• Tidak ada hasil yang ditemukan

Wediombo Sustainability Karst Ecotourism Development Model in Gunungkidul District at Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) (ARIS MUNANDAR as Chairman

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Wediombo Sustainability Karst Ecotourism Development Model in Gunungkidul District at Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) (ARIS MUNANDAR as Chairman"

Copied!
203
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL PENGEMBANGAN KAWASAN EKOWISATA KARS

BERKELANJUTAN WEDIOMBO KABUPATEN GUNUNG

KIDUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (DIY)

WIDODO ISMANTO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul:

MODEL PENGEMBANGAN KAWASAN EKOWISATA KARS BERKELANJUTAN WEDIOMBO KABUPATEN GUNUNGKIDUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (DIY)

Merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

(3)

ABSTRACT

WIDODO ISMANTO. Wediombo Sustainability Karst Ecotourism Development Model in Gunungkidul District at Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). (ARIS MUNANDAR as Chairman. ANDRY INDRAWAN and SYAIFUL ANWAR as members of the Advisory Committee).

Wediombo Karst is part of Gunung Sewu Mountain Karst Area which had been decided as the world heritage since 1994 by the International Speleology Mac Donald British Cave Research Association. Due to its beautiful land- and seascape panorama, beautiful caves, and unique flora and fauna, this area is potential to be developed as ecotourism area. The objective of this research is to provide a model to develop Wediombo as Karst Ecotourism Area. The research was conducted in 3 steps, i.e. (1) identification of biophysics, socio-economics, socio-culture, legal review, and tourist typology; (2) analysis of demand-supply, cost-benefit priority, and area-zoning; and (3) model development. In identifications step, data was analyzed descriptively. Area-zoning was analyzed using micro-ROS method. Model was developed using AHP and SWOT (AWOT) analysis. The results showed that Wediombo Karst Area has many potential places to be developed as ecotourism area, including beaches, caves, forests, traditional agriculture, and mountain areas. In addition socio-cultural, socio-economics, and legal aspects as well as analysis of tourist typology; demand-supply, cost-benefit priority support the development of karst ecotourism. Micro-ROS analysis shows that Wediombo area spreads over zoning scale 1 to 6, suggesting the natural condition still dominant. Zone development priority analyses suggests that zone A (Wediombo Beach) is the first priority, followed consecutively by zone B (cave and beach), zone E (local culture), zone C (Lowo Cave), zone D (forest area) and zone F (roadside area, stretching from rural boundary to Wediombo Beach). The AWOT analysis shows that Strengths and Threats (S-T) are the main factor for development of strategy. These results suggest that ecotourism development strategy concern in diversification based on local community. The first priority for the development of ecotourism is education tourism, which is expected will derive community awareness on sustainability of the environment including local culture.

(4)

Kawasan Wediombo memiliki potensi kekayaan alam yang dapat dikembangkan sebagai kawasan wisata dan mempunyai daya jual yang tinggi. Salah satunya adalah potensi kars-nya yang merupakan kawasan yang unik dan potensial untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata yang berbasis ekologi. Untuk menjaga kawasan kars ini agar tidak mengalami kerusakan akibat pengembangan wisata, diperlukan pengembangan ekowisata. Permasalahan yang muncul bahwa sampai saat ini belum ada konsep yang jelas mengenai pengembangan ekowisata kars sehingga terancam keestariannya.

Penelitian bertujuan untuk membangun model pengembangan kawasan ekowisata kars yang berkelanjutan Wediombo.Untuk membangun model tersebut, beberapak kegiatan yang perlu dilakukan sebagai tujuan khusus adalah :

1. Mengidentifikasi potensi kawasan dengan mengidentifikasi karakteristik biofisik, sosial-budaya dan ekonomi kawasan kars Wediombo, legal aspek dan tipologi wisatawan untuk pengembangan ekowisata kars.

2. Menganalisis besarnya demand dan supply, serta prioritas manfaat dan biaya pengembangan ekowisata kars di kawasan Wediombo dan sekitarnya.

3. Mendelineasi zona kawasan kars Wediombo berdasarkan potensinya untuk pengembangan ekowisata yang berkelanjutan

4. Menyusun model pengembangan ekowisata kars di Wediombo dan sekitarnya.

Penelitian ini dilakukan di kawasan kars Wediombo, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian dilakukan selama delapan (8) bulan yaitu sejak bulan Oktober 2007 hingga Juni 2008. Analisis data meliputi : analisis deskriptif, analisis statistika, analisis supply dan demand, eckenrode, Metode Perbandingan Eksponensial (MPE), micro Recreational Opportunity Spectrum (micro-ROS), dan analisis AWOT yang merupakan gabungan antara metode Analytical Hierarchy Process (AHP) dan SWOT (Strenghts, Weaknesses, Opportunities, dan Threats)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kawasan Kars Wediombo mempunyai banyak potensi yang dapat dikembangkan sebagai kawasan ekowisata yang meliputi pantai, goa, hutan alam, perladangan tradisional, kawasan pegunungan, flora dan fauna. Komponen-komponen yang mendukung meliputi, kondisi biofisik, sosial-budaya, sosial-ekonomi masyarakat lokal, dan tipologi wisatawan yang diperkuat oleh aspek hukum. Hasil identifikasi demand

(5)

wisata pantai yang paling banyak dikunjungi, namun kondisi sarana dan prasarana masih kurang terutama atraksi budaya dan kebersihan, serta tempat-tempat ibadah.

Dalam rangka menuju pembangunan ekowisata kars yang berkelanjutan, maka prioritas manfaaf (benefit) yang diharapkan dalam pengembangannya lebih diprioritaskan pada manfaat ekonomi dan selanjutnya manfaat lingkungan dan sosial. Ini berarti bahwa pengembangan ekowisata kars Wediombo setidaknya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar dan pendapatan asli daerah (PAD) dengan tetap memperhatikan kelestarian linfgkungan dan kondisi sosial masyarakat. Adapun pilihan keputusan prioritas manfaat adalah perubahan pola hidup. Sementara dilihat dari prioritas biaya (cost) yang dikeluarkan dari pengembangan ekowisata kars, maka biaya perbaikan lingkungan menempati posisi pertama, kemudian diikuti faktor ekonomi dan sosial mempunyai. Adapun pilihan keputusan prioritas adalah biaya perencanaan kawasan dan konservasi sedimen.

Kawasan Wediombo secara kealamiahan masuk dalam skala 1 sampai 6 (micro-ROS), yang artinya didominasi oleh kawasan alami. Pantai Jungwok, Dadapan, Hutan Alam, Goa dan pegunungan pada skala 1 sampai 4, untuk Pantai Wediombo pada skala 3 sampai 6. Pengembangan kawasan wisata kars Wediombo dibagi enam zone dengan peringkat pertama Zone A (Pantai Wediombo), kemudian berturut-turut Zone B (Pantai dan Goa), Zone E (Pusat Budaya), Zone C (Goa Lowo), Zone D dan Zone F masing-masing kawasan Hutan alam dan Kawasan sepanjang jalan menuju Pantai Wediombo. Setiap zone memiliki kantong-kantong rekreasi yang menarik untuk dikembangkan sebagai objek wisata

(6)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2009. Hak Cipta dilindungi Undang-undang.

1) Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber :

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

MODEL PENGEMBANGAN KAWASAN EKOWISATA KARS

BERKELANJUTAN WEDIOMBO KABUPATEN GUNUNG

KIDUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (DIY)

WIDODO ISMANTO

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

Pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Institut Pertanian Bogor

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Judul Disertasi : Model Pengembangan Kawasan Ekowisata Kars Berkelanjutan Wediombo Kabupaten Gunungkidul Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)

Nama Mahasiswa : Widodo Ismanto Nomor Pokok : P062050674

Program Studi : Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Menyetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Aris Munandar, M.S. Ketua

Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, M.S. Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc. Anggota Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Alam Institut Pertanian Bogor dan Lingkungan IPB

Prof. Dr. Ir. Surjono H Sutjahjo, M.S. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

(9)

PRAKATA

Disertasi ini dibuat untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan studi S3 di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (PS PSL-IPB). Tema dari penelitian ini adalah ekowisata kars, sedangkan judul yang dipilih adalah Model Pengembangan Kawasan Ekowisata Kars Berkelanjutan Wediombo Kabupaten Gunungkidul Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Alasan pokok yang mendasari judul yaitu masih sedikitnya pengembangan kawasan kars sebagai kawasan ekowisata, sehingga kawasan kars masih dianggap sebagai kawasan yang tandus, kering, kekurangan pangan dan kawasan miskin.

Kawasan kars Wediombo merupakan bagian dari kawasan kars Gunungsewu yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia sejak tahun 1994 oleh

International Speleology Mac Donnald British Cave Research Assosiation dan Keputusan menteri ESDM tahun 1993 sebagai kawasan kars yang dilindungi dan tahun 1994 ditetapkan sebagai kawasan eko-kars.

Untuk mengoptimalkan Kawasan Wediombo sebagai kawasan ekowisata, maka dilakukan identifikasi biofisik untuk mengetahui potensi dan penyebaran kawasan wisata, sedangkan untuk mendukung pengembangan ekowisata dilakukan identifikasi sosial-budaya, sosial-ekonomi masyarakat setempat, aspek legal dan tipologi wisatawan.

