• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aron pada Masyarakat Karo (Konsep Aron pada Masyarakat Lau Solu dalam Bidang Pertanian di Desa Lau Solu Kecamatan Mardinding Kabupaten Karo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Aron pada Masyarakat Karo (Konsep Aron pada Masyarakat Lau Solu dalam Bidang Pertanian di Desa Lau Solu Kecamatan Mardinding Kabupaten Karo"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

Perubahan makna Aron pada Masyarakat Lau Solu dalam Bidang Pertanian di Desa Lau SoluKecamatanMardinding, Kabupaten Karo

Skripsi

Diajukan guna melengkapi salah satu syarat ujian sarjana sosial dalam bidang antropologi

Oleh JonatanTarigan

070905046

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh:

Nama : Jonatan Tarigan

Nim :070905046

Departemen : Antropologi

Judul : Aron Pada Masyarakat Karo ( perubahan makna Aron pada Masyarakat

Lau Solu Dalam Bidang Pertanian di Desa Lau Solu Kecamatan

Mardinding, Kabupaten Karo.

Pembimbing a.n Ketua Departemen

Sekretaris

Dra. Sabariah Bangun, M.Soc.Sc Dr.Fikarwin Zuska

NIP: 155701055198703200 NIP: 196212201989031005

Dekan FISIP

Universitas Sumatera Utara

(3)

FAKULTAS ILMU POLITIK DAN ILMU SOSIAL

PERNYATAAN ORIGINALITAS

Aron

(Studi Deskriptif Tentang perubahan nilai aron pada masyarakat Lau Solu)

SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian terbukti lain atau tidak seperti yang saya nyatakan di sini, saya bersedia diproses secara hukum dan siap menanggalkan gelar kesarjanaan saya.

Medan, April 2014 Penulis

Jonatan Tarigan

(4)

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena kemurahan kasih dan anugrah-

Nya yang begitu besar sehingga akhirnya skripsi ini telah selesai disusun penulis.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan bimbingan, dan

nasehat dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih

yang sebesar-besarnya kepada orang tua tercinta, Ayahanda Ibrahim Tarigan dan

Ibunda Almh. Martalena Br Barus, juga kepada kakakku tersayang Betti Kartika Br.

Tarigan S.E , Mailina Betaria Sonata Br. Tarigan Amd dan Mely nadia kareem yang

selama ini telah memberikan doa dan semangat kepada penulis, skripsi ini

kupersembahkan untuk kalian. Penulis juga berterima kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Prof. Dr. M. Arif Nasution MA.

Yang telah memberikan fasilitas akademik selama penulis menjalani kuliah di

FISIP USU.

2. Ketua Departemen Antropologi FISIP USU, Dr. Fikarwin Zuska. Yang telah

memberikan fasilitas dan dukungan selama penulis menjalani perkulihan.

3. Dra. Sabariah Banggun,M.soc,Sc selaku dosen pembimbing yang telah

bersedia meluangkan waktu dan tenaga serta memberikan bimbingan dan

masukan yang sangat berharga dari awal hingga skripsi ini dapat diselesaikan.

4. Dra.sri Emiyanti pembimbing akademik yang telah membimbing dan

mengarahkan penulis selama menjalani perkuliahan di Antropologi FISIP

(5)

5. Seluruh staf pengajar di Departemen Antropologi FISIP USU yang

telah memberikan didikan dan pengetahuan pada penulis selama

menjalani perkuliahan.

6. Teman-teman yang telah banyak memberikan semangat dan bantuan

dalam menyelesaikan skripsi ini terutama Tino Saragih, Rendy Arsami

Siregar S.sos, Alfi Zulkarnaen, Ali agasi serta teman-teman stambuk

2007 yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu persatu

7. Bapak Kepala Desa Lau Solu dan semua warga Desa Lau Solu yang telah

mau menerima dan mendukung saya selama melakukan penelitian

di Desa Lau Solu.

8. Saudara-saudara saya Mama dan Mami Iptu Hendri Barus,Iptu Agnes

Ina Nusa, Almh. Bik tengah Tanjung Langkat Pak Tengah dan Bik

Tengah Bandar Baru,Bik uda, kak uwa Juli, Dr.Luckyana Depari,Meta

Malemna Depari. Amd, kakak dan abang saya bapak dan mamak Ginta dan

tak lupa Biring dan keluarga di P.Batu yang telah memberikan semangat

dan bantuan dalam menyelesaikan skripsi ini.

Akhir kata penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat

memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi pembangunan

disiplin ilmu di Antropologi FISIP USU.

Medan 22, April 2014

Penulis

(6)

Abstraksi

Jonatan Tarigan 2014, judul : Perubahan makna Aron pada Masyarakat Lau

Solu dalam Bidang Pertanian di Desa Lau SoluKec. Mardinding Kab. Karo

Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 88 halaman, 7 tabel, 1 matriks, 2 box, dan 9 gambar. 17 daftar pustaka ditambah 1 sumber lain dan 7 lampiran

Penelitian ini mengkaji tentang : Aron pada Masyarakat Karo (Konsep Aron pada Masyarakat Lau Solu dalam Bidang Pertanian di Desa Lau Solu Kecamatan Mardinding Kabupaten Karo”. Penelitian ini membahas tentang makna aron pada masyarakat Lau Solu dalam bidang pertanian, bagaimana aron dahulu dan aron saat ini, hal-hal apa saja yang berubahan dalam pelaksanaan aron tersebut pada rentang waktu tertentu, dan hal-hal pemicu perubahan tersebut.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kognitif dengan memfokuskan pada aspek pengetahuan, yang digunakan oleh Spradley dalam mengungkapkan pola pikir masyarakat, folk taxonomy’ ini digunakan untuk menjelaskan pola pikir masyarakat tentang aron dahulu dan aron saat ini. Aron yang dulunya bersifat tenaga (gegeh) dengan bekerja secara bergiliran baik itu di ladang maupun di sawah, dengan jumlah pserta aron sebanyak 6-12 orang dan mempunyai tanggung jawab dalam pelaksanaan aron. Aron saat ini (aron singemo) sudah bersifat uang, dengan jumah penduduk tidak menentu dan tidak terikat dalam menentukan kelompok aron (siate-ate). Untuk menjelaskan proses perubahan tersebut pendekatan ini dilakukan dengan pendekatan prosesual. Pendekatan prosesual tersebut digunakan untuk melihat hal-hal apa saja yang berubah dalam pelaksanaan aron pada rentang waktu tertentu.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif untuk memperoleh informasi tentang konsep aron menurut masyarakat Lau Solu Kecamatan Mardinding Kabupaten Karo, hal-hal apa saja yang berubah dan hal pemicu perubahan makna aron, peneliti melakukan wawancara mendalam dengan informan kunci seperti pengetua adat, kepala desa, dan beberapa warga yang mengetahui tentang aron. Observasi dilakukan untuk mengamati bagaimana cara kerja yang dilakukan oleh peserta aron.

(7)

DAFTAR ISI

Hal. HALAMAN PERSETUJUAN...

HALAMAN PENGESAHAN... PERNYATAAN ORIGINALITAS... ABSTRAK... UCAPAN TERIMA KASIH... RIWAYAT HIDUP... DAFTAR PENGANTAR... DAFTAR ISI... BAB I. PENDAHULUAN...

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Tinjauan Pustaka... 6

BAB II. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 2.1 Kabupaten Karo... 16

2.2 Desa Lau Solu... 17

2.3 Pola Pemukiman dan Tata Lahan... 20

2.4 Kelembagaan di Desa Lau Solu... 29

BAB III. ARON PADA MASYARAKAT DESA LAU SOLU 3.1 Aron... 35

3.1.1 Aron Perempuan... 36

3.1.2 Aron Laki-Laki... 37

3.2 Terbentuknya Kelompok Aron... 38

(8)

3.4 Aron Pendatang... 42

3.5 Aron Lokal... 43

3.6 Tahap-tahap Kegiatan Aron dalam Mengelola Sawah 3.6.1 Penyemaian Bibit... 46

3.6.2 Membajak... 47

3.6.3 Napsapi (Membersihkan Dinding Pematang Sawah) ... 49

3.6.4 Pemupukan... 52

3.6.5 Ngeroro (Menyiangi) ... 54

3.6.6 Penyemprotan “Pestisida” (Mompa Page)... 55

3.6.7 Muro (Menghalau Burung) ... 56

3.8.3.1 Etos kerja dan Nilai Budaya Petani Pemilik Lahan... 64

3.8.3.2 Etos Kerja dan Budaya Buruh Tani... 65

BAB IV. Konsep Aron dalam Aktivitas Pertanian Pada Masyarakat Lau Sou 4.1 Konsep Aron Menurut Warga Desa di Lau Solu... 66

4.2 Aron Dahulu dan Aron Saat ini (ngemo)... 69

4.2.1 Konsep Aron Si Ngemo Menurut Warga Desa Lau Solu... 71

4.2.2 Jenis- Jenis Aron siNgemo pada Masyarakat Lau Solu... 74

4.2.2.1 Ari-ari (gaji harian) ... 75

4.3 Kondisi dan factor apa saja yang berubah pada Pelaksanaan Aron di Rentang Waktu Tertentu... 79

(9)

4.3.3 Kondisi Awal tahun 1980- Awal Tahun 1990... 81

4.3.4 Kondisi Akhir Tahun 1990- Awal Tahun 1998... 82

4.3.5 Kondisi Pertengahan Tahun 1998- Akhir Tahun 2004... 83

4.3.6 Kondisi Awal Tahun 2005 - Tahun 2013... 84

4.4 Bebarapa Hal Pemicu Perubahan Konsep Aron pada Masyarakat Lau Solu 85 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan... 89

5.2 Saran... 91

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

   

