• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penggunaan ducweed (Family Lemnaceae) sebagai pakan serat sumber protein dalam ransum ayam pedaging

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penggunaan ducweed (Family Lemnaceae) sebagai pakan serat sumber protein dalam ransum ayam pedaging"

Copied!
165
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)

PENDAHULUAN

Sampai saat ini dalam usaha peternakan masalah pakan merupakan masalah yang masih tetap diteliti dan dibicarakan, karena rnasalah ini mempunyai peranan yang strategis dan merupakan komponen yang paling banyak membutuhkan biaya. Akhir-akhir ini banyak penelitian diarahkan untuk menggunakan bahan-bahan pakan yang berasal dari limbah industri, pertani- an dan bahan pakan lain (inkonvensional) sebagai usaha meng- hasilkan pakan yang lebih murah. Sistem pengolahannya juga mendapat perhatian dengan maksud untuk meningkatkan manfaat dan efesiensi penggunaannya sebagai bahan pakan.

Bahan pakan untuk ternak unggas yang sebagian besar terdiri dari jagung sering dianggap bersaing dengan kebutuhan manusia, selain itu suplainya tidak kontinu sehingga sering mengalami f luktuasi harga. Bahan pakan lain masih diimpor (seperti tepung ikan, bungkil kedele bahkan jagung) yang menyebabkan tingginya harga pakan di Indonesia.

(12)

diperoleh peternak sering menipis bahkan banyak yang mengala- mi kerugian.

Untuk itu perlu diupayakan mencari sumber bahan pakan alternatif yang dapat mengganti sebagian atau seluruh dari suatu jenis bahan pakan. Perlu dipertimbangkan kemungkinan penggunaan bahan pakan inkonvensional yang sifatnya tidak kompetitif dengan kebutuhan manusia

,

sehingga ditemukan sumber-sumber bahan pakan baru yang kemungkinannya mempunyai kualitas yang cukup baik. Hanya saja perlu diperhatikan bahwa bahan pakan jenis inkonvensional ini hendaklah mudah diperoleh dan potensinya (ketersediaannya) cukup banyak, harganya lebih murah serta nilai nutriennya cukup tinggi dan disukai oleh temak.

Merupakan suatu hal yang bijak kalau perhatian dituju- kan kepada sumber-sumber pakan inkonvensional seperti *@gulma air" yang selama ini mendominasi daerah perairan di Indonesia dan belum dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak unggas.

Di berbagai negara termasuk Indonesia masalah gulma air telah mendapat perhatian yang cukup besar dari pemerintah dengan banyaknya dana yang dikeluarkan untuk pengendalian gulma air tersebut. Gulma air dianggap menimbulkan kerugian dan mengganggu usaha tani atau lingkungan hidup.

(13)

lain yang mahal. Cara kimia dapat memberikan pengaruh sam- pingan yang negatif, ha1 ini hanya bersifat sementara waktu

saja dan kemungkinan untuk tumbuh kembali akan lebih besar dari semula.

Usaha-usaha pengendalian di atas akan memerlukan biaya yang cukup tinggi, maka perlu dipertimbangkan kemungkinan- kemungkinan adanya kegunaan untuk dirnanfaatkan dari segi lainnya, yang mungkin dapat dilakukan secara murah dan seder- hana. Salah satu cara ialah memanfaatkannya sebagai bahan pakan ternak dan ikan, baik sebagai surnber protein, serat dan karoten

.

Disamping itu juga dapat dimanf aatkan sebagai , pupuk, bahan pembuat kompos dan gasbio. Dengan demikian perlu dilakukan penelitian interdisipliner dalam rangka memanfaat- kan gulma air untuk tujuan komersial.

Hal-ha1 yang perlu diperhatikan dalam penggunaan gulma air sebagai bahan pakan ternak yaitu daya cerna protein kasar, energi dan palatabilitasnya dengan uji biologis meng- gunakan hewan percobaan serta perlu dikembangkan beberapa jenis teknologi pengolahan pakan untuk meningkatkan palatabi- litas dan kecernaannya.

(14)

mempunyai kadar protein dan asam amino yang relatif tinggi. Gulma air seperti duckweed banyak didapat tumbuh di kolam, danau atau waduk serta di daerah persawahan terutama pada saat padi masih tergenang air.

Melihat nilai nutriennya dan produksi biomassa bahan keringnya yang cukup t inggi

,

dan dapat diusahakan dengan

sistem budidaya yang mudah dan murah, besar kemungkinannya duckweed dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak, serta dapat mensubsitusi bahan pakan lainnya.

Kalau dikaitkan dengan meningkatnya kesadaran masya- rakat konsumen mengenai hubungan status gizi dalam makanan dengan masalah kesehatan, terlihat adanya kecenderungan ber- alihnya preferensi konsumsi masyarakat ke daging yang sedikit mengandung lemak.

Akhir-akhir ini di berbagai media massa sering dipubli- kasikan tentang kholesterol kaitannya dengan penyakit yang ditimbulkannya seperti aterosklerosis, stroke, penyakit jantung koroner dan sebagainya. Bahan makanan yang mengan- dung kholesterol tinggi akan menyebabkan tingginya kholeste- rol plasma, sehingga menganggap kholesterol sebagai momok dalam makanan sehari-hari.

(15)

Tanaman duckweed yang selama ini dianggap sebagai gulma dengan kadar protein dan serat yang cukup tinggi, besar kemungkinannya untuk masa mendatang akan men j adi salah satu sumber bahan pakan ternak yang berpotensi cukup baik. Untuk itu perlu dilakukan penelitian untuk mengkaji aspek agronomi- nya (pertumbuhan dan produksi), nilai nutriennya dan apabila diberikan pada ternak diharapkan dapat mengurangi perlemakan dan meningkatkan efisensi penggunaan pakan.

(16)

T I N J A U A N PUSTAKA Gulma Air: Duckweed

Gulma air adalah tumbuhan yang sebagian atau seluruh daur hidupnya berada ditempat yang berair dan yang menimbul- kan kerugian pada berbagai usaha manusia (Mangoendihardjo,

1982). Selanjutnya menurut Mitchell dalam Mangoendihardjo

(1982) bahwa gulma air dibedakan dalam beberapa golongan yai tu, yang tumbuh (1 ) di bagian tepi ( m a r g i n a l w e e d s ) , ( 2 ) di dalam air ( s u b m e r g e d w e e d s ) , (3) muncul di permukaan air

( e m e r g e d w e e d s ) , dan ( 4 ) yang mengapung bebas ( f r e e f l o a t i n g w e e d s ) . S u b m e r g e d w e e d s sebagaian besar mempunyai akar dan semua bagian tanaman berada di bawah permukaan air, ada juga e m e r g e n t w e e d s akarnya berada dalam tanah tetapi sebagian besar bagian batang dan daunnya muncul di atas permukaan air

(Van zon, 1977)

.

Menurut Soerjani (1980), gulma air pada dasarnya merugi- kan manusia, tetapi sebagai tumbuhan tentu ada saja peranan- nya yang mungkin menguntungkan. Duckweed berperan sebagai penghasil hijauan yang marnpu mengikat energi matahari, seba- gai bahan makanan mahluk lainnya, membantu peredaran udara dalam air melalui peristiwa fotosintesa, membantu pengendapan bahan-bahan yang terbawa oleh air. Disamping itu juga dapat menyerap kelebihan zat hara yang menyebabkan pencemaran air.

(17)

ri di bawah pemukaan air

,

tetapi sebaliknya beberapa gulma air sangat berguna sebagai penghasil oksigen selama proses fotosintesis. Ditambahkan oleh Duffield (1981) bahwa duck- weed dapat mengurangi aerasi permukaan, meningkatkan aktifi- tas heteropik mikroorganisme dan meningkatkan pelepasan oksigen ke atmosfir melalui fotosintesis.

Skillcorn et al. (1993) melaporkan bahwa tanaman air khususnya duckweed memberikan harapan sebagai tanaman komer- sial yang baru terutama di negara yang sedang berkembang. Sistem aquaculture mempunyai potensi yang lebih produktif dibandingkan dengan terristerial agriculture dan sangat potensial untuk meningkatkan produksi protein.

(18)

Duckweed (Family Lemnaceae) merupakan tanaman kec il yang mengapung bebas dengan penyebaran yang sangat luas dise-

luruh dunia. Ada empat genera yaitu: Spirodela, Lemna, Wolffia dan Wolffiella dan terdiri dari sekitar 4 0 spesies. Tanaman ini secara relatif mempunyai morfologi yang sederhana dan tidak mempunyai batang atau kehidupan yang lengkap dan selalu terdiri dari daun yang berbentuk oval dalam jumlah sedikit bahkan ada yang berdaun tunggal, panjangnya biasanya mencapai 5 mm. Tiap-tiap daun tidak semuanya mempunyai akar dan sangat jarang berbunga. Reproduksi seksual jarang terja- di, hampir semua reproduksinya berlangsung secara vegetatif. Selanjutnya dikemukakan bahwa tanaman ini hidup dalam bentuk koloni dan membentuk lapisan hijau di atas pennukaan air, serta mempunyai kemampuan tumbuh yang sangat cepat (N .A. S

.

