• Tidak ada hasil yang ditemukan

II.TINJAUAN PUSTAKA Definisi Pengangguran

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II.TINJAUAN PUSTAKA Definisi Pengangguran"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

II.TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini akan menguraikan teori-teori yang berhubungan dengan pengangguran secara umum serta teori-teori yang berhubungan dengan faktor-faktor yang menyebabkan pengangguran di tingkat regional yang selanjutnya mengarah pada kondisi yang menyebabkan persistensi. Selain itu, juga mencakup tentang penelitian terdahulu, kerangka pemikiran serta hipotesis yang dibuat berdasarkan tujuan yang akan dicapai dengan penelitian ini.

2.1. Definisi Pengangguran

Menurut BPS, konsep dan definisi penduduk usia kerja adalah mereka yang berdasarkan golongan umurnya sudah bisa diharapkan untuk bekerja. Di Indonesia digunakan batasan umur 15 tahun sebagai batas seseorang dianggap mulai bisa bekerja. Jadi penduduk usia kerja adalah penduduk yang telah berusia 15 tahun atau lebih. Penduduk usia kerja terbagi menjadi dua kelompok besar yakni angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Penduduk bukan angkatan kerja, adalah penduduk usia kerja (15 tahun ke atas) yang tidak termasuk ke dalam

angkatan kerja. Golongan ini secara ekonomi memang tidak aktif (non-economically active population). Kegiatan mereka biasanya adalah sekolah,

mengurus rumah tangga, pensiun, dan cacat jasmani. Sementara angkatan kerja didefinisikan sebagai jumlah orang yang bekerja dan orang yang menganggur. Menurut BPS, bekerja didefinisikan sebagai kegiatan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh penghasilan atau keuntungan selama paling sedikit satu jam dalam seminggu yang lalu dan tidak boleh terputus.

Seseorang dikatakan menganggur atau mencari pekerjaan apabila termasuk penduduk usia kerja yang; (1) tidak bekerja, atau (2) sedang mencari pekerjaan baik bagi mereka yang belum pernah bekerja sama sekali maupun yang sudah pernah berkerja, atau (3) sedang mempersiapkan suatu usaha, atau (4) yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin untuk mendapatkan pekerjaan, atau (5) yang sudah memiliki pekerjaan tetapi belum mulai bekerja. Tingkat pengangguran didefinisikan sebagai persentase dari angkatan kerja yang tidak bekerja. Secara keseluruhan konsep statistik ketenagakerjaan yang digunakan

(2)

dalam Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) mengacu pada the labor force

concept yang disarankan ILO (International Labor Organization). Secara

skematis konsep tersebut digambarkan sebagai berikut:

Sumber: BPS (2008)

Gambar 5 Diagram Ketenagakerjaan

2.2. Persistensi Pengangguran dan Hysteresis

Blanchard dan Summer (1986) menyatakan bahwa the existence of

hysteresis should not be confused with persistence. Persistence implies that, although the speed of adjustment towards the equilibrium level is slow, unemployment shows mean reversion. Thus persistence is a special case of the natural rate hypothesis in which unemployment is a near-unit root process. Under hysteresis, macroeconomic policy would have permanent effects on unemployment. If persistence were the prevailing case it would have long lasting but not permanent effects. Persistensi pengangguran terjadi manakala penyesuaian

(adjustment) terhadap tingkat kesetimbangan berjalan dengan lambat. Pernyataan ini sesuai dengan Elmeskov (1993) yang menyatakan bahwa the adjustment

towards equilibrium takes time and the adjustment process may be complicated.

Walaupun dengan adjustment yang lambat, tingkat pengangguran yang berada

Penduduk

Bukan Usia Kerja

Usia Kerja

Angkatan Kerja Bukan Angkatan Kerja

Pengangguran Mengurus RT Sedang Bekerja Sementara Tidak Bekerja Mempersiapkan Usaha

Merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan

Sudah punya pekerjaan tapi belum mulai bekerja

Mencari Pekerjaan

(3)

pada kondisi persisten memiliki kecenderungan untuk dapat kembali ke tingkat pengangguran alamiahnya (mean reversion). Equilibrium rate menurut Elmeskov (1993) adalah natural rate (tingkat pengangguran alamiah).

Kondisi ini perlu dibedakan dengan hysteresis yang merupakan kondisi fluktuasi dalam pasar tenaga kerja yang memiliki dampak yang permanen terhadap tingkat pengangguran. Menurut Mankiw (2003), hysteresis adalah teori yang menyatakan bahwa resesi dapat mempengaruhi tingkat pengangguran alamiah secara permanen. Hysteresis merupakan suatu proses unit root (tidak stasioner) sedangkan persistensi pengangguran disebut sebagai near unit root dan memiliki kecenderungan untuk mean reversion. Mean reversion dalam ekonometrika adalah suatu series jika fluktuasi cenderung kembali ke nilai rata-rata dan varian cenderung bersifat konstan.

