• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model of sustainable sugar industry development based on clean development mechanism and society participation

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model of sustainable sugar industry development based on clean development mechanism and society participation"

Copied!
363
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA

BERKELANJUTAN BERBASIS PRODUKSI BERSIH DAN

PARTISIPASI MASYARAKAT

Oleh :

HASAN SUDRADJAT

NRP: P 062059464

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Saya yang tertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa disertasi yang berjudul: Model Pengembangan Industri Gula Berkelanjutan Berbasis Produksi Bersih dan Partisipasi Masyarakat adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Bogor, 1 Oktober 2010

(3)

ABSTRACT

HASAN SUDRADJAT. 2010. Model of Sustainable Sugar Industry Development Based on Clean Development Mechanism and Society Participation. Under Supervision of Rizal Syarief, Syaiful Anwar and

In the last decade, Indonesian sugar industry has been facing some inter-related problems that have caused a setback of the industries. The production has been declining with a 3.3% annual rate, due to a decrease in area and productivity. On the other hand, the consumption has been increasing with a 2.96% annual rate, leading to an increase in import of 16.5% of the total consumption per year. The declining performance of the industry has been attributed to the inappropriate government international trade and domestic support policies and inefficiency in farm and plant levels because of lack of integrated production system. In response to these problems, this study is aimed at (1) evaluating socio-economic condition and community perception, (2) evaluating environmental condition, (3) evaluating sustainability of sugar industry, (4) evaluating and formulating alternatives government policies related to international and domestic market policies and (5) building models of integrated production systems between farm and sugar plant activities through an integrated planting and harvesting schedule.

Usman Ahmad.

The methods used in achieving these objectives were an econometric of Indonesian sugar market, a compromised import tariff, and Party- Multy-Objective Model. The results of this study showed that the community have a good socio-economic condition and have a good perception. Environmental factor in sugar industry was also considered in good condition. Experiencing heavy distorted by international market through import of sugar, the policy directly affects the price at farmer level and Indonesian sugar industry more significant compared to other influencing factors. In this respects, provenue price policy is more effective than tariff-rate quota, import tariff, input subsidy, and distribution policy. Sugar cane smallholders in general are more responsive toward government policies, compared to government-owned estates, and private estates. Moreover, productivity in farm and sugar plant can be improved by developing an integrated production system through an integrated planting and harvesting schedule.

The result of this research showed that sugar industry sustainability is good enough; Sustainability analysis in 5 factors of sugar industry showed that the industry sustainability is good enough. Out of f the 5 factors, only law and institutional factor which is considered not sustainable enough, while the other 4 factors (ecology, economy, technology, social and culture) are on sustainable category. Key factor influencing sustainable sugar industry management are area susceptibility, planting period management, product marketing, society formal education, factory contribution to public, society, family atmosphere relationship of society, machine revitalization, human resource productivity, cooperation with society, organizer policy of sugar industry, and local government involved. Alternative policy of sugar industry development is implementing an extensification by observing economy as dominant factor, observing industrialist dominant actor, and improving basic commodity quality and quantity as dominant purpose.

(4)

more applied in increasing efficiency in planting and harvesting schedule in a more compromised fashion. Secondly, to create a fairer playing ground, Indonesian sugar industry still needs some government supporting policies. Provenue price, tariff rate-quota, import tariff, input subsidy, are policies that can be used to achieve the goal of fairer playing ground and the industry development. Thirdly, government can stimulate minimum support if the increase in domestic consumption and efficiency is main target. Sugar industry management model had better notice area, seed, fertilizer, water, human resource, society growth, waste material management, law, and institutional.

(5)

RINGKASAN

HASAN SUDRADJAT. Model Pengembangan Industri Gula Berkelanjutan Berbasis Produksi Bersih dan Partisipasi Masyarakat. Dibimbing oleh RIZAL SYARIEF sebagai Ketua Komisi Pembimbing, SYAIFUL ANWAR dan USMAN AHMAD sebagai Anggota Komisi Pembimbing.

Industri gula merupakan salah satu industri agro yang layak untuk dikembangkan, karena konsumsi gula baik nasional maupun dunia demikian besar antara lain digunakan untuk konsumsi mansyarakat (langsung) maupun sebagai bahan tambahan dalam industri makanan dan minuman. Seperti halnya di Indonesia, konsumsi gula dunia juga terus meningkat padahal pertumbuhan produksinya tidak sebanding. konsep model pengembangan industri gula berkelanjutan berbasis produksi bersih dan partisipasi masyarakat, mencoba mengaplikasikan aspek ekonomi, sosial budaya, teknologi dan hukum – kelembaga ke sistem produksi berbasis ekologi yang didukung oleh partisipasi masyarakat. Penerapan konsep dimaksud melahirkan istilah RSSC-PC (rountable on sustainable sugarcane–principle and cryteria) yaitu suatu wacana rekayasa sosial yang diwaktu mendatang menuntut antisipasi dari industri gula nasional. Tujuan umum penelitian ini adalah membangun model pengembangan industri gula di Indonesia dalam rangka menuju swasembada di tahun 2014. Tujuan khususnya adalah mendapatkan gambaran kondisi sosial, ekonomi dan persepsi masyarakat, mendapatkan gambaran kondisi kualitas lingkungan pabrik gula, menganalisis keberlanjutan industri gula dan mendapatkan faktor pengungkit yang harus diperhatikan untuk meningkatkan keberlanjutan dalam pengelolaan industri gula, menentukan alternatif kebijakan dalam pengembangan industri gula di masa yang akan datang yang berbasis produksi bersih dan partisipasi masyarakat, merumuskan skenario strategi dan kebijakan pengembangan industri gula secara holistik dipandang dari sisi politik, keamanan, kepastian hukum, kepastian berusaha, investasi, teknologi, dan arah yang perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku industri gula, peran kemitraan serta industri pendukung serta untuk mendapatkan model pengembangan industri gula yang transparan serta dapat menciptakan industri gula menjadi salah satu cara untuk mencapai pembangunan berkelanjutan yang berbasis produksi bersih dan partisipatif masyarakat. Metode yang digunakan adalah desk study, wawancara (pengamatan langsung), observasi, focus group discussion (FGD), multi dimension scalling (MDS) dan analysis hierarchi process (AHP).

Hasil Penelitian terhadap kondisi aktual industri gula dan stakeholdernya

(6)

masyarakat, kontribusi pabrik terhadap masyarakat, hubungan kekeluargaan warga masyarakat; ekonomi: pasar produk (tidak boleh ada distorsi), dukungan finansial belum maksimal, ekologi: luas areal dan kerentanan lahan, pengelolaan masa tanam dan limbah belum optimal, teknologi: revitalisasi mesin, produktivitas dan peningkatan kualitas sdm, hukum & kelembagaan: kerjasama dengan masyarakat, kebijakan pendorong industri gula, keterlibatan pemda dan lintas sektoral yang holistik. Alternatif kebijakan pengembangan industri gula yang utama adalah melakukan penertiban dan pemberdayaan dari sisi dimensi hukum dan kelembagaan; sedangkan lainnya memperhatikan faktor dominan seperti: revitalisasi mesin dan peralatan yaitu dengan meningkatkan kualitas dan efisiensi, peningkatan produktivitas dan memperbaiki on farm, kualitas bahan baku; ekstensifikasi, dengan melibatkan pengusaha yang ada dan calon pengusaha; swastanisasi, melibatkan pengusaha. Merumuskan skenario: pengembangan industri dan perbaikan kinerja lingkungan berjalan secara simultan. perbaikan kinerja industri semakin baik seiring dengan kinerja lingkungan (hukum & kelembagaan), dengan pertumbuhan keduanya yang relatif stabil, sehingga akan menghasilkan pembangunan yang ideal.

Sebagai bahan perbandingan bahwa produksi gula dunia menurun sebesar 9 juta ton pada tahun 2008/09. Sedangkan FAO telah merevisi perkiraan 158,5 juta ton, yaitu 2,5 juta ton dibawah perkiraan pertama yang dirilis pada November 2008, dan 9 juta ton atau 5,4 % kurang dari pada 2007/08; artinya menurut FAO produksi dunia mencapai 566 juta ton, atau mengalami kenaikan 15% dari tahun lalu, dengan ekspansi luas tanaman tebu 12%. Hal tersebut diperkirakan sekitar 60% dari panen 2008/09. Industri gula Brazil diolah menjadi etanol berbasis tebu yang didukung pasar ekspor yang lebih tinggi. Luas tanaman tebu di Brazil sekitar 5 juta ha, sedangkan Indonesia hanya 0,4 juta ha.