,

1976 ; Pancho dan Soerjani, 1978)

.

seperti terlihat pada Gambar 1.

Menurut Andersen et al. (1985) duckweed termasuk tana- man C 3 , dengan tingkat fotorespirasi yang tinggi. Selanjut- nya dilaporkan bahwa keseirnbangan antara fotosintesis dan fotorespirasi tergantung dari rasio C 0 2 : 0 2 pada atrnosfir. Dengan meningkatnya level C 0 2 di udara, atau menurunnya level 0 2 , fotorespirasi dapat menurun dan fotosintesis meningkat akibatnya pertumbuhan meningkat.

(19)
(20)

sis, dapat diperoleh indikasi apakah duckweed termasuk tana- man C3 atau C 4 . Berdasarkan respon fotosintesis terhadap temperatur duckweed bukan termasuk tanaman C3. Seperti contoh bunga matahari yang termas.uk tanaman C3, temperatur optimumnya 20°c dengan intensitas cahaya 300 p E m-2.det-1 - 1800 p E m-2.det-1, dan apabila temperatur naik di atas 20°c fotosintesis akan menurun, sedangkan duckweed mempunyai temperatur optimum 30 - 3 5 O ~ . Tetapi dari hasil penelitian yang lain lebih cenderung menggolongkannya ke tanaman C3.

Beberapa species dari duckweed dapat memanfaatkan (recovering) nutrien pada air limbah, duckweed menyerap nutrien melalui akar dan permukaan daun bagian bawah, tingkat pertumbuhan eksponensial memungkinkan koloni duckweed mengab- sorbsi nutrien dalam jumlah banyak (NAS, 1976; Ice dan Couch, 1987)

.

Leng et dl. (1994) menambahkan bahwa duckweed menye- rap nutrien melalui semua bagian permukaan daun, sehingga pemupukan dapat dilakukan dengan menebarkan, melarutkan dan menyemprot. Hasil penelitian Zuberer (1984) melaporkan bahwa dipermukaan tanaman, termasuk bagian daun dan akar dapat didiami oleh bakteri dan mikroorganisma lainnya.
(21)

bahwa duckweed dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi mampu menghasilkan produk (bahan pakan) dengan jumlah banyak dalam waktu yang relatif singkat, khususnya apabila tumbuh pada tempat yang kaya nutrien seperti tempat pembuangan limbah ternak. Duckweed mempunyai kemampuan yang besar untuk mem- bersihkan polusi air dan menyerap nitrogen, fosfor dan substan organik seperti sukrosa dan asam amino dalam jumlah besar (Andersen e t al. 19851, dan bernilai tinggi sebagai pakan ternak sumber protein penghasil methan (Reddy e t dl.

1989, Walkel dan Younos, 1987)

.

Menurut Oron (19901, tingkat pertumbuhan relatif d u c k -

w e e d bervariasi antara 0.31 hari-' dalam jangka waktu 3 hari

dan 0.24 hari-I untuk jangka waktu 10 hari, tetapi kandungan proteinnya menurun dari 32% menjadi 20%. dengan rata-rata produksi bahan kering sekitar 12 g.m-2.hari-1. Untuk mempero- leh tingkat pertumbuhan relatif dan kadar protein yang lebih tinggi disarankan supaya duckweed ditanam pada kolam dengan kedalaman sekitar 30 cm. Pada kondisi yang baik produksi maksimumnya dapat mencapai 28 g.m-2.hari-1 (Sutton dan Ornes 1975). Apabila dilakukan pemanenan tiap hari duckweed mem- punyai c r o p g r o w t h rate (CGR) 1 4 . 9 g.m-2.hari-' bahan kering (Mbagwu dan Adeni j i, 1988)

.

(22)

menurun pada kepadatan yang tinggi. Menurut beberapa hasil penelitian yang disitasi oleh Leng e t al. (1994) bahwa produksi bahan kering d u c k w e e d pada kondisi yang alami menca- pai 10

-

20 ton ha-' tahun-l, sedangkan pada kondisi yang mendekati kondisi optimum dapat mencapai 79 ton ha-' tahun-'. Pola pertumbuhannya menyerupai pertumbuhan eksponensial unicellular algae dan mempunyai potensi yang tinggi untuk menghasilkan bahan pakan ternak.

Secara umum pertumbuhan d u c k w e e d dipengaruhi oleh tem- peratur dan intensitas penyinaran serta konsentrasi nutrien dalam air (Leng et al, 1994). Selanjutnya dilaporkan bahwa massanya dapat menjadi dua kali lipat dalam waktu 16 jam sampai dua hari pada ketersediaan nutrien, sinar matahari dan temperatur air yang optimal.

Kawabata et al. (1986) menyatakan bahwa pertumbuhan

d u c k w e e d pada sawah yang ditanami padi memberikan beberapa

keuntungan yaitu dapat menyerap kelebihan nutrien pada tanam- an padi dan sebagai pembersih pada saluran irigasi, serta dapat dimanfaatkan sebagai bahan pupuk.

Kandungan Nutrien Duckweed

(23)

sebagai bahan pakan ternak.

Banerjee dan Matai (1990) melaporkan bahwa 30 spesies dari tumbuhan air mempunyai nilai bahan kering sekitar 4-16%; 29 spesies mempunyai kadar protein lebih dari 10%. Selanjut- nya dilaporkan bahwa tanaman air mempunyai serat kasar yang rendah dan tinggi kadar lemak dan abu jika dibandingkan dengan hijauan yang biasa diberikan pada ternak. Sebanyak 18

tanaman air mengandung abu dibawah IS%, dan jika dibandingkan dengan hi j auan konvens ional

,

12 tanaman air tampaknya mempu

-

nyai potensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak.

Menurut Rusoff et dl. (1980) duckweed kering matahari mengandung protein kasar sekitar 25.2

-

36.5%. sedangkan protein konsentratnya berkisar dari 37.5

-

44.7%. Kandungan asam amino esensialnya dari protein konsentrat lebih baik jika dibandingkan dengan standar FA0 kecuali asam amino methionin. Selanjutnya dilaporkan bahwa rata-rata kandungan asam aminonya (g/100 g protein) adalah : lysin 4.0; methionin

0.9; isoleusin 3.6; leusin 6.7; phenilalanin 4 . 2 ; threonin

3.1 dan valin 0.9. Oleh karena itu protein konsentrat duckweed dapat digunakan secara efektif sebagai suplemen protein pada ransum yang rendah kadar lysinnya seperti ransum dengan bahan dasar jagung atau beras.

(24)

Tabel 1. Kandungan N u t r i e n Duckweed Menurut Beberapa P e n e l i t i

-

N u t r ~ en A B C D E F G Rataan

. . .

%

. . .

Bahan k e r i ng 6 4.93 8.70 6.57

P r o t e i n kasar 20.4 29.88 24.4 37.6 25.21 29.30 27.80

Kal s i um 1 1.1 1.55 - 1.22

F o s f o r 1 . 4 - 3 0.48 - 1.87 - 1.75

Lemak kasar 4 - 6 3 . 8 5.33 2 . 8 5 . 5 1.33 4.90 4.09 Serat kasar 7-10 15.7 9 . 6 10.4 9.3 13.52 6.90 10.56 Abu 8-14 17.2 15.03 12.3 14.5 17.99 15.44 14.77

BETN - 42.9 - 32.1 41.95 - 38.98

Keterangan : A = National Academy of Sciences (1976) B = Banerjee dan Matai (1990)

C = Rusof f et al. (1980) D = Boyd dan Scarsbook (19751

E = Culley et al. (1981) F = La1 dan Pathak (1988) G = Hassan dan Edwards (1992)

Duckweed mempunyai kandungan nitrogen yang cukup tinggi yaitu 6 - 7%. rendah kadar abu

,

dan tinggi kadar proteinnya
(25)

Culley et al. (1981) melaporkan bahwa duckweed yang di- kembangbiakkan pada penampungan limbah ternak yang mempunyai kandungan nitrogen sekitar 30 mg liter-' mempunyai kandungan protein kasar yang cukup tinggi (37.6%). duckweed memberikan harapan yang besar untuk peningkatan produksi dan kualitas pakan secara menyeluruh, tetapi belum dilakukan secara leng- kap dengan menggunakan teknologi yang tinggi. Leng et dl.

(1994) menyatakan, duckweed yang tumbuh pada air yang kaya akan nutrien mempunyai konsentrasi mineral langka, K dan P serta pigmen yang tinggi terutama karoten dan xanthophyll, sehingga tepung duckweed penting sekali sebagai suplemen untuk unggas dan ternak lainnya, dan merupakan sumber vitamin A dan B yang baik untuk manusia.

