• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengangguran di Indonesia 1984 2008

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengangguran di Indonesia 1984 2008"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

PENGANGGURAN DI INDONESIA 1984-2008:

PERSISTENSI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG

MEMPENGARUHINYA

NILAM ANGGAR SARI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengangguran di Indonesia 1984-2008: Persistensi dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2011

(4)
(5)

ABSTRACT

NILAM ANGGAR SARI. 2011. Unemployment in Indonesia 1984-2008: Persistence and Its Sources. Under the guidance of DOMINICUS SAVIO PRIYARSONO and DJONI HARTONO.

Unemployment is a common problem in most countries. Generally the national unemployment rate rose from average 4.83 percent in 1992-1999 to 9.08 percent in 2000-2008. An increase in the unemployment rate not only implies a serious underutilization of manpower, but also may likely generate a series of social problems in the long run. As such, dealing with the upsurge in the unemployment rate has become the top priority in the governments policy agenda. Aside from the rise of the aggregate unemployment rate, the regional unemployment rate in Indonesia shows wide variability of the unemployment rate among 26 provinces, moreover this unemployment rate seems to persist over time. This study intended to identify the persistence of regional unemployment and to explore the sources of this regional unemployment across Indonesian provinces. Using time series data from 1984 through 2008 it identified the existence of regional persistence with two approaches: Im Pesharan Shin panel unit root test and panel method to get the ‘near unit root’ coefficient. Thus, to analyze factors affecting regional unemployment, panel data analysis was used. Panel unit root test showed that panel data in this period was stationary and this study found the coefficient was a near unit root process (0.87). A cross-regional panel study showed that the variables contributing to unemployment rate were the share of the labor force (15-24), minimum wage province, the percentage of the labor force that is male, and the share of labor force with a higher education. Real GDRP per capita, dependency ratio, and industry composition (the share of manufacturing and agriculture sectors to GDRP) negatively effected the dependent variable. Related to industry composition, even though both sector have a negative effect which reduced regional unemployment but the result showed that agriculture has the largest employment elasticity.Understanding the sources of regional unemployment is helpful to determine the appropriate policies to mitigate the unemployment rate across regions. This study provides important implications for government to make a new reorientation so that sector which has relatively high growth can also create employment. Second, this study recommends the promotion of a vocational education and training as a transition for young person to enter labor market. Third, it also suggests development of agriculture in rural area. Fourth, the government in region must have a specific unemployment program depending on potential characteristics of the regions and promotes new investments to create employment. Fifth, UMP is still needed as a reference in setting the workers wage, but the criteria of minimum wage should be determined not only refers to inflation rate but also includes employment growth, financial capability of company, and macroeconomic stability.

(6)
(7)

RINGKASAN

NILAM ANGGAR SARI. 2011. Pengangguran di Indonesia 1984-2008: Persistensi dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Dibawah bimbingan DOMINICUS SAVIO PRIYARSONO dan DJONI HARTONO.

Pengangguran merupakan salah satu masalah utama dalam perekonomian Indonesia. Dalam dua puluh tahun terakhir ini tingkat pengangguran agregat tidak pernah berkecenderungan menurun secara signifikan. Fenomena meningkatnya pengangguran secara agregat merupakan konsekuensi dari adanya pengangguran di tingkat provinsi. Beberapa permasalahan pengangguran dari dimensi regional adalah tidak adanya konvergensi dan tingkat pengangguran provinsi menunjukkan kecenderungan yang meningkat pada rentang waktu 1984 hingga 2008. Pengangguran yang cenderung semakin meningkat dan sulit untuk mengalami penurunan merupakan pengangguran yang persisten (InterCAFE 2008). Dalam penelitian ini hanya permasalahan kedua yang akan dianalisis yaitu kondisi pengangguran provinsi yang persisten. Hal ini disebabkan karena pengangguran yang persisten memberikan dampak negatif tidak hanya terhadap perekonomian namun juga sosial.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi persistensi pengangguran pada level provinsi (secara statistik) dan mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pengangguran regional. Ruang lingkup penelitian ini mencakup 26 provinsi di Indonesia. Data yang digunakan untuk menjawab permasalahan pertama (pembuktian persistensi pengangguran) adalah data sekunder tingkat pengangguran regional 26 provinsi (1984-2008) dengan menggunakan pendekatan panel unit root Im Pesharan Shin (IPS) dan menghitung koefisien persistensi dengan menggunakan metode panel. Tahap selanjutnya adalah mengidentifikasi determinan pengangguran regional dengan menggunakan data tahun 1998-2008. Keterbatasan penelitian ini adalah tidak meregresikan variabel migrasi ke dalam model dan melihat persistensi secara umum. Hal ini disebabkan karena data migrasi yang hanya tersedia setiap lima tahun sekali yaitu ketika dilaksanakannya sensus penduduk.

Secara teoritis, pengangguran yang berada pada kondisi persisten, memiliki kecenderungan untuk dapat kembali ke tingkat pengangguran alamiahnya (mean reversion) walaupun dengan intensitas yang sangat lambat. Artinya dengan melakukan uji akar unit, persisten atau tidaknya pengangguran terlihat dari karakteristik data yang bersifat stasioner. Hasil pengujian IPS dengan pendekatan intersep dan trend menghasilkan probabilitas sebesar 0,00 yang berarti sangat signifikan sehingga diputuskan bahwa H0

(8)

kerja berpendidikan tinggi dan angkatan kerja yang berjenis kelamin pria. Sementara faktor-faktor yang berpengaruh negatif terhadap tingkat pengangguran regional adalah PDRB per kapita, dependency ratio, serta komposisi industri yang mencakup pangsa sektor pertanian dan manufaktur terhadap PDRB. Terkait dengan komposisi industri, walaupun semua sektor berdampak negatif terhadap pengangguran namun sektor pertanianlah yang mempunyai elastisitas penyerapan tenaga kerja paling besar.

Alternatif kebijakan diperlukan untuk mengatasi persistensi pengangguran. Pertama, diperlukan reorientasi kebijakan bahwa sektor yang tumbuh relatif tinggi seyogyanya pro penciptaan lapangan kerja. Pemerintah dapat memberikan insentif berupa fiskal maupun nonfiskal (suku bunga rendah) bagi industri dengan teknologi padat tenaga kerja. Kedua, penelitian ini merekomendasikan pembangunan sektor pertanian di pedesaan agar penyerapan tenaga kerja di sektor ini menjadi optimal. Ketiga, pengkajian sistem pengupahan harus memperluas kriteria penyesuaian upah minimum. Keempat, sistem pendidikan harus diupayakan agar angkatan kerja yang memasuki dunia kerja memiliki keterampilan yang memadai dan sesuai kebutuhan dunia industri. Kelima, terkait dengan adanya karakteristik yang berbeda-beda antarprovinsi seyogyanya pemerintah provinsi dituntut untuk memiliki program pengangguran sendiri yang disesuaikan dengan potensi daerah. Bagi penelitian selanjutnya diharapkan menggunakan metode selain uji stasioneritas dalam mengidentifikasi persistensi pengangguran regional dan memasukkan variabel migrasi ke dalam model.

(9)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah;dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB.

(10)
(11)

PENGANGGURAN DI INDONESIA 1984-2008:

PERSISTENSI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG

MEMPENGARUHINYA

NILAM ANGGAR SARI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Ekonomi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)
(13)

Judul Tesis : Pengangguran di Indonesia 1984-2008: Persistensi dan Faktor Faktor yang Mempengaruhinya

Nama : Nilam Anggar Sari NRP : H151080071

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. D S Priyarsono, MS

Ketua Anggota

Dr. Djoni Hartono,S.Si.ME

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(14)
(15)

PRAKATA

Alhamdulillah, puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan karya ilmiah ini. Tesis yang berjudul “PENGANGGURAN DI INDONESIA 1984-2008: PERSISTENSI DAN FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA” ini disusun untuk memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Ilmu Ekonomi, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. D S Priyarsono, MS selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Djoni Hartono,S.Si.ME selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat bagi penyusunan tesis ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan juga disampaikan kepada penguji luar komisi Dr. Ir. Nunung Nuryartono,M.Si dan Dr.Ir.Sri Mulatsih, M.Sc atas masukan berharga terhadap penelitian ini. Selain itu penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada rekan-rekan kuliah, suami, orang tua, dan keluarga atas segala doa dan dukungannya.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih terdapat banyak kekurangannya, baik dari segi materi maupun proses penulisannya. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan berbagai saran dan kritik yang membangun bagi perbaikan penulis.

Akhirnya, penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat memberikan kontribusi kepada berbagai pihak dan menjadi landasan yang baik menuju tahap berikutnya.

Bogor, Februari 2011

(16)
(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Nilam Anggar Sari lahir pada tanggal 22 Januari 1985 di Surakarta. Penulis merupakan anak ketiga dari lima bersaudara, dari pasangan Bapak Soesilo Wibowo dan Ibu Sri Indrati. Penulis sudah menikah dengan suami bernama Kamal Harpa.

