POTENSI EKSTRAK TEMPE SEBAGAI
ANTIAGING
PADA
TIKUS BETINA SEBAGAI HEWAN MODEL
SAFRIDA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Potensi Ekstrak Tempe sebagai Antiaging pada Tikus Betina sebagai Hewan Model adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2013
Safrida
ABSTRACT
SAFRIDA. The Potential of Tempeh Extract as an Antiaging Using Female Rats as Animal Models. Supervised by NASTITI KUSUMORINI, WASMEN MANALU, and HERA MAHESHWARI.
Aging is a decline in physiological functions of the body. In women, when entering old age, the function of ovaries is decline thus causing a reduction of estrogen hormone production. The decline of this hormone has an impact on the function of several organs, including the uterus, skin, and bones. One approach taken to improve organs function in the process of aging is hormone replacement therapy. Medically, hormone replacement therapy has been performed using synthetic hormone. However, the use of synthetic hormone replacement therapy could increase the risk of breast cancer and cardiovascular diseases. To decrease the unfavorable risk of treatment of synthetic hormone, the research was focused on the use of natural materials. Extract tempeh is a natural substance that contains phytoestrogens, having similar estrogen activity. This study was designed to determine the condition of an animal model for premenopausal and postmenopausal using uterus, skin, and bone quality parameters, and to study the role of tempeh extract for improvements premenopausal and postmenopausal conditions. The research was conducted in three stages. The first stage was designed to study the condition of an animal model for premenopausal and postmenopausal using uterus, skin, and bone quality parameters. The second stage was designed to study the potential effects of tempeh extract to improve the qualities of uterus, skin, and bone in premenopausal conditions. The third stage was designed to study the potential effects of tempeh extract to improve the qualities of uterus, skin, and bone in postmenopausal conditions. The results showed that rats aged 18 months were marked by a decline in serum progesterone concentrations, uterus collagen concentrations, DNA and RNA concentrations of the uterus, skin collagen concentrations, RNA concentrations of the skin, RNA concentrations of the bone, and these parameters were used as premenopausal conditions. Rats aged 30-36 months were marked by a drastic decline in serum progesterone concentrations, uterus collagen concentrations, RNA concentrations of the uterus, skin collagen concentrations, RNA concentrations of the skin, bone collagen concentrations, RNA concentrations of the bone, bone calcium concentrations, ratio of Ca/P in tibial bone, and bone density and this parameters were used as postmenopausal conditions. The ovariectomized rats having similar appearances to postmenopausal conditions were found in rats aged 12 months with 3 months postovariectomy. Supplementations of tempeh extract for two months in premenopausal rats could maintain the quality of the uterus, improved the qualities of skin and bone. At postmenopausal conditions, tempeh extract could improve the qualities of uterus, skin, and bone.
RINGKASAN
SAFRIDA. Potensi Ekstrak Tempe sebagai Antiaging pada Tikus Betina sebagai Hewan Model. Dibimbing oleh NASTITI KUSUMORINI, WASMEN MANALU, dan HERA MAHESHWARI.
Penuaan adalah penurunan fungsi tubuh secara fisiologis. Pada wanita, saat memasuki usia tua terjadi penurunan fungsi ovarium sehingga kadar hormon estrogen berkurang. Penurunan hormon ini memiliki dampak pada fungsi beberapa organ tubuh, di antaranya uterus, kulit, dan tulang. Salah satu pendekatan yang dilakukan untuk mengatasi proses penuaan ialah dengan terapi sulih hormon. Secara medis, terapi sulih hormon sudah dilakukan menggunakan preparat hormon sintetis. Namun, penggunaan preparat hormon sintetis dapat meningkatkan risiko kanker payudara dan penyakit kardiovaskuler. Untuk mengatasi risiko yang tidak menguntungkan pada terapi preparat hormonal sintetis, maka penelitian diarahkan pada penggunaan bahan alami. Ekstrak tempe merupakan bahan alami yang mengandung fitoestrogen dan mempunyai aktivitas mirip estrogen.
Penelitian ini bertujuan untuk menetapkan kondisi hewan model premenopause dan pascamenopause dengan menggunakan parameter kualitas uterus, kulit, dan tulang serta mengetahui potensi ekstrak tempe dalam memperbaiki kualitas uterus, kulit, dan tulang pada kondisi premenopause dan pascamenopause. Penelitian ini terdiri atas tiga tahap penelitian. Tahap pertama adalah penentuan kondisi hewan model premenopause dan pascamenopause. Tahap kedua bertujuan untuk mempelajari potensi ekstrak tempe pada kondisi premenopause. Tahap ketiga bertujuan untuk mempelajari potensi ekstrak tempe pada kondisi pascamenopause.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tikus umur 18 bulan ditandai dengan mulai terjadinya penurunan hormon progesteron, kadar kolagen uterus, kadar DNA dan RNA uterus, kadar kolagen dan RNA kulit, kadar RNA tulang, dan hal ini menjadi dasar penentuan kondisi premenopause. Tikus umur 30-36 bulan ditandai dengan penurunan secara drastis kadar hormon progesteron, kadar kolagen uterus, kadar RNA uterus, kadar kolagen kulit, kadar RNA kulit, kadar kolagen tulang, kadar RNA tulang, kadar kalsium tulang, rasio Ca/P tulang tibia, dan densitas tulang dan hal ini menjadi dasar penentuan kondisi pascamenopause. Tikus ovariektomi yang cocok digunakan sebagai hewan model pascamenopause menggunakan parameter kualitas uterus, kulit, dan tulang adalah tikus umur 12 bulan dalam kondisi 3 bulan pascaovariektomi.
Pemberian ekstrak tempe selama dua bulan pada tikus premenopause dapat mempertahankan kualitas uterus, yang ditandai dengan bobot uterus, kadar kolagen uterus, kadar DNA uterus, dan kadar RNA uterus dalam keadaan normal; meningkatkan kualitas kulit, yang ditandai dengan peningkatan kadar kolagen kulit dan kadar RNA kulit; meningkatkan kualitas tulang, yang ditandai dengan peningkatan kadar kalsium tulang, rasio kadar Ca/P tulang tibia, kadar abu tulang, densitas tulang, dan kekuatan tulang.
kualitas kulit tikus pascamenopause, yang ditandai dengan peningkatan kadar kolagen kulit dan kadar RNA kulit. Pemberian ekstrak tempe memberikan efek positif pada kualitas tulang tikus pascamenopause, yang ditandai dengan peningkatan kadar kalsium tulang, fosfor tulang, kadar abu tulang, kadar kolagen tulang, kadar RNA tulang, bobot tulang, densitas tulang, dan kekuatan tulang. Pemberian ekstrak tempe dapat berfungsi sebagai antiaging dalam memperbaiki kualitas uterus, kulit, dan tulang pada kondisi premenopause dan pascamenopause
©
Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
POTENSI EKSTRAK TEMPE SEBAGAI
ANTIAGING
PADA
TIKUS BETINA SEBAGAI HEWAN MODEL
SAFRIDA
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada
Program Studi Ilmu-ilmu Faal dan Khasiat Obat
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Drh. Aryani Sismin Satyaningtijas, M.Sc, AIF
Prof. Dr. Drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto, M.S, Ph.D
Penguji pada Ujian Terbuka: Dr. Drh. Ligaya ITA Tumbelaka, SP. MP, M.Sc
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2010 sampai April 2012 ini ialah antipenuaan, dengan judul Potensi Ekstrak Tempe sebagai Antiaging pada Tikus Betina sebagai Hewan Model.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Nastiti Kusumorini, Bapak Prof. Ir. Wasmen Manalu, Ph.D dan Ibu Dr. Drh. Hera Maheshwari, M.Sc selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Drh. Aryani Sismin Satyaningtijas, M.Sc, AIF dan Bapak Prof. Dr. Drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto, M.S, Ph.D selaku penguji luar komisi pada ujian sidang tertutup, dan Bapak Drh. Agus Setiyono, Ph.D, sebagai pimpinan sidang pada ujian tertutup. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Drh. Ligaya ITA Tumbelaka, SP. MP, M.Sc dan Bapak Dr. Drh. I Nyoman Suarsana, M.Si, atas kesediaannya menjadi penguji luar komisi pada ujian sidang terbuka, dan Bapak Drh. Srihadi Agungpriyono, Ph.D, sebagai pimpinan sidang pada ujian terbuka.
Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Ketua Program Studi Ilmu-ilmu Faal dan Khasiat Obat Bapak Prof. Dr. Drh. Agik Suprayogi, M.Sc, AIF dan semua staf pengajar Program Studi Ilmu-ilmu Faal dan Khasiat Obat IPB, Ibu Hj Asmarida, Ibu Sri, dan Pak Wawan dari Laboratorium Fisiologi dan Farmakologi IPB, Bapak Edy di kandang hewan Percobaan FKH, Bapak Dr. drh. Deni Noviana dan Bapak Drh. M Fakhrul Ulum dari Laboratorium Bedah FKH IPB, Ibu Dian Anggraeni dari Laboratorium Nutrisi Fakultas Peternakan IPB, Bapak Bachtiar Effendi dan Mas Irfan dari Laboratorium Keteknikan Kayu Fakultas Kehutanan IPB, Ibu Siti Nurvah beserta staf laboran dari Laboratorium BALITTRO, Bapak Yudi beserta staf laboran dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Bogor atas bantuan dan kerja samanya. Terima kasih juga kepada Adri, Eddy, rekan-rekan mahasiswa IFO, serta semua pihak yang telah banyak membantu penulis.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, suami tercinta Tgk. Muksin, SE dan anak-anak penulis Almas Mubarak Muksin, dan Ayatullah Mubarak Muksin serta seluruh keluarga, atas doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat
Bogor, Maret 2013
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Mon Alu Aceh Besar pada Tanggal 5 Agustus 1980 sebagai anak keempat dari pasangan Bapak Anwar Achmad dan Ibu Suwardiah. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Pendidikan Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Syiah Kuala, lulus pada tahun 2002. Pada tahun 2006, penulis diterima di Progam Studi Biologi pada Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 2008. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi Ilmu-ilmu Faal dan Khasiat Obat pada Program Pascasarjana IPB diperoleh pada tahun 2008. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Penulis bekerja sebagai dosen di Jurusan Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Syiah Kuala Banda Aceh sejak tahun 2005. Bidang penelitian yang menjadi tanggung jawab penulis ialah fisiologi hewan.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL i
DAFTAR GAMBAR ii
DAFTAR LAMPIRAN iii
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 3
Hipotesis 4
Manfaat Penelitian 4
Kebaruan 4
Kerangka Pemikiran 4
2 TINJAUAN PUSTAKA 7
Tempe 7
Fitoestrogen 9
Isoflavon 10
Penuaan 16
Penuaan pada Wanita 17
Hormon Estrogen 20
Hormon Progesteron 30
Uterus 31
Kulit 32
Tulang 34
DNA dan RNA 37
Tikus sebagai Hewan Model 37
3 PENENTUAN KONDISI PREMENOPAUSE DAN PASCAMENOPAUSE
MENGGUNAKAN TIKUS SEBAGAI HEWAN MODEL 39
Abstrak 39
Abstract 40
Pendahuluan 41
Bahan dan Metode 42
Hasil dan Pembahasan 46
Simpulan 61
4 SUPLEMENTASI EKSTRAK TEMPE UNTUK PERBAIKAN KONDISI PREMENOPAUSE MENGGUNAKAN TIKUS SEBAGAI HEWAN MODEL
Abstrak 65
Abstract 66
Pendahuluan 67
Bahan dan Metode 68
Hasil dan Pembahasan 72
Simpulan 81
Daftar Pustaka 81
5 PERAN PEMBERIAN EKSTRAK TEMPE UNTUK PERBAIKAN KONDISI PASCAMENOPAUSE MENGGUNAKAN TIKUS SEBAGAI HEWAN MODEL
Abstrak 85
Abstract 86
Pendahuluan 87
Bahan dan Metode 88
Hasil dan Pembahasan 93
Simpulan 102
Daftar Pustaka 103
6 PEMBAHASAN UMUM 107
7 SIMPULAN DAN SARAN 111
DAFTAR PUSTAKA 113
DAFTAR TABEL
1 Komposisi rata-rata zat gizi tempe kedelai murni dan tempe pasar per 100 g
9 2 Hasil analisis kuantitatif senyawa isoflavon tepung kedelai dan tepung
tempe dalam kg bahan 11
3 Afinitas-afinitas relatif ikatan ligan-ligan yang berbeda untuk reseptor
estrogen α dan reseptor estrogen β 26
4 Rataan kadar progesteron serum dan bobot badan pada berbagai
tingkatan umur tikus normal dan ovariektomi 46
5 Rataan bobot, kadar kolagen, DNA, dan RNA uterus pada berbagai
tingkatan umur tikus normal dan ovariektomi 49 6 Rataan kadar kolagen, DNA, dan RNA kulit pada berbagai tingkatan
umur tikus normal dan ovariektomi 31
7 Rataan kadar kolagen, DNA, dan RNA tulang pada berbagai
tingkatan umur tikus normal dan ovariektomi 53
8 Rataan kadar kalsium tulang, fosfor tulang, rasio kadar Ca/P tulang tibia, dan kadar abu tulang pada berbagai tingkatan umur tikus normal dan ovariektomi
55
9 Rataan kadar kalsium dan fosfor serum pada berbagai tingkatan
umur tikus normal dan ovariektomi 57
10 Rataan panjang, bobot, dan densitas tulang pada berbagai tingkatan umur tikus normal dan ovariektomi
58 11 Perbandingan kualitas uterus, kulit, dan tulang pada berbagai tingkatan
umur tikus normal dan ovariektomi dengan tikus umur 12 bulan
60
12 Rataan kadar progesteron serum dan bobot badan pada tikus premenopause
72
13 Rataan bobot, kadar kolagen, kadar air, dan kadar RNA uterus pada
tikus premenopause 73
14 Rataan kadar kolagen, kadar air, dan kadar RNA kulit pada
tikus premenopause 75
15 Rataan kadar kolagen, kadar air, dan kadar RNA tulang pada tikus
Premenopause 76
16 Rataan kadar kalsium tulang, kadar fosfor tulang, rasio Ca/P tulang
tibia, dan kadar abu tulang pada tikus premenopause 77
17 Rataan kadar kalsium dan fosfor serum pada tikus premenopause 79 18 Rataan panjang, bobot, densitas, dan kekuatan tulang tibia pada
tikus premenopause 80
19 Rataan kadar progesteron serum dan bobot badan pada tikus pascamenopause
93
20 Rataan bobot, kadar kolagen, kadar air, dan kadar RNA uterus pada
21 Rataan kadar kolagen, kadar air, dan kadar RNA kulit pada tikus
Pascamenopause 96
22 Rataan kadar kolagen, kadar air, dan kadar RNA tulang pada tikus
pascamenopause 98
23 Rataan kadar kalsium tulang, kadar fosfor tulang, rasio Ca/P
tulang, dan kadar abu tulang pada tikus pascamenopause 99
24 Rataan kadar kalsium dan fosfor serum pada tikus
Pascamenopause 100
25 Rataan panjang, bobot, densitas, dan kekuatan tulang tibia pada
tikus pascamenopause 101
26 Perbandingan jenis sel pada preparat ulas vagina 132
DAFTAR GAMBAR
1 Bagan alir kerangka pemikiran 5
2 Perbandingan kemiripan struktur equol isoflavon dengan estradiol 12 3 Skema pembentukan steroid pada perkembangan folikel 21 4 Diagram skematik pengaturan siklus reproduksi pada hewan betina 23 5 Diagram skematik ikatan estrogen dengan reseptor estrogen alfa dan
reseptor estrogen beta dapat memodulasi ekspresi gen yang berbeda 27
6 Diagram skematik aksi estrogen secara genomik dan nongenomik 28 7 Diagram skematik ikatan IGF-1 dengan reseptor estrogen (IGF-1/ER)
pada uterus 32
8 Bagan alur penelitian Tahap I 45
9 Profil rataan kekuatan tulang pada tikus normal 59
10 Bagan alur penelitian Tahap II 71
11 Bagan alur penelitian Tahap III 92
12 Pengujian tekan tegak lurus tulang 130
13 Gambaran ulas vagina tikus putih galur Sprague-Dawley 131
DAFTAR LAMPIRAN
1 Prosedur pengukuran bobot badan dan bobot uterus 123 2 Prosedur penentuan kadar hormon progesteron 123
3 Prosedur penentuan kadar kolagen 124
4 Prosedur penentuan kadar DNA 124
5 Prosedur penentuan kadar RNA 125
6 Prosedur penentuan kadar kalsium dan fosfor 126
8 Prosedur penentuan densitas dan massa tulang tibia-fibula tikus 129
9 Prosedur pengujian kekuatan tulang 130
10 Prosedur penentuan fase diestrus 131
11 Prosedur pembuatan tempe 133
12 Prosedur pembuatan ekstrak tempe 133
13 Prosedur analisis kandungan bioaktif isoflavon dan komposisi
zat gizi ekstrak tempe 133
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tempe merupakan makanan tradisional Indonesia yang diolah melalui
proses fermentasi kedelai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedelai dan
produk olahannya mengandung senyawa isoflavon. Isoflavon yang dominan pada
tempe adalah aglikon (genistein dan daidzein) yang dihasilkan dari pelepasan
glukosa dari glikosida. Tempe mengandung lebih banyak senyawa isoflavon
aglikon bila dibandingkan dengan kedelai mentah (Safrida 2008). Isoflavon
terbukti mempunyai efek hormonal, khususnya efek estrogenik. Aktivitas
estrogenik isoflavon diketahui terkait dengan struktur kimianya yang mirip
dengan dietilstilbesterol, yang biasanya digunakan sebagai obat yang memiliki
sifat estrogenik (Pawiroharsono 2007). Struktur isoflavon dapat ditransformasikan
menjadi equol yang mempunyai struktur fenolik mirip dengan hormon estrogen
(Setchell dan Cassidy1999).
