• Tidak ada hasil yang ditemukan

EKONOMI Efisiensi

SOSIAL Keadilan

IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN, INDUSTRI GULA INDONESIA DAN DUNIA

4.6 Kebijakan Pemerintah pada Industri gula

4.7.2 Masalah lain di Industri Gula

Masalah lain yang dihadapi industri gula nasional antara lain 1. Petani Tebu

Produktivitas dan rendemen tebu yang diterima petani dari PG umumnya masih rendah, dan sampai saat ini masih menjadi faktor utama belum bersinerginya hubungan antara petani tebu dan PG. Faktor ini, selain praktek relasi petani-PG yang disintegratif terhadap peningkatan produktivitas juga dipicu oleh penguasaan tebu oleh para pedagang (penebas) tebu, yang menyebabkan pasokan tebu ke PG tidak tertib. Apabila masalah ini tidak dapat diatasi, maka program bongkar ratoon yang bertujuan untuk mendapatkan kondisi ideal pertanaman sampai kepras ke-2 tidak akan optimum sehingga tidak memberikan pengaruh yang besar terhadap peningkatan rendemen dan pendapatan petani tebu.

2. Pabrik Gula Tebu.

PG BUMN di Jawa sampai saat ini belum efisien, yang tercermin dari kehilangan gula (pol) selama proses pengolahan yang mencapai 0,9%. Akibatnya, rendemen gula yang diterima petani menjadi rendah dan harga pokok gula hablur yang dihasilkan tidak memiliki daya saing. Sementara itu, PG swasta murni yang berada di Luar Jawa masih menghadapi tuntutan HGU, sehingga sulit untuk mencapai full capacity. Utilisasi yang rendah ini juga dialami oleh industri gula rafinasi, karena tidak adanya koordinasi antara pemberi ijin industri (BKPM dan atau Deptan) dengan Kementerian terkait.

3. Hubungan (Partisipasi) Petani Tebu (Masyarakat) dan Pabrik Gula

Rendemen tebu yang diterima petani di luar Jawa umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan petani di Jawa, meskipun petani tebu di Jawa menggunakan pupuk dan mengeluarkan biaya tenaga kerja yang lebih tinggi. Rendahnya rendemen ini terkait dengan ketergantungan PG terhadap bahan baku dari pedagang (penebas) tebu, karena mereka menguasai tebu dari petani kecil/miskin yang jumlahnya diperkirakan mencapai 60%. Pencampuran dan penetapan waktu giling yang bersamaan antara

petani tebu dan pedagang (penebas) tebu ini, telah menurunkan rendemen tebu yang diterima petani. Faktor ini menjadi penyebab kurang baiknya relasi antara petani dan PG, karena PG tidak bersedia menerapkan rendemen individual.

4. Industri Gula Rafinasi.

Tidak adanya koordinasi BKPM dengan Kementerian terkait, telah menyebabkan industri gula rafinasi bekerja di bawah kapasitas terpasang. Rendahnya utilisasi kapasitas pabrik ini, telah meningkatkan biaya produksi gula rafinasi. Gula rafinasi merupakan bahan baku bagi kegiatan industri makanan dan minuman. Gula rafinasi ini tidak layak dikonsumsi secara langsung, tetapi harus diolah lagi supaya layak dikonsumsi karena warna gula rafinasi biasanya agak coklat atau cenderung hitam dan butirannya sangat halus. Apabila gula rafinasi langsung dikonsumsi, bisa menimbulkan gangguan kesehatan.

Industri gula rafinasi secara langsung juga akan mendorong kompetisi dalam hal kualitas gula yang sekarang ini dihasilkan oleh industri gula tebu di dalam negeri. Kebutuhan untuk meningkatkan kualitas gula oleh produsen gula “plantation white sugar” tidak dapat dielakkan apabila gulanya ingin tetap menjadi pilihan konsumen. Atas dasar pemikiran ini, pengembangan industri gula rafinasi akan menjadi bagian yang penting dipandang dari sudut kualitas gula yang makin baik di pasar. Hal lainnya yang perlu dikaitkan langsung dengan gula rafinasi ini adalah dalam jangka pendek akan berkembang penciptaan kesempatan kerja baru di Indonesia. Kesempatan kerja ini walaupun merupakan hal yang sangat penting, tetapi tetap tidak boleh terlepas dari asas efisiensi dan produktivitas. Hal ini penting karena dalam jangka panjang produksi gula ini tidak terlepas dari persaingan dengan gula yang dihasilkan oleh produsen dari negara lain. Sampai tahun 2009, jumlah perusahaan yang memproduksi gula rafinasi sebanyak lima perusahaan. Secara total, kapasitas izin mencapai sekitar 5.662 ton/hari, sedangkan kapasitas terpasang mencapai 4.200 ton/hari. Dengan kapasitas terpasang tersebut, produksi gula rafinasi baru mencapai sekitar 395 ribu ton tahun 2004. Dengan rendemen berkisar antara 89-96 %, pemakaian bahan baku (raw sugar) pada tahun tersebut mencapai 435.000 ton. Hal ini menunjukkan bahwa gula rafinasi masih perlu diimpor untuk memenuhi permintaan dalam negeri. Bahkan, industri farmasi harus mengimpor karena industri gula rafinasi di Indonesia belum mampu memproduksi spesifikasi gula yang dibutuhkan oleh industri tersebut.

