• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Siswa Sekolah Dasar Kebiasaan Jajan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Siswa Sekolah Dasar Kebiasaan Jajan"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Siswa Sekolah Dasar

Anak usia sekolah (AUS) adalah anak yang berusia 6 sampai 12 tahun. Menurut Hurlock (1999) masa ini sebagai akhir masa kanak-kanak (late chilhood) yang berlangsung dari usia enam tahun sampai tibanya anak menjadi matang secara seksual, yaitu 13 tahun bagi perempuan dan 14 tahun bagi laki-laki. Namun secara umum anak usia sekolah adalah anak yang masuk Sekolah Dasar (SD). Anak SD dibagi menjadi dua bagian, yaitu kelas rendah yang berumur 6 – 9 tahun dan kelas tinggi yang berumur 10 – 12 tahun.

Desmita (2009) mengemukakan bahwa pada masa ini peningkatan berat badan anak lebih banyak daripada panjang badannya. Kaki dan tangan menjadi lebih panjang, dada dan panggul lebih besar. Peningkatan berat badan anak selama masa ini terjadi karena bertambahnya ukuran sistem rangka dan otot serta ukuran beberapa organ tubuh. Pada saat yang sama, kekuatan otot berangsur-angsur bertambah dan gemuk bayi (baby fat) berkurang.

Menurut Harris dan Liebert (1991) periode pertengahan masa anak-anak yaitu usia 6 sampai 12 tahun merupakan periode yang penting dalam kehidupan anak-anak. Walaupun pertumbuhan fisik anak-anak pada usia sekolah relatif lambat, tetapi terdapat perubahan yang mencengangkan dalam hal intelektualnya dan dalam hal membina hubungan dengan orang lain.

Seiring dengan masuknya anak ke sekolah dasar, maka kemampuan kognitifnya turut mengalami perkembangan yang pesat. Karena dengan masuk sekolah, berarti dunia dan minat anak bertambah luas, dan dengan meluasnya minat maka bertambah pula pengertian tentang manusia dan objek-objek yang sebelumnya kurang berarti bagi anak. Dalam keadaan normal, pikiran anak usia sekolah berkembang secara berangsur-angsur. Jika pada masa sebelumnya daya pikir anak masih bersifat imajinatif dan egosentris, maka pada usia sekolah dasar ini daya pikir anak berkembang kearah berpikir konkrit, rasional, dan objektif. Daya ingatannya menjadi sangat kuat, sehingga anak benar-benar dalam suatu stadium belajar (Desmita 2009).

Kebiasaan Jajan

Menurut Sanjur (1982) terdapat model yang dapat menganalisis perilaku konsumsi pangan pada anak-anak. Model analisis ini dikemukakan oleh Lund dan Burk yang menyatakan bahwa terdapat dua faktor lingkungan yang sangat mempengaruhi pembentukan kebiasaan makan anak yaitu lingkungan keluarga

(2)

dan lingkungan sekolah. Lingkungan keluarga dipengaruhi oleh empat variabel utama yaitu struktur organisasi keluarga, status sosial dalam masyarakat, mobilitas keluarga dan status ekonomi keluarga. Kemudian faktor lingkungan sekolah yang dianggap penting berkaitan dengan kebiasaan makan adalah pengalaman dari pendidikan gizi serta pengetahuan dan sikap terhadap makanan dari guru yang mengajarnya.

Pola konsumsi pangan individu atau keluarga dapat berfungsi sebagai cermin dari kebiasaan makan individu atau keluarga. Berkaitan dengan hal ini kebiasaan makan (jajan) siswa dipengaruhi oleh kebiasaan makan keluarga yang secara langsung maupun tidak langsung membentuk kebiasaan konsumsi jenis makanan tertentu pada siswa. Proses ini dipelajari secara tidak sengaja (unlearned) tanpa melalui proses pendidikan (Sanjur 1982).

