• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Determinan Matriks Rekursif Dengan Faktorisasi LB

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Evaluasi Determinan Matriks Rekursif Dengan Faktorisasi LB"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI DETERMINAN MATRIKS REKURSIF DENGAN

FAKTORISASI

LB

RUDIANSYAH

DEPARTEMEN MATEMATIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRAK

RUDIANSYAH. Evaluasi Determinan Matriks Rekursif dengan Faktorisasi LB. Dibimbing oleh NUR ALIATININGTYAS dan FARIDA HANUM.

Evaluasi determinan sebagai sebuah kajian tersendiri dipelopori oleh George Andrews. Metode yang bisa dipakai untuk evaluasi determinan cukup variatif, di antaranya dengan faktorisasi. Dalam tulisan ini, evaluasi determinan dilakukan terhadap matriks rekursif A yang unsur-unsurnya didefinisikan oleh persamaan ai j, =ai−1,j−1+ai−1,j. Syarat awal untuk persamaan

rekursif tersebut ditentukan oleh unsur-unsur pada baris dan kolom pertama matriks A.

Ada empat kasus yang dianalisis, yaitu dengan menentukan syarat awal persamaan rekursif berpadanan dengan suku-suku barisan bilangan bulat: k

ω , k χ , k

ω , dan k

υ . Keempat kasus tersebut dianalisis melalui faktorisasi LB, sedemikian sehingga evaluasi determinan matriks A bisa diselesaikan melalui evaluasi determinan matriks B.

(3)

ABSTRACT

RUDIANSYAH. Determinant Evaluation of Recursive Matrix with LB Factorization. Supervised by NUR ALIATININGTYAS and FARIDA HANUM.

Determinant evaluation as an independent study is pioneered by George Andrews. Many methods can be used for determinant evaluations, one of them is factorization. In this paper, determinant evaluations work on matrix A which its entries are defined by equation

, 1, 1 1,

i j i j i j

a =a− − +a− . The initial condition of the recursive equation is determined by entries of the first row and column of matrix A.

There were four cases which were analyzed, with determining the initial condition corresponded with members of integer sequences: k

ω , k χ , k

ω , and k

υ . All cases were analyzed by LB factorization, so that determinant evaluation of matrix A could be solved by determinant evaluation of matrix B.

(4)

EVALUASI DETERMINAN MATRIKS REKURSIF DENGAN

FAKTORISASI

LB

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains pada

Departemen Matematika

RUDIANSYAH

DEPARTEMEN MATEMATIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Judul Skripsi : Evaluasi Determinan Matriks Rekursif dengan Faktorisasi LB

Nama : Rudiansyah NIM : G05400010

Menyetujui:

Pembimbing I,

Dra. Nur Aliatiningtyas, M.Si. NIP 131 779 501

Pembimbing II,

Dra. Farida Hanum, M.Si. NIP 131 956 709

Mengetahui:

Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, M.S. NIP 131 473 999

(6)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhaanahu wa Ta`aala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam tugas akhir yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2007 ini adalah evaluasi determinan, dengan judul Evaluasi Determinan Matriks Rekursif dengan Faktorisasi LB.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dra. Nur Aliatiningtyas, M.Si. dan Ibu Dra. Farida Hanum, M.Si. selaku pembimbing serta Bapak Dr. Sugi Guritman yang telah banyak memberikan saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Saudara Abdul Rahmat Ramdhan dan Saudara Setiadi Hudjimartsu yang telah banyak membantu dalam proses penulisan karya ilmiah ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2007

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 17 Oktober 1981 dari ayah Ibrahim dan ibu Robiah. Penulis merupakan putra pertama dari tiga bersaudara.

Tahun 2000 penulis lulus dari SMA Negeri 3 Bogor dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Program Studi Matematika, Departemen Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

(8)

vii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Metode dan Sistematika Penulisan ... 1

1.3 Tujuan ... 1

II LANDASAN TEORI 2.1 Notasi Sigma ... 1

2.2 Matriks dan Determinan ... 2

2.3 Persamaan Beda ... 5

2.4 Teori Bilangan ... 6

III PEMBAHASAN ... 6

IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan ... 22

4.2 Saran ... 22

DAFTAR PUSTAKA ... 23

(9)

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Bukti Teorema 2.2 ... 25

2 Ilustrasi Teorema 3.1 ... 26

(10)

1

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Istilah determinan diperkenalkan pertama kali oleh Gauss dalam Disquisitiones

Arithmeticae (1801) ketika membahas bentuk

kuadratik. Tapi, pengertian determinan menurut sudut pandang modern baru diberikan oleh Cauchy pada tahun 1812. [http://www-groups.dcs.st-and.ac.uk/~history/ HistTopics/Matrices_and_determinants.html]

Evaluasi determinan sebagai sebuah kajian tersendiri baru dimulai ketika George Andrews berhasil memecahkan masalah enumerasi yang sulit pada partisi bidang. Sampai saat ini sudah banyak metode yang efektif dan praktis untuk mengevaluasi determinan suatu matriks, di antaranya:

reduksi ke dalam matriks segitiga melalui

operasi baris atau kolom, ekspansi Laplace,

determinan Vandermonde, faktorisasi LU,

kondensasi, identifikasi faktor, dan lain-lain. [Krattenthaler, 1991]

Dalam karya ilmiah ini, determinan matriks A yang unsur-unsurnya didefinisikan secara rekursif sebagai ai j, =ai−1,j−1+ai−1,j,

akan dievaluasi melalui faktorisasi LB. Kemudian, beberapa kasus khusus dianalisis dengan memilih unsur-unsur baris dan kolom

pertama matriks tersebut berpadanan dengan suku-suku barisan bilangan bulat tertentu sebagai syarat awal untuk persamaan rekursif yang diberikan. Semua bahasan itu direkonstruksi dari tulisan A. R. Moghaddamfar dan kawan-kawan yang berjudul More calculations on determinant evaluations.

1.2 Metode dan Sistematika Penulisan Karya ilmiah ini disusun dengan menggunakan metode studi literatur. Adapun sistematika penulisan karya ilmiah ini adalah sebagai berikut. Pada bab kedua diberikan landasan teori yang menjadi tumpuan dasar dalam analisis masalah. Pada bab ketiga diberikan pembahasan mengenai evaluasi determinan matriks rekursif dan penyelesaian setiap detail kasus yang ada. Pada bab keempat diberikan kesimpulan dan saran yang mengakhiri karya ilmiah ini.

1.3 Tujuan

Tujuan penulisan karya ilmiah ini adalah untuk mengevaluasi determinan suatu matriks rekursif berukuran n dengan beberapa pilihan unsur pada baris dan kolom pertamanya.

II LANDASAN TEORI

Di dalam bab ini akan dibahas sejumlah definisi dan teorema yang menjadi landasan untuk pembahasan di bab III, di antaranya: notasi sigma, matriks dan determinan, persamaan beda, serta teori bilangan.

2.1 Notasi Sigma

Teorema 2.1 (Sifat-sifat notasi sigma) Misalkan aidan bi adalah suku ke-i dari

(11)

EVALUASI DETERMINAN MATRIKS REKURSIF DENGAN

FAKTORISASI

LB

RUDIANSYAH

DEPARTEMEN MATEMATIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

ABSTRAK

RUDIANSYAH. Evaluasi Determinan Matriks Rekursif dengan Faktorisasi LB. Dibimbing oleh NUR ALIATININGTYAS dan FARIDA HANUM.

Evaluasi determinan sebagai sebuah kajian tersendiri dipelopori oleh George Andrews. Metode yang bisa dipakai untuk evaluasi determinan cukup variatif, di antaranya dengan faktorisasi. Dalam tulisan ini, evaluasi determinan dilakukan terhadap matriks rekursif A yang unsur-unsurnya didefinisikan oleh persamaan ai j, =ai−1,j−1+ai−1,j. Syarat awal untuk persamaan

rekursif tersebut ditentukan oleh unsur-unsur pada baris dan kolom pertama matriks A.