(10)

Dr. Ir. Etty Riyani, MS yang membantu memberikan masukan. Penulis juga merasa berhutang budi kepada Dr. Ir. Hikmad Ramdan, MS dan Dr. Ir. Thamrin Rasyid, MS yang membuka pikiran penulis sebelum dan sesudah melakukan penelitian mengenai ekowisata kars. Juga kepada Dr. Ir. Suaedi, MS maupun Sdr. Rahman Kurniawan mahasiswa S3 PSL yang telah meluangkan waktu untuk berkenan berdiskusi dengan penulis dan memberikan masukan yang sangat berarti. Tak lupa penulis ucapkan terimakasih terhadap kawan-kawan program S3 PSL dan rekan mahasiswa yang lain yang telah memberikan saran dari saat kolokium maupun seminar yang merupakan tambahan yang berarti. Tidak lupa kepada Sdri. Ririn, Sdri Suli dan staf sekretariat program S3 PSL yang lain yang sejak awal menjadi “perantara” antara penulis dan pembimbing karena keterbatasan waktu. Terakhir kepada kedua orangtua yang setiap saat mendoakan untuk kemudahan anaknya dalam menjalankan proses pembelajaran, dan tak lupa kepada mertua yang mendorong dan memotivasi untuk menyelesaikan S3; istriku tercinta Tresni Prayetni Dewi, teman setia yang dengan sabar memotivasi dan mendorong untuk menyelesaikan disertasi ini; serta anak-anakku tersayang, Arif Eko Putranto dan Haris Jati Kuncoro, yang sabar telah menunggu ayahnya mengurangi waktu untuk menemani mereka.

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 09 Juli 1963 di Nganjuk Jawa Timur, sebagai anak kedua dari empat bersaudara, pasangan Markijo dan Wardjinah (Alm). Pendidikan Akademi ditempuh di Jurusan Geofisika, Akademi Meteorologi dan Geofisika, lulus tahun 1986. Sarjana ditempuh di Jurusan Statistik, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UT, lulus tahun 1998. Pada tahun 2001 penulis melanjutkan S2 Kajian Energi Program Studi Pembangunan, Fakultas Teknologi Industri ITB, lulus tahun 2003. Pada tahun 2005 penulis diterima di Program S3 Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan IPB. Sebelumnya penulis pernah bekerja di Badan Meteorologi dan Geofisika setelah menyelesaikan dari Akademi Meteorologi dan Geofisika sampai tahun 1990. Kemudian penulis mengundurkan diri atas permintaan sendiri dan bekerja di Petromer Trend Companies in Indonesia hinga PetroChina International Companies in Indonesia Ltd. sampai sekarang.

Penulis menikah dengan Tresni Prayetni Dewi, putri ketiga dari tiga bersaudara, pasangan Sumardjo dan Srimulyani pada tahun 1994 dan dikarunia dua putra Arif Eko Putranto dan Haris Jati Kuncoro.

Pada tahun 1986-1989 aktif di Himpunan Ahli Geofisika Indonesia (HAGI) selain sebagai anggota juga menulis mengenai kegempaan di Indonesia di Jurnal HAGI. Pernah menulis di Suara Karya dan Kompas mengenai Gempa bumi yang dihubungkan dengan penataan lingkungan.

Bagian disertasi yang telah dimuat dalam Jurnal Ilmiah Kepariwisataan Indonesia terakreditasi B (ISSN 1907-9419) pada bulan Maret 2008 volume 3, nomor 1, halaman 101-113, dengan judul Identifikasi Potensi Wediombo Sebagai Kawasan Ekowisata Kars di Kabupaten Gunungkidul Daerah Istimewa

(12)

Halaman

DAFTAR ISI... xi

DAFTAR TABEL... xiii

DAFTAR GAMBAR... xv

DAFTAR LAMPIRAN... xvii

GLOSARIUM... xviii

BAB I. PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Kerangka Pemikiran... 6

1.3. Perumusan Masalah ... 9

1.4. Tujuan Penelitian ... 11

1.5. Manfaat Penelitian ... 12

1.6. Novelty (Kebaruan)... 13

BAB. II. TINJAUAN PUSTAKA... 14

2.1. Potensi Biofosik, Sosial ekonomi, dan sosial Budaya ... 15

2.2. Perbandingan Cara Pengelolaan Ekowisata ... 20

2.3. Tipologi Pengunjung ... 23

2.4. Aspek Permintaan (Demand) dan Penawaran (Supply) Wisata ... 25

2.5. Analisis Micro-ROS ... 27

2.6. Analisis Prioritas Manfaat dan Prioritas Biaya ... 27

2.7. Strategi Pengembangan Ekowisata ... 28

BAB III. METODE PENELITIAN... 31

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 31

3.2. Tahapan Penelitian ... 32

3.3. Metode Penelitian ... 33

3.3.1. Identifikasi Potensi Pengembangan Kawasan Ekowisata Kars ... 33

3.3.2. Studi Supply dan Demand, serta Prioritas Manfaat dan Prioritas Biaya Ekowisata Kars Wediombo ... 38

(13)

3.3.4. Model Pengembangan Ekowisata Kars Wediombo

Berkelanjutan ... 44

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 52

4.1. Potensi Pengembangan Ekowisata Kars ... 52

4.1.1. Kondisi Biofisik, Sosial Ekonomi, dan Sosial Budaya ... 52

4.1.2. Aspek Legal ... 79

4.1.3. Tipologi Wisatawan ... 83

4.2. Besarnya Demand dan Supply, serta Manfaat dan Biaya Pengembangan Ekowisata Kars di Kawasan Wediombo ... 92

4.2.1. Hasil Demand dan Supply ... 93

4.2.2. Prioritas Manfaat (Benefit) dan Biaya (Cost) ... 106

4.3. Pembagian Zone Kawasan Kars Wediombo, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta ... 112

4.4. Model Pengembangan Ekowisata Kars Wediombo Gunungkidul Yogyakarta ... 139

4.4.1. Penentuan dan Peringkat Faktor-Faktor Internal dan Eksternal dalam Pengembangan Ekowisata Kars Wediombo ... 139

4.4.2. Model Pengembangan Ekowisata Kars Wediombo... 144

4.5. Rekomendasi Kebijakan Pengembangan Kawasan Ekowisata Kars Wediombo ... 167

4.5.1. Kebijakan Umum ... 167

4.5.2. Kebijakan Operasional ... 168

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 171

5.1. Kesimpulan ... 171

5.2. Saran-Saran ... 173

DAFTAR PUSTAKA... 175

(14)

Halaman

1. Perbandingan cara pengelolaan ekowisata ... 21

2. Tipologi wisatawan dalam Micro-ROS ... 25

3. Penentuan bobot faktor manfaat (Benefit) ... 41

4. Penentuan bobot faktor biaya (Cost) ... 41

5. Nilian penataan kawasan rekreasi alam ... 44

6. Faktor-faktor dalam analisis SWOT ... 47

7. Kategori wisata dalam skala Micro-ROS ... 48

8. Matrik perbandingan berpasangan berdasarkan skala Saaty... 50

9. Nilai indeks random untuk penentuan consistency ratio (CR) ... 51

10. Karakteristik fauna di kawasan Wediombo ... 56

11. Keberadaan fauna di Kawasan Wediombo (catatan desa dan Wawancara ... 58

12. Tanaman endemik yang dikembangkan ... 60

13. Tanaman produksi yang dikembangkan ... 60

14. Kegiatan pendukung wisata di kawasan kars Wediombo ... 62

15. Status kawasan di Desa Jepitu ... 71

16. Kondisi profesi masyarakat Jepitu ... 71

17. Karakteristik masyarakat lokal ... 72

18. Jenis budaya tradisional kawasan Wediombo ... 74

19. Persepsi masyarakat lokal kawasan kars Wediombo ... 76

20. Partisipasi masyarakat local di sekitar kawasan kars Wediombo ... 79

21. Motivasi dan kegiatan wisatawan di kawasan Wediombo ... 86

22. Persepsi wisatawan ... 89

23. Kemauan membayar wisatawan di kawasan kars Wediombo ... 91

24. Analisis Pearson hubungan antar variable ... 102

25. Matrik manfaat dari pendapat pakar sisi ekonomi, lingkungan dan sosial... 107

26. Matrik biaya dari sisi ekonomi, lingkungan, dan sosial ... 108

27. Manfaat pengembangan ekowisata kars Wediombo... 110

(15)

29. Hasil evaluasi setting potensi kawasan wisata Wediombo secara

Biofisik... 115

30. Hasil evaluasi setting kawasan wisata Wediombo secara sosial... 115

31. Hasil evaluasi setting potensi kawasan wisata Wediombo secara administratif ... 116

32. Daftar fauna yang berada di kawasan Wediombo... 119

33. Matrik kategori zone kawasan dan objek pengelolaan menurut IUCN ... 126

34. Zone kawasan kegiatan wisata di kawasan kars Wediombo ... 128

35. Matrik penentuan nilai jumlah wisatawan berkunjung ... 129

36. Matrik penentuan nilai banyaknya kesempatan berekreasi ... 130

37. Matrik penentuan nilai persaingan kawasan wisata ... 130

38. Nilai kelayakan kawasan Wediombo ... 131

39. Matrik analisa viabilitas zone-zone kawasan Wediombo ... 132

40. Deskripsi zone produk ekowisata di kawasan ekowisata kars Wediombo (zone A)... 133

41. Deskripsi zone produk ekowisata di kawasan ekowisata kars Wediombo (zone B) ... 134

42. Deskripsi zone produk ekowisata di kawasan ekowisata kars Wediombo (zone C) ... 135

43. Deskripsi zone produk ekowisata di kawasan ekowisata kars Wediombo (zone D)... 136

44. Deskripsi zone produk ekowisata di kawasan ekowisata kars Wediombo (zone E) ... 137

45. Deskripsi zone produk ekowisata di kawasan ekowisata kars Wediombo (zone F)... 138

46. Hasil identifikasi faktor-faktor kekuatan (Strength) ... 139

47. Hasil identifikasi faktor-faktor kelemahan (Weaknesses)... 140

48. Hasil identifikasi faktor-faktor peluang (opportunities) ... 141

49. Hasil identifikasi faktor-faktor ancaman (Threats)... 141

50. Formulasi rancangan pengembangan ekowisata kars Wediombo Matrik SWOT ... 143

51. Matrik strategi pengembangan dengan pewilayahan (zone)... 150

52. Daya tarik alternatif kegiatan ekowisata di kawasan kars Wediombo ... 153

(16)

