REVEGETASI LAHAN PASCA TAMBANG TIMAH
DENGAN BERAGAM JENIS POHON LOKAL
DI PULAU BANGKA
EDDY NURTJAHYA
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Revegetasi Lahan Pasca Tambang Timah dengan Beragam Jenis Pohon Lokal di Pulau Bangka adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, 4 Agustus 2008
Eddy Nurtjahya
Tree Species In Bangka Island. Under supervision of DEDE SETIADI, EDI GUHARDJA, MUHADIONO, and YADI SETIADI.
Tin mining activity changes landscape so that it does not support plant growth. Effort to carry out reclamation especially revegetation has done using a few number of exotic species which are considered less support land rehabilitation for a restoration purpose. On the other hand, there is no promising local species list. Therefore it is needed to understand a succession on tin-mined land which may identify potential local species and identify seed source. To accelerate revegetation, the study on soil amendment and the use of some combination agricultural techniques are needed which can manipulate the environment to support plant growth.
The first objective of this study was to understand the succession on tin-mined land and its important vegetation in order to identify potential local tree species and location of source of seeds, and to understand tin-mined land environment for revegetation success. The second objective was to evaluate the growth of selected ten local tree species in tin tailing in order to identify agriculture techniques which best support plant growth and natural recolonisation in tin tailing in order to enrich the development of planting strategies that are effective for re-establishment of diverse native forests in as short a time as possible at places where the expense and high technical and professional level might be limited.
The quantitative study was conducted at a low land forest, an abandoned farmed-land age 4 years old, and abandoned tin-mined lands at different ages: 0-, , 11-, and 38-years old. The succession was slow, and natural regeneration in 7-years old tin tailing was initiated by species belonged to families Cyperaceae and Poaceae, and shrubs belonged to family Myrtaceae were found in 38-years old tin tailing. The population of phosphate solubilizing microorganisms at tin-mined lands increased along with the more newly abandoned tin-mined land, but the number of arbuscular mycorrhizal fungi spore at tin-mined lands, which was dominated by Glomus, showed the opposite.
Local tree species selection was based on habitat similarity of those species with tin-mined land environment, and on their pioneer attributes. The ten selected species were Calophyllum inophyllum L.(Clusiaceae) (11.7 %), Schima wallichii
(DC) Korth. (Theaceae) (6.3 %), Syzygium grande (Wight) Walp. (Myrtaceae) (17.9 %), Ficus superba Miq. (Moraceae) (15.2 %), Vitex pinnata (Verbenaceae) (20.6 %), Hibiscus tiliaceus L. (Malvaceae) (9.9 %), Syzygium polyanthum
(Wight) Walp. (Myrtaceae) (9.0 %), Mallotus paniculatus (Lmk) M.A. (Euphorbiaceae) (3.1 %), Aporosa sp. (Euphorbiaceae) (3.1 %), and Macaranga
sp. (Euphorbiaceae) (3.1 %).
Fifteen combinations of planting density with three levels: 625, 2500, and 10000 seedlings ha-1, and five levels soil treatment: (1) control, (2) fertilized with 500 g slime tailing powder under Lepironia articulata Rich., (3) planted with legume cover crops (LCC) 1:1 of Calopogonium mucunoides Desv. and
compost (2:1) in 12 m x 12 m plots. Pieces of coconut shell which were put at the base of individual plant reduced soil temperature at least 3.3 oC, and increased soil humidity to 10.4 %.
There was a significant interaction between planting distance and soil treatment towards total survival and cover. Highest planting density plus LCC gave highest survival (73-79 %), highest cover (13.5-21.8 %), and highest litter production (460 kg ha-1 year-1). Legume cover crops and / or top soil showed highly significant effect to recolonisation. Collembola population may be further studied as a successful revegetation indicator. Comparing to the natural regeneration at 0, 7, 11, and 38 years old, the revegetation study at three planting densities, which was studied up to twelve months after planting, may accelerate succession between 11 to 38 years. Although planting density 10000 seedlings ha -1
showed the best soil fertility and plant growth, planting density 2500 seedlings ha-1 may be considered as it costs less.
Aktivitas penambangan timah mengubah bentang alam dan lahan pasca tambang timah tidak lagi mendukung pertumbuhan tanaman. Upaya reklamasi dan khususnya revegetasi telah dilakukan dengan penanaman sejumlah kecil jenis tanaman eksotik yang dipilih karena sifat-sifatnya, terutama Acacia mangium
Willd. (Fabaceae), pada program rehabilitasi di Pulau Bangka, sejak tahun 1993. Pemilihan jenis eksotik tersebut dinilai kurang mendukung rehabilitasi lahan untuk tujuan restorasi, sementara belum ada jenis lokal yang menjanjikan, walaupun beberapa jenis pohon lokal telah disarankan oleh beberapa kelompok peneliti.
Penelitian kuantitatif telah dilakukan di hutan dataran rendah, bekas perladangan, dan lahan pasca tambang timah masing-masing berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun, yang hasilnya bermanfaat bagi penentuan strategi reklamasi lahan pasca tambang timah. Aktivitas penambangan timah meningkatkan komponen pasir dan menurunkan komponen debu dan liat, menurunkan konsentrasi hara, KTK, dan meningkatkan rasio C/N. Populasi mikrob pelarut fosfat semakin meningkat dengan semakin barunya tambang ditinggalkan, sementara jumlah spora fungi mikoriza arbuskula, yang didominasi oleh Glomus, menunjukkan hal sebaliknya.
Suksesi berjalan lambat. Pola suksesi alami di lahan pasca tambang timah ditunjukkan oleh perubahan jenis tumbuhan dan bentuk hidup tumbuhan. Pada lahan pasca tambang yang baru saja ditinggalkan tidak ada jenis tumbuhan apa pun, kemudian pada lahan pasca tambang berumur 7 tahun, empat jenis rumput dari famili Cyperaceae dan Poaceae terutama F. pauciflora (Cyperaceae),
Imperata cylindrica (Poaceae) lebih mendominasi dibandingkan dua jenis semak. Pada lahan pasca tambang berumur 11 tahun, lima jenis rumput (E. chariis, F. pauciflora, I. cylindrica, P. conjugatum, dan S. levis) masih mendominasi sekalipun tercatat satu jenis herba, dan dua jenis semak. Pada lahan pasca tambang berumur 38 tahun, dominasi empat jenis rumput jauh berkurang dan digantikan terutama oleh dominasi semak R. tomentosa di samping tercatat lima jenis semak lain. Jenis rumput pun mengalami perubahan dan hanya F. pauciflora
yang tetap tercatat, serta E. pallescens dan Ischaemum sp. lebih mendominasi dibandingkan dua jenis rumput yang lain. Selain itu bentuk hidup di lahan pasca tambang berumur 38 tahun lebih banyak yakni tercatatnya tingkat semai dan tingkat sapihan dari jenis tiga jenis pohon (S. wallichii, T. orientalis, dan V. pinnata), dan jumlah jenis herba menjadi tiga. Tahap suksesi pada lahan pasca tambang berumur 38 tahun diduga masih jauh sekali dengan hutan berdasarkan komposisi dan struktur vegetasinya.
namun lebih pada kepemilikan sifat xerofitik. Penentuan lokasi sumber biji bercermin pada kemiripan lokasi sumber biji dengan lingkungan tailing pasir yang kering, poros, miskin hara, dan rentan terhadap temperatur udara panas di siang hari, dan rentan terhadap angin kencang sewaktu-waktu. Vegetasi padang dan formasi Barringtonia dari hutan pantai campuran tampaknya dapat menjadi sumber jenis tanaman. Sepuluh jenis terpilih yakni: Calophyllum inophyllum L. (Clusiaceae) (11.7 %), Schima wallichii (DC) Korth. (Theaceae) (6.3 %),
Syzygium grande (Wight) Walp. (Myrtaceae) (17.9 %), Ficus superba Miq. (Moraceae) (15.2 %), Vitex pinnata (Verbenaceae) (20.6 %), Hibiscus tiliaceus L. (Malvaceae) (9.9 %), Syzygium polyanthum (Wight) Walp. (Myrtaceae) (9.0 %),
Mallotus paniculatus (Lmk) M.A. (Euphorbiaceae) (3.1 %), Aporosa sp. (Euphorbiaceae) (3.1 %), dan Macaranga sp. (Euphorbiaceae) (3.1 %).
Lima belas kombinasi dari tiga level kerapatan tanam: 625, 2500, dan 10000 semai ha-1, dan lima level perlakuan tanah: (1) kontrol, (2) dipupuk dengan 500 g tepung tailing slime di bawah Lepironia articulata Rich., (3) ditanami dengan legum penutup tanah (LCC) Calopogonium mucunoides Desv. dan Centrosema pubescens Bth. 30 kg ha-1 (1:1), (4) ditanami LCC dan disiram dengan 1 l larutan asam humat 2.5 % (v/v), dan (5) ditanami LCC dan top soil; dengan tiga ulangan selama 12 bulan di lahan pasca tambang timah seluas 2 ha, berumur 0 tahun yang gundul di Sungailiat, Pulau Bangka. Tanah di bawah vegetasi padang, di bawah hutan dataran rendah di dekat pantai, dan di bawah vegetasi Rhodomyrtus tomentosa dipilih sebagai top soil. Sejumlah 3345 bibit dari biji ditanam dengan model tanam permata, dalam lubang 30 cm x 30 cm x 30 cm dengan media tanam tanah mineral dan kompos (2:1) pada petak 12 m x 12 m.