(18)
(19)

xvii

2.3 Faktor-Faktor Penyebab Pengangguran Regional ... 9

2.3.1 Perubahan Demografi... 9

2.3.2 Hambatan Sosial dan Ekonomi ... 10

2.3.3 Komposisi Industri ... 11

2.3.4 Kekakuan Upah ... 12

2.3.5 Pencarian Kerja ... 14

2.4 Pengukuran Persistensi Pengangguran Regional ... 14

2.5 Hasil Penelitian Empirik Terdahulu ... 16

2.6 Kerangka Pemikiran ... 19

2.7 Hipotesis Penelitian ... 23

III. METODE PENELITIAN ... 25

3.1 Pengujian Persistensi ... 25

3.2 Metode Analisis Determinasi Pengangguran Regional... 27

3.3 Jenis dan Sumber Data ... 28

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29

4.1 Identifikasi Persistensi Regional ... 29

4.2 Analisis Determinasi Pengangguran Regional ... 30

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 47

5.1 Kesimpulan ... 47

5.2 Saran ... 47

(20)

xviii

(21)

xix

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Pengujian Persistensi Pengangguran Regional Indonesia ... 29

2 Koefisien Persistensi Pengangguran Regional Indonesia ... 30

3 Hasil Estimasi Persamaan Tingkat Pengangguran Regional ... 31

4 Struktur Pengangguran Berdasarkan Usia (Persen) ... 33

5 Pengangguran Menurut Pendidikan yang Ditamatkan (Persen) ... 36

6 Komposisi PDB dan Tenaga Kerja Menurut Sektor di Indonesia ... 39

7 Elastisitas Sektoral Tenaga Kerja... 40

8 Penduduk Berdasarkan Status Pekerjaan Utama ... 42

(22)

xx

DAFTAR GAMBAR

Halaman

(23)

xxi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Uji Stasioneritas Panel Unit Root IPS ... 54 2 Metode Panel Unit Root Selain IPS ... 55 3 Uji Hausman ... 56 4 Estimasi Koefisien dengan Menggunakan Fixed Effect dengan

Dependent Variable Tingkat Pengangguran Menggunakan Fixed Effect dengan Cross Section Weights dan White Cross Section

Covariance ... 57

5 Uji Hausman Persamaan Determinasi Pengangguran Regional ... 58 6 Perbandingan Sum Squares Weighted dan Unweighted ... 60 7 Estimasi Persamaan Pengangguran Menggunakan Fixed Effect

(24)

xxii

(25)

1

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pengangguran merupakan salah satu permasalahan yang sering terjadi di

berbagai negara dan sering mendapat perhatian khusus baik dari pengambil

kebijakan maupun akademisi. Pengangguran yang tidak teratasi akan menjadi

beban bagi perekonomian (Amarullah 2008). Di samping itu, pengangguran juga

menunjukkan masalah ketidakefisienan dalam penggunaan faktor-faktor produksi

sehingga implikasinya adalah tingkat kemakmuran masyarakat tidak mencapai

potensinya yang maksimal. Pengangguran dapat digunakan sebagai salah satu

ukuran dalam menilai sebuah kinerja pemerintahan. Oleh karena itu, pengurangan

pengangguran biasanya menjadi target utama kebijakan perekonomian.

Pada umumnya, tingkat pengangguran Indonesia terus mengalami

peningkatan. Rata-rata tingkat pengangguran pada periode 1984-1991 adalah

sebesar 2,42 persen, periode 1992-1999 sebesar 4,83 persen, sementara periode

2000-2008 mencapai 9,08 persen. Dengan demikian terjadi perubahan rata-rata

tingkat pengangguran di antara ketiga periode tersebut (Gambar 1).

Sumber: Sakernas (1984-2008), diolah

Gambar 1 Tingkat Pengangguran dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 12,00

(26)

2

Fenomena meningkatnya pengangguran secara nasional merupakan

konsekuensi dari adanya pengangguran di tingkat provinsi. Salah satu masalah

pengangguran dari dimensi regional adalah perbedaan tingkat pengangguran

antarprovinsi yang cenderung semakin melebar dan divergen. Gambar 2

menunjukkan bahwa tingkat pengangguran provinsi-provinsi menunjukkan

kondisi yang cukup heterogen. Pada tahun 2008 Jakarta memiliki tingkat

pengangguran sebesar 12,16 persen, kemudian Sumatera Barat memiliki tingkat

pengangguran yang mencapai 8,04 persen. Sementara, provinsi Papua hanya

mencapai 5,18 persen. Dari 26 provinsi, tujuh provinsi di antaranya memiliki

tingkat pengangguran yang melebihi tingkat pengangguran nasional. Mayoritas

(lima provinsi) terletak di Kawasan Barat Indonesia (KBI), sementara provinsi

lainnya terletak di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Pada tahun tersebut, provinsi

dengan tingkat pengangguran tertinggi adalah Jawa Barat (12,66 persen)

sedangkan yang terendah adalah Bali (3,31 persen). Dengan demikian selisih nilai

antara kedua provinsi tersebut adalah sebesar 9,35 persen. Nilai tersebut

cenderung meningkat, mengingat pada tahun 1984 persen selisih nilai tersebut

hanya 6,53 persen. Data ini menunjukkan bahwa jarak tingkat pengangguran

antarprovinsi semakin besar.

Sumber: BPS (1984-2008), diolah

(27)

3

Dispersi tingkat pengangguran antarprovinsi juga ditunjukkan dengan nilai

standar deviasi yang cenderung terus meningkat. Pada periode 1984-2008 nilai

dari standar deviasi cenderung meningkat dari tahun ke tahun, walaupun sempat

mengalami penurunan pada beberapa titik waktu. Nilai tersebut berkisar antara

1,23 (tahun 1984) dan 3,34 (Tahun 1984) dengan rata-rata tingkat deviasi sebesar

2,12. Adanya perbedaan pengangguran antarprovinsi menunjukkan beragamnya

kinerja pasar tenaga kerja regional. Secara nasional kemampuan penyerapan

tenaga kerja cenderung menurun, walaupun mengalami peningkatan pada periode

2006 hingga 2008. Apabila dibandingkan dengan agregat nasional, Pulau Maluku,

Jawa dan Sulawesi memiliki tingkat penyerapan tenaga kerja yang lebih rendah

(Gambar 3). Hal ini menunjukkan bahwa proses pembangunan antarwilayah

relatif kurang merata.

Sumber: BPS (2008), diolah

Sumber: BPS (1992-2008), diolah

Gambar 3 Tingkat Penyerapan Tenaga Kerja Antarpulau, 1992-2008

Permasalahan kedua dari dimensi regional adalah tingkat pengangguran

provinsi menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Gambar 4 menunjukkan

bahwa semua provinsi mengalami peningkatan pengangguran. Sejak tahun 2006

tingkat pengangguran mengalami penurunan, namun jika dibandingkan dengan

periode sebelumnya maka tingkat pengangguran provinsi pada periode 2008

belum bisa kembali pada periode 1984. Data menunjukkan bahwa pengangguran

cenderung semakin meningkat dan sulit untuk mengalami penurunan. Gejala

demikian disebut pengangguran yang persisten (InterCAFE 2008).

82

1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

P

er

sen

(28)

4

Sumber: BPS (1984-2008), diolah

Gambar 4 Distribusi Tingkat Pengangguran Provinsi 1984 dan 2008

Persistensi pada level regional telah menjadi fenomena di berbagai

belahan dunia, tak terkecuali di Indonesia. Chuang dan Lai (2007), pada periode

1987-2004 menyatakan bahwa tingkat pengangguran diantara 23 kota di Taiwan

menunjukkan heterogenitas yang tinggi dan cenderung persisten sepanjang waktu.

Wu (2007) juga mengidentifikasi persistensi regional di berbagai wilayah di

China.

1.2. Perumusan Masalah

Masalah ketenagakerjaan yang terkait pengangguran di Indonesia

merupakan salah satu masalah makroekonomi yang utama. Dilihat dari dimensi

regional beberapa permasalahan pengangguran adalah pertama, tidak adanya

konvergensi dan kedua, tingkat pengangguran provinsi menunjukkan

kecenderungan yang meningkat pada rentang waktu tersebut. Dalam penelitian ini

hanya permasalahan kedua yang akan dianalisis yaitu kondisi pengangguran

provinsi yang persisten. Pengangguran memberikan dampak negatif tidak hanya

terhadap perekonomian namun juga sosial.

Pertama, pengangguran menunjukkan permasalahan ketidakefisienan.

Apabila terdapat pengangguran yang persistensi di tingkat regional, maka tingkat NAD

0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 7,00 8,00

2008

1984

(29)

5

pendapatan regional aktual lebih rendah daripada tingkat pendapatan

potensialnya. Keadaaan ini berarti tingkat kemakmuran yang dinikmati

masyarakat lebih rendah daripada tingkat kemakmuran yang mungkin dicapainya.

