• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Klien Isolasi Sosial di Rumah Sakit Jiwa Pemprovsu Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Klien Isolasi Sosial di Rumah Sakit Jiwa Pemprovsu Medan"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

Lampiran-1 Lembar Persetujuan Menjadi Responden

Saya yang bertandatangan Anggita Fahrina Nasution dengan NIM.

091101024 adalah mahasiswa Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

Saat ini saya sedang melakukan penelitian tentang “Analisis Faktor-faktor yang

Mempengaruhi Klien Isolasi Sosial di RSJ Provsu Medan“. Penelitian ini

merupakan salah satu kegiatan dalam menyelesaikan tugas akhir di Fakultas

Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

Saya mohon kesediaan Saudara untuk menjadi responden dalam penelitian

ini. Selanjutnya saya mohon kesediaan Saudara mengisi kuesioner dengan jujur

dan apa adanya. Jika bersedia, silahkan menandatangani lembar persetujuan ini

sebagai bukti kesukarelaan Saudara.

Partisipasi Saudara dalam penelitian ini bersifat sukarela, sehingga

Saudara bebas untuk mengundurkan diri setiap saat tanpa ada saksi apapun.

Identitas pribadi Saudara dan semua informasi yang Saudara berikan akan

dirahasiakan dan hanya akan digunakan untuk keperluan penelitian ini.

Terimakasih atas partisipasi Saudara dalam penelitian ini.

Medan, 1 Juni 2013

Peneliti Responden

(2)

Lampiran-2

INSTRUMEN PENELITIAN

Instrument dalam penelitian ini adalah kuesioner data demografi dan

faktor-faktor yang mempengaruhi klien isolasi sosial. Ada dua bagian yang

termasuk di dalam kuesioner ini yaitu :

Bagian 1. Kuesioner Data Demografi

Bagian 2. Kuesioner Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Klien Isolasi

(3)

Bagian 1. Kuesioner Data Demografi

INSTRUMEN PENELITIAN

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Klien Isolasi Sosial di Rumah Sakit Jiwa Pemprovsu Medan

Kode responden :

Petunjuk pengisian :

Berilah tanda check list (√) pada salah satu tanda kurung sesuai dengan jawaban Anda.

I. Data Demografi Responden

1. Usia : ... Tahun

2. Jenis kelamin : Laki-laki Perempuan

3. Hubungan dengan klien : Suami Istri Orangtua

Saudara Cucu Keponakan

4. Pendidikan : Tidak tamat SD Tamat SD

Tamat SMP Tamat SMA

Perguruan Tinggi

5. Lama perawatan : ... tahun

(4)

Bagian II. Kuesioner faktor-faktor yang mempengaruhi klien isolasi sosial Petunjuk pengisian :

Pilihlah pernyataan di bawah ini dengan memberi tanda check list (√ ) pada salah satu pilihan yang tersedia menurut Saudara yang paling benar sesuai dengan

kenyataan yang Saudara hadapi. Mohon kerja-samanya dalam pengisian kuesioner

di bawah ini, terima kasih.

No. Pernyataan Jawaban

A.Komunikasi Ya Tidak

1. Keluarga selalu siap mendengarkan setiap

masalah yang diceritakan klien.

2. Keluarga selalu berdiskusi terhadap masalah

yang dimiliki klien.

3. Keluarga sering berbeda pendapat dalam

mengambil keputusan untuk merawat klien.

4. Keluarga jarang meluangkan waktu untuk

berbagi dan bercerita bersama klien.

5. Keluarga berusaha mengajak klien agar dapat

menyampaikan perasaan yang dirasakan klien.

B.Koping keluarga Ya Tidak

1. Keluarga mampu menyesuaikan diri terhadap

perubahan yang dimiliki klien.

2. Keluarga memecahkan masalah bersama dengan

(5)

bersama-sama.

3. Keluarga mendorong dukungan spiritual kepada

klien agar masalah yang dihadapi klien cepat

selesai.

4. Keluarga menyalahkan terhadap permasalahan

yang dimiliki oleh klien.

5. Keluarga pernah menggunakan kekerasan

sehingga klien makin tertekan.

A. Faktor pengetahuan keluarga Ya Tidak

1. Keluarga memiliki pengetahuan untuk

mempertahankan kesehatan mental klien.

2. Keluarga tidak berusaha mendapat informasi

tentang cara menangani perilaku klien saat ini.

3. Keluarga berusaha tahu tentang obat yang

diberikan pada klien agar klien dapat berperilaku

normal.

4. Keluarga membantu meningkatkan kemampuan

berhubungan pada klien setelah proses pemulihan

dilakukan.

5. Keluarga tidak mengerti dalam menangani

masalah kesehatan mental klien.

B. Faktor biaya pengobatan dan perawatan Ya Tidak

(6)

meminimkan biaya pengobatan yang terlalu

tinggi.

2. Keluarga kehilangan hari produktif untuk

mencari nafkah karena harus merawat klien

dalam pemulihan kesehatannya.

3. Keluarga tidak merasa terbebani dengan biaya

pengobatan dan perawatan klien yang terlalu

tinggi.

4. Keluarga lebih mementingkan kebutuhan pokok

dibandingkan kebutuhan biaya perawatan klien.

5. Keluarga tidak pernah merasa kekurangan dalam

(7)

LAMPIRAN 3

Tabel 2. Distribusi frekuensi dan persentase faktor komunikasi keluarga

Pernyataan Ya Tidak

N % N %

1. Keluarga selalu siap mendengarkan setiap masalah yang diceritakan klien.

2. Keluarga selalu berdiskusi terhadap masalah yang dimiliki klien.

3. Keluarga sering berbeda pendapat dalam mengambil keputusan untuk merawat klien.

4. Keluarga jarang meluangkan waktu untuk berbagi dan bercerita bersama klien.

(8)

Tabel 3.Distribusi frekuensi dan persentase faktor koping keluarga

Pernyataan Ya Tidak

N % N %

1. Keluarga mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan yang dimiliki klien.

2. Keluarga memecahkan masalah bersama dengan melakukan diskusi penyelesaian masalah secara bersama-sama.

3. Keluarga mendorong dukungan spiritual kepada klien agar masalah yang dihadapi klien cepat selesai

4. Keluarga menyalahkan permasalahan yang dimiliki oleh klien.

(9)

Tabel 4. Distribusi frekuensi dan persentase faktor pengetahuan keluarga

Pernyataan Ya Tidak

N % N %

1. Keluarga memiliki pengetahuan

untuk mempertahankan kesehatan mental klien.

2. Keluarga tidak berusaha mendapat informasi tentang cara menangani perilaku klien saat ini.

3. Keluarga berusaha tahu tentang obat yang diberikan pada klien agar klien dapat berperilaku normal.

4. Keluarga membantu

meningkatkan kemampuan berhubungan pada klien setelah proses pemulihan dilakukan.

(10)

Tabel 5. Distribusi frekuensi dan persentase faktor biaya pengobatan dan

perawatan keluarga

Pernyataan Ya Tidak

N % N %

1. Keluarga merawat klien di rumah untuk meminimkan biaya pengobatan yang terlalu tinggi.

2. Keluarga kehilangan hari produktif untuk mencari nafkah karena harus merawat klien dalam pemulihan kesehatannya.

3. Keluarga tidak merasa terbebani dengan biaya pengobatan dan perawatan klien yang terlalu tinggi.

4. Keluarga lebih mementingkan kebutuhan pokok dibandingkan kebutuhan biaya perawatan klien.

(11)

Lampiran 4

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

1. Nama lengkap : Anggita Fahrina Nasution

2. NIM : 091101024

3. Jenis kelamin : Perempuan

4. Tempat/tgl. Lahir : Medan, 2 Mei 1991

5. Alamat lengkap : Jl. Baru no. 17, Medan Tembung

Telp/Fax : -

Hp. : 08566370520

E-mail : anggitafahrina@yahoo.co.id

URL/ : facebook Anggita Fahrina Nasution

6. Status pendidikan :

Semester : 7

Program Studi : S1 Keperawatan

Jurusan : Ilmu Keperawatan

Fakultas : Keperawatan

Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara

7. Riwayat pendidikan :

a. SD (sederajat) : SD Harapan 2 , lulus tahun 2003

b. SMP (Sederajat) : SMP N 16 Medan , lulus tahun 2006

(12)
(13)

DAFTAR PUSTAKA

Ahyar., 2010. Konsep Diri dan Mekanisme Koping dalam Aplikasi Proses

Keperawatan. diakses 19 April 2010;

http://ahyarwahyudi.wordpress.com/2010/02/11/konsep-diri-dan-mekanisme- koping-dalam-proses-keperawatan/.

Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta :

Rineka Cipta

Badrujaman, A. (2008) . Sosiologi untuk Mahasiswa Keperawatan. Jakarta : Trans

Info Media

Butar Butar, D.O., (2012). Hubungan Pengetahuan Keluarga dengan Tingkat

Kepatuhan Minum Obat Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Provsu Medan. Diakses 16 Juli 2013.

Chandra, L.S. (2004). Schizophrenia Anonymous, A Better Future. Dapat dibuka

pada http://www.kompas.com pada tanggal 22 Mei 2013.

Christensen & Kenney. (2009). Proses Keperawatan Aplikasi Model Konseptual.

