MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN
SENGKETA DI PENGADILAN AGAMA MEDAN
TESIS
Oleh :
ERPI DESRINA HASIBUAN
107005137/HK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN
SENGKETA DI PENGADILAN AGAMA MEDAN
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Ilmu Hukum Pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh :
ERPI DESRINA HASIBUAN
107005137/HK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Judul Tesis : MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DI PENGADILAN AGAMA MEDAN
N a m a : ERPI DESRINA HASIBUAN
N I M : 107005137
Program Studi : Magister Ilmu Hukum
Menyetujui, Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum Ketua
)
(Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum) (Dr. T. Keizerina Devi, SH, CN, M.Hum Anggota Anggota
)
Ketua Program Studi Dekan
Telah diuji pada
Tanggal : 26 Juli 2013
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua
: Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum
Anggota : 1. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum
2. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum
3. Dr. Dedi Harianto, SH, M.Hum
ABSTRAK
Penumpukan perkara di Mahkamah Agung solusi mengatasinya dengan pemberdayaan pasal 130 HIR/ 154 Rbg dan intensifitas Perma No. 2 Tahun 2003 dan telah diperbaharui dengan Perma No. 1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di pengadilan yang mewajibkan proses mediasi sebelum pemeriksaan perkara. Permasalahan yang terjadi adalah bagaimana pelaksanaan mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Pengadilan Agama Medan serta apa yang menjadi penyebab keberhasilan dan kegagalan mediasi di Pengadilan Agama Medan. Pemecahan masalah tersebut dilakukan penelitian secara yuridis, sosiologis untuk menganalisis pelaksanaan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa di Pengadilan Agama Medan, persentase keberhasilan mediasi, faktor-faktor penyebab efektifitasnya di Pengadilan Agama Medan dengan melakukan penelitian terhadap hakim/mediator, advokat dan pencari keadilan. Pada pembahasan masalah dalam melakukan analisis dipergunakan teori islah.
Pelaksanaan mediasi di Pengadilan agama Medan, dibagi dalam 4 (empat)
tahapan, yaitu : 1). Tahap pendaftaran Perkara, 2). Tahap penetapan Mediator, 3). Tahap pelaksanaan Mediasi dan 4). Tahap akhir Mediasi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan mediasi di Pengadilan Agama Medan adalah asfek Mediator, aspek Perkara, aspek para pihak dan aspek Sarana sedangkan faktor yang menjadi penyebab kegagalan mediasi di Pengadilan agama Medan yaitu: (1) faktor substansi hukum (2 Struktur hukum, dan (3) Cultural hukum (masyarakat/budaya),
Mengatasi ketidakpastian pelaksanaan mediasi diperlukan pembaharuan terhadap peraturan Mahkamah Agung perlu memaksimalkan fungsi lembaga Mediasi profesional di luar pengadilan dengan membuat aturan setiap perselisihan/sengketa hendaknya diselesaikan terlebih dahulu pada lembaga Mediasi profesional di luar pengadilan sebelum akhirnya dibawa penyelesaiannya ke pengadilan dan diharapkan Peradilan Agama dapat dijadikan sebagai peradilan keluarga, sehingga Pengadilan Agama memerlukan bentuk mediasi yang ideal yang dituangkan dalam bentuk undang-undang yang dapat dijadikan landasan hukum bagi pelaksanaan mediasi di Pengadilan Agama, khususnya Pengadilan Agama Medan, yaitu mendudukkan
mediasi atau specifically mediasi keluarga secara proporsional dalam konteks
penyelesaian sengketa keluarga di Indonesia dengan demikian diharapkan dapat meminimalisir perkara yang menyangkut keluarga.
ABSTRACT
Stacking cases in the Supreme Court can be solved by empowering Article 130 HIR/154 Rbg and intensifying the Regulation of Supreme Court No.2/2003 which has been amended by the Regulation of Supreme Court No.1/2008 on the Procedure of Court Mediation which requires mediation process before the case investigation (proceedings). The problems discussed in this study was how mediation as the alternative to dispute settlement in Medan Religious Court was implemented and what caused the success and failure of mediation in Medan Religious Court. A sociological juridical study was conducted to solve the problem by analyzing the implementation of mediation as the alternative to dispute settlement in Medan Religious Court, the percentage of successful mediation, and the factors causing the effectiveness of mediation in Medan Religious Court by conducting a research on judges/mediators, advocates and litigants. The theory of reconciliation was used to discuss the problem in the analysis.
The implementation of mediation in Medan Religious Court is divided inbto 4 (four) phases: 1) case registration, 2) mediator establishment, 3) implementation of mediation, and 4) final stage of mediation.
The factors influencing the success of mediation in Medan Religious Court were the aspects of mediator, case, parties involved, and facility, while the factors that caused failure of mediation in Medan Religious Court were the factors of legal substance, legal structure, and legal culture (community/culture).
To solve the uncertain mediation implementation, the regulations of Supreme Court need to be reformed, the function of professional mediation institution out side of the court needs to be maximalized by making the rule saying that any dispute should be first settled through the professional mediation institution out side of the court before the case is brough to court of law, and Religious Court can be functioned as family justice that Religious Court needs an ideal form of mediation set forth in the form of lawthat can be used as the legal base for the implementation of mediation in Religious Court, especially Medan Religious Court, to position the mediation or specifically family mediation proportionally in the context of family dispute settlement in Indonesia, and so it is expected to be able to minimize the cases related to family issues.
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah Penulis panjatkan kepada Allah SWT Yang Maha
Pengasih dan Maha Penyayang atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga tesis ini
dapat diselesaikan.
Penulis menyadari bahwa penulisan ini masih terdapat kekurangan sehingga
penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun serta terdapat
penelitian-penelitian lain yang lebih baik dan relevan dengan tesis ini pada masa yang
akan datang.
Penulis juga menyadari bahwa tesis ini dapat diselesaikan karena dukungan dan
bantuan berbagai pihak, untuk itu Penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada :
1. Prof.Dr. Runtung Sitepu, SH.M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum USU juga
selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Penguji.
2. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MS, sebagai Ketua Program studi Magister Ilmu Hukum.
3. Prof. Dr.Budiman Ginting,S.H., M.Hum. , selaku Anggota Komisi Pembimbing
dan Penguji.
4. Ibu Dr. T.Kazerina Devi, SH.CN. M.Hum. sebagai Komisi Pembimbing dengan
penuh perhatian memberikan dorongan, bimbingan dan saran kepada penulis.
5. Ibu Dr. Idha Aprilia, SH., M.Hum., selaku Anggota Komisi Penguji.
6. Para Dosen yang telah memberikan ilmu dan pengarahan kepada Penulis selama
menuntut ilmu pengetahuan di Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah
7. Seluruh pegawai Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara atas segala pelayanan dan dorongan kepada Penulis.
8. Ketua dan wakil ketua Pengadilan Agama Medan, Mediator Pengadilan Agama
Medan serta Hakim Pengadilan dan Panitera Pengadilan Agama Medan.
9. Kedua Orang Tua tercinta yang mendidik dengan penuh rasa kasih sayang,
menanamkan budi pekerti yang luhur serta iman kepada Allah SWT, Semoga
amal dan ibadahnya diterima disisiNya.
10.Kepada Suamiku tercinta, anak-anakku Inspirasiku yang membuatku ingin terus
maju dan maju, Adi Perdana Lubis, Nida’ul Haq Lubis, Riedha Rizkiyah Lubis
dan Seila El-Saadah Lubis, Saudara-saudaraku, Kakak dan Adik yang penulis
sayangi, atas kesabaran dan pengertiannya serta memberikan do’a dan semangat
kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan Tesis ini.
11.Kepada Rekan-rekan di Program Magister Ilmu Hukum, dan rekan-rekan yang
tidak dapat disebutkan satu persatu.
Akhirnya penulis berharap semoga Tesis ini dapat memberi manfaat dan
menyampaikan permintaan yang tulus jika seandainya dalam penulisan ini, penulisan
Tesis ini terdapat kekurangan dan kekeliruan di sana-sini, penulis juga menerima
kritik dan saran yang bertujuan serta bersifat membangun untuk menyempurnakan
penulisan Tesis ini.