Kedua, mengurangi persistensi pengangguran ini berarti mengurangi dampak

negatif berkaitan dengan geographical concentrations of unemployment. Daerah yang mempunyai tingkat pengangguran yang persisten cenderung memiliki

demand terhadap barang dan jasa lokal yang rendah dalam jangka panjang. Ketiga, di samping akibat buruk yang bersifat ekonomi, pengangguran

menimbulkan pula biaya sosial. Terhadap individu, pengalaman menganggur akan

mempengaruhi prospek seseorang dalam kesempatan kerja yang akan datang (the scarring theory of unemployment). Semakin lama seseorang menganggur akan semakin berdampak pada perkembangan karirnya seperti kemampuan yang

semakin berkurang serta semakin tingginya peluang untuk memperoleh pekerjaan

dengan pendapatan yang cenderung kurang stabil. Di samping itu, pengangguran

yang semakin sulit untuk diatasi ditengarai sebagai pemicu masalah sosial

ekonomi masyarakat, sehingga dapat menghambat pembangunan dalam jangka

panjang. Studi terdahulu menunjukkan bahwa semakin tinggi angka

pengangguran, probabilitas meningkatnya kemiskinan, kriminalitas dan fenomena

sosial-ekonomi politik lainnya semakin tinggi.

Persistensi pengangguran regional akan membawa konsekuensi pada

semakin tingginya beban terhadap perekonomian. Tingkat pengangguran yang

tidak teratasi pada level provinsi akan membawa konsekuensi pada semakin

tingginya tingkat pengangguran nasional. Dengan demikian dibutuhkan penelitian

mengenai faktor-faktor penyebab pengangguran yang mengacu pada tingkat

regional. Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Apakah benar terjadi persistensi pengangguran provinsi di Indonesia?

2. Faktor-faktor apa yang menjadi sumber pengangguran provinsi di

(30)

6

1.3. Tujuan Penelitian

Sejalan dengan latar belakang dan permasalahan di atas, tujuan yang ingin

dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Mengidentifikasi keberadaan persistensi di tingkat provinsi di Indonesia.

2. Mengidentifikasi sumber penyebab pengangguran pada level provinsi di

Indonesia.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu menjawab permasalahan persistensi

pengangguran pada level provinsi, karena pengangguran yang tidak teratasi pada

level ini akan berimplikasi pada semakin tingginya tingkat pengangguran agregat.

Dengan demikian secara umum penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi:

1. Pemerintah: Sebagai acuan dalam mengatasi permasalahan pengangguran

pada level regional berdasarkan perumusan strategi maupun langkah

kebijakan. Kebijakan yang diambil bisa berbeda antarprovinsi disesuaikan

dengan karakter masing-masing daerah.

2. Akademisi: Sebagai referensi dalam menggali lebih dalam mengenai

pengangguran.

3. Masyarakat: Memperluas wawasan serta cakrawala berpikir dalam

memahami kondisi pengangguran.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini mencakup 26 provinsi di Indonesia. Hal ini

disebabkan karena ketersediaan data yang tidak memungkinkan untuk mencakup

provinsi-provinsi baru. Keterwakilan tiap-tiap provinsi di seluruh pulau

diharapkan dapat merepresentasikan persistensi pengangguran regional di

Indonesia. Di samping itu, penelitian ini tidak mengidentifikasi persistensi untuk

(31)

II.TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini akan menguraikan teori-teori yang berhubungan dengan

pengangguran secara umum serta teori-teori yang berhubungan dengan

faktor-faktor yang menyebabkan pengangguran di tingkat regional yang

selanjutnya mengarah pada kondisi yang menyebabkan persistensi. Selain itu, juga

mencakup tentang penelitian terdahulu, kerangka pemikiran serta hipotesis yang

dibuat berdasarkan tujuan yang akan dicapai dengan penelitian ini.

2.1. Definisi Pengangguran

Menurut BPS, konsep dan definisi penduduk usia kerja adalah mereka

yang berdasarkan golongan umurnya sudah bisa diharapkan untuk bekerja. Di

Indonesia digunakan batasan umur 15 tahun sebagai batas seseorang dianggap

mulai bisa bekerja. Jadi penduduk usia kerja adalah penduduk yang telah berusia

15 tahun atau lebih. Penduduk usia kerja terbagi menjadi dua kelompok besar

yakni angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Penduduk bukan angkatan kerja,

adalah penduduk usia kerja (15 tahun ke atas) yang tidak termasuk ke dalam

angkatan kerja. Golongan ini secara ekonomi memang tidak aktif

(non-economically active population). Kegiatan mereka biasanya adalah sekolah, mengurus rumah tangga, pensiun, dan cacat jasmani. Sementara angkatan kerja

didefinisikan sebagai jumlah orang yang bekerja dan orang yang menganggur.

Menurut BPS, bekerja didefinisikan sebagai kegiatan dengan maksud memperoleh

atau membantu memperoleh penghasilan atau keuntungan selama paling sedikit

satu jam dalam seminggu yang lalu dan tidak boleh terputus.

Seseorang dikatakan menganggur atau mencari pekerjaan apabila termasuk

penduduk usia kerja yang; (1) tidak bekerja, atau (2) sedang mencari pekerjaan

baik bagi mereka yang belum pernah bekerja sama sekali maupun yang sudah

pernah berkerja, atau (3) sedang mempersiapkan suatu usaha, atau (4) yang tidak

mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin untuk mendapatkan pekerjaan,

atau (5) yang sudah memiliki pekerjaan tetapi belum mulai bekerja. Tingkat

pengangguran didefinisikan sebagai persentase dari angkatan kerja yang tidak

(32)

8

dalam Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) mengacu pada the labor force concept yang disarankan ILO (International Labor Organization). Secara skematis konsep tersebut digambarkan sebagai berikut:

Sumber: BPS (2008)

Gambar 5 Diagram Ketenagakerjaan

2.2. Persistensi Pengangguran dan Hysteresis

Blanchard dan Summer (1986) menyatakan bahwa the existence of hysteresis should not be confused with persistence. Persistence implies that, although the speed of adjustment towards the equilibrium level is slow, unemployment shows mean reversion. Thus persistence is a special case of the natural rate hypothesis in which unemployment is a near-unit root process. Under hysteresis, macroeconomic policy would have permanent effects on unemployment. If persistence were the prevailing case it would have long lasting but not permanent effects. Persistensi pengangguran terjadi manakala penyesuaian (adjustment) terhadap tingkat kesetimbangan berjalan dengan lambat. Pernyataan ini sesuai dengan Elmeskov (1993) yang menyatakan bahwa the adjustment towards equilibrium takes time and the adjustment process may be complicated. Walaupun dengan adjustment yang lambat, tingkat pengangguran yang berada

Penduduk

Bukan Usia Kerja Usia Kerja

Angkatan Kerja Bukan Angkatan Kerja

Pengangguran Mengurus RT

Sedang tapi belum mulai bekerja Mencari

Pekerjaan

(33)

9

pada kondisi persisten memiliki kecenderungan untuk dapat kembali ke tingkat

pengangguran alamiahnya(mean reversion). Equilibrium rate menurut Elmeskov (1993) adalah natural rate (tingkat pengangguran alamiah).

Kondisi ini perlu dibedakan dengan hysteresis yang merupakan kondisi fluktuasi dalam pasar tenaga kerja yang memiliki dampak yang permanen

terhadap tingkat pengangguran. Menurut Mankiw (2003), hysteresis adalah teori yang menyatakan bahwa resesi dapat mempengaruhi tingkat pengangguran

alamiah secara permanen. Hysteresis merupakan suatu proses unit root (tidak stasioner) sedangkan persistensi pengangguran disebut sebagai near unit root dan memiliki kecenderungan untuk mean reversion. Mean reversion dalam ekonometrika adalah suatu series jika fluktuasi cenderung kembali ke nilai

rata-rata dan varian cenderung bersifat konstan.

2.3. Faktor-faktor Penyebab Pengangguran Regional

Sub bab berikut memberikan penjelasan mengenai faktor-faktor penyebab

pengangguran regional yang terdiri dari labor supply, labor demand, dan mekanisme upah sebagai market clearing.

2.3.1. Perubahan Demografi

Berdasarkan berbagai literatur sebelumnya, perubahan demografi dapat

dikategorikan berdasarkan: struktur umur, gender, pendidikan, angkatan kerja, migrasi dan latar belakang keluarga. Tiap-tiap faktor tersebut dapat dijelaskan

sebagai berikut:

- Struktur umur: Pengangguran usia muda (15-24) kerap menjadi fokus

perhatian para pembuat kebijakan dan peneliti. Pada umumnya yang terjadi

adalah tingkat pengangguran usia muda lebih tinggi dibandingkan

pengangguran usia dewasa. Hal ini disebabkan karena tingginya frekuensi

dalam pergantian/pencarian kerja pada kelompok umur tersebut dan didukung

dengan kurangnya pengalaman dan keahlian mereka.

