• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Pengendalian Pencemaran Perairan Di Danau Maninjau Sumatera Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model Pengendalian Pencemaran Perairan Di Danau Maninjau Sumatera Barat"

Copied!
181
0
0

Teks penuh

(1)

PERAIRAN

DI DANAU MANINJAU SUMATERA BARAT

MARGANOF

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Model Pengendalian Pencemaran Perairan di Danau Maninjau Sumatera Barat adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Juli 2007

Marganof

(3)

MARGANOF. Model Pengendalian Pencemaran Perairan di Danau Maninjau Sumatera Barat. Dibimbing oleh LATIFAH K. DARUSMAN, ETTY RIANI, dan BAMBANG PRAMUDYA N.

Kualitas perairan Danau Maninjau semakin menurun akibat masuknya beban pencemar baik organik maupun anorganik yang berasal dari berbagai sumber pencemar. Sumber utama pencemaran berasal dari kegiatan di sekitar perairan danau, seperti dari permukiman, pertanian, peternakan dan perhotelan serta kegiatan di badan air danau yaitu kegiatan keramba jaring apung (KJA). Tujuan utama penelitian ini adalah untuk membangun model pengendalian pencemaran perairan di Danau Maninjau. Untuk mencapai tujuan utama tersebut, maka pada penelitian ini dilakukan beberapa kegaitan diantaranya (1) menentukan kondisi eksisting perairan Danau Maninjau, (2) membangun suatu model dinamis yang menggambarkan sistem pengendalian pencemaran perairan di Danau Maninjau, dan (3) merumuskan kebijakan atau skenario pengendalian pencemaran perairan danau.

Model di dalam penelitian ini dibangun melalui pendekatan sistem dengan menggunakan program powersim versi 2,5c. Hasil penelitian menunjukkan bahwa parameter pencemaran perairan danau seperti COD, BOD5, DO, TSS dan PO4 3-sudah di atas ambang batas yang dipersyaratkan sebagai sumber air baku air minum. Berdasarkan nilai indeks mutu lingkungan perairan (IMLP) perairan Danau Maninjau dikategorikan dalam kondisi tercemar sedang. Model pengendalian pencemaran terbangun dalam lima model limbah yaitu: (1) sub-model limbah penduduk, (2) sub-sub-model limbah hotel, (3) sub-sub-model limbah peternakan, (4) sub-model limbah pertanian, dan (5) sub-model limbah KJA. Melalui analisis prospektif didapatkan lima faktor penting yang berpengaruh di masa depan dalam pengendalian pencemaran perairan di Danau Maninjau, yaitu (1) jumlah KJA, (2) pertumbuhan penduduk, (3) partisipasi masyarakat, (4) pemanfaatan lahan, dan (5) dukungan pemerintah daerah.

Kebijakan yang direkomendasikan untuk pengendalian pencemaran di perairan Danau Maninjau berdasarkan prioritas adalah meningkatkan persepsi dan kesadaran masyarakat di sekitar perairan danau, menekan laju pertumbuhan KJA, membatasi laju pertumbuhan KJA, efisiensi pemberian pakan dan pemberian pakan dengan kandungan posfor (P) yang rendah, pemakaian pupuk dan pestisida yang efisien, serta pengolahan lahan dan vegetasi di sempadan danau.

(4)

MARGANOF. Model of Water Pollution Control on Maninjau Lake, West Sumatera. Under direction of LATIFAH K. DARUSMAN, ETTY RIANI and BAMBANG PRAMUDYA N.

Water quality of Maninjau Lake has been diminished by organic and inorganic matters that flow into the lake from various sources. The main sources of pollution come from the surrounding activities such as residential area, agriculture, husbandry, and hotel accommodation along with activities on the water body of the lake, that is floating net cage. The main objective of the research was to develop a model of water pollution control on Maninjau Lake. To achieve this main objective, there were three activities to be accomplished to: (1) determine the existing water condition of Maninjau Lake, (2) develop a dynamic model for describing the pollution control system, and (3) formulate policies or scenarios of water pollution control of the lake.

Model in this study was developed using system approach by means of powersim version 2.5c. Results of the study showed that water pollution parameter such as Chemical Oxygen Demand (COD), Biochemical Oxygen Demand (BOD5), Dissolved Oxygen (DO), Total Suspended Solid (TSS), and Phosphate (PO4) are over tolerable pollutant level for the source of drinking water standard. According to water quality environmental index, the Maninjau Lake is categorized as medium pollution level. Pollution control model in this study were built into five sub-models, namely: (1) house hold waste sub-model, (2) hotel debris model, (3) husbandry waste model, (4) agriculture waste sub-model, and (5) floating net cage trash sub-model. By using prospective analysis, there were five important factors identified that can affect the future of the lake’s water pollution control: (1) number of floating net cage, (2) population growth, (3) community participation, (4) land used, and (5) local government support.

Recommended policies to control the future of the Maninjau lake’s water pollution in priority are increasing community perception and participation, controlling population growth, limiting the growth rate of fish floating net cage, making efficiency of fish feeding using low phosphorus (P)-content-foods, making efficiency on using fertilizers and pesticides, conducting better land and vegetation management in catchments areas.

(5)

©

Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007

Hak Cipta Dilindungi

(6)

DANAU MANINJAU SUMATERA BARAT

MARGANOF

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Nama : Marganof

NRP : P 062030111

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Latifah K. Darusman, MS. Ketua

Dr. Ir. Etty Riani, MS. Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya N., M.Eng.

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah Pascasarjana Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS. Prof. Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.

(8)

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas karunia dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi dengan judul: Model Pengendalian Pencemaran Perairan Di Danau Maninjau Sumatera Barat. Disertasi ini disusun dalam rangka memenuhi tugas akhir penyelesaian program Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Selama pelaksanaan penelitian dan penulisan disertasi ini penulis telah banyak mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Latifah Kosim Darusman, MS., selaku ketua Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan perhatian, nasehat, arahan dan waktu secara sabar untuk berdiskusi dengan memberikan semangat secara terus menerus sejak perencanaan penelitian sampai penyelesaian penulisan disertasi ini. 2. Dr. Ir. Etty Riani, MS. dan Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya N., M.Eng.,

selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan arahan dan perhatian serta waktu dan tenaga dalam berdiskusi mulai dari perencanaan penelitian sampai terselesaikannya disertasi ini.

3. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, MS., selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana IPB yang telah memacu dan memberikan semangat untuk menyelesaikan studi secara lebih baik.

4. Prof. Dr. Ir. Much. Sri Saeni, MS., selaku Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup, yang telah memberikan koreksi, masukan, saran perbaikan dan semangat dalam menyelesaikan studi.

(9)

Pertanian Bogor.

7. Rektor Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat yang telah memberikan izin kepada penulis untuk mengikuti program Doktor di Institut Pertanian Bogor.

8. Gubernur Sumatera Barat yang telah memberikan dana bantuan untuk menunjang pelaksanaan penelitian dan penulisan disertasi ini.

9. Ayahanda Karani Rasul (Alm) dan Ibunda Dahniar N, yang senantiasa memberikan doa restu dan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan pendidikan Doktor di Institut Pertanian Bogor dengan baik.

10.Kakakku Neldayuliarti sekeluarga dan adikku Onwarnida sekeluarga yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materil selama penulis menempuh pendidikan Doktor di Institut Pertanian Bogor.

11.Istriku Desi Darma dan anak-anakku Zahrah Marganof dan Hasnan Habib Marganof yang telah memberikan pengorbanan selama penulis menempuh pendidikan Doktor di Institut Pertanian Bogor.

12.Teman-teman khususnya Dr. Ir. Gufran Darma Dirawan, MSc., Dr. Ir. Herman, MS., Dr. Syafrani, MSi., Ir. Frida Purwanti, MSc., Dr. Drh. Ratna Katharina, MSi., Ir. Nanti Kasih, MT., Ir. Henny Pagorai, MSi., Ir. Saharia, MSi., Ir. Luluk Sulistiyono, MS., dan Ir. Marini Susanti, MSi., yang telah banyak membantu dan berdiskusi selama menuntut ilmu di Institut Pertanian Bogor.

Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan Ibu dan Bapak dengan berlipat ganda. Akhir kata penulis menyadari bahwa tulisan ini masih belum sempurna, namun demikian penulis berharap semoga karya ilmiah yang sederhana ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan semua pihak yang memerlukannya.

Bogor, Juli 2007

(10)

Penulis dilahirkan di Sungai Naning, Kabupaten Limapuluh Kota Provinsi Sumatera Barat pada tanggal 21 September 1963 sebagai anak ke tiga dari pasangan Karani Rasul (alm) dan Dahniar N. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Pendidikan Kimia, Fakultas Pendidkan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Padang, lulus pada tahun 1989. Pada tahun 1997, penulis diterima di Program Studi Kimia pada Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang dan menamatkannya pada tahun 1999. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari program BPPS Departemen Pendidikan Nasional.

Penulis bekerja sebagai dosen Kopertis Wilayah X yang dipekerjakan pada Program Studi Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat sejak tahun 1992. Mata kuliah yang diasuh adalah Kimia Dasar dan Kimia Kayu.

Artikel ilmiah penulis berjudul “Analisis Beban Pencemaran, Kapasitas Asimilasi dan Tingkat Pencemaran dalam Upaya Pengendalian Pencemaran Perairan di Danau Maninjau Sumatera Barat” dalam proses penerbitan dalam Jurnal Nature Indonesia Volume 10 No. 1 bulan Oktober 2007. Artikel lain berjudul “Model Dinamik Pencemaran Perairan Danau Maninjau akan diterbitkan pada CrestWater Journal Volume 1 No. 1 pada bulan Agustus 2007. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.