Ada empat kasus yang dianalisis, yaitu dengan menentukan syarat awal persamaan rekursif berpadanan dengan suku-suku barisan bilangan bulat: k

ω , k χ , k

ω , dan k

υ . Keempat kasus tersebut dianalisis melalui faktorisasi LB, sedemikian sehingga evaluasi determinan matriks A bisa diselesaikan melalui evaluasi determinan matriks B.

(13)

ABSTRACT

RUDIANSYAH. Determinant Evaluation of Recursive Matrix with LB Factorization. Supervised by NUR ALIATININGTYAS and FARIDA HANUM.

Determinant evaluation as an independent study is pioneered by George Andrews. Many methods can be used for determinant evaluations, one of them is factorization. In this paper, determinant evaluations work on matrix A which its entries are defined by equation

, 1, 1 1,

i j i j i j

a =a− − +a− . The initial condition of the recursive equation is determined by entries of the first row and column of matrix A.

There were four cases which were analyzed, with determining the initial condition corresponded with members of integer sequences: k

ω , k χ , k

ω , and k

υ . All cases were analyzed by LB factorization, so that determinant evaluation of matrix A could be solved by determinant evaluation of matrix B.

(14)

EVALUASI DETERMINAN MATRIKS REKURSIF DENGAN

FAKTORISASI

LB

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains pada

Departemen Matematika

RUDIANSYAH

DEPARTEMEN MATEMATIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(15)

Judul Skripsi : Evaluasi Determinan Matriks Rekursif dengan Faktorisasi LB

Nama : Rudiansyah NIM : G05400010

Menyetujui:

Pembimbing I,

Dra. Nur Aliatiningtyas, M.Si. NIP 131 779 501

Pembimbing II,

Dra. Farida Hanum, M.Si. NIP 131 956 709

Mengetahui:

Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, M.S. NIP 131 473 999

(16)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhaanahu wa Ta`aala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam tugas akhir yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2007 ini adalah evaluasi determinan, dengan judul Evaluasi Determinan Matriks Rekursif dengan Faktorisasi LB.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dra. Nur Aliatiningtyas, M.Si. dan Ibu Dra. Farida Hanum, M.Si. selaku pembimbing serta Bapak Dr. Sugi Guritman yang telah banyak memberikan saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Saudara Abdul Rahmat Ramdhan dan Saudara Setiadi Hudjimartsu yang telah banyak membantu dalam proses penulisan karya ilmiah ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2007

(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 17 Oktober 1981 dari ayah Ibrahim dan ibu Robiah. Penulis merupakan putra pertama dari tiga bersaudara.

Tahun 2000 penulis lulus dari SMA Negeri 3 Bogor dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Program Studi Matematika, Departemen Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

(18)

vii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Metode dan Sistematika Penulisan ... 1

1.3 Tujuan ... 1

II LANDASAN TEORI 2.1 Notasi Sigma ... 1

2.2 Matriks dan Determinan ... 2

2.3 Persamaan Beda ... 5

2.4 Teori Bilangan ... 6

III PEMBAHASAN ... 6

IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan ... 22

4.2 Saran ... 22

DAFTAR PUSTAKA ... 23

(19)

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Bukti Teorema 2.2 ... 25

2 Ilustrasi Teorema 3.1 ... 26

(20)

1

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Istilah determinan diperkenalkan pertama kali oleh Gauss dalam Disquisitiones

Arithmeticae (1801) ketika membahas bentuk

kuadratik. Tapi, pengertian determinan menurut sudut pandang modern baru diberikan oleh Cauchy pada tahun 1812. [http://www-groups.dcs.st-and.ac.uk/~history/ HistTopics/Matrices_and_determinants.html]

Evaluasi determinan sebagai sebuah kajian tersendiri baru dimulai ketika George Andrews berhasil memecahkan masalah enumerasi yang sulit pada partisi bidang. Sampai saat ini sudah banyak metode yang efektif dan praktis untuk mengevaluasi determinan suatu matriks, di antaranya:

reduksi ke dalam matriks segitiga melalui

operasi baris atau kolom, ekspansi Laplace,

determinan Vandermonde, faktorisasi LU,

kondensasi, identifikasi faktor, dan lain-lain. [Krattenthaler, 1991]

Dalam karya ilmiah ini, determinan matriks A yang unsur-unsurnya didefinisikan secara rekursif sebagai ai j, =ai−1,j−1+ai−1,j,

akan dievaluasi melalui faktorisasi LB. Kemudian, beberapa kasus khusus dianalisis dengan memilih unsur-unsur baris dan kolom

pertama matriks tersebut berpadanan dengan suku-suku barisan bilangan bulat tertentu sebagai syarat awal untuk persamaan rekursif yang diberikan. Semua bahasan itu direkonstruksi dari tulisan A. R. Moghaddamfar dan kawan-kawan yang berjudul More calculations on determinant evaluations.

1.2 Metode dan Sistematika Penulisan Karya ilmiah ini disusun dengan menggunakan metode studi literatur. Adapun sistematika penulisan karya ilmiah ini adalah sebagai berikut. Pada bab kedua diberikan landasan teori yang menjadi tumpuan dasar dalam analisis masalah. Pada bab ketiga diberikan pembahasan mengenai evaluasi determinan matriks rekursif dan penyelesaian setiap detail kasus yang ada. Pada bab keempat diberikan kesimpulan dan saran yang mengakhiri karya ilmiah ini.

1.3 Tujuan

Tujuan penulisan karya ilmiah ini adalah untuk mengevaluasi determinan suatu matriks rekursif berukuran n dengan beberapa pilihan unsur pada baris dan kolom pertamanya.

II LANDASAN TEORI

Di dalam bab ini akan dibahas sejumlah definisi dan teorema yang menjadi landasan untuk pembahasan di bab III, di antaranya: notasi sigma, matriks dan determinan, persamaan beda, serta teori bilangan.

2.1 Notasi Sigma

Teorema 2.1 (Sifat-sifat notasi sigma) Misalkan aidan bi adalah suku ke-i dari

(21)

2

(a)

1 1

n n

i i

i i

ka k a

= =

= ⋅

(b)

(

)

1 1 1

n n n

i i i i

i i i

a b a b

= = =

+ = +

(c)

1 1

n p n

i i p

i i p

a a

+ − = = +

=

2.2 Matriks dan Determinan Definisi 2.1 (Kesamaan dua matriks)

Dua buah matriks A=

( )

ai j, dan

( )

bi j, =

B yang masing-masing berukuran

m n× dikatakan sama, notasi: A=B, jika

, ,

i j i j

a =b untuk setiap i dan j.

[Leon, 2001]

Definisi 2.2 (Perkalian matriks)

Jika A=

( )

ai j, adalah matriks m n× dan

( )

bi j, =

B adalah matriks n r× , maka

hasilkali AB=

( )

ci j, adalah matriks m n×

yang unsur-unsurnya didefinisikan oleh

, , ,

1 n

i j i k k j

k

c a b

=

= untuk setiap i dan j.

[Leon, 2001]

Definisi 2.3 (Fungsi delta Kronecker)

Fungsi delta Kronecker δi j, didefinisikan

sebagai

,

1, jika 0, jika

i j

i j

i j

δ = =

[Lipschutz et al., 2002]

Definisi 2.4 (Matriks identitas)

Matriks identitas adalah matriks segi

( )

δi j, =

I .

[Leon, 2001]

Definisi 2.5 (Matriks nol)

Matriks nol O adalah matriks yang semua

unsurnya bernilai nol.

[Anton & Rorres, 2004]

Definisi 2.6

Matriks ei j, adalah matriks segi yang

bernilai 1 pada baris ke-i dan kolom ke-j serta bernilai 0 untuk selainnya.

