• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Penjatuhan Putusan Bebas (Vrijspraak) Terhadap Terdakwa Tindak Pidana Narkotika Dalam Kaitannya Dengan Sistem Peradilan Pidana Terpadu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Penjatuhan Putusan Bebas (Vrijspraak) Terhadap Terdakwa Tindak Pidana Narkotika Dalam Kaitannya Dengan Sistem Peradilan Pidana Terpadu"

Copied!
171
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Ali, Zainuddin, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta

Arief, Barda Nawawi, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,

Prenada Media Group, Jakarta

Dirdjosisworo, Soedjono, 1987, Hukum Narkotika Indonesia, Penerbit

Alumni, Bandung

Ediwarman, 2015, Monograf Metodologi Penelitian Hukum : Panduan

Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi”, PT. Sofmedia, Medan

Fuady, Munir, 2009, Teori Negara Hukum Modern (Rechstaat), PT Refika

Aditama, Bandung.

Gultom, Binsar, 2008, Pandangan Kritis Sorang Hakim (Jilid II), Pustaka

Bangsa Press, Medan

Hamdan, M, 1997, Politik Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta

Hamzah, Andi, 1985, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia

Indonesia, Jakarta

Hamzah, Andi dan Surachman, R.M., 1994, Kejahatan Narkotika dan

Psikotropika, Sinar Grafika, Jakarta

Harahap, M. Yahya, 2008, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan

KUHAP-Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan

(2)

---, 2009, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan

KUHAP-Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika. Jakarta

Husein, Harun M, 1992 Kasasi Sebagai Upaya Hukum, Sinar Grafika, Jakarta

Kansil, C.S.T. dan Kansil, Christine S.T., 2005, Pokok-Pokok Hukum Pidana,

PT Pradnya Paramita, Jakarta

Kanter, E.Y. dan Sianturi, S.R., 2012, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia

dan Penerapannya, Penerbit Storia Grafika, Jakarta

Kuffal, H.M.A., 2004, Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum, UMM

Press, Malang

Makaro, Moh. Taufik, 2005, Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia,

Bogor

Marpaung, Leden, 1997, Proses Tuntutan Ganti Kerugian dan Rehabilitasi

dalam Hukum Pidana, Penerbit PT Rajagrafindo Persada, Jakarta

---, 1995, Putusan Bebas: Masalah dan Pemecahannya,

Sinar Grafika, Jakarta

---, 1992, Proses Penanganan Perkara Pidana-Bagian

Pertama: Penyidikan dan Penyelidikan, Sinar Grafika, Jakarta

---, 1992, Proses Penanganan Perkara Pidana-Bagian

Kedua: Di Kejaksaan dan Pengadilan Negeri Upaya Hukum dan

Eksekusi, Sinar Grafika, Jakarta

Moelyatno. 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta

Mulyadi, Lilik, 2014, Seraut Wajah Putusan Hakim dalam Hukum Acara

(3)

---, 2010, Kompilasi Hukum Pidana Dalam Perspektif Teoretis

Dan Praktik Peradilan, Penerbit CV. Mandar Maju, Bandung, 2010

---, 2007, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoretis, Praktik dan

Permasalahannya, PT Alumni, Bandung

Mulyadi, Mahmud, 2009, Kepolisian Dalam Sistem Peradilan Pidana”, USU

Press, Medan

Prodjohamidjojo, Martiman, 1986, Ganti Rugi dan Rehabilitasi, Ghalia

Indonesia, Jakarta

Sabuan, Ansori, dkk., 1990, Hukum Acara Pidana, Penerbit Angkasa,

Bandung

Sasangka, Hari, 2003, Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana,

Penerbit Mandar Maju, Bandung

Siswanto, S, 2012, Politik Hukum Dalam Undang-Undang Narkotika,

Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 2012

Soekanto, Soerjono, 2005, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan

Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta

Waluyo, Bambang, 1991, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika,

Jakarta

Wisnubroto, Al, 1997, Hakim dalam Peradilan di Indonesia, Penerbitan

Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta

B. Perundang-Undangan

(4)

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika

(KUHAP)

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 11 Tahun 1985 tentang Permohonan

Rehabilitasi Dari Terdakwa Yang Dibebaskan Atau Dilepas Dari Segala

Tuntutan Hukum

C. Putusan

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 2280 K/Pid.Sus/2012

Putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi Nomor: 701/Pid.B/2010/PN-TTD

D. Website

15.09

(5)
(6)

BAB III

FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PENJATUHAN PUTUSAN BEBAS TERHADAP TINDAK PIDANA NARKOTIKA

Hukum Pidana adalah hukum yang mengatur tentang

pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan

mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau

siksaan.66

KUHAP adalah Undang-Undang tentang “Hukum Acara Pidana”. Hal ini

jelas dicantumkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981. Hukum acara pidana

disebut juga “hukum pidana formil” yang mengatur cara-cara mempertahankan

“hukum pidana materiel”. 67

Diantara aparat penegak hukum yang paling dominan dalam melaksanakan

penegakan hukum adalah: Hakim. Hakim inilah yang pada akhirnya menentukan

putusan terhadap suatu perkara atas dasar hukum dan keadilan sesuai dengan hati

nuraninya.68

Perihal “putusan hakim” atau “putusan pengadilan” merupakan aspek

penting dan diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana. Oleh karena itu, Kecermatan, ketelitian serta kebijaksanaan-kebijaksanaan memahami

akan setiap hal yang terungkap di persidangan merupakan syarat yang harus

dimiliki oleh setiap Hakim.

66

C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, PT Pradnya Paramita, Jakarta, 2005, Halaman 3

67

Leden Marpaung (Buku I), Proses Penanganan Perkara Pidana-Bagian Pertama: Penyidikan dan Penyelidikan, Sinar Grafika, Jakarta, 1992 Halaman 154

68

Al. Wisnubroto, Hakim dalam Peradilan di Indonesia, Penerbitan Universitas Atma Jaya

(7)

dapatlah dikonklusikan lebih jauh bahwasanya “putusan hakim” di satu pihak

berguna bagi terdakwa memperoleh kepastian hukum (rechtszekerheids) tentang

“statusnya” dan sekaligus dapat mempersiapkan langkah berikutnya terhadap

putusan tersebut dalam artian berupa menerima putusan ataupun melakukan upaya

hukum verzet, banding atau kasasi, melakukan grasi, dan sebagainya. Sedangkan

di lain pihak, apabila ditelaah melalui visi Hakim yang mengadili perkara, putusan

hakim merupakan “mahkota” sekaligus “puncak” pencerminan nilai-nilai

keadilan; kebenaran hakiki; hak asasi manusia; penguasaan hukum atau fakta

secara mapan, mumpuni dan faktual, serta visualisasi etika, mentalitas, dan

moralitas dari Hakim yang bersangkutan.69

Dalam KUHAP, pengertian putusan diatur dalam Pasal 1 angka 11 yang

berbunyi: “Pernyataan Hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka,

yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum

dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”70

Leden Marpaung memberikan pengertian putusan hakim adalah hasil atau

kesimpulan dari sesuatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai dengan

semasak-masaknya yang dapat berbentuk tertulis maupun lisan.71

Sedangkan menurut Lilik Mulyadi

72

69

Lilik Mulyadi (Buku II), opcit, Halaman 129

70

Undang – Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 1

71

Leden Marpaung (Buku II), Proses Penanganan Perkara Pidana-Bagian Kedua: Di Kejaksaan dan Pengadilan Negeri Upaya Hukum dan Eksekusi, Sinar Grafika, Jakarta, 1992, Halaman 406

72

Lilik Mulyadi (Buku II), opcit, Halaman 131

, dengan berlandaskan pada visi

teoretis dan praktik maka “putusan hakim” itu merupakan putusan yang diucapkan

(8)

untuk umum setelah melakukan proses dan prosedural hukum acara pidana pada

umumnya berisikan amar pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari segala

tuntutan hukum dibuat dalam bentuk tertulis dengan tujuan penyelesaian

perkaranya.