Parameter yang diukur adalah sifat-sifat fisika dan kimia tanah pada akhir penelitian, temperatur tanah dan kelembaban tanah baik di luar dan di dalam sabut kelapa diukur pada sembilan dan dua belas bulan setelah tanam atau akhir penelitian, survival (ketahanan hidup) dan diameter tajuk tiap individu diukur pada tiga, enam, sembilan, dan dua belas bulan setelah tanam, ditimbang produksi serasah setiap petak pada akhir penelitian, dihitung densitas semut dan
Collembola pada tiga, enam, sembilan, dan dua belas bulan setelah tanam, diukur panjang akar horizontal dari 20 % contoh pada akhir penelitian, dianalisa jaringan daun C. inophyllum untuk N, P, K, Ca, Mg, Na, S, Fe, Al, Pb, dan Sn pada akhir penelitian, dan dicatat jumlah jenis tanaman yang menginvasi setiap petak pada akhir penelitian. Analysis of variance (p<0.05) dilakukan dengan one-way ANOVA dan uji Duncan Multiple Range Test dilakukan jika terdapat interaksi. Nilai F dan level signifikan dianalisa paket statistik SAS 9.1.
Terdapat interaksi nyata antara kerapatan tanam dan perlakuan tanah terhadap total survival dan luas tajuk. Densitas tertinggi dengan LCC menunjukkan survival tertinggi (73-79 %), luas tajuk tertinggi (13.5-21.8 %) dan produksi serasah tertinggi (460 kg ha-1 tahun-1). Perlakuan legume cover crops
(LCC) dan / atau top soil lebih mendukung rekolonisasi alami dibandingkan perlakuan tanah yang lain.
meningkatkan kelembaban 10.4 %. Populasi Collembola kiranya dapat diteliti lebih lanjut sebagai indikator keberhasilan revegetasi.
Membandingkan beberapa parameter (kualitas tanah, jumlah jenis tumbuhan yang memiliki habitus pohon, jumlah jenis tumbuhan, dan prosentase luas penutupan tajuk), hasil penelitian revegetasi lahan pasca tambang pada dua belas bulan setelah tanam dengan suksesi alami lahan pasca tambang, satu paket revegetasi yang telah dilakukan melampaui tahapan suksesi alami lahan pasca tambang sekurang-kurangnya berumur antara 11 dan 38 tahun. Sekalipun kerapatan tanam 1 m x 1 m menunjukkan kesuburan tanah dan pertumbuhan tanaman terbaik, kerapatan tanam 2 m x 2 m dapat dipertimbangkan untuk dipilih karena membutuhkan biaya revegetasi per hektar lebih rendah.
Kebaharuan penelitian ini adalah satu paket teknologi untuk merevegetasi tailing timah pasir yang dapat mempercepat suksesi sekurang-kurangnya antara 11 dan 38 tahun yakni : semai dari biji pohon lokal potensial H. tiliaceus, F. superba,
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2008
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
DENGAN BERAGAM JENIS POHON LOKAL
DI PULAU BANGKA
EDDY NURTJAHYA
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Departemen Biologi
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Istomo, MS.
Staf Pengajar Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Insitut Pertanian Bogor
Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS.
Guru Besar pada Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Insitut Pertanian Bogor Dr. Ir. Nuril Hidayati, M.Sc.
Peneliti Madya
Nama : Eddy Nurtjahya
NIM : G 361020151
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. H. Dede Setiadi, MS. Ketua
Prof. Dr. Ir. Edi Guhardja, M.Sc. Anggota
Dr. Ir. Muhadiono, M.Sc. Anggota
Dr. Ir. Yadi Setiadi, M.Sc. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Biologi Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Mahakuasa atas kasih-Nya sehingga karya ilmiah ini diselesaikan. Tema yang dipilih dan dilaksanakan sejak Februari 2004 ini ialah revegetasi tailing timah, dengan judul Revegetasi Lahan Pasca Timah dengan Beragam Jenis Pohon Lokal di Pulau Bangka.
Penelitian ini sebagian dibiayai oleh International Tropical Timber Organization, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, Pemprov. Kepulauan Bangka Belitung, PT Tambang Timah yang juga mengizinkan akses ke lokasi penelitian, dan Universitas Bangka Belitung.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. H. Dede Setiadi, M.S. selaku Ketua Komisi Pembimbing, dan Bapak Prof. Dr. Ir. Edi Guhardja, M.Sc., Bapak Dr. Ir. Muhadiono, M.Sc., dan Bapak Dr. Ir. Yadi Setiadi, M.Sc. masing-masing selaku Anggota Komisi Pembimbing. Penghargaan disampaikan kepada pimpinan dan staf STIPER Bangka yang mendukung di awal penelitian, Dr. J.A. Parrotta yang berkenan berkomunikasi via email di awal dan akhir penelitian, serta Bapak Sutrisno S. Tatetdagat, Bapak Hanafi Sulaiman, Bapak Setiabudi Abdullah, Bapak Hamidin, Bapak Juara Tampubolon, Bapak Haji Fadri, dan Bapak Suanta dari PT Timah (Persero) Tbk. yang telah mendukung penelitian ini, juga kepada Robby, Wistria, Sinem, Lina, Wistaria, Bambang, Roni, Kusmah, Bapak Pati, Riati, Herman, dan Muhammad yang membantu pengumpulan data. Terima kasih disampaikan juga kepada Bapak Zainal Fanani dari Herbarium Bogoriense yang membantu identifikasi spesimen, Ibu Sri Winarni, S.Si., M.Si., dan Bapak Drs. Edi Mirmanto, M.Phil. yang membantu analisa data, dan Bapak Kepala Desa dan masyarakat Riding Panjang yang berkenan mendukung penelitian ini. Ungkapan terima kasih disampaikan kepada istri dan kedua puteri kami atas dukungan doa, dana, dan pengertiannya. Semoga karya ini bermanfaat.
Bogor, 4 Agustus 2008
Penulis dilahirkan di Magelang pada tanggal 3 Oktober 1959 sebagai anak ke empat dari pasangan Budi Hartono (alm.) dan Enny Setyarini. Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Biologi, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, lulus pada tahun 1986. Pada tahun 1995 dengan beasiswa The British Chevening Awards penulis menamatkan M.Sc. in Aquatic Pathobiology di University of Stirling, Inggris. Penulis melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Biologi, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2002 atas beasiswa pendidikan pascasarjana (BPPS) dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia dengan dukungan dana penelitian ITTO Freezailah Fellowship pada tahun 2003.
Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Program Studi Biologi Universitas Bangka Belitung (dahulu STIPER Bangka, sejak 1999).
Halaman
DAFTAR TABEL ……….. xv
DAFTAR GAMBAR ……….. xvii
DAFTAR LAMPIRAN ……….. xix
1 PENDAHULUAN ……… 1
Latar Belakang ………... 1
Tujuan Penelitian ………. 3
Manfaat Penelitian ……… 4
Ruang Lingkup Penelitian ……… 4
2 SUKSESI LAHAN PASCA TAMBANG TIMAH DI PULAU BANGKA 8 Pendahuluan ………. 8
Bahan dan Metode ……… 9
Hasil ………. 16
Pembahasan ……….. 32
Kesimpulan ……….. 40
3 REVEGETASI LAHAN PASCA TAMBANG TIMAH 42 Pendahuluan ………. 42
Bahan dan Metode ……… 45
Hasil ………. 61
Pembahasan ……….. 78
Kesimpulan ……….. 85
4 PEMBAHASAN UMUM ……… 86
5 KESIMPULAN ……… 101
DAFTAR TABEL
Halaman 1 Sifat-sifat fisika dan kimia tanah pada kedalaman 0-20 dan 20-40
cm di lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, 38 tahun, ladang ditinggalkan dan hutan ………...
16
2 Status fungi mikoriza arbuskula dan mikrob pelarut fosfat di lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun, di ladang ditinggalkan, dan di hutan pada kedalaman 0 – 20 cm ……...
20
3 Jenis tumbuhan rumput, herba, dan liana/climber, semak, dan pohon di lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun, dan di hutan ………...
24
4 Species richness, eveness, dominance, dan diversity index dari tingkat semai, sapihan, tiang, dan pohon di lahan pasca tambang timah berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun, ladang ditinggalkan dan di hutan ……….
29
5 Indeks kemiripan antara lahan pasca tambang timah berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun, ladang ditinggalkan dan di hutan ………...
30
6 Komposisi jenis tanaman pada kerapatan tanam 1 m x 1 m, 2 m x 2 m, dan 4 m x 4 m ………
47
7 Jadual kerja ……… 53
8 Rata-rata survival (%) dan luas tajuk (m2) setiap kombinasi perlakuan pada tiga, enam, sembilan, dua belas bulan setelah tanam, dan rata-rata luas tajuk (%) setiap kombinasi perlakuan pada dua belas bulan setelah tanam ………
63
9 Duncan multiple range test pengaruh interaksi kerapatan tanam dan perlakuan tanah terhadap survival (%) pada dua belas bulan setelah tanam ………..
64
10 Rata-rata survival sepuluh jenis tanaman pada dua belas bulan setelah tanam ………..
65
11 Duncan multiple range test pengaruh interaksi kerapatan tanam dan perlakuan tanah terhadap luas tajuk (m2) pada dua belas bulan setelah tanam ………..