Struktur molekul equol isoflavon memiliki kemiripan dengan struktur
estrogen sehingga isoflavon disebut estrogen like. Isoflavon kedelai adalah
senyawa fitoestrogen yang mempunyai kesamaan struktur kimia dengan estrogen
mamalia (Setchell dan Adlercreutz 1988). Isoflavon mampu berikatan dengan
reseptor estrogen (RE) yang terdapat dalam sel berbagai jaringan tubuh dan
berpotensi secara agonis maupun antagonis terhadap kerja estrogen (Brzozowski
et al. 1997). Penelitian Persky et al. (2002) mengungkapkan bahwa isoflavon
dapat bertindak sebagai estrogen antagonis (menghambat) pada saat estrogen
endogen dalam konsentrasi tinggi, dan bertindak sebagai estrogen agonis
(menstimulir) pada saat hormon estrogen endogen dalam konsentrasi rendah.
Afinitas fitoestrogen terhadap reseptor estrogen sangatlah rendah bila
dibandingkan dengan estrogen endogen sehingga diperlukan jumlah fitoestrogen
yang sangat besar untuk memperoleh efek yang memadai menyamai efek estrogen
endogen. Fitoestrogen diketahui berpotensi lebih rendah, yaitu 10-3-10-5 kali dibanding estrogen endogen, namun mampu berikatan kuat dengan reseptor
Isoflavon merupakan salah satu bagian dari kelompok fitoestrogen, suatu
substansi yang berasal dari tumbuhan yang memiliki struktur mirip dengan
17-beta-estradiol dan dapat berikatan dengan reseptor estrogen. Isoflavon mempunyai
afinitas yang lebih tinggi terhadap reseptor estrogen beta daripada reseptor
estrogen alfa dan memiliki potensi untuk mengaktifkan jalur sinyal estrogen, baik
secara genomik maupun nongenomik. Dewasa ini dilaporkan bahwa isoflavon
mempunyai efek positif pada kesehatan manusia, seperti dapat mencegah kanker
yang disebabkan atau berkaitan dengan hormon, penyakit kardiovaskuler,
osteoporosis, keluhan menopause, dan penuaan. Isoflavon dapat memberikan
wawasan baru tentang mekanisme pengaturan fisiologi dan menambah berbagai
kemungkinan bagi intervensi medis (Pilšákováet al. 2010).
Penuaan menyebabkan penurunan beberapa fungsi tubuh. Penurunan
fungsi organ tubuh berbeda bergantung pada waktu (Rastogi 2007). Wanita
mengalami masa transisi dari reproduktif ke nonreproduktif yang disebut masa
klimakterium (Wirakusumah 2004). Masa klimakterium dibagi dalam empat
tahap, yaitu premenopause, perimenopause, menopause, dan pascamenopause.
Premenopause ditandai dengan mulai terjadi penurunan fungsi reproduksi (Kasdu
2004). Perimenopause ditandai dengan perubahan pada pola perdarahan haid,
yang diakibatkan karena defisiensi atau berfluktuasinya estrogen dan progesteron
(Zulkarnaen 2003). Menopause merupakan suatu proses penuaan alami dalam
kehidupan wanita. Pada saat memasuki menopause, kadar estrogen menurun,
namun tidak seluruhnya menghilang (Sibuea et al. 1996). Pada masa ini, fungsi
ovarium berkurang sehingga kadar hormon estrogen dan progesteron menjadi
berkurang (Timiras et al. 1995). Pascamenopause ditandai dengan kadar estrogen
dan progesteron yang rendah (Zulkarnaen 2003).
Salah satu efek menopause ialah menyebabkan gangguan metabolik pada
tulang atau osteoporosis (Winarsi 2005). Hasil penelitian pada tikus ovariektomi
yang diberikan genistein sebanyak 0.25 mg/kg/hari selama tujuh minggu ternyata
dapat meningkatkan densitas tulang (Chanawirat et al. 2006). Selanjutnya,
penelitian Bitto et al. (2008) menyatakan bahwa pemberian genistein aglikon
sebanyak 10 mg/kg/hari selama 12 minggu pada tikus ovariektomi menunjukkan
apabila dibandingkan dengan perlakuan lain yang diberikan alendronate,
raloxifine, dan estradiol.
Kulit dipengaruhi oleh hormon estrogen. Berkurangnya kadar estrogen dan
progesteron memiliki dampak negatif pada kulit. Kulit para wanita yang berada
dalam masa menopause menjadi lebih tipis, mengendur dan kehilangan
elastisitasnya, produksi kolagen menurun, fungsi kelenjar minyak menurun, dan
kulit juga menjadi kering (Brincat 2000; Datau dan Wibowo 2005). Semakin
bertambahnya umur, kelarutan (solubility) kolagen menurun dan terjadi
penumpukan insoluble kolagen di ruang ekstraseluler sehingga mencegah aliran
nutrien dan oksigen ke sel yang menyebabkan sel tersebut mengalami kelaparan
dan kematian. Hal ini memberikan kontribusi terhadap penuaan karena penurunan
aktivitas mRNA sel, termasuk juga sel otot (Kanungo 1994).
Salah satu pendekatan yang dilakukan untuk mengatasi proses penuaan
ialah dengan terapi sulih hormon (TSH). Penggunaan TSH merupakan perawatan
medis yang dilakukan untuk menghilangkan gejala atau keluhan selama dan
setelah menopause. Saat ini, jenis TSH yang digunakan merupakan kombinasi
estrogen dan progesteron sintesis, namun penggunaan TSH ini dilaporkan dapat
meningkatkan risiko kanker payudara (Rossouw et al. 2002), dan penyakit
kardiovaskuler (Grady et al. 2002). Mencermati hal tersebut di atas, ekstrak tempe
yang mengandung fitoestrogen mempunyai harapan untuk dijadikan sebagai salah
satu obat oral dalam terapi sulih hormon sebagai pengganti hormon estrogen yang
relatif aman yang bermanfaat sebagai antiaging.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji mekanisme fitoestrogen yang
terkandung dalam ekstrak tempe kedelai mempunyai potensi sebagai antiaging
pada hewan betina. Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah:
1. Penentuan kondisi hewan model premenopause dan pascamenopause
dengan menggunakan parameter kualitas uterus, kulit, dan tulang.
2. Mengetahui potensi ekstrak tempe untuk perbaikan kondisi premenopause.
3. Mengetahui potensi ekstrak tempe untuk perbaikan kondisi
Hipotesis
Pemberian ekstrak tempe berfungsi sebagai antiaging melalui perbaikan
kualitas uterus, kulit, dan tulang.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memanfaatkan ekstrak tempe sebagai
obat oral dalam memperbaiki kualitas uterus, kulit, dan tulang pada kondisi
premenopause dan pascamenopause. Data ini dapat digunakan untuk penerapan
dan pengembangan dalam ilmu kedokteran serta ilmu pengetahuan dan teknologi
(IPTEK), terutama dalam bidang farmasi.
Kebaruan (Novelty)
Sejauh ini penentuan usia premenopause dan pascamenopause pada
manusia dilakukan dengan menggunakan parameter kadar hormon progesteron.
Penelitian ini tidak hanya menentukan masa premenopause dan pascamenopause
berdasarkan kadar hormon progesteron, tetapi kondisi hewan model
premenopause dan pascamenopause ditentukan dengan menggunakan parameter
uterus, kulit, dan tulang pada tikus. Hingga saat ini belum pernah dilaporkan
penelitian tentang penentuan kondisi hewan model premenopause dan
pascamenopause menggunakan parameter uterus, kulit, dan tulang pada tikus.
Selain itu, penggunaan ekstrak tempe dalam memperbaiki kualitas uterus, kulit,
dan tulang pada tikus premenopause dan pascamenopause juga belum pernah
dilaporkan.
Kerangka Pemikiran
Penuaan adalah penurunan secara fisiologis fungsi tubuh dan berbagai
sistem organ yang mengakibatkan peningkatan kejadian penyakit. Proses penuaan
pada wanita berlangsung lebih dramatis, karena pada saat memasuki usia tua
terjadi penurunan fungsi organ reproduksi sehingga kadar hormon estrogen
menurun. Penurunan hormon ini juga memiliki dampak pada fungsi beberapa
organ tubuh, di antaranya uterus, kulit, dan tulang. Saat ini, ada tiga pendekatan
penanggulangan obesitas, dan terapi sel punca. Secara medis, terapi sulih hormon
menggunakan preparat hormon sintetis. Untuk mengatasi risiko yang tidak
menguntungkan pada terapi preparat hormonal sintetis dalam jangka panjang, saat
ini penelitian lebih banyak diarahkan pada penggunaan bahan alami. Tempe
adalah salah satu makanan tradisional Indonesia yang digemari masyarakat dan
mempunyai kandungan fitoestrogen (estrogen nabati) yang tinggi. Senyawa
fitoestrogen mempunyai kesamaan struktur kimia dengan estrogen mamalia dan
dapat berikatan dengan reseptor estrogen. Hal ini menjadi dasar pemikiran
penggunaan ekstrak tempe sebagai bahan alami yang dapat memperbaiki kualitas
uterus, kulit, dan tulang untuk mengatasi penurunan kualitas hidup pada saat
memasuki usia tua, yakni premenopause dan pascamenopause (Gambar 1).
