Perubahan makna Aron pada Masyarakat Lau Solu dalam Bidang Pertanian di Desa Lau SoluKecamatanMardinding, Kabupaten Karo
Skripsi
Diajukan guna melengkapi salah satu syarat ujian sarjana sosial dalam bidang antropologi
Oleh JonatanTarigan
070905046
DEPARTEMEN ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK HALAMAN PERSETUJUAN
Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh:
Nama : Jonatan Tarigan
Nim :070905046
Departemen : Antropologi
Judul : Aron Pada Masyarakat Karo ( perubahan makna Aron pada Masyarakat
Lau Solu Dalam Bidang Pertanian di Desa Lau Solu Kecamatan
Mardinding, Kabupaten Karo.
Pembimbing a.n Ketua Departemen
Sekretaris
Dra. Sabariah Bangun, M.Soc.Sc Dr.Fikarwin Zuska
NIP: 155701055198703200 NIP: 196212201989031005
Dekan FISIP
Universitas Sumatera Utara
FAKULTAS ILMU POLITIK DAN ILMU SOSIAL
PERNYATAAN ORIGINALITAS
Aron
(Studi Deskriptif Tentang perubahan nilai aron pada masyarakat Lau Solu)
SKRIPSI
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian terbukti lain atau tidak seperti yang saya nyatakan di sini, saya bersedia diproses secara hukum dan siap menanggalkan gelar kesarjanaan saya.
Medan, April 2014 Penulis
Jonatan Tarigan
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena kemurahan kasih dan anugrah-
Nya yang begitu besar sehingga akhirnya skripsi ini telah selesai disusun penulis.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan bimbingan, dan
nasehat dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada orang tua tercinta, Ayahanda Ibrahim Tarigan dan
Ibunda Almh. Martalena Br Barus, juga kepada kakakku tersayang Betti Kartika Br.
Tarigan S.E , Mailina Betaria Sonata Br. Tarigan Amd dan Mely nadia kareem yang
selama ini telah memberikan doa dan semangat kepada penulis, skripsi ini
kupersembahkan untuk kalian. Penulis juga berterima kasih kepada:
1. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Prof. Dr. M. Arif Nasution MA.
Yang telah memberikan fasilitas akademik selama penulis menjalani kuliah di
FISIP USU.
2. Ketua Departemen Antropologi FISIP USU, Dr. Fikarwin Zuska. Yang telah
memberikan fasilitas dan dukungan selama penulis menjalani perkulihan.
3. Dra. Sabariah Banggun,M.soc,Sc selaku dosen pembimbing yang telah
bersedia meluangkan waktu dan tenaga serta memberikan bimbingan dan
masukan yang sangat berharga dari awal hingga skripsi ini dapat diselesaikan.
4. Dra.sri Emiyanti pembimbing akademik yang telah membimbing dan
mengarahkan penulis selama menjalani perkuliahan di Antropologi FISIP
5. Seluruh staf pengajar di Departemen Antropologi FISIP USU yang
telah memberikan didikan dan pengetahuan pada penulis selama
menjalani perkuliahan.
6. Teman-teman yang telah banyak memberikan semangat dan bantuan
dalam menyelesaikan skripsi ini terutama Tino Saragih, Rendy Arsami
Siregar S.sos, Alfi Zulkarnaen, Ali agasi serta teman-teman stambuk
2007 yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu persatu
7. Bapak Kepala Desa Lau Solu dan semua warga Desa Lau Solu yang telah
mau menerima dan mendukung saya selama melakukan penelitian
di Desa Lau Solu.
8. Saudara-saudara saya Mama dan Mami Iptu Hendri Barus,Iptu Agnes
Ina Nusa, Almh. Bik tengah Tanjung Langkat Pak Tengah dan Bik
Tengah Bandar Baru,Bik uda, kak uwa Juli, Dr.Luckyana Depari,Meta
Malemna Depari. Amd, kakak dan abang saya bapak dan mamak Ginta dan
tak lupa Biring dan keluarga di P.Batu yang telah memberikan semangat
dan bantuan dalam menyelesaikan skripsi ini.
Akhir kata penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat
memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi pembangunan
disiplin ilmu di Antropologi FISIP USU.
Medan 22, April 2014
Penulis
Abstraksi
Jonatan Tarigan 2014, judul : Perubahan makna Aron pada Masyarakat Lau
Solu dalam Bidang Pertanian di Desa Lau SoluKec. Mardinding Kab. Karo
Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 88 halaman, 7 tabel, 1 matriks, 2 box, dan 9 gambar. 17 daftar pustaka ditambah 1 sumber lain dan 7 lampiran
Penelitian ini mengkaji tentang : “ Aron pada Masyarakat Karo (Konsep Aron pada Masyarakat Lau Solu dalam Bidang Pertanian di Desa Lau Solu Kecamatan Mardinding Kabupaten Karo”. Penelitian ini membahas tentang makna aron pada masyarakat Lau Solu dalam bidang pertanian, bagaimana aron dahulu dan aron saat ini, hal-hal apa saja yang berubahan dalam pelaksanaan aron tersebut pada rentang waktu tertentu, dan hal-hal pemicu perubahan tersebut.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kognitif dengan memfokuskan pada aspek pengetahuan, yang digunakan oleh Spradley dalam mengungkapkan pola pikir masyarakat, folk taxonomy’ ini digunakan untuk menjelaskan pola pikir masyarakat tentang aron dahulu dan aron saat ini. Aron yang dulunya bersifat tenaga (gegeh) dengan bekerja secara bergiliran baik itu di ladang maupun di sawah, dengan jumlah pserta aron sebanyak 6-12 orang dan mempunyai tanggung jawab dalam pelaksanaan aron. Aron saat ini (aron singemo) sudah bersifat uang, dengan jumah penduduk tidak menentu dan tidak terikat dalam menentukan kelompok aron (siate-ate). Untuk menjelaskan proses perubahan tersebut pendekatan ini dilakukan dengan pendekatan prosesual. Pendekatan prosesual tersebut digunakan untuk melihat hal-hal apa saja yang berubah dalam pelaksanaan aron pada rentang waktu tertentu.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif untuk memperoleh informasi tentang konsep aron menurut masyarakat Lau Solu Kecamatan Mardinding Kabupaten Karo, hal-hal apa saja yang berubah dan hal pemicu perubahan makna aron, peneliti melakukan wawancara mendalam dengan informan kunci seperti pengetua adat, kepala desa, dan beberapa warga yang mengetahui tentang aron. Observasi dilakukan untuk mengamati bagaimana cara kerja yang dilakukan oleh peserta aron.
DAFTAR ISI
Hal. HALAMAN PERSETUJUAN...
HALAMAN PENGESAHAN... PERNYATAAN ORIGINALITAS... ABSTRAK... UCAPAN TERIMA KASIH... RIWAYAT HIDUP... DAFTAR PENGANTAR... DAFTAR ISI... BAB I. PENDAHULUAN...
1.1 Latar Belakang... 1
1.2 Tinjauan Pustaka... 6
BAB II. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 2.1 Kabupaten Karo... 16
2.2 Desa Lau Solu... 17
2.3 Pola Pemukiman dan Tata Lahan... 20
2.4 Kelembagaan di Desa Lau Solu... 29
BAB III. ARON PADA MASYARAKAT DESA LAU SOLU 3.1 Aron... 35
3.1.1 Aron Perempuan... 36
3.1.2 Aron Laki-Laki... 37
3.2 Terbentuknya Kelompok Aron... 38
3.4 Aron Pendatang... 42
3.5 Aron Lokal... 43
3.6 Tahap-tahap Kegiatan Aron dalam Mengelola Sawah 3.6.1 Penyemaian Bibit... 46
3.6.2 Membajak... 47
3.6.3 Napsapi (Membersihkan Dinding Pematang Sawah) ... 49
3.6.4 Pemupukan... 52
3.6.5 Ngeroro (Menyiangi) ... 54
3.6.6 Penyemprotan “Pestisida” (Mompa Page)... 55
3.6.7 Muro (Menghalau Burung) ... 56
3.8.3.1 Etos kerja dan Nilai Budaya Petani Pemilik Lahan... 64
3.8.3.2 Etos Kerja dan Budaya Buruh Tani... 65
BAB IV. Konsep Aron dalam Aktivitas Pertanian Pada Masyarakat Lau Sou 4.1 Konsep Aron Menurut Warga Desa di Lau Solu... 66
4.2 Aron Dahulu dan Aron Saat ini (ngemo)... 69
4.2.1 Konsep Aron Si Ngemo Menurut Warga Desa Lau Solu... 71
4.2.2 Jenis- Jenis Aron siNgemo pada Masyarakat Lau Solu... 74
4.2.2.1 Ari-ari (gaji harian) ... 75
4.3 Kondisi dan factor apa saja yang berubah pada Pelaksanaan Aron di Rentang Waktu Tertentu... 79
4.3.3 Kondisi Awal tahun 1980- Awal Tahun 1990... 81
4.3.4 Kondisi Akhir Tahun 1990- Awal Tahun 1998... 82
4.3.5 Kondisi Pertengahan Tahun 1998- Akhir Tahun 2004... 83
4.3.6 Kondisi Awal Tahun 2005 - Tahun 2013... 84
4.4 Bebarapa Hal Pemicu Perubahan Konsep Aron pada Masyarakat Lau Solu 85 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan... 89
5.2 Saran... 91
Abstraksi
Jonatan Tarigan 2014, judul : Perubahan makna Aron pada Masyarakat Lau
Solu dalam Bidang Pertanian di Desa Lau SoluKec. Mardinding Kab. Karo
Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 88 halaman, 7 tabel, 1 matriks, 2 box, dan 9 gambar. 17 daftar pustaka ditambah 1 sumber lain dan 7 lampiran
Penelitian ini mengkaji tentang : “ Aron pada Masyarakat Karo (Konsep Aron pada Masyarakat Lau Solu dalam Bidang Pertanian di Desa Lau Solu Kecamatan Mardinding Kabupaten Karo”. Penelitian ini membahas tentang makna aron pada masyarakat Lau Solu dalam bidang pertanian, bagaimana aron dahulu dan aron saat ini, hal-hal apa saja yang berubahan dalam pelaksanaan aron tersebut pada rentang waktu tertentu, dan hal-hal pemicu perubahan tersebut.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kognitif dengan memfokuskan pada aspek pengetahuan, yang digunakan oleh Spradley dalam mengungkapkan pola pikir masyarakat, folk taxonomy’ ini digunakan untuk menjelaskan pola pikir masyarakat tentang aron dahulu dan aron saat ini. Aron yang dulunya bersifat tenaga (gegeh) dengan bekerja secara bergiliran baik itu di ladang maupun di sawah, dengan jumlah pserta aron sebanyak 6-12 orang dan mempunyai tanggung jawab dalam pelaksanaan aron. Aron saat ini (aron singemo) sudah bersifat uang, dengan jumah penduduk tidak menentu dan tidak terikat dalam menentukan kelompok aron (siate-ate). Untuk menjelaskan proses perubahan tersebut pendekatan ini dilakukan dengan pendekatan prosesual. Pendekatan prosesual tersebut digunakan untuk melihat hal-hal apa saja yang berubah dalam pelaksanaan aron pada rentang waktu tertentu.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif untuk memperoleh informasi tentang konsep aron menurut masyarakat Lau Solu Kecamatan Mardinding Kabupaten Karo, hal-hal apa saja yang berubah dan hal pemicu perubahan makna aron, peneliti melakukan wawancara mendalam dengan informan kunci seperti pengetua adat, kepala desa, dan beberapa warga yang mengetahui tentang aron. Observasi dilakukan untuk mengamati bagaimana cara kerja yang dilakukan oleh peserta aron.