Menurut PERSAGI dalam Syarifah (2010) anak sekolah pada umumnya mulai bersekolah dari pagi hingga siang. Diantara dua waktu makan ini, yaitu makan pagi dan makan siang, anak-anak sebaiknya mendapatkan makanan kecil sebagai selingan yang cukup nilai gizinya. Makanan kecil atau snack ini sebaiknya diberikan pada jam 10 pagi sebab pada sekitar waktu ini mereka merasa lapar lagi sehingga biasanya anak-anak tidak dapat memusatkan pikirannya pada pelajaran yang diberikan guru.

Makanan Jajanan

Menurut Winarno (1997) makanan jajanan atau street food merupakan makanan dan minuman yang dapat langsung dimakan atau dikonsumsi, telah terlebih dahulu dipersiapkan atau dimasak ditempat produksi atau tempat berjualan. Umumnya dipersiapkan dan atau dijual oleh pedagang kaki lima di jalanan atau tempat-tempat keramaian umum lainnya. Makanan jajanan memiliki aneka jenis dan variasi dalam bentuk, keperluan dan harga. Selanjutnya menurut Judarwanto (2009) makanan jajanan kaki lima menyumbang asupan energi bagi anak sekolah sebanyak 36%, protein 29% dan zat besi 52%. Karena itu dapat dipahami peran penting makanan jajanan kaki lima pada pertumbuhan dan prestasi belajar anak sekolah. Namun demikian, keamanan jajanan tersebut baik dari segi mikrobiologis maupun kimiawi masih dipertanyakan.

Makanan jajanan menurut Nuraida et al. (2009) dapat dikelompokkan menjadi (a) makanan sepinggan atau makanan utama yaitu kelompok makanan yang dapat disiapkan di rumah terlebih dahulu atau disiapkan di kantin. Kelompok makanan ini memiliki kandungan energi yang lebih besar

(3)

dibandingkan makanan jajanan lainnya. Contoh makanan sepinggan seperti gado-gado, nasi uduk, siomay, bakso, mie ayam, lontong sayur dan lain-lain. (b) Makanan camilan adalah makanan jajanan yang dikonsumsi diantara dua waktu makan. Makanan camilan terdiri dari dua jenis yaitu makanan camilan basah seperti pisang goreng dan makanan camilan kering seperti produk ekstruksi. (c) Minuman dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis yaitu minuman ringan, minuman campur dan air putih serta (d) buah yang dikonsumsi sebagai makanan jajanan biasanya dalam bentuk utuh atau yang telah dikupas atau dipotong.

Makanan jajanan yang umumnya digemari anak-anak adalah berupa kue-kue yang biasanya dibuat sebagian besar dari tepung dan gula. Dengan mengkonsumsi jajanan ini anak semata-mata mendapat tambahan energi sedangkan tambahan zat pembangun dan pengatur sangat sedikit. Setelah jajan, sering anak terlalu kenyang sehingga selera makannya berkurang dan tidak dapat menghabiskan makanannya (Suhardjo 1989). Selanjutnya menurut Andarwulan et al (2008) kajian penelitian jajanan di beberapa sekolah dasar di Bogor menyebutkan bahwa jenis makanan jajanan yang banyak dibeli diantaranya kripik, produk ekstruksi, permen dan coklat.

Piernas dan Popkin (2009) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa anak-anak dan remaja di Amerika Serikat mengkonsumsi hampir tiga snack per hari. Persentase kebiasaan jajan dari tahun 1989 sampai 2006 mengalami kenaikan. Pada penelitian ini menemukan peningkatan konsumsi snack asin yang padat kalori, permen, serta minuman seperti minuman buah, minuman olahraga, dan sari buah serta terjadi penurunan konsumsi jus buah dan buah-buahan sebagai makanan jajanan pada anak-anak. Selanjutnya pada penelitian Channoonmuang dan Klunklin (2006) menyebutkan bahwa asupan natrium pada anak yang memiliki kebiasaan jajan berlebihan.

Khomsan (2002) menyebutkan bahwa jajanan bagi anak SD merupakan fenomena yang menarik untuk ditelaah karena berbagai hal (a) merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan energi karena aktivitas di sekolah yang tinggi (apalagi bagi anak yang tidak sarapan pagi), (b) pengenalan berbagai jenis makanan jajanan akan menumbuhkan kebiasaan penganekaragaman pangan sejak kecil, (c) memberikan perasaan meningkatnya gengsi anak.