(11)

xii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan Penelitian ... 4

1.3. Kerangka Pemikiran ... 5

1.4. Perumusan Masalah ... 7

1.5. Manfaat Penelitian ... 9

1.6. Novelty (Kebaruan) Penelitian ... 9

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1. Ekosistem Perairan Danau ... 10

2.2. Pencemaran Perairan Danau ... 12

2.3. Eutrofikasi ... 17

2.4. Indikator Parameter Pencemaran ... 20

2.4.1. Parameter Fisika ... 20

2.4.2. Parameter Kimia ... 24

2.4.3. Parameter Mikrobiologi ... 31

2.5. Dampak Pemanfaatan Lahan terhadap Kualitas Perairan ... 31

2.6. Dampak Sedimentasi terhadap Kualitas Perairan ... 32

2.7. Pengendalian Pencemaran Perairan Danau ... 33

2.8. Pendekatan Sistem ... 34

2.9. Modeling (Pemodelan) ... 36

2.10. Validasi dan Sensitivitas Model ... 39

2.11. Persepsi Masyarakat dalam Pengendalian Pencemaran ... 41

III. METODE PENELITIAN ... 43

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 43

3.2. Bahan dan Alat ... 43

3.3. Jenis dan Sumber Data ... 43

3.4. Pelaksanaan Penelitian ... 44

3.5. Analisis Data ... 49

3.5.1. Analisis Fisika, Kimia dan Mikrobiologi ... 49

3.5.2. Analisis Beban Pencemar ... 50

3.5.3. Analisis Persepsi Masyarakat ... 52

3.5.4. Pendekatan Sistem dalam Pengendalian Pencemaran ... 52

3.6. Model Pengendalian Pencemaran ... 57

3.7. Asumsi yang Digunakan ... 57

3.8. Analisis Pengembangan Skenario Pengendalian Pencemaran ... 57

(12)

xiii

IV. PROFIL DAERAH PENELITIAN ... 62

4.1. Letak Administrasi dan Kondisi Geografis ... 62

4.2. Iklim dan Curah Hujan ... 63

4.3. Kondisi Tofografi ... 64

4.4. Hidrologi ... 65

4.5. Geologi Kawasan Danau Maninjau ... 66

4.6. Tataguna Lahan di sekitar Perairan Danau ... 66

4.7. Kependudukan di Kawasan Danau Maninjau ... 67

4.8. Lapangan Kerja Penduduk ... 70

4.9. Pendidikan Masyarakat di Kawasan Danau Maninjau ... 70

4.10.Kesehatan Masyarakat ... 71

4.11.Isu Pencemaran Perairan di Danau Maninjau ... 71

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 74

5.1. Kondisi Eksisting Perairan Danau ... 74

5.1.1. Parameter Fisika, Kimia dan Mikrobiologi ... 74

5.1.2. Status Kualitas Lingkungan Perairan Danau ... 92

5.2. Sumber dan Jenis Pencemar Perairan Danau ... 93

5.3. Beban Pencemaran Perairan Danau ... 97

5.4. Persepsi Masyarakat dalam Pengendalian Pencemaran ... 105

5.5. Pemodelan Sistem ... 109

5.5.1. Sub-model Limbah Penduduk ... 110

5.5.2. Sub-model Limbah Hotel ... 111

5.5.3. Sub-model Limbah Peternakan ... 112

5.5.4. Sub-model Limbah Pertanian ... 113

5.5.5. Sub-model Limbah KJA ... 113

5.5.6. Analisis Kecenderungan Sistem ... 116

5.5.7. Validasi Model ... 117

5.6. Penyusunan Skenario Pengendalian Pencemaran Perairan ... 121

5.7. Analisis Perbandingan Penerapan antar Skenario ... 128

5.8. Arahan Kebijakan Pengendalian Pencemaran Perairan Danau ... 129

5.9. Analisis Sensitivitas ... 131

5.10. Pembahasan Umum ... 132

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 134

6.1. Kesimpulan ... 134

6.2. Saran ... 135

DAFTAR PUSTAKA ... 136

(13)

xiv

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Klasifikasi tingkat trofik (kesuburan) perairan danau ... 12

2. Sumber pencemar N dan P di Waduk Cirata ... 16

3. Jumlah N dan P masuk ke perairan dari berbagai sumber pencemar ... 17

4. Status kualitas air berdasarkan kandungan oksigen terlarut ... 25

5. Status kualitas air berdasarkan nilai BOD5 ... 26

6. Status kualitas air berdasarkan kandungan nitrit ... 28

7. Jenis dan ukuran sedimen yang masuk ke perairan danau ... 32

8. Parameter kualitas air dan metode analisis serta alat yang digunakan ... 46

9. Sumber pencemar, parameter dan sumber data ... 48

10. Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ... 49

11. Kriteria indeks mutu lingkungan perairan... 50

12. Faktor konversi limbah organik ... 51

13. Analisis kebutuhan stakeholder (pelaku) ... 54

14. Pedoman penilaian keterkaitan antar faktor ... 59

15. Matriks pengaruh langsung antar faktor dalam analisis prospektif ... 59

16. Data unsur iklim kawasan Danau Maninjau (1995-2004) ... 63

17. Jumlah bulan basah, kering dan lembab kawasan Danau Maninjau ... 64

18. Lebar dan debit beberapa sungai yang bermuara ke Danau Maninjau .. 65

19. Luas penggunaan lahan kawasan Danau Maninjau ... 67

20. Rasio jenis kelamin penduduk kawasan Danau Maninjau ... 68

21. Kondisi luas lahan dan kepadatan penduduk kawasan Danau Maninjau ... 69

22. Pertumbuhan penduduk kawasan Danau Maninjau ... 70

23. Tingkat pendidikan penduduk kawasan Danau Maninjau ... 71

24. Sumber dan jenis bahan pencemar potensial di perairan Danau Maninjau ... 94

25. Keadaan pembuangan tinja penduduk kawasan Danau Maninjau ... 95

26. Total beban pencemaran dari sungai yang masuk ke perairan Danau Maninjau Januari-Juli 2006 (ton/tahun) ... 98

(14)

xv

28. Populasi penduduk dan jumlah KJA serta jumlah limbah yang

dihasilkan tahun 2005-2020 ... 118 29. Keterkaitan antar faktor dan state (kondisi) untuk

analisis prospektif ... 124 30. Skenario dan kombinasi keadaan faktor ... 125

(15)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka pemikiran penelitian ... 7

2. Komposisi air limbah domestik ... 13

3. Tahapan kerja dalam pendekatan sistem ... 35

4. Peta lokasi penelitian ... 45

5. Hubungan antara beban pencemaran dan konsentrasi pencemar ... 52

6. Diagram lingkar sebab akibat (causal loop diagram) sistem pengendalian pencemaran perairan danau ... 56

7. Diagram masukan-keluaran (input-output diagram) sistem pengendalian pencemaran perairan danau ... 57

8. Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor dalam sistem ... 60

9. Peta penggunaan lahan kawasan perairan ... 68

10. Sebaran nilai rata-rata suhu di perairan danau ... 75

11. Sebaran nilai rata-rata TSS di perairan danau ... 76

12. Sebaran nilai rata-rata kecerahan di perairan danau ... 77

13. Sebaran nilai rata-rata kekeruhan di perairan danau ... 77

14. Sebaran nilai rata-rata TDS di perairan danau ... 78

15. Sebaran nilai rata-rata warna di perairan danau ... 79

16. Sebaran nilai rata-rata pH di perairan danau ... 80

17. Sebaran nilai rata-rata CO2 bebas di perairan danau ... 81

18. Sebaran nilai rata-rata DO di perairan danau ... 82

19. Sebaran nilai rata-rata BOD5 di perairan danau ... 83

20. Sebaran nilai rata-rata COD di perairan danau ... 84

21. Sebaran nilai rata-rata nitrat di perairan danau ... 85

22. Sebaran nilai rata-rata nitrit di perairan danau ... 86

23. Sebaran nilai rata-rata ammonia di perairan danau ... 87

24. Sebaran nilai rata-rata fosfat di perairan danau... 88

25. Sebaran nilai rata-rata DDT di perairan danau ... 89

26. Sebaran rata-rata karbofenotion di perairan danau ... 90

(16)