Di dalam sistem Hukum Acara Pidana, pada pokoknya dikenal dua jenis

putusan pengadilan, yaitu73

1. Jenis yang pertama adalah putusan pengadilan yang bukan merupakan

putusan akhir, yaitu: :

a. Putusan yang berisi pernyataan tidak berwenangnya pengadilan untuk

memeriksa suatu perkara (onbevoegde verklaring), Pasal 148 ayat (1)

KUHAP. Contoh, perkara yang diajukan penuntut umum bukan

merupakan kewenangan pengadilan yang bersangkutan melainkan

kewenangan pengadilan lain.

b. Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan/surat dakwaan penuntut

umum batal (nietig verklaring van de acte van verwijzing) Pasal 156

ayaut (1) KUHAP. Dalam hal ini misalnya surat dakwaan jaksa tidak

memenuhi Pasal 143 ayat (3) KUHAP, yaitu tidak dicantumkannya

waktu dan tempat tindak pidana dilakukan di dalam surat dakwaan.

c. Putusan yang berisi pernyataan bahwa dakwaan penuntut umum tidak

dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard) Pasal 156 ayat (1)

KUHAP. Misalnya, perkara yang diajukan oleh penuntut umum sudah

daluarsa, nebis in idem, perkara yang memerlukan syarat aduan

73

(9)

(klacht delict), penuntutan seorang penerbit yang telah memenuhi

syarat Pasal 61 dan 62 KUHP.

2. Jenis yang kedua adalah jenis putusan pengadilan yang merupakan putusan

akhir (eind vonnis), yaitu:

a. Putusan yang menyatakan terdakwa dibebaskan dari dakwaan

(vrijspraak) – Pasal 191 ayat (1) KUHAP.

b. Putusan yang menyatakan bahwa terdakwa dilepaskan dari segala

tuntutan hukuman (ontslag van alle rechtsvervolging) – Pasal 191 ayat

(2) KUHAP.

c. Putusan yang berisi suatu pemidanaan (verordening) – Pasal 193 ayat

(1) KUHAP.

Ad.a. Putusan Bebas (Vrijspraak)

Apabila berdasarkan hasil musyawarah Majelis Hakim

sebagaimana diatur dalam Pasal 182 ayat (6) KUHAP, pengadilan negeri

berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa

atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan

meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas (Pasal 191 ayat (1) KUHAP).74

Kalau pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan

kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu Ad.b. Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum

74

(10)

tindak pidana, maka terdakwa diputus “lepas dari segala tuntutan hukum.”

(Pasal 191 ayat (2) KUHAP).75

a. Apa yang didakwakan kepada terdakwa memang terbukti secara sah

dan meyakinkan;

Pada masa yang lalu putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum

disebut dengan onslag van recht vervolging, yang sama maksudnya

dengan Pasal 191 ayat (2), yakni putusan pelepasan dari segala tuntutan

hukum, berdasar kriteria:

b. Tetapi sekalipun terbukti, hakim berpendapat bahwa perbuatan yang

didakwakan tidak merupakan tindak pidana.76

Disini dapat dikatakan hal yang melandasi putusan pelepasan,

terletak pada kenyataan apa yang didakwakan dan yang telah terbukti

tersebut “tidak merupakan tindak pidana”, tetapi termasuk ruang lingkup

hukum perdata atau hukum adat.77

Dalam hal Majelis Hakim pengadilan berpendapat bahwa terdakwa

terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana

yang didakwakan kepadanya maka pengadilan menjatuhkan pidana. Ad.c. Putusan Pemidanaan

78

Pada hakikatnya putusan pemidanaan merupakan putusan Hakim

yang berisikan suatu perintah kepada terdakwa untuk menjalani hukuman

atas perbuatan yang dilakukannya sesuai dengan amar putusan.79

75

Ibid.

76

M. Yahya Harahap (Buku I), opcit, Halaman 331

77

Ibid.

78

(11)

Apabila Hakim menjatuhkan putusan pemidanaan maka Hakim

telah yakin berdasarkan alat-alat bukti yang sah serta fakta-fakta di

persidangan bahwa terdakwa melakukan perbuatan sebagaimana dalam

surat dakwaan. Lebih tepatnya, Hakim tidak melanggar ketentuan Pasal

183 KUHAP.80

Secara teoretik, putusan bebas dalam rumpun hukum Eropa Kontinental lazim disebut dengan isilah putusan “Vrijspraak”, sedangkan dalam rumpun

Anglo-Saxon disebut putusan “Acquittall”. Pada asasnya esensi putusan bebas

terjadi karena terdakwa dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan

bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan Jaksa/Penuntut

Umum dalam surat dakwaan. Konkretnya, terdakwa dibebaskan dari segala

tuntutan hukum. Atau untuk singkatnya lagi terdakwa “tidak dijatuhi pidana”.81

Menurut Leden Marpaung

Putusan bebas dirumuskan dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang

bunyinya sebagai berikut:

“Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalaham terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa diputuskan bebas”.

82

79

Lilik Mulyadi (Buku III), Hukum Acara Pidana – Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi dan Putusan Pengadilan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1966, Halaman 127

80

Ibid.

81

Lilik Mulyadi (Buku IV), Hukum Acara Pidana Normatif, Teoretis, Praktik dan Permasalahannya, PT Alumni, Bandung, 2007 opcit, Halaman 217

82

Leden Marpaung (Buku III), Putusan Bebas: Masalah dan Pemecahannya, Sinar Grafika, Jakarta, 1995, Halaman 49

, rumusan Pasal 191 ayat (1) diatas dapat

(12)

hanya karena kesalahan terdakwa tidak terbukti pada pemeriksaan di sidang.

Tetapi dengan memperhatikan penjelasan resmi Pasal 191 ayat (1) tersebut, maka

kekeliruan penafsiran dapat dicegah karena penjelasan tersebut berbunyi:

“yang dimaksud dengan “perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti sah dan meyakinkan” adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian Hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana ini”.

Dengan perkataan lain, baik kesalahan terdakwa dan/atau perbuatan yang

didakwakan tidak terbukti berdasarkan alat bukti sah yang ditentukan Pasal 184

KUHAP pada pemeriksaan di sidang pengadilan.

Kata “meyakinkan” pada rumusan Pasal 191 ayat (1) KUHAP dalam

masyarakat masih sering keliru menafsirkannya sehingga dengan alat bukti yang

diajukan menurut orang yang mengajukannya wajib meyakinkan Hakim tanpa

memperkirakan alat-alat bukti lain yang dapat menimbulkan keragu-raguan. 83

Argumentasi Penuntut Umum maupun Penasihat Hukum baik mengenai

kesalahan terdakwa, perbuatan yang didakwakan maupun berkenaan dengan alat

bukti sah, memerlukan kejelian dan kecermatan untuk mempertimbangkan,

sehingga terhadap sesuatu hal harus betul-betul meyakinkan. Jika tidak

meyakinkan atau menimbulkan keragu-raguan maka Hakim wajib

membebaskannya.84

Faktor-faktor penyebab terjadinya putusan bebas oleh Hakim menurut M.

Yahya Harahap

85

83

Ibid.

84

Ibid.

85

(13)

3.1Tidak Memenuhi Asas Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif

Pembuktian yang diperoleh di persidangan tidak cukup membuktikan

terdakwa dan sekaligus kesalahan terdakwa yang tidak cukup terbukti itu, tidak

diyakini oleh Hakim.86

Secara tekhnis yuridis penjatuhan hukuman terhadap semua pelaku tindak

pidana atau Terdakwa termasuk Terdakwa pelaku tindak pidana narkotika,

didasarkan kepada pembuktian yakni Pasal 183 KUHAP yang menyatakan,

Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan

sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa

suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah

melakukannya.87

Semua Putusan merujuk kepada ketentuan Pasal 183 KUHAP di atas, oleh

karena itu penjatuhan putusan terhadap Terdakwa pelaku tindak pidana narkotika,

akan dijatuhkan putusan bebas, maka faktor-faktor sebagai dasar hukumnya murni

faktor yuridis yaitu, jika alat bukti yang diajukan Penuntut Umum tidak dapat

membuktikan dan memberikan keyakinan bagi hakim bahwa Terdakwa yang

didakwa tersebut terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan.88

86

Ibid.

87

Hasil Wawancara dengan Bapak Dr. Berlian Napitupulu SH., Mhum., selaku Hakim di Pengadilan Negeri Medan, tanggal 18 Februari 2016

88

(14)

Dalam praktik peradilan mengenai alat bukti menurut Pasal 184 ayat (1)

KUHAP dikenal adanya lima macam alat bukti, yaitu89

1. Keterangan saksi

:

2. Keterangan ahli

3. Surat

4. Petunjuk, dan

5. Keterangan Terdakwa

Berbicara mengenai alat bukti erat kaitannya dengan pembuktian.

Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan dalam proses

pemeriksaan sidang pengadilan. Melalui pembuktian ditentukan nasib terdakwa.

Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang

“tidak cukup” membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa,

terdakwa “dibebaskan” dari hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan terdakwa

dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP,

terdakwa dinyatakan “bersalah” dan akan dijatuhkan hukuman. Oleh karena itu

Hakim harus hati-hati, cermat dan matang menilai dan mempertimbangkan nilai

pembuktian. Meneliti sampai dimana batas minimum “kekuatan pembuktian” atau

bewijs kracht dari setiap alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP.90

Selanjutnya dalam rangka menerapkan “pembuktian”, Hakim lalu bertitik

tolak pada “sistem pembuktian” dengan tujuan mengetahui bagaimana cara

meletakkan suatu hasil pembuktian terhadap perkara yang sedang diadilinya.

Secara teoretis guna menerapkan sistem pembuktian asasnya dalam ilmu

89

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 184 ayat (1)

90

(15)

pengetahuan hukum acara pidana dikenal adanya tiga teori tentang sistem

pembuktian, yaitu91

1. Sistem Pembuktian Menurut Undang-undang Secara Positif (Positief

Wettelijke Bewijs Theorie) :

Pada dasarnya sistem pembuktian menurut undang-undang secara

positif berkembang sejak Abad Pertengahan. Menurut teori ini, sistem

pembuktian positif bergantung pada alat-alat bukti sebagaimana disebut

limitatif dalam undang-undang. Dalam aspek ini Hakim terikat pada

adagium jika alat-alat bukti tersebut telah sesuai dengan ketentuan

undang-undang, Hakim harus menentukan terdakwa bersalah walaupun

Hakim “berkeyakinan” bahwa sebenarnya terdakwa tidak bersalah.

Begitupun sebaliknya, apabila tidak dapat dipenuhi alat bukti sebagaimana

ditetapkan undang-undang, Hakim harus menyatakan terdakwa tidak

bersalah walaupun menurut “keyakinannya” sebenarnya terdakwa

bersalah. Dengan demikian, pada hakikatnya sistem atau teori pembuktian

berdasarkan undang-undang secara positif (positief wettelijke) ini berusaha

untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif Hakim dan mengikat

Hakim secara ketat menurut peraturan-peraturan pembuktian yang keras.

Hal ini dianut di Eropa pada waktu berlakunya asas inkuisitor (inquisitoir)

dalam Hukum Acara Pidana.

2. Sistem Pembuktian menurut Keyakinan Hakim (Conviction

Intime/Conviction Raisonce)

91

(16)

Pada sistem pembuktian berdasarkan keyakinan Hakim, maka Hakim

dapat menjatuhkan putusan berdasarkan “keyakinan” belaka dengan tidak

terikat oleh suatu peraturan (bloot gemoedelijke overtuiging, conviction

intime). Dalam perkembangannya lebih lanjut sistem pembuktian

berdasarkan keyakinan Hakim mempunyai dua bentuk polarisasi, yaitu

“conviction intime” dan “conviction raisonce”.

Melalui sistem pembuktian “conviction intime” kesalahan terdakwa

bergantung pada “keyakinan” belaka sehingga Hakim tidak terikat oleh

suatu peraturan. Dengan demikian, putusan Hakim disini tampak timbul

nuansa subjektifnya.

Keyakinan Hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa.

Dari mana Hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak

menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan

disimpulkan Hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang

pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan

Hakim, dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan

terdakwa. Sistem pembuktian conviction in time ini sudah tentu

mengandung kelemahan. Hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada

seorang terdakwa semata-mata atas “dasar keyakinan” belaka tanpa

didukung oleh alat bukti yang cukup. Sebaliknya Hakim leluasa

(17)

kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang

lengkap, selama Hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa.92

Sedangkan pada sistem pembuktian “conviction raisonee”, keyakinan

Hakim tetap memegang peranan penting untuk menentukan tentang

kesalahan terdakwa. Akan tetapi, penerapan keyakinan Hakim tersebut

dilakukan secara selektif dalam artian keyakinan Hakim “dibatasi” dengan

harus didukung oleh “alasan-alasan jelas dan rasional” dalam mengambil

keputusan. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa

yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Tegasnya

keyakinan Hakim dalam sistem conviction raisonee, harus dilandasi

reasoning atau alasan-alasan, dan reasoning itu harus “reasonable”, yakni

berdasar alasan yang dapat diterima.Keyakinan Hakim harus mempunyai

dasar-dasar alasan yang logis dan benar-benar dapat diterima akal. Tidak

semata-mata atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa uraian alasan yang

masuk akal93

3. Sistem Pembuktian Menurut Undang-Undang secara Negatif (Negatief

Wettelijke Bewijs Theorie) .

Pada prinsipnya sistem pembuktian menurut undang-undang secara

negatif menentukan bahwa Hakim hanya boleh manjatuhkan pidana

terhadap terdakwa jika alat bukti tersebut secara limitatif ditentukan oleh

undang-undang dan didukung pula oleh adanya keyakinan Hakim terhadap

eksistensinya alat-alat bukti tersebut.

92

M. Yahya Harahap (Buku II), opcit. Halaman 277

93

(18)

Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif

“menggabungkan” ke dalam dirinya secara terpadu sistem pembuktian

menurut keyakinan dengan sistem pembuktian menurut undang-undang

secara negatif”. Seorang terdakwa baru dapat dinyatakan bersalah apabila

kesalahan yang didakwakan kepadanya dapat dibuktikan dengan cara dan

dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang serta sekaligus

keterbuktian kesalahan itu “dibarengi” dengan keyakinan Hakim. Dengan

demikian sistem ini memadukan unsur “objektif” dan “subjektif” dalam

menentukan salah atau tidaknya terdakwa.94

Dalam ketentuan Pasal 183 KUHAP terkandung dua asas; Pertama, asas

pembuktian menurut undang-undang secara negatif, yang mengajarkan prinsip

hukum pembuktian, di samping kesalahan terdakwa cukup terbukti, harus pula

dibarengi dengan keyakinan Hakim akan kebenaran kesalahan terdakwa. Kedua,

Pasal 183 KUHAP juga mengandung asas batas minimum pembuktian, yang

dianggap cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa harus dengan

sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Maka bertitik tolak dari kedua asas yang diatur

Sistem pembuktian yang dianut dalam KUHAP adalah sistem pembuktian

menurut undang-undang secara negatif. Hal ini didasarkan pada Pasal 183

KUHAP, yang berbunyi: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang

kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia

memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa

terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

94

(19)

dalam Pasal 183 KUHAP, dihubungkan dengan Pasal 191 ayat (1) KUHAP,

putusan bebas pada umumnya didasarkan pada penilaian dan pendapat Hakim95

a. Kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa sama sekali tidak terbukti,

semua alat bukti yang diajukan di persidangan baik berupa keterangan

saksi, keterangan ahli, surat dan petunjuk maupun keterangan terdakwa,

tidak dapat membuktikan kesalahan yang didakwakan. Berarti perbuatan

yang didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan karena

menurut penilaian Hakim semua alat bukti yang diajukan, tidak cukup atau

tidak memadai membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada

terdakwa, atau

:

b. Putusan bebas tersebut bisa juga didasarkan atas penilaian, kesalahan yang

terbukti itu tidak didukung oleh keyakinan Hakim. Penilaian yang

demikian sesuai dengan sistem pembuktian yang dianut Pasal 183

KUHAP, yang mengajarkan pembuktian menurut undang-undang secara

negatif. Keterbuktian kesalahan yang didakwakan dengan alat bukti yang

sah, harus didukung oleh keyakinan Hakim. Sekalipun secara formal

kesalahan terdakwa dapat dinilai cukup terbukti, namun nilai pembuktian

yang cukup ini akan lumpuh apabila tidak didukung oleh keyakinan

Hakim. Dalam keadaan penilaian yang seperti ini, putusan yang akan

dijatuhkan pengadilan, membebaskan terdakwa dari tuntutan hukum.