Kontribusi kebijakan pemerintah terhadap kinerja industri gula, dapat dikategorikan sebagai industri strategis harus melibatkan lintas sektoral dengan langkah-langkah antara lain: Dimensi ekologi: melakukan perbaikan terhadap atribut yang sensitif terhadap nilai indeks dimensi tersebut, yaitu: 1) Kerentanan lahan; 2) Pengelolaan pada masa tanam 3) Peralatan produksi di lapangan dan 4) Inisitatif perluasan lahan; Dimensi ekonomi melakukan perbaikan terhadap atribut: 1) Pasar produk industri gula; 2) Kemitraan dalam pemasaran; 3) Modal kerja dan sumber dana; 4) Pemanfaatan limbah; 5) Hasil produksi berupa gula pasir; 6) Ketersediaan bahan baku berupa tebu; 7) Kenaikan hasil produksi; 8) Penghasilan pekerja dan penduduk sekitar; 9) Harga bahan baku gula dibanding dengan hasil penjulan; dan 10) Biaya pemeliharaan mesin-mesin; Dimensi sosial melakukan perbaikan terhadap atribut: 1) Penyediaan fasilitas untuk praktek kerja siswa/ mahasiswa; 2) Penyelenggaraan peringatan hari-hari besar (agama, nasional); 3) Penyediaan fasilitas sosial; 4) Penyediaan fasilitas umum; 5) Kontribusi pabrik terhadap masyarakat; 6) hubungan antar masyarakat; 7) jaringan pengaman sosial (Social safety net); 8) Tingkat penyerapan tenaga kerja; 9) Tingkat pendidikan formal masyarakat; Dimensi

Teknologi: perencanaan mengantisipasi sistem global, peningkatan produktivitas SDM,

kolaborasi dengan pihak luar, rencana revitalisasi mesin-mesin produksi, bahan baku untuk perbaikan, teknologi mesin pabrik, teknologi pengolahan limbah, dan tingkat penguasaan teknologi. Disamping itu harus ada: 1) Rencana revitalisasi mesin-mesin

(7)

produksi dan 2) Peningkatan produktivitas SDM; dimensi hukum dan kelembagaan

melakukan perbaikan terhadap atribut: 1) kerjasama pengusaha dan masyarakat; 2) Kebijakan pendorong industri gula; 3) Keterlibatan pemerintah daerah; 4) Sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah; 5) Kerjasama dengan pihak asing; 6) Status industri gula; 7) Pembinaan dan dukungan kelembagaan dan 8) Ketersediaan perangkat hukum. Dengan demikian maka sasaran dilihat dari multi dimensi yang terdiri atas revitalisasi, swastanisasi dan ekstensifikasi dapat berjalan dengan simultan. Model pengembangan pabrik gula yang disarankan di sini adalah model pengembangan pabrik gula RSSC-PC, yakni model pengembangan pabrik gula yang berpegang teguh pada prinsip aspek legal (hukum & kelembagaan), ekonomi dan teknologi, lingkungan serta sosial budaya.

(8)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2010 Hak cipta dilindungi

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

(9)

MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA

BERKELANJUTAN BERBASIS PRODUKSI BERSIH DAN

PARTISIPASI MASYARAKAT

Oleh:

HASAN SUDRADJAT NRP: P 062059464

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)

Penguji Luar Komisi:

Ujian Tertutup: 1. Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS. 2. Dr. Ir. Etty Riani MS.

(11)

Judul Disertasi : Model Pengembangan Industri Gula Berkelanjutan Berbasis Produksi Bersih dan Partisipasi Masyarakat

Nama : Hasan Sudradjat NIM : P062059464

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Disetujui, Komisi Pembimbing

Ketua

Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS

Anggota

Dr. Ir. Syaiful Anwar, MSc

Anggota

Dr. Ir.Usman Ahmad, MAgr

Plh. Ketua Program Studi PSL Dekan Sekolah Pascasarjana

DR. Drh. Hasim, DEA. Prof. Dr Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.

(12)

KATA PENGANTAR

Pertama-tama, penulis ingin menyampaikan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan judul Model Pengembangan Industri Gula Berkelanjutan Berbasis Produksi Bersih dan Partisipasi Masyarakat. Penulis berharap karya tersebut dapat memberi kontribusi terhadap upaya pengembangan industri gula Indonesia.

Dalam menyelesaikan karya ilmiah ini, penulis telah menerima bimbingan, masukan, dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih secara tulus dan sebesar-besarnya kepada Prof. Dr.Ir. Rizal Syarief DESS, Dr. Ir. Syaiful Anwar, MSc, Dr. Ir. Usman Ahmad, MAgr, selaku komisi pembimbing. Begitu pula kepada Prof. Dr. Ir. Soerjono Hadi Sutjahjo MS selaku Ketua Program Studi dan Dr.Ir. Etty Riani MS yang banyak memberikan bimbingan dan dukungan selama penulis menyelesaikan studi. Selain itu, penulis juga menyampaikan terimakasih kepada keluarga, terutama ibunda Asiah, anak-anak: Milda Ramdhini, B.A, M.A di Kuenzelsau, Jerman, Melidya Assani di Aalen, Jerman dan Ridwansyah Haryo Zamzami di Wismar, Jerman; adik-adik: Drs Dede Suhardiman MM & keluarga, Ir. Wawan Setiawan MM & keluarga, Drs Udin Sobarudin & keluarga, yang telah membantu dalam penyusunan, pengolahan data serta dukungan moril sehingga karya ilmiah ini dapat terselesaikan.

Akhir kata, penulis berharap karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi perkembangan industri gula Indonesia.

Bekasi, 1 Oktober 2010

(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Majalengka, 9 April 1958 sebagai anak pertama. dari empat bersaudara, pasangan Haryono Wartono (Alm) dan Asiah. Pendidikan Sarjana strata satu ditempuh di STIA-LAN lulus pada tahun 1990 dan FT Perkapalan lulus pada tahun 1998 Pendidikan Pascasarjana diselesaikan pada tahun 1996 pada Program Studi Marketing Management. Pada tahun 2007 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Program Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana IPB.

Penulis mulai bekerja pada tahun 1979 - sekarang pada Kementerian Perindustrian.

Pada tahun 1984 penulis menikah dengan Dra. Siti Asiah MM dan telah dikaruniai tiga orang putra yakni Milda Ramdhini BA MA, Melidya Assani, dan Ridwansyah Haryo Zamzami.

(14)

DAFTAR ISI

2.6 Pembangunan Berkelanjutan ... 18

2.7 Industri ... 21

2.8 Pengelolaan Lingkungan ... 25

2.9 Pencemaran ... 28

3.1 Jenis, Sumber Data, dan Teknik Pengambilan Contoh ... 49

3.2 Analisis data ... 50

(15)

4.7.2 Masalah lain di Industri Gula ... 87

4.7.3 Daya Dukung Peralatan Produksi ... 89

V. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN ... 95

5.1 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat ... 95

5.2 Kualitas Lingkungan ... 111

5.3 Analisis Kebijakan ... 116

5.31 Indeks Keberlanjutan Industri Gula ... 116

5.8.2 Analysis Hierarki Process ... 138

5.4 Skenario Pengelolaan Industri Gula ... 144

5.5 Model Pengelolaan Pabrik Gula Berwawasan Lingkungan ... 150

5.6 Implikasi Kebijakan Pengelolaan Pabrik Gula Berwawasan Lingkungan ... 155

5.7 Pembahasan Umum ... 158

5.8 Implikasi Kebijakan ... 167

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 168

6.1 Kesimpulan ... 168

6.2 Saran ... 169

DAFTAR PUSTAKA ... 170

(16)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1 Perkembangan konsumsi gula dunia tahun 2003 – 2004 ... 14

2 Skala banding secara berpasangan dalam AHP ... 56

3 Penggunaan lahan di Pabrik Gula Jati Tujuh ... 67

4 5 Produsen gula terkemuka dunia ... ... 74

Produksi dan konsumsi gula dunia (juta ton) ... 68

6 Produsen gula terkemuka dunia yang mengekspor ... ... 75

7 Luas areal tebu per perusahaan ... ... 77

8 Dukungan teknis di setiap pabrik gula ... ... 93

9 Usia responden di sekitar Pabrik Gula Jati Tujuh, Majalengka . ... 96

10 Hasil analisa kualitas air badan air sebelum opersional pabrik ... 111

11 Hasil analisa kualitas air badan air setelah operasional pabrik ... 111

12 Hasil pengukuran kedalaman air tanah ... ... 111

13 Hasil analisa kualitas air bersih penduduk sekitar Pabrik Gula Jatitujuh ... 112

14 Hasil analisa kualitas udara... ... 113

15 Hasil pengukuran kebisingan di afdeling (kebun) dan Pabrik Gula JatiTujuh ... 114

16 Hasil analisis Rap-Berinla untuk beberapa parameter statistic ... 130

17 Hasil analisis Monte Carlo untuk nilai indeks keberlanjutan multidimensi dan masing-masing dimensi pada selang kepercayaan 95%. ... 133

18 Faktor strategis parameter kunci pengelolaan dan kondisi masa depannya ... 141

19 Kondisi incompatible antar keadaan dari faktor-faktor penting tersebut dalam pengelolaan industri gula ... ... 142

20 Skenario kebijakan pengeloaan industri gula ... 143

(17)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1 Perumusan masalah industri gula nasional ... 4