- Gender: Berdasarkan jenis kelamin, angkatan kerja terbagi menjadi angkatan kerja pria dan wanita. Pria pada umumnya memikul tanggung jawab utama

(34)

10

mereka lebih termotivasi dan aktif dalam mencari pekerjaan dan lebih enggan

untuk berhenti bekerja.

- Pendidikan: Elhorst (2003) menyatakan dalam beberapa studi bahwa pendidikan berpengaruh signifikan terhadap pengangguran. Hal ini disebabkan

karena berbagai alasan berikut: Pertama, seseorang yang berpendidikan tinggi

cenderung mencari pekerjaan lebih intensif. Kedua, mereka kurang rentan

terhadap pemutusan hubungan kerja (PHK) dan menunjukkan pola yang lebih

stabil dibandingkan yang kurang berpendidikan. Ketiga, seseorang yang

berpendidikan tinggi biasanya memiliki keterampilan yang dibutuhkan oleh

perekonomian dengan tingkat teknologi yang terus berkembang.

Dengan demikian seharusnya, semakin tinggi pangsa

pria terhadap angkatan kerja maka tingkat pengangguran akan semakin

rendah.

- Beban tanggungan keluarga (dependency ratio): Ide dasarnya adalah apabila dalam

- Migrasi: Filiztekin (2007) menyatakan bahwa migrasi bisa mempengaruhi sisi

supply maupun demand tenaga kerja. Migrasi keluar bisa mengurangi labor supply, sementara migrasi masuk bisa menyebabkan peningkatan baik dalam supply tenaga kerja (pengaruh langsung) dan demand tenaga kerja (tidak langsung). Efek terhadap demand tenaga kerja yaitu jika migrant berketerampilan dan berpendidikan tinggi, migrant memiliki kontribusi human capital dalam bentuk akumulasi keahlian, bakat kewirausahaan keterampilan dan inovasi yang akan berkontribusi terhadap produktivitas lokal sehingga

produksi dapat meningkat. Selanjutnya hal ini dapat berimplikasi terhadap

demand tenaga kerja.

suatu rumah tangga terdapat anggota keluarga (non produktif) yang

menjadi beban bagi individu (usia produktif) di keluarga, maka individu

tersebut akan lebih intensif dalam mencari pekerjaan. Dengan demikian

semakin tinggi dependency ratio di suatu wilayah tersebut semakin rendah tingkat pengangguran (Chuang dan Lai 2007).

2.3.2. Hambatan Sosial dan Ekonomi

Berbagai pandangan menyatakan bahwa adanya pengangguran di tingkat

(35)

11

hambatan ekonomi dan sosial. Pertama, sebagai catatan bahwa perilaku migrasi

tidak dapat sepenuhnya dijelaskan dengan konsep ekonomi. Hambatan sosial dan

ekonomi bisa memisahkan pasar tenagakerja regional (friction) terdiri dari:

1. Hambatan yang ditimbulkan karena adanya tingkat kepemilikan rumah.

Chuang dan Lai (2007) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif

antara tingkat kepemilikan rumah dengan tingkat pengangguran yaitu “a house ownership variabel to stand for the workers community identity and sosial networks affect the cost of migration and thus workers mobility. Strong community identification and cohesive social networks increase the cost of migration”.

2. Hambatan yang ditimbulkan karena adanya kebijakan ‘social security’. Banyak studi telah mengkaji dampak asuransi pengangguran terhadap pencarian

pekerjaan. Keberadaan sistem ‘social security’ atau asuransi pengangguran pada khususnya berhubungan positif dengan tingkat pengangguran regional

karena sistem ini mengurangi biaya dari ‘menganggur’ dan meningkatkan upah

reservasi (tingkat upah terendah agar penganggur mau bekerja). Dengan kata

lain, kebijakan tersebut menurunkan tingkat pencarian kerja. Di samping itu

Elhorst (2003) menemukan hubungan yang positif bahwa sistem upah

minimum meningkatkan pengangguran regional. Upah minimum dianggap

sebagai proteksi atau perlindungan untuk kesejahteraan pekerja. Dalam

kebijakan ini, perusahaan secara legal tidak boleh melakukan kebijakan

pengupahan di bawah floor wage, sehingga upah minimum sering dijadikan alasan oleh serikat buruh untuk mencegah terjadinya penurunan upah di bawah

upah minimum. Hal ini akan berimplikasi pada penurunandemand akan tenaga kerja.

2.3.3. Komposisi Industri

Argumen yang sering dikemukakan bahwa salah satu penyebab

pengangguran regional adalah struktur perekonomian dalam suatu wilayah

tersebut. Chuang dan Lai (2007) menyatakan bahwa pergeseran dalam komposisi

industri berpengaruh terhadap permintaan tenaga kerja pada level regional.

(36)

12

regional. Hal ini juga diperkuat oleh Wu (2003) bahwa persistensi pengangguran

regional tergantung pada struktur ekonomi wilayah tersebut. Tiap sektor akan

membutuhkan skill yang berbeda sehingga akan menimbulkan berbagai variasi tingkat pencarian, kesulitan dan penyesuaian antara skill dan lowongan yang tersedia dalam pasar tenaga kerja.

2.3.4. Kekakuan Upah

Kegagalan upah dalam melakukan penyesuaian sampai penawaran tenaga

kerja sama dengan permintaannya merupakan indikasi adanya kekakuan upah

(wage rigidity). Kekakuan upah merupakan salah satu penyebab terjadinya pengangguran (Mankiw 2003). Secara teoretis, untuk mempertahankan tingkat

pengangguran alamiah (natural rate of unemployment) sama dengan tingkat aktualnya (actual rate of unemployment), maka harus dijaga agar tingkat upah riil sama dengan Marginal Productivity to Labor (MPL). Upah riil menyesuaikan MPL sehingga ketika MPL turun maka upah riil seharusnya juga turun. Tetapi jika

tidak terjadi penurunan, maka upah riil tersebut kaku. Semakin lambat mekanisme

penyesuaian maka akan semakin lama dan semakin besar efek guncangan negatif

terhadap pengangguran, atau pada saat pertumbuhan upah riil lebih tinggi dari

pertumbuhan produktivitas perusahaan maka akan menyebabkan pertambahan

pengangguran. Di sisi lain, kekakuan upah nominal merupakan kemampuan upah

nominal dalam melakukan penyesuaian terhadap harga. Semakin lambat

mekanisme penyesuaian maka akan semakin besar penurunan upah riil sebagai

respon dari inflasi yang tidak diantisipasi. Dalam model keseimbangan pasar

tenaga kerja, upah riil berubah untuk menyeimbangkan penawaran dan

permintaan. Tetapi upah tidak selalu fleksibel, sehingga upah riil tertahan di atas

(37)

13

Sumber: Mankiw (2003)

Gambar 6 Grafik Keseimbangan Pasar Tenaga Kerja

Untuk memahami kekakuan upah dan pengangguran struktural, maka

penting untuk memahami mengapa pasar tenaga kerja tidak berada pada tingkat

keseimbangan penawaran dan permintaan. Hal ini dapat dilihat berdasarkan

Gambar 6, saat upah riil melebihi tingkat ekuilibrium dan penawaran pekerja

melebihi permintaannya, maka perusahaan-perusahaan diharapkan akan

menurunkan upah yang akan dibayar kepada para pekerja. Namun pada

kenyataannya, hal ini tidak terjadi. Pengangguran struktural kemudian muncul

sebagai implikasi karena perusahaan gagal menurunkan upah akibat kelebihan

penawaran tenaga kerja (Mankiw 2003).

Kekakuan upah ini terjadi sebagai akibat dari undang-undang upah

minimum atau kekuatan monopoli serikat pekerja. Berbagai faktor tersebut

berpotensi menjadikan upah tertahan di atas tingkat upah keseimbangan. Hal ini

pada akhirnya mengakibatkan pengangguran. Undang-undang upah minimum

menetapkan tingkat upah minimal yang harus dibayar perusahaan kepada para

karyawannya. Kebijakan upah minimum ditengarai akan lebih banyak berdampak

pada penganggur dengan usia muda (Mankiw 2003). Alasannya yaitu pekerja Tenaga Kerja

Permintaan Penawaran

Pengangguran Upah Riil

W1

W0

(38)

14

dengan usia lebih muda termasuk anggota angkatan kerja yang kurang terdidik

dan kurang berpengalaman, maka mereka cenderung memilki produktivitas

marginal yang rendah.

Kekakuan upah nominal juga disebabkan oleh adanya indeksasi upah

terhadap inflasi. Pada intinya indeksasi adalah upah yang telah disesuaikan

dengan kebutuhan hidup, dengan kata lain, upah ini telah disesuaikan dengan

inflasi. Ketika terjadi inflasi (kenaikan biaya hidup) pekerja akan menuntut

kenaikan upah, sehingga kemungkinan besar perusahaan akan meningkatkan

upah, karena ada biaya yang harus ditanggung (perceived cost) dari tindakan pekerja jika tuntutan kenaikan upah oleh pekerja tidak dikabulkan oleh

perusahaan (misalnya; mogok kerja, demonstrasi).