Gambar 1 Bagan Alir Kerangka Pemikiran
Dari uraian tersebut dapat dijelaskan bahwa penuaan akan menurunkan
kualitas hidup. Sejauh mana perbaikan kualitas uterus, kulit, dan tulang pada saat
penuaan dengan menggunakan ekstrak tempe dapat diketahui dari kegiatan
penelitian yang dibagi atas tiga tahapan ini. Masing-masing penelitian dilakukan
dengan metode yang spesifik yang hasil dan pembahasannya disampaikan pada
bagian tersendiri dari disertasi ini, dengan judul:
1. Penentuan Kondisi Hewan Model Premenopause dan Pascamenopause
dengan Menggunakan Tikus sebagai Hewan Model. Penuaan wanita
Estrogen
Tulang Kulit
Estrogen like
Fungsi ovarium Ekstrak tempe
Uterus +
+
--
-+ +
2. Suplementasi Ekstrak Tempe untuk Perbaikan Kondisi Premenopause
Menggunakan Tikus sebagai Hewan Model
3. Peran Pemberian Ekstrak Tempe untuk Perbaikan Kondisi
PENENTUAN KONDISI PREMENOPAUSE DAN PASCAMENOPAUSE MENGGUNAKAN TIKUS SEBAGAI HEWAN MODEL
Safrida1, Nastiti Kusumorini2, Wasmen Manalu2, Hera Maheshwari2
1
Mahasiswa Program Doktor Mayor Ilmu-ilmu Faal dan Khasiat Obat, Sekolah Pascasarjana, IPB, 2Mayor Ilmu-ilmu Faal dan Khasiat Obat, IPB.
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menetapkan kondisi hewan model premenopause dan pascamenopause dengan menggunakan parameter kualitas uterus, kulit, dan tulang. Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan pola rancangan acak lengkap (RAL) dengan sembilan kelompok perlakuan dan tiga kali ulangan. Kelompok perlakuan tersebut dengan tiga kondisi hewan. Pertama, hewan normal yakni, 1) tikus umur 12 bulan (U12), 2) tikus umur 18 bulan (U18), 3) tikus umur 24 bulan (U24), 4) tikus umur 30 bulan (U30), 5) tikus umur 36 bulan (U36). Kedua, kondisi 1 bulan pascaovariektomi, yakni 1) tikus umur 12 bulan dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi (OV12a), 2) tikus umur 18 bulan dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi (OV18), 3) tikus umur 24 bulan dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi (OV24). Ketiga, kondisi 3 bulan pascaovariektomi, yakni 1) tikus umur 12 bulan dalam kondisi 3 bulan pascaovariektomi (OV12b). Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan Analysis of Variance (ANOVA) dan dilanjutkan dengan Uji Duncan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komponen matriks ekstraseluler dan matriks seluler pada uterus, kulit, dan tulang menurun seiring dengan bertambahnya usia. Tikus umur 18 bulan ditandai dengan mulai terjadinya penurunan hormon progesteron, kadar kolagen uterus, kadar DNA dan RNA uterus, kadar kolagen dan RNA kulit, kadar RNA tulang, dan hal ini menjadi dasar penentuan kondisi premenopause. Tikus umur 30-36 bulan ditandai dengan penurunan secara drastis kadar hormon progesteron, kadar kolagen uterus, kadar DNA dan RNA uterus, kadar kolagen kulit, kadar RNA kulit, kadar kolagen tulang kadar RNA tulang, kadar kalsium tulang, rasio Ca/P tulang tibia, dan densitas tulang, dan hal ini menjadi dasar penentuan kondisi pascamenopause. Tikus ovariektomi yang cocok digunakan sebagai hewan model pascamenopause menggunakan parameter kualitas uterus, kulit, dan tulang adalah tikus umur 12 bulan dalam kondisi 3 bulan pascaovariektomi.
The Determination of Premenopausal and Postmenopausal Condition Using Rats as Animal Models
Safrida1, Nastiti Kusumorini2, Wasmen Manalu2, Hera Maheshwari2
1
Student of Doctoral Programme Majoring in Physiology and Pharmacology, School of Graduate, Bogor Agricultural University, 2Majoring in
Physiology and Pharmacology, Bogor Agricultural University.
ABSTRACT
This study was designed to determine the condition of an animal model for premenopausal and postmenopausal using uterus, skin, and bone quality parameters. Experimental design used was Completely Randomized Design (CRD) consisted of 9 experimental groups, each consisted of 3 rats i.e.,1) rats aged 12 months (U12), 2) rats aged 18 months (U18), 3) rats aged 24 months (K24), 4) rats aged 30 months (U30), 5) rats aged 36 months (U 36), 6) rats aged 12 months with one month postovariectomy (OV12a), 7) rats aged 12 months with 3 months postovariectomy (OV12b), 8) rats aged 18 months with one month postovariectomy (OV18), and 9) rats aged 24 months with one month postovariectomy (OV24). The data obtained were analyzed using Analysis of Variance (ANOVA) followed by Duncan test. The results showed that extracellular matrix components and cellular matrix of the uterus, skin, and bone were decreased with the increasing of age.Rats aged 18 months were marked by a decline in serum progesterone concentrations, uterus collagen concentrations, DNA and RNA concentrations of uterus, skin collagen concentrations, RNA concentrations of the skin, RNA concentrations of the bone, and these parameters were used as premenopausal conditions. Rats aged 30-36 months were marked by a drastic decline in serum progesterone concentrations, uterus collagen concentrations, DNA and RNA concentrations of the uterus, skin collagen concentrations, RNA concentrations of skin, bone collagen concentrations, RNA concentrations of bone, bone calcium concentrations, ratio of Ca/P in tibial bone, and bone density and this parameters were used as postmenopausal conditions. The ovariectomized rats having similar appearances to postmenopausal conditions were found in rats aged 12 months with 3 months postovariectomy. Ovariectomized rats that were suitable to be used as animal models of postmenopausal using uterus, skin, and bone parameters were rats aged 12 months with three months postovariectomy.
PENDAHULUAN
Penuaan adalah penurunan secara fisiologis fungsi tubuh dan berbagai
sistem organ yang mengakibatkan peningkatan kejadian penyakit serta kehilangan
mobilitas dan ketangkasan (Datau dan Wibowo 2005). Proses menua merupakan
proses fisiologis yang akan terjadi pada semua makhluk hidup yang meliputi
semua organ tubuh. Perbedaan penurunan fungsi organ tubuh bergantung pada
waktu (Rastogi 2007). Pada proses penuaan, juga terjadi penurunan fungsi
kelenjar endokrin, termasuk kelenjar reproduksi, pada laki-laki disebut
andropause dan pada wanita disebut menopause (Ranakusuma 1992).
Masa klimakterium adalah masa peralihan dari fase reproduktif menjadi
fase nonreproduktif (Wirakusumah 2004). Pada manusia, masa ini dibagi menjadi
empat tahap. Pertama, premenopause, yaitu masa sejak fungsi reproduksi mulai
menurun (Kasdu 2004; Gebbie dan Glasier 2006). Pada masa ini kadar
progesteron mulai menurun (Walker 1995). Kedua, perimenopause, yaitu masa
perubahan antara premenopause dan menopause, yang ditandai dengan siklus haid
yang tidak teratur dan disertai pula dengan perubahan-perubahan fisiologik
(Zulkarnaen 2003). Pada masa ini produksi estrogen mulai berkurang dan fungsi
ovarium juga mulai menurun (Wirakusumah 2004). Ketiga, menopause, yaitu
kondisi fisiologis pada wanita yang mana menstruasi berhenti secara permanen
akibat penurunan fungsi ovarium yang mengakibatkan penurunan produksi
hormon estrogen (Cassidy et al. 2006). Keempat, pascamenopause, yang ditandai
dengan kadar LH dan FSH yang tinggi serta kadar estrogen dan progesteron yang
rendah (Zulkarnaen 2003).