Halaman 1. Kluster pengembangan wisata di Pantai Selatan Yogyakarta,

Kawasan Wediombo termasuk dalam kluster Pantai Rongkop ... 3

2. Tiga pilar sistem manajemen lingkungan (SML) ... 8

3. Kerangka pemikiran penelitian ... 9

4. Skema perumusan masalah model pengembangan kawasan Ekowisata kars yang berkelanjutan di wediombo... 12

5. Skema deomorfologi kars ... 16

6. Proses pengikisan batuan karbonat membentuk struktur goa ... 17

7. Lokasi penelitian kawasan Wediombo ... 31

8. Tahapan penelitian pengembangan kawasan ekowisata Wediombo . ... 32

9. Hierarkhi mekanisme pemilihan pengembangan wisata ... 49

10. Peta kelerengan kawasan Wediombo ... 53

11. Letak goa berdasarkan proses pembentukan ... 55

12. Potensi penyebaran kawasan wisata Wediombo ... 67

13. Potensi pergerakan wisatawan di kawasan Wediombo ... 68

14. Lingkaran optimalisasi ekowisata dan kelembagaan ... 69

15. Stakeholder yang berperan dalam bisnis ekowisata ... 70

16. Pendapatan masyarakat lokal per bulan ... 73

17. Beberapa rangkaian upacara Ngalangi ... 75

18. Diagram hari puncak kunjungan wisatawan ... 84

19. Diagram motivasi dan aktivitas wisatawan di kawasan kars Wediombo ... 87

20. Diagram jenis kelompok wisatawan ... 94

21. Diagram kelompok umur wisatawan yang berkunjung ke Wediombo ... 95

22. Diagram pendpatan wisatawan di kawasan kars Wediombo ... 95

23. Diagram kemauan membayar wisatawan ... 96

24. Diagram lamanya jarak tempuh wisatawan ... 97

25. Peta waktu perjalanan ke kawasan Wediombo Gunungkidul ... 98

(17)

27. Diagram lamanya wisatawan berkunjung ke kawasan Wediombo... 100

28. Jenis transportasi wisatawan ke kawasan Wediombo... 100

29. Tempat yang paling menarik menurut wisatawan ... 103

30. Kondisi sarana dan prasarana di kawasan Wediombo ... 103

31. Kekurangan kondisi infrastruktur ... 104

32. Kantong-kantong potensi kawasan wisata berdasar Micro-ROS... 112

33. Pembagian zoning kawasan kars Wediombo... 125

34. Hierarkhi model pengembangan kawasan ekowisata kars Berkelanjutan di Wediombo ... 146

35. Prioritas komponen SWOT dalam pengembangan kawasan Ekowisata kars Wediombo... 148

36. Prioritas faktor SWOT (Kekuatan) dalam pengembangan kawasan Ekowisata kars Wediombo... 156

37. Prioritas faktor SWOT (Ancamann) dalam pengembangan kawasan Ekowisata kars Wediombo... 157

38. Prioritas faktor SWOT (Peluang) dalam pengembangan kawasan Ekowisata kars Wediombo... 158

39. Prioritas faktor SWOT (Kelemahan) dalam pengembangan kawasan Ekowisata kars Wediombo... 159

40. Prioritas masing-masing aktor yang berperan dalam pengembangan Kawasan ekowisata kars Wediombo ... 160

41. Optimalisasi pengembangan ekowisata ... 162

42. Prioritas masing-masing tujuan yang ingin dicapai dalam pengembangan kawasan ekowisata kars Wediombo... 164

43. Prioritas masing-masing strategi pengembangan kawasan ekowisata Kars Wediombo ... 165

44. Lingkaran optimalisasi ekowisata kars Wediombo dan Kelembagaan (Pengembangan dari Weaver, 2001) ... 167

(18)

xvii

Halaman

1.

Kuesioner pengembangan ekowisata kars di Wediombo ...

182

2.

Pembobotan kriteria prioritas manfaat dan biaya ...

207

3.

Kuesioner penilaian variabel pengembangan kawasan ekowisata kars.

208

4.

Peta tematik curah hujan ...

209

5.

Peta tematik tingkat erosi ...

210

(19)

xviii

Glosarium

Istilah-istilah

Ampyang

: Makanan yang terbuat dari kacang tanah dengan gula merah, sehingga

membentuk seperti rempeyek

Asum Dahar:

Prosesi ziarah ke tempat Gusti Ibu Kanjeng Nganglang Jagad Noto

Kusumo, dilaksanakan setiap tahun sehabis panen di dusun Manukan pada sebuah

watu dukun

dilaksanakan pada Jumat wage atau Jumat legi

Conical

:

pegunungan di kawasan kars yang berbentuk kerucut

Critically Endangered (CR)

:

Kategori ditujukan kepada spesies yang menghadapai

resiko tinggi menuju kepunahan dalam waktu dekat.

Dolin

:

merupakan cekungan-cekungan tertutup berbentuk bulat atau lonjong dengan

diameter beberapa meter hingga lebih kurang satu kilometer.

Endangered (EN

)

:

Tidak masuk dalam spesies CR tetapi menghadapi resiko kepunahan

di alam liar dalam waktu yang agak dekat (rentang waktunya lebih lama dari CR)

Extinct (EX):

Kategori untuk spesies yang dapat dipastikan tidak ada lagi

individunya yang masih hidup.

Extinct in the wild (EW):

Berlaku untuk spesies yang tidak dapat diketemukan lagi di

habitat/lingkungan aslinya. Keberadaan hidupnya berada di wilayah aslinya,

dengan tujuan pengembangbiakkan.

Gawar Kentheng/Sriatan:

adalah pasang batas dusun dengan menggunakan tali dari

bambu yang diberi ijuk. Dilaksanakan bulan Shuro (Muharom) hari Jum’at legi.

Gumbreg:

dilaksanakan setiap tahun 2 kali, fungsinya untuk sesaji hewan ternak dan alat

pertanian, dengan makanan khas ketupat dan jadah.

Jadah:

Ketan yang sudah matang, selama proses pematangan ketan dicampur dengan

santan kelapa kemudian ketan yang matang digiling sampai halus.

Kars

:

kawasan dengan kondisi hidrologi yang khas sebagai akibat dari batuan yang

mudah larut dan mempunyai porositas sekunder yang berkembang baik.

Kawasan kars:

kawasan batuan karbonat (batuan gamping dan atau dolomit) yang

memperlihatkan morfologi kars yang ditandai oleh bukit berbangun kerucut dan menara,

lembah dolina, gua, dan stalagtit serta sungai bawah tanah.

(20)

xix

kliwon atau senin wage

Least Concern (LC

)

:

Tidak termasuk spesies dalam CR, EN, VU dan LC.

Keberadaannya masih tersebar dalam wilayah tertentu.

Memule:

doa yang dilakukan setiap keluarga yang akan menikahkan anak atau untuk

awal mulai pertanian atau pembangunan rumah. Pelaksanaan setiap hujan turun

atau akan menikahkan anak atau membangun rumah.

Near Treathened (NT

):

Tidak masuk dalam spesies VU tetapi menghadapi resiko punah

dalam jangka waktu panjang.

Ngalangi:

Ucapan rasa sukur setelah selesai panen dilakukan dengan cara melakukan

ritual laut dengan cara melabuh tumpeng, ayam, kain, benang, gunting, jarum di

Pantai Wediombo, sedangkan waktu ritual menagkap ikan di Pantai Jungwok

Nyadran:

Nadar yang dipenuhi dan mengunjungi peristirahatan Gusti Worawari dalam

satu tahun sekali setelah panen bersama waktu Rosulan.

Ngirim Pari

: mengirim padi dengan kunyit, asem, dan bedak dari padi (rujak asem)

ketika padi mau berisi.

Polje

:

merupakan kawasan yang berlantai datar, dapat berupa batuan dasar atau batuan

lepas seperti alluvium, cekungan tertutup dengan lereng terjal paling tidak pada

salah satu sisinya, dan mempunyai drainase kars.

Pit Cave

: goa yang mempunyai kedalaman tegak lurus

Red list data book

: Buku merah yang berisi tentang fauna yang berpotensi akan punah

menurut IUCN

Resan:

tempat yang masih banyak ditumbuhi pohon dan menurut kepercayaan ada

“penghuninya” tidak boleh dirusak, ketika acara rosul dibersihkan daun yang

berada di bawah pohon tersebut

Satelit Ketela:

Makanan terbuat dari ketela yang diparut kemudian di kukus dan

mempunyai bentuk tipis seperti lempeng.

Speleology

:

ilmu yang mempelajari tentang kehidupan dan ekosistem yang

tejadi di dalam goa

Srimping:

Jadah dicetak tipis bulat dikeringkan, setelah itu di goreng

(21)

xx

Vulnerable (VU

):

Tidak masuk dalam spesies EN tetapi menghadapi resiko punah dalam

jangka waktu menengah.

Worang:

makanan terbuat dari ketan yang di kukus samapai matang dan cara makan

dengan menggunakan parutan kelapa

Operasional

Daya dukung adalah:

kondisi maksimum suatu ekosistem untuk menampung komponen

biotic (mahluk hidup) yang terkandung di dalamnya, dengan juga memperhitungkan

factor lingkungan dan factor lainnya yang berperan di alam.

Ekosistem adalah:

sebuah entitas yang terdiri dari tumbuhan, hewan serta lingkungan

disekitarnya, serta pertukaran energi dan materi pada lingkungan tersebut (Barbour dalam

UU N0.67/2004 tentang pedoman umum pengembangan pariwisata di pulau-pulau kecil).