xvii

28. Sebaran nilai rata-rata total coliform di perairan danau ... 92

29. Indeks mutu lingkungan perairan (IMLP) danau ... 93

30. Hubungan antara beban pencemar TSS di muara sungai dengan kadar TSS perairan danau ... 102

31. Hubungan antara beban pencemar TDS di muara sungai dengan kadar TDS perairan danau ... 103

32. Hubungan antara beban pencemar COD di muara sungai dengan kadar COD perairan danau ... 103

33. Hubungan antara beban pencemar BOD5 di muara sungai dengan kadar BOD5 perairan danau ... 104

34. Hubungan antara beban pencemar PO4 di muara sungai dengan kadar PO4 perairan danau ... 104

35. Hubungan antara beban pencemar NO3 di muara sungai dengan kadar NO3 perairan danau ... 105

36. Persentase persepsi masyarakat Nagari Bayur tentang pengendalian pencemaran perairan danau ... 107

37. Persentase persepsi masyarakat Nagari Maninjau tentang pengendalian pencemaran perairan danau ... 108

38. Persentase persepsi masyarakat Nagari Sungai Batang tentang pengendalian pencemaran perairan danau ... 108

39. Diagram alir model limbah dari luar danau ... 110

40. Diagram alir sub-model limbah penduduk ... 111

41. Diagram alir sub-model limbah hotel ... 112

42. Diagram alir sub-model limbah peternakan ... 112

43. Diagram alir sub-model limbah pertanian ... 113

44. Diagram alir sub-model limbah KJA ... 114

45. Diagram alir model pengendalian pencemaran perairan danau ... 115

46. Kecenderungan jumlah limbah masuk ke perairan danau ... 117

47. Hubungan antara jumlah penduduk dengan jumlah limbah ... 119

48. Grafik perbandingan jumlah penduduk hasil simulasi dengan data empirik ... 120

49. Grafik perbandingan perkembangan jumlah KJA hasil simulasi dengan data empirik ... 120

50. Gambaran tingkat kepentingan faktor-faktor yang berpengaruh pada sistem pengendalian pencemaran ... 122

51. Prediksi beban limbah pada skenario pesimistik sampai tahun 2020 .... 126

(17)

xviii

53. Prediksi beban limbah pada skenario optimistik sampai tahun 2020 .... 128 54. Grafik perbandingan tiga skenario beban limbah dalam pengendalian

pencemaran perairan di Danau Maninjau tahun 2005-2020 ... 129 55. Grafik beban limbah dengan pengurangan pertumbuhan penduduk

dengan intervensi struktural ... 131 56. Grafik beban limbah dengan pengurangan pertumbuhan KJA

(18)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan

Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air ... 147 2. Nilai rata-rata parameter kualitas air pada setiap stasiun pengamatan .... 149 3. Hasil perhitungan indeks mutu lingkungan perairan (IMLP) ... 150 4. Penghitungan beban limbah dari aktivitas penduduk ... 153 5. Persepsi masyarakat sekitar Danau Maninjau tentang pengendalian

pencemaran perairan ... 159 6. Pengaruh langsung antar faktor pada analisis prospektif ... 160 7 Daftar responden pakar (expert) pengendalian pencemaran perairan di

Danau Maninjau ... 161 8. Hasil perhitungan KF dan tingkat kecocokan model dari

(19)

1.1. Latar Belakang

Indonesia memiliki lebih dari 500 danau dengan luas keseluruhan lebih dari 5.000 km2 atau sekitar 0,25% dari luas daratan Indonesia (Davies et al.,1995), namun status kondisi sebagian besar danau tersebut akhir-akhir ini sudah sangat memprihatinkan. Pada saat ini fungsi dan manfaat danau dirasakan sudah semakin berkurang. Fenomena ini disebabkan oleh terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan perairan danau serta koordinasi antar sektoral dalam pengelolaannya yang sangat lemah atau hampir tidak ada sama sekali (Sumarwoto et al., 2004).

Pencemaran yang terjadi di perairan danau, merupakan masalah penting yang perlu memperoleh perhatian dari berbagai pihak. Hal ini disebabkan beragamnya sumber bahan pencemar yang masuk dan terakumulasi di danau. Sumber-sumber bahan pencemar tersebut antara lain berasal dari kegiatan produktif dan non-produktif di upland (lahan atas), dari permukiman dan dari kegiatan yang berlangsung di badan perairan danau itu sendiri, dan sebagainya. Jenis bahan pencemar utama yang masuk ke perairan danau terdiri dari beberapa macam, antara lain limbah organik dan anorganik, residu pestisida, sedimen dan bahan-bahan lainnya.

Keberadaan bahan pencemar tersebut dapat menyebabkan terjadinya penurunan kualitas perairan danau, sehingga tidak sesuai lagi dengan jenis peruntukannya sebagai sumber air baku air minum, perikanan, pariwisata dan sebagainya. Selain itu, pencemaran juga dapat menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati, khususnya spesies endemik (asli) danau tersebut (Khosla et al., 1995; Kumurur, 2002). Dampak negatif lain dari pencemaran perairan danau tidak hanya dapat menimbulkan kerugian secara ekonomis dan ekologis berupa penurunan produktivitas hayati perairan, tetapi juga dapat membahayakan kesehatan bahkan dapat menyebabkan kematian manusia yang memanfaatkan perairan danau untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Fakhrudin et al., 2001).

(20)

memanfaatkannya untuk memenuhi berbagai kebutuhan domestik seperti sumber air baku air minum, mandi, dan mencuci (MCK). Pemanfaatan penting lainnya adalah untuk perikanan (perikanan budidaya dan perikanan tangkap), sumber air untuk irigasi, sebagai obyek wisata serta sebagai sumber pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang mengaliri sebagian besar kebutuhan listrik untuk wilayah Sumatera Barat.

Nilai penting lainnya dari keberadaan Danau Maninjau adalah adanya jenis ikan endemik, yakni ikan bada (Rasbora argyrotaenia) yang mempunyai nilai ekonomis yang tinggi. Bahkan ikan bada yang sudah dikeringkan (”ikan bada masiak”) harganya mencapai Rp 120.000,- per kg (Diliarosta, 2002). Keberadaan ikan-ikan tersebut sudah semakin terancam akibat semakin meningkatnya beban pencemaran yang masuk ke badan air danau, sehingga menyebabkan kualitas perairan danau semakin menurun (Syandri, 2002a).

Meningkatnya beban pencemaran yang masuk ke perairan danau juga disebabkan oleh kebiasaan masyarakat yang berdomisili di sekitar danau. Umumnya masyarakat sekitar danau membuang limbah domestik, baik limbah cair maupun limbah padatnya langsung ke perairan danau (Fahkruddin et al., 2001; Haryani, 2001). Hal ini akan memberikan tekanan terhadap ekosistem perairan danau.

Berbagai aktivitas penduduk yang ada di sempadan danau, seperti permukiman, perhotelan, pertanian dan peternakan merupakan sumber bahan pencemar yang masuk ke perairan danau. Kegiatan di badan perairan danau, berupa pembudidayaan ikan dengan teknik keramba jaring apung (KJA) juga merupakan sumber limbah yang potensial mencemari perairan danau. Bapedalda Sumbar (2001) melaporkan bahwa penyebab utama penurunan kualitas perairan Danau Maninjau adalah akibat dari kegiatan perikanan KJA yang sudah melampaui daya dukung perairan danau. Fakta lain juga mengungkapkan bahwa kualitas perairan Danau Maninjau cenderung terus menurun dari waktu ke waktu, akibat semakin tingginya tingkat pencemaran karena buangan limbah domestik dan pertanian (LPP UMJ, 2006).

(21)

tersebut. Prinsip-prinsip ekologis bahwa perairan danau memiliki carrying capacity (daya dukung) dan daya asimilasi terhadap limbah yang terbatas tidak dipahami oleh sebagian besar masyarakat pengguna danau. Seperti contoh pemanfaatan danau untuk kegiatan budidaya perikanan dengan teknik KJA selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya. Sampai akhir tahun 2006, terdapat 8.955 unit KJA yang beroperasi di perairan Danau Maninjau. Jumlah ini sudah sangat melebihi daya dukung perairan danau untuk kegiatan KJA (Syandri, 2006). Hal ini akan memberikan tekanan terhadap perairan danau semakin meningkat.

Di satu sisi, pengembangan usaha budidaya ikan dalam KJA akan memberikan dampak positif berupa penciptaan lapangan kerja baru dan peningkatan pendapatan masyarakat setempat, namun di sisi lain usaha ini juga akan membawa dampak negatif terhadap ekosistem perairan danau. Dalam hal ini, kegiatan budidaya ikan dengan KJA secara langsung akan mempengaruhi (menurunkan) kualitas perairan danau (Bappeda Agam, 2002). Pengaruh tersebut diakibatkan oleh limbah pakan dan zat pemberantas hama perikanan. Bila konsentrasinya melebihi ambang batas, dapat mencemari dan meracuni biota di perairan danau tersebut. Kematian masal ikan dalam KJA sebanyak 950 ton yang terjadi pada tahun 1997 dan 2000 yang menelan kerugian milyaran rupiah, mengindikasikan telah terjadi penurunan kualitas perairan di Danau Maninjau (Syandri, 2002b).

Masuknya limbah pakan (nutrien) ke perairan danau dalam jumlah yang berlebih dapat menyebabkan perairan menjadi lewat subur, sehingga akan menstimulir blooming (ledakan) populasi fitoplankton dan mikroba air yang bersifat patogen. Limbah zat hara dan organik baik dalam bentuk terlarut maupun partikel, berasal dari pakan yang tidak dimakan dan eksresi ikan, yang umumnya dikarakterisasi oleh peningkatan total padatan tersuspensi (TSS), BOD5, COD, dan kandungan C, N dan P. Secara potensial penyebaran dampak buangan limbah yang kaya zat hara dan bahan organik tersebut dapat meningkatkan sedimentasi, siltasi, hipoksia, hipernutrifikasi, dan perubahan produktivitas serta struktur komunitas bentik (Barg, 1992).

(22)

mengancam kelestarian fungsi danau. Hal ini merupakan masalah yang perlu segera ditangani secara serius agar tidak meluas dan semakin parah di kemudian hari.