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Heterogenitas bangsa Indonesia memang sudah tidak lagi menjadi hal baru dalam
perbincangan. Indonesia dengan kemajemukan budayanya menghasilkan perbedaan budaya
nasional yang dimiliki. Walaupun dengan perbedaan itu, nilai-nilai yang terkandung
didalam setiap kebudayaan tidak pernah luput.
Budaya khas yang dimiliki oleh setiap negara seperti halnya Indonesia yang akan
menjadi topik dalam review kali ini sangat identik dengan apa yang namanya identitas jati
diri. Identitas jati diri itu kemudian menjadi tolak ukur penilaian kepribadian bangsa
Indonesia. Kepribadian sebagai hasil buah dari nilai dan budaya khas yang dimiliki
Indonesia kemudian berpengaruh terhadap penentuan kebijakan-kebijakan yang strategis
demi mencapai tujuan bersama bangsa Indonesia.
Salah satu budaya khas Indonesia adalah gotong royong. Konsep gotong royong
yang dinilai tinggi oleh bangsa Indonesia erat kaitannya dengan kehidupan rakyat Indonesia
yang bermata pencaharian sebagai petani dalam masyarakat agraris. Aktivitas gotong
royong merupakan pengerahan tenaga untuk suatu proyek pembangunan yang bermanfaat
bagi masyarakat umum. Konsep gotong-royong telah menjadi kunci budaya kontemporer
Indonesia yang menggambarkan masyarakat didalamnya dan segala sesuatu kebijakan yang
diambil harus berdasarkan konsep gotong-royong tersebut (Bowen 1986, 545).
Menurut Aburrahman Wahid yang mengutarakan pendapatnya mengenai sesuatu
yang paling Indonesia, yaitu diantara semua nilai yang dianut warga negaranya. Sesuatu itu
berwujud pencarian tak berkesudahan akan sebuah perubahan sosial tanpa memutuskan
dijelaskan bahwa manusia-manusia Indonesia selalu bergerak dalam perubahan sosial
menurut perkembangan zaman. Pencarian itu seakan membuat bangsa ini lupa akan jati
dirinya, namun sebenarnya tanpa sadar mereka masih terikat dengan warisan sejarah masa
lalu. Menurut pendapat Abdurrahman Wahid lainnya, bahwa bangsa ini selalu mencari
suatu perubahan, tidak berarti bangsa tidak memiliki konsep mengenai nilai, budaya, dan
identitas nasional.
Abdurrahman Wahid juga memiliki pemikiran bahwa nilai budaya yang dimiliki
Indonesia adalah nilai budaya yang tidak berkesudahan. Pendapat ini jelas berbeda menurut
Mochtar Buchori, yang mengatakan bahwa nilai-nilai Indonesia itu ada (Buchori dan Lubis
1981, 38). Dalam dialognya Mochtar Buchori dan Moctar Lubis (1981), ia mengatakan
nilai-nilai Indonesia sedang dalam proses pembentukan, yakni yang diimplementasikan
dalam keaktifan dan kesadaran yang diperlukan bangsa Indonesia agar tidak terseret ke arah
yang tidak dikehendaki.
Proses pembentukan tersebut diartikan sebagai strategi menuju bentuk yang bisa
dinamakan Indonesia, dan dalam proses menuju pola kebudayaan yang terintegrasi tersebut,
bangsa Indonesia harus menggali kembali nilai-nilai yang benihnya ada dalam kebudayaan
etnis. Karena pada faktanya menurut Mochtar Lubis, dalam dua belas tahun terakhir ini,
erosi nilai-nilai etnis bangsa Indonesia semakin tampak. Erosi tersebut muncul dalam
bangsa Indonesia sebagai akibat masuknya modal asing, konsumerisme, maupun
industrialisasi dan terutama penerusan budaya bangsa Indonesia dirasakan telah terputus.
Ada budaya khas lainnya yang dimiliki oleh Indonesia, yaitu negara dan ideologi
agama yang mengakar di lapisan masyarakat yang saling tumpang tindih sehingga sulit
untuk dibedakan. Negara Indonesia adalah salah satu negara dengan sifat pemerintahan
mengatakan bahwasannya Indonesia merupakan contoh yang hebat dari adanya kesesuaian
Islam (ideologi agama) dengan demokrasi. Walaupun rakyat Indonesia mayoritas beragama
Islam, tetapi para founding fathers berdasarkan keputusan bulat dengan lahirnya Negara
Kesatuan Republik Indonesia bukan merupakan negara dengan pemerintahan yang bersifat
teokrasi.
Mereka menyetujui adanya nilai-nilai agama dan nilai-nilai patriotik, tetapi hal
tersebut dijadikan dasar pembentukan negara Indonesia. Selain itu pula, pada era reformasi
saat ini peluang berpartai politik semakin terbuka lebar, namun peran agama disini harus
hilang sebagai adanya sikap toleransi. Sekalipun agama memainkan peran penting dalam
nilai-nilai bermasyarakat tetapi arena politik harus sejalan dengan sebagai mana mestinya
politik (Wahid 2001, 28).
Nilai dan budaya khas Indonesia tersebut seharusnya menjadi pegangan bangsa
Indonesia dalam tantangan selanjutnya yang akan dihadapi bangsa Indonesia di masa
mendatang. Karena menurut pandapat Mochtar Lubis, jika bangsa ini tidak berhasil
mengukuhkan kemanusiaan dan membangun kembali kontinuitas kebudayaan bangsa,
maka bangsa ini hanya akan menjadi ‘kacung’ bangsa lain (Lubis, 1981, 42). Sehingga
yang paling utama yang dikembangkan oleh bangsa Indonesia yakni kekuatan bangsa
dalam mempertahankan kebudayaannya. Dengan begitu identitas bangsa Indonesia tidak
pernah pupus dan dapat diimplementasikan dalam penentuan kebiijakan strategis yang akan
diambil demi mencapai kepentingan bersama.
Gotong royong adalah merupakan salah satu sistem kegiatan yang dilakukan oleh
manusia, gotong royong ini diketahui sebagai tenaga tambahan dari luar kalangan keluarga
untuk mengisi kekurangan tenaga dalam masa-masa sibuk dalam lingkaran aktivitas
yang sudah tetap, beberapa orang lain sedesanya untuk membantunya. Semisalnya
mempersiapkan sawah untuk masa penanaman yang baru, memperbaiki saluran air dan
pematang sawah, mencangkul, membajak, menggaru dan sebagainya. (Koentjaranigrat) Gotong Royong merupakan suatu kegiatan sosial yang menjadi ciri khas bangsa
Indonesia dari jaman dahulu kala hingga saat ini. Rasa kebersamaan ini muncul karena
adanya sikap sosial tanpa pamrih dari masing-masing individu untuk meringankan beban
yang sedang dipikul. Hanya di Indonesia, kita bisa menemukan sikap gotong royong ini,
sebab di negara lain tidak ada ditemukan sikap seperti ini, dikarenakan di negara luar sikap
saling acuh tak acuh sangatlah dominan terhadap lingkungan di sekitarnya.