[Moghaddamfar et al., 2007]

Definisi 2.7 (Submatriks baris dan submatriks kolom)

Misalkan A adalah matriks segi berukuran

n. Submatriks baris Ri

( )

A adalah matriks

n yang unsurnya adalah unsur-unsur baris ke-i matriks A. Sedangkan,

submatriks kolom Cj

( )

A adalah matriks

1

n× yang unsur-unsurnya adalah unsur-unsur kolom ke-j matriks A.

[Moghaddamfar et al., 2007]

Untuk selanjutnya, matriks berukuran n

berarti matriks segi berukuran n.

Teorema 2.2

Misalkan A adalah matriks berukuran n, maka

(a) e ei j, k l, =δj k, ei l, ,

(b) e Ai j, adalah matriks yang unsur-unsur

pada baris ke-i-nya adalah unsur-unsur baris ke-j matriks A, sedangkan unsur-unsur baris lainnya bernilai nol,

(c) Aei j, adalah matriks yang unsur-unsur

(22)

3

(d) Rk

(

e Ai j,

)

k i,Rj

( )

A ,

(e) Ck

(

Aei j,

)

k j,Ci

( )

A .

[Moghaddamfar et al., 2007] Bukti:

Lihat Lampiran 1.

Definisi 2.8 (Determinan matriks berukuran 1)

Misalkan A=

( )

a adalah matriks berukuran 1. Determinan matriks A, notasi:

( )

det A atau A , didefinisikan sebagai

( )

det A = A =a.

[Leon, 2001]

Definisi 2.9 (Ekspansi kofaktor)

Misalkan A=

( )

ai j, adalah matriks

berukuran n. Minor dari ai j, adalah

determinan dari submatriks berukuran n−1 yang diperoleh dengan menghilangkan baris ke-i dan kolom ke-j matriks A, notasi: Mi j, .

Bilangan ,

( )

1 , i j

i j i j

C = − + M disebut kofaktor

dari ai j, . Determinan matriks A didefinisikan

sebagai

, ,

1

det( )

n i j i j j

a C

=

=

A

untuk suatu i=1, 2, , n.

[Noble, 1969]

Teorema 2.3 (Determinan matriks transpos)

Misalkan T

A adalah transpos dari matriks A yang berukuran n, maka

( )

( )

det T =det A A .

[Leon, 2001]

Bukti:

Lihat [Leon, 2001] halaman 85.

Definisi 2.10 (Matriks segitiga dan matriks diagonal)

Matriks segi yang semua unsur di atas diagonal utamanya adalah nol disebut matriks

segitiga bawah dan matriks segi yang semua

unsur di bawah diagonal utamanya adalah nol disebut matriks segitiga atas. Suatu matriks, baik segitiga bawah maupun segitiga atas disebut matriks segitiga.

Matriks segi yang semua unsur di atas dan di bawah diagonal utamanya bernilai nol disebut matriks diagonal.

[Anton & Rorres, 2004]

Teorema 2.4 (Determinan matriks segitiga dan matriks diagonal)

Jika A adalah suatu matriks segitiga atau matriks diagonal berukuran n, maka determinan A sama dengan hasilkali unsur-unsur diagonal utama dari A, yaitu:

( )

1,1 2,2 ,

det A =a a an n.

[Anton & Rorres, 2004]

Teorema 2.5

Misalkan A adalah matriks berukuran n. Jika A memiliki sebuah baris yang semua unsurnya nol, maka det( )A =0.

[Leon, 2001]

Definisi 2.11 (Operasi baris elementer) Misalkan A adalah matriks dengan baris-baris R R1, 2, ,Rm. Operasi-operasi pada A

berikut ini disebut operasi baris elementer. (a) Mempertukarkan baris Ri dengan baris

j

(23)

4

(b) Mengganti baris Ri dengan kelipatan

taknol kRi dari baris itu sendiri, notasi:

i i

kRR.

(c) Mengganti baris Rj dengan jumlah

kelipatan kRi dari baris Ri dan baris itu

sendiri, notasi: kRi+RjRj.

[Lipschutz et al., 2002]

Definisi 2.12 (Matriks elementer)

Suatu matriks yang diperoleh dari matriks I dengan melakukan suatu operasi baris elementer disebut matriks elementer. Terdapat tiga jenis matriks elementer yang berkorespondensi dengan ketiga jenis operasi baris elementer.

(a) Matriks elementer jenis I adalah matriks yang diperoleh dengan mempertukarkan dua baris dari matriks I.

(b) Matriks elementer jenis II adalah matriks yang diperoleh dengan mengalikan suatu baris dari matriks I dengan konstanta taknol k.

(c) Matriks elementer jenis III adalah matriks yang diperoleh dari matriks I dengan menjumlahkan kelipatan suatu baris pada baris yang lain.

[Leon, 2001]

Definisi 2.13 (Ekuivalensi baris)

Matriks B dikatakan ekuivalen baris

dengan matriks A jika terdapat matriks-matriks elementer E E1, 2, ,Ek sehingga

1 1

k k

=

B E E E A.

[Leon, 2001]

Teorema 2.6 (Determinan matriks elementer)

Misalkan E adalah matriks elementer berukuran n, maka

(a) jika E adalah matriks elementer jenis I, maka det( )E = −1,

(b) jika E adalah matriks elementer jenis II, maka det( )E =k,

(c) jika E adalah matriks elementer jenis III, maka det( )E =1.

[Anton & Rorres, 2004]

Lema 2.7

Jika B suatu matriks berukuran n dan E suatu matriks elementer berukuran n, maka

det(EB)=det( ) det( )E B .

[Anton & Rorres, 2004] Bukti:

Lihat [Anton & Rorres, 2004] halaman 107.

Teorema 2.8

Jika A dan B adalah matriks-matriks berukuran n, maka

det(AB)=det( ) det( )A B .

[Anton & Rorres, 2004] Bukti:

Lihat [Anton & Rorres, 2004] halaman

108−109.

Definisi 2.14 (Matriks blok)

Matriks A dapat dipartisi menjadi matriks-matriks yang lebih kecil dengan cara menggambar garis-garis horizontal di antara baris-baris dan garis-garis vertikal di antara kolom-kolom. Matriks-matriks yang lebih kecil tersebut disebut blok.

(24)

5

Definisi 2.15 (Matriks blok segi)

Misalkan M adalah sebuah matriks blok. Matriks M disebut matriks blok segi jika (a) M adalah sebuah matriks segi, (b) blok-bloknya membentuk matriks segi, (c) blok-blok diagonalnya juga merupakan

matriks-matriks segi.

[Lipschutz et al., 2002]

Definisi 2.16 (Matriks blok segitiga atas) Matriks A adalah matriks blok segitiga atas jika A adalah matriks blok segi dengan blok-blok di bawah diagonalnya adalah blok nol.

[Lipschutz et al., 2002]

Teorema 2.9 (Determinan matriks blok segitiga atas)

Misalkan M adalah matriks blok segitiga atas dengan blok-blok diagonal

1, 2, , n

A A A , maka

1 2

det( )A =det(A) det(A ) det(An). [Lipschutz et al., 2002]

Teorema 2.10 (Aturan Cramer)

Jika Ax=b adalah suatu sistem dari n

persamaan linear dengan n variabel sedemikian rupa sehingga det( )A ≠0, maka sistem ini memiliki solusi yang unik. Solusinya adalah

1 2

1 2

det( ) det( ) det( )

, , ,

det( ) det( ) det( )

n n

x = A x = A x = A

A A A

dengan Aj adalah matriks yang diperoleh

dengan mengganti unsur-unsur kolom ke-j

dari A dengan unsur-unsur pada matriks b. [Anton & Rorres, 2004]

Bukti:

Lihat [Anton & Rorres, 2004] halaman

123−124.