Dalam Pasal 183 KUHAP ditentukan bahwa Hakim tidak boleh

menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan

95

(20)

kurangnya dua alat bukti yang sah ia (Hakim) memperoleh “keyakinan” bahwa

suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah

melakukannya. Dengan perkataan lain meskipun ada lebih dari dua alat bukti yang

sah kalau hakim belum/tidak memperoleh keyakinan bahwa terdakwa benar-benar

bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya maka hakim tidak

akan memutuskan penjatuhan pidana terhadap terdakwa.96

Ketentuan dalam Pasal 183 KUHAP bermaksud menjamin tegaknya

kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi setiap orang yang terlibat dalam

perkara pidana. Dari perumusan Pasal 183 KUHAP dapat diketahui bahwa dalam

penjatuhan pidana terhadap terdakwa, hakim tidak boleh hanya mendasarkan

kepada alat-alat bukti yang sah saja. Dengan perkataan lain, meskipun keberadaan

alat-alat bukti yang sah diajukan di muka sidang jumlahnya lebih dari cukup

misalnya terdiri dari 5 (lima) macam dan masing-masing berjumlah lebih dari dua,

namun apabila dari alat-alat bukti yang sah itu hakim tidak memperoleh

“keyakinan” bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana (Actus Reus) yang

didakwakan, maka hakim tersebut tidak akan menjatuhkan pidana kepada

terdakwa. Dengan demikian putusan yang dijatuhkan hakim dapat berbentuk

putusan bebas (Vrijspraak/Aquittal) atau berbentuk putusan lepas dari segala

tuntutan hukum (Onstlag van alle rechts vervolging/Let a person off a bargain).97

Dari ketentuan yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP tersebut dapat

disimpulkan bahwa “keyakinan hakim” mempunyai fungsi yang lebih dominan

96

H.M.A. Kuffal, opcit. Halaman 34

97

(21)

dibanding keberadaan alat-alat bukti yang sah. Meskipun tampak lebih dominan,

namun hakim tidak dapat menjatuhkan pidana terhadap terdakwa hanya

berdasarkan pada keyakinannya saja. Karena keyakinan hakim itu harus

didasarkan dan lahir dari keberadaan alat-alat bukti yang sah dalam jumlah yang

cukup (minimal dua).98

98

Ibid.

Hakim sebagai orang yang menjalankan hukum berdasarkan demi keadilan

di dalam menjatuhkan putusan terhadap perkara yang ditanganinya tetap

berlandaskan aturan yang berlaku dalam undang-undang dan memakai

pertimbangan berdasarkan data-data uang autentik serta para saksi yang dapat

dipercaya. Tugas hakim tersebut dalam mempertimbangkan untuk menjatuhkan

suatu putusan bebas dapat dilihat dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang

menyatakan: “jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di

sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak

terbukti secara sah dan menyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.

Hal-hal yang mempengaruhi keyakinan seorang Hakim dalam

menjatuhkan putusan bebas demi hukum adalah bersumber dari saksi, kesulitan

yang dijumpai oleh hakim yang bersumber dari saksi ini yaitu adanya saksi yang

memberikan penjelasan yang berbelit-belit yang dapat menyulitkan hakim dalam

mengambil kesimpulan dari penjelasan para saksi tersebut yang pada akhirnya

dapat menghambat jalannya proses persidangan untuk mencari kebenaran dan

(22)

Saksi yang memberikan keterangan yang berbelit-belit disebabkan

beberapa hal, yaitu adanya rasa takut memberikan keterangan yang sebenarnya

karena saksi tidak menginginkan dengan memberi kesaksian terjadi efek negtif

terhadap dirinya di belakang hari, serta para saksi kurang menyadari fungsi

kesaksian tersebut dengan maksud bahwa tanpa adanya bantuan para saksi

permasalahan atau menetapkan suatu keputusan.

Hal ini merupakan permasalahan yang bersumber dari saksi yang dapat

menyulitkan hakim dalam persidangan. Kesulitan lain yang bersumber dari saksi

yaitu adanya keterangan saksi yang berbeda dengan keterangan dalam berita

acara, di mana pada waktu proses pemeriksaan si saksi memberikan keterangan

yang berbeda jadi ada kecondongan si saksi tidak mengakui penjelasan yang

diberinya di luar persidangan.

Beberapa hal yang mempengaruhi keyakinan hakim untuk menentukan

suatu putusan seperti di atas, yaitu yang bersumber dari pembela dan saksi maka

akhirnya kesulitan yang paling menyulitkan bagi hakim dalam menentukan suatu

putusan yaitu tindakan terdakwa yang selalu memberikan penjelasan yang

berbelit-belit.

Menurut peraturan yang berlaku seorang terdakwa sebelum memberikan

penjelasan di muka persidangan oleh petugas penyidik untuk mengajukan

pertanyaan-pertanyaan kepada si terdakwa dan seluruh jawaban yang diberikan si

terdakwa dicatat dan dimasukkan kedalam berita acara penyidikan, setelah itu

(23)

perbedaan penjelasan waktu si terdakwa diperiksa di luar dengan di dalam

persidangan, jadi dengan demikian si terdakwa yang memberikan penjelasan atau

keterangan kepada hakim yang berbelit-belit atau tidak sesusai dengan berita

acara pemeriksaan hal ini dapat menyulitkan bagi seseorang hakim untuk

menentukan putusan khususnya putusan bebas demi hukum.99

3.2Tidak Memenuhi Asas Batas Minimum Pembuktian

Asas minimum pembuktian merupakan prinsip yang mengatur batas yang

harus dipenuhi membuktikan kesalahan terdakwa. Atau dengan kata lain: asas

minimum pembuktian ialah suatu prinsip yang harus dipedomani dalam menilai

cukup atau tidaknya alat bukti membuktikan salah atau tidaknya terdakwa.

Artinya sampai “batas minimum pembuktian” mana yang dapat dinilai cukup

membuktikan kesalahan terdakwa.100

Secara nyata Hakim menilai, pembuktian kesalahan yang didakwakan

tidak memenuhi ketentuan batas minimum pembuktian. Misalnya alat bukti yang Kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa hanya didukung oleh satu

alat bukti saja, sedang menurut ketentuan Pasal 183 KUHAP, agar cukup

membuktikan kesalahan seorang terdakwa, harus dibuktikan dengan

sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.

16.35

100

(24)

diajukan di persidangan hanya terdiri dari seorang saksi saja. Dalam hal yang

seperti ini, di samping tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian juga

bertentangan dengan Pasal 185 ayat (2) KUHAP, yang menegaskan asas unus

testis nullus testis101

Di atas telah diuraikan lima macam alat bukti yang dikenal dalam praktik

peradilan sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Di luar

dari lima alat bukti di atas tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah.

Akan tetapi, bukan berarti pula bahwa seorang terdakwa baru dapat dikenakan

sanksi pidana bila terpenuhinya kelima unsur alat bukti di atas, terdakwa dapat

saja dijatuhi hukuman pidana jika kesalahannya dapat dibuktikan paling sedikit

dengan dua jenis alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP.

Jadi minimum pembuktian yang dianggap cukup membuktikan kesalahan

terdakwa, sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah sesuai dengan pasal 183

KUHAP

atau seorang saksi bukan saksi,

102

Jika ketentuan Pasal 183 dihubungkan dengan alat-alat bukti itu terdakwa

baru dapat dijatuhi hukuman pidana, apabila kesalahannya dapat dibuktikan

paling sedikit dengan dua jenis alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 ayat (1).

Kalau begitu, minimum pembuktian yang dapat dinilai cukup memadai untuk

membuktikan kesalahan terdakwa “sekurang-kurangnya” atau “paling sedikit” .

101

Asas unus testis nullus testis ini merupakan asas pembuktian yang dianut dalam KUHAP, yang terdapat di dalam Pasal 185 ayat (2) yang menyatakan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. Asas ini lazim disingkat dengan istilah: satu saksi tidak merupakan saksi. Lihat Ibid. Halaman 284

102

(25)

dibuktikan dengan “dua” alat bukti yang sah. Jelasnya untuk membuktikan

kesalahan terdakwa harus merupakan103

1. Penjumlahan sekurang-kurangnya seorang saksi ditambah dengan seorang

ahli atau surat maupun petunjuk, dengan ketentuan penjumlahan kedua alat

bukti tersebut harus “saling bersesuaian”, “saling menguatkan” dan tidak

saling bertentangan antara satu dengan yang lain; :

2. Atau bisa juga, penjumlahan dua alat bukti itu berupa keterangan dua orang

saksi yang saling bersesuaian dan saling menguatkan, maupun

penggabungan antara keterangan seorang saksi dengan keterangan

terdakwa, asal keterangan saksi dengan terdakwa jelas terdapat saling

persesuaian.

