• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik aliran permukaan dan erosi pada perkebunan kelapa sawit dengan perlakuan teras gulud dan rorak di unit usaha Rejosari,PTP.Nusantara VII Lampung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakteristik aliran permukaan dan erosi pada perkebunan kelapa sawit dengan perlakuan teras gulud dan rorak di unit usaha Rejosari,PTP.Nusantara VII Lampung"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

PADA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

DENGAN PERLAKUAN TERAS GULUD DAN RORAK

DI UNIT USAHA REJOSARI, PTP NUSANTARA VII

LAMPUNG

Oleh :

IDA SETYA WAHYU ATMAJA

A24102001

PROGRAM STUDI ILMU TANAH

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN

(2)

IDA SETYA WAHYU ATMAJA. Karakteristik Aliran Permukaan dan Erosi pada Perkebunan Kelapa Sawit dengan Perlakuan Teras Gulud dan Rorak di Unit Usaha Rejosari, PTP Nusantara VII Lampung. (Dibawah bimbingan YAYAT HIDAYAT dan SUDARMO).

Tanaman kelapa sawit merupakan tanaman yang membutuhkan banyak air dan keterbatasan air sering menjadi faktor pembatas dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit. Teknik pengelolaan air pada areal perkebunan kelapa sawit penting dilakukan dengan tujuan untuk mengoptimalkan peresapan air ke dalam tanah yang pada akhirnya dapat meningkatkan cadangan air bawah tanah, sehingga dapat digunakan oleh tanaman pada saat musim kemarau serta untuk memperkecil akibat yang ditimbulkan oleh proses erosi tanah.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh penerapan teknik peresapan air (teras gulud dan rorak yang dilengkapi lubang resapan dan mulsa vertikal) dalam mengendalikan aliran permukaan dan erosi pada areal pertanaman kelapa sawit. Penelitian dilakukan Perkebunan Kelapa Sawit Afdeling III Unit Usaha Rejosari PTPN VII, Natar, Lampung Selatan. Tindakan konservasi tanah dan air yang diterapkan adalah teras gulud yang dilengkapi dengan lubang resapan dan mulsa vertikal (micro catchment I), tanpa perlakuan (micro catchment II) dan rorak yang dilengkapi dengan lubang resapan dan mulsa vertikal (micro catchment III).

Total curah hujan yang terjadi pada perlakuan teras gulud lebih besar dibanding kedua perlakuan lain. Akan tetapi hal tersebut berbeda dengan total

overland flow dan total sedimen yang dihasilkan. Total overland flow yang terjadi

(3)

IDA SETYA WAHYU ATMAJA. Surface Run-off and Soil Erosion Characteristic in Oil Palm Plantation with Bund Terraces and Silt Pits Treatment in Bussines Unit of Rejosari PTP Nusantara VII Lampung (Under Supervision of YAYAT HIDAYAT and SUDARMO).

Oil palm is ones of a plant that require large amount of water. Water deficits often become inhibiting factor to develope oil palm plantation in dry land area. Water management in oil palm plantation area, needs to be practiced as good as possible to minimize waterloss of surface runoff in rainy season and to ensure sufficient ava ilabilityof water during dry season and to reduce the impact of soil erosions.

Objectives of this research was to investigate of application of bund terraces and silt pits accompanied with infiltration holes and vertical mulches to reduce surface runoff and soil erosion in oil palm plantation area.The research was conducted in Oil Palm Plantation Afdeling III, Business Unit of Rejosari, PTPN VII South of Lampung. Soil and water conservation measures that applied were bund terraces accompanied with infiltration holes and vertical mulches (micro-catchment I), without treatment (micro-(micro-catchment II), and silt pits accompanied with infiltration holes and vertical mulches (micro-catchment III).

(4)

PADA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

DENGAN PERLAKUAN TERAS GULUD DAN RORAK

DI UNIT USAHA REJOSARI, PTP NUSANTARA VII

LAMPUNG

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

IDA SETYA WAHYU ATMAJA

A24102001

PROGRAM STUDI ILMU TANAH

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN

(5)

Unit Usaha Rejosari, PTP Nusantara VII Lampung Nama Mahasiswa : Ida Setya Wahyu Atmaja

Nomor Pokok : A24102001

Menyetujui,

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Ir. Yayat Hidayat, MSi Dr. Ir. Sudarmo, MSi

NIP. 132 004 798 NIP. 131 284 622

Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019

(6)

Penulis dilahirkan di Jombang pada tanggal 20 Agustus 1984. Penulis merupakan putri ke dua dari tiga bersaudara dari pasangan Drs. H. Suyanto dan Hj. Enty Tuyimah.

(7)

Bismillahirrohmanirrohimi… Assalamu’alaikum wr.wb.

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala kekuatan, kemudahan dan atas izin-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam penulis haturkan kepada Nabiyullah Muhammad SAW, atas segala perjuangan untuk mencapai sebuah kebenaran.

Skripsi yang berjudul “Karakteristik Aliran Permukaan dan Erosi pada Perkebunan Kelapa Sawit dengan Perlakuan Teras Gulud dan Rorak di Unit

Usaha Rejosari, PTP Nusantara VII Lampung” merupakan bagian dari tugas

akhir untuk memperoleh Gelar Sarjana di Program Studi Ilmu Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari dalam menyelesaikan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada :

1. Direksi dan Staff Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan yang telah mendanai penelitian ini.

2. Manager dan Staff Unit Usaha Rejosari PTPN VII Lampung beserta Sinder dan Staff Afdeling III.

3. Ir. Yayat Hidayat, MSi selaku Dosen Pembimbing I atas segala bimbingan dan saran yang telah diberikan dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan skripsi.

(8)

v semangat yang besar kepada penulis.

6. Staff dosen dan laboran di Laboratorium Fisika dan Konservasi Tanah dan Air yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian.

7. Papa dan Mama, Aa (Wahyu Adi Praja) dan adek (Muchtaromy Tri Yanto) yang senantiasa menemani penulis dengan doa dan semangat yang tak henti untuk sebuah kehidupan yang harus diperjuangkan.

8. (Drh) Jian Rinda Widya Pambudi yang tak pernah berhenti memberikan semangat dan mengajarkan penulis tentang arti sebuah persahabatan, terima kasih atas kisah yang telah terbingkai indah

9. Hendra, Frans, Awal, Mala, Indri dan Weni. Semoga kita takkan pernah lupa dengan perjuanga n yang pernah kita jalani bersama.

10.Mas Beki, Pedro, Pak Guslan, Pak Mirun dan Pak Hasan atas bantuan yang telah diberikan selama penelitian.

11.Imaroh crew Bekti, Galuh, Ita dan Puji serta ”WJ-ers” (Nadra, Lina, Ila) terima kasih atas kebersamaan dan kerjasamanya.

12.Keluarga besar pondok Pesantren Darul ’Ulum IPB semoga kita tetap mampu menjaga segala amalan dan almamater yang telah diamanahkan.

Alhamdulillahirrobil’alamiina.... Wassalamu’alaikum wr.wb

Bogor, Mei 2007

(9)

Halaman

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Aliran Permukaan ... 4

Faktor-faktor ya ng Mempengaruhi Aliran Permukaan ... 5

Erosi Tanah ... 7

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Erosi... 8

Iklim ... 8

Topografi ... 9

Tanah ... 9

Vegetasi ... 10

Manusia ... 12

Sedimen ... 12

Teknik Konservasi Tanah dan Air ... 13

Teras Gulud ... 14

Rorak ... 15

Mulsa Vertikal ... 15

Kelapa Sawit ( Elaeis guinensis Jacq.) ... 16

BAHAN DAN METODE ... 19

Waktu dan Tempat ... 19

Bahan dan Alat ... 20

(10)

vii

Pengukuran Debit Aliran ... 22

Pengukuran Debit Sedimen ... 24

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN ... 26

Letak Geografis dan Administratif ... 26

Keadaan Tanah ... 26

Topografi ... 27

Iklim ... 28

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29

Kurva Lengkung Debit Aliran ... 29

Kurva Lengkung Debit Sedimen ... 31

Curah Hujan ... 32

Hubungan Curah Hujan dan Overland flow ... 34

Intensitas Hujan dan Debit Puncak ... 37

Pengaruh Tindakan Konservasi Tanah dan Air terhadap Overland flow ... 39

Pengaruh Tindakan Konservasi Tana h dan Air terhadap Erosi ... 43

KESIMPULAN DAN SARAN ... 47

Kesimpulan ... 47

Saran ... 47

DAFTAR PUSTAKA ... 48

(11)

Nomor Halaman Teks

1. Kedalaman Solum Tiap Tanah pada Setiap Microcacthment ... 26

2. Data Curah Hujan Bulanan Periode Januari- Juni 2006... 32

3. Hubungan Curah Hujan dan Overland flow pada Masing- masing Perlakuan ... 34

4. Hubungan Intens itas 30 Menit dan Debit Puncak pada Masing- masing Perlakuan ... 38

5. Overland flow pada Masing- masing Perlakuan ... 41

6. Hubungan Curah Hujan, Overland flow dan Erosi ... 43

Lampiran 1. Suhu Rata-rata Bulanan (Badan Meteorologi dan Geofisika Lampung (2000-2005) ... 52

2. Data Kelembapan Rata-rata Bulanan (Badan Meteorologi dan Geofisika Lampung (2000-2005) ... 54

3. Data Tinggi Muka Air dan Debit Aliran Harian ... 55

4. Data Pengukuran Sedimen ... 65

5. Curah Hujan Harian di Lokasi Penelitian ... 67

(12)

Nomor Halaman Teks

1. Tata Letak Blok dan Peralatan pada Areal Penelitian ... 19

2. Teras Gulud dan Rorak pada Lokasi Penelitian ... 21

3. Weir dan Automatic Water Level Recorder (AWLR) yang digunakan dalam Penelitian ... 23

4. Kurva Lengkung Debit Aliran ... 30

5. Kurva Lengk ung Debit Sedimen ... 31

6. Curah Hujan Harian (April 2006) ... 33

7. Korelasi Antara Curah Hujan dan Overland flow pada Teras Gulud, Perlakuan Kontrol dan Rorak ... 36

8. Intensitas Hujan dan Debit Puncak pada Berbagai Perlakuan ... 38

Lampiran 1. Kurva Linier Tinggi Muka Air ... 71

(13)

Latar Belakang

Kelapa sawit (Elais guinensis Jacq.) merupakan tanaman tahunan penghasil minyak nabati yang telah banyak dikembangkan di Indonesia. Areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia saat ini meningkat pesat setiap tahunnya, dan pada tahun 2004 areal perkebunan kelapa sawit Indonesia telah mencapai areal seluas 5,4 juta Ha (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2006).

