Lampiran-1 Lembar Persetujuan Menjadi Responden
Saya yang bertandatangan Anggita Fahrina Nasution dengan NIM.
091101024 adalah mahasiswa Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.
Saat ini saya sedang melakukan penelitian tentang “Analisis Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Klien Isolasi Sosial di RSJ Provsu Medan“. Penelitian ini
merupakan salah satu kegiatan dalam menyelesaikan tugas akhir di Fakultas
Keperawatan Universitas Sumatera Utara.
Saya mohon kesediaan Saudara untuk menjadi responden dalam penelitian
ini. Selanjutnya saya mohon kesediaan Saudara mengisi kuesioner dengan jujur
dan apa adanya. Jika bersedia, silahkan menandatangani lembar persetujuan ini
sebagai bukti kesukarelaan Saudara.
Partisipasi Saudara dalam penelitian ini bersifat sukarela, sehingga
Saudara bebas untuk mengundurkan diri setiap saat tanpa ada saksi apapun.
Identitas pribadi Saudara dan semua informasi yang Saudara berikan akan
dirahasiakan dan hanya akan digunakan untuk keperluan penelitian ini.
Terimakasih atas partisipasi Saudara dalam penelitian ini.
Medan, 1 Juni 2013
Peneliti Responden
Lampiran-2
INSTRUMEN PENELITIAN
Instrument dalam penelitian ini adalah kuesioner data demografi dan
faktor-faktor yang mempengaruhi klien isolasi sosial. Ada dua bagian yang
termasuk di dalam kuesioner ini yaitu :
Bagian 1. Kuesioner Data Demografi
Bagian 2. Kuesioner Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Klien Isolasi
Bagian 1. Kuesioner Data Demografi
INSTRUMEN PENELITIAN
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Klien Isolasi Sosial di Rumah Sakit Jiwa Pemprovsu Medan
Kode responden :
Petunjuk pengisian :
Berilah tanda check list (√) pada salah satu tanda kurung sesuai dengan jawaban Anda.
I. Data Demografi Responden
1. Usia : ... Tahun
2. Jenis kelamin : Laki-laki Perempuan
3. Hubungan dengan klien : Suami Istri Orangtua
Saudara Cucu Keponakan
4. Pendidikan : Tidak tamat SD Tamat SD
Tamat SMP Tamat SMA
Perguruan Tinggi
5. Lama perawatan : ... tahun
Bagian II. Kuesioner faktor-faktor yang mempengaruhi klien isolasi sosial Petunjuk pengisian :
Pilihlah pernyataan di bawah ini dengan memberi tanda check list (√ ) pada salah satu pilihan yang tersedia menurut Saudara yang paling benar sesuai dengan
kenyataan yang Saudara hadapi. Mohon kerja-samanya dalam pengisian kuesioner
di bawah ini, terima kasih.
No. Pernyataan Jawaban
A.Komunikasi Ya Tidak
1. Keluarga selalu siap mendengarkan setiap
masalah yang diceritakan klien.
2. Keluarga selalu berdiskusi terhadap masalah
yang dimiliki klien.
3. Keluarga sering berbeda pendapat dalam
mengambil keputusan untuk merawat klien.
4. Keluarga jarang meluangkan waktu untuk
berbagi dan bercerita bersama klien.
5. Keluarga berusaha mengajak klien agar dapat
menyampaikan perasaan yang dirasakan klien.
B.Koping keluarga Ya Tidak
1. Keluarga mampu menyesuaikan diri terhadap
perubahan yang dimiliki klien.
2. Keluarga memecahkan masalah bersama dengan
bersama-sama.
3. Keluarga mendorong dukungan spiritual kepada
klien agar masalah yang dihadapi klien cepat
selesai.
4. Keluarga menyalahkan terhadap permasalahan
yang dimiliki oleh klien.
5. Keluarga pernah menggunakan kekerasan
sehingga klien makin tertekan.
A. Faktor pengetahuan keluarga Ya Tidak
1. Keluarga memiliki pengetahuan untuk
mempertahankan kesehatan mental klien.
2. Keluarga tidak berusaha mendapat informasi
tentang cara menangani perilaku klien saat ini.
3. Keluarga berusaha tahu tentang obat yang
diberikan pada klien agar klien dapat berperilaku
normal.
4. Keluarga membantu meningkatkan kemampuan
berhubungan pada klien setelah proses pemulihan
dilakukan.
5. Keluarga tidak mengerti dalam menangani
masalah kesehatan mental klien.
B. Faktor biaya pengobatan dan perawatan Ya Tidak
meminimkan biaya pengobatan yang terlalu
tinggi.
2. Keluarga kehilangan hari produktif untuk
mencari nafkah karena harus merawat klien
dalam pemulihan kesehatannya.
3. Keluarga tidak merasa terbebani dengan biaya
pengobatan dan perawatan klien yang terlalu
tinggi.
4. Keluarga lebih mementingkan kebutuhan pokok
dibandingkan kebutuhan biaya perawatan klien.
5. Keluarga tidak pernah merasa kekurangan dalam
LAMPIRAN 3
Tabel 2. Distribusi frekuensi dan persentase faktor komunikasi keluarga
Pernyataan Ya Tidak
N % N %
1. Keluarga selalu siap mendengarkan setiap masalah yang diceritakan klien.
2. Keluarga selalu berdiskusi terhadap masalah yang dimiliki klien.
3. Keluarga sering berbeda pendapat dalam mengambil keputusan untuk merawat klien.
4. Keluarga jarang meluangkan waktu untuk berbagi dan bercerita bersama klien.
Tabel 3.Distribusi frekuensi dan persentase faktor koping keluarga
Pernyataan Ya Tidak
N % N %
1. Keluarga mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan yang dimiliki klien.
2. Keluarga memecahkan masalah bersama dengan melakukan diskusi penyelesaian masalah secara bersama-sama.
3. Keluarga mendorong dukungan spiritual kepada klien agar masalah yang dihadapi klien cepat selesai
4. Keluarga menyalahkan permasalahan yang dimiliki oleh klien.
Tabel 4. Distribusi frekuensi dan persentase faktor pengetahuan keluarga
Pernyataan Ya Tidak
N % N %
1. Keluarga memiliki pengetahuan
untuk mempertahankan kesehatan mental klien.
2. Keluarga tidak berusaha mendapat informasi tentang cara menangani perilaku klien saat ini.
3. Keluarga berusaha tahu tentang obat yang diberikan pada klien agar klien dapat berperilaku normal.
4. Keluarga membantu
meningkatkan kemampuan berhubungan pada klien setelah proses pemulihan dilakukan.
Tabel 5. Distribusi frekuensi dan persentase faktor biaya pengobatan dan
perawatan keluarga
Pernyataan Ya Tidak
N % N %
1. Keluarga merawat klien di rumah untuk meminimkan biaya pengobatan yang terlalu tinggi.
2. Keluarga kehilangan hari produktif untuk mencari nafkah karena harus merawat klien dalam pemulihan kesehatannya.
3. Keluarga tidak merasa terbebani dengan biaya pengobatan dan perawatan klien yang terlalu tinggi.
4. Keluarga lebih mementingkan kebutuhan pokok dibandingkan kebutuhan biaya perawatan klien.
Lampiran 4
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
1. Nama lengkap : Anggita Fahrina Nasution
2. NIM : 091101024
3. Jenis kelamin : Perempuan
4. Tempat/tgl. Lahir : Medan, 2 Mei 1991
5. Alamat lengkap : Jl. Baru no. 17, Medan Tembung
Telp/Fax : -
Hp. : 08566370520
E-mail : anggitafahrina@yahoo.co.id
URL/ : facebook Anggita Fahrina Nasution
6. Status pendidikan :
Semester : 7
Program Studi : S1 Keperawatan
Jurusan : Ilmu Keperawatan
Fakultas : Keperawatan
Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara
7. Riwayat pendidikan :
a. SD (sederajat) : SD Harapan 2 , lulus tahun 2003
b. SMP (Sederajat) : SMP N 16 Medan , lulus tahun 2006
DAFTAR PUSTAKA
Ahyar., 2010. Konsep Diri dan Mekanisme Koping dalam Aplikasi Proses
Keperawatan. diakses 19 April 2010;
http://ahyarwahyudi.wordpress.com/2010/02/11/konsep-diri-dan-mekanisme- koping-dalam-proses-keperawatan/.
Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta :
Rineka Cipta
Badrujaman, A. (2008) . Sosiologi untuk Mahasiswa Keperawatan. Jakarta : Trans
Info Media
Butar Butar, D.O., (2012). Hubungan Pengetahuan Keluarga dengan Tingkat
Kepatuhan Minum Obat Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Provsu Medan. Diakses 16 Juli 2013.
Chandra, L.S. (2004). Schizophrenia Anonymous, A Better Future. Dapat dibuka
pada http://www.kompas.com pada tanggal 22 Mei 2013.
Christensen & Kenney. (2009). Proses Keperawatan Aplikasi Model Konseptual.