Dalam hal penjatuhan putusan dalam perkara narkotika, yang notabene

merupakan suatu perkara yang dipandang sangat krusial dalam masyarakat

Indonesia, apalagi jika dalam perkara narkotika tersebut, sang Hakim

menjatuhkan suatu putusan pembebasan kepada pelaku, hal ini pastilah akan

menimbulkan kontroversi dalam masyarakat. Seorang Hakim dalam menjatuhkan

putusan tersebut, haruslah mempertimbangkan banyak hal secara hati-hati, baik

itu yang bekaitan dengan tingkat perbuatan dan kesalahan yang dilakukan pelaku,

keterangan-keterangan yang disampaikan oleh saksi dalam persidangan, maupun

keterangan terdakwa sendiri.

103

(26)

Dengan demikian, jika menurut Hakim, apabila faktor-faktor yuridis

sebagaimana yang telah dijelaskan diatas tidak terpenuhi, maka Hakim harus

(27)

BAB IV

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TERDAKWA YANG TELAH DIBEBASKAN MELALUI PENJATUHAN PUTUSAN BEBAS

DALAM PERKARA TINDAK PIDANA NARKOTIKA

4.1Kebijakan Hukum Pidana Dalam Tindak Pidana Narkotika 4.1.1 Kebijakan Penal

Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik

hukum maupun politik kriminal. Menurut Prof. Sudarto, “Politik Hukum”

adalah104

1. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan

keadaan dan situasi pada suatu saat :

2. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk

menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bia

digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat

dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.

Bertolak dari pengertian demikian, Prof. Sudarto selanjutnya menyatakan

bahwa melaksanakan “politik hukum pidana” berarti mengadakan pemilihan

untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti

memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Selanjutnya dalam melaksanakan

“poliik hukum pidana” berarti “usaha mewujudkan peraturan

104

(28)

undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan

untuk masa-masa yang akan datang.105

Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik

pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan.

Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik

kriminal. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik

hukum pidana identik dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan

dengan hukum pidana”.

Dengan demikian, dilihat sebagai bagian dari politik hukum, maka politik

hukum pidana mengandung arti, bagaimana mengusahakan atau membuat dan

merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik.

106

Kebijakan penanggulangan kejahatan melalui jalur penal adalah

penanganan melalui jalur hukum pidana. Upaya hukum yang bersifat penal ini

menitikberatkan kepada sifat represif sesudah kejahatan terjadi, memiliki

keterbatasan dalam membatasi masalah-masalah sosial. Upaya ini merupakan

suatu usaha yang paling tepat karena memuat suatu peraturan yang

mencantumkan pemidanaan. Hukum sebagaimana ini dikatakan perlu karena:107

1. Sanksi pidana merupakan sanksi yang dibutuhkan

105

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Prenada Media Group, Jakarta, 2008, Halaman 22

106

Ibid. Halaman 24

107

(29)

2. Sanksi pidana merupakan sarana yang terbaik atau merupakan alat yang

terbaik dalam menghadapi kejahatan (ultimum remedium)

3. Walaupun di suatu sisi sanksi pidana merupakan penjamin yang terbaik, di

sisi lain merupakan pengancam utama kebebasan manusia.

Dalam Pasal 10 KUHP telah menentukan jenis-jenis pidana terdiri dari:

1. Pidana pokok:

a. Pidana mati,

b. Pidana penjara,

c. Kurungan,

d. Denda,

e. Tutupan

2. Pidana tambahan:

a. Pencabutan hak-hak tertentu,

b. Perampasan barang-barang tertentu,

c. Pengumuman putusan Hakim.

Sejalan dengan ketentuan Pasal 10 KUHP, maka jenis-jenis pidana dalam

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang dirumuskan

adalah 4 (empat) jenis pidana pokok, yaitu 1. Pidana mati, 2. Pidana penjara, 3.

Denda serta 4. Kurungan. Sehingga sepanjang tidak ditentukan lain dalam

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, maka aturan

pemudanaan (pidana mati, pidana penjara, denda serta kurungan) berlaku aturan

pemidanaan dalam KUHP, sebaliknya apabila ditentukan tersendiri dalam UU

Nomor 35 Tahun 2009, maka diberlakukan aturan pemidanaan dalam

(30)

Kebijakan melalui jalur penal dalam tindak pidana narkotika diatur dalam

pasal-pasal yang tertuang mulai dari Pasal 111 sampai dengan Pasal 148, sebagai

berikut108

1. Tindak Pidana yang menyangkut penguasaan narkotika,

:

a. Untuk Narkotika Golongan I baik dalam bentuk tanaman maupun

bukan tanaman diatur dalam Pasal 111 dan 112 diancam pidana penjara

paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan

pidana denda paling sedikit delapan ratus juta rupiah dan paling banyak

delapan miliar rupiah.

b. Untuk Narkotika Golongan II diatur dalam Pasal 117 diancam pidana

penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun

dan pidana denda paling sedikit enam ratus juta rupiah dan paling

banyak lima miliar rupiah.

c. Untuk narkotika Golongan III diatur dalam Pasal 122 diancam pidana

penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan

pidana denda paling sedikit empat ratus juta rupiah dan paling banyak

tiga miliar rupiah.

2. Tindak Pidana yang menyangkut produksi, impor, ekspor atau menyalurkan

narkotika,

a. Untuk Narkotika Golongan I diatur dalam Pasal 113, diancam dengan

pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima

108

(31)

belas) tahun dan pidana denda paling sedikit satu miliar rupiah dan

paling banyak sepuluh miliar rupiah.

b. Untuk Narkotika Golongan II diatur dalam Pasal 118 diancam pidana

penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas)

tahun dan pidana denda paling sedikit delapan ratus juta rupiah dan

paling banyak delapan miliar rupiah.

c. Untuk Narkotika Golongan III diatur dalam Pasal 123 diancam pidana

penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun

dan pidana denda paling sedikit enam ratus juta rupiah dan paling

banyak lima miliar rupiah.

3. Tindak Pidana yang menyangkut jual beli, menjadi perantara jual beli,

menukar atau menyerahkan narkotika

a. Untuk Narkotika Golongan I diatur dalam Pasal 114, diancam dengan

pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5

(lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda

paling sedikit satu miliar rupiah dan paling banyak sepuluh miliar

rupiah.

b. Untuk Narkotika Golongan II diatur dalam Pasal 119 diancam pidana

penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas)

tahun dan pidana denda paling sedikit delapan ratus juta rupiah dan

paling banyak delapan miliar rupiah.

c. Untuk Narkotika Golongan III diatur dalam Pasal 124 diancam pidana

(32)

dan pidana denda paling sedikit enam ratus juta rupiah dan paling

banyak lima miliar rupiah.

4. Tindak Pidana yang menyangkut pengangkutan dan transito

a. Untuk Narkotika Golongan I diatur dalam Pasal 115, diancam dengan

pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua

belas) tahun dan pidana denda paling sedikit delapan ratus juta rupiah

dan paling banyak delapan miliar rupiah.

b. Untuk Narkotika Golongan II diatur dalam Pasal 120 diancam pidana

penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun

dan pidana denda paling sedikit enam ratus juta rupiah dan paling

banyak lima miliar rupiah.

c. Untuk Narkotika Golongan III diatur dalam Pasal 125 diancam pidana

penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun

dan pidana denda paling sedikit empat ratus juta rupiah dan paling

banyak tiga miliar rupiah.

5. Tindak Pidana yang menyangkut penyalahgunakan narkotika terhadap orang

lain

a. Untuk Narkotika Golongan I diatur dalam Pasal 116 diancam pidana

penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas)

tahun dan pidana denda paling sedikit satu miliar rupiah dan paling

banyak sepuluh miliar rupiah.

b. Untuk Narkotika Golongan II diatur dalamPasal 121 diancam pidana

(33)

tahun dan pidana denda paling sedikit delapan ratus juta rupiah dan

paling banyak delapan miliar rupiah.

c. Untuk Narkotika Golongan III diatur dalam Pasal 126 diancam pidana

penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun

dan pidana denda paling sedikit enam ratus juta rupiah dan paling

banyak lima miliar rupiah.

6. Tindak Pidana yang menyangkut penyalahgunaan bagi diri sendiri diatur

dalam Pasal 127, diancam pidana:

a. Narkotika Golongan I pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun;

b. Narkotika Golongan II pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan

c. Narkotika Golongan III pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun

Dalam hal penyalah guna dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban

penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani

rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

7. Tindak Pidana yang menyangkut orang tua atau wali yang tidak melaporkan

pecandu narkotika yang belum cukup umur diatur dalam Pasal 128, dapat

dikenai ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan denda

paling banyak satu juta rupiah.