Tanaman kelapa sawit umumnya dikembangkan di daerah dengan curah hujan tinggi yaitu antara 2000 – 2500 mm dan menyebar merata sepanjang tahun (Fauzi dkk, 2002) dan kebutuhan air tanaman ini umumnya diperoleh dari air hujan. Secara umum curah hujan di Indonesia cukup untuk memenuhi kebutuhan air tanaman kelapa sawit, akan tetapi pada beberapa wilayah distribusi hujan yang tidak merata sepanjang tahun menyebabkan keterbatasan air menjadi masalah yang sering terjadi pada lahan kering termasuk kawasan pertanaman kelapa sawit.

Musim kemarau yang panjang dapat menyebabkan terjadinya kekeringan yang berakibat pada berkurangnya jumlah ketersediaan air yang dibutuhkan oleh tanaman kelapa sawit. Hal ini memicu terjadinya defisit air yang nyata pada areal pertanaman. Menurut Siregar (1998) defisit air yang mencapai 200 mm/tahun atau lebih pada areal pertanaman akan berpengaruh terhadap penurunan produksi kelapa sawit.

(14)

bahwa semakin banyak air yang mengalir sebagai aliran permukaan, maka akan semakin berkurang jumlah air yang diresapkan ke dalam tanah sehingga memperbesar resiko terjadinya kekeringan. Besarnya aliran permukaan yang terjadi selanjutnya akan menyebabkan terjadinya proses erosi yang mampu mengikis permukaan tanah sehingga dapat menurunkan kesuburan tanah. Aliran permukaan dan erosi tersebut akan lebih mudah terjadi terutama pada wilayah dengan pengelolaan tanah yang tidak menerapkan kaidah konservasi tanah dan air.

Fenomena tersebut mendorong diperlukannya tindakan pengelolaan air sebagai upaya untuk pemenuhan kebutuhan air bagi tanaman kelapa sawit. Teknik pengelolaan air tersebut ditujukan agar kelebihan air pada musim hujan dapat diresapkan secara maksimal dan disimpan dalam tanah sehingga dapat digunakan oleh tanaman pada saat musim kemarau.

Salah satu teknik peresapan air yang dapat diterapkan di areal pertanaman kelapa sawit adalah dengan pembuatan teras gulud dan rorak yang dilengkapi dengan lubang resapan dan mulsa vertikal. Adanya guludan diharapkan mampu menghambat aliran permukaan sedangkan saluran pada guludan berfungsi untuk menampung dan meresapkan aliran permukaan, sehingga memberikan kesempatan air untuk terinfiltrasi lebih banyak.

(15)

Pelepah dan daun kelapa sawit yang telah dipangkas dapat dimanfaatkan sebagai mulsa vertikal. Mulsa vertikal yang diletakkan dalam saluran dapat meningkatkan efektivitas peresapan sehingga dapat menurunkan aliran permukaan dan erosi. Menurut Suwardjo (1981) dalam Arsyad (2000) dari penelitiannya pada tanah Latosol di Citayam, Bogor dan tanah Podzolik di Lampung mendapatkan bahwa mulsa selain mengurangi erosi juga mempengaruhi suhu tanah, kemampuan tanah menahan air, kekuatan penetrasi, kemantapan agregat dan aerasi tanah.

Penerapan teknik peresapan air pada areal pertanaman kelapa sawit diharapkan mampu memperkecil akibat yang ditimbulkan oleh aliran permukaan dan erosi. Hal ini penting dilakukan dalam upaya peningkatan produktivitas tanaman kelapa sawit.

Tujuan penelitian

(16)

Aliran Permukaan

Aliran permukaan didefinisikan sebagai bagian dari hujan yang alirannya menuju saluran-saluran sungai, danau, atau laut. Hillel (1971) menjelaskan bahwa aliran permukaan adalah bagian dari hujan yang tidak meresap ke dalam tanah dan tidak terakumulasi di permukaan tanah, tetapi bergerak ke tempat yang lebih rendah dan mengumpul dalam parit atau saluran. Aliran tersebut dapat mengalir pada permukaan tanah (overland flow) maupun melalui bawah permukaan tanah

(inter flow). Aliran permukaan terjadi pada saat intensitas hujan melebihi

kapasitas infiltrasi tanah. Schwab et al, (1981) menjelaskan bahwa aliran permukaan tidak akan terjadi sebelum proses hidrologis lainnya terpenuhi. Proses hidrologis tersebut meliputi proses infiltrasi, evaporasi, intersepsi, simpanan depresi, tambatan permukaan, dan saluran tambatan.

(17)

Faktor – faktor yang Mempengaruhi Aliran Permukaan

Aliran permukaan merupakan bagian dari rangkaian siklus hidrologi. Pada dasarnya terdapat dua faktor utama yang mempengaruhi jumlah dan laju alian permukaan, yaitu faktor iklim dan faktor fisiografi atau kondisi daerah aliran sungai (DAS).

Secara terperinci Chow (1964) membagi faktor-faktor yang mempengaruhi aliran permukaan ke dalam dua faktor utama, yaitu (1) faktor iklim, yang meliputi presipitasi (intensitas, distribusi dan lama hujan), intersepsi (jenis, umur tanaman), evaporasi dan transpirasi, dan (2) faktor fisiografi, yang berhubungan dengan karakteristik DAS yang meliputi bentuk dan ukuran daerah aliran, kemiringan lereng, jenis tanah, dan sistem penggunaan lahan

Hujan merupakan bagian dari faktor iklim ya ng berperan dalam mengendalikan aliran permukaan dan erosi. Beberapa karakteristik hujan yang berpengaruh terhadap besarnya aliran permukaan adalah tipe hujan, intensitas hujan, lama hujan, distibusi hujan, dan arah hujan (Haridjaja dkk, 1990).

(18)

permukaan yang terjadi, walaupun hal ini tergantung pada intensitas hujan dan besarnya jumlah hujan.

Kecepatan aliran permukaan akan menjadi lebih besar terutama pada wilayah dengan kemiringan dan panjang lereng yang semakin besar dan tidak terputus. Sedangkan pengaruh dari faktor vegetasi terhadap aliran permukaan dapat dilihat dari kemampuannya dalam menghambat aliran permukaan dan mengurangi daya rusak air atau pukulan butir hujan yang langsung mengenai tanah. Keberadaan dari vegetasi yang tumbuh juga berpengaruh terhadap kapasitas infiltrasi tanah, sehingga dapat menurunkan jumlah aliran permukaan.

Dalam hubungannya dengan aliran permukaan tanah merupakan faktor yang menentukan besarnya kapasitas infiltrasi. Tanah pasir merupakan tanah yang mempunyai tekstur kasar dan mempunyai pori makro yang lebih besar dibandingkan tanah liat, sehingga mempunyai kemampuan infiltrasi tanah yang besar. Hal inilah yang menyebabkan mengapa tanah bertekstur pasir mempunyai kemampuan dalam menurunkan jumlah aliran permukaan.

(19)

Erosi Tanah

Erosi tanah didefinisikan sebagai proses berpindahnya atau terangkutnya tanah atau bagian tanah di permukaan dari suatu tempat ke tempat yang lain (Arsyad, 2000). Secara alamiah permukaan bumi akan selalu mengalami proses erosi, dimana di suatu tempat terjadi proses pengikisan sedangkan di tempat yang lain terjadi penimbunan. Peristiwa alamiah ini dapat berlangsung sangat lambat dan tanpa adanya campur tangan manus ia proses ini mampu membentuk suatu keseimbangan dinamis.

Selanjutnya Arsyad (2000) menjelaskan bahwa proses erosi yang disebabkan oleh air merupakan kombinasi dari dua sub proses yang berbeda, yaitu (1) penghancuran struktur tanah menjadi butir – butir primer oleh energi tumbuk butiran hujan yang menimpa tanah dan perendaman oleh air yang tergenang dan penggangkutan butir-butir tanah oleh percikan hujan, dan (2) penghancuran struktur tanah yang diikuti oleh pengangkutan butir- butir tanah oleh air yang mengalir di permukaan tanah.

Erosi merupakan salah satu penyebab kerusakan tanah dan meningkatnya erosi tanah pada lahan kering umumnya disebabkan karena penggunaan lahan yang semakin intensif. Alibasyah (2000) mengemukakan bahwa besarnya erosi tanah di daerah tropika, termasuk Indonesia bukan hanya disebabkan oleh agroekosistemnya yang kondusif terhadap terjadinya erosi, tetapi juga karena pengelolaan tanah di daerah ini kurang memperhatikan kaidah konservasi tanah dan air.