Penulis
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Erpi Desrina Hasibuan
Tempat/Tgl. Lahir : Tapanuli Selatan, 3 Oktober 1968
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
PENDIDIKAN
SD : Hutanopan Tahun 1975 – 1981
SLTP : Hutanopan Tahun 1981 – 1984
SLTA : Padang Sidimpuan Tahun 1984 – 1987
S1 IAIN : Medan Tahun 1993
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 11
C. Tujuan Penelitian ... 11
D. Manfaat Penelitian ... 12
E. Keaslian Penelitian... 13
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 13
1. Kerangka Teori ... 14
2. Konsepsi ... 18
G. Metode Penelitian ... 19
1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 19
2. Sumber Data Penelitian ... 21
3. Teknik Pengumpulan Data ... 22
4. Analisis Data ... 23
BAB II : PELAKSANAAN MEDIASI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA DI PENGADILAN AGAMA MEDAN
A. Pengertian Mediasi ... 25
B. Berbagai Bentuk Mediasi dalam Masyarakat Indonesia ... 30
C. Pelembagaan Mediasi ... 36
D. Keahlian yang harus dimiliki Mediator ... 64
E. Tahapan-tahapan Mediasi ... 67
1. Tahap Pra Mediasi ... 67
2. Tahap-tahap Proses Mediasi ... 68
3. Tahap Akhir Hasil Mediasi ... 76
F. Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan Agama Medan ... 76
1. Tahap Pendaftaran Perkara ... 76
2. Tahap Penetapan Mediator ... 81
3. Tahap Pelaksanaan Mediasi ... 83
4. Tahap Akhir Pelaksanaan Mediasi ... 87
BAB III : KEBERHASILAN MEDIASI DAN PENYEBAB KEGAGALAN MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA MEDAN A. Faktor-faktor yang Menyebabkan Keberhasilan Mediasi .... 92
B. Faktor-faktor yang Menyebabkan Kegagalan Mediasi ... 96
1. Faktor Substansi Hukum ... 96
2. Faktor Aparatur Hukum ... 97
BAB IV : PENUTUP
A. Kesimpulan ... 103
B. Saran ... 105
ABSTRAK
Penumpukan perkara di Mahkamah Agung solusi mengatasinya dengan pemberdayaan pasal 130 HIR/ 154 Rbg dan intensifitas Perma No. 2 Tahun 2003 dan telah diperbaharui dengan Perma No. 1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di pengadilan yang mewajibkan proses mediasi sebelum pemeriksaan perkara. Permasalahan yang terjadi adalah bagaimana pelaksanaan mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Pengadilan Agama Medan serta apa yang menjadi penyebab keberhasilan dan kegagalan mediasi di Pengadilan Agama Medan. Pemecahan masalah tersebut dilakukan penelitian secara yuridis, sosiologis untuk menganalisis pelaksanaan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa di Pengadilan Agama Medan, persentase keberhasilan mediasi, faktor-faktor penyebab efektifitasnya di Pengadilan Agama Medan dengan melakukan penelitian terhadap hakim/mediator, advokat dan pencari keadilan. Pada pembahasan masalah dalam melakukan analisis dipergunakan teori islah.
Pelaksanaan mediasi di Pengadilan agama Medan, dibagi dalam 4 (empat)
tahapan, yaitu : 1). Tahap pendaftaran Perkara, 2). Tahap penetapan Mediator, 3). Tahap pelaksanaan Mediasi dan 4). Tahap akhir Mediasi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan mediasi di Pengadilan Agama Medan adalah asfek Mediator, aspek Perkara, aspek para pihak dan aspek Sarana sedangkan faktor yang menjadi penyebab kegagalan mediasi di Pengadilan agama Medan yaitu: (1) faktor substansi hukum (2 Struktur hukum, dan (3) Cultural hukum (masyarakat/budaya),
Mengatasi ketidakpastian pelaksanaan mediasi diperlukan pembaharuan terhadap peraturan Mahkamah Agung perlu memaksimalkan fungsi lembaga Mediasi profesional di luar pengadilan dengan membuat aturan setiap perselisihan/sengketa hendaknya diselesaikan terlebih dahulu pada lembaga Mediasi profesional di luar pengadilan sebelum akhirnya dibawa penyelesaiannya ke pengadilan dan diharapkan Peradilan Agama dapat dijadikan sebagai peradilan keluarga, sehingga Pengadilan Agama memerlukan bentuk mediasi yang ideal yang dituangkan dalam bentuk undang-undang yang dapat dijadikan landasan hukum bagi pelaksanaan mediasi di Pengadilan Agama, khususnya Pengadilan Agama Medan, yaitu mendudukkan
mediasi atau specifically mediasi keluarga secara proporsional dalam konteks
penyelesaian sengketa keluarga di Indonesia dengan demikian diharapkan dapat meminimalisir perkara yang menyangkut keluarga.
ABSTRACT
Stacking cases in the Supreme Court can be solved by empowering Article 130 HIR/154 Rbg and intensifying the Regulation of Supreme Court No.2/2003 which has been amended by the Regulation of Supreme Court No.1/2008 on the Procedure of Court Mediation which requires mediation process before the case investigation (proceedings). The problems discussed in this study was how mediation as the alternative to dispute settlement in Medan Religious Court was implemented and what caused the success and failure of mediation in Medan Religious Court. A sociological juridical study was conducted to solve the problem by analyzing the implementation of mediation as the alternative to dispute settlement in Medan Religious Court, the percentage of successful mediation, and the factors causing the effectiveness of mediation in Medan Religious Court by conducting a research on judges/mediators, advocates and litigants. The theory of reconciliation was used to discuss the problem in the analysis.
The implementation of mediation in Medan Religious Court is divided inbto 4 (four) phases: 1) case registration, 2) mediator establishment, 3) implementation of mediation, and 4) final stage of mediation.
The factors influencing the success of mediation in Medan Religious Court were the aspects of mediator, case, parties involved, and facility, while the factors that caused failure of mediation in Medan Religious Court were the factors of legal substance, legal structure, and legal culture (community/culture).
To solve the uncertain mediation implementation, the regulations of Supreme Court need to be reformed, the function of professional mediation institution out side of the court needs to be maximalized by making the rule saying that any dispute should be first settled through the professional mediation institution out side of the court before the case is brough to court of law, and Religious Court can be functioned as family justice that Religious Court needs an ideal form of mediation set forth in the form of lawthat can be used as the legal base for the implementation of mediation in Religious Court, especially Medan Religious Court, to position the mediation or specifically family mediation proportionally in the context of family dispute settlement in Indonesia, and so it is expected to be able to minimize the cases related to family issues.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah panjang peradaban manusia selalui diwarnai konflik baik dari level
komunitas terkecil seperti rumah tangga hingga ke tingkat menengah seperti
antara partai, golongan sampai ke komunitas terbesar antar bangsa, agama dan
negara. Konflik tersebut sering dilatarbelakangi oleh berbagai motif dan
kepentingan. Salah satu penyebabnya adalah karena hilangnya nilai-nilai
kebajikan, kemanusiaan, kedamaian dan persaudaraan antara individu atau
kelompok.
Konflik mengandung pengertian1 "benturan", seperti perbedaan pendapat,
persaingan, pertentangan antar individu dan individu, kelompok dan kelompok,
individu dan kelompok, dan antara individu atau kelompok dengan pemerintah.
Konflik terjadi antar kelompok yang memperebutkan hal yang sama. Sebuah
konflik berubah atau berkembang menjadi sebuah sengketa bilamana pihak yang
merasa dirugikan telah menyatakan rasa tidak puas atau keprihatinannya, baik
secara langsung kepada pihak yang dianggap sebagai penyebab kerugian atau
kepada pihak lain.2
1
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta:Gramedia Widiasarana Indonesia,
1992), hlm.145.
2
Siti Megadianty Adam dan Takdir Rahmadi, Sengketa dan Penyelesaiannya, (Jakarta:
Kebanyakan dari sengketa yang terjadi, mengambil jalan dengan cara
menyelesaikan sengketanya lewat jalur hukum di Pengadilan, untuk dimensi
hukum perdata Islam maka arahnya ke Pengadilan Agama. Hampir semua kasus
perdata akhirnya diajukan pula ke pengadilan yang tertinggi untuk kasasi karena
selalu tidak puasnya para pihak yang kalah. Bahkan ada kecenderungan orang
sengaja mengulur waktu dengan selalu mempergunakan upaya hukum, bahkan
walaupun kurang beralasan dilanjutkan pula ke Peninjauan Kembali.3
Upaya Penyelesaikan sengketa atau perkara di Pengadilan, maka jalan
pertama yang ditempuh di sana akan ditawarkan sebuah bentuk perdamaian yang
bernama Mediasi dalam menyelesaikan sengketa, perkara atau bahkan konflik.