 

(10)

Abstraksi

Jonatan Tarigan 2014, judul : Perubahan makna Aron pada Masyarakat Lau

Solu dalam Bidang Pertanian di Desa Lau SoluKec. Mardinding Kab. Karo

Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 88 halaman, 7 tabel, 1 matriks, 2 box, dan 9 gambar. 17 daftar pustaka ditambah 1 sumber lain dan 7 lampiran

Penelitian ini mengkaji tentang : Aron pada Masyarakat Karo (Konsep Aron pada Masyarakat Lau Solu dalam Bidang Pertanian di Desa Lau Solu Kecamatan Mardinding Kabupaten Karo”. Penelitian ini membahas tentang makna aron pada masyarakat Lau Solu dalam bidang pertanian, bagaimana aron dahulu dan aron saat ini, hal-hal apa saja yang berubahan dalam pelaksanaan aron tersebut pada rentang waktu tertentu, dan hal-hal pemicu perubahan tersebut.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kognitif dengan memfokuskan pada aspek pengetahuan, yang digunakan oleh Spradley dalam mengungkapkan pola pikir masyarakat, folk taxonomy’ ini digunakan untuk menjelaskan pola pikir masyarakat tentang aron dahulu dan aron saat ini. Aron yang dulunya bersifat tenaga (gegeh) dengan bekerja secara bergiliran baik itu di ladang maupun di sawah, dengan jumlah pserta aron sebanyak 6-12 orang dan mempunyai tanggung jawab dalam pelaksanaan aron. Aron saat ini (aron singemo) sudah bersifat uang, dengan jumah penduduk tidak menentu dan tidak terikat dalam menentukan kelompok aron (siate-ate). Untuk menjelaskan proses perubahan tersebut pendekatan ini dilakukan dengan pendekatan prosesual. Pendekatan prosesual tersebut digunakan untuk melihat hal-hal apa saja yang berubah dalam pelaksanaan aron pada rentang waktu tertentu.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif untuk memperoleh informasi tentang konsep aron menurut masyarakat Lau Solu Kecamatan Mardinding Kabupaten Karo, hal-hal apa saja yang berubah dan hal pemicu perubahan makna aron, peneliti melakukan wawancara mendalam dengan informan kunci seperti pengetua adat, kepala desa, dan beberapa warga yang mengetahui tentang aron. Observasi dilakukan untuk mengamati bagaimana cara kerja yang dilakukan oleh peserta aron.

(11)

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Heterogenitas bangsa Indonesia memang sudah tidak lagi menjadi hal baru dalam

perbincangan. Indonesia dengan kemajemukan budayanya menghasilkan perbedaan budaya

nasional yang dimiliki. Walaupun dengan perbedaan itu, nilai-nilai yang terkandung

didalam setiap kebudayaan tidak pernah luput.

Budaya khas yang dimiliki oleh setiap negara seperti halnya Indonesia yang akan

menjadi topik dalam review kali ini sangat identik dengan apa yang namanya identitas jati

diri. Identitas jati diri itu kemudian menjadi tolak ukur penilaian kepribadian bangsa

Indonesia. Kepribadian sebagai hasil buah dari nilai dan budaya khas yang dimiliki

Indonesia kemudian berpengaruh terhadap penentuan kebijakan-kebijakan yang strategis

demi mencapai tujuan bersama bangsa Indonesia.

Salah satu budaya khas Indonesia adalah gotong royong. Konsep gotong royong

yang dinilai tinggi oleh bangsa Indonesia erat kaitannya dengan kehidupan rakyat Indonesia

yang bermata pencaharian sebagai petani dalam masyarakat agraris. Aktivitas gotong

royong merupakan pengerahan tenaga untuk suatu proyek pembangunan yang bermanfaat

bagi masyarakat umum. Konsep gotong-royong telah menjadi kunci budaya kontemporer

Indonesia yang menggambarkan masyarakat didalamnya dan segala sesuatu kebijakan yang

diambil harus berdasarkan konsep gotong-royong tersebut (Bowen 1986, 545).

Menurut Aburrahman Wahid yang mengutarakan pendapatnya mengenai sesuatu

yang paling Indonesia, yaitu diantara semua nilai yang dianut warga negaranya. Sesuatu itu

berwujud pencarian tak berkesudahan akan sebuah perubahan sosial tanpa memutuskan

(12)

dijelaskan bahwa manusia-manusia Indonesia selalu bergerak dalam perubahan sosial

menurut perkembangan zaman. Pencarian itu seakan membuat bangsa ini lupa akan jati

dirinya, namun sebenarnya tanpa sadar mereka masih terikat dengan warisan sejarah masa

lalu. Menurut pendapat Abdurrahman Wahid lainnya, bahwa bangsa ini selalu mencari

suatu perubahan, tidak berarti bangsa tidak memiliki konsep mengenai nilai, budaya, dan

identitas nasional.

Abdurrahman Wahid juga memiliki pemikiran bahwa nilai budaya yang dimiliki

Indonesia adalah nilai budaya yang tidak berkesudahan. Pendapat ini jelas berbeda menurut

Mochtar Buchori, yang mengatakan bahwa nilai-nilai Indonesia itu ada (Buchori dan Lubis

1981, 38). Dalam dialognya Mochtar Buchori dan Moctar Lubis (1981), ia mengatakan

nilai-nilai Indonesia sedang dalam proses pembentukan, yakni yang diimplementasikan

dalam keaktifan dan kesadaran yang diperlukan bangsa Indonesia agar tidak terseret ke arah

yang tidak dikehendaki.

Proses pembentukan tersebut diartikan sebagai strategi menuju bentuk yang bisa

dinamakan Indonesia, dan dalam proses menuju pola kebudayaan yang terintegrasi tersebut,

bangsa Indonesia harus menggali kembali nilai-nilai yang benihnya ada dalam kebudayaan

etnis. Karena pada faktanya menurut Mochtar Lubis, dalam dua belas tahun terakhir ini,

erosi nilai-nilai etnis bangsa Indonesia semakin tampak. Erosi tersebut muncul dalam

bangsa Indonesia sebagai akibat masuknya modal asing, konsumerisme, maupun

industrialisasi dan terutama penerusan budaya bangsa Indonesia dirasakan telah terputus.

Ada budaya khas lainnya yang dimiliki oleh Indonesia, yaitu negara dan ideologi

agama yang mengakar di lapisan masyarakat yang saling tumpang tindih sehingga sulit

untuk dibedakan. Negara Indonesia adalah salah satu negara dengan sifat pemerintahan

(13)

mengatakan bahwasannya Indonesia merupakan contoh yang hebat dari adanya kesesuaian

Islam (ideologi agama) dengan demokrasi. Walaupun rakyat Indonesia mayoritas beragama

Islam, tetapi para founding fathers berdasarkan keputusan bulat dengan lahirnya Negara

Kesatuan Republik Indonesia bukan merupakan negara dengan pemerintahan yang bersifat

teokrasi.

Mereka menyetujui adanya nilai-nilai agama dan nilai-nilai patriotik, tetapi hal

tersebut dijadikan dasar pembentukan negara Indonesia. Selain itu pula, pada era reformasi

saat ini peluang berpartai politik semakin terbuka lebar, namun peran agama disini harus

hilang sebagai adanya sikap toleransi. Sekalipun agama memainkan peran penting dalam

nilai-nilai bermasyarakat tetapi arena politik harus sejalan dengan sebagai mana mestinya

politik (Wahid 2001, 28).

Nilai dan budaya khas Indonesia tersebut seharusnya menjadi pegangan bangsa

Indonesia dalam tantangan selanjutnya yang akan dihadapi bangsa Indonesia di masa

mendatang. Karena menurut pandapat Mochtar Lubis, jika bangsa ini tidak berhasil

mengukuhkan kemanusiaan dan membangun kembali kontinuitas kebudayaan bangsa,

maka bangsa ini hanya akan menjadi ‘kacung’ bangsa lain (Lubis, 1981, 42). Sehingga

yang paling utama yang dikembangkan oleh bangsa Indonesia yakni kekuatan bangsa

dalam mempertahankan kebudayaannya. Dengan begitu identitas bangsa Indonesia tidak

pernah pupus dan dapat diimplementasikan dalam penentuan kebiijakan strategis yang akan

diambil demi mencapai kepentingan bersama.

Gotong royong adalah merupakan salah satu sistem kegiatan yang dilakukan oleh

manusia, gotong royong ini diketahui sebagai tenaga tambahan dari luar kalangan keluarga

untuk mengisi kekurangan tenaga dalam masa-masa sibuk dalam lingkaran aktivitas

(14)

yang sudah tetap, beberapa orang lain sedesanya untuk membantunya. Semisalnya

mempersiapkan sawah untuk masa penanaman yang baru, memperbaiki saluran air dan

pematang sawah, mencangkul, membajak, menggaru dan sebagainya. (Koentjaranigrat) Gotong Royong merupakan suatu kegiatan sosial yang menjadi ciri khas bangsa

Indonesia dari jaman dahulu kala hingga saat ini. Rasa kebersamaan ini muncul karena

adanya sikap sosial tanpa pamrih dari masing-masing individu untuk meringankan beban

yang sedang dipikul. Hanya di Indonesia, kita bisa menemukan sikap gotong royong ini,

sebab di negara lain tidak ada ditemukan sikap seperti ini, dikarenakan di negara luar sikap

saling acuh tak acuh sangatlah dominan terhadap lingkungan di sekitarnya.