66
12 Rata-rata luas tajuk sepuluh jenis tanaman pada dua belas bulan setelah tanam ………..
13 Rata-rata produksi serasah per petak (kg ha-1 tahun-1) pada dua belas bulan setelah tanam ………..
70
14 Duncan multiple range test pengaruh kerapatan tanam dan perlakuan tanah terhadap produksi serasah (kg ha-1 tahun-1) pada dua belas bulan setelah tanam ………
70
15 Panjang akar horizontal (cm) pada dua belas bulan setelah tanam 75
16 Rata-rata konsentrasi beberapa unsur pada daun C. inophyllum dari masing-masing petak dan pada lahan tidak terganggu pada dua belas bulan setelah tanam ...
76
17 Duncan multiple range test interaksi kerapatan tanam dan perlakuan tanah terhadap konsentrasi Pb (ppm) pada daun C. inophyllum pada dua belas bulan setelah tanam ………...
76
18 Rata-rata jumlah jenis tumbuhan yang menginvasi pada dua belas bulan setelah tanam ………
77
19 Matriks lima nilai terbesar dari kombinasi perlakuan kerapatan tanam dan perlakuan tanah pada survival, tajuk, dan produksi serasah dengan Duncan multiple range test pada dua belas bulan setelah tanam ………..
95
20 Perbandingan beberapa parameter kualitas tanah, jumlah jenis dengan habitus pohon, jumlah jenis tumbuhan, dan prosentase luas penutupan tajuk antara suksesi alami di lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun dengan revegetasi pada kerapatan tanam 4 m x 4 m, 2 m x 2 m, dan 1 m x 1 m pada dua belas bulan setelah tanam ………..
98
21 Tabel 21 Perkiraan biaya revegetasi per hektar lahan pasca tambang timah pasir pada kerapatan tanam 4 m x 4 m, 2 m x 2 m, dan 1 m x 1 m ……….
DAFTAR GAMBAR
5 Konsentrasi beberapa sifat fisika dan kimia tailing pasir di lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, 38 tahun dan di hutan ……….. 18 6 Spora fungi mikoriza arbuskula dan koloni mikrob pelarut fosfat 19
15 Persiapan lahan ……… 52
16 Denah percobaan ……….. 53
17 Denah petak penanaman ………... 55
18 Denah lubang tanam pada masing-masing kerapatan tanam …... 55
19 Aklimatisasi dan penanaman ……… 57
20 Rata-rata survival dan luas tajuk pada tiga, enam, sembilan, dan dua belas bulan setelah tanam ………..
64
21 Rata-rata survival (%) setiap jenis tanaman pada tiga, enam, sembilan, dan dua belas bulan setelah tanam (BST) ………
65
22 Rata-rata luas tajuk (m2) setiap jenis tanaman pada tiga, enam, sembilan, dan dua belas bulan setelah tanam (BST) ………
67
23 LCC dan serasah ………... 69
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 Daftar nama jenis pohon di lokasi penelitian suksesi, lokasi
penelitian revegetasi, dan pustaka yang diacu ...
116
2 Daftar nama jenis semak di lokasi penelitian suksesi, lokasi penelitian revegetasi, dan pustaka yang diacu ……….
119
3 Daftar nama jenis climber dan liana di lokasi penelitian suksesi, lokasi penelitian revegetasi, dan pustaka yang diacu …………...
120
4 Daftar nama jenis herba di lokasi penelitian suksesi, lokasi penelitian revegetasi, dan pustaka yang diacu ……….
121
5 Spora fungi mikoriza arbuskula pada kedalaman 0-10 cm dan 10-20 cm di lahan pasca tambang timah berumur 0 tahun …………
122
6 Spora fungi mikoriza arbuskula di bawah tiga vegetasi dominan pada kedalaman 0-10 cm dan 10-20 cm di lahan pasca tambang timah berumur 7 tahun ……….
123
7 Spora fungi mikoriza arbuskula di bawah tiga vegetasi dominan pada kedalaman 0-10 cm dan 10-20 cm di lahan pasca tambang timah berumur 11 tahun ...
124
8 Spora fungi mikoriza arbuskula di bawah tiga vegetasi dominan pada kedalaman 0-10 cm dan 10-20 cm di lahan pasca tambang timah berumur 38 tahun ...
125
9 Spora fungi mikoriza arbuskula di bawah tiga vegetasi dominan pada kedalaman 0-10 cm dan 10-20 cm di ladang ditinggalkan
126
10 Spora fungi mikoriza arbuskula di bawah tiga vegetasi dominan pada kedalaman 0-10 cm dan 10-20 cm di hutan ………..
127
11 Jumlah koloni mikrob pelarut fosfat di bawah tiga vegetasi dominan pada kedalaman 0-10 dan 10-20 cm di lahan pasca tambang timah berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun, ladang ditinggalkan, dan di hutan ………
128
12 Jumlah individu per hektar, jumlah jenis, dan jumlah famili pada tingkat semai, sapihan, tiang, dan pohon di lahan pasca tambang timah berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun, ladang ditinggalkan, dan di hutan ………...
13 Indeks nilai penting tingkat semai di lahan pasca tambang timah berumur 7 tahun ……...
129
14 Indeks nilai penting tingkat semai di lahan pasca tambang timah berumur 11 tahun …...
130
15 Indeks nilai penting tingkat semai di lahan pasca tambang timah berumur 38 tahun ……….
131
16 Indeks nilai penting tingkat sapihan di lahan pasca tambang timah berumur 38 tahun ……….
132
17 Indeks nilai penting tingkat semai di ladang ditinggalkan …...
132
18 Indeks nilai penting tingkat sapihan di ladang ditinggalkan ….... 134
19 Indeks nilai penting tingkat tiang di ladang ditinggalkan …...
22 Indeks nilai penting tingkat tiang di hutan ………... 140
23 Indeks nilai penting tingkat pohon di hutan ………. 141
24 Survival dan luas tajuk tiap kombinasi perlakuan pada tiga, enam, sembilan, dan dua belas bulan setelah tanam ………...
142
25 Analysis of variance survival tanaman pada dua belas bulan setelah tanam ………
143
26 Analysis of variance luas tajuk tanaman pada dua belas bulan setelah tanam ………
143
27 Pertumbuhan sepuluh jenis tanaman pada tiga bulan setelah tanam 144
28 Pertumbuhan sepuluh jenis tanaman pada enam bulan setelah tanam ………...
146
29 Pertumbuhan sepuluh jenis tanaman pada sembilan bulan setelah tanam ………
148
30 Pertumbuhan sepuluh jenis tanaman pada dua belas bulan setelah tanam ………...
150
31 Analysis of variance produksi serasah (kg ha-1 tahun-1) pada dua belas bulan setelah tanam ……...
32 Analysis of variance jenis tumbuhan yang menginvasi pada dua belas bulan setelah tanam ………
152
33 Jenis tumbuhan yang menginvasi empat puluh lima petak pada dua belas bulan setelah tanam ………...
153
34 Famili dari jenis tumbuhan yang menginvasi empat puluh lima petak pada dua belas bulan setelah tanam ...
155
35 Analysis of variance jumlah jenis tumbuhan yang menginvasi pada dua belas bulan setelah tanam ………...
157
36 Sifat-sifat tanah di bawah Lepironia articulata, tanah palet, tanah mineral, lahan tidak terganggu, lahan pasca tambang timah berumur pasir 0 tahun gundul, dan top soil di kaki bukit ….
157
37 Analisa jaringan daun C. inophyllum pada dua belas bulan setelah tanam setelah tanam ……….
158
38 Analysis of variance total N (%) daun C. inophyllum pada dua belas bulan setelah tanam ………
159
39 Analysis of variance total P (%) daun C. inophyllum pada dua belas bulan setelah tanam ...
159
40 Analysis of variance total K (%) daun C. inophyllum pada dua belas bulan setelah tanam ………...
159
41 Analysis of variance total Ca (%) daun C. inophyllum pada dua belas bulan setelah tanam ……….
160
42 Analysis of variance total Mg (%) daun C. inophyllum pada dua belas bulan setelah tanam ……….
160
43 Analysis of variance total Na (%) daun C. inophyllum pada dua belas bulan setelah tanam ……….
160
44 Analysis of variance total S (%) daun C. inophyllum pada dua belas bulan setelah tanam ……….
161
45 Analysis of variance total Fe (ppm) daun C. inophyllum pada dua belas bulan setelah tanam ……….
161
46 Analysis of variance total Al (ppm) daun C. inophyllum pada dua belas bulan setelah tanam ……….
161
47 Analysis of variance total Pb (ppm) daun C. inophyllum pada dua belas bulan setelah tanam ……….
48 Analysis of variance total Sn (ppm) daun C. inophyllum pada dua belas bulan setelah tanam ……….
162
49 Analisa kompos ……… 162
50 Kualitas air di kolam bekas tambang dan sumur di lahan tidak terganggu ………...
163
Latar Belakang
Pulau Bangka yang memiliki luas daratan 1160000 ha (PPTA 1996), sebagian besar terdiri atas dataran rendah dengan beberapa bukit dengan perbedaan iklim yang relatif kecil (Faber 1956), memiliki tipe iklim Af (PT Timah Tbk 1997), dan terletak pada 2o 20’-3o 20’ LU dan 107o 15’-108o 45’ BT (Widagdo et al. 1990). Bangka memiliki rata-rata curah hujan tahunan dalam sembilan tahun terakhir 2408 mm, rata-rata jumlah hari hujan tahunan 200, dan musim kemarau berlangsung dari bulan Mei – Oktober (Stasiun Meteorologi Pangkalpinang 2006). Rata-rata temperatur udara harian dalam sembilan tahun terakhir adalah 26.8 oC (23.8-31.5 oC).