2 Kerangka pikir model pengembangan industri gula berkelanjutan berbasis produksi bersih & partisipasi masyarakat ... 11

3 Segitiga konsep pembangunan berkelanjutan ... 19

4 Alur proses industri pengolahan tebu menjadi gula ... 36

5 Pengolahan produk turunan industri gula (limbah) dan pemanfaatannya... ... 38

6. Ilustrasi indeks keberlanjutan (jika lima dimensi) setiap faktor mempunyai kepentingan/konstribusi ... 52

7. Tahapan analisis dengan aplikasi modifikasi rap-fish menggunakan MDS ... 53

8. Struktur hirarki limbah industri gula ... 54

9. Diagram hirarki AHP pada pengembangan industri gula ... 55

10. Contoh sintesa prioritas pemecahan masalah ... 55

11 Bagan mekanisme pelaksanaan program bantuan pembiayaan pembelian mesin peralatan pabrik gula... 81

12 Asal responden ... 95

13 Persentase responden berdasarkan jenis kelaminnya ... 97

14 Tingkat pendidikan formal responden ... 98

15 Ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan anak ... 98

16 Kondisi transportasi di sekitar pabrik gula ... 99

17 Keterkaitan masyarakat dengan pabrik gula ... 100

18 Kesempatan masyarakat berpartisipasi pabrik gula ... 100

19 Dampak positif terhadap masyarakat ... 101

20 Pendapatan masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar pabrik gula ... 102

21 Kepemilikan lahan tebu (oleh masyarakat) ... 103

22 Penyiapan bibit tebu oleh pabrik gula ... 103

23 Limbah pabrik yang dapat dimanfaatkan kembali ... 104

24 Penghasilan rata-rata per bulan yang berasal dari limbah industri gula ... 104

25 Pemahaman masyarakat terhadap program produksi bersih ... 106

26 Pengetahuan masyarakat terhadap bantuan sosial pabrik gula ... 107

27 Analisis rap-berinla yang menunjukkan nilai indeks sustainabilitas dimensi ekologi ... 117

28 Peran masing-masing atribut ekologi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan RMS ikB-berinla ... 118

29 Analisis rap-berinla yang menunjukkan nilai indeks sustainabilitas dimensi ekonomi ... 119

30 Peran masing-masing atribut ekonomi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan RMS ikB-berinla ... 120

(18)

bentuk perubahan RMS ikB-berinla ... 124 33 Analisis rap-berinla yang menunjukkan nilai indeks sustainabilitas

dimensi teknologi ... 126 34 Peran masing-masing atribut teknologi yang dinyatakan dalam

bentuk perubahan RMS ikB-berinla ... 127 35 Analisis Rap-berinla yang menunjukkan nilai indeks sustainabilitas

dimensi hukum dan kelembagaan ... 128 36 Peran masing-masing atribut hukum dan kelembagaan yang

dinyatakan dalam bentuk RMS ikB-Berinla ... 129 37 Diagram layang (kite diagram) nilai indeks keberlanjutan industri

gula ... 131 38 Diagram hirarki AHP pada pengembangan industri gula ... 134 39 Urutan prioritas faktor dalam pengembangan industri gula

berkelanjutan ... 135 40 Urutan prioritas aktor dalam pengembangan industri gula

berkelanjutan ... 136 41 Urutan prioritas sasaran dalam pengembangan industri gula

berkelanjutan ... 137 42 Urutan prioritas tujuan dalam pengembangan industri gula

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1 Jenis limbah yang bernilai ekonomi... 181 2 Daftar alamat, nomor telepon dan faximile pabrik gula ... 184 3 Contoh klasifikasi mesin peralatan industri gula 250 TCD (ton can

day) ... 189 4 Tingkat komponen dalam negeri ... 194 5 Gambaran umum industri gula nasional ... 205 6. Hasil perhitungan melalui program komputer (AHP, MDS dan

(20)

1.1 Latar Belakang

Secara geografis Indonesia terletak di daerah khatulistiwa dan beriklim tropis serta memiliki dua musim dalam setahun, yaitu musim penghujan dan musim kemarau, dengan penyinaran matahari sepanjang tahun. Kondisi ini merupakan cerminan bahwa Indonesia merupakan negara yang subur dan kaya dengan sumberdaya alam.

Kondisi lahan yang subur, iklim serta penyinaran matahari yang mendukung untuk segala jenis tanaman, menjadikan Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar untuk membangun dan mengembangkan industri agro (agro base industries). Industri agro ini diartikan sebagai industri yang mengolah hasil tanaman (agro) seperti hasil pertanian, hasil hutan dan hasil perkebunan, atau dengan kata lain merupakan kelompok industri pengolahan.

Salah satu tanaman perkebunan yang mempunyai potensi besar untuk diolah sebagai bahan baku industri (industri agro) ialah tebu (Sacharum officinarum). Tebu mempunyai beberapa nama dalam beberapa bahasa lokal yakni tebu, rosan (Jawa), tiwu (Sunda), tebhu (Madura), isepan (Bali), teubee (Aceh), tewu (Nias, Flores), atihu (Ambon), tepu (Timor); dalam Bahasa Inggris yaitu sugar cane. Tebu merupakan bahan baku industri gula putih (white sugar) yang sering disebut sebagai gula pasir.

Industri gula merupakan salah satu industri agro yang layak untuk dikembangkan, karena konsumsi gula baik nasional maupun dunia demikian besar. Konsumsi yang besar ini antara lain digunakan untuk konsumsi mansyarakat (langsung) maupun sebagai bahan tambahan dalam industri makanan dan minuman. Dari tahun ke tahun, konsumsi gula ini cenderung meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan pertumbuhan industri makanan dan minuman.

Sebagai ilustrasi, pada tahun 2009 kebutuhan atau konsumsi gula nasional untuk industri makanan dan minuman, dan untuk rumah tangga mencapai 4,85 juta ton. Sayangnya kebutuhan ini hanya dapat dipenuhi sekitar setengahnya saja (55%) oleh industri gula nasional, sedangkan sisanya dipenuhi dengan mengimpor gula dari negara lain.

(21)

sebesar 1,3% atau mancapai 145,1 juta ton pada tahun 2005, sedangkan produksi hanya meningkat 1% atau 142,5 juta ton pada tahun yang sama. Sedangkan p

Selain adanya permasalahan rendemen yang kurang dari sembilan, industri gula juga mengeluarkan limbah yang dapat mencemari lingkungan, untuk itu maka harus dicari jalan keluar dari masalah tersebut. Berbagai upaya untuk melakukan pengolahan sisa produksi (limbah) pabrik gula menjadi komoditi yang bermanfaat dapat dilaksanakan, mengingat diantara limbah yang dikeluarkan ini, limbah dari industri gula dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. Pada dasarnya industri gula sudah melakukan berbagai upaya produksi bersih clean development mechanism (CDM) seperti melakukan pemanfaatan pucuk dan daun tebu untuk makanan ternak, pemanfaatan ampas menjadi bahan bakar, particle board, pulp selulosa, dan funtural,

pemanfaatan nira sebagai blotong, molase, dan gula. Namun demikian pemanfaatan bahan-bahan tersebut belum cukup beragam dan masih memberikan nilai tambah yang relative rendah, sebagai contoh pemanfaatan nira hanya terbatas untuk blotong, molase, dan gula; padahal nira dapat pula dimanfaatkan untuk berbagai keperluan seperti untuk bahan baku semen, bahan cat, pupuk, mancori cement; (molase) sebagai gula cair, L-lysin, asam glutamat, asam organik, bahan kimia, atau untuk membuat protein sel tunggal dan bahan obat-obatan (kanker). Jika hal ini dapat dilakukan, maka bukan saja akan dapat meminimalkan pencemaran dan mengurangi degradasi lingkungan karena telah melakukan clean development mechanism (CDM), namun juga akan memberikan keuntungan ekonomi tersendiri bagi perusahaan, sekaligus akan mengurangi pengangguran karena dalam pengolahan limbah menjadi produk yang bernilai ekonomi

roduksi dunia gula menurun sebesar 9 juta ton pada tahun 2008/09. FAO telah merevisi perkiraan 158,5 juta ton, yaitu 2,5 juta ton dibawah perkiraan pertama yang dirilis pada November 2008, dan 9 juta ton atau 5,4 % kurang dari pada 2007/2008.

Keadaan industri gula di Indonesia mengalami masa kejayaan pada tahun 1930-an, saat itu jumlah pabrik gula yang beroperasi sebanyak 179 pabrik gula (PG), produktivitas 14,8 persen dan rendemennya 11-13,8 persen, ekspor gula mencapai 2,4 juta ton dengan jumlah produksi puncak mencapai 3 juta ton pertahun (Sudana et al.,

(22)

akan menyerap cukup banyak tenaga kerja, sekaligus melibatkan masyarakat dalam industri gula tersebut (partisipasi). Namun di lain pihak industri gula juga menghasilkan limbah cair yang mengakibatkan tercemarnya perairan, serta mengakibatkan tercemarnya udara dan kebisingan (Laporan AMDAL Pabrik Gula Jati Tujuh, 2007). Berdasarkan hal tersebut, maka industri gula seharusnya melakukan produksi bersih, yakni melakukan berbagai upaya mulai dari awal, dalam proses, hingga di akhir. Produksi bersih merupakan strategi pengelolaan lingkungan yang bersifat preventif dan terpadu, yang perlu diterapkan secara terus-menerus (sustainable) pada proses produksi dan daur hidup produk dengan tujuan mengurangi resiko terhadap manusia dan lingkungan, sehingga tidak mencemari lingkungan.