Ekowisata adalah

: kegiatan wisata berdasarkan lingkungan yang menitikberatkan aspek

konservasi dan aspek pemberdayaan masyarakat lokal dari unsure social, ekonomi dan

budaya serta mengandung aspek pendidikan.

Kebijakan adalah

: serangkaian keputusan yang diambil oleh seorang aktor atau

kelompok aktor yang berkaitan dengan seleksi tujuan dan cara mencapai tujuan tersebut

dalam situasi tertentu, dimana keputusan tersebut berada dalam cakupan wewenang para

pembuatnya (William

Jenkins, 1978).

Kawasan adalah:

wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budi daya (UU No.

26/2007 tentang Penataan Ruang)

Klasifikasi kawasan kars adalah

: kegiatan menentukan atau membagi suatu kawasan

kars menjadi satu atau beberapa kelas sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dan potensi

yang dimilikinya

Pembangunan pariwisata berkelanjutan adalah

: pembangunan yang mampu

memenuhi kebutuhan wisatawan dan masyarakat di daerah tujuan saat ini dengan tetap

menjaga dan meningkatkan kesempatan pemenuhan di masa yang akan datang.

Pengembangan kawasan adalah:

upaya adaptif mengembangkan kawasan yang dapat

menyesuaikan dengan lingkungan untuk mencapai keserasian antarsektor dan

antarwilayah, serta antarnegara yang bertetangga sehingga dapat mensejajarkan diri

dengan negara yang lebih maju.

(22)

xxi

perikehidupan manusia dan mahluk hidup lain.

(23)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pada era industrialisasi, semakin banyak orang yang membutuhkan kompensasi untuk menikmati waktu luangnya (leisure time) dengan melakukan perjalanan wisata. Naisbit (1994) telah memperkirakan bahwa mulai tahun 2000 sektor pariwisata akan menjadi industri terbesar di dunia dan menyumbang ekonomi global. Sebagai penyumbang ekonomi global, pakar ini menyatakan bahwa sektor pariwisata tidak ada tandingannya dikarenakan mampu mempekerjakan 204 juta orang di seluruh dunia, atau 10,6% dari angkatan kerja global, menghasilkan 10,2% produk nasional bruto dunia, dengan keluaran bruto mendekati US$ 3,4 triliun, dan menjadi produsen terkemuka dengan pendapatan pajak terbesar mencapai US$ 655 milyar (WTO, 2000). Kondisi ini terus mengalami kenaikan, sebagaimana ditunjukkan dengan pendapatan pajak yang mencapai US$ 733 milyar (WTO, 2006).

Sektor pariwisata memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia, baik sebagai salah satu sumber penerimaan devisa maupun sebagai pencipta lapangan kerja serta kesempatan berusaha. Jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) sebanyak 4.871.351 orang, dan penerimaan sebesar US$ 4.447,98 Juta (BPS, 2006). Wisatawan yang mengunjungi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) berjumlah 2.139.540 orang (BPS Yogyakarta, 2006).

Sumbangan sektor pariwisata terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Gunungkidul semakin meningkat. Pada tahun anggaran 1993/1994, sumbangan sektor pariwisata terhadap PAD mencapai Rp.111 juta (5,9%), kemudian pada tahun anggaran 1998/1999 meningkat Rp.304 juta (6,8%). Selain itu kunjungan wisata tahun 1993 berjumlah 179.374 orang (termasuk 393 wisata mancanegara), sedangkan pada tahun 1998 meningkat menjadi 300.847 orang (termasuk 453 wisata mancanegara). Ini menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 5 tahun telah terjadi kenaikan kunjungan wisata rata-rata 12% per tahun (Dinas Pariwisata Kabupaten Gunungkidul, 2000).

(24)

daya jual yang tinggi. Kawasan Pegunungan Seribu dengan potensi kars-nya, merupakan kawasan yang unik dan potensial untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata yang berbasis ekologi dan kelestarian lingkungan. Selain unik, kars merupakan kawasan yang cukup langka di Indonesia bahkan di dunia dan belum banyak dikembangkan sebagai daerah ekowisata. Keputusan Menteri ESDM N0. 961.K/40/MEM/2003 tanggal 23 Juli 2003 dan tanggal 1 Desember 2004 telah menetapkan bahwa kawasan kars Pegunungan Seribu Kabupaten Gunungkidul sebagai kawasan eko-kars. Kawasan ini merupakan kawasan kars tropik dan telah ditetapkan sebagai kawasan warisan dunia (The World Heritage) pada tahun 1994 oleh International Speleology Mac Donnald British Cave Research Association, dan menyebutkan bahwa Kars Gunung Sewu merupakan salah satu kars terbaik di dunia.

Untuk menjaga kawasan kars tidak mengalami kerusakan akibat pengembangan wisata maka, diperlukan pengembangan ekowisata, karena ekowisata merupakan bagian dari semua jenis wisata antara lain: wisata masa, wisata alternatif dan wisata berkelanjutan (Weaver, 2001). Pariwisata di Yogyakarta dikembangkan sebagai wisata budaya dan konservasi, serta menempatkan jenis wisata lain sebagai wisata pendukung, dan berdasarkan keseimbangan pasar dan potensi yang tersedia, termasuk kawasan di Kabupaten Gunungkidul (Bapeda Yogyakarta, 2000).

(25)

3 tersebut secara turun temurun, yang pada umumnya merupakan komunitas marginal. Saptosari Goa Maria Tritia Pt. Ngobaran Pt. Nguyahan Pt. Subuh Pt. Langkap Pt. Grigik Goa Sodo Pt. Ngicahan Goa Topan Pegunungan Karik Sandang Beji Pesanggrahan Gembirawati Pantai Parang Rodeo Goa Cirme Pallyan Aortapaar Wonokobaran Panggang Tepus Pt. Boran

Pt. Kukla Pt. SepanjangPt. Krakel Pt. Sandak Pt. Stik

Pt. Dhini Gunung Batur

Pantai Slang Pantai Wedlember

Kluster Pantai Rongkop dan sekitarnya

Pantai Sadeng Pantai Ngungap

Rongkop

Kluster Pantai Tepus dan sekitarnya Kluster Pantai Saptosari

dan sekitarnya Kluster Panggang dan sekitarnya

Samudera Hindia

North

Gambar 1. Kluster Pengembangan Wisata di Pantai Selatan Yogyakarta; Kawasan Wediombo termasuk dalam Kluster Pantai Rongkop

Wediombo merupakan salah satu kawasan di Kabupaten Gunungkidul yang sedang dikembangkan sebagai kawasan wisata (Dinas Pariwisata Gunungkidul, 2000). Pemanfaatan yang dilakukan pada saat ini adalah sebagai wisata pantai, tetapi kawasan ini belum tertata dengan baik. Jumlah pengunjung rata-rata 13.510 wisatawan/tahun dengan pemasukan Rp. 17.656.000/tahun (Dinas Pariwisata Gunungkidul, 2008).

(26)

Kawasan Wediombo mempunyai dataran yang luas yang dikelilingi bukit-bukit kars dan berpotensi untuk kegiatan camping ground, trekking, hiking, dan kegiatan wisata lainnya. Masyarakat lokal Kawasan Wediombo mempunyai kebudayaan khas yang bersifat tradisionil, dan merupakan potensi yang menarik untuk dikembangkan sebagai pendukung kegiatan wisata. Berbagai potensi daya tarik alam (lanskap) pada Kawasan Kars Wediombo mendukung pengembangan konsep ekowisata yang berbasis kepada kawasan kars.

Permasalahannya adalah kawasan kars merupakan ekosistem yang

fragile (Aurighi et al., 2004), sehingga kalau dikembangkan harus memperhitungkan daya dukungnya. Strateginya adalah mengembangkan bentuk wisata yang mempunyai fungsi penyangga, sehingga tekanan kegiatan wisata ke obyek kars secara langsung dapat dikurangi, sekaligus sumbangan terhadap perekonomian dan pengembangan masyarakat. Oleh karena itu perencanaan spatial kawasan dengan mempertimbangkan nilai lingkungan alami penting dilakukan.

Beberapa metode pengelolaan ekowisata antara lain adalah: (1) Limit of Acceptable Change (LAC) (Stankey et al. dalam Farrel dan Marion JL, 2002) menekankan terhadap perlindungan kawasan, tetapi dari sisi ekonomi tidak optimal. (2) Visitor Impact Management (VIM) (Susan et al., 2003), menekankan mengenai dampak kondisi sekarang tetapi tidak mengkaji potensial yang menyebabkan dampak tersebut. (3) Visitor Experience Resources Protection

(27)

5

supply, analisis prioritas manfaat-biaya dan analisis spasial untuk ekowisata dengan micro-ROS. Model pengembangan ekowisata dianalisis dengan analisis SWOT dan analisis AHP.

Beberapa penelitian yang pernah dilakukan di kawasan karst antara lain; Penelitian di kawasan kars Belize di Amerika Tengah dan Caribia membahas mengenai peningkatan tekanan penduduk dan menekankan kepada perlindungan lingkungan (Day, 1996), penelitian ekowisata di kepulauan Ogasawara (Ichiki, 2002), membahas mengenai identifikasi kawasan yang potensial sebagai kawasan ekowisata. Penelitian lain adalah sistem keberlanjutan Kars dilihat dari sisi managemen kebiasaan masyarakat dan lingkungan fisik, yang ditekankan pada kemampuan masyarakat untuk menyelaraskan kehidupan sesuai lingkungannya (Sunkar, 2004). Beberapa penelitian tersebut ternyata hanya menekankan kepada perlindungan lingkungan pada kawasan fragile, kemampuan masyarakat bertahan dan identifikasi kawasan tanpa menyinggung maksimalisasi kesempatan berekreasi pada kantong kawasan yang potensial untuk pengembangan wisata, sehingga dapat meningkatkan nilai ekonomi, ekologi, maupun sosial budaya pada suatu wilayah (region) yang luas. Penelitian di Kawasan Wediombo ini merupakan penelitian dengan pendekatan terpadu selain melakukan perencanaan konservasi, juga menganalisis prioritas manfaat dan biaya, keselarasan permintaan dan kesediaan, menganalisis SWOT objek wisata, dan penentuan alternatif jenis wisata.