Ini merupakan sikap positif yang harus dilestarikan agar bangsa Indonesia menjadi
bangsa yang kokoh dan kuat di segala lini. Tidak hanya di pedesaan bisa kita jumpai sikap
gotong royong, melainkan di daerah perkotaan pun bisa kita jumpai dengan mudah. Karena
secara budaya, memang sudah ditanamkan sifat ini sejak kecil hingga dewasa. Ini
merupakan salah satu cermin yang membuat Indonesia bersatu dari Sabang hingga
Merauke, walaupun berbeda agama, suku dan warna kulit, tetapi kita tetap menjadi
kesatuan yang kokoh. Inilah adalah satu budaya bangsa yang menjadikan Indonesia dipuja
dan dipuji oleh bangsa lain, karena budayanya yang unik dan penuh toleransi antar sesama
manusia.
Pada masyarakat Karo, gotong royong dalam tradisi masyarakat dikenal dengan
istilah aron. Menurut Teridah Bangun, aron dipakai dalam suatu pola kerja sama, tolong
menolong pada masyarakat Karo, baik dalam menghadapi ancaman pihak lain atau dalam
mengerjakan sesuatu. Istilah aron berasal dari kata sisaron-saron (saling bantu) yang
diwujudkan dalam bentuk kerja orang-orang muda atau dewasa 6-9 orang (Bangun T, 1986
Aktivitas aron biasanya dimulai pada pagi hari, yaitu pukul 08.00 WIB- 17.00 WIB.
Di dalam pola kerjanya terdapat keteraturan antara sesama peserta aron dengan tujuan agar
tetap terjaga hubungan yang baik. Pola kerja dilakukan secara bergiliran (mena-tumbuk),
sesuai dengan kebutuhan di dalam mengerjakan sawah maupun ladang peserta aron.
Misalnya A akan menanam padi, maka anggota aron yang sebagian lagi wajib datang ke
ladang si A untuk mengerjakan sawahnya. Demikianlah seterusnya sampai selesai secara
bergilir setiap peserta aron, Misalnya dalam membuka lahan (ngerabi) tenaga laki-laki
yang lebih diutamakan perempuan cukup membersihkan kayu-kayu yang sudah ditebang.
Mena adalah sebutan untuk awal aktivitas aron dilakukan, tumbuk adalah sebutan dari akhir
aktivitas secara bergilir.
Makna aron pada zaman sekarang ini telah berubah, masyarakat perlahan-perlahan
meninggalkan kebudayaan gotong royong (aron), dikarenakan masyarakat lebih memilih
membayar (mengupahi) orang yang berkerja diladangnya atau lahannya. Pada saat ini aron
dikenal dengan orang/atau sebuah komunitas yang bekerja areal pertanian yang
mengharapkan upah atau balas jasa berupa uang dari si pemilik lahan.
Desa Lau Solu memiliki masyarakat mayoritas suku Karo yang memiliki mata
pencaharian rata-rata adalah sebagai petani. Masyarakat Desa Lau Solu umumnya memiliki
lahan pertanian milik sendiri dan dalam pengelolaan lahan pertanian tersebut masyarakat
menggunakan alat-alat pertanian tradisional dan beberapa masyarakat sudah menggunakan
alat-alat pertanian modern seperti traktor dan mesin pembabat. Bagi masyarakat yang
menggunakan alat pertanian tradisional memerlukan waktu yang relatif lama sehingga bagi
petani yang mengelola lahan pertanian menambah tenaga untuk membantu mengelola
Untuk menambah tenaga dalam mengelola lahan pertanian masyarakat Desa Lau
Solu mencari orang untuk dapat membantu dan masyarakat setempat menyebutnya sebagai
aron. Para pekerja aron merupakan masyarakat yang didatangkan dari luar desa Lau Solu
yaitu dari Kab. Aceh Tenggara. Aron yang didatangkan dari daerah lain si pemilik lahan
pertanian yang akan memakai tenaga aron sudah terlebih dahulu menyediakan tempat
tinggal mereka. Para pekerja aron tersebut membawa seluruh anggota keluargannya untuk
tinggal sementara di Desa Lau Solu.
Dengan melihat latar belakang seperti yang telah diuraikan diatas, maka penulis
mengungkapkan secara dekriptif tentang bagaimana perubahan konsep aron yang terjadi
pada masyarakat Karo khususnya dalam masyarakat Desa Lau Solu dan mengapa para
pekerja aron mayoritas adalah suku Alas yang berasal dari Aceh Tenggara.
1.2. Tinjauan Pustaka
Kebudayaan merupakan sistem pengetahuan yang diperoleh oleh manusia melalui
proses belajar yang mereka gunakan untuk menyusun strategi perilaku dalam menghadapi
dunia sekeliling mereka Spradley (1997), menjelaskan lebih lanjut bahwa kebudayaan
berada dalam pikiran manusia yang didapatkan dengan proses belajar dan menggunakan
budaya tersebut dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. Proses belajar tersebut
menghasilkan pengetahuan-pengetahuan yang berasal dari pengalaman-pengalaman
individu atau masyarakat yang pada akhirnya fenomena tersebut terorganisasi di dalam
pikiran (mind). Definisi tersebut ditulis ulang oleh Marzali dalam pengantar pada buku
Metode Etnografi oleh James P. S predley. Pada bagian pengantar ini Marzali menjelaskan
Spencer (dalam choesin, E.M, 2002: 1-9), menyatakan bahwa pengunaan
pengetahuan diibaratkan membaca resep atau naskah atau flow chart (arus). Dalam
memahami dinamika pengetahuan saat terjadi pertemuan antara yang lokal dan global,
untuk itu diperlukan modal yang dapat menjawab sejumlah pertanyaan, misalnya: dari
mana dan bagaimana pengetahuan tersebut dipakai untuk mewujudkan tindakan, mengapa
bentuk-bentuk pengetahuan tertentu bertahan terus dalam diri individu atau kelompok,
sedangkan bentuk-bentuk lainnya ditinggalkan ?
Dalam penelitian ini juga melihat bagaimana pengetahuan (konsep) masyarakat
Suku Karo tentang aktivitas aron. Dimana banyak terjadi dinamika yang terkait dengan
perubahan konsep aron dalam rentang waktu tahun 1980 hingga pada saat ini. Frans Boas
juga mengatakan “jika tujuan kita sungguh-sungguh untuk memahami pikiran suatu masyarakat maka seluruh analisa pengalaman harus didasarkan pada konsep-konsep mereka, bukan konsep kita” (Frans Boas 1943 dalam Spradley).
Strauss dan Quinn (dalam Choesin, E. M, 2002:1-9), juga menjelaskan bahwa
sebagian besar pengetahuan yang dimiliki individu diperoleh melalui proses belajar yang
bersifat informal, atau melalui pengamatan (penerimaan rangsang) sehari-hari, dan bukan
dari instruksi formal. Selain mengetahui konsepsi masyarakat tentang aron, penulis juga
merasa perlu memperhatikan bagaimana rangsangan-rangsangan dari luar masyarakat itu
sendiri, misalnya kemajuan tegnologi dan informasi, tuntutan ekonomi, peraturan
pemerintah dan lainnya. Kemudian mempengaruhi aktivitas masyarakat dalam pengolahan
lahan baik itu disawah maupun di ladang.
Seperti yang dijelaskan Strauss dan Quinn (dalam Choesin E. M, 2002:1-9),
meskipun masuknya rangsangan-rangsangan seperti yang disebut diatas tidak serta merta
menghasilkan pemahaman yang baru. Salah satu bentuk tingkah laku manusia yang
universal ialah kerja sama. Menurut Soekanto (1983:66), kerja sama timbul dari adanya
orientasi masing-masing individu terhadap kelompok sebagai “in groubnya” dan kelompok lain sebagai “out groubnya”.
Sejalan dengan pernyataan ini, dapat dikatakan bahwa pada setiap masyarakat
dimana kerja sama berlangsung terdapat kelompok-kelompok sosial yang bersifat khusus.
Dimana para anggotanya saling berinteraksi menurut norma yang dianut. Seperti kita
ketahui bahwa penduduk Indonesia mayoritas tinggal di pedesaan dan pada umumnya
hidup dari pertanian (Koentjaraningrat, 1984:1), dalam kehidupan sehari-harinya
masyarakat di pedesaan tidak terlepas dari aktivitas kerja sama dengan anggota masyarakat
lainnya dari kelompok tersebut. Hal ini didasari dengan adanya kebutuhan masing-masing
anggota yang sama.
Aron adalah merupakan pengerahan tenaga kerja dari sekelompok orang yang
secara bersama-sama mengolah lahan pertanian dari masing-masing anggota kelompok
tersebut. Dilihat dari segi positifnya, dalam aktivitas aron terkandung unsur saling
pengertian, saling penghargaan, kesadaran akan tujuan bersama, kemauan bersama-sama
dengan individu atau kelompok lain untuk mencapai tujuan bersama. Prinsip timbal-balik
sebagai penggerak masyarakat dalam masyarakat komunitas kecil diseluruh dunia, saling
tolong menolong tampak sangat menonjol.
Menurut B.Malinowski (dalam Koentjaraningrat, 1997:151), dalam masyarakat
penduduk kepulaan Treobiand, sistem saling tukar menukar jasa tenaga dan benda dalam
berbagai bidang produksi dan ekonomi dan dalam penyelenggaraan upacara-upacara
keagamaan, maupun pertukaran harta mas kawin menjadi pengikat dan penggerak dalam
kehidupan masyarakat kecil yang disebut principle of reciprocity atau prinsif timbal-balik.
