PENGANGGURAN DI INDONESIA 1984-2008:
PERSISTENSI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHINYA
NILAM ANGGAR SARI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengangguran di Indonesia 1984-2008: Persistensi dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Februari 2011
ABSTRACT
NILAM ANGGAR SARI. 2011. Unemployment in Indonesia 1984-2008: Persistence and Its Sources. Under the guidance of DOMINICUS SAVIO PRIYARSONO and DJONI HARTONO.
Unemployment is a common problem in most countries. Generally the national unemployment rate rose from average 4.83 percent in 1992-1999 to 9.08 percent in 2000-2008. An increase in the unemployment rate not only implies a serious underutilization of manpower, but also may likely generate a series of social problems in the long run. As such, dealing with the upsurge in the unemployment rate has become the top priority in the governments policy agenda. Aside from the rise of the aggregate unemployment rate, the regional unemployment rate in Indonesia shows wide variability of the unemployment rate among 26 provinces, moreover this unemployment rate seems to persist over time. This study intended to identify the persistence of regional unemployment and to explore the sources of this regional unemployment across Indonesian provinces. Using time series data from 1984 through 2008 it identified the existence of regional persistence with two approaches: Im Pesharan Shin panel unit root test and panel method to get the ‘near unit root’ coefficient. Thus, to analyze factors affecting regional unemployment, panel data analysis was used. Panel unit root test showed that panel data in this period was stationary and this study found the coefficient was a near unit root process (0.87). A cross-regional panel study showed that the variables contributing to unemployment rate were the share of the labor force (15-24), minimum wage province, the percentage of the labor force that is male, and the share of labor force with a higher education. Real GDRP per capita, dependency ratio, and industry composition (the share of manufacturing and agriculture sectors to GDRP) negatively effected the dependent variable. Related to industry composition, even though both sector have a negative effect which reduced regional unemployment but the result showed that agriculture has the largest employment elasticity.Understanding the sources of regional unemployment is helpful to determine the appropriate policies to mitigate the unemployment rate across regions. This study provides important implications for government to make a new reorientation so that sector which has relatively high growth can also create employment. Second, this study recommends the promotion of a vocational education and training as a transition for young person to enter labor market. Third, it also suggests development of agriculture in rural area. Fourth, the government in region must have a specific unemployment program depending on potential characteristics of the regions and promotes new investments to create employment. Fifth, UMP is still needed as a reference in setting the workers wage, but the criteria of minimum wage should be determined not only refers to inflation rate but also includes employment growth, financial capability of company, and macroeconomic stability.
RINGKASAN
NILAM ANGGAR SARI. 2011. Pengangguran di Indonesia 1984-2008: Persistensi dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Dibawah bimbingan DOMINICUS SAVIO PRIYARSONO dan DJONI HARTONO.
Pengangguran merupakan salah satu masalah utama dalam perekonomian Indonesia. Dalam dua puluh tahun terakhir ini tingkat pengangguran agregat tidak pernah berkecenderungan menurun secara signifikan. Fenomena meningkatnya pengangguran secara agregat merupakan konsekuensi dari adanya pengangguran di tingkat provinsi. Beberapa permasalahan pengangguran dari dimensi regional adalah tidak adanya konvergensi dan tingkat pengangguran provinsi menunjukkan kecenderungan yang meningkat pada rentang waktu 1984 hingga 2008. Pengangguran yang cenderung semakin meningkat dan sulit untuk mengalami penurunan merupakan pengangguran yang persisten (InterCAFE 2008). Dalam penelitian ini hanya permasalahan kedua yang akan dianalisis yaitu kondisi pengangguran provinsi yang persisten. Hal ini disebabkan karena pengangguran yang persisten memberikan dampak negatif tidak hanya terhadap perekonomian namun juga sosial.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi persistensi pengangguran pada level provinsi (secara statistik) dan mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pengangguran regional. Ruang lingkup penelitian ini mencakup 26 provinsi di Indonesia. Data yang digunakan untuk menjawab permasalahan pertama (pembuktian persistensi pengangguran) adalah data sekunder tingkat pengangguran regional 26 provinsi (1984-2008) dengan menggunakan pendekatan panel unit root Im Pesharan Shin (IPS) dan menghitung koefisien persistensi dengan menggunakan metode panel. Tahap selanjutnya adalah mengidentifikasi determinan pengangguran regional dengan menggunakan data tahun 1998-2008. Keterbatasan penelitian ini adalah tidak meregresikan variabel migrasi ke dalam model dan melihat persistensi secara umum. Hal ini disebabkan karena data migrasi yang hanya tersedia setiap lima tahun sekali yaitu ketika dilaksanakannya sensus penduduk.
Secara teoritis, pengangguran yang berada pada kondisi persisten, memiliki kecenderungan untuk dapat kembali ke tingkat pengangguran alamiahnya (mean reversion) walaupun dengan intensitas yang sangat lambat. Artinya dengan melakukan uji akar unit, persisten atau tidaknya pengangguran terlihat dari karakteristik data yang bersifat stasioner. Hasil pengujian IPS dengan pendekatan intersep dan trend menghasilkan probabilitas sebesar 0,00 yang berarti sangat signifikan sehingga diputuskan bahwa H0
kerja berpendidikan tinggi dan angkatan kerja yang berjenis kelamin pria. Sementara faktor-faktor yang berpengaruh negatif terhadap tingkat pengangguran regional adalah PDRB per kapita, dependency ratio, serta komposisi industri yang mencakup pangsa sektor pertanian dan manufaktur terhadap PDRB. Terkait dengan komposisi industri, walaupun semua sektor berdampak negatif terhadap pengangguran namun sektor pertanianlah yang mempunyai elastisitas penyerapan tenaga kerja paling besar.
Alternatif kebijakan diperlukan untuk mengatasi persistensi pengangguran. Pertama, diperlukan reorientasi kebijakan bahwa sektor yang tumbuh relatif tinggi seyogyanya pro penciptaan lapangan kerja. Pemerintah dapat memberikan insentif berupa fiskal maupun nonfiskal (suku bunga rendah) bagi industri dengan teknologi padat tenaga kerja. Kedua, penelitian ini merekomendasikan pembangunan sektor pertanian di pedesaan agar penyerapan tenaga kerja di sektor ini menjadi optimal. Ketiga, pengkajian sistem pengupahan harus memperluas kriteria penyesuaian upah minimum. Keempat, sistem pendidikan harus diupayakan agar angkatan kerja yang memasuki dunia kerja memiliki keterampilan yang memadai dan sesuai kebutuhan dunia industri. Kelima, terkait dengan adanya karakteristik yang berbeda-beda antarprovinsi seyogyanya pemerintah provinsi dituntut untuk memiliki program pengangguran sendiri yang disesuaikan dengan potensi daerah. Bagi penelitian selanjutnya diharapkan menggunakan metode selain uji stasioneritas dalam mengidentifikasi persistensi pengangguran regional dan memasukkan variabel migrasi ke dalam model.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah;dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB.
PENGANGGURAN DI INDONESIA 1984-2008:
PERSISTENSI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHINYA
NILAM ANGGAR SARI
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Pengangguran di Indonesia 1984-2008: Persistensi dan Faktor Faktor yang Mempengaruhinya
Nama : Nilam Anggar Sari NRP : H151080071
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. D S Priyarsono, MS
Ketua Anggota
Dr. Djoni Hartono,S.Si.ME
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
PRAKATA
Alhamdulillah, puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan karya ilmiah ini. Tesis yang berjudul “PENGANGGURAN DI INDONESIA 1984-2008: PERSISTENSI DAN FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA” ini disusun untuk memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Ilmu Ekonomi, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. D S Priyarsono, MS selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Djoni Hartono,S.Si.ME selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat bagi penyusunan tesis ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan juga disampaikan kepada penguji luar komisi Dr. Ir. Nunung Nuryartono,M.Si dan Dr.Ir.Sri Mulatsih, M.Sc atas masukan berharga terhadap penelitian ini. Selain itu penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada rekan-rekan kuliah, suami, orang tua, dan keluarga atas segala doa dan dukungannya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih terdapat banyak kekurangannya, baik dari segi materi maupun proses penulisannya. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan berbagai saran dan kritik yang membangun bagi perbaikan penulis.
Akhirnya, penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat memberikan kontribusi kepada berbagai pihak dan menjadi landasan yang baik menuju tahap berikutnya.
