• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Pola Pertumbuhan Balita pada Keluarga Perokok dan Bukan Perokok di Kecamatan Berastagi Tahun 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Gambaran Pola Pertumbuhan Balita pada Keluarga Perokok dan Bukan Perokok di Kecamatan Berastagi Tahun 2014"

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

GAMBARAN POLA PERTUMBUHAN BALITA PADA KELUARGA PEROKOK DAN BUKAN PEROKOK DI KECAMATAN BERASTAGI

TAHUN 2014

Oleh :

NIM. 091000157

MARIA MAGDALENA MANURUNG

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

SKRIPSI

GAMBARAN POLA PERTUMBUHAN BALITA PADA KELUARGA PEROKOK DAN BUKAN PEROKOK DI KECAMATAN BERASTAGI

TAHUN 2014

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

Oleh :

091000157

MARIA MAGDALENA MANURUNG

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)
(4)

ABSTRAK

GAMBARAN POLA PERTUMBUHAN BALITA PADA KELUARGA PEROKOK DAN BUKAN PEROKOK DI KECAMATAN BERASTAGI

TAHUN 2014

Masa balita adalah masa mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang cepat dan sangat penting, dimana nantinya merupakan landasan yang menentukan kualitas penerus generasi bangsa. Usia 0-24 bulan merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang pesat, sehingga kerap diistilahkan sebagai periode emas sekaligus periode kritis. Periode emas dapat diwujudkan apabila pada masa ini bayi dan anak memperoleh asupan gizi yang sesuai untuk tumbuh kembang optimal. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pola pertumbuhan balita pada keluarga perokok dan bukan perokok di Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo.

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan desain Cross Sectional. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara langsung dan bantuan kuesioner terhadap 158 responden yang mempunyai balita di wilayah kerja puskesmas Kecamatan Berastagi pada bulan Maret – Juni 2014.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan status kesehatan (ISPA) pada balita, jumlah yang paling banyak menderita ISPA berada pada keluarga perokok yaitu 57% dan pada keluarga bukan perokok 43%. Pertumbuhan balita berdasarkan berat badan menurut umur, balita gizi kurang 84,2% pada keluarga perokok, balita gizi baik 54,3% pada keluarga bukan perokok dan balita gizi lebih 100% pada keluarga bukan perokok. Pertumbuhan balita berdasarkan tinggi badan menurut umur, sangat pendek 100% pada keluarga perokok, pendek 64,4% ada pada keluarga perokok dan tinggi badan normal 58,9% pada keluarga bukan perokok. Pertumbuhan berat badan menurut tinggi badan balita, sangat kurus 89% ada pada keluarga perokok, kurus 73% ada pada keluarga perokok, normal 56% ada pada keluarga bukan perokok dan gemuk 64% pada keluarga bukan perokok.

Diharapkan dapat memberi masukan kepada pihak puskesmas untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat melalui penyuluhan tentang bahayanya asap rokok yang memberi pengaruh terhadap pertumbuhan balita untuk meningkatkan kesadaran orang tua, keluarga dan masyarakat. Diharapkan kepada seluruh anggota keluarga dan masyarakat terutama kepala keluarga untuk tidak merokok di dalam rumah, bahkan peneliti sangat berharap agar kepala keluarga dapat menghentikan kebiasaan merokoknya demi kesehatan diri sendiri dan anggota keluarganya terutama balita.

(5)

ABSTRACT

DESCRIPTION OF GROWTH OF CHILDREN UNDER FIVE YEARS IN SMOKER FAMILIES AND NON SMOKERS IN DISTRICT OF BERASTAGI IN 2014

Children under five years means the grow than development of rapid and highly important and as a foundation that determines the quality of the success orgeneration of the nation. Ages 0-24 months is a period of rapid growth and development, and often termed as the golden period and at the same time ascritical period. Golden period can be realized if at this time infants and children receive appropriate nutrition for optimal growth and development. The objective of this study was to describe the pattern of growth of children under five years in families of smokers and non smokers in Berastagi district Karo regency.

This research was a descriptive cross sectional design. Data was collected by interviews and questionnaires to help 158 respondents with children under five in the region of sub-district health centers Berastagi in March - June 2014.

The results showed that, based on health status (ARI) in children under five which suffered the most number of ARI were the family that 57% of smokers and non-smokers in the family 43%. Growth of children under five based on weight forage, children under five malnutrition 84.2% of smokers in the family, good nutrition 54.3% innon-smokers and families over 100% under weight children in the family non smokers. Growth of infants based on height for age, very short 100% on a family of smokers, 64.4% short was in the family of smokers and 58.9% of normal height in the family non smokers. Growth in weight for toddler height, very skinny 89% is in the family of smokers, 73% thin nerth ere on a family of smokers, 56% of normal non-smokers there are in the family and 64% obese non-smokers in the family

It is e .

xpected to provide input to the clinic to increase public knowledge through education about the dangers of cigarette smoke which give seffect to the growth of infants to increase the awareness of parents, families and communities. It is expected that all members of the family and the community, especially the head of the family to not smoke in the house, even there searcher is hoping that the head of the family can stop the habit of smoking for the health of them selves and their family members, especially baby under five.

(6)

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Nama : Maria Magdalena Manurung

Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 12 Mei 1991

Agama : Kristen Protestan

Status Perkawinan : Belum Kawin

Jumlah Anggota Keluarga : Anak Ke 2 Dari 4 Bersaudara

Alamat : Jl. Wijaya Kesuma No.160 Medan Helvetia

Riwayat Pendidikan :

1. SD Santo Thomas 2 Medan Tahun 1997-2003 2. SMP Santo Thomas 3 Medan Tahun 2003-2006 3. SMA Negeri 12 Medan Tahun 2006-2009

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadiran Allah SWT karena atas berkat dan rahmatNya, sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi saya yang berjudul : Gambaran Pola Pertumbuhan Balita Pada Keluarga Perokok Dan Bukan Perokok Di Kecamatan Berastagi Tahun 2014” yang merupakan salah satu syarat bagi saya untuk dapat menyelesaikan pendidikan di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Selama penulisan skripsi ini, saya mendapat banyak bantuan moril berupa materil dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, saya mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Ibu Ir.Etti Sudaryati,MKM,Ph.D selaku dosen pembimbing I sekaligus Ketua Penguji dan Ibu Fitri Ardiani, SKM, MPH selaku dosen pembimbing II sekaligus Penguji I yang telah meluangkan waktu serta dengan penuh kesabaran selama membimbing saya.

Selanjutnya tidak lupa saya ucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Drs. Surya Utama, MS, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Albiner Siagian,M.Si selaku Ketua Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Fitri Ardiani, SKM, MPH selaku Dosen Penasehat Akademik Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

(8)

5. Ibu Dra. Jumirah, Apt, M Kes selaku Dosen Penguji III Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara dan.

6. Seluruh Bapak/Ibu Dosen dan seluruh Staf Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, khususnya Bapak/Ibu Dosen di Departemen Gizi. 7. Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih yang sangat tak terhingga

buat kedua orangtua tercinta, Alm. Nurdin Manurung dan Rosdiana Nainggolan yang telah banyak memberikan kasih sayang, motivasi, do’a dan memenuhi semua kebutuhan penulis baik moril maupun materil mulai dari perkuliahan hingga penyelesaian skripsi ini.

8. Buat abangku Ericson Manurung, SH, adik-adikku Marta Manurung dan Yohana Manurung, dan sahabat-sahabatku Dwinta Julian Sasmi, Sarah Manalu, Fitriana Butar-butar, Winda Sihite, Devi Sembiring, Sulina Simorangkir, Kartika Sihombing, Monica Hutapea yang sudah membantu dan memotivasi saya dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Teristimewa buat Fredy Manik yang telah banyak membantu dan yang selalu memberi dukungan dalam pengerjaan skripsi ini dari awal sampai selesai. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan. Untuk itu, penulis mengharapkan saran dan kritik demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi kita.

Medan, Agustus 2014

(9)

DAFTAR ISI

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum ... 7

1.3.2. Tujuan Khusus ... 7

1.4. Manfaat Penelitian ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan dan Perkembangan Balita ... 9

2.2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Balita ... 11

2.2.1. Faktor Internal ... 11

2.2.2. Faktor Eksternal ... 12

2.3. Teknik Pemantauan Pertumbuhan ... 13

2.4. ISPA Pada Balita ... 16

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian ... 33

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 33

3.2.1. Lokasi ... 33

3.2.2. Waktu Penelitian ... 33

3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi ... 33

3.3.2. Sampel ... 34

(10)

3.4.1. Jenis Data ... 35

BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1. Gambaran Umum Daerah Penelitian ... 41

4.3. Status Kesehatan (ISPA) Balita Pada Keluarga Perokok Dan Bukan Perokok Di Kecamatan Berastagi ... 45

4.4. Gambaran Pertumbuhan Balita Pada Keluarga Perokok Dan Bukan Perokok Di Kecamatan Berastagi ... 46

4.4.1. Pertumbuhan Berat Badan Menurut Umur Balita Pada Keluarga Perokok Dan Bukan Perokok Di Kecamatan Berastagi ... 47

4.4.2. Pertumbuhan Tinggi Badan Menurut Umur Balita Pada Keluarga Perokok Dan Bukan Perokok Di Kecamatan Berastagi ... 49

4.4.3. Berat Badan Menurut Tinggi Badan Balita Pada Keluarga Perokok Dan Bukan Perokok Di Kecamatan Berastagi ... 51

4.5. Distribusi Frekuensi Jumlah Batang Rokok Yang Dihisap, Umur Pertama Kali Merokok, Pengeluaran Untuk Rokok dan Jenis Rokok yang Dihisap ... 53