2.3.5. Pencarian Kerja

Pencarian kerja terkait dengan waktu yang dibutuhkan para pencari kerja.

Pencarian kerja bisa menjadi lebih lama atau lebih cepat karena dipengaruhi oleh

komposisi industri, mismatch, ketidaksempurnaan informasi, dan migrasi. Pencari kerja membutuhkan waktu untuk mencocokkan antara kualifikasi, keahlian yang

dimiliki dengan lowongan kerja yang tersedia. Perbedaan keahlian dan upah dari

setiap pekerjaan memungkinkan para penganggur tidak menerima pekerjaan yang

pertama kali ditawarkan. Kondisi ini akan menyebabkan pengangguran semakin

sulit untuk berkurang. Menurut Mankiw (2003), pengangguran yang disebabkan

oleh waktu yang dibutuhkan untuk mencari pekerjaan disebut pengangguran

friksional. Sumber utama pengangguran ini adalah angkatan kerja muda.

2.4. Pengukuran Persistensi Pengangguran Regional

Saat ini banyak metode ekonometrika yang ditawarkan untuk mengukur

tingkat pengangguran disesuaikan dengan kondisi dan tujuan yang diinginkan,

dimana setiap metode pengukuran memiliki kelebihan dan kekurangan. Berikut

adalah beberapa metode yang dapat digunakan:

1. Augmented Dickey-Fuller (ADF) test. ADF-test umumnya dilakukan sebagai indikasi awal terjadinya persistensi pengangguran, seperti yang diacu oleh

(39)

15

bahwa ADF-test memiliki kekurangan yaitu adanya kecenderungan untuk menerima Ho (tidak stasioner) terutama apabila data series mengalami structural break dan memiliki tren.

2. Vector Auto Regression (VAR). Kelebihan metode ini terutama terletak pada analisis impulse response yang bermanfaat untuk mengetahui bagaimana dan seberapa lama pengaruh dari suatu shock terhadap tingkat pengangguran (Murillo et al 2005).

3. Markov Switching Model. Model ini dilakukan oleh Bianchi dan Zoega (1998), dimana jika dalam suatu series terjadi structural breaks maka dapat diidentifikasi dan dampaknya pada data dapat dihilangkan.

4. Panel unit root metode Levin-Lin (LL) atau Im-Pesaran-Shin (IPS). Metode ini merupakan pengembangan dari ADF-test namun telah mengakomodasi perbedaan unit cross-section untuk kategori series yang dianalisis. Salah satu metode panel unit root yang digunakan adalah pendekatan LL. Namun demikian, pengujian dengan metode LL mempunyai kelemahan karena adanya

asumsi bahwa seluruh unit cross-section mempunyai kecepatan penyesuaian yang sama menuju kesetimbangan. Oleh karena itu, metode pengujian

alternatif adalah metode IPS. Metode ini mempunyai kelebihan dari metode

sebelumnya karena bisa menganalisis panel data yang mempunyai tingkat

heterogenitas yang lebih tinggi. Salah satu aplikasi model ini adalah studi

yang dilakukan Ledesma (2000).

5. Bayesian Autoregressive Fractionally Integrated Moving Average (ARFIMA). Pendekatan ini merupakan pendekatan alternatif untuk menguji dan

mengestimasi ketergantungan jangka panjang. Hal ini didasari bahwa

fenomena pengangguran merupakan proses jangka panjang. Kelebihan metode

ini adalah kemampuannya dalam memprediksi dampak jangka panjang suatu

shock.

Terkait dengan pengangguran regional, InterCAFE dengan Bank Indonesia

telah melakukan penelitian “Empiris Persistensi Pengangguran di Indonesia dan

Upaya Penanggulangannya berdasarkan Analisis Data Mikro”. Di dalam studi

tersebut terdapat pembahasan mengenai pengukuran persistensi pengangguran

(40)

16

data, yaitu Pooled Least Square (PLS), Fixed Effect (FE) dan Random Effect (RE). Hasil analisis menunjukkan bahwa terjadi persistensi dalam pengangguran

regional di Indonesia. Dengan demikian penelitian ini merupakan penelitian

lanjutan dari penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh kerjasama

InterCAFE dan Bank Indonesia yang bertujuan untuk mengidentifikasi persistensi

pengangguran regional dengan menggunakan rentang data yang lebih panjang dan

metode yang berbeda.

2.5. Hasil Penelitian Empirik Terdahulu

Analisis lain di Negara-negara Eropa mengenai masalah dan penyebab

tingginya persistensi pengangguran dilakukan Elmeskov pada tahun 1993 yaitu

High and Persistent Unemployment: Assessment of the Problem and Its Causes’. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tren kenaikan pengangguran disertai oleh

kenaikan secara drastis pada pengangguran dalam tingkat regional. Kondisi ini

diakibatkan kurangnya fleksibilitas pada upah di tingkat regional untuk

melakukan penyesuaian. Selain itu, kenaikan pengangguran tersebut juga

diakibatkan oleh rendahnya mobilitas geografis tenaga kerja. Elmeskov juga

menyatakan bahwa penyesuaian yang lambat dalam pasar tenaga kerja disebabkan

oleh beberapa faktor utama. Penyebab utama tersebut yakni besarnya kompensasi

untuk pengangguran, tingkat upah minimum dan regulasi mengenai perlindungan

pekerja. Berkaitan dengan struktur pengangguran, konsentrasi terhadap penduduk

berusia muda merupakan suatu fenomena tersendiri di berbagai negara. Di

samping itu, fenomena penting lainnya adalah penduduk dengan pendidikan dan

keterampilan yang minim merupakan mayoritas dari penganggur. Secara

bersamaan, karakteristik tersebut merefleksikan kegagalan sistem pendidikan

untuk mengelola proses transisi yang tepat dari kehidupan sekolah untuk bekerja.

Trend yang meningkat dalam pengangguran di berbagai negara OECD sejak tahun

1973 merupakan tantangan utama bagi pembuat kebijakan ekonomi. Mayoritas

negara anggota mengalami peningkatan yang cukup substansial saat terjadi

peningkatan harga minyak yang cukup tajam yaitu pada tahun 1973-1974 dan

(41)

17

Pengujian eksistensi persistensi pengangguran selanjutnya mengarah pada

kawasan Asia, yakni Cina. Penelitian ini dilakukan oleh Wu (2003) ‘The Persistence of Regional Unemployment: Evidence from China’. Studinya difokuskan pada perbedaan yang terjadi antara pengangguran total dan kaum

muda (total dan youth unemployment), tingkat nasional dan regional dalam fenomena persistensi pengangguran di Cina. Hasil empiris menunjukkan tiga esensi penting. Pertama, pengangguran total lebih persisten daripada

pengangguran kaum muda. Ketiga, wilayah barat Cina memiliki tingkat

pengangguran provinsi tertinggi tetapi persistensi pengangguran regionalnya

terendah. Metode data panel digunakan untuk menganalisis sumber-sumber dari

persistensi pengangguran. Hasil estimasi terhadap data panel menunjukkan bahwa

persistensi pengangguran relatif regional di Cina disebabkan bukan hanya oleh

high output share by state sector tetapi juga oleh high output share by collective sector. Semakin tinggi share output industri terhadap state sector dan collective sector maka pengangguran regional semakin persisten.

Riset yang dilakukan Ledesma (2000) bertujuan untuk mengetahui apakah

terjadi persisten atau hysteresis pengangguran antara kawasan regional Eropa dan Amerika. Estimasi dengan menggunakan panel unit root digunakan untuk mencerminkan derajat persistensi. Hasil riset memastikan temuan terdahulu yang

dilakukan oleh Blanchard dan Summers (1986) yang menemukan bahwa derajat

persistensi di negara-negara Eropa lebih tinggi daripada di Amerika. Dengan

demikian, dapat diartikan bahwa fenomena persistensi lebih cenderung terjadi di

Eropa daripada AS sekaligus mengindikasikan adanya hysteresis pengangguran di kawasan Eropa.

Penelitian mengenai disparitas pengangguran antarregional juga dilakukan

oleh Filiztekin (2007) di Turki. Hasil analisis mengindikasikan adanya persistensi

pengangguran di tingkat provinsi. Analisis regresi dengan Ordinary Least Square dilakukan pada dua titik waktu yaitu pada tahun 1980 dan 2000. Sumber-sumber

persistensi menunjukkan hasil yang berbeda pada kedua titik waktu tersebut. Pada

tahun 1980 faktor yang berpengaruh positif terhadap persistensi pengangguran

adalah pangsa jumlah pekerja di bidang pertanian, pangsa dari populasi berusia

(42)

18

Sementara untuk tahun 2000 faktor yang berpengaruh positif adalah pangsa

jumlah pekerja di bidang manufaktur dan pangsa angkatan kerja yang

berpendidikan rendah dan tinggi. Faktor net migrasi pada tahun 2000 berpengaruh negatif terhadap persistensi pengangguran. Hal ini mengindikasikan efek demand

yang dominan di wilayah tersebut.