Makanan jajanan memiliki kekurangan dan juga kelebihan. Menurut Khomsan (2002) aspek positif dari makanan jajanan berhubungan nilai gizi dari makanan yang dikonsumsi. Selain itu Jellife (1982) mengemukakan bahwa

(4)

makanan jajanan yang tersedia di sekolah juga memberi kesempatan untuk memastikan bahwa setiap anak mendapatkan apa yang mungkin kurang dari dietnya, khususnya protein dan vitamin. Makanan jajanan juga dapat dipakai sebagai alat bantu mengajarkan pengetahuan gizi dan kebiasaan makan yang baik. Maka dapat dipahami peran penting makanan jajanan terhadap pertumbuhan dan prestasi belajar anak sekolah.

Namun berdasarkan PERSAGI dalam Syarifah (2010) mengemukakan bahwa selain kelebihan jajan terdapat pula keburukan dari jajan. Keburukan tersebut antara lain (a) kebiasaan jajan tanpa perhitungan bisa memboroskan keuangan rumahtangga, (b) jajan yang terlalu banyak dapat mengurangi nafsu makan di rumah, (c) jajan yang dibeli tidak terjamin kebersihannya, mungkin kurang bersih cara mencuci serta memasaknya, kena debu atau kotoran-kotoran, dikerumuni lalat dan lainnya.

Peranan strategis makanan jajanan sering tidak diimbangi dengan mutu dan keamanan yang baik. Aspek negatifnya yaitu berhubungan dengan bahan tambahan pangan dan proses persiapan yang kurang higienis sehingga banyak kontaminan yang terkandung dalam makanan tersebut. Makanan jajanan yang demikian cepat atau lambat akan mendatangkan gangguan kesehatan (Winarno 1997; Khomsan 2002).

Aktifitas Fisik

Aktifitas fisik atau disebut juga aktifitas eksternal adalah kegiatan yang menggunakan tenaga atau energi untuk melakukan berbagai kegiatan fisik, seperti berjalan, berlari, berolahraga, dan lain-lain. Setiap kegiatan fisik menentukan energi yang berbeda menurut lamanya intensitas dan sifat kerja otot (FKM-UI 2007). Menurut Hoeger dan Hoeger (2005) aktifitas fisik adalah pergerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot skeletal dan membutuhkan pengeluaran energi.

Berlama-lama di depan layar televisi, main playstation serta nitendo telah menjadi bagian dari aktifitas yang kini banyak dilakukan anak-anak. Aktifitas fisik seperti berlari-lari, main layang-layang ataupun permainan lainnya yang menguras energi nyaris tidak dilakukan lagi di kota besar. Akibatnya energi yang yang dihabiskan pun cenderung sedikit sedangkan makanan yang dikonsumsi cenderung sama, malah melebihi kebutuhan jika ditambah kebiasaan makan makanan sambil menonton televisi (Wirakusumah 1994).

(5)

Alokasi waktu kegiatan anak antara lain 1) pekerjaan rumah tangga (membantu ibu dan membersihkan tempat tidur), 2) kegiatan sosial dan pendidikan (belajar, sekolah, les, ekstrakurikuler), 3) kegiatan pribadi (mandi, beribadah/shalat) dan 4) waktu luang (rekreasi, menonton dan olahraga) (Suprihatin 1992). Menurut Soekirman et al. (1999) aktifitas utama anak sekolah digolongkan menjadi delapan kegiatan yaitu 1) belajar selama jam sekolah, 2) belajar di luar jam sekolah, 3) menonton televisi, 4) bermain, 5) olahraga, 6) membantu pekerjaan orangtua, 7) tidur siang dan 8) tidur malam. Sedangkan menurut FAO/WHO/UNU (1985) aktifitas fisik dibagi kedalam empat golongan yaitu tidur, sekolah, kegiatan ringan (duduk, berdiri, bermain ringan), kegiatan sedang (berjalan, menyapu, mengepel) dan kegiatan berat.