Industri gula pada dasarnya telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan daya saing, meningkatkan keuntungan dan sebagainya, namun hingga saat ini belum pernah ada yang memotret apakah industri gula sudah berlanjut atau belum. Industri gula juga belum berperan optimal dalam menunjang kesejahteraan masyarakat di sekitarnya dan bagi kegiatan pembangunan di wilayahnya. Selain itu juga belum diketahui parameter apa yang paling dominan yang dapat meningkatkan keberlanjutan pabrik gula; serta belum ada yang membuat kajian, alternatif apa yang terbaik untuk mengembangkan industri gula tersebut, serta skenario apa yang dapat membuat industri gula menjadi pabrik yang secara ekonomi menguntungkan, secara sosial budaya menciptakan rasa aman, berkeadilan dan makmur serta tetap dapat menjaga kelestarian lingkungan, dan model seperti apa yang dapat menciptakan industri gula menjadi salah satu cara untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Berdasarkan hal tersebut, kiranya diperlukan penelitian mengenai model pengembangan industri gula berkelanjutan berbasis produksi bersih dan partisipasi masyarakat.

1.2 Perumusan Masalah

Industri gula pada umumnya mengalami masalah yang sangat kompleks, disebabkan antara lain (Gambar 1):

a. Budi Daya Tanam Sub Optimal

(23)

yang juga kurang tepat. Lahan-lahan irigasi untuk persawahan yang dipaksakan ditanami tebu, sehingga hasilnya kurang optimal (Suntoro dan Sudaryanto, 1996).

Peralatan Limbah Budi Daya Jadwal Tanam,

 Peningkatan Impor Gula Limbah Tidak Dimanfatkan

 Penurunan Daya Tahan Ekonomi Mengganggu Lingkungan

 Inflasi Potensi Ekonomi ”stagnan”

 Penurunan Penyerapan Tenaga Kerja Industri Pendukung tidak optimal

(24)

b. Jadwal Tanam dan Jadwal Tebang Kurang Tepat

Hingga saat ini para petani tebu, belum sepenuhnya diajak berfikir ke arah industrialisasi gula. Padahal sejak perencanaan sampai evaluasi tentang kinerja pabrik seharusnya sudah melibatkan sekaligus membudidayakan serta memberdayakan para petani, bukan hanya petani penggarap. Penentuan jadwal tanam dan jadwal tebang seringkali hanya batas naluri dan kebiasaan, tidak atas dasar kebutuhan para pelaku industri yang langsung memproses bahan baku. Dengan demikian pada gilirannya hanya dihasilkan gula giling dengan kualitas belum optimal (Wuryanto, 2000; Murdiyatmo, 2000).

c. Peralatan Produksi Tidak Efisien

Sebagian besar industri gula di Indonesia dibuat pada zaman penjajahan Belanda, dengan umur rata-rata diatas 50 tahun. Peralatan produksinya masih kuno, sehingga menurut asosiasi industri gula, tingkat efisiensinya hanya 25%. Namun jika teknologinya diperbaharui maka diperlukan investasi yang sangat besar. Di sisi lain, keuntungan (profit margin) yang selama ini diperoleh hanya cukup untuk biaya operasional. Sehingga untuk pembaharuan mesin-mesin produksi sangat memerlukan inovasi dan keuangan yang cukup tinggi (Wuryanto. 2000; Arifin 2000; Murdiyatmo, 2000).

d. Kebijakan Sub Optimal

(25)

e. Luas Areal Berkurang

Jumlah areal cenderung berkurang terus sebagai akibat konversi lahan bagi kegiatan diluar kegiatan pertanian seperti untuk industri, perhotelan, perumahan, dan pariwisata sebagai contoh tahun 1993 luasnya 421.000 hektar, saat ini hanya 350.000 hektar. Menurut Adisasmito et al. (1998) dan Syaefullah et al. (1999) luas lahan idealnya 450.000 hektar.

f. Kapasitas Kurang Memadai

Produktivitas tebu lahan tegalan rata-rata 54,4 ton tebu per hektar, sedangkan lahan irigasi mencapai 78,9 ton tebu per hektar dan peralatan produksi yang sudah tua, membuat kapasitas produksi menjadi sangat kurang memadai. Di sisi lain, dengan pertambahan penduduk yang kian meningkat maka kebutuhan gula, baik untuk dikonsumsi langsung maupun untuk industri makanan juga akan meningkat; oleh karena itu maka pemenuhan kebutuhan gula akan semakin keteteran. Agar dapat mencapai jumlah tonase yang diperlukan yang selama ini berproduksi sedikitnya dibutuhkan 4 buah pabrik baru lagi dengan kapasitas 12.000 ton tebu perhari. (Adisasmito et al., 1998 dan Woeryanto. 2000).

g. Adanya Distorsi Pasar (Impor)

Sebagai akibat produkstivitas industri dalam negeri jauh lebih rendah dari permintaan terhadap komoditi gula, maka dilakukan impor. Produksi dalam negeri pada tahun 2006 sebesar 1,45 juta ton, sedangkan impor gula 1,6 juta ton berupa gula putih dan gula rafinasi (raw sugar) mencapai 400.000 ton. Harga gula dipasaran sekitar Rp. 5.600,- sampai Rp. 6.500,- per kg. Gula rafinasi Rp. 3.500,- per kg, namun harga aslinya berkisar Rp. 2.200 – 2.800,- per kg. Padahal masyarakat tidak mau tahu apakah produk lokal (gula putih) ataukah gula rafinasi, yang penting harganya murah. Dengan demikian maka akan terjadi distorsi harga, dan yang terkena dampak malah para petani itu sendiri (Suntoro et al., 1999 dan Adisasmito, 1998).

h. Kebutuhan Meningkat

Kebutuhan untuk mengkonsumsi gula secara langsung maupun tidak langsung terjadi peningkatan, sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan tingkat daya beli masyarakat, sehingga memerlukan jumlah tonase gula yang meningkat pula dengan kenaikan mencapai 2,96%. Kebutuhan ini tidak sejalan dengan produksi yang mengalami penurunan sebesar 6,14% (Dewan Gula Indonesia, 2002).

(26)

Secara agregat ada dua jenis limbah yang saat ini belum diproses lebih kearah nilai ekonomi yang lebih tinggi (Koentardi, Jawa Manis, 2006). Di lain pihak jika limbah tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal, juga akan dapat menarik masyarakat untuk terlibat dalam pengolahan limbah industri gula tersebut

j. Kemitraan/Partisipasi Tidak Berdasarkan Prinsip Bisnis

Banyak pihak yang terlibat dalam penyediaan bahan baku industri gula konvensional (tebu), seperti petani, penyedia pupuk, perbankan, instansi pemerintah terkait (pemangku kepentingan) dan penggarap tanah. Kemitraan yang dibangun tidak melembaga sebagai mitra bisnis yang lestari, dan tidak dijalankan atas dasar saling menguntungkan secara berkelanjutan, sehingga hanya sekedar menguntungkan dalam kurun waktu beberapa kali waktu panen (Gumbira – Sa’id, 2001). Selain itu partisipasi masyarakat belum terlalu baik, padahal menurut Purnaningsih dalam Sitorus (1994) prinsip kemitraan/partisipasi masyarakat adalah prinsip yang kuat membantu yang lemah dalam berbagai aspek seperti aspek produktivitas, aspek pemasaran dan aspek kelembagaan.

k. Penerapan Produksi Bersih (Green Production) Belum Optimal

Peralatan produksi industri gula yang digunakan saat ini adalah peralatan yang telah ada sejak zaman Belanda, sehingga tingkat produkstifitas rata-ratanya hanya ±25%. Untuk memenuhi demand gula bagi industri dan masyarakat luas, setiap kerusakan pada umumnya hanya tambal sulam. Itupun tidak mengubah percepatan dan efisiensi produksi secara keseluruhan. Idealnya peralatan produksi yang digunakan harus yang bersifat ”electricalsystem” produksi bersih (greenproduction).

Dalam beberapa hal industri gula sudah menerapkan produksi bersih dengan cara memanfaatkan kembali limbah yang dihasilkannya, namun produksi bersih yang dilakukan masih belum optimal, sehingga belum dapat membantu mensejahterakan masyarakat sekitar yang seyogyanya dapat memanfaatkan limbah tersebut untuk diolah menjadi produk yang bernilai ekonomis.

Namun demikian kiranya masalah yang paling mendesak untuk dipecahkan saat ini adalah:

1. Bagaimana kondisi sosial, ekonomi dan persepsi masyarakat di sekitar pabrik (industri) gula

(27)

3. Seperti apa keberlanjutan industri gula dan apa faktor pengungkit (parameter apa yang paling dominan) yang harus diperhatikan untuk meningkatkan keberlanjutan dalam pengelolaan industri gula.

4. Alternatif kebijakan dalam pengembangan industri gula di masa yang akan datang, seperti apa yang akan membuat industri gula yang keberlanjutan berbasis produksi bersih dan partisipasi masyarakat

5. Skenario apa yang dapat membuat industri gula menjadi pabrik yang secara ekonomi menguntungkan, secara sosial budaya menciptakan rasa aman, berkeadilan dan makmur serta tetap dapat menjaga kelestarian lingkungan,

6. Model pengembangan industri gula seperti apa yang dapat menciptakan industri gula yang transparan dan dapat menjadi salah satu cara untuk mencapai pembangunan berkelanjutan yang berbasis produksi bersih dan partisipasi masyarakat.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menyusun suatu model pengembangan industri gula yang berbasis produksi bersih dengan memanfaatkan limbahnya, dan partisipasi dengan cara melibatkan masyarakat sekitar pabrik untuk ikut serta mengembangkan dan mengelola industri gula dan limbah yang dihasilkannya. Guna mencapai tujuan utama tersebut, ada beberapa tahapan penelitian dan sub tujuan yang perlu dilakukan, antara lain:

1. Mendapatkan gambaran kondisi sosial, ekonomi dan persepsi masyarakat 2. Mendapatkan gambaran kondisi kualitas lingkungan pabrik gula

3. Menganalisis keberlanjutan industri gula dan mendapatkan faktor pengungkit yang harus diperhatikan untuk meningkatkan keberlanjutan dalam pengelolaan industri gula.