Bogor, Februari 2011
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Nilam Anggar Sari lahir pada tanggal 22 Januari 1985 di Surakarta. Penulis merupakan anak ketiga dari lima bersaudara, dari pasangan Bapak Soesilo Wibowo dan Ibu Sri Indrati. Penulis sudah menikah dengan suami bernama Kamal Harpa.
xvii
2.3 Faktor-Faktor Penyebab Pengangguran Regional ... 9
2.3.1 Perubahan Demografi... 9
2.3.2 Hambatan Sosial dan Ekonomi ... 10
2.3.3 Komposisi Industri ... 11
2.3.4 Kekakuan Upah ... 12
2.3.5 Pencarian Kerja ... 14
2.4 Pengukuran Persistensi Pengangguran Regional ... 14
2.5 Hasil Penelitian Empirik Terdahulu ... 16
2.6 Kerangka Pemikiran ... 19
2.7 Hipotesis Penelitian ... 23
III. METODE PENELITIAN ... 25
3.1 Pengujian Persistensi ... 25
3.2 Metode Analisis Determinasi Pengangguran Regional... 27
3.3 Jenis dan Sumber Data ... 28
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29
4.1 Identifikasi Persistensi Regional ... 29
4.2 Analisis Determinasi Pengangguran Regional ... 30
V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 47
5.1 Kesimpulan ... 47
5.2 Saran ... 47
xviii
xix
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Pengujian Persistensi Pengangguran Regional Indonesia ... 29
2 Koefisien Persistensi Pengangguran Regional Indonesia ... 30
3 Hasil Estimasi Persamaan Tingkat Pengangguran Regional ... 31
4 Struktur Pengangguran Berdasarkan Usia (Persen) ... 33
5 Pengangguran Menurut Pendidikan yang Ditamatkan (Persen) ... 36
6 Komposisi PDB dan Tenaga Kerja Menurut Sektor di Indonesia ... 39
7 Elastisitas Sektoral Tenaga Kerja... 40
8 Penduduk Berdasarkan Status Pekerjaan Utama ... 42
xx
DAFTAR GAMBAR
Halaman
xxi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 Uji Stasioneritas Panel Unit Root IPS ... 54 2 Metode Panel Unit Root Selain IPS ... 55 3 Uji Hausman ... 56 4 Estimasi Koefisien dengan Menggunakan Fixed Effect dengan
Dependent Variable Tingkat Pengangguran Menggunakan Fixed Effect dengan Cross Section Weights dan White Cross Section
Covariance ... 57
5 Uji Hausman Persamaan Determinasi Pengangguran Regional ... 58 6 Perbandingan Sum Squares Weighted dan Unweighted ... 60 7 Estimasi Persamaan Pengangguran Menggunakan Fixed Effect
xxii
1
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pengangguran merupakan salah satu permasalahan yang sering terjadi di
berbagai negara dan sering mendapat perhatian khusus baik dari pengambil
kebijakan maupun akademisi. Pengangguran yang tidak teratasi akan menjadi
beban bagi perekonomian (Amarullah 2008). Di samping itu, pengangguran juga
menunjukkan masalah ketidakefisienan dalam penggunaan faktor-faktor produksi
sehingga implikasinya adalah tingkat kemakmuran masyarakat tidak mencapai
potensinya yang maksimal. Pengangguran dapat digunakan sebagai salah satu
ukuran dalam menilai sebuah kinerja pemerintahan. Oleh karena itu, pengurangan
pengangguran biasanya menjadi target utama kebijakan perekonomian.
Pada umumnya, tingkat pengangguran Indonesia terus mengalami
peningkatan. Rata-rata tingkat pengangguran pada periode 1984-1991 adalah
sebesar 2,42 persen, periode 1992-1999 sebesar 4,83 persen, sementara periode
2000-2008 mencapai 9,08 persen. Dengan demikian terjadi perubahan rata-rata
tingkat pengangguran di antara ketiga periode tersebut (Gambar 1).
Sumber: Sakernas (1984-2008), diolah
Gambar 1 Tingkat Pengangguran dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 12,00
2
Fenomena meningkatnya pengangguran secara nasional merupakan
konsekuensi dari adanya pengangguran di tingkat provinsi. Salah satu masalah
pengangguran dari dimensi regional adalah perbedaan tingkat pengangguran
antarprovinsi yang cenderung semakin melebar dan divergen. Gambar 2
menunjukkan bahwa tingkat pengangguran provinsi-provinsi menunjukkan
kondisi yang cukup heterogen. Pada tahun 2008 Jakarta memiliki tingkat
pengangguran sebesar 12,16 persen, kemudian Sumatera Barat memiliki tingkat
pengangguran yang mencapai 8,04 persen. Sementara, provinsi Papua hanya
mencapai 5,18 persen. Dari 26 provinsi, tujuh provinsi di antaranya memiliki
tingkat pengangguran yang melebihi tingkat pengangguran nasional. Mayoritas
(lima provinsi) terletak di Kawasan Barat Indonesia (KBI), sementara provinsi
lainnya terletak di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Pada tahun tersebut, provinsi
dengan tingkat pengangguran tertinggi adalah Jawa Barat (12,66 persen)
sedangkan yang terendah adalah Bali (3,31 persen). Dengan demikian selisih nilai
antara kedua provinsi tersebut adalah sebesar 9,35 persen. Nilai tersebut
cenderung meningkat, mengingat pada tahun 1984 persen selisih nilai tersebut
hanya 6,53 persen. Data ini menunjukkan bahwa jarak tingkat pengangguran
antarprovinsi semakin besar.
Sumber: BPS (1984-2008), diolah
3
Dispersi tingkat pengangguran antarprovinsi juga ditunjukkan dengan nilai
standar deviasi yang cenderung terus meningkat. Pada periode 1984-2008 nilai
dari standar deviasi cenderung meningkat dari tahun ke tahun, walaupun sempat
mengalami penurunan pada beberapa titik waktu. Nilai tersebut berkisar antara
1,23 (tahun 1984) dan 3,34 (Tahun 1984) dengan rata-rata tingkat deviasi sebesar
2,12. Adanya perbedaan pengangguran antarprovinsi menunjukkan beragamnya
kinerja pasar tenaga kerja regional. Secara nasional kemampuan penyerapan
tenaga kerja cenderung menurun, walaupun mengalami peningkatan pada periode
2006 hingga 2008. Apabila dibandingkan dengan agregat nasional, Pulau Maluku,
Jawa dan Sulawesi memiliki tingkat penyerapan tenaga kerja yang lebih rendah
(Gambar 3). Hal ini menunjukkan bahwa proses pembangunan antarwilayah
relatif kurang merata.
Sumber: BPS (2008), diolah
Sumber: BPS (1992-2008), diolah
Gambar 3 Tingkat Penyerapan Tenaga Kerja Antarpulau, 1992-2008
Permasalahan kedua dari dimensi regional adalah tingkat pengangguran
provinsi menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Gambar 4 menunjukkan
bahwa semua provinsi mengalami peningkatan pengangguran. Sejak tahun 2006
tingkat pengangguran mengalami penurunan, namun jika dibandingkan dengan
periode sebelumnya maka tingkat pengangguran provinsi pada periode 2008
belum bisa kembali pada periode 1984. Data menunjukkan bahwa pengangguran
cenderung semakin meningkat dan sulit untuk mengalami penurunan. Gejala
demikian disebut pengangguran yang persisten (InterCAFE 2008).
82
1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
P
er
sen
4
Sumber: BPS (1984-2008), diolah
Gambar 4 Distribusi Tingkat Pengangguran Provinsi 1984 dan 2008
Persistensi pada level regional telah menjadi fenomena di berbagai
belahan dunia, tak terkecuali di Indonesia. Chuang dan Lai (2007), pada periode
1987-2004 menyatakan bahwa tingkat pengangguran diantara 23 kota di Taiwan
menunjukkan heterogenitas yang tinggi dan cenderung persisten sepanjang waktu.
Wu (2007) juga mengidentifikasi persistensi regional di berbagai wilayah di
China.
1.2. Perumusan Masalah
Masalah ketenagakerjaan yang terkait pengangguran di Indonesia
merupakan salah satu masalah makroekonomi yang utama. Dilihat dari dimensi
regional beberapa permasalahan pengangguran adalah pertama, tidak adanya
konvergensi dan kedua, tingkat pengangguran provinsi menunjukkan
kecenderungan yang meningkat pada rentang waktu tersebut. Dalam penelitian ini
hanya permasalahan kedua yang akan dianalisis yaitu kondisi pengangguran
provinsi yang persisten. Pengangguran memberikan dampak negatif tidak hanya
terhadap perekonomian namun juga sosial.
Pertama, pengangguran menunjukkan permasalahan ketidakefisienan.