Pulau Bangka sebagai pulau penghasil timah terbesar di Indonesia, menyumbang 40 % kebutuhan timah dunia (ASTIRA 2005). Pada tahun 2001 produksi timah mencapai 53000 ton, dimana 18000 ton di antaranya berasal dari penambangan non - konvensional (Bangka Pos 2002a), dan sebagian besar berasal dari penambangan darat (Gambar 1). Pada tahun 2004 produksi timah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mencapai 88.4 % dari total ekspor atau senilai 24 juta dolar AS (Zulkarnain et al. 2005).
Penambangan timah ilegal mendapat publikasi yang negatif karena meninggalkan kerusakan lingkungan (Bangka Pos 2001, 2002a, 2002b, 2002c), termasuk penambangan ulang secara ilegal di sekitar 65 % luas lokasi yang telah direklamasi (Bangka Pos 2004; PT Tambang Timah 2005). Jumlah lahan yang seharusnya direklamasi oleh dua perusahaan tambang besar di Pulau Bangka dan Pulau Belitung sekitar 5800 ha, termasuk lokasi yang ditambang secara ilegal (PT Timah Tbk. 2002; PT Koba Tin 2003; Triswandi D 2003, komunikasi pribadi; PT Tambang Timah 2005).
tambang (kolong) seluas 1035 ha (PT Timah – Lembaga Penelitian Universitas Sriwijaya 2000). Angka ini dipastikan meningkat sejalan dengan meningkatnya penambangan ilegal di akhir tahun 1999. Penambangan menurunkan sifat-sifat tanah. Dibandingkan dengan lahan tidak terganggu, kandungan pasir pada tailing timah dapat mencapai 95 %, C-organik kurang dari 2 %, dan KTK (kapasitas tukar kation) kurang dari 1.0 cmol(+) kg-1. Pori air tersedia menjadi sangat rendah dan mencapai 1 % vol (sangat rendah) pada kedalaman 0-20 cm dan permeabilitas mencapai 35 cm jam-1 (sangat cepat) pada kedalaman 0-20 cm (Adimihardja et al.
2002). Temperatur tailing pasir pada kedalaman 3 cm pada jam 12.00-14.00 mencapai 45 oC (Nurtjahya et al. 2007), atau 48.8 oC (Mitchell 1959) pada jam 14.30, atau bahkan mencapai 60-70 oC (Setyowati-Indarto 1998).
Mengandalkan suksesi alami untuk merestorasi tailing pasir tanpa campur tangan manusia akan membutuhkan waktu yang lama, waktu dimana tailing timah tetap gundul dan tidak ekonomis (Ang 1994). Setelah dibiarkan tidak terganggu selama dua puluh tahun, peningkatan kesuburan sangat lambat sehingga hanya meningkat seperlima atau kurang dibandingkan lahan tidak ditambang (Mitchell 1959).
Sejumlah kecil jenis tanaman eksotik yang dipilih karena sifat-sifatnya, dipergunakan secara meluas pada program rehabilitasi di Pulau Bangka, seperti
Acacia mangium Willd. (Fabaceae) sejak tahun 1993 (Nurtjahya 2001), namun praktek ini dinilai kurang mendukung rehabilitasi lahan untuk tujuan restorasi. Adalah kurang bijaksana terus mengandalkan pada sejumlah kecil jenis tanaman untuk upaya rehabilitasi di masa depan (Lamb & Tomlinson 1994). Sejauh ini daftar jenis lokal potensial sebagai kandidat untuk merevegetasi lahan pasca tambang timah di Pulau Bangka belum pernah dilaporkan, walaupun beberapa jenis pohon lokal telah disarankan oleh beberapa kelompok peneliti (Sambas & Suhardjono 1995; van Steenis dalam Whitten et al. 2000).
revegetasi, dan penentuan lokasi potensial sumber biji bagi revegetasi, di samping penelusuran pustaka dan komunikasi dengan pakar akan jenis-jenis pionir. Hasil kajian suksesi, penelusuran pustaka dan komunikasi pakar mendaftar sebanyak mungkin jenis lokal yang dipilih untuk dipergunakan dalam revegetasi. Tingkat keragaman yang tinggi pada revegetasi diharapkan mempercepat pencapaian keragaman jenis tumbuhan di area revegetasi, sesuai dengan tujuan akhir penelitian yakni restorasi lahan pasca tambang.
Kajian suksesi adalah penting dalam merancang satu paket teknik budidaya yang diharapkan memanipulasi lingkungan lahan pasca tambang yang tidak mendukung pertumbuhan tanaman. Semua informasi ini dibutuhkan untuk mendukung upaya percepatan suksesi alami. Penggabungan beberapa teknik budidaya yakni: kerapatan tanam, model tanam, penanaman mulsa legum penutup tanah (legum cover crops – LCC), penggunaan mulsa sabut kelapa, pemberian top soil, pemberian tanah mineral, pemberian kompos, serta penggunaan pembenah tanah (soil conditioner) kiranya perlu dilakukan untuk menyiasati lingkungan lahan pasca tambang timah yang tidak mendukung pertumbuhan tanaman: miskin hara, porous dan tercekam air, terbuka, dan dalam rangka mendapatkan prosedur revegetasi yang efektif dan sederhana.
Evaluasi keberhasilan revegetasi pada akhir penelitian dilakukan berdasarkan berbagai parameter pertumbuhan dan perbaikan habitat. Di samping itu, potensi mesofauna tanah sebagai indikator keberhasilan revegetasi pun perlu ditelaah untuk memperkaya parameter keberhasilan revegetasi.
Penelitian ini terbagi atas dua, yakni penelitian pertama tentang suksesi lahan pasca tambang timah, dan penelitian ke dua tentang revegetasi lahan pasca tambang timah.
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Informasi suksesi lahan pasca tambang timah adalah penting bagi perencanaan dan penentuan strategi revegetasi dalam hal identifikasi jenis pohon lokal potensial, identifikasi lokasi potensial sumber biji dan pemahaman lingkungan lahan pasca tambang timah bagi keberhasilan revegetasi
Hasil penelitian ke dua tentang revegetasi lahan pasca tambang timah dengan beragam jenis pohon lokal adalah identifikasi praktek budidaya yang paling mendukung pertumbuhan sepuluh pohon lokal terpilih dan yang paling mendukung rekolonisasi alami. Informasi tersebut akan memperkaya pengembangan strategi yang efektif dalam penanaman di lahan pasca tambang timah bagi pemulihan hutan kembali dengan beragam jenis pohon lokal dalam waktu sesingkat mungkin dan dengan dana dan tenaga profesional terbatas.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi praktek revegetasi dengan pohon lokal dan yang paling mendukung rekolonisasi alami. Informasi tersebut akan memperkaya pengembangan strategi yang efektif dalam penanaman di lahan pasca tambang timah bagi pemulihan hutan kembali dengan beragam jenis pohon lokal dalam waktu sesingkat mungkin.
Tailing timah secara garis besar dibagi menjadi dua bagian besar yakni tailing pasir dan tailing slime. Palaniappan (1974) membagi menjadi tiga yakni tailing pasir, tailing slime, dan tailing campuran pasir dan slime. Dibandingkan dengan tailing slime, dengan kurun waktu yang sama, tailing pasir lebih tidak bervegetasi karena kandungan air dan hara hasil pencucian lebih sedikit dibandingkan pada tailing slime. Penelitian ini memilih tailing pasir sebagai bahan penelitian.
kondisi di lapang termasuk ketersediaan biji, dan dua atau tiga kegiatan dapat dilakukan secara bersama-sama jika keadaan di lapang memungkinkan, misalnya tersedianya bahan dan tenaga.
Pemilihan jenis tanaman dapat didekati dari kombinasi beberapa hal, dari penelusuran pustaka (Backer & van den Brink 1965; Sakai et al. 1980; Sambas & Suhardjono 1995; Cheah 1995; van Steenis dalam Whitten et al. 2000; Whitten et al. 2000; Partomihardjo et al. 2004), mengutip pendapat para ahli (Kanzaki M 2004, komunikasi pribadi; Davies SJ 2004, komunikasi pribadi; Dalling J 2004, komunikasi pribadi), pengamatan di lapang, dan percobaan di lapang. Pemilihan jenis ditentukan juga oleh peruntukan lahan yang akan direvegetasi; jenis untuk revegetasi untuk hutan tanaman industri akan berbeda dengan jenis untuk restorasi. Dalam penelitian ini tujuan penelitian diarahkan ke restorasi lahan pasca tambang timah menjadi hutan kembali. Sejumlah jenis tumbuhan yang dipilih diseleksi di pembibitan sebelum dipergunakan sebagai dalam penelitian revegetasi.
Untuk memperoleh hasil yang diharapkan, diperlukan contoh proses yang terjadi di alam sebagai cermin. Suksesi di lahan pasca tambang timah, khususnya tailing pasir dipelajari. Pemahaman suksesi memberi gambaran proses yang terjadi dan jenis-jenis tanaman yang berperan dalam proses tersebut. Pemahaman proses tersebut berguna dalam mengidentifikasi identifikasi jenis pohon lokal potensial yang relatif adaptif di tailing pasir, mengidentifikasi lokasi potensial sumber biji, pemahaman lingkungan lahan pasca tambang timah bagi keberhasilan pelaksanaan penanaman di tailing pasir.
Pemahaman akan berbagai kelompok umur lahan pasca tambang timah berguna dalam merancang strategi revegetasi yang akan dilaksanakan di lahan pasca tambang timah, khususnya di tailing pasir. Identifikasi faktor pembatas di tailing pasir bagi pertumbuhan tanaman berguna dalam memanipulasi keadaan tailing pasir yang mendukung pertumbuhan jenis tanaman terpilih agar dapat tumbuh dengan baik dan sesuai harapan.