Jakarta : EGC
Dalami, E., Suliswati, Rochimah, Suryati, K.R., Lestari, W. (2009). Asuhan
Keperawatan dengan Gangguan Jiwa. Jakarta : Trans Info Media
Dempsey, P.A., & Dempsey, A.D. (2002). Riset Keperawatan : Buku Ajar &
Latihan, Edisi 4 . Jakarta : EGC
Efendi, F & Makhfudli. (2009). Keperawatan Kesehatan Komunitas Teori dan
Praktik dalam Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika
Friedman, M. M., Bowden, V. R., Jones, E. G., (2010). Buku Ajar Keperawatan
Islamie, N.N. (2011). Pengaruh Pengetahuan dan Mekanisme Koping terhadap
Sikap Keluarga untuk Menerima Pasien Gangguan Jiwa (Skizofrenia) yang Telah Tenang di Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara: Program studi S2 ilmu kesehatan masyarakat. Fakultas Kesehatan Masyarakat Unuversitas Sumatera Utara
Keliat, B. A. & Akemat. (2010). Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa.
Jakarta : EGC
Mubarak, I.M. (2009). Ilmu Keperawatan Komunitas : Konsep dan Aplikasi.
Jakarta : Salemba Medika.
Notoadmojo, S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan, edisi revisi. Jakarta :
Rineka Cipta
Notoatmodjo. (2003). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka
Cipta.
Notosoedirdjo, M., & Latipun 2005. Kesehatan Mental Konsep dan Penerapan.
Malang. Universitas Muhammadiyah Malang Press
Nursalam. (2009) . Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu
Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika
Purba, J.M., Wahyuni, S.E., Daulay, W., Nasution, M.L. (2012). Asuhan
Keperawatan pada Klien dengan Masalah Psikososial dan Gangguan Jiwa. Medan : USU Press
Rasmun. (2004) . Stress, Koping, dan Adaptasi. Jakarta. Sagung Seto
Rusmiati, I.T., Nugroho A., Hartoyo M. (2010). Hubungan pola komunikasi
dengan frekuensi kekambuhan perilaku kekerasan di RSJD. Amino Gondohutomo Semarang
Setiadi. (2007). Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan.Yogyakarta : Graha
Ilmu.
Simanjuntak, I.T.M., Daulay W. (2006). Hubungan Pengetahuan Keluarga
dengan Tingkat Kecemasan dalam Menghadapi Anggota Keluarga yang Mengalami Gangguan Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera
Utara.
Supartini, Y. (2004) . Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta : EGC
Suprajitno. (2004) . Asuhan Keperawatan Keluarga Aplikasi dalam Praktik.
Jakarta : EGC
Syafrudin & Meriam. (2010) . Sosial Budaya Dasar untuk Mahasiswa Kebidanan.
Jakarta : Trans Info Media
Wong, L.D. (2008) . Buku Ajar Pediatrik volume satu edisi 6 . Jakarta : EGC
Wiramihardja. (2004). Pengantar Psikologis Klinis. Bandung: PT Refika
Aditama.
Vijay, Chandra, 2005, Cara pencegahan dan pengobatan gangguan jiwa.
http://BaliPost.co.id
Vijay. (2005). Cara Pencegahan dan Pencegahan Gangguan Jiwa. Dapat dibuka
BAB III
KERANGKA PENELITIAN
1.Kerangka Penelitian
Kerangka dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi klien isolasi sosial di RSJ Pemprovsu Medan.
Skema 3.1 Kerangka penelitian tentang analisis faktor-faktor yang mempengaruhi
klien isolasi sosial di RSJ pemprovsu Medan
Keterangan :
: variabel yang diteliti Faktor-faktor yang
mempengaruhi klien
isolasi sosial :
- Komunikasi keluarga
- Koping keluarga
- Pengetahuan keluarga
- Biaya pengobatan dan
perawatan
2. Definisi Operasional
Tabel 3.2 Definisi Operasional
No Variabel Definisi operasional Cara ukur Hasil ukur Skala
1. Faktor-faktor keluarga agar klien dapat bersosialisasi kembali di RSJ Pemprovsu Medan
Kuesioner. Kurang
BAB IV
METODE PENELITIAN
1. Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif,
karena penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi klien isolasi sosial.
2. Populasi dan Sampel Penelitian 2.1 Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh keluarga/wali yang memiliki
anggota keluarga dengan klien isolasi sosial yang terdaftar dan melakukan rawat
jalan di RSJ Provsu Medan. Jumlah populasi dengan isolasi sosial yang
melakukan rawat jalan berjumlah 377klien.
2.2 Sampel Penelitian
Sampel merupakan sebagian dari populasi yang mewakili suatu populasi.
Penentuan besar sampel menurut Arikunto (2006) apabila subjek kurang dari 100
maka populasi dapat menjadi sampel. Jika populasi besar maka dapat diambil
10-15% atau 20-25% sampel atau lebih, tergantung kemampuan peneliti. Sehingga
peneliti menggunakan penentuan besar sampel dengan 15% dari 377 klien dengan
yang memiliki anggota keluarga isolasi sosial yang sedang dirawat jalan di RSJ
Pemprovsu Medan.
Teknik yang digunakan untuk menentukan sampel adalah teknik purposive
sampling yaitu teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel diantara
populasi sesuai dengan yang dikehendaki oleh peneliti sehingga sampel tersebut
mewakili karakteristik populasi (Nursalam,2008). Sampel diperoleh dengan
menentukan kriteria inklusi. Adapun kriteria inklusi yang digunakan yaitu :
a) Keluarga inti yang merawat anggota keluarga yang mengalami isolasi sosial
yang dirawat jalan di RSJ Daerah Pemprovsu Medan.
b) Panca indera berfungsi dengan baik.
c) Bisa membaca dan menulis.
d) Bersedia menjadi partisipan sampai penelitian selesai.
3. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada Juni 2013 di RSJ Pemprovsu Medan. Alasan
pemilihan lokasi ini karena merupakan salah satu RSJ milik pemerintah. RSJ ini
memiliki banyak populasi gangguan jiwa sehingga memudahkan peneliti untuk
mendapatkan data yang memenuhi kriteria sampel yang peneliti inginkan, lokasi
dapat dijangkau oleh peneliti.
4. Pertimbangan Etik
Penelitian ini dilakukan setelah peneliti mendapat persetujuan dari Fakultas
mengurus prosedur penelitian mulai dari izin dari pihak RSJ Provsu Medan.
Karena peneliti menggunakan manusia sebagai subjek penelitian, maka
hakekatnya sebagai manusia harus dilindungi dengan memperhatikan
prinsip-prinsip dalam pertimbangan etik yaitu responden mempunyai hak untuk
memutuskan apakah ia bersedia menjadi subjek atau tanpa ada sanksi apapun dan
responden tidak mengalami kerugian, peneliti harus memberikan penjelasan dan
informasi secara lengkap dan rinci serta bertanggung jawab jika sesuatu yang
terjadi kepada responden.
Responden tidak boleh didiskriminasi jika menolak untuk melanjutkan
menjadi subjek penelitian. Kerahasiaan data responden dijaga, untuk itu perlu
adanya informed concent (meminta kesediaan responden untuk menjadi
responden), anonymity (tanpa nama), dan confidentiality (rahasia), lembar tersebut
hanya diberi nomor dan kode tertentu. Kerahasiaan informasi yang diberikan
responden dijamin oleh peneliti dan data-data yang diperoleh dari responden
mutlak digunakan untuk keperluan penelitian tidak untuk keperluan yang lain.
5. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner. Instrumen
yang digunakan dalam penelitian ini disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan
tinjauan pustaka. Instrumen penelitian terdiri dari 2 bagian yaitu: data demografi,
kuesioner faktor-faktor yang mempengaruhi klien isolasi sosial. Lembar
persetujuan berisi tentang kesediaan untuk menjadi responden yang meliputi:
5.1 Kuesioner Data Demografi
Kuesioner data demografi meliputi : kode responden, usia, jenis kelamin,
hubungan dengan klien, pendidikan, pekerjaan, lama perawatan dan penghasilan.
5.2 Kuesioner Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Klien Isolasi Sosial
Kuesioner faktor-faktor yang mempengaruhi klien isolasi sosial yaitu
dichotomy closed ended dengan skala Guttman. Kuesioner faktor-faktor yang
mempengaruhi klien isolasi sosial ini menggunakan skala nominal. Pada
pertanyaan positif jawaban ya diberi nilai 1 sedangkan jawaban tidak diberi nilai
0. Sebaliknya pada pertanyaan negatif jawaban ya diberi nilai 0 sedangkan
jawaban tidak diberi nilai 1. Kuisioner faktor-faktor yang mempengaruhi klien
isolasi sosial terdiri dari faktor komunikasi, koping keluarga, pengetahuan
keluarga, biaya perawatan dan pengobatan dengan 20 pernyataan.