Ekosistem danau merupakan suatu sistem, terdiri dari komponen biotik dan abiotik yang saling berinteraksi dengan lingkungannya. Fenomena tentang penurunan kualitas perairan (pencemaran) yang terjadi di perairan Danau Maninjau, menunjukkan permasalahan yang kompleks dan sulit dipahami jika hanya menggunakan satu disiplin keilmuan. Konsep sistem yang berlandaskan pada unit keragaman dan selalu mencari keterpaduan antar komponen melalui pemahaman secara holistik (menyeluruh) dan utuh, merupakan suatu alternatif pendekatan baru dalam memahami dunia nyata (Forester, 1971). Pendekatan sistem merupakan cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap sejumlah kebutuhan, sehingga dapat menghasilkan suatu operasi sistem yang efektif (Eriyatno, 2007). Oleh karena itu, kajian tentang pencemaran yang terjadi di perairan Danau Maninjau dapat dilakukan dengan pendekatan sistem dalam membangun model pengendalian pencemarannya dalam upaya mewujudkan perairan danau yang bersih dan lestari, sehingga pemanfaatan fungsi danau dapat berkesinambungan.

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah membangun model pengendalian pencemaran perairan di Danau Maninjau; untuk mencapai tujuan tersebut, maka pada penelitian ini akan dilakukan kegiatan-kegiatan:

1. Menganalisis kualitas perairan dan tingkat pencemaran perairan di Danau Maninjau

2. Membangun model yang menggambarkan sistem pengendalian pencemaran perairan di Danau Maninjau

3. Merumuskan alternatif atau rancangan kebijakan pengendalian pencemaran perairan di Danau Maninjau.

1.3. Kerangka Pemikiran

(23)

perairan. Permasalahan penurunan kualitas perairan umumya disebabkan oleh adanya bahan pencemar baik organik maupun anorganik yang masuk ke badan perairan tersebut. Sementara itu, permasalahan kekurangan air disebabkan oleh terbatasnya presipitasi air dan penggunaan air yang berlebihan.

Danau Maninjau merupakan sumberdaya alam yang memberikan manfaat besar bagi masyarakat baik dari aspek ekonomi, sosial maupun dari aspek ekologi. Oleh karena itu, salah satu program penting pemerintahan Kabupaten Agam yang tertuang dalam Renstra dan Propeda Kabupaten Agam tahun 2005–2010 tentang pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan adalah menjadikan kawasan perairan danau sebagai kawasan yang bersih, sehat dan indah yang bebas dari pencemaran (Bappeda Agam, 2005).

Danau Maninjau mempunyai banyak potensi yang menunjang secara finansial, sehingga menyebabkan pertumbuhan penduduk dan pelayanan jasa di sekitar danau menjadi semakin meningkat. Perkembangan penduduk di sekitar perairan danau dengan berbagai aktivitasnya, merupakan sumber utama bahan pencemar (limbah) yang masuk ke perairan danau, sehingga menyebabkan terjadinya penurunan kualitas perairan danau.

Pada kawasan perairan danau terdapat beberapa faktor lingkungan yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya, yaitu lingkungan permukiman, lingkungan pariwisata, lingkungan pertanian dan peternakan, serta lingkungan sosial ekonomi masyarakat baik berupa pasar, rumah sakit dan sarana sosial lainnya. Semua hasil buangan dari kegiatan di lingkungan tersebut akan bermuara ke perairan danau. Kenyataan yang ada dan langsung dapat dirasakan adalah turunnya fungsi lingkungan perairan danau sebagai sumber kehidupan masyarakat sehari-hari. Meskipun berbagai upaya penanggulangan pencemaran telah dilakukan oleh pemerintah, seperti program pengendalian pencemaran perairan secara biologi ”ingkongbudo”, program kalibersih (prokasih) dan program lainnya, namun pencemaran perairan tetap terjadi.

(24)

penghasil limbah. Menurut Jorgensen dan Vollenweider (1989), penggunaan pemodelan dalam pengelolaan danau atau waduk merupakan suatu hal yang bermanfaat. Hal ini disebabkan model dapat mensintesis pengetahuan dari sistem dan permasalahan yang ada.

Pendekatan studi untuk mewujudkan pengendalian pencemaran perairan danau yang holistik, memerlukan kajian yang mendalam mengenai permasalahan yang terdapat di perairan danau. Permasalahan tersebut berkaitan dengan potensi dan ancaman dalam pemanfaatan danau oleh masyarakat sekitar perairan danau. Potensi dan ancaman tersebut diidentifikasi baik secara fisika, kimia dan mikrobiologi maupun secara ekonomi-sosial dan budaya berdasarkan kebutuhan stakeholder (pelaku) yang terlibat dalam pemanfaatan perairan danau. Tahap selanjutnya adalah menyusun alternatif skenario model pengendalian pencemaran perairan danau dan akhirnya menyusun rancangan model pengendalian pencemaran di perairan danau yang komprehensif yang dapat mengakomodasi semua kepentingan pelaku.

(25)

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian.

1.4. Perumusan Masalah

Danau Maninjau, seperti halnya danau-danau di Indonesia pada umumnya juga mengalami masalah yang hampir sama yaitu masalah pencemaran perairan, penurunan kualitas perairan, penurunan debit air dan pendangkalan danau. Apabila tidak ada usaha-usaha pencegahan dan pengendalian dikhawatirkan pencemaran dan sedimentasi akan terus-menerus berlangsung, yang selanjutnya akan berpengaruh pada menurunnya nilai atau fungsi dari danau serta berdampak pada kelangsungan fungsi danau. Perubahan yang terjadi pada sumberdaya alam tersebut akan berdampak terhadap pemenuhan kebutuhan hidup penduduk setempat. Penurunan kualitas perairan danau juga dapat berdampak buruk terhadap kesehatan dan kesejahteraan masyarakat sekitar perairan danau pada khususnya dan masyarkat Sumatera Barat pada umumnya.

(26)

indogenous (badan air danau) dan di exogenous (luar danau). Limbah yang berasal dari kegiatan yang berlangsung di badan air bersumber dari kegiatan KJA. Beban limbah organik yang bersumber dari KJA berupa sisa pakan dan feses ikan dapat menurunkan kualitas perairan danau. Selain itu, penurunan kualitas perairan juga disebabkan oleh limbah yang berasal dari luar danau berupa limbah domestik, limbah dari kegiatan pertanian dan peternakan yang berada di sekitar perairan danau.

Penumpukan unsur hara hasil dekomposisi bahan organik yang berlebihan di perairan danau, akan menimbulkan permasalahan karena, unsur hara yang berlebihan akan menyebabkan perairan mengalami pengkayaan oleh unsur hara (eutrofikasi). Dekomposisi bahan organik yang berlebihan juga akan menyebabkan perairan mengalami kekurangan oksigen (anoxia). Proses dekomposisi tanpa adanya oksigen akan menyebabkan terbentuknya senyawa-senyawa toksik (beracun), sehingga berdampak buruk terhadap organisme akuatik dan manusia yang memanfaatkan perairan danau tersebut.

Pendangkalan yang terjadi di danau diduga dari erosi yang berasal dari daerah tangkapan air (DTA) dan sempadan danau. Erosi yang tinggi pada daerah tersebut akan terbawa oleh aliran sungai yang pada akhirnya akan mengendap sebagai sedimen di dasar danau. Akumulasi dari erosi yang terjadi terus-menerus akan mengarah pada terjadinya pendangkalan danau, penurunan kuantitas dan kualitas air serta dapat merusak habitat di badan perairan danau. Oleh karena itu diperlukan upaya-upaya pengendalian sumber pencemaran yang masuk ke perairan danau melalui pendekatan kesisteman dan kebijakan yang dapat diterima oleh berbagai pihak.

(27)

pengendalian pencemaran perairan di Danau Maninjau, diajukan beberapa pertanyaan penelitian yaitu:

1. Bagaimana kualitas perairan dan tingkat pencemaran perairan di Danau Maninjau?

2. Model seperti apa yang dapat menggambarkan sistem pengendalian pencemaran perairan di Danau Maninjau?

3. Bagaimana skenario strategi pengendalian pencemaran perairan di Danau Maninjau?

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada berbagai pihak, terutama :

1. Bagi pemerintah daerah, informasi ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan atau acuan dalam memformulasi kebijakan dalam pengendalian pencemaran yang terjadi di perairan Danau Maninjau.

2. Bagi masyarakat sebagai informasi dalam pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya perairan Danau Maninjau.

3. Sebagai sumber informasi untuk pengembangan ilmu pengetahuan dalam menyelesaikan masalah pencemaran lingkungan perairan, khususnya di Danau Maninjau.

1.6. Novelty (Kebaruan) Penelitian

(28)

2.1. Ekosistem Perairan Danau

Ekosistem merupakan suatu sistem ekologi yang terdiri atas komponen-komponen biotik dan abiotik yang saling berintegrasi sehingga membentuk satu kesatuan. Di dalam ekosistem perairan danau terdapat faktor-faktor abiotik dan biotik (produsen, konsumen dan pengurai) yang membentuk suatu hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi. Perairan danau merupakan salah satu bentuk ekosistem air tawar yang ada di permukaan bumi. Secara fisik, danau merupakan suatu tempat yang luas yang mempunyai air yang tetap, jernih atau beragam dengan aliran tertentu (Jorgensen and Vollenweiden, 1989). Sementara itu, menurut Ruttner (1977) dan Satari (2001) danau adalah suatu badan air alami yang selalu tergenang sepanjang tahun dan mempunyai mutu air tertentu yang beragam dari satu danau ke danau yang lain serta mempunyai produktivitas biologi yang tinggi.