2.3. Faktor-faktor Penyebab Pengangguran Regional

Sub bab berikut memberikan penjelasan mengenai faktor-faktor penyebab pengangguran regional yang terdiri dari labor supply, labor demand, dan mekanisme upah sebagai market clearing.

2.3.1. Perubahan Demografi

Berdasarkan berbagai literatur sebelumnya, perubahan demografi dapat dikategorikan berdasarkan: struktur umur, gender, pendidikan, angkatan kerja, migrasi dan latar belakang keluarga. Tiap-tiap faktor tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

- Struktur umur: Pengangguran usia muda (15-24) kerap menjadi fokus perhatian para pembuat kebijakan dan peneliti. Pada umumnya yang terjadi adalah tingkat pengangguran usia muda lebih tinggi dibandingkan pengangguran usia dewasa. Hal ini disebabkan karena tingginya frekuensi dalam pergantian/pencarian kerja pada kelompok umur tersebut dan didukung dengan kurangnya pengalaman dan keahlian mereka.

- Gender: Berdasarkan jenis kelamin, angkatan kerja terbagi menjadi angkatan kerja pria dan wanita. Pria pada umumnya memikul tanggung jawab utama untuk menghidupi keluarga. Oleh karena itu menurut Chuang dan Lai (2007)

(4)

mereka lebih termotivasi dan aktif dalam mencari pekerjaan dan lebih enggan untuk berhenti bekerja.

- Pendidikan: Elhorst (2003) menyatakan dalam beberapa studi bahwa pendidikan berpengaruh signifikan terhadap pengangguran. Hal ini disebabkan karena berbagai alasan berikut: Pertama, seseorang yang berpendidikan tinggi cenderung mencari pekerjaan lebih intensif. Kedua, mereka kurang rentan terhadap pemutusan hubungan kerja (PHK) dan menunjukkan pola yang lebih stabil dibandingkan yang kurang berpendidikan. Ketiga, seseorang yang berpendidikan tinggi biasanya memiliki keterampilan yang dibutuhkan oleh perekonomian dengan tingkat teknologi yang terus berkembang.

Dengan demikian seharusnya, semakin tinggi pangsa pria terhadap angkatan kerja maka tingkat pengangguran akan semakin rendah.

- Beban tanggungan keluarga (dependency ratio): Ide dasarnya adalah apabila dalam

- Migrasi: Filiztekin (2007) menyatakan bahwa migrasi bisa mempengaruhi sisi

supply maupun demand tenaga kerja. Migrasi keluar bisa mengurangi labor supply, sementara migrasi masuk bisa menyebabkan peningkatan baik dalam supply tenaga kerja (pengaruh langsung) dan demand tenaga kerja (tidak

langsung). Efek terhadap demand tenaga kerja yaitu jika migrant berketerampilan dan berpendidikan tinggi, migrant memiliki kontribusi human

capital dalam bentuk akumulasi keahlian, bakat kewirausahaan keterampilan

dan inovasi yang akan berkontribusi terhadap produktivitas lokal sehingga produksi dapat meningkat. Selanjutnya hal ini dapat berimplikasi terhadap

demand tenaga kerja.

suatu rumah tangga terdapat anggota keluarga (non produktif) yang menjadi beban bagi individu (usia produktif) di keluarga, maka individu tersebut akan lebih intensif dalam mencari pekerjaan. Dengan demikian semakin tinggi dependency ratio di suatu wilayah tersebut semakin rendah tingkat pengangguran (Chuang dan Lai 2007).

2.3.2. Hambatan Sosial dan Ekonomi

Berbagai pandangan menyatakan bahwa adanya pengangguran di tingkat regional merefleksikan slow operation of equilibrating mechanisms karena adanya

(5)

hambatan ekonomi dan sosial. Pertama, sebagai catatan bahwa perilaku migrasi tidak dapat sepenuhnya dijelaskan dengan konsep ekonomi. Hambatan sosial dan ekonomi bisa memisahkan pasar tenagakerja regional (friction) terdiri dari:

1. Hambatan yang ditimbulkan karena adanya tingkat kepemilikan rumah. Chuang dan Lai (2007) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif antara tingkat kepemilikan rumah dengan tingkat pengangguran yaitu “a house

ownership variabel to stand for the workers community identity and sosial networks affect the cost of migration and thus workers mobility. Strong community identification and cohesive social networks increase the cost of migration”.