4
Merekonsiliasi dan memperbaiki hubungan antara pihak-pihak terkait
sangat diperlukan demi terciptanya kembali kehidupan yang harmonis, damai dan
saling pengertian, para Nabi dan Rasul diutus oleh Allah SWT ke dunia dengan
tujuan menebarkan Rahmat dan Kedamaian di muka bumi sebagaimana
ditegaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Anbiya ayat 70 yang artinya ”Tidak Kami
utus Engkau wahai Muhammad kecuali untuk menjadikan rahmat bagi sekalian
alam”.
Perdamaian adalah jawaban yang paling lembut sekaligus penyelesaian
yang sama-sama menguntungkan (win-win solution) dan tidak ada yang merasa
dipecundangi, dan rasa egoisme para pihak akan sirna seiring dengan
3
Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 29.
4
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum
terpenuhinya perdamaian sehingga terbangun nilai-nilai persaudaraan (ukhuwwah)
yang lebih kuat. Menciptakan konsep tersebut bukan hal yang mudah, karena
masing-masing pihak telah terbius dengan ambisi masing-masing untuk saling
ingin menguasai/memenangkan/mengalahkan.
Islam mengenal konsep perdamaian yang dikenal dengan istilah
Shulhu/Ishlah sebagaimana dalam Al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 10 yang
artinya: “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. sebab itu
damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah
terhadap Allah, supaya kamu mendapat Rahmat”.
Shulhu adalah5 “suatu proses penyelesaian sengketa dimana para pihak
mengakhiri perkara mereka secara damai”. Shulhu memberikan kesempatan
kepada para pihak untuk memikirkan jalan terbaik dalam dalam menyelesaikan
sengketa yang dapat memuaskan para pihak yang dilakukan secara suka rela tanpa
ada paksaan. Sulh menjadi sesuatu yang harus ada diantara kaum muslimin,
kecuali suatu perdamaian yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan
yang halal.6
Konsep shuhlu dalam Islam tidak berbeda dengan Mediasi yang
dipraktekkan di sejumlah Negara-negara di dunia. Penggunaan Mediasi untuk
menyelesaikan sengketa bukan merupakan fenomena baru. Di Amerika Serikat
kelompok Imigran Quaker, Cina dan Jahudi mula-mula lebih cenderung
menerapkan model-model mediasinya ketimbang mengikuti sistem peradilan
5
Ibid, hlm.159.
6
Syekh al-Imam Muhammad bin Ismail Al- Kahlani, subulussalam Juz 4 (Mesir: Syarikat
Amerika. Perhimpunan tenaga kerja juga telah menggunakan Mediasi sejak di
keluarkannya Arbitration Act 1888.7
Mediasi adalah:8
Cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh Mediator. Mediasi
merupakan
sebagai Mediator, yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan yang membantu pihak-pihak yang bersengketa mencapai penyelesaian (solusi) yang diterima oleh kedua belah pihak.
Mediasi di Indonesia merupakan bagian dari tradisi dari masyarakat, oleh
karena itu pengembangannya lebih dipengaruhi oleh faktor budaya, namun
seringkali faktor ketidakefisienan penyelesaian sengketa melalui Pengadilan turut
memperkuat komitmen mereka menggunakan Mediasi.9
Hukum Acara Perdata Indonesia yaitu HIR (Herzien Indonesis Reglement)
dalam Pasal 130 dan R.bg (Rechtsreglement Buitengewesten) Pasal 154 telah
mengatur lembaga perdamaian, dimana hakim yang mengadili wajib terlebih
dahulu mendamaikan para pihak yang berperkara sebelum perkaranya diperiksa
secara ajudikasi (Penyelesaian perkara atau sengketa di pengadilan). Pasal 130
ayat (1) jo. Pasal 131 ayat (1) HIR, berbunyi sebagai berikut: Jika pada hari yang
ditentukan itu kedua belah pihak datang, maka pengadilan negeri dengan
pertolongan ketua mencoba akan memperdamaikan mereka.10
7
Jacqueline M. Nolan – Hlmey, Alternative Dispute Resolution in a Nutshell (St. Paul –
Minnesota: West Publishing Co, 1992), hlm. 54-55.
8
PERMA No. 1 tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Pasal 1 angka 7.
9
Runtung Sitepu, “Pemberdayaan Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Indonesia”, Disampaikan dalam pidato pengukuhan Guru Besar Tetap dalam bidang Ilmu Hukum Adat pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2006, hlm. 25.
10
Selanjutnya ayat (2) mengatakan: Jika perdamaian yang demikian itu dapat
dicapai, maka pada waktu bersidang, diperbuat sebuah surat (akta) tentang itu,
dalam mana kedua belah pihak dihukum akan menaati perjanjian yang diperbuat
itu, surat mana akan berkekuatan dan akan dijalankan sebagai putusan yang
biasa.11
Agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, seorang Mediator harus
memahami fungsi apa saja yang harus ia perankan dalam suatu proses Mediasi.
Penerapan konsep Mediasi akan membawa hasil maksimal apabila semua pihak
mempunyai komitmen yang sama, niat yang sama dan saling memahami draf-draf
yang disodorkan oleh semua pihak, termasuk mengutamakan pikiran yang positif
(positive thinking) terhadap solusi yang ditawarkan para pihak sebagai mitra
runding. Kesamaan ini perlu dibangun agar sejak awal semua pihak tidak terjebak
oleh egoisme semu dan saling merasa paling benar.
Mediasi akan berhasil jika semua pihak mempunyai tekat untuk sepakat
mengakhiri perselisihan dan mencari solusi jitu yang saling menguntungkan
semua pihak. Agar semua pihak terikat dan dapat melaksanakan hasil Mediasi,
maka materi perdamaian haruslah dituangkan dalam bentuk tulisan yang
transparan, sederhana, riil dan memiliki dasar hukum yang jelas. Perdamaian yang
dihasilkan melalui Mediasi akan sangat membantu menyelesaikan konflik dengan
lebih singkat, mudah dan memupuk rasa persaudaraan.
11
Wantjik Saleh, Hukum Acara Perdata RBG/HIR, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990),
Berbekal berbagai kemampuan tersebut Mediator diharapkan mampu
melaksanakan perannya untuk menganalisis dan mendiagnosis suatu sengketa
tertentu dan kemudian mendesain serta mengendalikan proses intervensi lain
dengan tujuan menuntun para pihak untuk mencapai suatu mufakat yang sehat.
Peran penting yang harus dilakukan Mediator dalam suatu Mediasi antara lain
adalah: 12
1. Melakukan diagnosa konflik,
2. Mengidentifikasikan masalah serta kepentingan-kepentingan kritis,
3. Menyusun agenda,
4. Memperlancar dan mengendalikan komunikasi,
5. Mengajak para pihak dalam proses ketrampilan tawar menawar,
6. Membantu para pihak mengumpulkan informasi penting,
7. Menyelesaikan masalah dan menciptakan pilihan-pilihan,dan
8. Mendiagnosa sengketa untuk memudahkan penyelesaian problem.
Mediasi akan terlaksana secara meyakinkan bila dilaksanakan secara
pribadi dan rahasia. Kerahasian akan membantu Mediator untuk membangun
kepercayaan dan mengembangkan laporan konstruktif dengan pihak-pihak.
Kerahasian juga akan membuat aman bagi pihak-pihak untuk memberikan
informasi, juga akan menciptakan kondisi aman di mana pihak-pihak dapat
mengemukakan kebutuhan dan kepentingannya tanpa kekhawatiran akan
dirugikan. Kerahasian merupakan syarat penting yang harus tetap dijaga dalam
Mediasi.