Menurut Chaput et al (2006) anak usia sekolah sebaiknya diberikan jadwal waktu tidur untuk mereka tepati karena waktu tidur yang kurang dapat memicu terjadinya obesitas selain perilaku-perilaku negatif lainnya seperti terlalu mengantuk di sekolah sehingga tidak dapat menerima pelajaran dengan baik. Selain itu menurut Homeier (2009) waktu tidur yang kurang dapat mengganggu kesehatan anak dan dapat menyebabkan anak tidak cepat tanggap dan pelupa.

Aktifitas fisik yang dilakukan anak akan membantu pertumbuhannya. Pencapaian prestasi sekolah anak sangat berhubungan dengan perkembangan fisik dan aktifitasnya. Anak yang mendapat kesempatan untuk melatih fisiknya akan lebih memiliki kemampuan dalam aspek mental intelektual dibandingkan dengan anak yang kurang mendapatkan kesempatan untuk melatih fisiknya (Friedman & Clark 1987 dalam Kusumaningrum 2006).

Anak-anak harus diberikan dukungan untuk beraktifitas di luar rumah agar tidak menghabiskan sepanjang waktu sepulang sekolah melakukan kegiatan kurang gerak (sedentarian) seperti menonton televisi atau main komputer dan video games. Kegiatan sedentarian yang dilakukan lebih dari dua jam dapat menyebabkan obesitas pada anak (Dowshen 2005). Televisi juga memberikan dampak terhadap pemilihan makanan anak karena iklan-iklan menarik yang ditayangkan biasanya merupakan iklan makanan yang berkalori tinggi (Astrup et al. 2006). Orang tua yang aktif memiliki hubungan dengan tingkat partisipasi anak dalam kegiatan-kegiatan olahraga maupun aktivitas di luar rumah (Clenand et al. 2005).

Berdasarkan penelitian Masti (2009) di SD Negeri dan Swasta Kota Bogor, rata-rata kegiatan sekolah siswa pada SD Swasta lebih lama daripada

(6)

siswa SD Negeri. Hal ini dikarenakan SD Swasta memiliki kegiatan ekstrakurikuler (les) berbagai mata pelajaran sesudah jam pulang sekolah. Siswa SD Swasta umumnya mengikuti les di luar jam sekolah serta setiap hari meluangkan waktu untuk belajar atau membuat PR. Siswa SD Negeri umumnya hanya belajar di jam pelajaran sekolah. Hanya beberapa siswa di SD negeri yang meluangkan waktu belajar di rumah. Siswa SD Negeri lebih senang bermain di luar jam sekolah daripada mengikuti les atau belajar.

Rata-rata kegiatan ringan siswa SD Swasta lebih lama dibandingkan dengan SD Negeri. Umumnya kegiatan ringan yang dilakukan siswa SD Swasta adalah bermain komputer, playstation dan internet. Sedangkan siswa SD Negeri umumnya mengobrol dengan teman dan menonton televisi. Rata-rata kegiatan sedang pada siswa SD Negeri lebih besar daripada SD Swasta. Hal ini dikarenakan siswa SD Negeri lebih senang bermain daripada belajar. Rata-rata kegiatan berat siswa SD Negeri lebih besar dibandingkan dengan SD Swasta. Hal ini dikarenakan setelah pulang sekolah siswa SD Swasta cenderung mengikuti kegiatan les atau belajar, sedangkan siswa SD Negeri umumnya bermain sepeda, main lari-larian, main sepak bola dan main layang-layang. Siswa SD Swasta umumnya melakukan aktivitas berat pada saat jam olahraga di sekolah (Masti 2009).

Status Kesehatan

Derajat kesehatan atau status kesehatan adalah tingkat kesehatan perorangan, kelompok atau masyarakat yang diukur dengan angka kematian, umur harapan hidup, status gizi dan angka kesakitan (Depkes RI 1996). Hal ini serupa yang dikemukakan oleh Sukarni (1994) bahwa indikator yang berhubungan dengan derajat kesehatan antara lain umur harapan hidup sewaktu lahir, angka kematian bayi dan anak balita, status gizi dan angka kesakitan.