BAB V PEMBAHASAN 5.1. Status Kesehatan Balita Pada Keluarga Perokok dan Bukan Perokok Di Kecamatan Berastagi ... 56

5.2. Gambaran Pertumbuhan Balita Pada Keluarga Perokok Dan Bukan Perokok Di Kecamatan Berastagi ... 57

5.2.1. Pertumbuhan Berat Badan Balita Pada Keluarga Perokok Dan Bukan Perokok ... 57

5.2.2. Pertumbuhan Tinggi Badan Balita Pada Keluarga Perokok Dan Bukan Perokok ... 59

(11)

5.3. Distribusi Rata-rata Frekuensi Jumlah Batang Rokok Yang Dihisap, Pengeluaran Untuk Rokok Dan Umur Pertama Kali Merokok Pada Keluarga Perokok Di Kecamatan Berastagi ... 62

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan... 65 6.2. Saran ... 66

(12)

DAFTAR GAMBAR

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel. 3.1 Pembagian Besar Sampel Balita yang Tinggal pada Keluarga Perokok dan Bukan Perokok pada Tiap Desa/Kelurahan di Kecamatan Berastagi ... 35 Tabel 4.1. Distribusi Penduduk Berdasarkan Kelurahan/Desa Di

Kecamatan Berastagi ... 42 Tabel 4.2. Distribusi Penduduk Menurut Kelompok Umur Di Kecamatan

Berastagi ... 42 Tabel 4.3. Distribusi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin Di Kecamatan

Berastagi ... 43 Tabel 4.4. Distribusi Penduduk Menurut Mata Pencaharian Di Kecamatan

Berastagi ... 43 Tabel 4.5. Distribusi Frekuensi Balita Berdasarkan Kelompok Umur Pada

Keluarga Perokok dan Bukan Perokok Di Kecamatan Berastagi

Tahun 2014 ... 44 Tabel 4.6. Distribusi Jenis Kelamin Balita Pada Keluarga Perokok Dan

Bukan Perokok Di Kecamatan Berastagi ... 45 Tabel 4.7. Distribusi Status Kesehatan Balita Pada keluarga Perokok Dan

Bukan Perokok Di Kecamatan Berastagi Tahun 2014 ... 45 Tabel 4.8. Frekuensi Status Kesehatan Balita Berdasarkan Jenis Kelamin

Pada Keluarga Perokok Dan Bukan Perokok Di Kecamatan Berastagi Tahun 2014 ... 46 Tabel 4.9. Tabulasi SIlang Status Kesehatan (ISPA) Berdasarkan

Kelompok Umur Balita Pada Keluarga Perokok Dan Bukan Perokok Di Kecamatan Berastagi ... 46 Tabel 4.10. Distribusi Berat Badan Menurut Umur Balita Pada keluarga

Perokok Dan Bukan Perokok Di Kecamatan Berastagi Tahun 2014 ... 47 Tabel 4.11. Distribusi Frekuensi Pertumbuhan (BB/U) Balita Berdasarkan

Jenis Kelamin Pada Keluarga Perokok Dan Bukan Perokok Di

(14)

Tabel 4.12. Tabulasi Silang Status Kesehatan (ISPA) Berdasarkan Pertumbuhan BB/U Balita Pada Keluarga Perokok Dan Bukan

Perokok Di kecamatan Berastagi ... 48 Tabel 4.13. Distribusi Tinggi Badan Menurut Umur Balita Pada keluarga

Perokok Dan Bukan Perokok Di Kecamatan Berastagi Tahun 2014 ... 49 Tabel 4.14. Distribusi Frekuensi Pertumbuhan (TB/U) Balita Berdasarkan

Jenis Kelamin Pada Keluarga Perokok Dan Bukan Perokok Di

Kecamatan Berastagi Tahun 2014 ... 50 Tabel 4.15. Tabulasi Silang Status Kesehatan (ISPA) Brdasarkan

Pertumbuhan (TB/U) Balita Pada Keluarga Perokok Dan Bukan Perokok Tahun 2014 ... 51 Tabel 4.16. Distribusi Berat Badan Menurut Tinggi Badan Balita Pada

keluarga Perokok Dan Bukan Perokok Di Kecamatan Berastagi

Tahun 2014 ... 52 Tabel 4.17. Tabulasi Silang Status Kesehatan Berdasarkan Pertumbuhan

(BB/TB) Balita Pada Keluarga Perokok Dan Bukan Perokok Tahun 2014 ... 52 Tabel 4.18. Distribusi Frekuensi Jumlah Rokok Yang Dihisap Per Hari

(Batang) ... 53 Tabel 4.19. Distribusi Frekuensi Umur Pertama Kali Merokok Pada

Keluarga Perokok Di Kecamatan Berastagi ... 54 Tabel 4.20. Distribusi Frekuensi Pengeluaran Untuk Rokok Dalam 1

Minggu ... 54 Tabel 4.21. Tabulasi Silang Jumlah Batang Rokok Yang Dihisap Per Hari

Berdasarkan Status Kesehatan Balita Pada Keluarga Perokok Di Kecamatan Berastagi Tahun 2014 ... 55 Tabel 4.22 Distribusi Jenis Rokok Yang Dihisap Pada Keluarga Perokok

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Identitas Balita dan Hasil Pengukuran Lampiran 2. Kuesioner Status Kesehatan

Lampiran 3. Kuesioner Status Merokok Keluarga Lampiran 4. Form Pengumpulan Data Dasar Lampiran 5. Form Screening

(16)

ABSTRAK

GAMBARAN POLA PERTUMBUHAN BALITA PADA KELUARGA PEROKOK DAN BUKAN PEROKOK DI KECAMATAN BERASTAGI

TAHUN 2014

Masa balita adalah masa mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang cepat dan sangat penting, dimana nantinya merupakan landasan yang menentukan kualitas penerus generasi bangsa. Usia 0-24 bulan merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang pesat, sehingga kerap diistilahkan sebagai periode emas sekaligus periode kritis. Periode emas dapat diwujudkan apabila pada masa ini bayi dan anak memperoleh asupan gizi yang sesuai untuk tumbuh kembang optimal. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pola pertumbuhan balita pada keluarga perokok dan bukan perokok di Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo.

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan desain Cross Sectional. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara langsung dan bantuan kuesioner terhadap 158 responden yang mempunyai balita di wilayah kerja puskesmas Kecamatan Berastagi pada bulan Maret – Juni 2014.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan status kesehatan (ISPA) pada balita, jumlah yang paling banyak menderita ISPA berada pada keluarga perokok yaitu 57% dan pada keluarga bukan perokok 43%. Pertumbuhan balita berdasarkan berat badan menurut umur, balita gizi kurang 84,2% pada keluarga perokok, balita gizi baik 54,3% pada keluarga bukan perokok dan balita gizi lebih 100% pada keluarga bukan perokok. Pertumbuhan balita berdasarkan tinggi badan menurut umur, sangat pendek 100% pada keluarga perokok, pendek 64,4% ada pada keluarga perokok dan tinggi badan normal 58,9% pada keluarga bukan perokok. Pertumbuhan berat badan menurut tinggi badan balita, sangat kurus 89% ada pada keluarga perokok, kurus 73% ada pada keluarga perokok, normal 56% ada pada keluarga bukan perokok dan gemuk 64% pada keluarga bukan perokok.

Diharapkan dapat memberi masukan kepada pihak puskesmas untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat melalui penyuluhan tentang bahayanya asap rokok yang memberi pengaruh terhadap pertumbuhan balita untuk meningkatkan kesadaran orang tua, keluarga dan masyarakat. Diharapkan kepada seluruh anggota keluarga dan masyarakat terutama kepala keluarga untuk tidak merokok di dalam rumah, bahkan peneliti sangat berharap agar kepala keluarga dapat menghentikan kebiasaan merokoknya demi kesehatan diri sendiri dan anggota keluarganya terutama balita.

(17)

ABSTRACT

DESCRIPTION OF GROWTH OF CHILDREN UNDER FIVE YEARS IN SMOKER FAMILIES AND NON SMOKERS IN DISTRICT OF BERASTAGI IN 2014

Children under five years means the grow than development of rapid and highly important and as a foundation that determines the quality of the success orgeneration of the nation. Ages 0-24 months is a period of rapid growth and development, and often termed as the golden period and at the same time ascritical period. Golden period can be realized if at this time infants and children receive appropriate nutrition for optimal growth and development. The objective of this study was to describe the pattern of growth of children under five years in families of smokers and non smokers in Berastagi district Karo regency.

This research was a descriptive cross sectional design. Data was collected by interviews and questionnaires to help 158 respondents with children under five in the region of sub-district health centers Berastagi in March - June 2014.

The results showed that, based on health status (ARI) in children under five which suffered the most number of ARI were the family that 57% of smokers and non-smokers in the family 43%. Growth of children under five based on weight forage, children under five malnutrition 84.2% of smokers in the family, good nutrition 54.3% innon-smokers and families over 100% under weight children in the family non smokers. Growth of infants based on height for age, very short 100% on a family of smokers, 64.4% short was in the family of smokers and 58.9% of normal height in the family non smokers. Growth in weight for toddler height, very skinny 89% is in the family of smokers, 73% thin nerth ere on a family of smokers, 56% of normal non-smokers there are in the family and 64% obese non-smokers in the family

It is e .

xpected to provide input to the clinic to increase public knowledge through education about the dangers of cigarette smoke which give seffect to the growth of infants to increase the awareness of parents, families and communities. It is expected that all members of the family and the community, especially the head of the family to not smoke in the house, even there searcher is hoping that the head of the family can stop the habit of smoking for the health of them selves and their family members, especially baby under five.