4. Menentukan alternatif kebijakan dalam pengembangan industri gula di masa yang akan datang yang berbasis produksi bersih dan partisipasi masyarakat.

(28)

6. Mendapatkan model pengembangan industri gula yang transparan serta dapat menciptakan industri gula menjadi salah satu cara untuk mencapai pembangunan berkelanjutan yang berbasis produksi bersih dan partisipasi masyarakat

1.4 Kerangka Pikir

Industri gula merupakan salah satu industri agro yang mempunyai nilai strategis yang sudah melakukan produksi bersih dengan cara memanfaatkan limbahnya walau masih terbatas pada pucuk dan daun untuk makanan ternak, niranya yang hanya digunakan sebagai blotong, molase, dan gula dan belum dideversivikasi lebih lanjut menjadi bahan yang lebih komersial. Ampasnya juga masih dimanfaatkan terbatas yakni sebagai bahan bakar, particle board, makanan ternak, pulp selulosa, funtural. Oleh karena itu maka industri gula harusnya dapat menjadi industri terpadu (in-house production) untuk memperoleh keberagaman komoditi dan mempunyai nilai tambah yang sangat signifikan.

Dalam rangka mencapai kondisi ideal (industri terpadu) tersebut perlu dukungan dari berbagai sektor seperti hukum, politik, sosial budaya budaya budaya, ekonomi, keamanan, teknologi produksi, sumber daya manusia yang handal, skala produksi yang cukup, permodalan yang dipenuhi, dan sebagainya. Jika kondisi ideal tercapai, sudah barang tentu akan memperkecil ketergantungan terhadap luar negeri, penghematan devisa, nilai usaha menjadi meningkat, industri pendukung (industri permesinan, industri logam) menjadi tumbuh, pemberdayaan masyarakat sekitar dan masyarakat konsumen, dan yang lebih penting yaitu kelestarian lingkungan, baik masyarakat petani maupun pada industri gula itu sendiri.

(29)

industri ideal tersebut harus didukung oleh kebijakan terpadu, tidak ”ego-sektoral” seperti yang relatif terjadi saat ini, sehingga dapat menanggulangi permasalahan lahan yang belum mendapat kepastian kesinambungan pertanian tebu, dari sisi perdagangan tidak hanya melihat sisi suplai atau demand, dan ada keberpihakan dari perbankan, moneter dan fiskal. Oleh karena itu maka industri gula akan menjadi kuat (ideal), apabila terdapat keterpaduan dukungan. Selama ini sudah cukup banyak penelitian yang dilakukan antara lain Idha Haryanto Soemodihardjo (2007) yang melakukan penelitian tentang optimasi penggunaan lahan di daerah penghasil padi dan tebu di Jawa Timur; Victor Siagian (1999) tentang analisis efisiensi biaya produksi gula di Indonesia; pendekatan fungsi biaya multi-input; Ruchiyat Deni Djakapermana (2006) disain kebijakan dan strategi dalam pemanfaatan ruang wilayah Pulau Kalimantan; Eko Sulistiyono (2006) hubungan pengelolaan air dengan produksi, kandungan gula nikotin daun tembakau; Wayan Reda Susila (2006) pengembangan industri gula Indonesia; analisis kebijakan dan keterpaduan sistem produksi, dan sebagainya. Namun demikian penelitian tentang model pengembangan industri gula berkelanjutan berbasis produksi bersih dan partisipasi masyarakat belum pernah dilakukan. Oleh karena itu maka harus segera dilakukan penelitian tersebut di atas. Untuk lebih jelasnya kerangka berpikir penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.

1.5 Kegunaan/Manfaat Penelitian

Kegunaan atau manfaat penelitian diharapkan memberikan manfaat antara lain: 1. Bagi pemerintah dapat dijadikan salah satu acuan bagaimana mengambil kebijakan

secara terpadu mulai dari hulu (lahan, irigasi, penyediaan bibit, bahan baku), antara (teknologi produksi, ekonomi, perbankan, fiskal), hilir (perdagangan) khususnya bagi penguatan serta pengembangan industri gula di dalam negeri.

2. Untuk para pelaku industri, agar dapat meningkatkan efisiensi produksi dengan memanfaatkan faktor pengungkit yang perlu ditingkatkan kembali sehingga industri gula akan berkelanjutan secara ekonomi, ekologi, sosial budaya budaya, teknologi, hukum dan kelembagaan

(30)

HUKUM &

(31)

1.6 Ruang Lingkup dan Pembatasan Penelitian

Mengingat luasnya penelitian, maka ruang lingkup yang akan dilakukan adalah: 1. Mencari gambaran kondisi sosial, ekonomi dan persepsi masyarakat

2. Mencari gambaran kondisi kualitas lingkungan pabrik gula

3. Melihat keberlanjutan dari industri gula yang menjadi objek dan mencari parameter yang paling dominan yang dapat meningkatkan keberlanjutan pasbrik gula

4. Mencari alternatif yang terbaik untuk mengembangkan industri gula tersebut dengan berbasis produksi bersih dan partisipasi masyarakat

5. Mencari skenario yang dapat membuat industri gula menjadi pabrik yang secara ekonomi menguntungkan, secara sosial budaya menciptakan rasa aman, berkeadilan dan makmur serta tetap dapat menjaga kelestarian lingkungan

6. Mencari model pengembangan industri gula yang transparan, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan kelembagaan serta hukum yang berbasis produksi bersih dan partisipasi masyarakat.

1.7 Kebaruan (Novelty)

Kebaruan (novelty) dalam penelitian ini dapat disampaikan beberapa kemajuan (advantage) yaitu dari sisi pendekatan kebijakan, dari sisi pendekatan teknologi yang dipakai, dari segi finansial (modal kerja, fiskal, moneter), dari sudut proses produksi (pemanfaatan limbah untuk suatu komoditi bernilai ekonomis).

1. Kebaruan dari pendekatan kebijakan, merupakan konsep baru dimana pemangku kepentingan (stakeholder, termasuk kemitraan masyarakat) saling mendukung terhadap keberadaan industri gula di dalam negeri.

2. Model pengembangan industri gula RSSC - PC (roundtable on sustainable sugar cane – princip and criteria) yang transparan, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan kelembagaan serta hukum yang berbasis produksi bersih dan partisipasi masyarakat. 3. Membantu memecahkan masalah dari sisi ekologi, ekonomi, sosial budaya,

(32)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Tebu merupakan bahan baku industri gula. Dilihat dari aspek agronomis tebu merupakan tanaman perkebunan/industri berupa rumput tahunan. Tanaman ini merupakan komoditi penting karena di dalam batangnya terkandung 20% cairan gula. Tanaman ini mungkin berasal dari India, tetapi mungkin juga berasal dari Irian karena disana ditemukan tanaman liar tebu. Di Jawa Barat tebu dikenal dengan nama tiwu sejak 400 tahun yang lalu. Adapun klasifikasi tanaman tebu adalah sebagai berikut:

Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Keluarga : Poaceae

Genus : Saccharum

Spesies : Saccharum officinarum

2.1 Kondisi Industri Gula di Indonesia

Walaupun Indonesia dulu mengalami kejayaan dalam bidang industri gula sejak masa kolonial Belanda, tetapi saat ini mengalami kemunduran yang cukup tragis dimana jumlah pabrik menurun dan peralatan produksi yang hanya dapat bertahan (belum dapat dikembangkan secara proporsional). Padahal kebutuhan gula justru dari tahun ke tahun selalu meningkat. Pengalihan areal/lahan pertanian tebu menjadi konversi lain semakin kuat yang salah satunya dari kebijakan ketahanan pangan (Sudana et al., 2000). Industri perumahan, juga semakin mengurangi luasan areal tanaman tebu dimana 65% menjadi berubah fungsi (Sumaryanto et al.,1995)

(33)

meningkat lebih pesat yaitu 1,3 %, dari 143,3 juta ton pada tahun 2004 menjadi 145,1 juta ton pada tahun 2005 (FAO dalam Susila, 2006a).

Pada tahun 2004, konsumsi gula dunia meningkat menjadi sekitar 143,3 juta ton, atau meningkat sekitar 4 juta ton atau 2,9% lebih tinggi dari periode tahun 2003. Peningkatan konsumsi terutama bersumber dari kelompok negara berkembang sebagai akibat pertumbuhan ekonomi yang cukup baik. Di negara berkembang, konsumsi pada tahun 2004 meningkat 3,8%, dari 91,9 juta ton pada tahun 2003 menjadi 95,4 juta ton pada tahun 2004. Kelompok negara di Afrika diperkirakan mengalami peningkatan produksi sebesar 5,3%. Pada negara maju, laju peningkatan konsumsi relatif marjinal yaitu hanya sekitar 1,3%, dari 47,3 juta ton pada tahun 2003 menjadi 47,9 juta ton pada tahun 2004. Tingkat konsumsi gula dunia pada tahun 2003-2004 disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Perkembangan konsumsi gula dunia tahun 2003 – 2004

Kelompok Negara

Konsumsi

(juta ton) Pertumbuhan (%)

2003 2004

Dunia 139.2 143.3 2.9

Negara Berkembang 91.9 95.4 3.8

Amerika Latin dan Karibia 24.8 25.7 3.6

Afrika 7.6 8.0 5.3

Near East 10.6 10.8 1.9

Far East 48.9 50.8 3.9

Negara Maju 47.3 47.9 1.3

Eropa 20.3 20.5 1.0

Amerika Utara 10.1 10.3 2.0

CIS 11.1 11.3 1.8

Oceania 1.4 1.4 0.0

Lainnya 4.4 4.4 0.0

Sumber : FAO dalam Susila, 2006a.