Kuesioner faktor komunikasi keluarga terdiri dari 5 pernyataan dengan 3
pernyataan positif dan 2 pernyataan negatif. Pernyataan positif (no. 1, 2, 3) dan
pernyaataan negatif (no. 4 dan 5). Total skor terendah faktor komunikasi keluarga
adalah 0 dan total skor tertinggi faktor komunikasi adalah 5.
Kuesioner faktor koping keluarga terdiri dari 5 pernyataan dengan dengan
3 pernyataan positif dan 2pernyataan negatif. Pernyataan positif (no. 1, 3, 4) dan
pernyataan negatif (no. 2 dan 5). Total skor terendah faktor koping keluarga
adalah 0 dan total skor tertinggi faktor koping keluarga adalah 5.
Kuesioner faktor pengetahuan keluarga terdiri dari 5 pernyataan dengan 3
pernyaataan negatif (no. 2 dan 4). Total skor terendah faktor pengetahuan
keluarga adalah 0 dan total skor tertinggi faktor komunikasi adalah 5.
Kuesioner faktor biaya pengobatan dan perawatan terdiri dari 5 pernyataan
dengan dengan 2 pernyataan positif dan 3 pernyataan negatif. Pernyataan positif
(no. 1 dan 5) dan pernyaataan negatif (no. 2, 3, 4). Total skor terendah faktor
biaya pengobatan dan perawatan adalah 0 dan total skor tertinggi biaya
pengobatan dan perawatan adalah 5.
6. Validitas dan Reliabilitas
Validitas pengukuran merupakan prinsip keandalan instrumen dalam
mengumpulkan data. Instrumen harus dapat mengukur apa yang seharusnya
diukur (Nursalam, 2008). Uji validitas yang digunakan pada pengujian ini adalah
validitas isi, yakni sejauh mana instrumen tersebut dapat mewakili faktor yang
diteliti (Dempsey dan Dempsey, 2002). Instrumen pada penelitian ini sudah
dilakukan uji validitas. Uji validitas berupa validitas isi pada tanggal 28 Maret
2013 sampai 29 Maret 2013 oleh salah seorang staf pengajar yang ahli dalam
bidang Keperawatan Jiwa Fakultas Keperawatan USU.
Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat
pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Uji reliabilitas dilakukan pada
10 orang di RSJ Pemprovsu Medan yang sesuai dengan kriteria yang telah
ditentukan sebagai subjek studi, lalu diuji dengan menggunakan rumus KR-21.
isolasi sosial adalah 0,80 sehingga dapat disimpulkan bahwa instrumen yang
digunakan dalam penelitian ini adalah reliabel.
7. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan setelah peneliti menerima surat izin
pengambilan data dari bagian pendidikan Fakultas Keperawatan USU pada
tanggal 6 Maret 2013. Kemudian memberikan surat permohonan izin pelaksanaan
penelitian dengan memberikan surat izin kepada bagian pengkajian di RSJ Daerah
Pemprovsu Medan. Setelah mendapat persetujuan dari pihak RSJ pemprovsu
Medan, selanjutnya peneliti izin kepada kepala ruangan poli kesehatan jiwa untuk
memperkenalkan diri untuk menjelaskan maksud dan tujuan penelitian dilakukan
kepada kepala ruangan poli kesehatan jiwa RSJ daerah pemprovsu medan untuk
melakukan penelitian sampai penelitian selesai.
Selanjutnya peneliti mendata klien isolasi sosial yang dirawat jalan di RSJ
Pemprovsu Medan. Setelah mengetahui data klien yang mengalami isolasi sosial,
peneliti mendatangi keluarga yang sedang menemani anggota keluarganya dalam
mengikuti regimen terapeutik. Sebelum peneliti memperkenalkan diri, peneliti
mengajukan pertanyaan kepada keluarga apakah keluarga yang melakukan
perawatan pada klien mengalami isolasi sosial setelah itu peneliti menjelaskan
maksud dan tujuan dilakukannya penelitian selama ± 5 menit. Kemudian peneliti
meminta kesediaan responden untuk menjadi responden penelitian dengan
memberikan informed concent dan meminta responden untuk mentandatangani
membagikan kuesioner kepada responden dan menjelaskan cara pengisian
kuisioner kepada responden. Setiap resonden diberikan waktu ± 10 menit untuk
menjawab semua pernyataan pada kuesioner.
Setelah responden selesai menjawab semua pernyataan, peneliti memeriksa
kembali kelengkapan jawaban responden dan menyesuaikannya dengan jumlah
kuesioner yang terkumpul. Setelah kuesioner terkumpul, peneliti memberikan
kode nomor kuesioner setiap responden dan mulai menganalisa data yang
diperoleh sama penelitian dalam jangka waktu ± 1 bulan.
8. Analisa Data
Setelah semua data terkumpul, maka dilakukan analisa data melalui beberapa
tahap yakni editing yaitu mengecek nama dan kelengkapan identitas dan data
responden serta memastikan data bahwa semua jawaban telah diisi sesuai
petunjuk, coding yaitu memberi kode atau angka tertentu pada kuesioner untuk
mempermudah waktu mengadakan tabulasi dan analisa. Analisa yaitu
menganalisa data yang telah terkumpul dengan menentukan persentase jawaban
dari setiap responden. Analisa data dilakukan dengan menggunakan teknik
komputerisasi.
Pengolahan data yang sudah diolah disajikan dengan statistik deskriptif yang
terdiri dari frekuensi dan persentase untuk melihat gambaran faktor-faktor yang
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil Penelitian
Bab ini menguraikan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi klien isolasi
sosial pada anggota keluarga yang mengalami isolasi sosial di RSJ Pemprovsu
Medan. Penelitian ini dilaksanakan mulai tanggal 1 Juni 2013. Penelitian ini
dilakukan melalui pengumpulan data dan menggunakan kuesioner terhadap 56
responden yaitu keluarga yang memiliki anggota keluarga yang mengalami isolasi
sosial yang dirawat jalan di Rumah Sakit Jiwa Pemprovsu Medan. Penyajian data
meliputi karakteristik responden, faktor-faktor yang mempengaruhi klien isolasi
sosial di RSJ Pemprovsu Medan.
1.1 Data Demografi
Karakteristik responden dalam penelitian ini adalah keluarga yang memiliki
anggota keluarga isolasi sosial yang dirawat jalan di RSJ pemprovsu Medan.
Responden dalam penelitian ini berjumlah 56 orang keluarga yang mewakili.
Berdasarkan data demografi berjumlah 56 orang terdapat mayoritas responden
berjenis kelamin perempuan berjumlah 40 orang (71,4%), berusia 44-54 tahun
berjumlah 19 orang (33,9%), hubungan dengan klien yaitu orangtua klien
berjumlah 29 orang (58%), pendidikan tamat SMA berjumlah 20 orang (35,7%),
pekerjaan dari responden yaitu sebagai ibu rumah tangga berjumlah 23 orang
(41%), lama perawatan 1-2 tahun berjumlah 19 orang (33,9%), selanjutnya
penghasilan responden yang berjumlah Rp500.0000-1.000.000 berjumlah 34
Tabel 1. Distribusi frekuensi dan persentase berdasarkan karakteristik responden yang mengalami isolasi sosial (n=56)
1.2Gambaran Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Klien Isolasi Sosial
Faktor-faktor yang mempengaruhi klien isolasi sosial yaitu : faktor
komunikasi keluarga, koping keluarga, pengetahuan keluarga, biaya pengobatan
dan perawatan yang dirawat jalan di RSJ Pemprovsu Medan.
Tabel 2. Distribusi frekuensi dan persentase faktor-faktor yang mempengaruhi klien isolasi sosial.
Variabel Frekuensi Persentase (%)
Faktor Komunikasi
Faktor biaya pengobatan dan perawatan
Hasil penelitian yang dilihat dari tabel 5 diatas menunjukkan bahwa mayoritas
keluarga memiliki faktor komunikasi baik sebanyak 51,7%. Berikutnya faktor
koping keluarga baik 73,2%, faktor pengetahuan keluarga yang baik 66%, faktor
2. Pembahasan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Klien Isolasi Sosial 2.1 Komunikasi Keluarga Terhadap Klien Isolasi Sosial
Komunikasi keluarga terhadap klien isolasi sosial yang dirawat jalan di
Pemprovsu Medan diperoleh bahwa sebagian besar responden faktor
komunikasinya baik sebanyak 29 orang (51,7%) sedangkan yang kurang baik
sebanyak 27 orang (48,2%).
Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh mayoritas (51,7%) responden
memiliki komunikasi yang baik kepada klien isolasi sosial artinya pesan yang
dikirim jelas tersampaikan kepada klien isolasi sosial. Ketika anggota keluarga
berkomunikasi selaras dengan konsistensi isi pesan dan intruksi pesan yang
disampaikan kepada klien isolasi sosial. Kata yang diucapkan, perasaan yang
diekspresikan, dan perilaku terhadap klien memungkinkan anggota keluarga untuk
mengenal kebutuhan emosi klien isolasi sosial. Dengan penerapan pola
komunikasi fungsional dalam keluarga dapat menerima perbedaan, menghargai
keterbukaan, saling menghormati perasaan, pikiran, peduli terhadap masalah yang
dihadapi klien isolasi sosial, namun pada keluarga yang paling sehat pun sering
kali masih mengalami permasalahan dalam komunikasi (Friedman dkk, 2010).