Jakarta : EGC

Dalami, E., Suliswati, Rochimah, Suryati, K.R., Lestari, W. (2009). Asuhan

Keperawatan dengan Gangguan Jiwa. Jakarta : Trans Info Media

Dempsey, P.A., & Dempsey, A.D. (2002). Riset Keperawatan : Buku Ajar &

Latihan, Edisi 4 . Jakarta : EGC

Efendi, F & Makhfudli. (2009). Keperawatan Kesehatan Komunitas Teori dan

Praktik dalam Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika

Friedman, M. M., Bowden, V. R., Jones, E. G., (2010). Buku Ajar Keperawatan

(14)

Islamie, N.N. (2011). Pengaruh Pengetahuan dan Mekanisme Koping terhadap

Sikap Keluarga untuk Menerima Pasien Gangguan Jiwa (Skizofrenia) yang Telah Tenang di Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara: Program studi S2 ilmu kesehatan masyarakat. Fakultas Kesehatan Masyarakat Unuversitas Sumatera Utara

Keliat, B. A. & Akemat. (2010). Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa.

Jakarta : EGC

Mubarak, I.M. (2009). Ilmu Keperawatan Komunitas : Konsep dan Aplikasi.

Jakarta : Salemba Medika.

Notoadmojo, S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan, edisi revisi. Jakarta :

Rineka Cipta

Notoatmodjo. (2003). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka

Cipta.

Notosoedirdjo, M., & Latipun 2005. Kesehatan Mental Konsep dan Penerapan.

Malang. Universitas Muhammadiyah Malang Press

Nursalam. (2009) . Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu

Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika

Purba, J.M., Wahyuni, S.E., Daulay, W., Nasution, M.L. (2012). Asuhan

Keperawatan pada Klien dengan Masalah Psikososial dan Gangguan Jiwa. Medan : USU Press

Rasmun. (2004) . Stress, Koping, dan Adaptasi. Jakarta. Sagung Seto

Rusmiati, I.T., Nugroho A., Hartoyo M. (2010). Hubungan pola komunikasi

dengan frekuensi kekambuhan perilaku kekerasan di RSJD. Amino Gondohutomo Semarang

(15)

Setiadi. (2007). Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan.Yogyakarta : Graha

Ilmu.

Simanjuntak, I.T.M., Daulay W. (2006). Hubungan Pengetahuan Keluarga

dengan Tingkat Kecemasan dalam Menghadapi Anggota Keluarga yang Mengalami Gangguan Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera

Utara.

Supartini, Y. (2004) . Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta : EGC

Suprajitno. (2004) . Asuhan Keperawatan Keluarga Aplikasi dalam Praktik.

Jakarta : EGC

Syafrudin & Meriam. (2010) . Sosial Budaya Dasar untuk Mahasiswa Kebidanan.

Jakarta : Trans Info Media

Wong, L.D. (2008) . Buku Ajar Pediatrik volume satu edisi 6 . Jakarta : EGC

Wiramihardja. (2004). Pengantar Psikologis Klinis. Bandung: PT Refika

Aditama.

Vijay, Chandra, 2005, Cara pencegahan dan pengobatan gangguan jiwa.

http://BaliPost.co.id

Vijay. (2005). Cara Pencegahan dan Pencegahan Gangguan Jiwa. Dapat dibuka

(16)

BAB III

KERANGKA PENELITIAN

1.Kerangka Penelitian

Kerangka dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang

mempengaruhi klien isolasi sosial di RSJ Pemprovsu Medan.

Skema 3.1 Kerangka penelitian tentang analisis faktor-faktor yang mempengaruhi

klien isolasi sosial di RSJ pemprovsu Medan

Keterangan :

: variabel yang diteliti Faktor-faktor yang

mempengaruhi klien

isolasi sosial :

- Komunikasi keluarga

- Koping keluarga

- Pengetahuan keluarga

- Biaya pengobatan dan

perawatan

(17)

2. Definisi Operasional

Tabel 3.2 Definisi Operasional

No Variabel Definisi operasional Cara ukur Hasil ukur Skala

1. Faktor-faktor keluarga agar klien dapat bersosialisasi kembali di RSJ Pemprovsu Medan

Kuesioner. Kurang

(18)

BAB IV

METODE PENELITIAN

1. Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif,

karena penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang

mempengaruhi klien isolasi sosial.

2. Populasi dan Sampel Penelitian 2.1 Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh keluarga/wali yang memiliki

anggota keluarga dengan klien isolasi sosial yang terdaftar dan melakukan rawat

jalan di RSJ Provsu Medan. Jumlah populasi dengan isolasi sosial yang

melakukan rawat jalan berjumlah 377klien.

2.2 Sampel Penelitian

Sampel merupakan sebagian dari populasi yang mewakili suatu populasi.

Penentuan besar sampel menurut Arikunto (2006) apabila subjek kurang dari 100

maka populasi dapat menjadi sampel. Jika populasi besar maka dapat diambil

10-15% atau 20-25% sampel atau lebih, tergantung kemampuan peneliti. Sehingga

peneliti menggunakan penentuan besar sampel dengan 15% dari 377 klien dengan

(19)

yang memiliki anggota keluarga isolasi sosial yang sedang dirawat jalan di RSJ

Pemprovsu Medan.

Teknik yang digunakan untuk menentukan sampel adalah teknik purposive

sampling yaitu teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel diantara

populasi sesuai dengan yang dikehendaki oleh peneliti sehingga sampel tersebut

mewakili karakteristik populasi (Nursalam,2008). Sampel diperoleh dengan

menentukan kriteria inklusi. Adapun kriteria inklusi yang digunakan yaitu :

a) Keluarga inti yang merawat anggota keluarga yang mengalami isolasi sosial

yang dirawat jalan di RSJ Daerah Pemprovsu Medan.

b) Panca indera berfungsi dengan baik.

c) Bisa membaca dan menulis.

d) Bersedia menjadi partisipan sampai penelitian selesai.

3. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada Juni 2013 di RSJ Pemprovsu Medan. Alasan

pemilihan lokasi ini karena merupakan salah satu RSJ milik pemerintah. RSJ ini

memiliki banyak populasi gangguan jiwa sehingga memudahkan peneliti untuk

mendapatkan data yang memenuhi kriteria sampel yang peneliti inginkan, lokasi

dapat dijangkau oleh peneliti.

4. Pertimbangan Etik

Penelitian ini dilakukan setelah peneliti mendapat persetujuan dari Fakultas

(20)

mengurus prosedur penelitian mulai dari izin dari pihak RSJ Provsu Medan.

Karena peneliti menggunakan manusia sebagai subjek penelitian, maka

hakekatnya sebagai manusia harus dilindungi dengan memperhatikan

prinsip-prinsip dalam pertimbangan etik yaitu responden mempunyai hak untuk

memutuskan apakah ia bersedia menjadi subjek atau tanpa ada sanksi apapun dan

responden tidak mengalami kerugian, peneliti harus memberikan penjelasan dan

informasi secara lengkap dan rinci serta bertanggung jawab jika sesuatu yang

terjadi kepada responden.

Responden tidak boleh didiskriminasi jika menolak untuk melanjutkan

menjadi subjek penelitian. Kerahasiaan data responden dijaga, untuk itu perlu

adanya informed concent (meminta kesediaan responden untuk menjadi

responden), anonymity (tanpa nama), dan confidentiality (rahasia), lembar tersebut

hanya diberi nomor dan kode tertentu. Kerahasiaan informasi yang diberikan

responden dijamin oleh peneliti dan data-data yang diperoleh dari responden

mutlak digunakan untuk keperluan penelitian tidak untuk keperluan yang lain.

5. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner. Instrumen

yang digunakan dalam penelitian ini disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan

tinjauan pustaka. Instrumen penelitian terdiri dari 2 bagian yaitu: data demografi,

kuesioner faktor-faktor yang mempengaruhi klien isolasi sosial. Lembar

persetujuan berisi tentang kesediaan untuk menjadi responden yang meliputi:

(21)

5.1 Kuesioner Data Demografi

Kuesioner data demografi meliputi : kode responden, usia, jenis kelamin,

hubungan dengan klien, pendidikan, pekerjaan, lama perawatan dan penghasilan.

5.2 Kuesioner Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Klien Isolasi Sosial

Kuesioner faktor-faktor yang mempengaruhi klien isolasi sosial yaitu

dichotomy closed ended dengan skala Guttman. Kuesioner faktor-faktor yang

mempengaruhi klien isolasi sosial ini menggunakan skala nominal. Pada

pertanyaan positif jawaban ya diberi nilai 1 sedangkan jawaban tidak diberi nilai

0. Sebaliknya pada pertanyaan negatif jawaban ya diberi nilai 0 sedangkan

jawaban tidak diberi nilai 1. Kuisioner faktor-faktor yang mempengaruhi klien

isolasi sosial terdiri dari faktor komunikasi, koping keluarga, pengetahuan

keluarga, biaya perawatan dan pengobatan dengan 20 pernyataan.

Kuesioner faktor komunikasi keluarga terdiri dari 5 pernyataan dengan 3

pernyataan positif dan 2 pernyataan negatif. Pernyataan positif (no. 1, 2, 3) dan

pernyaataan negatif (no. 4 dan 5). Total skor terendah faktor komunikasi keluarga

adalah 0 dan total skor tertinggi faktor komunikasi adalah 5.