2.3 Persamaan Beda Definisi 2.17

Persamaan beda homogen berordo dua

dengan koefisien konstan memiliki bentuk

2 1 0

n n n

ay+ +by+ +cy = (n=0, 1, 2, )

Solusi persamaan beda di atas adalah sembarang barisan

( )

yn yang memenuhi

persamaan tersebut.

[Farlow, 1994]

Definisi 2.18 (Dua barisan bebas linear) Dua barisan

( )

un dan

( )

vn dengan n≥0

adalah bebas linear jika ∀ ∈n {0, 1, 2, },

0 0

n n

Au +Bv = A=B= .

[Farlow, 1994]

Teorema 2.11

Misalkan

( )

un dan

( )

vn adalah dua solusi

bebas linear dari ayn+2+byn+1+cyn=0

(n=0, 1, 2, ), maka setiap solusi

( )

wn

dari persamaan di atas dapat dinyatakan sebagai

( )

wn =c u1

( )

n +c v2

( )

n

dengan c1 dan c2 adalah konstanta.

Barisan

( )

un dan

( )

vn disebut solusi dasar

dari persamaan beda tersebut, sedangkan barisan

( )

wn disebut solusi umum persamaan

beda tersebut.

[Farlow, 1994] Bukti:

(25)

6

Teorema 2.12

Solusi umum dari persamaan beda

2 1 0

n n n

ay + +by+ +cy = (n=0, 1, 2, )

bergantung pada dua buah akar r1 dan r2 dari

persamaan karakteristik 2

0

ar +br+ =c .

Untuk kasus r1 dan r2 adalah dua

bilangan real berbeda, maka solusi umum persamaan beda di atas adalah

1 1 2 2

n n

n

y =c r +c r (n=0, 1, 2, ) dengan c1 dan c2 adalah konstanta.

[Farlow, 1994]

2.4 Teori Bilangan

Definisi 2.19 (Keterbagian)

Misalkan diberikan dua buah bilangan bulat x dan y. Bilangan bulat y dikatakan

membagi x, notasi: y x| , jika ada bilangan

bulat q sedemikian sehingga x=yq.

[Biggs, 1990]

Definisi 2.20 (Kekongruenan)

Misalkan x1 dan x2 adalah

bilangan-bilangan bulat serta m adalah bilangan bulat positif. Bilangan bulat x1 dikatakan kongruen ke x2 modulo m, notasi: x1≡x2(mod )m , jika

1 2

|

m xx .

[Biggs, 1990]

Teorema 2.13 (Algoritma pembagian) Jika diberikan bilangan bulat a dan bilangan bulat positif b, maka ada bilangan-bilangan bulat q dan r sedemikian sehingga

a=bq+r dan 0≤ <r b.

[Biggs, 1990] Bukti:

Lihat [Biggs, 1990] halaman 14–15.

III PEMBAHASAN

Di bab ini, akan dibuktikan beberapa teorema yang berkaitan dengan evaluasi determinan matriks rekursif A. Untuk keper-luan tersebut, akan didefinisikan barisan bilangan bulat αsebagai

( )

i i1

(

1, 2, 3,

)

α α α α α

= =

serta matriks A=

( )

ai j, 1i j n, sebagai matriks

rekursif berukuran n yang unsur-unsurnya memenuhi

, 1, 1 1, , untuk 2 ,

i j i j i j

a =a− − +a− ≤i jn (3.1)

dengan syarat-syarat awal

1,j j, untuk 1

a =α ≤ jn (3.2) dan

,1 1 ( 1) , untuk 2 i

a =α + id ≤ ≤i n (3.3) Persamaan (3.2) dan Persamaan (3.3) menunjukkan bahwa baris dan kolom pertama matriks A didefinisikan berdasarkan suku-suku barisan α, serta berfungsi sebagai syarat-syarat awal dari Persamaan Rekursif (3.1).

(26)

7

Teorema 3.1

Misalkan d adalah suatu bilangan bulat taknol. Matriks A dapat difaktorisasi menjadi

=

A LB, dengan L=

( )

li j, 1i j n, adalah

matriks yang unsur-unsurnya didefinisikan sebagai

, 1, 1 1, , untuk 2 ,

i j i j i j

l =l− − +l− ≤i jn (3.4)

dengan syarat-syarat awal

1,j 0, untuk 2

l = ≤ jn (3.5) dan

,1 1, untuk 1 i

l = ≤ ≤i n (3.6) serta B=

( )

bi j, 1i j n, adalah matriks yang

unsur-unsurnya didefinisikan sebagai

, 1, 1, untuk 2 ,

i j i j

b =b− − ≤i jn (3.7)

dengan syarat-syarat awal

1,j j, untuk 1

b =α ≤ jn (3.8)

2,1

b =d (3.9) dan

,1 0, untuk 3 i

b = ≤ ≤i n (3.10) Bukti:

Menurut Definisi 2.2, unsur-unsur matriks

( )

xi j, 1i j n, =

LB memenuhi

, , ,

1 n

i j i k k j

k

x l b

=

= (3.11) Cukup dibuktikan bahwa xi j, =ai j, untuk

1≤i j, ≤n.

Untuk kasus i=1, Persamaan (3.11) menjadi

1, 1, , 1,1 1, 1, ,

1 2

=

n n

j k k j j k k j

k k

x l b l b l b

= =

= + (3.12)

Dari Persamaan (3.5), Persamaan (3.6), Persamaan (3.8), serta dengan menggunakan Teorema 2.1(a), maka Persamaan (3.12) akan menjadi

1, ,

2

= 1 0 = 0

n

j j k j j j

k

x α b α α

=

⋅ + ⋅ + = (3.13) Karena Persamaan (3.2), maka Persamaan (3.13) akan menjadi

1,j 1,j

x =a (3.14) Untuk kasus j=1 dan 2≤ ≤i n, Persamaan (3.11) menjadi

,1 , ,1 ,1 1,1 ,2 2,1 , ,1

1 3

=

n n

i i k k i i i k k

k k

x l b l b l b l b

= =

= + +

(3.15) Dari Persamaan (3.4), Persamaan (3.6), Persamaan (3.8), Persamaan (3.9), Persamaan (3.10), serta dengan menggunakan Teorema 2.1(a), maka Persamaan (3.15) akan menjadi

(

)

(

)

(

)

,1 1 1,1 1,2 ,

3

1 1,1 1,2

1 1,1 1,2

= 1 0

0

(3.16)

n

i i i i k

k

i i

i i

x l l d l

l l d

l l d

α α α − − = − − − − ⋅ + + + ⋅ = + + + = + +

(a) Untuk kasus i=2, Persamaan (3.16) akan menjadi

(

)

2,1 1 1,1 1,2

x =α + l +l d (3.17) Karena Persamaan (3.5) dan Persamaan (3.6), maka Persamaan (3.17) akan menjadi

(

)

(

)

2,1 1 1 0 = 1 = 1 2 1

x =α + + d α +d α + − d

(3.18) (b) Untuk kasus 3≤ ≤i n, dengan menggunakan Persamaan (3.4) secara berulang, maka Persamaan (3.16) akan menjadi

(

)

(

)

(

)

,1 1 1,1 2,1 2,2

1 1,1 2,1 3,1 3,2

1 1,1 2,1 2,1 2,2

=

(setelah - 3 iterasi) =

i i i i

i i i i

i i

x l l l d

l l l l d

n

l l l l d

(27)

8

Dari Persamaan (3.4), Persamaan (3.5), dan Persamaan (3.6), maka Persamaan (3.19) akan menjadi

(

)

(

)

(

)

,1 1 1,1 1,2

( 2) suku

1 1

= 1 1 1

= ( 2) (1 0)

= 1

i

i

x l l d

i d i d α α α − + + + + + + + − + + + − (3.20) Karena Persamaan (3.3), Persamaan (3.18), dan Persamaan (3.20), maka untuk kasus