(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pembangunan kesehatan sebagai bagian dari upaya pembangunan manusia seutuhnya, salah satu kegiatan yang dilakukan adalah pembinaan kesehatan anak sejak dini. Upaya pembinaan kesehatan anak diarahkan pada pembinaan kelangsungan hidup, perkembangan, perlindungan dan partisipasi anak, dengan penekanan pada upaya perkembangan anak. Pembinaan tumbuh kembang balita dan anak prasekolah merupakan kegiatan balita yang sifatnya berkelanjutan (Depkes, 2005).

Masa bayi dan balita adalah masa mereka mengalami masa pertumbuhan dan perkembangan yang cepat dan sangat penting, dimana nantinya merupakan landasan yang menentukan kualitas penerus generasi bangsa. Usia 0-24 bulan merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang pesat, sehingga kerap diistilahkan sebagai periode emas sekaligus periode kritis. Periode emas dapat diwujudkan apabila pada masa ini bayi dan anak memperoleh asupan gizi yang sesuai untuk tumbuh kembang optimal.

(19)

Gangguan pertumbuhan merupakan salah satu masalah kesehatan yang paling banyak di temukan pada anak-anak di negara yang sedang berkembang (Hadi, 2004). Gangguan pertumbuhan anak di bawah lima tahun (Balita) merupakan indikator kemiskinan (Siswono, 2002). Dalam Millenium Development Goals (MDGs)2000, para pemimpin dunia sepakat bahwa proporsi anak balita kurang gizi atau anak dengan berat badan rendah merupakan salah satu indikator kemiskinan.

Berdasarkan model yang telah dikaji UNICEF, bahwa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan anak yaitu penyebab langsung dan penyebab tidak langsung, yakni penyebab langsung yang mempengaruhi status gizi individu yaitu faktor makanan dan penyakit infeksi dan keduanya saling mempengaruhi. Sebagai contoh, bayi yang tidak mendapat ASI dan makanan pendamping ASI yang kurang tepat memiliki daya tahan yang rendah sehingga mudah terserang infeksi. Dan sebaliknya infeksi seperti diare dan infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) mengakibatkan asupan zat gizi tidak dapt diserap tubuh dengan baik. Faktor penyebab tidak langsung adalah sanitasi dan penyediaan air bersih, kebiasaan cuci tangan dengan sabun, buang air besar di jamban, tidak merokok di dalam rumah, sirkulasi udara dan ventilasi pencahayaan sinar matahari langsung ke dalam rumah. Selanjutnya ketersediaan pangan, pelayanan kesehatan dan pola asuh dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan tingkat kesehatan keluarga.(Dep.Kes RI,2011)

(20)

dengan tinggi badannya. Pada saat ini angka nasional menunjukkan bahwa prevalensi gizi kurang sebesar 18,4% (Depkes RI, 2009).

Kesehatan yang juga mengkhawatirkan di Indonesia adalah semakin banyaknya jumlah perokok yang berarti semakin banyak penderita gangguan kesehatan akibat merokok ataupun menghirup asap rokok (bagi perokok pasif) yang umumnya adalah perempuan dan anak-anak. Terdapat seorang perokok atau lebih dalam rumah akan memperbesar resiko anggota keluarga menderita sakit, seperti gangguan pernapasan, memperburuk asma dan memperberat penyakit angin apectoris serta dapat meningkatkan resiko untuk mendapat serangan ISPA khususnya pada balita. Anak-anak yang orangtuanya perokok lebih mudah terkena penyakit saluran pernapasan seperti flu, asma pneumonia dan penyakit saluran pernapasan lainnya (Dachroni,2002).

Penelitian terbaru Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) di University of Washington mengungkapkan bahwa jumlah pria perokok di Indonesia telah meningkat sebanyak dua kali lipat sejak 1980, dan prevalensi pria perokok di Indonesia tercatat sebagai kedua tertinggi di dunia (Kompas Health

(21)

pasif pada balita disebabkan karena mereka masih tinggal serumah dengan orangtua ataupun saudaranya yang merokok dalam rumah.

Penyakit ISPA di Indonesia menempati urutan pertama penyebab kematian pada kelompok bayi dan balita. Penyakit tersebut juga sering berada pada daftar 10 penyakit terbanyak. Survei mortalitas yang dilakukan oleh Subdit ISPA menyebutkan bahwa ISPA sebagai penyebab kematian bayi terbesar di Indonesia dengan persentasi 22,30% dari seluruh kematian balita (Depkes RI, 2008). Kematian balita karena ISPA secara nasional diperkirakan 6 orang per 1000 balita per tahun atau sekitar 150.000 balita pertahun. (DepKes RI, 2002).

Telah banyak data menunjukkan bahwa penyebab utama dari kematian dan terhambatnya pertumbuhan anak merupakan kompleksitas hubungan timbal balik antara status gizi dan infeksi (Simanjuntak, 1999). Balita yang tinggal bersama anggota keluarga yang perokok lebih cenderung akan mudah untuk terkena penyakit ISPA dibandingkan dengan balita yang tinggal bersama keluarga bukan perokok. Dan ini sangat berpengaruh besar terhadap status gizi balita.

Berdasarkan hasil laporan Riskesdas 2010, ISPA menempati prevalensi tertinggi pada balita yaitu lebih 35%. Prevalensi ISPA juga cenderung terjadi lebih tinggi pada kelompok ibu dengan pendidikan dan tingkat pendapatan rumah tangga yang rendah. Dalam Riskesdas ini dikumpulkan data ISPA ringan dan pneumonia (Riskesdas, 2007).

(22)

(Unicef, 2006), maka konsumsi rokok pada keluarga miskin menyumbang 32.400 kematian setiap tahun atau hampir 90 kematian balita per hari.

Di Indonesia usaha-usaha untuk menanggulangi perilaku merokok sebenarnya telah dilakukan, namun demikian hasilnya belum memuaskan. Hal ini terlihat dari masih tingginya jumlah orang yang berstatus perokok di Indonesia. Penelitian menyebutkan bahwa sebanyak 59,07% penduduk laki-laki usia 10 tahun ke atas di 14 provinsi di Indonesia berstatus perokok, sedangkan wanita sebanyak 4,83%. Profil kesehatan Depkes Provinsi Sumatera Utara (2008) menunjukkan sekitar 86,1% perokok merokok di dalam rumah. Anggota keluarga lain yang tinggal bersama dengan perokok akan terpapar dengan asap rokok tersebut. Keseluruhan perokok aktif yang merokok setiap hari dengan usia diatas 10 tahun di Sumatera Utara diperkirakan sekitar 23,3%.

Berdasarkan penelitian Sudaryati (2013), proporsi rumah tangga perokok berdasarkan ketahanan keluarga sehat di Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo, menunjukkan bahwa dari 120 rumah tangga perokok terdapat 75 (62,5%) rumah tangga yang baik dan 45 (37,55) rumah tangga yang kurang baik. Sedangkan faktor pangan yang meliputi ketersediaan pangan dan konsumsi pangan yang diteliti menunjukkan bahwa keluarga perokok yang mempunyai faktor pangan yang baik hanya ada pada 49 keluarga (40,8%), dan 71 keluarga (59,2%) berada dalam kategori faktor pangan kurang. Jika faktor pangan keluarga yang memiliki balita kurang maka akan menyebabkan pertumbuhan balita terhambat.

(23)

(6,3%) dan anak sangat pendek (7,0%). Studi sejenis pada 2000-2003 pada lebih dari 360.000 rumah tangga miskin di perkotaan dan perdesaan membuktikan kematian bayi dan balita lebih tinggi pada keluarga yang orang tuanya merokok daripada yang tidak merokok.

Berdasarkan data Riskesdas (2008), proporsi perokok di Kabupaten Karo sebesar 40,2% yang merupakan kabupaten di Sumatera Utara dengan prevalensi perokok yang paling tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa kebiasaan merokok di Tanah Karo masih cukup tinggi. Perilaku merokok masyarakat Karo tidak terlepas dari kebudayaan dan adat istiadat Suku Karo yang menjadikan rokok sebagai syarat mutlak dalam setiap acara kebudayaannya. Ini merupakan salah satu faktor penyebab tingginya kebiasaan merokok Suku Karo. Tingginya kebiasaan merokok dapat menggeser pengeluaran pangan, sehingga pada keluarga yang memiliki anggota kelompok rawan seperti balita, ibu hamil, anak usia sekolah dapat mengalami risiko kekurangan pangan, serta dapat mempengaruhi pertumbuhan balita dikarenakan dana yang dialokasikan keluarga lebih besar untuk rokok dibandingkan asupan makanan bergizi untuk balitanya. Hal ini sangat mengkhawatirkan balita yang tinggal bersama keluarga perokok.

Berdasarkan hasil dari survey penelitian, di Puskesmas Berastagi terdapat 2710 balita yang terbagi di 8 kelurahan, diantaranya masih terdapat 1 balita yang menderita gizi buruk dan 48 balita yang menderita gizi kurang.

(24)

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pola pertumbuhan balita pada keluarga perokok dan bukan perokok di Kecamatan Berastagi.

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pola pertumbuhan balita pada keluarga perokok dan bukan perokok di Kecamatan Berastagi.

1.3.2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui gambaran status kesehatan balita pada keluarga perokok dan bukan perokok.