Menurunnya konsentrasi estrogen dan progesteron dalam darah pada saat
pascamenopause menyebabkan atropi uterus, yang ditandai dengan tidak
terjadinya penebalan endometrium dan kelenjar uterus berada dalam keadaan
tidak mengeluarkan sekresi sehingga uterus mengecil dan bobotnya menurun
(Binkley 1995). Penurunan estrogen dan progesteron juga memiliki dampak pada
fungsi beberapa organ tubuh, di antaranya kulit dan tulang. Berkurangnya kadar
estrogen dan progesteron memiliki dampak negatif pada kulit, yaitu kulit menjadi
lebih tipis, mengendur, dan kehilangan elastisitasnya, produksi kolagen menurun
menyebabkan penuaan kulit (Datau dan Wibowo 2005). Selain itu, penurunan
kadar estrogen dapat menyebabkan gangguan metabolik pada tulang yang dikenal
sebagai osteoporosis (Winarsi 2005).
Penelitian tentang penuaan banyak dilakukan sebagai upaya untuk
meningkatkan kualitas hidup pada saat memasuki usia tua. Hewan model yang
banyak digunakan dalam penelitian penuaan adalah tikus putih. Pada hewan
percobaan, manipulasi hilangnya estrogen sebagai indikator menopause dilakukan
dengan ovariektomi (Shirwaikar et al. 2003; Devareddy et al. 2008). Namun
hingga saat ini hewan model kondisi premenopause dan pascamenopause dengan
menggunakan kualitas uterus, kulit, dan tulang belum dilaporkan.
Tujuan penelitian ini ialah untuk menetapkan kondisi hewan model
premenopause dan pascamenopause dengan menggunakan parameter kualitas
uterus, kulit, dan tulang. Data yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat
memberikan informasi tentang penggunaan tikus sebagai hewan model penuaan
pada kondisi premenopause dan pascamenopause.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan September 2010-April 2011
dan dilakukan pada beberapa tempat. Pemeliharaan dan ovariektomi tikus
dilaksanakan di kandang hewan percobaan Fakultas Kedokteran Hewan, Institut
Pertanian Bogor, analisis hormon progesteron, kadar kolagen, kadar DNA, dan
kadar RNA di Laboratorium Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor, analisis kadar abu tulang dan analisis kalsium
dan fosfor pada tulang dan serum di laboratorium Ilmu Nutrisi dan Makanan
Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, dan pengukuran kekuatan
tulang di Laboratorium Keteknikan Kayu, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pelet dari PT. Comfeed
Indonesia, kit Progesteron, BNF, serta bahan pengujian kolagen, RNA, kalsium,
dan fosfor. Alat yang digunakan adalah timbangan, alat-alat bedah, sentrifuge,
Automatic Gamma Counter, spektrofotometer, eksikator, tanur listrik, dan
spektrofotometer serapan atom (AAS).
Metode Penelitian
Hewan yang digunakan dalam penelitian ini 27 ekor tikus betina strain
Sprague Dawley, yang dibagi ke dalam sembilan kelompok percobaan yang
masing-masing terdiri atas tiga ekor. Kelompok perlakuan tersebut dengan tiga
kondisi hewan. Pertama, kondisi normal yakni, 1) tikus umur 12 bulan (U12), 2)
tikus umur 18 bulan (U18), 3) tikus umur 24 bulan (U24), 4) tikus umur 30 bulan
(U30), dan 5) tikus umur 36 bulan (U36). Kedua, kondisi 1 bulan
pascaovariektomi, yakni 1) tikus umur 12 bulan dalam kondisi 1 bulan
pascaovariektomi (OV12a), 2) tikus umur 18 bulan dalam kondisi 1 bulan
pascaovariektomi (OV18), dan 3) tikus umur 24 bulan dalam kondisi 1 bulan
pascaovariektomi (OV24). Ketiga, kondisi 3 bulan pascaovariektomi, yakni 1)
tikus umur 12 bulan dalam kondisi 3 bulan pascaovariektomi (OV12b).
Tikus-tikus percobaan tersebut ditempatkan dalam kandang plastik dengan
tutup yang terbuat dari kawat ram dan dialasi sekam. Pakan dan air minum
disediakan ad libitum. Lingkungan kandang dibuat agar tidak lembap, ventilasi
yang cukup serta penyinaran yang cukup dengan lama terang 14 jam dan lama
gelap 10 jam. Masing-masing tikus ditempatkan dalam kandang individu.
Tindakan ovariektomi dilakukan oleh dokter hewan. Semua tikus diadaptasikan di
lingkungan kandang percobaan selama 10 hari. Pada status fase diestrus, semua
tikus dikorbankan. Sebelum dilakukan pembedahan, tikus terlebih dahulu dibius
dengan eter, kemudian masing-masing tikus diambil darahnya secara intrakardial
sebanyak kurang lebih 1 mL. Darah dikoleksi pada tabung penampung,
selanjutnya darah disentrifugasi dengan kecepatan 2000 rpm selama 15 menit
sehingga didapatkan serum. Serum digunakan untuk analisis kadar hormon
dari jaringan lunak dengan menggunakan gunting kecil, kemudian ditimbang
bobot basahnya, selanjutnya dimasukkan ke dalam larutan BNF (buffer formalin)
10% untuk analisis kadar kolagen, DNA, dan RNA. Kulit bagian dorsal
dipisahkan dari jaringan lunak dengan menggunakan gunting, selanjutnya
dibersihkan dengan menggunakan alat pencukur dan dimasukkan ke dalam larutan
BNF 10% untuk analisis kadar kolagen, DNA, dan RNA. Tulang tibia-fibula
sebelah kiri dan sebelah kanan dipisahkan dari jaringan lunak dengan
menggunakan gunting kecil, selanjutnya tulang tibia sebelah kiri dimasukkan ke
dalam BNF 10% untuk analisis kadar kolagen, DNA, RNA, densitas tulang, dan
kekuatan tulang, sedangkan tulang tibia sebelah kanan disimpan di freezer pada
suhu-20 oC untuk analisis kadar kalsium, kadar fosfor, dan kadar abu (Gambar 8).
Parameter yang Diamati
Parameter yang diamati ialah bobot badan, kadar hormon progesteron
menggunakan metode RIA, kadar kolagen, kadar DNA, dan kadar RNA uterus,
kulit, dan tulang sesuai dengan metode yang dilakukan oleh Manalu dan
Sumaryadi (1998), kadar kalsium serum dan tulang (Reitz et al. 1960), kadar
fosfor serum dan tulang (Taussky & Shorr 1953), kadar abu tulang (AOAC 1990),
panjang tulang, bobot tulang, densitas tulang (metode Arjmandi et al. 1996), serta
uji kekuatan tulang tibia merupakan adopsi dari metode uji kekuatan tekan glulam
yang dilakukan oleh Bahtiar (2008) dan uji kekuatan tekan kayu (Mardikanto et
al. 2011). Adapun prosedur kerja masing-masing parameter dapat dilihat pada
Lampiran 1-9.
Rancangan Percobaan dan Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap
(RAL). Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan Analysis of Variance
(ANOVA) dan dilanjutkan dengan Uji Duncan dengan selang kepercayaan 95%
(α=0.05), serta uji korelasi dengan menggunakan perangkat lunak software SAS
Bagan alur penelitian sebagai berikut:
Gambar 8 Bagan alur penelitian Tahap I Tikus betina dibagi dalam 9 kelompok
dibedah pada fase diestrus
Tulang: kadar kolagen tulang, kadar DNA dan RNA tulang, panjang tulang, bobot tulang, densitas tulang, kadar abu, kadar kalsium dan fosfor pada tulang dan serum.
Kulit: kadar
kolagen kulit, kadar DNA dan RNA kulit
Uterus: kadar kolagen uterus, kadar DNA dan RNA uterus
Luaran: Penetapan kondisi hewan model premenopause dan pascamenopause Kondisi
normal
kondisi 1 bulan pascaovariektomi
kondisi 3 bulan pascaovariektomi
umur 12 bulan (U12) umur 18 bulan (U18) umur 24 bulan (U24) umur 30 bulan (U30) umur 36 bulan (U36)
umur 12 bulan (OV12a) umur 18 bulan (OV18) umur 24 bulan (OV24)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar Progesteron dan Bobot Badan
Rataan kadar progesteron serum dan bobot badan tikus normal dan
ovariektomi pada berbagai tingkatan umur disajikan pada Tabel 4. Hasil analisis
statistik menunjukkan bahwa umur pada tikus normal berpengaruh nyata (P<0.01)
pada kadar hormon progesteron serum dan bobot badan. Rataan kadar progesteron
serummenurun seiring dengan bertambahnya umur, sedangkan bobot badan pada
tikus normal meningkat dengan bertambahnya umur.
Tabel 4 Rataan kadar progesteron serum dan bobot badan pada berbagai
Normal 56.46±3.89a 50.15±1.97b 46.82±1.61b 18.80±2.78c 17.74±1.43c OV-1 56.93±3.89a 39.47±8.61b 29.28±0.70b - -
OV-3 16.33±5.97 - - - -
Bobot badan (g)
Normal 230±0.57e 243±2.64d 256±2.00c 282±2.00b 288±1.52a OV-1 247±1.52b 251±1.52b 290±11.35a - -
OV-3 261±3.51 - - - -
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata ( p<0.05). OV-1 = 1 bulan pascaovariektomi, OV-3 = 3 bulan pascaovariektomi.