Apabila terdapat pengangguran yang persistensi di tingkat regional, maka tingkat NAD
0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 7,00 8,00
2008
1984
5
pendapatan regional aktual lebih rendah daripada tingkat pendapatan
potensialnya. Keadaaan ini berarti tingkat kemakmuran yang dinikmati
masyarakat lebih rendah daripada tingkat kemakmuran yang mungkin dicapainya.
Kedua, mengurangi persistensi pengangguran ini berarti mengurangi dampak
negatif berkaitan dengan geographical concentrations of unemployment. Daerah yang mempunyai tingkat pengangguran yang persisten cenderung memiliki
demand terhadap barang dan jasa lokal yang rendah dalam jangka panjang. Ketiga, di samping akibat buruk yang bersifat ekonomi, pengangguran
menimbulkan pula biaya sosial. Terhadap individu, pengalaman menganggur akan
mempengaruhi prospek seseorang dalam kesempatan kerja yang akan datang (the scarring theory of unemployment). Semakin lama seseorang menganggur akan semakin berdampak pada perkembangan karirnya seperti kemampuan yang
semakin berkurang serta semakin tingginya peluang untuk memperoleh pekerjaan
dengan pendapatan yang cenderung kurang stabil. Di samping itu, pengangguran
yang semakin sulit untuk diatasi ditengarai sebagai pemicu masalah sosial
ekonomi masyarakat, sehingga dapat menghambat pembangunan dalam jangka
panjang. Studi terdahulu menunjukkan bahwa semakin tinggi angka
pengangguran, probabilitas meningkatnya kemiskinan, kriminalitas dan fenomena
sosial-ekonomi politik lainnya semakin tinggi.
Persistensi pengangguran regional akan membawa konsekuensi pada
semakin tingginya beban terhadap perekonomian. Tingkat pengangguran yang
tidak teratasi pada level provinsi akan membawa konsekuensi pada semakin
tingginya tingkat pengangguran nasional. Dengan demikian dibutuhkan penelitian
mengenai faktor-faktor penyebab pengangguran yang mengacu pada tingkat
regional. Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Apakah benar terjadi persistensi pengangguran provinsi di Indonesia?
2. Faktor-faktor apa yang menjadi sumber pengangguran provinsi di
6
1.3. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan latar belakang dan permasalahan di atas, tujuan yang ingin
dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Mengidentifikasi keberadaan persistensi di tingkat provinsi di Indonesia.
2. Mengidentifikasi sumber penyebab pengangguran pada level provinsi di
Indonesia.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu menjawab permasalahan persistensi
pengangguran pada level provinsi, karena pengangguran yang tidak teratasi pada
level ini akan berimplikasi pada semakin tingginya tingkat pengangguran agregat.
Dengan demikian secara umum penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi:
1. Pemerintah: Sebagai acuan dalam mengatasi permasalahan pengangguran
pada level regional berdasarkan perumusan strategi maupun langkah
kebijakan. Kebijakan yang diambil bisa berbeda antarprovinsi disesuaikan
dengan karakter masing-masing daerah.
2. Akademisi: Sebagai referensi dalam menggali lebih dalam mengenai
pengangguran.
3. Masyarakat: Memperluas wawasan serta cakrawala berpikir dalam
memahami kondisi pengangguran.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini mencakup 26 provinsi di Indonesia. Hal ini
disebabkan karena ketersediaan data yang tidak memungkinkan untuk mencakup
provinsi-provinsi baru. Keterwakilan tiap-tiap provinsi di seluruh pulau
diharapkan dapat merepresentasikan persistensi pengangguran regional di
Indonesia. Di samping itu, penelitian ini tidak mengidentifikasi persistensi untuk
II.TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini akan menguraikan teori-teori yang berhubungan dengan
pengangguran secara umum serta teori-teori yang berhubungan dengan
faktor-faktor yang menyebabkan pengangguran di tingkat regional yang
selanjutnya mengarah pada kondisi yang menyebabkan persistensi. Selain itu, juga
mencakup tentang penelitian terdahulu, kerangka pemikiran serta hipotesis yang
dibuat berdasarkan tujuan yang akan dicapai dengan penelitian ini.
2.1. Definisi Pengangguran
Menurut BPS, konsep dan definisi penduduk usia kerja adalah mereka
yang berdasarkan golongan umurnya sudah bisa diharapkan untuk bekerja. Di
Indonesia digunakan batasan umur 15 tahun sebagai batas seseorang dianggap
mulai bisa bekerja. Jadi penduduk usia kerja adalah penduduk yang telah berusia
15 tahun atau lebih. Penduduk usia kerja terbagi menjadi dua kelompok besar
yakni angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Penduduk bukan angkatan kerja,
adalah penduduk usia kerja (15 tahun ke atas) yang tidak termasuk ke dalam
angkatan kerja. Golongan ini secara ekonomi memang tidak aktif
(non-economically active population). Kegiatan mereka biasanya adalah sekolah, mengurus rumah tangga, pensiun, dan cacat jasmani. Sementara angkatan kerja
didefinisikan sebagai jumlah orang yang bekerja dan orang yang menganggur.
Menurut BPS, bekerja didefinisikan sebagai kegiatan dengan maksud memperoleh
atau membantu memperoleh penghasilan atau keuntungan selama paling sedikit
satu jam dalam seminggu yang lalu dan tidak boleh terputus.
Seseorang dikatakan menganggur atau mencari pekerjaan apabila termasuk
penduduk usia kerja yang; (1) tidak bekerja, atau (2) sedang mencari pekerjaan
baik bagi mereka yang belum pernah bekerja sama sekali maupun yang sudah
pernah berkerja, atau (3) sedang mempersiapkan suatu usaha, atau (4) yang tidak
mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin untuk mendapatkan pekerjaan,
atau (5) yang sudah memiliki pekerjaan tetapi belum mulai bekerja. Tingkat
pengangguran didefinisikan sebagai persentase dari angkatan kerja yang tidak
8
dalam Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) mengacu pada the labor force concept yang disarankan ILO (International Labor Organization). Secara skematis konsep tersebut digambarkan sebagai berikut:
Sumber: BPS (2008)
Gambar 5 Diagram Ketenagakerjaan
2.2. Persistensi Pengangguran dan Hysteresis
Blanchard dan Summer (1986) menyatakan bahwa the existence of hysteresis should not be confused with persistence. Persistence implies that, although the speed of adjustment towards the equilibrium level is slow, unemployment shows mean reversion. Thus persistence is a special case of the natural rate hypothesis in which unemployment is a near-unit root process. Under hysteresis, macroeconomic policy would have permanent effects on unemployment. If persistence were the prevailing case it would have long lasting but not permanent effects. Persistensi pengangguran terjadi manakala penyesuaian (adjustment) terhadap tingkat kesetimbangan berjalan dengan lambat. Pernyataan ini sesuai dengan Elmeskov (1993) yang menyatakan bahwa the adjustment towards equilibrium takes time and the adjustment process may be complicated. Walaupun dengan adjustment yang lambat, tingkat pengangguran yang berada
Penduduk
Bukan Usia Kerja Usia Kerja
Angkatan Kerja Bukan Angkatan Kerja
Pengangguran Mengurus RT
Sedang tapi belum mulai bekerja Mencari
Pekerjaan
9
pada kondisi persisten memiliki kecenderungan untuk dapat kembali ke tingkat
pengangguran alamiahnya(mean reversion). Equilibrium rate menurut Elmeskov (1993) adalah natural rate (tingkat pengangguran alamiah).
Kondisi ini perlu dibedakan dengan hysteresis yang merupakan kondisi fluktuasi dalam pasar tenaga kerja yang memiliki dampak yang permanen
terhadap tingkat pengangguran. Menurut Mankiw (2003), hysteresis adalah teori yang menyatakan bahwa resesi dapat mempengaruhi tingkat pengangguran
alamiah secara permanen. Hysteresis merupakan suatu proses unit root (tidak stasioner) sedangkan persistensi pengangguran disebut sebagai near unit root dan memiliki kecenderungan untuk mean reversion. Mean reversion dalam ekonometrika adalah suatu series jika fluktuasi cenderung kembali ke nilai
rata-rata dan varian cenderung bersifat konstan.
2.3. Faktor-faktor Penyebab Pengangguran Regional
Sub bab berikut memberikan penjelasan mengenai faktor-faktor penyebab
pengangguran regional yang terdiri dari labor supply, labor demand, dan mekanisme upah sebagai market clearing.