Memperhatikan sifat-sifat fisika dan kimia tailing pasir dan lingkungan penambangan yang terbuka, cekaman air dan temperatur adalah faktor yang mendapat perhatian. Peningkatan sifat-sifat fisika dan kimia tanah diperlukan untuk membenahi tanah dan tekstur pasir yang porous, dan miskin hara. Perbaikan mikroklimat di sekitar lubang tanam diupayakan untuk mengurangi sebesar mungkin cekaman air dan temperatur bagi tanaman di tailing pasir. Diperlukan paduan beberapa teknik budidaya yang telah dipraktekkan di masyarakat untuk memperbaiki mikroklimat di lingkungan tailing pasir yang terbuka dan panas. Fokus teknik penanaman adalah kerapatan tanam, model tanam, penggunaan mulsa hidup dengan legum penutup tanah, penggunaan mulsa sabut kelapa, penggunaan tepung tailing slime sebagai sumber hara, pengunaan asam humat,
top soil sebagai sumber hara dan sumber biji, tanah mineral sebagai sumber hara, dan kompos sebagai sumber bahan organik.
Sejumlah jenis lokal terpilih dan dengan satu paket teknik budidaya yang dipilih dan diharapkan mampu memanipulasi lingkungan lahan pasca tambang diharapkan percepatan suksesi di lahan pasca tambang tercapai.
Untuk mengevaluasi keberhasilan revegetasi beberapa parameter dipilih untuk mewakili beberapa aspek untuk mendapatkan evaluasi yang teliti. Paduan evaluasi pertumbuhan tanaman di atas permukaan tanah, perubahan sifat-sifat tanah di bawah permukaan tanah, dan populasi fauna tanah, pengukuran temperatur udara, temperatur tanah, dan kelembaban tanah dipilih. Di samping itu, potensi mesofauna tanah sebagai indikator keberhasilan revegetasi pun perlu ditelaah untuk memperkaya parameter keberhasilan revegetasi.
Gambar 1 Penambangan timah di darat. (a) penambangan timah skala besar, (b) penambangan non-konventional (TI), (c) penambangan timah terapung di kolam, (d) mendulang timah, (e) kapal keruk darat, (f) area penambangan timah darat, (g) penambangan ilegal di lokasi yang direvegetasi, (h) penambangan timah ilegal di dekat pemakaman. Foto oleh E. Nurtjahya.
a b
c d
e f
Pendahuluan
Mengingat kesuburan tidak pernah tercapai tanpa bantuan manusia (Mitchell
1959; Ang 1994, Elfis 1998), pemilihan jenis tanaman dan teknik budidaya
dibutuhkan untuk mempercepat restorasi tailing timah pasir. Sejumlah jenis pohon
eksotik dipergunakan secara meluas pada program rehabilitasi karena memiliki
banyak sifat, namun kehati-hatian ekologis menyebutkan adalah kurang bijaksana
terus mengandalkan pada sejumlah kecil jenis dalam upaya rehabilitasi di masa
depan (Lamb & Tomlinson 1994). Sementara belum dilaporkan adanya daftar
jenis pohon lokal potensial untuk merevegetasi tailing timah, A. mangium adalah
jenis eksotik yang dominan (mencapai 75 %) yang ditanam di tailing timah oleh
dua perusahaan tambang besar di Pulau Bangka sejak 1993 (Nurtjahya 2001).
Beberapa peneliti menganjurkan beberapa jenis pohon lokal. van Steenis (Whitten
et al. 2000) menyarankan Ploiarium, Rhodamnia, dan Rhodomyrtus sebagai
marga yang dapat dicoba. Sambas dan Suhardjono (1995) merekomendasikan
Schima wallichii (DC.) Korth. (Theaceae), Syzygium racemosum (Blume) DC.
(Myrtaceae), Vitex pinnata L. (Verbenaceae), Syzygium zeylanicum (L.) DC.
(Myrtaceae), Calophyllum pulcherrimum Wall. ex Choisy (Clusiaceae), dan
Gomphia serrata (Gaertn.) Kanis. (Ochnaceae) sebagai kandidat potensial untuk
merevegetasi tailing pasir. Jenis lokal seperti Macaranga spp., dan Trema
orientalis (L.) Blume (Ulmaceae) termasuk beberapa jenis lokal yang ditanam di
lahan bekas tambang emas di Kalimantan Timur (Nurtjahya 2004). Di Pulau
Bangka dan Pulau Belitung Anacardium occidentale L. (Anacardiaceae) dan
Triomma malaccensis Hook. f. (Burseraceae) ditanam dalam prosentase yang
kecil dibandingkan A. mangium di lokasi revegetasi yang tidak luas, dan keduanya
dinilai cukup adaptif di tailing pasir.
Melengkapi saran dan upaya penggunaan jenis pohon lokal dalam
dan memperhatikan kondisi lingkungan lahan pasca tambang yang tidak
mendukung pertumbuhan tanaman, diperlukan pemahaman suksesi untuk
membantu penentuan strategi revegetasi lahan pasca tambang timah melalui
identifikasi jenis yang berperan di setiap tahapan, penentuan jenis tanaman, dan
penentuan lokasi potensial sumber biji bagi revegetasi. Informasi regenerasi alami
atau suksesi penting bagi perencanaan dan penentuan strategi revegetasi
(Leteinturier et al. 1999; Corrêa et al. 2007). Memperhatikan mikrob tanah
memiliki fungsi yang penting dalam ekosistem yakni terhadap pertumbuhan,
nutrisi mineral, dan kesehatan tanaman (Souchie et al. 2006), populasi fungi
mikoriza arbuskula (FMA), dan mikrob pelarut fosfat (MPF) yang termasuk
termasuk plant growth promoting rhizobacteria (Rodriguez & Fraga 1999) perlu
dihitung.
Tujuan penelitian ini ialah memahami suksesi dan vegetasi yang berperan di
setiap tahapan suksesi.
Bahan dan Metode
Penelitian ekologi kuantitatif di lahan pasca tambang timah dilaksanakan di
Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Enam lokasi yang
masing-masing mewakili tipe vegetasi berbeda dipilih.
Lokasi penelitian
Suksesi lahan pasca tambang timah didekati dengan pengamatan suksesi
alami yang terjadi di beberapa umur yang berbeda karena tidak ada petak
pengamatan permanen dan belum pernah dilaporkan penelitian ini sebelumnya.
Untuk mengurangi pengaruh tipe tanah, hampir semua lokasi penelitian memiliki
dominasi tipe tanah hapludox (oksisol) antara 50-75 % di samping kandiudults
(ultisol) 25-50 %. (PPTA 1990), yang baik oksisol dan ultisol dicirikan oleh
kandungan bahan organik yang rendah, liat bermuatan rendah dan karenanya
memiliki KTK yang rendah (Tan 2005) (Gambar 2). Untuk mendapatkan data
umur yang tepat, survai lapang dan wawancara dengan penduduk dilakukan
Penambangan Timah di Pulau Bangka (PT Tambang Timah 2004), Peta Satuan
Lahan dan Tanah Pulau Bangka (PPTA 1990), dan Peta Land System Sumatera
(Bakosurtanal 1986). Riwayat penambangan timah dari PT Timah (Persero) Tbk.
memperkuat asumsi kesamaan tingkat eksploitasi lokasi penelitian.
Gambar 3 Pulau Bangka dan lokasi penelitian. (1) hutan; (2) ladang ditinggalkan; (3) tailing 0 tahun gundul; (4) tailing 7 tahun; (5) tailing 11 tahun; (6) tailing 38 tahun. Digitasi garis pantai dari peta Provinsi Kepulauan Bangka Belitung skala 1:400000 (Bakosurtanal 2003)
Lokasi penelitian adalah hutan seluas 13 ha yang memiliki tipe tanah
dominan hapludox, di desa Sempan (01o 53' 38.5" LS dan 105o 58' 14.5" BT),
ladang yang ditinggalkan empat tahun sebelumnya seluas 1.6 ha di desa Sempan
(01o 53' 32.3" LS dan 105o 58' 44.5" BT), lahan pasca tambang berumur nol tahun
dan gundul seluas 2 ha di desa Riding Panjang (01o 59' 53.46"LS dan 106o 06'
45.32"BT), lahan pasca tambang berumur 7 tahun seluas 0.5 ha di desa Sempan
(01o 52' 41.5" LS dan 106o 00' 14.2" BT), lahan pasca tambang berumur 11 tahun
seluas 0.6 ha dengan tipe tanah kandiudult dan dystropepts di desa Gunung Muda
(01o 37' 0.01"LS dan 105o 54' 47.9"BT), dan lahan pasca tambang berumur 38
tahun seluas 2 ha dengan tipe tanah hapludox di desa Riau (01o 44' 33.8" LS dan
105o 51' 66.4"BT) (Gambar 3). Lokasi seluas 15.7 ha terletak di Kabupaten
Bangka dan berada pada ketinggian 20-40 m d.p.l. Untuk mendapatkan lahan
pasca tambang timah yang berumur lebih dari 40 tahun sulit ditemukan karena
kegiatan penambangan ulang, dan terutama oleh penambangan rakyat.