Menurut Marcell Mauss, sistem tukar menukar merupakan suatu sistem yang menyeluruh
(total sistem), dimana setiap unsur kedudukan atau harta milik terlibat di dalamnya dan
berlaku bagi setiap anggota masyarakat yang bersangkutan.
Dalam sistem tukar menukar setiap pemberian harus dikembalikan. Dapat diartikan
dalam suatu cara khusus yang menghasilkan suatu lingkaran kegiatan yang tidak ada
habis-habisnya dari generasi ke generasi berikutnya. Nilai dari pengembalian barang yang telah
diterima harus dapat mengimbangi nilai barang yang telah diterima, bersamaan dengan
pemberian tersebut adalah nilai kehormatan dari kelompok yang bersangkutan (Mauss,
1992:xix).
Hal yang sama pada masyarakat Sugihen prinsif timbal- balik dapat diamati dalam
aktivitas aron adanya saling tukar menukar tenaga yang dilakukan secara berigiliran untuk
setiap peserta aron tersebut sesuai dengan kesempatan yang ditentukan. Sebagaimana
diketahui bahwa kebudayaan selain bersifat stabil juga bersifat dinamis oleh karena itu
setiap kebudayaan pasti akan mengalami perubahan atau perkembangan. Perubahan itu bisa
saja berasal dari masyarakat dan perubaahan semata-mata bukanlah berarti suatu kemajuan
saja namun dapat juga berarti suatu kemunduran bagi suatu masyarakat pendukung
kebudayaan tersebut dimana perubahan itu menyangkut bidang-bidang kehidupan tertentu.
Perubahan sosial adalah perubahan dalam struktur sosial dan dalam pola-pola
hubungan sosial yang antara lain mencakup sistem status, hubungan-hubungan dalam
keluarga, sistem-sistem politik dan kekuatan serta persebaran penduduk (Suparlan,
1981:01). Perubahan kebudayaan adalah merupakan perubahan yang terjadi dalam sistem
ide yang dimiliki bersama oleh para warga atau sejumlah warga masyarakat yang
pegangan dalam kehidupan warga masyarakat, nilai-nilai teknologi, selera dan rasa
keindahan atau kesenian dan bahasa.
Perubahan sosial dan perubahan kebudayaan tidak dapat dipisahkan karena
pembahasan-pembahasan mengenai perubahan sosial tidak akan dapat mencapai pengertian
yang benar tanpa mengaitkannya dengan perubahan kebudayaan yang terwujud dalam
masyarkat yang bersangkutan. Untuk menjelaskan proses perubahan yang terjadi dalam
aktivitas aron, peneliti akan menggunakan pendekatan prosesual. Winarto (1999),
menyebutkan bahwa aspek yang perlu diperhatikan dalam proses ini adalah aspek
historisnya.
Winarto(1999) mencoba mengikuti rangkaian peristiwa yang terwujud dari
aktivitas-aktivitas warga sehari-hari. Untuk membantu seorang antroplog dalam meneliti,
Moore (dalam Winarto 1999) menyarankan fokus kajian antropolog adalah
peristiwa-peristiwa atau evans yang melibatkan aktivitas atau tindakan manusia. Rangkaian hubungan
antar peristiwa-peristiwa inilah yang membentuk proses. Hal ini jugalah dilakukan oleh
peneliti untuk melihat dan mengetahui bagaimana proses perubahan aron di Desa Sugihen
dengan mencoba mengkaji sejarah terbentuknya aron di Sugihen melalui aktivitas-aktivitas
atau event yang mereka lakukan dalam kurun waktu 1980 hingga pada tahun 2009.
Berdasarkan hasil observasi sementara, bahwa ada bentuk-bentuk yang berubah
dalam aktivitas aron tersebut. Untuk mengetahui semua itu, peneliti harus bisa mengerti
bahasa setempat (native speaker). Sehingga penulis dapat berkomunikasi dengan baik
dengan para informan untuk ‘mengorek’ isi kepala mereka tentang permasalahan yang
diteliti.
Hal ini seperti yang dilakukan oleh W.H Goodenoug (1997), dimana dalam aktivitas
Sama halnya untuk mengetahui isi pemikiran masyarakat Sugihen mengenai konsep aron.
Maka untuk itu, penulis perlu berkomunikasi dengan masyarakat Lau Solu dengan
memahami bahasa setempat. Melalui pengamatan yang terfokus pada rangkaian peristiwa
dalam rentang waktu dengan perhatian pada hubungan yang satu terkait antara satu
peristiwa dengan peristiwa yang lainnya.
1.3. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka rumusan masalah
penelitian ini adalah menguraikan tentang kehidupan aron di Desa Lau Solu. Maka ruang
lingkup masalah yang akan diteliti difokuskan pada :
1. Bagaimana Pergeseran Nilai Aron pada masyarakat Desa Lau Solu ?
2. Apa motivasi masyarakat Suku Alas ( Pendatang ) sebagai aron di Desa Lau Solu ?
3. Bagaimana terbentuknya sebuah komunitas aron di Desa Lau Solu ?
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian A.Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan pergeseran
makna serta mengetahui pergeseran Aron pada masyarakat Desa Lau Solu dan Bagaimana terbentuknya sebuah komunitas aron di Desa Lau Solu serta Apa motivasi
masyarakat Suku Gayo (Pendatang) sebagai Aron di Desa Lau Solu.
Manfaat penelitian ini dapat dilihat secara akademis dan praktis. Secara akademis,
manfaatnya menambah pemahaman mengenai makna Aron pada masyarakat Karo di Desa
Lau Solu. Secara praktis manfaatnya adalah memberikan sumbangan pemikiran dan
masukan-masukan kepada masyarakat luas dalam bagaimana sebuah realita sosial dalam
perkembangan dan perubahan sebuah tradisi.
1.5 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metodologi
penelitian kualitatif. Metode ini digunakan dengan tujuan menghasilkan tulisan etnografis
yang bersifat deskriptif mengenai pergeseran makna aron tersebut. Creswell dalam
Kuswarno, 2008:34 menjabarkan elemen – elemen inti dari penelitian etnografi yaitu:
1. Penggunaan penjelasan yang detail.
2. Gaya laporan bersifat cerita (storry telling).
3. Menggali tema – tema kultural, seperti tema – tema tentang peran dan perilaku
masyarakat.
4. Menjelaskan kehidupan keseharian orang – orang (everyday life of person)
bukan peristiwa khusus yang menjadi pusat perhatian.
5. Laporan keseluruhan perpaduan antara deskriptif, analitis dan interpretatif.
6. Hasil penelitian memfokuskan bukan pada apa yang menjadi agen perubahan
tetapi pada pelopor untuk berubah yang bersifat terpaksa.
Penelitian etnografi memfokuskan pada penelitian lapangan (filed works), yaitu
dengan memilih lokasi penelitian tertentu sebagai tempat untuk melakukan pengumpulan
data sesuai dengan masalah penelitian yang telah ditetapkan. Spradley (1997: 3)
bertujuan untuk memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli.
Sebagaimana juga yang dikatakan Malinowski, tujuan etnografi adalah memahami sudut
pandang penduduk asli, hubungannya dengan kehidupan, untuk mendapatkan pandangan
mengenai dunianya (1922: 25). Oleh karena itu, penelitian etnografi melibatkan aktivitas
belajar mengenai dunia orang yang telah belajar melihat, mendengar, berfikir, dan
bertindak dengan cara yang berbeda. Tidak hanya mempelajari masyarakat, lebih dari itu
etnografi berarti belajar dari masyarakat. Spradley (1997: xvi) menjelaskan ciri – ciri khas
dari metode penelitian lapangan etnografi ini adalah sifatnya yang holistic-integratif (saling
berkaitan dan menyatu), thick description (deskripsi yang mendalam dan analisis kualitatif
dalam rangka mendapatkan native’ s point of view (sudut pandang masyarakat yang
diteliti).
Prosedur penelitian kualitatif lebih bersifat sirkuler, artinya dalam hal – hal tertentu
langkah atau tahapan penelitian dapat diulang satu atau beberapa kali sampai diperoleh data
yang lengkap untuk membangun teori dasar (grounded theory). Dalam konteks ini, peneliti
dimungkinkan untuk beberapa kali turun kelapangan (Berutu, dkk. 2001:46). Dalam
penelitian ini ada dua jenis data yang digunakan, yaitu data primer dan data sekunder.
Adapun data primer diperoleh dari lapangan melalui observasi dan wawancara, sedangkan
data sekunder merupakan data yang diperoleh dari Pemerintah Kabupaten Karo serta
beberapa data dari internet, jurnal sebagainya yang berhubungan dengan penelitian ini.
Dengan metode penelitian etnografi ini saya akan memaparkan makna dan bagaimana
terbentuknya aron sesuai dengan pokok permasalahan yang saya teliti. Dengan metode
etnografi saya akan berinteraksi langsung dengan masyarakat yang diteliti untuk
mendapatkan data – data yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Adapun teknik
diteliti Untuk mendapatkan data secara mendalam tentang permasalahan yang akan saya
kaji dalam penelitin ini maka saya akan tinggal bersama masyarakat yang akan saya teliti.
Dengan begitu, saya bisa lebih mendekatkan diri terhadap masyarakat yang akan saya teliti.
Dengan adanya interaksi antara saya dengan informan maka akan lebih memudahkan saya
untuk memperoleh data yang saya butuhkan.