Kuesioner faktor koping keluarga terdiri dari 5 pernyataan dengan dengan

3 pernyataan positif dan 2pernyataan negatif. Pernyataan positif (no. 1, 3, 4) dan

pernyataan negatif (no. 2 dan 5). Total skor terendah faktor koping keluarga

adalah 0 dan total skor tertinggi faktor koping keluarga adalah 5.

Kuesioner faktor pengetahuan keluarga terdiri dari 5 pernyataan dengan 3

(22)

pernyaataan negatif (no. 2 dan 4). Total skor terendah faktor pengetahuan

keluarga adalah 0 dan total skor tertinggi faktor komunikasi adalah 5.

Kuesioner faktor biaya pengobatan dan perawatan terdiri dari 5 pernyataan

dengan dengan 2 pernyataan positif dan 3 pernyataan negatif. Pernyataan positif

(no. 1 dan 5) dan pernyaataan negatif (no. 2, 3, 4). Total skor terendah faktor

biaya pengobatan dan perawatan adalah 0 dan total skor tertinggi biaya

pengobatan dan perawatan adalah 5.

6. Validitas dan Reliabilitas

Validitas pengukuran merupakan prinsip keandalan instrumen dalam

mengumpulkan data. Instrumen harus dapat mengukur apa yang seharusnya

diukur (Nursalam, 2008). Uji validitas yang digunakan pada pengujian ini adalah

validitas isi, yakni sejauh mana instrumen tersebut dapat mewakili faktor yang

diteliti (Dempsey dan Dempsey, 2002). Instrumen pada penelitian ini sudah

dilakukan uji validitas. Uji validitas berupa validitas isi pada tanggal 28 Maret

2013 sampai 29 Maret 2013 oleh salah seorang staf pengajar yang ahli dalam

bidang Keperawatan Jiwa Fakultas Keperawatan USU.

Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat

pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Uji reliabilitas dilakukan pada

10 orang di RSJ Pemprovsu Medan yang sesuai dengan kriteria yang telah

ditentukan sebagai subjek studi, lalu diuji dengan menggunakan rumus KR-21.

(23)

isolasi sosial adalah 0,80 sehingga dapat disimpulkan bahwa instrumen yang

digunakan dalam penelitian ini adalah reliabel.

7. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan setelah peneliti menerima surat izin

pengambilan data dari bagian pendidikan Fakultas Keperawatan USU pada

tanggal 6 Maret 2013. Kemudian memberikan surat permohonan izin pelaksanaan

penelitian dengan memberikan surat izin kepada bagian pengkajian di RSJ Daerah

Pemprovsu Medan. Setelah mendapat persetujuan dari pihak RSJ pemprovsu

Medan, selanjutnya peneliti izin kepada kepala ruangan poli kesehatan jiwa untuk

memperkenalkan diri untuk menjelaskan maksud dan tujuan penelitian dilakukan

kepada kepala ruangan poli kesehatan jiwa RSJ daerah pemprovsu medan untuk

melakukan penelitian sampai penelitian selesai.

Selanjutnya peneliti mendata klien isolasi sosial yang dirawat jalan di RSJ

Pemprovsu Medan. Setelah mengetahui data klien yang mengalami isolasi sosial,

peneliti mendatangi keluarga yang sedang menemani anggota keluarganya dalam

mengikuti regimen terapeutik. Sebelum peneliti memperkenalkan diri, peneliti

mengajukan pertanyaan kepada keluarga apakah keluarga yang melakukan

perawatan pada klien mengalami isolasi sosial setelah itu peneliti menjelaskan

maksud dan tujuan dilakukannya penelitian selama ± 5 menit. Kemudian peneliti

meminta kesediaan responden untuk menjadi responden penelitian dengan

memberikan informed concent dan meminta responden untuk mentandatangani

(24)

membagikan kuesioner kepada responden dan menjelaskan cara pengisian

kuisioner kepada responden. Setiap resonden diberikan waktu ± 10 menit untuk

menjawab semua pernyataan pada kuesioner.

Setelah responden selesai menjawab semua pernyataan, peneliti memeriksa

kembali kelengkapan jawaban responden dan menyesuaikannya dengan jumlah

kuesioner yang terkumpul. Setelah kuesioner terkumpul, peneliti memberikan

kode nomor kuesioner setiap responden dan mulai menganalisa data yang

diperoleh sama penelitian dalam jangka waktu ± 1 bulan.

8. Analisa Data

Setelah semua data terkumpul, maka dilakukan analisa data melalui beberapa

tahap yakni editing yaitu mengecek nama dan kelengkapan identitas dan data

responden serta memastikan data bahwa semua jawaban telah diisi sesuai

petunjuk, coding yaitu memberi kode atau angka tertentu pada kuesioner untuk

mempermudah waktu mengadakan tabulasi dan analisa. Analisa yaitu

menganalisa data yang telah terkumpul dengan menentukan persentase jawaban

dari setiap responden. Analisa data dilakukan dengan menggunakan teknik

komputerisasi.

Pengolahan data yang sudah diolah disajikan dengan statistik deskriptif yang

terdiri dari frekuensi dan persentase untuk melihat gambaran faktor-faktor yang

(25)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil Penelitian

Bab ini menguraikan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi klien isolasi

sosial pada anggota keluarga yang mengalami isolasi sosial di RSJ Pemprovsu

Medan. Penelitian ini dilaksanakan mulai tanggal 1 Juni 2013. Penelitian ini

dilakukan melalui pengumpulan data dan menggunakan kuesioner terhadap 56

responden yaitu keluarga yang memiliki anggota keluarga yang mengalami isolasi

sosial yang dirawat jalan di Rumah Sakit Jiwa Pemprovsu Medan. Penyajian data

meliputi karakteristik responden, faktor-faktor yang mempengaruhi klien isolasi

sosial di RSJ Pemprovsu Medan.

1.1 Data Demografi

Karakteristik responden dalam penelitian ini adalah keluarga yang memiliki

anggota keluarga isolasi sosial yang dirawat jalan di RSJ pemprovsu Medan.

Responden dalam penelitian ini berjumlah 56 orang keluarga yang mewakili.

Berdasarkan data demografi berjumlah 56 orang terdapat mayoritas responden

berjenis kelamin perempuan berjumlah 40 orang (71,4%), berusia 44-54 tahun

berjumlah 19 orang (33,9%), hubungan dengan klien yaitu orangtua klien

berjumlah 29 orang (58%), pendidikan tamat SMA berjumlah 20 orang (35,7%),

pekerjaan dari responden yaitu sebagai ibu rumah tangga berjumlah 23 orang

(41%), lama perawatan 1-2 tahun berjumlah 19 orang (33,9%), selanjutnya

penghasilan responden yang berjumlah Rp500.0000-1.000.000 berjumlah 34

(26)

Tabel 1. Distribusi frekuensi dan persentase berdasarkan karakteristik responden yang mengalami isolasi sosial (n=56)

(27)

1.2Gambaran Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Klien Isolasi Sosial

Faktor-faktor yang mempengaruhi klien isolasi sosial yaitu : faktor

komunikasi keluarga, koping keluarga, pengetahuan keluarga, biaya pengobatan

dan perawatan yang dirawat jalan di RSJ Pemprovsu Medan.

Tabel 2. Distribusi frekuensi dan persentase faktor-faktor yang mempengaruhi klien isolasi sosial.

Variabel Frekuensi Persentase (%)

Faktor Komunikasi

Faktor biaya pengobatan dan perawatan

Hasil penelitian yang dilihat dari tabel 5 diatas menunjukkan bahwa mayoritas

keluarga memiliki faktor komunikasi baik sebanyak 51,7%. Berikutnya faktor

koping keluarga baik 73,2%, faktor pengetahuan keluarga yang baik 66%, faktor

(28)

2. Pembahasan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Klien Isolasi Sosial 2.1 Komunikasi Keluarga Terhadap Klien Isolasi Sosial

Komunikasi keluarga terhadap klien isolasi sosial yang dirawat jalan di

Pemprovsu Medan diperoleh bahwa sebagian besar responden faktor

komunikasinya baik sebanyak 29 orang (51,7%) sedangkan yang kurang baik

sebanyak 27 orang (48,2%).

Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh mayoritas (51,7%) responden

memiliki komunikasi yang baik kepada klien isolasi sosial artinya pesan yang

dikirim jelas tersampaikan kepada klien isolasi sosial. Ketika anggota keluarga

berkomunikasi selaras dengan konsistensi isi pesan dan intruksi pesan yang

disampaikan kepada klien isolasi sosial. Kata yang diucapkan, perasaan yang

diekspresikan, dan perilaku terhadap klien memungkinkan anggota keluarga untuk

mengenal kebutuhan emosi klien isolasi sosial. Dengan penerapan pola

komunikasi fungsional dalam keluarga dapat menerima perbedaan, menghargai

keterbukaan, saling menghormati perasaan, pikiran, peduli terhadap masalah yang

dihadapi klien isolasi sosial, namun pada keluarga yang paling sehat pun sering

kali masih mengalami permasalahan dalam komunikasi (Friedman dkk, 2010).