5. Konsumen Rumah Tangga dan Industri Pangan

Penerapan tarif impor sebesar Rp. 550/kg untuk raw sugar dan Rp. 700/kg untuk gula putih, menyebabkan harga jual gula pada tingkat konsumen lebih tinggi. Tingginya harga gula di pasar domestik ini telah merugikan perekonomian secara keseluruhan, dan menjadi salah satu faktor penyebab rendahnya daya saing industri makanan dan minuman berbahan baku gula.

6. Perdagangan Gula di Dalam Negeri.

Perdagangan gula di dalam negeri sebenarnya memiliki struktur pasar yang bersifat oligopolistik. Dalam setiap lelang gula yang dilakukan oleh APTRI atau PTPN hanya beberapa pedagang yang terlibat, sehingga tingkat kompetisinya tidak mencerminkan kondisi permintaan dan penawaran gula yang sesungguhnya. Disamping itu, lemahnya penegakan hukum (law enforcement) untuk memberantas penyelundupan dan manipulasi dokumen gula impor, telah mempengaruhi penawaran dan harga gula di pasar domestik.

7. Situasi Pasar Gula Dunia

Gula yang diperdagangkan di pasar dunia mencapai 35 juta ton/tahun, atau sekitar 28 % dari total produksi gula dunia. Harga gula dunia saat ini tidak menggambarkan tingkat efisiensi, karena dijual di bawah ongkos produksinya. Kebijakan domestic support dan export subsidy yang dilakukan oleh negara-negara produsen gula dunia, menyebabkan harga gula di pasar internasional telah terdistorsi. 8. Kegiatan Research and Development (R & D)

Sebagian besar kegiatan R & D Gula selama ini dilakukan oleh Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI), dengan sebagian besar dana bersumber dari pemerintah dan iuran anggota Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia (APPI). Keterbatasan dana R & D ini telah mempengaruhi kinerja P3GI, khususnya dalam menghasilkan teknologi baru yang ditujukan untuk meningkatkan pendapatan petani tebu.

4.7.3 Daya Dukung Peralatan Produksi

Klasifikasi dan spesifikasi teknis mesin peralatan pabrik gula dengan kapasitas 250 TCD, seperti tabel terlampir.

Untuk melengkapi klasifikasi/spesifikasi teknis mesin peralatan PG identifikasi tingkat komponen dalam negeri (TKDN) dalam pembangunan pabrik gula, seperti yang telah dilakukan oleh surveyor independent adalah sebagai berikut:

a. Gilingan : 32,32 %

Walaupun TKDN hanya 32,32% namun komponen dalam negeri mempunyai potensi sebesar 82,73%,, artinya komponen mesin/peralatan gilingan mayoritas sudah dapat dibuat di dalam negeri, seperti cane unloading dan sebagian Cane milling kecuali hydraullic serta lubrication system.

b. Pemurnian : 3,28%

Walaupun TKDN hanya 3,28% namun komponen dalam negeri mempunyai potensi sebesar 82,28%, artinya komponen mesin/peralatan pemurnian mayoritas sudah dapat dibuat di dalam negeri, seperti sebagian besar clarification station dan sebagian milk of lime sulphurandsoda station.

c. Penguapan : 1,95 %

Walaupun TKDN hanya 1,95% namun komponen dalam negeri mempunyai potensi sebesar 93%, artinya komponen mesin/peralatan penguapan mayoritas sudah dapat dibuat di dalam negeri, seperti evaporation, condensat, tangki, yang belum adalah pompa-pompa.

d. Pemasakan : 2,79 %

Walaupun TKDN hanya 2,79% namun komponen dalam negeri mempunyai potensi sebesar 72,89%, artinya komponen mesin/peralatan pemasakan mayoritas sudah dapat dibuat di dalam negeri, seperti tangki dan receiver.

e. Puteran : 1,76 %

Walaupun TKDN hanya 1,76% namun komponen dalam negeri telah mencapai 77,21%, artinya komponen mesin/peralatan pemasakan mayoritas sudah dapat dibuat di dalam negeri, seperti tangki, alat pendukung, konstruksi, cooler, dryer. f. Crane and hoist : 0,46 %

Walaupun TKDN hanya 0,46% namun komponen dalam negeri mempunyai potensi sebesar 80,00%, artinya komponen mesin/peralatan alat angkat dan pemindahan barang berupa crane & hoist mayoritas sudah dapat dibuat di dalam negeri.