Pengumpulan dan analisis data
Sifat-sifat tanah
Contoh tanah pada masing-masing lokasi penelitian diambil dengan auger
berdiameter 8 cm pada kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm. Contoh tanah komposit
secara diagonal (Setyorini et al. 2003) terdiri atas sembilan sub sampel di setiap
lokasi penelitian. Contoh tanah dianalisis sifat-sifat kimia dan beberapa sifat fisika
dengan analisis tanah rutin untuk keperluan penilaian kesuburan tanah yang
meliputi: tekstur tiga fraksi, pH air dan KCl, bahan organik (C dan N), P dan K
potensial, nilai tukar kation (kapasitas tukar kation – KTK, Ca-dd, Mg-dd, K-dd,
Na-dd), dan kemasaman dapat ditukar (Al-dd dan H-dd). Analisis dilakukan di
Balai Penelitian Tanah, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya
Lahan Pertanian, di Bogor.
Fungi mikoriza arbuskula (FMA) dan Mikrob Pelarut Fosfat (MPF)
Contoh tanah komposit sebanyak 500 g dari delapan titik rhizosfir dari tiga
vegetasi paling dominan pada kedalaman 0-10 cm dan 10-20 cm diambil dengan
menggunakan modifikasi CSM-BGBD Project Protocol 2004 (Gafur & Swibawa
2004). Jumlah ulangan tiap contoh tanah adalah tiga kali. Jarak antar contoh di
bawah vegetasi dominan semai adalah 50 cm untuk lingkaran terdekat dan 1 m
untuk lingkaran terjauh. Jarak antar contoh di bawah vegetasi tiang atau pohon
yang dominan adalah 1 m untuk lingkaran terdekat, dan 2 m untuk lingkaran
terjauh.
Spora diperoleh dengan metode tuang saring basah (Gadermann & Nicolson
1963). Sebanyak 50 g contoh tanah dilarutkan dalam 500 ml air dan diaduk dan
dicuci berulangkali dengan air melalui satu rangkaian saringan (710 µm, 425 µm,
berdasarkan morfologi spora dan merujuk pada buku manual Schenck and Perez
(1988) dan INVAM (International Culture Collection of Arbuscular &
Vesicular-Arbuscular Mycorrhizal Fungi) (http://invam.caf.wvu.edu/index.html).
Contoh tanah sebanyak 1 g dilarutkan dalam 9 ml larutan garam fisiologis
dan diaduk dan dibuat seri pengenceran dari 10o-105. Sebanyak 0.02 ml dari
larutan 105 diinokulasikan ke media agar Picovskaya dan diinkubasikan pada
temperatur ruang selama 2-3 hari. Koloni yang menunjukkan cincin halo yang
transparan di sekitar koloni dihitung, dan direisolasi dan dipelihara pada nutrient
agar (NA). Pengujian FMA dan MPF dilakukan di Laboratorium Bioteknologi
Hutan dan Lingkungan, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi,
Institut Pertanian Bogor.
Analisa vegetasi
Penelitian dilaksanakan dari bulan Mei 2004 – November 2005. Luas
minimum area sebesar 0.2 ha ditentukan dengan kurva species-area (Setiadi &
Muhadiono 2001). Analisa kuantitatif terhadap komposisi dan struktur vegetasi
dilakukan pada 20 petak masing-masing 10 m x 10 m dengan modifikasi teknik
pengambilan contoh kuadrat oleh Oosting 1956 (Soerianegara & Indrawan 1998).
Petak berukuran 10 m x 10 m digunakan untuk mengukur pohon yang memiliki
diameter lebih besar dari 20 cm diameter setinggi dada orang dewasa (dbh), dan
mengukur tiang yang memiliki diameter pada dbh 10-20 cm. Petak berukuran 5 m
x 5 m digunakan untuk mengukur sapihan yang memiliki tinggi tanaman lebih
dari 1.5 m dan diameter kurang dari 10 cm. Petak berukuran 1 m x 1 m untuk
menghitung semai yang memiliki tinggi kurang dari 1.5 m. Jumlah individu tiap
jenis dan diameter batang pada tiang dan pohon dicatat, dan hanya jumlah
individu tiap jenis yang dicatat untuk sapihan dan semai. Sekitar 340 spesimen
herbarium diidentifikasi di Herbarium Bogoriense, Bogor.
Komposisi vegetasi setiap lokasi penelitian (Gambar 4) ditentukan oleh
jumlah individu tanaman, jumlah jenis, dan jumlah famili. Struktur vegetasi
dihitung dari densitas relatif, frekuensi relatif, dan cover relatif (Mueller-Dumbois
& Ellenberg 1974). Indeks vegetasi adalah species richness menurut Margalef
(Odum 1971), dan species diversity (Shannon & Wiener 1949). Indeks kemiripan
(similarity index) dihitung dengan formula Sǿrensen (Mueller-Dumbois &
Ellenberg 1974). Data untuk analisis komponen utama (principal component
analysis – PCA), analisis canonical correspondence analysis (CCA), dan analisis
kelompok (cluster analysis) dihitung menggunakan paket statistik MSV 3.1.
Jumlah individu suatu jenis di semua petak contoh Densitas suatu jenis per unit area
= jumlah petak contoh yang diamati
Jumlah individu suatu jenis Densitas relatif dari suatu jenis
(DR) = Jumlah individu dari semua jenis x 100
Jumlah petak dimana suatu jenis ditemukan Frekuensi =
Jumlah petak yang diamati
Frekuensi suatu jenis di petak tertentu Frekuensi relatif suatu jenis (FR)
= Jumlah frekuensi semua jenis di petak tertentu x 100
Jumlah basal area Basal area (cover) per individu
suatu jenis = Jumlah individu
Jumlah basal area per individu suatu jenis Basal area (cover) relatif (CR) =
Jumlah basal area semua jenis di semua petak x 100
Index Nilai Penting (INP) = DR + FR + CR
2 x Jumlah INP jenis sama di dua lokasi dibandingkan Indeks kemiripan dua lokasi (IS) =
Jumlah INP yang dibandingkan
x 100
Indeks Dominansi
suatu lokasi (c) = Jumlah (INP suatu jenis/INP semua jenis)
2
suatu lokasi (d) = Logarithma jumlah individu di suatu lokasi
Jumlah indeks diversitas semua jenis Indeks Evenness suatu lokasi (e) =
Gambar 4 Lokasi penelitian. (a) lahan pasca tambang berumur 0 tahun, (b) lahan pasca tambang berumur 7 tahun, (c) lahan pasca tambang berumur 11 tahun, (d) lahan pasca tambang berumur 38 tahun, (e) ladang ditinggalkan, (f) hutan. Foto oleh E. Nurtjahya
a b
c d
Hasil
Sifat-sifat Tanah
Komponen pasir di empat lahan pasca tambang pada kedalaman 0-20 cm
dan 20-40 cm berkisar 80-97 % (Tabel 1). Terdapat kecenderungan adanya
penurunan komponen pasir, kecuali pada lahan pasca tambang berumur 11 tahun,
dengan semakin lamanya lahan pasca tambang timah ditinggalkan (Gambar 5a).
Komponen pasir dari semua lahan pasca tambang timah masing-masing pada dua
kedalaman lebih besar dibandingkan di hutan yakni 78 dan 66 %, dan di ladang
yang ditinggalkan 47 dan 48 %. Tekstur semua lahan pasca tambang berumur 0, 7,
11, dan 38 tahun adalah sand, dan tekstur ladang yang ditinggalkan termasuk
sandy clay loam, dan tekstur hutan adalah loamy sand.
Tabel 1 Sifat-sifat fisika dan kimia tanah pada kedalaman 0-20 dan 20-40 cm di lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, 38 tahun, ladang ditinggalkan, dan hutan
Tekstur pH Bahan organik HCl 25% Kapasitas tukar
W. & B. Kj
Kecuali rasio C/N lahan pasca tambang berumur 11 tahun, rasio C/N lahan
pasca tambang berumur 0, 7, dan 38 tahun yakni berkisar 10-15 lebih tinggi
dibandingkan hutan dan ladang yang ditinggalkan. Secara umum, konsentrasi
P2O5 dan K2O pada lahan pasca tambang di dua kedalaman lebih rendah
dan K2O (5 dan 5 mg 100g-1), dan konsentrasi P2O5 di ladang yang ditinggalkan
(35 dan 36 mg 100g-1) dan K2O (8 dan 7 mg 100g-1). Tingginya konsentrasi P2O5
di dua kedalaman pada tailing timah berumur 7 tahun dibandingkan dengan di
ladang yang ditinggalkan dan di hutan diduga pengambilan sampel tanah
tercampur dengan sebagian tanah overburden yang lebih subur. Secara umum
konsentrasi Ca, Mg, K, dan Na berangsur-angsur meningkat sejalan dengan
semakin lamanya lahan pasca tambang ditinggalkan (Gambar 5b). Jumlah
konsentrasi keempat kation dapat ditukar tersebut di dua kedalaman di lahan pasca
tambang berkisar 0.3-0.6 cmol(+) kg-1, sementara jumlah konsentrasi keempat
unsur di ladang yang ditinggalkan masing-masing 0.7 dan 0.6 cmol(+) kg-1, dan di
hutan adalah masing-masing 0.4 dan 0.4 cmol(+) kg-1.
KTK semua lahan pasca tambang timah tergolong sangat rendah
berdasarkan tabel kesuburan tanah, dan berkisar antara 0.4-3.9 cmol(+) kg-1. KTK
ladang yang ditinggalkan masing-masing 14.7 dan 9.6 cmol(+) kg-1, dan KTK
hutan pada dua kedalaman masing-masing 5.8 dan 5.2 cmol(+) kg-1.