Namun, dari hasil penelitian ini dengan hasil (64,2%) keluarga jarang

meluangkan waktu untuk berbagi dan bercerita bersama klien isolasi sosial. Hal

ini sejalan dengan teori yang dinyatakan oleh Dalami (2009) bahwa faktor

komunikasi dalam keluarga dapat mengantar seseorang dalam gangguan

berhubungan dengan orang lain, bila keluarga hanya menginformasikan hal-hal

(29)

rendah, komunikasi kurang terbuka terutama dalam pemecahan masalah klien

isolasi sosial yang tidak diselesaikan secara terbuka dengan musyawarah, dan

adanya dua pesan yang bertentangan disampaikan pada saat yang bersamaan,

mengakibatkan klien enggan berkomunikasi dengan orang lain sehingga klien

mengalami isolasi sosial.

Hal ini didukung juga oleh penelitian Rusmiati dkk (2010) tentang Hubungan

Pola Komunikasi dengan Frekuensi Kekambuhan Klien Perilaku Kekerasan

mengatakan pada masa perawatan klien di rumah komunikasi antara anggota

keluarga dengan klien tidak terjalin dengan baik karena keluarga membiarkan

klien untuk diam tanpa diketahui penyebab klien diam. Keluarga diharapkan

menerapkan komunikasi yang fungsional dapat meningkatkan komunikasi yang

efektif sehingga isi pesan dapat dimengerti oleh klien isolasi sosial sedangkan

keluarga dengan komunikasi yang disfungsional diharapkan mampu mengajak

klien berkomunikasi secara terbuka dan jelas sehingga meminimalkan

kekambuhan.

Didukung juga oleh penelitian Chandra (2004) tentang Schizophrenia

Anonymous, A Better Future bahwa keluarga harus bersikap menerima, tetap

berkomunikasi dan tidak mengasingkan klien isolasi sosial. Tindakan kasar,

berantakan atau mengucilkan justru akan membuat penderita semakin depresi

(30)

2.2 Koping Keluarga Terhadap Klien Isolasi Sosial

Koping keluarga terhadap klien isolasi sosial yang dirawat jalan di

Pemprovsu Medan diperoleh bahwa sebagian besar responden faktor koping

keluarga baik sebanyak 41 orang (73,2%), yang kurang baik 15 orang yaitu

(26,7%).

Ini menunjukkan bahwa seluruh keluarga yang anggota keluarganya rawat

jalan di Poliklinik Rumah Sakit Jiwa Propinsi Sumatera Utara Medan sudah

memiliki koping keluarga yang baik. Hal ini terlihat hasil penelitian dari sebanyak

responden (76,7%) keluarga mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan yang

dimiliki klien, (69,6%) keluarga memecahkan masalah bersama dengan

melakukan diskusi penyelesaian masalah secara bersama-sama.

. Hal ini juga didukung oleh teori Rasmun (2004), dengan menggunakan

koping yang efektif keluarga dapat beradaptasi terhadap perubahan yang dialami

oleh klien isolasi sosial dan bisa memperbaikan situasi yang lama dan beradaptasi

terhadap perubahan yang baru.Terlihat dari hasil penelitian mayoritas responden

berusia 44-54 tahun (33,9%). Responden termasuk kedalam golongan dewasa

madya yang cukup matang dalam pemberian perawatan dirumah dan dapat

beradaptasi terhadap perubahan masalah yang dialami klien (Potter, 2005)

Hasil penelitian ini juga menunjukkan (92,8%) keluarga mendorong

dukungan spiritual kepada klien agar masalah yang dihadapi klien cepat selesai.

Menurut Chesler dan Barbarin (1987) dalam Friedman (2010), meskipun banyak

orang yang memikirkan upaya mencari dan mengandalkan dukungan spiritual

(31)

anggota keluarga menemukan dukungan spiritual ini sebagai suatu cara mengatasi

masalah di dalam keluarga terutama dalam masalah yang dihadapi klien isolasi

sosial. Sesungguhnya kepercayaan kepada Tuhan dan berdoa diidentifikasi oleh

anggota keluarga sebagai cara keluarga untuk mengatasi masalah klien isolasi

sosial. Dukungan spiritual membantu keluarga mentoleransi

ketegangan-ketegangan kronis dan lama serta membantu keutuhan keluarga.

Menurut teori yang dinyatakan Ahyar (2010), ada beberapa faktor yang

memengaruhi strategi koping, diantaranya adalah dukungan sosial. Dukungan

sosial meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan informasi dan emosional pada

klien isolasi sosial yang diberikan oleh anggota keluarga lain ataupun masyarakat

di sekitarnya. Data tersebut didukung juga dengan hasil penelitian ini dengan

mayoritas hubungan responden dengan klien adalah orangtua (51,7%). Peran

sebagai orang tua yaitu bertanggung jawab membesarkan klien, mengendalikan

konflik klien isolasi sosial dalam masyarakat dan memberikan perawatan yang

berkelanjutan pada klien isolasi sosial sehingga ketika klien mengalami isolasi

sosial maka banyak peran yang dilakukan oleh orang tua dalam perawatan klien

(Wong,2008).

Menurut penelitian Chandra (2006) tentang Cara Pencegahan dan Pengobatan

Gangguan Jiwa menegaskan bahwa lingkungan sekitar terutama dalam keluarga

itu sendiri mempunyai reaksi tertentu terhadap klien isolasi sosial yang sudah

pasti berdampak terhadap klien isolasi sosial. Beberapa reaksi dari lingkungan

keluarga yang paling sering ditemukan adalah mengasingkan, mengucilkan,

(32)

mengakui sebagai anggota keluarganya, dan tidak komunikatif terhadap klien

isolasi sosial. Dampak dari sikap/perlakuan keluarga terhadap klien isolasi sosial

tersebut menyebabkan klien isolasi sosial sering mengalami kekambuhan dan

menjadi sulit untuk sembuh.

2.3 Pengetahuan Keluarga Terhadap Klien Isolasi Sosial

Pengetahuan keluarga terhadap klien isolasi sosial yang dirawat jalan di

Pemprovsu Medan diperoleh bahwa sebagian besar responden faktor pengetahuan

keluarga yang baik sebanyak 37 orang (66%), yang kurang baik 19 orang

(33,9%).

Ini menunjukkan bahwa seluruh keluarga yang anggota keluarganya rawat

jalan di Poliklinik Rumah Sakit Jiwa Propinsi Sumatera Utara Medan sudah

memiliki pengetahuan yang baik. Hasil penelitian sebanyak (60,7%) responden

mengatakan bahwa keluarga memiliki pengetahuan untuk mempertahankan

kesehatan mental klien terlihat dari (64,3%) keluarga berusaha tahu tentang obat

yang diberikan kepada klien isolasi sosial. Data ini didukung oleh penelitian

Destiny (2012) tentang Hubungan Pengetahuan Keluarga dengan Tingkat

Kepatuhan Minum Obat Pasien Skizofrenia dengan hasil penelitian pengetahuan

keluarga tentang pengobatan pasien dikatakan baik. Pengetahuan berikatan erat

dengan pendidikan seseorang. Pendidikan memberikan kemampuan kepada

seseorang untuk berpikir rasional dalam menghadapi masalah hidup dan akan

berdampak timbulnya suatu proses pengembangan atau pematangan pandangan

(33)

tingkat pengetahuan seseorang (Notoadmodjo 2003). Terlihat dari hasil penelitian

mayoritas responden (35,7%) berpendidikan tamat SMA dimana pengetahuan dan

pemahaman responden tentang pengobatan klien isolasi sosial kemungkinan lebih

baik dibandingkan yang berpendidikan rendah.

Berdasarkan penelitian dari badan National Mental Health Association/

NMHA (2001), diperoleh bahwa banyak ketidakmengertian ataupun

kesalahpahaman keluarga mengenai gangguan jiwa, keluarga menganggap bahwa

seseorang yang mengalami gangguan jiwa tidak akan pernah sembuh kembali.

Namun faktanya, NMHA mengemukakan bahwa orang yang mengalami

gangguan jiwa dapat sembuh dan dapat mulai kembali melakukan aktivitasnya

(Foster, 2001).

Data didukung dengan penelitian Simanjuntak dan Daulay (2006) tentang

Hubungan Pengetahuan Keluarga dengan Tingkat Kecemasan dalam Menghadapi

Anggota Keluarga yang Mengalami Gangguan Jiwa dengan hasil penelitian

(59,4%) pengetahuan yang baik. Setelah dibandingkan antara kondisi anggota

keluarga yang berpengetahuan baik dan yang kurang memiliki pengetahuan

baik/tidak peduli diketahui bagaimana perawatan terhadap anggota keluarganya

yang mengalami gangguan jiwa, di mana kondisi keluarga yang berpengetahuan

baik lebih terjaga dibandingkan pada keluarga yang tidak memiliki pengetahuan

yang baik. Sehingga sangat diperlukan bagi keluarga untuk memiliki pengetahuan

yang baik dalam menghadapi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa.