Ekosistem danau termasuk habitat air tawar yang memiliki perairan tenang yang dicirikan oleh adanya arus yang sangat lambat sekitar 0,1–1 cm/detik atau tidak ada arus sama sekali. Oleh karena itu residence time (waktu tinggal) air bisa berlangsung lebih lama. Menurut Wetzel (2001), perairan danau biasanya memiliki stratifikasi vertikal kualitas air yang bergantung pada kedalaman dan musim.

Menurut Odum (1993), pada dasarnya proses terjadinya danau dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu: danau alami dan danau buatan. Danau alami merupakan danau yang terbentuk sebagai akibat dari kegiatan alamiah, misalnya bencana alam, kegiatan vulkanik dan kegiatan tektonik. Sedangkan danau buatan adalah danau yang dibentuk dengan sengaja oleh kegiatan manusia dengan tujuan-tujuan tertentu dengan jalan membuat bendungan pada daerah dataran rendah.

(29)

danau sangat tergantung pada pengelolaan atau pengendalian daerah aliran sungai (DAS) yang berada di atasnya.

Cole (1988) menyatakan bahwa berdasarkan kemampuan penetrasi cahaya matahari menembus ke dalam danau, wilayah danau dapat dibagi menjadi tiga mintakat (zone) yaitu: zone litoral, zone limnetik, dan zone profundal. Zone litoral merupakan daerah pinggiran danau yang dangkal dengan penetrasi cahaya sampai ke dasar, sedangkan zone limnetik adalah daerah air terbuka dimana penetrasi cahaya bisa mencapai daerah yang cukup dalam, sehingga efektif untuk proses fotosintesis. Bagian air di zone ini terdiri dari produsen plantonik, khususnya diatome dan spesies alga hijau-biru. Daerah ini juga merupakan daerah produktif dan kaya akan plankton. Selain itu, daerah ini juga merupakan daerah untuk memijah bagi banyak organisme air seperti insekta. Zone profundal merupakan bagian dasar yang dalam yang tidak tercapai oleh penetrasi cahaya efektif.

(30)

Tabel 1. Klasifikasi tingkat kesuburan perairan danau (Jorgensen, 1990)

Tipe trofik Biomassa fitoplankton (mg C m-3)

2.2. Pencemaran Perairan Danau

Peraturan Pemerintah nomor 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air menyatakan bahwa, pencemaran air adalah masuknya atau dimasukkannya mahkluk hidup, zat, energi atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas perairan turun sampai pada tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Peraturan ini menyatakan bahwa pencemaran harus ditanggulangi dan penanggulangannya adalah merupakan kewajiban semua pihak.

Dari rumusan tersebut, secara singkat pencemaran air dapat dikatakan sebagai turunnya kualitas air karena masuknya komponen-kompoen pencemar dari kegiatan manusia atau proses alam, sehingga air tersebut tidak memenuhi syarat atau bahkan mengganggu pemanfaatannya. Terjadinya pencemaran perairan danau dapat ditunjukkan oleh dua hal, yaitu (1) adanya pengkayaan unsur hara yang tinggi, sehingga terbentuk komunitas biota dengan produksi yang berlebihan, (2) air diracuni oleh zat kimia toksik yang menyebabkan lenyapnya organisme hidup, bahkan mencegah semua kehidupan di perairan (Southwick, 1976). Senada dengan hal tersebut Saeni (1989) menyatakan bahwa pencemaran yang terjadi di perairan dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu (1) pencemaran kimiawi berupa bahan-bahan organik, mineral, zat-zat beracun dan radioaktif, (2) pencemaran fisik berupa lumpur dan uap panas, dan (3) pencemaran biologis berupa berkembangbiaknya ganggang, tumbuh-tumbuhan pengganggu air, kontaminasi organisme mikro yang berbahaya atau dapat berupa gabungan ketiga pencemaran tersebut.

(31)

masuk ke perairan dapat berasal dari buangan yang diklasifikasikan sebagai: (1) point source discharges (sumber titik) dan (2) non point source (sumber menyebar). Sumber titik atau sumber pencemaran yang dapat diketahui secara pasti dapat merupakan suatu lokasi tertentu seperti dari air buangan industri maupun domestik serta saluran drainase. Pencemar bersifat lokal dan efek yang diakibatkan dapat ditentukan berdasarkan karakteristik spasial kualitas air. Sedangkan sumber pencemar yang berasal dari sumber menyebar berasal dari sumber yang tidak diketahui secara pasti. Pencemar masuk ke perairan melalui run off (limpasan) dari permukaan tanah wilayah pertanian yang mengandung pestisida dan pupuk, atau limpasan dari daerah permukiman dan perkotaan.

Dewasa ini permasalahan ekologis yang menjadi perhatian utama adalah menurunnya kualitas perairan oleh masuknya bahan pencemar yang berasal dari berbagai kegiatan manusia seperti, sampah permukiman, sedimentasi dan siltasi, industri, pemupukan dan pestisida. Bahan pencemar yang berasal dari permukiman pada umumnya dalam bentuk limbah (organik dan anorganik) dan sampah.

Bahan pencemar yang terdapat dalam air limbah dapat berupa bahan terapung, padatan tersuspensi atau padatan terlarut. Selain itu, air limbah juga dapat mengandung mikroorganisme seperti virus, bakteri dan protozoa. Komposisi air limbah domestik sangat bervariasi tergantung pada tempat, sumber dan waktu. Namun secara garis besar zat-zat yang terdapat di dalam air limbah dapat dikelompokkan seperti Gambar 2 (Tebbut, 1998 dalam Mara, 2004).

(32)

Limbah organik yang mencemari perairan danau, berdasarkan asalnya dapat dibedakan menjadi limbah organik yang berasal dari luar danau dan berasal dari kegiatan di badan air danau. Limbah yang berasal dari luar danau berupa limbah industri, domestik, dan pertanian, sedangkan yang berasal dari kegiatan di badan perairan danau adalah sisa pellet dari kegiatan budidaya ikan dalam KJA. Ditambahkan oleh Haryadi (2003), limbah organik yang masuk ke perairan umumnya berasal dari sisa makanan, eksresi, deterjen, bahan pembersih, minyak dan lemak, bahan-bahan tersuspensi, sisa insektisida, pestisida dan bahan-bahan sintetik lainnya.

Limbah organik merupakan sisa atau buangan dari berbagai aktivitas manusia seperti rumah tangga, idustri, permukiman, peternakan, pertanian dan perikanan yang berupa bahan organik, yang biasanya tersusun oleh karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, fosfor, sulfur dan mineral lainnya (Porpraset, 1989). Limbah organik yang masuk ke dalam perairan dalam bentuk padatan akan langsung mengendap menuju dasar perairan, sedang bentuk lainnya berada di badan air, baik di bagian yang aerob maupun anaerob. Limbah organik, jika tidak dimanfaatkan oleh fauna perairan lain, seperti ikan, kepiting, bentos dan lainnya, maka akan segera dimanfaatkan oleh mikroba, baik mikroba aerobik maupun anaerobik ataupun mikroba fakultatif (Garno, 2004).

Limbah organik yang ada di badan air aerobik akan dimanfaatkan dan diurai (dekomposisi) oleh mikroba aerobik (BAR), dengan proses seperti pada reaksi berikut.

BAR + O2 BAR e’ CO2 + NH3 + produk lain + energi

COHNS + O2 + BAR + energi e’ C5H7O2N (sel MO baru)

(33)

BAN e’ CO2 + H2S + NH3 + CH4 + produk lain + energi

CHONS + BAN + energi e’ C5H7O2N (sel MO baru)

Proses reaksi tersebut mengungkapkan bahwa aktivitas mikroba yang hidup di bagian badan air yang anaerob, selain menghasilkan sel-sel mikroba baru juga menghasilkan senyawa-senyawa CO2, NH3, H2S dan CH4 serta senyawa lain

seperti amin dan komponen fosfor. H2S, amin dan komponen fosfor adalah

senyawa yang mengeluarkan bau menyengat yang tidak sedap dan anyir. Selain itu telah disinyalir bahwa NH3 dan H2S hasil dekomposisi anaerob pada tingkat

konsentrasi tertentu adalah beracun dan dapat membahayakan organisme lain, termasuk manusia.

Pencemaran perairan danau juga dapat disebabkan oleh buangan bahan beracun baik yang dapat diuraikan secara kimiawi oleh bakteri maupun yang sukar diuraikan serta hara anorganik yang menyebabkan pertumbuhan alga secara berlebihan. Bahan-bahan beracun yang berasal dari limbah buangan industri mengandung senyawa-senyawa yang bersifat toksik seperti logam berat; Hg, Pb, dan Cd (Shivastava et al., 2003). Masuknya bahan pencemar tersebut ke badan perairan dapat menurunkan kualitas air serta mengubah kondisi ekologi perairan. Sutamihardja (1992) menyatakan bahwa bahan pencemaran yang menurunkan kualitas air dapat menyebabkan gangguan pada kesehatan (health hazard), sanitari (sanitary hazard) dan kerugian-kerugian secara ekonomi dan sosial.

(34)

menyebabkan perairan menjadi tercemar dan merusak ekosistem di dalamnya (Cornel and Miller, 1995).