2.3.1. Perubahan Demografi
Berdasarkan berbagai literatur sebelumnya, perubahan demografi dapat
dikategorikan berdasarkan: struktur umur, gender, pendidikan, angkatan kerja, migrasi dan latar belakang keluarga. Tiap-tiap faktor tersebut dapat dijelaskan
sebagai berikut:
- Struktur umur: Pengangguran usia muda (15-24) kerap menjadi fokus
perhatian para pembuat kebijakan dan peneliti. Pada umumnya yang terjadi
adalah tingkat pengangguran usia muda lebih tinggi dibandingkan
pengangguran usia dewasa. Hal ini disebabkan karena tingginya frekuensi
dalam pergantian/pencarian kerja pada kelompok umur tersebut dan didukung
dengan kurangnya pengalaman dan keahlian mereka.
- Gender: Berdasarkan jenis kelamin, angkatan kerja terbagi menjadi angkatan kerja pria dan wanita. Pria pada umumnya memikul tanggung jawab utama
10
mereka lebih termotivasi dan aktif dalam mencari pekerjaan dan lebih enggan
untuk berhenti bekerja.
- Pendidikan: Elhorst (2003) menyatakan dalam beberapa studi bahwa pendidikan berpengaruh signifikan terhadap pengangguran. Hal ini disebabkan
karena berbagai alasan berikut: Pertama, seseorang yang berpendidikan tinggi
cenderung mencari pekerjaan lebih intensif. Kedua, mereka kurang rentan
terhadap pemutusan hubungan kerja (PHK) dan menunjukkan pola yang lebih
stabil dibandingkan yang kurang berpendidikan. Ketiga, seseorang yang
berpendidikan tinggi biasanya memiliki keterampilan yang dibutuhkan oleh
perekonomian dengan tingkat teknologi yang terus berkembang.
Dengan demikian seharusnya, semakin tinggi pangsa
pria terhadap angkatan kerja maka tingkat pengangguran akan semakin
rendah.
- Beban tanggungan keluarga (dependency ratio): Ide dasarnya adalah apabila dalam
- Migrasi: Filiztekin (2007) menyatakan bahwa migrasi bisa mempengaruhi sisi
supply maupun demand tenaga kerja. Migrasi keluar bisa mengurangi labor supply, sementara migrasi masuk bisa menyebabkan peningkatan baik dalam supply tenaga kerja (pengaruh langsung) dan demand tenaga kerja (tidak langsung). Efek terhadap demand tenaga kerja yaitu jika migrant berketerampilan dan berpendidikan tinggi, migrant memiliki kontribusi human capital dalam bentuk akumulasi keahlian, bakat kewirausahaan keterampilan dan inovasi yang akan berkontribusi terhadap produktivitas lokal sehingga
produksi dapat meningkat. Selanjutnya hal ini dapat berimplikasi terhadap
demand tenaga kerja.
suatu rumah tangga terdapat anggota keluarga (non produktif) yang
menjadi beban bagi individu (usia produktif) di keluarga, maka individu
tersebut akan lebih intensif dalam mencari pekerjaan. Dengan demikian
semakin tinggi dependency ratio di suatu wilayah tersebut semakin rendah tingkat pengangguran (Chuang dan Lai 2007).
2.3.2. Hambatan Sosial dan Ekonomi
Berbagai pandangan menyatakan bahwa adanya pengangguran di tingkat
11
hambatan ekonomi dan sosial. Pertama, sebagai catatan bahwa perilaku migrasi
tidak dapat sepenuhnya dijelaskan dengan konsep ekonomi. Hambatan sosial dan
ekonomi bisa memisahkan pasar tenagakerja regional (friction) terdiri dari:
1. Hambatan yang ditimbulkan karena adanya tingkat kepemilikan rumah.
Chuang dan Lai (2007) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif
antara tingkat kepemilikan rumah dengan tingkat pengangguran yaitu “a house ownership variabel to stand for the workers community identity and sosial networks affect the cost of migration and thus workers mobility. Strong community identification and cohesive social networks increase the cost of migration”.
2. Hambatan yang ditimbulkan karena adanya kebijakan ‘social security’. Banyak studi telah mengkaji dampak asuransi pengangguran terhadap pencarian
pekerjaan. Keberadaan sistem ‘social security’ atau asuransi pengangguran pada khususnya berhubungan positif dengan tingkat pengangguran regional
karena sistem ini mengurangi biaya dari ‘menganggur’ dan meningkatkan upah
reservasi (tingkat upah terendah agar penganggur mau bekerja). Dengan kata
lain, kebijakan tersebut menurunkan tingkat pencarian kerja. Di samping itu
Elhorst (2003) menemukan hubungan yang positif bahwa sistem upah
minimum meningkatkan pengangguran regional. Upah minimum dianggap
sebagai proteksi atau perlindungan untuk kesejahteraan pekerja. Dalam
kebijakan ini, perusahaan secara legal tidak boleh melakukan kebijakan
pengupahan di bawah floor wage, sehingga upah minimum sering dijadikan alasan oleh serikat buruh untuk mencegah terjadinya penurunan upah di bawah
upah minimum. Hal ini akan berimplikasi pada penurunandemand akan tenaga kerja.
2.3.3. Komposisi Industri
Argumen yang sering dikemukakan bahwa salah satu penyebab
pengangguran regional adalah struktur perekonomian dalam suatu wilayah
tersebut. Chuang dan Lai (2007) menyatakan bahwa pergeseran dalam komposisi
industri berpengaruh terhadap permintaan tenaga kerja pada level regional.
12
regional. Hal ini juga diperkuat oleh Wu (2003) bahwa persistensi pengangguran
regional tergantung pada struktur ekonomi wilayah tersebut. Tiap sektor akan
membutuhkan skill yang berbeda sehingga akan menimbulkan berbagai variasi tingkat pencarian, kesulitan dan penyesuaian antara skill dan lowongan yang tersedia dalam pasar tenaga kerja.
2.3.4. Kekakuan Upah
Kegagalan upah dalam melakukan penyesuaian sampai penawaran tenaga
kerja sama dengan permintaannya merupakan indikasi adanya kekakuan upah
(wage rigidity). Kekakuan upah merupakan salah satu penyebab terjadinya pengangguran (Mankiw 2003). Secara teoretis, untuk mempertahankan tingkat
pengangguran alamiah (natural rate of unemployment) sama dengan tingkat aktualnya (actual rate of unemployment), maka harus dijaga agar tingkat upah riil sama dengan Marginal Productivity to Labor (MPL). Upah riil menyesuaikan MPL sehingga ketika MPL turun maka upah riil seharusnya juga turun. Tetapi jika
tidak terjadi penurunan, maka upah riil tersebut kaku. Semakin lambat mekanisme
penyesuaian maka akan semakin lama dan semakin besar efek guncangan negatif
terhadap pengangguran, atau pada saat pertumbuhan upah riil lebih tinggi dari
pertumbuhan produktivitas perusahaan maka akan menyebabkan pertambahan
pengangguran. Di sisi lain, kekakuan upah nominal merupakan kemampuan upah
nominal dalam melakukan penyesuaian terhadap harga. Semakin lambat
mekanisme penyesuaian maka akan semakin besar penurunan upah riil sebagai
respon dari inflasi yang tidak diantisipasi. Dalam model keseimbangan pasar
tenaga kerja, upah riil berubah untuk menyeimbangkan penawaran dan
permintaan. Tetapi upah tidak selalu fleksibel, sehingga upah riil tertahan di atas
13
Sumber: Mankiw (2003)
Gambar 6 Grafik Keseimbangan Pasar Tenaga Kerja
Untuk memahami kekakuan upah dan pengangguran struktural, maka
penting untuk memahami mengapa pasar tenaga kerja tidak berada pada tingkat
keseimbangan penawaran dan permintaan. Hal ini dapat dilihat berdasarkan
Gambar 6, saat upah riil melebihi tingkat ekuilibrium dan penawaran pekerja
melebihi permintaannya, maka perusahaan-perusahaan diharapkan akan
menurunkan upah yang akan dibayar kepada para pekerja. Namun pada
kenyataannya, hal ini tidak terjadi. Pengangguran struktural kemudian muncul
sebagai implikasi karena perusahaan gagal menurunkan upah akibat kelebihan
penawaran tenaga kerja (Mankiw 2003).
Kekakuan upah ini terjadi sebagai akibat dari undang-undang upah
minimum atau kekuatan monopoli serikat pekerja. Berbagai faktor tersebut
berpotensi menjadikan upah tertahan di atas tingkat upah keseimbangan. Hal ini
pada akhirnya mengakibatkan pengangguran. Undang-undang upah minimum
menetapkan tingkat upah minimal yang harus dibayar perusahaan kepada para
karyawannya. Kebijakan upah minimum ditengarai akan lebih banyak berdampak
pada penganggur dengan usia muda (Mankiw 2003). Alasannya yaitu pekerja Tenaga Kerja
Permintaan Penawaran
Pengangguran Upah Riil
W1
W0
14
dengan usia lebih muda termasuk anggota angkatan kerja yang kurang terdidik
dan kurang berpengalaman, maka mereka cenderung memilki produktivitas
marginal yang rendah.