Studi yang dilakukan oleh Chuang dan Lai (2007) The Sources of Taiwan Regional Unemployment: A Cross-Region Panel Analysis menyatakan adanya disparitas yang cukup signifikan diantara 23 wilayah di Taiwan. Di samping itu,

tingkat pengangguran regionalnya menunjukkan persistensinya sepanjang waktu.

Metode cross region panel yang digunakan menunjukkan bahwa mayoritas faktor yang berpengaruh terhadap persistensi dan divergensi tingkat pengangguran antar

regional adalah komposisi demografi (pangsa dari populasi usia muda),

karakteristik keluarga (pangsa pria terhadap angkatan kerja, pangsa populasi

perempuan yang telah menikah), struktur industri, tingkat kepemilikan rumah, dan

mobilitas tenaga kerja (migrasi keluar).

InterCAFE (2008) melakukan studi empiris ‘Persistensi Pengangguran di

Indonesia dan Upaya Penanggulangannya berdasarkan Analisis Data Mikro’.

Persisten atau tidaknya pengangguran terlihat dari karakteristik data yang bersifat

stasioner. Digunakan tiga alternatif pendekatan yang merujuk pada studi Elmeskov

(1993). Hasil pengujian menunjukkan koefisien yang mendekati satu, hal itu

merupakan indikasi terjadinya peristensi pengangguran. Pada intinya, studi ini

menyimpulkan bahwa persistensi pengangguran yang terjadi selama ini di

Indonesia termasuk kategori disequiliubriumpersistent unemployment without self correcting mechanism, yang berarti bahwa persistensi terjadi di luar kesetimbangan pasar tenaga kerja serta tidak memiliki mekanisme automatis

untuk menuju titik kesetimbangan. Selain itu, persistensi merupakan akibat dari

lambatnya proses akumulasi modal, kekakuan upah, semakin lamanya pencarian

lapangan kerja (job search), dan berbagai kelembaman yang diakibatkan oleh faktor kelembagaan pasar tenaga kerja.

Sugema (2009), menganalisis adanya disparitas tingkat pengangguran

regional di Indonesia dan persistensinya sepanjang waktu. Hasil analisis

(43)

19

kecenderungan tingkat pengangguran yang divergen antar provinsi ketika

persistensi meningkat. Tingkat pengangguran yang semakin tinggi meningkatkan

ketidakpastian untuk migrasi (pindah) antarprovinsi. Di samping itu, tingkat

pengangguran yang tinggi juga dapat mengindikasikan adanya ‘mismatch’ yaitu waktu yang dibutuhkan para pencari kerja untuk mencocokkan antara kualifikasi

yang dimiliki dengan lowongan pekerjaan yang tersedia. Kedua, belum adanya

pertanda ‘equilibrating mechanism’ melalui penyesuaian upah riil. Tingkat upah tidak fleksibel dalam merespon pengangguran, oleh karena itu perbedaan tingkat

upah antarprovinsi tidak bisa diharapkan untuk mengatasi disparitas

pengangguran. Hal ini terjadi karena tidak adanya insentif upah bagi penganggur

untuk migrasi dari wilayah yang mempunyai tingkat pengangguran yang tinggi ke

wilayah yang mempunyai tingkat pengangguran yang rendah. Ketiga, persistensi

juga berkaitan dengan struktur ekonomi dalam suatu wilayah. Dengan

menggunakan metode panel dapat disimpulkan bahwa semakin ‘advanced’ perekonomian dalam suatu wilayah, maka semakin persisten pengangguran. Lebih

spesifik, persistensi pengangguran lebih tampak pada wilayah dengan pangsa

sektor manufaktur dan jasa yang dominan. Hal ini mengimplikasikan bahwa

tingkat pengangguran alamiah cenderung meningkat ketika terjadi pergeseran

struktur ekonomi tradisional menjadi modern. Keempat, mobilitas tenaga kerja

masih sangat terbatas. Hal ini lebih merupakan akibat faktor sosial daripada faktor

ekonomi. Dengan demikian, Indonesia dikarakteristikkan dengan socially driven spatial fragmentation of labour market. Kebijakan yang bertujuan untuk mengurangi disparitas pengangguran harus mempertimbangkan isu-isu sosial

seperti faktor keluarga.

2.6. Kerangka Pemikiran

Keterkaitan antara perumusan masalah, tujuan penelitian, dan metode

penelitian dapat dilihat dalam kerangka penelitian yang tersaji pada Gambar 7 dan

Gambar 8. Penelitian ini berawal dari permasalahan pengangguran dari dimensi

regional yaitu kondisi pengangguran antarprovinsi yang cenderung divergen serta

pada rentang waktu 1984-2008 keseluruhan provinsi cenderung mengalami

peningkatan pengangguran. InterCAFE (2008) menyatakan bahwa pengangguran

(44)

20

merupakan pengangguran yang persisten. Namun, tetap diperlukan pengukuran

secara statistik di dalam mengidentifikasi persistensi pengangguran. Dengan

demikian tujuan pertama dalam penelitian ini adalah mengidentifikasi apakah

pengangguran pada level provinsi di Indonesia tergolong persisten atau tidak.

Secara umum, persistensi pengangguran terjadi manakala penyesuaian

(adjustment) terhadap tingkat kesetimbangan berjalan dengan lambat. Walaupun dengan adjustment yang lambat, tingkat pengangguran yang berada pada kondisi persisten memiliki kecenderungan untuk dapat kembali ke tingkat pengangguran

alamiahnya (mean reversion). Artinya dengan melakukan uji akar unit, persisten atau tidaknya pengangguran terlihat dari karakteristik data yang bersifat stasioner

(mean reversion). Analisis tahap pertama dapat dilihat pada Gambar 7 berikut.

Gambar 7 Analisis Tahap Pertama Pembuktian Persistensi Regional

Permasalahan Pengangguran Dimensi Regional

Jarak Tingkat Pengangguran Antardaerah Melebar

Periode 1984-2008 Seluruh Propinsi Mengalami Peningkatan Pengangguran

Uji Stasioneritas: Panel Unit Root Im Pesharan Shin

Koefisien Persistensi: Persamaan Dickey Fuller dengan

(45)

21

InterCAFE (2008) telah melakukan pengukuran persistensi di tingkat

regional dengan menggunakan metode panel dengan persamaan ADF (untuk

menghitung koefisien) dan didapat koefisien sebesar 0,929. Data yang digunakan

yaitu dari tahun 1996 hingga 2006. Pada penelitian ini, metode yang digunakan

adalah pengujian panel unit root dengan menggunakan data pengangguran regional. Penelitian ini merupakan modifikasi dari penelitian InterCAFE (2008)

dengan metode yang berbeda serta rentang data yang lebih panjang (1984-2008).

Tahap selanjutnya dari penelitian ini mengidentifikasi sumber-sumber

pengangguran regional. Hasil identifikasi atas dapat menjadi landasan untuk

mengatasi persistensi pengangguran. Kondisi dimana terjadi pengangguran

antarregional dapat dibagi menjadi tiga kategori: labor supply, labor demand, dan mekanisme upah yang terdiri dari perubahan demografi yang mencakup angkatan

kerja berusia muda (15-24), angkatan kerja berpendidikan tinggi (highskilled), total angkatan kerja provinsi, angkatan kerja berjenis kelamin pria, dan

dependency ratio. Struktur perekonomian daerah berpengaruh terhadap demand tenaga kerja regional. Tiap sektor jelas akan membutuhkan skill yang berbeda sehingga akan menimbulkan berbagai variasi tingkat pencarian, kesulitan dan

penyesuaian antara skill dan lowongan yang tersedia dalam pasar tenaga kerja. Dengan demikian struktur komposisi industri yang berbeda turut berpengaruh

terhadap tingkat pengangguran yang berbeda-beda antarwilayah. Terkait dengan

komposisi industri regional penelitian ini hanya menggunakan pangsa sektor

pertanian dan manufaktur terhadap PDRB untuk menghindari masalah

multikolinearitas. Di samping itu, PDRB perkapita digunakan untuk melihat

performance ekonomi dalam mempengaruhi demand tenaga kerja dalam suatu wilayah. Mengidentifikasi perilaku migrasi menjadi salah satu kendala dalam

penelitian ini, karena data migrasi masuk, migrasi keluar, dan net migrasi hanya tersedia setiap lima tahun sekali yaitu ketika dilaksanakan Sensus Penduduk (SP).

Dengan demikian, penelitian ini hanya menggunakan faktor tingkat kepemilikan

rumah tiap provinsi (persen) sebagai pendekatan dalam menangkap faktor

migrasi. Selanjutnya, penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah upah

(46)

22

minimum provinsi secara langsung akan meningkatkan upah riil (Rizqal 2010).