2. Mengetahui gambaran berat badan menurut umur balita pada keluarga perokok dan bukan keluarga perokok.

3. Mengetahui gambaran tinggi badan menurut umur balita pada keluarga perokok dan bukan keluarga perokok.

(25)

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

1. Memberikan informasi kepada petugas kesehatan di kecamatan Berastagi. 2. Memberikan masukan atau sumber data bagi aparat pemerintah dan

puskesmas kecamatan Berastagi agar dapat mengambil langkah tindak lanjut untuk memperbaiki dan meningkatkan pola pertumbuhan anak balita yang ada di daerah tersebut.

(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pertumbuhan Balita

Pertumbuhan adalah bertambahnya jumlah dan besar sel di seluruh bagian tubuh yang secara kuantitatif dapat diukur. Perkembangan adalah proses pematangan fungsi organ tubuh. Proses tumbuh kembang balita merupakan proses yang penting untuk diketahui dan dipahami, karena proses tersebut menentukan masa depan anak baik fizik, jiwa maupun perilakunya.

Pertumbuhan pada balita merupakan gejala kuantitatif. Pada konteks ini, berlangsung perubahan ukuran dan jumlah sel, serta jaringan intraseluler pada tubuh anak. Dengan kata lain, berlangsung proses multiplikasi organ tubuh anak, disertai penambahan ukuran-ukuran tubuhnya. Penambahan ukuran-ukuran tubuh balita tidak harus drastis. Sebaliknya berlangsung perlahan-lahan, bertahap dan terpola secara proporsional pada tiap bulannya. Ketika didapati penambahan ukuran tubuhnya, artinya proses pertumbuhannya berlangsung baik. Sebaliknya jika yang terlihat gejala penurunan ukuran, itu sinyal terjadinya gangguan atau hambatan proses pertumbuhan.

Anak balita merupakan golongan rawan gizi karena berhubungan dengan proses pertumbuhan yang relative pesat dan memerlukan zat-zat gizi dalam jumlah yang relatif besar. Menurut Jellife (1989), masa kritis pertumbuhan dan perkembangan anak berada pada usia 12-24 bulan disebut dengan “Periode Kritis” (Danger Periode).

(27)

B

e

r Asupan Kurang

a Parasit

t infeksi Masalah Psikologis

B

a

d

a

n

0 6 12 18 24 30 36 Umur (Bulan)

Gambar 2.1. Periode Kritis Tahun Kedua Kehidupan pada Pertumbuhan Anak (Pertambahan Berat Badan)

Keadaan kurang gizi pada periode ini didukung oleh faktor-faktor sebagai berikut : makanan yang kurang, adanya penyakit infeksi dan parasit serta adanya problem psikologis pada anak.

(28)

Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) dan Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB).

2.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Balita

Ukuran tubuh dikendalikan oleh faktor keturunan dan lingkungan walaupun tampak adanya keteraturan dan keterlambatan sebelumnya dalam hal perubahan fisik, ternyata pola perubahan itu sendiri memperlihatkan keanekaragaman. Inilah yang menyebabkan tubuh anak-anak tampak berbeda satu sama lain (GJ. Ebrahem, 1998).

Menurut Khomsan, (2004) pertumbuhan fisik seseorang dipengaruhi oleh dua faktor dominan yaitu lingkungan dan genetis. Kemampuan genetis dapat muncul secara optimal jika didukung oleh faktor lingkungan yang kondusif, yang dimaksud dengan faktor lingkungan di sini adalah intake gizi. Apabila terjadi tekanan terhadap dua faktor di atas, maka muncullah growth faltering.

Secara umum terdapat dua faktor utama yang berpengaruh terhadap pertumbuhan anak yaitu (Soetjiningsih, 2001) :

2.2.1. Faktor Internal (Genetik)

Soetjiningsih (1998) mengungkapkan bahwa faktor genetik merupakan modal dasar mencapai hasil proses pertumbuhan. Melalui genetik yang berada di dalam sel telur yang telah dibuahi, dapat ditentukan kualitas dan kuantitas pertumbuhan. Hal ini ditandai dengan intensitas dan kecepatan pembelahan, derajat sensitivitas jaringan terhadap rangsangan, umur pubertas dan berhentinya pertumbuhan tulang.

(29)

sudah ada sejak lahir. Seorang anak yang memiliki ibu dan ayah yang berpostur tinggi biasanya nantinya akan tumbuh menjadi seorang dewasa yang berpostur tinggi pula. Begitupun sebaliknya. Jika ayah dan ibunya pendek, maka seringkali anaknya juga memiliki postur yang juga pendek.

Anda dapat mengamati bahwa orang-orang Afrika meskipun tidak mendapatkan gizi makanan yang baik, namun memiliki postur yang tinggi. Hal itu dapat terjadi lebih dikarenakan faktor keturunan atau genetik ini. Secara umum, faktor genetik ibu lebih berpengaruh ketimbang faktor genetik dari ayah. Ini berarti bahwa Si A yang memiliki ibu tinggi dan ayah pendek akan berpeluang memiliki tubuh yang lebih tinggi ketimbang si B yang memiliki ayah tinggi dan ibu pendek. Namun tentu saja hal itu bukanlah suatu kepastian, namun hanya kecenderungan medis (Supariasa, 2002).

2.2.2. Faktor Eksternal (Lingkungan)

Lingkungan juga dapat bepengaruh terhadap pembentukan ukuran tubuh anak, baik lingkungan pralahir anak maupun lingkungan pascalahirnya. Kekurangan gizi, merokok, tekanan batin yang dialami ibu yang sedang mengandung dan masih banyak faktor lain lagi yang terjadi di dalam lingkungan pralahir ternyata dapat mempengaruhi besar kecilnya ukuran bayi ketika dilahirkan dan pengaruh ini akan berlangsung terus sampai si anak mencapai ukuran akhirnya.

Menurut Soetjiningsih (1995) secara garis besar lingkungan dibagi menjadi lingkungan pra natal dan lingkungan post natal.

(30)

konsepsi sampai lahir seperti gizi ibu pada saat hamil menyebabkan bayi yang akan dilahirkan menjadi BBLR (Berat Badan Lahir Rendah) dan lahir mati serta jarang menyebabkan cacat bawaan. Selain dari pada itu kekurangan gizi dapat menyebabkan hambatan pertumbuhan pada janin dan bayi lahir dengan daya tahan tubuh yang rendah sehingga mudah terkena infeksi, dan selanjutnya akan berdampak pada terhambatnya pertumbuhan tinggi badan.

Faktor lingkungan pada masa pra natal lainnya yang berpengaruh adalah mekanis yaitu trauma dan cairan ketuban yang kurang dapat menyebabkan kelainan bawaan pada bayi yang akan dilahirkan. Faktor toksin atau zat kimia yang disengaja atau tanpa sengaja dikonsumsi ibu melalui obat-obatan atau makanan yang terkontaminasi dapat menyebabkan kecacatan, kematian atau bayi lahir dengan berat lahir rendah (Supariasa, 2002).

2. Lingkungan Post-Natal mempengaruhi pertumbuhan bayi setelah lahir antara lain lingkungan biologis, seperti ras/suku bangsa, jenis kelamin, umur, gizi, perawatan kesehatan, kepekaan terhadap penyakit infeksi & kronis, adanya gangguan fungsi metabolisme dan hormon. Selain itu faktor fisik dan biologis, psikososial dan faktor keluarga yang meliputi adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat turut berpengaruh (Soetjiningsih, 1995).

2.3. Teknik Pemantauan Pertumbuhan

(31)

Terpenuhinya kebutuhan gizi anak akan menentukan laju tumbuh kembang anak. Manifestasi dan adanya hambatan pertumbuhan adalah menjadi tidak sesuainya berat badan anak dengan usinya. Dengan membandingkan berat badan yang sama pada waktu KMS dapat diketahui ada tidaknya hambatan pertumbuhan (Moehji, 2003).

Pertumbuhan balita dapat juga diketahui apabila setiap bulan ditimbang, hasil penimbangan dicatat di KMS (Kartu Menuju Sehat), dan dihubungkan antara titik berat badan pada KMS dari hasil penimbangan bulan lalu dan hasil penimbangan bulan ini. Rangkaian garis-garis pertumbuhan anak tersebut membentuk grafik pertumbuhan anak.

A. Kartu Menuju Sehat

Pertumbuhan balita dapat juga diketahui apabila setiap bulan ditimbang, hasil penimbangan dicatat di KMS (Kartu Menuju Sehat), dan dihubungkan antara titik berat badan pada KMS dari hasil penimbangan bulan lalu dan hasil penimbangan bulan ini. Rangkaian garis-garis pertumbuhan anak tersebut membentuk grafik pertumbuhan anak. Pada balita yang sehat, berat badannya akan selalu naik, mengikuti pita pertumbuhan sesuai dengan umurnya (Depkes RI, 1999).

(32)

Tujuan penggunaan KMS yaitu:

a. Sebagai alat bantu bagi ibu untuk memantau pertumbuhan yang optimal

b. Sebagai alat bantu dalam menentukan tindakan yang diperlukan untuk mewujudkan tumbuh kembang yang optimal.

c. Mengetahui malnutrisi di masyarakat secara efektif dengan peningkatan pertumbuhan yang memadai.

Fungsi KMS balita yaitu:

a. Sebagai media mencatat riwayat kesehatan balita secara lengkap. b. Sebagai media penyuluhan bagi ibu mengenai kesehatan balita.

c. Sebagai sarana pemantauan yang dapat digunakan oleh petugas untuk menentukan tindakan pelayanan kesehatan dan gizi terbaik bagi balita.