Peluang penerapan Mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa di
pengadilan juga diatur dalam HIR Pasal 130 /154 R.Bg, di mana pada persidangan
12
Garry Goodpaster, Panduan Negosiasi dan Mediasi, Terjemahan Nagor Simanjuntak
pertama hakim wajib mendamaikan para pihak yang bersengketa, namun dalam
prakteknya belum di dayagunakan secara optimal. Hakim-hakim di pengadilan
masih bersifat pasif dan upaya menuju kearah penyelesaian sengketa secara
perdamaian diserahkan sepenuhnya kepada inisiatif para pihak yang bersengketa.
Mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih
cepat dan murah serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para
pihak menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan
dan pengintegrasian Mediasi kedalam proses beracara di Pengadilan dapat
menjadi salah satu alat yang efektif mengatasi masalah penumpukan perkara di
pengadilan serta memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga Pengadilan
dalam menyelesaikan sengketa disamping proses pengadilan yang bersifat
memutus (ajudikatif).
Upaya perdamaian yang tercantum dalam Pasal 130 HIR/154 RBg yang
selama ini dilakukan oleh Hakim tingkat pertama secara pasif, perlu diubah
menjadi bersifat aktif, dimana untuk mencapai hasil yang optimal Mahkamah
Agung Republik Indonesia (MARI) merasa sikap aktif Hakim itu perlu
dilengkapi dengan pengetahuan, kemampuan dan keterampilan yang cukup.
Perlunya dicarikan penyelesaian yang lebih mendasar yaitu mengurangi
lajunya perkara-perkara yang diajukan ke Mahkamah Agung atau dengan
membatasi perkara-perkara yang tidak perlu sampai ke Mahkamah Agung, antara
lain dengan sedapat mungkin menyelesaikan perkara di pengadilan tingkat
alternatif baik di luar pengadilan maupun di dalam pengadilan.13
Bentuk penyelesaian sengketa dengan cara Mediasi yang sekarang
dipraktikkan terintegrasi dengan proses Peradilan.14
Landasan yuridisnya mengenai Mediasi secara tertulis di Indonesia,
awalnya terdapat di dalam hukum acara perdata yaitu HIR Pasal 130 dan R.bg 154
telah mengatur tentang lembaga perdamaian, dimana Hakim yang mengadili wajib
terlebih dahulu mendamaikan para pihak yang berperkara sebelum perkaranya
diperiksa secara adjudikasi dan untuk memberdayakan pasal tersebut, maka
dikeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2003
tentang Pemberdayaan Lembaga Perdamaian dalam Pasal 130 HIR dan Pasal 154
Rbg. Selanjutnya untuk melengkapinya, dikeluarkan pula Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Penyelesaian sengketa dengan
cara Mediasi yang dewasa ini dipraktikkan di pengadilan memiliki kekhasan,
yaitu dilakukan ketika perkara sudah di daftar di pengadilan (connected to the
court).
Peradilan Agama sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman secara
tegas kewenangannya diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 3 tahun 2006
menegaskan, “Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaaan kehakiman
bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu.”
13
Runtung Sitepu, Op.Cit.,hlm. 5
14
Kewenangan Pengadilan Agama dapat diketahui dari ketentuan Pasal 49 dan Pasal
50 Pasal 49 Undang-Undang No. 3 tahun 2006 Tentang Peradilan Agama
menyebutkan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang: 1. Perkawinan, 2. Waris, 3. Wasiat, 4. Hibah, 5.Wakaf,
6. Zakat, 7. Infaq, 8. Shadaqah, dan 9. Ekonomi Syariah.15
Beberapa perkara di Pengadilan Agama yang tidak wajib Mediasi, yaitu.16
“Perkara volunter (perkara yang tidak mengandung sengketa tetapi ada
kepentingan hukum serta diatur dalam Undang-undang) dan perkara yang
menyangkut legalitas hukum, seperti Itsbat nikah, pembatalan nikah, hibah dan
wasiat serta perkara yang salah satu pihaknya tidak hadir di persidangan”.
Secara teoritis, penyelesaian sengketa melalui Mediasi di Pengadilan
Agama membawa sejumlah keuntungan, di antaranya perkara dapat diselesaikan
dengan cepat dan biaya ringan dan mengurangi kemacetan dan penumpukan
perkara (court congestion) di pengadilan.
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (PERMA) Nomor 1
Tahun 2008, menyebutkan bahwa Mediasi sudah dimasukkan ke dalam proses
peradilan formal dalam Pasal 2 ayat (1) yang menegaskan bahwa semua perkara
perdata yang diajukan ke pengadilan wajib didahulukan penyelesaian melalui
perdamaian dengan bantuan Mediator. Tidak menempuh prosedur Mediasi
15
Undang-Undang No. 3 tahun 2006, Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1989. Tentang Peradilan Agama.
16
Keputusan Mahkamah agung Republik Indonesia Nomor: KMA/032/SK/IV/2006
berdasarkan peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan pasal 130
HIR dan atau 154 R.Bg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum.17
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Proses Mediasi
harus memerlukan beberapa tahapan. Persidang pertama yang dihadiri para pihak,
hakim mewajibkan para pihak yang berperkara menempuh Mediasi terlebih
dahulu sebelum sidang dilanjutkan ke tahap berikutnya dan para pihak memilih
para Mediator dan hakim menunjuk dan menetapkan Mediator sekaligus
menyerahkan fotocopy berkas perkara kepada para Mediator.
Bila tercapai kesepakatan dalam proses Mediasi maka para pihak
merumuskan kesepakatan secara tertulis dan memberitahukan hasil kesepakatan
itu kepada hakim untuk memenuhi pengukuhan kesepakatan sebagai akta
perdamaian oleh hakim.18 Jika para pihak tidak menghendaki kesepakatan
perdamaian dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian, kesepakatan perdamaian
harus memuat klausul pencabutan gugatan dan atau klausula yang menyatakan
perkara telah selesai .19 Tujuan Mediasi adalah: 20
1. Bagi para pihak yang berperkara Mediasi bertujuan untuk:
a. Tercapainya penyelesaian sengketa yang menghasilkan
keputusan yang dapat diterima oleh semua pihak sehingga para pihak tidak menempuh upaya banding dan kasasi.
17
PERMA No. 1 tahun 2008, tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Pasal 2 ayat 3.
18
Runtung Sitepu, Op.Cit., hlm. 6.
19
PERMA No. 1 tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Pasal 17 angka 6.
20
b. Penyelesaian perkara lebih cepat dan biaya murah.
c. Hubungan baik para pihak yang bersengketa tetap dapat di jaga.
d. Lebih tinggi tingkat kemungkinan untuk melaksanakan
kesepakatan.
2. Bagi Pengadilan Agama, tujuan Mediasi adalah untuk mengurangi
kemacetan dan penumpukan perkara (court congestion) di pengadilan, dan memperlancar jalur keadilan (acces to justice) di masyarakat.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka Penulis melakukan penelitian
dengan judul “Mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa di Pengadilan
Agama Medan”.
B. Rumusan Permasalahan
Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut di atas, maka penulis
merumuskan Permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana pelaksanaan Mediasi dalam Menyelesaikan sengketa di
Pengadilan Agama Medan?.
2. Bagaimana keberhasilan dan kegagalan Mediasi sebagai Alternatif
Penyelesaian Sengketa di Pengadilan Agama Medan?.
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian yang terdapat dalam rumusan masalah, maka yang
menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui dan mengkaji Pelaksanaan Mediasi dalam
Menyelesaikan Sengketa di Pengadilan Agama Medan.
2. Untuk mengetahui dan mengkaji Keberhasilan dan Penyebab Kegagalan
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki manfaat teoritis dan praktis. Adapun manfaat
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Secara Teoritis
Manfaat penelitian ini adalah sebagai bahan atau data informasi di
bidang ilmu hukum bagi kalangan akademis untuk mengetahui dinamika
masyarakat dan seluruh proses mekanismenya, khususnya masalah
Mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa di Pengadilan Agama.
Selain itu penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi
penyempurnaan pranata peraturan hukum dalam kasus-kasus sengketa
yang diproses di Pengadilan Agama khususnya Pengadilan Agama Medan.
2. Secara Praktis
Manfaat penelitian ini secara praktis sebagai bahan masukan bagi
aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, dan advokat) serta Notaris
dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) serta Mediator, sehingga Aparat
Penegak Hukum dan para pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa
di Pengadilan Agama mempunyai persepsi yang sama dalam
menyelesaikan masalah.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di
perpustakaan Universitas Sumatera Utara diketahui bahwa penelitian tentang
belum pernah dilakukan dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama.