Namun, dari hasil penelitian ini dengan hasil (64,2%) keluarga jarang
meluangkan waktu untuk berbagi dan bercerita bersama klien isolasi sosial. Hal
ini sejalan dengan teori yang dinyatakan oleh Dalami (2009) bahwa faktor
komunikasi dalam keluarga dapat mengantar seseorang dalam gangguan
berhubungan dengan orang lain, bila keluarga hanya menginformasikan hal-hal
rendah, komunikasi kurang terbuka terutama dalam pemecahan masalah klien
isolasi sosial yang tidak diselesaikan secara terbuka dengan musyawarah, dan
adanya dua pesan yang bertentangan disampaikan pada saat yang bersamaan,
mengakibatkan klien enggan berkomunikasi dengan orang lain sehingga klien
mengalami isolasi sosial.
Hal ini didukung juga oleh penelitian Rusmiati dkk (2010) tentang Hubungan
Pola Komunikasi dengan Frekuensi Kekambuhan Klien Perilaku Kekerasan
mengatakan pada masa perawatan klien di rumah komunikasi antara anggota
keluarga dengan klien tidak terjalin dengan baik karena keluarga membiarkan
klien untuk diam tanpa diketahui penyebab klien diam. Keluarga diharapkan
menerapkan komunikasi yang fungsional dapat meningkatkan komunikasi yang
efektif sehingga isi pesan dapat dimengerti oleh klien isolasi sosial sedangkan
keluarga dengan komunikasi yang disfungsional diharapkan mampu mengajak
klien berkomunikasi secara terbuka dan jelas sehingga meminimalkan
kekambuhan.
Didukung juga oleh penelitian Chandra (2004) tentang Schizophrenia
Anonymous, A Better Future bahwa keluarga harus bersikap menerima, tetap
berkomunikasi dan tidak mengasingkan klien isolasi sosial. Tindakan kasar,
berantakan atau mengucilkan justru akan membuat penderita semakin depresi
2.2 Koping Keluarga Terhadap Klien Isolasi Sosial
Koping keluarga terhadap klien isolasi sosial yang dirawat jalan di
Pemprovsu Medan diperoleh bahwa sebagian besar responden faktor koping
keluarga baik sebanyak 41 orang (73,2%), yang kurang baik 15 orang yaitu
(26,7%).
Ini menunjukkan bahwa seluruh keluarga yang anggota keluarganya rawat
jalan di Poliklinik Rumah Sakit Jiwa Propinsi Sumatera Utara Medan sudah
memiliki koping keluarga yang baik. Hal ini terlihat hasil penelitian dari sebanyak
responden (76,7%) keluarga mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan yang
dimiliki klien, (69,6%) keluarga memecahkan masalah bersama dengan
melakukan diskusi penyelesaian masalah secara bersama-sama.
. Hal ini juga didukung oleh teori Rasmun (2004), dengan menggunakan
koping yang efektif keluarga dapat beradaptasi terhadap perubahan yang dialami
oleh klien isolasi sosial dan bisa memperbaikan situasi yang lama dan beradaptasi
terhadap perubahan yang baru.Terlihat dari hasil penelitian mayoritas responden
berusia 44-54 tahun (33,9%). Responden termasuk kedalam golongan dewasa
madya yang cukup matang dalam pemberian perawatan dirumah dan dapat
beradaptasi terhadap perubahan masalah yang dialami klien (Potter, 2005)
Hasil penelitian ini juga menunjukkan (92,8%) keluarga mendorong
dukungan spiritual kepada klien agar masalah yang dihadapi klien cepat selesai.
Menurut Chesler dan Barbarin (1987) dalam Friedman (2010), meskipun banyak
orang yang memikirkan upaya mencari dan mengandalkan dukungan spiritual
anggota keluarga menemukan dukungan spiritual ini sebagai suatu cara mengatasi
masalah di dalam keluarga terutama dalam masalah yang dihadapi klien isolasi
sosial. Sesungguhnya kepercayaan kepada Tuhan dan berdoa diidentifikasi oleh
anggota keluarga sebagai cara keluarga untuk mengatasi masalah klien isolasi
sosial. Dukungan spiritual membantu keluarga mentoleransi
ketegangan-ketegangan kronis dan lama serta membantu keutuhan keluarga.
Menurut teori yang dinyatakan Ahyar (2010), ada beberapa faktor yang
memengaruhi strategi koping, diantaranya adalah dukungan sosial. Dukungan
sosial meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan informasi dan emosional pada
klien isolasi sosial yang diberikan oleh anggota keluarga lain ataupun masyarakat
di sekitarnya. Data tersebut didukung juga dengan hasil penelitian ini dengan
mayoritas hubungan responden dengan klien adalah orangtua (51,7%). Peran
sebagai orang tua yaitu bertanggung jawab membesarkan klien, mengendalikan
konflik klien isolasi sosial dalam masyarakat dan memberikan perawatan yang
berkelanjutan pada klien isolasi sosial sehingga ketika klien mengalami isolasi
sosial maka banyak peran yang dilakukan oleh orang tua dalam perawatan klien
(Wong,2008).
Menurut penelitian Chandra (2006) tentang Cara Pencegahan dan Pengobatan
Gangguan Jiwa menegaskan bahwa lingkungan sekitar terutama dalam keluarga
itu sendiri mempunyai reaksi tertentu terhadap klien isolasi sosial yang sudah
pasti berdampak terhadap klien isolasi sosial. Beberapa reaksi dari lingkungan
keluarga yang paling sering ditemukan adalah mengasingkan, mengucilkan,
mengakui sebagai anggota keluarganya, dan tidak komunikatif terhadap klien
isolasi sosial. Dampak dari sikap/perlakuan keluarga terhadap klien isolasi sosial
tersebut menyebabkan klien isolasi sosial sering mengalami kekambuhan dan
menjadi sulit untuk sembuh.
2.3 Pengetahuan Keluarga Terhadap Klien Isolasi Sosial
Pengetahuan keluarga terhadap klien isolasi sosial yang dirawat jalan di
Pemprovsu Medan diperoleh bahwa sebagian besar responden faktor pengetahuan
keluarga yang baik sebanyak 37 orang (66%), yang kurang baik 19 orang
(33,9%).
Ini menunjukkan bahwa seluruh keluarga yang anggota keluarganya rawat
jalan di Poliklinik Rumah Sakit Jiwa Propinsi Sumatera Utara Medan sudah
memiliki pengetahuan yang baik. Hasil penelitian sebanyak (60,7%) responden
mengatakan bahwa keluarga memiliki pengetahuan untuk mempertahankan
kesehatan mental klien terlihat dari (64,3%) keluarga berusaha tahu tentang obat
yang diberikan kepada klien isolasi sosial. Data ini didukung oleh penelitian
Destiny (2012) tentang Hubungan Pengetahuan Keluarga dengan Tingkat
Kepatuhan Minum Obat Pasien Skizofrenia dengan hasil penelitian pengetahuan
keluarga tentang pengobatan pasien dikatakan baik. Pengetahuan berikatan erat
dengan pendidikan seseorang. Pendidikan memberikan kemampuan kepada
seseorang untuk berpikir rasional dalam menghadapi masalah hidup dan akan
berdampak timbulnya suatu proses pengembangan atau pematangan pandangan
tingkat pengetahuan seseorang (Notoadmodjo 2003). Terlihat dari hasil penelitian
mayoritas responden (35,7%) berpendidikan tamat SMA dimana pengetahuan dan
pemahaman responden tentang pengobatan klien isolasi sosial kemungkinan lebih
baik dibandingkan yang berpendidikan rendah.
Berdasarkan penelitian dari badan National Mental Health Association/
NMHA (2001), diperoleh bahwa banyak ketidakmengertian ataupun
kesalahpahaman keluarga mengenai gangguan jiwa, keluarga menganggap bahwa
seseorang yang mengalami gangguan jiwa tidak akan pernah sembuh kembali.
Namun faktanya, NMHA mengemukakan bahwa orang yang mengalami
gangguan jiwa dapat sembuh dan dapat mulai kembali melakukan aktivitasnya
(Foster, 2001).
Data didukung dengan penelitian Simanjuntak dan Daulay (2006) tentang
Hubungan Pengetahuan Keluarga dengan Tingkat Kecemasan dalam Menghadapi
Anggota Keluarga yang Mengalami Gangguan Jiwa dengan hasil penelitian
(59,4%) pengetahuan yang baik. Setelah dibandingkan antara kondisi anggota
keluarga yang berpengetahuan baik dan yang kurang memiliki pengetahuan
baik/tidak peduli diketahui bagaimana perawatan terhadap anggota keluarganya
yang mengalami gangguan jiwa, di mana kondisi keluarga yang berpengetahuan
baik lebih terjaga dibandingkan pada keluarga yang tidak memiliki pengetahuan
yang baik. Sehingga sangat diperlukan bagi keluarga untuk memiliki pengetahuan
yang baik dalam menghadapi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa.