Kesehatan anak ditandai oleh terhindarnya penyakit, tubuh dalam kondisi baik sehingga dapat melakukan aktivitas secara normal sesuai dengan periode umurnya (Depkes RI 1996). Menurut Grossman (1997) kondisi kesehatan yang baik akan mengurangi waktu-waktu sekolah yang terbuang atau dengan kata lain modal sehat sangat berpengaruh terhadap pemanfaatan waktu. Seorang siswa yang sering sakit akan mengalami kesulitan dalam proses belajar seperti cepat lelah, sulit konsentrasi dan malas. Siswa yang kurang sehat atau kurang gizi daya tangkapnya terhadap pelajaran dan kemampuan belajarnya akan lebih rendah.

(7)

Untuk mengukur kesehatan digunakan indikator untuk mengukur status kesehatan, memonitor keadaan kesehatan dan merupakan alat bantu dalam mengadakan evaluasi program kesehatan. Indikator yang digunakan untuk mengukur status kesehatan antara lain angka kesakitan (morbiditas) dan angka kematian (mortalitas) (Subandriyo 1993).

Morbiditas adalah jumlah kejadian suatu penyakit, yang dirumuskan sebagai jumlah anak yang sakit pada setiap populasi 1.000 anak. Angka kesakitan lebih mencerminkan keadaan kesehatan sesungguhnya, sebab kejadian kesakitan mempunyai hubungan yang erat dengan berbagai faktor lingkungan, seperti perumahan, air minum dan kebersihan serta faktor kemiskinan, kekurangan gizi dan pelayanan kesehatan di daerah tersebut (Beaglehole 1997). Angka kesakitan sangat sensitif dan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain tingkat pendidikan ibu, tingkat pelayanan kesehatan ibu dan anak, kondisi kesehatan lingkungan, status gizi dan perkembangan ekonomi (Subandriyo 1993).

Status Gizi

Gibson (2005) menyatakan bahwa status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbsi), dan utilitas zat gizi makanan. Selanjutnya menurut Supariasa et al. (2001) status gizi merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu. Penilaian status gizi dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Penilaian gizi yang dilakukan secara langsung meliputi antropometri, biokimia, klinis dan biofisik. Penilaian yang dilakukan secara tidak langsung seperti survei konsumsi makanan, statistik vital, dan faktor ekologi. Setiap metode memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing.

Di masyarakat cara pengukuran status gizi yang paling sering dilakukan dengan menggunakan metode antropometri. Antropometri sangat umum digunakan untuk menukur status gizi anak dari berbagai ketidakseimbangan antara asupan protein dan energi. Gangguan ini biasanya terlihat dari pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh (Supariasa et al. 2001). Menurut Thuluvath dan Triger (1994) pengukuran antropometri merupakan indikator yang reliable terhadap pengukuran status gizi.

(8)

Berdasarkan Supariasa et al. (2001) pengukuran status gizi dengan menggunakan metode antropometri memiliki kekurangan dan kelebihan. Kekurangan dari metode ini adalah (a) tidak sensitif, (b) faktor di luar gizi (penyakit, genetik dan penurunan penggunanaan energi) dapat menurunkan spesifikasi dan sensitivitas pengukuran antropometri, (c) kesalahan yang terjadi pada saat pengukuran dapat mempengaruhi presisi, akurasi dan validitas pengukuran antropometri gizi. Sedangkan kelebihannya adalah (a) relatif tidak membutuhkan tenaga ahli, (b) metode ini tepat dan akurat, (c) dapat mendeteksi atau menggambarkan riwayat gizi dimasa lampau, (d) umumnya dapat mengidentifikasi status gizi sedang, kurang dan gizi buruk, (e) dapat mengevaluasi perubahan status gizi pada periode tertentu.