Ini merupakan sikap positif yang harus dilestarikan agar bangsa Indonesia menjadi

bangsa yang kokoh dan kuat di segala lini. Tidak hanya di pedesaan bisa kita jumpai sikap

gotong royong, melainkan di daerah perkotaan pun bisa kita jumpai dengan mudah. Karena

secara budaya, memang sudah ditanamkan sifat ini sejak kecil hingga dewasa. Ini

merupakan salah satu cermin yang membuat Indonesia bersatu dari Sabang hingga

Merauke, walaupun berbeda agama, suku dan warna kulit, tetapi kita tetap menjadi

kesatuan yang kokoh. Inilah adalah satu budaya bangsa yang menjadikan Indonesia dipuja

dan dipuji oleh bangsa lain, karena budayanya yang unik dan penuh toleransi antar sesama

manusia.

Pada masyarakat Karo, gotong royong dalam tradisi masyarakat dikenal dengan

istilah aron. Menurut Teridah Bangun, aron dipakai dalam suatu pola kerja sama, tolong

menolong pada masyarakat Karo, baik dalam menghadapi ancaman pihak lain atau dalam

mengerjakan sesuatu. Istilah aron berasal dari kata sisaron-saron (saling bantu) yang

diwujudkan dalam bentuk kerja orang-orang muda atau dewasa 6-9 orang (Bangun T, 1986

(15)

Aktivitas aron biasanya dimulai pada pagi hari, yaitu pukul 08.00 WIB- 17.00 WIB.

Di dalam pola kerjanya terdapat keteraturan antara sesama peserta aron dengan tujuan agar

tetap terjaga hubungan yang baik. Pola kerja dilakukan secara bergiliran (mena-tumbuk),

sesuai dengan kebutuhan di dalam mengerjakan sawah maupun ladang peserta aron.

Misalnya A akan menanam padi, maka anggota aron yang sebagian lagi wajib datang ke

ladang si A untuk mengerjakan sawahnya. Demikianlah seterusnya sampai selesai secara

bergilir setiap peserta aron, Misalnya dalam membuka lahan (ngerabi) tenaga laki-laki

yang lebih diutamakan perempuan cukup membersihkan kayu-kayu yang sudah ditebang.

Mena adalah sebutan untuk awal aktivitas aron dilakukan, tumbuk adalah sebutan dari akhir

aktivitas secara bergilir.

Makna aron pada zaman sekarang ini telah berubah, masyarakat perlahan-perlahan

meninggalkan kebudayaan gotong royong (aron), dikarenakan masyarakat lebih memilih

membayar (mengupahi) orang yang berkerja diladangnya atau lahannya. Pada saat ini aron

dikenal dengan orang/atau sebuah komunitas yang bekerja areal pertanian yang

mengharapkan upah atau balas jasa berupa uang dari si pemilik lahan.

Desa Lau Solu memiliki masyarakat mayoritas suku Karo yang memiliki mata

pencaharian rata-rata adalah sebagai petani. Masyarakat Desa Lau Solu umumnya memiliki

lahan pertanian milik sendiri dan dalam pengelolaan lahan pertanian tersebut masyarakat

menggunakan alat-alat pertanian tradisional dan beberapa masyarakat sudah menggunakan

alat-alat pertanian modern seperti traktor dan mesin pembabat. Bagi masyarakat yang

menggunakan alat pertanian tradisional memerlukan waktu yang relatif lama sehingga bagi

petani yang mengelola lahan pertanian menambah tenaga untuk membantu mengelola

(16)

Untuk menambah tenaga dalam mengelola lahan pertanian masyarakat Desa Lau

Solu mencari orang untuk dapat membantu dan masyarakat setempat menyebutnya sebagai

aron. Para pekerja aron merupakan masyarakat yang didatangkan dari luar desa Lau Solu

yaitu dari Kab. Aceh Tenggara. Aron yang didatangkan dari daerah lain si pemilik lahan

pertanian yang akan memakai tenaga aron sudah terlebih dahulu menyediakan tempat

tinggal mereka. Para pekerja aron tersebut membawa seluruh anggota keluargannya untuk

tinggal sementara di Desa Lau Solu.

Dengan melihat latar belakang seperti yang telah diuraikan diatas, maka penulis

mengungkapkan secara dekriptif tentang bagaimana perubahan konsep aron yang terjadi

pada masyarakat Karo khususnya dalam masyarakat Desa Lau Solu dan mengapa para

pekerja aron mayoritas adalah suku Alas yang berasal dari Aceh Tenggara.

1.2. Tinjauan Pustaka

Kebudayaan merupakan sistem pengetahuan yang diperoleh oleh manusia melalui

proses belajar yang mereka gunakan untuk menyusun strategi perilaku dalam menghadapi

dunia sekeliling mereka Spradley (1997), menjelaskan lebih lanjut bahwa kebudayaan

berada dalam pikiran manusia yang didapatkan dengan proses belajar dan menggunakan

budaya tersebut dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. Proses belajar tersebut

menghasilkan pengetahuan-pengetahuan yang berasal dari pengalaman-pengalaman

individu atau masyarakat yang pada akhirnya fenomena tersebut terorganisasi di dalam

pikiran (mind). Definisi tersebut ditulis ulang oleh Marzali dalam pengantar pada buku

Metode Etnografi oleh James P. S predley. Pada bagian pengantar ini Marzali menjelaskan

(17)

Spencer (dalam choesin, E.M, 2002: 1-9), menyatakan bahwa pengunaan

pengetahuan diibaratkan membaca resep atau naskah atau flow chart (arus). Dalam

memahami dinamika pengetahuan saat terjadi pertemuan antara yang lokal dan global,

untuk itu diperlukan modal yang dapat menjawab sejumlah pertanyaan, misalnya: dari

mana dan bagaimana pengetahuan tersebut dipakai untuk mewujudkan tindakan, mengapa

bentuk-bentuk pengetahuan tertentu bertahan terus dalam diri individu atau kelompok,

sedangkan bentuk-bentuk lainnya ditinggalkan ?

Dalam penelitian ini juga melihat bagaimana pengetahuan (konsep) masyarakat

Suku Karo tentang aktivitas aron. Dimana banyak terjadi dinamika yang terkait dengan

perubahan konsep aron dalam rentang waktu tahun 1980 hingga pada saat ini. Frans Boas

juga mengatakan “jika tujuan kita sungguh-sungguh untuk memahami pikiran suatu masyarakat maka seluruh analisa pengalaman harus didasarkan pada konsep-konsep mereka, bukan konsep kita” (Frans Boas 1943 dalam Spradley).

Strauss dan Quinn (dalam Choesin, E. M, 2002:1-9), juga menjelaskan bahwa

sebagian besar pengetahuan yang dimiliki individu diperoleh melalui proses belajar yang

bersifat informal, atau melalui pengamatan (penerimaan rangsang) sehari-hari, dan bukan

dari instruksi formal. Selain mengetahui konsepsi masyarakat tentang aron, penulis juga

merasa perlu memperhatikan bagaimana rangsangan-rangsangan dari luar masyarakat itu

sendiri, misalnya kemajuan tegnologi dan informasi, tuntutan ekonomi, peraturan

pemerintah dan lainnya. Kemudian mempengaruhi aktivitas masyarakat dalam pengolahan

lahan baik itu disawah maupun di ladang.

Seperti yang dijelaskan Strauss dan Quinn (dalam Choesin E. M, 2002:1-9),

meskipun masuknya rangsangan-rangsangan seperti yang disebut diatas tidak serta merta

(18)

menghasilkan pemahaman yang baru. Salah satu bentuk tingkah laku manusia yang

universal ialah kerja sama. Menurut Soekanto (1983:66), kerja sama timbul dari adanya

orientasi masing-masing individu terhadap kelompok sebagai “in groubnya” dan kelompok lain sebagai “out groubnya”.

Sejalan dengan pernyataan ini, dapat dikatakan bahwa pada setiap masyarakat

dimana kerja sama berlangsung terdapat kelompok-kelompok sosial yang bersifat khusus.

Dimana para anggotanya saling berinteraksi menurut norma yang dianut. Seperti kita

ketahui bahwa penduduk Indonesia mayoritas tinggal di pedesaan dan pada umumnya

hidup dari pertanian (Koentjaraningrat, 1984:1), dalam kehidupan sehari-harinya

masyarakat di pedesaan tidak terlepas dari aktivitas kerja sama dengan anggota masyarakat

lainnya dari kelompok tersebut. Hal ini didasari dengan adanya kebutuhan masing-masing

anggota yang sama.

Aron adalah merupakan pengerahan tenaga kerja dari sekelompok orang yang

secara bersama-sama mengolah lahan pertanian dari masing-masing anggota kelompok

tersebut. Dilihat dari segi positifnya, dalam aktivitas aron terkandung unsur saling

pengertian, saling penghargaan, kesadaran akan tujuan bersama, kemauan bersama-sama

dengan individu atau kelompok lain untuk mencapai tujuan bersama. Prinsip timbal-balik

sebagai penggerak masyarakat dalam masyarakat komunitas kecil diseluruh dunia, saling

tolong menolong tampak sangat menonjol.

Menurut B.Malinowski (dalam Koentjaraningrat, 1997:151), dalam masyarakat

penduduk kepulaan Treobiand, sistem saling tukar menukar jasa tenaga dan benda dalam

berbagai bidang produksi dan ekonomi dan dalam penyelenggaraan upacara-upacara

keagamaan, maupun pertukaran harta mas kawin menjadi pengikat dan penggerak dalam

(19)

kehidupan masyarakat kecil yang disebut principle of reciprocity atau prinsif timbal-balik.

Menurut Marcell Mauss, sistem tukar menukar merupakan suatu sistem yang menyeluruh

(total sistem), dimana setiap unsur kedudukan atau harta milik terlibat di dalamnya dan

berlaku bagi setiap anggota masyarakat yang bersangkutan.