Didukung juga dalam penelitian Islamie (2011) tentang Pengaruh
Pasien Gangguan Jiwa (Skizofrenia) yang Telah Tenang bahwa keluarga berperan
dalam mencegah kekambuhan klien isolasi sosial. Jika keluarga mengetahui
tentang penyakit yang diderita anggota keluarganya maka akan mempengaruhi
proses penerimaan untuk melakukan perawatan kepada klien. Tingkat
pengetahuan juga dipengaruhi motivasi, rasa optimis keluarga untuk mencari
pengobatan yang terbaik bagi klien isolasi sosial. Keluarga juga mendengar
anjuran dan saran dokter untuk melakukan pengobatan terhadap keluarga yang
menderita isolasi sosial tersebut. Hal ini terlihat 64,3% keluarga berusaha tahu
tentang obat yang diberikan pada klien agar klien dapat berperilaku normal.
2.4 Faktor Biaya Pengobatan dan Perawatan Terhadap Klien Isolasi Sosial
Biaya pengobatan dan perawatan terhadap klien isolasi sosial yang dirawat
jalan di Pemprovsu Medan diperoleh bahwa sebagian besar responden faktor
biaya pengobatan dan perawatan kurang baik 32 orang (57,1%), yang baik
sebanyak 24 orang (42,8)%.
Hal ini terlihat dari hasil penelitian diperoleh sebanyak (67,8%) keluarga
merasa terbebani dengan biaya pengobatan dan perawatan klien di rumah sakit
yang terlalu tinggi sehingga keluarga merawat klien di rumah untuk meminimkan
biaya pengobatan yang terlalu tinggi (60,7%). Terlihat dari penghasilan keluarga
yang rendah per bulannya Rp. 500.000-Rp. 1.000.000 dan mayoritas pekerjaan
respnden adalah ibu rumah tangga, namun rata-rata responden memperoleh
bantuan dari pemerintah yang disebut dengan JAMKESMAS, sehingga biaya
(53,5%) keluarga tidak pernah merasa kekurangan dalam pemenuhan kebutuhan
perawatan klien.
Tingkat ekonomi yang baik memungkinkan anggota keluarga untuk
memperoleh kebutuhan yang lebih misalnya di bidang pendidikan, kesehatan,
pengembangan karir dan sebagainya. Demikian juga sebaliknya jika ekonomi
lemah maka menjadi hambatan dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut.
Keadaan sosial ekonomi (kemiskinan, orang tua yang bekerja atau penghasilan
rendah) yang memegang peranan penting dalam meningkatkan status kesehatan
keluarga. Jenis pekerjaan orang tua erat kaitannya dengan tingkat penghasilan dan
lingkungan kerja, dimana bila penghasilan tinggi maka pemanfaatan pelayanan
kesehatan dan pencegahan penyakit juga meningkat, dibandingkan dengan
penghasilan rendah akan berdampak pada kurangnya pemanfaatan pelayanan
kesehatan dalam hal pemeliharaan kesehatan karena daya beli obat maupun biaya
transportasi dalam mengunjungi pusat pelayanan kesehatan (Notoatmodjo, 2003).
Hal ini didukung oleh penelitian Chandra (2004) tentang skizophrenia
Anonymous, A Better Future, faktor ini juga adalah faktor yang paling penting
dikaji keluarga karena pada umumnya kemampuan finansial keluarga klien isolasi
sosial tidak memungkinkan untuk membiayai penyembuhan penyakit yang
cenderung berjalan kronis sehingga kejadian seperti ini memicu tindakan dan
sikap keluarga terhadap penolakan klien isolasi sosial.
Vijay (2005) meneliti tentang Cara Pencegahan dan Pencegahan Gangguan
Jiwa juga mengatakan bahwa perawatan yang dibutuhkan penderita isolasi sosial
ditimbulkan berupa hilangnya hari produktif untuk mencari nafkah bagi penderita
maupun keluarga yang harus merawat serta tingginya biaya perawatan yang
ditanggung keluarga. Keluarga merasa bahwa biaya perawatan di rumah lebih
murah dibandingkan jika penderita harus dirawat di rumah sakit, sebab tingginya
biaya pengobatan selama di rumah sakit dapat menjadi beban bagi keluarga
sehingga hal ini dapat menyulitkan bagi keluarga.
3. Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan penelitian ini yaitu adanya kemungkinan data dari hasil
penelitian ini tidak menggambarkan jawaban yang sebenarnya dari pendapat
responden, karena bisa terdapat kemungkinan tidak semua responden menjawab
jujur sesuai apa yang dirasakan dengan pernyataan-pernyataan yang ada pada
kuesioner. Keterbatasan lainnya yaitu, penelitian ini tidak dapat melakukan
wawancara secara lebih mendalam terhadap responden, karena penelitian ini
BAB 6 PENUTUP
1. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan untuk melihat adanya gambaran
faktor-faktor yang mempengaruhi klien isolasi sosial di RSJ Pemprovsu
Medan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
a. Faktor komunikasi keluarga terhadap klien isolasi sosial dikategorikan
baik dengan hasil penelitian 51,7%.
b. Faktor koping keluarga terhadap klien isolasi sosial dikategorikan baik
dengan hasil penelitian 73,2%.
c. Faktor pengetahuan keluarga terhadap klien isolasi sosial dikategorikan
baik dengan hasil penelitian 66%.
d. Faktor biaya pengobatan dan perawatan terhadap klien isolasi sosial
dikategorikan kurang baik dengan hasil penelitian 57,1%.
e. Faktor-faktor yang mempengaruhi klien isolasi sosial baik faktor
komunikasi keluarga, faktor koping keluarga, faktor pengetahuan
keluarga, faktor biaya pengobatan dan perawatan sangat mempengaruhi
proses penyembuhan pada klien isolasi sosial. Apabila keluarga
mendukung dan memotivasi klien dalam perawatan klien maka semakin
2. Rekomendasi
2.1Rekomendasi bagi Poli Jiwa Pemprovsu Medan
Hasil penelitian ini diharapkan menjadi pertimbangan untuk pihak
rumah sakit agar lebih memperhatikan pelayanan kesehatan, terutama
dalam upaya peningkatan intervensi untuk dapat meningkatkan
pelayanan asuhan keperawatan dan memotivasi klien isolasi sosial dalam
proses penyembuhan.
2.2 Rekomendasi bagi Pendidikan Keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan
informasi dalam faktor-faktor yang mempengaruhi klien isolasi sosial
sehingga mempercepat proses penyembuhan pada klien.
2.3 Rekomendasi bagi Penelitian Keperawatan
Diharapkan bagi peneliti selanjutnya untuk melakukan
penelitian lebih lanjut tentang analisis faktor-faktor yang mempengaruhi
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
1. Konsep Isolasi Sosial 1.1 Definisi Isolasi Sosial
Isolasi sosial adalah keadaan dimana ketika seseorang mengalami
penurunan bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain
disekitarnya. Pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak
mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain (Jenny dkk, 2012).
Isolasi sosial adalah keadaan dimana individu atau kelompok mengalami
atau merasakan kebutuhan, keinginan untuk meningkatkan keterlibatan dengan
orang lain tetapi tidak membuat kontak. Isolasi sosial merupakan proses
pertahanan diri seseorang terhadap orang lain maupun lingkungan yang
menyebabkan kecemasan pada diri sendiri dengan cara menarik diri secara fsik
dan psikis (Dalami dkk, 2009).
Isolasi sosial adalah penurunan interaksi atau ketidakmampuan untuk
berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya (Keliat dkk, 2011)
1.2 Proses Terjadinya Isolasi Sosial
Salah satu gangguan berhubungan sosial diantaranya isolasi sosial yang
disebabkan perasaan tidak berharga yang bisa dialami klien dengan latar belakang
yang penuh dengan permasalahan, ketegangan, kekecewaan dan kecemasan.
berhubungan dengan orang lain. Akibatnya klien menjadi regresi atau mundur,
mengalami penurunan dalam aktivitas dan kurangnya terhadap penampilan dan
kebersihan diri. Klien semakin tenggelam dalam perjalinan dan tingkah masa lalu
serta tingkah laku yang tidak sesuai dengan kenyataan, sehingga berakibat lanjut
dengan halusinasi (Dalami dkk, 2009).