1. Wawancara Mendalam (interview guide)
Wawancara akan saya lakukan dengan para informan di tempat penelitian saya. Adapun
wawancara yang akan saya lakukan adalah wawancara mendalam untuk menggali data
yang lebih banyak mengenai permasalahan dalam penelitian ini. Saya juga akan
menggunakan pedoman wawancara (intervie guide) untuk memudahkan saya melakukan
Tanya jawab dengan informan.
2. Pengamatan (observasi)
Saya juga akan melakukan observasi yang bersifat pasrtisipasi (terlibat) langsung
dengan tempat dimana saya akan melakukan penelitian. Dimana saya akan mengamati
perilaku setiap informan dengan cara lansung melibatkan diri dalam kegiatan tertentu yang
terjadi di lokasi penelitian. Dengan begitu saya akan jauh lebih banyak mengetahui hal –
hal yang tidak perlu saya tanyakan kepada informan, karena saya telah mengamati perilaku
informan secara langsung.
3. Penggunaan Kamera
Pada saat melakukan pengumpulan data penelitian akan menggunakan kamera sebagai
alat untuk mendokumentasikan perilaku informan maupun hal – hal yang bersifat fisik atau
untuk mengingat peristiwa atau kejadian penting yang terjadi selama saya melakukan
penelitian. Dokumentasi yang dihasilkan akan membantu memaparkan suatu peristiwa
maupun hal – hal penting baik itu bersifat fisik atau non fisik untuk dijadikan sebagai data
tambahan dalam penelitian ini.
6.Informan Penelitian
Informan penelitian terdiri dari informan kunci dan informan biasa. Informan kunci
adalah: Orang – orang yang paham dan mengerti benar mengenai masalah yang akan
diteliti dan terlibat langsung dalam masalah. Seperti pemilik atau penanggung jawab lokasi.
Sedangkan informan biasa adalah: Orang – orang yang dapat memberikan informasi
BAB II
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
2.1. Kabupaten Karo
Kabupaten Karo merupakan salah satu Kabupaten yang terdapat di Provinsi
Sumatera Utara, yang terletak pada jajaran Dataran Tinggi Bukit Barisan dan sebelah barat
daya berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia serta merupakan daerah hulu sungai.
Secara geografis Kabupaten Karo terletak pada koordinat 2050’ – 3019’ Lintang Utara dan
97055’ - 98038’ Bujur Timur.
· Sebelah Utara : Kabupaten Langkat dan Kabupaten Deli Serdang
· Sebelah Selatan : Kabupaten Dairi dan Kabupaten Samosir
· Sebelah Barat : Provinsi Nangroe Aceh Darusalam
· Sebelah Timur : Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Simalungun
Kabupaten Karo mempunyai wilayah seluas 2.127,25 Km2 atau 2,97% dari
luas Provinsi Sumatera Utara. Terdiri dari 17 kecamatan dan 262 desa. Wilayah yang
terluas adalah Kecamatan Mardingding yakni 267,11 Km2 (12,56% dari luas kabupaten),
dan kecamatan dengan luas terkecil adalah Kecamatan Berastagi seluas 30,5 Km2 (1,43%
dari luas kabupaten).
2.2. Desa Lau solu
Desa Lau Solu adalah salah satu Desa yang berada di Kecamatan Mardinding. Jarak
Lau Solu dari Ibu Kota Kabupaten sejauh 90 Km. Adapun batas-batas wilayah Desa Lau
Solu sebagai berikut:
Sebelah Utara : Desa Lau Mulgap Kec.Mardinding
Sebelah Selatan : Desa Buluh Pancur Kec.Lau Baleng
Sebelah Barat : Hutan deleng cengkeh
Sebelah Timur : Desa Batu Nongkam
Untuk sampai keDesa Lau Solu dapat menggunakan roda 4 (Empat) dan Roda 2
(Dua). Angkutan yang digunakan di Desa Lau Solu adalah Angkutan umum seperti : BTN,
Dalinta ras, Pinem, dll dan Kendaraan pribadi yakni roda 2 dan roda 4.
Menurut cerita sebagian warga pemukiman di daerah ini, desa ini berdiri pada
Tahun 1940-an pertama kali mendirikan rumah disini adalah Suku Karo. Masyarakat yang
tinggal di Desa ini pada umumnya bekerja sebagai petani. Seiring maraknya perkembangan
zaman banyak orang-orang mulai membangun rumah sebagai tempat tinggal dimana yang
tinggal disana bukan lagi hanya Suku Karo akan tetapi sudah bercampur dengan suku lain,
yang diakibatkan oleh perkawinan antara dua suku dan adanya pendatang dari luar desa dan
menetap didesa Lau Solu. Dengan bertambahnya jumlah penduduk maka daerah
pemukiman semakin banyak.Seiring berjalannya waktu dan akibat perkembangan zaman
banyak dari warga ataupun pemuda dari Desa lau solu yang merantau dan mengejar
pendidikan diluar desa Lau solu sehingga kurangnya tenaga kerja pertanian didesa tersebut.
Disebabkan karena kurangnya tenaga kerja dilahan pertanian penduduk desa Lau Solu
2.3. Pola Pemukiman dan Tata Lahan.
Desa Lau Solu merupakan Desa yang terdapat di dataran rendah yang rata-rata
mencapai 282 dpl (Di atas Permukaan Laut) yang terdapat di Kec. Mardinding, Kab.Karo.
Jarak antara kantor camat di Mardinding dengan Desa Lau Solu adalah ± 6 km dengan
waktu tempuh sekitar 15 menit dengan kendaraan bermotor dan satu jam dengan jalan
kaki. Jarak antara Ibu kota Kabupaten Karo adalah 90 km dan dapat ditempuh dengan roda
empat dan roda dua selama 3 jam.
Jika dari Ibu Kota Kabupaten yaitu Kaban Jahe, kita banyak melewati Desa dan
Kecamatan yang kita lewati untuk sampai di Desa Lau Solu. Sebelum menemukan Desa
Lau Solu, beberapa Desa kita lewati yaitu Desa Tanjung Gungung, Desa Bulu Pancur dan
Desa rambah Tampu. Perjalanan selanjutnya akan melewati jembatan dan langsung akan
menjumpai pemukiman Desa Lau Solu.
Beberapa rumah pertama yang dijumpai terlihat semipermanen, sebagian lagi
permanen dengan lantai semen, dinding setengah batu, setengah papan dan dicat berwarna
terang, dan beratap seng yang sudah berwarna kecoklatan. Secara umum kondisi-kondisi
rumah cenderung semi permanen. Perumahan penduduk di Desa Lau Solu umumnya saling
berdekatan, sehingga masing-masing rumah saling berdekatan. Pada umumnya memiliki
jendela samping atau belakang. Rumah di Desa Lau Solu ini dapat dibagi kedalam tiga
bagian yaitu: rumah permanen, semi permanen, non permanen. Tiga bagian rumah
penduduk akan dijelaskan di bawah ini :
1. Rumah Permanen
Rumah permanen umumnya diDesa Lau Solu ini masih bisa dihitung, sebab yang
punya dan menempati rumah permanen ini juga adalah orang-orang yang sudah lama
ekonomi dan mempunyai penghasilan yang baik. Rumah jenis ini sudah ada yang
mempunyai kamar mandi sendiri tetapi ada juga yang tidak mempunyai kamar mandi
sendiri dan harus kepemandian umum. Lantai rumah sudah ada terbuat dari keramik juga
ada yang dari semen tidak lagi dari tanah yang dikeringkan, sedangkan jendela sudah dari
kaca nako dan jeruji besi.
2. Rumah semi permanen
Rumah semi permanen umumnya berukuran 3 x 4 meter, dan 5 x 4. Rumah ini
jenisnya berbentuk setengah batu, berdindingkan papan dan berlantaikan semen dan atap
rumah terbuat dari seng dan rumah sudah ada yang di cat maupun belum dicat dimana ada
rumah yang sudah memiliki lantai keramik maupun menggunakan semen biasa sebagai
lantai rumah mereka. Di ruangan ini semuanya terletak, baik yang tidak memiliki ruang
kamar maupun yang memiliki ruang kamar yang seadanya. Rumah ini dimanfaatkan juga
sebagai tempat berusaha seperti kedai kopi, rumah makan, warung dan lin-lain baik jualan
nasi maupun jualan jajanan, rokok, keperluan untuk mandi dan mencuci. Ada juga yang
menjadikan pekarangan rumahnya di jadikan tempat untuk meletakkan hasil pertanian yang
baru dipanen maupun di jual.
3. Rumah non Permanen
Sebagian tempat tinggal di Desa Lau Solu ini adalah non pemanen. Rumah yang
dimaksud disini adalah rumah yang memiliki tata ruang dan bentuknya sangat
memprihatinkan sebab mereka tinggal dirumah yang tidak layak untuk dihuni karena
rumahnya sudah hampir tumbang dan udara kurang masuk kedalam rumah.
Rata-rata ukuran tiap rumah non permanen ini terdiri dari 6 x 8 meter persegi
dimana sebagian bangunan rumah itu terbuat dari papan yang diolah sendiri berbahan baku
segalanya dimanfaatkan baik itu dari ruang tamu, ruang kamar maupun ruang keluarga juga
ruang dapur. Di ruangan inilah mereka meletakkan seluruh barang yang dimilikinya baik
dari barang elektronik seperti TV, VCD, Tape Recorder, hasil pertanian dan peralatan
dapur mereka.