Dalam sistem tukar menukar setiap pemberian harus dikembalikan. Dapat diartikan

dalam suatu cara khusus yang menghasilkan suatu lingkaran kegiatan yang tidak ada

habis-habisnya dari generasi ke generasi berikutnya. Nilai dari pengembalian barang yang telah

diterima harus dapat mengimbangi nilai barang yang telah diterima, bersamaan dengan

pemberian tersebut adalah nilai kehormatan dari kelompok yang bersangkutan (Mauss,

1992:xix).

Hal yang sama pada masyarakat Sugihen prinsif timbal- balik dapat diamati dalam

aktivitas aron adanya saling tukar menukar tenaga yang dilakukan secara berigiliran untuk

setiap peserta aron tersebut sesuai dengan kesempatan yang ditentukan. Sebagaimana

diketahui bahwa kebudayaan selain bersifat stabil juga bersifat dinamis oleh karena itu

setiap kebudayaan pasti akan mengalami perubahan atau perkembangan. Perubahan itu bisa

saja berasal dari masyarakat dan perubaahan semata-mata bukanlah berarti suatu kemajuan

saja namun dapat juga berarti suatu kemunduran bagi suatu masyarakat pendukung

kebudayaan tersebut dimana perubahan itu menyangkut bidang-bidang kehidupan tertentu.

Perubahan sosial adalah perubahan dalam struktur sosial dan dalam pola-pola

hubungan sosial yang antara lain mencakup sistem status, hubungan-hubungan dalam

keluarga, sistem-sistem politik dan kekuatan serta persebaran penduduk (Suparlan,

1981:01). Perubahan kebudayaan adalah merupakan perubahan yang terjadi dalam sistem

ide yang dimiliki bersama oleh para warga atau sejumlah warga masyarakat yang

(20)

pegangan dalam kehidupan warga masyarakat, nilai-nilai teknologi, selera dan rasa

keindahan atau kesenian dan bahasa.

Perubahan sosial dan perubahan kebudayaan tidak dapat dipisahkan karena

pembahasan-pembahasan mengenai perubahan sosial tidak akan dapat mencapai pengertian

yang benar tanpa mengaitkannya dengan perubahan kebudayaan yang terwujud dalam

masyarkat yang bersangkutan. Untuk menjelaskan proses perubahan yang terjadi dalam

aktivitas aron, peneliti akan menggunakan pendekatan prosesual. Winarto (1999),

menyebutkan bahwa aspek yang perlu diperhatikan dalam proses ini adalah aspek

historisnya.

Winarto(1999) mencoba mengikuti rangkaian peristiwa yang terwujud dari

aktivitas-aktivitas warga sehari-hari. Untuk membantu seorang antroplog dalam meneliti,

Moore (dalam Winarto 1999) menyarankan fokus kajian antropolog adalah

peristiwa-peristiwa atau evans yang melibatkan aktivitas atau tindakan manusia. Rangkaian hubungan

antar peristiwa-peristiwa inilah yang membentuk proses. Hal ini jugalah dilakukan oleh

peneliti untuk melihat dan mengetahui bagaimana proses perubahan aron di Desa Sugihen

dengan mencoba mengkaji sejarah terbentuknya aron di Sugihen melalui aktivitas-aktivitas

atau event yang mereka lakukan dalam kurun waktu 1980 hingga pada tahun 2009.

Berdasarkan hasil observasi sementara, bahwa ada bentuk-bentuk yang berubah

dalam aktivitas aron tersebut. Untuk mengetahui semua itu, peneliti harus bisa mengerti

bahasa setempat (native speaker). Sehingga penulis dapat berkomunikasi dengan baik

dengan para informan untuk ‘mengorek’ isi kepala mereka tentang permasalahan yang

diteliti.

Hal ini seperti yang dilakukan oleh W.H Goodenoug (1997), dimana dalam aktivitas

(21)

Sama halnya untuk mengetahui isi pemikiran masyarakat Sugihen mengenai konsep aron.

Maka untuk itu, penulis perlu berkomunikasi dengan masyarakat Lau Solu dengan

memahami bahasa setempat. Melalui pengamatan yang terfokus pada rangkaian peristiwa

dalam rentang waktu dengan perhatian pada hubungan yang satu terkait antara satu

peristiwa dengan peristiwa yang lainnya.

1.3. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka rumusan masalah

penelitian ini adalah menguraikan tentang kehidupan aron di Desa Lau Solu. Maka ruang

lingkup masalah yang akan diteliti difokuskan pada :

1. Bagaimana Pergeseran Nilai Aron pada masyarakat Desa Lau Solu ?

2. Apa motivasi masyarakat Suku Alas ( Pendatang ) sebagai aron di Desa Lau Solu ?

3. Bagaimana terbentuknya sebuah komunitas aron di Desa Lau Solu ?

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian A.Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan pergeseran

makna serta mengetahui pergeseran Aron pada masyarakat Desa Lau Solu dan Bagaimana terbentuknya sebuah komunitas aron di Desa Lau Solu serta Apa motivasi

masyarakat Suku Gayo (Pendatang) sebagai Aron di Desa Lau Solu.

(22)

Manfaat penelitian ini dapat dilihat secara akademis dan praktis. Secara akademis,

manfaatnya menambah pemahaman mengenai makna Aron pada masyarakat Karo di Desa

Lau Solu. Secara praktis manfaatnya adalah memberikan sumbangan pemikiran dan

masukan-masukan kepada masyarakat luas dalam bagaimana sebuah realita sosial dalam

perkembangan dan perubahan sebuah tradisi.

1.5 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metodologi

penelitian kualitatif. Metode ini digunakan dengan tujuan menghasilkan tulisan etnografis

yang bersifat deskriptif mengenai pergeseran makna aron tersebut. Creswell dalam

Kuswarno, 2008:34 menjabarkan elemen – elemen inti dari penelitian etnografi yaitu:

1. Penggunaan penjelasan yang detail.

2. Gaya laporan bersifat cerita (storry telling).

3. Menggali tema – tema kultural, seperti tema – tema tentang peran dan perilaku

masyarakat.

4. Menjelaskan kehidupan keseharian orang – orang (everyday life of person)

bukan peristiwa khusus yang menjadi pusat perhatian.

5. Laporan keseluruhan perpaduan antara deskriptif, analitis dan interpretatif.

6. Hasil penelitian memfokuskan bukan pada apa yang menjadi agen perubahan

tetapi pada pelopor untuk berubah yang bersifat terpaksa.

Penelitian etnografi memfokuskan pada penelitian lapangan (filed works), yaitu

dengan memilih lokasi penelitian tertentu sebagai tempat untuk melakukan pengumpulan

data sesuai dengan masalah penelitian yang telah ditetapkan. Spradley (1997: 3)

(23)

bertujuan untuk memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli.

Sebagaimana juga yang dikatakan Malinowski, tujuan etnografi adalah memahami sudut

pandang penduduk asli, hubungannya dengan kehidupan, untuk mendapatkan pandangan

mengenai dunianya (1922: 25). Oleh karena itu, penelitian etnografi melibatkan aktivitas

belajar mengenai dunia orang yang telah belajar melihat, mendengar, berfikir, dan

bertindak dengan cara yang berbeda. Tidak hanya mempelajari masyarakat, lebih dari itu

etnografi berarti belajar dari masyarakat. Spradley (1997: xvi) menjelaskan ciri – ciri khas

dari metode penelitian lapangan etnografi ini adalah sifatnya yang holistic-integratif (saling

berkaitan dan menyatu), thick description (deskripsi yang mendalam dan analisis kualitatif

dalam rangka mendapatkan native’ s point of view (sudut pandang masyarakat yang

diteliti).

Prosedur penelitian kualitatif lebih bersifat sirkuler, artinya dalam hal – hal tertentu

langkah atau tahapan penelitian dapat diulang satu atau beberapa kali sampai diperoleh data

yang lengkap untuk membangun teori dasar (grounded theory). Dalam konteks ini, peneliti

dimungkinkan untuk beberapa kali turun kelapangan (Berutu, dkk. 2001:46). Dalam

penelitian ini ada dua jenis data yang digunakan, yaitu data primer dan data sekunder.

Adapun data primer diperoleh dari lapangan melalui observasi dan wawancara, sedangkan

data sekunder merupakan data yang diperoleh dari Pemerintah Kabupaten Karo serta

beberapa data dari internet, jurnal sebagainya yang berhubungan dengan penelitian ini.

Dengan metode penelitian etnografi ini saya akan memaparkan makna dan bagaimana

terbentuknya aron sesuai dengan pokok permasalahan yang saya teliti. Dengan metode

etnografi saya akan berinteraksi langsung dengan masyarakat yang diteliti untuk

mendapatkan data – data yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Adapun teknik

(24)

diteliti Untuk mendapatkan data secara mendalam tentang permasalahan yang akan saya

kaji dalam penelitin ini maka saya akan tinggal bersama masyarakat yang akan saya teliti.

Dengan begitu, saya bisa lebih mendekatkan diri terhadap masyarakat yang akan saya teliti.

Dengan adanya interaksi antara saya dengan informan maka akan lebih memudahkan saya

untuk memperoleh data yang saya butuhkan.

1. Wawancara Mendalam (interview guide)

Wawancara akan saya lakukan dengan para informan di tempat penelitian saya. Adapun

wawancara yang akan saya lakukan adalah wawancara mendalam untuk menggali data

yang lebih banyak mengenai permasalahan dalam penelitian ini. Saya juga akan

menggunakan pedoman wawancara (intervie guide) untuk memudahkan saya melakukan

Tanya jawab dengan informan.

2. Pengamatan (observasi)

Saya juga akan melakukan observasi yang bersifat pasrtisipasi (terlibat) langsung

dengan tempat dimana saya akan melakukan penelitian. Dimana saya akan mengamati

perilaku setiap informan dengan cara lansung melibatkan diri dalam kegiatan tertentu yang

terjadi di lokasi penelitian. Dengan begitu saya akan jauh lebih banyak mengetahui hal –

hal yang tidak perlu saya tanyakan kepada informan, karena saya telah mengamati perilaku

informan secara langsung.