1.3 Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Isolasi Sosial 1.3.1 Faktor Predisposisi
Menurut purba dkk, 2008 terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan
isolasi sosial adalah:
a. Faktor Perkembangan
Setiap tahap tumbuh kembang memiliki tugas yang harus dilalui
individu dengan sukses, karena apabila tugas perkembangan ini tidak dapat
dipenuhi, akan menghambat masa perkembangan selanjutnya. Keluarga
adalah tempat pertama yang memberikan pengalaman bagi individu dalam
menjalin hubungan dengan orang lain. Kurangnya stimulasi, kasih sayang,
perhatian dan kehangatan dari ibu/pengasuh pada bayi bayi akan
memberikan rasa tidak aman yang dapat menghambat terbentuknya rasa
percaya diri. Rasa ketidakpercayaan tersebut dapat mengembangkan tingkah
laku curiga pada orang lain maupun lingkungan di kemudian hari.
Komunikasi yang hangat sangat penting dalam masa ini, agar anak tidak
Tahap-tahap perkembangan individu dalam berhubungan terdiri dari:
a. Masa Bayi
Bayi sepenuhnya tergantung pada orang lain untuk memenuhi kebutuhan
biologis maupun psikologisnya. Konsistensi hubungan antara ibu dan anak,
akan menghasilkan rasa aman dan rasa percaya yang mendasar. Hal ini sangat
penting karena akan mempengaruhi hubungannya dengan lingkungan di
kemudian hari. Bayi yang mengalami hambatan dalam mengembangkan rasa
percaya pada masa ini akan mengalami kesulitan untuk berhubungan dengan
orang lain pada masa berikutnya.
b. Masa Kanak-Kanak
Anak mulai mengembangkan dirinya sebagai individu yang mandiri, mulai
mengenal lingkungannya lebih luas, anak mulai membina hubungan dengan
teman-temannya. Konflik terjadi apabila tingkah lakunya dibatasi atau terlalu
dikontrol, hal ini dapat membuat anak frustasi. Kasih sayang yang tulus, aturan
yang konsisten dan adanya komunikasi terbuka dalam keluarga dapat
menstimulus anak tumbuh menjadi individu yang interdependen, Orang tua
harus dapat memberikan pengarahan terhadap tingkah laku yang diadopsi dari
dirinya, maupun sistem nilai yang harus diterapkan pada anak, karena pada saat
ini anak mulai masuk sekolah dimana ia harus belajar cara berhubungan,
berkompetensi dan berkompromi dengan orang lain.
c. Masa praremaja dan remaja
Pada masa praremaja dan remaja individu mengembangkan hubungan yang
individu untuk mengenal dan mempelajari perbedaan nilai-nilai yang ada di
masyarakat. Selanjutnya hubungan intim dengan teman sejenis akan
berkembang menjadi hubungan dengan lawan jenis. Pada masa ini hubungan
individu dengan kelompok maupun teman lebih berarti daripada hubungannya
dengan orang tua. Konflik akan terjadi apabila remaja tidak dapat
mempertahankan keseimbangan hubungan tersebut, yang seringkali
menimbulkan perasaan tertekan maupun tergantung pada remaja
d. Masa dewasa muda
Individu meningkatkan kemandiriannya serta mempertahankan hubungan
interdependen antara teman sebaya maupun orang tua. Kematangan ditandai
dengan kemampuan mengekspresikan perasaan pada orang lain dan menerima
perasaan orang lain serta peka terhadap kebutuhan orang lain. Individu siap
untuk membentuk suatu kehidupan baru dengan menikah dan mempunyai
pekerjaan. Karakteristik hubungan interpersonal pada dewasa muda adalah
saling memberi dan menerima (mutuality).
e. Masa Dewasa Tengah
Individu mulai terpisah dengan anak-anaknya, ketergantungan anak-anak
terhadap dirinya menurun. Kesempatan ini dapat digunakan individu untuk
mengembangkan aktivitas baru yang dapat meningkatkan pertumbuhan diri.
Kebahagiaan akan dapat diperoleh dengan tetap mempertahankan hubungan
yang interdependen antara orang tua dengan anak. Individu akan mengalami
berbagai kehilangan baik kehilangan keadaan fisik, kehilangan orang tua,
kehilangan tersebut ketergantungan pada orang lain akan meningkat, namun
kemandirian yang masih dimiliki harus dapat dipertahankan
f. Masa dewasa akhir
Pada masa ini individu akan mengalami kehilangan, baik kehilangan fisik,
kehilangan orang tua, pasangan hidup, teman, maupun pekerjaan atupun peran.
Dengan adanya kehilangan tersebut ketergantungan pada orang lain akan
meningkat, namun kemandirian yang dimiliki harus dapat dipertahankan.
b. Faktor Komunikasi Dalam Keluarga
Masalah komunikasi dalam keluarga dapat menjadi kontribusi untuk
mengembangkan gangguan tingkah laku.
- Sikap bermusuhan/hostilitas
- Sikap mengancam, merendahkan dan menjelek-jelekkan anak
- Selalu mengkritik, menyalahkan, anak tidak diberi kesempatan untuk
mengungkapkan pendapatnya.
- Kurang kehangatan, kurang memperhatikan ketertarikan pada pembicaraan
anak, hubungan yang kaku antara anggota keluarga, kurang tegur sapa,
komunikasi kurang terbuka, terutama dalam pemecahan masalah tidak
diselesaikan secara terbuka dengan musyawarah.
- Ekspresi emosi yang tinggi
- Double bind (dua pesan yang bertentangan disampaikan saat bersamaan yang
c. Faktor Sosial Budaya
Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan merupakan faktor
pendukung terjadinya gangguan berhubungan. Dapat juga disebabkan oleh
karena norma-norma yang salah yang dianut oleh satu keluarga.seperti
anggota tidak produktif diasingkan dari lingkungan sosial.
d. Faktor Biologis
Genetik merupakan salah satu faktor pendukung gangguan jiwa.
Insiden tertinggi skizofrenia ditemukan pada keluarga yang anggota keluarga
yang menderita skizofrenia. Berdasarkan hasil penelitian pada kembar
monozigot apabila salah diantaranya menderita skizofrenia adalah 58%,
sedangkan bagi kembar dizigot persentasenya 8%. Kelainan pada struktur
otak seperti atropi, pembesaran ventrikel, penurunan berat dan volume otak
serta perubahan struktur limbik, diduga dapat menyebabkan skizofrenia.
1.2.2 Faktor Presipitasi
Stresor presipitasi terjadinya isolasi sosial dapat ditimbulkan oleh faktor
internal maupun eksternal, meliputi:
a. Stresor Sosial Budaya
Stresor sosial budaya dapat memicu kesulitan dalam berhubungan,
terjadinya penurunan stabilitas keluarga seperti perceraian, berpisah dengan
orang yang dicintai, kehilangan pasangan pada usia tua, kesepian karena
ditinggal jauh, dirawat dirumah sakit atau dipenjara. Semua ini dapat
b. Stresor Biokimia
- Teori dopamine: Kelebihan dopamin pada mesokortikal dan mesolimbik
serta tractus saraf dapat merupakan indikasi terjadinya skizofrenia.
- Menurunnya MAO (Mono Amino Oksidasi) didalam darah akan
meningkatkan dopamin dalam otak. Karena salah satu kegiatan MAO
adalah sebagai enzim yang menurunkan dopamin, maka menurunnya MAO
juga dapat merupakan indikasi terjadinya skizofrenia.
- Faktor endokrin: Jumlah FSH dan LH yang rendah ditemukan pada pasien
skizofrenia. Demikian pula prolaktin mengalami penurunan karena
dihambat oleh dopamin. Hypertiroidisme, adanya peningkatan maupun
penurunan hormon adrenocortical seringkali dikaitkan dengan tingkah laku
psikotik.
- Viral hipotesis: Beberapa jenis virus dapat menyebabkan gejala-gejala
psikotik diantaranya adalah virus HIV yang dapat merubah stuktur sel- sel
otak.
c. Stresor Biologik dan Lingkungan Sosial
Beberapa peneliti membuktikan bahwa kasus skizofrenia sering terjadi
akibat interaksi antara individu, lingkungan maupun biologis.
d. Stresor Psikologis
Kecemasan yang tinggi akan menyebabkan menurunnya kemampuan
individu untuk berhubungan dengan orang lain. Intesitas kecemasan yang
mengatasi masalah akan menimbulkan berbagai masalah gangguan
berhubungan pada tipe psikotik.
.
1.4 Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala isolasi sosial dibagi menjadi 2 bagian yaitu :
a. Tanda dan Gejala Subjektif.
Gejala yang ditemukan dengan wawancara memperoleh hasil data
subjektif meliputi klien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh
orang lain, klien merasa tidak aman berada dengan orang lain, klien
mengatakan tidak ada hubungan yang berarti dengan orang lain, klien merasa
bosan dan lambat menghabiskan waktu, klien tidak mampu berkonsentrasi
dan membuat keputusan, klien merasa tidak berguna, klien tidak yakin dapat
melangsungkan hidup (Keliat,2010).
b. Tanda dan Gejala Objektif.