Sebelumnya pernah dilakukan penelitian oleh Emirza Henderlan Harahap,
Magister Ilmu Hukum, Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara dengan judul
“Mediasi Dalam Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah” dan penelitian
lainnya oleh Nurhilmiyah, Magister Ilmu Hukum, Pasca Sarjana Universitas
Sumatera Utara, dengan judul penelitian “Mediasi di Pengadilan pasca keluarnya
perma nomor 1 tahun 2008 tentang Mediasi di Pengadilan”. Jika di konprontir
penelitian sebelumnya dengan penelitian ini adalah berbeda dalam
pembahasannya. jadi penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas
keilmuan yaitu jujur, rasional, obyektif dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas masukan
serta saran-saran yang membangun sehubungan dengan pendekatan dan
perumusan masalah.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Ishlah
(mendamaikan). Secara istilah, ishlah dapat diartikan sebagai perbuatan terpuji
dalam kaitannya dengan perilaku manusia.21
21
E. van Donzel, B. Lewis, dkk (ed), Encyclopedia of Islam, (Leiden E.J. Brill, 1990),
Jil. IV, hlm. 141.
Karena itu, dalam terminologi Islam
secara umum, Ishlah dapat diartikan sebagai suatu aktifitas yang ingin membawa
menurut ulama fikih, kata Ishlah diartikan sebagai perdamaian, yakni suatu
perjanjian yang ditetapkan untuk menghilangkan persengketaan di antara manusia
yang bertikai, baik individu maupun kelompok.22
a. Teori Ishlah.
Berdasarkan penjelasan
terminologi di atas, studi ini memilih menggunakan beberapa teori yaitu :
Teori Ishlah bersumber dari Al-Quran. Ishlah disebut dalam ayat di
dalam Al-Quran sebagai berikut:
1. Ishlah memiliki nilai yang sangat luhur dalam pandangan Allah,
yaitu pelakunya memperoleh pahala yang besar (An-Nisa 114).
2. Ishlah antara suami-isteri yang di ambang perceraian; dengan
mengutus al-hakam (juru runding) dari kedua belah pihak; Q.S.
An-Nisa: 35. dan lain-lain.
3. Ishlah itu baik, terutama ishlah dalam sengketa rumah tangga
(An-Nisa128).
4. Teori ishlah ini jika diterapkan untuk memahami Mediasi di
pengadilan agama berbunyi sebagai berikut:
a) Para pihak yang bersengketa di pengadilan agama adalah
orang mukmin. Setiap orang mukmin dengan sesama
mukmin lainnya adalah bersaudara. Persaudaraan antara
orang mumin merupakan persaudaraan seagama yang
memiliki konsekuensi hukum yaitu antara orang mukmin
22
Abu Muhammad Mahmud Ibn Ahmad al-Aynayni, al-Bidyah fi Syarh al-hidyah,
dilarang saling mendhalimi dan membiarkannya
didhalimi, perumpaan seorang mukmin dengan mukmin
lainnya laksana seperti tubuh tetapi jadilah hamba-hamba
Allah SWT yang bersaudara (wa kunu ibadallahi
ikhwana).23
b) Akibat persaudaraan antara orang mumin, jika mereka
bersengketa di pengadilan agama maka mereka harus
mencari penyelesaian sengketa tersebut dengan ishlah
karena ishlah merupakan perintah Al-Quran yang
ditujukan bagi orang yang beriman fa ashlihu baina
akhawaikum artinya: maka damaikanlah diantara
saudaramu.
c) Pasangan suami isteri yang bersengketa di pengadilan
agama adalah orang mukmin. Jika mereka mengangkat
seorang hakam untuk mengishlahkan mereka di dalam
menghadapi kemelut dalam rumah tangganya Allah akan
memberi taufiq kepada suami isteri itu (An-Nisa ayat 35).
d) Para pihak yang bersengketa di pengadilan agama dan
menyelesaikan sengketa dengan ishlah memiliki nilai yang
sangat luhur dalam pandangan Allah SWT, yaitu pelakunya
memperoleh pahala yang besar (An-Nisa ayat 114).
23
Lihat Ibnu Katsir, Tafsir Al-Quran Al-Adhim. (Beirut: Dar El-Fikr, 1999), juz II
b. Teori Sistem Hukum (Lawrence M. Friedman).
Teori ini digunakan untuk melihat implementasi Mediasi.
Menurutnya, sistem hukum terdiri atas tiga elemen, yaitu elemen
struktur, substansi dan budaya hukum.24
Kelembagaan hukum adalah bagian dari struktur hukum
seperti Mahkamah Agung, dan badan-badan peradilan di bawahnya
termasuk Pengadilan Agama beserta aparaturnya. Hakim pengadilan
sebagai struktur Pengadilan memiliki peran yang penting di dalam
meningkatkan keberhasilan Mediasi. Keberhasilan dan kegagalan
Mediasi ditopang oleh kemampuan dan kecakapan Mediator di
dalam menjalankan perannya.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan merupakan salah satu elemen
substansi hukum. Elemen substansi ini dapat memberikan kepastian
kepada para pihak yang bersengketa untuk menemukan jalan keluar
dari sengketa yang sedang dihadapi. Peraturan Mediasi ini paling
tidak berisi mengenai substantif dan prosedural Mediasi.
Terkait dengan budaya hukum ini, Mediasi di Pengadilan Agama
sesungguhnya merupakan produk dari sistem hukum yang cara
pemanfaatan dan penggunaannya sangat tergantung dengan nilai dan
keyakinan masyarakat sebagai pengguna Mediasi tersebut. Nilai dan
keyakinan merupakan bagian dari budaya masyarakat.
24
Lawrence M. Friedman, American Law (New Yor: KW.W. Norton and Company, 1984)
Jika masyarakat menilai dan berkeyakinan bahwa Mediasi dapat
berperan sebagai sarana penyelesaian masalah sengketa yang
dihadapi maka tujuan Mediasi akan tercapai sebagai mekanisme
penyelesaian sengketa yang cepat dan biaya ringan, reputasi para
pihak tidak terganggu, dan hubungan baik tetap terjaga.
Ketertiban adalah tujuan pokok dan pertama dari segala
hukum. Kebutuhan terhadap ketertiban ini syarat pokok
(fundamental) bagi adanya suatu masyarakat yang teratur.
Di samping ketertiban, tujuan lain dari hukum adalah tercapainya
keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya menurut masyarakat
dan zamannya. Untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat ini
diperlukan adanya kepastian dalam pergaulan antar manusia dalam
masyarakat.
2. Konsepsional
Dalam tulisan ini, yang dimaksud dengan Mediasi adalah proses
penyelesaian perselisihan atau sengketa yang terjadi antara dua pihak atau lebih
yang dilakukan dengan bantuan pihak ketiga (Mediator) untuk mendapatkan
suatu hasil yang saling menguntungkan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata Mediasi diberi arti sebagai
proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai
penasihat.25
25
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Mediasi adalah suatu proses dimana pihak netral yang telah disepakati
oleh pihak-pihak yang bersengketa, bertindak sebagai seorang fasilitator bagi
kepentingan negosiasi mereka dan membantu mereka mencapai solusi yang saling
menguntungkan.26
Mediasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa antara dua pihak atau
lebih melalui perundingan atau cara mufakat dengan bantuan pihak netral yang
tidak memiliki kewenangan memutus.27
Alternatif penyelesaian sengketa adalah penyelesaian sengketa melalui
jalur non pengadilan yang pada umumnya ditempuh melalui cara-cara
perundingan yang dipimpin atau diprakarsai oleh pihak ketiga yang netral atau
tidak memihak.28
Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa
atau-beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni
penyelesaian di luar Pngadilan dengan cara Konsultasi, Negosiasi, Mediasi,
Konsiliasi, atau penilaian ahli.29
G. Metode Penelitian
Metode penelitian digunakan dalam suatu penelitian ilmiah. Penelitian
ilmiah ialah penalaran yang mengikuti suatu alur berpikir atau logika yang
26
Alternative Dispute Resolution (ADR), http:/www.fmladr.com/services.html. Available, diakses tanggal 2 Juni 2011.