KB di semua lahan pasca tambang timah yang berkisar antara 16-40 %
dengan angka tertinggi pada lahan pasca tambang berumur 0 tahun. KB pada
berbagai umur lahan pasca tambang timah menunjukkan pola yang tidak konstan
dan nilai tertinggi tercatat pada lahan pasca tambang berumur 0 tahun yang
gundul (73 dan 40 %). Nilai KB di lahan di ladang yang ditinggalkan
masing-masing 4 dan 6 % dan di hutan masing-masing-masing-masing 7 dan 7 %.
Konsentrasi Al3+ pada dua kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm di lahan pasca
tambang timah berkisar 0.1-0.9 cmol(+) kg-1, sementara konsentrasi Al3+ pada dua
kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm di hutan masing-masing 2.0 dan 2.0cmol(+)kg
-1
, dan di ladang yang ditinggalkan masing-masing 4.8 dan 3.7 cmol(+) kg-1.
Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) dan Mikrob Pelarut Fosfat (MPF)
Jumlah spora FMA (Gambar 6a) per 50 g tanah di bawah tiga jenis
tumbuhan dominan pada kedalaman 0-20 cm di lahan pasca tambang timah
berangsur-angsur meningkat sejalan dengan semakin lamanya lahan pasca
tambang timah ditinggalkan (Gambar 7a). Jumlah spora di lahan pasca tambang
lahan pasca tambang berumur 11 tahun adalah 57, dan di lahan pasca tambang
berumur 38 tahun tercatat tertinggi yakni 261.7, sementara di tanah hutan adalah
15 (Tabel 2).
Gambar 5 Konsentrasi beberapa sifat fisika dan kimia tailing pasir di lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, 38 tahun, dan di hutan. (a) komponen pasir, debu, dan liat. (b) konsentrasi Ca, Mg, K, dan Na.
Jumlah jenis FMA pada lahan pasca tambang berumur 38 tahun adalah 7
jenis Glomus, 2 jenis Gigaspora, 1 jenis Scutellospora, dan 1 jenis Acaulospora,
dengan Glomus sp. 2 menempati urutan terbesar yakni 67.4 %, dan Glomus sp. 3
sebesar 20.7 %. Jumlah genus antara tiga dan lima, dan Glomus Tul. & Tul.
(Glomaceae) adalah dominan (44-100 %) dibandingkan Gigaspora, Scutellospora,
dan Acaulospora.
a
Sebaliknya, rata-rata jumlah koloni MPF (Gambar 6b) pada kedalaman 0-20
cm menunjukkan penurunan sejalan dengan semakin lamanya lahan pasca
tambang ditinggalkan (Gambar 7b). Populasi MPF per g tanah pada 0-20 cm di
lahan pasca tambang berumur 0 tahun (6.0 x 105), di lahan pasca tambang
berumur 7 tahun adalah 6.2 x 105 c g-1, di lahan pasca tambang berumur 11 tahun
adalah 4.2 x 105 c g-1, di lahan pasca tambang berumur 38 tahun adalah 1.3 x 105 c
g-1, dan di hutan sebesar 4.4 x 105 c g-1.
Gambar 6 Spora fungi mikoriza arbuskula dan koloni mikrob pelarut fosfat. (a) spora fungi mikoriza arbuskula: spora Glomus kecil dan berwarna lebih gelap, dan spora Gigaspora besar dan transparan, (b) koloni mikrob pelarut fosfat dengan zona terang. Foto oleh N.F. Mardatin
2
Gambar 7 Rata-rata jumlah spora FMA dan populasi MPF di lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun, dan di hutan pada kedalaman 0-20 cm. (a) jumlah spora per 50 g tanah (b) jumlah koloni mikrob pelarut fosfat per g tanah
a b
Tabel 2 Status fungi mikoriza arbuskula dan mikrob pelarut fosfat di lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun, di ladang ditinggalkan, dan di hutan pada kedalaman 0-20 cm
Jumlah individu, jumlah jenis, dan jumlah famili di lahan pasca tambang
timah semakin meningkat sejalan dengan semakin lama lahan pasca tambang
ditinggalkan (Gambar 8). Jumlah jenis tumbuhan di lahan pasca tambang berumur
0 tahun adalah nol, jumlah jenis tumbuhan di lahan pasca tambang berumur 7
tahun adalah enam yang terdiri atas empat jenis rumput dan dua jenis semak,
jumlah jenis tumbuhan di lahan pasca tambang berumur 11 tahun adalah delapan
yang terdiri atas lima jenis rumput, satu jenis herba, dan dua jenis semak, dan
jumlah jenis tumbuhan di lahan pasca tambang berumur 38 tahun adalah enam
belas yang terdiri atas empat jenis rumput, tiga jenis herba, enam jenis semak, dua
jenis tingkat semai dan satu jenis tingkat semai dan sapihan, jumlah jenis
tumbuhan di ladang ditinggalkan sebesar tujuh puluh satu, dan jumlah jenis di
hutan sebesar delapan puluh lima yang meliputi herba, liana / climber, semak,
Jumlah individu per hektar untuk semua fase pertumbuhan semakin
meningkat sejalan dengan semakin lama lahan pasca tambang ditinggalkan. Pada
lahan pasca tambang berumur 7 tahun sebesar 890, pada lahan pasca tambang
berumur 11 tahun 1720, dan pada lahan pasca tambang berumur 38 tahun sebesar
2180. Jumlah individu per hektar tertinggi adalah di hutan yakni 7295, sedangkan
di ladang yang ditinggalkan (7175). Jumlah famili di tiap lokasi penelitian
menunjukkan pola serupa. Jumlah famili untuk semua fase pertumbuhan di lahan
pasca tambang berumur 7 tahun adalah 4, di lahan pasca tambang berumur 11
tahun adalah 5, dan di lahan pasca tambang berumur 38 tahun adalah 13. Jumlah
famili untuk semua fase pertumbuhan tertinggi adalah di hutan yakni 44,
0
Gambar 8 Jumlah individu per hektar, dan jumlah jenis dan jumlah famili di lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun, ladang ditinggalkan, dan di hutan. (a) jumlah jenis (b) jumlah famili (c) jumlah individu ha-1
a
b
0
rumput herba liana / climber semak semai sapihan tihang pohon
Gambar 9 Jumlah jenis tumbuhan rumput, herba, liana/climber, semak, dan tingkat semai, tingkat sapihan, dan tingkat tiang, dan pohon di lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun, dan di hutan.
Struktur vegetasi
Tiap lokasi memiliki jenis yang berbeda. Tidak ada jenis tumbuhan
ditemukan di lahan pasca tambang timah 0 tahun. Pada lahan pasca tambang
berumur 7 tahun, tercatat tumbuhan bawah Fimbristylis pauciflora R. Br.
(Cyperaceae), Imperata cylindrica (L.) Beauv. (Poaceae), Melastoma
malabatrichum L. (Melastomataceae), Eupatorium inulaefolium HBK
(Asteraceae), Paspalum orbiculare Forst.f. (Poaceae), Paspalum conjugatum
Berg. (Poaceae) (Tabel 3). Pada lahan pasca tambang berumur 11 tahun tercatat
Blumea balsamifera (L.) DC. (Asteraceae), P. conjugatum, I. cylindrica, F.
pauciflora, dan M. malabatrichum, Eragrostis chariis (Schult.) Hitchc. (Poaceae),
Scleria levis Retz. (Cyperaceae), dan Commersonia bartramia (L.) Merr.
(Sterculiaceae). Pada lahan pasca tambang berumur 38 tahun tercatat
Rhodomyrtus tomentosa (Aiton) Hassk. (Myrtaceae), Eriachne pallescens R. Br.
(Poaceae), Ischaemum sp. (Poaceae), Crotalaria sp. (Fabaceae), dan M.
malabatrichum, Anonim sp.3, F. pauciflora, Glechenia sp. (Gleicheniaceae), S.
levis, V. pinnata, S. wallichii, E. inulaefolium, T. orientalis, Dillenia suffruticosa
(Griff.) Martelli, Nephentes sp.1. S. wallichii dengan INP 7.73 %, V. pinnata
hanya tingkat sapihan S. wallichii ditemukan di lahan pasca tambang berumur 38
tahun.
Pada ladang yang ditinggalkan lima jenis tumbuhan bawah yang memiliki
INP tertinggi yang ditemukan berturut-turut adalah S. levis, T. orientalis,
Dicranopteris linearis (Burm.f.) Und. (Gleicheniaceae), M. malabatrichum dan P.
conjugatum. Pada hutan lima jenis yang memiliki INP tertinggi berturut-turut
Gaertnera vaginata Poiret (Rubiaceae), C. pulcherrimum, Calophyllum lanigerum
Miq., Syzygium sp.4 (Myrtaceae), dan Garcinia parvifolia (Miq.) Miq.
(Clusiaceae).
Tingkat semai yakni S. wallichii, T. orientalis, dan V. pinnata, dan tingkat
sapihan yakni S. wallichii baru tercatat pada lahan pasca tambang berumur 38
tahun. Empat jenis tingkat sapihan yang memiliki INP tertinggi di hutan
berturut-turut C. lanigerum, P. galeata, Tristaniopsis whiteana (Griff.) Wil. & Wat.
(Myrtaceae), Gaertnera vaginata Poiret (Rubiaceae).
Bentuk hidup (life form) liana / climber hanya ditemukan di hutan yakni
liana Calamus sp., (Arecaceae) dan Urceola brachysepala Hook. f.
(Apocynaceae), dan climber Artabotrys suaveolens Blume (Annonaceae) dan
Freycinettia sp. (Pandanaceae).