Bagi pengusaha atau perusahaan kenaikan upah minimum ini akan menyebabkan

kenaikan biaya produksi yang berasal dari kenaikan upah, sehingga apabila total

biaya produksi lebih besar daripada penerimaannya maka perusahaan akan

mengurangi jumlah tenaga kerja dan mempertahankan tenaga kerja yang lebih

produktif.

Metode yang digunakan dalam analisis ini adalah regresi panel dengan

variabel pengangguran sebagai variabel dependent. Dengan teridentifikasinya faktor-faktor yang berpengaruh positif terhadap pengangguran regional berarti

faktor tersebut menjadi penyebab lambatnya mekanisme penyesuaian terhadap

tingkat pengangguran alamiah. Berdasarkan uraian di atas, maka tahap kedua

dalam penelitian ini ditunjukkan oleh Gambar 8.

Gambar 8 Analisis Tahap Kedua

Identifikasi Faktor Penyebab Pengangguran Regional

Rekomendasi Kebijakan

Komposisi Industri PDRBK

AGRI, MANU

DEPEND

MALE

OWN Mekanisme Upah

Mobilitas

Demografi

YOU HEDU

Supply dan Demand

UMP

(47)

23

2.7. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan tinjauan teoretis dan penelitian-penelitian empiris terdahulu,

dapat dirumuskan berbagai hipotesis terkait dengan tujuan penelitian sebagai

berikut:

1. Terdapat persistensi pengangguran provinsi. Sejak tahun 2006 tingkat

pengangguran mengalami penurunan, namun jika dibandingkan dengan

periode sebelumnya maka tingkat pengangguran provinsi pada periode 2008

belum bisa kembali pada periode 1984.

2. Faktor-faktor yang berpengaruh positif terhadap pengangguran adalah

angkatan kerja berusia muda (15-24), angkatan kerja berjenis kelamin pria,

pangsa sektor manufaktur terhadap PDRB, total angkatan kerja provinsi,

tingkat kepemilikan rumah, dan upah minimum provinsi.

3. Faktor-faktor yang berpengaruh negatif terhadap pengangguran adalah

(48)

24

(49)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Pengujian Persistensi

Tahap pertama dalam penelitian ini adalah membuktikan bahwa

pengangguran bersifat persisten. Secara teoretis, pengangguran yang berada pada kondisi persisten, memiliki kecenderungan untuk dapat kembali ke tingkat

pengangguran alamiahnya (mean reversion) walaupun dengan intensitas yang sangat lambat. Artinya dengan melakukan uji akar unit, persisten atau tidaknya

pengangguran terlihat dari karakteristik data yang bersifat stasioner. Data yang

stasioner akan mempunyai kecenderungan untuk mendekati nilai rata-ratanya dan

berfluktuasi di sekitar nilai rata-ratanya. Data yang digunakan adalah data tingkat

pengangguran provinsi dengan rentang waktu 1984 hingga 2008. Pendekatan

yang dominan dalam berbagai literatur adalah mengasumsikan bahwa tingkat

pengangguran (ut) merupakan proses autoregressive (AR) dengan ordo p. Model AR menunjukkan ut sebagai fungsi linear dari sejumlah ut

aktual sebelumnya

atau dinyatakan dalam:

Bianchi dan Zoega (1993) menyatakan bahwa ‘the sum of the autoregressive coefficients in the model,

is called ‘measure of persistence’ of unemployment’. Sebagai penyederhanaan, maka Dickey Fuller (DF) memodelkan AR dengan ordo 1 persamaan berikut:

maka terjadi hysteresis pengangguran karena trend data tersebut cenderung berfluktuasi tidak disekitar nilai rata-ratanya dan varian dari uit akan meningkat sejalan dengan peningkatan waktu dan cenderung untuk tak berhingga atau

fluktuasi pasar tenaga kerja yang memiliki dampak permanen terhadap tingkat

(50)

26

maka dapat disimpulkan adanya pengangguran yang persisten. Hal ini disebabkan

karena fluktuasi dalam pasar tenaga kerja yang hampir mempunyai dampak

permanen terhadap tingkat pengangguran alamiah, namun masih memiliki

kecenderungan untuk dapat kembali ke tingkat pengangguran alamiahnya (mean reversion). Selanjutnya, hipotesis trend stationarity dapat dievaluasi dengan menguji apakah nilai absolute dari ρi betul-betul lebih kecil dari 1. Pengujian

umum terhadap hipotesis diatas adalah H0: φ =1, dengan pengujian satu sisi

hipotesis alternative H1

, 1

i t

u

: φ <1. Standar umum pengujian akar-akar unit dari DF ini adalah persamaan 2, selanjutnya dengan mengurangi kedua sisi persamaan 2

dengan

Atau dengan menambahkan variabel lag ∆ui t, disisi kanan persamaan 3 akan

diperoleh pengujian Augmented Dickey Fuller (ADF) sebagai berikut:

Pengujian unit root pada penelitian ini didasarkan pada metode Im, Pesharan, Shin yang merata-ratakan keseluruhan individual unit root test statistics dengan H0: ρi =0, untuk setiap i, sedangkan alternatifnya H1: ρi < 0 untuk setiap

i. Pengujian ρi = 0 pada persamaan (4) di atas ekuivalen dengan pengujian φ = 1 pada persamaan (2) untuk setiap unit provinsi karena ρ = (φ-1). Secara prinsip

pengunaan panel data unit root test adalah dimaksudkan untuk meningkatkan power of the test dengan meningkatkan jumlah sample (Baltagi 2005). Pengujian unit root untuk homogenous panel dikembangkan oleh Levin dan Lin. Pengujian unit root tersebut, tidak dapat mengakomodasi heterogenitas antar kelompok,

seperti pengaruh unik individu (individual special effects) serta mengasumsikan bahwa seluruh unit cross-section mempunyai kecepatan penyesuaian yang sama menuju keseimbangan. Im et al (2002) memperkenalkan unit root test dengan dynamic heterogenous panels. Pada umumnya, unit root test dengan dynamic heterogenous lebih banyak digunakan dibandingkan dengan homogenous dynamic. Metode ini mempunyai kelebihan dibandingkan dengan metode (3)

(51)

27

sebelumnya karena bisa menganalisis data panel yang mempunyai tingkat

heterogenitas yang lebih tinggi. Perlu dicatat pengujian IPS tidak mengasumsikan

bahwa semua unit provinsi menuju ke tingkat keseimbangan dengan kecepatan

yang sama, dengan demikian ρ1= ρ2 = ... = ρi

t

< 0. Pengujian IPS didasarkan pada

statistik yang distandardisasi dengan formulasi berikut:

) t-statistik dari N unit provinsi,

dan Var{tiT(pi ρi =0} adalah rata-rata dan varian dari rata-rata

statistik ADF(pi) di bawah hipotesis nol, sebagimana yang ditabulasi oleh Im, Pesaran, dan Shin untuk setiap T yang berbeda dan ordo lag pi dari pengujian ADF. Mereka juga menunjukkan bahwa dalam hipotesis nol dari sebuah unit root, Γt

Tahap kedua pada penelitian ini adalah mengidentifikasi faktor-faktor

penyebab pengangguran regional di Indonesia. Data yang digunakan untuk

menjawab permasalahan ini adalah data tahun 1998 hingga 2008 dengan

menggunakan dua pendekatan dalam metode data panel yaitu Fixed Effect Model (FEM) dan Random Effect Model (REM)

adalah terdistribusi normal, N(0,1).

3.2. Metode Analisis Determinasi Pengangguran Regional

1

1

Penjelasan serta berbagai pendekatan FEM dan REM dapat dilihat pada Baltagi (2005)

. Dasar pertimbangan dalam memilih kedua model tersebut adalah dengan menggunakan uji Hausman, karena berkaitan dengan ditolak atau diterimanya asumsi ada atau tidaknya korelasi antara

komponen error dengan peubah bebas. Tahap selanjutnya yang harus dipenuhi dalam persamaan regresi adalah bahwa taksiran parameter dalam model regresi

(52)

28

Dalam penelitian ini digunakan model sebagai berikut untuk

mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pengangguran di tingkat

provinsi:

U YOU HEDU MALE DEPEND

AGRI MANU OWN AK UMP

PDRBK

: Pangsa angkatan kerja usia muda (15-24 tahun) provinsi (persen)

: Pangsa angkatan kerja berpendidikan tinggi (≥ SLTA) provinsi

(persen)

: Pangsa angkatan kerja pria provinsi (persen)

: Dependency Ratio tiap provinsi (persen)

: Pangsa sektor pertanian terhadap PDRB (persen)

: Pangsa sektor manufaktur terhadap PDRB (persen)

: Tingkat kepemilikan rumah dengan status milik sendiri tiap

provinsi (persen)

: Logaritma natural dari total angkatan kerja provinsi (orang)

: Logaritma natural dari UMP (rupiah)

: Logaritma natural dari PDRB perkapita (juta rupiah)

3.3 Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini seluruhnya merupakan data

sekunder berupa data panel. Data tersebut terutama berasal dari BPS antara lain

Survei Angkatan Kerja (Sakernas), Statistik Kesejahteraan Rakyat, Statistik

Perumahan, dan Statistik Indonesia. Beberapa data diubah ke dalam bentuk

logaritma untuk memperkecil skala serta memudahkan hasil analisis. Di samping

itu, studi pustaka dilakukan dengan membaca literatur yang berkaitan dengan

penelitian baik dari media cetak maupun internet.