1

j= dan 2≤ ≤i n diperoleh

,1 1 ( 1) ,1

i i

x =α + id=a (3.21) Untuk kasus 2≤i j, ≤n, Persamaan (3.11) menjadi

, ,1 1, , ,

2

=

n

i j i j i k k j

k

x l b l b

=

+ (3.22) Dari Persamaan (3.4), Persamaan (3.6), Persamaan (3.7), Persamaan (3.8), serta dengan menggunakan Teorema 2.1(b) dan Teorema 2.1(c), maka Persamaan (3.22) akan menjadi

(

)

, 1, 1 1, ,

2

1, 1 , 1, ,

2 2

1, 1 , 1, , 1,1 1,

2 1

1, 1 1, 1 1, ,

2 1

1

1, , 1 1, ,

1 1 = 1 + + + 1 + n

i j j i k i k k j

k

n n

j i k k j i k k j

k k

n n

j i k k j i k k j i j

k k

n n

j i k k j i k k j j

k k

n

i k k j i k k j

k k

x l l b

l b l b

l b l b l b

l b l b

l b l b

α α α α α − − − = − − − = = − − − − = = − − − − − = = − − − − = = ⋅ + + = + = + − = + − ⋅

= (3.23)

n

Menurut definisi matriks L, li−1,n =0,

sehingga Persamaan (3.23) akan menjadi

, 1, , 1 1, ,

1 1

+

n n

i j i k k j i k k j

k k

x lblb

= =

= (3.24) Karena Persamaan (3.11), maka Persamaan (3.24) akan menjadi

, 1, 1 1,

i j i j i j

x =x− − +x− (3.25)

Persamaan (3.25) adalah persamaan yang mendefinisikan secara rekursif unsur-unsur matriks LB dengan syarat-syarat awal: Persamaan (3.13) dan Persamaan (3.20). Hal tersebut analog dengan definisi matriks rekursif A.

Jadi, berdasarkan Persamaan (3.14), Persamaan (3.21), dan Persamaan (3.25) terbukti bahwa A=LB.

Ilustrasi Teorema 3.1 dapat dilihat di Lampiran 2. Selanjutnya, Teorema 3.1 akan mengakibatkan kondisi berikut.

Akibat 3.2

Untuk matriks-matriks A dan B sebagaimana disebutkan dalam Teorema 3.1, maka det( )A =det( )B .

Bukti:

Dari Teorema 3.1, matriks A dapat dinyatakan sebagai faktorisasi LB. Akibatnya, menurut Teorema 2.8 akan diperoleh

det( )A =det(LB)=det( ) det( )L B (3.26) Perhatikan bahwa L adalah matriks segitiga bawah satuan, yaitu matriks segitiga bawah yang semua unsur diagonal utamanya bernilai 1. Karena menurut Teorema 2.4, det( )L =1, maka Persamaan (3.26) akan menjadi

det( )A = ⋅1 det( )B =det( )B

Selanjutnya akan dipergunakan notasi

(28)

9

Jika barisan αdidefinisikan lebih spesifik, maka akan diperoleh nilai D(n) yang lebih spesifik pula. Untuk itu, analisis akan dilakukan melalui empat barisan bilangan bulat yang akan menggantikan barisan α. Berikut ini adalah salah satu barisan bilangan bulat yang dimaksud.

Definisi 3.1 (Barisanωk)

Untuk suatu bilangan bulat positif k, barisan ωk didefinisikan sebagai

( )

( )

1

suku ( 2 ) suku suku

1,1, ,1, 0, 0, , 0 ,1,1, ,1 (3.27)

k k

i i n

k n k k

n ω ω ≤ ≤ − = =

Sekarang, jika k

( )

n

α=ω maka Persamaan (3.8) akan menjadi

1, , untuk 1 k

j j

b =ω ≤ jn (3.28) Tapi berdasarkan Persamaan (3.27), maka Persamaan (3.28) dapat dinyatakan pula sebagai

1,

1, untuk 1 atau 1 0, selainnya

j

j k n k j n

b = ≤ ≤ − + ≤ ≤

(3.29) Sedangkan, jika d=1 maka Persamaan (3.9) akan menjadi

2,1 1

b = (3.30) Dengan demikian, unsur-unsur matriks B pada kasus ini didefinisikan secara rekursif oleh Persamaan (3.7) dengan syarat-syarat awal: Persamaan (3.29), Persamaan (3.30), dan Persamaan (3.10).

Teorema berikut ini akan menjelaskan bahwa untuk kasus k

( )

n

α=ω dan d=1,

D(n) dapat dinyatakan sebagai persamaan rekursif tertentu, asalkan dipenuhi n>3k.

Teorema 3.3

Pada Teorema 3.1, jika k

( )

n α=ω dan 1

d= , maka

) 1 ( ) 1 ( )

( = − +1 − − k n D n

D k , n>3k (3.31) Bukti:

Misalkan n>3k.

Misalkan pula matriks U=

( )

ui j, 1i j n, ,

matriks

( )

bi j, 1i j n,

≤ ≤

=

B , dan matriks

( )

li j, 1i j n, =

L berturut-turut didefinisikan oleh

,

1, untuk 1, untuk 1 dan 2 0, selainnya

i j

i j

u i k j n k i

=

= − ≤ ≤ = − +

(3.32)

, ,

1, untuk 1 dan

2 1 1

0, untuk ( , ) ( , 1) , selainnya

i j

i j

i k

n k i j n k i

b

i j n k n k b

≤ ≤

− + − ≤ ≤ − + − =

= − − − (3.33)

dan

,

1, untuk atau ( , ) ( 1, 1) 1, untuk ( , ) ( , 1) 0, selainnya

i j

i j

i j n n k

l

i j n n k

=

= − − −

=

− = − − (3.34)

Sekarang akan dibuktikan bahwa matriks B dapat difaktorisasi menjadi B=UBL.

Dari Persamaan (3.32), Persamaan (3.34), serta dengan menggunakan Definisi 2.6, matriks U dan matriks L berturut-turut dapat pula dinyatakan sebagai

, 2 1

k

i n k i i

− +

=

= −

U I e (3.35) dan

1, 1 , 1

nn k− − n n k− −

= + −

L I e e (3.36) Selanjutnya, dengan menggunakan

(29)

10

(

)

(

)

(

)

, 2 1, 1 , 1

1

, 2 1, 1 , 1

1

, 2 1, 1 , 1

1 k

i n k i n n k n n k

i k

i n k i n n k n n k

i k

i n k i n n k n n k

i − + − − − − − = − + − − − − − = − + − − − − − = = − + − = − ⋅ + − = − ⋅ + − UBL

I e B I e e

IB e B I e e

B e B I e e

(3.37) Perhatikan bahwa menurut Persamaan (3.33), definisi matriks B pada kasus ini, serta dengan menggunakan Definisi 2.6 dan Definisi 2.7, akan diperoleh

( )

(

)

( )

1 , 2 1 , 1

, untuk 1 , untuk

, selainnya

n k i

i i j

j n k i

i i i i

i

R i k

R R i n k

R − + − = − + − − + ≤ ≤ = − = − B e

B B e

B

(3.38) Di lain pihak, dengan menggunakan Teorema 2.2(d) akan diperoleh

( )

, 2 1

2

( ) ( ), untuk 1

(3.39) , selainnya

k

j i n k i

i

j n k j

j

R

R R j k

R − + = − + − ⋅ − ≤ ≤ =

B e B

B B

B

Dari Persamaan (3.38) dan Persamaan (3.39), akan diperoleh

(

)

( )

, 2 1 2 , 1

( ) ( ), untuk 1 , untuk

(3.40) , selainnya

k

j i n k i

i

j n k j

j j j

j

R

R R j k

R j n k

R − + = − + − − ⋅ − ≤ ≤ = − = −

B e B

B B

B e B

Selanjutnya akan dianalisis perilaku

2

( ) ( )

j n k j

R BR− + B untuk 1≤ jk. Pertama, akan ditunjukkan bahwa untuk 1≤ j≤ −k 1, berlaku

( )