2.2 Kebijakan Industri dan Perdagangan serta Pola Distribusi Gula

Kebijakan pemerintah terhadap usaha tani padi, pencabutan subsidi pupuk, berdampak pada produktivitas industri gula (Soentoro et al., 1999). Jaminan harga dan ketidak pastian berusaha dalam sektor industri gula, salah satu sebab para petani tebu dan industri gula menjadi ragu dalam melakukan usahanya (Murdiyatmo etal., 2000).

(34)

dikeluarkan cukup besar. Hal ini berdampak pada ketahanan stabilitas ekonomi dan politik (Simatupang etal., 2000)

2.3. Penelitian Terdahulu yang Terkait

Penelitian yang sudah dilakukan terdahulu yang berkaitan dengan tanaman tebu dan industri gula dan antara lain adalah:

1. Idha Haryanto Soemodihardjo (2007): Optimum Penggunaan Lahan Di Daerah Penghasil Padi dan Tebu di Jawa Timur. Pada penelitian tersebut diuraikan mengenai permasalahan lahan yang ditanami tebu sering tumpang tindih dengan padi, dimana tidak ada kesinambungan penanaman tebu. Sehingga penyediaan bahan baku berupa tebu untuk industri gula sangat tidak menentu. Walaupun demikian, hal ini menjadi salah satu inputan dalam menelaah industri gula, dari sisi penyediaan lahan bagi kelangsungan produktifitas industri gula

2. Victor Siagian (1999): Analisis Efisiensi Biaya Produksi Gula di Indonesia; Pendekatan Fungsi Biaya Multi-Input. Penelitian ini menitik beratkan kepada optimalisasi produksi dari sisi off farm, artinya orientasi pada mesin-mesin pengolah di pabrik gula. Sedangkan untuk on farm (di lahan produksi), belum mendapat sorotan yang lebih luas. Hasil penelitian inipun menjadi salah satu rujukan dalam penentuan kebijakan untuk revitalisasi permesinan selanjutnya di industri gula berbasis tebu.

3. Ruchiyat Deni Djakapermana (2006): Disain Kebijakan dan Strategi Dalam Pemanfaatan Ruang Wilayah Pulau Kalimantan. Seperti kita ketahui bahwa Kalimantan adalah Raksasa lahan yang masih tidur, belum dimanfaatkan optimal untuk kegiatan ekonomi dalam arti luas. Untuk itu agar tidak terjadi salah kelola atau menjadi berantakan dalam peruntukkannya, maka telah dikaji pemanfaatan lahan dari sisi tata ruang. Kondisi ini penting mengingat nilai tanah yang sangat strategis guna kehidupan manusia dimuka bumi ini dalam penyelenggaraan penjaminan kehidupannya yang adil, merata dan berkesinambungan. Penelitian ini juga menjadi salah satu acuan dalam penataan ruang untuk industri gula di masa datang

(35)

dan tarifnya; pertanahan, sistem produksi. Belum dilihat secara menyeluruh tentang pengaruh yang bisa menimbulkan dampak terhadap produktifitas; seperti manajemen, teknologi produksi dilihat dari permesinan dan on farm itu sendiri.

2.4 Kerangka Teoritis Proteksi

Dalam rangka menjamin kelangsungan usaha maka salah satu kiat yang perlu segera dievaluasi yaitu perlindungan/proteksi. Walaupun Indonesia sudah meratifikasi beberapa perjanjian internasional seperti AFTA dan WTO, bukan berarti serta merta terbuka seluas-luasnya terhadap impor semua barang termasuk gula. Hal ini karena menyangkut kehidupan masyarakat banyak (Houck, 1986).

Kebijakan perdagangan (trade policies) yang dalam hal ini menyangkut tarif impor, selalu menimbulkan perdebatan yang satu dengan lainnya saling bertentangan. Bila tarif impor ditinggikan, sedangkan produk gula di dalam negeri belum memenuhi volume yang dibutuhkan; maka akan merugikan konsumen yang jumlahnya sangat banyak. Apabila tarif impor terlalu rendah di satu sisi harga gula akan menjadi murah, sehingga konsumen sangat diuntungkan, sisi lain yaitu produsen dan petani sangat dirugikan karena keuntungannya sangat kecil. Hal ini sangat mengganggu gairah dalam pergerakan dibidang agro, walaupun para petani dan pabrik gula jumlahnya sangat kecil (+ 1,5 juta orang) dibanding jumlah konsumen yang 240 jutaan orang.

Jalan tengah yang biasa ditempuh untuk menanggulangi hal tersebut adalah dengan pendekatan penerimaan maksimum pemerintah atau pendekatan tarif optimum. Pendekatan tersebut bertitik tolak dari berbagai aspek dengan melihat berbagai dampak seperti produksi, konsumsi, harga, ekspor/impor dan distribusi kesejahtraan. Dengan demikian pendekatan surplus konsumen dan surplus produsen dapat diprediksi dan diestimasi dengan baik.

Ada beberapa kelemahan dari pola pendekatan ini, antara lain:

1. Tidak memperhitungkan jumlah kelompok yang memperoleh dampak positif maupun dampak negatif. Padahal hal tersebut penting bagi pemerintah dalam rangka salah satu tawaran kebijakan.

(36)

2.5 Kerangka Teoritis Lainnya

Tariff-Rate Quota (TRQ)

Adalah suatu kebijakan harga domestik melalui peraturan pengendalian impor secara terpadu. Artinya bila impor tersebut sangat mengganggu harga produk lokal, maka besarnya tarif terhadap kuota impor harus diberlakukan sehingga semangat berproduksi gula maupun penyediaan bahan baku berupa tebu oleh para petani tidak terganggu (Elbehri et al., 2000).

Banyak negara yang menggunakan instrumen kebijakan ini seperti Amerika Serikat, Eropa Barat, China, India, Thailand (LMC, 2002; USDA, 2002 dalam Susila, 2005). Pengaturan atau kebijakan ini esensinya adalah pengenaan tarif impor berdasarkan volume impor. Bila volume yang diimpor melebihi kuota yang telah ditetapkan, maka tarifnya dikenakan tinggi. Sebaliknya bila impor masih dalam kuota yang telah ditetapkan oleh pemerintah, maka tarifnya sesuai dengan ketentuan yang ada. Sebagai ilustrasi bahwa Amerika Serikat pada tahun 2003 melakukan pengenaan tarif US$ 0,625/pound pada volume quota sebesar 1,3 juta ton. Di atas volume quota tersebut dikenakan tarif US$ 15.36/pound. Hal tersebut dalam rangka pengendalian harga dalam negeri.

Harga Provenue

Harga provenue di sini diartikan sebagai harga di tingkat petani sama dengan harga yang berlaku di dunia. Kondisi tersebut akan terjadi jika asuransi, transportasi dan sebagainya dianggap nol, karena dianggap bahwa Indonesia saat ini sebagai negara kecil dalam hal industri gula dunia (Susila, 2005)

Subsidi Input

Agar tidak bertentangan dengan peraturan internasional, maka subsidi yang diberikan harus selektif seperti subsidi harga pupuk, subsidi harga input, subsidi suku bunga kredit. Salah satu keuntungan pula adalah harga gula domestik tidak naik; karena asuransi, transportasi dianggap nol (Murdiyatmo, 2000).

Produktivitas

(37)

2.6 Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) adalah pembangunan dengan konsep yang mengintegrasikan antara aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya. Pembangunan berkelanjutan merupakan konsep pembangunan yang disepakati secara internasional pada saat dilakukan United Nation Conference On The Human Environment di Stockholm tahun 1972. Pada pembangunan berkelanjutan selalu diupayakan agar menjadi pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang dengan tanpa mengorbankan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhannya (WCED, 1987). Hal ini sesuai dengan pernyataan Serageldin (1996) yang menyatakan bahwa suatu kegiatan pembangunan (termasuk pengelolaan sumberdaya alam dan berbagai dimensinya) dinyatakan berkelanjutan jika kegiatan tersebut baik ditinjau dari aspek ekonomi, ekologi, maupun dari aspek sosial budaya bersifat berkelanjutan.

Menurut Plessis (1999), pada saat awal dicanangkan pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan relatif hanya diarahkan untuk mengatasi konflik antara proteksi lingkungan dan sumberdaya alam dalam rangka menjawab kebutuhan pembangunan yang berkembang. Selanjutnya disadari bahwa pembangunan berkelanjutan tidak mungkin tercapai tanpa mempertimbangkan perubahan ekonomi dan sosial budaya seperti pengurangan tingkat kemiskinan dan keseimbangan sosial budaya.