27
Takdir Rahmadi, Mediasi Penyelesaian sengketa melalui pendekatan mufakat, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2010), hlm.12.
28
Maria SW Sumardjono, Mediasi Sengketa Tanah, (Jakarta: Kompas, 2008). hlm.4
29
UU RI No. 3 tahun 1999, Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
tertentu dan yang menggabungkan metode induksi (empiris), karena penelitian
ilmiah selalu menuntut pengujian dan pembuktian empiris dan hipotesis-hipotesis
atau teori yang disusun secara deduktif.30
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis
normative, yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan
kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif. Metode penelitian
normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research)
yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam
buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan
oleh hakim melalui proses pengadilan (law is decided by the judge through
judicial process).31 Penelitian hukum normatif berdasarkan data sekunder
dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis
normatif-kualitatif.32
Logika keilmuan yang juga dalam penelitian hukum normatif
dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum
normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri. Penelitian
hukum ini dikatakan juga penelitian yang ingin menelaah sinkronisasi
suatu peraturan perundang-undangan, yang dilakukan secara vertikal dan
horizontal. Ditelaah secara vertikal berarti akan dilihat bagaimana
30
Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20,
(Bandung: Rineka Cipta, 1994), hlm.105.
31
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Grafitti
Press, 2006), hlm.118.
32
hirarkisnya, sedangkan secara horizontal adalah sejauh mana peraturan
perundang-undangan yang mengatur pelbagai bidang itu mempunyai
hubungan fungsional secara konsisten.
Penelitian ini bersifat Deskriftif Analitis. Yakni untuk mencari
penyelesaian permasalahan, memberikan gambaran atau merumuskan
masalah sesuai dengan keadaan/ fakta yg ada. Deskriftif Analitis berarti
bahwa penelitian ini menggambarkan suatu peraturan hukum dalam
konteks teori-teori hukum dan pelaksanaanya, serta menganalisis fakta
secara cermat tentang pelaksanaan Mediasi sesuai dengan penggunaan
peraturan perundang-undangan dalam penyelesaian sengketa di Pengadilan
Agama.
2. Sumber Data Penelitian
Sumber-sumber penelitian dapat dibedakan menjadi
sumber-sumber penelitian yang berupa bahan hukum primer dan
bahan-bahan hukum sekunder, yang digunakan dalam penelitian ini.
Sumber-sumber penelitian dapat dibedakan menjadi Sumber-sumber-Sumber-sumber penelitian
yang berupa bahan-bahan hukum primer, sekunder dan bahan-bahan
hukum tersier, yaitu :
a) Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang
bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Terdiri dari
perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam
hukum primer yang otoritasnya di bawah undang-undang adalah
peraturan pemerintah, peraturan presiden atau peraturan suatu badan
hukum atau lembaga negara.
b) Bahan Hukum Sekunder
Berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan
merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum
meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum
dan komentar-komentar atas putusan Pengadilan. Bahan hukum
sekunder terutama adalah buku teks karena buku teks berisi
mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan
pandangan-pandangan klasik para sarjana yang mempunyai klasifikasi tinggi.33
c) Bahan hukum Tersier
Berupa bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan
penjelasan terhadap bahan hukum sekunder seperti kamus umum,
kamus hukum, kamus, majalah dan jurnal ilmiah.34
Jadi penelitian ini menggunakan bahan hukum Primer,
Sekunder dan Tersier sebagai sumber penelitian.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan:
a. Library Research yaitu Penelitian Kepustakaan dilaksanakan
dengan cara mempelajari dan mengkaji Peraturan
33
Petter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramitha, 2005),
hlm 141.
34
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudi, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 dan peraturan
lainnya, buku-buku yang berisi mengenai teori Mediasi atau
jenis bacaan lain yang ada hubungannya dengan masalah
Mediasi.
b. Deepth interview (wawancara mendalam) dilakukan sebagai
sarana untuk mengetahui secara mendalam mengenai
pelaksanaan Mediasi. Wawancara dilakukan kepada pejabat,
Ketua ketua Pengadilan Agama dan Hakim di Pengadilan
Agama serta Mediator. Selain itu juga wawancara dilakukan
dengan para pihak mengenai pelaksanaan Mediasi.
4. Analisis Data
Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif
dapat dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaidah hukum
dan kemudian konstruksi dilakukan dengan cara memasukkan pasal-pasal
ke dalam kategori-kategori atas dasar pengertian-pengertian dasar dari
sistem hukum tersebut. Data yang diperoleh melalui studi dokumen, studi
kepustakaan dan peraturan perundang-undangan dianalisis berdasarkan
metode kualitatif, yaitu dengan melakukan :35
a. Menemukan konsep-konsep yang terkandung dalam bahan-bahan
hukum (konseptualisasi) yang dilakukan dengan cara memberikan
interpretasi terhadap bahan -hukum tersebut.
35
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Grafindo, 2006),
b. Mengelompokkan konsep-konsep atau peraturan-peraturan yang
sejenis atau berkaitan. Kategori-kategori dalam penelitian ini
adalah Mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa di
Pengadilan Agama Medan.
c. Menemukan hubungan di antara pelbagai kategori atau peraturan
kemudian diolah.
d. Menjelaskan dan menguraikan hubungan di antara pelbagai
kategori atau peraturan perundang-undangan, kemudian dianalisis
secara deskriptif kualitatif. Sehingga mengungkapkan hasil yang
diharapkan sebagai kesimpulan atas Permasalahan.
5. Teknik Penarikan kesimpulan
Cara penarikan kesimpulan yang dilakukan oleh penulis adalah
pola pikir secara induktif-deduktif yang akan membantu penelitian ini
dalam taraf konsistensi serta konseptual dan prosedur tata cara
sebagaimana yang diterapkan oleh azas-azas hukum yang berlaku dalam
perundang-undangan yang bertujuan untuk memberikan gambaran
terhadap permasalahan yang akan dijawab.36
a) Reduksi data, yaitu proses pemilihan, pemusatan, perhatian pada
penyederhanaan, pengabstrakan dan trans ormasi data.
Penarikan kesimpulan
dilakukan dengan cara:
b) Penyajian data, dilakukan secara naratif dari teks yang belum
teratur, atau masih berupa matrik, grafik, bagan guna
menggabungkan informasi sehingga padu dan mudah dimengerti.
36
Lexi Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (edisi revisi), (Bandung: PT.Remaja,
c) Penarikan kesimpulan, dari hasil penyajian data dapat dilihat oleh
peneliti apa yang sedang terjadi sehingga dapat menentukan
BAB II
PELAKSANAAN MEDIASI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA
DI PENGADILAN AGAMA MEDAN
A. Pengertian Mediasi
Istilah Mediasi secara etimologi berasal dari bahasa latin, mediare yang
berarti berada ditengah. Makna ini menunjuk pada peran yang ditampilkan pihak
ketiga sebagai Mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan
menyelesaikan sengketa para pihak. “ Berada di tengah” juga bermakna Mediator
harus berada pada posisi netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa.
“Mediator harus mampu menjaga kepentingan para pihak yang bersengketa secara
adil dan sama, sehingga menumbuhkan kepercayaan (trust) dari para pihak yang
bersengketa”.37
Mediasi merupakan suatu proses damai dimana para pihak yang bersengketa
menyerahkan penyelesaiannya kepada seorang Mediator (seseorang yang mengatur
pertemuan antara dua pihak atau lebih yang bersengketa) untuk mencapai hasil
akhir yang adil, tanpa membuang biaya yang terlalu besar, akan tetapi tetap efektif
dan diterima sepenuhnya oleh kedua belah pihak yang bersengketa secara sukarela.
Dalam Colllins English Dictionary and Thesaurus disebutkan bahwa “
Mediasi adalah kegiatan menjembatani antara dua pihak yang bersengketa guna
37
menghasilkan kesepakatan (agreement)”. 38
Penjelasan Mediasi dari sisi kebahasaan (etimologi) lebih menekankan
kepada keberadaan pihak ketiga yang menjembatani para pihak bersengketa untuk
menyelesaikan perselisihannya, dimana hal ini sangat penting untuk membedakan
dengan bentuk-bentuk lainnya seperti Arbitrase, Negosiasi, Adjudikasi dan
lain-lain.