(20)

tempat akhir dimana tanah yang terangkut tersebut diendapkan (Arsyad, 2000 ). Pada areal dimana proses erosi terjadi hilangnya lapisan atas tanah yang tererosi menyebabkan terjadinya kehilangan unsur hara dan bahan organik sehingga dapat menurunkan kesuburan dan produktivitas suatu lahan. Sedangkan pada areal diluar lokasi terjadinya erosi, sedimentasi bahan–bahan yang tererosi dapat mengakibatkan pendangkalan pada sungai dan saluran–saluran air lainnya, sehingga dapat menyebabkan banjir pada musim hujan dan kekeringan saat musim kemarau ( Sinukaban dan Murtilaksono, 1991 ).

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Erosi

Asdak (2004) menjelaskan bahwa faktor- faktor yang mempengaruhi proses erosi merupakan gabungan dari beberapa faktor yang saling berinteraksi seperti faktor iklim, topografi, vegetasi, tanah dan manusia. Faktor – faktor tersebut dapat dinyatakan dalam sebuah persamaan, yaitu :

E = f ( i, r, v, t, m )

Dimana i adalah iklim, r adalah relief atau topografi, v adalah vegetasi, t adalah tanah, dan m adalah manusia.

Iklim

Faktor iklim yang dominan berpengaruh terhadap proses erosi adalah hujan yang mampu menyebabkan hancurnya agregat tanah. Karakteristik hujan yang menentukan besarnya kecepatan aliran permukaan dan erosi adalah besarnya curah hujan, intens itas hujan dan distibusi hujan (Baver, 1956).

(21)

yang tinggi dalam suatu periode kemungkinan tidak menyebabkan terjadinya erosi jika intensitas hujannya rendah. Intensitas hujan yang tinggi dan terjadi dalam waktu yang lama dapat menyebabkan aliran permukaan dan erosi (Arsyad, 2000).

Topografi

Faktor topografi yang mempunyai peranan penting dalam menentukan laju erosi adalah kemiringan lereng dan panjang lereng. Faktor topografi lain yang juga berpengaruh terhadap erosi adalah keseragaman dan arah lereng (Arsyad, 2000). Kemiringan lereng mempunyai pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan panjang lereng (Baver, 1959). Kemiringan lereng yang tinggi cenderung memperbesar jumlah dan kecepatan aliran permukaan sehingga memeperbesar kapasitas aliran air untuk memecah dan mengangkut bahan-bahan tanah (Sukartaatmadja, 1998). Pada wilayah yang mempunyai kemiringan lereng yang rendah atau daerah yang datar atau landai kecepatan aliran airnya akan lebih rendah dibanding pada tanah yang miring.

Pengaruh panjang lereng terhadap erosi tergantung pada sifat tanah dan intensitas hujan. Umumnya erosi meningkat dengan bertambahnya panjang lereng untuk intensitas yang tinggi (Banuwa, 1994). Semakin panjang lereng cenderung menyebabkan akumulasi air permukaan sehingga kecepatan aliran permukaan menjadi lebih tinggi.

Tanah

(22)

kedalaman, (5) sifat lapisan bawah, dan (6) tingkat kesuburan tanah (Arsyad, 2000).

Tekstur merupakan perbandingan relatif butir–butir primer pengikat tanah. Butir–butir pengikat tanah tersebut terdiri dari pasir, debu dan liat. Pasir merupakan agregat tanah yang mudah pecah tetapi sulit ditransportasikan karena ukurannya yang relatif besar dan kuat. Tanah bertekstur pasir mempunyai kemampuan infiltrasi yang tinggi sehingga dapat memperkecil terjadinya erosi. Sedangkan tanah yang bertekstur liat mampu menyebabkan aliran permukaan dan erosi karena percikan butir–butir hujan yang jatuh mengakibatkan tertutupnya pori–pori permukaan tanah oleh lapisan liat. Tanah yang berstruktur granular juga mampu menurunkan peluang terjadinya erosi karena sifatnya lebih terbuka dan lebih sarang sehingga mampu menyerap air lebih banyak.

Adanya bahan organik yang berkaitan dengan aspek kesuburan tanah juga bepengaruh terhadap proses terjadinya erosi. Kartasapoetra (1998) dalam

Dzakiroh (2005) mengemukakan bahwa bahan organik yang belum hancur yaitu berupa ranting, dan dan sebagainya yang menutupi permukaan tanah akan melindungi tanah dari kekuatan perusak butir hujan yang jatuh di permukaan tanah sehingga dapat menghambat aliran air di atas tanah. Bahan organik yang telah lapuk mempunyai kemampuan yang tinggi dalam menyerap air. Keberadaan bahan organik juga mampu memantapkan agregat tanah, sehingga dapat memperbesar daya tahan tanah terhadap pukulan butir hujan.

Vegetasi

(23)

dapat memperlambat terjadinya proses erosi dan dapat menghambat pengangkutan partikel tanah (Arsyad, 2000).

Perbedaan faktor vegetasi dalam mengendalikan erosi tergantung jenis tanaman, umur, perakaran, tajuk tanaman dan tinggi tanaman. Vegetasi dapat mempengaruhi terjadinya proses erosi karena dapat melindungi tanah dari kerusakan tanah yang disebabkan oleh percikan dan penghancuran tanah oleh butir–butir hujan.

Tanaman yang mempunyai akar serabut lebih efektif dalam mengendalikan proses terjadinya erosi, hal ini disebabkan karena benang–benang halus pada akar serabut mampu mengikat butir–butir tanah menjadi agregat tanah yang mantap. Fase pertumbuhan (umur) tanaman juga mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap proses pengendalian erosi. Pada awal pertumbuhan tanaman penutupan tajuk masih relatif terbuka, sehingga menyebabkan air hujan yang jatuh langsung menuju permukaan tanah. Hal ini dapat mempercepat terjadinya aliran permukaan karena kesempatan air untuk terinfiltrasi ke dalam tanah rendah. Tinggi tanaman juga berperan dalaam peningkatan efektifitas tanaman penutup dalam mengurangi erosi. Semakin rendah tajuk dan semakin rapat tajuk tanaman

maka semakin kecil energi hujan yang sampai di permukaan tanah (Arsyad, 2000).

(24)

Manusia

Baharsyah (1994) dalam Alibasyah (2000) mengemukakan bahwa di Indonesia lahan- lahan yang rusak akibat proses erosi telah mencapai sekitar 38 juta ha. Meningkatnya erosi pada lahan kering disebabkan karena penggunaaannya yang semakin intensif. Hal ini berkaitan dengan tindakan manusia dalam proses pengelolaan tanah. Pengelolaan tanah yang salah yaitu tanpa diimbangi dengan tindakan konservasi tanah dan air dapat mempercepat proses degradasi lahan, termasuk terjadinya proses erosi. Proses erosi yang terjadi dapat menurunkan produktivitas lahan karena tanah tidak dapat melakukan fungsinya sebagai unsur produksi dan media pengatur tata air. Di lain pihak manusia juga dapat mencegah terjadinya erosi dengan tindakan pengelolaan sumber daya alam yang lebih memperhatikan keseimbangan antara proses pembentukan tanah dan laju erosi tanah.

Sedimen

Secara umum bahan tanah yang telah terangkut bersama aliran dan kemudian diendapkan disebut sebagai sedimen. Asdak (2004) mengemukakan bahwa sedimen adalah hasil proses erosi baik erosi parit, erosi permukaan maupun proses erosi lainnya. Sedimen yang terbawa bersama aliran pada umumnya merupakan produk akhir dari erosi.

(25)

Hampir semua kerusakan yang menyebabkan terjadinya sedimentasi adalah hasil

dari erosi dipercepat terutama dari erosi permukaan dan erosi parit (Sukartaatmadja, 1998).

Adanya transpor sedimen dari tempat yang lebih tinggi ke daerah hilir dapat menyebabkan pendangkalan sungai, waduk dan saluran irigasi (Asdak, 2004). Sa’ad (2004) mengemukakan bahwa kerusakan yang terjadi ditempat pengendapan adalah tertimbunnya lahan pertanian, pelumpuran dan pendangkalan waduk. Lebih lanjut Suripin (2002) mengemukakan bahwa sedimentasi mampu menimbulkan kerugian pada ekologi air sungai dan danau serta kualitas air bersih.

Teknik Konservasi Tanah dan Air

Konservasi tanah merupakan penempatan sebidang tanah pada cara penggunaan tanah yang sesuai kemampuan tanah dan memperlakukannya sesuai dengan syarat – syarat yang dibutuhkan agar tidak terjadi kerusakan tanah (Arsyad, 2000). Usaha konservasi tanah tersebut ditujukan untuk dua hal, yaitu : (1) mencegah kerusakan tanah, dan (2) memperbaiki tanah agar dapat berproduksi optimal untuk waktu yang tidak terbatas.

Konservasi air merupakan tindakan pemanfaatan air seefisien mungkin agar tetap tersedia di musim kemarau dan tidak terbuang di musim hujan. Pada dasarnya tindakan konservasi tanah merupakan bagian dari tindakan konservasi air.

(26)

(2) penanaman tanaman penutup tanah, (3) penanaman dalam strip, dan (4) penggunaan mulsa. Menurut Sitorus (2004) metode mekanik dalam konservasi

tanah mempunyai dua fungsi, yaitu (1) memperlambat aliran permukaan, dan (2) menampung dan menyalurkan aliran permukaan dengan kekuatan yang tidak merusak. Termasuk dalam metode mekanik adalah : (1) pengolahan tanah menurut kontur, (2) pembuatan teras, (3) pembangunan saluran irigasi dan perbaikan drainase, dan (4) pembuatan waduk, dam penghambat. Sedangkan metode kimia adalah dengan menggunakan bahan-bahan kimia untuk memperbaiki struktur tanah. Bahan kimia tersebut secara umum disebut sebagai

soil conditioner Beberapa jenis soil conditioner yang digunakan adalah Krilium

dan Bitumen.

Teras Gulud

Teras Gulud merupakan tumpukan tanah yang dibuat memanjang mengikuti garis kontur atau memotong lereng dan di sebelah atas lereng guludan dibuat saluran yang mengikuti arah guludan.