2

( )

( )

j n k j j

R BR− + B =R B (3.41)

Untuk i=1, diperoleh

1 2 1

suku ( 3 1) suku (2 1) suku

( 2 1) suku ( 1) suku suku

suku ( 2 ) suku

( ) ( )

1 1 1 0 0 0 1 1 1

0 0 0 1 1 1 0 0 0

1 1 1 0 0 0 1 1 1

n k

k n k k

n k k k

k n k k

R R +

− − + − − + − − = − = B B suku 1( ) (3.42)

R

= B

Untuk i=2, diperoleh

2 2 2

( 1) suku ( 3 1) suku 2 suku

( 2 ) suku ( 1) suku ( 1) suku

( 1) suku ( 2 ) suku

( ) ( )

1 1 1 0 0 0 1 1 1

0 0 0 1 1 1 0 0 0

1 1 1 0 0 0

n k

k n k k

n k k k

k n k

R R +

+ − − − + − + − − = − = B B

( 1) suku 2

1 1 1

( ) (3.43)

k

R

= B

dan seterusnya. Untuk i= −k 1, diperoleh

1 1

( 3) suku ( 1) suku ( 3 1) suku

( 3) suku ( 3) suku ( 1) suku

( 3) suku ( 1) s

( ) ( )

0 0 0 1 1 1 0 0 0

1 1 1 0 0 0 1 1 1

0 0

0 0 0 1 1 1

k n k

k k n k

k n k k

k k

R R− −

− + − − + − − + − + − = − = B B

uku ( 2 ) suku

1

0 0 0

1 1

( ) (3.44)

n k k R − − = B

(30)

11

disebutkan sebelumnya. Ketiga persamaan tersebut juga membuktikan kebenaran dari Persamaan (3.41).

Sedangkan untuk i=k, dengan menggu-nakan Persamaan (3.40) akan diperoleh

( 2) suku ( 1) suku ( 3 1) suku

( 2) suku ( 2) suku ( 1) suku

( 2) suku ( 1) suk ( ) ( )

0 0 0 1 1 1 0 0 0

1 1 1 0 0 0 1 1 1

0 0 0 0 1 0 0 0

k n k

k k n k

k n k k

n k k

R R

− + − − + − − + − − + − = − + B B u

( 2) suku ( 1) suku ( 2 ) suku

( 2) suku ( 1) suku

, 1

0 0 0 1 1 1 0 0 0

1 0 0 0 1 0 0 0

( ) ( ) (3.45)

k k n k

n k k

k k k n k

R R − + − − − + − − = + = B + e

Berdasarkan Persamaan (3.41) dan Persamaan (3.45), maka Persamaan (3.40) akan menjadi

(

)

(

)

( )

, 2 1 , 1 , 1

, untuk , untuk

(3.46) , selainnya

k

j i n k i

i

j j n j

j j j

j

R

R j k

R j n k

R − + = − − − − ⋅ + = = − = −

B e B

B e B e

B

Selanjutnya, Persamaan (3.46) di atas akan menghasilkan

, 2 , 1 , 1

1 k

i n k i k n k n k n k

i

− + − − − − −

=

− ⋅ = + −

B e B B e e (3.47)

Kemudian, Persamaan (3.47) akan mengaki-batkan Persamaan (3.37) menjadi

(

, 1 , 1

)(

1, 1 , 1

)

1, 1 , 1 , 1

, 1 1, 1 , 1 , 1 , 1

, 1 1, 1 , 1 , 1

k n k n k n k n n k n n k

n n k n n k k n k

k n k n n k k n k n n k n k n k

n k n k n n k n k n k n n k

− − − − − − − − − − − − − − − − − − − − − − − − − − − − − − − − − − − − − − − − = + − + − = + − + + − − − + UBL

B e e I e e

BI Be Be e I

e e e e e I

e e e e

(3.48)

Selanjutnya, karena Teorema 2.2(a), maka Persamaan (3.48) akan menjadi

1, 1 , 1 , 1

, 1

1, 1 , 1 , 1

, 1 (3.49)

n n k n n k k n k

n k n k

n n k n n k k n k

n k n k

− − − − − − − − − − − − − − − − − − − − = + − + + − − − + = + − + − UBL

B Be Be e O

O e O O

B Be Be e

e

Tinjau matriks Ben−1,n k− −1−Ben n k,− −1.

Menurut Teorema 2.2(e), matriks tersebut bernilai nol pada selain kolom ke-(nk–1) dan

1( 1, 1 , 1) 1( ) ( )

n k n n k n n k n n

C− − Be − −Be − − =C BC B

(3.50) Dalam hal ini,

1 1

( 1) baris 1

0

( ) ( 2 ) baris 0

1

( 1) baris

1 (3.51)

n

k

C n k

k − − = − + B dan 1 baris 1 0

( ) ( 2 ) baris 0

1

baris

1 (3.52)

n

k

C n k

k

= −

B

Akibat Persamaan (3.51) dan Persamaan (3.52) tersebut, maka unsur-unsur submatriks kolom pada Persamaan (3.50) akan bernilai 1 pada baris ke-(nk), bernilai –1 pada baris

(31)

12

1( 1, 1 , 1)

0

( 1) baris 0

baris ke- 1

0

( 2 1) baris 0

1 baris ke-( - ) 0

baris

0

n k n n k n n k

C k k n k n k k − − − − − − − − − → − = − − → Be Be (3.53)

Persamaan (3.53) akan memberikan hasil berikut.

1, 1 , 1 , 1 , 1

nn k− − − n n k− − = n k n k− − − − k n k− −

Be Be e e (3.54)

Lalu, karena Persamaan (3.54), Persamaan (3.49) akan menjadi

, 1 , 1 , 1 , 1

(3.55)

n k n k− − − k n k− − k n k− − n k n k− − −

= + − + −

= UBL

B e e e e

B

Persamaan (3.55) di atas membuktikan bahwa B dapat difaktorisasi menjadi B=UBL.

Untuk menghitung D n( ), Teorema 2.8 akan diterapkan pada Persamaan (3.55).

( )

(

)

( )

( )

( )

( ) det det

det det det (3.56)

D n =

= =

B UBL

U B L

Dari Persamaan (3.32) dan Persamaan (3.34), jelas bahwa matriks U dan matriks L berturut-turut adalah matriks segitiga atas satuan dan matriks segitiga bawah satuan. Akibatnya, menurut Teorema 2.4 akan diperoleh

det( )L =det( )U =1 (3.57) Persamaan (3.57) akan berakibat Persamaan (3.56) menjadi

( )

( )

( )

det B = ⋅1 det B ⋅ =1 det B (3.58) Sekarang partisi matriks B menjadi

1 2 *

B O B ,

dengan B1 adalah matriks berukuran (nk−1)

yang memenuhi aturan matriks B dan B2

adalah matriks berukuran k+1 yang berbentuk

2

1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1

0 0 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 1 1

=

B .