Upaya untuk mengembangkan Kawasan Kars Wediombo sebagai wilayah ekowisata masih dihadapkan kepada berbagai permasalahan. Permasalahan mendasar antara lain adalah belum adanya sarana dan prasarana yang memadai sebagai kawasan ekowisata, belum lengkapnya inventarisasi dan informasi spasial mengenai potensi kawasan wisata dan belum terumuskannya aspek aspek strategi pengembangan ekowisata kars Kawasan Wediombo secara optimal.

(28)

Wediombo dan sekitarnya. Semua potensi yang ada belum dikemas sebagai atraksi wisata yang menarik. Oleh sebab itu perlu adanya penelitian untuk menjawab permasalahan tersebut supaya dapat merancang model pengembangan wilayah Kars Wediombo dan sekitarnya sebagai kegiatan ekowisata yang terpadu.

1.2. Kerangka Pemikiran

Secara konseptual, ekowisata didefinisikan sebagai suatu bentuk wisata yang berbasis kepada sumberdaya alam dan keberlanjutan, difokuskan kepada pengalaman dan pembelajaran tentang sumberdaya alam, mengendalikan dampak negatif yang rendah, tidak konsumtif dan berorientasi kepada masyarakat lokal (kontrol, manfaat, dan skala). Tipenya adalah kawasan alam dan mempunyai konstribusi untuk mencari pengalaman dan konservasi atau perlindungan kawasan (Fennel, 1999). Ekowisata merupakan pengembangan pariwisata berkelanjutan yang bertujuan untuk mendukung upaya pelestarian lingkungan, yang meliputi alam maupun budaya untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan yang konservatif, sehingga memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat setempat (Ditjen Pariwisata, 1995). Kawasan Kars Wediombo merupakan bagian dari kawasan Kars Gunungsewu yang ditetapkan sebagai warisan dunia (International Speleology Mac Donnald British Cave Research Association, 1994).

Ditinjau dari segi pengelolaan, ekowisata merupakan kegiatan wisata yang bertanggungjawab di tempat-tempat alami dan atau daerah-daerah yang dibuat berdasarkan keindahan alam dan secara ekonomi berkelanjutan berupaya mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan alam dan budaya dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat (Suhandi, 2001). Ekowisata dapat dikatakan lahir karena kecenderungan wisatawan dalam memilih objek atau lokasi wisata untuk dikunjungi. Wisatawan tidak hanya sekedar ingin melihat dan menikmati daya tarik objek wisata, tetapi telah meningkatkan keinginan ke arah mendapatkan tambahan wawasan, pengalaman dan pengetahuan baru.

(29)

7 kawasan Wediombo merupakan tujuan utama pengunjung yang berupa pantai teluk dengan batuan vulkanik atau disebut pantai gunung api (Sunarto, 2000).

Selain mempunyai potensi wisata alam dan pantai, terdapat potensi taman laut, wisata penelitian dan diving zone. Di sebelah barat di luar Kawasan Wediombo terdapat wisata panjat tebing yang bertaraf internasional(tebing yang curam di Pantai Siung). Potensi lainnya adalah terdapatnya bentukan bentang alam pada batuan karbonat (batu gamping) yang mempunyai bentuk sangat khas berupa bukit berbentuk kerucut (conical), lembah, cekungan tertutup berbentuk lonjong atau bulat (dolin), sungai bawah tanah dan goa.

(30)

merupakan konsep yang sesuai, karena mempergunakan pendekatan pelestarian dan pemanfaatan alam serta, meningkatkan perekonomian masyarakat lokal sesuai dengan tujuan ekowisata.

Blamey (1997; 2001) mengidentifikasi elemen kriteria ekowisata meliputi elemen pendidikan, berbasis alam dan keberlanjutan. Konsep dan program pengembangan ekowisata berkelanjutan pada dasarnya menuntut adanya kerjasama dan pelibatan antara pihak-pihak yang berkepentingan meliputi berbagai keahlian mulai dari perencanaan sampai ke implementasi. Sementara pengembangan ekowisata pada kawasan konservasi membutuhkan kerja sama yang sinergi, adaptif antara pemangku kawasan pelestarian alam, masyarakat sekitar serta pihak swasta, maka ekowisata merupakan alat yang mampu sebagai kunci konservasi, berdasarkan ketiga pilar manajemen lingkungan (Gambar 2).

Gambar 2. Tiga Pilar Sistem Manajemen Lingkungan (SML)

Dikembangkannya kawasan kars sebagai kawasan ekowisata diharapkan akan meningkatkan PDRB, meningkatkan perekonomian masyarakat lokal, konservasi sumberdaya alam, menyerap tenaga kerja, mengurangi tingkat urbanisasi yang tinggi dan melestarikan budaya lokal, sehingga kawasan kars menjadi daerah yang maju dan dapat membangun secara berkelanjutan. Kerangka pemikiran penelitian sebagaimana telah diuraikan dirangkum pada Gambar 3.

Aspek Biofisik

Aspek Ekonomi

Aspek Sosial Budaya

(31)
[image:31.612.165.506.95.450.2]

9

Gambar 3. Kerangka Pemikiran Penelitian

1.3. Perumusan Masalah

Secara potensi kawasan Wediombo merupakan kawasan yang sangat

fragile, mempunyai keunikan dan kelengkapan keanekaragaman hayati yang tidak ditemukan di kawasan lain. Kawasan Wediombo sangat sesuai jika dikembangkan sebagai kawasan ekowisata. Kondisi yang terjadi adalah bahwa pengembangan wisata kawasan Wediombo tidak mendapatkan hasil yang optimal, karena jumlah kunjungan wisatawan pada hari-hari biasa sangat sedikit.

Potensi kawasan kars Wediombo dan sekitarnya yang dikembangkan sebagai kawasan ekowisata kars belum banyak diketahui oleh wisatawan, penduduk lokal, pihak swasta (sebagai pengelola kawasan wisata) maupun

Kawasan KARST Wediombo

Potensi Pengembangan Ekowisata Kars

1. Goa kars 2. Pantai

3. Bentuk pengunungan 4. Flora dan fauna 4. Sungai bawah tanah

Nilai Kawasan yang Tinggi

Ekologi Ekonomi Sosial

Wisata Spiritual

Wisata Penelitian Wisata

Petualang Wisata

Pendidikan

Wisata Massa

PERMASALAHAN

- Terfragmentasi (tdk terpadu) - Konflik kepentingan

- Pemanfaatan kars tidak optimal

Model Pengembangan Kawasan Ekowisata Kars Wediombo yang

(32)

pemerintah daerah. Hal ini ditinjau dari sisi pengembangan ilmu pengetahuan maupun wisata khusus. Potensi kawasan kars secara ekonomi dapat dikembangkan secara produktif, jika dilakukan identifikasi biofisik, identifikasi sosial budaya dan identifikasi sosial ekonomi. Agar pengembangan dapat tertata dengan baik dan berkelanjutan, maka perlu dilakukan pewilayahan (zoning) pengembangan. Identifikasi kawasan unggulan kars dan kawasan pendukung kars sebagai kawasan wisata, membantu untuk membuat zoning kawasan, maka pengembangan ekowisata kars dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan.

Beberapa Permasalahan mendasar antara lain adalah pengelolaan kawasan masih terfragmentasi (tidak terpadu) dan hanya pada pengembangan ekowisata tertentu saja, munculnya konflik kepentingan dalam pengelolaan kawasan ekowisata terutama terkait dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat dengan kebijakan konservasi kawasan disamping partisipasi masyarakat masih kurang dalam ikut mengembangkan ekowisata kars karena tingkat sumberdaya manusia yang masih rendah, tidak adanya data inventarisasi kawasan potensi wisata termasuk hasil analisis supply dan demand. Hal ini disebabkan oleh belum dilakukannya identifikasi potensi secara biofisik, sosial budaya dan sosial ekonomi termasuk tipologi wisatawan, potensi permintaan maupun penawaran wisatawan dan potensi penawasan dan permintaan ekowisata. Permasalahan lain adalah belum dilakukan zoning kawasan untuk mengetahui besarnya pengalaman yang bisa diperoleh wisatawan dan belum adanya kebijakan konservasi kawasan dalam rangka pengembangan ekowisata kars yang berbasis ekologi dan perlindungan lingkungan. Hal ini dapat dilihat dari tingginya degradasi lingkungan dapat terjadi akibat perbuatan masyarakat lokal maupun akibat kondisi alam, seperti kondisi hutan, goa, pantai, menipisnya jumlah flora dan fauna tertentu dan kondisi batuan yang tidak dapat menampung air hujan sehingga jika musim kering akan kekurangan sumber air. Semua permasalahan-permasalahan tersebut pada akhirnya bermuara pada belum terumuskannya konsep pengembangan ekowisata kars Wediombo dan sekitarnya yang berkelanjutan.

(33)

11 adalah: identifikasi potensi dan kelayakan, pengembangan, pengelolaan, pemeliharaan dan pemasaran. Sementara sukses tidaknya mengkomersialkan suatu objek ekowisata berkelanjutan tergantung pada kejelian mengidentifikasi aneka daya tarik sumber daya alam dan potensi untuk mengembangkan, mendidik SDM yang dibutuhkan secara terarah dan konseptual, pengembangan secara fisik sesuai konsep wisata berkelanjutan dengan menganalisa dampak yang akan terjadi (Robby, 2003).