Teras Gulud dapat berfungsi dalam menghambat aliran permukaan sedangkan saluran berfungsi untuk menampung dan meresapkan aliran permukaan, sehingga air akan terinfiltrasi lebih lama. Erosi yang terjadi pada guludan bersaluran umumnya akan berkurang dengan bertambahnya waktu penerapan guludan bersaluran. Kelemahan dari penerapan guludan bersaluran ini adalah apabila aliran permukaan melimpah di atas guludan (overtopping) dapat merusak guludan (Lubis, 2004).

(27)

kepekaan erosi tanah, dan erosivitas hujan. Ayudyaningrum (2006) mendapatkan bahwa jarak antara teras gulud yang diperpendek dari 8 m menjadi 2 m mempunyai efektivitas dalam menekan aliran permukaan sebesar 73 % dan sebesar 95 % dalam menekan erosi jika dibandingkan dengan bedengan konvensional. Penelitian yang dilakukan oleh Lubis (2004) menunjukkan bahwa perlakuan teras gulud dengan penambahan mulsa vertikal dan lubang resapan mampu menekan aliran permukaan hampir 100 %.

Rorak

Rorak merupakan lubang atau penampang yang dibuat memotong lereng yang berfungsi untuk menampung dan meresapkan aliran permukaan. Rorak dapat berfungsi untuk : (1) memperbesar peresapan air ke dalam tanah, (2) sebagai pengumpul tanah yang tererosi sehingga sedimen tanah lebih mudah dikembalikan ke bidang olah.

Noeralam dkk (2003) melaporkan bahwa air hujan yang tertampung pada rorak dapat menimbulkan aliran lateral (seepage) dan infiltrasi yang tertunda, sehingga ketersediaan air air dapat bertahan lama. Noeralam dkk (2003) juga melaporkan bahwa teknik pemanenan air berupa rorak yang dikombinasikan dengan mulsa vertikal dapat menurunkan aliran permukaan dan erosi masing-masing sebesar 6.45 cm tahun-1 dan 0.90 ton-1 ha-1 tahun dibandingkan tanah terbuka.

Mulsa Vertikal

(28)

teknik penerapan konservasi air diantaranya adalah : (1) memberi perlindungan terhadap permukaan tanah dari hantaman air hujan sehingga tidak merusak struktur tanah., (2) menghambat kecepatan dan volume aliran permukaan, (3) mengurangi terjadinya erosi, karena air hujan yang jatuh tidak langsung mengenai butir-butir tanah, (4) mengatur suhu dan temperatur tanah, (5) meningkatkan kand ungan bahan organik, dan (6) mengendalikan tanaman pengganggu. Umboh (2000) menambahkan bahwa penggunaan mulsa dapat meningkatkan kestabilan agregat dan kimia tanah, serta mengurangi penguapan langsung dari permukaan tanah (evaporasi).

Brata (1995) menjelaskan bahwa sebelum sisa tanaman yang digunakan sebagai mulsa melapuk, maka sisa tanaman tersebut dapat berfungsi untuk melindungi dinding resapan saluran dari penyumbatan oleh partikel-partikel halus yang terbawa oleh aliran permukaan dan dapat mencegah runtuhnya dinding saluran oleh pukulan butir hujan. Mulsa yang ditempatkan di dalam saluran-saluran dapat berfungsi untuk menyimpan air dan memberikannya ke tanaman yang diusahakan.

Kelapa Sawit (Elais guineensis Jacq.)

Kelapa Sawit (Elais guineensis Jacq.) merupakan tanaman tropis dari kelas

Angiospermae, sub kelas Monocotyledon, ordo Palmales, dan famili Palmaceae.

(29)

Kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik pada daerah tropika basah pada

keinggian 0-500 m di atas permukaan laut dengan curah hujan antara 2000 – 2500 mm dan menyebar merata sepanjang tahun (Fauzi dkk, 2002).Untuk

dapat tumbuh baik tanaman kelapa sawit perlu penambahan air paling sedikit 150 mm/bulan (Umana dan Chinchilla, 1991 dalam Tim Faperta IPB-PPKS Medan, 2006). Hasil penelitian dengan lisimeter di Serawak, Malaysia menunjukkan kebutuhan air untuk tanaman kelapa sawit adalah 5-6 mm/hari tergantung pada umur tanaman dan cuaca.

Keadaan topografi yang dianggap cukup baik untuk pertumbuhan kelapa sawit adalah wilayah dengan topografi datar dan berombak sampai bergelombang dengan kemiringan ideal berkisar antara 0-25 %. Temperatur optimal yang mendukung pertumbuhan kelapa sawit adalah sebesar 24-28 °C dengan kelembapan optimum sebesar 80% (Harahap, 1999). Lama penyinaran matahari yang dibutuhkan oleh tanaman kelapa sawit rata-rata adalah 5-7 jam perhari.

Kelapa sawit dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah seperti tanah Latosol, Podzolik Merah Kuning, Aluvial dan lainnya. Pertumbuhan tanaman kelapa sawit dipengaruhi oleh sifat-sifat tana h, yang meliputi sifat fisik dan sifat kimia tanah. Mansjur (1980) mengemukakan bahwa tanaman kelapa sawit lebih menghendaki sifat fisik yang baik dibanding sifat kimia. Hal ini disebabkan karena kekurangan unsur tertentu dapat diatasi dengan pemupukan.

(30)

merupakan media yang baik bagi perkembangan akar tanaman sehinga mampu meningkatkan efisiensi penyerapan hara tanaman.

(31)

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilakukan Perkebunan Kelapa Sawit Afdeling III Unit Usaha Rejosari PTPN VII, Natar, Lampung Selatan. Daerah penelitian meliputi areal seluas ± 36.8 Ha, yang terbagi ke dalam 3 blok terpisah yaitu blok 1 (Blok 375) dengan luas 11.8 Ha , blok 2 (Blok 415) dengan luas 14.6 ha, dan blok 3 (Blok 414) dengan luas 6.3 ha. Tata letak blok-blok dan peralatan pada areal penelitian disajikan pada Gambar 1. Batas micro cacthment belum tergambar secara utuh akan tetapi dalam setiap perhitungan komponen hidrologi luas micro cacthment

yang utuh sudah dipertimbangkan.

Penelitian lapang dilakukan pada bulan Januari sampai Juni 2006, dilanjutkan dengan analisa konsentrasi sedimen yang dilakukan di Laboratorium Fisika dan Konservasi Tanah Departemen Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

(32)

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan sebagai informasi dalam penelitian ini adalah : (1), material untuk pembangunan weir (2), kertas pias pencatat pulsa AWLR dan (3) suspensi sedimen.

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat penakar hujan (ombrometer), current meter, sekat ukur, stopwatch, meteran, botol 600 ml, kertas saring, oven, cawan, timbangan, gelas ukur, alat tulis, komputer dengan program

Excell

Metode Penelitian Penentuan Lokasi penelitian

Lokasi penelitian berada pada tiga daerah tangkapan mikro (micro

catchment) yang identik yang terletak di Blok 375, 414 dan 415. Perlakuan yang

diuji adalah teras gulud yang dilengkapi dengan lubang resapan dan mulsa vertikal

pada micro catchment I (Blok 375), perlakuan kontrol, yaitu tanpa perlakuan

teknik peresapan air pada micro catchment II (Blok 415), dan perlakuan rorak yang dilengkapi dengan lubang resapan dan mulsa vertikal pada micro catchment

III (Blok 414).

(33)

Rorak dibuat mengikuti garis kontur diantara tanaman kelapa sawit dengan ukuran panjang, lebar, dan kedalaman masing–masing 300 cm, 50 cm dan 50 cm. Lubang resapan juga dibuat pada setiap rorak berjarak 2 m antar lubang. Di dalam rorak dan lubang resapan juga ditambahkan sisa tanaman berupa daun dan pelepah sawit serta serasah semak sebagai mulsa vertikal. Teras gulud dan rorak yang diterapkan pada lokasi penelitian disajikan pada Gambar 2.

(a)

(b)

(34)

Sifat – sifat dan dinamika air diamati melalui stasiun pengamat yang dipasang pada setiap micro catchment. Sifat – sifat dan dinamika air tersebut meliputi curah hujan, aliran permukaan, dan aliran sedimen.

Pengukuran Curah Hujan

Data curah hujan diperoleh dari pengukuran alat penakar hujan (ombrometer) yang dipasang pada setiap micro catchment. Penakar hujan otomatis diletakkan di dekat blok 375 (micro catchment I), sedangkan penakar hujan tipe observatorium dipasang pada blok 414 dan 415. Alat penakar hujan (ombrometer) diletakkan pada tempat yang terbuka, dimana dalam radius ± 10 m di sekitar alat merupakan areal yang kosong agar hujan yang jatuh tidak terhalang oleh tajuk tanaman.

Volume air yang tertampung diukur dengan menggunakan gelas ukur. Selanjutnya volume air dalam satuan cm3 dikonversi ke dalam satuan tinggi kolom air (mm) dengan cara membagi dengan luas penampang masing–masing alat penakar.

Pengukuran Debit Aliran

Weir yang dilengkapi dengan AWLR (Authomatic Water Level Recorder) untuk mengukur ketinggian muka air secara otomatis dan papan duga vertikal (fiskal) untuk mengukur ketinggian air secara manual dipasang pada setiap outlet

micro catchment. Weir yang dilengkapi denganAWLR yang digunakan dalam

(35)

(a) (b)

Gambar 3. Weir (a) dan Automatic Water Level Recorder (AWLR) (b) yang digunakan dalam Penelitian.