2.4. Demografi Penduduk Desa Lau Solu
Penduduk di Desa lau Solu ini sangat tidak padat sebab masih kita temui keadaan
rumah dimana jarak antara rumah terlihat masih dibatasi dengan pekarangan (halaman)
yang luas dengan tanaman yang masih dapat ditanam di sekitar halaman. Kondisi bangunan
di Desa Lau Solu adalah rata-rata semi permananen. Tiap-tiap rumah rata-rata dihuni 5
orang dengan ukuran 6 x 8 meter.
Penduduk yang tinggal di Desa Lau Solu terdiri dari warga pribumi. Tidak ada
warga negara asing atau keturunan asing yang tinggal di Desa ini. Warga pribumi yang
tinggal di Desa ini adalah seluruhnya Warga Negara Indonesia pribumi. Masyarakat yang
tinggal di Desa lau Solu mayoritas adalah suku Karo sebagian pendatang dari Suku Alas
dan berdomisili dan menetap di Desa Lau Solu .
Mayoritas Agama masyarakat Desa Lau Solu adalah beragama kristen yakni sebesar
60,2%. Terbesar kedua adalah Islam sebesar ,38,5% dan diikuti Kristen Katolik sebesar
1,5%. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel berikut:
Tabel 2.1. Distribusi Penduduk Berdasarkan Agama di Desa Lau Solu Kecamatan Mardinding Tahun 2012.
No Agama Jumlah (orang) %
2 Islam 640 38,5
3 Kristen Katolik 20 1,3
4 Buddha - -
5 Hindu - -
6 Sikh - -
Jumlah 1660 100
Sumber: Kantor Kepala Desa Tahun 2012
Pada umumnya, penduduk Desa Lau Solu berpendidikan tamatan SLTP. Terbanyak
kedua tamatan SMA dan hanya sedikit yang mempunyai tamatan perguruan tinggi atau
sarjana. Hal ini dapat dilihat pada Tabel berikut.
Tabel 2.2. Distribusi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Desa Lau Solu Kec.Mardinding Tahun 2012.
No Tingkat Pendidikan Jiwa %
1 Belum Sekolah 259 21
2 Tidak Tamat SD 252 20,3
3 Tamat SD/ Sederajat 126 10
4 Tamat SLTP/ Sederajat 575 25
5 Tamat SLTA/ Sederajat 415 23
6 Tamat Akademi -
7 Perguruan Tinggi/ Sarjana 12 0,7
Jumlah 1660 100
Pendidikan merupakan salah satu faktor penting terhadap setiap manusia, sehingga
setiap orang atau keluarga selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan pendidikan. Jika
dilihat Tabel I.5. diatas, komposisi penduduk di Desa Lau Solu berdasarkan Status
pendidikan dihitung dari usia produktif masuk sekolah, mulai yang tidak pernah sekolah
sampai menyelesaikan tamat SLTA sebagai berikut; tidak sekolah sebanyak 259 jiwa,
sebesar 21 persen. Dan jumlah penduduk yang pernah sekolah sampai tamat SLTA adalah
415 jiwa, dan jumlah totalnya adalah sebesar 23 persen dari jumlah total penduduk.
Keterbatasan ekonomi keluarga merupakan salah satu penyebab mereka tidak melanjutkan
pendidikan kejenjang yang lebih tinggi, namun pada saat ini tingkat pendidikan di Desa
Lau Solu sudah lebih maju dari tahun-tahun sebelumnya.
Kemajuan tingkat pendidikan di Desa Lau Solu dapat dilihat dari ke ikutsertaan
semua anak berusia sekolah dasar yang ada di Desa Lau Solu mengikuti jenjang pendidikan
Sekolah Dasar (SD). Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan ini dapat dilihat
bahwa tidak ada lagi penduduk yang tidak bersekolah, atau putus sekolah. Sedangkan untuk
jumlah penduduk yang sudah tamat akademi atau Strata 1 adalah sebanyak 12 jiwa atau
sebesar 0,7 persen. Semua penduduk yang sudah tamat pendidikan D3 dan S1 rata-rata
sudah tidak tinggal lagi di Desa (merantau).
Jenis pekerjaan yang paling dominan penduduk Desa Lau Solu adalah mayoritas
petani yakni sebesar 70%. Sedangkan jenis pekerjaan paling sedikit adalah supir
sedangkan pensiunan PNS sebanyak 0,6%. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 2.1 di bawah
Tabel 2.3. Distibusi Penduduk Berdasarkan Jenis Pekerjaan diDesa Lau Solu Tahun 2012.
No Jenis Pekerjaan Jumlah %
1 Petani 1000 51
2 Wiraswasta 100 16
3 Pegawai Swasta 200 20
4 Pensiunan PNS 20 0,4
5 PNS 226 21
6 Supir 33 0,6
Jumlah 1660 100
Sumber: Laporan Kependudukan kantor kepala Desa Lau solu Tahun 2012
Dari Tabel di atas menunjukan bahwa matapencaharian sebagai petani yang paling
dominan yaitu sebanyak 1000 jika dipersentasekan sebanyak 51%, Wiraswasta sebanyak
100 atau 16 %, sebagai PNS (Pegawai Negri Sipil) sebanyak 226 atau 21 %, supir sebanyak
33 jiwa atau 0,6 %, dan penduduk yang pensiunan PNS sebanyak 20 jiwa atau 0,4 %.
Selain mata pencaharian yang beraneka ragam yang didominasi petani ada juga yang
berwiraswata seperti Tukang Pangkas, Tukang Jahit, Salon Kecantikan, pedagang dan
lain-lain Desa Lau Solu. Dari 51 % masyakat bekerja sebagai petani rata-rata sudah memiliki
tanah pertanian milik sendiri hanya sebagian kecil yang menyewa. Hasil produksi pertanian
yang paling dominan adalah tanaman padi sawah dan jagung dengan rata-rata hasil
pertanian padi sawah dan jagung dari Kec. Mardinding pertahun adalah 200 Ton. Untuk
Selain padi dan jagung tanaman yang diunggulkan atau tanaman yang banyak
ditanam masyarakat adalah tanaman Kakao atau yang sering disebut cokelat. Cokelat ada
saat ini rata-rata dijual perkilonya Rp. 5.000,- harga tersebut cukup murah jika
dibandingkan dari bulan 12 Tahun 2012 harga cokelat mencapai Rp. 15.000.
Selain dari tanaman padi dan tanaman Kakao ada juga yang menanam tanaman
palawija atau tanaman muda seperti cabe, jahe, dan sayur mayur. Biasanya masyarakat
Desa Lau Solu menjual langsung ke pasar atau terkadang ada juga toke atau pengumpul
yang datang langsung ke Desa Lau Solu. Selain tanaman muda ada juga tanaman tua seperti
sawit, cokelat, dan lain-lain. Selain berkerja di pertanian penduduk setempat mempunyai
mata pencaharian sampingan yaitu memelihara ternak. Ternak yang dipelihara masyarakat
adalah domba, sapi, kerbau, ayam petelur, dan Ayam kapung. Dalam Tabel 2.5 dapat kita
lihat jumlah dan jenis ternak yang diternakkan Desa Lau solu.
Tabel 2.4. Jumlah dan Jenis Ternak Desa Lau Solu. No Desa Sapi Kerbau Kambing/
Domba
Ayam
Petelur
Ayam
Kampung Itik
1 Lau Solu 35 - 58 290 400 180
2.3.2. Sarana Umum di Desa Lau Solu a. Sarana Pemerintahan
Sarana dan prasarana yang ada di Desa Lau Solu adalah: Sarana Pemerintahan yang
terdapat di Desa Lau Solu adalah Kantor Kepala desa dan Balai desa. Kantor kepala desa
digunakan untuk melayani masyarakat yang mengurus surat-surat atau izin-izin tertentu dan
lainnya. Sedangkan balai desa dipakai masyarakat Desa Lau Solu untuk berkumpul atau
dipakai untuk berpesta atau acara-acara lainnya.
b. Sarana Kesehatan
Sarana Kesehatan yang ada di Desa lau Solu hanya satu yaitu Balai pengobatan atau
poliklinik, sedangkan untuk membeli resep obat dari dokter masyarakat dapat membeli di
Apotek yang terletak di ibu kota kecamatan Mardinding. Klinik atau Balai Pengobatan
tidak memiliki fasilitas pengobatan yang lengkap. Pasien yang berobat ke klinik yang KEPALA DESA
SEKRETARIS
DESA
TENAGA TEHNIS
K.PEMERINTAHAN K.EKONOMI KESEJAHTERAAN
tersedia hanya pasien yang menderita penyakit biasa seperti demam, batuk dan lain-lain,
sehingga masyarakat yang menderita penyakit yang cukup serius maka masyarakat terpaksa
harus berobat ke rumah Sakit yang memiliki peralatan yang lengkap serta tenaga medis
yang lengkap. Mereka harus dibawa ke RSU Efarina etaham, yang jaraknya sekitar
Sembilan puluh kilometer dari Desa. Untuk lebih jelas mengenai fasilitas kesehatan
tersebut dapat dilihat pada Tabel berikut.
Tabel 2.5. Distribusi Fasilitas Kesehatan Berdasarkan Jenis Fasilitas Kesehatan dan Jumlah Unit di Desa Lau Solu Kec.Mardinding Tahun 2012.