3. Penggunaan Kamera

Pada saat melakukan pengumpulan data penelitian akan menggunakan kamera sebagai

alat untuk mendokumentasikan perilaku informan maupun hal – hal yang bersifat fisik atau

(25)

untuk mengingat peristiwa atau kejadian penting yang terjadi selama saya melakukan

penelitian. Dokumentasi yang dihasilkan akan membantu memaparkan suatu peristiwa

maupun hal – hal penting baik itu bersifat fisik atau non fisik untuk dijadikan sebagai data

tambahan dalam penelitian ini.

6.Informan Penelitian

Informan penelitian terdiri dari informan kunci dan informan biasa. Informan kunci

adalah: Orang – orang yang paham dan mengerti benar mengenai masalah yang akan

diteliti dan terlibat langsung dalam masalah. Seperti pemilik atau penanggung jawab lokasi.

Sedangkan informan biasa adalah: Orang – orang yang dapat memberikan informasi

(26)

BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

2.1. Kabupaten Karo

Kabupaten Karo merupakan salah satu Kabupaten yang terdapat di Provinsi

Sumatera Utara, yang terletak pada jajaran Dataran Tinggi Bukit Barisan dan sebelah barat

daya berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia serta merupakan daerah hulu sungai.

Secara geografis Kabupaten Karo terletak pada koordinat 2050’ – 3019’ Lintang Utara dan

97055’ - 98038’ Bujur Timur.

· Sebelah Utara : Kabupaten Langkat dan Kabupaten Deli Serdang

· Sebelah Selatan : Kabupaten Dairi dan Kabupaten Samosir

· Sebelah Barat : Provinsi Nangroe Aceh Darusalam

· Sebelah Timur : Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Simalungun

Kabupaten Karo mempunyai wilayah seluas 2.127,25 Km2 atau 2,97% dari

luas Provinsi Sumatera Utara. Terdiri dari 17 kecamatan dan 262 desa. Wilayah yang

terluas adalah Kecamatan Mardingding yakni 267,11 Km2 (12,56% dari luas kabupaten),

dan kecamatan dengan luas terkecil adalah Kecamatan Berastagi seluas 30,5 Km2 (1,43%

dari luas kabupaten).

2.2. Desa Lau solu

Desa Lau Solu adalah salah satu Desa yang berada di Kecamatan Mardinding. Jarak

(27)

Lau Solu dari Ibu Kota Kabupaten sejauh 90 Km. Adapun batas-batas wilayah Desa Lau

Solu sebagai berikut:

Sebelah Utara : Desa Lau Mulgap Kec.Mardinding

Sebelah Selatan : Desa Buluh Pancur Kec.Lau Baleng

Sebelah Barat : Hutan deleng cengkeh

Sebelah Timur : Desa Batu Nongkam

Untuk sampai keDesa Lau Solu dapat menggunakan roda 4 (Empat) dan Roda 2

(Dua). Angkutan yang digunakan di Desa Lau Solu adalah Angkutan umum seperti : BTN,

Dalinta ras, Pinem, dll dan Kendaraan pribadi yakni roda 2 dan roda 4.

Menurut cerita sebagian warga pemukiman di daerah ini, desa ini berdiri pada

Tahun 1940-an pertama kali mendirikan rumah disini adalah Suku Karo. Masyarakat yang

tinggal di Desa ini pada umumnya bekerja sebagai petani. Seiring maraknya perkembangan

zaman banyak orang-orang mulai membangun rumah sebagai tempat tinggal dimana yang

tinggal disana bukan lagi hanya Suku Karo akan tetapi sudah bercampur dengan suku lain,

yang diakibatkan oleh perkawinan antara dua suku dan adanya pendatang dari luar desa dan

menetap didesa Lau Solu. Dengan bertambahnya jumlah penduduk maka daerah

pemukiman semakin banyak.Seiring berjalannya waktu dan akibat perkembangan zaman

banyak dari warga ataupun pemuda dari Desa lau solu yang merantau dan mengejar

pendidikan diluar desa Lau solu sehingga kurangnya tenaga kerja pertanian didesa tersebut.

Disebabkan karena kurangnya tenaga kerja dilahan pertanian penduduk desa Lau Solu

(28)

2.3. Pola Pemukiman dan Tata Lahan.

Desa Lau Solu merupakan Desa yang terdapat di dataran rendah yang rata-rata

mencapai 282 dpl (Di atas Permukaan Laut) yang terdapat di Kec. Mardinding, Kab.Karo.

Jarak antara kantor camat di Mardinding dengan Desa Lau Solu adalah ± 6 km dengan

waktu tempuh sekitar 15 menit dengan kendaraan bermotor dan satu jam dengan jalan

kaki. Jarak antara Ibu kota Kabupaten Karo adalah 90 km dan dapat ditempuh dengan roda

empat dan roda dua selama 3 jam.

Jika dari Ibu Kota Kabupaten yaitu Kaban Jahe, kita banyak melewati Desa dan

Kecamatan yang kita lewati untuk sampai di Desa Lau Solu. Sebelum menemukan Desa

Lau Solu, beberapa Desa kita lewati yaitu Desa Tanjung Gungung, Desa Bulu Pancur dan

Desa rambah Tampu. Perjalanan selanjutnya akan melewati jembatan dan langsung akan

menjumpai pemukiman Desa Lau Solu.

Beberapa rumah pertama yang dijumpai terlihat semipermanen, sebagian lagi

permanen dengan lantai semen, dinding setengah batu, setengah papan dan dicat berwarna

terang, dan beratap seng yang sudah berwarna kecoklatan. Secara umum kondisi-kondisi

rumah cenderung semi permanen. Perumahan penduduk di Desa Lau Solu umumnya saling

berdekatan, sehingga masing-masing rumah saling berdekatan. Pada umumnya memiliki

jendela samping atau belakang. Rumah di Desa Lau Solu ini dapat dibagi kedalam tiga

bagian yaitu: rumah permanen, semi permanen, non permanen. Tiga bagian rumah

penduduk akan dijelaskan di bawah ini :

1. Rumah Permanen

Rumah permanen umumnya diDesa Lau Solu ini masih bisa dihitung, sebab yang

punya dan menempati rumah permanen ini juga adalah orang-orang yang sudah lama

(29)

ekonomi dan mempunyai penghasilan yang baik. Rumah jenis ini sudah ada yang

mempunyai kamar mandi sendiri tetapi ada juga yang tidak mempunyai kamar mandi

sendiri dan harus kepemandian umum. Lantai rumah sudah ada terbuat dari keramik juga

ada yang dari semen tidak lagi dari tanah yang dikeringkan, sedangkan jendela sudah dari

kaca nako dan jeruji besi.

2. Rumah semi permanen

Rumah semi permanen umumnya berukuran 3 x 4 meter, dan 5 x 4. Rumah ini

jenisnya berbentuk setengah batu, berdindingkan papan dan berlantaikan semen dan atap

rumah terbuat dari seng dan rumah sudah ada yang di cat maupun belum dicat dimana ada

rumah yang sudah memiliki lantai keramik maupun menggunakan semen biasa sebagai

lantai rumah mereka. Di ruangan ini semuanya terletak, baik yang tidak memiliki ruang

kamar maupun yang memiliki ruang kamar yang seadanya. Rumah ini dimanfaatkan juga

sebagai tempat berusaha seperti kedai kopi, rumah makan, warung dan lin-lain baik jualan

nasi maupun jualan jajanan, rokok, keperluan untuk mandi dan mencuci. Ada juga yang

menjadikan pekarangan rumahnya di jadikan tempat untuk meletakkan hasil pertanian yang

baru dipanen maupun di jual.

3. Rumah non Permanen

Sebagian tempat tinggal di Desa Lau Solu ini adalah non pemanen. Rumah yang

dimaksud disini adalah rumah yang memiliki tata ruang dan bentuknya sangat

memprihatinkan sebab mereka tinggal dirumah yang tidak layak untuk dihuni karena

rumahnya sudah hampir tumbang dan udara kurang masuk kedalam rumah.

Rata-rata ukuran tiap rumah non permanen ini terdiri dari 6 x 8 meter persegi

dimana sebagian bangunan rumah itu terbuat dari papan yang diolah sendiri berbahan baku

(30)

segalanya dimanfaatkan baik itu dari ruang tamu, ruang kamar maupun ruang keluarga juga

ruang dapur. Di ruangan inilah mereka meletakkan seluruh barang yang dimilikinya baik

dari barang elektronik seperti TV, VCD, Tape Recorder, hasil pertanian dan peralatan

dapur mereka.

2.4. Demografi Penduduk Desa Lau Solu

Penduduk di Desa lau Solu ini sangat tidak padat sebab masih kita temui keadaan

rumah dimana jarak antara rumah terlihat masih dibatasi dengan pekarangan (halaman)

yang luas dengan tanaman yang masih dapat ditanam di sekitar halaman. Kondisi bangunan

di Desa Lau Solu adalah rata-rata semi permananen. Tiap-tiap rumah rata-rata dihuni 5

orang dengan ukuran 6 x 8 meter.

Penduduk yang tinggal di Desa Lau Solu terdiri dari warga pribumi. Tidak ada

warga negara asing atau keturunan asing yang tinggal di Desa ini. Warga pribumi yang

tinggal di Desa ini adalah seluruhnya Warga Negara Indonesia pribumi. Masyarakat yang

tinggal di Desa lau Solu mayoritas adalah suku Karo sebagian pendatang dari Suku Alas

dan berdomisili dan menetap di Desa Lau Solu .

