• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tebu merupakan bahan baku industri gula. Dilihat dari aspek agronomis tebu merupakan tanaman perkebunan/industri berupa rumput tahunan. Tanaman ini merupakan komoditi penting karena di dalam batangnya terkandung 20% cairan gula. Tanaman ini mungkin berasal dari India, tetapi mungkin juga berasal dari Irian karena disana ditemukan tanaman liar tebu. Di Jawa Barat tebu dikenal dengan nama tiwu sejak 400 tahun yang lalu. Adapun klasifikasi tanaman tebu adalah sebagai berikut:

Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Keluarga : Poaceae

Genus : Saccharum

Spesies : Saccharum officinarum

2.1 Kondisi Industri Gula di Indonesia

Walaupun Indonesia dulu mengalami kejayaan dalam bidang industri gula sejak masa kolonial Belanda, tetapi saat ini mengalami kemunduran yang cukup tragis dimana jumlah pabrik menurun dan peralatan produksi yang hanya dapat bertahan (belum dapat dikembangkan secara proporsional). Padahal kebutuhan gula justru dari tahun ke tahun selalu meningkat. Pengalihan areal/lahan pertanian tebu menjadi konversi lain semakin kuat yang salah satunya dari kebijakan ketahanan pangan (Sudana et al., 2000). Industri perumahan, juga semakin mengurangi luasan areal tanaman tebu dimana 65% menjadi berubah fungsi (Sumaryanto et al.,1995)

Di sisi lain periode tahun 2004/2005 merupakan periode yang cukup menggembirakan bagi industri gula dunia, khususnya dari sisi produsen. Pada periode tersebut, rata-rata harga gula mencapai US $ 261,92./ton untuk white sugar dan US$193,78/ton untuk raw sugar, atau meningkat sekitar 9,8 % untuk white sugar dan 24 % untuk raw sugar dari rata-rata harga tahun 2003/04. Hal ini disebabkan pada periode 2004/2005, untuk kedua kalinya pasar gula dunia kembali mengalami defisit sekitar 3 juta ton. Pada periode 2004/2005, produksi gula dunia mencapai 142,5 juta ton atau meningkat sekitar 1 % dari periode sebelumnya. Di sisi lain, konsumsi

meningkat lebih pesat yaitu 1,3 %, dari 143,3 juta ton pada tahun 2004 menjadi 145,1 juta ton pada tahun 2005 (FAO dalam Susila, 2006a).

Pada tahun 2004, konsumsi gula dunia meningkat menjadi sekitar 143,3 juta ton, atau meningkat sekitar 4 juta ton atau 2,9% lebih tinggi dari periode tahun 2003. Peningkatan konsumsi terutama bersumber dari kelompok negara berkembang sebagai akibat pertumbuhan ekonomi yang cukup baik. Di negara berkembang, konsumsi pada tahun 2004 meningkat 3,8%, dari 91,9 juta ton pada tahun 2003 menjadi 95,4 juta ton pada tahun 2004. Kelompok negara di Afrika diperkirakan mengalami peningkatan produksi sebesar 5,3%. Pada negara maju, laju peningkatan konsumsi relatif marjinal yaitu hanya sekitar 1,3%, dari 47,3 juta ton pada tahun 2003 menjadi 47,9 juta ton pada tahun 2004. Tingkat konsumsi gula dunia pada tahun 2003-2004 disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Perkembangan konsumsi gula dunia tahun 2003 – 2004

Kelompok Negara

Konsumsi

(juta ton) Pertumbuhan (%)

2003 2004

Dunia 139.2 143.3 2.9

Negara Berkembang 91.9 95.4 3.8

Amerika Latin dan Karibia 24.8 25.7 3.6

Afrika 7.6 8.0 5.3 Near East 10.6 10.8 1.9 Far East 48.9 50.8 3.9 Negara Maju 47.3 47.9 1.3 Eropa 20.3 20.5 1.0 Amerika Utara 10.1 10.3 2.0 CIS 11.1 11.3 1.8 Oceania 1.4 1.4 0.0 Lainnya 4.4 4.4 0.0

Sumber : FAO dalam Susila, 2006a.

2.2 Kebijakan Industri dan Perdagangan serta Pola Distribusi Gula

Kebijakan pemerintah terhadap usaha tani padi, pencabutan subsidi pupuk, berdampak pada produktivitas industri gula (Soentoro et al., 1999). Jaminan harga dan ketidak pastian berusaha dalam sektor industri gula, salah satu sebab para petani tebu dan industri gula menjadi ragu dalam melakukan usahanya (Murdiyatmo etal., 2000).