8. Tindak Pidana yang menyangkut penguasaan, produksi, jual beli, dan

pengangkutan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika diatur dalam

Pasal 129, dapat dikenai ancaman pidana penjara paling singkat 4 (empat)

tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak

(34)

9. Tindak Pidana Narkotika sebagaimana yang telah disebutkan di atas, yang

dilakukan oleh korporasi diatur dalam Pasal 130, dapat dikenai ancaman

pidana selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang

dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan

pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda yang dimaksud dalam pasal-pasal

di atas. Selain pidana denda, korporasi juga dapat dijatuhkan pidana

tambahan berupa pencabutan izin usaha, dan/atau pencabutan status badan

hukum.

10.Tindak Pidana yang menyangkut dengan sengaja tidak melaporkan tindak

pidana Narkotika diatur dalam Pasal 131, dapat dikenai ancaman pidana

dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana

denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

11.Tindak Pidana yang menyangkut percobaan atau permufakatan jahat untuk

melakukan tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika diatur dalam

Pasal 132, dengan ancaman pidana sesuai dengan ketentuan sebagaimana

dimaksudkan dalam pasal-pasal yang ada dalam Pasal 132 tersebut, dan

apabila dilakukan secara terorganisasi, pidana penjara dan pidana denda

maksimumnya ditambah 1/3 (sepertiga).

12.Tindak Pidana yang menyangkut membujuk anak yang belum cukup umur

untuk melakukan tindak pidana narkotika atau untuk menggunakan

narkotika diatur dalam Pasal 133, dikenai ancama pidana mati atau pidana

penjara seumur hidup atau paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20

(35)

banyak 20 (dua puluh) miliar rupiah; atau pidana penjara paling singkat 5

(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit

1 (satu) miliar rupiah dan paling banyak 10 (sepuluh) miliar rupiah.

13.Tindak Pidana yang menyangkut pecandu narkotika yang sudah cukup

umur, yang dengan sengaja tidak melaporkan diri diatur dalam Pasal 134,

dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan denda

paling banyak 2 (dua) miliar rupiah. Keluarga pecandu yang dengan sengaja

tidak melaporkan pecandu narkotika dipidana dengan pidana kurungan

paling lama 3 (tiga) bulan dan denda paling banyak 1 (satu) juta rupiah.

14.Tindak Pidana yang menyangkut hasil-hasil tindak pidana narkotika

dan/atau prekursor narkotika, yang terdapat dugaan ada kaitannya dengan

kejahatan money laundering diancam pidana penjara 5 sampai 15 tahun atau

3 sampai 10 tahun, dan pidana denda antara 1 (satu) miliar sampai 10

(sepuluh) miliar rupiah atau lima ratus juta rupiah sampai lima miliar

rupiah, sebagaimana diatur dalam Pasal 137.

15.Tindak Pidana yang menyangkut orang yang menghalangi atau mempersulit

penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara diatur dalam Pasal 138,

diancam pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling

banyak lima ratus juta rupiah.

16.Tindak pidana yang menyangkut Nakhoda atau Kapten Penerbangan yang

tidak melaksanakan ketentuan pengangkutan narkotika, diatur dalam Pasal

(36)

paling lama 10 (sepuluh) tahun, dan denda paling sedikit seratus juta rupiah

dan paling banyak 1 (satu) miliar rupiah.

17.Tindak pidana yang menyangkut PPNS, Penyidik Polri, Penyidik BNN yang

tidak melaksanakan ketentyan tentang barang bukti diancam dengan pidana

penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun,

dan denda paling sedikit seratus juta rupiah dan paling banyak 1 (satu)

miliar rupiah, sebagaimana diatur salam Pasal 140.

18.Tindak pidana bagi Kepala Kejaksaan Negeri yang tidak melaksanakan

kewajibannya sesuai dengan Pasal 91 ayat (1) Undang-Undang Narkotika

dapat dikenai pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama

10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit seratus juta rupiah dan paling

banyak 1 (satu) miliar rupiah, sebagaimana diatur dalam Pasal 141.

19.Tindak pidana yang menyangkut petugas laboratorium yang memalsukan

hasil pengujian, diatur dalam Pasal 142, dikenakan ancaman sanksi pidana

penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyaj lima ratus juta

rupiah.

20.Tindak Pidana yang menyangkut saksi yang memberikan keterangan tidak

benar, diatur dalam Pasal 143, diancam pidana penjara paling singkat 1

(satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit

enam puluh juta rupiah dan paling banyak enam ratus juta rupiah.

21.Tindak Pidana yang menyangkut residivis (pengulangan tindak pidana),

diatur dalam Pasal 144, dengan ancaman pidana maksimum dari

(37)

22.Tindak Pidana yang dilakukan oleh Warga Negara Indonesia di luar negeri,

diatur dalam Pasal 145.

23.Tindak pidana yang menyangkut penyimpangan yang dilakukan Pimpinan

Rumah Sakit, Pimpinan Lembaga Ilmu Pengetahuan, Pimpinan Industri

Farmasi, dan Pimpinan Pedagang Farmasi diatur dalam Pasal 147, dengan

ancaman pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10

(sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit seratus juta rupiah dan

paling banyak satu miliar rupiah.

4.1.2 KEBIJAKAN NON PENAL

Menurut G.P. Hoefnagels upaya penanggulangan kejahatan dapat

ditempuh dengan:109

1. Penerapan hukum pidana (criminal law application)

2. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment)

3. Memengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan

lewat mass media (influencing views of society on crime and

punishment/mass media).

Dengan demikian, upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar

dapat dibagi dua, yaitu lewat jalur “penal” (hukum pidana) dan lewat jalur “non

penal” (bukan/di luar hukum pidana). Dalam pembagian G.P. Hoefnagels

109

(38)

tersebut, upaya yang disebut dalam butir 2 dan 3 dapat dimasukkan dalam

kelompok upaya “non penal”.110

Kebijakan non penal yang dapat dilakukan untuk menanggulangi kejahatan

narkotika adalah sebagai berikut

Kebijakan melalui jalur non penal dalam upaya penanggulangan tindak

pidana narkotika dengan lebih menitikberatkan pada sifat “preventive”

(pencegahan/penangkalan/pengendalian) sebelum kejahatan terjadi.

111

a. Legislation (Hukum dan Perundang-undangan) :

Salah satu acuan dalam konsep penegakan hukum narkotika Indonesia

adalah keikutsertaan Indonesia di dalam konvensi-konvensi Internasional

yang membahas dan mengambil keputusan tentang kejahatan-kejahatan

internasional khususnya narkotika. Sikap pemerintah Republik Indonesia

terhadap penanggulangan narkotika adalah mendukung sepenuhnya upaya

kerja sama penanggulangan bahaya narkotika. Dengan makin canggihnya

usaha para pelaku tindak pidana narkotika melaksanakan kegiatannya,

maka perlu perangkat hukumnya disempurnakan dan disesuaikan dengan

perkembangan dewasa ini baik perumusan, perbuatan, tanggung jawab

maupun ancaman pidananya.

b. Law Enforcement (Penegakan Hukum)

Dalam melaksanakan fungsi penegakan hukum perlu dikaitkan instansi

terkait yang mempunyai kewenangan sesuai dengan ketentuan perarturan

perundang-undangan kegiatan instansi/departemen yang terkait dalam

110

Ibid. Halaman 40

111

(39)

penanggulangan penyalahgunaan narkotika, yang meliputi penyidikan lalu

lintas gelap narkotika. Dalam hal ini menurut undang-undang Nomor 35

Tahun 2009 penyidik yang berwenang untuk melakukan penyidikan

narkotika adalah Penyidik POLRI, BNN (Badan Narkotika Nasional) dan

Penyidik PNS tertentu. Penegakan hukum terhadap perkembangan tindak

pidana narkotika dengan modus operandi dan dengan mempergunakan

teknologi canggih harus diantisipasi dengan peningkatan kualitasi penegak

hukum dan kelengkapan perangkat hukum serta tatanan hukum.

c. Treatment and Rehabilitation (Pengobatan dan Rehabilitasi)

Perlunya untuk memperbaiki dan mengevaluasi daya guna dan hasil guna

dari fasilitas rehabilitasi, sehingga dapat diformulasikan teknik dan

indikasi yang relevan dalam upaya mencapai saaran (dan upaya

pengobatan dan rehabilitasi tersebut). Misalnya upaya yang perlu

dilakukan antara lain:

1) Memperbaiki dan meningkatkan kualitas dari petugas/pelaksana yang

bekerja dalam pengobatan dan rehabilitasi dan upaya penanggulangan

narkotika

2) Perlu diformulasikan pedoman dalam pengobatan dan penegakan

hukum

3) Memonitor problem “kekambuhan” dan “terapi” melalui program

evaluasi

4) Perlu dilakukan penelitian mengenai pengobatan (treatment) dan

(40)

d. International Cooperation (Kerja Sama Internasional)

Kerja sama internasional dalam penanggulangan kejahatan narkotika perlu

dilakukan secara berkala dan rutin. Hal ini didasarkan pada kenyataan

bahwa penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika serta obat terlarang

lainnya dari waktu ke waktu semakin meningkat yang berbagai implikasi

dan dampak negatifnya telah meresahkan sebagian besar negara-negara di

dunia.

e. Dissemination (Penyebarluasan)

Salah satu upaya dalam penanggulangan kejahatan narkotika adalah

dengan cara penyebarluasan (dissemination) upaya penanggulangan

narkotika. Salah satu cara efektik dalam penyebarluasan adalah dengan

penyuluhan. Penyuluhan merupakan cara untuk mengenalkan, memberi

penghayatan dan kemampuan kepada seseorang atau kelompok orang

tentang upaya penanggulangan dan bahaya narkotika. Metode-metode

yang dapat dipakai dalam melakukan penyuluhan narkotika dapat melalui

PKK, KADARKUM, Simulasi P4, Ceramah atau Temu Wicara, Peragaan

dengan bentuk memutar film tentang Penyalahgunaan narkotika;

menunjukkan film dan Slide Projector tentang narkotika, gambar-gambar

atau sosio-drama (fragmen atau drama).

4.2Kebijakan Hukum Terhadap Terdakwa Yang Telah Dibebaskan Melalui Penjatuhan Putusan Bebas Dalam Perkara Tindak Pidana Narkotika

Satu hal yang perlu diperhatikan dalam putusan pembebasan ialah

(41)

tahanan dikeluarkan Hakim Ketua sidang bersamaan dengan saat putusan

diumumkan, jika seandainya terdakwa yang diputus bebas itu berada dalam

tahanan. Kelalaian mengeluarkan perintah pembebasan terdakwa dari tahanan

dalam putusan pembebasan, mengakibatkan putusan batal demi hukum. Hal ini

ditegaskan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k jo. Pasal 197 ayat (2) KUHAP.112

Selanjutnya seorang terdakwa yang telah diputus bebas, berhak untuk

mengajukan tuntutan ganti rugi dan rehabilitasi. Hak untuk menuntut ganti

kerugian dan rehabilitasi merupakan salah satu hak terdakwa yang telah

dibebaskan melalui penjatuhan putusan bebas yang dijamin oleh Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau yang biasanya disebut

KUHAP yang diatur dalam Pasal 68 KUHAP. Tersangka/terdakwa berhak

menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut, dan diadili atau

dikenakan tindakan lain secara melawan hukum/tanpa alasan berdasarkan

undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan. Dan

bagi terdakwa yang oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala

tuntutan hukum yang putusannya telah memperoleh kekuatan hukum tetap, berhak

mendapatkan rehabilitasi yang secara sekaligus dicantumkan dalam putusan

pengadilan yang bersangkutan. Sedangkan bagi tersangka yang perkaranya tidak

diajukan ke pengadilan negeri permintaan rehabilitasinya diajukan dan diputus

oleh Hakim praperadilan.113

112

M. Yahya Harahap (Buku I), opcit. Halaman 350

113

(42)

Asas ganti rugi dan rehabilitasi telah diletakkan pada Pasal 9 UU No. 48

tahun 2009 yang berbunyi sebagai berikut114

(1) Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa

alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.

:

(2) Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Ketentuan mengenai tata cara penuntutan ganti kerugian,

rehabilitasi, dan pembebanan ganti kerugian diatur dalam undang-undang.

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981, Lembaran Negara Tahun 1981 No.

76 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menetapkan adanya ganti kerugian

dan rehabilitasi. Selanjutnya dalam Penjelasan Umum Poin 3 huruf

menyatakan115

4.2.1 Ganti Kerugian :

“Kepada seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang dan atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum, yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana dan atau dikenakan hukuman administrasi.”

Pada Bab I tentang Ketentuan Umum: Pasal 1 angka ke-22, memberikan

pembatasan (definisi) tentang Ganti Kerugian, sebagai berikut:

114

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 9

115

(43)

“Ganti kerugian adalah hak seorang mendapat pemenuhan atas

tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang, karena ditangkap,

ditahan, dituntut dan diadili tanpa alasan yang berdasarkan

undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang

diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”

Dari ketentuan umum tersebut dapat disimpulkan bahwa hak penuntutan

ganti kerugian dapat dijalankan pada:

a. Tingkat penyidikan;

b. Tingkat penuntutan, dan

c. Tingkat peradilan

Tuntutan permintaan ganti kerugian yang dilakukan tersangka atau

terdakwa atau ahli waris merupakan perwujudan perlindungan hak asasi dan

harkat martabat. Apabila tersangka atau terdakwa mendapat perlakuan yang tidak

sah atau tindakan tanpa alasan berdasar undang-undang, memberi hak kepadanya

menuntut ganti kerugian.116

Di atas telah disebutkan pengertian ganti kerugian yang terdapat dalam

Pasal 1 angka 22 KUHAP. Untuk tidak membingungkan dan guna melengkapi

perumusan tersebut, maka Pasal 1 angka 22 ayat KUHAP perlu dihubungkan

dengan perumusan Pasal 95 KUHAP, yang berbunyi117

(1) Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti

kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan

undang-:

Pasal 95

116

M. Yahya Harahap (Buku I), opcit. Halaman 38

117

(44)

undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.

(2) Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas

penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri, diputus di sidang praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77.

(3) Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

diajukan oleh tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya kepada pengadilan yang berwenang mengadili perkara yang bersangkutan.

(4) Untuk memeriksa dan memutus perkara tuntutan ganti kerugian

tersebut pada ayat (1) ketua pengadilan sejauh mungkin menunjuk hakim yang sama yang telah mengadili perkara pidana yang bersangkutan.

(5)Pemeriksaan terhadap ganti kerugian sebagaimana tersebut pada

ayat (4) mengikuti acara praperadilan.

Selain itu menurut Pasal 77 huruf b KUHAP ternyata terjadinya

pengehentian penyidikan dan penghentian penuntutan dapat juga dijadikan dasar

alasan untuk menuntut ganti kerugian. Hal-hal yang dapat digunakan sebagai

alasan untuk mengajukan tuntutan ganti kerugian dapat diperinci sebagai

berikut118

1. Tindakan penangkapan yang tidak sah

:

Yang dimaksud dengan tindakan penangkapan yang tidak sah adalah

tindakan penangkapan yang dilakukan dengan cara yang tidak sesuai

dan atau bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam KUHAP

Bab I Pasal 1 angka 20 dan Bab V Bagian Kesatu Pasal 16 s/d 19

2. Tindakan Penahanan yang tidak sah

118

(45)

Yang dimaksud dengan tindakan penahanan yang tidak sah adalah

tindakan penahanan yang dilakukan dengan cara yang tidak sesuai dan

atau bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam KUHAP Bab I

Pasal 1 angka 21 dan Bab V Bagian kedua Pasal 20 s/d 30 dan

perundang-undangan yang lain termasuk penahanan yang lebih lama

daripada pidana (hukuman) yang dijatuhkan oleh pengadilan

(penjelasan Pasal 95 ayat (1) KUHAP);

3. Tindakan lain tanpa alasan berdasarkan undang-undang

Menurut penjelasan Pasal 95 ayat (1) KUHAP yang dengan tindakan

lain yaitu pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak

sah menurut hukum.

4. Penghentian Penyidikan atau Penghentian Penuntutan yang Sah

KUHAP Pasal 81 menyatakan bahwa tersangka dan atau pihak ketiga

yang berkepentingan berhak mengajukan permintaan ganti kerugian

dan atau rehabilitasi sebagai akibat sahnya penghentian penyidikan dan

sahnya penghentian penuntutan. Jadi kalau Hakim praperadilan

menjatuhkan putusan (penetapan) yang menyatakan bahwa

penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan adalah sah, maka

putusan pengesahan atas penghentian penyidikan/penuntutan tersebut

digunakan sebagai dasar alasan untuk mengajukan

permintaan/permohonan/penuntutan ganti kerugian.