(26)

Duckweed yang segar menurut Leng et al. (1994) mengan- dung air sekitar 92 - 94%, duckweed dengan pertumbuhan yang lambat mempunyai kadar serat dan abu yang tinggi dengan kandungan protein yang rendah. Selanjutnya dinyatakan bahwa duckweed yang tumbuh pada air yang sedikit (miskin) nutrient mengandung protein kasar 15-25% dan serat kasar 15-30%.

sedangkan yang tumbuh pada kondisi yang ideal dan dipanen secara reguler mengandung protein kasar 35-43% dan serat kasar 5 - 15%. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat Tabel 2 tentang perbandingan kandungan nutrien duckweed dengan tepung biji kapas.

Tabel 2. Perbandingan Kandungan Nutrien Duckweed dengan Tepung Biji Kapas

Protein Lemak Serat Abu

kasar kasar kasar

Temuat tumbuh ;

. . .

%

. . .

Natural lagoon 15-35 4 . 4 8-25 15

Armidale Sewerage 40-43 5 - 4 5 13

Tepung biji kapas 42 1.5 13 7

(27)

Komposisi asam amino dari duckweed dibandingkan dengan

bahan pakan biji-bijian, dan bahan pakan sumber protein

menurut Mbagwu dan Adeniji (1988) dapat dilihat pada Tabel 3

dan Gambar 2 .

Tabel 3 . Komposisi Asam Amino Duckweed dibandingkan dengan Bahan Pakan Lainnya, dan Rekomendasi dari FA0

Asam FA0 Jagung Sorgum Bungki 1 Bungki 1 ~ e p u n g Bungki 1 Duckweed ami no kapas kedele darah kacang a) b )

L y s i n 4.2 H i s t i d i n - A r g i n i n - AS. ASpt. -

Threonin 2.8 S e r i n

AS. Glu. - Pro1 i n

Gl

y s i n A1 ani n

V a l i n 4.2 Methionin 2.2 I s o l e u s i n 4.2 Leusin 4.8 T y r o s i n - Pheni 1 . 2.8

. . .

g/100 g p r o t e i n

. . .

.

.

1.99 3.88 9.08 1.59 1.88 6.04 1.07 3.86 3.32 3.72 6.28 7.72 1.44 2.14 4.31 1.83 2.80 3.95 7.40 10.05 7.10 1.51 2.89 3.05 1.82 2.32 3.18 1.64 2.46 5.04 1.79 2.63 6.31 0.59 0.66 1-19 1.28 2.68 1.13 2.42 4 . 7 1 10.05 1.16 2.10 2.49 2.44 2.99 6.51

Keterangan : a). Mbagwu dan Adeniji (1988)

(28)

Kandungan asam amino esensial pada duckweed lebih tinggi daripada yang direkomendasikan oleh FAO, kecuali asam amino

methionin hanya 61.42 dari rekomendasi (Mbagwu dan Adeniji,

1988). Di negara-negara dunia ketiga yang banyak mengkon- sumsi j agung, sorgum dan beras duckweed dapat dimanf aatkan sebagai suplemen lysin di dalam makanan.

Pada Tabel 3 ternyata protein duckweed hapat dimanfaat- kan sebagai suplemen lysin, threonin, v a l i n , methionin, isoleusin dan leusin dalam bungkil kapas dan bungkil kedele,

methionin dan isoleusin dalam tepung darah dan semua asam

amino esensial dalam bungkil kacang.

kedele

Gambar 2. Perbandingan Kandungan Asam Amino Methionin dan

(29)

Kegunaan Dnckwecd

Gufta dan Lamba (1976) menyatakan bahwa salah satu cara untuk mengontrol gulma air adalah dengan memanfaatkannya, seperti untuk bahan pakan ternak, kompos, gasbio, sumber protein dan karoten serta dapat mengurangi polusi. Selanjut- nya dinyatakan bahwa beberapa gulma air mempunyai kecernaan protein kasar yang tinggi dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak. Ditambahkan oleh Matai (1976) bahwa beberapa gulma air diketahui sangat potensial sebagai pengha- sil protein dengan demikian perlu dipertimbangkan penggunaan- nya sebagai bahan pakan ternak.

Menurut Oron et dl. (1985) biomassa duckweed mengan- dung protein kasar di atas 30% bahan kering, dapat digunakan sebagai bahan pakan alternatif untuk ternak, karena mudah dipanen dan mempunyai nilai ekonomis yang tinggi.

Ditambahkan oleh Oron et dl. (1987) bahwa duckweed merupakan gulma air yang menyapung bebas mempunyai kemampuan tinggi untuk menyerap NH3 dan mengasimilasikamya menjadi protein yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber protein alternatif bagi ternak. Selain itu dapat pula meminimumkan kehilangan air akibat evapotranspirasi karena permukaan air tertutup oleh duckweed.

(30)

sifatnya penelitian pendahuluan, tampaknya memberikan harapan yang baik (N.A.S., 1976)

.

Beberapa percobaan telah dilakukan dalam ha1 penggunaan duckweed sebagai pakan ternak, Culley et al. (1981) melapor- kan bahwa duckweed dapat ditambahkan dalam ransum ayam. itik, babi, sapi kambing dan domba yang hasilnya lebih baik atau pertumbuhan relatifnya sama dengan ransum kontrol, selanjut- nya pemberian pada ayam petelur menghasilkan pertambahan bobot badan yang sama, tetapi mempunyai konsumsi pakan dan produksi telur yang lebih baik dengan ransum kontrol.

Gaigher et al. (1984) melaporkan hasil penelitiannya pada ikan. Pemberian pakan yang terdiri dari duckweed dan pellet, ternyata memberikan hasil yang sama dengan pellet s a j a , tetapi mempunyai konversi pakan yang lebih baik. Selanjutnya dilaporkan bahwa kalau hanya diberikan duckweed ternyata 65% dari duckweed yang dikonsumsi diasimilasikan dan

(31)

Hassan dan Edwards (1992) memberikan duckweed pada ikan Nile tilapia (Oreochromis niloticusl, hasilnya ternyata bahan pakan duckweed mempunyai pengaruh yang sangat nyata terhadap komposisi karkas, yaitu meningkatkan kadar air (moisture) karkas dan menurunkan kadar lernak karkas. Apabila diberikan

duckweed yang segar ke dalam kolam pemeliharaan ikan maka phitoplankton akan tumbuh baik karena adanya dekomposisi dari

duckweed yang berlebihan dan juga dari feces ikan. Biomass phytoplankton menjadi tinggi kemungkinan karena cepatnya

terjadi dekomposisi daun duckweed yang begitu kecil. Sehing- ga duckweed sangat potensial sebagai pakan nonkonvensional untuk tilapia karena tinggi kandungan protein dan mempunyai

kecernaan yang tinggi. Ditambahkan oleh Ali dan Leeson

(1994) bahwa duckweed mempunyai kandungan nutrien dan potensi yang cukup tinggi serta dapat digunakan dalam pakan unggas

baik pada daerah tropis maupun subtropis, dan cocok sebagai

sumber protein pada ransum unggas (Majid et al., 1992 dan Rokonuddin et a1

.

,

1993)

.

Haustein et al. (1990) melaporkan bahwa penggunaan duckweed 0, 15, 2 5 , dan 40% dalam ransum menghasilkan produk- si dan rata-rata bobot telur yang sarna dengan ransum kontrol

yang isoenergi dan isoprotein. Telur yang berasal dari

Leghorn dengan 15 dan 25% duckweed mempunyai kadar protein lebih tinggi dibandingkan dengan telur kontrol. Penggunaan

(32)

telur. Selanjutnya dilaporkan bahwa duckweed dapat digunakan sebagai bahan pengganti kedele dan tepung ikan dalam ransum

ayam petelur, khususnya di negara-negara yang bahan-bahan

tersebut masih diimport.

Haustein et dl. (1992) melakukan penelitian pada ayam pedaging dengan memberikan duckweed 0-40% selama tiga minggu dan dua minggu berikutnya diberikan ransum standar, hasilnya

memperlihatkan bahwa semakin tinggi level duckweed (di atas 15%) cenderung menyebabkan turunnya konsumsi pakan dan per-

tambahan bobot badan. Duckweed dapat menggantikan tepung alfalfa (lucerna) sebagai sumber protein dalam ransum konven-

sional unggas, ransum yang mengandung 10% duckweed menghasil- kan pertumbuhan yang paling baik (Leng et dl. 1994).

Hamid et dl. (1993) melaporkan hasil penelitiannya pada itik dengan ransurn kontrol mengandung 120 g.kg-' tepung ikan

dalam ransum, pada umur 4

-

20 minggu diberikan duckweed sebagai pengganti tepung ikan sebanyak 40, 60 dan 80 g.kg-l.