Data yang tercatat pada pias AWLR selanjutnya dikorelasikan dengan nilai tinggi muka air dari hasil pengukuran fiskal, dimana data hasil pencatatan AWLR sebagai absis (x) dan tinggi muka air (TMA) pada fiskal sebagai ordinat (y). Berdasarkan persamaan tersebut dapat diketahui fluktuasi ketinggian muka air yang terjadi pada areal micro catchment.

Pengukuran TMA dilanjutkan dengan pengukuran laju aliran permukaan Kecepatan aliran diukur menggunakan alat ukur arus (current meter) yang berupa baling-baling yang akan berputar bila dilalui air. Pengukuran yang dilakukan yaitu penghitungan bunyi yang dihasilkan oleh current meter, dimana alat ini akan berbunyi setiap 10 kali putaran.

(36)

Q = V x A

Dimana, Q adalah debit aliran (m3/detik), V adalah kecepatan aliran sungai (m/detik), dan A adalah luas penampang (m2). Kecepatan aliran dihitung dengan persamaan :

V = (0.120 x n) + 0.005

Dimana, V adalah besarnya kecepatan aliran (m/detik) dan n adalah jumlah putaran current meter per detik

Kurva lengkung debit aliran (discharge ratting curve) didapat dengan mengkorelasikan nilai tinggi muka air (m) dengan debit aliran hasil pengukuran (L/detik) pada titik outlet, dengan me nggunakan persamaan dari kurva lengkung tersebut dapat diketahui hidrograf pada setiap titik pengamatan. Volume aliran dalam waktu 10 menit diperoleh dengan cara mengkalikan debit aliran dengan waktu. Secara empiris dapat dihitung dengan menggunakan persamaan :

Debit aliran (m3/detik) x 10 menit x 60 detik

Pengukuran Debit Sedimen

Pengambilan contoh sedimen dilakukan bersamaan dengan pengukuran kecepatan aliran permukaan dengan menggunakan botol 600 ml. Metode yang digunakan dalam penentuan kadar sedimen adalah metode penyaringan. Sebelum dilakukan penyaringan kertas filter yang digunakan dioven terlebih dahulu pada suhu 600 C selama 24 jam dan selanjutnya ditimbang untuk mengetahui berat kering mutlaknya.

(37)

25

Selanjutnya sampel sedimen disaring menggunakan kertas filter. Kertas filter yang berisi sedimen selanjutnya dioven pada suhu 600 C selama 24 jam.

Kadar sedimen ditentukan dengan menggunakan persamaan : Cs = G / V

Dimana Cs adalah besarnya kandungan sedimen (gr/L), G adalah bobot sedimen (gr), dan V adalah volume air (L).

Debit sedimen diperoleh dari hasil perkalian antara kandungan sedimen dalam suatu aliran dengan debit aliran. Secara empiris debit sedimen dapat dihitung dengan menggunakan persamaan

Qs = Cs x Q

Dimana, Qs adalah debit sedimen (gr/detik), Cs adalah kandungan sedimen (gr/m3), dan Q adalah debit aliran (m3/detik).

Kurva lengkung sedimen didapat dengan mengkorelasikan data debit aliran (L/detik) dengan data debit sedimen (gr/detik), dimana data debit aliran sebagai absis (x) dan data debit sedimen sebagai ordinat (y). Dari persamaan kurva lengkung sedimen dapat dihitung debit sedimen pada nilai debit aliran yang berbeda. Volume sedimen dalam interval waktu 10 menit dapat dihitung dengan cara mengalikan debit sedimen dengan waktu. Secara empiris dapat dihitung dengan menggunakan persamaan :

(38)

Letak Geografis dan Administratif

Secara geografi daerah penelitian terletak pada 105º07’55.5” BT - 105º08’20.4” BT dan 5º17’01.6” LS - 5º17’27.6” LS. Sedangkan secara administrasi daerah ini termasuk dalam wilayah Desa Rejosari, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan, Propinsi Lampung. Jarak Unit Usaha Rejosari dari Ibukota Propinsi 12 km, dari kota Kabupaten Lampung Selatan 70 km, dari Pelabuhan Panjang 12 km, dan dari kantor Direksi 12 km (PTP Nusantara VII, 2005).

Keadaan Tanah

Macam tanah pada lokasi penelitian tergolong Podzolik Merah Kuning, sedangkan berdasarkan klasifikasi Soil Taxsonomy pada tingkat sub-group termasuk Typic Kanhapludult dan Fluventic Dystropept. Tanah bertekstur liat sampai liat berpasir, dengan solum tanah cukup dalam-dalam (Tabel 1).

Tabel 1. Kedalaman Solum Tiap Tanah pada Setiap Micro Catchment

Micro cacthment

Luas (ha) Total

(ha)

< 70 cm 0,7 - 1 m > 1 m

Micro cacthment I 1.1 0.3 10.4 11.8

Micro cacthment II 1.5 2.3 10.4 14.2

Micro cacthment III 0.0 0.0 6.3 6.3

Typic Kanhapludult termasuk ke dalam order Ultisol (Soil Survey Staff,

(39)

Fluventic Dystropept termasuk dalam order Inceptisol (Soil Survey Staff, 1992). Ciri tanah ini adalah kandungan karbon organik yang berkurang dengan meningkatnya kedalaman solum tanah. Jenis tanah ini juga mempunyai penyebaran yang luas di Indonesia yang meliputi wilayah Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Penggunan lahan tanah Inceptisol umumnya diunakan untuk lahan pertanian khususnya perkebunan. Menurut Hardjowigeno (2003) tanah Inceptisol belum mengalami perkembangan lanjut sehingga sebagian besar tanah ini cukup subur.

Berdasarkan hasil analisis laboratorium, lokasi penelitian mempunyai kadar air kapasitas lapang sebesar 26 hingga 36 % dengan rataan kadar air titik layu permanen sebesar 18 sampai 26 %.

Topografi

Daerah penelitian berada pada ketinggian antara 75 sampai 200 meter di atas permukaan laut. Kondisi topografi daerah penelitian adalah datar hingga berombak dengan kemiringan lereng sebesar 3-8 %. Kedalaman solum daerah penelitian bervariasi antara 1 sampai 3 meter.

(40)

Iklim

(41)

Kurva Lengkung Debit Aliran

Nilai pulsa AWLR, data tinggi muka air, dan debit aliran untuk masing-masing weir disajikan pada Tabel Lampiran 2. Pembacaan pulsa yang tercatat pada pias AWLR dan tinggi muka air hasil pengukuran lapang digunakan untuk mene ntukan kurva linier tinggi muka air (Gambar Lampiran 1). Pengamatan di lapang menunjukkan bahwa nilai pulsa AWLR dan tinggi muka air mempunyai hubungan linier, dimana kenaikan pulsa AWLR akan diikuti dengan kenaikan tinggi muka air. Berdasarkan persamaan yang dihasilkan dari kurva linier tinggi muka air maka dapat diprediksi tinggi muka air secara kontinu pada masing-masing weir.

(42)

Persamaan yang dihasilkan dari kurva lengkung debit aliran yang digunakan dapat disajikan dalam persamaan berikut :

Q = a TMAb

dimana, Q adalah debit aliran (L/detik), a dan b adalah bilangan konstanta yang dalah tinggi muka air (cm).

Gambar 4. Kurva Lengkung Debit Aliran AWLR1 (a), AWLR 2 (b), AWLR 3

Debit Aliran AWLR 3 (L/detik)

Debit Aliran AWLR 4 (L/detik)

(43)

Kurva Lengkung Debit Sedimen

Pengambilan contoh sedimen dilakukan bersamaan dengan pengukuran debit aliran pada beberapa ketinggian muka air. Selanjutnya contoh sedimen tersebut ditentukan kandungan sedimen dan nilai debit sedimennya (Tabel Lampiran 3). Korelasi antara debit aliran dan debit sedimen (kurva lengkung debit sedimen) disajikan pada Gambar 5. Selanjutnya persamaan yang diperoleh dari kurva lengkung debit sedimen digunakan untuk memprediksi jumlah sedimen yang dihasilkan pada setiap microcactment.

(44)

Secara umum persamaan yang dihasilkan dari kurva lengkung debit sedimen disajikan sebagai berikut :

Qs = a Q b

Dimana Qs adalah debit sedimen (gr/L), a dan b adalah bilangan konstanta yang nilainya berbeda antar AWLR, dan Q adalah debit aliran (L/detik).

Curah Hujan

Hasil pengamatan lapang menunjukkan adanya 88 hari hujan yang teramati pada periode Januari sampai Juni 2006 pada masing- masing micro

cacthment. Data pengukuran hujan harian disajikan pada Tabel Lampiran 4

sedangkan data curah hujan bulanan pada masing- masing perlakuan disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Data Curah Hujan Bulanan Periode Januari – Juni 2006

Bulan Curah Hujan (mm) Hari Hujan

Teras Gulud Kontrol Rorak

Januari 330.11 325.24 119.66* 16

Februari 222.10 190.82 193.19 19

Maret 246.46 214.36 228.42 20

April 271.69 225.96 233.01 14

Mei 85.60 76.64 76.73 13

Juni 57.71 54.05 54.95 6

Jumlah 1213.69 1087.07 905.96 88

Catatan : * alat tidak berfungsi dengan baik

(45)

adanya kerusakan alat penakar hujan sehingga hujan yang jatuh pada perlakuan rorak tidak dapat terukur dengan baik. Curah hujan terkecil untuk masing- masing perlakuan terjadi pada periode yang sama yaitu pada bulan Juni, dimana curah hujan terkecil pada teras gulud sebesar 57.71 mm, perlakuan kontrol sebesar 54.05 mm dan perlakuan rorak sebesar 54.95 mm. Tabel 2 juga menunjukkan bahwa selama periode Januari – Juni 2006 perlakuan teras gulud mempunyai total curah hujan terbesar dibandingkan kedua perlakuan yang lain, yaitu sebesar 1213.69 mm, diikuti perlakuan kontrol sebesar 1087.07 mm dan rorak mempunyai jumlah curah hujan terkecil yaitu sebesar 9 05.96 mm.