Residu pupuk yang tidak terserap tanaman, mengandung unsur nitrogen dan fosfor yang cukup tinggi, sehingga dapat merangsang pertumbuhan alga dan tanaman air lainnya. Kelimpahan hara nutrisi ini dapat menyebabkan terjadinya eutrofikasi (penyuburan perairan) (Kemka et al., 2006). Pengaruh negatif dari eutrofikasi di perairan danau adalah terjadinya perubahan keseimbangan kehidupan antara tanaman air dengan hewan air, sehingga beberapa spesies ikan akan musnah dan tanaman air akan dapat menghambat laju arus air (Darmono, 2001). Seperti dilaporkan oleh Garno (2002) bahwa penyuburan yang terjadi di Waduk Cirata oleh hara N dan P, sebagian besar bersumber dari limbah yang berasal dari kegiatan budidaya perikanan yang ada di waduk, limbah domestik dan limbah pertanian seperti terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Sumber pencemar N dan P di Waduk Cirata

Sumber pencemar Jenis pencemar atau hara (ton/tahun)

Nitrogen Fosfor

Domestik*) 2.111,20 276,64

Pertanian**) 5,00 0,10

Perikanan (KJA)***) 6.612 1.041

*)

Brahmana dan Ahmad, 1997; **)Anonim, 1998; dan ***) Garno, 2002

Jenis alga terutama ganggang hijau, sangat subur bila mendapatkan pupuk nitrat. Tumbuhan ini dapat menutupi permukaan perairan, sehingga menghambat sinar matahari yang masuk ke dalam air. Hal ini dapat menyebabkan organisme atau tumbuhan air akan mati. Bakteri pembusuk akan menguraikan organisme yang mati, baik tanaman maupun hewan yang terdapat di dasar air. Proses pembusukan tersebut banyak menggunakan oksigen terlarut dalam air, sehingga terjadi hypoksia atau kadar oksigen akan menurun secara drastis dan pada akhirnya kehidupan biologis di perairan danau juga akan sangat berkurang.

(35)

Tabel 3. Perkiraan jumlah N dan P yang masuk ke Waduk Saguling dari berbagai sumber pencemar (Garno, 2002)

No.

Sumber Pencemar Nitrogen

(ton/tahun)

Limbah rumah tangga (permukiman) Limbah industri

Pencucian dari lahan pertanian Budidaya ikan dalam KJA Limbah peternakan

Kegiatan budidaya perikanan dengan teknik keramba jaring apung yang berlangsung di badan air, merupakan kegiatan yang langsung berhubungan dengan perairan danau, sehingga berdampak langsung terhadap perairan danau yaitu penurunan kualitas perairan. Limbah yang dihasilkan oleh kegiatan tersebut pada umunya berupa limbah organik berupa sisa pakan (pellet). Pakan yang tidak termanfaatkan dari kegiatan budidaya ikan intensif merupakan suatu hal yang dapat mengganggu lingkungan perairan serta dapat menyebabkan terpacunya eutrofikasi di ekosistem perairan danau.

Begitu juga halnya dengan kegiatan peternakan yang terdapat di sempadan danau, merupakan penghasil limbah organik berupa kotoran hewan dan sisa pakan yang masuk ke badan air danau. Walaupun sebagian besar limbahnya tergolong limbah padat, tetapi saluran drainase dari kegiatan peternakan akan membawa limbah cair organik dengan kandungan zat tersuspensi yang tinggi. Di samping itu, limbah ternak dapat merupakan sumber nitrogen dan fosfor yang dapat mengakibatkan terjadinya eutrofikasi pada badan air. Keadaan ini dapat mengakibatkan gangguan keseimbangan ekologis dan bahkan dapat menyebabkan kematian biota perairan serta merusak estetika perairan.

2.3. Eutrofikasi

(36)

halus masuk ke sistem drainase. Proses terjadinya pengkayaan perairan danau oleh unsur hara berlangsung dalam waktu yang cukup lama, namun proses tersebut dapat dipercepat oleh berbagai aktivitas penduduk di sekitar perairan danau.

Peningkatan jumlah penduduk yang semakin tinggi di sekitar perairan danau, dapat mengganggu keseimbangan lingkungan perairan. Hal ini akan memberikan kontribusi pada laju penambahan zat hara dan limbah organik lainnya yang masuk ke badan air. Jumlah unsur hara yang masuk ke badan perairan biasanya lebih besar dari pemanfaatan unsur hara tersebut oleh biota perairan, sehingga akan terjadi penyuburan yang berlebihan (Ahl, 1980).

Menurut Goldmen and Horne (1983), eutrofikasi perairan danau dapat terjadi secara cultural eutrophication (kultural) maupun secara natural eutrophication (alami). Eutrofikasi kultural disebabkan karena terjadinya proses peningkatan unsur hara di perairan oleh aktivitas manusia, sedangkan pada eutrofikasi alami terjadi peningkatan unsur hara bukan karena aktivitas manusia melainkan oleh aktivitas alami.

Gejala eutrofikasi di perairan danau biasanya ditunjukkan dengan melimpahnya konsentrasi unsur hara dan perubahan parameter kimia seperti oksigen terlarut (OT), kandungan klorofil-a dan turbiditas serta produktivitas primer. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan konsentrasi biomassa di bagian epilimnion danau dan tingginya laju pengendapan alga ke bagian dalam kolom air, sehingga menjadikan kondisi anaerobik pada daerah hipolimnion (Gather and Imboden, 1985). Hal senada dikemukakan oleh Agustiyani (2004), meningkatnya unsur hara di danau akan meningkatkan biomassa jenis organisme primer tetapi akan menurunkan jenis konsumer. Hal ini mengakibatkan melimpahnya salah satu jenis saja dan mengurangi varietas dan kualitas. Salah satu contohnya adalah melimpahnya alga yang biasa didominasi oleh blue green algae (alga biru-hijau) dan berkembangnya gulma air.

(37)

sekresinya disebut dengan Mycrosystin, dapat menyerang syaraf dan hati, sehingga dapat mengakibatkan kematian bagi hewan-hewan ternak (Kemka et al., 2006).

Henderson-Seller and Markland (1987) mengemukakan bahwa ada enam indikator utama yang dapat dipakai untuk mendeteksi terjadinya eutrofikasi di suatu perairan danau yakni : 1) menurunnya konsentrasi oksigen terlarut di zone hipolimnotik, 2) meningkatnya konsentrasi unsur hara, 3) menigkatnya padatan tersuspensi, terutama bahan organik, 4) bergantinya populasi fitoplankton yang dominan dari kelompok diatome menjadi chlorophyceae, 5) meningkatnya konsentrasi fosfat, dan 6) menurunnya penetrasi cahaya (meningkatnya kekeruhan).

Fosfor merupakan komponen biokimia sebagai pengubah energi di dalam sel dan terdapat dalam bentuk adenosin fosfat, yang sangat diperlukan dalam kehidupan sel. Kekurangan fosfor akan menghambat metabolisme secara keseluruhan, sehingga menyebabkan penurunan pertumbuhan biomassa. Hal ini senada dengan pernyataan Beveridge (1996) yang menyatakan bahwa unsur fosfor merupakan unsur utama yang diperlukan oleh semua ikan untuk pertumbuhan normal, pembentukan tulang, mengatur regulasi asam-basa dan metabolisme lipid dan karbohidrat. Sementara itu, nitrogen adalah merupakan bagian dari struktur protein dan asam amino yang penting untuk kehidupan.

Menurut Goldman & Horne (1983) dan Sastrawijaya (2000), fosfor dan nitrogen merupakan unsur pembatas dalam proses eutrofikasi. Bila rasio N dan P > 12, maka sebagai faktor pembatas adalah P, sedangkan rasio N dan P < 7 sebagai pembatas adalah N. Rasio N dan P yang berada antara 7 dan 12 menandakan bahwa N dan P bukan sebagai faktor pembatas (non-limiting factor). Ryding & Rast (1989) menyatakan bahwa perairan termasuk dalam klasifikasi eutrofik bila kandungan total N di perairan sebesar 0,393–6,100 mg/l dan bila > 6,100 mg/l perairan termasuk dalam klasifikasi hipertrofik.

(38)

menyebabkan kematian ikan. OECD (1982), menyatakan bahwa dampak dari eutrofikasi yang paling sensitif bagi masyarakat adalah yang berkaitan dengan fungsi danau sebagai tempat rekreasi dan wisata air. Aspek-aspek seperti menurunnya transparansi, warna, rasa dan bau, serta meningkatnya penyakit kulit sangat mengurangi daya tarik dan nilai estetika dari obyek wisata tersebut.

2.4. Indikator Parameter Pencemaran Perairan

Pengelolaan lingkungan perairan danau diperlukan sebagai suatu petunjuk untuk menilai perairan tersebut apakah masih layak digunakan sesuai dengan peruntukannya atau tidak. Mengingat kebutuhan akan air bukan saja dari segi kuantitas, tetapi juga dalam hal kualitas harus baik. Dalam usaha pengendalian pencemaran perairan danau sangat diperlukan informasi dan masukan mengenai tingkat pencemaran yang terjadi di perairan tersebut.

Indeks mutu lingkungan perairan (IMLP) secara umum dapat digunakan untuk memonitor status kualitas air secara menyeluruh sebagai dasar dalam pengambilan kebijakan pengelolaan perairan di masa yang akan datang. Beberapa karakteristik atau indikator kualitas air yang disarankan untuk dianalisis sehubungan pemanfaatan sumberdaya air untuk berbagai keperluan, antara lain parameter fisika, kimia dan biologi (Manik, 2003; Effendi, 2003),

2.4.1. Parameter Fisika Suhu

Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, sirkulasi udara, penutupan awan, dan aliran serta kedalaman dari badan air. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia, dan biologi di badan air. Peningkatan suhu mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi dan volatilisasi. Selain itu, peningkatan suhu air juga mengakibatkan penurunan kelarutan gas dalam air seperti O2, CO2, N2, dan CH4

(Haslam, 1995).