(38)

EKONOMI

Efisiensi Pertumbuhan

EKOLOGI

Sumberdaya alam dan lingkungan

SOSIAL

Keadilan Pemerataan

§ Penanggulangan Kemiskinan § Pemerataan § Kelestarian

Kesempatan kerjaRedistribusi pendapatanResolusi konflik

Nilai-nilai budaya

Partisipasi

KonsultasiAsesmen lingkungan

Valuasi lingkunganInternalisasi

Gambar 3. Segitiga konsep pembangunan berkelanjutan

Adapun arti berkelanjutan dari setiap aspek adalah sebagai berikut: Berkelanjutan secara ekonomi diartikan bahwa suatu kegiatan pembangunan harus dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan kapital, dan penggunaan sumberdaya serta investasi secara efisien. Berkelanjutan secara ekologi mengandung arti bahwa kegiatan tersebut harus dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan, dan konservasi sumberdaya alam termasuk keanekaragaman hayati.

(39)

sekarang dan generasi yang akan datang secara berimbang/adil, dan (3) Terdapat efisiensi dalam pengalokasian sumberdaya.

Menurut Mitchell (1997) terdapat dua prinsip keberlanjutan yang sangat penting untuk digaris bawahi, yakni prinsip lingkungan/ekologi dan prinsip sosial budaya politik. Prinsip lingkungan/ekologi, merupakan prinsip yang akan selalu berupaya untuk melindungi sistem penunjang kehidupan, memelihara integritas ekosistem, dan mengembangkan dan menerapkan strategi preventif dan adoptif untuk menanggapi ancaman perubahan lingkungan global. Prinsip sosial budaya politik, akan mempertahankan skala fisik dari kegiatan manusia di bawah daya dukung atmosfer. Pada prinsip sosial budaya politik, juga sudah memperhatikan (mengenakan) biaya lingkungan dari kegiatan manusia, dan memperhatikan (mengharuskan) adanya kesamaan sosio, politik dan ekonomi dalam transisi menuju masyarakat yang berkelanjutan.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka Hanley (2001) mengungkapkan bahwa pembangunan berkelanjutan sangat diperlukan terutama dalam hal mengintegrasikan ekonomi, lingkungan sosial budaya dan etika, baik untuk skala nasional maupun skala internasional, sehingga dapat menciptakan kualitas kehidupan yang lebih baik bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Oleh karena itu maka implementasi konsep pembangunan berkelanjutan ini perlu diterapkan pada banyak negara. Dalam rangka mengatasi hal tersebut, maka FAO mengembangkan indikator keberlanjutan untuk pembangunan (wilayah) berdasarkan aspek ekologi, ekonomi, sosial budaya, kelembagaan, teknologi, dan aspek pertahanan keamanan.

(40)

terjadinya degradasi lingkungan, khususnya melalui proses penataan lingkungan. Adapun ciri-ciri pembangunan berkelanjutan adalah sebagai berikut:

1. Menjaga kelangsungan hidup manusia dengan cara melestarikan fungsi dan kemampuan ekosistem yang mendukung langsung maupun tidak langsung.

2. Memanfaatkan sumberdaya alam secara optimal dalam arti memanfaatkan sumberdaya alam sebanyak mungkin dan teknologi pengelolaan mampu menghasilkan secara lestari.

3. Memberi kesempatan kepada sektor dan kegiatan lain di daerah untuk ber-kembang bersama-sama baik dalam kurun waktu yang sama maupun berbeda secara berkelanjutan.

4. Meningkatkan dan melestarikan kemampuan dan fungsi ekosistem untuk me- masok sumberdaya alam, melindungi serta mendukung kehidupan secara terus menerus.

5. Menggunakan prosedur dan tata cara yang memperhatikan kelestarian fungsi dan kemampuan ekosistem untuk mendukung kehidupan baik sekarang maupun masa yang akan datang.

2.7. Industri

Industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi, atau barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan industri (Undang-undang No. 5 Tahun 1984 tentang Industri). Pada industrialisasi lebih mengarah pada suatu proses atau kegiatan industri yang tengah berlangsung (Soerjani et al., 1987).

(41)

terjadinya pertumbuhan sektor pertanian dalam rangka menyediakan bahan baku bagi kebutuhan industri tersebut. Menurut Arsyad (1999) selain dapat merangsang pertumbuhan sektor pertanian, pertumbuhan industri juga akan dapat merangsang pengembangan sektor jasa seperti lembaga keuangan, pemasaran, perdagangan, periklanan dan transportasi. Semua sektor jasa tersebut akan mendukung laju pertumbuhan industri yang dapat menyebabkan meluasnya kesempatan kerja yang pada akhimya meningkatkan pendapatan dan daya beli masyarakat. Padahal terdapatnya kenaikan pendapatan dan daya beli masyarakat ini menunjukkan bahwa perekonomian tersebut mengindikasikan terjadi pertumbuhan dan sehat.

Adanya pertumbuhan ekonomi yang sehat ini mendorong setiap daerah melakukan kegiatan industri, oleh karenanya maka dapat dimaklumi jika perkembangan industri dewasa ini dapat dikatakan semakin pesat. Adapun faktor lain yang juga ikut mendorong pertumbuhan dan perkembangan industri antara lain adalah sebagai akibat dari adanya penerapan kemajuan teknologi oleh manusia guna mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik. Di lain pihak menurut Allenby (1999) akibat dari adanya dorongan peningkatan kesejahteraan material guna meningkatkan kualitas hidup ini dibutuhkan barang dan jasa yang semakin banyak.

Dalam industrialisasi juga dituntut adanya sumberdaya manusia yang cukup berkualitas, oleh karenanya maka industrialisasi selalu berkaitan dengan diadakannya usaha-usaha untuk meningkatkan mutu sumberdaya manusia serta upaya-upaya untuk meningkatkan kemampuan SDM tersebut di atas dalam memanfaatkan sumberdaya alam dan sumberdaya lain secara optimal. Namun di lain pihak industrialisasi juga dapat mempengaruhi dan mengubah cara pandang masyarakat agraris seperti halnya Indonesia, yang beranggapan bahwa sektor industri adalah sektor yang dapat meningkatkan kesejahteraan, dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, atau dengan kata lain sektor industri merupakan sektor yang dapat mendongkrak berbagai hal sesuai dengan keinginan semua pihak. Cara pandang masyarakat yang kurang tepat tersebut dapat mendorong masyarakat untuk beramai-ramai melakukan urbanisasi, sehingga masyarakat agraris yang tadinya hidup di perdesaan akan meninggalkan lahan pertaniannya untuk kemudian berpindah ke kota industri dengan bekal keterampilan yang kurang memadai (Allenby, 1999).

(42)

lebih baik di kota sehingga dapat meningkatkan penghasilannya, disamping ketersediaan fasilitas yang lebih banyak dan beragam. Faktor pendorong hal tersebut adalah kemiskinan akibat dari tidak seimbangnya pertambahan penduduk dengan ketersediaan lahan atau tanah di desa. Adanya desakan untuk memenuhi kebutuhan hidup ini mengakibatkan mereka tanpa ada paksaan dari siapapun mereka bermigrasi dan cenderung ke arah mendekati tempat kerjanya (industri). Namun demikian menurut Soemarwoto (2001) selain untuk bekerja pada industri, ada diantara mereka yang dalam tujuan migrasinya bukan untuk bekerja menjadi buruh industri, namun bertujuan untuk melakukan kegiatan sosial budaya ekonomi di luar industri, seperti: membuka warung dan pemondokan.

Dalam melaksanakan kegiatan industri tersebut, sudah pasti akan dilakukan pembangunan fisik berupa pembangunan sarana dan prasarana pendukungnya. Namun sayangnya pembangunan sarana dan prasarana tersebut seringkali masih mengabaikan aspek lingkungan, sehingga pembangunan tersebut seringkali tanpa didukung oleh usaha kelestarian lingkungan akan mempercepat proses kerusakan alam (Sunu, 2001). Hal itu dapat ditandai dengan terjadinya kerusakan lingkungan, terkontaminasinya biota-biota yang ada di sekitarnya, terutama biota air yang hidup di perairan penerima limbah cair industri, berkurangnya beberapa biota dan spesies, bahkan terjadi perubahan morfologi dari biota tersebut, sehingga berbeda dari morfologi aslinya (Riani dan Cordova, 2008). Selain hal tersebut, menurut Djajadiningrat (2001) industrialisasi juga dapat mempengaruhi transformasi struktur sosial budaya, seperti urbanisasi, karena industri yang dikembangkan bersifat padat karya.

(43)

kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh tindakan manusia saat ini dan dapat menaikan tingkat sosial budaya ekonomi masyarakat (Soemarwoto, 2001).

Menurut Soemarwoto (2001) kualitas lingkungan yang baik akan mempunyai potensi untuk didapatkannya kualitas hidup yang tinggi. Selanjutnya dikatakan bahwa bahwa dalam menilai kualitas hidup tersebut, terdapat tiga buah kriteria yang menunjukkan tercapai tidaknya kualitas hidup yang diinginkan. Adapun ketiga kriteria tersebut, adalah sebagai berikut.