Mayoritas Agama masyarakat Desa Lau Solu adalah beragama kristen yakni sebesar

60,2%. Terbesar kedua adalah Islam sebesar ,38,5% dan diikuti Kristen Katolik sebesar

1,5%. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel berikut:

Tabel 2.1. Distribusi Penduduk Berdasarkan Agama di Desa Lau Solu Kecamatan Mardinding Tahun 2012.

No Agama Jumlah (orang) %

(31)

2 Islam 640 38,5

3 Kristen Katolik 20 1,3

4 Buddha - -

5 Hindu - -

6 Sikh - -

Jumlah 1660 100

Sumber: Kantor Kepala Desa Tahun 2012

Pada umumnya, penduduk Desa Lau Solu berpendidikan tamatan SLTP. Terbanyak

kedua tamatan SMA dan hanya sedikit yang mempunyai tamatan perguruan tinggi atau

sarjana. Hal ini dapat dilihat pada Tabel berikut.

Tabel 2.2. Distribusi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Desa Lau Solu Kec.Mardinding Tahun 2012.

No Tingkat Pendidikan Jiwa %

1 Belum Sekolah 259 21

2 Tidak Tamat SD 252 20,3

3 Tamat SD/ Sederajat 126 10

4 Tamat SLTP/ Sederajat 575 25

5 Tamat SLTA/ Sederajat 415 23

6 Tamat Akademi -

7 Perguruan Tinggi/ Sarjana 12 0,7

Jumlah 1660 100

(32)

Pendidikan merupakan salah satu faktor penting terhadap setiap manusia, sehingga

setiap orang atau keluarga selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan pendidikan. Jika

dilihat Tabel I.5. diatas, komposisi penduduk di Desa Lau Solu berdasarkan Status

pendidikan dihitung dari usia produktif masuk sekolah, mulai yang tidak pernah sekolah

sampai menyelesaikan tamat SLTA sebagai berikut; tidak sekolah sebanyak 259 jiwa,

sebesar 21 persen. Dan jumlah penduduk yang pernah sekolah sampai tamat SLTA adalah

415 jiwa, dan jumlah totalnya adalah sebesar 23 persen dari jumlah total penduduk.

Keterbatasan ekonomi keluarga merupakan salah satu penyebab mereka tidak melanjutkan

pendidikan kejenjang yang lebih tinggi, namun pada saat ini tingkat pendidikan di Desa

Lau Solu sudah lebih maju dari tahun-tahun sebelumnya.

Kemajuan tingkat pendidikan di Desa Lau Solu dapat dilihat dari ke ikutsertaan

semua anak berusia sekolah dasar yang ada di Desa Lau Solu mengikuti jenjang pendidikan

Sekolah Dasar (SD). Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan ini dapat dilihat

bahwa tidak ada lagi penduduk yang tidak bersekolah, atau putus sekolah. Sedangkan untuk

jumlah penduduk yang sudah tamat akademi atau Strata 1 adalah sebanyak 12 jiwa atau

sebesar 0,7 persen. Semua penduduk yang sudah tamat pendidikan D3 dan S1 rata-rata

sudah tidak tinggal lagi di Desa (merantau).

Jenis pekerjaan yang paling dominan penduduk Desa Lau Solu adalah mayoritas

petani yakni sebesar 70%. Sedangkan jenis pekerjaan paling sedikit adalah supir

sedangkan pensiunan PNS sebanyak 0,6%. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 2.1 di bawah

(33)

Tabel 2.3. Distibusi Penduduk Berdasarkan Jenis Pekerjaan diDesa Lau Solu Tahun 2012.

No Jenis Pekerjaan Jumlah %

1 Petani 1000 51

2 Wiraswasta 100 16

3 Pegawai Swasta 200 20

4 Pensiunan PNS 20 0,4

5 PNS 226 21

6 Supir 33 0,6

Jumlah 1660 100

Sumber: Laporan Kependudukan kantor kepala Desa Lau solu Tahun 2012

Dari Tabel di atas menunjukan bahwa matapencaharian sebagai petani yang paling

dominan yaitu sebanyak 1000 jika dipersentasekan sebanyak 51%, Wiraswasta sebanyak

100 atau 16 %, sebagai PNS (Pegawai Negri Sipil) sebanyak 226 atau 21 %, supir sebanyak

33 jiwa atau 0,6 %, dan penduduk yang pensiunan PNS sebanyak 20 jiwa atau 0,4 %.

Selain mata pencaharian yang beraneka ragam yang didominasi petani ada juga yang

berwiraswata seperti Tukang Pangkas, Tukang Jahit, Salon Kecantikan, pedagang dan

lain-lain Desa Lau Solu. Dari 51 % masyakat bekerja sebagai petani rata-rata sudah memiliki

tanah pertanian milik sendiri hanya sebagian kecil yang menyewa. Hasil produksi pertanian

yang paling dominan adalah tanaman padi sawah dan jagung dengan rata-rata hasil

pertanian padi sawah dan jagung dari Kec. Mardinding pertahun adalah 200 Ton. Untuk

(34)

Selain padi dan jagung tanaman yang diunggulkan atau tanaman yang banyak

ditanam masyarakat adalah tanaman Kakao atau yang sering disebut cokelat. Cokelat ada

saat ini rata-rata dijual perkilonya Rp. 5.000,- harga tersebut cukup murah jika

dibandingkan dari bulan 12 Tahun 2012 harga cokelat mencapai Rp. 15.000.

Selain dari tanaman padi dan tanaman Kakao ada juga yang menanam tanaman

palawija atau tanaman muda seperti cabe, jahe, dan sayur mayur. Biasanya masyarakat

Desa Lau Solu menjual langsung ke pasar atau terkadang ada juga toke atau pengumpul

yang datang langsung ke Desa Lau Solu. Selain tanaman muda ada juga tanaman tua seperti

sawit, cokelat, dan lain-lain. Selain berkerja di pertanian penduduk setempat mempunyai

mata pencaharian sampingan yaitu memelihara ternak. Ternak yang dipelihara masyarakat

adalah domba, sapi, kerbau, ayam petelur, dan Ayam kapung. Dalam Tabel 2.5 dapat kita

lihat jumlah dan jenis ternak yang diternakkan Desa Lau solu.

Tabel 2.4. Jumlah dan Jenis Ternak Desa Lau Solu. No Desa Sapi Kerbau Kambing/

Domba

Ayam

Petelur

Ayam

Kampung Itik

1 Lau Solu 35 - 58 290 400 180

(35)

2.3.2. Sarana Umum di Desa Lau Solu a. Sarana Pemerintahan

Sarana dan prasarana yang ada di Desa Lau Solu adalah: Sarana Pemerintahan yang

terdapat di Desa Lau Solu adalah Kantor Kepala desa dan Balai desa. Kantor kepala desa

digunakan untuk melayani masyarakat yang mengurus surat-surat atau izin-izin tertentu dan

lainnya. Sedangkan balai desa dipakai masyarakat Desa Lau Solu untuk berkumpul atau

dipakai untuk berpesta atau acara-acara lainnya.

b. Sarana Kesehatan

Sarana Kesehatan yang ada di Desa lau Solu hanya satu yaitu Balai pengobatan atau

poliklinik, sedangkan untuk membeli resep obat dari dokter masyarakat dapat membeli di

Apotek yang terletak di ibu kota kecamatan Mardinding. Klinik atau Balai Pengobatan

tidak memiliki fasilitas pengobatan yang lengkap. Pasien yang berobat ke klinik yang KEPALA DESA

SEKRETARIS 

DESA 

TENAGA TEHNIS 

K.PEMERINTAHAN  K.EKONOMI  KESEJAHTERAAN 

(36)

tersedia hanya pasien yang menderita penyakit biasa seperti demam, batuk dan lain-lain,

sehingga masyarakat yang menderita penyakit yang cukup serius maka masyarakat terpaksa

harus berobat ke rumah Sakit yang memiliki peralatan yang lengkap serta tenaga medis

yang lengkap. Mereka harus dibawa ke RSU Efarina etaham, yang jaraknya sekitar

Sembilan puluh kilometer dari Desa. Untuk lebih jelas mengenai fasilitas kesehatan

tersebut dapat dilihat pada Tabel berikut.

Tabel 2.5. Distribusi Fasilitas Kesehatan Berdasarkan Jenis Fasilitas Kesehatan dan Jumlah Unit di Desa Lau Solu Kec.Mardinding Tahun 2012.

No Jenis Fasilitas Kesehatan Jumlah Unit

1 Rumah sakit Umum -

2 Puskesmas -

3 Puskesmas Pembantu -

4 Poliklinik 1

5 Apotek -

6 Posyandu -

7 Praktek Dokter -

Jumlah 1

Sumber: Perangkat Desa Lau Solu

Sebagian besar penduduk Desa Lau Solu berobat ke poliklinik Desa yang terdapat

di pinggir jalan, di poliklinik Desa terdapat seorang dokter dan dua orang perawat. Jika

warga yang sakit tidak dapat ditangani di poliklinik Kelurahan maka akan ke RSU Efarina

(37)

c. Sarana Ibadah

Sarana Ibadah yang ada di Desa Lau Solu yaitu Gereja dan Mesjid. Gereja

digunakan umat kristiani digunakan sebagai tempat beribah dan pemberkatan sedangkan,

Mesjid yang ada digunakan buat umat muslim untuk melakukan shalat lima waktu.

Sedangkan Mushola yang ada digunakan untuk melakukan pengajian

Tabel 2.6. Fasilitas Tempat Ibadah Berdasarkan Tempat Ibadah dan Jumlah Unit di Desa Lau Solu Kec.Mardinding Tahun 2012.