2. Hambatan yang ditimbulkan karena adanya kebijakan ‘social security’. Banyak studi telah mengkaji dampak asuransi pengangguran terhadap pencarian pekerjaan. Keberadaan sistem ‘social security’ atau asuransi pengangguran pada khususnya berhubungan positif dengan tingkat pengangguran regional karena sistem ini mengurangi biaya dari ‘menganggur’ dan meningkatkan upah reservasi (tingkat upah terendah agar penganggur mau bekerja). Dengan kata lain, kebijakan tersebut menurunkan tingkat pencarian kerja. Di samping itu Elhorst (2003) menemukan hubungan yang positif bahwa sistem upah minimum meningkatkan pengangguran regional. Upah minimum dianggap sebagai proteksi atau perlindungan untuk kesejahteraan pekerja. Dalam kebijakan ini, perusahaan secara legal tidak boleh melakukan kebijakan pengupahan di bawah floor wage, sehingga upah minimum sering dijadikan alasan oleh serikat buruh untuk mencegah terjadinya penurunan upah di bawah upah minimum. Hal ini akan berimplikasi pada penurunan demand akan tenaga kerja.

2.3.3. Komposisi Industri

Argumen yang sering dikemukakan bahwa salah satu penyebab pengangguran regional adalah struktur perekonomian dalam suatu wilayah tersebut. Chuang dan Lai (2007) menyatakan bahwa pergeseran dalam komposisi industri berpengaruh terhadap permintaan tenaga kerja pada level regional. Dengan demikian komposisi industri mempengaruhi tingkat pengangguran

(6)

regional. Hal ini juga diperkuat oleh Wu (2003) bahwa persistensi pengangguran regional tergantung pada struktur ekonomi wilayah tersebut. Tiap sektor akan membutuhkan skill yang berbeda sehingga akan menimbulkan berbagai variasi tingkat pencarian, kesulitan dan penyesuaian antara skill dan lowongan yang tersedia dalam pasar tenaga kerja.

2.3.4. Kekakuan Upah

Kegagalan upah dalam melakukan penyesuaian sampai penawaran tenaga kerja sama dengan permintaannya merupakan indikasi adanya kekakuan upah (wage rigidity). Kekakuan upah merupakan salah satu penyebab terjadinya pengangguran (Mankiw 2003). Secara teoretis, untuk mempertahankan tingkat pengangguran alamiah (natural rate of unemployment) sama dengan tingkat aktualnya (actual rate of unemployment), maka harus dijaga agar tingkat upah riil sama dengan Marginal Productivity to Labor (MPL). Upah riil menyesuaikan MPL sehingga ketika MPL turun maka upah riil seharusnya juga turun. Tetapi jika tidak terjadi penurunan, maka upah riil tersebut kaku. Semakin lambat mekanisme penyesuaian maka akan semakin lama dan semakin besar efek guncangan negatif terhadap pengangguran, atau pada saat pertumbuhan upah riil lebih tinggi dari pertumbuhan produktivitas perusahaan maka akan menyebabkan pertambahan pengangguran. Di sisi lain, kekakuan upah nominal merupakan kemampuan upah nominal dalam melakukan penyesuaian terhadap harga. Semakin lambat mekanisme penyesuaian maka akan semakin besar penurunan upah riil sebagai respon dari inflasi yang tidak diantisipasi. Dalam model keseimbangan pasar tenaga kerja, upah riil berubah untuk menyeimbangkan penawaran dan permintaan. Tetapi upah tidak selalu fleksibel, sehingga upah riil tertahan di atas tingkat ekuilibrium sehingga terjadi pengangguran.

(7)

Sumber: Mankiw (2003)

Gambar 6 Grafik Keseimbangan Pasar Tenaga Kerja

Untuk memahami kekakuan upah dan pengangguran struktural, maka penting untuk memahami mengapa pasar tenaga kerja tidak berada pada tingkat keseimbangan penawaran dan permintaan. Hal ini dapat dilihat berdasarkan Gambar 6, saat upah riil melebihi tingkat ekuilibrium dan penawaran pekerja melebihi permintaannya, maka perusahaan-perusahaan diharapkan akan menurunkan upah yang akan dibayar kepada para pekerja. Namun pada kenyataannya, hal ini tidak terjadi. Pengangguran struktural kemudian muncul sebagai implikasi karena perusahaan gagal menurunkan upah akibat kelebihan penawaran tenaga kerja (Mankiw 2003).