Berdasarkan uraian di atas, secara umum permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana potensi Kawasan Kars Wediombo ditinjau dari kondisi biofisik, sosial-budaya, sosial ekonomi, dukungan hukum, dan tipologi wisatawan dalam hubungannya dengan pengembangan ekowisata kars Wediombo ? 2. Seberapa besar Supply dan Demand serta bagaimana prioritas manfaat

(Benefit) dan biaya (Cost)kawasan ekowisata kars Wediombo?

3. Bagaimana zonasi Kawasan Kars Wediombo sebagai kawasan ekowisata sudah dilakukan sesuai kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan?

4. Bagaimana model pengembangan kawasan ekowisata kars yang harus diterapkan di Wediombo supaya dapat berkembang dalam konteks sebagai wilayah ekowisata kars berkelanjutan yang berbasis kepada masyarakat lokal ?

Perumusan masalah model pengembangan kawasan ekowisata kars Wediombo, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta secara skematis disajikan pada Gambar 4.

1.4 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan kondisi tersebut, maka tujuan penelitian adalah membangun model pengembangan kawasan ekowisata kars yang berkelanjutan Wediombo.Untuk membangun model tersebut, beberapak kegiatan yang perlu dilakukan sebagai tujuan khusus adalah :

(34)

2. Menganalisis besarnya demand dan supply, serta prioritas manfaat dan biaya pengembangan ekowisata kars di kawasan Wediombo dan sekitarnya.

3. Mendelineasi zona kawasan kars Wediombo berdasarkan potensinya untuk pengembangan ekowisata yang berkelanjutan

[image:34.612.136.501.65.524.2]

4. Menyusun model pengembangan ekowisata kars di Wediombo dan sekitarnya.

Gambar 4. Skema Perumusan Masalah Model Pengembangan Kawasan Ekowisata Kars yang Berkelanjutan di Wediombo, Gunungkidul.

1.5. Manfaat Penelitian

Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian model pengembangan kawasan ekowisata kars yang berkelanjutan di Kawasan Wediombo Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, antara lain :

Kawasan KARST Wediombo

Potensi Pengembangan Ekowisata Kars

Analisis Pengembangan Ekowisata Kars Wediombo

Kabupaten Gunungkigdul

karakter biofisik, sosial-budaya dan ekonomi kawasan

kars

Fragil, Unik, dan Keanekaragaman

tinggi

PERMASALAHAN

Demand, supply,

dan prioritas manfaat dan biaya

zonasi pengembangan

kawasan ekowisata kars

Model Pengembangan Kawasan Kars Wediombo yang

(35)

13 1. Manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan, sebagai sumber informasi dan

bahan pustaka dalam pengembangan ekowisata khususnya terkait kawasan kars.

2. Manfaat bagi masyarakat, memberikan informasi kepada masyarakat lokal dalam memahami peranan partisipasi mereka dalam pengembangan ekowisata kars dan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan kars.

3. Manfaat bagi penyelenggara jasa wisata yaitu, memberikan gambaran mengenai peluang dan prospek dunia pariwisata di Kawasan Wediombo yang berwawasan ekowisata.

4. Manfaat bagi pemerintah yaitu, sebagai arahan dalam merumuskan kebijakan pengembangan ekowisata yang lebih efektif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, distribusi kesejahteraan dan pelestarian lingkungan.

1.6. Novelty

1. Dihasilkan model pengembangan kawasan ekowisata kars Wediombo berkelanjutan melalui keterpaduan kelembagaan dalam pengelolaan kawasan pada semua zona wisata.

2. Dalam membangun model tersebut digunakan berbagai metode secara terintegrasi yang meliputi metode analisis statistik, analisis Supply dan

(36)

Kawasan Kars Wediombo mempunyai keunikan dan keanekaragaman

kekayaan alami yang mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai kawasan

ekowisata. Untuk mengetahui pengertian mengenai ekowisata, maka beberapa

definisi ekowisata diuraikan sebagai berikut.

Konsep ekowisata muncul pada pertengahan tahun 1980 oleh

Ceballos-Lascurain (dalam Weaver, 2001) yang mengakui bahwa antara kegiatan wisata

dengan lingkungan akan menimbulkan keuntungan dan menimbulkan kerugian.

Beberapa definisi ekowisata berkembang antara lain: Ekowisata adalah perjalanan

wisata pada kawasan alam yang relatif tidak terganggu dan terkontaminasi dengan

spesifikasi objek pendidikan, kekaguman, dan keindahan dari tanaman liar,

binatang, budaya yang ada (dulu dan sekarang) yang ditemui (Ceballos-Lascurain

dalam Boo, 1990). Menurut Valentine (1992), ekowisata adalah wisata yang

berbasis sumber daya alam, yaitu ekologi berkelanjutan dan dasarnya adalah

kawasan alami yang relatif tidak ada gangguan, tidak ada kerusakan dan

degradasi, berkonstribusi secara langsung melindungi dan mengelola kawasan

lindung.

Perkembangan selanjutnya adalah menurut Goodwin (1996) yang

menyatakan bahwa ekowisata adalah wisata alam yang menimbulkan dampak

rendah dengan konstribusi terhadap pemeliharaan spesies dan habitat lainnya,

secara langsung adalah berkonstribusi terhadap konservasi dan secara tidak

langsung menciptakan pendapatan masyarakat lokal, oleh sebab itu perlindungan

terhadap kawasan dunia kehidupan liar merupakan sumber pendapatan. Menurut

Fennel (1999), ekowisata adalah bentuk keberlanjutan dari wisata berbasis sumber

daya alam dengan fokus utama adalah mencari pengalaman dan pendidikan dan

mengelola etika yang menyebabkan dampak rendah, tidak konsumtif, dan

berorientasi lokal (kontrol, manfaat, dan skala), berkonstribusi terhadap

konservasi dan preservasi pada kawasan. Berdasarkan Ecotourism Association of

Australia (EAA, 2000), ekowisata adalah wisata berkelanjutan secara ekologi

dengan fokus utama adalah mencari pengalaman kawasan alami, yang mengacu

(37)

15

Menurut Weaver (2001) ekowisata merupakan konsep wisata yang

memelihara apresiasi dan pengalaman untuk belajar dari lingkungan alami atau

beberapa komponen termasuk budaya di dalamnya. Tampak bahwa keberlanjutan

lingkungan alam dan sosial budaya perlu dipromosikan sebagai kegiatan wisata,

karena lebih diminati wisatawan dan diperkirakan akan berkembang.

Berdasarkan definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa ekowisata

menekankan tujuan untuk mencari pengalaman maupun bersifat pendidikan

dengan memperhatikan faktor alam dengan cara konservasi dan proteksi. Dengan

definisi demikian pengembangan ekowisata sangat tepat jika diterapkan pada

kawasan kars seperti Kawasan Wediombo dengan melihat segi biofisik, sosial

ekonomi dan budaya masyarakat lokal.

2.1. Potensi Biofisik, Sosial Ekonomi dan Sosial Budaya

Kawasan kars merupakan kawasan yang mempunyai bentang lahan yang

komplek dan mempunyai keanekaragaman habitat kars yang unik sehingga

penting untuk dikonservasi (Infield, 2004). Keanekaragaman yang unik ini adalah

sebagai akibat formasi geologinya yang tersusun terutama oleh batuan kapur atau

limestone. Kawasan kars memiliki karakter hidrologi yang khas yang cenderung

kering di permukaan, tetapi terdapat sumber air bawah tanah seperti sungai bawah

tanah. Sifat inilah yang akan menghasilkan proses pembentukan suatu kawasan

yang akan menghasilkan potensi-potensi tujuan wisata, yang dapat dikembangkan

sesuai dengan sifat kerapuhannya. Struktur batuan yang mudah larut oleh air akan

menghasilkan fenomena alam yang menarik, oleh karena itu potensi untuk wisata

kawasan kars dapat diperkirakan sesuai dengan proses pembentukannya

sebagaimana diuraikan berikut.

Kawasan Kars Wediombo membentang sepanjang pegunungan selatan

Jawa dan secara morfologi dibagi menjadi dua yaitu Eksokars dan Endokars.

Eksokars merupakan kenampakan yang dapat diamati dan ditemui secara

langsung di permukaan. Sedangkan Endokars merupakan kenampakan yang dapat

dijumpai di bawah permukaan yang berupa goa-goa ataupun luweng yang dapat

dimasuki oleh manusia. Geomorfologi Kawasan Kars Gunung Sewu yang

(38)

Keterangan:

1.Perbukitan/Plateau Kars 5. Lembah Uvala

2.Bukit/Perbukitan/Kubah/Kerucut kars (Konikal, Sinoid, Pepino)

6. Lembah Polje

3. Bukit/Perbukitan Menara Kars (Mogote) 7. Lembah Kering

[image:38.612.157.492.70.381.2]

4. Lembah Dolina 8. Dataran Kars

Gambar 5. Skema Geomorfologi Kars (Van Bemmelen, 1970)

Wilayah selatan Kabupaten Gunungkidul merupakan kawasan yang berada

pada sistem kars dari geologi Pegunungan Selatan. Kelompok batuan yang tertua

pada sistem kars ini berumur Oligo-Miocene (± 22,5 juta tahun) dan termuda

berumur Pliosen (± 5 juta tahun) (Verstappen, 1997). Wilayah tersebut tersusun

oleh batuan volkanik klastik asam, batuan sedimen klastik, dan batuan sedimen

karbonat. Namun demikian, batuan sedimen karbonat (limestone) paling banyak

ditemukan di permukaan.

Menurut Surono et al. (1992), wilayah pantai selatan dan sekitarnya,

merupakan kawasan yang seluruhnya terbentuk oleh Formasi Wonosari.