Ternyata penggantian tepung ikan sebanyak 40 dan 60 g.kg-I

mempunyai pertumbuhan yang bagus, dengan konsumsi pakan yang

lebih rendah, tetapi mempunyai konversi pakan yang relatif

sama dengan ransum perlakuan lainnya. Selanjutnya disimpul-

kan bahwa duckweed dapat digunakan sebagai supplemen protein untuk pertumbuhan anak itik dan dapat menggganti sumber

(33)

Menurut Porath et al. (19851 bahwa duckweed dapat digu-

nakan sebagai pengganti bahan pakan yang kaya protein hewani

pada domba muda. Berbagai uraian dan gambaran tentang peng-

gunaan biomassa duckweed sebagai sumber protein telah dila-

porkan oleh beberapa peneliti.

La1 dan Pathak (1988) telah melakukan percobaan pada

domba selama 52 hari dengan mengganti 50% bagian konsentrat-

nya dengan duckweed temyata perbedaan konsumsi bahan kering,

k e c e m a a n protein kasar dan TDN nya tidak nyata dibandingkan

dengan ransum basal (kontrol). Domba yang mendapat ransum

basal dan yang mendapat duckweed masing-masing mempunyai ke-

cernaan bahan kering 54.26 dan 53.47% ; ekstrak eter 73.26 dan 57.7%; konsumsi pakan 2.27 dan 2.29 kg BK/100 kg bobot

badan. Rusoff et al. (1978) mencoba memberikamya pada sapi

perah, ternyata duckweed:silase jagung (2:l) menghasilkan

tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan

pemberian silase jagung:konsentrat, dengan ransum rumput dan

tidak mengganggu kesehatan.

Kegunaan lain dari duckweed yaitu dapat dimanfaatkan

sebagai penghasil biogas. Biogas yang dihasilkan sekitar 176

liter.kg-I substrat bahan kering serta slurry yang dihasil-

kan dapat dimanfaatkan sebagai sumber pupuk organik (Jain et

al. 1990)

.

(34)

padi dalam pot menghasilkan 22.95 g setiap pot dibandingkan

dengan kontrol hanya menghasilkan 18.65 g setiap pot.

Pemberian 100 kg N-ha-' menghasilkan 39.12 g dan apabila di

kombinasikan dengan dukweed terjadi peningkatan produksi padi 24.64%. Jadi dua ton biomassa kering duckweed ekuivalen dengan 1 8 kg N-ha-'.

Pakan Serat dalam Ransum

Pakan serat mempunyai pengertian yang berbeda dengan

serat kasar (crude fiber). Pakan serat berdasarkan bentuk fisik dan kimia dapat diartikan sebagai bahan pakan yang

mempunyai kandungan serat kasar yang cukup tinggi. Dalam

ilmu nutrisi dikenal juga istilah serat pakan (dietary

fiber)

.

Menurut Piliang dan Djojosubagio (1990)

,

serat kasar terutama terdiri dari lignin dan selulosa, merupakan bahan

atau rnateri yang tertinggal setelah bahan pakan tersebut

mengalami proses pemasakan dengan asam keras dan basa keras,

sedangkan serat pakan selain lignin dan selulosa juga mengan-

dung hemiselulosa, gum dan pektin dan beberapa karbohidrat

lain yang biasanya tidak dapat dicerna

.

Penelitian tentang serat kasar sudah banyak dilakukan

dan ternyata bahwa serat kasar hanya dapat dimanfaatkan tubuh

melalui proses f ermentasi saluran pencernaan, sedangkan pada

unggas proses tersebut sangat terbatas sehingga bahan pakan

yang mengandung serat kasar tinggi pada u m u m y a sukar diman-

(35)

Dalam sistimatika susunan zat makahan, karbohidrat

dipisahkan menjadi bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) dan

serat kasar (crude fiber). BETN mengandung banyak gula dan

pati yang bersifat mudah dicerna, sedangkan serat kasar yang

benyak mengandung lignin dan selulosa bersifat sukar dicerna

(Sutardi, 1980)

.

Selanjutnya dinyatakan bahwa sebagian

selulosa dan bahkan sebagian besar lignin sering dijumpai

dalam komponen BETN hijauan.

Anderson et al. (1994) meneliti tentang pengaruh beb- erapa sumber serat pakan terhadap lemak serum dan hati pada

tikus. Hasilnya ternyata serat pakan (oat gum, guar gum dan

pektin) menyebabkan konsentrasi kholesterol serum dan hati

yang nyata lebih rendah dibanding dengan yang mendapatkan

serat pakan sellulosa. Ransum yang mengandung serat yang

mudah larut dan yang tidak larut (seperti serat kedele dan

dedak gandum) tidak mempengaruhi nilai kholesterol serum dan

hati, tetapi nyata lebih rendah dengan yang mendapatkan serat

sellulosa.

Huang (1980) mencoba memberikan pakan serat sampai 20%

pada tikus, ternyata dapat menurunkan kholesterol dan total

lemak dalam darah setelah 4 rninggu pemberian pakan. Sedang-

kan Anugwa et dl. (1989) mencoba memberikan ransum yang

tinggi kandungan serat pakan pada babi, ternyata babi yang

mendapatkan serat pakan yang tinggi mempunyai bobot relatif

saluran pencernaan dan lambung (stomach) yang lebih tinggi

(36)

Hasil penelitian tentang pengaruh serat pakan terhadap

lemak plasma, kholesterol hati dan feces pada tupai dilapor-

kan oleh Jonnalaganda et al. (1993) bahwa setelah umur 4

minggu konsentrasi kholesterol plasma dan kholesterol HDL

plasma nyata menurun dan konsentrasi kholesterol VLDL dan W L

plasma nyata lebih rendah. Ekskresi kholesterol total feces

men j adi tinggi, sehingga serat pakan dalam ransum secara efektif menyebabkan hypocholesterolamic pada tupai.

Frigard et al. (1994) telah melakukan penelitian tentang degradasi serat oleh enzym dan pengaruhnya terhadap

performan produksi, lemak serum dan komposisi kimia tubuh

ayam pedaging dengan ransum dasar serat gandum. Dari peneli-

tian tersebut dilaporkan bahwa pada umur 3 minggu percobaan,

dari serat pakan yang diberi enzym dihasilkan bobot badan dan

konsentrasi kolestrol serum masing-masing 23 dan 37% lebih

tinggi dari yang tidak diberikan enzym. Kadar lemak tubuh

cenderung lebih tinggi dan kadar protein secara keseluruhan

lebih rendah pada ayam yang mendapatkan ransum yang ditambah-

kan enzym, juga dapat meningkatkan kecernaan bahan organik,

protein kasar, pati, lemak kasar dan komponen serat pakan.

Pada ayam yang tidak mendapatkan enzym dalam ransumnya meng-

hasilkan pertumbuhan, kecernaan nutrien, retensi lemak tubuh

dan konsentrasi kholesterol serum yang lebih rendah.

(37)

ging yang diberi makanan secara bebas akan memproduksi lemak

tubuh sekitar 7 persen dari bobot badan pada umur 1

-

3

minggu dan lemak tubuh ini menjadi meningkat sekitar 12

persen pada umur 4 - 6 minggu.

Terdapatnya penimbunan lemak tubuh dalam karkas merupa-

kan masalah yang serius dalam peternakan ayam pedaging (Akiba

et al. 19941, ha1 ini dapat merugikan karena mengurangi bobot

setelah diolah (dimasak) dan terdapatnya kholesterol yang

dapat mengganggu kesehatan manusia (Mihardja, 1981).

Kegemukan pada ayam pedaging dipengaruhi oleh beberapa

faktor termasuk genetik, nutrisi dan lingkungan (Leenstra,

1986). Manipulasi nutrisi dapat mengurangi perlemakan pada

ayam pedaging dengan mengeksploitasi kandungan energi dan

protein, rasio energi:protein, dan kandungan lemak pakan

dapat mempengaruhi deposisi lemak pada karkas dan hati

(Akiba, 1988). Sedangkan Cahaner et al. (1986) jumlah lemak abdomen pada ayam pedaging dapat dimanipulasi melalui jalur

genetik, ini diindikasikan dengan berkurangnya lemak karkas

apabila dilakukan seleksi ulang dan diperkirakan mempunyai

korelasi dengan jaringan adiposa. Ayam yang besar (Hight-fat line) mempunyai bobot relatif beberapa jaringan adiposa meningkat dengan bertambahnya umur atau yang lain tidak

terjadi perubahan, sedangkan pada ayam yang kurus (Low-fat 1 ine) terj adi penurunan bobot relatif beberapa j aringan adiposa. Konsentrasi lemak pada semua jaringan adiposa 5-10%

(38)

trasi lemak hati dan plasma darah juga lebih tinggi dari pada

ayam yang kurus. Pada ayam tipe berat karena konsumsi pakan

lebih banyak akan diiringi oleh peningkatan ketersediaan

nutrien untuk lipogenesis (Sizemore dan Siegel, 1993).

