adat (kepala

adat) dan ulama. Kewenangan dari hakim peradilan adat ini tidak semata-mata

terbatas pada perdamaian saja, tetapi juga kekuasaan memutus sengketa dalam

semua bidang hukum yang tidak terbagi ke dalam pengertian pidana, perdata,

publik.

48

Setiap masyarakat telah berkembang berbagai tradisi mengenai bagaimana

sengketa ditangani. Sengketa dapat diselesaikan melalui berbagai cara, baik

47

Runtung Sitepu, Op.Cit., hlm. 4.

48

(46)

melalui forum formal yang disediakan oleh Negara, maupun melalui forum-forum

lain yang tidak resmi disediakan oleh negara.49

Musyawarah dan mufakat merupakan falsafah masyarakat Indonesia dalam

setiap pengambilan keputusan, termasuk penyelesaian sengketa. Musyawarah dan

Mufakat ini telah tercatat dalam falsafah Bangsa Indonesia pada sila ke-4, dalam

UUD 1945 dan Peraturan Perundang-undangan lainnya.50

Tradisi penyelesaian sengketa dalam masyarakat hukum adat cenderung

menggunakan ‘pola adat’ atau dalam istilah lain sering disebut pola ‘kekeluargaan’.

Pola ini diterapkan bukan hanya untuk sengketa perdata tetapi juga pidana.

Penyelesaian sengketa dalam pola adat, bukan berarti tidak ada kompensasi atau

hukuman apa pun terhadap pelanggar hukum adat. Masyarakat hukum adat lebih

mengutamakan penyelesaian sengketa melalui jalur musyawarah, yang bertujuan

untuk mewujudkan kedamaian dalam masyarakat. Jalur musyawarah merupakan

jalur utama yang digunakan masyarakat hukum adat dalam menyelesaikan

sengketa, karena dalam musyawarah akan dapat dibuat kesepakatan damai yang

menguntungkan kedua belah pihak.

Fakta-fakta dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat Indonesia di dalam

menyelesaikan sengketa, beberapa bukti diantaranya :

49

Eman Suparman, Pilihan Forum Arbitrase dalam Sengketa Komersial untuk Penegakan

Keadilan, (Jakarta: Tata Nusa, 2004), hlm.18.

50

(47)

1. Di Minangkabau, dikenal Kerapatan Nagari yang dikepali oleh Wali

Nagari. Yang dimaksud dengan Kerapatan Adat Nagari (KAN) ialah

Lembaga Perwakilan Permusyawaratan dan Permufakatan Adat tertinggi

yang telah ada dan diwarisi secara turun temurun sepanjang Adat di

tengah-tengah Masyarakat Nagari di Sumatera Barat.51 Keputusan dari Kerapatan

Adat Nagari selalu didasarkan kepada Musyawarah yang disebut dengan

Rapek (rapat) dan di dalam rapat inilah segala sesuatu dipertimbangkan

semasak-masaknya.52

Kelembagaan adat di Minangkabau ini menggabungkan pendekatan

Mediasi dan pendekatan memutus. Dalam Kerapatan Nagari yang bertindak

sebagai Mediator atau Pemutus adalah Para Penghulu Adat.

Kerapatan adat Nagari ini merupakan lembaga

kerapatan tertinggi yang berada di nagari.

2. Di kalangan masyarakat suku Sasak di Pulau Lombok ada pula dikenal

suatu lembaga penyelesaian sengketa yang diberi nama Begundem. Suku

Sasak dalam menyelesaikan perselisihan pertama-tama hendaklah didahului

dengan memberikan peringatan atau nasehat, dan jika peringatan tidak

diindahkan maka diselesaikan melalui musyawarah untuk mencapai

perdamaian. Musyawarah (Begundem) dilaksanakan oleh lembaga Adat

yang disebut Krama Adat sesuai tingkat dan kompetensinya. Untuk tingkat

51

Hakimi, D. Dt. Penghulu Pedoman Ninik Mamak Pemangku Adat. (Sumatera Barat:

Penerbit Biro Pembinaan Adat dan Syarak, LKAAM Provinsi Sumatra Barat. hlm. 90.

52

Chairul Anwar, Hukum Adat Indonesia Meninjau Hukum Adat Minangkabau. (Jakarta:

(48)

lingkungan atau Dusun (Gubuk) dilaksanakan oleh Krama Gubuk yang

berwenang menyelesaikan masalah antar warga lingkungan atau antar

keluarga di lingkungan tersebut. Karma Gubuk terdiri dari Kepala

Lingkungan (kelian) selaku ketua adat di lingkungan, tokoh

Agama (kiaigubuq) dan pemuka-pemuka masyarakat. Sedangkan di tingkat

desa dilaksanakan oleh Krama Desa yang terdiri dari Kepala Desa selaku

Kepala Adat, Juru Tulis, Penghulu Desa, Pemuka Masyarakat dan Para

Kelian.

3. Masyarakat Batak Karo juga mengenal penyelesaian sengketa melalui

Runggun. Dalam Masyarakat Karo setiap masalah dianggap masalah

keluarga dan masalah kerabat, dengan demikian masalah yang menyangkut

keluarga atau kerabat harus dibicarakan secara adat dan dibawa ke suatu

perundingan untuk dicari penyelesaiannya. Runggun artinya

bersidang/berunding dengan cara musyawarah untuk mencapai mufakat.53

Runggun dihadiri oleh Sangkep Sitelu yang ada pada masyarakat Karo.