Kekakuan upah ini terjadi sebagai akibat dari undang-undang upah minimum atau kekuatan monopoli serikat pekerja. Berbagai faktor tersebut berpotensi menjadikan upah tertahan di atas tingkat upah keseimbangan. Hal ini pada akhirnya mengakibatkan pengangguran. Undang-undang upah minimum menetapkan tingkat upah minimal yang harus dibayar perusahaan kepada para karyawannya. Kebijakan upah minimum ditengarai akan lebih banyak berdampak pada penganggur dengan usia muda (Mankiw 2003). Alasannya yaitu pekerja

Tenaga Kerja Permintaan Penawaran Pengangguran Upah Riil W1 W0 L0 L1

(8)

dengan usia lebih muda termasuk anggota angkatan kerja yang kurang terdidik dan kurang berpengalaman, maka mereka cenderung memilki produktivitas marginal yang rendah.

Kekakuan upah nominal juga disebabkan oleh adanya indeksasi upah terhadap inflasi. Pada intinya indeksasi adalah upah yang telah disesuaikan dengan kebutuhan hidup, dengan kata lain, upah ini telah disesuaikan dengan inflasi. Ketika terjadi inflasi (kenaikan biaya hidup) pekerja akan menuntut kenaikan upah, sehingga kemungkinan besar perusahaan akan meningkatkan upah, karena ada biaya yang harus ditanggung (perceived cost) dari tindakan pekerja jika tuntutan kenaikan upah oleh pekerja tidak dikabulkan oleh perusahaan (misalnya; mogok kerja, demonstrasi).

2.3.5. Pencarian Kerja

Pencarian kerja terkait dengan waktu yang dibutuhkan para pencari kerja. Pencarian kerja bisa menjadi lebih lama atau lebih cepat karena dipengaruhi oleh komposisi industri, mismatch, ketidaksempurnaan informasi, dan migrasi. Pencari kerja membutuhkan waktu untuk mencocokkan antara kualifikasi, keahlian yang dimiliki dengan lowongan kerja yang tersedia. Perbedaan keahlian dan upah dari setiap pekerjaan memungkinkan para penganggur tidak menerima pekerjaan yang pertama kali ditawarkan. Kondisi ini akan menyebabkan pengangguran semakin sulit untuk berkurang. Menurut Mankiw (2003), pengangguran yang disebabkan oleh waktu yang dibutuhkan untuk mencari pekerjaan disebut pengangguran friksional. Sumber utama pengangguran ini adalah angkatan kerja muda.

2.4. Pengukuran Persistensi Pengangguran Regional

Saat ini banyak metode ekonometrika yang ditawarkan untuk mengukur tingkat pengangguran disesuaikan dengan kondisi dan tujuan yang diinginkan, dimana setiap metode pengukuran memiliki kelebihan dan kekurangan. Berikut adalah beberapa metode yang dapat digunakan:

1. Augmented Dickey-Fuller (ADF) test. ADF-test umumnya dilakukan sebagai indikasi awal terjadinya persistensi pengangguran, seperti yang diacu oleh banyak publikasi ilmiah. Namun demikian studi-studi tersebut juga mencatat

(9)

bahwa ADF-test memiliki kekurangan yaitu adanya kecenderungan untuk menerima Ho (tidak stasioner) terutama apabila data series mengalami

structural break dan memiliki tren.

2. Vector Auto Regression (VAR). Kelebihan metode ini terutama terletak pada analisis impulse response yang bermanfaat untuk mengetahui bagaimana dan seberapa lama pengaruh dari suatu shock terhadap tingkat pengangguran (Murillo et al 2005).

3. Markov Switching Model. Model ini dilakukan oleh Bianchi dan Zoega (1998), dimana jika dalam suatu series terjadi structural breaks maka dapat diidentifikasi dan dampaknya pada data dapat dihilangkan.

4. Panel unit root metode Levin-Lin (LL) atau Im-Pesaran-Shin (IPS). Metode ini merupakan pengembangan dari ADF-test namun telah mengakomodasi perbedaan unit cross-section untuk kategori series yang dianalisis. Salah satu metode panel unit root yang digunakan adalah pendekatan LL. Namun demikian, pengujian dengan metode LL mempunyai kelemahan karena adanya asumsi bahwa seluruh unit cross-section mempunyai kecepatan penyesuaian yang sama menuju kesetimbangan. Oleh karena itu, metode pengujian alternatif adalah metode IPS. Metode ini mempunyai kelebihan dari metode sebelumnya karena bisa menganalisis panel data yang mempunyai tingkat heterogenitas yang lebih tinggi. Salah satu aplikasi model ini adalah studi yang dilakukan Ledesma (2000).

5. Bayesian Autoregressive Fractionally Integrated Moving Average (ARFIMA). Pendekatan ini merupakan pendekatan alternatif untuk menguji dan mengestimasi ketergantungan jangka panjang. Hal ini didasari bahwa fenomena pengangguran merupakan proses jangka panjang. Kelebihan metode ini adalah kemampuannya dalam memprediksi dampak jangka panjang suatu

shock.