Didukung juga dalam penelitian Islamie (2011) tentang Pengaruh

(34)

Pasien Gangguan Jiwa (Skizofrenia) yang Telah Tenang bahwa keluarga berperan

dalam mencegah kekambuhan klien isolasi sosial. Jika keluarga mengetahui

tentang penyakit yang diderita anggota keluarganya maka akan mempengaruhi

proses penerimaan untuk melakukan perawatan kepada klien. Tingkat

pengetahuan juga dipengaruhi motivasi, rasa optimis keluarga untuk mencari

pengobatan yang terbaik bagi klien isolasi sosial. Keluarga juga mendengar

anjuran dan saran dokter untuk melakukan pengobatan terhadap keluarga yang

menderita isolasi sosial tersebut. Hal ini terlihat 64,3% keluarga berusaha tahu

tentang obat yang diberikan pada klien agar klien dapat berperilaku normal.

2.4 Faktor Biaya Pengobatan dan Perawatan Terhadap Klien Isolasi Sosial

Biaya pengobatan dan perawatan terhadap klien isolasi sosial yang dirawat

jalan di Pemprovsu Medan diperoleh bahwa sebagian besar responden faktor

biaya pengobatan dan perawatan kurang baik 32 orang (57,1%), yang baik

sebanyak 24 orang (42,8)%.

Hal ini terlihat dari hasil penelitian diperoleh sebanyak (67,8%) keluarga

merasa terbebani dengan biaya pengobatan dan perawatan klien di rumah sakit

yang terlalu tinggi sehingga keluarga merawat klien di rumah untuk meminimkan

biaya pengobatan yang terlalu tinggi (60,7%). Terlihat dari penghasilan keluarga

yang rendah per bulannya Rp. 500.000-Rp. 1.000.000 dan mayoritas pekerjaan

respnden adalah ibu rumah tangga, namun rata-rata responden memperoleh

bantuan dari pemerintah yang disebut dengan JAMKESMAS, sehingga biaya

(35)

(53,5%) keluarga tidak pernah merasa kekurangan dalam pemenuhan kebutuhan

perawatan klien.

Tingkat ekonomi yang baik memungkinkan anggota keluarga untuk

memperoleh kebutuhan yang lebih misalnya di bidang pendidikan, kesehatan,

pengembangan karir dan sebagainya. Demikian juga sebaliknya jika ekonomi

lemah maka menjadi hambatan dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut.

Keadaan sosial ekonomi (kemiskinan, orang tua yang bekerja atau penghasilan

rendah) yang memegang peranan penting dalam meningkatkan status kesehatan

keluarga. Jenis pekerjaan orang tua erat kaitannya dengan tingkat penghasilan dan

lingkungan kerja, dimana bila penghasilan tinggi maka pemanfaatan pelayanan

kesehatan dan pencegahan penyakit juga meningkat, dibandingkan dengan

penghasilan rendah akan berdampak pada kurangnya pemanfaatan pelayanan

kesehatan dalam hal pemeliharaan kesehatan karena daya beli obat maupun biaya

transportasi dalam mengunjungi pusat pelayanan kesehatan (Notoatmodjo, 2003).

Hal ini didukung oleh penelitian Chandra (2004) tentang skizophrenia

Anonymous, A Better Future, faktor ini juga adalah faktor yang paling penting

dikaji keluarga karena pada umumnya kemampuan finansial keluarga klien isolasi

sosial tidak memungkinkan untuk membiayai penyembuhan penyakit yang

cenderung berjalan kronis sehingga kejadian seperti ini memicu tindakan dan

sikap keluarga terhadap penolakan klien isolasi sosial.

Vijay (2005) meneliti tentang Cara Pencegahan dan Pencegahan Gangguan

Jiwa juga mengatakan bahwa perawatan yang dibutuhkan penderita isolasi sosial

(36)

ditimbulkan berupa hilangnya hari produktif untuk mencari nafkah bagi penderita

maupun keluarga yang harus merawat serta tingginya biaya perawatan yang

ditanggung keluarga. Keluarga merasa bahwa biaya perawatan di rumah lebih

murah dibandingkan jika penderita harus dirawat di rumah sakit, sebab tingginya

biaya pengobatan selama di rumah sakit dapat menjadi beban bagi keluarga

sehingga hal ini dapat menyulitkan bagi keluarga.

3. Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan penelitian ini yaitu adanya kemungkinan data dari hasil

penelitian ini tidak menggambarkan jawaban yang sebenarnya dari pendapat

responden, karena bisa terdapat kemungkinan tidak semua responden menjawab

jujur sesuai apa yang dirasakan dengan pernyataan-pernyataan yang ada pada

kuesioner. Keterbatasan lainnya yaitu, penelitian ini tidak dapat melakukan

wawancara secara lebih mendalam terhadap responden, karena penelitian ini

(37)

BAB 6 PENUTUP

1. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan untuk melihat adanya gambaran

faktor-faktor yang mempengaruhi klien isolasi sosial di RSJ Pemprovsu

Medan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

a. Faktor komunikasi keluarga terhadap klien isolasi sosial dikategorikan

baik dengan hasil penelitian 51,7%.

b. Faktor koping keluarga terhadap klien isolasi sosial dikategorikan baik

dengan hasil penelitian 73,2%.

c. Faktor pengetahuan keluarga terhadap klien isolasi sosial dikategorikan

baik dengan hasil penelitian 66%.

d. Faktor biaya pengobatan dan perawatan terhadap klien isolasi sosial

dikategorikan kurang baik dengan hasil penelitian 57,1%.

e. Faktor-faktor yang mempengaruhi klien isolasi sosial baik faktor

komunikasi keluarga, faktor koping keluarga, faktor pengetahuan

keluarga, faktor biaya pengobatan dan perawatan sangat mempengaruhi

proses penyembuhan pada klien isolasi sosial. Apabila keluarga

mendukung dan memotivasi klien dalam perawatan klien maka semakin

(38)

2. Rekomendasi

2.1Rekomendasi bagi Poli Jiwa Pemprovsu Medan

Hasil penelitian ini diharapkan menjadi pertimbangan untuk pihak

rumah sakit agar lebih memperhatikan pelayanan kesehatan, terutama

dalam upaya peningkatan intervensi untuk dapat meningkatkan

pelayanan asuhan keperawatan dan memotivasi klien isolasi sosial dalam

proses penyembuhan.

2.2 Rekomendasi bagi Pendidikan Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan

informasi dalam faktor-faktor yang mempengaruhi klien isolasi sosial

sehingga mempercepat proses penyembuhan pada klien.

2.3 Rekomendasi bagi Penelitian Keperawatan

Diharapkan bagi peneliti selanjutnya untuk melakukan

penelitian lebih lanjut tentang analisis faktor-faktor yang mempengaruhi

(39)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1. Konsep Isolasi Sosial 1.1 Definisi Isolasi Sosial

Isolasi sosial adalah keadaan dimana ketika seseorang mengalami

penurunan bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain

disekitarnya. Pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak

mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain (Jenny dkk, 2012).

Isolasi sosial adalah keadaan dimana individu atau kelompok mengalami

atau merasakan kebutuhan, keinginan untuk meningkatkan keterlibatan dengan

orang lain tetapi tidak membuat kontak. Isolasi sosial merupakan proses

pertahanan diri seseorang terhadap orang lain maupun lingkungan yang

menyebabkan kecemasan pada diri sendiri dengan cara menarik diri secara fsik

dan psikis (Dalami dkk, 2009).

Isolasi sosial adalah penurunan interaksi atau ketidakmampuan untuk

berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya (Keliat dkk, 2011)

1.2 Proses Terjadinya Isolasi Sosial

Salah satu gangguan berhubungan sosial diantaranya isolasi sosial yang

disebabkan perasaan tidak berharga yang bisa dialami klien dengan latar belakang

yang penuh dengan permasalahan, ketegangan, kekecewaan dan kecemasan.

(40)

berhubungan dengan orang lain. Akibatnya klien menjadi regresi atau mundur,

mengalami penurunan dalam aktivitas dan kurangnya terhadap penampilan dan

kebersihan diri. Klien semakin tenggelam dalam perjalinan dan tingkah masa lalu

serta tingkah laku yang tidak sesuai dengan kenyataan, sehingga berakibat lanjut

dengan halusinasi (Dalami dkk, 2009).

1.3 Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Isolasi Sosial 1.3.1 Faktor Predisposisi

Menurut purba dkk, 2008 terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan

isolasi sosial adalah:

a. Faktor Perkembangan

Setiap tahap tumbuh kembang memiliki tugas yang harus dilalui

individu dengan sukses, karena apabila tugas perkembangan ini tidak dapat

dipenuhi, akan menghambat masa perkembangan selanjutnya. Keluarga

adalah tempat pertama yang memberikan pengalaman bagi individu dalam

menjalin hubungan dengan orang lain. Kurangnya stimulasi, kasih sayang,

perhatian dan kehangatan dari ibu/pengasuh pada bayi bayi akan

memberikan rasa tidak aman yang dapat menghambat terbentuknya rasa

percaya diri. Rasa ketidakpercayaan tersebut dapat mengembangkan tingkah

laku curiga pada orang lain maupun lingkungan di kemudian hari.