Penyusun utama batuan Formasi Wonosari adalah batu gamping yang kompak,

keras, namun rapuh. Selain itu dijumpai batu gamping napalan, batu gamping

konglomeratan, batu pasir dan batu lanau (Surono et al., 1992). Walaupun

kawasan pantai selatan ini terbentuk dari Formasi Wonosari yang didominasi oleh

batuan kapur, dijumpai anomali yaitu adanya bentuk lahan struktural denudasional

(39)

17

bahwa batuan penyusun Pantai Wediombo bukan batuan kapur, melainkan terdiri

dari batuan beku andesit, dan termasuk bagian dari Formasi Nglanggran. Lebih

spesifiknya, kawasan Pantai Wediombo sebelah barat tersusun oleh formasi

semilir, sedangkan selain kawasan tersebut semua tersusun oleh formasi kepek

(Surono et al., 1992). Verstappen (1977) mengelompokkan proses dan asal

tenaga eksogen dalam proses pembentukan bentuk lahan (landform) menjadi

sembilan, satu diantaranya adalah proses pelarutan. Proses pelarutan inilah yang

menghasilkan bentuk lahan kars. Karakteristik bentuk lahan kars menurut King

(1975) meliputi konfigurasi permukaan, struktur atau penyusun bentuk lahan, dan

proses yang menyebabkan terjadinya bentuk lahan.

Bentuk lahan kars yang dapat dijumpai di Kabupaten Gunungkidul adalah

dolin, uvala, ponor, kegel kars, turm kars, dan lembah kering. Kars di

Gunungkidul dikelompokkan menjadi tiga kelompok berdasarkan karakteristik

dolin dan perkembangannya yaitu kars polygonal, kars labirin, dan kars tower

yang tumbuh dan berkembang secara bersamaan (Lehman dalam Haryono dan

Day, 2004). Sebagai akibat pelarutan oleh air, pada permukaan kawasan kars

ditemukan lubang-lubang yang tidak teratur, permukaan kars yang terkikis air,

dan hancurnya saluran dan jaringan yang mempunyai kompleksitas tinggi dan

berlanjut hanya beberapa meter dari batuan permukaan. Gambar 6 menunjukkan

proses terbentuknya goa dan proses pengikisan batuan gamping menurut beberapa

teori, yaitu abandon flank margin cave, pit cave dan collapsed phreatic cave

forms a banana hole.

Gambar 6. Proses Pengikisan Batuan Karbonat Membentuk Struktur Goa (Ford dan William, 1989)

ABANDONED PHREATIC

DEVELOPING PHREATIC DIFFUSE

VADOSE COLLAPSED PHRETIC

CAVE

FORMER SEA

CURRENT SEA

FRESHWATER DIFFUSE PHREATIC FLOW PIT PIT

PIT

BURIED PALEOSOL

(40)

Teori awal tentang perkembangan kars menjelaskan bahwa goa

berkembang dalam zone vados oleh pergerakan air melalui rekahan batuan.

Dalam hal ini, air bergerak atau mengalir pada rekahan (bidang perlapisan dan

atau struktur) batu kapur sambil melarutkannya, kemudian sungai bawah tanah

mulai terbentuk. Tahapan berikutnya sungai mengikis saluran hingga membentuk

goa. Namun demikian, Davies (dalam Haryono, 2007) berpendapat bahwa tidak

mungkin goa terbentuk dalam mintakat (zone) vados karena yang terjadi adalah

pembentukan ornamen goa karena proses pengendapan. Dengan argumen tersebut

maka Davies mengemukakan teori baru yang dikenal dengan deep phreatic

theory yang menjelaskan bahwa goa terbentuk di bawah muka air tanah oleh

pergerakan hidraulik air. Teori ini diperkuat oleh Seinnerton (dalam Haryono,

2007) yang mengatakan bahwa air tanah tidak mungkin mampu melarutkan batu

gamping, karena pada umumnya telah jenuh, sehingga muncul teori water table

yang menjelaskan bahwa goa terbentuk di dekat muka air tanah (water table) dan

teori ini didukung oleh teori baru karena sebagian goa berbentuk goa horizontal.

Ford dan William (dalam Mylroie dan Carew, 2003) lebih lanjut menjelaskan

bahwa berdasarkan hasil penelitian modern dan laboratorium, goa dapat terbentuk

baik di mintakat vados, phreatik maupun dekat muka air tanah. Mereka

menjelaskan terdapat empat tipe goa berdasarkan proses pembentukannya, yaitu

bathyphreatic cave, phreatic cave with multiple loops, cave with mixture of

phreatic and watertable level components, dan ideal water table cave.

Menurut Ford dan Wiliam (dalam Haryono, 2007) tahapan akhir

perkembangan kars setelah kars poligonal adalah terjadinya proses perataan

permukaan (planasi) yang dominan, sehingga cekungan-cekungan sudah tidak

ditemukan lagi karena sudah berhubungan membentuk dataran dengan

kubah-kubah tersebar acak di tengahnya. Beberapa kars berciri labirin ditemukan di

sebelah barat dan tengah Wediombo yang bercirikan oleh lembah-lembah kering

memanjang yang dibatasi oleh jajaran kubah kars di kanan kirinya dengan dinding

yang terjal (canyon).

Kawasan kars mempunyai 3 ciri (Haryono dan Day, 2004). Pertama,

mudah terjadi pelapukan yang sangat tinggi dan tingginya proses pelarutan di

(41)

19

lahan dengan banyak patahan-patahan pada batuan sebaran pegunungan. Kedua,

cadangan air yang sempat terjebak di permukaan akan mengakibatkan pelarutan

bagian lebih tinggi menuju ke tempat yang lebih rendah dengan membawa

sedimen-sedimen halus dari hasil pelapukan. Ketiga, dapat diidentifikasi secara

umum adanya bentuk pegunungan berupa persegi ketupat yang berpasangan

karena adanya pengaruh tenaga endogen dari dalam bumi.

Karena sifatnya yang sangat fragile, mudah larut dalam air, maka

topografi kars memiliki sistem air bawah permukaan yang dominan berupa

lorong-lorong solusional dan sangat rentan terhadap degradasi, terutama

disebabkan kontaminasi air bawah tanah. Hal ini disebabkan karena cepatnya

aliran air serta minimnya mekanisme filtrasi pada lorong-lorong sistem bawah

tanah (Haryono, 2007).

Beberapa habitat kars hidup di bawah permukaan dan di atas permukaan.

Biota bawah permukaan banyak dijumpai di goa, maka muncul biospeleologie

yaitu ilmu yang mempelajari tentang kehihupan bawah tanah. Berdasarkan

sebaran biota goa dikenal beberapa istilah (Vermeullen dan Whitten, 1999), yaitu:

Site endemic, local endemic dan regional endemic. Site endemic yaitu jenis yang

sebarannya dapat mencapai 100 km2 tetapi ada yang dari kurang 1 km, biasanya

terdapat dalam satu kawasan kars. Sebagai contoh Stenasellus javanicus,

ditemukan di goa kars Cibinong (Magniez dan Rahmadi, 2006). Local endemic,

jenis yang mempunyai sebaran luasan sekitar 10-100 km2, yang biasanya

mencakup dua atau lebih kawasan kars yang terpisah secara geologis dan

tergabung dalam satu deretan pegunungan. Contohnya kepiting goa, isopoda,

ditemukan di Gunung Sewu dan bukit kapur selatan. Regional endemic,

mempunyai sebaran 10.000 km2 sampai 1 juta km2 atau dalam satu pulau.

Contohnya Xeniaria jacobsoni (Burr) merupakan jenis dermaptera yang

melimpah di guano kelelawar.

Kondisi sosial ekonomi kawasan Wediombo sama dengan kawasan kars

lain yang berada di kawasan Pegunungan Seribu. Sebagian besar kegiatan industri

masih sangat terbatas pada industri kecil dan menengah sebanyak 96% (catatan

desa), pola industri ini baik untuk pemerataan penghasilan bagi masyarakat, tetapi

(42)

Pertanian lebih mengarah kepada pertanian lahan kering karena kawasannya

merupakan kawasan marginal yang sulit air, maka pola penanaman sistem tanam

pertanian dengan cara tumpang sari. Kesempatan untuk memenuhi kebutuhan

dasar merupakan sumber pendapatan petani dan tersedianya tenaga untuk

menentukan penggarapan lahan. Petani dengan beberapa pilihan berusaha untuk

menghasilkan panen untuk memenuhi kebutuhan pokok dari sedikit tanah yang

tersedia, mengolah lahan di sekitar tempat tinggal banyak dilakukan di kawasan

kars (Soemarwoto dan Conway, 1992).

Untuk bisa bertahan, masyarakat kawasan kars pada umumnya

mengembangkan dasar bekerja secara sosial antar masyarakat, dengan filosofi

menghindari konflik (rukun) dan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat

lain saling menghormati (hormat), serta sifat kegotongroyongan sangat tinggi.

Kawasan Gunung Sewu yang bekerja di ladang sebagian besar orang tua, kondisi

ini disebabkan oleh anaknya yang belajar di sekolah dan meninggalkan aktivitas

pertanian, maupun kampung halaman (Collier et al., 1996).

2.2 Perbandingan Cara Pengelolaan Ekowisata

Analisis perbandingan cara pengelolaan ekowisata dapat dilakukan secara

Limits of Acceptable Change (LAC), Visitor Impact Management (VIM),

Recreational Opportunity Spectrum (ROS), micro-ROS, Visitor Experience and

Resource Protection (VERP) dan Visitor Activities (VARM) (Nielson dan Tayler,

1997). Secara ringkas berbagai cara pengelolaan ini ditunjukkan pada Tabel 1.