Terkait dengan pengangguran regional, InterCAFE dengan Bank Indonesia telah melakukan penelitian “Empiris Persistensi Pengangguran di Indonesia dan Upaya Penanggulangannya berdasarkan Analisis Data Mikro”. Di dalam studi tersebut terdapat pembahasan mengenai pengukuran persistensi pengangguran pada tingkat regional. Metode analisis yang digunakan adalah metodologi panel

(10)

data, yaitu Pooled Least Square (PLS), Fixed Effect (FE) dan Random Effect (RE). Hasil analisis menunjukkan bahwa terjadi persistensi dalam pengangguran regional di Indonesia. Dengan demikian penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh kerjasama InterCAFE dan Bank Indonesia yang bertujuan untuk mengidentifikasi persistensi pengangguran regional dengan menggunakan rentang data yang lebih panjang dan metode yang berbeda.

2.5. Hasil Penelitian Empirik Terdahulu

Analisis lain di Negara-negara Eropa mengenai masalah dan penyebab tingginya persistensi pengangguran dilakukan Elmeskov pada tahun 1993 yaitu ‘High and Persistent Unemployment: Assessment of the Problem and Its Causes’. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tren kenaikan pengangguran disertai oleh kenaikan secara drastis pada pengangguran dalam tingkat regional. Kondisi ini diakibatkan kurangnya fleksibilitas pada upah di tingkat regional untuk melakukan penyesuaian. Selain itu, kenaikan pengangguran tersebut juga diakibatkan oleh rendahnya mobilitas geografis tenaga kerja. Elmeskov juga menyatakan bahwa penyesuaian yang lambat dalam pasar tenaga kerja disebabkan oleh beberapa faktor utama. Penyebab utama tersebut yakni besarnya kompensasi untuk pengangguran, tingkat upah minimum dan regulasi mengenai perlindungan pekerja. Berkaitan dengan struktur pengangguran, konsentrasi terhadap penduduk berusia muda merupakan suatu fenomena tersendiri di berbagai negara. Di samping itu, fenomena penting lainnya adalah penduduk dengan pendidikan dan keterampilan yang minim merupakan mayoritas dari penganggur. Secara bersamaan, karakteristik tersebut merefleksikan kegagalan sistem pendidikan untuk mengelola proses transisi yang tepat dari kehidupan sekolah untuk bekerja. Trend yang meningkat dalam pengangguran di berbagai negara OECD sejak tahun 1973 merupakan tantangan utama bagi pembuat kebijakan ekonomi. Mayoritas negara anggota mengalami peningkatan yang cukup substansial saat terjadi peningkatan harga minyak yang cukup tajam yaitu pada tahun 1973-1974 dan 1979/1980, yang berimplikasi pada penurunan pertumbuhan total factor

(11)

Pengujian eksistensi persistensi pengangguran selanjutnya mengarah pada kawasan Asia, yakni Cina. Penelitian ini dilakukan oleh Wu (2003) ‘The

Persistence of Regional Unemployment: Evidence from China’. Studinya

difokuskan pada perbedaan yang terjadi antara pengangguran total dan kaum muda (total dan youth unemployment), tingkat nasional dan regional dalam fenomena persistensi pengangguran di Cina. Hasil empiris menunjukkan tiga esensi penting. Pertama, pengangguran total lebih persisten daripada pengangguran kaum muda. Ketiga, wilayah barat Cina memiliki tingkat pengangguran provinsi tertinggi tetapi persistensi pengangguran regionalnya terendah. Metode data panel digunakan untuk menganalisis sumber-sumber dari persistensi pengangguran. Hasil estimasi terhadap data panel menunjukkan bahwa persistensi pengangguran relatif regional di Cina disebabkan bukan hanya oleh

high output share by state sector tetapi juga oleh high output share by collective sector. Semakin tinggi share output industri terhadap state sector dan collective sector maka pengangguran regional semakin persisten.

Riset yang dilakukan Ledesma (2000) bertujuan untuk mengetahui apakah terjadi persisten atau hysteresis pengangguran antara kawasan regional Eropa dan Amerika. Estimasi dengan menggunakan panel unit root digunakan untuk mencerminkan derajat persistensi. Hasil riset memastikan temuan terdahulu yang dilakukan oleh Blanchard dan Summers (1986) yang menemukan bahwa derajat persistensi di negara-negara Eropa lebih tinggi daripada di Amerika. Dengan demikian, dapat diartikan bahwa fenomena persistensi lebih cenderung terjadi di Eropa daripada AS sekaligus mengindikasikan adanya hysteresis pengangguran di kawasan Eropa.