Kekakuan upah nominal juga disebabkan oleh adanya indeksasi upah
terhadap inflasi. Pada intinya indeksasi adalah upah yang telah disesuaikan
dengan kebutuhan hidup, dengan kata lain, upah ini telah disesuaikan dengan
inflasi. Ketika terjadi inflasi (kenaikan biaya hidup) pekerja akan menuntut
kenaikan upah, sehingga kemungkinan besar perusahaan akan meningkatkan
upah, karena ada biaya yang harus ditanggung (perceived cost) dari tindakan pekerja jika tuntutan kenaikan upah oleh pekerja tidak dikabulkan oleh
perusahaan (misalnya; mogok kerja, demonstrasi).
2.3.5. Pencarian Kerja
Pencarian kerja terkait dengan waktu yang dibutuhkan para pencari kerja.
Pencarian kerja bisa menjadi lebih lama atau lebih cepat karena dipengaruhi oleh
komposisi industri, mismatch, ketidaksempurnaan informasi, dan migrasi. Pencari kerja membutuhkan waktu untuk mencocokkan antara kualifikasi, keahlian yang
dimiliki dengan lowongan kerja yang tersedia. Perbedaan keahlian dan upah dari
setiap pekerjaan memungkinkan para penganggur tidak menerima pekerjaan yang
pertama kali ditawarkan. Kondisi ini akan menyebabkan pengangguran semakin
sulit untuk berkurang. Menurut Mankiw (2003), pengangguran yang disebabkan
oleh waktu yang dibutuhkan untuk mencari pekerjaan disebut pengangguran
friksional. Sumber utama pengangguran ini adalah angkatan kerja muda.
2.4. Pengukuran Persistensi Pengangguran Regional
Saat ini banyak metode ekonometrika yang ditawarkan untuk mengukur
tingkat pengangguran disesuaikan dengan kondisi dan tujuan yang diinginkan,
dimana setiap metode pengukuran memiliki kelebihan dan kekurangan. Berikut
adalah beberapa metode yang dapat digunakan:
1. Augmented Dickey-Fuller (ADF) test. ADF-test umumnya dilakukan sebagai indikasi awal terjadinya persistensi pengangguran, seperti yang diacu oleh
15
bahwa ADF-test memiliki kekurangan yaitu adanya kecenderungan untuk menerima Ho (tidak stasioner) terutama apabila data series mengalami structural break dan memiliki tren.
2. Vector Auto Regression (VAR). Kelebihan metode ini terutama terletak pada analisis impulse response yang bermanfaat untuk mengetahui bagaimana dan seberapa lama pengaruh dari suatu shock terhadap tingkat pengangguran (Murillo et al 2005).
3. Markov Switching Model. Model ini dilakukan oleh Bianchi dan Zoega (1998), dimana jika dalam suatu series terjadi structural breaks maka dapat diidentifikasi dan dampaknya pada data dapat dihilangkan.
4. Panel unit root metode Levin-Lin (LL) atau Im-Pesaran-Shin (IPS). Metode ini merupakan pengembangan dari ADF-test namun telah mengakomodasi perbedaan unit cross-section untuk kategori series yang dianalisis. Salah satu metode panel unit root yang digunakan adalah pendekatan LL. Namun demikian, pengujian dengan metode LL mempunyai kelemahan karena adanya
asumsi bahwa seluruh unit cross-section mempunyai kecepatan penyesuaian yang sama menuju kesetimbangan. Oleh karena itu, metode pengujian
alternatif adalah metode IPS. Metode ini mempunyai kelebihan dari metode
sebelumnya karena bisa menganalisis panel data yang mempunyai tingkat
heterogenitas yang lebih tinggi. Salah satu aplikasi model ini adalah studi
yang dilakukan Ledesma (2000).
5. Bayesian Autoregressive Fractionally Integrated Moving Average (ARFIMA). Pendekatan ini merupakan pendekatan alternatif untuk menguji dan
mengestimasi ketergantungan jangka panjang. Hal ini didasari bahwa
fenomena pengangguran merupakan proses jangka panjang. Kelebihan metode
ini adalah kemampuannya dalam memprediksi dampak jangka panjang suatu
shock.
Terkait dengan pengangguran regional, InterCAFE dengan Bank Indonesia
telah melakukan penelitian “Empiris Persistensi Pengangguran di Indonesia dan
Upaya Penanggulangannya berdasarkan Analisis Data Mikro”. Di dalam studi
tersebut terdapat pembahasan mengenai pengukuran persistensi pengangguran
16
data, yaitu Pooled Least Square (PLS), Fixed Effect (FE) dan Random Effect (RE). Hasil analisis menunjukkan bahwa terjadi persistensi dalam pengangguran
regional di Indonesia. Dengan demikian penelitian ini merupakan penelitian
lanjutan dari penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh kerjasama
InterCAFE dan Bank Indonesia yang bertujuan untuk mengidentifikasi persistensi
pengangguran regional dengan menggunakan rentang data yang lebih panjang dan
metode yang berbeda.
2.5. Hasil Penelitian Empirik Terdahulu
Analisis lain di Negara-negara Eropa mengenai masalah dan penyebab
tingginya persistensi pengangguran dilakukan Elmeskov pada tahun 1993 yaitu
‘High and Persistent Unemployment: Assessment of the Problem and Its Causes’. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tren kenaikan pengangguran disertai oleh
kenaikan secara drastis pada pengangguran dalam tingkat regional. Kondisi ini
diakibatkan kurangnya fleksibilitas pada upah di tingkat regional untuk
melakukan penyesuaian. Selain itu, kenaikan pengangguran tersebut juga
diakibatkan oleh rendahnya mobilitas geografis tenaga kerja. Elmeskov juga
menyatakan bahwa penyesuaian yang lambat dalam pasar tenaga kerja disebabkan
oleh beberapa faktor utama. Penyebab utama tersebut yakni besarnya kompensasi
untuk pengangguran, tingkat upah minimum dan regulasi mengenai perlindungan
pekerja. Berkaitan dengan struktur pengangguran, konsentrasi terhadap penduduk
berusia muda merupakan suatu fenomena tersendiri di berbagai negara. Di
samping itu, fenomena penting lainnya adalah penduduk dengan pendidikan dan
keterampilan yang minim merupakan mayoritas dari penganggur. Secara
bersamaan, karakteristik tersebut merefleksikan kegagalan sistem pendidikan
untuk mengelola proses transisi yang tepat dari kehidupan sekolah untuk bekerja.
Trend yang meningkat dalam pengangguran di berbagai negara OECD sejak tahun
1973 merupakan tantangan utama bagi pembuat kebijakan ekonomi. Mayoritas
negara anggota mengalami peningkatan yang cukup substansial saat terjadi
peningkatan harga minyak yang cukup tajam yaitu pada tahun 1973-1974 dan
17
Pengujian eksistensi persistensi pengangguran selanjutnya mengarah pada
kawasan Asia, yakni Cina. Penelitian ini dilakukan oleh Wu (2003) ‘The Persistence of Regional Unemployment: Evidence from China’. Studinya difokuskan pada perbedaan yang terjadi antara pengangguran total dan kaum
muda (total dan youth unemployment), tingkat nasional dan regional dalam fenomena persistensi pengangguran di Cina. Hasil empiris menunjukkan tiga esensi penting. Pertama, pengangguran total lebih persisten daripada
pengangguran kaum muda. Ketiga, wilayah barat Cina memiliki tingkat
pengangguran provinsi tertinggi tetapi persistensi pengangguran regionalnya
terendah. Metode data panel digunakan untuk menganalisis sumber-sumber dari
persistensi pengangguran. Hasil estimasi terhadap data panel menunjukkan bahwa
persistensi pengangguran relatif regional di Cina disebabkan bukan hanya oleh
high output share by state sector tetapi juga oleh high output share by collective sector. Semakin tinggi share output industri terhadap state sector dan collective sector maka pengangguran regional semakin persisten.
Riset yang dilakukan Ledesma (2000) bertujuan untuk mengetahui apakah
terjadi persisten atau hysteresis pengangguran antara kawasan regional Eropa dan Amerika. Estimasi dengan menggunakan panel unit root digunakan untuk mencerminkan derajat persistensi. Hasil riset memastikan temuan terdahulu yang
dilakukan oleh Blanchard dan Summers (1986) yang menemukan bahwa derajat
persistensi di negara-negara Eropa lebih tinggi daripada di Amerika. Dengan
demikian, dapat diartikan bahwa fenomena persistensi lebih cenderung terjadi di
Eropa daripada AS sekaligus mengindikasikan adanya hysteresis pengangguran di kawasan Eropa.