Gambar 6. Curah Hujan Harian (April 2006)

Gambar 6 menunjukkan distribusi hujan harian yang terjadi pada bulan April. Hujan yang terjadi selama bulan April terdistibusi secara merata pada ketiga perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa hujan yang terjadi pada salah satu perlakuan, juga terjadi pada kedua perlakuan yang lain. Fenomena tersebut tidak hanya terjadi pada bulan April tetapi juga terjadi pada seluruh periode hujan selama penelitian (Januari - Juni 2006).

(46)

Hubungan Curah Hujan dan Overland flow

Curah hujan merupakan penyebab terjadinya overland flow. Apabila hujan yang jatuh pada suatu areal telah melebihi kapasitas infiltrasi tanah maka kelebihan air hujan tersebut akan berubah menjadi aliran air yang mengalir di permukaan (overland flow). Jumlah overland flow hasil pengukuran lapang dari 25 kejadian hujan terpilih pada masing- masingperlakuandisajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Hubungan Curah Hujan dan Overland flow pada Masing- masing Perlakuan

Tanggal

Teras Gulud Kontrol Rorak

(47)

Berdasarkan Tabel 3, curah hujan yang terjadi pada perlakuan terasa gulud berkisar antara 10.52 mm sampai 98.90 mm dan overland flow yang terjadi berkisar antara 0.001 mm – 32.23 mm. Pada perlakuan teras gulud jumlah curah hujan tertinggi sebesar 98.90 mm yang terjadi pada tanggal 25 Februari 2006 dan menghasilkan overland flow sebesar 32.23 mm dengan nilai koefisien limpasan sebesar 32.59 %.

Pada musim hujan jumlah curah hujan terendah pada perlakuan teras gulud yang mampu menghasilkan overland flow adalah sebesar 13.89 mm dengan jumlah overland flow sebesar 0.05 mm. Sedangkan pada periode musim kemarau jumlah curah hujan terendah yang mampu menghasilkan aliran permukaan adalah sebesar 26.75 mm dengan jumlah aliran permukaan sebesar 0.08 mm.

Karakter yang sama juga terlihat pada perlakuan kontrol dan rorak. Curah hujan tertingi yang mampu menghasilkan aliran permukaan pada perlakuan kontrol adalah sebesar 93.59 mm dan menghasilkan aliran permukaan sebesar 57.82 mm, sedangkan pada rorak curah hujan tertinggi (88.60 mm) menghasilkan aliran permukaan sebesar 2.45 mm.

(48)

relatif lebih rendah. Rendahnya kadar air tanah awal tersebut menyebabkan curah hujan yang jatuh lebih banyak terinfiltrasi ke dalam tanah untuk memenuhi kapasitas lapang dan hanya sebagian kecil dari curah hujan yang menjadi overland flow.

Korelasi antara curah hujan dan overland flow yang terjadi pada masing-masingperlakuan disajikan pada Gambar 7. Berdasarkan ilustrasi pada Gambar 7 diperoleh bahwa aliran permukaan (overland flow) yang dihasilkan bervariasi sejalan dengan variasi curah hujan yang jatuh, dimana aliran permukaan yang dihasilkan akan meningkat dengan meningkatnya curah hujan.

Gambar 7. Korelasi Antara Curah Hujan dan Overland flow pada Teras Gulud (a), Perlakuan Kontrol (b) dan Rorak (c).

Gambar 7 juga menunjukkan bahwa pada ketiga perlakuan mempunyai pola hubungan curah hujan dan overland flo w yang sama, dimana dari persamaan

(49)

yang dihasilkan tidak mampu mewakili besarnya curah hujan di bawah 20 mm. Hal ini berarti bahwa curah hujan di bawah 20 mm tidak terdapat kecenderungan peningkatan curah hujan yang diikuti oleh peningkatan overland flow.

Walaupun pada umumnya terjadi peningkatan curah hujan yang diikuti oleh peningkatan aliran permukaan langsung (overland flow), akan tetapi terdapat beberapa faktor lain yang juga berpengaruh sehingga besarnya curah hujan tidak bisa dijadikan sebagai parameter utama dalam menentukan besarnya overland flow. Faktor lama hujan dan keadaan air tanah awal juga berpengaruh terhadap besarnya overland flow yang dihasilkan. Apabila keadaan air tanah awal rendah, maka curah hujan yang turun akan lebih banyak terinfiltrasi ke dalam tanah sampai kapasitas lapang terpenuhi, sehingga jumlah air yang keluar sebagai aliran permukaan langsung (overland flow) menjadi lebih kecil. Hal ini dapat terjadi pada kejadian hujan dengan jumlah curah hujan rendah, dimana curah hujan yang jatuh kurang dari kapasitas infiltrasi tanah. Sebaliknya apabila curah hujan melebihi kapasitas infiltrasi tanah maka tanah akan lebih cepat mencapai keadaan jenuh. Hal ini mengakibatkan hanya sebagian kecil dari hujan yang jatuh yang akan terinfiltrasi ke dalam tanah dan selebihnya akan mengisi cekungan-cekungan di permukaan dan pada akhirnya akan meningkatkan jumlah overland flow.

Intensitas Hujan dan Debit Puncak

(50)

terjadi. Gambaran hubungan antara intensitas hujan dan debit puncak disajikan pada Gambar 8.

Tabel 4. Hubungan Intensitas 30 Menit dan Debit Puncak pada Masing- masing Perlakuan

Tanggal I 30

(mm/jam)

Teras Gulud Kontrol Rorak

Curah

Gambar 8. Intensitas Hujan dan Debit Puncak pada Berbagai Perlakuan

0

7,86 17,42 22,19 28,79 32,28 37,05 55,54 60,04 101,7

Intensitas Hujan (mm/jam)

Debit Puncak (L/Detik)

(51)

Tabel 4 menunjukkan bahwa tanggal 22 April 2006 mempunyai nilai I30

tertinggi dan menghasilkan debit puncak terbesar diantara kejadian hujan lain. Pada kejadian hujan tersebut I30 yang terjadi adalah sebesar 101.7 mm/jam dan

menghasilkan debit puncak sebesar 746.21 L/detik (teras gulud), 767.52 L/detik (kontrol) dan 30.00 L/detik (rorak).

Curah hujan terendah pada perlakuan teras gulud yang mampu menghasilkan aliran permukaan adalah sebesar 13.89 mm dan debit puncak yang dihasilkan sebesar 4.85 mm. Pada periode musim kemarau curah hujan terendah yang mampu menghasilkan aliran permukaan adalah sebesar 26.75 mm, yang berarti bahwa curah hujan dibawah 26.75 mm tidak menghasilkan overland flow. Untuk kejadian hujan pada tanggal 11 Maret 2006, 26 Mei 2006 dan 28 Mei 2006 pada perlakuan teras gulud tidak terdapat debit puncak karena pada kejadian hujan tersebut terjadi kesalahan pengukuran. Hal ini disebabkan pada saat pengukuran laju aliran permukaan current meter tersumbat oleh serasah yang terbawa bersama aliran air, sehingga current meter berputar lebih lambat.

Pada musim hujan curah hujan terendah yang mampu menghasilkan aliran permukaan pada perlakuan kontrol dan rorak masing- masing sebesar 11.46 mm, dan 15.69 mm. Pada periode musim kemarau curah hujan terendah yang mampu menghasilkan aliran permukaan pada perlakuan kontrol adalah sebesar 15.65 mm lebih rendah dibanding perlakuan rorak (16.67 mm) dengan debit puncak yang dihasilkan masing- masing sebesar 0.76 mm dan 0.82 mm.

Pengaruh Tindakan Konservasi Tanah dan Air terhadap Overland flow

(52)

Besarnya overland flow yang terjadi sebagai akibat dari perbedaan perlakuan teknik konservasi disajikan pada Tabel 5. Tabel tersebut menunjukkan bahwa adanya teras gulud dan rorak yang dilengkapi dengan lubang resapan dan mulsa vertikal mampu mengurangi overland flow yang terjadi.

Teknik konservasi berupa teras gulud yang dibuat searah kontur mampu memperpendek panjang lereng sehingga dapat mengha mbat aliran air yang mengalir di permukaan dan memberikan kesempatan air untuk meresap lebih banyak. Kemampuan teras gulud dalam menekan besarnya aliran permukaan menjadi lebih efektif dengan adanya lubang resapan dan mulsa vertikal.

(53)

Tabel 5. Overland flow pada Masing- masing Perlakuan

Teras Gulud Rorak

Aktual

Overland flow terendah terjadi pada perlakuan rorak yang dilengkapi

dengan lubang resapan dan mulsa vertikal. Rorak yang dibuat searah kontur dapat menampung curah hujan yang jatuh dan mengalir di permukaan lahan, sehingga hanya sebagian kecil air yang mengalir dan sampai ke outlet. Adanya rorak yang dilengkapi dengan lubang resapan dan mulsa vertikal efektif menurunkan

overland flow sebesar 52.86 %. Hasil penelitia n yang dilakukan oleh Noeralam

(54)

Tabel 5 menujukkan tingkat efektivitas rorak dalam menekan aliran permukaan yang lebih tinggi dibanding teras gulud. Akan tetapi hal ini tidak bisa dijadikan gambaran bahwa rorak lebih efektif dalam menekan aliran permukaan dibanding teras gulud. Hal ini disebabkan karena bentuk rorak terputus-putus sehingga masih memungkinkan air mengalir keluar dari lahan menuju outlet

melalui sela-sela diantara rorak. Hal ini berbeda dengan bangunan teras gulud yang dibuat tidak terputus, sehingga air yang mengalir di permukaan tidak segera keluar dari lahan melainkan terhambat oleh adanya guludan sehingga memberikan kesempatan air untuk meresap lebih banyak. Rendahnya jumlah aliran permukaan yang dihasilkan perlakuan rorak tidak hanya disebabkan karena keefektifan rorak dalam menghambat aliran permukaan, tetapi juga disebabkan oleh perbedaan faktor fisik lahan. Tanah pada perlakuan rorak mempunyai kedalaman solum yang lebih tebal (2-3 meter) dibanding kedua perlakuan lain. Penyebab lain adalah topografi pada perlakuan rorak yang relatif datar (0-3%) dan tidak ada saluran air yang nyata kecuali pada ujung pembuangannya (outlet).