Dengan bertambahnya umur, terjadi penurunan fungsi organ reproduksi
sehingga kadar estrogen dan progesteron menurun. Hal ini sependapat dengan
Ganong (2003) bahwa penurunan fungsi organ reproduksi menyebabkan kadar
estrogen dan progesteron menurun.
Pada usia 12 bulan, terlihat kadar progesteron paling tinggi. Tikus umur 12
bulan merupakan middle-aged rats (Markow 1999). Pada usia ini, tikus masih
dapat bereproduksi, walaupun tingkat kesuburannya mulai menurun, dan
umumnya memiliki siklus estrus yang normal, namun beberapa individu
memperlihatkan siklus estrus yang irreguler (Lu et al. 1979, Ganong 2003). Pada
umur 18 bulan terlihat bahwa mulai terjadi penurunan kadar progesteron sebesar
11,17% bila dibandingkan dengan tikus umur 12 bulan. Menurut Affandi (1997)
pada wanita saat premenopause, yaitu kira-kira umur 40 tahun, mulai terjadi
penurunan sekresi hormon progesteron.
Berdasarkan data Tabel 1 menunjukkan bahwa tikus umur 18 bulan mulai
disimpulkan bahwa premenopause pada tikus terjadi pada umur 18 bulan.
Selanjutnya, kadar progesteron menurun secara drastis pada tikus normal umur 30
bulan dan 36 bulan. Pada wanita, pascamenopause ditandai dengan kadar estrogen
dan progesteron yang rendah (Zulkarnaen 2003). Berdasarkan data tersebut dapat
disimpulkan bahwa tikus mengalami pascamenopause pada umur 30-36 bulan.
Kadar progesteron pada kelompok tikus yang diovariektomi dengan
kondisi 1 bulan pascaovariektomi terlihat pola yang sama dengan tikus normal.
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa umur dan tindakan ovariektomi pada
tikus berpengaruh nyata (P= 0.0031) pada kadar progesteron. Penurunan kadar
progesteron serum pada tikus dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi seiring
dengan bertambahnya umur. Lamanya waktu pascaovariektomi juga berpengaruh
nyata (P <0.01) pada kadar progesteron serum. Hal ini terbukti bahwa pada tikus
umur 12 bulan dalam kondisi 3 bulan pascaovariektomi memiliki kadar
progesteron yang lebih rendah bila dibandingkan dengan tikus normal umur 12
bulan dan tikus umur 12 bulan dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi. Apabila
tikus umur 12 bulan dalam kondisi 3 bulan pascaovariektomi dibandingkan
dengan usia tua (36 bulan) menunjukkan bahwa kadar progesteron tidak berbeda
nyata. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hewan model yang cocok
digunakan untuk kondisi pascamenopause adalah tikus dengan umur 12 bulan
dalam kondisi 3 bulan pascaovariektomi.
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa umur pada tikus dalam kondisi
1 bulan pascaovariektomi berpengaruh nyata (P <0.01) pada peningkatan bobot
badan (Tabel 4). Demikian juga tindakan ovariektomi berpengaruh pada bobot
badan, yang terlihat dari bobot badan tikus umur 12, 18, 24 bulan dalam kondisi 1
bulan pascaovariektomi meningkat bila dibandingkan dengan tikus normal pada
umur yang sama.
Lamanya waktu pascaovariektomi juga berpengaruh nyata pada bobot
badan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tikus umur 12 bulan dalam kondisi 3
bulan pascaovariektomi memiliki bobot badan yang lebih meningkat bila
dibandingkan dengan tikus dengan umur yang sama, tetapi dalam kondisi 1 bulan
Peningkatan bobot badan tikus diduga akibat kekurangan estrogen
sehingga terjadi peningkatan simpanan lemak pada jaringan adiposa. Ovariektomi
menyebabkan berkurangnya kadar estrogen (Safrida 2008) dan progesteron (Tabel
4). Hal ini senada dengan Bimonte-Nelson et al. (2003) bahwa ovariektomi pada
tikus menyebabkan penurunan level progesteron. Fungsi progesteron sulit
dipisahkan dari hormon-hormon lainnya, seperti estrogen (Cole dan Cupps 1977).
Hal ini disebabkan progesteron secara normal bekerja sama dengan estrogen dan
steroid-steroid lainnya dan menghasilkan hanya sedikit pengaruh-pengaruh
khusus bila bekerja sendiri.
Kekurangan hormon estrogen dan progesteron di duga menyebabkan
terjadinya penurunan katabolisme lemak. Jones et al. (2000) menyatakan bahwa
kekurangan estrogen menyebabkan peningkatan massa jaringan adiposa. Adanya
gangguan penggunaan dan penyimpanan glukosa otot pada tikus yang kekurangan
estrogen akan menyebabkan penurunan lean body mass. Penurunan penggunaan
glukosa oleh otot akan menyebabkan meningkatnya jumlah glukosa yang tersedia
untuk proses lipogenesis sehingga mendorong terjadinya penimbunan lemak.
Kualitas Uterus
Rataan bobot uterus, kadar kolagen uterus, kadar DNA uterus, dan kadar
RNA uterus pada berbagai tingkatan umur tikus normal dan ovariektomi disajikan
pada Tabel 5. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa umur pada tikus normal
berpengaruh nyata (P < 0.05) pada kadar kolagen uterus, kadar DNA uterus, dan
kadar RNA uterus, namun tidak berpengaruh pada bobot uterus. Dengan
bertambahnya umur tikus, kadar kolagen uterus semakin menurun. Begitu juga
dengan bertambahnya umur, jumlah sel yang terdapat dalam jaringan uterus
menjadi berkurang yang digambarkan oleh kadar DNA. Aktivitas sintesis sel
uterus, yang digambarkan oleh kadar RNA sel uterus, juga menurun dengan
bertambahnya umur.
Lebih lanjut, penurunan kadar kolagen uterus sebesar 17,47% pada umur
18 bulan, 46,44% pada umur 24 bulan, 47,67% pada umur 30 bulan, dan 52,15%
pada umur 36 bulan bila dibandingkan dengan tikus umur 12 bulan. Penurunan
kadar kolagen uterus secara drastis terjadi pada tikus normal umur 24 bulan, 30
Tabel 5 Rataan bobot, kadar kolagen, DNA, dan RNA uterus pada berbagai
Normal 0.85±0.25 0.61±0.16 0.59±0.05 0.60±0.19 0.37±0.02 OV-1 0.43±0.01 0.50±0.03 0.43±0.04 - -
OV-3 0.22±0.03 - - - -
Kadar kolagen uterus (mg/g sampel)
Normal 45.73±2.16a 37.74±3.65b 24.49±2.70c 23.93±3.62c 21.88±4.38c OV-1 24.51±4.66a 23.44±1.71a 10.86±1.57b - -
Normal 36.96±4.12a 22.90±4.66b 22.86±3.33b 16.39±3.86b 15.70±3.21b OV-1 17.56±1.11 19.51±1.28 20.70±2.16 - -
OV-3 17.56±1.11 - - - -
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata ( p<0.05). OV-1 = 1 bulan pascaovariektomi, OV-3 = 3 bulan pascaovariektomi.
Hal yang berbeda dengan kelompok normal, pada kelompok hewan yang
diovariektomi terlihat bahwa umur pada tikus dalam kondisi 1 bulan
pascaovariektomi berpengaruh nyata (P < 0.05) pada kadar kolagen uterus, namun
tidak berpengaruh nyata pada bobot uterus, kadar DNA uterus, dan kadar RNA
uterus.
Tindakan ovariektomi mempengaruhi penurunan kualitas uterus. Hal ini
dapat diketahui dengan membandingkan tikus umur 12, 18, 24 bulan dalam
kondisi 1 bulan pascaovariektomi dengan tikus normal pada umur yang sama.
Pada tikus umur 12 bulan dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi terlihat bahwa
bobot uterus, kadar kolagen uterus, dan kadar RNA uterus menurun bila
dibandingkan dengan tikus normal umur 12 bulan. Pada tikus umur 18 bulan
dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi terlihat bahwa kadar kolagen uterus
menurun bila dibandingkan dengan tikus normal umur 18 bulan. Kemudian pada
tikus umur 24 bulan dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi menunjukkan bahwa
bobot uterus, kadar kolagen uterus, dan kadar DNA uterus menurun bila
dibandingkan dengan tikus normal umur 24 bulan.