Penelitian mengenai disparitas pengangguran antarregional juga dilakukan
oleh Filiztekin (2007) di Turki. Hasil analisis mengindikasikan adanya persistensi
pengangguran di tingkat provinsi. Analisis regresi dengan Ordinary Least Square dilakukan pada dua titik waktu yaitu pada tahun 1980 dan 2000. Sumber-sumber
persistensi menunjukkan hasil yang berbeda pada kedua titik waktu tersebut. Pada
tahun 1980 faktor yang berpengaruh positif terhadap persistensi pengangguran
adalah pangsa jumlah pekerja di bidang pertanian, pangsa dari populasi berusia
18
Sementara untuk tahun 2000 faktor yang berpengaruh positif adalah pangsa
jumlah pekerja di bidang manufaktur dan pangsa angkatan kerja yang
berpendidikan rendah dan tinggi. Faktor net migrasi pada tahun 2000 berpengaruh negatif terhadap persistensi pengangguran. Hal ini mengindikasikan efek demand
yang dominan di wilayah tersebut.
Studi yang dilakukan oleh Chuang dan Lai (2007) The Sources of Taiwan Regional Unemployment: A Cross-Region Panel Analysis menyatakan adanya disparitas yang cukup signifikan diantara 23 wilayah di Taiwan. Di samping itu,
tingkat pengangguran regionalnya menunjukkan persistensinya sepanjang waktu.
Metode cross region panel yang digunakan menunjukkan bahwa mayoritas faktor yang berpengaruh terhadap persistensi dan divergensi tingkat pengangguran antar
regional adalah komposisi demografi (pangsa dari populasi usia muda),
karakteristik keluarga (pangsa pria terhadap angkatan kerja, pangsa populasi
perempuan yang telah menikah), struktur industri, tingkat kepemilikan rumah, dan
mobilitas tenaga kerja (migrasi keluar).
InterCAFE (2008) melakukan studi empiris ‘Persistensi Pengangguran di
Indonesia dan Upaya Penanggulangannya berdasarkan Analisis Data Mikro’.
Persisten atau tidaknya pengangguran terlihat dari karakteristik data yang bersifat
stasioner. Digunakan tiga alternatif pendekatan yang merujuk pada studi Elmeskov
(1993). Hasil pengujian menunjukkan koefisien yang mendekati satu, hal itu
merupakan indikasi terjadinya peristensi pengangguran. Pada intinya, studi ini
menyimpulkan bahwa persistensi pengangguran yang terjadi selama ini di
Indonesia termasuk kategori disequiliubriumpersistent unemployment without self correcting mechanism, yang berarti bahwa persistensi terjadi di luar kesetimbangan pasar tenaga kerja serta tidak memiliki mekanisme automatis
untuk menuju titik kesetimbangan. Selain itu, persistensi merupakan akibat dari
lambatnya proses akumulasi modal, kekakuan upah, semakin lamanya pencarian
lapangan kerja (job search), dan berbagai kelembaman yang diakibatkan oleh faktor kelembagaan pasar tenaga kerja.
Sugema (2009), menganalisis adanya disparitas tingkat pengangguran
regional di Indonesia dan persistensinya sepanjang waktu. Hasil analisis
19
kecenderungan tingkat pengangguran yang divergen antar provinsi ketika
persistensi meningkat. Tingkat pengangguran yang semakin tinggi meningkatkan
ketidakpastian untuk migrasi (pindah) antarprovinsi. Di samping itu, tingkat
pengangguran yang tinggi juga dapat mengindikasikan adanya ‘mismatch’ yaitu waktu yang dibutuhkan para pencari kerja untuk mencocokkan antara kualifikasi
yang dimiliki dengan lowongan pekerjaan yang tersedia. Kedua, belum adanya
pertanda ‘equilibrating mechanism’ melalui penyesuaian upah riil. Tingkat upah tidak fleksibel dalam merespon pengangguran, oleh karena itu perbedaan tingkat
upah antarprovinsi tidak bisa diharapkan untuk mengatasi disparitas
pengangguran. Hal ini terjadi karena tidak adanya insentif upah bagi penganggur
untuk migrasi dari wilayah yang mempunyai tingkat pengangguran yang tinggi ke
wilayah yang mempunyai tingkat pengangguran yang rendah. Ketiga, persistensi
juga berkaitan dengan struktur ekonomi dalam suatu wilayah. Dengan
menggunakan metode panel dapat disimpulkan bahwa semakin ‘advanced’ perekonomian dalam suatu wilayah, maka semakin persisten pengangguran. Lebih
spesifik, persistensi pengangguran lebih tampak pada wilayah dengan pangsa
sektor manufaktur dan jasa yang dominan. Hal ini mengimplikasikan bahwa
tingkat pengangguran alamiah cenderung meningkat ketika terjadi pergeseran
struktur ekonomi tradisional menjadi modern. Keempat, mobilitas tenaga kerja
masih sangat terbatas. Hal ini lebih merupakan akibat faktor sosial daripada faktor
ekonomi. Dengan demikian, Indonesia dikarakteristikkan dengan socially driven spatial fragmentation of labour market. Kebijakan yang bertujuan untuk mengurangi disparitas pengangguran harus mempertimbangkan isu-isu sosial
seperti faktor keluarga.
2.6. Kerangka Pemikiran
Keterkaitan antara perumusan masalah, tujuan penelitian, dan metode
penelitian dapat dilihat dalam kerangka penelitian yang tersaji pada Gambar 7 dan
Gambar 8. Penelitian ini berawal dari permasalahan pengangguran dari dimensi
regional yaitu kondisi pengangguran antarprovinsi yang cenderung divergen serta
pada rentang waktu 1984-2008 keseluruhan provinsi cenderung mengalami
peningkatan pengangguran. InterCAFE (2008) menyatakan bahwa pengangguran
20
merupakan pengangguran yang persisten. Namun, tetap diperlukan pengukuran
secara statistik di dalam mengidentifikasi persistensi pengangguran. Dengan
demikian tujuan pertama dalam penelitian ini adalah mengidentifikasi apakah
pengangguran pada level provinsi di Indonesia tergolong persisten atau tidak.
Secara umum, persistensi pengangguran terjadi manakala penyesuaian
(adjustment) terhadap tingkat kesetimbangan berjalan dengan lambat. Walaupun dengan adjustment yang lambat, tingkat pengangguran yang berada pada kondisi persisten memiliki kecenderungan untuk dapat kembali ke tingkat pengangguran
alamiahnya (mean reversion). Artinya dengan melakukan uji akar unit, persisten atau tidaknya pengangguran terlihat dari karakteristik data yang bersifat stasioner
(mean reversion). Analisis tahap pertama dapat dilihat pada Gambar 7 berikut.
Gambar 7 Analisis Tahap Pertama Pembuktian Persistensi Regional
Permasalahan Pengangguran Dimensi Regional
Jarak Tingkat Pengangguran Antardaerah Melebar
Periode 1984-2008 Seluruh Propinsi Mengalami Peningkatan Pengangguran
Uji Stasioneritas: Panel Unit Root Im Pesharan Shin
Koefisien Persistensi: Persamaan Dickey Fuller dengan
21
InterCAFE (2008) telah melakukan pengukuran persistensi di tingkat
regional dengan menggunakan metode panel dengan persamaan ADF (untuk
menghitung koefisien) dan didapat koefisien sebesar 0,929. Data yang digunakan
yaitu dari tahun 1996 hingga 2006. Pada penelitian ini, metode yang digunakan
adalah pengujian panel unit root dengan menggunakan data pengangguran regional. Penelitian ini merupakan modifikasi dari penelitian InterCAFE (2008)
dengan metode yang berbeda serta rentang data yang lebih panjang (1984-2008).