Kegiatan ini dilakukan oleh Mediator
sebagai pihak yang ikut membantu mencari berbagai alternatif penyelesaian
sengketa. Posisi Mediator dalam hal ini adalah mendorong para pihak untuk
mencari kesepakatan-kesepakatan yang dapat mengakhiri perselisihan dan
persengketaan.
Pengertian Mediasi secara etimologi tersebut diatas masih sangat umum
sifatnya, belum menggambarkan secara konkret esensi dan kegiatan Mediasi secara
menyeluruh, untuk itu perlu diuraikan pengertian Mediasi secara terminologi yang
diungkapkan para ahli resolusi konplik. Para ahli resolusi konplik beragam dalam
memberikan definisi Mediasi sesuai dengan sudut pandang masing-masing.
Christopher W.More menyatakan Mediasi adalah “intervensi dalam sebuah
sengketa atau negoisasi oleh pihak ketiga yang bersengketa, bukan merupakan
bagian dari kedua belah pihak dan bersifat netral. Pihak ketiga ini tidak mempunyai
wewenang untuk mengambil keputusan. Dia bertugas untuk membantu pihak-pihak
38
Lorna Gilmour, Penny Hand, Cormac McKeown, Colllins English Dictionary and
yang bertikai agar sukarela mau mencapai kata sepakat yang diterima oleh
masing-masing pihak dalam sebuah persengketaan.39
Menurut Takdir Rahmadi, Mediasi adalah “suatu proses penyelesaian
sengketa antara dua pihak atau lebih melalui perundingan atau cara mufakat dengan
bantuan pihak netral yang tidak memiliki kewenangan memutus”.40
Pengertian Mediasi dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah “Sebagai
proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai
penasehat”.41 Pengertian dari segi bahasa tersebut mengandung tiga unsur penting,
yaitu:42
1. Mediasi merupakan proses penyelesaian perselisihan atau sengketa yang
terjadi antara dua pihak atau lebih.
2. Pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa adalah pihak-pihak yang
berasal dari luar pihak yang bersengketa.
3. Pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa tersebut bertindak sebagai
penasihat dan tidak memiliki kewenangan apa-apa dalam pengambilan keputusan.
Secara yuridis, pengertian Mediasi lebih konkret ditemukan dalam
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan. Dalam PERMA tersebut dinyatakan bahwa “Mediasi adalah43
39
Christopher W.More (selanjutnya disebut Christoper W.More II), Mediasi lingkungan,
(Jakarta:Indonesian Centre for Environmental Law dan CDR Associates,1995), hlm. 18.
“cara
40
Takdir Rahmadi, Op.Cit., hlm.12.
41
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta:Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,1988), hlm. 569.
42
Syahrizal Abbas.Op.Cit., hlm. 3.
43
penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan
para pihak dengan dibantu oleh Mediator”.
Pengertian Mediasi dalam PERMA No.1 Tahun 2008 tidak jauh berbeda
dengan esensi Mediasi yang dikemukakan para ahli resolusi konflik, namun
pengertian ini menekankan pada satu aspek penting dimana Mediator proaktif
mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa. Mediator harus mampu
menemukan alternatif-alternatif penyelesaian sengketa. Tidak hanya terikat dan
terfokus pada apa yang dimiliki oleh para pihak dalam penyelesaian sengketa
mereka. Mediator harus mampu menawarkan solusi lain, ketika para pihak tidak
lagi memiliki alternatif penyelesaian sengketa atau para pihak sudah mengalami
kesulitan atau bahkan deadlock (jalan buntu) dalam penyelesaian sengketa, oleh
karena itu Mediator harus memiliki beragam konsep yang dapat memfasilitasi dan
membantu para pihak dalam menyelesaikan sengketa mereka.
Berdasarkan beberapa defenisi dan pengertian diatas, dapat diidentifikasikan
unsur-unsur esensial Mediasi sebagai berikut:44
1. Mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa melalui perundingan
berdasarkan pendekatan mufakat atau konsensus para pihak.
2. Para pihak meminta bantuan pihak lain yang bersifat tidak memihak
yang disebut Mediator.
3. Mediator tidak memiliki kewenangan memutus, tetapi hanya membantu
para pihak yang bersengketa
44
Mediasi sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa memiliki ruang
lingkup utama berupa wilayah hukum Privat/Perdata. Sengketa-sengketa perdata
berupa sengketa keluarga, waris, bisnis, kontrak, perbankan dan berbagai jenis
sengketa perdata lainnya dapat diselesaikan melalui jalur Mediasi.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa (selanjutnya disingkat UU Nomor 30 Thn 1999) sebagai
dasar pelaksanaan Mediasi diluar pengadilan tidak ditemukan batasan-batasan
penyelesaian sengketa melalui Mediasi secara jelas, namun secara implisit batasan
Mediasi tertuang dalam UU Nomor 30 Thn 1999, pasal 6 ayat (1) berbunyi:“
Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui
alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan
mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri”. 45
PERMA No.1 Tahun 2008, sebagai aturan pelaksanaan Mediasi yang
diintegrasikan di pengadilan (non litigasi) secara tegas menentukan ruang lingkup
Mediasi, dimana Mediasi dilakukan terhadap semua sengketa perdata, sebagaimana
yang tersebut dalam Pasal 4 berbunyi.
“ Kecuali perkara yang diselesaikan melalui presedur pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan keberatan atas putusan Komisi pengawas
45
Persaingan Usaha, semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan Tingkat Pertama wajib lebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui perdamaian dengan bantuan mediator “.
Ketentuan pasal ini menggambarkan ruang lingkup sengketa yang dapat
dimediasi adalah seluruh perkara perdata yang menjadi kewenangan Peradilan
Umum dan Peradilan Agama.
Proses Mediasi dimana segala sesuatu yang dihasilkan harus merupakan
hasil kesepakatan atau persetujuan para pihak yang terdiri dari dua pihak yang
bersengketa maupun lebih dari dua pihak. Adakalanya disebabkan berbagai faktor
para pihak bersengketa tidak berhasil mencapai penyelesaian, sehingga Mediasi
berakhir dengan jalan buntu. Situasi seperti inilah yang membedakan Mediasi
dengan litigasi. Proses litigasi pasti akan berakhir dengan sebuah penyelesaian
hukum berupa putusan hakim, meskipun putusan hakim tidak selalu dapat
mengakhiri sengketa.
B. Berbagai Bentuk Mediasi Dalam Masyarakat Indonesia
Penyelesaian sengketa alternatif telah lama digunakan oleh masyarakat
tradisional di Indonesia dalam rangka menyelesaikan sengketa di antara mereka.
Penyelesaian sengketa alternatif secara tradisional dianggap efektif dan merupakan
tradisi yang masih hidup di dalam masyarakat.46
46
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia (Bandung: CV. Mandar
Sejak zaman dahulu, masyarakat Indonesia telah mempraktekkan Mediasi
dalam penyelesaian konflik, sebab mereka percaya bahwa dengan melakukan usaha
damai maka akan mengantarkan mereka dalam kehidupan yang harmonis, adil,
seimbang dan terciptanya nilai-nilai kebersamaan yang kuat dalam kehidupan
bermasyarakat.
Beberapa daerah di Indonesia menganggap bahwa kepala desa atau kepala
suku masih dianggap kekuasaan tertinggi dalam memimpin desa, dan sebagai
perantara atau memberikan keputusan dalam persengketaan antara rakyat.47
Dalam masyarakat hukum adat sudah sejak lama sengketa-sengketa yang
terjadi diselesaikan secara musyawarah dan mufakat melalui lembaga-lembaga adat
seperti peradilan desa atau yang disebut dengan peradilan adat. Biasanya yang
bertindak sebagai hakim dalam lembaga tersebut adalah tokoh-tokoh adat (kepala
adat) dan ulama. Kewenangan dari hakim peradilan adat ini tidak semata-mata
terbatas pada perdamaian saja, tetapi juga kekuasaan memutus sengketa dalam
semua bidang hukum yang tidak terbagi ke dalam pengertian pidana, perdata,
publik.
48
Setiap masyarakat telah berkembang berbagai tradisi mengenai bagaimana
sengketa ditangani. Sengketa dapat diselesaikan melalui berbagai cara, baik
47
Runtung Sitepu, Op.Cit., hlm. 4.