Tabel 3 Jenis tumbuhan rumput, herba, dan liana/climber, semak dan pohon di lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun, dan di hutan
Habitus Fase per
tumbuhan Jenis 0 7 11 38 Hutan
Eragrostis chariis (Schult.) Hitchc. √
Eriachne pallescens R. Br. √
Fimbristylis pauciflora R.Br. √ √ √
Imperata cylindrica (L.) Beauv. √ √
Ischaemum sp. √
Paspalum conjugatum Berg. √ √
Paspalum orbiculare Forst.f. √
rumput
Scleria levis Retz. √ √
Ancistrocladus tectorius Merr. √
Blumea balsamifera (L.) DC. √
Glechenia sp. √
Nephentes sp.1 √
Taenitis blechnoides (Willd.) Sw. √
Vernonia arborea Ham. √
Anonim sp.3 √
Anonim sp.4 √
herba
Anonim sp.6 √
Commersonia bartramia (L.) Merr. √
Crotalaria sp. √
Dillenia suffruticosa (Griff.) Martelli √
Eupatorium inulaefolium HBK √ √
Eurya acuminata DC. √
Gaertnera vaginata Poiret √
Guioa pubescens (Zoll. & Moritzi) Radlk. √
Ixora miquelii Brem. √
Melastoma malabatrichum L. √ √ √
Mussaenda frondosa L. √
Pandanus odoratissimus L.f. (P. tectorius
Soland. ex Park.) √
Pandanus sp. √
Ploiarium alternifolium (Vahl) Melch. √
Rhodomyrtus tomentosa (Aiton) Hassk. √
semak
Anonim sp.17 √
Aporosa cf. aurita (Tul.) Miq. √
Arthrophyllum diversifolium Blume √
Calophyllum lanigerum Miq. √
Calophyllum pulcherrimum Wall. ex Choisy √
Chaetocarpus castanocarpus (Roxb.) Thw. √
Chionanthus ramiflorus Roxb. √
Eurycoma longifolia Jack √
Garcinia parvifolia (Miq.) Miq. √
Gynotroches axillaris Blume √
Ilex cymosa Blume √
Kibatalia maingayi (Hook.f.) Woods. √
Lepisanthes amoena (Hassk.) Leenh. √
Lithocarpus blumeanus (Korth.) Rehd. √
Litsea forstenii Blume √
Nephelium maingayi Hiern. √
Ormosia bancana (Miq.) Merr. √
Pternandra galeata (Korth.) Ridley √
pohon semai
Schima wallichii (DC.) Korth. √ √
Symplocos cochinchinensis (Lour.) S. Moore √
Syzygium claviflorum (Roxb.) Wall. ex AM
Cowan & Cowan √
Syzygium lineatum (DC.) Merr. & L.M.
Perry √
Syzygium zeylanicum (L.) DC. √
Tarrena fragrans (Blume) Koord. & Val. √
Trema orientalis (L.) Blume √
Tristaniopsis whiteana (Griff.) Wil. & Wat. √
Vitex pinnata L. √
Adinandra dumosa Jack √
Aporosa cf. aurita (Tul.) Miq. √
Artocarpus sp. √
Baccaurea bracteata Muell. Arg. √
Brackenridgea palustris Bartell. √
Calophyllum lanigerum Miq. √
Calophyllum pulcherrimum Wall. ex Choisy √
Chaetocarpus castanocarpus (Roxb.) Thw. √
Chionanthus ramiflorus Roxb. √
Cratoxylum formosum Benth. & Hook.f. ex Dyer √
Cratoxylum glaucum Korth. √
Daphniphyllum laurinum (Benth.) Baill. √
Elaeocarpus mastersii King √
Elaeocarpus valetonii Hochr. √
Eugenia densiflora DC. √
Ficus consociata Blume √
Garcinia parvifolia (Miq.) Miq. √
Gordonia excelsa Blume √
Gynotroches axillaris Blume √
Helicia serrata (R.Br.) Blume √
Ilex cymosa Blume √
Kibatalia maingayi (Hook.f.) Woods. √
Lepisanthes amoena (Hassk.) Leenh. √
Lithocarpus blumeanus (Korth.) Rehd. √
Lithocarpus sp. √
Litsea forstenii Blume √
Litsea umbellata (Lour.) Merr. √
Lophopetalum javanicum (Zoll.) Turcz. √
Macaranga javanica (Blume) Muell. Arg. √
Ormosia bancana (Miq.) Merr. √
Pternandra galeata (Korth.) Ridley √
Rauvolfia verticillata (Lour.) Baill. √
Rhodamnia cinerea Jack √
Schima wallichii (DC.) Korth. √ √
Symplocos cochinchinensis (Lour.) S. Moore √
Syzygium claviflorum (Roxb.) Wall. ex AM
Cowan & Cowan √
Syzygium lineatum (DC.) Merr. & L.M.
Perry √
pohon sapihan
Syzygium zeylanicum (L.) DC. √
Tarrena fragrans (Blume) Koord. & Val. √
Timonius flavescens (Jack) Baker √
Tristaniopsis whiteana (Griff.) Wil. & Wat. √
Syzygium sp.2 √
Syzygium sp.6 √
Adinandra dumosa Jack √
Calophyllum cf. ferrugineum Ridl. √
Calophyllum pulcherrimum Wall. ex Choisy √
Chaetocarpus castanocarpus (Roxb.) Thw. √
Combretocarpus rotundatus (Miq.) Danser √
Cratoxylum formosum Benth. & Hook.f. ex
Dyer √
Elaeocarpus mastersii King √
Eugenia densiflora DC. √
Garcinia parvifolia (Miq.) Miq. √
Gynotroches axillaris Blume √
Ilex cymosa Blume √
Lophopetalum javanicum (Zoll.) Turcz. √
Nauclea subdita (Korth.) Steud. √
Nephelium eriopetalum Miq. √
Pternandra galeata (Korth.) Ridley √
Rhodamnia cinerea Jack √
Schima wallichii (DC.) Korth. √
Symplocos cochinchinensis (Lour.) S. Moore √
Syzygium lineatum (DC.) Merr. & L.M. Perry √
Tristania merguensis Griff. √
Tristaniopsis whiteana (Griff.) Wil. & Wat. √
Vaccinium bancanum Miq. √
Xanthophyllum vitellinum (Blume) Dietr. √
pohon tiang
Syzygium sp.6 √
Calophyllum pulcherrimum Wall. ex Choisy √
Cratoxylum formosum Benth. & Hook.f. ex
Dyer √
Lophopetalum javanicum (Zoll.) Turcz. √
Schima wallichii (DC.) Korth. √
Syzygium lineatum (DC.) Merr. & L.M. Perry √
pohon pohon
Tristaniopsis whiteana (Griff.) Wil. & Wat. √
Tiang dan pohon tidak ditemukan di semua umur lahan pasca tambang
berumur 0, 7, dan 11, dan 38 tahun. Hanya tercatat tiga jenis tingkat tiang di
ladang yang ditinggalkan yakni Syzygium sp.6 (Myrtaceae), Sapium baccatum
jenis tingkat tiang yang memiliki INP tertinggi di hutan berturut-turut Ilex cymosa
Blume (Aquifoliaceae), C. pulcherrimum, A. dumosa, T. whiteana, dan Syzygium
lineatum (DC.) Merr. & L.M. Perry (Myrtaceae). Lima jenis pohon yang memiliki
INP tertinggi berturut-turut adalah S. wallichii, T. whiteana, Ilex cymosa Blume
(Aquifoliaceae), S. lineatum, dan Cratoxylum formosum Benth. & Hook.f. ex
Dyer (Clusiaceae). Pohon hanya ditemukan di hutan.
Perbedaan jumlah jenis, jumlah individu, dan jumlah famili di lahan pasca
tambang berumur 0, 7, 11, dan 38 dan ladang ditinggalkan dan hutan ditunjukkan
pada nilai indeks vegetasi : species richness index (d), evenness index (e),
dominance index (D), diversity index (Ĥ), dan similarity index tiap-tiap lokasi
penelitian (Tabel 4). Species richness di lahan pasca tambang berumur 7 tahun
yakni 0-2.2 meningkat menjadi 0-2.4 di lahan pasca tambang berumur 11 tahun,
dan 0-5.3 di lahan pasca tambang berumur 38 tahun. Species richness yang lebih
tinggi tercatat di hutan (6.5-15.3) dan di ladang yang ditinggalkan (0-18.7).
Evenness di lahan pasca tambang berumur 7 tahun yakni 0-0.8 menurun menjadi
0-0.6 di lahan pasca tambang berumur 11 tahun, dan meningkat 0-0.9 di lahan
pasca tambang berumur 38 tahun. Nilai indeks kemerataan di hutan tercatat
0.7-0.9 dan di ladang yang ditinggalkan adalah 0-0.8. Dominance index di lahan pasca
tambang berumur 7 tahun adalah 0-0.23 dan menurun pada lahan pasca tambang
berumur 11 tahun yakni 0-0,4 dan meningkat pada lahan pasca tambang berumur
38 yakni 0-1.0. Nilai dominansi jenis tercatat rendah di hutan yakni 0.05-0.15 dan
di ladang ditinggalkan adalah 0-0.4. Diversity index di lahan pasca tambang
berumur 7 tahun yakni 0-0.6 dan di lahan pasca tambang berumur 11 tahun adalah
0-0.5 dan di lahan pasca tambang berumur 38 tahun adalah 0-1.06. Diversity index
tercatat tinggi di hutan yakni 0.9-1.215 dan di ladang ditinggalkan adalah 0-1.4