Penurunan produksi oleh industri gula nasional, otomatis diisi oleh gula impor. Hal ini terjadi dimanapun, bukan di Indonesia saja, sehingga devisa yang harus

dikeluarkan cukup besar. Hal ini berdampak pada ketahanan stabilitas ekonomi dan politik (Simatupang etal., 2000)

2.3. Penelitian Terdahulu yang Terkait

Penelitian yang sudah dilakukan terdahulu yang berkaitan dengan tanaman tebu dan industri gula dan antara lain adalah:

1. Idha Haryanto Soemodihardjo (2007): Optimum Penggunaan Lahan Di Daerah Penghasil Padi dan Tebu di Jawa Timur. Pada penelitian tersebut diuraikan mengenai permasalahan lahan yang ditanami tebu sering tumpang tindih dengan padi, dimana tidak ada kesinambungan penanaman tebu. Sehingga penyediaan bahan baku berupa tebu untuk industri gula sangat tidak menentu. Walaupun demikian, hal ini menjadi salah satu inputan dalam menelaah industri gula, dari sisi penyediaan lahan bagi kelangsungan produktifitas industri gula

2. Victor Siagian (1999): Analisis Efisiensi Biaya Produksi Gula di Indonesia; Pendekatan Fungsi Biaya Multi-Input. Penelitian ini menitik beratkan kepada optimalisasi produksi dari sisi off farm, artinya orientasi pada mesin-mesin pengolah di pabrik gula. Sedangkan untuk on farm (di lahan produksi), belum mendapat sorotan yang lebih luas. Hasil penelitian inipun menjadi salah satu rujukan dalam penentuan kebijakan untuk revitalisasi permesinan selanjutnya di industri gula berbasis tebu.

3. Ruchiyat Deni Djakapermana (2006): Disain Kebijakan dan Strategi Dalam Pemanfaatan Ruang Wilayah Pulau Kalimantan. Seperti kita ketahui bahwa Kalimantan adalah Raksasa lahan yang masih tidur, belum dimanfaatkan optimal untuk kegiatan ekonomi dalam arti luas. Untuk itu agar tidak terjadi salah kelola atau menjadi berantakan dalam peruntukkannya, maka telah dikaji pemanfaatan lahan dari sisi tata ruang. Kondisi ini penting mengingat nilai tanah yang sangat strategis guna kehidupan manusia dimuka bumi ini dalam penyelenggaraan penjaminan kehidupannya yang adil, merata dan berkesinambungan. Penelitian ini juga menjadi salah satu acuan dalam penataan ruang untuk industri gula di masa datang

4. Wayan Reda Susila (2006): Pengembangan Industri Gula Indonesia; Analisis Kebijakan dan Keterpaduan Sistem Produksi. Di dalam penelitian tersebut hampir komprehensif, antara lain mengenai kebijakan pemerintah dibidang harga, impor

dan tarifnya; pertanahan, sistem produksi. Belum dilihat secara menyeluruh tentang pengaruh yang bisa menimbulkan dampak terhadap produktifitas; seperti manajemen, teknologi produksi dilihat dari permesinan dan on farm itu sendiri.

2.4 Kerangka Teoritis Proteksi

Dalam rangka menjamin kelangsungan usaha maka salah satu kiat yang perlu segera dievaluasi yaitu perlindungan/proteksi. Walaupun Indonesia sudah meratifikasi beberapa perjanjian internasional seperti AFTA dan WTO, bukan berarti serta merta terbuka seluas-luasnya terhadap impor semua barang termasuk gula. Hal ini karena menyangkut kehidupan masyarakat banyak (Houck, 1986).

Kebijakan perdagangan (trade policies) yang dalam hal ini menyangkut tarif impor, selalu menimbulkan perdebatan yang satu dengan lainnya saling bertentangan. Bila tarif impor ditinggikan, sedangkan produk gula di dalam negeri belum memenuhi volume yang dibutuhkan; maka akan merugikan konsumen yang jumlahnya sangat banyak. Apabila tarif impor terlalu rendah di satu sisi harga gula akan menjadi murah, sehingga konsumen sangat diuntungkan, sisi lain yaitu produsen dan petani sangat dirugikan karena keuntungannya sangat kecil. Hal ini sangat mengganggu gairah dalam pergerakan dibidang agro, walaupun para petani dan pabrik gula jumlahnya sangat kecil (+ 1,5 juta orang) dibanding jumlah konsumen yang 240 jutaan orang.

Jalan tengah yang biasa ditempuh untuk menanggulangi hal tersebut adalah dengan pendekatan penerimaan maksimum pemerintah atau pendekatan tarif optimum. Pendekatan tersebut bertitik tolak dari berbagai aspek dengan melihat berbagai dampak seperti produksi, konsumsi, harga, ekspor/impor dan distribusi kesejahtraan. Dengan demikian pendekatan surplus konsumen dan surplus produsen dapat diprediksi dan diestimasi dengan baik.