Karena B1 adalah matriks berukuran

(nk−1) yang memenuhi aturan matriks B maka

( )

1

det B =D n( − −k 1) (3.59) Sedangkan det

( )

B2 dapat dihitung dengan

mereduksi matriks B2 menjadi matriks

segitiga atas * 2

B melalui k buah operasi baris elementer jenis II secara berturut-turut, yaitu:

1 2, 2 3, , k k 1

RR RR RR+ dilanjutkan dengan sebuah operasi baris elementer jenis III, yaitu Rk+1−R1→Rk+1. Unsur-unsur

diagonal utama matriks * 2

B bernilai –1 pada baris dan kolom ke-n serta bernilai 1 pada baris dan kolom lainnya. Akibatnya, menurut Teorema 2.4 diperoleh

( )

* 2

det B = −1 (3.60) Karena *

2

B diperoleh melalui k buah operasi baris elementer jenis II dan sebuah operasi baris elementer jenis III, maka menurut Teorema 2.6(b), Teorema 2.6(c), serta Persamaan (3.60) akan diperoleh

( ) ( )

( )

*

( ) ( ) ( )

1

2 2

det B = −1 detk B = −1k −1 = −1k+

(32)

13

Selanjutnya, karena Badalah matriks blok segitiga atas, maka menurut Teorema 2.9, Persamaan (3.59), dan Persamaan (3.61), akan diperoleh

( )

( )

(

)

( )

1 2

1 det det det

1k+ D n( k 1) (3.62)

=

= − − −

B B B

Akhirnya, karena Persamaan (3.62) dan Persamaan (3.58) maka Persamaan (3.31) terbukti.

Ilustrasi faktorisasi UBL pada pembuktian Teorema 3.3 dapat dilihat di Lampiran 3. Selanjutnya, dengan membatasi nilai parameter k, teorema 3.3 tersebut akan berakibat kondisi-kondisi berikut ini.

Akibat 3.4

Dari Teorema 3.3, jika k=2 maka

2, jika 3(mod 6) 1, jika 5(mod 6) 0, jika 1(mod 6) atau

( ) (3.63)

4(mod 6)

1, jika 2(mod 6) 2, jika 0(mod 6)

n n n D n

n n n

− ≡

− ≡

≡ =

≡ ≡ ≡

Bukti:

Untuk k=2, Persamaan (3.31) akan men-jadi

( ) ( 3), 6

D n = −D nn> (3.64) Perhatikan bahwa Persamaan (3.64) me-nyebabkan nilai determinan akan berulang secara periodik dengan periode 6. Selanjutnya, akan dicari syarat-syarat awal: D(4), D(5), dan

D(6) untuk menganalisis pola yang terjadi. Dengan menggunakan Teorema 2.4, Teorema 2.5, dan Teorema 2.6 akan diperoleh hasil-hasil berikut.

1 1 1 1 1 1 1 1

(4) 0

0 1 1 1 0 0 1 1

D = = (3.65)

1 1 0 1 1 1 1 1 0 1 (5) 0 1 1 1 0 1

0 0 1 1 1 0 0 0 1 1

D = = − (3.66)

dan

1 1 0 0 1 1 1 1 1 0 0 1 0 1 1 1 0 0

(6) 2

0 0 1 1 1 0 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 1 1

D = = (3.67)

Dari Persamaan (3.64) sampai dengan Persamaan (3.67) akan diperoleh

(7) (4) 0

D = −D = (3.68) (8) (5) 1

D = −D = (3.69) (9) (6) 2

D = −D = − (3.70) Karena nilai D(n) berulang dengan periode 6, maka dengan menerapkan Teorema 2.13 terdapat bilangan-bilangan bulat p dan r

sedemikian sehingga 6 0 , 6 + ≤ <

= p r r

n (3.71) Dengan menggunakan Persamaan (3.71) serta hasil-hasil pada Persamaaan (3.65) sampai dengan Persamaan (3.70) akan diperoleh hal-hal berikut.

Untuk r=0,

( ) (6 ) (6) 2

D n =D p =D = (3.72) Untuk r=1,

( ) (6 1) (7) 0

D n =D p+ =D = (3.73) Untuk r=2,

( ) (6 2) (8) 1

(33)

14

Untuk r=3,

( ) (6 3) (9) 2

D n =D p+ =D = − (3.75) Untuk r=4,

( ) (6 4) (4) 0

D n =D p+ =D = (3.76) Untuk r=5,

( ) (6 5) (5) 1

D n =D p+ =D = − (3.77) Dengan menggunakan Definisi 2.12 serta hasil-hasil pada Persamaan (3.72) sampai dengan Persamaan (3.77), maka Persamaan (3.63) terbukti.

Akibat 3.4 menunjukkan bahwa untuk kasus k=2, nilai D(n) bisa dinyatakan sebagai sebuah relasi kongruensi modulo 6.

Akibat 3.5

Dari Teorema 3.3, jika k≥3dan (a) k genap, maka

1, jika 0(mod 2 2) atau 1(mod 2 2) ( ) 1, jika ( 1)(mod 2 2) atau

( 2)(mod 2 2) 0, selainnya

n k

n k

D n n k k

n k k

≡ +

≡ +

= − ≡ + +

≡ + +

(3.78) (b)k ganjil, maka

1, jika 0(mod 1) atau

( ) 1(mod 1) (3.79) 0, selainnya

n k

D n n k

≡ +

= ≡ +

Bukti:

Tinjau matriks B yang telah didefinisikan sebelumnya melalui Persamaan (3.7), Persamaan (3.29), Persamaan (3.30), dan Persamaan (3.10).

1 1 0 0 1 1

1 1 1 0 0 1

0 1 1 0 0 1

0 0 0 0 0 1

=

B

Perhatikan bahwa, dalam kasus ini D(n) bisa dipandang sebagai determinan submatriks dari matriks B yang diperoleh dengan mengambil n baris dan n kolom pertama matriks B. Akibatnya, dengan menggunakan Definisi 2.8 akan diperoleh

(1) 1

D = (3.80) Untuk 2≤nk, D(n) adalah determinan matriks yang semua unsur pada baris pertama dan baris keduanya bernilai 1, sehingga dengan menggunakan operasi baris elementer

1 2 1

RRR akan diperoleh matriks dengan semua unsur baris pertama bernilai nol. Akibatnya, menurut Teorema 2.5 diperoleh

(2) (3) ( ) 0

D =D = =D k = (3.81) Sedangkan untuk n= +k 1, D(n) adalah determinan matriks yang sama dengan matriks

2

B . Akibatnya, menurut Persamaan (3.61)

1 ( 1) ( 1)k

D k+ = − + (3.82) Kemudian, dengan menggunakan Persamaan (3.31), Persamaan (3.80), Persamaan (3.81), dan Persamaan (3.82) akan diperoleh

1 1 1

( 2) ( 1)k (1) ( 1)k 1 ( 1)k

D k+ = − + D = − + ⋅ = − +

(3.83)

( 3) ( 4) (2 1) 0

D k+ =D k+ = =D k+ =

(3.84) dan

(2 2) (1) 1

D k+ =D = (3.85) (a) Untuk kasus k genap, Persamaan (3.31)

akan menjadi

( ) ( 1)

(34)

15

( 1) 1

D k+ = − (3.87)

( 2) (1) 1

D k+ = −D = − (3.88) dan

(2 2) (1) 1

D k+ =D = (3.89) Karena nilai D(n) berulang dengan periode 2k+2, maka dengan menerapkan Teorema 2.13 terdapat bilangan-bilangan bulat p dan r sedemikian sehingga

2 2 0 , ) 2 2

( + + ≤ < +

=p k r r k

n (3.90)

Dengan menggunakan Persamaan (3.90) serta hasil pada Persamaaan (3.80), Persamaan(3.81), Persamaan (3.87), Persamaan (3.88), Persamaan (3.89), dan Persamaan (3.85) akan diperoleh hal-hal berikut.