1. Derajat dipenuhinya kebutuhan untuk hidup sebagai makhluk hayati. Kebutuhan ini bersifat mutlak, didorong oleh keinginan manusia untuk menjaga kelangsungan hidup hayatinya. Kelangsungan hidup hayati tidak hanya menyangkut dirinya, melainkan juga masyarakat dan terutama keturunannya. Kebutuhan ini terdiri atas udara, air, pangan. Kesempatan ini untuk mendapatkan keturunan serta perlindungan terhadap serangan penyakit dan sesama manusia. Kebutuhan hidup ini dalam keadaan terpaksa mengalahkan kebutuhan hidup yang lain.

2. Derajat dipenuhinya kebutuhan untuk hidup manusiawi. Kebutuhan hidup ini bersifat relatif, walaupun ada kaitan dengan kebutuhan hidup jenis pertama di atas. Di dalam kondisi iklim Indonesia, rumah dan pakaian, bukanlah kebutuhan yang mutlak untuk kelangsungan hidup hayati, melainkan kebutuhan untuk hidup manusiawi. Kebutuhan hidup manusiawi yang lain adalah pendidikan, agama, seni dan kebudayaan.

3. Derajat kebebasan untuk memilih. Dalam masyarakat yang tertib, derajat kebebasan dibatasi oleh hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis.

(44)

2.8 Pengelolaan Lingkungan

Dalam rangka mencapai pembangunan berkelanjutan, hal yang pertamakali harus dilakukan adalah melakukan pengelolaan lingkungan, sehingga sumberdaya yang ada di dalamnya menjadi lestari. Oleh karenanya maka untuk mencapai pembangunan berkelanjutan maka pengelolaan sumberdaya alam harus mengikuti konsep pembangunan sumberdaya yang berkelanjutan, seperti yang dinyatakan oleh Fauzy dan Anna (2005) yang menyatakan bahwa konsep pembangunan sumberdaya yang berkelanjutan harus mengandung aspek:

1. Ecological sustainability (keberlanjutan ekologi). Dalam pandangan ini pemanfaatan sumberdaya alam/hutan hendaknya tidak melewati batas daya dukungnya. Peningkatan kapasitas dan kualitas ekosistem menjadi hal yang utama. 2. Socioeconomic sustainability (keberlanjutan sosial budaya-ekonomi). Konsep ini

mengandung makna bahwa pembangunan perlu memperhatikan keberlanjutan dari kesejahteraan pemanfaat sumberdaya pada tingkat individu.

3. Comunity sustainability, mengandung makna bahwa keberlanjutan kesejahteraan dari sisi komunitas atau masyarakat perlu menjadi perhatian pembangunan yang berkelanjutan.

4. Institusional sustanability (keberlanjutan kelembagaan). Dalam kerangka ini keberlanjutan kelembagaan yang menyangkut memelihara aspek finansial dan administrasi yang sehat merupakan prasyarat dari ketiga pembangunan berkelanjutan diatas.

Dalam hal pengelolaan lingkungan (melalui pendekatan sumberdaya alam), guna mencapai pembangunan yang berkelanjutan, ada empat prinsip yang perlu diperhatikan, yaitu:

1. Optimalisasi pemanfaatan sosial budaya dan ekonomi; bahwa pengembangan sumberdaya alam harus didasarkan pada strategi yang dapat mengoptimalkan manfaat sosial budaya dan ekonomi jangka panjang dari sumberdaya alam yang dapat diperbaharui.

(45)

3. Multiguna sumberdaya alam; dalam mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya, kegiatan perencanaan dan manajemen sumberdaya alam dilakukan dengan mengambil berbagai kegunaan yang dimiliki oleh sumberdaya alam yang tersedia dan dapat diperbaharui.

4. Memperhatikan kapasitas ekosistem; pemanfaatan sumberdaya alam akan sangat bergantung pada kemampuan ekosistem sumberdaya alam tersebut dalam menyediakan sumber daya guna memenuhi permintaan.

Dalam pengelolaan lingkungan kita mengenal tiga standar pengelolaan, yaitu (1) British Standard (BS 7750): 1994 yang berlaku di Inggris; (2) Environmental Management Audit Scheme (EMAS) yang berlaku di Uni Eropa; dan (3) ISO seri 14000 merupakan standar internasional yang menjadi sarana penting dalam perdagangan global yang terbuka dan tidak memihak, khususnya berkaitan dengan pemberian perlakuan yang tepat dalam penanganan masalah lingkungan (Simatupang, 1995).

Dalam hal yang berkaitan dengan perdagangan global penerapan ISO seri 14000 dapat dikatakan merupakan salah satu bentuk kongkrit dari implementasi dari konsep pembangunan berkelanjutan. Bahkan Simatupang (1995) mengatakan bahwa terbitnya ISO seri 14000 pada pertengahan 1996 merupakan babak baru dalam standarisasi perdagangan dunia setelah diterapkan ISO seri 9000 yang dianggap cukup handal dalam bidang sistem manajemen kualitas (QMS). Dengan demikian, standar ISO seri 14000 dapat digunakan sebagai sarana meningkatkan daya saing suatu produk industri dalam menembus pasar internasional dan sekaligus dijadikan faktor penggiat dalam mengembangkan upaya pengelolaan lingkungan.

Standar ISO seri 14000 bertumpu pada prinsip perbaikan terus-menerus (continous improvement) dengan membawa elemen baru bagi peningkatan manajemen organisasi, yaitu pendekatan sistem manajemen untuk mengoptimalkan seluruh kinerja lingkungan dan menengahi setiap kerusakan lingkungan. Penerapan ISO seri 9000 difokuskan pada kepuasan pelanggan dan persyaratan kualitas internal, sedangkan penetapan ISO seri 14000 membuat perusahaan bukan saja mampu memuaskan pelanggan dan masyarakat tetapi sekaligus dapat memenuhi persyaratan peraturan lingkungan yang diberlakukan.

(46)

manajemen; (2) kebijakan lingkungan, (3) perencanaan: aspek lingkungan; aspek hukum, persyaratan sasaran dan target; program pengelolaan lingkungan; (4) implementasi dan operasi: struktur dan pertanggungjawaban; pelatihan dan kepatuhan; komunikasi; dokumentasi sistem pengelolaan lingkungan; pengendalian dokumen; pengendalian operasional; kesiapan dan reaksi pada keadaan darurat; dan (5) pemeriksaan dan tindakan perbaikan; monitoring dan pengukuran; tanpa konfirmasi dan tindakan korektif dan pencegahan; pencatatan; audit sistem pengelolaan lingkungan. Sehingga dari situ akan didapatkan manfaat dari penerapan standar ISO 14001, melalui sertifikasi (RSCC-PC), yakni pengurangan limbah.

Pemberian sertifikasi ini dilakukan setelah lembaga sertifikasi yang melakukan penelitian atau audit proses dan dokumentasi suatu kegiatan industri tersebut telah melihat adanya kesesuaian pelaksanaan SML (sistem manajemen lingkungan) di pabrik tersebut dan industri tersebut telah memiliki SML yang memenuhi standar ISO 14001 dan menerapkan SML terus menerus secara aktif dalam kegiatan sehari-hari di pabrik. Selanjutnya setelah mendapatkan sertifikat ISO, maka perusahaan tersebut harus melakukan kegiatan SML yang ada di bawah pengawasan dengan cara dilakukan audit di lapangan minimal 2 kali setahun oleh lembaga sertifikasi SML yang telah memperoleh akreditasi dari Badan Akreditasi Nasional (Hadiwiardjo, 1997).

Menurut Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No. 02/MENKLH/I/1988 yang dimaksud dengan polusi atau pencemaran air dan udara adalah masuk dan dimasukannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air/udara dan atau berubahnya tatanan (komposisi) air/udara oleh kegiatan manusia atau proses alam, sehingga kualitas air/udara turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air/udara menjadi kurang atau tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya.

(47)

2.9 Pencemaran

Menurut UU. No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup atau saat ini telah diubah menjadi UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pencemaran lingkungan adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan dan atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya.

Indikator pencemaran air dapat diketahui melalui perubahan baik ditinjau dari aspek fisika, aspek kimia maupun aspek biologi (Manahan, 2002). Secara umum terjadinya pencemaran ini berasal dari adanya bahan buangan (limbah) baik limbah yang dikelompokkan sebagai limbah padat, limbah organik, limbah anorganik, limbah olahan bahan makanan, limbah cairan berminyak, limbah zat kimia, limbah berupa panas, dan sebaginya.

Pada industri gula seringkali dihasilkan limbah yang didominasi oleh limbah kimia organik. Limbah yang didominasi bahan kimia organik ini seringkali mengakibatkan terjadinya keracunan baik pada hewan air yang hidup pada perairan yang tercemar bahan organik, maupun pada hewan darat, bahkan pada manusia yang hidup pada lingkungan darat yang tercemar bahan organik. Atau dapat pula meracuni manusia yang menggunakan air yang mengandung di dalamnya tercemar bahan kimia organik tersebut (Darmono, 2001).

Gambar

Gambar 2.  Kerangka pikir  model pengembangan industri gula berkelanjutan berbasis                      produksi bersih dan partisipasi masyarakat
Tabel 1. Perkembangan konsumsi gula dunia tahun 2003 – 2004
Gambar 3. Segitiga konsep pembangunan berkelanjutan
Gambar 4 : Alur proses industri pengolahan tebu menjadi gula
+7

Referensi

Dokumen terkait