Lebih lanjut, lamanya waktu pascaovariektomi berpengaruh nyata
(P<0.05) pada bobot uterus, kadar kolagen uterus, dan RNA uterus. Hal ini dapat
diketahui dengan membandingkan tikus umur 12 bulan dalam kondisi normal
dengan tikus umur 12 bulan dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi dan kondisi
3 bulan pascaovariektomi. Bobot uterus dan kadar RNA uterus pada tikus umur
dengan tikus normal umur 12 bulan, namun sama dengan tikus umur 12 bulan
dalam kondisi 3 bulan pascaovariektomi. Kadar kolagen uterus pada tikus umur
12 bulan dalam kondisi 3 bulan pascaovariektomi menurun bila dibandingkan
dengan tikus umur 12 bulan dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi dan tikus
normal umur 12 bulan. Artinya, dengan bertambahnya waktu pascaovariektomi
maka kadar kolagen uterus semakin menurun. Apabila tikus umur 12 bulan dalam
kondisi 3 bulan pascaovariektomi dibandingkan dengan usia tua (36 bulan)
menunjukkan bahwa kadar kolagen uterus, kadar DNA, dan RNA uterus tidak
berbeda nyata.
Penurunan kolagen uterus mempunyai risiko terjadinya prolapse uterus.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Price et al. (2010) bahwa prolapse uterus terjadi
ketika organ-organ panggul wanita jatuh dari posisi normal, ke dalam atau melalui
vagina. Salah satu hal yang dapat meningkatkan risiko terjadinya prolapse adalah
gangguan jaringan ikat. Menurut Iwahashi dan Muragaki (2011) bahwa kelainan
kolagen, komponen utama matriks ekstraseluler, dapat meningkatkan kerentanan
wanita untuk mengalami prolapse uterus.
Proses penuaan berkaitan dengan radikal bebas. Dengan bertambahnya
umur, maka semakin banyak radikal bebas. Radikal bebas bisa dihasilkan secara
endogen atau diperoleh secara eksogen (Kevin et al. 2006). DNA dan RNA
dirusak oleh radikal bebas, sehingga terjadi penurunan kadar DNA dan RNA
seiring dengan bertambahnya umur.
Kualitas Kulit
Rataan kadar kolagen kulit pada berbagai tingkatan umur tikus normal dan
ovariektomi disajikan pada Tabel 6. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa
umur tikus berpengaruh nyata (P<0.01) pada kadar kolagen kulit dan kadar RNA
kulit, namun tidak berpengaruh pada kadar DNA kulit. Rataan kadar kolagen kulit
pada tikus menurun seiring dengan bertambahnya umur. Demikian juga dengan
aktivitas sintesis sel kulit, yang digambarkan oleh kadar RNA sel kulit, menurun
dengan bertambahnya usia.
Penurunan kadar kolagen kulit sebesar 14,86% pada umur 18 bulan,
umur 36 bulan bila dibandingkan dengan tikus umur 12 bulan. Penurunan kadar
kolagen kulit secara drastis terjadi pada tikus normal umur 24 bulan, 30 bulan,
dan 36 bulan.
Tabel 6 Rataan kadar kolagen, DNA, dan RNA kulit pada berbagai tingkatan umur tikus normal dan ovariektomi
Normal 35.58±2.41a 30.29±2.30b 22.92±2.94c 20.70±0.96cd 17.41±2.73d
OV-1 27.18±0.71 20.85±1.41 20.85±1.41 - -
OV-3 20.51±0.76 - - - -
Kadar DNA kulit (mg/g sampel)
Normal 2.36±0.14 2.28±0.06 2.22±0.09 2.13±0.11 2.11±0.10 OV-1 2.24±0.14 2.23±0.08 2.20±0.07 - -
OV-3 2.13±0.11 - - - -
Kadar RNA kulit (mg/g sampel)
Normal 42.94±5.60a 23.32±1.14b 21.16±5.70b 13.32±2.83c 10.19±2.61c OV-1 30.77±1.29a 21.63±3.14b 12.19±3.45c - -
OV-3 13.53±1.57 - - - -
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata ( p<0.05). OV-1 = 1 bulan pascaovariektomi, OV-3 = 3 bulan pascaovariektomi.
Kadar kolagen dan kadar RNA kulit tikus mempunyai nilai korelasi
(0.94054) dan menunjukkan korelasi yang berbeda nyata (P<0.05), yang berarti
semakin rendah kadar kolagen maka semakin menurun kadar RNA kulit tikus
normal pada berbagai tingkatan umur. Kadar kolagen kulit dan kadar progesteron
tikus mempunyai nilai korelasi (0.8827) dan menunjukkan korelasi yang berbeda
nyata (P<0.05), yang berarti semakin rendah kadar kolagen maka semakin
menurun kadar progesteron tikus normal pada berbagai tingkatan umur.
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa umur pada tikus dalam kondisi
1 bulan pascaovariektomi berpengaruh nyata (P<0.05) pada kadar RNA kulit,
namun tidak berpengaruh nyata pada kadar kolagen kulit dan kadar DNA kulit.
Apabila tikus umur 12, 18, dan 24 bulan dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi
dibandingkan dengan tikus normal pada umur yang sama maka terlihat bahwa
kadar RNA kulit tikus umur 12 bulan dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi
menurun bila dibandingkan dengan tikus normal umur 12 bulan.
Lebih lanjut, lamanya waktu pascaovariektomi berpengaruh nyata
(P<0.05) pada kadar kolagen kulit dan kadar RNA kulit. Hal ini dapat diketahui
dengan membandingkan tikus umur 12 bulan dalam kondisi normal dengan tikus
umur 12 bulan dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi dan kondisi 3 bulan
pascaovariektomi. Dengan bertambahnya waktu pascaovariektomi maka kadar
bulan dalam kondisi 3 bulan pascaovariektomi dibandingkan dengan usia tua (36
bulan) menunjukkan bahwa kadar kolagen kulit, kadar DNA, dan RNA kulit tidak
berbeda nyata.
Berkurangnya kadar kolagen menyebabkan penurunan elastisitas atau
kekencangan kulit. Datau dan Wibowo (2005) menyatakan selama proses menua,
terdapat penurunan jumlah fibroblas yang mensintesis kolagen dan pembuluh
darah yang mensuplai kulit. Penurunan sintesis fibroblas ini menimbulkan keriput.
Kolagen disintesis oleh fibroblas dari molekul prokolagen oleh aksi endoprotease.
Benang-benang kolagen mengalami beberapa modifikasi pascatranslasi untuk
meningkatkan stabilitasnya dan kekuatan.Atropi kolagen adalah faktor besar pada
penuaan kulit. Mays et al. (1995) menyatakan tikus tua mengalami penurunan
produksi kolagen dan penurunan sintesis protein pada sel fibroblas kulit secara in
vitro. Menurut Zague et al. (2011), pemberian kolagen hidrolisat dapat
meningkatkan kadar kolagen tipe I dan IV, serta peningkatan ekspresi kolagen
kulit pada tikus. Bertambahnya massa matriks ekstraseluler atau kolagen
dirangsang oleh proses anabolik jaringan kulit. Thomas (2005) melaporkan bahwa
pada tikus tua terjadi penurunan persentase fraksi kolagen dan perubahan
ketebalan pada epidermis dan dermal kulit bagian dorsal. Selanjutnya Nomura et
al. (2003) menyatakan bahwa dengan bertambahnya usia, terjadi penurunan
panjang glikosaminoglikan (GAG) pada kulit tikus.
Penelitian Schulze et al. (2012) menunjukkan hasil bahwa fibroblas yang
berasal dari manusia umur 80 tahun memperlihatkan peningkatan kekakuan
(stiffening) sebesar 60% bila dibandingkan dengan manusia umur 28 tahun. Penurunan jumlah fibroblas menimbulkan keriput/kaku yang secara langsung
mengakibatkan perubahan pada elastisitas matriks kolagen. Perubahan mekanisme
ini mempengaruhi fungsi sel, termasuk sitoskeleton, seperti kontraktilitas,
motilitas, dan proliferasi, yang penting untuk reorganisasi matriks ekstraseluler.
Menurut Biben (2001) bahwa kekurangan estrogen dapat menurunkan mitosis
kulit sampai atropi, menjadikan ketebalan kulit berkurang, menyebabkan
berkurangnya sintesis kolagen, dan meningkatkan penghancuran kolagen.
Estrogen mempengaruhi aktivitas metabolik sel-sel epidermis dan fibroblas, serta
Untuk mengevaluasi adanya suatu pertumbuhan atau perkembangan dari
suatu jaringan dapat dihitung dari kandungan DNA-nya dengan asumsi bahwa
kandungan DNA per sel adalah konstan atau tetap. Menurut Rastogi (2007), salah
satu penuaan pada tingkat molekuler dapat dilihat dari perubahan kuantitatif asam
nukleat. Jumlah DNA per sel pada setiap spesies adalah konstan. Kehilangan
DNA atau RNA per organ menggambarkan pada penurunan efisiensi fungsional.
Penelitian Valle et al. (2008) menyatakan atropi jaringan adiposa terjadi pada
tikus umur 24 bulan yang ditandai dengan penurunan total DNA dan protein
mitokondria.
