• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kandungan Aflatoksin dan Analisis Titik Kritis pada Pengelolaan Pascapanen Jagung di Kabupaten Garut

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kandungan Aflatoksin dan Analisis Titik Kritis pada Pengelolaan Pascapanen Jagung di Kabupaten Garut"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

KANDUNGAN AFLATOKSIN DAN ANALISIS TITIK KRITIS

PADA PENGELOLAAN PASCAPANEN JAGUNG

DI KABUPATEN GARUT

AGUS SUSANTO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Kandungan Aflatoksin dan Analisis Titik Kritis pada Pengelolaan Pascapanen Jagung di Kabupaten Garut adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Pebruari 2008

(3)

ABSTRACT

AGUS SUSANTO. Contamination of Aflatoxin and Critical Point Analysis in Corn Postharvest Steps at Garut Regency. Under direction of ERIKA B.

LACONI and RAPHAELLA WIDIASTUTI.

Corn is the major ingredients feedstuff. Feed ration in feedmill industry is based on corn-soya. Postharvested corn is susceptible to fungal invasion which able to produce fungal metabolites such as aflatoxin. The objectives of the research are (1) to get a description aflatoxin contamination in farmer, collecting sellers and whole sellers (2) to get a description of critical points an aflatoxin contamination (3) to get a correlation and regression between aflatoxin and moisture content, ash, organic matter, water activity both in corn kernel and corn

meal.

A total of 57 samples of corn which collected from farmers, collecting sellers and whole sellers in Garut regency have been investigated for the aflatoxin contamination and the critical points of its occurrence in postharvested corn. Sampling was done with purposive sampling method and aflatoxin content was detected by Enzyme Linked Imunosorbent Assay (ELISA). Other parameters were moisture content, ash, organic matter, water activity both in corn kernel and corn

meal.

The results showed that the highest contamination was found in whole sellers level. The critical points at farmers stage were due to spoilage corn from field unproper, shelling procedure and sun drying dependence . Critical points at collecting sellers stage were due to improper storage and sun drying dependence. Whereas critical point at whole seller stage was due to the improper mixing

practice.

(4)

RINGKASAN

AGUS SUSANTO. Kandungan Aflatoksin dan Analisis Titik Kritis pada Pengelolaan Pascapanen Jagung di Kabupaten Garut. Dibimbing oleh ERIKA B. LACONI dan RAPHAELLA WIDIASTUTI.

Jagung merupakan bahan baku pakan utama dalam industri pakan maupun dalam penyusunan ransum pakan. Sampai saat ini industri pakan unggas masih berbasis corn-soya. Jagung mudah terkontaminasi aflatoksin, suatu metabolit sekunder dari cendawan Aspergillus flavus, A. parasiticus dan cendawan lainnya. Aflatoksin merupakan mikotoksin yang ditemukan pada tahun 1960, setelah terjadi kematian 100 000 ekor kalkun di Inggris, dan tingginya kejadian penyakit hati pada bebek di Kenya dan budidaya ikan trout di Amerika Serikat.

Hewan yang peka terhadap aflatoksin adalah bangsa unggas/aves, mamalia dan ikan. Bangsa unggas yang peka adalah bebek, ayam, kalkun, dan burung puyuh, sedangkan bangsa mamalia adalah babi muda, babi bunting, anjing, kucing, sapi dan domba. Aflatoksin dapat menekan sistem kekebalan tubuh (immunosupresif) pada beberapa hewan, sehingga menyebabkan penurunan ketahanan tubuh terhadap infeksi, kegagalan vaksinasi, dan mastitis yang persisten. Mengingat berbagai dampak yang ditimbulkan aflatoksin terhadap hewan dan juga manusia, International Agency Research on Cancer (IDRC) menetapkan aflatoksin sebagai bahan karsinogenik Kelas I.

Penelitian ini bertujuan untuk membuat diskripsi kadar aflatoksin pada jagung dari tingkat petani, pedagang pengumpul dan pedagang besar, menganalisa titik-titik kritis (critical points) peningkatan aflatoksin dengan memperhatikan tingkat keeratan hubungan antar variabel bebas (kadar air, kadar abu, bahan organik, persentase biji rusak aktivitas air dalam bentuk biji dan aktivitas air dalam bentuk giling) dengan variabel terikat (kandungan aflatoksin) dan tingkat keeratan hubungan antar variabel bebas. Penelitian ini juga membuat persamaan regresi untuk memprediksi kadar aflatoksin pada jagung dengan menggunakan variabel bebas yang memiliki tingkat keeratan hubungan yang signifikan (?: 0.05). Total sampel yang diuji sebanyak 57 sampel yang berasal dari petani, pedagang pengumpul dan pedagang besar di Kabupaten Garut. Metode pengambilan sampel adalah purposive sampling. Sampel diuji kadar air, kadar abu, aktivitas air dalam bentuk giling, aktivitas air dalam bentuk biji dan kandungan aflatoksin. Pengujian kadar aflatoksin menggunakan metoda ELISA (Enzyme Linked Imunosorbent Assay). Untuk analisis korelasi dan regresi menggunakan program SPSS versi 13.0.

(5)

memiliki persamaan regresi yang signifikan. Di tingkat pedagang pengumpul, kadar aflatoksin berkorelasi positip dengan variabel bahan organik dan berkorelasi negatif dengan kadar air. Variabel bahan organik memenuhi persamaan regresi Y = -466.808 + 5.6 X, sedangkan untuk kadar air memenuhi persamaan regresi Y = 79.34 - 5.033 X pada tingkat kepercayaan 95%. Tidak ada variabel yang

mampu memprediksi kandungan aflatoksin pada semua tingkatan. Jumlah korelasi antar variabel bebas yang signi fikan di tingkat petani lebih banyak dibandingkan di tingkat pedagang besar. Di tingkat pedagang besar hanya terdapat korelasi kadar air dengan bahan organik yang signifikan dan korelasi tersebut juga ditemukan di tingkat petani dan pedagang besar.

(6)

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2008

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

KANDUNGAN AFLATOKSIN DAN ANALISIS TITIK KRITIS

PADA PENGELOLAAN PASCAPANEN JAGUNG

DI KABUPATEN GARUT

AGUS SUSANTO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Judul Tesis : Kandungan Aflatoksin dan Analisis Titik Kritis pada

Pengelolaan Pascapanen Jagung di Kabupaten Garut Nama : Agus Susanto

NIM : D 051050091

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Erika B Laconi, MS Ketua

Dr. Raphaella Widiastuti, BSc Anggota

Diketahui

Ketua Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan

Dr. Ir. Idat G. Permana, M.Sc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(9)

PRAKATA

Segala puji bagi Allah S.W.T Tuhan semesta alam atas karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan dari bulan Oktober 2006 sampai Mei 2007 ini adalah Aflatoksin, dengan judul Kandungan Aflatoksin dan Analisis Titik Kritis pada Pengelolaan Pascapanen Jagung di Kabupaten Garut. Jagung merupakan bahan baku dalam pembuatan ransum pakan. Dalam proses pengelolaan pascapanennya mudah terkontaminasi aflatoksin, oleh karena itu kita perlu penelitian aflatoksin di tingkat petani, pedagang pengumpul dan pedagang besar dan korelasi kandungan aflatoksin dengan parameter uji lainnya.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Erika B. Laconi, MS dan Ibu Dr. Raphaella Widiastuti, BSc selaku pembimbing. Disamping itu penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Direktur Jenderal Peternakan Depertemen Pertanian, Ir. Mathur Riyadi, MA yang telah memberikan izin belajar, Kepala Balai Besar beserta para staf Balai Besar Penelitian Veteriner, Bogor dan Kepala Balai beserta para staf Balai Pengujian Mutu Pakan Ternak, Bekasi yang telah membantu sarana dan prasarana pengujian. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Yayasan Bhakti Tanoto, Jakarta sebagai pihak yang memberikan beasiswa kepada penulis. Terima kasih pula kepada isteri tercinta Budi Riyanti dan anak-anakku: Sigit Hananto, Muhammad Asrudin, Subarkah Hananto, Waskitho Aji Wijoyo dan Dewi Setyowati. Ungkapan terimakasih kepada Ibu tercinta Tentrem Rahayu dan Bapak Sarbini serta Ibu mertua Suprihatlanti dan Bapak mertua Sayat Hadiprayitno (alm). Juga terima kasih kepada teman-teman mahasiswa dan mahasiswi Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan atas kehangatan persahabatan dan kerjasamanya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kulon Progo pada tanggal 1 Pebruari 1971 dari Ibu Tentrem Rahayu dan ayah Sarbini. Penulis merupakan putera pertama dari tiga bersaudara.

Tahun 1989 penulis lulus SMA Negeri I Wates dan pada tahun yang sama lulus Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) masuk Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada. Lulus S1 pada tahun 1995 dan lulus profesi dokter hewan pada tahun 1997. Setelah lulus bekerja sebagai dokter hewan mandiri di Pos Kesehatan Hewan (Poskewan) di Kalibawang, Kulon Progo dan pada tahun 2002 diterima Pegawai Negeri Sipil di Departemen Pertanian dan ditugaskan di Balai Pengujian Mutu Pakan Ternak, Direktorat Jenderal Peternakan di Bekasi.