Komunikasi yang hangat sangat penting dalam masa ini, agar anak tidak

(41)

Tahap-tahap perkembangan individu dalam berhubungan terdiri dari:

a. Masa Bayi

Bayi sepenuhnya tergantung pada orang lain untuk memenuhi kebutuhan

biologis maupun psikologisnya. Konsistensi hubungan antara ibu dan anak,

akan menghasilkan rasa aman dan rasa percaya yang mendasar. Hal ini sangat

penting karena akan mempengaruhi hubungannya dengan lingkungan di

kemudian hari. Bayi yang mengalami hambatan dalam mengembangkan rasa

percaya pada masa ini akan mengalami kesulitan untuk berhubungan dengan

orang lain pada masa berikutnya.

b. Masa Kanak-Kanak

Anak mulai mengembangkan dirinya sebagai individu yang mandiri, mulai

mengenal lingkungannya lebih luas, anak mulai membina hubungan dengan

teman-temannya. Konflik terjadi apabila tingkah lakunya dibatasi atau terlalu

dikontrol, hal ini dapat membuat anak frustasi. Kasih sayang yang tulus, aturan

yang konsisten dan adanya komunikasi terbuka dalam keluarga dapat

menstimulus anak tumbuh menjadi individu yang interdependen, Orang tua

harus dapat memberikan pengarahan terhadap tingkah laku yang diadopsi dari

dirinya, maupun sistem nilai yang harus diterapkan pada anak, karena pada saat

ini anak mulai masuk sekolah dimana ia harus belajar cara berhubungan,

berkompetensi dan berkompromi dengan orang lain.

c. Masa praremaja dan remaja

Pada masa praremaja dan remaja individu mengembangkan hubungan yang

(42)

individu untuk mengenal dan mempelajari perbedaan nilai-nilai yang ada di

masyarakat. Selanjutnya hubungan intim dengan teman sejenis akan

berkembang menjadi hubungan dengan lawan jenis. Pada masa ini hubungan

individu dengan kelompok maupun teman lebih berarti daripada hubungannya

dengan orang tua. Konflik akan terjadi apabila remaja tidak dapat

mempertahankan keseimbangan hubungan tersebut, yang seringkali

menimbulkan perasaan tertekan maupun tergantung pada remaja

d. Masa dewasa muda

Individu meningkatkan kemandiriannya serta mempertahankan hubungan

interdependen antara teman sebaya maupun orang tua. Kematangan ditandai

dengan kemampuan mengekspresikan perasaan pada orang lain dan menerima

perasaan orang lain serta peka terhadap kebutuhan orang lain. Individu siap

untuk membentuk suatu kehidupan baru dengan menikah dan mempunyai

pekerjaan. Karakteristik hubungan interpersonal pada dewasa muda adalah

saling memberi dan menerima (mutuality).

e. Masa Dewasa Tengah

Individu mulai terpisah dengan anak-anaknya, ketergantungan anak-anak

terhadap dirinya menurun. Kesempatan ini dapat digunakan individu untuk

mengembangkan aktivitas baru yang dapat meningkatkan pertumbuhan diri.

Kebahagiaan akan dapat diperoleh dengan tetap mempertahankan hubungan

yang interdependen antara orang tua dengan anak. Individu akan mengalami

berbagai kehilangan baik kehilangan keadaan fisik, kehilangan orang tua,

(43)

kehilangan tersebut ketergantungan pada orang lain akan meningkat, namun

kemandirian yang masih dimiliki harus dapat dipertahankan

f. Masa dewasa akhir

Pada masa ini individu akan mengalami kehilangan, baik kehilangan fisik,

kehilangan orang tua, pasangan hidup, teman, maupun pekerjaan atupun peran.

Dengan adanya kehilangan tersebut ketergantungan pada orang lain akan

meningkat, namun kemandirian yang dimiliki harus dapat dipertahankan.

b. Faktor Komunikasi Dalam Keluarga

Masalah komunikasi dalam keluarga dapat menjadi kontribusi untuk

mengembangkan gangguan tingkah laku.

- Sikap bermusuhan/hostilitas

- Sikap mengancam, merendahkan dan menjelek-jelekkan anak

- Selalu mengkritik, menyalahkan, anak tidak diberi kesempatan untuk

mengungkapkan pendapatnya.

- Kurang kehangatan, kurang memperhatikan ketertarikan pada pembicaraan

anak, hubungan yang kaku antara anggota keluarga, kurang tegur sapa,

komunikasi kurang terbuka, terutama dalam pemecahan masalah tidak

diselesaikan secara terbuka dengan musyawarah.

- Ekspresi emosi yang tinggi

- Double bind (dua pesan yang bertentangan disampaikan saat bersamaan yang

(44)

c. Faktor Sosial Budaya

Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan merupakan faktor

pendukung terjadinya gangguan berhubungan. Dapat juga disebabkan oleh

karena norma-norma yang salah yang dianut oleh satu keluarga.seperti

anggota tidak produktif diasingkan dari lingkungan sosial.

d. Faktor Biologis

Genetik merupakan salah satu faktor pendukung gangguan jiwa.

Insiden tertinggi skizofrenia ditemukan pada keluarga yang anggota keluarga

yang menderita skizofrenia. Berdasarkan hasil penelitian pada kembar

monozigot apabila salah diantaranya menderita skizofrenia adalah 58%,

sedangkan bagi kembar dizigot persentasenya 8%. Kelainan pada struktur

otak seperti atropi, pembesaran ventrikel, penurunan berat dan volume otak

serta perubahan struktur limbik, diduga dapat menyebabkan skizofrenia.

1.2.2 Faktor Presipitasi

Stresor presipitasi terjadinya isolasi sosial dapat ditimbulkan oleh faktor

internal maupun eksternal, meliputi:

a. Stresor Sosial Budaya

Stresor sosial budaya dapat memicu kesulitan dalam berhubungan,

terjadinya penurunan stabilitas keluarga seperti perceraian, berpisah dengan

orang yang dicintai, kehilangan pasangan pada usia tua, kesepian karena

ditinggal jauh, dirawat dirumah sakit atau dipenjara. Semua ini dapat

(45)

b. Stresor Biokimia

- Teori dopamine: Kelebihan dopamin pada mesokortikal dan mesolimbik

serta tractus saraf dapat merupakan indikasi terjadinya skizofrenia.

- Menurunnya MAO (Mono Amino Oksidasi) didalam darah akan

meningkatkan dopamin dalam otak. Karena salah satu kegiatan MAO

adalah sebagai enzim yang menurunkan dopamin, maka menurunnya MAO

juga dapat merupakan indikasi terjadinya skizofrenia.

- Faktor endokrin: Jumlah FSH dan LH yang rendah ditemukan pada pasien

skizofrenia. Demikian pula prolaktin mengalami penurunan karena

dihambat oleh dopamin. Hypertiroidisme, adanya peningkatan maupun

penurunan hormon adrenocortical seringkali dikaitkan dengan tingkah laku

psikotik.

- Viral hipotesis: Beberapa jenis virus dapat menyebabkan gejala-gejala

psikotik diantaranya adalah virus HIV yang dapat merubah stuktur sel- sel

otak.

c. Stresor Biologik dan Lingkungan Sosial

Beberapa peneliti membuktikan bahwa kasus skizofrenia sering terjadi

akibat interaksi antara individu, lingkungan maupun biologis.

d. Stresor Psikologis

Kecemasan yang tinggi akan menyebabkan menurunnya kemampuan

individu untuk berhubungan dengan orang lain. Intesitas kecemasan yang

(46)

mengatasi masalah akan menimbulkan berbagai masalah gangguan

berhubungan pada tipe psikotik.

.

1.4 Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala isolasi sosial dibagi menjadi 2 bagian yaitu :

a. Tanda dan Gejala Subjektif.

Gejala yang ditemukan dengan wawancara memperoleh hasil data

subjektif meliputi klien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh

orang lain, klien merasa tidak aman berada dengan orang lain, klien

mengatakan tidak ada hubungan yang berarti dengan orang lain, klien merasa

bosan dan lambat menghabiskan waktu, klien tidak mampu berkonsentrasi

dan membuat keputusan, klien merasa tidak berguna, klien tidak yakin dapat

melangsungkan hidup (Keliat,2010).

b. Tanda dan Gejala Objektif.

Observasi yang dilakukan pada klien dengan isolasi sosial akan

ditemukan data objektif meliputi tidak memiliki teman dekat, menarik diri,

tidak komunikatif, tindakan berulang dan tidak bermakna, asyik dengan

pikirannya sendiri, tidak ada kontak mata, tampak sedih dan afek tumpul

(Keliat,2010)

Selain itu terdapat beberapa tanda dan gejala objektif dari isolasi sosial

menurut (Dalami dkk, 2008) yaitu apatis, ekspresi wajah sedih, afek tumpul,

menghindar dari orang lain, klien tampak memisahkan diri dari orang lain,

(47)

mata atau kontak mata kurang, klien lebih sering menunduk, berdiam diri di

kamar. Menolak berhubungan dengan orang lain, mengisolasi diri, tidak

melakukan kegiatan sehari-hari, meniru posisi janin pada saat lahir, retensi

urine dan feses, masukan makanan dan minuman terganggu, tidak atau

kurang sadar tehadap lingkungan sekitarnya.

1.5 Penatalaksanaan Medis Pada Isolasi Sosial

Penatalaksanaan klien skizofrenia adalah dengan pemberian obat-obatan dan

tindakan lain, yaitu:

a. Psikofarmakologis

Obat-obatan yang lazim digunakan pada gejala isolasi sosial yang merupakan

gejala psikosis pada klien skizofrenia adalah obat-obatan anti-psikosis.