Pada kartu tersebut terdapat grafik dengan latar belakang mulai hijau, hijau muda, kekuningan,, kuning, jingga, dan merah. Apabila hasil penimbangan balita dibandingkan dengan umur berada dalam grafik dengan latar belakang kuning, maka area warna merah atau berada di Bawah garis Merah (BGM) maka termasuk gizi buruk.

Setelah dilakukan hasil pengukuran terhadap pertumbuhan badan pada balita didapat hasil sebagai berikut:

1. Pertumbuhan Normal

(33)

2. Pertumbuhan Tidak Normal

Pertumbuhan anak mengalami penyimpangan apabila grafik berat badan anak berada jauh diatas warna hijau atau berada dibawah jalur hijau, khususnya pada jalur merah. Dan keterangan diatas dapat dihasilkan dari pertumbuhan Berat Badan.

3. Apabila pada pengukuran arah garis meningkat (mengikuti arah kurva) berarti pertumbuhan anak baik.

4. Apabila pada pengukuran arah garis mendatar berarti pertumbuhan kurang baik sehingga anak memerlukan perhatian khusus.

5. Apabila pada pengukuran arah garis menurun berart anak memerlukan tindakan segera. Dapat dijelaskan bahwa pertumbuhan anak baik apabila mengikuti arah lengkungan kurva (Nursalam, 2005).

2.4. ISPA Pada Balita

Istilah ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernapasan Akut dengan pengertian sebagai berikut: Infeksi adalah masuknya Mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan penyakit. Saluran pernapasan adalah organ mulai dari hidung hingga Alveoli beserta organ Adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA, kurang dari 14 hari.Biasanya diperlukan waktu penyembuhan 5 – 14 hari (Rasmaliyah, 2009).

(34)

1992). ISPA adalah suatu penyakit yang terbanyak diderita oleh anak - anak, baik di negara berkembang maupun dinegara maju dan sudah mampu(Rasmaliya, 2009).

Di Indonesia, Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) selalu menempati urutan pertama penyebab kematian pada kelompok bayi dan balita. Selain itu ISPA juga sering berada pada daftar 10 penyakit terbanyak di rumah sakit. Survei mortalitas yang dilakukan oleh Subdit ISPA tahun 2005 menempatkan ISPA/Pneumonia sebagai penyebab kematian bayi terbesar di Indonesia dengan persentase 22,30% dari seluruh kematian balita (Depkes, 2008).

Rokok, sebagai salah satu resiko timbulnya ISPA merupakan pembunuh nomor

tiga setelah jantung koroner dan kanker, satu batang rokok membuat umur memendek 12

menit, 10.000 perhari orang di dunia mati karena merokok, 57.000 orang pertahun mati di Indonesia karena merokok, kenaikan konsumsi rokok Indonesia tertinggi di dunia yaitu

44%. Di Indonesia prevalensi merokok dari tahun 1995 sampai 2001 di kalangan orang

dewasa meningkat menjadi 31,5% dari 26,9% (Depkes, 2008). Pada tahun 2001, 62,2% dari pria dewasa merokok, dibandingkan pada tahun 1995 yang berkisar 53,4%.

Sebanyak 1,3% perempuan dilaporkan merokok secara teratur pada tahun 2001.

Prevalensi menurut kelompok umur meningkat pesat setelah 10 sampai 14 tahun di antara laki-laki dari 0,7% (1995) ke 24,2% (2001) (Depkes, 2008).

(35)

yang terbesar umumnya adalah karena pneumonia dan pada bayi berumur kurang dari 2 bulan (Rasmaliyah,2009).

2.4.1. Faktor Risiko Penyakit ISPA

a. Faktor Lingkungan

• Pencemaran udara dalam rumah

Asap rokok dan asap hasil pembakaran bahan bakar untuk memasak dengan konsentrasi tinggi dapat merusak mekanisme pertahan paru sehingga akan memudahkan timbulnya ISPA. Hal ini dapat terjadi pada rumah yang keadaan ventilasinya kurang dan dapur terletak di dalam rumah, bersatu dengan kamar tidur, ruang tempat bayi dan anak balita bermain. Hal ini lebih dimungkinkan karena bayi dan anak balita lebih lama berada di rumah bersama ibunya sehingga dosis pencemaran tentunya akan lebih tinggi. Hasil penelitian diperoleh adanya hubungan antara ISPA dan polusi udara, diantaranya ada peningkatan risiko bronchitis, pneumonia pada anak yang tinggal didaerah lebih terpolusi.

• Luas Ventilasi

(36)

• Pencahayaan

Pencahayaan alami dan atau buatan langsung maupun tidak langsung dapat menerangi seluruh ruangan minimal intensitasnya 60 lux dan tidak menyilaukan.

• Kualitas Udara

Kualitas udara di dalam rumah tidak melebihi ketentuan sebagai berikut. 1. Suhu udara nyaman berkisar 180-300 Celcius.

2. Kelembaban udara berkisar antara 40%-70%.

3. Konsentrasi gas CO2 tidak melebihi 0,10 ppm/24 jam.

4. Pertukaran udara=5 kaki kubik per menit per penghuni. 5. Konsentrasi gas formaldehid tidak melebihi 120 mg/m3. • Kepadatan Hunian Rumah

Kepadatan hunian dalam rumah menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No.829/Menkes/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan rumah, kepadatan hunian ruang tidur minimal luasnya 8m2 dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2

orang kecuali anak di bawah umur 5 tahun. Berdasarkan kriteria tersebut diharapkan dapat mencegah penularan penyakit dan melancarkan aktivitas. Keadaan tempat tinggal yang padat dapat meningkatkan faktor polusi dalam rumah yang telah ada. b. Faktor Individu Anak

• Umur Anak

(37)

• Berat Badan Lahir

Berat badan lahir menentukan pertumbuhan dan perkembangan fisik dan mental pada masa balita. Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) mempunyai risiko kematian yang lebih besar dibandingkan dengan berat badan lahir normal, terutama pada bulan-bulan pertama kelahiran karena pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi, terutama pneumonia dan sakit saluran pernapasan lainnya.

• Status Gizi Balita

Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA dibandingkan balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang. Penyakit infeksi sendiri akan menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan kekurangan gizi. Pada keadaan gizi kurang, balita lebih mudah terserang ISPA berat bahkan serangannya lebih lama.

• Vitamin A

(38)

• Status Imunisasi

Bayi dan balita yang pernah terserang campak dan selamat akan mendapat kekebalan alami terhadap pneumonia sebagai komplikasi campak. Sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri, pertusis, campak, maka peningkatan cakupan imunisasi akan berperan besar dalam upaya pemberantasan ISPA. Untuk mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA, diupayakan imunisasi lengkap.

c. Faktor Perilaku

Faktor perilaku dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit ISPA pada bayi dan balita dalam hal ini adalah praktek penanganan ISPA di keluarga baik yang dilakukan oleh ibu ataupun anggota keluarga lainnya. Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang berkumpul dan tinggal dalam suatu rumah tangga, satu dengan lainnya saling tergantung dan berinteraksi. Bila salah satu atau beberapa anggota keluarga mempunyai masalah kesehatan, maka akan berpengaruh terhadap anggota keluarga lainnya.

(39)

d. Tingkat Pendidikan Ibu Rendah

Dalam Juli Soemirat Slamet (2002), menyatakan bahwa kualitas pendidikan berbanding lurus dengan pencegahan penyakit. Demikian juga dengan pendapatan, kesehatan lingkungan, dan informasi yang dapat diperoleh tentang kesehatan. Semakin rendah pendidikan ibu, semakin tinggi prevalensi ISPA pada balita.

e. Tingkat Sosial Ekonomi Rendah

Bayi yang lahir di keluarga yang tingkat sosial ekonominya rendah maka pemenuhan kebutuhan gizi dan pengetahuan tentang kesehatannya juga rendah sehingga akan mudah terjadi penularan penyakit termasuk ISPA (Juli Soemirat Slamet, 2002).

2.5. Keluarga Perokok dan Keluarga Bukan Perokok

Keluarga perokok adalah sebuah keluarga yang terdapat satu atau lebih anggotanya merokok baik perempuan maupun pria. Merokok sudah menjadi kebiasaan sebagian besar orang dewasa, kebanyakan dari mereka yaitu laki-laki. Sebagai kepala keluarga sering sekali mereka tidak menyadari bahwa rokok yang mereka hisap tidak hanya berdampak pada dirinya sendiri namun juga berdampak buruk bagi anggota keluarganya yang lain, khususnya anggota keluarga yang merupakan kelompok rawan seperti balita, ibu hamil, dan anak usia sekolah.

(40)

Rokok menyebabkan ketergantungan yang menjerat konsumennya tanpa pandang status sosial ekonomi penggunanya. Konsumen rokok tidak lagi mempunyai pilihan untuk menentukan apakah merokok atau menunda rokoknya demi memenuhi kebutuhan makan bagi keluarganya. Akibat ketergantungan pada rokok, kebutuhan asupan makanan bergizi bagi anak balita dalam keluarga miskin seringkali dikorbankan.

Merokok merupakan kebiasaan yang memiliki daya merusak cukup besar terhadap kesehatan. Hubungan antara merokok dengan berbagai macam penyakit seperti kanker paru, penyakit kardiovaskuler, risiko terjadinya neoplasma laryng, esophagus dan sebagainya, telah banyak diteliti. Banyak pengetahuan tentang bahaya merokok dan kerugian yang ditimbulkan oleh tingkah laku merokok, meskipun semua orang tahu akan bahaya merokok, perilaku merokok tampaknya merupakan perilaku yang masih ditoleransi oleh masyarakat (Depkes,2008).