Penelitian mengenai disparitas pengangguran antarregional juga dilakukan oleh Filiztekin (2007) di Turki. Hasil analisis mengindikasikan adanya persistensi pengangguran di tingkat provinsi. Analisis regresi dengan Ordinary Least Square dilakukan pada dua titik waktu yaitu pada tahun 1980 dan 2000. Sumber-sumber persistensi menunjukkan hasil yang berbeda pada kedua titik waktu tersebut. Pada tahun 1980 faktor yang berpengaruh positif terhadap persistensi pengangguran adalah pangsa jumlah pekerja di bidang pertanian, pangsa dari populasi berusia muda, dan pangsa angkatan kerja yang berpendidikan rendah dan tinggi.

(12)

Sementara untuk tahun 2000 faktor yang berpengaruh positif adalah pangsa jumlah pekerja di bidang manufaktur dan pangsa angkatan kerja yang berpendidikan rendah dan tinggi. Faktor net migrasi pada tahun 2000 berpengaruh negatif terhadap persistensi pengangguran. Hal ini mengindikasikan efek demand yang dominan di wilayah tersebut.

Studi yang dilakukan oleh Chuang dan Lai (2007) The Sources of Taiwan

Regional Unemployment: A Cross-Region Panel Analysis menyatakan adanya

disparitas yang cukup signifikan diantara 23 wilayah di Taiwan. Di samping itu, tingkat pengangguran regionalnya menunjukkan persistensinya sepanjang waktu. Metode cross region panel yang digunakan menunjukkan bahwa mayoritas faktor yang berpengaruh terhadap persistensi dan divergensi tingkat pengangguran antar regional adalah komposisi demografi (pangsa dari populasi usia muda), karakteristik keluarga (pangsa pria terhadap angkatan kerja, pangsa populasi perempuan yang telah menikah), struktur industri, tingkat kepemilikan rumah, dan mobilitas tenaga kerja (migrasi keluar).

InterCAFE (2008) melakukan studi empiris ‘Persistensi Pengangguran di Indonesia dan Upaya Penanggulangannya berdasarkan Analisis Data Mikro’. Persisten atau tidaknya pengangguran terlihat dari karakteristik data yang bersifat stasioner. Digunakan tiga alternatif pendekatan yang merujuk pada studi Elmeskov (1993). Hasil pengujian menunjukkan koefisien yang mendekati satu, hal itu merupakan indikasi terjadinya peristensi pengangguran. Pada intinya, studi ini menyimpulkan bahwa persistensi pengangguran yang terjadi selama ini di Indonesia termasuk kategori disequiliubrium persistent unemployment without self

correcting mechanism, yang berarti bahwa persistensi terjadi di luar

kesetimbangan pasar tenaga kerja serta tidak memiliki mekanisme automatis untuk menuju titik kesetimbangan. Selain itu, persistensi merupakan akibat dari lambatnya proses akumulasi modal, kekakuan upah, semakin lamanya pencarian lapangan kerja (job search), dan berbagai kelembaman yang diakibatkan oleh faktor kelembagaan pasar tenaga kerja.

Sugema (2009), menganalisis adanya disparitas tingkat pengangguran regional di Indonesia dan persistensinya sepanjang waktu. Hasil analisis menunjukkan beberapa temuan yang cukup menarik. Pertama, terdapat

(13)

kecenderungan tingkat pengangguran yang divergen antar provinsi ketika persistensi meningkat. Tingkat pengangguran yang semakin tinggi meningkatkan ketidakpastian untuk migrasi (pindah) antarprovinsi. Di samping itu, tingkat pengangguran yang tinggi juga dapat mengindikasikan adanya ‘mismatch’ yaitu waktu yang dibutuhkan para pencari kerja untuk mencocokkan antara kualifikasi yang dimiliki dengan lowongan pekerjaan yang tersedia. Kedua, belum adanya pertanda ‘equilibrating mechanism’ melalui penyesuaian upah riil. Tingkat upah tidak fleksibel dalam merespon pengangguran, oleh karena itu perbedaan tingkat upah antarprovinsi tidak bisa diharapkan untuk mengatasi disparitas pengangguran. Hal ini terjadi karena tidak adanya insentif upah bagi penganggur untuk migrasi dari wilayah yang mempunyai tingkat pengangguran yang tinggi ke wilayah yang mempunyai tingkat pengangguran yang rendah. Ketiga, persistensi juga berkaitan dengan struktur ekonomi dalam suatu wilayah. Dengan menggunakan metode panel dapat disimpulkan bahwa semakin ‘advanced’ perekonomian dalam suatu wilayah, maka semakin persisten pengangguran. Lebih spesifik, persistensi pengangguran lebih tampak pada wilayah dengan pangsa sektor manufaktur dan jasa yang dominan. Hal ini mengimplikasikan bahwa tingkat pengangguran alamiah cenderung meningkat ketika terjadi pergeseran struktur ekonomi tradisional menjadi modern. Keempat, mobilitas tenaga kerja masih sangat terbatas. Hal ini lebih merupakan akibat faktor sosial daripada faktor ekonomi. Dengan demikian, Indonesia dikarakteristikkan dengan socially driven