Walaupun lemak abdominal bervariasi dengan perbedaan

level energi dan protein dalam pakan, tetapi nilainya tidak

mempunyai hubungan dengan deposisi lemak total karkas (Surnmer

et a1

.

1992

,

deposisi lemak karkas berhubungan dengan kon- sumsi energi. Ditambahkan oleh Waldroup et dl. (1996) bahwa dengan meningkatnya tingkat pertumbuhan dan penggunaan

pakan maka ayam pedaging akan meningkatkan konsumsi energi.

Tingginya level energi sering dipergunakan untuk mengakumula-

si lemak abdominal terlalu banyak, tetapi tidak berhubungan

secara konsisten antara rataan energi diet (Mean dietary energy) dengan bobot lemak abdominal. Persentase karkas akan menurun dengan tingginya level energi, sedangkan lemak abdom-

inal tidak dipengaruhi oleh meningkatnya level energi asalkan

rasio energi:protein tetap konstan.

Lemak abdominal biasanya lebih sensitif terhadap faktor

nutrisi daripada jaringan adiposa laimya, karena biasanya

depot lemak pada subkutan, inter dan intramuskuler berkembang

lebih cepat dari pada depot abdominal (Evans, 1979).

Pakan bi j i-bi j ian dan sumber protein merupakan f aktor

yang mempengaruhi perlemakan pada ayam pedaging. Akiba et

dl. (1987) melaporkan bahwa kandunqan lemak abdominal, kon-

sentrasi trigliserida hati serta konsentrasi kortikosteron

(39)

dan konsumsi pakan tidak nyata dipengaruhi oleh sumber bahan

pakan, sedangkan kandungan lemak pakan dan sumber protein

dengan nyata mempengaruhi bobot badan dan konsumsi pakan pada

umur 8 minggu.

Dari beberapa hasil penelitian dilaporkan bahwa pakan

serat dapat mencegah timbulnya penyakit tertentu pada manusia

dan mempengaruhi nutrisi pada manusia Ban hewan. Selanjutnya

pakan serat ternyata mempengaruhi metabolisme lemak dan

atheroclerosis dan dapat mencegah penyakit akibat bahan racun

yang ada dalam ransum (Akiba dan Matsumoto 1980). Selanjutnya dilaporkan bahwa pakan serat pada ayam dapat menurunkan kadar

lemak hati, konsentrasi lemak plasma, koneentrasi kholesterol

serum dan tidak berpengaruh terhadap retensi energi, nitrogen

dan lemak.

Menurut beberapa laporan yang dikutip oleh McNughton

(1978) menyatakan bahwa dengan meningkatnya pakan serat dalam

ransum secara nyata menurunkan kadar kholesterol dalam serum

dan atau ditandai dengan berkurangnya deposisi pada arteri.

Selanjutnya dari hasil penelitiannya dilaporkan bahwa pembe-

rian pakan serat dapat menurunkan kadar kholesterol telur dan

trigliserida plasma, sedangkan kholesterol dalam plasma tidak

berbeda dengan nyata pada beberapa level pakan serat.

Suatu penelitian telah dilakukan oleh Chen et dl. (1984) tentang pemberian sayuran pada tikus, hasilnya ternya-

ta menurunkan kandungan lemak dan total kholesterol pada

hati, serum darah dan feces.

(40)

takan bahwa ekskresi asam empedu termasuk kholesterol akan

meningkat dengan pemberian pakan serat, sebagai akibat dari

berkurangnya ketersediaan kholesterol untuk bergabung menjadi

lipoprotein.

Beyer dan Jensen (1993) melaporkan bahwa pemberian

sorbose dalam pakan menyebabkan turunnya produksi telur,

konsumsi pakan dan pertambahan bobot badan serta bobot telur

dan kuning telur, selanjutnya dilaporkan bahwa sorbose secara

nyata menurunkan kadar kholesterol dan very low density lipo protein (VLDL) plasma kira-kira 50 persen jika dibandingkan dengan ayam yang mendapat ransum kontrol. Furuse et al.

( 1990 ) melaporkan bahwa ransum ayam petelur yang mengandung

10 atau 20 persen sorbose sangat nyata menurunkan konsentrasi

trigliserida, kholesterol, kilomikron dan low density lipo- protein (LDL) dalam serum.

Noy dan Sklan (1995) melakukan penelitian tentang proses

pencernaan dan penyerapan nutrien pada ayam muda. Bobot

badan dan konsumsi pakan meningkat dengan tajarn setelah umur

10 hari dan bersamaan dengan itu waktu perjalanan pakan pada

usus menurun sekitar 32%. jaringan duodenum mensekresi ami-

lase, trypsin dan lipase hanya sedikit pada umur 4 hari dan akan meningkat masing-masing 100, 50 dan 20 kali lipat pada umur 21 hari. Pencernaan nitrogen akan meningkat dari 78%

pada umur 4 bari menjadi 92% pada umur 21 hari, sedangkan

pencemaan asarn lemak dan p a t i berkisar antara 8 2

-

8 9 % p a d a

periode yang sama. Ini menunjukkan bahwa pencernaan pati dan

(41)

Pada waktu ayam baru menetas, metabolisme energi berubah

suplainya dari lemak kuning telur kesumber karbohidrat dari

luar (bahan pakan)

.

Konsumsi pakan a k a meningkat beberapa kali selama periode pertumbuhan dan perubahan terjadi pada

saluran pencernaan dan sekresinya meningkat mengikuti perkem-

bangan saluran pencernaan.

Penelitian yang lain melaporkan tentang meningkatnya

konsentrasi enzym pankreatik selama periode setelah menetas.

Konsentrasi amilase dan tripsin pada pankreas akan meningkat

tajam selama umur 21 hari (Krogdahl dan Sell, 1989)

.

Selan- jutnya konsentrasi lipase pankreas sedikit meningkat setelah

menetas, dan ada indikasi bahwa pencernaan lemak akan mening-

kat selama minggu-rninggu awal setelah menetas.

Pada hari pertama setelah menetas bobot bagian saluran

pencernaan meningkat lebih cepat dibandingkan dengan bobot

badan (Sell et dl. 1991). akan tetapi setelah umur 4 hari bobot relatif saluran pencernaan tetap konstan. Perubahan

pada ukuran saluran pencernaan dan mukosa usus dapat mempe-

ngaruhi tingkat lamanya pakan dalam saluran pencernaan dan

efisiensi penyerapan.

Palo et dl. (1995) meneliti pengaruh pembatasan nutrien terhadap performan dan perkembangan saluran pencemaan pada

ayam pedaging. Hasilnya ternyata bahwa perlakuan tidak mem

pengaruhi bobot daging dada dan lemak abdominal, selain itu

persentase lemak karkas, protein kasar, abu, dan bahan kering

tidak dipengaruhi oleh pembatasan pakan. Bobot badan dan

(42)

pakan pada umur 14 hari. Pembatasan pakan tidak menurunkan bobot relatif organ kecuali hati.

Yamauchi et al. (1995) menyatakan bahwa morfologi dan fungsi dari usus halus akan berubah tergantung dari kondisi

nutrien, dan morfologinya akan berbeda diantara breed ayam

selama perkembangan. Ukuran villi usus berhubungan dengan

fungsi penyerapan dan akan berubah oleh aktivitas sel mito-

sis dari sel epithel. Tinggi villous dilaporkan nyata berhu-

bungan dengan fungsi penyerapan pada kelinci dan tergantung

(43)

METODE PENELITIAN

Penelitian ini terdiri dari beberapa tahap yaitu: pene-

litian di lapangan, di laboratorium dan penelitian uji biolo-

gis pada ayam pedaging.

Penelitian Tahap I : T i n g b t Pertumbuhan clan Produksi Dyckweed

Penelitian pada tahap ini bertujuan untuk mengetahui

tingkat pertumbuhan dan produksi duckweed. Digunakan 12

tempat (kolam) dengan ukuran 1 x 1.5 m2 dengan kedalaman 30

cm, kemudian, ditanam beberapa koloni duckweed (bobot awalnya

ditimbang) selama jangka waktu tujuh hari. Tingkat pertumbu-

han relatifnya dapat dihitung dengan menggunakan rumus menu-

rut Porath e t a l . (19791, Bjordahl dan Nilsen (1985) yaitu : RGR = ( l a 2

-

In Bl) / (t2

-

tl)

-:

RGR ( R e l a t i v e G r o w t h R a t e ) = tingkat pertumbuhan relatif In = n a t u r a l l o g t = waktu dalam hari

B = parameter yang diukur

Untuk menghitung produksi duckweed baik produksi dalam

bentuk segar maupun kering (per satuan luas dan waktu terten-

tu) dapat menggunakan rumus sebagai berikut:

Produksi = (B2 - Bl)/luas area/(t2

-

tl)

- 2

(44)

Tempat clan Waktu Penelitian:

Penelitian ini dilakukan di Teaching Farm Fakultas

Peternakan Universitas Mataram dan berlangsung selama 2 bulan

yaitu mulai bulan Maret sampai bulan April 1995.