(39)

menunjukkan sedikit penurunan suhu dengan bertambahnya kedalaman. Oleh karena itu perubahan suhu dapat menghasilkan stratifikasi yang mantap sepanjang tahun, sehingga pada danau yang amat dalam cenderung hanya sebagian yang tercampur (Effendi, 2003; Hadi, 2005).

Adanya penyerapan cahaya oleh air danau akan menyebabkan terjadinya lapisan air yang mempunyai suhu yang berbeda. Bagian lapisan yang lebih hangat biasanya berada pada daerah eufotik, sedangkan lapisan yang lebih dingin biasanya berada di bagian afotik (bagian bawah). Menurut Goldman & Horne (1989), bila pada danau tersebut tidak mengalami pengadukan oleh angin, maka kolam air danau terbagi menjadi beberapa lapisan, yaitu: (1) epilimnion, lapisan yang hangat dengan kerapatan jenis air kurang, (2) hipolimnion, merupakan lapisan yang lebih dingin dengan kerapatan air kurang, dan (3) metalimnion adalah lapisan yang berada antara lapisan epilimnion dan hipolimnion.

Pada daerah metalimnion terdapat lapisan termoklin yaitu lapisan dimana suhu akan turun sekurang-kurangnya 1 0C dalam setiap 1 meter (Jorgensen & Volleweider, 1989). Suhu merupakan controling factor (faktor pengendali) bagi proses respirasi dan metabolisme biota akuatik yang berlanjut terhadap pertumbuhan dan proses fisiologi serta siklus reproduksinya (Hutabarat dan Evans, 1984). Suhu juga dapat mempengaruhi proses dan keseimbangan reaksi kimia yang terjadi dalam sistem air (Stumm and Morgan, 1981).

Total Padatan Tersuspensi (Total Suspended Solid, TSS) dan Total Padatan Terlarut (Total Dissolved Solid, TDS)

Total padatan tersuspensi adalah bahan-bahan tersuspensi (diameter >1

μm) yang tertahan pada saringan millipore dengan diameter pori 0,45 μm. TSS terdiri atas lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad renik terutama yang disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi yang terbawa ke dalam badan air. Masuknya padatan tersuspensi ke dalam perairan dapat menimbulkan kekeruhan air. Hal ini menyebabkan menurunnya laju fotosintesis fitoplankton, sehingga produktivitas primer perairan menurun, yang pada gilirannya menyebabkan terganggunya keseluruhan rantai makanan.

(40)

dalam badan air, sehingga mengahambat proses fotosintesis oleh fitoplankton dan tumbuhan air lainnya. Kondisi ini akan mengurangi pasokan oksigen terlarut dalam badan air. Kedua, secara langsung TDS yang tinggi dapat mengganggu biota perairan seperti ikan karena tersaring oleh insang. Menurut Fardiaz (1992), padatan tersuspensi akan mengurangi penetrasi cahaya ke dalam air, sehingga mempengaruhi regenerasi oksigen secara fotosisntesis dan kekeruhan air juga semakin meningkat. Ditambahkan oleh Nybakken (1992), peningkatan kandungan padatan tersuspensi dalam air dapat mengakibatkan penurunan kedalaman eufotik, sehingga kedalaman perairan produktif menjadi turun.

Penentuan padatan tersuspensi sangat berguna dalam analisis perairan tercemar dan buangan serta dapat digunakan untuk mengevaluasi kekuatan air, buangan domestik, maupun menentukan efisiensi unit pengolahan. Padatan tersuspensi mempengaruhi kekeruhan dan kecerahan air. Oleh karena itu pengendapan dan pembusukan bahan-bahan organik dapat mengurangi nilai guna perairan.

Total padatan terlarut merupakan bahan-bahan terlarut dalam air yang tidak tersaring dengan kertas saring millipore dengan ukuran pori 0,45 μm. Padatan ini terdiri dari senyawa-senyawa anorganik dan organik yang terlarut dalam air, mineral dan garam-garamnya. Penyebab utama terjadinya TDS adalah bahan anorganik berupa ion-ion yang umum dijumpai di perairan. Sebagai contoh air buangan sering mengandung molekul sabun, deterjen dan surfaktan yang larut air, misalnya pada air buangan rumah tangga dan industri pencucian.

Kekeruhan dan Kecerahan

Mahida (1993) mendefinisikan kekeruhan sebagai intensitas kegelapan di dalam air yang disebabkan oleh bahan-bahan yang melayang. Kekeruhan perairan umumnya disebabkan oleh adanya partikel-partikel suspensi seperti tanah liat, lumpur, bahan-bahan organik terlarut, bakteri, plankton dan organisme lainnya. Kekeruhan perairan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat dalam air (Davis dan Cornwell, 1991).

(41)

halus. Kekeruhan yang tinggi dapat mengakibatkan terganggunnya sistem osmeregulasi seperti pernafasan dan daya lihat organisme akuatik serta dapat menghambat penetrasi cahaya ke dalam air. Menurut Koesoebiono (1979), pengaruh kekeruhan yang utama adalah penurunan penetrasi cahaya secara mencolok, sehingga aktivitas fotosintesis fitoplankton dan alga menurun, akibatnya produktivitas perairan menjadi turun. Di samping itu Effendi (2003), menyatakan bahwa tingginya nilai kekeruhan juga dapat menyulitkan usaha penyaringan dan mengurangi efektivitas desinfeksi pada proses penjernihan air.

Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan yang ditentukan secara visual dengan menggunakan secchi disk (Effendi, 2003). Kecerahan perairan sangat dipengaruhi oleh keberadaan padatan tersuspensi, zat-zat terlarut, partikel-partikel dan warna air. Pengaruh kandungan lumpur yang dibawa oleh aliran sungai dapat mengakibatkan tingkat kecerahan air danau menjadi rendah, sehingga dapat menurunkan nilai produktivitas perairan (Nybakken, 1992).

Warna Perairan

(42)

2.4.2. Parameter Kimia Derajat Keasaman (pH)

Derajat keasaman merupakan gambaran jumlah atau aktivitas ion hidrogen dalam perairan. Secara umum nilai pH menggambarkan seberapa besar tingkat keasaman atau kebasaan suatu perairan. Perairan dengan nilai pH = 7 adalah netral, pH < 7 dikatakan kondisi perairan bersifat asam, sedangkan pH > 7 dikatakan kondisi perairan bersifat basa (Effendi, 2003). Adanya karbonat, bikarbonat dan hidroksida akan menaikkan kebasaan air, sementara adanya asam-asam mineral bebas dan asam-asam karbonat menaikkan keasam-asaman suatu perairan. Sejalan dengan pernyataan tersebut Mahida (1993) menyatakan bahwa limbah buangan industri dan rumah tangga dapat mempengaruhi nilai pH perairan.

Nilai pH dapat mempengaruhi spesiasi senyawa kimia dan toksisitas dari unsur-unsur renik yang terdapat di perairan, sebagai contoh H2S yang bersifat

toksik banyak ditemui di perairan tercemar dan perairan dengan nilai pH rendah. Selain itu, pH juga mempengaruhi nilai BOD5, fosfat, nitrogen dan nutrien lainnya

(Dojildo and Best, 1992).

Karbondioksida (CO2) Bebas

Karbondioksida bebas merupakan istilah untuk menunjukkan CO2 yang

terlarut di dalam air. CO2 yang terdapat dalam perairan alami merupakan hasil

proses difusi dari atmosfer, air hujan, dekomposisi bahan organik dan hasil respirasi organisme akuatik. Tingginya kandungan CO2 pada perairan dapat

mengakibatkan terganggunya kehidupan biota perairan. Konsentrasi CO2 bebas

12 mg/l dapat menyebabkan tekanan pada ikan, karena akan menghambat pernafasan dan pertukaran gas. Kandungan CO2 dalam air yang aman tidak boleh

melebihi 25 mg/l, sedangkan konsentrasi CO2 lebih dari 100 mg/l akan

menyebabkan semua organisme akuatik mengalami kematian (Wardoyo, 1979).

Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen, DO)

(43)

melalui air hujan serta aktivitas fotosintesis oleh tumbuhan air dan fitoplankton (Novonty and Olem, 1994). Difusi oksigen atmosfer ke air bisa terjadi secara langsung pada kondisi air stagnant (diam) atau terjadi karena agitasi atau pergolakan massa air akibat adanya gelombang atau angin. Difusi oksigen dari atmosfer ke perairan pada hakekatnya berlangsung relatif lambat, meskipun terjadi pergolakan massa air atau gelombang.

Sebagian besar oksigen pada perairan danau dan waduk merupakan hasil sampingan aktivitas fotosintesis. Pada proses fotosintesis, karbondioksida direduksi menjadi karbohidrat dan air mengalami dehidrogenasi menjadi oksigen.

6 CO2 + 6 H2O C6H12O6 + 6 O2

Di perairan danau, oksigen lebih banyak dihasilkan oleh fotosintesis alga yang banyak terdapat pada zone epilimnion, sedangkan pada perairan tergenang yang dangkal dan banyak ditumbuhi tanaman air pada zone litoral, keberadaaan oksigen lebih banyak dihasilkan oleh aktivitas fotosintesis tumbuhan air.