(11)
(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ...………... xi

DAFTAR GAMBAR .. ...………... xii

DAFTAR LAMPIRAN ……….... xiii

PENDAHULUAN

Aspergillus spp ... 8

Penelitian dan Monitoring Aflatoksin di Indonesia ...………...…. 8

Pengaruh Aflatoksin pada Hewan dan Manusia ...………. 9

Jagung ...………... 10

Aktivitas Air... 11

Alur Penjualan ...………... 12

Penyimpanan ...………... 13

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu ...……….. 14

Bahan dan Alat ...………... 14

Metode Sampling ...………. 14

Teknik Pengambilan Sampel ...……… 15

Metode Pengujian Elisa ... 16

Metode Pengujian Air ... 16

Metode Pengujian Abu ... 17

Metode Pengujian Bahan Organik ... 17

Metode Pengujian Aktivitas Air ... 18

Metode Pengujian Organoleptik ... 18

Analisis Data.... ………... 18

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Kuesioner ... 21

Alur Tataniaga Jagung ... 27

Kadar Air ... 29

Aflatoksin ... 31

Analisis Korelasi dan Regresi ... 36

Variabel Bebas dengan Variabel Kandungan Aflatoksin ... 36

Analisis Regresi ... 40

Korelasi antar Variabel Bebas ... 42

Titik-Titik Kritis ... 44

Petani ... 44

Pedagang Pengumpul ... 46

(13)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan ………... 49

Saran ...………... 50

DAFTAR PUSTAKA ………. ... 51

(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Spesies cendawan penghasil aflatoksin dan jenis aflatoksin ………... 7

2 Jumlah karung yang diambil sampel ... 15

3 Budidaya jagung oleh petani ... 22

4 Sistem pembelian pedagang pengumpul dan pedagang besar... ... 24

5 Pengelolaan pascapanen di tingkat petani, pedagang pengumpul dan pedagang besar ... 26

6 Harga beli dan harga jual pedagang pengumpul dan pedagang besar ... 29

7 Sebaran kandungan aflatoksin di petani, pedagang pengumpul dan pedagang besar... 32

8 Tingkat pendidikan dan pengenalan istilah aflatoksin ... 34

9 Suhu ruang ruang penyimpanan dan aktivitas air jagung di tingkat petani, pedagang pengumpul dan pedagang besar ... 35

10 Persentase biji rusak hasil pengujian organoleptik ... 35

11 Koefisien korelasi dan koefisien signifikans variabel bebas terhadap kadar aflatoksin di tingkat petani, pedagang pengumpul dan pedagang besar ... 37

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Struktur bangun kimia (a) aflatoksin B1, (b) aflatoksin B2, (c)

aflatoksin G1 dan (d) aflatoksin G2 ... 6

2. Alur pemasaran jagung propinsi Jawa Timur ... 12

3. Pengambilan sampel dalam karung ... 16

4. Elisa reader yang terhubung dengan personal computer ... 16

5. Pengabuan dalam tanur ... 17

6. Alur tataniaga jagung ... 27

7. Kadar air jagung di tingkat petani ... 29

8. Kadar air jagung di tingkat pedagang pengumpul ... 29

9. Kadar air pada jagung di tingkat pedagang besar ... 30

10.Kandungan aflatoksin di tiga tingkatan pengelola pascapanen ... 31

11.Hubungan kadar air dengan kandungan aflatoksin di tingkat pedagang pengumpul... 38

12.Hubungan bahan organik dengan kandungan aflatoksin di tingkat pedagang pengumpul ... 40

13.Hubungan bahan organik dengan kandungan aflatoksin di tingkat pedagang besar ... 44

14.Tempat pengeringan di pintu masuk rumah ... 45

15.Kerusakan jagung karena alat pemipil ... 46

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Bentuk kuesioner di tingkat petani ... 57

2. Bentuk kuesioner di tingkat pedagang pengumpul ... 58

3. Bentuk kuesioner di tingkat pedagang besar... 59

4. Hasil kuesioner pada tingkat petani ... 60

5. Hasil kuesioner pada tingkat pedagang pengumpul ... 62

6. Hasil kuesioner pada tingkat pedagang besar ... 64

7. Hasil pengujian kadar air, kadar abu, bahan organik, kandungan aflatoksin, persentase biji rusak, nilai Aw dalam bijian dan nilai Aw dalam giling sampel jagung dari petani ... 66

8. Hasil pengujian kadar air, kadar abu, bahan organik, kandungan aflatoksin persentase biji rusak, nilai Aw dalam bijian dan nilai Aw dalam giling sampel jagung dari pedagang pengumpul ... 67

9. Hasil pengujian kadar air, kadar abu, bahan organik, kandungan aflatoksin persentase biji rusak, nilai Aw dalam bijian dan nilai Aw dalam giling sampel jagung dari pedagang besar ... 68

10.Koefisien korelasi antar variabel di tingkat petani ... 69

11.Regresi dan Anova di tingkat petani ... 70

12.Koefisien korelasi antar variabel di tingkat pedagang pengumpul ... 72

13.Regresi dan ANOVA variabel bahan organik di tingkat pedagang pengumpul ... 73

14.Regresi dan ANOVA variabel kadar air di tingkat pedagang pengumpul ... 75

(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Jagung merupakan sumber energi, dengan kandungan karbohidrat/pati sebesar 64%. Sampai saat ini industri-industri pakan ternak unggas masih berbasis corn-soya. Produksi jagung dalam negeri belum bisa mencukupi kebutuhan dalam negeri, sehingga harus mengimpor. Pada periode 1990 – 2001, penggunaaan jagung impor sebagai bahan baku industri pakan meningkat tajam dengan laju sekitar 11.81% per tahun. Mulai tahun 1994 ketergantungan pabrik pakan terhadap jagung impor sangat tinggi, sekitar 40.29% dan pada tahun 2000 mencapai 47.04%, sementara 52.96% sisanya berasal dari jagung produksi dalam negeri (Deptan 2005).

Di Indonesia dan negara-negara penghasil jagung lainnya memiliki permasalahan dalam pengolahan pascapanen, karena jagung mudah terkontaminasi oleh cendawan, khususnya Aspergillus flavus, dan A. parasiticus, yang dapat menghasilkan metabolit sekunder berupa aflatoksin. Aflatoksin selain terdapat pada jagung juga ditemukan pada kacang tanah, kedelai, beras, kopi dan komoditas hasil pertanian lainnya. Senyawa aflatoksin dapat menimbulkan gangguan baik pada hewan maupun manusia, karena bersifat karsinogenik, sebagaimana telah ditetapkan oleh IARC (International Agency Research on Cancer) pada tahun 1988 bahwa aflatoksin merupakan bahan karsinogenik kelas I (Kennedy 2003).

(18)

Ada beberapa tahapan dalam proses pengelolaan jagung sebagai hasil pertanian mulai dari pemanenan, pemetikan hingga ke pedagang besar. Adapun tahapan-tahapan tersebut adalah (1) pemetikan, (2) pengeringan di tingkat petani, (3) pengangkutan ke pedagang pengumpul, (4) penyimpanan dan (5) pengangkutan di pedagang besar. Oleh karena di setiap tahapan pengelolaan tersebut berpotensi untuk terkontaminasi oleh aflatoksin, maka perlu diketahui titik-titik kritis terjadinya kontaminasi aflatoksin agar dapat diambil kebijakan yang tepat untuk mencegah atau menekan kontaminasi aflatoksin. Hal ini juga diatur pada Codex Alimentarius Commission pada Codex Task Force On Animal Feeding appendix II bahwa pakan dan bahan baku pakan harus dijaga kestabilan kondisinya dari kontaminasi oleh hama pengganggu (pest), kimia, fisik atau mikroorganisme baik pada saat produksi, penanganan, penyimpanan maupun transportasi (CAC 2003). Pakan yang diterima harus dalam kondisi sesuai standar kualitasnya.

Di Indonesia, batas maksimal kadar aflatoksin pada pakan telah diatur berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI 1995). Batas maksimal kadar aflatoksin pada ransum ayam ras petelur adalah 50 ppb untuk layer starter/anak dan layer grower/dewasa dan 60 ppb pada layer/masa bertelur, pada ransum ayam ras pedaging/broiler starter adalah 50 ppb, dan 60 ppb pada broiler finisher, pada ransum babi adalah 50 ppb, pada pakan puyuh adalah 40 ppb, pada itik adalah 20 ppb dan pada ransum konsentrat sapi perah dan sapi potong 200 ppb.

Permasalahan yang ditemukan dalam regulasi pakan (pengawasan mutu pakan) Departemen Pertanian disebabkan oleh batas kadar maksimal aflatoksin pada pakan belum berlaku wajib, masih bersifat sukarela (volunteer). Oleh karena itu perlu data diskriptif kandungan aflatoksin di tingkat petani, pedagang pengumpul dan pedagang besar dan titik kritis peningkatan aflatoksin selama proses pengelolaan pascapanen dengan mengambil kasus di daerah Kabupaten Garut yang merupakan daerah pemasok jagung terbesar di Jawa Barat. Diharapkan data tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu bahan pertimbangan untuk regulasi aflatoksin pada pakan di Indonesia.

(19)

Seluruh aktivitas ini memerlukan air dalam bentuk cair. Pengurangan aktivitas air atau kelembaban relatif keseimbangan (HRs) akan memperlambat aktivitas metabolisme dan membatasi jasad renik. Pengeringan bahan pangan (hasil pertanian) sampai suatu tingkat kadar air atau aw yang aman untuk disimpan

sangat diperlukan (Syarief et al. 2003). Pertumbuhan cendawan pada komoditas hasil pertanian selama pengelolaan pascapanen ditentukan oleh beberapa faktor antara lain keutuhan biji, kadar air, temperatur, aerasi dan substrat alamiahnya. Diantara faktor-faktor tersebut, kadar air secara jelas merupakan faktor dominan (Lillehoj 1986).

Tujuan

1. Membuat diskripsi ilmiah kadar aflatoksin pada jagung dari tingkat petani, pedagang pengumpul dan pedagang besar.

2. Mempelajari titik-titik kritis (critical points) peningkatan aflatoksin pada jagung selama pengelolaan pascapanen.

3. Mendapatkan pengetahuan tentang tingkat keeratan hubungan antar variabel bebas (kadar air, kadar abu, bahan organik, persentase biji rusak aktivitas air dalam bentuk giling dan aktivitas air dalam bentuk biji) dengan variabel terikat (kandungan aflatoksin) dan tingkat keeratan antar variabel bebas.

4. Mendapatkan persamaan regresi ganda untuk memprediksi kadar aflatoksin pada jagung dengan menggunakan variabel kadar air, kadar abu, bahan organik, pengamatan organoleptik (persentase biji rusak), aktivitas air dalam bentuk giling dan aktivitas air dalam bentuk biji.

Manfaat

(20)

2. Diperoleh data kadar aflatoksin dan parameter lainnya pada jagung yang dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi dalam pengolahan pascapanen. 3. Jika terdapat tingkat korelasi yang signifikan dan dapat disusun persamaan

(21)

TINJAUAN PUSTAKA

Aflatoksin

Aflatoksin adalah salah satu senyawa toksik yang dihasilkan terutama oleh cendawan Aspergillus flavus dan A. parasiticus. Secara terminologi aflatoksin, berasal dari kata Ayang diambil dari kata Aspergillus dan fla dari kata flavus dan kata toksin (toxin) menunjukkan racun, karena pada mulanya racun ini ditemukan pada cendawan A. flavus. Aflatoksin secara kimiawi termasuk derivat kumarin dan merupakan toksin yang dihasilkan oleh cendawan (mikotoksin).