Penetitian Tahap 11: Penentuan Kandungan Nutrien Duckweed

Penelitian pada tahap ini bertujuan untuk rnengetahui

kandungan nutrien yang dimiliki oleh duckweed yang tumbuh pada beberapa lokasi. Sebelum penelitian dimulai terlebih

dahulu ditetapkan lokasi tempat pengambilan sampel yang

terdiri dari sawah, kolam kangkung, *lembungN dan tempat

budidaya, kemudian masing-masing tempat tersebut ditanami

beberapa koloni duckweed. m a minggu setelah penanaman dilakukan pengambilan sampel duckweed pada masing-masing lokasi kemudian dikeringkan dan digiling halus untuk dianali-

sis. Juga dilakukan pengukuran pH dan temperatur media (air)

pada masing-masing lokasi. Kemudian diambil sampel air untuk

dinalisis kandungan amonia dan beberapa mineral. Pengukuran

pH dan temperatur air dilakukan tiga kali seminggu dan pengu-

kuran di lakukan pada pagi, siang dan sore hari, sedangkan

pengambilan air sampel dilakukan sebanyak dua kali.

vEmbungn merupakan sejenis waduk (kolam besar) yang

dibuat oleh masyarakat setempat (Pulau Lombok) untuk menam-

pung atau menyimpan kelebihan air pada musim hujan. Sedang-

kan sawah yang dipergunakan adalah yang sudah ditanami padi

(45)

Kandungan nutrien duckweed yang dianalisis meliputi : 1. Kadar air, bahan kering, abu, lemak kasar, protein kasar,

serat kasar dan BBTN (dianal isis secara proksimat dengan

metode AOAC, 1984).

2. Energi bruto dianalisa dengan "Adiabatic Bomb CalorimeterH

3. Neutral Detergent Fiber (NDF) dan Acid Detergent Fiber

( A D F ) dengan metode Van Soest (1982)

4. Kadar asam amino dengan card "ion exchange chromatography" dengan Auto Analyzer I1 Technicon TSM.

5. Kadar B-karoten dikerjakan dengan metode kromatografi

kolom dan spektrofotometri (Susana,1992).

6 . Kadar mineral dengan AAS (Atomic Absorpion Spectrophotome-

ter)

7. Energi termetabolisme dan Retensi Nitrogen

.

Pengukuran nilai energi termetabolisme dari duckweed yang diambil dari beberapa lokasi tempat tumbuh (sawah, kolam kangkung,

embung dan tempat budidaya) dilakukan dengan :

a. Metode subsitusi:

Pada penelitian ini digunakan 20 ekor ayam kampung

jantan berumur sekitar 10 - 11 bulan dengan bobot badan sekitar 2 kg. Dengan menggunakan kandang individual,

ayam dipelihara terlebih dahulu selama dua minggu untuk

dilatih makan cepat dengan membatasi waktu m a k a M y a

setiap hari. Ransum yang diberikan mengandung tepung

(46)

Metode ini dilakukan dengan mencampur duckweed yang

akan diukur MEnya ke dalam ransum dasar (reference

d i e t ) , yaitu ransum dengan kandungan nutrien lengkap

baik kualitas maupun kuantitasnya, tapi tidak mengan-

dung d u c k w e e d . Sumlah duckweed yang dicampurkan ke

dalam ransum dasar 10 % . Selanjutnya ransum dasar (RD)

dan ransum subsitusi, RS (90 % RD + 10 % d u c k w e e d ) .

masing-masing dalam waktu yang bersamaan nilai MEnya

diukur dengan menggunakan metode total koleksi (seperti

metode Sibbald, 1 9 8 9 1 , maka ME dari duckweed dapat

diperoleh lewat perhitungan matematik sebagai berikut : MERS = 30% MERD + 10% MEduckweed

10% MEduckweed = MERS - 90% MEm MEduckweed = MEKS

-

0 - 9 MERD/ 0.1

MERS dan MERD nilainya diperoleh dari feeding trial.

Sebelum dimulai koleksi feces di bawah kandang dipasang

penampung dari plaetik untuk menampung feces. Koleksi

total feces dilakukan selama 3 hari. Feces yang dikum-

pulkan dibersihkan dari bulu-bulu ayam yang rontok dan

benda asing lainnya, kemudian dikeringkan dalam oven 60

OC selama 24 jam. Setelah digiling halus kemudian dianalisis kadar air, nitrogen dan energi brutonya.

Analisis yang sama juga dilakukan pada bahan pakan yang

(47)

b. Metode forced feeding (pakan paksa) yang diterapkan

oleh Sibbald (1989). Pada saat percobaan dimulai semua

ayam dipuasakan selama 36 jam, setelah dipuasakan

duckweed yang sudah dibuat pellet dimasukkan dengan

paksa pada 16 ekor ayam masing-masing 30 gram, sedang-

kan 4 ekor l a i m y a tetap dipuasakan. Setelah 36 jam

. pemberian pakan, feces dikumpulkan dan penanganan

berikutnya sama halnya seperti pada metode subsitusi.

Kandungan energi termetabolisme dapat dihitung

dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Jcete-

M E = Energi termetabolisme

G E , = Gross energi bahan pakan

GEf = Gross energi feces ayam yang diberi makan RetN = Retensi nitrogen

a = Jumlah konsumsi bahan pakan (gram)

b = Jumlah feces ayam yang diberi makan (gram)

K = Energi equivalen per gram asam urat (kalori) atau sama dengan 8.22 Kkal/g asam urat

Tempat dan W a k t u Penelitian :

Untuk analisis butir 1, 2 dan 3 dilakukan di Laboratori- urn Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Institut

Pertanian Bogor dan Universitas Mataram. Fmalisis butir 4

(48)

Bogor, butir 5 di Laboratorium Puslitbang Pangan dan Gizi

Bogor, butir 6 di Laboratorium Analitik Universitas Mataram

sedangkan butir 7 dilakukan di Teaching Farm Fakultas Peter-

nakan Universitas Mataram. Penelitian ini berlangsung selama

tiga bulan yaitu mulai bulan April sampai bulan Juni 1995.

Penelitian Tahap I11 : Uji Coba (Feeding TnnaC) DucAweed Sebagai Bahan Pakan Untuk Ayam

Pada penelitian ini dipergunakan duckweed yang sudah dikeringkan biasa ( s m d r y ) . Feeding trial dilakukan pada ayam pedaging Strain Arbor Acres CP-707 produksi Charoen

Phokphand sejumlah 210 ekor umur sehari (Day old chick). Penelitian dilakukan di Teaching Farm Fakultas Peternakan

Universitas Mataram dan berlangsung selama dua bulan mulai

bulan Juli sampai bulan Agustus 1995.

Bahan pakan yang digunakan selain duckweed yaitu :

j agung

,

tepung ikan, dedak halus

,

bungkil kedele

,

CaC03, tepung tulang, premix dan minyak jagung. Untuk mencukupi

kebutuhan asam amino ditambahkan Analog Hidroksi Methionin

( A H M ) . Ransum perlakuan disusun sesuai dengan kebutuhan ayam

pada setiap fase menurut NRC (1984) dan ransum perlakuan

dibuat dalam bentuk pellet. Ransum disusun isokalori dan

i soni t rogen

.

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak

(49)

masing perlakuan terdiri dari lima ulangan dan setiap ulangan

terdiri dari 7 ekor anak ayam, sehingga mernbutuhkan 210 ekor

anak ayam. Apabila ada perbedaan diantara perlakuan diuji

lanjut dengan kontras ortogonal (Steel and Torrie, 1989).

Sebagai perlakuan adalah lima tingkat pemberian duckweed

yaitu : 0 %, 5 %, 10 %, 15 %, 20 % dan ransum komersial pada

fase starter (umur 0

-

3 minggu); 0 %, 7.5 %, 15 %, 22.5 %, 30

% dan ransum komersial pada f ase grower (3 - 6 minggu)

,

sedangkan pada fase finisher (umur 6

-

8 minggu) tingkat pemberian duckweed adalah 0%. 10 %, 20 8 , 30 %, 40 % dan

ransum komersial. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada

pembagian kelompok perlakuan seperti berikut:

R1 = tanpa pemberian duckweed

R2 = Pada umur: 0

-

3 minggu mengandung 5 % duckweed 3

-

6 minggu mengandung 7.5 % duckweed

6

-

8 minggu mengandung 10 % duckweed R3 = Pada umur: 0

-

3 minggu mengandung 10 % duckweed 3

-

6 minggu mengandung 15 % duckweed

6

-

8 minggu mengandung 20 % duckweed R4 = Pada umur: 0

-

3 minggu mengandung 15 % duckweed 3 - 6 minggu mengandung 22.5% duckweed

6

-

8 minggu mengandung 30 % duckweed R5 = Pada umur: 0 - 3 minggu mengandung 20 % duckweed

3 - 6 minggu mengandung 30 % duckweed

(50)

Ransum perlakuan diberikan dari umur tiga hari sampai

umur delapan minggu. Kebutuhan nutrien ayam pedaging dican-

tumkan dalam Tabel 4, sedangkan susunan ransum penelitian

dan kandungan nutriennya dicantumkan dalam Tabel 5, Tabel 6

dan Tabel 7. Pakan dan air minum disediakan ad libitum.