spatial fragmentation of labour market. Kebijakan yang bertujuan untuk

mengurangi disparitas pengangguran harus mempertimbangkan isu-isu sosial seperti faktor keluarga.

2.6. Kerangka Pemikiran

Keterkaitan antara perumusan masalah, tujuan penelitian, dan metode penelitian dapat dilihat dalam kerangka penelitian yang tersaji pada Gambar 7 dan Gambar 8. Penelitian ini berawal dari permasalahan pengangguran dari dimensi regional yaitu kondisi pengangguran antarprovinsi yang cenderung divergen serta pada rentang waktu 1984-2008 keseluruhan provinsi cenderung mengalami peningkatan pengangguran. InterCAFE (2008) menyatakan bahwa pengangguran yang cenderung semakin meningkat dan sulit untuk mengalami penurunan

(14)

merupakan pengangguran yang persisten. Namun, tetap diperlukan pengukuran secara statistik di dalam mengidentifikasi persistensi pengangguran. Dengan demikian tujuan pertama dalam penelitian ini adalah mengidentifikasi apakah pengangguran pada level provinsi di Indonesia tergolong persisten atau tidak. Secara umum, persistensi pengangguran terjadi manakala penyesuaian (adjustment) terhadap tingkat kesetimbangan berjalan dengan lambat. Walaupun dengan adjustment yang lambat, tingkat pengangguran yang berada pada kondisi persisten memiliki kecenderungan untuk dapat kembali ke tingkat pengangguran alamiahnya (mean reversion). Artinya dengan melakukan uji akar unit, persisten atau tidaknya pengangguran terlihat dari karakteristik data yang bersifat stasioner (mean reversion). Analisis tahap pertama dapat dilihat pada Gambar 7 berikut.

Gambar 7 Analisis Tahap Pertama

Pembuktian Persistensi Regional

Permasalahan Pengangguran Dimensi Regional

Jarak Tingkat Pengangguran Antardaerah Melebar

Periode 1984-2008 Seluruh Propinsi Mengalami Peningkatan Pengangguran

Uji Stasioneritas: Panel Unit Root Im Pesharan Shin

Koefisien Persistensi: Persamaan Dickey Fuller dengan

(15)

InterCAFE (2008) telah melakukan pengukuran persistensi di tingkat regional dengan menggunakan metode panel dengan persamaan ADF (untuk menghitung koefisien) dan didapat koefisien sebesar 0,929. Data yang digunakan yaitu dari tahun 1996 hingga 2006. Pada penelitian ini, metode yang digunakan adalah pengujian panel unit root dengan menggunakan data pengangguran regional. Penelitian ini merupakan modifikasi dari penelitian InterCAFE (2008) dengan metode yang berbeda serta rentang data yang lebih panjang (1984-2008).

Tahap selanjutnya dari penelitian ini mengidentifikasi sumber-sumber pengangguran regional. Hasil identifikasi atas dapat menjadi landasan untuk mengatasi persistensi pengangguran. Kondisi dimana terjadi pengangguran antarregional dapat dibagi menjadi tiga kategori: labor supply, labor demand, dan mekanisme upah yang terdiri dari perubahan demografi yang mencakup angkatan kerja berusia muda (15-24), angkatan kerja berpendidikan tinggi (highskilled), total angkatan kerja provinsi, angkatan kerja berjenis kelamin pria, dan

dependency ratio. Struktur perekonomian daerah berpengaruh terhadap demand

tenaga kerja regional. Tiap sektor jelas akan membutuhkan skill yang berbeda sehingga akan menimbulkan berbagai variasi tingkat pencarian, kesulitan dan penyesuaian antara skill dan lowongan yang tersedia dalam pasar tenaga kerja. Dengan demikian struktur komposisi industri yang berbeda turut berpengaruh terhadap tingkat pengangguran yang berbeda-beda antarwilayah. Terkait dengan komposisi industri regional penelitian ini hanya menggunakan pangsa sektor pertanian dan manufaktur terhadap PDRB untuk menghindari masalah multikolinearitas. Di samping itu, PDRB perkapita digunakan untuk melihat