Kualitas Tulang
Tulang terbentuk dari unsur mineral, matriks organik ekstraseluler, sel-sel
osteoblas, osteoklas, osteosit, serta air. Rataan kadar kolagen, kadar DNA, dan
kadar RNA tulang pada berbagai tingkatan umur tikus normal dan ovariektomi
disajikan pada Tabel 7. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa umur pada
tikus normal berpengaruh nyata (P<0.05) pada kadar kolagen dan kadar RNA
tulang, namun tidak berpengaruh pada kadar DNA. Penurunan kadar kolagen
tulang nyata terlihat pada tikus umur 36 bulan, yakni menurun sebesar 25,01%
bila dibandingkan dengan tikus umur 12 bulan, sedangkan aktivitas sintesis sel
tulang, yang digambarkan oleh kadar RNA sel tulang, menurun dengan
bertambahnya umur.
Tabel 7 Rataan kadar kolagen, DNA, dan RNA tulang pada berbagai tingkatan umur tikus normal dan ovariektomi
Normal 2.54±0.36 2.26±0.31 2.01±0.03 2.06±0.05 2.05±0.04 OV-1 2.32±0.13 2.16±0.13 2.04±0.007 - -
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata ( p<0.05). OV-1 = 1 bulan pascaovariektomi, OV-3 = 3 bulan pascaovariektomi.
Pada kondisi hewan ovariektomi terlihat bahwa umur pada tikus dengan
dan kadar RNA tulang, namun tidak berpengaruh pada kadar DNA tulang.
Apabila tikus umur 12, 18, dan 24 bulan dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi
dibandingkan dengan tikus normal pada umur yang sama maka terlihat bahwa
kadar kolagen, kadar DNA, dan kadar RNA tulang tidak berbeda nyata. Artinya
bahwa kondisi 1 bulan pascaovariektomi tidak berpengaruh pada penurunan kadar
kolagen, DNA, dan RNA tulang.
Lamanya waktu pascaovariektomi berpengaruh nyata (P<0.01) pada kadar
kolagen dan kadar RNA tulang. Hal ini dapat diketahui dengan membandingkan
tikus umur 12 bulan dalam kondisi normal dengan tikus umur 12 bulan dalam
kondisi 1 bulan pascaovariektomi dan kondisi 3 bulan pascaovariektomi. Kadar
kolagen dan kadar RNA tulang pada tikus umur 12 bulan dalam kondisi 3 bulan
pascaovariektomi menurun bila dibandingkan dengan tikus umur 12 bulan dalam
kondisi 1 bulan pascaovariektomi. Selanjutnya, tikus umur 12 bulan dalam
kondisi 3 bulan pascaovariektomi bila dibandingkan dengan usia tua (36 bulan)
menunjukkan bahwa kadar kolagen, DNA, dan RNA tulang tidak berbeda nyata.
Penurunan kadar kolagen membuat tulang menjadi tidak elastis dan mudah
patah. Menurunnya kadar kolagen mengindikasikan adanya gangguan fisiologi
tulang yang bisa mengakibatkan osteopenia atau mengarah pada osteoporosis.
Menurut Guyton (1996), matriks organik tulang kira-kira 95 persen merupakan
serabut-serabut kolagen. Serabut-serabut ini membuat tulang menjadi kuat.
Estrogen dapat berpengaruh langsung pada kesehatan tulang melalui reseptor
estrogen beta. Estrogen dapat menekan produksi IL-6 oleh osteoblas sehingga
menekan produksi osteoklas (Girasole et al. 1992). Estradiol juga mempunyai
efek anabolik pada tulang sehingga menambah pertumbuhan tulang (Granner
1990). Estrogen dapat menstimulasi sel tulang untuk menghasilkan IGF-1.
Selanjutnya IGF-1 akan menstimulasi proliferasi dan produksi kolagen tipe 1 oleh
osteoblas (Gowen 1991).
Mineral tulang merupakan bentuk anorganik dari tulang, dengan campuran
utamanya kristal kalsium fosfat atau kristal kalsium hidroksiapatit
[3Ca
3(P04)2Ca(OH)2]. Rataan kadar kalsium tulang, fosfor tulang, rasio Ca/P tulang, dan kadar abu tulang pada berbagai tingkatan umur tikus normal dan
tulang tibia pada tikus normal menurun (P<0.01) seiring dengan bertambahnya
umur, sebaliknya rataan kadar fosfor tulang meningkat (P<0.01) dengan
bertambahnya umur, sedangkan dengan bertambahnya umur tidak mempengaruhi
kadar abu tulang.
Tabel 8 Rataan kadar kalsium tulang, fosfor tulang, rasio Ca/P tulang tibia, dan kadar abu tulang pada berbagai tingkatan umur tikus normal dan
Normal 40.07±4.06a 40.03±1.30a 41.12±1.06a 15.23±4.99b 13.13±4.16b OV-1 22.76±1.36a 15.54±0.39b 8.57±1.25c - -
Normal 23.12±3.05b 28.23±3.70b 27.46±1.64b 36.00±2.78a 36.1±4.70a OV-1 11.57±2.14c 25.29±6.12b 33.46±2.73a - -
Normal 38.57±0.08a 36.33±1.74ab 36.33±1.74ab 35.23±6.95ab 31.79±5.03ab OV-1 38.02±0.43 33.29±7.57 34.33±3.58 - -
OV-3 30.55±0.37 - - - -
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata ( p<0.05). OV-1 = 1 bulan pascaovariektomi, OV-3= 3 bulan pascaovariektomi.
Demikian juga pada tikus dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi terlihat
pola yang sama dengan tikus normal. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa
umur pada tikus dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi berpengaruh nyata
(P<0.01) pada kadar kalsium tulang, fosfor tulang, rasio Ca/P tulang, namun tidak
berpengaruh pada kadar abu tulang. Rataan kadar kalsium tulang, rasio kadar
Ca/P tulang pada tikus dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi menurun seiring
dengan bertambahnya umur, sebaliknya rataan kadar fosfor tulang meningkat
dengan bertambahnya umur.
Tindakan ovariektomi mempengaruhi penurunan kualitas tulang. Hal ini
dapat diketahui dengan membandingkan tikus umur 12, 18, dan 24 bulan dalam
kondisi 1 bulan pascaovariektomi dengan tikus normal pada umur yang sama.
Pada tikus umur 12 bulan dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi terlihat bahwa
kadar kalsium tulang menurun bila dibandingkan dengan tikus normal umur 12
bulan. Pada tikus umur 18 bulan dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi, kadar
umur 18 bulan. Demikian juga pada tikus umur 24 bulan dalam kondisi 1 bulan
pascaovariektomi menunjukkan bahwa kadar kalsium dan rasio Ca/P tulang
menurun bila dibandingkan dengan tikus normal umur 24 bulan. Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa kondisi 1 bulan pascaovariektomi tidak berpengaruh pada
penurunan kadar abu tulang.
Lamanya waktu pascaovariektomi berpengaruh nyata (P<0.05) pada kadar
kalsium tulang, fosfor tulang, rasio Ca/P tulang, dan kadar abu tulang, yang
diketahui dengan membandingkan tikus umur 12 bulan dalam kondisi normal
dengan tikus umur 12 bulan kondisi 1 bulan pascaovariektomi dan kondisi 3 bulan
pascaovariektomi. Hasil penelitian ini terbukti bahwa kondisi 3 bulan
pascaovariektomi berpengaruh pada penurunan kadar kalsium tulang, rasio Ca/P
tulang, dan kadar abu tulang. Selanjutnya, tikus umur 12 bulan dalam kondisi 3
bulan pascaovariektomi bila dibandingkan dengan usia tua (36 bulan)
menunjukkan bahwa kadar kalsium tulang, rasio Ca/P tulang, dan kadar abu
tulang tidak berbeda nyata.
Proses remodelling tulang tidak seimbang akibat penurunan hormon
estrogen dan progesteron. Seperti yang dikemukakan oleh Setyohadi (2000),
penurunan kadar hormon estrogen memiliki hubungan erat dengan
ketidakseimbangan remodelling tulang, karena estrogen mempunyai reseptor pada
sel-sel osteoblas. Seifert-Klauss dan Prior (2010) melaporkan estradiol dan
progesteron bekerja sama dalam proses remodelling tulang, estradiol berperan
pada resorbsi atau penyerapan dan progesteron berperan pada proses pembentukan
(formasi) tulang. Selain itu, seiring dengan proses penuaan, tingkat penyerapan
kalsium pada tubuh akan menurun (Hollick 1996).
Rataan kadar kalsium dan fosfor serum pada berbagai tingkatan umur tikus
normal dan ovariektomi disajikan pada Tabel 9. Hasil analisis statistik
menunjukkan bahwa umur pada tikus normal tidak berpengaruh nyata pada kadar
kalsium dan fosfor serum. Rataan kadar kalsium dan fosfor serum pada berbagai
tingkatan umur tikus normal tidak mengalami perubahan, yakni berada dalam
kisaran normal. Hal ini menunjukkan bahwa kadar kalsium dan fosfor serum
selalu diupayakan dalam keadaan tetap. Penelitian Campos et al. (1998)