(46)

Ketentuan ini mempunyai cakupan makna yang cukup luas dan dapat

diketahui dari buku himpunan yurisprudensi dan praktik peradilan.

Mengenai hal ini dapat dikemukakan beberapa contoh antara lain

terdakwa dituntut dan diadili tanpa mengindahkan ketentuan mengenai

persyaratan pembuktiann sebagaimana diatur dalam Pasal 183 dan 184

KUHAP, misalnya meskipun alat buktinya lebih dari dua orang saksi

akan tetapi kesemuanya terdiri dari saksi-saksi yang tergolong

Testimonium De Auditu, atau terdakwa dituntut dan diadili atas

dakwaan melakukan tindak pidana penipuan (Pasal 378 KUHAP),

ternyata yang terbukti adalah wanprestasi dalam perjanjian hutang

piutang, atau terdakwa dituntut dan diadili atas dakwaan melakukan

tindak pidana yang sudah pernah diputus oleh pengadilan dan putusan

itu sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (ne bis in idem) dan

lain-lain. Tanpa alasan berdasarkan undang-undang pada prinsipnya

mempunyai makna yang sama dengan penerapan hukum yang tidak

tepat atau kekeliruan mengenai hukum yang diterapkan.

Kalau diperhatikan perumusan Pasal 77, 81, 82 ayat (3) huruf c dan ayat

(4)119

119

Pasal 77 KUHAP : Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai

dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:

serta Pasal 95 KUHAP dapat disimpulkan bahwa yang berwenang

a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;

b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Pasal 81 KUHAP : Permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya

(47)

memeriksa/mengadili dan memutus tuntutan ganti kerugian bukan hanya

hakim/sidang praperadilan, tetapi juga sidang pengadilan negeri yang berwenang

mengadili perkara pidana yang bersangkutan (Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2)

KUHAP). Dan untuk memeriksa/memutus perkara tuntutan ganti kerugian

sebagaimana dimaksud Pasal 95 ayat (1), Ketua Pengadilan Negeri sejauh

mungkin menunjuk Hakim yang sama yang pernah mengadili perkara pidana yang

bersangkutan. Akan tetapi pemeriksaannya masih tetap mengikuti acara

pemeriksaan praperadilan. 120

Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa tuntutan ganti kerugian yang

perkara pidanya belum diajukan ke pengadilan negeri, pemeriksaannya dilakukan

dan diputus oleh Hakim/sidang praperadilan. Sedangkan tuntutan ganti kerugian

yang perkara pidananya sudah diputus oleh Hakim Pengadilan Negeri, PT dan

MA pemeriksaannya mengikuti acara praperadilan (Pasal 95 ayat (5) KUHAP).121

Permohonan ganti kerugian sebagai akibat sahnya penghentian penyidikan

atau sebagai akibat sahnya penghentian penuntutan diajukan kepada Ketua

oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua penpdilan negeri dengan

menyebut alasannya.

Pasal 82 ayat (3) huruf c : dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau

penahanan tidak sah, maka dalam putusan dicantumkan jumlah besarnya ganti kerugian dan

rehabilitasi yang diberikan, sedangkan dalam hal suatu penghentian penyidikan atau penuntutan

adalah sah dan tersangkanya tidak ditahan, maka dalam putusan dicantumkan rehabilitasinya;

Pasal 82 ayat (4) : Ganti kerugian dapat diminta, yang meliputi hal sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 77 dan Pasal 95

120

H.M.A. Kuffal, opcit. Halaman 285

121

(48)

Pengadilan Negeri dalam tenggang waktu/jangka waktu 3 (tiga) bulan dihitung

dari saat pemberitahuan mengenai penetapan praperadilan (Pasal 7 ayat (2) PP

Nomor 27 Tahun 1983). Apabila perkaranya tidak diperiksa/diputus oleh Hakim

praperadilan maka jangka waktu pengajuan permohonan tuntutan ganti kerugian

adalah 3 (tiga) bulan dihitung sejak pemberitahuan “ketetapan penghentian

penyidikan/penuntutan”. Untuk permohonan tuntutan ganti kerugian yang

perkaranya sudah diperiksa/diputus oleh pengadilan negeri/PT/MA pengajuannya

kepada pengadilan negeri yang berwenang (yang pernah mengadili perkara

pidananya) dalam jangka/tenggang waktu 3 (tiga) bulan sejak putusan pengadilan

mempunyai kekuatan hukum tetap.122

Setelah lewat tenggang waktu 3 (tiga) bulan sejak Putusan Pengadilan

berkekuatan hukum tetap atau sejak pemberitahuan penetapan praperadilan, maka

hak mengajukan tuntutan ganti kerugian menjadi daluwarsa, dengan perkataan

lain, tidak dapat diajukan lagi.123

Mengenai jumlah ganti kerugian diatur dalam Pasal 9 PP Nomor 27 Tahun

1983 yang bunyinya sebagai berikut124

(1) Ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 77 huruf b dan Pasal 95 KUHAP adalah berupa imbalan serendah-rendahnya berjumlah Rp 5.000,- (lima ribu rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah).

:

(2) Apabila penangkapan, penahanan dan tindakan lain sebagaimana

dimaksud Pasal 95 KUHAP mengakibatkan yang bersangkutan sakit atau cacat sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan atau

122

Ibid. Halaman 287

123

Leden Marpaung (Buku IV), Proses Tuntutan Ganti Kerugian dan Rehabilitasi dalam Hukum Pidana, Penerbit PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 1997, Halaman 59

124

(49)

mati, besarnya ganti kerugian berjumlah setinggi-tingginya Rp 3.000.000,- (tiga juta rupiah).

Kalau dilihat dari besarnya jumlah imbalan uang ganti kerugian, tersebut

dapat disimpulkan bahwa penghargaan terhadap hak asasi manusia di Negara

Hukum Republik Indonesia ini belum memenuhi harapan sebagaimana

didambakan oleh masyarakat terutama warga masyarakat pencari keadilan. Oleh

karena itu seirama dan seiring dengan perkembangan serta peningkatan kesadaran

masyarakat atas hak-hak asasi manusia, maka peraturan yang berkaitan dengan

pemberian uang ganti kerugian ini perlu segera ditinjau kembali/direvisi.125

4.2.2 Rehabilitasi (Pemulihan Nama Baik)

Hak terdakwa yang telah diputus bebas, selain berhak mengajukan

tuntutan ganti kerugian, terdakwa tersebut juga berhak untuk mengajukan

rehabilitasi (pemulihan nama baik). Menurut penjelasan Pasal 9 UU Nomor 48

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, pengertian rehabilitasi adalah

pemulihan hak seseorang dalam kemampuan atau posisi semula yang diberikan

oleh pengadilan.

Pengertian rehabilitasi dalam KUHAP diatur dalam Pasal 1 angka ke 23

yang memberikan pembatasan (definisi tentang Rehabilitasi, sebagai berikut:

“Rehabilitasi adalah hak seorang untuk mendapatkan pemulihan

haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya

yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan

125

(50)

karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang

berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai

orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam

undang-undang ini.”

Dari pengertian singkat di atas, tampak jelas apa yang menjadi tujuan

r

Referensi

Dokumen terkait

Misalkan himpunan kompak secara barisan maka setiap barisan { } di memiliki subbarisan yang konvergen secara kuat ke suatu titik di.. Di lain pihak, Teorema 3.1 menunjukan

Fig.1- The TLC chromatogram of petroleum extract (A) and fraction 8, 9,10,11 containing phytosterols (B).. An analysis using gas chromatogram has been conducted and the

As far as this essay is concerned, the discussion in this essay attempts to explore how reading literature can help Indonesians negotiate their identities

JUDUL : KORBAN SUSPECT ANTRAKS MEDIA : TRIBUN JOGJA. TANGGAL : 22

[r]

Salah satu aplikasi bentuk multimedia yang dapat dioperasikan pada perangkat selular adalah mobile media player yang menggunakan software JMF yang merupakan Application

[r]

Berdasarkan hal-hal diatas, maka penulis membuat visualisasi kimia dalam sebuah aplikasi E Learning dengan menggunakan Moodle yaitu dengan membuat semua aktifitas yang ada di