Tabel 4. Kebutuhan Nutrien Ayam Pedaging

Nutrien Umur (minggu)

M E (kcal/kg) Protein ( % )

Ca ( % )

P ( % I

Arginin ($1

Glysin + Serin ($1 Histidin ( % )

Isoleusin ( % )

Leusin ( % )

Lysin ( % I

Methionin+Cystin. ( % )

Methionin (%)

Phenyl + Tyrosin ( % ) Phenilalanin ($1 Threonin ( % )

Tryptophan ($1

Val in ( $ 1

(51)

Tabel 5. Susunan Ransum Untuk Ayam Pedaging Pase Starter (Umur 0

-

3 minggu)

R a n s u m

Duckweed

Jagung B. Kedele Dedak Halus ~ e ~ u n g Ikan Minyak

CaC03 Na2 HP04 Nacl

MHA

Komposisi Nutrien :

ME (kcal/kg) 3201.00 3198.57 3198.93 3198.59

Protein ( % ) 23.08 22.99 23.00 23 - 0 0

ca (%I 1.00 1.01 1 - 0 0 1.02

P ( $ 1 0.44 0 -45 0.45 0 -45

Seratkasar ( % ) 3.28 4.22 4.24 4.40

Methionin ( % ) 0.65 0.64 0.64 0.63

Meth + Cys ( % ) 0.98 0.94 0.92 0.90

Lysin ( % ) 1.48 1.47 1.46 1.45

Cystein ( % ) 0.33 0.30 0.28 0 - 2 7

Arginin ( % ) 1.55 1.54 1.52 1.50

Tryptopan ( % ) 0.29 0.27 0.26 0 - 2 4

Threonin ( % ) 0.97 0.96 0.96 0.95

Histidin ( % ) 0.57 0.57 0.56 0.56

Leusin ( % ) 2.08 2.02 2.04 2.04

Valin ( % ) 1.35 1.34 1.34 1.34

Phenil ( $ 1 1.14 1.13 1.13 1.14

Tyrosin ( % ) 0.80 0.81 0.81 0.81

(52)

Tabel 6. Susunan Ransum Untuk Ayam Pedaging Fase Grower (Umur 3

-

6 minggu)

Duckweed

Jagung B. Kedele Dedak Halus Tepung Ikan Minyak

CaC03 Na2HP04 NaCl

Kcmposisi Nutrien : ME (kcal/kg) 3202.81 Protein ( % ) 20.01

Ca ( % ) 0.89

P ( % ) 0.40

Serat kasar ( % ) 2.99 Methionin ( % ) 0.44 Meth + Cys ( % ) 0.72

Lysin ( % ) 1.23

Cystein ( % ) 0.28 Arginin ( % ) 1.31 Tryptopan ( % I 0 -24 Threonin ( $ 1 0.84 Histidin ( % ) 0 -49

Leusin ( % ) 1.87

Valin ( % ) 1.19

(53)

Tabel 7. Susunan Ransum Untuk Ayam Pedaging Fase Finisher (Umur 6

-

8 minggu)

Bahan R1 R2 R3 R4 R5

Duckweed Jagung B. Kedele Dedak Halus Tepung Ikan Minyak

CaC03 Na2HP04 NaCl

MHA

Kamposisi Nutrien :

M E (kcal/kg) 3 1 9 9 . 5 7

Protein ( % ) 1 8 - 0 0

Ca ( % I 0 . 8 0

P ( % I 0 . 3 6

Serat kasar ( % ) 2 - 8 6

Methionin ( % ) 0 . 4 1

Meth + Cys ( % ) 0 . 6 6

Lysin ( % ) 1 . 0 7

Cystein ( % ) 0.25 Arginin ( % ) 1 . 1 5

Tryptopan ( % ) 0 . 2 1

Threonin ( % ) 0 . 7 6

Histidin ( % ) 0 - 4 3

Leusin ( % ) 1 . 7 3

Valin ( % ) 1 . 0 9

Phenil ( % ) 0.88

Tyrosin ( % ) 0 . 7 0

(54)

Peubah yang diamati selama feeding trial meliputi :

1. Konsumsi ransum:

Konsumsi ransum rataan per ekor per minggu diukur

berdasarkan selisih ransum yang diberikan dengan sisa

ransum setiap minggu pada setiap unit eksperimen.

2. Pertambahan bobot badan

Untuk mengetahui pertambahan bobot badan dilakukan

penimbangan setiap minggu pada pagi hari sebelum ayam

diberi pakan

.

Pertambahan bobot badan setiap minggu diperoleh dengan menghitung selisih antara bobot badan

awal minggu dengan bobot badan awal minggu sebelurmya.

3. Konversi ransum dihitung berdasarkan perbandingan antara rataan pertambahan bobot badan dengan rataan konsums i

ransum setiap minggu.

4 . Retensi nitrogen merupakan selisih antara jumlah nitrogen

yang dikonsumsi dengan nitrogen yang terdapat dalam urine

dan feces (ekskreta). Untuk memperoleh kandungan nitrogen

dalam ekskreta dilakukan koleksi total selama 2 kali 24

jam. Koleksi dilakukan pada saat ayam berumur 6 minggu dengan menggunakan satu ekor ayam pada setiap ulangan,

jadi setiap perlakuan menggunakan 5 ekor ayam. Ayam dimasukkan ke dalam kandang individual yang terbuatl dari

kawat. Dibagian bawah kandang dipasang lembaran plastik

untuk menampung ekskreta. Ekskreta yang dikoleksi diber-

sihkan dari rontokan bulu dan ransum yang jatuh ke dalam

(55)

gah penguapan nitrogen. Selanjutnya dikeringkan di dalam

oven bersuhu 60 OC selama 24 jam. Setelah digiling halus kemudian dianalisa kandungan nitrogennya. R u m s yang

digunakan untuk menghitung retensi nitrogen adalah sebagai

berikut :

Retensi N/g ransum = N/g ransum

-

N/g feces

Selama penelitian dihitung juga konsumsi pakan, air

minum dan bobot badan.

5. Bobot karkas dan organ lainnya (hati, pankreas, rempela, adrenal, limpa, j antung dan lemak abdominal)

.

Bobot karkas adalah bobot tubuh setelah dipotong, dikurangi

bulu, kepala, kaki, alat pencemaan dan organ-organ tubuh

bagian dalam kecuali paru-paru dan ginjal (persentase dari

bobot hidup). Sedangkan bobot organ-organ tubuh l a i m y a

diperoleh dengan membandingkan bobot masing-masing organ

tersebut dengan bobot metabolik.

6. Panjang usus dan cecum. Panjang usus diukur dari pangkal

usus pada rempela sampai anus. Sedangkan panjang cecum

diukur dua-duanya kemudian diambil nilai rata-ratanya.

7 . Kadar trigliserida darah

Penentuan kadar triglyserida serum darah di lakukan

dengan metode GPO-PAP (test warna enzimatik) dengan

cara kerja sebagai berikut : Sample darah di sentrifugasi

selama 20 menit dengan 3000 rpm untuk mendapatkan serum

(56)

reagen triglyserida kemudian masing-masing dicampur dengan

10 p 1 serum darah kecuali satu tabung hanya berisi reagen trigliserida sebagai blanko, kemudian diinkubasikan selama

10 menit. Selanjutnya diukur absorbsinya pada spektropho- tometer dengan panjang gelombang 546 nm dengan faktor

1026.

8. Kadar lemak karkas

Untuk mendapatkan data kadar lemak karkas, terlebih

dahulu karkasnya dibagi menjadi dua bagian simetris kemu-

dian digiling menggunakan penggiling sampai daging dan

tulangnya hancur dan bercampur homogen. Selanjutnya

dianalisa menggunakan metode ekstrak ether.

9. Kadar kholesterol karkas dan darah.

Penentuan kadar kholesterol karkas dan darah dilakukan

dengan prosedur CHOD-PAP (test warna enzimatik) dengan

card kerja sebagai berikut : Sample darah di sentrifugasi selama 20 menit dengan 3000 rpm untuk mendapatkan serum

darah. Tabung reaksi diisi masing-masing dengan 1 m l reagen kholesterol kemudian masing-masing dicampur dengan

10 pl serum darah kecuali satu tabung hanya berisi reagen kholesterol sebagai blanko, kemudian diinkubasikan selama

(57)

preparat j aringan masing-masing organ dengan metode

parafin (Gunarso, 1989), kemudian dilihat tingkat abnorma-

litasnya melalui mikroskop.