Keberadaan oksigen terlarut di perairan sangat dipengaruhi oleh suhu, salinitas, turbulensi air, dan tekanan atmosfer. Kadar oksigen berkurang dengan semakin meningkatnya suhu, ketinggian, dan berkurangnya tekanan atmosfer (Jeffries and Mills, 1996). Penyebab utama berkurangnya kadar oksigen terlarut dalam air disebabkan karena adanya zat pencemar yang dapat mengkonsumsi oksigen. Zat pencemar tersebut terutama terdiri dari bahan-bahan organik dan anorganik yang berasal dari barbagai sumber, seperti kotoran (hewan dan manusia), sampah organik, bahan-bahan buangan dari industri dan rumah tangga. Menurut Connel and Miller (1995), sebagian besar dari zat pencemar yang menyebabkan oksigen terlarut berkurang adalah limbah organik. Menurut Lee et al. (1978), kandungan oksigen terlarut pada suatu perairan dapat digunakan sebagai indikator kualitas perairan, seperti terlihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Status kualitas air berdasarkan kandungan DO (Lee et al., 1978) No Kadar oksigen terlarut

(mg/l) Status kualitas air

1 > 6,5 Tidak tercemar sampai tercemar sangat ringan

2 4,5 – 6,4 Tercemar ringan

3 2,0 – 4,4 Tercemar sedang

(44)

Kebutuhan Oksigen Biokimia (Biochemical Oxygen Demand, BOD5) dan

Kebutuhan Oksigen Kimia (Chemical Oxygen Demand, COD)

BOD5 merupakan salah satu indikator pencemaran organik pada suatu

perairan. Perairan dengan nilai BOD5 tinggi mengindikasikan bahwa air tersebut

tercemar oleh bahan organik. Bahan organik akan distabilkan secara biologik dengan melibatkan mikroba melalui sistem oksidasi aerobik dan anaerobik. Oksidasi aerobik dapat menyebabkan penurunan kandungan oksigen terlarut di perairan sampai pada tingkat terendah, sehingga kondisi perairan menjadi anaerob yang dapat mengakibatkan kematian organisme akuatik. Lee et al. (1978) menyatakan bahwa tingkat pencemaran suatu perairan dapat dinilai berdasarkan nilai BOD5-nya, seperti disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Status kualitas air berdasarkan nilai BOD5 (Lee et al., 1978)

No Nilai BOD5 (ppm) Status kualitas air

1 2 3 4

≤ 2,9 3,0 – 5,0 5,1 – 14,9 ≥ 15

Tidak tercemar Tercemar ringan Tercemar sedang Tercemar berat

Selain BOD5, kadar bahan organik juga dapat diketahui melalui nilai

COD. Effendi (2003) menggambarkan COD sebagai jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi, baik yang dapat didegradasi secara biologi maupun yang sukar didegradasi menjadi CO2 dan H2O.

Berdasarkan kemampuan oksidasi, penentuan nilai COD dianggap paling baik dalam menggambarkan keberadaan bahan organik baik yang dapat didekomposisi secara biologis maupun yang tidak.

Senyawa-senyawa Nitrogen

Nitrogen di perairan terdapat dalam bentuk gas N2, NO2-, NO3-, NH3 dan

NH4+ serta sejumlah N yang berikatan dalam organik kompleks (Haryadi, 2003).

Sumber nitrogen terbesar berasal dari udara, sekitar 80% dalam bentuk nitrogen bebas yang masuk melalui sistem fiksasi biologis dalam kondisi aerobik.

Menurut Chester (1990), keberadaan nitrogen di perairan dapat berupa nitrogen anorganik dan organik. Nitrogen anorganik terdiri atas ion nitrit (NO2-),

ion nitrat (NO3-), ammonia (NH3), ion ammonium (NH4+) dan molekul N2 yang

(45)

akan mengendap dalam air. Effendi (2003) menyatakan bahwa bentuk-bentuk nitrogen tersebut mengalami transformasi (ada yang melibatkan mikrobiologi dan ada yang tidak) sebagai bagian dari siklus nitrogen. Transformasi nitrogen secara mikrobiologi mencakup hal-hal sebagai berikut:

1. Asimilasi nitrogen anorganik (nitrat dan ammonium) oleh tumbuhan dan mikroorganisme (bakteri autorof) untuk membentuk nitrogen organik misalnya asam amino dan protein.

2. Fiksasi gas nitrogen menjadi ammonia dan nitrogen organik oleh mikroorganisme. Fiksasi gas nitrogen secara langsung dapat dilakukan oleh beberapa jenis alga Cyanophyta (alga biru) dan bakteri.

N2 + 3 H2 2 NH3 (ammonia); atau NH4+ (ion ammonium).

Ion ammonium yang tidqak berbahaya adalah bentuk nitrogen hasil hidrolisis ammonia yang berlangsung dalam kesetimbangan seperti reaksi berikut: H2O + NH3 NH4OH NH4+ + OH

-Kondisi pada pH tinggi (suasana basa) akan menyebabkan ion ammonium menjadi ammonium hidroksida yang tidak berdisosiasi dan bersifat racun (Goldman and Horne, 1989).

3. Nitrifikasi yaitu oksidasi ammonia menjadi nitrit dan nitrat dapat dilakukan oleh bakteri aerob. Nitrifikasi berjalan secara optimum pada pH 8 dan berkurang secara nyata pada pH < 7.

NH4+ + 3/2 O2 Nitrosomonas 2 H+ + NO2- + H2O

NO2- + ½ O2 Nitrobacter NO3-

Hasil oksidasi ini sangat reaktif dan mudah sekali larut, sehingga dapat langsung digunakan dalam proses biologis (Hendersen-Seller, 1987). 4. Amonifikasi nitrogen organik untuk menghasilkan ammonia selama proses

dekomposisi bahan organik. Proses ini banyak dilakukan oleh mikroba dan jamur yang membutuhkan oksigen untuk mengubah senyawaan organik menjadi karbondioksida (Hendersend-Seller, 1987). Selain itu, autolisasi atau pecahnya sel dan eksresi ammonia oleh zooplankton dan ikan juga berperan sebagai pemasok ammonia.

5. Denitrifikasi yaitu reduksi nitrat menjadi nitrit (NO2-), dinitrogen oksida

(46)

pada kondisi anoksik (tak ada oksigen). Dinitrogen oksida (N2O) adalah

produk utama dari denitrifikasi pada perairan dengan kadar oksigen sangat rendah, sedangkan molekul nitrogen (N2) adalah produk utama dari proses

denitrifikasi pada kondisi anaerob. Proses denitrifikasi akan berkurang atau lambat pada kondisi pH dan suhu rendah, tetapi akan berjalan optimum pada suhu rata-rata danau pada umumnya. Kondisi anaerob di sedimen membuat proses denitrifikasi lebih besar, yaitu dengan laju rata-rata 1 mg l-1 hari-1 (Jorgensen, 1980).

Kadar nitrogen yang tinggi dalam perairan dapat merangsang pertumbuhan algae secara tak terkendali (blooming). Konsentrasi nitrogen organik di perairan berkisar 0,1 sampai 5 mg/l, sedangkan di perairan tercemar berat kadar nitrogen bisa mencapai 100 mg/l (Dojlido and Best, 1992). Konsentrasi nitrit yang tinggi dapat menyebabkan perairan menjadi tercemar. Schmit (1978) dalam Wardoyo (1989) menyatakan bahwa pencemaran perairan dapat dinilai berdasarkan kandungan nitritnya (Tabel 6).

Tabel 6. Status kualitas air berdasarkan kandungan nitrit (Schmit, 1978 dalam Wardoyo, 1989)

No Kadar nitrit (mg/l) Status kualitas air

1 < 0,003 Tidak tercemar sampai tercemar sangat ringan

2 0,003 – 0,014 Tercemar sedang 3 0,014 – 0,10 Tercemar berat

Ortofosfat

Keberadaan fosfor di perairan adalah sangat penting terutama berfungsi dalam pembentukan protein dan metabolisme bagi organisme. Fosfor juga berperan dalam transfer energi di dalam sel misalnya adenosine triphosfate (ATP) dan adenosine diphosphate (ADP). Ortofosfat yang merupakan produk ionisasi dari asam ortofosfat adalah bentuk yang paling sederhana di perairan (Boyd, 1982). Reaksi ionisasi ortofosfat ditunjukkan dalam persamaan berikut:

H3PO4 H+ + H2PO4

-H2PO4- H+ + HPO4

Gambar

Tabel 1. Klasifikasi tingkat kesuburan perairan danau (Jorgensen, 1990)
Gambar 3.
Tabel MPN, filter
Tabel 9. Sumber pencemar, parameter dan jenis data
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan khusus penelitian ini adalah menganalisis kualitas perairan lingkungan Danau Laut Tawar; menganalisis total beban pencemaran dan daya tampung perairan Danau

Berdasarkan penelitian ini rencana pengelolaan sumberdaya ikan bada yang disarankan yaitu mengatur alat tangkap berupa pengaturan ukuran mata jaring yang boleh digunakan besar dari

Selanjutnya Gherardi (2010) menyatakan bahwa terdapat tiga tahap suatu spesies asing bisa menjadi spesies invasif yaitu : I) Masuknya spesies asing ke suatu