(53)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Identifikasi Persistensi Regional

Subbab berikut bertujuan untuk mengidentifikasi keberadaan persistensi

pengangguran di tingkat provinsi di Indonesia. Secara teoretis, pengangguran

yang berada pada kondisi persisten, memiliki kecenderungan untuk dapat kembali

ke tingkat pengangguran alamiahnya (mean reversion) walaupun dengan intensitas yang sangat lambat. Artinya dengan melakukan uji akar unit, persisten

atau tidaknya pengangguran terlihat dari karakteristik data yang bersifat stasioner.

Regresi ADF (persamaan 4) dengan pendekatan intercept dan trend menghasilkan probabilitas sebesar 0,000 sehingga diputuskan bahwa H0 di mana data panel

mengandung unit root ditolak dan disimpulkan bahwa data panel tersebut bersifat stasioner. Di samping itu, untuk memperkuat keyakinan bahwa data panel pada

periode tersebut stasioner, pengujian juga dilakukan dengan metode panel unit root lain seperti LL, dan Breitung yang menunjukkan bahwa data panel pada rentang waktu tersebut stasioner (Lampiran 2).

Tabel 1 Pengujian Persistensi Pengangguran Regional di Indonesia

Statistic Probabilitas

-5,91667 0,0000

Sumber: Lampiran 1

Selanjutnya adalah menghitung koefisien persistensi dengan menggunakan

persamaan 2 untuk memastikan bahwa koefisien tersebut lebih kecil dari satu

(near unit root). Hasil estimasi Hausman diperoleh nilai probabilitas sebesar 0,000 yang berarti tolak H0 sehingga fixed effect merupakan model yang terbaik(Lampiran 3).

Hasil analisis secara ringkas dapat dilihat pada Tabel 2 berikut dan ini

merupakan indikasi yang relatif kuat mengenai terjadinya persistensi

(54)

30

disimpulkan bahwa selama periode analisis, pengangguran pada 26 provinsi yang

terjadi di Indonesia secara umum bersifat persisten.

Tabel 2 Koefisien Persistensi Pengangguran Regional Indonesia.

Koefisien Probabilitass t-stat R2

0,8753 0,0000 19,33 0,863

Sumber: Lampiran 4

4.2. Analisis Determinasi Pengangguran Regional

Sub bab berikut bertujuan untuk menganalisis faktor determinasi

pengangguran regional. Uji Hausman digunakan untuk memilih metode terbaik

antara fixed effects dengan random effects. Hasil uji Hausman menunjukkan nilai probabilitas 0,000 yang berarti tolak H0

Asumsi yang harus dipenuhi dalam persamaan regresi adalah bahwa

estimasi parameter dalam model regresi bersifat Best Linier Unbiased Estimate (BLUE) maka var (u

sehingga dapat disimpulkan fixed effects lebih baik dari random effect (Lampiran 5).

i) harus sama dengan σ2

Setelah mengestimasi model maka selanjutnya adalah interpretasi terhadap

persamaan regresi. Pada Tabel 3 hasil estimasi memberikan nilai koefisien

determinasi R

(konstan) atau semua error mempunyai varian yang sama. Heteroskedastisitas dapat dideteksi dengan

membandingkan sum squared resid pada GLS (weighted) dengan OLS (unweighted). Berdasarkan uji dan pengamatan hasil pengolahan, ditemukan adanya heteroskedastisitas (Lampiran 6). Hal ini disebabkan karena sum square resid pada GLS (weighted) lebih kecil dibandingkan dengan OLS (unweighted). Untuk mengatasi pelanggaran ini dilakukan estimasi GLS dengan white-heteroscedasticity (Lampiran 7). Pendeteksian dengan adanya autokorelasi juga dilakukan pada model dengan melihat nilai statistik Durbin-Watson. Hasil estimasi pada output didapatkan DW hitung sebesar 1,545 yang berarti berada di

daerah dU dan 4-dU (tidak ada korelasi). Berdasarkan estimasi dan evaluasi

dengan menggunakan uji OLS klasik terhadap model fixed effect dengan perlakuan cross section weights dan white heteroscedasticity, maka model estimasi tersebut merupakan model terbaik dalam penelitian ini.

2

(55)

31

keragaman variabel terikat (tingkat pengangguran) dapat dijelaskan oleh model,

sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain di luar model sebesar 13 persen.

Hasil uji ini diperkuat dengan probabilitas F-statistik sebesar 0,000 yang berarti minimal ada satu variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap variabel terikat

sehingga model penduga sudah layak untuk menduga parameter yang ada dalam

fungsi.

Tabel 3 Hasil Estimasi Persamaan Tingkat Pengangguran Regional

Variabel Koefisien Probabilitas

Angkatan Kerja 15-24(YOU) 0,209217 0,0003

Angkatan Kerja High-educated (HEDU) 0,013130 0,0016

Angkatan Kerja Pria (MALE) 0,173306 0,0001

PDRB Perkapita (PDRBK) -0,128572 0,0928

Dependency Ratio (DEPEND) -0,120253 0,0019

Pangsa Sektor Pertanian terhadap PDRB

(AGRI) -0,035573 0,0074

Pangsa Sektor Manufaktur terhadap

PDRB ( MANU) -0,055265 0,0199

Upah Minimum Provinsi (UMP) 1,842472 0,0002

Angkatan Kerja (AK) 1,545013 0,1404

Tingkat Kepemilikan Rumah (OWN) -0,000329 0,9925

Sumber: Lampiran 7

Angkatan Kerja Usia Muda (15-24 Tahun)

Variabel angkatan kerja usia muda (15-24 tahun) berpengaruh nyata

terhadap tingkat pengangguran dengan arah yang positif. Artinya setiap kenaikan

satu persen jumlah angkatan kerja berusia muda akan menyebabkan tingkat

pengangguran regional meningkat sebesar 0,20 persen. Hal ini disebabkan

tingginya frekuensi pencarian atau pergantian pekerjaan pada kelompok usia

tersebut dan didukung dengan kurangnya pengalaman dan keahlian. InterCAFE

(2008) menyatakan bahwa sebuah proses yang natural ketika kelompok ini kalah bersaing dalam kesempatan kerja. Kesempatan kerja jelas akan mendahulukan

tenaga kerja yang memiliki pengalaman. Lipsey et al (1997) menyatakan bahwa angkatan kerja muda yang baru memasuki angkatan kerja dan mencari pekerjaan

merupakan sumber utama penyebab pengangguran friksional.

Terdapat beberapa fenomena yang terjadi pada angkatan kerja kelompok

Gambar

Grafik Keseimbangan Pasar Tenaga Kerja ..........................................
Gambar 1 Tingkat Pengangguran dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Gambar 2 Tingkat Pengangguran Antarprovinsi Tahun 1984 dan 2008
Gambar 3 Tingkat Penyerapan Tenaga Kerja Antarpulau, 1992-2008
+7

Referensi

Dokumen terkait

Analisis vegetasi dilakukan untuk mengetahui komposisi tumbuhan yang berada di hutan lindung Gunung Pesagi dilakukan dengan menghitung nilai INP dari setiap jenis

• Pihak yang bersedia bekerjasama dengan membiayai 30% dari seluruh dana kegiatan JALAN SEHAT yaitu sebesar Rp2.335.500,00. • Pada point ini masih terbuka adanya kerjasama dengan

Terlepas dari beberapa temuan tersebut, Kesimpulan dari hasil konsultasi dengan ahli media dan ahli bahasa, uji ahli Bimbingan dan Konseling, serta uji validasi guru BK terhadap

1 menunjukan bahwa nilai rata-rata hasil belajar fisika peserta didik Pretest dan post-test pada kelas eksperimen yang diberi perlakuan dengan model pembelajaran

Pengambilan mata kuliah agar disesuaikan dengan jadwal kuliah dan jangan mengambil beberapa mata kuliah pada jam yang sama, untuk.. menghindari &#34;BENTROK&#34; pada waktu

Secara ekonomi, usaha ternak kambing layak diusahakan di daerah penelitian dengan nilai R/C sebesar 1.43, yaitu lebih besar dari 1 (R/C &gt;1).Nilai BEP volume adalah

Telah dikemukakan dalam riset bahwa moral kerja dapat mempertinggi produktivitas dalam kondisi tertentu, akan tetapi dalam kondisi yang lain ternyata tidak begitu

Melalui penerapan Model TIL (The Information Literacy) Tipe The Big6 dalam proses pembelajaran diharapkan dapat menciptakan indonesia sebagai negara yang minat dan