Perlakuan kontrol menghasilkan overland flow yang lebih besar dibandingkan dengan kedua perlakuan lainnya. Tingginya aliran permukaan tersebut disebabkan karena tidak adanya perlakuan teknik peresapan air yang diterapkan pada perlakuan kontrol. Hal ini menyebabkan aliran air yang mengalir di permukaan lebih cepat mencapai titik pembuangan (outlet) karena tidak ada hambatan yang mampu menghambat dan menampung aliran air tersebut. Jumlah

overland flow pada perlakuan kontrol menjadi bertambah besar disebabkan oleh

(55)

Pengaruh Tindakan Konservasi Tanah dan Air terhadap Erosi

Curah hujan merupakan faktor penyebab terjadinya aliran permukaan dan erosi. Hasil pengukuran curah hujan dan overland flow serta sedimen tererosi yang dihasilkan disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Hubungan Curah Hujan, Overland flow dan Erosi

Tanggal

CH rata-rata

(mm)

Kontrol Teras Gulud

Overland flow

(mm)

Sedimen

(kg/ha)

Overland flow Sedimen Aktual

(56)

menampung sedimen. Hal ini sejalan dengan pernyataan Khasanah dkk (2004) bahwa adanya guludan dan saluran mampu memotong dan memperkecil panjang lereng sehingga dapat menahan dan menampung sedimen hasil erosi agar tidak hilang dari areal pertanaman.

Pada perlakuan kontrol karena tidak ada teknik konservasi yang diterapkan menyebabkan sedimen tererosi yang dihasilkan lebih besar. Hal ini disebabkan karena tidak ada hambatan yang mampu menahan dan menampung sedimen tererosi ya ng terbawa bersama aliran air yang mengalir di permukaan.

Berdasarkan Tabel 6 jumlah sedimen tererosi yang dihasilkan pada perlakuan kontrol rata-rata sebesar 50.10 kg/ha, sedangkan pada perlakuan teras gulud sedimen tererosi yang dihasilkan sebesar 17.59 kg/ha. Nilai tersebut menunjukkan bahwa daerah penelitian mempunyai jumlah sedimen tererosi yang relatif kecil. Penyebab rendahnya nilai erosi yang terjadi adalah faktor aliran permukaan, faktor topografi dan faktor vegetasi.

Aliran permukaan merupakan agen utama penyebab terjadinya proses erosi tanah. Aliran permukaan mempunyai hubungan yang sejalan dengan erosi yang dihasilkan, dimana kenaikan aliran permukaan akan diikuti dengan kenaikan sedimen tererosi yang terjadi. Daerah penelitian mempunyai jumlah aliran permukaan yang relatif rendah, hal inilah yang berakibat pada rendahya sedimen tererosi yang dihasilkan.

(57)

permukaan akan dideposisikan di daerah datar tersebut, sehingga hanya sebagian kecil tanah yang terangkut dan sampai ke saluran pengaliran. Hal inilah yang menyebabkan jumlah tanah yang tererosi baik pada perlakuan kontrol maupun pada perlakuan teras gulud menjadi lebih kecil.

Pengaruh faktor vegetasi terhadap besarnya erosi yang terjadi dapat dilihat dari tingkat penutupan tajuk tanaman dan vegetasi penutup tanah yang terdapat pada masing- masing micro cacthment. Tanaman kelapa sawit yang berada pada daerah penelitian merupakan tanama n yang telah berumur 8-9 tahun dengan tingkat penutupan tajuk tanaman yang relatif rapat. Hal ini dapat dilihat dari jarak antar tajuk dari satu tanaman dengan tanaman yang lain cukup dekat. Tingkat penutupan tajuk tanaman yang relatif rapat menyebabkan hujan yang jatuh akan lebih banyak tertahan oleh tajuk tanaman. Selain tertahan oleh tajuk tanaman hujan yang jatuh juga dapat me ngalir melalui aliran batang yang selanjutnya akan diteruskan ke permukaan tanah dengan kekuatan yang relatif kecil. Berkurangnya energi butir hujan yang sampai ke permukaan tanah akan berakibat pada berkurangnya kemampuan butir hujan dalam mendispersi tanah sehingga dapat menurunkan besarnya erosi yang terjadi.

(58)
(59)

Kesimpulan

1. Jumlah overland flow yang terjadi pada perlakuan teras gulud adalah sebesar 59.25 mm, perlakuan kontrol sebesar 95.83 mm dan pada perlakuan rorak sebesar 7.30 mm dengan koefisien limpasan (overland flow) pada perlakuan teras gulud, kontrol dan rorak masing- masing sebesar 0.87, 0.95 dan 0.16.

2. Teknik konservasi berupa teras gulud yang dilengkapi lubang resapan dan mulsa vertikal mampu menekan overland flow dan erosi masing- masing sebesar 46.50 % dan 41.94 %. Bangunan rorak yang dilengkapi lubang resapan dan mulsa vertikal efektif menurunkan overland flow sebesar 52.86 %.

3. Teras gulud yang dilengkapi dengan lubang resapan dan mulsa vertikal efektif dalam menekan aliran permukaan dan erosi dibanding rorak.

Saran

(60)

Alibasyah. M. R. 2000. Aliran Permukaan, Erosi Tanah, dan Hasil Jagung pada Tanah Ultisol dengan Tiga Sistem Olah Tanah dan Mulsa Jagung serta Efek Residunya. Jurnal Agrista. Vol. 4 (3) : 228-236.

Asdak, C. 2004. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Arsyad. S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor

Ayudyaningrum, P. 2006. Pengaruh Jarak Simpanan Depresi Terhadap aliran Permukaan dan Erosi pada Tanah Latosol Darmaga. Skripsi. Jurusan Tanah. IPB.

Banuwa, I. S. 1994. Dinamika Aliran permukaan dan Erosi akibat Tindakan Konservasi Tanah pada Andosol Pangalengan Jawa Barat. Tesis. Pascasarjana. IPB.

Baver, L. D. 1956. Soil Physics. John Willey and Sons, Inc. New York

Brata, K. R. 1995. Peningkatan Efektivitas Mulsa Vertikal sebagai Tindakan Konservasi Tanah dan Air Pada Pertanian Lahan Kering dengan Pemanfaatan Bantuan Cacing Tanah. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. Vol. 5 (2) : 69-72.

Bennet, H. H. 1955. Elements of Soil Conservation. 2nd Edition. McGraw-Hill Book Company, Inc. New York.

Chow, V. T. 1964. Handbook of Applied Hydrology A Compendium of Water-resources Technology. McGraw-Hill. New York.

Direktorat Jenderal Geologi dan Sumberdaya Mineral. 2002. Metadata Geologi – Lembar 1110 Tanjung Karang dan Kota Agung. http://www. djgsm.esdm.go.id/metadata/geomap.djgsm (02/10/2006)

Direktorat Jenderal Perkebunan. 2006. Konsepsi Rencana Pengembangan Cabang Usaha Ternak Sapi pada Perkebunan Kelapa Sawit. http://ditjenbun.deptan.go.id (22/01/2007).

Dzakiroh, S. 2005. Pendugaan Erosi Berbasis PCRaster pada Plot Alami di Sub DAS Ciliwung Hulu. Skripsi. Jurusan Tanah. IPB.

(61)

Harahap, E. W. 1999. Perkembangan Akar Tanaman Kelapa Sawit pada Tanah Terdegradasi di Sosa Tapanuli Selatan Sumatera Utara. Disertasi. Pascasarjana. IPB.

Hardjowigeno, S. 2003. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Akademika Presindo. Jakarta.

Haridjaja, O., K. Murtilaksono., Sudarmo., dan L. M. Rachman. 1991. Hidrologi Pertanian. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Hillel. D. 1971. Soil and Water : Physical Principle and Processes. Academic Press. New York.

Khasanah, Ni’matul., B. Lusiana., Farida., dan M. V. Noordwijk. 2004. Simulasi Limpasan Permukaan dan Kehilangan Tanah pada Berbagai Umur kebun Kopi : Studi Kasus di Sumberjaya Lampung Barat. Jurnal Agrivita. Vol. I (26) : 81-89.

Lubis, A. 2004. Pengaruh Modifikasi Sistem Microcacthment terhadap Aliran Permukaan, Erosi serta Pertumbuhn dan Produksi Kacang Tanah pada Pertanian Lahan Kering. Skripsi. Jurusan Tanah. IPB.

Mansjur, A. 1980. Budidaya tanaman Panili dan Kelapa Sawit. IPB. Jakarta. Moedjimoeljanto, C. 1997. Geologi dan Petrografi Batuan Kristalin Daerah

Beranti dan Sekitarnya, Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan Propinsi Lampung. http://gc.lib.itb.ac.id/go.php?id=jbptitbgc- gdl-s1-1997-cmodjimoe-422 (02/10/2006)

Noeralam, A., S. Arsyad., dan A. Iswandi. 2003. Teknik Pengendalian Aliran Permukaan yang Efektif pada Usahatani Lahan Kering Berlereng. Jurnal Tanah dan Lingkungan. Vol. 5(1) : 13-16.