Tahap selanjutnya dari penelitian ini mengidentifikasi sumber-sumber
pengangguran regional. Hasil identifikasi atas dapat menjadi landasan untuk
mengatasi persistensi pengangguran. Kondisi dimana terjadi pengangguran
antarregional dapat dibagi menjadi tiga kategori: labor supply, labor demand, dan mekanisme upah yang terdiri dari perubahan demografi yang mencakup angkatan
kerja berusia muda (15-24), angkatan kerja berpendidikan tinggi (highskilled), total angkatan kerja provinsi, angkatan kerja berjenis kelamin pria, dan
dependency ratio. Struktur perekonomian daerah berpengaruh terhadap demand tenaga kerja regional. Tiap sektor jelas akan membutuhkan skill yang berbeda sehingga akan menimbulkan berbagai variasi tingkat pencarian, kesulitan dan
penyesuaian antara skill dan lowongan yang tersedia dalam pasar tenaga kerja. Dengan demikian struktur komposisi industri yang berbeda turut berpengaruh
terhadap tingkat pengangguran yang berbeda-beda antarwilayah. Terkait dengan
komposisi industri regional penelitian ini hanya menggunakan pangsa sektor
pertanian dan manufaktur terhadap PDRB untuk menghindari masalah
multikolinearitas. Di samping itu, PDRB perkapita digunakan untuk melihat
performance ekonomi dalam mempengaruhi demand tenaga kerja dalam suatu wilayah. Mengidentifikasi perilaku migrasi menjadi salah satu kendala dalam
penelitian ini, karena data migrasi masuk, migrasi keluar, dan net migrasi hanya tersedia setiap lima tahun sekali yaitu ketika dilaksanakan Sensus Penduduk (SP).
Dengan demikian, penelitian ini hanya menggunakan faktor tingkat kepemilikan
rumah tiap provinsi (persen) sebagai pendekatan dalam menangkap faktor
migrasi. Selanjutnya, penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah upah
22
minimum provinsi secara langsung akan meningkatkan upah riil (Rizqal 2010).
Bagi pengusaha atau perusahaan kenaikan upah minimum ini akan menyebabkan
kenaikan biaya produksi yang berasal dari kenaikan upah, sehingga apabila total
biaya produksi lebih besar daripada penerimaannya maka perusahaan akan
mengurangi jumlah tenaga kerja dan mempertahankan tenaga kerja yang lebih
produktif.
Metode yang digunakan dalam analisis ini adalah regresi panel dengan
variabel pengangguran sebagai variabel dependent. Dengan teridentifikasinya faktor-faktor yang berpengaruh positif terhadap pengangguran regional berarti
faktor tersebut menjadi penyebab lambatnya mekanisme penyesuaian terhadap
tingkat pengangguran alamiah. Berdasarkan uraian di atas, maka tahap kedua
dalam penelitian ini ditunjukkan oleh Gambar 8.
Gambar 8 Analisis Tahap Kedua
Identifikasi Faktor Penyebab Pengangguran Regional
Rekomendasi Kebijakan
Komposisi Industri PDRBK
AGRI, MANU
DEPEND
MALE
OWN Mekanisme Upah
Mobilitas
Demografi
YOU HEDU
Supply dan Demand
UMP
23
2.7. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan tinjauan teoretis dan penelitian-penelitian empiris terdahulu,
dapat dirumuskan berbagai hipotesis terkait dengan tujuan penelitian sebagai
berikut:
1. Terdapat persistensi pengangguran provinsi. Sejak tahun 2006 tingkat
pengangguran mengalami penurunan, namun jika dibandingkan dengan
periode sebelumnya maka tingkat pengangguran provinsi pada periode 2008
belum bisa kembali pada periode 1984.
2. Faktor-faktor yang berpengaruh positif terhadap pengangguran adalah
angkatan kerja berusia muda (15-24), angkatan kerja berjenis kelamin pria,
pangsa sektor manufaktur terhadap PDRB, total angkatan kerja provinsi,
tingkat kepemilikan rumah, dan upah minimum provinsi.
3. Faktor-faktor yang berpengaruh negatif terhadap pengangguran adalah
24
III. METODE PENELITIAN
3.1. Pengujian Persistensi
Tahap pertama dalam penelitian ini adalah membuktikan bahwa
pengangguran bersifat persisten. Secara teoretis, pengangguran yang berada pada kondisi persisten, memiliki kecenderungan untuk dapat kembali ke tingkat
pengangguran alamiahnya (mean reversion) walaupun dengan intensitas yang sangat lambat. Artinya dengan melakukan uji akar unit, persisten atau tidaknya
pengangguran terlihat dari karakteristik data yang bersifat stasioner. Data yang
stasioner akan mempunyai kecenderungan untuk mendekati nilai rata-ratanya dan
berfluktuasi di sekitar nilai rata-ratanya. Data yang digunakan adalah data tingkat
pengangguran provinsi dengan rentang waktu 1984 hingga 2008. Pendekatan
yang dominan dalam berbagai literatur adalah mengasumsikan bahwa tingkat
pengangguran (ut) merupakan proses autoregressive (AR) dengan ordo p. Model AR menunjukkan ut sebagai fungsi linear dari sejumlah ut
aktual sebelumnya
atau dinyatakan dalam:
Bianchi dan Zoega (1993) menyatakan bahwa ‘the sum of the autoregressive coefficients in the model,
is called ‘measure of persistence’ of unemployment’. Sebagai penyederhanaan, maka Dickey Fuller (DF) memodelkan AR dengan ordo 1 persamaan berikut:
maka terjadi hysteresis pengangguran karena trend data tersebut cenderung berfluktuasi tidak disekitar nilai rata-ratanya dan varian dari uit akan meningkat sejalan dengan peningkatan waktu dan cenderung untuk tak berhingga atau
fluktuasi pasar tenaga kerja yang memiliki dampak permanen terhadap tingkat
26
maka dapat disimpulkan adanya pengangguran yang persisten. Hal ini disebabkan
karena fluktuasi dalam pasar tenaga kerja yang hampir mempunyai dampak
permanen terhadap tingkat pengangguran alamiah, namun masih memiliki
kecenderungan untuk dapat kembali ke tingkat pengangguran alamiahnya (mean reversion). Selanjutnya, hipotesis trend stationarity dapat dievaluasi dengan menguji apakah nilai absolute dari ρi betul-betul lebih kecil dari 1. Pengujian
umum terhadap hipotesis diatas adalah H0: φ =1, dengan pengujian satu sisi
hipotesis alternative H1
, 1
i t
u −
: φ <1. Standar umum pengujian akar-akar unit dari DF ini adalah persamaan 2, selanjutnya dengan mengurangi kedua sisi persamaan 2
dengan
Atau dengan menambahkan variabel lag ∆ui t, disisi kanan persamaan 3 akan
diperoleh pengujian Augmented Dickey Fuller (ADF) sebagai berikut:
∑
Pengujian unit root pada penelitian ini didasarkan pada metode Im, Pesharan, Shin yang merata-ratakan keseluruhan individual unit root test statistics dengan H0: ρi =0, untuk setiap i, sedangkan alternatifnya H1: ρi < 0 untuk setiap
i. Pengujian ρi = 0 pada persamaan (4) di atas ekuivalen dengan pengujian φ = 1 pada persamaan (2) untuk setiap unit provinsi karena ρ = (φ-1). Secara prinsip
pengunaan panel data unit root test adalah dimaksudkan untuk meningkatkan power of the test dengan meningkatkan jumlah sample (Baltagi 2005). Pengujian unit root untuk homogenous panel dikembangkan oleh Levin dan Lin. Pengujian unit root tersebut, tidak dapat mengakomodasi heterogenitas antar kelompok,
seperti pengaruh unik individu (individual special effects) serta mengasumsikan bahwa seluruh unit cross-section mempunyai kecepatan penyesuaian yang sama menuju keseimbangan. Im et al (2002) memperkenalkan unit root test dengan dynamic heterogenous panels. Pada umumnya, unit root test dengan dynamic heterogenous lebih banyak digunakan dibandingkan dengan homogenous dynamic. Metode ini mempunyai kelebihan dibandingkan dengan metode (3)
27
sebelumnya karena bisa menganalisis data panel yang mempunyai tingkat
heterogenitas yang lebih tinggi. Perlu dicatat pengujian IPS tidak mengasumsikan
bahwa semua unit provinsi menuju ke tingkat keseimbangan dengan kecepatan
yang sama, dengan demikian ρ1= ρ2 = ... = ρi
t
< 0. Pengujian IPS didasarkan pada
statistik yang distandardisasi dengan formulasi berikut:
) t-statistik dari N unit provinsi,
dan Var{tiT(pi ρi =0} adalah rata-rata dan varian dari rata-rata
statistik ADF(pi) di bawah hipotesis nol, sebagimana yang ditabulasi oleh Im, Pesaran, dan Shin untuk setiap T yang berbeda dan ordo lag pi dari pengujian ADF. Mereka juga menunjukkan bahwa dalam hipotesis nol dari sebuah unit root, Γt
Tahap kedua pada penelitian ini adalah mengidentifikasi faktor-faktor
penyebab pengangguran regional di Indonesia. Data yang digunakan untuk
menjawab permasalahan ini adalah data tahun 1998 hingga 2008 dengan
menggunakan dua pendekatan dalam metode data panel yaitu Fixed Effect Model (FEM) dan Random Effect Model (REM)
adalah terdistribusi normal, N(0,1).