48
melalui forum formal yang disediakan oleh Negara, maupun melalui forum-forum
lain yang tidak resmi disediakan oleh negara.49
Musyawarah dan mufakat merupakan falsafah masyarakat Indonesia dalam
setiap pengambilan keputusan, termasuk penyelesaian sengketa. Musyawarah dan
Mufakat ini telah tercatat dalam falsafah Bangsa Indonesia pada sila ke-4, dalam
UUD 1945 dan Peraturan Perundang-undangan lainnya.50
Tradisi penyelesaian sengketa dalam masyarakat hukum adat cenderung
menggunakan ‘pola adat’ atau dalam istilah lain sering disebut pola ‘kekeluargaan’.
Pola ini diterapkan bukan hanya untuk sengketa perdata tetapi juga pidana.
Penyelesaian sengketa dalam pola adat, bukan berarti tidak ada kompensasi atau
hukuman apa pun terhadap pelanggar hukum adat. Masyarakat hukum adat lebih
mengutamakan penyelesaian sengketa melalui jalur musyawarah, yang bertujuan
untuk mewujudkan kedamaian dalam masyarakat. Jalur musyawarah merupakan
jalur utama yang digunakan masyarakat hukum adat dalam menyelesaikan
sengketa, karena dalam musyawarah akan dapat dibuat kesepakatan damai yang
menguntungkan kedua belah pihak.
Fakta-fakta dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat Indonesia di dalam
menyelesaikan sengketa, beberapa bukti diantaranya :
49
Eman Suparman, Pilihan Forum Arbitrase dalam Sengketa Komersial untuk Penegakan
Keadilan, (Jakarta: Tata Nusa, 2004), hlm.18.
50
1. Di Minangkabau, dikenal Kerapatan Nagari yang dikepali oleh Wali
Nagari. Yang dimaksud dengan Kerapatan Adat Nagari (KAN) ialah
Lembaga Perwakilan Permusyawaratan dan Permufakatan Adat tertinggi
yang telah ada dan diwarisi secara turun temurun sepanjang Adat di
tengah-tengah Masyarakat Nagari di Sumatera Barat.51 Keputusan dari Kerapatan
Adat Nagari selalu didasarkan kepada Musyawarah yang disebut dengan
Rapek (rapat) dan di dalam rapat inilah segala sesuatu dipertimbangkan
semasak-masaknya.52
Kelembagaan adat di Minangkabau ini menggabungkan pendekatan
Mediasi dan pendekatan memutus. Dalam Kerapatan Nagari yang bertindak
sebagai Mediator atau Pemutus adalah Para Penghulu Adat.
Kerapatan adat Nagari ini merupakan lembaga
kerapatan tertinggi yang berada di nagari.
2. Di kalangan masyarakat suku Sasak di Pulau Lombok ada pula dikenal
suatu lembaga penyelesaian sengketa yang diberi nama Begundem. Suku
Sasak dalam menyelesaikan perselisihan pertama-tama hendaklah didahului
dengan memberikan peringatan atau nasehat, dan jika peringatan tidak
diindahkan maka diselesaikan melalui musyawarah untuk mencapai
perdamaian. Musyawarah (Begundem) dilaksanakan oleh lembaga Adat
yang disebut Krama Adat sesuai tingkat dan kompetensinya. Untuk tingkat
51
Hakimi, D. Dt. Penghulu Pedoman Ninik Mamak Pemangku Adat. (Sumatera Barat:
Penerbit Biro Pembinaan Adat dan Syarak, LKAAM Provinsi Sumatra Barat. hlm. 90.
52
Chairul Anwar, Hukum Adat Indonesia Meninjau Hukum Adat Minangkabau. (Jakarta:
lingkungan atau Dusun (Gubuk) dilaksanakan oleh Krama Gubuk yang
berwenang menyelesaikan masalah antar warga lingkungan atau antar
keluarga di lingkungan tersebut. Karma Gubuk terdiri dari Kepala
Lingkungan (kelian) selaku ketua adat di lingkungan, tokoh
Agama (kiaigubuq) dan pemuka-pemuka masyarakat. Sedangkan di tingkat
desa dilaksanakan oleh Krama Desa yang terdiri dari Kepala Desa selaku
Kepala Adat, Juru Tulis, Penghulu Desa, Pemuka Masyarakat dan Para
Kelian.
3. Masyarakat Batak Karo juga mengenal penyelesaian sengketa melalui
Runggun. Dalam Masyarakat Karo setiap masalah dianggap masalah
keluarga dan masalah kerabat, dengan demikian masalah yang menyangkut
keluarga atau kerabat harus dibicarakan secara adat dan dibawa ke suatu
perundingan untuk dicari penyelesaiannya. Runggun artinya
bersidang/berunding dengan cara musyawarah untuk mencapai mufakat.53
Runggun dihadiri oleh Sangkep Sitelu yang ada pada masyarakat Karo.
Runggun pada masyarakat Karo dalam penyelesaian sengketa tidak
memerlukan waktu yang lama, tidak berbelit-belit, murah, kekeluargaan dan
harmonis. Runggun dapat diketegorikan menyelesaiakan sengketa dengan
53
Rehngena Purba, Penyelesaian Sengketa Oleh Runggun pada Masyarakat Karo, Seminar
mediasi karena dilakukan dengan perantaraan jasa Anak beru, Senina dan
Kalimbubu.54
Kesadaran atas pentingnya Mediasi dapat dilihat dari semakin banyaknya
lembaga pemerintah dan swasta yang bekerjasama dengan lembaga yang telah
memperoleh akreditasi dari Mahkamah Agung menyelenggarakan pelatihan
Mediator. Semakin meningkatnya jumlah Mediator yang menjalankan profesinya
baik di luar maupun di pengadilan akan meningkatkan keinginan pihak yang
bersengketa untuk memilih Mediasi. Dengan demikian harapan penyelesaian
sengketa secara damai dapat diwujudkan karena melalui para Meditor tersebut
dapat disosialisasikan bahwa memilih Mediasi lebih efektif daripada membawa
sengketa ke Pengadilan.
Mahkamah Agung juga telah bekerjasama dengan lembaga-lembaga Mediasi
di Indonesia, yaitu dengan Indonesian Institute For Conflict Transformation (IICT)
dan Pusat Mediasi Nasional (PMN), dua lembaga pertama yang mendapat
akreditasi pada tahun 2003 sebagai lembaga yang melaksanakan pelatihan
sertifikasi Mediator menyusun kurikulum, silabus dan materi yang dipergunakan
dalam pelatihan sertifikasi Mediator. Mahkamah Agung juga membentuk kelompok
kerja yang membantu perkembangan Mediasi dan memantau hasil pelaksanaan
Mediasi di Indonesia.
54
Mariah Rosalina, Eksistensi Runggun Dalam Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan
Selain kedua lembaga yang telah disebutkan di atas, ada beberapa lembaga
yang telah diakreditasi dan menyelenggarakan pelatihan sertifikasi Mediator.
Mahkamah Agung sendiri telah melaksanakan pelatihan bagi para hakim baik
hakim Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Agama dari seluruh Indonesia,
bahkan mulai tahun 2010 dalam kurikulum pendidikan calon hakim diberikan
pelatihan sertifikasi mediator. IICT sendiri saat ini telah menghasilkan alumni yang
berasal dari berbagai profesi seperti Akademisi, Pengacara, Dokter, Notaris,
Pengusaha, Guru, Mahasiswa, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Tokoh Adat, dan
sebagainya. Usaha mendayagunakan Mediasi juga dilaksanakan melalui sosialisasi,
seminar, penelitian, diskusi, studi banding dan partisipasi dalam pertemuan
internasional.
C. Pelembagaan Mediasi
Perundang-undangan Indonesia mengandung prinsip bahwa Musyawarah
dan Mufakat yang berujung damai juga digunakan dalam lingkungan Peradilan,
terutama dalam penyelesaian sengketa perdata. Hal ini terlihat dari sejumlah
peraturan Perundang-undangan sejak masa Kolonial Belanda sampai sekarang.
Mediasi dengan landasan Musyawarah menuju Kesepakatan damai,
mendapat pengaturan tersendiri dalam sejumlah produk hukum Hindia-Belanda
maupun dalam produk hukum Indonesia sekarang. Pengaturan Alternatif
Penyelesaian Sengketa dalam aturan hukum sangatlah penting, karena Indonesia