Runggun pada masyarakat Karo dalam penyelesaian sengketa tidak

memerlukan waktu yang lama, tidak berbelit-belit, murah, kekeluargaan dan

harmonis. Runggun dapat diketegorikan menyelesaiakan sengketa dengan

53

Rehngena Purba, Penyelesaian Sengketa Oleh Runggun pada Masyarakat Karo, Seminar

(49)

mediasi karena dilakukan dengan perantaraan jasa Anak beru, Senina dan

Kalimbubu.54

Kesadaran atas pentingnya Mediasi dapat dilihat dari semakin banyaknya

lembaga pemerintah dan swasta yang bekerjasama dengan lembaga yang telah

memperoleh akreditasi dari Mahkamah Agung menyelenggarakan pelatihan

Mediator. Semakin meningkatnya jumlah Mediator yang menjalankan profesinya

baik di luar maupun di pengadilan akan meningkatkan keinginan pihak yang

bersengketa untuk memilih Mediasi. Dengan demikian harapan penyelesaian

sengketa secara damai dapat diwujudkan karena melalui para Meditor tersebut

dapat disosialisasikan bahwa memilih Mediasi lebih efektif daripada membawa

sengketa ke Pengadilan.

Mahkamah Agung juga telah bekerjasama dengan lembaga-lembaga Mediasi

di Indonesia, yaitu dengan Indonesian Institute For Conflict Transformation (IICT)

dan Pusat Mediasi Nasional (PMN), dua lembaga pertama yang mendapat

akreditasi pada tahun 2003 sebagai lembaga yang melaksanakan pelatihan

sertifikasi Mediator menyusun kurikulum, silabus dan materi yang dipergunakan

dalam pelatihan sertifikasi Mediator. Mahkamah Agung juga membentuk kelompok

kerja yang membantu perkembangan Mediasi dan memantau hasil pelaksanaan

Mediasi di Indonesia.

54

Mariah Rosalina, Eksistensi Runggun Dalam Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan

(50)

Selain kedua lembaga yang telah disebutkan di atas, ada beberapa lembaga

yang telah diakreditasi dan menyelenggarakan pelatihan sertifikasi Mediator.

Mahkamah Agung sendiri telah melaksanakan pelatihan bagi para hakim baik

hakim Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Agama dari seluruh Indonesia,

bahkan mulai tahun 2010 dalam kurikulum pendidikan calon hakim diberikan

pelatihan sertifikasi mediator. IICT sendiri saat ini telah menghasilkan alumni yang

berasal dari berbagai profesi seperti Akademisi, Pengacara, Dokter, Notaris,

Pengusaha, Guru, Mahasiswa, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Tokoh Adat, dan

sebagainya. Usaha mendayagunakan Mediasi juga dilaksanakan melalui sosialisasi,

seminar, penelitian, diskusi, studi banding dan partisipasi dalam pertemuan

internasional.

C. Pelembagaan Mediasi

Perundang-undangan Indonesia mengandung prinsip bahwa Musyawarah

dan Mufakat yang berujung damai juga digunakan dalam lingkungan Peradilan,

terutama dalam penyelesaian sengketa perdata. Hal ini terlihat dari sejumlah

peraturan Perundang-undangan sejak masa Kolonial Belanda sampai sekarang.

Mediasi dengan landasan Musyawarah menuju Kesepakatan damai,

mendapat pengaturan tersendiri dalam sejumlah produk hukum Hindia-Belanda

maupun dalam produk hukum Indonesia sekarang. Pengaturan Alternatif

Penyelesaian Sengketa dalam aturan hukum sangatlah penting, karena Indonesia

Gambar

Tabel 1 Jadwal Mediator
Tabel 2

Referensi

Dokumen terkait

Ketentuan jangka waktu pramediasi menyebutkan bahwa dalam waktu paling lama 1 hari kerja setelah sidang pertama, para pihak dan atau kuasa hukum mereka wajib berunding

Dengan ditunjuknya pihak BPN sebagai mediator, maka didalam melakukan proses penyelesaian sengketa melalui mediasi seorang mediator akan bertindak netral, mediator

diskusi terhadap permasalahan yang dihadapi. Mediator akan membantu dan memfasilitasi untuk melakukan pembahasan terhadap permasalahan dengan membuat jadwal yang

a) Memberikan wawasan kepada para pihak tentang mediasi. Karena minimnya wawasan masyarakat tentang mediasi maka sebelum memulai mediasi mediator memberikan

Mengatasi ketidakpastian pelaksanaan mediasi diperlukan pembaharuan terhadap peraturan Mahkamah Agung perlu memaksimalkan fungsi lembaga Mediasi profesional di luar pengadilan

(4) Apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dengan bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator tidak berhasil

Tahap ketiga mediator memberikan kesempatan para pihak untuk melakukan presentasi (mengklarifikasi) kejadian perkara secara bergantian, agar mediator

kedudukan mediator sendiri harus netral; (d) kunci dari sesi ini adalah penegasan mengenai kesediaan para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui mediasi dan oleh