Observasi yang dilakukan pada klien dengan isolasi sosial akan
ditemukan data objektif meliputi tidak memiliki teman dekat, menarik diri,
tidak komunikatif, tindakan berulang dan tidak bermakna, asyik dengan
pikirannya sendiri, tidak ada kontak mata, tampak sedih dan afek tumpul
(Keliat,2010)
Selain itu terdapat beberapa tanda dan gejala objektif dari isolasi sosial
menurut (Dalami dkk, 2008) yaitu apatis, ekspresi wajah sedih, afek tumpul,
menghindar dari orang lain, klien tampak memisahkan diri dari orang lain,
mata atau kontak mata kurang, klien lebih sering menunduk, berdiam diri di
kamar. Menolak berhubungan dengan orang lain, mengisolasi diri, tidak
melakukan kegiatan sehari-hari, meniru posisi janin pada saat lahir, retensi
urine dan feses, masukan makanan dan minuman terganggu, tidak atau
kurang sadar tehadap lingkungan sekitarnya.
1.5 Penatalaksanaan Medis Pada Isolasi Sosial
Penatalaksanaan klien skizofrenia adalah dengan pemberian obat-obatan dan
tindakan lain, yaitu:
a. Psikofarmakologis
Obat-obatan yang lazim digunakan pada gejala isolasi sosial yang merupakan
gejala psikosis pada klien skizofrenia adalah obat-obatan anti-psikosis.
Adapun kelompok umum yang digunakan adalah :
Tabel 2.2 Jenis obat yang umum digunakan pada pasien isolasi sosial Kelas kimia Nama generik(dagang) Dosis harian
Fenotiazin
b. Terapi kejang listrik/electro compulsive therapy (ECT)
c. Terapi aktivitas kelompok (TAK)
1.6 Penatalaksanaan Keperawatan Kepada Keluarga Penatalaksanaan keperawatan kepada keluarga yaitu :
1. Tujuan keperawatan
Setelah tindakan keperawatan, keluarga dapat merawat klien isolasi sosial.
2. Penatalaksanaan keperawatan
Keluarga merupakan sistem pendukung utama bagi pasien untuk dapat
membantu pasien mengatasi masalah isolasi sosial ini karena keluargalah yang
selalu bersama-sama dengan klien. Tindakan keperawatan agar keluarga dapat
merawat klien dengan isolasi sosial di rumah meliputi hal-hal berikut :
a. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat klien
isolasi sosial.
b. Menjelaskan tentang masalah isolasi sosial, dampaknya pada klien,
penyebab, cara-cara merawat klien isolasi sosial.
c. Memperagakan cara merawat klien dengan isolasi sosial.
d. Membantu keluarga mempraktikkan cara merawat yang telah dipelajari.
2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Klien Isolasi Sosial 2.1 Komunikasi Keluarga.
2.1.1 Definisi Komunikasi Keluarga
Komunikasi keluarga sebagai suatu simbolik, proses transaksional
menciptakan dan membagi arti dalam keluarga (Friedman,2010).
2.1.2 Jenis Komunikasi
Jenis komunikasi yang terjadi di dalam keluarga yaitu :
a. Komunikasi Fungsional.
Komunikasi fungsional dipandang sebagai kunci bagi sebuah keluarga
yang berhasil dan sehat. Transmisi langsung dan penyambutan terhadap
pesan, baik tingkat instruksi maupun isi dan juga kesesuaian antara tingkat
perintah/instruksi dan isi. Dengan kata lain komunikasi fungsional dalam
keluarga menuntut bahwa maksud dan arti dari pengirim yang dikirim lewat
saluran-saluran yang relatif jelas dan bahwa penerima pesan mempunyai
suatu pemahaman terhadap arti dari pesan itu mirip dengan pengirim.
Komunikasi dalam keluarga yang fungsional mampu berkomunikasi
dengan jelas, saling mendengarkan, dapat menumbuhkan dan
mempertahankan hubungan saling mencintai. Pola komunikasi dalam
keluarga fungsional menunjukkan penerimaan terhadap perbedaan, sikap
menghakimi yang minimum, menghargai keterbukaan, saling menghormati
perasaan dan pikiran. Dengan komunikasi fungsional, anggota keluarga
mampu mengakui kebutuhan dan mengekspresikan emosi satu sama lain.
kegembiraan atas kebersamaan mereka. Apabila respons mereka terhadap
satu sama lain ceria dan spontan tentunya akan lebih menyenangkan.
b. Komunikasi Disfungsional.
Berbeda dengan komunikasi fungsional, komunikasi disfungsional
didefinisikan sebagai pengirim (transmisi) dan penerima isi dan perintah
pesan yang tidak jelas/tidak langsung atau ketidaksepadanan antara tingkat isi
dan perintah dari pesan. Aspek tidak langsung dari komunikasi disfungsional
menunjukkan kepada pesan-pesan menuju sasaran yang tepat (langsung) atau
dibelokkan dan menuju orang lain dalam keluarga (tidak langsung). Jika
penerimanya disfungsional, maka akan terjadi kegagalan komunikasi karena
pesan tidak diterima sebagaimana diharapkan, mengingat kegagalan penerima
pendengar, memberikan respons yang tidak sesuai, gagal menggali pesan
pengirim, gagal memvalidasi pesan.
Salah satu faktor utama yang menimbulkan pola komunikasi
disfungsional adalah terdapatnya rasa harga diri rendah pada keluarga dan
anggota keluarga banyak menghabiskan waktu untuk memenuhi kebutuhan
pada diri sendiri, tidak dapat toleransi terhadap perbedaan, tidak dapat
memahami pikiran, perasaan, dan perilaku dari anggota keluarga yang lain.
Anggota keluarga hanya memenuhi kebutuhan mereka sendiri sehingga
mereka tidak mempunyai kemampuan untuk empatis. Jika individu harus
memberi, mereka akan melakukannya dengan enggan dan dengan cara
bermusuhan, defensif, dan mengorbankan diri. Dengan demikian
orang-orang yang memusatkan pada diri sendiri percaya bahwa mereka tidak
bisa kehilangan sekecil apa pun yang mereka berikan. Anggota keluarga yang
berpusat pada diri sendiri dan tidak dapat mengenal toleransi perbedaan juga
tidak dapat mengenal efek dari pikiran, perasaan dan perilaku mereka sendiri
terhadap anggota keluarga yang lain. Mereka juga tidak memahami pikiran,
perasaan dan perilaku keluarga lain.
2.2 Koping Keluarga
2.2.1 Definisi Koping Keluarga
Koping keluarga adalah sebagai proses aktif saat keluarga memanfaatkan
sumber keluarga yang ada dan mengembangkan perilaku serta sumber baru yang
akan memperkuat unit keluarga dan mengurangi dampak peristiwa hidup penuh
stres. Respons atau perilaku koping keluarga adalah tindakan atau kognisi khusus
yang dilakukan keluarga saat beradaptasi terhadap stress. Strategi keluarga dapat
menunjukkan fungsional maupun disfungsional (Friedman dkk, 2010).
2.2.2 Strategi Koping Keluarga
Strategi koping keluarga terbagi atas dua yaitu strategi koping keluarga
fungsional dan strategi koping keluarga disfungsional.
2.2.2.1Strategi Koping Keluarga Fungsional
Strategi koping keluarga fungsional terdiri dari 2 yaitu strategi koping
internal atau intrafamilial (dalam keluarga) dan strategi koping eksternal atau
1. Strategi Koping Internal atau Intrafamilial (dalam keluarga).
Strategi koping internal terdiri dari :
a. Strategi hubungan.
Cara keluarga mengandalkan kelompok melakukan penjadwalan waktu
dan rutinitas yang terprogram dengan orang-orang disekitarnya sehingga
memiliki kebersamaan untuk berbagi perasaan dan pikiran untuk dapat
mengelola dan mampu beradaptasi terhadap perubahan perkembangan dan
lingkungan.
b. Strategi kognitif.
Keluarga mampu menormalkan situasi dari masalah yang dihadapi,
mengendalikan makna masalah dengan pembingkaian ulang dan penilaian
positif, memecahkan masalah bersama dengan melakukan diskusi
penyelesaian masalah secara bersama-sama, mendapatkan informasi dan
pengetahuan berkenaan dengan stressor yang ada.
c. Strategi komunikasi.
Anggota keluarga menunjukkan sikap keterbukaan dalam berbagi ide
dengan perasaan, kejujuran, pesan yang jelas dan menggunakan humor dan
tawa karena dengan humor dan tawa dapat membantu memperbaiki sikap
keluarga terhadap masalahnya dan perawatan kesehatan serta mengurangi
2. Strategi Koping Eksternal atau Ekstrafamilial.
a. Strategi komunitas.
Keluarga berperan aktif sebagai anggota atau posisi pimpinan dalam
klub, organisasi dan kelompok komunitas dan memelihara jaringan aktif
dengan komunitas.
b. Strategi dukungan sosial.