Mikotoksin merupakan metabolit sekunder dari cendawan tertentu yang mempunyai kerja toksik terhadap hewan-hewan berderajat tinggi dan manusia (Schlegel 1994). Menurut Leeson dan Summers (2001), metabolit primer adalah metabolit yang dihasilkan oleh cendawan untuk pembentukan biomassa dan membangkitkan energi untuk keperluan metabolisme primer, sedangkan metabolit sekunder biasanya terbatas pada spesies tertentu (strain tertentu) dan dihasilkan setelah fase pertumbuhannya stabil dan biasanya bersamaan dengan perubahan bentuk seperti sporulasi. Metabolit sekunder termasuk pigmen dan senyawa aktif yang mampu melawan mikroorganisme (antibiotika), tumbuhan (fitotoksin) atau hewan/manusia (mikotoksin).

Cendawan yang menghasilkan aflatoksin adalah cendawan dari kelas Ascomycetes (cendawan pipa) seperti A. flavus, A. parasiticus, A. oryzae dan cendawan lain yang dapat menyerang semua bahan makanan (kacang tanah, padi-padian, buah yang mengandung minyak, bahan pakan). A. candidus dan A. flavus mampu menghasilkan aflatoksin selama penyimpanan biji-bijian karena suhu pertumbuhannya bisa mencapai 50 ºC sampai 55ºC (Syarief et al. 2003).

Aflatoksin ditemukan pada tahun 1960, setelah terjadi kematian kalkun sebanyak 100 000 ekor di Inggris, dan tingginya kejadian penyakit hati pada bebek di Kenya dan budidaya ikan trout di Amerika Serikat. Ilmuwan Inggris segera melakukan penelitian dan ternyata wabah penyakit tersebut disebabkan oleh racun dari cendawan A. flavus dan A. parasiticus (Pitt 1989).

(22)

metabolit produk dari aflatoksin yakni M1 dan M2. Menurut Mariane (1987),

rumus kimia untuk 4 jenis aflatoksin adalah C17H12O6 (aflatoksin B1), C17H14O6

(aflatoksin B2), C17H12O7, (aflatoksin G1) dan C17H14O7 (aflatoksin G2). Struktur

kimiawi berinduk pada cincin kumarin yang kemudian mengikat inti furan di dekatnya menjadi bentuk furan tak jenuh sebagai bisfuran, dengan struktur bangun kimia yang dapat dilihat di Gambar 1.

Gambar 1 Struktur bangun kimia (a) aflatoksin B1, (b) aflatoksin B2,

(c) aflatoksin G1dan (d) aflatoksin G2.

Aflatoksin B1 merupakan senyawa yang berpotensi sebagai hepatotoksin

(23)

Menurut Diener dan Davis (1969), spesies cendawan penghasil aflatoksin dan jenis aflatoksinnya seperti pada Tabel 1.

Tabel 1 Spesies cendawan penghasil aflatoksin dan jenis aflatoksin* Jenis Aflatoksin

No Cendawan

B1 B2 G1 G2

1 Aspergillus flavus L L L L

2 A. flavus var. columnaris - L -

-3 Aspergillus orizae L L L L

4 Aspergillus parasiticus L L L L

5 A. parasiticus var. globosus L L L L

6 Aspergillus niger L - -

-7 Aspergillus wentii L - -

-8 Aspergillus rubber L - -

-9 Aspergillus ostianus L - L

-10 Aspergillus ocraceus L - -

-11 Penicillium variabel L - -

-12 Penicillium citrinum L - -

-13 Penicillium frequentans L - -

-14 Rhizopus sp L - L

-*

: menghasilkan - : tidak menghasilkan

Keberadaan kapang toksigenik pada bahan pangan atau pakan tidak secara otomatis menandakan bahwa mikotoksin juga terdapat pada bahan tersebut. Hal ini terjadi karena produksi mikotoksin dipengaruhi oleh ketersediaan nutrien, faktor lingkungan seperti suhu dan kelembaban (Bahri & Maryam 2004)

(24)

Aspergillus spp

A. flavus merupakan cendawan yang bersifat thermotoleran, maka seperti cendawan atau bakteri lainya yang tahan hidup pada temperatur tinggi dan dalam kondisi kering. Cendawan dalam musim dingin terdapat dalam tanah dan populasi meningkat selama musim panas. Cendawan menyebar dibantu dengan angin dan serangga. Cendawan berkembang dalam klobot dan masuk ke dalam biji jagung. Kerusakan biji jagung oleh serangga merupakan faktor predisposisi biji terserang cendawan. Tumbuhan yang stress mudah terserang cendawan. Usaha untuk mengontrol serangan cendawan dapat menggunakan irigasi untuk mencegah stres dari tumbuhan dan pengolahan tanah untuk mengurangi inokulasi (Shafey et al. 1999).

Penelitian dan Monitoring Aflatoksin di Indonesia

Data hasil penelitian dan monitoring dari proyek FAO (Food Agricultural Organisation) “Inter Country Cooperation in Post Harvest Technology and Quality Control of Grains” yang dilaksanakan pada 13 negara Asia diperoleh data bahwa rata–rata kadar aflatoksin pada jagung di Sulawesi Utara secara signifikan lebih tinggi dibandingkan provinsi lainnya, walaupun rata-rata aflatoksin di luar Sulawesi Utara di atas 100 ppb. Jagung merupakan makanan pokok kedua di beberapa daerah di Indonesia (seperti Sulawesi Selatan, dimana konsumsi per kapita untuk setiap hari 300–500 gram).

(25)

Pengaruh Aflatoksin pada Hewan dan Manusia

Pengaruh aflatoksin pada hewan sangat bervariasi tergantung dosis, lamanya terpapar aflatoksin, spesies ternak, jenis ternak dan status ternak. Hewan akan mati jika mengkonsumsi dalam dosis tinggi dan dalam sublethal dosis akan menunjukkan keracunan kronis dan dalam dosis rendah menyebabkan kanker terutama kanker hati pada beberapa spesies hewan. Hewan yang peka terhadap aflatoksin adalah hewan kelas ikan, aves (bebek, kalkun, ayam, dan burung puyuh) dan mamalia seperti babi muda, babi bunting, anjing, kucing, sapi, dan domba (Siriacha 1999). Menurut Loy dan Wright (2003) aflatoksin dalam konsentrasi toksik dalam jagung apabila dimakan ternak akan menimbulkan gejala yang bervariasi seperti muntah-muntah, gangguan pertumbuhan, penurunan kekebalan terhadap infeksi, kegagalan reproduksi, cacat lahir dan kanker.

Aflatoksin bersifat teratogenik dan mutagenik, perubahan teratologi ini merupakan bentuk yang masih ringan tetapi secara keseluruhan anak ayam yang mendapatkan perlakuan aflatoksin B1 memperlihatkan kondisi yang lebih lemah

walaupun masih dapat menetas. Pemberian aflatoksin B1pada telur ayam bertunas

umur 5 hari akan mempengaruhi perkembangan, kehidupan dan daya tetas embrio. Semakin tinggi dosis yang diberikan akan semakin banyak embrio yang mati, dimana telur tidak bisa menetas pada pemberian 125 ng. Pemberian aflatoksin B1menyebabkan kelainan morfologi embrio berupa kelainan pada kaki,

pertumbuhan terhambat, malabsorbsi kuning telur dan pendarahan pada embrio (Bahri et al. 2005).

Manusia terkena aflatoksin jika mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi oleh cendawan penghasil aflatoksin. Ugur dan Ilhan (2002) menyatakan bahwa aflatoksin dapat menimbulkan mutasi genetik dengan cara merubah struktur DNA pada sel hati, dimana aflatoksin teroksidasi membentuk epioksid dan akan bereaksi dengan DNA dan terbentuk N7 Guanin. Akibat dari mutasi gen tersebut menimbulkan efek kronis bagi yang memakan makanan yang tercemar aflatoksin.

(26)

Primary Liver Cancer (PLC) merupakan penyakit salah satu penyebab kematian oleh kanker di Asia dan Afrika. Penelitian telah dilakukan di penduduk Republik Rakyat China/RRC, Thailand, Philiphina, Kenya, Swaziland, Mozambique, dan Uganda, ditemukan bukti keterlibatan konsumsi aflatoksin terhadap penyebab PLC. Salah satu variabel pokok dalam penelitian tersebut adalah variabel dari infeksi virus hepatitis B kronis dimana menyebabkan kanker dipengaruhi oleh aflatoksin (Siriacha 1999)

Jagung

Jagung dibawa ke Indonesia oleh bangsa Portugis dan Spanyol pada awal abad 16, yang sedang menjelajah dari Amerika melewati Eropa, India, dan China (Sarono et al. 1999). Jagung berasal dari Meksiko dan menyebar ke utara ke Kanada dan ke selatan ke Argentina. Nenek moyang jagung adalah Teusinte /Zea mexicana. Dengan adanya penjelajahan orang Eropa ke benua Amerika jagung menyebar ke Eropa, Afrika dan Asia (Farnham 2003).

Tanaman jagung termasuk anggota famili Gramineae. Jumlah buah jagung antara 1–2 buah per batang dan dalam setiap buah jagung dapat ditemukan 300 sampai 1 000 biji jagung. Jagung adalah tanaman musim panas. Paling banyak di lapangan ditemukan bahwa umur jagung adalah 130–140 hari. Tumbuhan jagung membutuhkan sinar matahari langsung dan tidak tumbuh dengan baik jika di bawah naungan (Farnham 2003).

Jagung dipanen dalam keadaan matang, mengandung kadar air 22%–25% dan dikeringkan secara buatan mencapai 15%–16% untuk disimpan dan dijual (Stanley 2003). Jagung dalam matang fisiologis masih dalam kadar air tinggi (diatas 35%), dan terjadi pengeringan jika dibiarkan tetap tinggal di batang, hanya saja mudah diserang oleh serangga dan cuaca. Keamanan selama penyimpanan tergantung pada kondisi biji, jenis, kondisi penyimpanan dan iklim. Biji jagung dapat disimpan lebih dari satu tahun jika kadar air 13% (Watson 2003).