Adapun kelompok umum yang digunakan adalah :

Tabel 2.2 Jenis obat yang umum digunakan pada pasien isolasi sosial Kelas kimia Nama generik(dagang) Dosis harian

Fenotiazin

(48)

b. Terapi kejang listrik/electro compulsive therapy (ECT)

c. Terapi aktivitas kelompok (TAK)

1.6 Penatalaksanaan Keperawatan Kepada Keluarga Penatalaksanaan keperawatan kepada keluarga yaitu :

1. Tujuan keperawatan

Setelah tindakan keperawatan, keluarga dapat merawat klien isolasi sosial.

2. Penatalaksanaan keperawatan

Keluarga merupakan sistem pendukung utama bagi pasien untuk dapat

membantu pasien mengatasi masalah isolasi sosial ini karena keluargalah yang

selalu bersama-sama dengan klien. Tindakan keperawatan agar keluarga dapat

merawat klien dengan isolasi sosial di rumah meliputi hal-hal berikut :

a. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat klien

isolasi sosial.

b. Menjelaskan tentang masalah isolasi sosial, dampaknya pada klien,

penyebab, cara-cara merawat klien isolasi sosial.

c. Memperagakan cara merawat klien dengan isolasi sosial.

d. Membantu keluarga mempraktikkan cara merawat yang telah dipelajari.

(49)

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Klien Isolasi Sosial 2.1 Komunikasi Keluarga.

2.1.1 Definisi Komunikasi Keluarga

Komunikasi keluarga sebagai suatu simbolik, proses transaksional

menciptakan dan membagi arti dalam keluarga (Friedman,2010).

2.1.2 Jenis Komunikasi

Jenis komunikasi yang terjadi di dalam keluarga yaitu :

a. Komunikasi Fungsional.

Komunikasi fungsional dipandang sebagai kunci bagi sebuah keluarga

yang berhasil dan sehat. Transmisi langsung dan penyambutan terhadap

pesan, baik tingkat instruksi maupun isi dan juga kesesuaian antara tingkat

perintah/instruksi dan isi. Dengan kata lain komunikasi fungsional dalam

keluarga menuntut bahwa maksud dan arti dari pengirim yang dikirim lewat

saluran-saluran yang relatif jelas dan bahwa penerima pesan mempunyai

suatu pemahaman terhadap arti dari pesan itu mirip dengan pengirim.

Komunikasi dalam keluarga yang fungsional mampu berkomunikasi

dengan jelas, saling mendengarkan, dapat menumbuhkan dan

mempertahankan hubungan saling mencintai. Pola komunikasi dalam

keluarga fungsional menunjukkan penerimaan terhadap perbedaan, sikap

menghakimi yang minimum, menghargai keterbukaan, saling menghormati

perasaan dan pikiran. Dengan komunikasi fungsional, anggota keluarga

mampu mengakui kebutuhan dan mengekspresikan emosi satu sama lain.

(50)

kegembiraan atas kebersamaan mereka. Apabila respons mereka terhadap

satu sama lain ceria dan spontan tentunya akan lebih menyenangkan.

b. Komunikasi Disfungsional.

Berbeda dengan komunikasi fungsional, komunikasi disfungsional

didefinisikan sebagai pengirim (transmisi) dan penerima isi dan perintah

pesan yang tidak jelas/tidak langsung atau ketidaksepadanan antara tingkat isi

dan perintah dari pesan. Aspek tidak langsung dari komunikasi disfungsional

menunjukkan kepada pesan-pesan menuju sasaran yang tepat (langsung) atau

dibelokkan dan menuju orang lain dalam keluarga (tidak langsung). Jika

penerimanya disfungsional, maka akan terjadi kegagalan komunikasi karena

pesan tidak diterima sebagaimana diharapkan, mengingat kegagalan penerima

pendengar, memberikan respons yang tidak sesuai, gagal menggali pesan

pengirim, gagal memvalidasi pesan.

Salah satu faktor utama yang menimbulkan pola komunikasi

disfungsional adalah terdapatnya rasa harga diri rendah pada keluarga dan

anggota keluarga banyak menghabiskan waktu untuk memenuhi kebutuhan

pada diri sendiri, tidak dapat toleransi terhadap perbedaan, tidak dapat

memahami pikiran, perasaan, dan perilaku dari anggota keluarga yang lain.

Anggota keluarga hanya memenuhi kebutuhan mereka sendiri sehingga

mereka tidak mempunyai kemampuan untuk empatis. Jika individu harus

memberi, mereka akan melakukannya dengan enggan dan dengan cara

bermusuhan, defensif, dan mengorbankan diri. Dengan demikian

(51)

orang-orang yang memusatkan pada diri sendiri percaya bahwa mereka tidak

bisa kehilangan sekecil apa pun yang mereka berikan. Anggota keluarga yang

berpusat pada diri sendiri dan tidak dapat mengenal toleransi perbedaan juga

tidak dapat mengenal efek dari pikiran, perasaan dan perilaku mereka sendiri

terhadap anggota keluarga yang lain. Mereka juga tidak memahami pikiran,

perasaan dan perilaku keluarga lain.

2.2 Koping Keluarga

2.2.1 Definisi Koping Keluarga

Koping keluarga adalah sebagai proses aktif saat keluarga memanfaatkan

sumber keluarga yang ada dan mengembangkan perilaku serta sumber baru yang

akan memperkuat unit keluarga dan mengurangi dampak peristiwa hidup penuh

stres. Respons atau perilaku koping keluarga adalah tindakan atau kognisi khusus

yang dilakukan keluarga saat beradaptasi terhadap stress. Strategi keluarga dapat

menunjukkan fungsional maupun disfungsional (Friedman dkk, 2010).

2.2.2 Strategi Koping Keluarga

Strategi koping keluarga terbagi atas dua yaitu strategi koping keluarga

fungsional dan strategi koping keluarga disfungsional.

2.2.2.1Strategi Koping Keluarga Fungsional

Strategi koping keluarga fungsional terdiri dari 2 yaitu strategi koping

internal atau intrafamilial (dalam keluarga) dan strategi koping eksternal atau

(52)

1. Strategi Koping Internal atau Intrafamilial (dalam keluarga).

Strategi koping internal terdiri dari :

a. Strategi hubungan.

Cara keluarga mengandalkan kelompok melakukan penjadwalan waktu

dan rutinitas yang terprogram dengan orang-orang disekitarnya sehingga

memiliki kebersamaan untuk berbagi perasaan dan pikiran untuk dapat

mengelola dan mampu beradaptasi terhadap perubahan perkembangan dan

lingkungan.

b. Strategi kognitif.

Keluarga mampu menormalkan situasi dari masalah yang dihadapi,

mengendalikan makna masalah dengan pembingkaian ulang dan penilaian

positif, memecahkan masalah bersama dengan melakukan diskusi

penyelesaian masalah secara bersama-sama, mendapatkan informasi dan

pengetahuan berkenaan dengan stressor yang ada.

c. Strategi komunikasi.

Anggota keluarga menunjukkan sikap keterbukaan dalam berbagi ide

dengan perasaan, kejujuran, pesan yang jelas dan menggunakan humor dan

tawa karena dengan humor dan tawa dapat membantu memperbaiki sikap

keluarga terhadap masalahnya dan perawatan kesehatan serta mengurangi

(53)

2. Strategi Koping Eksternal atau Ekstrafamilial.

a. Strategi komunitas.

Keluarga berperan aktif sebagai anggota atau posisi pimpinan dalam

klub, organisasi dan kelompok komunitas dan memelihara jaringan aktif

dengan komunitas.

b. Strategi dukungan sosial.

Keluarga penting berhubungan dengan dunia sosial khususnya bagi

keluarga yang memiliki masalah kesehatan. Dengan berhubungan dengan

keluarga besar, teman, tetangga, kelompok dapat menjadi tempat berbagi

minat, tujuan, gaya hidup, keterlibatan rekreasional atau identitas sosial.

c. Strategi spiritual.

Kesejahteraan spiritual dapat meningkatkan kemampuan individu atau

keluarga yang mengalami stres seperti pencarian nasehat dari rohaniwan,

lebih terlibat dalam aktivitas keagamaan, memiliki keyakinan terhadap tuhan

dengan berdoa agar penyelesaian masalah teratasi.

2.2.2.2Strategi Koping Keluarga Disfungsional.

Strategi koping keluarga disfungsional terdiri dari :

a. Penyangkalan masalah keluarga.

Keluarga menurunkan ketegangan dengan pengungkapan emosional dengan

cara mengkambinghitamkan, menggunakan ancaman.

b. Pecah dan ketergantungan keluarga.

Untuk mengurangi ketegangan atau stres dalam keluarga, anggota keluarga

(54)

kehilangan anggota keluarga karena pengabaian, perpisahan, atau perceraian, dan

gangguan psikososial anggota keluarga lewat keterlibatan anggota dalam

kecanduan (misalnya alkohol, obat-obatan, berjudi).

c. Kekerasan dalam keluarga

Dengan menggunakan ancaman, mengambinghitamkan dan otoriterianisme

yang ekstrem dapat menyebabkan kekerasan dalam keluarga. Kekerasan dalam

keluarga dapat mengakibatkan cedera berat bagi anggota keluarga yang lain.

Kekerasan dalam rumah tangga sering terkait dengan tekanan sosial dalam

keluarga. Keluarga yang mengalami kekerasan sering kali adalah keluarga yang

terisolasi secara sosial.