3.2. Metode Analisis Determinasi Pengangguran Regional
1
1
Penjelasan serta berbagai pendekatan FEM dan REM dapat dilihat pada Baltagi (2005)
. Dasar pertimbangan dalam memilih kedua model tersebut adalah dengan menggunakan uji Hausman, karena berkaitan dengan ditolak atau diterimanya asumsi ada atau tidaknya korelasi antara
komponen error dengan peubah bebas. Tahap selanjutnya yang harus dipenuhi dalam persamaan regresi adalah bahwa taksiran parameter dalam model regresi
28
Dalam penelitian ini digunakan model sebagai berikut untuk
mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pengangguran di tingkat
provinsi:
U YOU HEDU MALE DEPEND
AGRI MANU OWN AK UMP
PDRBK
: Pangsa angkatan kerja usia muda (15-24 tahun) provinsi (persen)
: Pangsa angkatan kerja berpendidikan tinggi (≥ SLTA) provinsi
(persen)
: Pangsa angkatan kerja pria provinsi (persen)
: Dependency Ratio tiap provinsi (persen)
: Pangsa sektor pertanian terhadap PDRB (persen)
: Pangsa sektor manufaktur terhadap PDRB (persen)
: Tingkat kepemilikan rumah dengan status milik sendiri tiap
provinsi (persen)
: Logaritma natural dari total angkatan kerja provinsi (orang)
: Logaritma natural dari UMP (rupiah)
: Logaritma natural dari PDRB perkapita (juta rupiah)
3.3 Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini seluruhnya merupakan data
sekunder berupa data panel. Data tersebut terutama berasal dari BPS antara lain
Survei Angkatan Kerja (Sakernas), Statistik Kesejahteraan Rakyat, Statistik
Perumahan, dan Statistik Indonesia. Beberapa data diubah ke dalam bentuk
logaritma untuk memperkecil skala serta memudahkan hasil analisis. Di samping
itu, studi pustaka dilakukan dengan membaca literatur yang berkaitan dengan
penelitian baik dari media cetak maupun internet.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Identifikasi Persistensi Regional
Subbab berikut bertujuan untuk mengidentifikasi keberadaan persistensi
pengangguran di tingkat provinsi di Indonesia. Secara teoretis, pengangguran
yang berada pada kondisi persisten, memiliki kecenderungan untuk dapat kembali
ke tingkat pengangguran alamiahnya (mean reversion) walaupun dengan intensitas yang sangat lambat. Artinya dengan melakukan uji akar unit, persisten
atau tidaknya pengangguran terlihat dari karakteristik data yang bersifat stasioner.
Regresi ADF (persamaan 4) dengan pendekatan intercept dan trend menghasilkan probabilitas sebesar 0,000 sehingga diputuskan bahwa H0 di mana data panel
mengandung unit root ditolak dan disimpulkan bahwa data panel tersebut bersifat stasioner. Di samping itu, untuk memperkuat keyakinan bahwa data panel pada
periode tersebut stasioner, pengujian juga dilakukan dengan metode panel unit root lain seperti LL, dan Breitung yang menunjukkan bahwa data panel pada rentang waktu tersebut stasioner (Lampiran 2).
Tabel 1 Pengujian Persistensi Pengangguran Regional di Indonesia
Statistic Probabilitas
-5,91667 0,0000
Sumber: Lampiran 1
Selanjutnya adalah menghitung koefisien persistensi dengan menggunakan
persamaan 2 untuk memastikan bahwa koefisien tersebut lebih kecil dari satu
(near unit root). Hasil estimasi Hausman diperoleh nilai probabilitas sebesar 0,000 yang berarti tolak H0 sehingga fixed effect merupakan model yang terbaik(Lampiran 3).
Hasil analisis secara ringkas dapat dilihat pada Tabel 2 berikut dan ini
merupakan indikasi yang relatif kuat mengenai terjadinya persistensi
30
disimpulkan bahwa selama periode analisis, pengangguran pada 26 provinsi yang
terjadi di Indonesia secara umum bersifat persisten.
Tabel 2 Koefisien Persistensi Pengangguran Regional Indonesia.
Koefisien Probabilitass t-stat R2
0,8753 0,0000 19,33 0,863
Sumber: Lampiran 4
4.2. Analisis Determinasi Pengangguran Regional
Sub bab berikut bertujuan untuk menganalisis faktor determinasi
pengangguran regional. Uji Hausman digunakan untuk memilih metode terbaik
antara fixed effects dengan random effects. Hasil uji Hausman menunjukkan nilai probabilitas 0,000 yang berarti tolak H0
Asumsi yang harus dipenuhi dalam persamaan regresi adalah bahwa
estimasi parameter dalam model regresi bersifat Best Linier Unbiased Estimate (BLUE) maka var (u
sehingga dapat disimpulkan fixed effects lebih baik dari random effect (Lampiran 5).
i) harus sama dengan σ2
Setelah mengestimasi model maka selanjutnya adalah interpretasi terhadap
persamaan regresi. Pada Tabel 3 hasil estimasi memberikan nilai koefisien
determinasi R
(konstan) atau semua error mempunyai varian yang sama. Heteroskedastisitas dapat dideteksi dengan
membandingkan sum squared resid pada GLS (weighted) dengan OLS (unweighted). Berdasarkan uji dan pengamatan hasil pengolahan, ditemukan adanya heteroskedastisitas (Lampiran 6). Hal ini disebabkan karena sum square resid pada GLS (weighted) lebih kecil dibandingkan dengan OLS (unweighted). Untuk mengatasi pelanggaran ini dilakukan estimasi GLS dengan white-heteroscedasticity (Lampiran 7). Pendeteksian dengan adanya autokorelasi juga dilakukan pada model dengan melihat nilai statistik Durbin-Watson. Hasil estimasi pada output didapatkan DW hitung sebesar 1,545 yang berarti berada di
daerah dU dan 4-dU (tidak ada korelasi). Berdasarkan estimasi dan evaluasi
dengan menggunakan uji OLS klasik terhadap model fixed effect dengan perlakuan cross section weights dan white heteroscedasticity, maka model estimasi tersebut merupakan model terbaik dalam penelitian ini.
2
31
keragaman variabel terikat (tingkat pengangguran) dapat dijelaskan oleh model,
sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain di luar model sebesar 13 persen.
Hasil uji ini diperkuat dengan probabilitas F-statistik sebesar 0,000 yang berarti minimal ada satu variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap variabel terikat
sehingga model penduga sudah layak untuk menduga parameter yang ada dalam
fungsi.
Tabel 3 Hasil Estimasi Persamaan Tingkat Pengangguran Regional
Variabel Koefisien Probabilitas
Angkatan Kerja 15-24(YOU) 0,209217 0,0003
Angkatan Kerja High-educated (HEDU) 0,013130 0,0016
Angkatan Kerja Pria (MALE) 0,173306 0,0001
PDRB Perkapita (PDRBK) -0,128572 0,0928
Dependency Ratio (DEPEND) -0,120253 0,0019
Pangsa Sektor Pertanian terhadap PDRB
(AGRI) -0,035573 0,0074
Pangsa Sektor Manufaktur terhadap
PDRB ( MANU) -0,055265 0,0199
Upah Minimum Provinsi (UMP) 1,842472 0,0002
Angkatan Kerja (AK) 1,545013 0,1404
Tingkat Kepemilikan Rumah (OWN) -0,000329 0,9925
Sumber: Lampiran 7
Angkatan Kerja Usia Muda (15-24 Tahun)
Variabel angkatan kerja usia muda (15-24 tahun) berpengaruh nyata
terhadap tingkat pengangguran dengan arah yang positif. Artinya setiap kenaikan
satu persen jumlah angkatan kerja berusia muda akan menyebabkan tingkat
pengangguran regional meningkat sebesar 0,20 persen. Hal ini disebabkan
tingginya frekuensi pencarian atau pergantian pekerjaan pada kelompok usia
tersebut dan didukung dengan kurangnya pengalaman dan keahlian. InterCAFE
(2008) menyatakan bahwa sebuah proses yang natural ketika kelompok ini kalah bersaing dalam kesempatan kerja. Kesempatan kerja jelas akan mendahulukan
tenaga kerja yang memiliki pengalaman. Lipsey et al (1997) menyatakan bahwa angkatan kerja muda yang baru memasuki angkatan kerja dan mencari pekerjaan
merupakan sumber utama penyebab pengangguran friksional.
Terdapat beberapa fenomena yang terjadi pada angkatan kerja kelompok