Dalam membuat preparat j aringan ada beberapa tahapan

yang dilaluli. Tahapan tersebut mencakup :

a. Diseksi, yaitu pengambilan jaringan dari organ yang akan

dibuat preparatnya.

b. Fiksasi, yaitu untuk mengawetkan dalam kondisi yang

sedikit banyak mendekati keadaan aslinya dengan maksud

untuk mencegah terjadinya kerusakan jaringan dengan cara

jaringan yang telah diambil dimasukkan sesegera mungkin

ke dalam larutan fiksasi (fiksatif).

c. Dehidrasi, yaitu proses pengeluaran air dari dalam

jaringan dengan menggunakan bahan kimia tertentu. Dalam

ha1 ini digunakan serangkaian alkohol dengan konsentrasi

yang berbeda, dimulai dengan alkohol 50%. 60%. 70%. 80%.

90% dan 100% masing-masing dengan waktu sekitar 30

sampai 60 menit.

d. Clearing, yaitu proses penjernihan untuk menggantikan

tempat alkohol dalam jaringan yang telah mengalami

dehidrasi dengan menggunakan Xylol, ini berlangsung 30

sampai 60 menit.

e. Infiltrasi, yaitu usaha menyusupkan media penanaman

(embedding media) ke dalam jaringan dengan jalan meng-

(58)

ing agents). Proses ini menggunakan parafin dan dilaku-

kan dalam oven (lemari pemanas), ini berlangsung sekitar

4 jam.

f

.

Embedding (penanaman)

,

yaitu proses memasukkan atau menanam jaringan ke dalam blok-blok parafin (cetakan)

sehingga memudahkan pada proses penyayatan dengan ban-

tuan mikrotom

g. Seksi, yaitu penyayatan untuk mendapatkan sayatan tipis

dengan menggunakan mikrotom.

h. Afiksasi, yaitu pelekatan penetapan sayatan jaringan

pada kaca preparat, dan dibiarkan sekitar 24 jam dan

dilanjutkan dengan psroses staining yaitu, proses pewar-

naan dengan tujuan mempertajam atau memperjelas berbagai

elemen jaringan, terutama sel-selnya, sehingga dapat

dibedakan dan ditelaah dengan mikroskop.

11. Penyakit dan mortalitas, ini dilakukan pengamatan tiap hari, dan persentase mortalitasnya diperoleh dengan mem-

bandingkan jumlah ayam yang mati dengan jumlah ayam pada

setiap perlakuan.

Pengukuran peubah nomor 5, 6, 7, 8, 9 dan 10 dilakukan pada umur 3, 6 dan 8 minggu, sehingga selama penelitian

(59)

Suatu model matematik yang dipakai untuk menganalisis

data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah : Yij = jl

+

f f i + E -

l j

Yij = Angka pengamatan ke-j dari perlakuan ke-i

p = Nilai rata-rata sesungguhnya

f f = Pengaruh dari perlakuan ke-i

eij = Error

(60)

H A S t L D A N PEMBAHASAN

Tiogkat Pertumbuhan dan Produksi Dvckweed

Hasil penelitian tentang tingkat pertumbuhan dan produksi

duckweed dicantumkan pada Tabel 8 sebagai berikut:

Tabel 8. Rataan Tingkat Pertumbuhan Relatif dan Produk- si Duckweed

Parameter Nilai

- - --

Tingkat Pertumbuhan Relatif (per hari) 0.381

+

0.008

Produksi ( g.m-2.hari-1) 127 -410

*

7.700

Dari Tabel 8 di atas tampak bahwa duckweed mempunyai tingkat pertumbuhan relatif pada minggu pertama yang cukup

tinggi yaitu 0.381 g.9-'-hari-l. Ini berarti bahwa setiap

penanaman satu gram keesokan harinya akan bertambah bobotnya

0.381 gram. Hasil ini lebih tinggi dari hasil penelitian yang

telah dilakukan oleh Oron (1990) yang melaporkan bahwa ting-

kat pertumbuhan relatif duckweed bervariasi dari 0.24-0.31

per hari, tetapi lebih rendah dari Bjorndhal dan Nilsen

(1985) yang melaporkan sekitar 0 . 4 5 per hari. Biomassa rnenca-

pai dua kali lipat dari bobot semula dalam waktu 43 - 2 jam.

Waktu penggandaan 43.2 jam berada dalam kisaran yang dilapor-

kan oleh Leng et dl. (1994) yaitu dalam jangka waktu 16-48

jam. Mbagwu dan Adeniji (1988) melaporkan bahwa per ha dapat diperoleh 129 kg bahan kering duckweed yang mengandung pro-

(61)

Produksi duckweed dalam bentuk segar mencapai 127.41 g.m-2 .hari-I, dengan kadar air 92%, dan akan diperoleh bahan kering 10.19 g.m-2.hari-1, serupa dengan hasil yang dilapor-

kan oleh Oron dam Willers (1989) yaitu sekitar 10 - 15 g.m-2.

hari-l. Hasil penelitian ini lebih rendah dari hasil peneli- tian Oron (1990) yang melaporkan rataan produksi bahan kering duckweed sekitar 12 g.m-2.hari-1. Selanjutnya Mestayer et dl. (1984) melaporkan bahwa duckweed yang tumbuh pada kondisi yang mendekati optimum mempunyai produksi bahan kering 27 - 79 ton-ha-I-tahun-l, sedangkan Oron et al. (1987) menca- pai 36

-

56 ton-ha-'-tahun-l, dan apabila dipanen 2

-

3 kali setiap minggu mencapai

+

55 ton-ha-'-tahun-I (Oron, 1990; dan Oron, 1994).

Perbedaan dalam tingkat pertumbuhan dan produksi dari beberapa hasil penelitian dapat disebabkan oleh perbedaan kandungan nutrien dalam media tempat tumbuh (Leng et al, 1994). Pertumbuhan duckweed akan menurun akibat kekurangan atau ketidak seimbangan nutrien, racun, pH dan temperatur yang terlalu ekstrim.

Percobaan untuk menguji pengaruh temperatur dan nutrien media tempat tumbuh pada Sal v i a i a moles ta, menun jukkan bahwa

tanaman dapat tumbuh baik pada temperatur 2 5 O ~ dengan pH 6

(62)

Reddy et dl. (1989) melaporkan bahwa intensitas cahaya berinteraksi dengan temperatur. Pada intensitas cahaya yang tinggi dengan temperatur yang optimum akan meningkatkan pertumbuhan.

Kandungan Nutrien Duckweed

Pengukuran pH, temperatur, kandungan amonia dan beberapa mineral dari air di beberapa lokasi media tempat tumbuhnya

d u c k w e e d disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Derajat Keasaman (pH) dan Temperatur Air pads beberapa Lokasi Tempat Tumbuh

-- -- - -- - -

Lokasi Tempat Tumbuh Parameter

Embung Kolam Sawah Budidaya

kangkung

Gambar

Tabel  1.  Kandungan  N u t r i e n   Duckweed  Menurut  Beberapa  P e n e l i t i   -  N u t r ~   en  A  B  C  D   E  F  G  Rataan
Tabel  3 .   Komposisi Asam  Amino Duckweed  dibandingkan dengan  Bahan Pakan Lainnya, dan Rekomendasi dari FA0
Gambar  2.  Perbandingan Kandungan  Asam  Amino  Methionin  dan
Tabel  6.  Susunan Ransum Untuk Ayam Pedaging Fase  Grower  (Umur  3  -  6  minggu)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Akibat lain dari permasalahan diatas kurangnya motivasi siswa terhadap pelajaran kimia karena merasa apa yang sudah dipelajarinya kurang bermanfaat. Dari observasi

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini ialah un- tuk mengetahui perbedaan hasil belajar menggambar busana antara siswa yang di- ajar menggunakan media gambar dengan

Hasil yang didapatkan dari karya tugas akhir yaitu sebuah rangkaian karya fotografi fashion yang menggunakan cerita yang melakukan kegiatan-kegiatan di beberapa kota besar di

Masalah ini kemudian dibawa kepada tingkat internasional yaitu International Joint Commision oleh pihak Amerika dan Kanada ( IJC – UC ) pada tanggal 7 Agustus 1928. Pada tanggal 28

Beberapa orang tua ABK mengalami ketidaknyamanan secara sosial baik dilingkup keluarga besar maupun dalam masyarakat, antara lain keluarga merasa anak ABK memiliki

TAPM yang berjudul Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Kepuasan Masyarakat Dalam Pelayanan Pembuatan Izin Mendirikan Bangunan 1MB Di Kabupaten Lampung Utara adalah hasil karya

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) implementasi program sudah sesuai dengan panduan, terdiri dari tahap persiapan, pelaksanaan dan evaluasi (2) Program yang

Sementara pengambilan strategi akhir dengan metode QSPM dari beberapa dengan metode yang telah digunakan maka strategi yang baik digunakan oleh KUB Mitra Bahari dalam