(27)

pada jagung dan kacang tanah, kadar aflatoksin relatif rendah pada bungkil kedelai, aflatoksin tidak selalu ditemukan pada kopra dan tepung kopra dan aflatoksin tidak ditemukan pada lada hitam dan lada putih.

Aktivitas Air

Aktivitas air (aw) merupakan kosep fisika-kimia, pertama kali dikenalkan

oleh seorang ahli mikrobiologi, Scott (1957). Aktivitas air merupakan perhitungan hubungan secara efektif antara kadar air dalam makanan dengan kemampuan mikroorganisme untuk tumbuh di dalamnya. Aktivitas air dapat dihitung dengan perbandingan :

aw = p/p0

dimana p : tekanan parsial uap air pada material yang diuji p0: tekanan jenuh air dalam kondisi yang sama.

Aktivitas air secara angka sama dengan kelembaban relatif seimbang (equilibrium relative humidity) dalam bentuk desimal (Pitt dan Hocking 1997).

Pertumbuhan dan aktivitas metabolisme jasad renik membutuhkan air untuk mengangkut zat-zat gizi atau bahan-bahan limbah kedalam dan keluar sel. Seluruh aktivitas ini memerlukan air dalam bentuk cair. Air yang mengalami kristalisasi dan membentuk es atau air yang terikat secara kimiawi dalam larutan gula atau garam tidak dapat digunakan oleh jasad renik. Pengurangan aktivitas air atau kelembaban relatif keseimbangan (HRs) akan memperlambat aktivitas

metabolisme dan mengatasi pertumbuhan. Titik kritis ambang batas toleransi minimum pertumbuhan cendawan dan khamir adalah pada nilai aw sekitar 0.62 (Syarief et al. 2003).

Faktor ekologis yang mempengaruhi pertumbuhan cendawan adalah aktivitas air (aw) dan kadar air, suhu, substrat, O2, CO2, interaksi mikrob,

kerusakan mekanis, infestasi serangga, jumlah spora dan lama penyimpanan. Jumlah air bebas yang dibutuhkan oleh cendawan untuk pertumbuhannya ditetapkan oleh aktivitas air (aw). Semua cendawan termasuk yang toksigenik

mempunyai aw minimum, optimum dan maksimum untuk pertumbuhannya.

Aktivitas air 0.70 merupakan aw minimum pembentukan koloni semua spesies

(28)

Alur Penjualan

Menurut Sarono et al. (1999) alur penjualan jagung di Jawa Timur pada tahun 1986, digambarkan pada Gambar 2.

Gambar 2 Alur pemasaran jagung di Provinsi Jawa Timur.

Pedagang membeli jagung dari petani kemudian dijual ke kolektor dan kolektor menjual ke pedagang besar, kadang kala beberapa kolektor membeli langsung ke petani. Jagung dibeli masih dalam keadaan tertanam tegak di ladang. Pedagang maupun kolektor mengestimasi volume produksi jagung di ladang dan membayar sesuai harga pasar saat itu, biasanya pedagang maupun kolektor menanggung biaya pemanenan dan petani mendapatkan tugas untuk pengeringan. Pedagang besar kemudian menjual ke industri makanan, industri pakan, industri tepung jagung untuk bahan tambahan kopi, dan kadangkala dijual langsung ke peternak. Di beberapa tempat pedagang maupun kolektor menyediakan benih maupun pinjaman untuk menjamin bahwa jagungnya akan dijual ke mereka.

Ternak utama yang mengkonsumsi jagung dalam pakannya adalah ternak unggas, babi dan sapi perah. Industri ternak unggas mulai tumbuh sejak 1975 dengan dibukanya impor bibit unggul dan dibukanya kesempatan investasi baik PMDN maupun PMA. Berkat kebijakan ini, industri pembibitan dan industri

PABRIK PAKAN INDUSTRI TEPUNG JAGUNG SEBAGAI BAHAN TAMBAHAN

PEDAGANG BESAR PETERNAKAN

PENGUMPUL

PEDAGANG LANGSUNG KE PETANI

PETANI

(29)

pakan ternak unggas. Konsumsi jagung untuk industri pakan ternak meningkat dari sekitar 1.1 juta ton pada tahun 1990, menjadi 3.3 juta ton pada tahun 1996 dan meningkat menjadi 7.8 juta ton pada tahun 2000 (Erwidodo et al. 2003).

Pemerintah tidak memiliki program pembelian jagung untuk menstabilkan harga, tidak seperti pada beras. Pemasaran jagung di biarkan sesuai pasar bebas, sehingga harga tidak stabil. Kelompok tani lemah dalam kegiatan pemasaran, sehingga daya pengaruhnya juga lemah (Sarono et al. 1999).

Penyimpanan

Proses penyimpanan merupakan salah satu pemrosesan pasca panen dari bahan-bahan pertanian. Banyak faktor yang mempengaruhi kerusakan hasil pertanian pasca panen. Menurut Bala (1997) faktor-faktor tersebut dapat dikelompokan menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Komposisi kimiawi, sifat karakteristik biji-bijian hasil pertanian merupakan faktor internal, sedangkan faktor eksternal masih dapat dibagi menjadi faktor fisik (temperatur dan kelembaban), kimiawi (kadar oksigen, kadar karbondioksida), biologis (bakteri, jamur, serangga, hewan pengerat) dan manusia (metode penanganan, sistem penyimpanan, pengangkutan, desinfeksi dan sebagainya).

Hal yang tidak menguntungkan dalam penyimpanan adalah hilangnya nutrien atau zat-zat tertentu yang dibutuhkan baik oleh ternak maupun manusia selama proses penyimpanan. Ada dua variabel penting dalam penyimpanan yaitu suhu ruang dan kadar air (Bala 1997). Suhu optimum dan waktu memproduksi aflatoksin oleh A. flavus adalah 25°C dalam waktu 7–9 hari, suhu 30°C dalam waktu 5–7 hari dan pada suhu 20°C dibutuhkan waktu 11–13 hari. A. parasiticus memproduksi aflatoksin B1 pada suhu 30°C sampai 35°C, dan memproduksi G1

(30)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di daerah penghasil jagung di Provinsi Jawa Barat yaitu di Kabupaten Garut dimulai dari Oktober 2006 sampai Mei 2007. Pemilihan lokasi Kabupaten Garut berdasarkan data bahwa Kabupaten Garut merupakan Kabupaten penghasil jagung terbesar di Provinsi Jawa Barat dan memiliki nilai produktivitas paling tinggi (Deptan 2005).

Bahan dan Alat

Bahan kimia yang dipakai adalah metanol dan akuades. Alat yang digunakan untuk pengujian kadar aflatoksin, kadar air, aktivitas air, kadar abu dan organoleptik adalah timbangan analitik, vochdoos, oven, aw meter,

multichannel pipet, sentrifuse, tanur, ELISA Kit, Elisa reader dan sebagainya. Peralatan gelas yang digunakan adalah labu erlemeyer, crusibel, beker glass, tabung sentrifuse dan lain-lainnya.

Metode Sampling

(31)

Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel menggunakan metode pengambilan contoh padatan menurut SNI 19-0428-1998 yang dibedakan untuk sampel dalam hamparan dan sampel dalam karung/kemasan.

1. Sampel dalam hamparan

Sampel diambil dengan sekop yang bersih dari beberapa sudut dan tengah sehingga diperoleh sampel primer. Sampel-sampel tersebut selanjutnya dikomposit, sehingga diperoleh sampel sekunder. Sampel kemudian diratakan pada tempat yang bersih dan dibagi empat dengan kayu pembagi, diambil sampel yang terletak pada sudut berlawanan. Sampel yang diambil kemudian diratakan dan dibagi lagi menjadi empat bagian dan diambil dari sudut yang berlawanan, demikian seterusnya hingga diperoleh bobot sampel laboratorium 300 gram. 2. Sampel dalam karung/kemasan

Jumlah karung yang diambil sampelnya dari seluruh karung yang ada, sesuai SNI 19-0428-1998 sebagaimana Tabel 2. Sampel diambil dari beberapa titik (sudut kanan dan kiri baik atas dan bawah dan bagian tengah) dengan menggunakan probe, sehingga diperoleh sampel primer. Sampel primer dikomposit, kemudian sampel diratakan pada tempat yang bersih dan dibagi empat dengan kayu pembagi, diambil sampel yang terletak pada sudut berlawanan. Sampel yang diambil kemudian diratakan dan dibagi lagi menjadi empat bagian dan diambil dari sudut yang berlawanan, demikian seterusnya hingga diperoleh bobot sampel laboratorium 300 gram.

Tabel 2 Jumlah karung yang diambil sampel

Jumlah contoh (karung) Jumlah contoh yang diambil (karung)

s/d 10 Semua contoh

11 – 25 5

26 – 50 7

51 – 100 10

(32)

Gambar 3 Pengambilan sampel dalam karung. Metode Pengujian ELISA

Jenis uji ELISA yang digunakan adalah kompetisi langsung (Direct Competitive), dengan menggunakan Kit aflatoksin (Balitvet). Sampel diekstraksi dengan metanol 60%, kemudian hasil ekstraksi sampel dicampur dengan konjugat enzim (Aflatoxin B1-Horse Raddish Peroxidase), kemudian dimasukan ke dalam plat mikro yang sudah dilapisi antibodi. Selanjutnya konjugat enzym yang tidak berikatan dengan antibodi dicuci dengan akuades dan enzim yang mengikat antibodi pada plat mikro dengan penambahan substrat akan membentuk warna. Dengan menggunakan ELISA reader pada panjang gelombang 450 nm intensitas warna tersebut diukur untuk mengetahui kadar aflatoksin. Semakin tinggi intensitas cahayanya semakin rendah kadar aflatoksinnya.