No Jenis Fasilitas Kesehatan Jumlah Unit
1 Rumah sakit Umum -
2 Puskesmas -
3 Puskesmas Pembantu -
4 Poliklinik 1
5 Apotek -
6 Posyandu -
7 Praktek Dokter -
Jumlah 1
Sumber: Perangkat Desa Lau Solu
Sebagian besar penduduk Desa Lau Solu berobat ke poliklinik Desa yang terdapat
di pinggir jalan, di poliklinik Desa terdapat seorang dokter dan dua orang perawat. Jika
warga yang sakit tidak dapat ditangani di poliklinik Kelurahan maka akan ke RSU Efarina
c. Sarana Ibadah
Sarana Ibadah yang ada di Desa Lau Solu yaitu Gereja dan Mesjid. Gereja
digunakan umat kristiani digunakan sebagai tempat beribah dan pemberkatan sedangkan,
Mesjid yang ada digunakan buat umat muslim untuk melakukan shalat lima waktu.
Sedangkan Mushola yang ada digunakan untuk melakukan pengajian
Tabel 2.6. Fasilitas Tempat Ibadah Berdasarkan Tempat Ibadah dan Jumlah Unit di Desa Lau Solu Kec.Mardinding Tahun 2012.
No Tempat Ibadah Jumlah Unit
1 Masjid 1
2 Mushola 1
3 Gereja Kristen Protestan 4
4 Gereja Kristen Katolik -
5 Wihara -
6 Pura -
Jumlah 6
Sumber: Kantor Kepala desa Lau Solu 2012.
d. Sarana Umum
Sarana MCK (mandi, Cuci, Kakus) yang ada adalah berupa kamar mandi umum
milik warga. Kamar mandi ini terdapat di pinggir Desa, dan jika ingin menggunakan
fasilitas ini tidak dipungut bayaran ataupun gratis. Akan tetapi sewaktu kita menggunakan
MCK maka harus bersikap menahan rasa malu karena kita bergabung dengan masyarakat
Pada umumnya penduduk setempat telah bergama karena baggi mereka agama itu
penting sebagai patokan untuk menjalankan kehidupannya. Tempat Ibadah merupakan
salah satu fasilitas umum yang ada di Desa Lau Solu. Tempat Ibadah yang lebih banyak
dijumpai di Desa Lau Solu adalah gereja sebagai tempat ibadah untuk yang beragama
Kristen yakni ada 4 (Empat) buah. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2.8 di atas.
e. Sarana pendidikan
Fasilitas pendidikan yang ada di Desa Lau Solu. Terdiri dari SD, SLTP, dan SMA.
Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 2.9 sebagai berikut:
Tabel 2.7. Fasilitas Pendidikan Berdasarkan Jenis Fasilitas Pendidikan dan Jumlah Unit Di Desa Lau Solu Kec.Mardinding Tahun 2012.
No Jenis Fasilitas Pendidikan Jumlah Unit
1 SMA -
2 SLTP 1
3 SD 1
4 TK -
Jumlah 2
Sumber: Kantor Kepala Desa Lau Solu 2012.
2.5. Kelembagaan di Desa Lau Solu
Kelembagaan atau organisasi yang ada di Desa Lau Solu bermacam-macam, ada
yang berupa lembaga Agama, lembaga Sosial, Lembaga adat, dan Lembaga Pemerintahan.
1.Kepala Desa
Kepala Desa mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan,
pembangunan dan kemasyarakatan. Akan tetapi lembaga atau perangkat – perangkat yang
berada di Desa Lau Solu tidak berfungsi semestinya, dan kantor kepala Desa jarang dipakai
begitu juga inventaris di dalam kantor kepala desa tersebut sudah banyak yang rusak dan
tidak dapat dipakai lagi.
Tabel 2.8. Lembaga di Desa Lau Solu
No Desa/Kelurahan Formal Informal
Desa Lau Solu Pemerintahan Desa -
PKK Karang Taruna
LKM Pemuda Pancasila
STM
Remaja Mesjid
Permata Gereja
Arisan marga
Partai Politik
Kelompok Tani
Sumber: Dikelola Oleh Penulis
Lembaga Umum yang dimaksud adalah lembaga yang di dirikan berdasarkan
kepentingan umum semua masyarakat Desa Lau Solu seperti :
1. Karang taruna yang dikelola oleh muda mudi Desa Lau Solu.
2. PKK.
4. Serikat tolong menolong (STM) sedikit berbeda dengan lembaga umum lainnya, dimana
STM tersebut masih juga membatasi dengan perbedaan satu sama lain, hanya saja tidak
seperti lembaga adat yang berdasarkan marga. Masing-masing lembaga umum diatas
memiliki struktur dan kelembagaan yang diakui oleh masyarakat Desa Lau Solu.
5. Permata gereja dimana dalam kelembagaan ini di urus oleh muda mudi gereja.
6. Pemuda pancasila merupakan organisasi masyarakat yang berdiri di desa Lau Solu dimana
pengurusannya sebagian adalah masyarakat Lau Solu.
7. Nasdem dan Golkar merupakan mayoritas partai yang berada di Desa Lau Solu.
Kelembagaan di Desa Lau Solu sangat berpengaruh dengan kegiatan dan aktivitas
masyarakat.
Gambar 1: Diagram Hubungan Antar Lembaga di Desa Lau Solu
BAB III
ARON PADA MASYARAKAT DESA LAU SOLU 3.1. Aron
Sektor pertanian di Kabupaten Karo pada umumnya sangat berkembang pesat,
terutama Jeruk, Kopi dan tanaman palawija. Daerah Kabupaten yang memiliki wilayah
rata-rata 1100 dpl sampai dengan 1300 dpl, dengan daerah yang ketinggian rata-rata-rata-rata 1000 dpl
bagus untuk daerah pertanian palawija dan tanaman Jeruk. Hal ini yang membuat mayoritas
penduduknya bekerja sebagai petani. Walaupun perkembangan tehnologi masyarakat
semakin canggih, Desa Lau Solu masih mengenal istilah Aron. Menurut masyarakat Desa
Lau Solu Aron adalah pekerja diladang orang dengan cara di bayar dan menurut bapak
Kepala Desa Lau Solu:
Aron adalah suatu bentuk kerja gotong royong dalam mengerjakan suatu pekerjaan dimana gotong royong tersebut bergerak disektor pertanian dan pekerja tersebut diupah. (Ginting)
Di Lau Solu kita dapat menjumpai suatu kelompok pekerja (buruh) harian lepas
yang sering disebut oleh masyarakat Karo sebagai aron. Mereka bekerja dalam
proses menanam, menyiangi, dan memanen hasil-hasil pertanian dengan upah harian.
Setiap hari mereka berkumpul di suatu tempat untuk menunggu para petani p e m i l i k
l a h a n yang memerlukan tenaga mereka.
Pagi-pagi sekali mereka harus sudah berangkat menuju tempat tersebut karena
jarak dari tempat mereka tinggal cukup jauh walaupun sebagian dari mereka ada yang
tinggal di Desa Lau Solu. Ketika mereka berangkat dari rumah, mereka ada yang tahu dan
tergantung dari kepemilikan lahan yang memerlukan mereka. Salah satu hal yang perlu
diketahui adalah tidak selamanya mereka mendapatkan pekerjaan. Hal ini disebabkan
jumlah mereka yang begitu banyak. Mereka membentuk suatu komunitas tersendiri di
Desa Lau Solu.
Buruh harian lepas (aron) ini mulai beroperasi tidak diketahui secara pasti.
Seorang penduduk setempat yang telah lama tinggal di daerah tersebut sejak tahun
1989 yaitu Esra Bangun mengatakan tidak mengetahui secara jelas sejak kapan aron ini
ada Desa Lau Solu tersebut, sebab ketika dia dan keluarganya menetap disana buruh aron
tersebut sudah ada disana. Sementara itu seorang petani jeruk Gembira Ginting yang
telah sering menggunakan jasa para buruh harian lepas sejak tahun 1990-an. Begitu juga
dengan informasi yang penulis peroleh dari Desa Lau Solu tidak ada data yang
mengatakan sejak kapan Buruh Harian Lepas (BHL) (aron) tersebut mulai ada.
Menurut kepala Desa Lau Solu mengatakan bahwa kehadiran para buruh aron
seiring dengan pesatnya perkembangan sektor pertanian di Desa Lau Solu terutama
buah-buahan dan sayur-sayuran. Tidak bisa dibayangkan kalau tidak ada buruh aron maka
sektor pertanian di Desa Lau Solu akan mengalami kepincangan, sehingga peran serta
mereka dalam sektor pertanian Desa Lau Solu sangat besar. akan mengalami kepincangan,
sehingga peran serta mereka dalam sektor pertanian Desa Lau Solu sangat besar.