No Tempat Ibadah Jumlah Unit

1 Masjid 1

2 Mushola 1

3 Gereja Kristen Protestan 4

4 Gereja Kristen Katolik -

5 Wihara -

6 Pura -

Jumlah 6

Sumber: Kantor Kepala desa Lau Solu 2012.

d. Sarana Umum

Sarana MCK (mandi, Cuci, Kakus) yang ada adalah berupa kamar mandi umum

milik warga. Kamar mandi ini terdapat di pinggir Desa, dan jika ingin menggunakan

fasilitas ini tidak dipungut bayaran ataupun gratis. Akan tetapi sewaktu kita menggunakan

MCK maka harus bersikap menahan rasa malu karena kita bergabung dengan masyarakat

(38)

Pada umumnya penduduk setempat telah bergama karena baggi mereka agama itu

penting sebagai patokan untuk menjalankan kehidupannya. Tempat Ibadah merupakan

salah satu fasilitas umum yang ada di Desa Lau Solu. Tempat Ibadah yang lebih banyak

dijumpai di Desa Lau Solu adalah gereja sebagai tempat ibadah untuk yang beragama

Kristen yakni ada 4 (Empat) buah. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2.8 di atas.

e. Sarana pendidikan

Fasilitas pendidikan yang ada di Desa Lau Solu. Terdiri dari SD, SLTP, dan SMA.

Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 2.9 sebagai berikut:

Tabel 2.7. Fasilitas Pendidikan Berdasarkan Jenis Fasilitas Pendidikan dan Jumlah Unit Di Desa Lau Solu Kec.Mardinding Tahun 2012.

No Jenis Fasilitas Pendidikan Jumlah Unit

1 SMA -

2 SLTP 1

3 SD 1

4 TK -

Jumlah 2

Sumber: Kantor Kepala Desa Lau Solu 2012.

2.5. Kelembagaan di Desa Lau Solu

Kelembagaan atau organisasi yang ada di Desa Lau Solu bermacam-macam, ada

yang berupa lembaga Agama, lembaga Sosial, Lembaga adat, dan Lembaga Pemerintahan.

(39)

1.Kepala Desa

Kepala Desa mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan,

pembangunan dan kemasyarakatan. Akan tetapi lembaga atau perangkat – perangkat yang

berada di Desa Lau Solu tidak berfungsi semestinya, dan kantor kepala Desa jarang dipakai

begitu juga inventaris di dalam kantor kepala desa tersebut sudah banyak yang rusak dan

tidak dapat dipakai lagi.

Tabel 2.8. Lembaga di Desa Lau Solu

No Desa/Kelurahan Formal Informal

Desa Lau Solu Pemerintahan Desa -

PKK Karang Taruna

LKM Pemuda Pancasila

STM

Remaja Mesjid

Permata Gereja

Arisan marga

Partai Politik

Kelompok Tani

Sumber: Dikelola Oleh Penulis

Lembaga Umum yang dimaksud adalah lembaga yang di dirikan berdasarkan

kepentingan umum semua masyarakat Desa Lau Solu seperti :

1. Karang taruna yang dikelola oleh muda mudi Desa Lau Solu.

2. PKK.

(40)

4. Serikat tolong menolong (STM) sedikit berbeda dengan lembaga umum lainnya, dimana

STM tersebut masih juga membatasi dengan perbedaan satu sama lain, hanya saja tidak

seperti lembaga adat yang berdasarkan marga. Masing-masing lembaga umum diatas

memiliki struktur dan kelembagaan yang diakui oleh masyarakat Desa Lau Solu.

5. Permata gereja dimana dalam kelembagaan ini di urus oleh muda mudi gereja.

6. Pemuda pancasila merupakan organisasi masyarakat yang berdiri di desa Lau Solu dimana

pengurusannya sebagian adalah masyarakat Lau Solu.

7. Nasdem dan Golkar merupakan mayoritas partai yang berada di Desa Lau Solu.

Kelembagaan di Desa Lau Solu sangat berpengaruh dengan kegiatan dan aktivitas

masyarakat.

Gambar 1: Diagram Hubungan Antar Lembaga di Desa Lau Solu

(41)

BAB III

ARON PADA MASYARAKAT DESA LAU SOLU 3.1. Aron

Sektor pertanian di Kabupaten Karo pada umumnya sangat berkembang pesat,

terutama Jeruk, Kopi dan tanaman palawija. Daerah Kabupaten yang memiliki wilayah

rata-rata 1100 dpl sampai dengan 1300 dpl, dengan daerah yang ketinggian rata-rata-rata-rata 1000 dpl

bagus untuk daerah pertanian palawija dan tanaman Jeruk. Hal ini yang membuat mayoritas

penduduknya bekerja sebagai petani. Walaupun perkembangan tehnologi masyarakat

semakin canggih, Desa Lau Solu masih mengenal istilah Aron. Menurut masyarakat Desa

Lau Solu Aron adalah pekerja diladang orang dengan cara di bayar dan menurut bapak

Kepala Desa Lau Solu:

Aron adalah suatu bentuk kerja gotong royong dalam mengerjakan suatu pekerjaan dimana gotong royong tersebut bergerak disektor pertanian dan pekerja tersebut diupah. (Ginting)

Di Lau Solu kita dapat menjumpai suatu kelompok pekerja (buruh) harian lepas

yang sering disebut oleh masyarakat Karo sebagai aron. Mereka bekerja dalam

proses menanam, menyiangi, dan memanen hasil-hasil pertanian dengan upah harian.

Setiap hari mereka berkumpul di suatu tempat untuk menunggu para petani p e m i l i k

l a h a n yang memerlukan tenaga mereka.

Pagi-pagi sekali mereka harus sudah berangkat menuju tempat tersebut karena

jarak dari tempat mereka tinggal cukup jauh walaupun sebagian dari mereka ada yang

tinggal di Desa Lau Solu. Ketika mereka berangkat dari rumah, mereka ada yang tahu dan

(42)

tergantung dari kepemilikan lahan yang memerlukan mereka. Salah satu hal yang perlu

diketahui adalah tidak selamanya mereka mendapatkan pekerjaan. Hal ini disebabkan

jumlah mereka yang begitu banyak. Mereka membentuk suatu komunitas tersendiri di

Desa Lau Solu.

Buruh harian lepas (aron) ini mulai beroperasi tidak diketahui secara pasti.

Seorang penduduk setempat yang telah lama tinggal di daerah tersebut sejak tahun

1989 yaitu Esra Bangun mengatakan tidak mengetahui secara jelas sejak kapan aron ini

ada Desa Lau Solu tersebut, sebab ketika dia dan keluarganya menetap disana buruh aron

tersebut sudah ada disana. Sementara itu seorang petani jeruk Gembira Ginting yang

telah sering menggunakan jasa para buruh harian lepas sejak tahun 1990-an. Begitu juga

dengan informasi yang penulis peroleh dari Desa Lau Solu tidak ada data yang

mengatakan sejak kapan Buruh Harian Lepas (BHL) (aron) tersebut mulai ada.

Menurut kepala Desa Lau Solu mengatakan bahwa kehadiran para buruh aron

seiring dengan pesatnya perkembangan sektor pertanian di Desa Lau Solu terutama

buah-buahan dan sayur-sayuran. Tidak bisa dibayangkan kalau tidak ada buruh aron maka

sektor pertanian di Desa Lau Solu akan mengalami kepincangan, sehingga peran serta

mereka dalam sektor pertanian Desa Lau Solu sangat besar. akan mengalami kepincangan,

sehingga peran serta mereka dalam sektor pertanian Desa Lau Solu sangat besar.

Menurut data statistik kantor Kepala Desa yang terdata jumlah tenaga kerja

aron di Desa Lau Solu adalah 210 Jiwa. Tenaga kerja aron ini terdiri dari tenaga kerja

aron wanita 121 orang dan tenaga kerja aron pria 89 orang .rata-rata semua, jumlah

aron wanita lebih besar dari aron pria. Kecamatan Desa Lau Solu tenaga kerja aron yang

paling besar adalah pendatang yaitu sebesar 170 orang, dimana terdapat 1 0 4 tenaga kerja

(43)

3.1.1. Aron Perempuan

Sebagai seorang yang telah menikah, wanita mempunyai peran dalam keluarga

inti sebagai istri, sebagai ibu dan sebagai pengurus rumah tangga. Ini pada umumnya

dirasakan sebagai tugas utama dari seorang wanita yang terkait dalam gambaran

perkawinan. Dalam tiga peran tersebut di atas, wanita memberikan diri

sepenuhnya demi kesejahteraan keluarganya. Namun dalam kehidupan modern dan

era pembangunan dewasa ini, wanita dituntut dan sering juga dimotivasi untuk

memberikan sumbangan lebih dari pada diatas, tidak terbatas pada pelayanan suami

dan urusan rumah tangga. Banyak wanita d i D e s a L a s u S o l u tidak puas hanya

pada peran diatas dan sering keadaan ekonomi keluarga menuntut wanita untuk

bekerja diluar atau mencari satu kegiatan yang menambah penghasilan keluarganya

Aron di desa Lau Solu tidak selamanya menggunakan tenaga laki-laki tetapi para

ibu-ibu juga terlibat dalam aron, seperti melakukan penanaman padi dan jagung. dimana

mereka bekerja berkelompok untuk mengerjakan lahan pertanian. Usia aron perempuan

yang bekerja di ladang pemilik lahan bersekitar 30 tahun – 40 tahun, mereka saling berkerja

sama dan terlihat kompak dalam mengerjakan lahan tersebut. dalam pengolahan lahan aron

perempuan digunakan saat menanam maupun memanen hasil pertanian yang dimana

mereka diupah dengan Rp.40.000/hari dari jam 08.00 – 17.00. Didalam pekerjaan yang

mereka kerjakan seperti menanam maupun disaat memanen lahan pertanian, mereka mulai

berkerja pada pukul 08.00 hingga jam 12.00 mereka istrirahat makan siang, dalam makan

siang tersebut mereka membawa bekal mereka masing-masing tanpa meminta makan

(44)

tugas mereka pun selesai pada hari itu.