Untuk r=0,

( ) ( (2 2)) (2 2)

1 (3.91)

D n D p k

D k

= +

= +

=

Untuk r=1,

( ) ( (2 2) 1) (1)

1 (3.92)

D n D p k

D

= + +

= =

Untuk 2≤r<k+1,

( ) ( (2 2) ) (2 ( 1) ) ( )

0 (3.93)

D n D p k r

D p k r

D r

= + +

= + +

= =

Untuk r=k+1,

( ) ( (2 2) 1) ( 1)

1 (3.94)

D n D p k k

D k

= + + +

= +

= −

Untuk r=k+2,

( ) ( (2 2) 2) ( 2)

1 (3.95)

D n D p k k

D k

= + + +

= +

= −

Untuk k+3≤r<2k+2,

( ) ( (2 2) ) ( )

0 (3.96)

D n D p k r

D r

= + +

= =

Dengan menggunakan Definisi 2.12 serta hasil-hasil pada Persamaan (3.91) sampai dengan Persamaan (3.96), akan

menyebabkan Persamaan (3.78) terbukti. (b) Untuk kasus k ganjil, Persamaan (3.31)

akan menjadi

( ) ( 1)

D n =D n− −k (3.97) Akibatnya, menurut Persamaan (3.97) maka Persamaan (3.82) akan menjadi

( 1) 1

D k+ = (3.98) Karena nilai D(n) berulang dengan periode k+1, maka dengan menerapkan Teorema 2.13 terdapat bilangan-bilangan bulat p dan r sedemikian sehingga

1 0 , ) 1

( + + ≤ < +

=pk r r k

n (3.99)

Dengan menggunakan Persamaan (3.99) dan hasil pada Persamaan (3.80), Persamaan (3.81), dan Persamaan (3.98) akan diperoleh hal-hal berikut.

Untuk r=0,

( ) ( ( 1)) ( 1)

1 (3.100)

D n D p k

D k

= +

= +

=

Untuk r=1,

( ) ( ( 1) 1) (1)

1 (3.101)

D n D p k

D

= + +

= =

Untuk 2≤r<k+1,

( ) ( ( 1) ) ( )

0 (3.102)

D n D p k r

D r

= + +

= =

(35)

16

Akibat 3.5 menunjukkan bahwa untuk kasus k≥3, nilai D(n) juga bisa dinyatakan sebagai relasi kongruensi yang bergantung pada parameter k.

Analisis berikutnya akan dilakukan untuk barisan α yang digantikan oleh barisan bilangan bulat yang didefinisikan sebagai berikut.

Definisi 3.2 (Barisan χk)

Untuk suatu bilangan bulat positif k dan suatu bilangan bulat taknol a, barisan χk

didefinisikan sebagai

( )

1

suku

, , , , 0, 0, 0, (3.103)

k k

i i

k

a a a

χ χ

=

=

Sekarang, jika α =χk maka Persamaan (3.8) akan menjadi

1, , untuk 1 k

j j

b =χ ≤jn (3.104) Tapi berdasarkan Persamaan (3.103), maka Persamaan (3.104) dapat dinyatakan pula sebagai

1,

, untuk 1

(3.105) 0, selainnya

j

a j k

b = ≤ ≤

Dengan demikian, unsur-unsur matriks B pada kasus ini didefinisikan secara rekursif oleh Persamaan (3.7) dengan syarat-syarat awal: Persamaan (3.105), Persamaan (3.9), dan per-samaan (3.10).

Teorema berikut ini akan menjelaskan bahwa untuk kasus α =χk, D(n) juga dapat dinyatakan sebagai persamaan rekursif tertentu.

Teorema 3.6

Pada Teorema 3.1, jika α =χk maka

1 , ) ( ) ( ) ( 1 1 + ≥ − − = = − k n i n D d a n D k i i (3.106) Selanjutnya, untuk k=2 dan a = 1,

1 1

1 1 1

( )

2 2

n n

D n η η

η

+ +

+ −

= − ( 3.107)

dengan η= 1−4d . Bukti:

Misalkan nk+1.

Persamaan (3.106) bisa diperoleh dengan menggunakan ekspansi kofaktor pada baris pertama sebagai berikut.

( )

( )

(

)

( )

( )

(

)

( )

( )

(

)

(

)

(

)

(

( )

(

)

)

(

)

(

) (

)

(

)

(

(

)

(

)

)

1 1

1 2 1 1

1 1 1 1

1 1 0 1 1 1 1 1 1

1 1 2

1 1 1 2 1 1 2 ( ) ( ) k k k k k k i i

D n a D n

a d D n

a d D n k

a D n dD n

d D n k

a d D n d D n

d D n k

a d D n i

+ + + + − + + − − − = = − − + − − − + + − − − = − − − + + − − = − − + − − + + − − = − −

Misalkan k=2 dan a = 1, maka Persamaan (3.106) akan menjadi

2 1 1

( ) 1 ( ) ( )

( 1) ( 2), 3 (3.108)

i i

D n d D n i

D n dD n n

− =

= ⋅ − −

= − − − ≥

dengan syarat-syarat awal:

(1) 1 1

D = = (3.109) dan 1 1 (2) 1 1 D d d

(36)

17

1

1 1 4 2

d

x = − − (3.111) dan

2

1 1 4 2

d

x = + − (3.112) Misalkan didefinisikan η sebagai

d

4 1− =

η (3.113) Persamaan (3.113) di atas akan meng-akibatkan Persamaan (3.111) dan (3.112) berturut-turut menjadi

1

1 2

x = −η (3.114) dan

2

1 2

x = +η (3.115) Karena Persamaan (3.114) dan Persamaan (3.115), maka menurut Teorema 2.12 solusi umum dari Persamaan (3.108) adalah

1 2

1 1

( )

2 2

n n

D n =λ −η +λ +η (3.116) dengan λ1 dan λ2 adalah konstanta-konstanta

yang nilainya bergantung pada syarat-syarat awal: Persamaan (3.109) dan Persamaan (3.110).

Karena Persamaan (3.113), maka

2

1 4

d= −η . Akibatnya, Persamaan (3.110) akan menjadi

2

3 (2)

4

D = +η (3.117) Dengan menerapkan syarat-syarat awal: Persamaan (3.109) dan Persamaan (3.117) pada Persamaan (3.116), diperoleh

1 2

2 2 2

1 2

1 1

1

2 2

1 1 3

2 2 4

η η λ λ η η η λ λ − + + = − + + + = (3.118)

Dengan menggunakan aturan Cramer pada Sistem Persamaan (3.118), diperoleh

( )

( ) ( )

(

)

( )( )(

)

( )

(

)

(

)

2 2 2 1 2

2 1 1 3

3 1

2 2 4

4 2

1 1 1 1 1 1 1

2 2 2 2 2 2

2 2

1 1

2 2

2 1 2 2

4 1

2 1

=

( 1) (1 )

= = =

2 1 2 1

1 1 =-2 η η η η η η η η η η η η η η η η η λ η η η η η η η η η + + + + + + − + + − + − − + − + − − = − − − − − − − − − (3.119) dan

( )

( ) ( )

(

)

( )( )(

)

( )

(

)<

Referensi

Dokumen terkait

Manakala dari sudut undang-undang prosedur pula, Geran Probet tidak terpakai ke atas orang Islam berdasarkan peruntukan yang telah termaktub di dalam Akta Probet

Segala puji dan rasa syukur kupersembahkan hanya kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayahnya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi dengan

Syukur Alhamdulilah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, nikmat dan karunia-Nya yang telah diberikan kepada penulis serta shalawat dan salam penulis

Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan (1) seberapa besarkah kesalahan pemakaian huruf kapital, penulisan kata, dan pemakain tanda baca dalam karangan narasi yang

Peserta yang lulus Seleksi Administrasi dan Tes Fisik diberikan TANDA PESERTA SELEKSI pada tanggal 24 – 26 Oktober 2008 di lokasi pendaftaran dengan menunjukkan identitas diri

Untuk mengetahui data berdistribusi normal atau tidak, maka dapat dilihat dari signifikansi atau nilai probabilitas. Seperti yang telah dikemukakan di atas bahwa jika probabilitas

Data transaksi usaha adalah keterangan atau data atau dokumen transaksi pembayaran yang menjadi dasar pengenaan pajak yang dilakukan oleh masyarakat/subjek pajak kepada

Perbandingan karakteristik mi basah jagung optimal dengan mi basah terigu (mi matang) menunjukkan bahwa mi basah matang jagung memiliki nilai kekerasan, kelengketan, dan