Gambar 4 Elisa reader yang terhubung dengan personal computer. Metode Pengujian Kadar Air

(33)

dinginkan dalam desikator dan ditimbang (W1). Sampel jagung yang sudah digiling dengan berat 2 gram (W) dimasukkan dalam vochdoos, dan dikeringkan dalam oven pada suhu 105SC selama 3 jam. Sampel dalam vochdoos didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang sampai berat tetap (W2). Kadar air ditentukan dengan rumus :

% Kadar air = (W1 + W) – W2 X 100%

W Metode Pengujian Kadar Abu

Pengujian kadar abu dengan metode Tanur (SNI 01-2891-1992 butir 6). Crusibel kosong dimasukkan dalam tanur pada suhu 550SC selama 1 jam, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang (W1). Sampel ditimbang dengan bobot 2 gram (W) dimasukkan dalam crusibel kosong dan dibakar selama 45 menit, kemudian dimasukkan dalam tanur pada suhu 550SC selama 4 jam. Setelah waktu dalam tanur tercapai sampel didinginkan dalam desikator dan ditimbang (W2). Kadar abu ditentukan dengan rumus :

% Kadar abu = (W2 – W1) X 100%

W

Gambar 5 Pengabuan dalam tanur. Metode Pengujian Bahan Organik

(34)

Metode Pengujian Aktivitas Air (aw)

Pengukuran aktivitas air menggunakan alat aw meter. Alat dikalibrasi

dengan memasukkan cairan BaCl2 2 H2O dan ditutup dibiarkan selama 3 menit

sampai angka pada skala pembacaan menjadi 0.9. Aw meter dibuka dan sampel

dimasukkan dan alat ditutup ditunggu hingga 3 menit, dan setelah 3 menit skala aw dibaca dan dicatat, perhatikan skala temperatur dan faktor koreksi. Jika skala

temperatur di atas 20SC, maka pembacaan skala aw ditambahkan sebanyak

kelebihan temperatur dikalikan faktor koreksi sebesar 0.002S, begitu pula dengan temperatur di bawah 20SC.

Metode Pengujian Organoleptik

Pengujian organoleptik berdasarkan SNI 01-4483-1998. Sampel ditimbang 100 gram (a), kemudian dipisahkan antara biji utuh dengan biji jagung yang rusak (retak, biji patah, biji keriput, biji berubah warna, biji terserang serangga dan cendawan). Biji jagung rusak ditimbang (b) dalam gram. Persentase biji rusak dapat dihitung dengan rumus :

% biji rusak = b X 100%

a Analisis Data

Metode analisis kandungan aflatoksin pada tingkat petani, pedagang pengumpul dan pedagang besar menggunakan statistik deskriptif, yaitu dengan menyajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Statistik deskriptif adalah bidang statistik yang menerangkan cara atau metode pengumpulan, menyederhanakan dan menyajikan data, sehingga dapat memberikan informasi (Mattjik & Sumertajaya 2002).

(35)

ditentukan oleh nilai aflatoksin (X), rata-rata nilai aflatoksin (X), nilai variabel bebas (Y) dan rata-rata nilai variabel bebas (Y), dengan rumus:

r = . T(X – X) (Y – U) _

LT (X – X)2 T(Y – U)2

Koefisien korelasi juga diukur diantara variabel bebas untuk mengetahui keeratan hubungan antar variabel bebas.

Untuk mengukur tingkat signifikan dari koefisien korelasi dapat menggunakan nilai probabilitas (p) atau uji t. Jika nilai probabilitas lebih kecil dari 0.05 (p<0.05) maka koefisien korelasi signifikan pada tingkat kepercayaan 95%. Jika nilai t hitung lebih besar daripada t tabel maka koefisien korelasi signifikan sesuai pada tingkat kepercayaan tabel yang digunakan. Rumus t hitung yang digunakan adalah sebagai berikut :

t =. r .

L(1 – r2)/(n – 2)

Dengan menggunakan SPSS 13.0 pada out put secara otomatis menampilkan nilai probabilitas (Budi 2006).

Hubungan variabel bebas yang memiliki signifikansi pada tingkat kepercayaan 95% dilakukan analisis sidik ragam (uji F) untuk menguji hipotesis : H0 : Model linear variabel bebas yang diuji dengan kandungan aflatoksin tidak

signifikan.

H1 : Model linear antara variabel bebas yang diuji dengan kandungan aflatoksin

signifikan.

Jika F hitung lebih besar daripada F tabel, maka H0 ditolak tetapi jika F hitung lebih kecil daripada F tabel H0diterima.

Variabel yang memiliki model linear yang signifikan dilakukan uji regresi berganda untuk memperoleh persamaan regresi, sehingga dapat diprediksi kandungan aflatoksin oleh variabel bebas. Rumus persamaan regresi berganda adalah sebagai berikut :

Y = a + b1.X1+ b2.X2 + b3.X3 + b4.X4 + b5.X5 + b6.X6 Y = Kadar aflatoksin (ppb)

a = intersep

(36)

b3 = koefisien regresi untuk variabel bahan organik b4 = koefisien regresi untuk persentase biji rusak b5 = koefisien regresi untuk aktivitas air dalam giling b6 = koefisien regresi untuk aktivitas air dalam biji X1 = kandungan kadar air (%)

X2 = kandungan kadar abu (%) X3 = kandungan bahan organik (%) X4 = persentase biji rusak (%) X5 = aktivitas air dalam giling X6 = aktivitas air dalam biji

Apabila diantara variabel bebas terdapat korelasi yang cukup tinggi (multikolinear), maka salah satu variabel dibuang dalam regresi linear berganda. Persamaan regresinya menggunakan persamaan regresi tunggal (Steel dan Torrie 1995). Koefisien determinasi (R2) sebagai ukuran untuk menyatakan kecocokan garis regresi yang diperoleh, semakin besar nilai R2 maka semakin kuat kemampuan model regresi yang diperoleh untuk menerangkan kondisi sebenarnya.

Jika disajikan dalam analisis ragam (Anova) regresi adalah sebagai berikut : Sumber Jumlah kuadrat Derajat

bebas

Kuadrat tengah F hitung Regresi

JKR k - 1 KTR = JKR / (k - 1) KTR/KTE

Sisaan JKE n - k KTE = JKE / (n – k)

(37)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Kuesioner

Dalam menanam jagung sebagian besar sudah menggunakan benih hibrida yakni sebesar 89%, sedangkan benih lokal mencapai 8% dan komposit 3%. Penggunaan benih hibrida ini meningkatkan produktivitas hasil panen (Tabel 3). Lahan yang digunakan sebagian besar merupakan lahan kering (76% dari responden) sedangkan sisanya merupakan lahan basah (24% dari responden). Kondisi lahan ini menyebabkan dalam menanam jagung sangat tergantung pada air hujan, sehingga pola tanamnya hanya satu kali/tahun (64% dari responden), dua kali/tahun (33% dari responden) dan tiga kali/tahun (3% dari responden). Lahan kering ini menyebabkan penanaman dimulai pada saat musim hujan tiba. Setelah panen sebagian petani menanam jagung lagi, tetapi hasil panen sangat tergantung pada curah hujan. Jika curah hujan cukup maka hasil panen bagus tetapi jika curah hujan rendah (musim hujan pendek) hasil panen tidak memuaskan, dengan bahasa daerah penanaman kedua disebut morat.

Budidaya jagung di lahan basah dapat air sepanjang waktu, sehingga penanaman jagung dapat setiap saat tergantung pada pola tanam. Menurut Deptan (2005) menyatakan bahwa penanaman jagung di Indonesia secara nasional 57% pada musim hujan (MH), 24% pada musim kemarau I (MKI) dan 19% pada musim kemarau II (MKII). Pada musim hujan jagung umumnya diusahakan pada lahan kering, sedangkan pada musim kemarau pada sawah tadah hujan dan sawah irigasi.

(38)

Tabel 3 Budidaya jagung oleh petani*

No Materi % Responden

1 Varietas jagung yang ditanam : b. Lokal 2 Sistem kepemilikan tanah :

a. Sendiri

c. Daun dan rambut jagung kering d. Jumlah hari

75 13 10 2 6 Sistem pemetikan :

a. Petik segar b. Petik kering

86 14 7 Ditemukan jagung rusak saat panen :

a. Ya 8 Bentuk kerusakan jagung yang ditemukan :

a. Perubahan warna biji b. Biji berlubang

(39)

Budidaya dan pengelolaan pascapanen masih berdasarkan kebiasaan-kebiasaan yang biasa dilakukan dari generasi ke generasi, walaupun kebiasaan-kebiasaan tersebut tidak berarti salah. Beberapa pengelolaan yang biasa dilakukan dan tepat seperti pemilihan bibit yang unggul (hibrida), sistem pemetikan segar, pemilihan buah matang, dan penyimpanan dalam ruang (rumah atau gudang).

Jagung rusak dapat ditemukan oleh petani ketika panen, dengan persentase responden menjawab ya 57%, kadang-kadang 32% dan tidak 11%. Bentuk kerusakan adalah perubahan warna biji, biji berlubang, biji jarang dan berjamur. Bentuk kerusakan ini merupakan peluang cendawan masuk dalam biji jagung dan berkembang biak. Jagung yang rusak tersebut oleh sebagian besar petani (72% dari responden) tidak disortasi, sehingga memudahkan penyebaran spora cendawan. FAO (1979) merekomendasikan bahwa untuk menekan mikotoksin, maka biji – bijian hasil pertanian yang belum dewasa, berubah warna biji dan biji rusak dipisahkan dari biji-bijian yang baik. Pitt (1989) menyatakan bahwa A. flavus mampu tumbuh dalam aktivitas air rendah dan pada saat prapanen, saat panen dan penyimpanan. A. flavus bukan hanya cendawan pascapanen tetapi juga termasuk cendawan lapangan, yakni mampu menyerang jagung tidak hanya di penyimpanan tetapi dapat menyerang jagung sejak dalam budidaya tanaman sebelum panen.

(40)

Tabel 4 Sistem pembelian pedagang pengumpul dan pedagang besarX

Materi % Responden

Pedagang pengumpul

Pedagang besar Alat transportasi dalam pembelian :

a. Buruh Alat transportasi dalam penjualan :

a. Pick up b. Truk

c. Truk, fuso dan tronton d. Fuso dan tronton

42 Jagung yang dibeli dalam bentuk :

a. Tebasan b. Jagung utuh

c. Pipil setengah kering d. Pipil kering Menggunakan alat ukur kadar air dalam

pembelian : Dalam pembelian ditemukan jagung yang rusak:

a. Ya Melakukan sortasi/pemisahan terhadap kualitas

jagung :

c. Industri pakan ternak

75

Jumlah responden 21 orang

(41)

alat transportasi tenaga buruh (38% dari responden), sepeda motor (25% dari responden), pick up (18%), truk (12% dari responden) dan gerobak (6%).