Secara langsung nikotin dengan ribuan bahaya beracun asap lainnya akan masuk ke dalam saluran pernapasan bayi dan dapat menyebabkan infeksi pada saluran pernapasan. Secara tidak langsung, racun dari nikotin yang berasal dari asap rokok tersebut terhirup oleh ibu melalui saluran pernapasan dan masuk ke dalam ASI yang kemudian akan diminum oleh anak. Sehingga racun tersebut akan terakumulasi di dalam tubuh anak dan tentu saja membahayakan kesehatan si kecil (Hidayat, 2005).

(41)

yang tinggal bersama anggota keluarganya yang perokok perlu diperhatikan bagaiman perkembangan pertumbuhannya. Karna jika hal ini terjadi dalam jangka waktu yang lama sangat member pengaruh besar terhadap status gizi balita.

Berdasarkan penelitian Sudaryati (2013), proporsi rumah tangga perokok berdasarkan ketahanan keluarga sehat di Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo, menunjukkan bahwa dari 120 rumah tangga perokok terdapat 75 (62,5%) rumah tangga yang baik dan 45 (37,55) rumah tangga yang kurang baik. Sedangkan faktor pangan yang meliputi ketersediaan pangan dan konsumsi pangan yang diteliti menunjukkan bahwa keluarga perokok yang mempunyai faktor pangan yang baik hanya ada pada 49 keluarga (40,8%), dan 71 keluarga (59,2%) berada dalam kategori faktor pangan kurang

2.5. Antropometri

Antropometri berasal dari kata anthropos dan metros. Anthropos artinya tubuh dan metros artinya ukuran. Jadi antropometri adalah ukuran dari tubuh. Dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometeri sangat umum digunakan untuk mengukur status gizi dari berbagai ketidakseimbangan antara asupan protein dan energi. Gangguan ini biasanya terlihat dari pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jumlah air dalan tubuh (Supariasa. 2002).

Beberapa syarat yang mendasari penggunaan antropometri yaitu :

(42)

2. Pengukuran dapat dilakukan secara berulang-ulang dengan mudah dan objektif.

3. Pengukuran bukan hanya dilakukan oleh tenaga profesional, juga oleh tenaga lain setelah dilatih untuk itu .

4. Biaya relatif murah, karena alat ini mudah didapat dan tidak memerlukan bahan-bahan lain.

5. Hasilnya mudah disimpulkan, karena mempunyai ambang batas dan buku rujukan yang sudah pasti .

6. Diakui kebenarannya secara ilmiah

Keunggulan antropometri menurut Supariasa (2002), yaitu sebagai berikut: 1. Prosedurnya sederhana, aman dan dapat dilakukan dalam jumlah sampel yang

besar.

2. Relatif tidak membutuhkan tenaga ahli, tetapi cukup dilakukan oleh tenaga yang sudah dilatih .

3. Alatnya murah, mudah dibawa, tahan lama dapat dipesan dan dibuat didaerah setempat.

4. Metode ini tepat dan akurat karena dapat dibakukan.

5. Dapat mendeteksi atau menggambarkan riwayat gizi di masa lampau.

6. Umumnya dapat mengidentifikasi status gizi sedang, kurang dan gizi buruk karena sudah diambang batas yang jelas.

(43)

8. Metode antropometeri gizi dapat digunakan untuk penapisan kelompok rawan terhadap gizi.

Disamping keunggulan tersebut terdapat juga beberapa kelemahan yaitu sebagai berikut :

1. Tidak sensitif, metode ini tidak dapat mendeteksi status gizi dalam waktu singkat. Disamping itu tidak dapat membedakan kekurangan zat gizi tertentu seperti zink dan Fe.

2. Faktor diluar gizi (penyakit, genetik dan penurunan penggunaan energi) dapat menurunkan spesifikasi dan sensitivitas pengukuran antropometri.

3. Kesalahan yang terjadi pada saat pengukuran dapat mempengaruhi presisi, akurasi dan validitas pengukuran antropometri gizi.

4. Kesalahan ini terjadi karena : a. Pengukuran

b. Perubahan hasil pengukuran baik fisik maupun komposisi jaringan c. Analisis dan asumsi yang keliru

5. Sumber kesalahan, biasanya berhubungan dengan a. Latihan petugas yang tidak cukup

b. Kesalahan alat atau alat tidak ditera c. Kesulitan pengukuran

(44)

2.7 Indeks Antropometri

Parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi. Kombinsi dari beberapa parameter disebut indeks antropometri. Disamping mudah penggunaannya, biaya operasionalnya lebih murah dibandingkan dengan cara lain yang menggunakan pemeriksaan laboratorium dan klinis. Ada beberapa indeks antropometri yang umum dikenal yaitu berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U) digunakan baku Harvard yang disesuaikan untuk Indonesia (100% baku Indonesia = 50 persentile baku Harvard) dan untuk lingkar lengan atas (LLA) digunakan baku Wolanski. Tiga dari indeks antropometri tersebut diatas yang paling sering digunakan karena pengukurannya lebih baik (Hastoety, 2002).

2.7.1. Berat Badan

Berat badan merupakan ukuran antropometri yang terpenting dan paling sering digunakan pada bayi baru lahir. Berat badan digunakan untuk mendiagnosa bayi normal atau BBLR. Dikatakan BBLR apabila berat bayi lahir di bawah 2500 gram atau di bawah 2,5 kg. pada masa bayi-balita, berat badan dapat dipergunakan untuk melihat laju pertumbuhan fisik maupun status gizi, kecuali terdapat kelainan klinis seperti dehidrasi, asites, edema dan adanya tumor. Di samping itu pula berat badan dapat dipergunakan sebagai dasar perhitungan dosis obat dan makanan.

Indikator berat badan dimanfaatkan dalam klinik untuk :

1. Bahan informasi untuk menilai keadaan gizi baik yang akut maupun yang kronis, tumbuh kembang dan kesehatan.

(45)

3. Dasar perhitungan dosis obat dan makanan perlu diberikan

Penggunaan indeks BB/U sebagai indikator status memliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya adalah :

1. Dapat lebih mudah dan cepat dimengerti oleh masyarakat umum 2. Sensitif untuk melihat perubahan status gizi jangka pendek 3. Dapat mendeteksi kegemukan (overweight)

Sedangkan yang menjadi kelemahannya adalah :

1. Dapat mengakibatkan interpretasi status gizi yang keliru jika terjadi edema 2. Memerlukan daftar umum yang akurat, terutama untuk kelompok anaka

dibawah usia lima tahun (balita). Ketetapan umur untuk kelompok ini masih merupakan masalah bagi Negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia.

3. Sering terjadi kesalahn dalam pengukuran misalnya pengaruh pakaian atau gerakan anak pada saat penimbangan

2.7.2. Tinggi Badan

Tinggi badan merupakan antropometri kedua yang terpenting. Keistimewaannya adalah bahwa ukuran tinggi badan pada masa pertumbuhan meningkat terus sampai pada tinggi maksimal yang dicapai. Walaupun kenaikan tinggi badan ini berfluktuasi, dimana tinggi badan meningkat pesat pada masa bayi, kemudian melambat, dan menjadi pesat kembali, selanjutnya melambat lagi dan akhirnya berhenti pada umur 18-20 tahun.

(46)

untuk gangguan pertumbuhan fisik yang sudah lewat (stunting), sebagai perbandingan terhadap perubahan-perubahan relative, seperti nilai BB dan LLA.

Kerugiannya adalah perubahan tinggi badan relative pelan, sukar mengukur tinggi badan yang tepat, dan kadang-kadang diperlukan lebih dari seorang tenaga. Disamping itu dibutuhkan 2 macam teknik pengukuran, pada anak umur lebih dari 2 tahun dengan posisi berdiri. Panjang supinasi pada umumnya 1cm lebih panjang daripada tinggi berdiri pada anak yang sama meski diukur dengan teknik pengukuran yang terbaik dan secara cermat.

• Pengukuran Panjang/Tinggi Badan Menurut Umur

Pengukuran panjang/tinggi badan menurut umur dapat dipakai sebagai patokan untuk menilai keadaan gizi asal umur diketahui dengan tepat. Disamping itu tinggi badan merupakan ukuran yang dapat dipakai untuk mengetahui pertumbuhan dari anak. Cara pengukuran ini tidak sukar dan alat yang digunakan bagi anak-anak yang dapat berdiri sendiri dan dewasa, microtoise, sedangkan bayi dan anak-anak yang belum dapat berdiri dipergunakan alat pengukur bayi yang dibuat dari kayu.

Cara mengukur panjang bayi atau anak yang belum bisa berdiri : 1. Alat pengukur diletakkan di atas meja atau lantai yang rata

2. Anak ditidurkan diletakkan sedemikian rupa sehingga bagian atas dibatasi oleh papan dengan muka lurus keatas.

3. Kaki lurus dengan telapak kaki menyentuh papan fixas dengan kedudukn tegak lurus.

(47)

2. Berdiri tegak lurus dilantai yang datar, kaki sejajar dengan alat pengukur dengan tumit, bokong, kepala bagian belakang dalam sikap tegak memandang kedepan.