Dengan membandingkan cara-cara pengelolaan tersebut maka dapat

ditentukan cara pengelolaan yang paling cocok dari segi visi misi pemda

Gunungkidul maupun rencana pengembangan kawasan kars sebagai kawasan

(43)

21

Tabel 1. Perbandingan cara pengelolaan ekowisata

Limit of Acceptable Change (LAC)

Dikembangkan oleh peneliti yang bekerja di kawasan hutan untuk merespon tentang dampak pengelolaan wisata. Proses ini mengidentifikasi sumber dan kondisi sosial dan langkah untuk melindungi. Proses ini untuk mempertimbangkan kawasan hutan mengenai kondisi sosial, sumber daya alam yang tersedia, pada pengembangan kawasan wisata.

Keunggulan: produk akhir berupa strategi taktik perencanaan berlandaskan perubahan yang dapat ditoleransi seminimal mungkin untuk masing-masing klas kesempatan dengan indikator perubahan yang dapat digunakan untuk memonitor keadaan ekologi dan sosial.

Kelemahan: prosesnya fokus dan menekankan pada petunjuk data dan analisa. Jika tidak ada permasalahan, maka strategi dan perencanaan belum dapat dibuat sebagai topik pengelolaan.

Visitor Experience Resource Protection (VERP)

Merupakan proses yang menitikberatkan kepada daya dukung kawasan dalam hal ini adalah kualitas sumberdaya dan kualitas pengalaman wisatawan, yang meliputi gambaran kondisi sosial dan sumberdaya dimasa yang akan datang.

Mengutamakan strategi keputusan berkenaan dengan kemampuan daya dukung berdasarkan nilai kualitas sumberdaya dan kualitas pengalaman wisatawan, yang meliputi gambaran kondisi sosial dan sumberdaya dimasa yang akan datang. Mengutamakan strategi keputusan berkenaan dengan kemampuan daya dukung berdasarkan nilai kualitas sumberdaya dan kualitas pengalaman wisatawan.

Keunggulan: Prosesnya menggambarkan kecakapan kelompok dan merupakan petunjuk kebijakan dari kawasan. Proses ini menitikberatkan terhadap hubungan dan sensitivitas dan kesempatan wisatawan yang merupakan hal yang penting bagi pengalaman wisatawan. Zoning merupakan fokus pengelolaan.

Kelemahan: Tambahan pekerjaannya adalah mempersyaratkan kegiatan percontohan pada pendekatan lingkungan yang berbeda. Kemampuan pengawasan tidak efisien dan tindakan pengelolaan yang akan dilakukan tes terlebih dahulu.

Visitor Impact Mangement (VIM)

Tujuannya adalah mengendalikan ketiga dampak pokok yaitu: dampak secara fisik, dampak biologi dan dampak sosial. Standarnya dengan menentukan batasan dari ketiga indikator tersebut.

Keunggulan: Proses ini menciptakan keseimbangan keputusan secara ilmu pengetahuan dan secara hukum, terutama mengidentifikasi faktor yang berhubungan dengan strategi pengelolaan.

(44)

Tabel 1. (lanjutan)

Management Process for Visitor Activities (VAMP)

Proses tersebut menciptakan petunjuk untuk perencanaan dan pengelolaan, pengembangan dan pendirian taman. Dasar dari konsep VAMP merupakan bagian dari prinsip ROS. Kerangka kerja akan memberikan manfaat kemudahan untuk VIM, LAC dan VERP. Fokusnya adalah mengkaji kesempatan ketika semua mempertanyakan dampak yang ditinggalkan dalam proses pengelolaan sumberdaya alam.

Keunggulan: Proses pengambilan keputusan yang komprehensif berdasarkan hirarki. Bermanfaat berfikir secara terstruktur untuk menganalisa kesempatan dan dampak, yang dikombinasikan dengan prinsip ilmu sosial dan pemasarannya yang difokuskan terhadap kesempatan wisatawan.

Kelemahan: Definisi mengenai kesempatan untuk mendapatkan pengalaman belum dibangun di dalam rencana pengelolaan dan zoning.

Recreational Opportunity Spectrum (ROS)

Perencanaan pengelolaan sumberdaya alam secara terintegrasi dan komprehensif, berperan untuk merespon peningkatan permintaan rekreasi, dan menanggulangi konflik akibat penggunaan sumberdaya alam yang melebihi kapasitas. Pewilayahan menggunakan enam kelas lahan dai primitive samapai perkotaan (urban) dengan tujuan untuk mengenal kondisi biofisik, sosial dan hubungan pengelolaan untuk menyusun parameter dan petunjuk kesempatan rekreasi.

Kekuatan: merupakan proses yang praktis untuk mendorong pengelolaan secara rasional dengan tiga perpektif: melindungi sumberdaya, kesempatan untuk digunakan umum dan pengelola mempunyai kemampuan menyeimbangkan kondisi kawasan. Proses tersebut merupakan hubungan antara supply dan demand.

Kelemahan: Konsep ini didalam pembagian skala lahan membutuhkan kawasan yang luas dan tidak bisa digunakan pada kantong kawasan yang sempit. Semua pembagian pewilayahan harus diterima secara total oleh management sebelum keputusan dibuat, ketidak setujuan akan mempengaruhi program.

Micro-ROS

Micro-ROS merupakan pengembangan dari ROS yang membagi kawasan pengembangan kesempatan berekreasi kawasan menjadi sembilan kelas. Keunggulan dari Micro-ROS dibandingkan dengan ROS adalah, kalau ROS untuk menentukan zoning kawasan membutuhkan kawasan yang luas, sedangkan micro-ROS menentukan zoning pada kawasan yang tidak luas dan akan lebih mendalam untuk mengidentifikasi kantong-kantong potensi rekreasi kawasan rekreasi dan menilai kesempatan berekreasi seluas-luasnya untuk wisatawan.

(45)

23

Dari hasil kajian beberapa proses pengelolaan ekowisata dan berdasarkan

kondisi di Kawasan Wediombo maka perlu dilakukan zoning kawasan. Kawasan

kars keberadaannya relatif terbatas dan mempunyai sifat kefragilan yang tinggi,

maka perlu adanya perlindungan kawasan supaya lestari. Hal lain adalah tujuan

dari pemerintah daerah untuk meningkatkan pendapatan masyarakat lokal maupun

pendapatan daerah sesuai dengan tujuan Rencana induk pengembangan pariwisata

daerah Gunungkidul, maka dirancang supaya dapat digunakan untuk rekreasi

seluas-luasnya dengan tanpa merusak keseimbangan alam. Pengembangan wisata

mengacu kepada keseimbangan demand dan supply. Berdasarkan kondisi tersebut

dan juga tuntutan dari PEMDA, maka proses pengelolaan yang dapat digunakan

dari semua pola pengelolaan yang dibahas adalah dengan metode micro-ROS,

yang merupakan proses pengelolaan pariwisata yang mendekati kebutuhan untuk

Kawasan Wediombo dan sekitarnya.

2.3. Tipologi Pengunjung

Tipologi pengunjung merupakan salah satu dasar untuk membuat

perencanaan dalam menentukan arah pengembangan ekowisata. Kegiatan

wisatawan merupakan cara untuk dapat mengidentifikasi banyaknya wisatawan

mengunjungi kawasan wisata, dan dapat ditentukan karakter zoning berdasarkan

metode micro-ROS dan dampak yang ditimbulkan akibat kegiatan wisatawan.

Penelitian untuk mengidentifikasi ekowisata atau segmen ekowisata dari

karakter-karakter wisatawan belum diterapkan dengan cara yang konsisten. Hal

ini sangat diperlukan sebagai informasi dan proses, tetapi hasil kondisi ini tidak

dapat dibandingkan dengan penelitian lain dalam waktu dan tempat yang berbeda.

Usaha untuk merancang tipe-tipe wisatawan dinamakan segmentasi, klasifikasi

dan clustering. Identifikasi tipe wisatawan secara jelas sangat bermanfaat untuk

perencanaan, manajemen, dan pemasaran wisata (Smith dan Smale, 1980; Taylor,

1986). Karakter wisatawan dapat memberikan informasi kepada manajemen untuk

memusatkan mengenai perbedaan motivasi, pengalaman, dan dampak dari

karakter wisatawan (Diamantis, 1998; Eagles, 1992) dan untuk mengetahui

karakter wisatawan yang sering dijumpai pada lokasi yang berbeda dalam

(46)

dalam konteks keberlanjutan, sangat dibutuhkan penerapan karakter wisatawan

untuk mencocokkan kondisi kemampuan sumber daerah wisata (Wall, 1993).

Terdapat beberapa teknik untuk mengidentifikasi wisatawan atau untuk

membedakan ekowisatawan dari tipe-t

Gambar

Gambar  3. Kerangka Pemikiran Penelitian
Gambar 4.  Skema Perumusan Masalah Model Pengembangan Kawasan Ekowisata Kars yang Berkelanjutan di Wediombo, Gunungkidul
Gambar  5. Skema Geomorfologi Kars (Van Bemmelen, 1970)
Gambar  7. Lokasi Penelitian Kawasan Wediombo.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Komputer (S.Kom) pada

PARA RASUL PARA RASUL SIFAT AMANAH SIFAT AMANAH : : 1 1 ) ) Menjadi Menjadi seorang yang seorang yang jujur dalam jujur dalam setiap tindakan setiap tindakan 2 2 ) ) Dapat

Penida.Melalui hasil temuan kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities) dan ancaman (threats), kemudian diformulasikan kedalam matriks SWOT

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kondisi proses khususnya laju alir dan rentang suhu distilasi terhadap efektifitas pemisahan sitronellol dan

JADWAL PEMBINA APEL/UPACARA BENDERA TAHUN AJARAN :

Analisis SWOT membandingkan antara faktor eksternal peluang (opportunities) dan ancaman (threats) dengan faktor internal kekuatan (strengths) dan kelemahan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk, tenaga kerja, dan rasio jenis kelamin berpengaruh signifikan terhadap pembangunan ekonomi di Kota

Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa validitas permainan kartu truth and dare materi pencemaran lingkungan untuk siswa SMP kelas VII