Alat transportasi pedagang besar menggunakan pick up (kapasitas 3–4 ton) dan truk (kapasitas 7 ton) untuk pembelian ke pedagang pengumpul karena jumlah pembelian lebih besar dan daya tempuh lebih jauh dibandingkan pedagang pengumpul. Alat transportasi untuk menjual ke peternak menggunakan truk tetapi untuk menjual ke industri pakan ternak menggunakan Truk Fuso (kapasitas 16–17 ton) dan tronton (kapasitas 20 ton). Pemilihan jenis transportasi berdasarkan pertimbangan bentuk jagung yang diangkut, volume jagung yang diangkut dan jarak tempuh pengangkutan, untuk mendapatkan efisiensi biaya pengangkutan.

Parameter yang digunakan oleh pedagang pengumpul dan pedagang besar untuk mengukur kualitas dalam pembelian jagung adalah kadar air, bentuk dan warna biji. Pengukuran kadar air oleh pedagang besar sudah menggunakan alat moisture tester (100% dari responden), sedangkan pedagang pengumpul tidak menggunakan alat ukur. Pedagang pengumpul dalam menentukan kadar air menggunakan perabaan/genggaman tangan, sehingga hasilnya tidak akurat.

Semua pedagang besar memiliki sistem penerimaan jagung yang sama, jagung sebelum masuk diperiksa dan diuji kadar air dengan moisture tester dan diperiksa secara organoleptik, kemudian disortir/dikelompokan. Jika ditemukan kadar air yang masih tinggi dikeringkan dengan pengeringan dengan sinar matahari (80% dari responden) dan dryer (20% dari responden). Pedagang pengumpul (94% dari responden) masih melakukan sortasi, pengeringan dan penyimpanan. Sortasi dilakukan oleh pedagang pengumpul karena pembelian dari petani ditemukan jagung yang rusak (25% dari responden) dan kadang-kadang (56% dari responden) dan sisanya menjawab tidak (Tabel 4).

(42)

pedagang pengumpul menghasilkan kadar air di tingkat pedagang pengumpul rata-rata 14.08%.

Tabel 5 Pengelolaan pascapanen di tingkat petani, pedagang pengumpul dan pedagang besar

Materi % Responden

Petani Pedagang pengumpul

Pedagang besar Sumber panas untuk pengeringan :

a. Sinar matahari

a. Hamparan di atas tanah b. Dalam karung plastik

c. Hamparan di atas lantai semen d. Hamparan di atas terpal

0

(43)

dalam rumah. Lama penyimpanan di pedagang pengumpul lebih bervariasi dibanding dengan pedagang besar. Waktu penyimpanan di tingkat pedagang pengumpul rata-rata 11 hari, sedangkan di pedagang besar 4 hari. Waktu yang lebih lama di pedagang pengumpul karena pedagang pengumpul masih menahan jagung untuk mencapai harga yang paling tinggi sedangkan pedagang besar sudah kontrak dengan industri pakan ternak. Waktu tinggal yang lama memberikan kesempatan berkembangnya cendawan dan memproduksi aflatoksin. Kandungan aflatoksin di tingkat pedagang pengumpul lebih tinggi dibandingkan di tingkat petani (Gambar 10).

Pangsa pasar penjualan pedagang pengumpul adalah pedagang besar dan peternak, sedangkan pedagang besar pangsa pasarnya ke industri pakan ternak dan peternak/farm. Pemasok Industri pakan ternak 100% berasal dari pedagang besar. Pedagang pengumpul tidak bisa menjual langsung ke pabrik pakan, karena pihak industri pakan memberikan beberapa persyaratan seperti kemampuan menjamin jumlah pasokan yang rutin, kualitas jagung yang baik dan uang jaminan. Peternak besar membeli jagung bisa langsung ke pedagang pengumpul atau pedagang besar. Kondisi ini sesuai dengan penelitian Erwidodo et al. (2003) yang menyatakan bahwa proporsi terbesar transaksi jagung terjadi pada tingkat perdagangan besar.

Alur Tataniaga Jagung

Berdasarkan hasil wawancara, maka dapat disusun alur tataniaga jagung seperti pada Gambar 6 di bawah ini :

0 (75%) (95%)

1

(25%) (5%)

Gambar 6 Alur tataniaga jagung di Kabupaten Garut.

Petani Pedagang

Pengumpul

Pedagang Besar

Industri Pakan Ternak

(44)

Petani tidak ada yang menjual langsung ke pasar tradisional atau industri pakan ternak tetapi menjual ke pedagang pengumpul di daerahnya. Jagung yang diolah oleh industri pakan ternak telah melalui dua tingkat pedagang, yakni pedagang pengumpul dan pedagang besar. Alur tata niaga jagung di Kabupaten Garut tidak jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan Kooswardhono dan Karliyenna (1991) menyatakan bahwa alur tataniaga jagung di Jawa Timur adalah: petani pengumpul pedagang besar tk. Kabupaten Pe- dagang besar tk. Provinsi Pabrik makanan ternak.

Di tingkat petani jagung mengalami proses pemetikan, pemipilan, kemudian pengeringan dan penyimpanan. Lama pengeringan di tingkat petani adalah 1–3 hari (75% dari responden), dan 4–7 hari (25% dari responden) dan lama penyimpanan 1–3 hari (65% dari responden), 4–7 hari (12% dari responden), 8–14 hari (17% dari responden) dan lebih dari 14 hari (6% dari responden). Waktu tinggal jagung di petani rata-rata 8 hari.

Proses di tingkat pedagang pengumpul adalah pemipilan (apabila pembelian dalam tebasan, 13% dari responden), pengeringan dan penyimpanan. Lama pengeringan 1–3 hari (94% dari responden) dan 4–7 hari (6% dari responden), sedangkan lama penyimpanan 1–3 hari (12% dari responden), 4–7 hari (38% dari responden), 8–14 hari (19% dari responden) dan lebih dari 14 hari (31% dari responden). Proses di tingkat pedagang besar adalah pengeringan dan penyimpanan. Pengeringan dilakukan dengan matahari/hamparkan (80% dari responden) atau oven (20% dari responden) dengan lama waktu rata-rata 1 hari. Lama penyimpanan 1–3 hari (60% dari responden), 4–7 hari (40% dari responden). Waktu tinggal jagung di pedagang besar rata-rata 4 hari.

(45)

Tabel 6 Harga beli dan harga jual pedagang pengumpul dan pedagang besar‡ Harga beli

(rupiah/Kg)

Harga jual (rupiah/ Kg) Pedagang pengumpul

Data harga berdasarkan kuesioner

Kadar Air

Mengacu kepada persyaratan kadar air maksimum dalam jagung 14%, terlihat bahwa kadar air di atas 14% ada di tingkat petani 58%, pedagang pengumpul 22% dan pedagang besar 20%. Kadar air dalam rantai pengelolaan pascapanen jagung dari petani menuju pedagang besar semakin berkurang, dan penurunan yang paling besar antara petani dengan pedagang pengumpul, seperti ditunjukkan pada Gambar 7, 8 dan 9.

Gambar 7 Kadar air jagung di tingkat petani.

0

Gambar 8 Kadar air pada jagung di tingkat pedagang pengumpul.

(46)

0

Gambar 9 Kadar air pada jagung di tingkat pedagang besar.

Penelitian yang dilakukan Dharmaputra dan Retnowati (1995) menunjukkan pula bahwa kadar air beberapa komoditas pertanian yang diperoleh dari pengecer di Bogor dan Cipanas lebih rendah daripada yang diperoleh dari petani.

Berdasarkan hasil kuesioner, pengeringan jagung oleh petani semuanya dengan menggunakan sinar matahari selama 1–3 hari (75% dari responden) dan 4 –7 hari (25% dari responden) menghasilkan kadar air di atas 14% sebesar 58%. Di tingkat pedagang pengumpul pengeringan jagung menggunakan sumber panas sinar matahari (100% dari responden), dengan lama pengeringan 1–3 hari (94% dari responden) dan 4–7 hari (6% dari responden) menghasilkan kadar air jagung yang di atas 14% sebesar 22%. Di tingkat pedagang besar proses pengeringan menggunakan dua macam sumber panas yaitu dryer dan sinar matahari menghasilkan kadar air jagung yang di atas 14% sebesar 20%.

Sumber pengeringan jagung dengan menggunakan panas matahari, sangat

rentan terhadap perubahan cuaca. Balitbangtan (2005) menyatakan bahwa pengeringan dengan bersumberkan sinar matahari tidak dapat diandalkan dimusim

hujan karena membutuhkan waktu lama dan kehilangan hasil cukup tinggi.

(47)

kemudian dipipil tanpa pengeringan ulang setelah disimpan ditemukan 1 224.4 koloni/gram, jagung dalam tongkol dikeringkan sampai kadar air 20%, kemudian dipipil dan dikeringkan sampai kadar air 14% setelah penyimpanan ditemukan 84.2 koloni/gram dan jika jagung dalam tongkol dikeringkan sampai kadar air 17%, kemudian dipipil dan dikeringkan sampai kadar air 14% setelah penyimpanan ditemukan 127.7 koloni/gram.

Sebagian besar pengeringan yang dilakukan oleh petani selama ini belum mampu menurunkan kadar air pada tingkat yang aman untuk terserang cendawan A. flavus. Rata-rata kadar air di tingkat petani adalah 16.32%, dengan rentang kadar air minimal 10.96% dan maksimal 23.18%. Kadar air di tingkat pedagang besar mampu mencapai rata-rata 14.24% tetapi untuk mencapainya harus melewati pengeringan di tingkat petani, pedagang pengumpul dan pedagang besar, sehingga memberikan kesempatan serangan dari cendawan penghasil aflatoksin, karena yang dibutuhkan adalah pengeringan secara cepat mencapai kadar air yang aman.