Dalam melakukan pekerjaan mereka menggunakan alat – alat yang sudah disiapkan

oleh sang pemilik lahan mulai dari bibit,pupuk, cangkul dll dalam melakukan pembibitan

sebaliknya dalam pemanenan mereka juga sudah disiapkan keperluan mereka oleh sang

pemilik lahan mulai dari sabit mesin perontok padi.

3.1.2. Aron Laki-Laki

Pada dasarnya laki-laki adalah merupakan tulang punggung keluarga dan sebagai

pemimpinan dan mempunyai sifat kepemimpinan di dalam keluarga . Dari segi fisik

laki-laki jauh lebih kuat dari pada wanita, dari segi kesabaran perempuan lebih sabar dari pada

laki-laki. Lelaki lebih kepada tenaga yang dimana laki-laki lebih sering melakukan tugas

seperti menyemprot tanaman seperti pestisida,didalam melakukan pekerjaan ini umur tidak

menjadi permasalahan asal ada keinginan dari aron laki-laki tersebut, selain peyempropatan

ada juga tugas laki-laki yakni adalah mundak seperti membawa hasil pertanian dari lahan

pertanian ke tempat dimana sang pemilik lahan yang meminitanya. Dalam melakukan

pekerjaannya ini mereka mendapat upah satu goni Rp.15.000, dimana dalam membawa

hasil panen tersebut mereka menggunakan alat transpot sepeda motor, dalam sekali langsir

mereka dapat membawa 4-5 goni. Jadi upah mundak dari aron laki-laki tersebut ditentukan

dari banyaknya bawaan mereka dihari itu. Akan tetapi dalam mundak tersebut hanya

dikerjakan saat panen saja apabila pada hari-hari biasa mereka mendapat upah

Rp50.000/hari.

Di dalam kehidupan sehari-hari apabila untuk aron panggilan maupun lahan yang

mau dikerjakan tidak ada maka mereka menggantikan peran istri dirumah seperti menjaga

(45)

sebagai aron. Akan tetapi disaat istri mereka sudah selesai bekerja sebagai aron suami dapat

melakukan aktivitasnya terlepas sebagai perkerja aron seperti berkumpul dengan pekerja

aron laki-laki di kedai kopi maupun di kedai lapo tuak yang ada disana, hingga ada

panggilan dari sang pemilik lahan untuk menyewa jasa mereka lagi.

3.2. Terbentuknya Kelompok Aron

Pada dasarnya aron di Desa Lau Solu merupakan suatu bentuk kerja sama untuk

mengerjakan lahan dalam bidang pertanian. Masyarakat desa ini membentuk satu kelompok

untuk mengerjakan lahan pertaniannya secara berganti-gantian contohnya, dalam satu hari

maupun dua hari kelompok ini mengerjakan satu lahan pertanian milik dari anggota

kelompok tersebut, begitulah secara bergantian hingga pekerjaan lahan mereka selesai

dikerjakan.

Konsep gotong –royong pada saat sekarang, makna aron pada masyarakat Desa

Lau Solu telah berubah itu disebabkan karena adanya perubahan atau makna gotong-royong

menurut bapak Kita Ginting :

Aku enggo 60 tahun tubuh jenda, adi nai aron labonggalar egia adi gundari perbahen enterem kalak i kuta enda anak peranana melala merantau erbahenken sekolah ku kota ntah pe erbahenken erdahin ku medan. Maka enterem kalak bas kuta enda mbuat kalak alas itamaken bas juma kalak jenda, enca erbahenken reh sitikna anak perana maka reh ndekahna maka reh nteremna ka kalak alas erdahin ku kuta enda jadi aron siupahi.’

(46)

dibayar ataupun diupah , tetapi kalau sekarang karena banyak pemuda yang merantau untuk

pendidikan kekota maupun yang bekerja dan mencari kerja disana. Maka banyak

masyarakat dikampung ini mengambil orang alas diberi pekerjaan keladang mereka, setelah

itu dikarenakan semakin sedikitnya pemuda maka semakin banyak masyarakat alas kerja

kekampung ini menjadi aron upahan.

Dari kutipan diatas menurut Bapak Kita Ginting yang menyebabkan ialah akibat

pemudanya banyak yang melakukan Urbanisasi salah satu faktor mengapa Desa Lau Solu

kekurangan tenaga di Desa nya, sehinggadidatangkan aron dari luar Desa tersebut.

Dalam pembentukan kelompok aron setiap orang berhak menentukan siapa peserta

aronnya sendiri. Jam kerja dimulai pada pukul 8.00 Wib – Pukul 18.00 Wib, pembagian

kerja dilakukan berdasarkan jenis pekerjaan misalnya pada saat panen pekerjaan laki-laki

adalah mengangkat kumpulan-kumpulan padi yang sudah selesai dipotong (raden). Pada

saat ini masyarakat sudah menggunakan uang dalam membayar tenaga aron, bagi

peserta aron yang tidak dapat datang pada waktu proses bekerja, maka ia membayar

dengan uang kepada peserta aron tersebut sesuai dengan gaji aron satu hari, gaji aron pada

saat ini adalah Rp. 4000/hari. Pada saat pekerjaan di sawah masing- masing peserta

kosong, kelompok aron tersebut akan bekerja di sawah orang lain yang membutuhkan

tenaga kerja. Pemilik sawah akan menanyakannya kepada ketua aron. Gaji yang akan

diterima juga akan diberikan kepada ketua aron selanjutnya ketua aron yang akan

membagikan kepada peserta lainnya. Makanan dan minuman sudah disediakan oleh

pemilik sawah untuk makan siang namun sayur tidak ditanggung oleh peserta aron.

(47)

Dalam kondisi sebagai pekerja aron maka tentunya perekonomian mereka telah kita

ketahui bahwa mereka memiliki perekonomian yang rendah. Walaupun ada sebagian dari

mereka ada juga memiliki lahan sendiri didaerah asal mereka akan tetapi, mereka lebih

suka menjadi aron dilahan orang ketimbang mengolah lahan mereka sendiri, dikarenakan

kurangnya modal mereka untuk membuka lahan sehingga mereka lebih suka menjadi aron

dikarenakan mereka dapat mendapat penghasilan yang pasti ketimbang menolah lahan

mereka yang tidak pasti ditambah harus memiliki modal.

Dalam segi pendidikan rata-rata anak dari pekerja aron bersekolah setidaknya tamat

SD, apabila mereka ada rejeki berlebih maka mereka akan melanjutkan pendidikan anak

mereka kejenjang yang lebih, apabila tidak ada rejeki atau perekonomian mereka defisit

maka anak mereka tidak dapat dilanjutkan pendidikannya .

Didalam kehidupan sehari-hari anak dari pekerja aron tidak seharian penuh dengan

kedua orang tua mereka dikarenakan kedua orang tua mereka harus pergi bekerja pada pagi

hari dan kembali pada sore hari ataupun pada malam hari. Akan tetapi disaat salah satu

dari kedua orang tua mereka tidak bekerja maka bagian yang tidak bekerja itulah yang

menjaga anak, hal ini keseringan ayah yang menjadi penjaga dari anak-anaknya akibat

tidak adanya panggilan untuk menjadi pekerja aron. Para pekerja aron laki-laki tidak setiap

hari bekerja sehingga anak sepenuhnya tanggung jawab dari ayah akan tetapi kalau ayah

bekerja sebagai aron maka peran ayah digantikan oleh ibu.

Sri Rahayu merupakan perantau yang datang dari Aceh Tenggara 3 tahun lalu untuk

mengadu nasib. Dia bekerja sebagai buruh harian lepas sejak 2006 alasannya bekerja

sebagai buruh aron adalah karena keadaan yang memaksa, dan dia tidak mempunyai

skill untuk mencari pekerjaan lain. Sebelum menjadi buruh harian lepas ibu ini tidak

Gambar

Tabel 2.2. Distribusi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Desa Lau
Tabel 2.3. Distibusi Penduduk Berdasarkan Jenis Pekerjaan di Desa Lau Solu
Tabel 2.4. Jumlah dan Jenis Ternak Desa Lau Solu.
Tabel 2.5. Distribusi Fasilitas Kesehatan Berdasarkan Jenis Fasilitas Kesehatan dan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Metode penelitian yang digunakan peneliti adalah bersifat kerja laboratorium, menulis atau mencatat semua melodi instrumen kulcapi dalam upacara Ritual Erpangir

digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian Deskriptif Kualitatif yaitu metode yang digunakan untuk memecahkan dan menjawab permasalahan yang dihadapi pada

Tujuan yang digunakan dalam metode penelitian kualitatif naturalistik ini adalah agar penulis dapat memperoleh informasi data yang objektif dan holistik tentang

Selain itu bertujuan untuk mengungkapkan kehidupan petani Jagung pada Desa Lau Kapur yang di mulai dari tahun 1974, dengan di bukanya lahan pertanian tersebut maka

Selain itu bertujuan untuk mengungkapkan kehidupan petani Jagung pada Desa Lau Kapur yang di mulai dari tahun 1974, dengan di bukanya lahan pertanian tersebut maka

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif yang menekankan kepada bagaimana strategi komunikasi kesehatan dalam menyebarluaskan informasi thalasemia

Sedangkan metode analisis yang digunakan adalah deskriptif, memeriksa kuesioner dari responden kemudian mencari frekuensi dan persentasenya yang disusun dalam bentuk tabel

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif yaitu penelitian yang menjelaskan dan menggambarkan makna dan