3. Kedua tangan berada disamping dalam keadaan bebas.

4. Dengan menggunakan fixasi yang berbentuk siku-siku, tekanlah fixasi tersebut sampai rapat pada kepala bagian atas.

(48)

2.8. Kerangka Teori

Sebab Langsung

Sebab Tidak

Langsung

Pendidikan Keluarga

Struktur Politik, Ideologi & Ekonomi Sebab

Dasar

Gambar 2.2. Kerangka Teori

Kerangka teori dalam penelitian ini disusun berdasarkan model interelasi

Tumbuh Kembang Anak (Soetjiningsih, 1998

PELAYANAN KESEHATAN DAN

SANITASI LINGKUNGAN KETAHANAN

PANGAN KELUARGA

POLA ASUH BALITA

Potensi Sumber Daya

PERTUMBUHAN BALITA

INTAKE GIZI STATUS KESEHATAN

Keberadaan & Kontrol Sumber Daya Keluarga: Manusia,

(49)

2.9. Kerangka Konsep

Gambar 2.3. Kerangka Konsep

Pola pertumbuhan anak balita dipengaruhi oleh status kesehatan dan status merokok keluarga. Jika balita tinggal dalam keluarga yang status keluarga bukan perokok maka status kesehatan balita akan jauh balita. Jika kesehatan balita baik maka pertumbuhan balita tidak akan terhambat.

STATUS MEROKOK KELUARGA

1. Keluarga Perokok

2. Keluarga Bukan Perokok

STATUS KESEHATAN

POLA PERTUMBUHAN

BALITA

- Berat Badan / U

- Tinggi Badan / U

- Berat Badan /

(50)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian Cross Sectional yang bersifat deskriptif untuk melihat gambaran pola pertumbuhan anak balita pada keluarga perokok dan keluarga bukan perokok di Kecamatan Berastagi.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi

Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja puskesmas Kecamatan Berastagi. Adapun alasan pemilihan lokasi adalah :

1. Kecamatan Berastagi berada di Kabupaten Karo dimana sebagian besar penduduknya merupakan Suku Batak Karo. Dan rokok di dalam Suku Karo merupakan suatu tradisi dalam kebudayaan dan adat istiadat.

2. Diwilayah kerja puskesmas Berastagi masih terdapat balita gizi kurang sebanyak 48 balita.

3.2.2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Maret-Juni 2014.

3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi

(51)

3.3.2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini ditentukan dengan menggunakan rumus (Kasjono, 2009):

�= {(Z1−α)√2P(1−P) + (Z1−β)√P1(1−P1) + P2(1−P2)}2 (P1−P2)2

�= {(1,64)√2.0,5(1−0,5) + (0,84)√0,402(1−0,402) + 0,598(1−0,598)}2 (0,402−0,598)2

�= 3,0335 0,0384

�= 78,99≈ 79 balita

Keteangan :

Z1−α : nilai z pada derajat kepercayaan 1-α atau

batas kemaknaan α.

Z1−β : nilai z pada kekuatan uji (power) 1-β

P : jumlah dari estimasi proporsi pada kelompok 1 dan 2 kemudian di bagi 2

P1 : estimasi proporsi pada kelompok 1 P2 : estimasi proporsi pada kelompok 2

(52)

Pembagian besar sampel pada setiap desa/kelurahan, dengan besar sampel minimal yang dibutuhkan yakni 79 rumah tangga yaitu seperti dalam tabel dibawah ini:

Tabel. 3.1 Pembagian Besar Sampel Balita yang Tinggal pada Keluarga Perokok dan Bukan Perokok pada Tiap Desa/Kelurahan di Kecamatan Berastagi

No. Desa/Kelurahan Jumlah balita Perhitungan Besar sampel

1 Gundaling I 537 537/729x79 58

2 Gundaling II 192 192/729x79 21

Jumlah 729 79

Pemilihan sampel dilakukan sacara random sampling dimana tiap keluarga dari kedua desa/kelurahan yang terpilih diberi nomor urut. Sampel pertama diambil secara acak dengan undian selanjutnya diambil kelipatan sesuai dengan besar masing-masing desa/kelurahan.

Kriteria sampel dalam penelitian ini adalah : 1. Keluarga yang memiliki balita.

2. Tercatat sebagai penduduk di lokasi penelitian, yang tinggal dilokasi penelitian minimal enam bulan.

3. Dapat berkomunikasi dengan baik.

3.4. Jenis dan Cara Pengumpulan data 3.4.1. Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Data Primer

(53)

keluarga ( nama orang tua, umur, pendidikan orang tua, pekerjaan, jumlah anggota keluarga), identitas balita (nama, umur, jenis kelamin, tinggi badan, berat badan), tanggal pengukuran, status kesehatan dan status merokok keluarga. Untuk mengetahui pertumbuhan balita dengan cara penilaian status gizi balita diperoleh dengan cara hasil Berat Badan (BB) dan pengukuran Tinggi Badan (TB) kemudian dikonversikan dengan Standart WHO 2005/WHO MGRS melalui WHO Antro.

2. Data Sekunder

Data yang diperoleh dari instansi-instansi terkait yang relevan dengan tujuan penelitian meliputi data geografi lokasi penelitian, data demografi penduduk, data jumlah posyandu dan data jumlah balita yang diperoleh dari Kantor Kecamatan Berastagi, Puskesmas, kantor kepala desa/kelurahan penelitian di masing-masing lokasi penelitian.

3.4.2 Cara Pengumpulan Data

1. Data identitas keluarga diperoleh melalui wawancara dengan responden menggunakan kuesioner.

2. Data identitas balita diperoleh melalui wawancara dengan responden (ibu balita) dan pengukuran langsung.

3. Data status kesehatan dan status merokok keluarga diperoleh melalui wawancara dengan responden.

(54)

Responden yang diwawancarai adalah ibu balita yang dianggap paling mengetahui keadaan rumah tangganya. Bila ditemui responden yang menolak untuk diwawancarai maka responden digantikan dengan anggota keluarga yang lainnya yang bersedia untuk diwawancarai. Jika rumah tangga sampel menolak untuk diwawancarai maka rumah tangga sampel diganti dengan rumah tangga yang lain.

3.5 Defenisi Operasional

1. Status Merokok Keluarga adalah ada tidaknya anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah yang aktif merokok.

2. Pola pertumbuhan balita adalah suatu informasi yang memberikan gambaran mengenai berat badan dan tinggi badan anak yang berumur 1-5 tahun yang diukur dengan indeks antropometri BB/U, TB/U, BB/TB.

3. Berat badan adalah merupakan hasil peningkatan / penurunan semua jaringan yang ada pada tubuh antara lain tulang, otot, lemak, cairan tubuh dan lain-lainnya pada anak yang berusia 1-5 tahun, yang bisa diukur dengan menggunakan timbangan.

4. Tinggi Badan adalah merupakan ukuran tinggi badan pada masa pertumbuhan meningkat terus sampai tinggi maksimal dicapai pada anak usia 1-5 tahun dapat diukur dengan alat ukur microtoise.

5. Indeks Antropometri adalah pengukuran dari beberapa parameter (BB/U, TB/U, BB/TB).

(55)

3.6 Aspek Pengukuran

1. Untuk mengetahui pertumbuhan balita dengan cara penilaian status gizi balita diperoleh dengan cara hasil Berat Badan (BB) dan pengukuran Tinggi Badan (TB) kemudian dikonversikan dengan Standart WHO 2005/WHO MGRS melalui WHO Antro.

 BB/U

1. Berat badan normal jika skor simpangan baku -2,0 ≤ Z < +1 2. Berat badan kurang : jika skor simpangan baku -3,0 ≤ Z < -2,0

3. Berat badan sangat kurang : jika nilai Z-Skor < -3,0

 TB/U

1. Tinggi : jika skor simpangan baku > 3,0 SD 2. Normal : jika skor simpangan baku -2,0 ≤ Z ≤ 3,0 3. Pendek : jika skor simpangan baku -3,0 ≤ Z < -2,0 4. Sangat pendek : jika nilai Z-Skor < -3,0 SD

 BB/TB

1. Sangat Gemuk : jika skor simpangan baku > 3,0 SD 2. Gemuk : jika skor simpangan baku 2,0 < Z ≤ 3,0

(56)

2. Status Merokok Keluarga

- Keluarga perokok, apabila terdapat salah satu anggota keluarganya yang merokok

- Keluarga bukan perokok, apabila tidak terdapat salah satu anggota keluarga yang merokok.

3. Status Kesehatan

- ISPA, apabila dalam 3 bulan terakhir pernah mengalami batuk dan flu.

- Tidak ISPA, apabila dalam 3 bulan terakhir tidak pernah mengalami batuk dan flu.

3.7. Pengolahan dan Analisa Data 3.7.1. Pengolahan Data

Data yang telah dikumpulkan diolah secara komputerisasi. Pengolahan data dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :

1. Editing

Data yang dikumpulkan kemudian di periksa, bila terdapat kesalahan dalam pengumpulan data segara diperbaiki (editing) dengan cara memeriksa jawaban yang kurang.

2. Tabulating

(57)

3.7.2. Analisa Data

(58)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1. Gambaran Umum Daerah Penelitian 4.1.1. Keadaan Geogarfis

Kecamatan Berastagi dengan luas 3.050 Ha, berada pada ketinggian rata-rata 1.375m diatas permukaan laut dengan temperature antara 19°C s/d 26℃ dengan kelembaban udara berkisar 79% dengan bata-batas sebagai berikut :

- Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang

- Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Tigapanah/Dolat Rayat - Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Kabanjahe

- Sebelah Barat berbatasan dengan Kecematan Simpang Empat/Kecamatan Merdeka

Kecamatan Berastagi terdiri dari 6 desa dan 4 kelurahan dengan jumlah keseluruhan penduduk yaitu 44.734 dengan jumlah kepala keluarga 10.887. Mayoritas penduduknya adalah suku Karo 75% dan selebihnya suku Batak Toba, Nias, Jawa, Aceh, Simalungun, Keturunan Cina, Pakpak, Dairi dan lain-lain.