Aflatoksin

Dalam penelitian ini yang disebut aflatoksin merupakan aflatoksin hasil analisa dengan metode ELISA yang memiliki respon spesifik terhadap aflatoksin B1(100%) dan memiliki reaksi silang terhadap aflatoksin B2(0.9%), aflatoksin G1

(3.5%) dan aflatoksin G2 (1.6%) (Rachmawati 2005). Hasil pengujian kandungan

aflatoksin terdapat pada lampiran 7, 8 dan 9, apabila diolah dalam boxplot, ditunjukkan pada gambar 10 di bawah ini:

K

(48)

Kandungan aflatoksin mengalami kecenderungan meningkat dari tingkat petani ke tingkat pedagang besar baik secara rata-rata maupun median (Tabel 7). Di setiap tingkatan nilai rata-rata selalu lebih tinggi dengan nilai median. Jumlah data yang di bawah rata-rata selalu lebih banyak jika dibandingakan dengan data di atas rata-rata, kondisi ini tergambarkan dengan daerah diatas garis median lebih luas dibandingkan dengan daerah di bawah garis median. Di tingkat petani terdapat dua data dan di pedagang pengumpul tiga data pencilan dengan kandungan aflatoksin yang tinggi, hal ini disebabkan dalam pengolahan pascapanennya petani (6% dari responden) dan pedagang pengumpul (31% dari responden) menyimpan jagung lebih dari 14 hari (Tabel 5). Waktu penyimpanan yang lama akan meningkatkan kandungan aflatoksin, karena dengan bertambahnya waktu akan memberikan peluang cendawan penghasil aflatoksin memproduksi metabolit sekunder aflatoksin.

Tabel 7 Sebaran kandungan aflatoksin di petani,pedagang pengumpul dan pedagang besar

Kandungan aflatoksin (ppb)

Petani Pedagang pengumpul Pedagang besar

Rata-rata 2.98 8.46 36.71

Median 0.20 1.78 4.90

Nilai minimal 0.04 0.14 0.23

Nilai maksimal 23.78 47.41 89.18

Kuartil 1 0.16 0.93 0.45

Kuartil 3 2.58 9.15 75.24

Jarak antar kuartil 2.42 8.22 74.79

(49)

A.flavus (21%) dan dengan dibiakan di YES (yeast ekstract sukrosa) diproduksi aflatoksin setelah inkubasi 10 hari.

Batas maksimal kandungan aflatoksin pada jagung sebagai bahan baku pakan menurut SNI 01-4483-1998 adalah 50 ppb. Di tingkat petani, tidak ditemukan jagung dengan kandungan aflatoksin melebihi 25 ppb, bahkan semuanya di bawah 25 ppb. Di tingkat pedagang pengumpul tidak ditemukan kandungan aflatoksin di atas 50 ppb, tetapi ditemukan sampel dengan kandungan aflatoksin diantara 25 ppb dan 50 ppb sebesar 11%. Di tingkat pedagang besar ditemukan sampel di atas 50 ppb sebesar 40%, kandungan aflatoksin diantara 25 ppb dan 50 ppb sebesar 50% dan di bawah 25 ppb sebesar 10%. Waktu yang dibutuhkan dalam proses pengelolaan jagung pada pasca panen dari tingkat petani sampai pedagang besar rata-rata 23 hari, sebagaimana dalam pembahasan kuesioner rata-rata di tingkat petani 8 hari, pedagang pengumpul 11 hari dan pedagang besar 4 hari.

Kadar aflatoksin di tingkat petani masih rendah (di bawah 25 ppb) tidak berarti pengelolaan pasca panen sudah sempurna, tetapi karena masa tinggal di tingkat petani yang pendek sekitar 8 hari, sedangkan pertumbuhan cendawan optimum selama 7–15 hari (Goldblatt 1969) dan menunjukkan peningkatan kadar aflatoksin 10 hari (Rachmawati et al. 1999).

(50)

Pengetahuan tentang aflatoksin pun di tingkat petani masih rendah dibandingkan tingkat pedagang pengumpul dan pedagang besar, baik dari segi pendidikan, maupun dari pengenalan terhadap istilah aflatoksin (Tabel 8). Petani yang mengenal istilah aflatoksin hanya 6% tetapi pedagang besar 100% mengenal aflatoksin. Pedagang besar mengenal istilah aflatoksin karena aflatoksin merupakan salah satu parameter syarat kualitas jagung yang dibeli oleh industri pakan ternak. Tingkat pendidikan petani didominasi Sekolah Dasar, yakni sebesar 67% , untuk pedagang pengumpul didominasi lulusan SLTA, sebesar 44% dan pedagang besar lulusan diploma 50% dan lulusan S1 50%. Pendidikan yang rendah di tingkat petani akan mempengaruhi penguasaan informasi, teknologi dan daya pikir rendah. WHO (2005) menyatakan bahwa pengetahuan pertanian dan penerapan kesehatan masyarakat dapat mencegah atau mengurangi penyebaran aflatoksin.

Tabel 8 Persentase tingkat pendidikan dan pengenalan istilah aflatoksin[ Petani (%) Pedagang

Hasil kuesioner dengan total jumlah responden 56 orang

Dalam alur pengelolaan pascapanen. Petani memiliki peran yang sangat penting dalam menekan kontaminasi aflatoksin, karena di tingkat petani yang paling awal menangani jagung baik prapanen dan pascapanen. Apabila di tingkat petani sudah terserang cendawan penghasil aflatoksin, maka aflatoksin yang dihasilkan akan terkumpul pada tingkat pedagang pengumpul dan pedagang besar

(51)

0.95–0.99. Lillehoj (1983) menyatakan bahwa aktivitas air optimum untuk pertumbuhan miselium A. flavus dan A. parasiticus adalah 0.99–0.91, aktivitas air 0.87 tidak secara dramatis menurunkan pertumbuhan tetapi produksi aflatoksin secara signifikan berkurang. Dari data pengukuran suhu ruang penyimpanan di tingkat petani, pedagang pengumpul dan pedagang besar merupakan suhu yang optimum untuk A. flavus memproduksi aflatoksin, sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 9. Aktivitas air pada jagung masih dalam rentang aktivitas air yang optimum untuk A flavus dan A. parasiticus menghasilkan aflatoksin, walaupun rata-rata aktivitas air pada jagung di tingkat petani lebih tinggi dibandingkan di tingkat pedagang pengumpul maupun pedagang besar.

Tabel 9 Suhu ruang penyimpanan dan aktivitas air jagung di tingkat petani, pedagang pengumpul dan pedagang besar

Tingkat Suhu ruang Aktivitas air

Rata-rata (°C) Rentang (°C) Rata-rata Rentang

Petani 31.23 29 – 34 0.9117 0.834 – 0.996

Dalam proses pemipilan belum menggunakan alat pemipil modern tetapi masih menggunakan peralatan sederhana seperti pisau, parut, pasak, sepeda ontel dan sepeda motor. Kualitas pemipilan masih rendah, sehingga persentase biji rusak tinggi, seperti ditunjukkan Tabel 10.

Tabel 10 Persentase biji rusak hasil pengujian organoleptik7

Materi Petani (%) Pedagang

Pengumpul (%)

Pedagang Besar (%) Rata-rata biji rusak

(52)

Menurut SNI 01-4483-1998 tentang jagung sebagai bahan baku pakan, bahwa persyaratan standar jagung sebagai bahan baku pakan memiliki batas maksimal persentase biji rusak adalah 12%, sedangkan rata-rata ditemukan di tingkat petani 8.42%, pedagang pengumpul 13.24% dan pedagang besar 18.95%. Peningkatan persentase biji rusak dari petani menuju pedagang besar disebabkan karena proses pengeringan berulang, proses pengangkutan dan serangan hama gudang.

Analisis Korelasi dan Regresi

Dengan menggunakan software SPSS versi 13.0, dilakukan uji korelasi berganda antara kandungan aflatoksin sebagai variabel terikat dengan variabel bebas yakni kadar air, kadar abu, bahan organik, persentase biji rusak, aw dalam

bentuk biji dan awdalam bentuk giling. Uji regresi dilakukan pada variabel bebas

yang memiliki korelasi yang signifikan (?:0.05) terhadap kandungan aflatoksin, sehingga diperoleh persamaan regresi yang dapat digunakan untuk memperkirakan kandungan aflatoksin dengan menggunakan nilai variabel lainnya baik di tingkat petani, pedagang pengumpul dan pedagang besar.

Variabel Bebas dengan Variabel Kandungan Aflatoksin

(53)

Tabel 11 Koefisien korelasi dan koefisien signifikans variabel bebas terhadap kadar aflatoksin di tingkat petani, pedagang pengumpul dan pedagang besar

Petani Pedagang Pengumpul Pedagang Besar Variabel

0.179 0.463 -0.434 0.072 0.384 0.094

Kadar abu 0.016 0.949 0.000 0.998 -0.048 0.840

K. korelasi: koefisien korelasi, K.sig.: koefisien signifikan. * Korelasi signifikan pada ?:0.05, (2-tailed)

** Korelasi signifikan pada ?:0.01, (2-tailed)

Kandungan aflatoksin pada jagung di tingkat petani berkorelasi positip dengan persentase biji rusak, semakin besar persentase kerusakan jagung akan menyebabkan peningkatan kandungan aflatoksin. Koefisien korelasi di tingkat petani 0.555 dan mengalami penurunan tingkat koefisien korelasi ke arah pedagang besar berturut-turut 0.328 dan 0.264. Di tingkat petani pengaruh kerusakan biji jagung signifikan (?:0.05)karena kerusakan biji jagung di tingkat petani akan memudahkan serangan jamur A. flavus dan konsekuensinya, peluang memproduksi aflatoksin akan tinggi. Korelasi positip dari persentase biji rusak menurun ke arah pedagang besar karena semakin ke arah pedagang besar lebih banyak faktor yang mempengaruhi produksi aflatoksin seperti pengeringan berulang, penyimpanan, pencampuran dan transportasi, sehingga kadar aflatoksin lebih bervariasi. Dilaporkan oleh Dharmaputra et al. (1994) terdapat hubungan korelasi positip antara kerusakan biji jagung dengan persentase biji jagung terinfeksi oleh A. flavus di tingkat petani dan pedagang di tingkat desa di Lampung Tengah dan Kabupaten Kediri.