2.3 Pengetahuan Keluarga

Pengetahuan keluarga mengenai kesehatan mental merupakan awal usaha

dalam memberikan iklim yang kondusif bagi anggota keluarganya. Keluarga

selain dapat meningkatkan dan mempertahankan kesehatan mental anggota

keluarga, juga dapat menjadi sumber problem bagi anggota keluarga yang

mengalami persoalan kejiwaan keluarganya (Notosoedirdjo & Latipun, 2005).

Pengetahuan keluarga dapat mencakup seperti keluarga mengenal masalah

isolasi sosial yang dialami oleh klien, keluarga dapat memutuskan tindakan

terhadap masalah yang berhubungan dengan isolasi sosial yang diderita klien,

keluarga dapat merawat klien isolasi sosial di rumah, keluarga mengetahui cara

memutuskan isolasi sosial, keluarga mampu menciptakan lingkungan yang

(55)

melakukan kontrol (berobat) ke rumah sakit untuk mengetahui perkembangan

sakitnya (Rasmun, 2001).

Menurut Vijay dalam Henny (2008) mengatakan bahwa sebuah keluarga

dengan penderita isolasi sosial perlu mengetahui dan menyadari keadaan diri

penderita, mengambil keputusan untuk menentukan bagaimana sikap yang

sebaiknya diambil agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan. Banyak

keluarga yang berpendapat bahwa penderita boleh berhenti minum obat (berobat)

apabila gejala-gejala sudah menghilang/berkurang, juga banyak keluarga yang

berpendapat bahwa penderita gangguan jiwa hanya perlu medikasi (obat-obatan)

untuk dapat sembuh saat proses pemulihannya dirumah. Padahal menurut

pengobatan medis, penderita isolasi sosial mesti diobati secara bertahap dan

berkelanjutan. Artinya, dosis pemberian obat bagi penderita isolasi sosial

dilakukan secara bertahap dengan dosis yang semakin lama semakin menurun.

Kalau pemberian obat terputus di tengah jalan, mau tidak mau pemberian obat

harus dilakukan lagi dari awal. Hal ini jelas keliru, terapi bagi penderita gangguan

jiwa bukan hanya pemberian obat dan rehabilitasi medik, namun diperlukan peran

keluarga guna resosialisasi dan pencegahan kekambuhan.

Disamping itu, keluarga juga penting sekali mengetahui cara-cara mengatasi

isolasi sosial jika klien melatih pasien berinteraksi dengan orang lain seperti

jelaskan kepada klien cara berinteraksi dengan orang lain, berikan contoh cara

berbicara dengan orang lain, beri kesempatan kepada klien mempraktekkan cara

berinteraksi dengan orang lain yang dialkukan secara berhadapan dengan orang

(56)

bila sudah menunjukkan kemajuan tingkatkan jumlah interaksi dengan dua orang

atau lebih, dan beri pujian untuk setiap kemajuan interaksi dan siap mendengarkan

ekspresi perasaan setelah berinteraksi dengan orang lain, memberikan aktivitas

kepada klien yaitu keluarga membuat jadwal kegiatan rutin di rumah, seperti

memasak, membersihkan rumah dan sebagainya memberi kesempatan kepada

klien untuk tidak berdiam diri saja. Maka dengan jadwal tersebut akan membantu

memutuskan isolasi sosial pada klien, pemberian obat secara rutin kepada klien

yaitu penggunaan obat-obatan untuk klien isolasi sosial, sehingga perlu diketahui

keluarga cara tepat pemberian obat seperi klien yang benar, obat yang benar, dosis

yang benar, cara pemberian yang benar, dan waktu yang benar (Purba dkk, 2008)

2.4 Biaya Pengobatan dan Perawatan.

Biaya pengobatan dan perawatan adalah biaya yang memenuhi segala

kebutuhan-kebutuhan keluarga khususnya dalam pemenuhan kesehatan. Biaya

pengobatan adalah biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan pelayanan

kesehatan meliputi biaya pemeriksaan, pembelian obat dan pemeriksaan

laboratorium. Dari sisi penyelenggaraan pelayanan kesehatan, biaya pelayanan

kesehatan mempunyai pengertian sejumlah dana yang harus disediakan untuk

dapat menyelenggarakan pelayanan kesehatan, sedangkan dari sisi pengguna jasa,

biaya pelayanan kesehatan mempunyai arti sejumlah dana yang perlu disediakan

oleh pengguna jasa untuk mendapatkan pelayanan kesehatan (Sihombing, 2008).

Biaya perawatan di rumah umumnya lebih hemat daripada biaya perawatan

(57)

memerlukan perawatan substansial dan kompleks. Namun, keluarga dapat

menyerap banyak biaya perawatan di rumah, meliputi medikasi, transportasi,

tempat bernaung, penyedia peralatan, makanan, pakaian, dan pemelihara rumah.

Keluarga umumnya juga memberi sedikitnya beberapa bagian asuhan

keperawatan, beberapa anggota keluarga dapat menjadi pengangguran atau hanya

bekerja paruh waktu untuk tinggal di rumah dalam merawat anggota keluarga

yang sakit. Pengeluaran belanja dan hilangnya penghasilan dapat menjadi beban

keuangan bagi keluarga, dan mereka dapat membutuhkan bantuan dalam

mengevaluasi pilihan dan memenuhi kebutuhan anggota keluarga yang

mengalami isolasi sosisal (Wong, 2008).

Vijay (2005) mengatakan bahwa perawatan yang dibutuhkan penderita

isolasi sosial menimbulkan dampak yang besar bagi keluarga, yaitu dampak

ekonomi yang ditimbulkan berupa hilangnya hari produktif untuk mencari nafkah

bagi penderita maupun keluarga yang harus merawat serta tingginya biaya

perawatan yang ditanggung keluarga. Keluarga merasa bahwa biaya perawatan di

rumah lebih murah dibandingkan jika penderita harus dirawat di rumah sakit,

sebab tingginya biaya pengobatan selama di rumah sakit dapat menjadi beban

(58)

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Keluarga

Berkaitan dengan fungsi keluarga sebagai perawatan kesehatan, terdapat

beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kesehatan keluarga yaitu :

a. Faktor Fisik.

Faktor fisik berkaitan dengan perubahan pola makan, pola istirahat,

maupun pola olahraga yang berubah seiring berjalannya pernikahan antara

dua orang.

b. Faktor Psikis.

Faktor psikis yang mendasari hubungan antar anggota keluarga akan

mempengaruhi tingkat kesehatan keluarga. Perasaan nyaman, tentram, dan

saling mendukung akan membawa dampak positif bagi kesehatan anggota

keluarga.

c. Faktor Sosial Ekonomi.

Hubungan faktor sosial dengan tingkat kesehatan keluarga akan sangat

tampak pada tingkat sosial ekonomi keluarga. Keluarga dengan tingkat sosial

ekonomi yang rendah kemungkinan tidak akan memprioritaskan masalah

kesehatan. Hasil penelitian juga membuktikan bahwa skizofrenia pada

seseorang biasanya berkembang dalam keluarga yang status sosial

ekonominya rendah.

d. Faktor Budaya.

Faktor budaya baik dari segi keyakinan suatu keluarga terhadap fungsi

(59)

sebelumnya, peran dan pola komunikasi keluarga, dan koping keluarga juga

Gambar

Tabel 2. Distribusi frekuensi dan persentase faktor komunikasi keluarga Pernyataan
Tabel 3.Distribusi frekuensi dan persentase faktor koping keluarga
Tabel 4. Distribusi frekuensi dan persentase faktor pengetahuan keluarga
Tabel 5. Distribusi frekuensi dan persentase faktor biaya pengobatan dan
+5

Referensi

Dokumen terkait

10 Mengikuti Penilaian Buku Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam SD sampai SMA, yang diselengakan Oleh BSNP-PUSBUK, di Hotel Safari Garden Csarua Bogor, pada tanggal 18-23 Juni

Sehubungan dengan telah dilakukannya Evaluasi Dokumen Kualifikasi terhadap paket pekerjaan: Pengadaan Jasa Sewa Kendaraan Operasional Institut Agama Islam Negeri

5 Pemakalah dalam Parallel Sessioan dalam rangka Seminar Nasional Membangun Pendidikan dalam Perspektif Karakter dan Kebangsaan dengan judul: Kedudukan al-Ruh dalam

sanggahan tersebut, pada hari ini Rabu tanggal dua puluh sembilan maret dua ribu tujuh. belas, setelah diadakan pendalaman terhadap materi sanggahan dari

Murid mampu menulis kosa kata dan teks yang didengarnya dengan aksara Jawa.. Murid mampu menuliskan kembali kalimat yang didengarnya dengan aksara

Pokja ULP Pengadaan pada Satker Deputi Bidang KB dan KR BKKBN Pusat akan melaksanakan Pelelangan Sederhana dengan Pascakualifikasi untuk paket pekerjaan

Berdasarkan uraian diatas penelitian serta peneitian yang telah dilakukan sebelumnnya, penelitian ini bertujan untuk menguji seberapa besar pengaruh good corporate

Peneliti mencoba menganalisis bagaimana sebenarnya framing berita Kompas tentang politisi perempuan yang terkena kasus korupsi, analisis framing tersebut