PTP Nusantara VII (Persero). 2005. Profil Unit Usaha Rejosari. PTPN-VII (Persero) UU Rejosari. Lampung.

Rahim, S. E. 2003. Pengedalian Erosi Tanah dalam Rangka Pelestarian Lingkungan Hidup. Edisi I. Bumi Aksara. Jakarta.

Sa’ad, N. S. 2004. Kajian Pendugaan Erosi Sub Daerah Aliran Sungai Tugu Utara (Ciliwung Hulu). J. Tanah dan Lingkungan. Vol. 6(1) : 31-38.

(62)

Sinukaban, N., K. Murtilaksono. 1991. Pengaruh Penggunaan Mulsa dan Pengelolaan Tanah terhadap Erosi, Aliran Permukaan dan Selektivitas Erosi pada Tanah Latosol Coklat Kemerahan Darmaga. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. Vol. I (1).

Siregar, H. H. 1998. Model simulasi produksi kelapa sawit berdasarkan karakteristik kekeringan kasus kebun kelapa sawit di Lampung. Tesis. Pascasarjana. IPB.

Sitorus, S. R. P. 2004. Pengembangan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan. Edisi Ketiga. IPB. Bogor.

Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Jurusan Tanah. Institut Pertanian. Bogor. Soil Survey Staff. 1992. Kunci Taksonomi Tanah. Edis i Pertama. PPT dan

Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.

Sukartaatmadja, S. 1998. Perlindungan Lereng dan Pengendalian Erosi Menggunakan Vegetasi Penutup. Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. IPB.

Suripin. 2002. Pelestarian Sumberdaya Tanah dan Air. Penerbit Andi. Yogyakarta.

Tim Faperta IPB-PPKS Medan.2006. Teknik Peresapan Air Bebas Aliran Permukaaan dalam Upaya Peningkatan Produksi Kelapa Sawit. IPB. Umboh, A. H. 2000. Petunjuk Penggunaan Mulsa. Penebar Swadaya. Depok. Wijana, G. 2001. Analisis fisiologi biokimia dan molekuler sifat toleran tanaman

kelapa sawit (Elaeis guineensis. Jacq.) terhadap cekaman kekeringan. Disertasi. Pascasarjana. IPB.

Yahya, S. 1990. Budidaya Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.). Fakutas Pertanian.IPB.Bogor.

(63)

DATA SUHU UDARA RATA-RATA MAKSIMUM BULANAN DAERAH BRANTI

TAHUN BULAN

JAN PEB MAR APR MEI JUNI JULI AGS SEPT OKT NOP DES

2000 31.0 31.3 32.0 32.5 33.3 31.3 31.7 31.8 33.9 32.5 31.7 31.7

2001 31.4 31.2 32.0 33.0 32.3 32.1 31.8 32.6 32.4 32.2 32.0 31.4

2002 31.6 31.1 32.8 32.3 32.7 32.4 32.0 32.8 34.0 36.0 34.0 32.5

2003 32.2 31.3 32.0 32.1 32.5 32.8 32.0 33.4 32.5 32.7 31.9 31.3

2004 32.0 31.2 32.1 32.3 32.5 31.5 31.8 32.8 33.9 34.1 33.2 31.7

2005 31.1 32.1 31.9 31.7 31.4 31.6 31.4 31.4 33.0 32.2 31.8 32.5

JUMLAH 189.3 188.2 192.8 193.9 194.7 191.7 190.7 194.8 199.7 199.7 194.6 191.1

MEAN 31.6 31.4 32.1 32.3 32.5 32.0 31.8 32.5 33.3 33.3 32.4 31.9

DATA SUHU UDARA RATA-RATA MINIMUM BULANAN DAERAH BRANTI

TAHUN BULAN

JAN PEB MAR APR MEI JUNI JULI AGS SEPT OKT NOP DES

2000 23.0 22.5 22.8 23.1 23.2 22.4 22.0 21.2 22.2 24.9 23.4 23.5

2001 23.0 22.4 22.7 22.7 23.2 22.2 21.5 21.6 21.9 22.6 23.1 22.9

2002 23.3 23.1 23.5 23.6 23.2 22.9 22.9 21.9 21.9 22.3 23.7 23.7

2003 23.7 23.6 23.4 23.5 23.4 22.8 21.7 21.8 22.3 22.5 23.3 23.3

2004 23.1 22.6 23.4 23.5 23.8 22.2 28.4 21.7 22.4 22.4 22.8 23.3

2005 23.5 23.7 23.5 23.8 23.7 23.4 22.6 22.5 23.1 23.4 23.6 23.4

JUMLAH 139.6 137.9 139.3 140.2 140.5 135.9 139.1 130.7 133.8 138.1 139.9 140.1

(64)

DATA SUHU UDARA RATA-RATA BULANAN DAERAH BRANTI

TAHUN BULAN

JAN PEB MAR APR MEI JUNI JULI AGS SEPT OKT NOP DES

2000 26 26.2 26.5 26.8 27.2 26 25.9 25.7 26.9 26.9 26.7 26.7

2001 26.2 26 26.5 26.9 26.9 26.6 26 26.5 26.3 26.8 26.4 26.2

2002 27.5 27.2 27.8 26.9 27 26.8 26.4 26.4 27.1 28.2 27.5 27

2003 27.1 26.4 26.8 26.8 26.9 26.6 25.9 26.6 26.5 26.8 26.6 26.1

2004 26.9 24.5 26.5 25.7 26.9 25.4 25.9 26.2 26.1 27.5 26.3 26.5

2005 26.1 26.5 26.3 26.7 26.7 26.3 26.1 25.9 27.2 26.8 26.8 26.9

JUMLAH 159.8 156.8 160.4 159.8 161.6 157.7 156.2 157.3 160.1 163 160.3 159.4

(65)

DATA KELEMBABAN RATA-RATA BULANAN DAERAH BRANTI

TAHUN BULAN

JAN PEB MAR APR MEI JUNI JULI AGS SEPT OKT NOP DES

2000 86 84 82 83 80 84 85 81 78 80 83 83

2001 85 86 84 82 83 83 82 78 83 82 85 85

2002 83 81 81 87 84 81 83 79 74 69 78 84

2003 82 87 85 84 84 81 81 75 80 81 83 87

2004 84 81 85 84 83 78 84 77 76 76 79 84

2005 84 84 80 80 78 76 78 76 76 76 78 75

JUMLAH 504 503 497 500 492 483 493 466 467 464 486 498

(66)
(67)
(68)
(69)
(70)
(71)
(72)
(73)

Tanggal Pulsa TMA (cm)

Debit Aliran (L/dtk)

14/06/06 542 4.1 0.7143

15/06/06 543 4.8 0.8713

16/06/06 545 4.4 0.7792

17/06/06 533 4.8 0.9243

18/06/06 527 4.2 0.7176

19/06/06 518 3.9 0.7284

20/06/06 513 3.8 0.5147

21/06/06 515 3.8 0.5125

22/06/06 515 3.9 0.5344

23/06/06 516 3.8 0.5484

24/06/06 516 3.4 0.4313

25/06/06 514 3.2 0.3535

26/06/06 514 3.4 0.4326

27/06/06 511 3 0.3220

28/06/06 510 3 0.3146

29/06/06 512 3.2 0.3410

(74)
(75)
(76)
(77)
(78)
(79)
(80)
(81)
(82)

Gambar Lampiran 1. Kurva Linier Tinggi Muka Air

350 400 450 500 550

Pulsa

100 150 200 250 300 350 400 450

Pulsa

100 150 200 250 300 350 400 450 500

Pulsa

400 500 600 700 800 900 1000

(83)

g

y = 0,6437x - 48,801 R2

= 0,7001

0 5 10 15 20

70 80 90 100

Pulsa

TMA (cm)

d

y = 0,119x - 8,9096 R2 = 0,66

0 10 20 30 40 50 60 70

100 150 200 250 300 350 400 450 500

Pulsa

(84)

Gambar

Gambar 1. Tata Letak Blok dan Peralatan pada Areal Penelitian
Gambar 2. Teras Gulud (a) dan Rorak (b) pada Lokasi Penelitian
Gambar 4.  Kurva Lengkung Debit Aliran AWLR 1 (a), AWLR 2 (b), AWLR 3
Gambar 5. Kurva Lengkung Debit Sedimen AWLR 1 (a), AWLR 2 (b), AWLR
+7

Referensi

Dokumen terkait

The question also tests the following writing assessment objectives (5 marks): W1 articulate experience and express what is thought, felt and imagined W2 sequence facts, ideas

Perbandingan antara transformasi laplace dari output dengan transformasi laplace dari inputnya, dengan anggapan semua kondisi awal = 0.. PROSES atau

Komentar 1) Mengubah tingkat persediaan Mengubah sumberdaya manusia secara bertahap atau tidak sama sekali; tidak ada perubahan produksi secara tiba-tiba. Biaya menahan

 Apartemen dan Rental Shops ini sebagai sebuah hunian dan tempat tinggal, sedangkan rental shops sebagai tempat perbelanjaan dalam lingkup yang sedang, di. buka setiap hari

Matematika Materi Garis Singgung Lingkaran Kelas VIII A (Unggulan) MTs Negeri Pagu Tahun Ajaran 2014/2015.. dengan pembelajaran matematika yang harus teliti, terampil dan

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui letak kekuatan (strengh), kelemahan (weaknesss), peluang (opportunity), dan ancaman (threats) pada proses pembinaan

Pemberian pupuk organik cair sampah kota menunjukkan pengaruh nyata terhadap paramter tinggi tanaman, jumlah daun, produksi per tanaman produksi per plot, dengan dosis

Sementara untuk daya listrik pada pengers suara dan LCD Proyektor tidak dilakukan pengukuran karena masih dayanya kecil.Metode analisis data adalah denganm metode analisis