(54)

memudahkan rute infeksi dan pertumbuhan A. flavus dan produksi aflatoksin dibandingkan dengan cendawan lain. Penyebab kerusakan biji jagung oleh faktor-faktor sesudah panen seperti pemipilan yang tidak benar, dilindas kendaraan pada saat pengeringan di jalan dan sebagainya.

Variabel kadar air di tingkat pedagang pengumpul berkorelasi negatif secara signifikan dan menurun nilai korelasi negatifnya di tingkat petani dan pedagang besar (Gambar 11). Di tingkat petani kadar air masih tinggi tetapi produksi dan penumpukan aflatoksin masih rendah, sehingga berkorelasi negatif. Koefisien korelasi tidak signifikan di tingkat petani dan pedagang besar, karena di tingkat petani kadar aflatoksin cenderung seragam rendah (di bawah 25 ppb), sedangkan kadar air beragam, dengan rata-rata 16.32% lebih tinggi jika dibandingkan dengan kadar air di tingkat pedagang pengumpul dan padagang besar. Di tingkat petani ditemukan kandungan aflatoksin tinggi (23.78 ppb) jika dibandingkan dengan data dari petani lainnya, karena di tingkat petani ditemukan pula penyimpanan lebih dari 14 hari (6% dari responden). Lamanya penyimpanan akan mempengaruhi peningkatan produksi aflatoksin. Toteja (2006) menyatakan faktor penting peningkatan produksi aflatoksin adalah iklim, kondisi penyimpanan dan lamanya penyimpanan, walaupun variasi tingkat kontaminasi ditemukan tidak hanya pada daerah iklim yang berbeda tetapi juga pada daerah yang iklimnya sama.

Gambar 11 Hubungan kadar air dengan kandungan aflatoksin di di tingkat pedagang pengumpul.

(55)

belum terjadi penumpukan aflatoksin, sedangkan yang tinggi kadar aflatoksinnya merupakan jagung yang sudah lama dalam penyimpanan dan kadar air sudah turun. Di tingkat pedagang pengumpul terjadi variasi waktu penyimpanan yakni 1–3 hari (12% dari responden), 4–7 hari (38%), 8–14 hari (19% dari responden) dan lebih 14 hari (31%). A. flavus merupakan cendawan gudang yang mampu tumbuh pada kadar air 13–18% (Ominski 1994).

Kandungan aflatoksin memiliki kecenderungan meningkat ke arah pedagang besar karena aflatoksin merupakan metabolit sekunder (diproduksi pada saat cendawan sudah mengalami pertumbuhan yang stabil), bersifat akumulatif dan tidak dapat didekomposisi pada suhu ruang. Kadar air menurun ke arah pedagang besar karena adanya pengeringan berulang dan pengawasan kadar air di tingkat pedagang besar, tetapi ditemukan juga kadar air tinggi dan mengandung aflatoksin tinggi karena air merupakan media perkembangan cendawan. Kondisi ini menyebabkan koefisien korelasi kadar air dengan aflatoksin bersifat negatip tetapi tidak signifikan. Kadar air yang rendah dalam biji jagung tidak jaminan kandungan aflatoksin rendah, karena menurunkan kadar air lebih mudah dibandingkan menurunkan kandungan aflatoksin.

Bahan organik berkorelasi positip baik di tingkat petani, pedagang pengumpul dan pedagang besar tetapi korelasi yang signifikan ditemukan pada tingkat pedagang pengumpul (Gambar 12). Menurut Syarief dan Halid (1999) bahwa toksinogenesis tergantung pada komposisi kimia yang dikandung oleh bahan pangan. Aflatoksin diproduksi lebih aktif pada bahan yang mengandung karbohidrat tinggi, diikuti oleh bahan yang kaya lipida dan protein. Penambahan lipida tertentu pada tepung terigu dapat mengaktifkan biosintesa aflatoksin.

Jagung mengandung rata-rata pati 71.7%, protein 9.5% dan lemak 4.3 % (Watson 2003). Bahan organik tersebut dapat menjadi bahan pembentukan aflatoksin. Rumus kimia aflatoksin terdiri dari unsur karbon, oksigen dan hidrogen (aflatoksin B1; C17H12O6, aflatoksin B2; C17H14O6, aflatoksin G1;

C17H12O7 dan aflatoksin G2; C17H14O7), dimana unsur-unsur tersebut banyak

(56)

positip tetapi dengan bertambahnya waktu bahan organik tersebut akan berkurang karena dipergunakan untuk metabolisme cendawan, sehingga di tingkat pedagang besar ditemukan jagung yang mengandung aflatoksin tinggi tetapi bahan organik rendah. Kondisi ini menyebabkan tidak signifikannya koefisien korelasi bahan organik dengan aflatoksin di tingkat pedagang besar.

Ba h a n o r g a n ik

Gambar 12 Hubungan bahan organik dengan kandungan aflatoksin di tingkat pedagang pengumpul.

Kadar aflatoksin tidak ada yang signifikan koefisien korelasinya dengan nilai aktivitas air baik dalam bentuk biji maupun giling. Hal ini disebabkan rata-rata nilai aktivitas air dalam biji di petani 0.9117 (0.834–0.996), di tingkat pedagang pengumpul rata-rata 0.8608 (0.796–0.958) dan pedagang besar rata-rata 0.8711 (0.796–0956) merupakan nilai aktivitas air yang dapat untuk pertumbuhan cendawan. Dari tiga pelaku penanganan pasca panen nilai koefisien korelasi paling erat adalah di tingkat pedagang pengumpul, karena di tingkat ini cendawan aktif menghasilkan aflatoksin. Nilai koefisien korelasinya adalah negatif karena A. flavus yang menghasilkan aflatoksin bersifat serofilik yakni germinasi spora berlangsung pada aw lebih kecil daripada 0.80 (Syarief et al. 2003).

Analisis Regresi

(57)

adalah -3.105 dan nilai koefisien regresi (b) adalah 0.722, dengan kandungan aflatoksin (Y) dan persentase biji rusak (X), sehingga persamaan regresinya adalah: Y = -3.105 + 0.722X. Setelah pengujian signifikasi terhadap koefisien a dan b, ternyata koefisien a tidak signifikan, sehingga persamaan regresi ini tidak signifikan pada tingkat kepercayaan 95%, seperti ditunjukkan pada Lampiran 11.

Di tingkat pedagang pengumpul ditemukan dua variabel yang signifikan terhadap kandungan aflatoksin, yaitu bahan organik dan kadar air, tetapi kedua variabel bebas tersebut memiliki korelasi yang sangat kuat (r: -0.995) dan signifikan (p<0.05), seperti ditunjukkan pada Tabel 12. Menurut Steel dan Torrie (1995) jika diantara variabel bebas terdapat korelasi yang cukup tinggi (multikolinear), maka salah satu variabel dibuang dalam regresi linear berganda. Variabel kandungan bahan organik dan kadar air tidak dapat digunakan untuk menyusun persamaan regresi linear berganda terhadap variabel aflatoksin karena kedua variabel tersebut berkorelasi yang kuat dan signifikan (p<0.05). Persamaan regresinya menggunakan persamaan regresi tunggal terhadap variabel kandungan bahan organik dan kadar air.

Menurut Sudarmanto (2005) untuk menguji multikolinearitas menggunakan program SPSS dapat menggunakan koefisien signifikan atau keofisien korelasi Pearson. Variabel bebas bersifat multikolinear jika koefisien signifikansi di bawah taraf nyata (?) yang ditetapkan atau koefisien korelasi hitung lebih besar jika dibandingkan dengan koefisien korelasi tabel.

Bahan organik terhadap kandungan aflatoksin di tingkat pedagang pengumpul dengan koefisien korelasi 0.662 memenuhi model linear secara signifikan pada tingkat nyata 95% (Lampiran 13), sehingga dilanjutkan uji regresi. Persamaan regresi bahan organik terhadap kandungan aflatoksin diperoleh intersep (a) adalah -466.806 dan nilai koefisien regresi (b) adalah 5.600, dengan kandungan aflatoksin (Y) dalam ppb dan persentase bahan organik (X) dalam persen (%), sehingga persamaan regresinya adalah: Y = -466.806 + 5.600X. Koefisien a dan b, signifikan (p<0.05), sehingga persamaan regresi ini signifikan pada tingkat kepercayaan 95%, seperti ditunjukkan pada Lampiran 13.

Gambar

Gambar 1  Struktur bangun kimia (a) aflatoksin B1, (b) aflatoksin B2,(c) aflatoksin G dan (d) aflatoksin G.
Tabel 1  Spesies cendawan penghasil aflatoksin dan jenis aflatoksin*
Gambar 2  Alur pemasaran jagung di Provinsi Jawa Timur.
Gambar 3  Pengambilan sampel dalam karung.
+7

Referensi

Dokumen terkait

2. Dalam kegiatan pembelajaran, guru harus banyak memberi kesempatan kepada anak untuk melakukan praktek atau percobaan, serta menemukan sesuatu melalui

Khomsan (2002) menyebutkan bahwa jajanan bagi anak SD merupakan fenomena yang menarik untuk ditelaah karena berbagai hal (a) merupakan upaya untuk memenuhi

Mahasiswa mampu mengaplikasi pendekatan teori-teori dari ilmu sosial untuk menjelaskan masalah public health, manajemen bidang manajemen dan sistem kesehatan 4.. Mahasiswa

efektivitas Whistleblowing System berpengaruh terhadap Pencegahan Fraud 5 (Rohimah &amp; Anna, 2019) Independen: Pengendalian Internal, Komitmen Organisasi, Dependen:

Dana Alokasi Umum (DAU) dialokasikan kepada daerah dengan tujuan untuk meningkatkan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dan otonomi

Berdasarkan hasil temuan di lapangan dan sesuai dengan tujuan penelitian maka disimpulkan hasil dari wawancara dengan beberapa informasi dapat di ambil kesimpulan

Hasil obsevasi yang penulis lakukan di lapangan, penulis melihat bahwa objek wisata Air Terjun Telun Berasap yang terletak di Desa Telun Berasap Kecamatan Gunung Tujuh

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data, mengolah, menganalisis dan membahas tentang perkembangan objek wisata alam pantai Gandoriah tahun 2009 sampai 2014