Keluarga penting berhubungan dengan dunia sosial khususnya bagi
keluarga yang memiliki masalah kesehatan. Dengan berhubungan dengan
keluarga besar, teman, tetangga, kelompok dapat menjadi tempat berbagi
minat, tujuan, gaya hidup, keterlibatan rekreasional atau identitas sosial.
c. Strategi spiritual.
Kesejahteraan spiritual dapat meningkatkan kemampuan individu atau
keluarga yang mengalami stres seperti pencarian nasehat dari rohaniwan,
lebih terlibat dalam aktivitas keagamaan, memiliki keyakinan terhadap tuhan
dengan berdoa agar penyelesaian masalah teratasi.
2.2.2.2Strategi Koping Keluarga Disfungsional.
Strategi koping keluarga disfungsional terdiri dari :
a. Penyangkalan masalah keluarga.
Keluarga menurunkan ketegangan dengan pengungkapan emosional dengan
cara mengkambinghitamkan, menggunakan ancaman.
b. Pecah dan ketergantungan keluarga.
Untuk mengurangi ketegangan atau stres dalam keluarga, anggota keluarga
kehilangan anggota keluarga karena pengabaian, perpisahan, atau perceraian, dan
gangguan psikososial anggota keluarga lewat keterlibatan anggota dalam
kecanduan (misalnya alkohol, obat-obatan, berjudi).
c. Kekerasan dalam keluarga
Dengan menggunakan ancaman, mengambinghitamkan dan otoriterianisme
yang ekstrem dapat menyebabkan kekerasan dalam keluarga. Kekerasan dalam
keluarga dapat mengakibatkan cedera berat bagi anggota keluarga yang lain.
Kekerasan dalam rumah tangga sering terkait dengan tekanan sosial dalam
keluarga. Keluarga yang mengalami kekerasan sering kali adalah keluarga yang
terisolasi secara sosial.
2.3 Pengetahuan Keluarga
Pengetahuan keluarga mengenai kesehatan mental merupakan awal usaha
dalam memberikan iklim yang kondusif bagi anggota keluarganya. Keluarga
selain dapat meningkatkan dan mempertahankan kesehatan mental anggota
keluarga, juga dapat menjadi sumber problem bagi anggota keluarga yang
mengalami persoalan kejiwaan keluarganya (Notosoedirdjo & Latipun, 2005).
Pengetahuan keluarga dapat mencakup seperti keluarga mengenal masalah
isolasi sosial yang dialami oleh klien, keluarga dapat memutuskan tindakan
terhadap masalah yang berhubungan dengan isolasi sosial yang diderita klien,
keluarga dapat merawat klien isolasi sosial di rumah, keluarga mengetahui cara
memutuskan isolasi sosial, keluarga mampu menciptakan lingkungan yang
melakukan kontrol (berobat) ke rumah sakit untuk mengetahui perkembangan
sakitnya (Rasmun, 2001).
Menurut Vijay dalam Henny (2008) mengatakan bahwa sebuah keluarga
dengan penderita isolasi sosial perlu mengetahui dan menyadari keadaan diri
penderita, mengambil keputusan untuk menentukan bagaimana sikap yang
sebaiknya diambil agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan. Banyak
keluarga yang berpendapat bahwa penderita boleh berhenti minum obat (berobat)
apabila gejala-gejala sudah menghilang/berkurang, juga banyak keluarga yang
berpendapat bahwa penderita gangguan jiwa hanya perlu medikasi (obat-obatan)
untuk dapat sembuh saat proses pemulihannya dirumah. Padahal menurut
pengobatan medis, penderita isolasi sosial mesti diobati secara bertahap dan
berkelanjutan. Artinya, dosis pemberian obat bagi penderita isolasi sosial
dilakukan secara bertahap dengan dosis yang semakin lama semakin menurun.
Kalau pemberian obat terputus di tengah jalan, mau tidak mau pemberian obat
harus dilakukan lagi dari awal. Hal ini jelas keliru, terapi bagi penderita gangguan
jiwa bukan hanya pemberian obat dan rehabilitasi medik, namun diperlukan peran
keluarga guna resosialisasi dan pencegahan kekambuhan.
Disamping itu, keluarga juga penting sekali mengetahui cara-cara mengatasi
isolasi sosial jika klien melatih pasien berinteraksi dengan orang lain seperti
jelaskan kepada klien cara berinteraksi dengan orang lain, berikan contoh cara
berbicara dengan orang lain, beri kesempatan kepada klien mempraktekkan cara
berinteraksi dengan orang lain yang dialkukan secara berhadapan dengan orang
bila sudah menunjukkan kemajuan tingkatkan jumlah interaksi dengan dua orang
atau lebih, dan beri pujian untuk setiap kemajuan interaksi dan siap mendengarkan
ekspresi perasaan setelah berinteraksi dengan orang lain, memberikan aktivitas
kepada klien yaitu keluarga membuat jadwal kegiatan rutin di rumah, seperti
memasak, membersihkan rumah dan sebagainya memberi kesempatan kepada
klien untuk tidak berdiam diri saja. Maka dengan jadwal tersebut akan membantu
memutuskan isolasi sosial pada klien, pemberian obat secara rutin kepada klien
yaitu penggunaan obat-obatan untuk klien isolasi sosial, sehingga perlu diketahui
keluarga cara tepat pemberian obat seperi klien yang benar, obat yang benar, dosis
yang benar, cara pemberian yang benar, dan waktu yang benar (Purba dkk, 2008)
2.4 Biaya Pengobatan dan Perawatan.
Biaya pengobatan dan perawatan adalah biaya yang memenuhi segala
kebutuhan-kebutuhan keluarga khususnya dalam pemenuhan kesehatan. Biaya
pengobatan adalah biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan meliputi biaya pemeriksaan, pembelian obat dan pemeriksaan
laboratorium. Dari sisi penyelenggaraan pelayanan kesehatan, biaya pelayanan
kesehatan mempunyai pengertian sejumlah dana yang harus disediakan untuk
dapat menyelenggarakan pelayanan kesehatan, sedangkan dari sisi pengguna jasa,
biaya pelayanan kesehatan mempunyai arti sejumlah dana yang perlu disediakan
oleh pengguna jasa untuk mendapatkan pelayanan kesehatan (Sihombing, 2008).
Biaya perawatan di rumah umumnya lebih hemat daripada biaya perawatan
memerlukan perawatan substansial dan kompleks. Namun, keluarga dapat
menyerap banyak biaya perawatan di rumah, meliputi medikasi, transportasi,
tempat bernaung, penyedia peralatan, makanan, pakaian, dan pemelihara rumah.
Keluarga umumnya juga memberi sedikitnya beberapa bagian asuhan
keperawatan, beberapa anggota keluarga dapat menjadi pengangguran atau hanya
bekerja paruh waktu untuk tinggal di rumah dalam merawat anggota keluarga
yang sakit. Pengeluaran belanja dan hilangnya penghasilan dapat menjadi beban
keuangan bagi keluarga, dan mereka dapat membutuhkan bantuan dalam
mengevaluasi pilihan dan memenuhi kebutuhan anggota keluarga yang
mengalami isolasi sosisal (Wong, 2008).
Vijay (2005) mengatakan bahwa perawatan yang dibutuhkan penderita
isolasi sosial menimbulkan dampak yang besar bagi keluarga, yaitu dampak
ekonomi yang ditimbulkan berupa hilangnya hari produktif untuk mencari nafkah
bagi penderita maupun keluarga yang harus merawat serta tingginya biaya
perawatan yang ditanggung keluarga. Keluarga merasa bahwa biaya perawatan di
rumah lebih murah dibandingkan jika penderita harus dirawat di rumah sakit,
sebab tingginya biaya pengobatan selama di rumah sakit dapat menjadi beban
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Keluarga
Berkaitan dengan fungsi keluarga sebagai perawatan kesehatan, terdapat
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kesehatan keluarga yaitu :
a. Faktor Fisik.
Faktor fisik berkaitan dengan perubahan pola makan, pola istirahat,
maupun pola olahraga yang berubah seiring berjalannya pernikahan antara
dua orang.
b. Faktor Psikis.
Faktor psikis yang mendasari hubungan antar anggota keluarga akan
mempengaruhi tingkat kesehatan keluarga. Perasaan nyaman, tentram, dan
saling mendukung akan membawa dampak positif bagi kesehatan anggota
keluarga.
c. Faktor Sosial Ekonomi.
Hubungan faktor sosial dengan tingkat kesehatan keluarga akan sangat
tampak pada tingkat sosial ekonomi keluarga. Keluarga dengan tingkat sosial
ekonomi yang rendah kemungkinan tidak akan memprioritaskan masalah
kesehatan. Hasil penelitian juga membuktikan bahwa skizofrenia pada
seseorang biasanya berkembang dalam keluarga yang status sosial
ekonominya rendah.
d. Faktor Budaya.
Faktor budaya baik dari segi keyakinan suatu keluarga terhadap fungsi
sebelumnya, peran dan pola komunikasi keluarga, dan koping keluarga juga