Menurut data statistik kantor Kepala Desa yang terdata jumlah tenaga kerja
aron di Desa Lau Solu adalah 210 Jiwa. Tenaga kerja aron ini terdiri dari tenaga kerja
aron wanita 121 orang dan tenaga kerja aron pria 89 orang .rata-rata semua, jumlah
aron wanita lebih besar dari aron pria. Kecamatan Desa Lau Solu tenaga kerja aron yang
paling besar adalah pendatang yaitu sebesar 170 orang, dimana terdapat 1 0 4 tenaga kerja
3.1.1. Aron Perempuan
Sebagai seorang yang telah menikah, wanita mempunyai peran dalam keluarga
inti sebagai istri, sebagai ibu dan sebagai pengurus rumah tangga. Ini pada umumnya
dirasakan sebagai tugas utama dari seorang wanita yang terkait dalam gambaran
perkawinan. Dalam tiga peran tersebut di atas, wanita memberikan diri
sepenuhnya demi kesejahteraan keluarganya. Namun dalam kehidupan modern dan
era pembangunan dewasa ini, wanita dituntut dan sering juga dimotivasi untuk
memberikan sumbangan lebih dari pada diatas, tidak terbatas pada pelayanan suami
dan urusan rumah tangga. Banyak wanita d i D e s a L a s u S o l u tidak puas hanya
pada peran diatas dan sering keadaan ekonomi keluarga menuntut wanita untuk
bekerja diluar atau mencari satu kegiatan yang menambah penghasilan keluarganya
Aron di desa Lau Solu tidak selamanya menggunakan tenaga laki-laki tetapi para
ibu-ibu juga terlibat dalam aron, seperti melakukan penanaman padi dan jagung. dimana
mereka bekerja berkelompok untuk mengerjakan lahan pertanian. Usia aron perempuan
yang bekerja di ladang pemilik lahan bersekitar 30 tahun – 40 tahun, mereka saling berkerja
sama dan terlihat kompak dalam mengerjakan lahan tersebut. dalam pengolahan lahan aron
perempuan digunakan saat menanam maupun memanen hasil pertanian yang dimana
mereka diupah dengan Rp.40.000/hari dari jam 08.00 – 17.00. Didalam pekerjaan yang
mereka kerjakan seperti menanam maupun disaat memanen lahan pertanian, mereka mulai
berkerja pada pukul 08.00 hingga jam 12.00 mereka istrirahat makan siang, dalam makan
siang tersebut mereka membawa bekal mereka masing-masing tanpa meminta makan
tugas mereka pun selesai pada hari itu.
Dalam melakukan pekerjaan mereka menggunakan alat – alat yang sudah disiapkan
oleh sang pemilik lahan mulai dari bibit,pupuk, cangkul dll dalam melakukan pembibitan
sebaliknya dalam pemanenan mereka juga sudah disiapkan keperluan mereka oleh sang
pemilik lahan mulai dari sabit mesin perontok padi.
3.1.2. Aron Laki-Laki
Pada dasarnya laki-laki adalah merupakan tulang punggung keluarga dan sebagai
pemimpinan dan mempunyai sifat kepemimpinan di dalam keluarga . Dari segi fisik
laki-laki jauh lebih kuat dari pada wanita, dari segi kesabaran perempuan lebih sabar dari pada
laki-laki. Lelaki lebih kepada tenaga yang dimana laki-laki lebih sering melakukan tugas
seperti menyemprot tanaman seperti pestisida,didalam melakukan pekerjaan ini umur tidak
menjadi permasalahan asal ada keinginan dari aron laki-laki tersebut, selain peyempropatan
ada juga tugas laki-laki yakni adalah mundak seperti membawa hasil pertanian dari lahan
pertanian ke tempat dimana sang pemilik lahan yang meminitanya. Dalam melakukan
pekerjaannya ini mereka mendapat upah satu goni Rp.15.000, dimana dalam membawa
hasil panen tersebut mereka menggunakan alat transpot sepeda motor, dalam sekali langsir
mereka dapat membawa 4-5 goni. Jadi upah mundak dari aron laki-laki tersebut ditentukan
dari banyaknya bawaan mereka dihari itu. Akan tetapi dalam mundak tersebut hanya
dikerjakan saat panen saja apabila pada hari-hari biasa mereka mendapat upah
Rp50.000/hari.
Di dalam kehidupan sehari-hari apabila untuk aron panggilan maupun lahan yang
mau dikerjakan tidak ada maka mereka menggantikan peran istri dirumah seperti menjaga
sebagai aron. Akan tetapi disaat istri mereka sudah selesai bekerja sebagai aron suami dapat
melakukan aktivitasnya terlepas sebagai perkerja aron seperti berkumpul dengan pekerja
aron laki-laki di kedai kopi maupun di kedai lapo tuak yang ada disana, hingga ada
panggilan dari sang pemilik lahan untuk menyewa jasa mereka lagi.
3.2. Terbentuknya Kelompok Aron
Pada dasarnya aron di Desa Lau Solu merupakan suatu bentuk kerja sama untuk
mengerjakan lahan dalam bidang pertanian. Masyarakat desa ini membentuk satu kelompok
untuk mengerjakan lahan pertaniannya secara berganti-gantian contohnya, dalam satu hari
maupun dua hari kelompok ini mengerjakan satu lahan pertanian milik dari anggota
kelompok tersebut, begitulah secara bergantian hingga pekerjaan lahan mereka selesai
dikerjakan.
Konsep gotong –royong pada saat sekarang, makna aron pada masyarakat Desa
Lau Solu telah berubah itu disebabkan karena adanya perubahan atau makna gotong-royong
menurut bapak Kita Ginting :
‘Aku enggo 60 tahun tubuh jenda, adi nai aron labonggalar egia adi gundari perbahen enterem kalak i kuta enda anak peranana melala merantau erbahenken sekolah ku kota ntah pe erbahenken erdahin ku medan. Maka enterem kalak bas kuta enda mbuat kalak alas itamaken bas juma kalak jenda, enca erbahenken reh sitikna anak perana maka reh ndekahna maka reh nteremna ka kalak alas erdahin ku kuta enda jadi aron siupahi.’
dibayar ataupun diupah , tetapi kalau sekarang karena banyak pemuda yang merantau untuk
pendidikan kekota maupun yang bekerja dan mencari kerja disana. Maka banyak
masyarakat dikampung ini mengambil orang alas diberi pekerjaan keladang mereka, setelah
itu dikarenakan semakin sedikitnya pemuda maka semakin banyak masyarakat alas kerja
kekampung ini menjadi aron upahan.
Dari kutipan diatas menurut Bapak Kita Ginting yang menyebabkan ialah akibat
pemudanya banyak yang melakukan Urbanisasi salah satu faktor mengapa Desa Lau Solu
kekurangan tenaga di Desa nya, sehinggadidatangkan aron dari luar Desa tersebut.
Dalam pembentukan kelompok aron setiap orang berhak menentukan siapa peserta
aronnya sendiri. Jam kerja dimulai pada pukul 8.00 Wib – Pukul 18.00 Wib, pembagian
kerja dilakukan berdasarkan jenis pekerjaan misalnya pada saat panen pekerjaan laki-laki
adalah mengangkat kumpulan-kumpulan padi yang sudah selesai dipotong (raden). Pada
saat ini masyarakat sudah menggunakan uang dalam membayar tenaga aron, bagi
peserta aron yang tidak dapat datang pada waktu proses bekerja, maka ia membayar
dengan uang kepada peserta aron tersebut sesuai dengan gaji aron satu hari, gaji aron pada
saat ini adalah Rp. 4000/hari. Pada saat pekerjaan di sawah masing- masing peserta
kosong, kelompok aron tersebut akan bekerja di sawah orang lain yang membutuhkan
tenaga kerja. Pemilik sawah akan menanyakannya kepada ketua aron. Gaji yang akan
diterima juga akan diberikan kepada ketua aron selanjutnya ketua aron yang akan
membagikan kepada peserta lainnya. Makanan dan minuman sudah disediakan oleh
pemilik sawah untuk makan siang namun sayur tidak ditanggung oleh peserta aron.
Dalam kondisi sebagai pekerja aron maka tentunya perekonomian mereka telah kita
ketahui bahwa mereka memiliki perekonomian yang rendah. Walaupun ada sebagian dari
mereka ada juga memiliki lahan sendiri didaerah asal mereka akan tetapi, mereka lebih
suka menjadi aron dilahan orang ketimbang mengolah lahan mereka sendiri, dikarenakan
kurangnya modal mereka untuk membuka lahan sehingga mereka lebih suka menjadi aron
dikarenakan mereka dapat mendapat penghasilan yang pasti ketimbang menolah lahan
mereka yang tidak pasti ditambah harus memiliki modal.
Dalam segi pendidikan rata-rata anak dari pekerja aron bersekolah setidaknya tamat
SD, apabila mereka ada rejeki berlebih maka mereka akan melanjutkan pendidikan anak
mereka kejenjang yang lebih, apabila tidak ada rejeki atau perekonomian mereka defisit
maka anak mereka tidak dapat dilanjutkan pendidikannya .
Didalam kehidupan sehari-hari anak dari pekerja aron tidak seharian penuh dengan
kedua orang tua mereka dikarenakan kedua orang tua mereka harus pergi bekerja pada pagi
hari dan kembali pada sore hari ataupun pada malam hari. Akan tetapi disaat salah satu
dari kedua orang tua mereka tidak bekerja maka bagian yang tidak bekerja itulah yang
menjaga anak, hal ini keseringan ayah yang menjadi penjaga dari anak-anaknya akibat
tidak adanya panggilan untuk menjadi pekerja aron. Para pekerja aron laki-laki tidak setiap
hari bekerja sehingga anak sepenuhnya tanggung jawab dari ayah akan tetapi kalau ayah
bekerja sebagai aron maka peran ayah digantikan oleh ibu.
Sri Rahayu merupakan perantau yang datang dari Aceh Tenggara 3 tahun lalu untuk
mengadu nasib. Dia bekerja sebagai buruh harian lepas sejak 2006 alasannya bekerja
sebagai buruh aron adalah karena keadaan yang memaksa, dan dia tidak mempunyai
skill untuk mencari pekerjaan lain. Sebelum menjadi buruh harian lepas ibu ini tidak