performance ekonomi dalam mempengaruhi demand tenaga kerja dalam suatu

wilayah. Mengidentifikasi perilaku migrasi menjadi salah satu kendala dalam penelitian ini, karena data migrasi masuk, migrasi keluar, dan net migrasi hanya tersedia setiap lima tahun sekali yaitu ketika dilaksanakan Sensus Penduduk (SP). Dengan demikian, penelitian ini hanya menggunakan faktor tingkat kepemilikan rumah tiap provinsi (persen) sebagai pendekatan dalam menangkap faktor migrasi. Selanjutnya, penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah upah riil merespon tingkat pengangguran atau berperan sebagai market clearing. Upah riil berkaitan dengan upah minimum, di mana kebijakan meningkatkan upah

(16)

minimum provinsi secara langsung akan meningkatkan upah riil (Rizqal 2010). Bagi pengusaha atau perusahaan kenaikan upah minimum ini akan menyebabkan kenaikan biaya produksi yang berasal dari kenaikan upah, sehingga apabila total biaya produksi lebih besar daripada penerimaannya maka perusahaan akan mengurangi jumlah tenaga kerja dan mempertahankan tenaga kerja yang lebih produktif.

Metode yang digunakan dalam analisis ini adalah regresi panel dengan variabel pengangguran sebagai variabel dependent. Dengan teridentifikasinya faktor-faktor yang berpengaruh positif terhadap pengangguran regional berarti faktor tersebut menjadi penyebab lambatnya mekanisme penyesuaian terhadap tingkat pengangguran alamiah. Berdasarkan uraian di atas, maka tahap kedua dalam penelitian ini ditunjukkan oleh Gambar 8.

Gambar 8 Analisis Tahap Kedua

Identifikasi Faktor Penyebab Pengangguran Regional

Rekomendasi Kebijakan Komposisi Industri PDRBK AGRI, MANU DEPEND MALE OWN Mekanisme Upah Mobilitas Demografi YOU HEDU

Supply dan Demand

UMP

(17)

2.7. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan tinjauan teoretis dan penelitian-penelitian empiris terdahulu, dapat dirumuskan berbagai hipotesis terkait dengan tujuan penelitian sebagai berikut:

1. Terdapat persistensi pengangguran provinsi. Sejak tahun 2006 tingkat pengangguran mengalami penurunan, namun jika dibandingkan dengan periode sebelumnya maka tingkat pengangguran provinsi pada periode 2008 belum bisa kembali pada periode 1984.

2. Faktor-faktor yang berpengaruh positif terhadap pengangguran adalah angkatan kerja berusia muda (15-24), angkatan kerja berjenis kelamin pria, pangsa sektor manufaktur terhadap PDRB, total angkatan kerja provinsi, tingkat kepemilikan rumah, dan upah minimum provinsi.

3. Faktor-faktor yang berpengaruh negatif terhadap pengangguran adalah

Gambar

Gambar 5 Diagram Ketenagakerjaan
Gambar 6 Grafik Keseimbangan Pasar Tenaga Kerja
Gambar 8 Analisis Tahap Kedua

Referensi

Dokumen terkait

Perbedaan permanen, perbedaan temporer, arus kas operasi dan ukuran perusahaan berpengaruh positif pada persistensi laba sementara arus kas akrual tidak berpengaruh

Kekurangan dalam penelitian tersebut adalah faktor-faktor lingkungan yang ikut berpengaruh terhadap respon diasumsikan berada pada kondisi yang tetap, faktor noise (faktor yang

Faktor-faktor yang mempengaruhi investasi ada beberapa macam, misalnya : ramalan mengenai keadaan di masa yang akan datang, tingkat bunga, perkembangan teknologi, tingkat

Sedangkan faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap pengembalian Kupedes pada sektor agribisnis yang mengalami kemacetan adalah jumlah tanggungan keluarga, jarak

Diperkuat lagi dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Swendra et al., (2016), yang berjudul pengaruh produk domestik regional bruto dan tingkat pengangguran

Media biakan sangat berpengaruh dengan kandungan nutrien pada maggot Hermetia illucens, dalam penelitian ini peneliti menggunakan komposisi media campuran dedak dan

Kondisi sosial ekonomi menjadi faktor yang mempengaruhi status gizi balita.Pada kondisi sosial ekonomi yang rendah, juga berhubungan erat dengan tingkat pendidikan

Energi listrik yang dihasilkan oleh PLTS bergantung pada beberapa faktor, yaitu besarnya iradiasi matahari yang diterima oleh panel surya, suhu disekitar panel surya, dan ada tidaknya