Ada beberapa kelemahan dari pola pendekatan ini, antara lain:

1. Tidak memperhitungkan jumlah kelompok yang memperoleh dampak positif maupun dampak negatif. Padahal hal tersebut penting bagi pemerintah dalam rangka salah satu tawaran kebijakan.

2.5 Kerangka Teoritis Lainnya Tariff-RateQuota (TRQ)

Adalah suatu kebijakan harga domestik melalui peraturan pengendalian impor secara terpadu. Artinya bila impor tersebut sangat mengganggu harga produk lokal, maka besarnya tarif terhadap kuota impor harus diberlakukan sehingga semangat berproduksi gula maupun penyediaan bahan baku berupa tebu oleh para petani tidak terganggu (Elbehri et al., 2000).

Banyak negara yang menggunakan instrumen kebijakan ini seperti Amerika Serikat, Eropa Barat, China, India, Thailand (LMC, 2002; USDA, 2002 dalam Susila, 2005). Pengaturan atau kebijakan ini esensinya adalah pengenaan tarif impor berdasarkan volume impor. Bila volume yang diimpor melebihi kuota yang telah ditetapkan, maka tarifnya dikenakan tinggi. Sebaliknya bila impor masih dalam kuota yang telah ditetapkan oleh pemerintah, maka tarifnya sesuai dengan ketentuan yang ada. Sebagai ilustrasi bahwa Amerika Serikat pada tahun 2003 melakukan pengenaan tarif US$ 0,625/pound pada volume quota sebesar 1,3 juta ton. Di atas volume quota tersebut dikenakan tarif US$ 15.36/pound. Hal tersebut dalam rangka pengendalian harga dalam negeri.

Harga Provenue

Harga provenue di sini diartikan sebagai harga di tingkat petani sama dengan harga yang berlaku di dunia. Kondisi tersebut akan terjadi jika asuransi, transportasi dan sebagainya dianggap nol, karena dianggap bahwa Indonesia saat ini sebagai negara kecil dalam hal industri gula dunia (Susila, 2005)

Subsidi Input

Agar tidak bertentangan dengan peraturan internasional, maka subsidi yang diberikan harus selektif seperti subsidi harga pupuk, subsidi harga input, subsidi suku bunga kredit. Salah satu keuntungan pula adalah harga gula domestik tidak naik; karena asuransi, transportasi dianggap nol (Murdiyatmo, 2000).

Produktivitas

Produktivitas dalam kajian ini adalah rasio antara input dan output. Bila output lebih besar dari input dengan kuantiti tertentu dianggap bahwa usaha tersebut dinyatakan sehat. Namun sebaliknya bila proses produksi mulai dari hilir sampai hulu tidak menghasilkan angka yang diinginkan maka usaha dimaksud adalah suatu peluang bisnis yang tidak menjanjikan. (Sitorus, 2004).

2.6 Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) adalah pembangunan dengan konsep yang mengintegrasikan antara aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya. Pembangunan berkelanjutan merupakan konsep pembangunan yang disepakati secara internasional pada saat dilakukan United Nation Conference On The Human Environment di Stockholm tahun 1972. Pada pembangunan berkelanjutan selalu diupayakan agar menjadi pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang dengan tanpa mengorbankan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhannya (WCED, 1987). Hal ini sesuai dengan pernyataan Serageldin (1996) yang menyatakan bahwa suatu kegiatan pembangunan (termasuk pengelolaan sumberdaya alam dan berbagai dimensinya) dinyatakan berkelanjutan jika kegiatan tersebut baik ditinjau dari aspek ekonomi, ekologi, maupun dari aspek sosial budaya bersifat berkelanjutan.

Menurut Plessis (1999), pada saat awal dicanangkan pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan relatif hanya diarahkan untuk mengatasi konflik antara proteksi lingkungan dan sumberdaya alam dalam rangka menjawab kebutuhan pembangunan yang berkembang. Selanjutnya disadari bahwa pembangunan berkelanjutan tidak mungkin tercapai tanpa mempertimbangkan perubahan ekonomi dan sosial budaya seperti pengurangan tingkat kemiskinan dan keseimbangan sosial budaya.

Komisi Burtland selanjutnya semakin memperkokoh keinginan yang harus dicapai dalam pembangunan berkelanjutan, antara lain dalam mengintegrasikan keselarasan antara aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya tidak boleh kaku. Oleh karenanya World Bank menjabarkan konsep dalam mengoperasionalkan paradigma pembangunan berkelanjutan, dalam bentuk kerangka segitiga pembangunan berkelanjutan (sustainable development triangle) seperti yang dapat dilihat pada Gambar 3.

EKONOMI