Gibson (2005) menyatakan bahwa pada anak-anak indeks antropometri yang sering digunakan adalah berat badan menurut umur (BB/U), berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) dan tinggi badan menurut umur (TB/U). Indeks antropometri dapat dinyatakan dalam istilah z-skor, persentil atau persen terhadap median. Indikator BB/U menunjukkan secara sensitif status gizi saat ini karena mudah berubah. Namun indikator BB/U tidak spesifik karena berat badan tidak hanya dipengaruhi oleh umur saja tetapi juga oleh tinggi badan (TB). Indikator TB/U menggambarkan status gizi masa lalu dan indikator BB/TB menggambarkan status gizi saat ini secara sensitif dan spesifik.

Menurut WHO (2007) pengukuran status gizi pada anak usia 5 hingga 19 tahun sudah tidak menggunakan indikator BB/TB akan tetapi menggunakan indeks masa tubuh berdasarkan umur (IMT/U). Kategori status gizi berdasarkan IMT/U dapat dilihat pada Tabel berikut ini.

Tabel 1 Kategori status gizi berdasarkan IMT/U

Variabel Kategori -3 ≤ z ≤ -2 Kurus -2 ≤ z ≤ +1 Normal +1 ≤ z ≤ +2 Gemuk z > +2 Obese Sumber : WHO 2007 Prestasi Belajar

Prestasi belajar adalah hasil penilaian pendidik terhadap proses belajar dan hasil belajar siswa. Keberhasilan siswa dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain kecerdasan kognitif atau yang sering disebut dengan IQ secara umum diketahui sebagai prediktor utama dalam keberhasillan siswa di sekolah (Atkinson 2000)

(9)

Menurut Suryabrata (1995) keadaan jasmani pada umumnya dapat melatarbelakangi aktivitas belajar. Keadaan jasmani yang segar akan lain pengaruhnya dengan keadaan jasmani yang kurang segar. Keadaan gizi harus cukup karena kurang zat gizi akan mengakibatkan kurangnya kesehatan jasmani yang berpengaruhnya dapat berupa kelesuan, lekas mengantuk, lekas lelah, dan sebagainya. Beberapa penyakit kronis juga sangat mengganggu aktifitas belajar seperti pilek, influenza, sakit gigi dan lain sebagainya. Status gizi merupakan bagian penting dari status kesehatan seseorang. Berdasarkan penelitian dari Maryam (2001) terdapat hubungan yang positif antara kondisi status gizi dan kesehatan dengan prestasi belajar.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil analisis event study pada peristiwa terpilihnya Indonesia sebagai tuan rumah ASIAN GAMES tahun 2018 memperlihatkan bahwa tidak ada perbedaan abnormal

Kemampuan dribbling bola melewati lawan pada permainan futsal merupakan serangkaian gerakan yang dilakukan dengan melibatkan unsur fisik seperti daya koordinasi, kelincahan,

Kusyanto, Mohammad, “Konsep Dasar Arsitektur Tata Ruang Rumah Tinggal Tradisional Jawa Tengah pada Perkembangan Tata Ruang Masjid Kadilangu Demak dari Awal Berdiri

Pada penyelenggaraan ibadah haji terdapat jemaah haji yang tergolong resiko tinggi yaitu jemaah dengan kondisi kesehatan yang secara epidemiologi beresiko sakit

Pengukuran sianida dalam larutan pakan hijauan akan diperlakukan sama dengan larutan standar pada pengukuran sianida sebelumnya. Sehingga, larutan pakan hijauan

vinifera pada dosis I 100 mg/200 gram BB/hari, dosis II 250 mg/200 gram BB/hari, dosis III 500 mg/200 gram BB/hari, ketiga kelompok perlakuan dapat menurunkan kadar trigliserida

Ketiga, berdasarkan jenis klausa dalam bahasa Arab terdapat 26 data klausa yang menempati fungsi dalam susunan kalimat yaitu 20 data berjenis al-jumlatu al-wa>qi’atu

Hasil dari analisis penetapan kadar kedua sampel merek jamu pelangsing yang digunakan mengandung sibutramin HCl dengan kadar tiap kapsulnya masing-masing sebesar 15,39 mg