g. Machine shop: 0,17 %

Walaupun TKDN hanya 0,17% namun komponen dalam negeri mempunyai potensi sebesar 54,72%,artinya komponen mesin/peralatan bengkel untuk perbaikan mayoritas sudah dapat dibuat di dalam negeri, seperti alat las, plate working tools,

hydraulic jack. h. Laboratory: 0,08 %

Walaupun TKDN hanya 0,08% namun komponen dalam negeri mempunyai potensi sebesar 68,33%, artinya komponen mesin/peralatan uji di laboratorium hasil produk gula atau sampingannya mayoritas sudah dapat dibuat di dalam negeri, seperti gilingan kontak, elemen pembantu alat pengukuran.

i. Water pully & water treatment: 0,98 %

Walaupun TKDN hanya 0,98% namun komponen dalam negeri mempunyai potensi sebesar 83,91%, artinya komponen mesin/peralatan pengolah limbah cair mayoritas sudah dapat dibuat di dalam negeri, seperti tangki, filter, cooler meter.

j. Listrik, boiler, turbin & generator : 23,87%

Walaupun TKDN hanya 23,87% namun komponen dalam negeri mempunyai potensi sebesar 60,00%, artinya komponen mesin/peralatan kelistrikan, energi dan pembangkitnya mayoritas sudah dapat dibuat di dalam negeri, seperti motor control, control consul, circuit wiring.

k. Piping, valve, cute : 2,81%

Walaupun TKDN hanya 2,81% namun komponen dalam negeri mempunyai potensi sebesar 80,00%, artinya komponen mesin/peralatan perpipaan untuk air, uap dan alat pengaturnya mayoritas sudah dapat dibuat di dalam negeri

l. Structure & operation platform: 1,19 %

Walaupun TKDN hanya 1,19% namun komponen dalam negeri mempunyai potensi sebesar 100%, artinya komponen bangunan gedung, pabrik, gudang dan pendukung penyimpanan sudah semuanya dapat dibuat di dalam negeri, hanya kandungan kimia untuk pembuatan alat tersebut masih banyak yang impor.

m. Control instrument for process: 0,00 %

Ini sedikit kelemahan di industri gula yang kesemuanya masih menggunakan komponen luar negeri (impor), mengingat di bidang instrumentasi ini memerlukan teknologi computer yang cukup rumit untuk mengendalikan proses produksi secara otomatis.

n. Total bobot: 71,65 %

Artinya bahwa seluruh sistem permesinan di industri pergulaan ini telah didukung oleh industri komponen permesinan dalam negeri seperti PT Barata Indonesia, PT Boma Bisma Indra, PT Rekayasa Industri, PT Indomarine; yang secara berkala sudah mempunya jadwal perbaikan dan penyediaan komponen secara konsisten.

Berdasarkan uraian di atas maka dari sisi teknologi industri pembuat komponen gula dalam negeri sudah mampu mensupply kebutuhan untuk mengganti yang rusak. Namun sampai saat ini kemampuan pembuat komponen dalam negeri belum sepenuhnya diberi kesempatan untuk berkontribusi terhadap kebutuhan pengganti komponen yang rusak mengingat para pabik gula dalam negeri masih berorientasi kepada impor.

2. Dukungan Teknis Mesin Peralatan Pabrik Gula

Mengingat pabrik gula ini sejak awal dibina oleh Kementerian Pertanian dan saat ini secara kordinatif di bawah Kementerian BUMN, sektor off farm masih belum optimal peningkatan tingkat efisiensi. Untuk itu Kementerian Perindustrian mencoba membantu dengan program revitalisasi seperti tersebut di atas. Realisasi program bantuan restrukturisasi mesin/peralatan pabrik gula tersebut untuk tahun 2009 adalah sebagai berikut (Tabel 8).

Data pada Tabel 8 memperlihatkan bahwa realisasi yang bisa diserap oleh PG hanya 50% dari dana yang sudah disiapkan sebesar Rp. 50 Milyar. Hal ini mengingat kesiapan PG dalam melengkapi data yang masih belum baik, dan ada komponen mesin/peralatan yang masih terdapat unsur impor sehingga mengurahi stimulus yang disiapkan. Untuk tahun anggaran 2010 telah disiapkan anggaran Rp. 350 Milyar untuk program pembelian mesin peralatan dan program stimulus. Dengan demikian dari sisi

off farm, Kementerian Perindustrian berkeinginan meningkatkan percepatan realisasi swasembada gula dengan basis produk permesinan dalam negeri.

Tabel 8. Dukungan teknis di setiap pabrik gula

No. Nama Perusahaan Lokasi Sumber Pembiayaan Status Investasi Jumlah Bantuan (Rupiah)

1 PT. PG Rajawali I Jawa Timur Kredit Bank Non-PTPN 7.630.000.000 2 PT. PG Rajawali II Jawa Barat Kredit Bank Non-PTPN 5.067.000.000 3 PT. PTPN XI Jawa Timur Kredit Bank PTPN 9.052.000.000 4 PT. Madu Baru DI Yogyakarta Dana Sendiri Non-PTPN 405.000.000 5 PT. PTPN IX Jawa Tengah Kredit Bank PTPN 1.388.000.000 6 PT. PTPN VII Lampung Dana Sendiri PTPN 487.000.000 7 PT. PTPN X Jawa Timur Gabungan PTPN 803.000.000

Jumlah 24.832.000.000