4.1.2. Keadaan Demografis

Penduduk Kecamatan Berastagi menurut data Kecamatan Berastagi Tahun 2013 berjumlah 43.494 dengan jumlah KK 10.897 yang terdiri dari 21.651 orang laki-laki dan 21.843 orang perempuan yang terbagi dalam 6 desa dan 4 kelurahan.

(59)

(18,22%) dan yang paling sedikit berada di Desa Lau Gumba sebanyak 1425 orang (3,27%). Hal ini dapat dilihat seperti pada tabel sebagai berikut :

Tabel 4.1. Distribusi Penduduk Berdasarkan Kelurahan/Desa di Kecamatan Berastagi

Sumber : Demografi Kecamatan Berastagi

Distribusi penduduk menurut kelompok umur yaitu jumlah yang paling tinggi adalah kelompok umur 30-59 tahun dengan jumlah 16.396 (37,69%). Dan jumlah paling sedikit adalah kelompok umur ≥60 tahun dengan jumlah 3400 (7,81%). Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 4.2. Distribusi Penduduk Menurut Kelompok Umur Di Kecamatan Berastagi

(60)

Distribusi penduduk berdasarkan jenis kelamin adalah jumlah paling tinggi adalah penduduk perempuan yaitu 21.843 (50,22%). Dan jumlah paling sedikit adalah laki-laki dengan jumlah 21.651 (49,77%). Hal ini terlihat jelas pada tabel berikut :

Tabel 4.3. Distribusi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin Di Kecamatan Berastagi

Sumber : Demografi Kecamatan Berastagi Tahun 2013

4.1.3. Mata Pencaharian Penduduk

Adapun pekerjaan penduduk di Kecamatan Berastagi yaitu : petani, industri rumah tangga, PNS/ABRI dan lain-lain. Data demografi menunjukkan bahwa dominan mata pencarian penduduk di Kecamatan Berastagi adalah Pertanian sebanyak 14709 orang (67,92%), sedangkan bidang pekerjaan lain yang tergolong dalm industry rumah tangga sebanyak 1767 orang (8,16%). Pegawai Negri/ABRI sebanyak 2032 orang (9,38%) yang dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 4.4. Distribusi Penduduk Menurut Mata Pencaharian Di Kecamatan Berastagi

Sumber : Demografi Kecamatan Berastagi

(61)

Pengumpulan data dasar untuk karakteristik balita berdasarkan jenis kelamin dan umur balita usia 1-5 tahun pada keluarga perokok dan bukan perokok di Kecamatan Berastagi sebanyak 158 balita di ukur pada awal penelitian.

4.2.1 Umur Balita

Umur balita di Kecamatan Berastagi dikelompokkan menjadi : < 12 bulan, 12-24 bulan dan > 12-24 bulan. Berdasarkan hasil wawancara dan KMS balita, diketahui bahwa jumlah terbesar adalah 95 balita (60%) berada pada kelompok umur > 24 bulan. Sedangkan jumlah terkecil adalah 13 balita (8%) berada pada kelompok umur < 12 bulan. Hal ini dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 4.5. Distribusi Frekuensi Balita Berdasarkan Kelompok Umur Balita Pada Keluarga Perokok dan Bukan Perokok Di Kecamatan Berastagi Tahun 2014

4.2.2. Jenis Kelamin Balita

(62)

Sedangkan pada keluarga bukan perokok, jumlah balita laki-laki paling banyak yaitu 49 balita (62,02%). Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 4.6. Distribusi Jenis Kelamin Balita Pada Keluarga Perokok Dan Bukan Perokok Di Kecamatan Berastagi

No Jenis

4.3. Status Kesehatan (ISPA) Balita Pada Keluarga Perokok dan Bukan Perokok Di Kecamatan Berastagi

Berdasarkan hasil penelitian status kesehatan balita menunjukkan bahwa dari 83 responden yang menderita ISPA terdapat 51 balita (61,44%) pada keluarga perokok dan 32 balita (38,55%) pada keluarga bukan perokok. Sedangkan dari 75 responden yang tidak menderita ISPA, sebanyak 28 balita (37,33%) pada keluarga perokok dan 47 balita (62,66%) pada keluarga bukan perokok. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 4.7. Distribusi Frekuensi Status Kesehatan Balita Pada keluarga Perokok Dan Bukan Perokok Di Kecamatan Berastagi Tahun 2014

No Status Kesehatan

Keluarga Perokok Keluarga Bukan

(63)

Total 79 50% 79 50% 158 100 Hasil penelitian pada distribusi status kesehatan berdasarkan jenis kelamin balita menunjukkan bahwa jumlah balita yang menderita ISPA paling banyak adalah balita laki-laki yaitu 45 balita (54,21%). Sedangkan balita perempuan ada 38 balita (45,78%). Untuk balita yang tidak ISPA lebih tinggi pada balita laki-laki yaitu 42balita (56%). Sedangkan balita perempuan hanya 33 balita (44%). Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 4.8. Distribusi Frekuensi Status Kesehatan Balita Berdasarkan Jenis Kelamin Pada Keluarga Perokok Dan Bukan Perokok Di Kecamatan Berastagi Tahun 2014

Status Kesehatan

Laki-laki Perempuan Jumlah

n % n % n % Hasil penelitian pada tabulasi silang status kesehatan berdasarkan kelompok umur, menunjukkan jumlah balita yang menderita ISPA lebih tinggi pada balita dengan kelompok umur > 24 bulan yaitu 51 (61,44%) balita. Sedangkan yang paling sedikit ada pada balita dengan kelompok umur < 12 bulan yaitu 2balita (2,41%). Untuk balita yang tidak menderita ISPA lebih tinggi pada balita kelompok umur > 24 bulan yaitu 44 (58,66%) balita. Sedangkan jumlah paling sedikit ada pada kelompok umur < 12 bulan yaitu 11 (14,66%) balita. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut ini :

(64)

2 Tidak ISPA 11 14,66% 20 26,66% 44 58,66% 75 100%

4.4. Gambaran Pertumbuhan Balita Pada Keluarga Perokok Dan Bukan Perokok Di Kecamatan Berastagi Tahun 2014.

Untuk gambaran pertumbuhan balita pada keluarga perokok dan bukan perokok di Kecamatan Berastagi dilihat berdasarkan BB/U, TB/U dan BB/TB.

4.4.1 Pertumbuhan Berat Badan Menurut Umur Balita Pada Keluarga Perokok Dan Bukan Perokok Di Kecamatan Berastagi

Hasil penelitian pada berat badan menurut umur balita menunjukkan bahwa dari 138 responden yang pertumbuhan berat badannya termasuk kategori gizi baik, paling banyak terdapat pada keluarga bukan perokok yaitu 75 balita (54,34%). Sedangkan pada keluarga perokok ada 63 balita (45,65%).Begitu juga dari 19 responden yang pertumbuhan berat badannya termasuk kategori gizi kurang, paling banyak terdapat pada keluarga perokok yaitu 16 balita (84,21%). Sedangkan pada keluarga bukan perokok hanya ada 3 balita (15,78%). Untuk balita yang pertumbuhan berat badannya termasuk dalam kategori gizi lebih hanya ada pada keluarga bukan perokok yaitu 1 balita (100%).

Berat badan menurut umur anak balita berdasarkan penelitian diperoleh hasil dari pengumpulan data, dapat digambarkan pada tabel berikut :

Tabel 4.10. Distribusi Berat Badan Menurut Umur Balita Pada keluarga Perokok Dan Bukan Perokok Di Kecamatan Berastagi Tahun 2014

No Berat Badan Keluarga Perokok

Gambar

Gambar 2.1. Periode Kritis Tahun Kedua Kehidupan pada Pertumbuhan Anak (Pertambahan Berat Badan)
Gambar 2.2. Kerangka Teori
Gambar 2.3. Kerangka Konsep
Tabel. 3.1  Pembagian Besar Sampel Balita yang Tinggal pada Keluarga Perokok dan Bukan Perokok pada Tiap Desa/Kelurahan di Kecamatan Berastagi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tidak ada perbedaan yang bermakna antara nilai sigma ( c r ) Hammett dari gugus hidroksi ( -OH ) pada posisi para yang diperoleh dari hasil penelitian (ampisilin

This research aims to find out how strategic management of debt management and turnaround asset at pharmaceutical companies in Indonesia, whether with debt management

Beberapa asumsi yang digunakan dalam perhitungan usaha ini adalah sebagai berikut: kapasitas ketel adalah 5 kg bahan baku, frekuensi produksi adalah 15 kali sebulan,

Dengan semakin majunya dunia usaha maka pengertian Laporan sumber dan penggunaan dana lebih ditekankan pada bentuk kas dan cash equivalent, karena analisa terhadap

[r]

Karena nilai p&lt;0,05, maka Ho ditolak dan Ha diterima dengan hasil koefesien korelasi 0,514, sehingga dapat diambil kesimpulan terdapat hubungan stres lansia

Tidak ada jalan lain untuk menghindar bahkan menyingkirkan pengaruh negatif dari hal-hal yang disebut diatas adalah mendalami, memahami dan mengaplikasikan Aqidah Islamiyah yang

Hadirnya lembaga Pendidikan Tinggi yang bernafaskan Islam ini bermula dari gagasan yang mulai digulirkan pada tahun 1950-an yang dipelopori oleh K.H1. Sewang Daeng Muntu, La