• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanggap karakter agronomi dan hasil genotipe kedelai berumur dalam yang dipupuk dolomit pada sistem budidaya jenuh air

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tanggap karakter agronomi dan hasil genotipe kedelai berumur dalam yang dipupuk dolomit pada sistem budidaya jenuh air"

Copied!
144
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
(15)
(16)
(17)
(18)
(19)
(20)
(21)
(22)
(23)
(24)
(25)
(26)
(27)
(28)
(29)
(30)
(31)
(32)
(33)
(34)
(35)
(36)
(37)
(38)
(39)
(40)
(41)
(42)
(43)
(44)
(45)
(46)
(47)
(48)
(49)
(50)
(51)
(52)
(53)
(54)
(55)
(56)
(57)
(58)
(59)
(60)
(61)
(62)
(63)
(64)
(65)
(66)
(67)
(68)
(69)
(70)
(71)
(72)
(73)
(74)
(75)
(76)
(77)
(78)

TANGGAP KARAKTER AGRONOMI DAN HASIL

KEDELAI BERUMUR DALAM YANG DIPUPUK

:

PADA SISTEM BUDIDAYA JENUH AIF

OLEH :

MOCHTAR

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(79)

ABSTRAK

M 0 C H T A R. Tanggap Karakter Agronomi dan Hasil Genotipe Kedelai Beru~nur Dalam yang Dipupuk Dolomit pada Sistem Budidaya Jenuh Air. Di bimbing oleh

FRED RUMAWAS, MUNIF GHULAMAHDI, dan WAHJU QA;YIARA

MUGNISJAH.

Percobaan ini bertujuan mempelajari (1) tanggap genotipe kedelai berumur dalam terhadap Ca dan Mg yang berasal dari pupuk dolomit pada sistem budidaya jenuh air (BJA) dan (2) tanggap hasil dan karakter agronomi kedelai beru~nur dalam terhadap pemupukan dolomit pada sistem budidaya jenuh air.

Percobaan dilaksanakan di Kebun Percobaan Cikarawang Darmaga, IPB Bogor, dari bulan Mei sampai Agustus 2000. Rancangan disusun dalam bentuk petak terpisah dengan tiga ulangan. Dosis dolomit (0, 2, 4, dan 6 ton ha-') sebagai petak utama dan genotipe (PTR6, PTR178, PTR190, PTR201, PTR288, dan PTR293) sebagai anak petak

(80)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul

TANGGAP KARAKTER AGRONOMI DAN HASIL GE KEDELAI BERUMUR DALAM YANG DIPUPUK DOLl SISTEM BUDIDAYA JENUH AIR.

Adalah benar merupakan hasii karya saya sendiri dan belum pernah Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan dapat diperiksa kebenarannya.

Nrp. 98049 /Agr.

lOTIPE IMIT PADA

(81)

TANGGAP ICARAKTER AGRONOMI DAN HASlLGEN ICEDELAI BERUMUR DALAM YANG DIPUPUIC DOL

PADA SISTEM BUDIDAYA JENUH AIR

MOCHTAR

Tesis

sebagai salah sato syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Agronomi

ITIPE MIT

PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(82)

Judul Tesis : Tanggap Karakter Agronomi dan Hasil Genotip Berumur Dalam yang Dipupuk Dolomit pada Si Budidaya Jenuh Air.

Nama Mahasiswa : Mochtar

Nomor Pokok : 98049

Program Studi : Agronomi

Menyetujui,

Dr. Ir. Fred Rumawas. MSc. Ketua

Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi Agronomi

C _ _ _

Dr. Ir. Hairial Aswidinnoor. MSc.

: ICedelai

tem

-

-

. . ih. M.Agr. icasarjana

@

~woto, MSc.

(83)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Gowa, Sulawesi Selatan, pada tanggal

sebagai anak keempat dari Bapak Anwar dan Ibu Halipah. Penulis r

Iis Nurliani pada tanggal 17 Juli 1992 dan dikaruniai tiga orang putri.

Tahun 1980 penulis lulus Sekolah Dasar Negeri Panaikang

1983 lulus Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri Bontomanai, GI

lulus SPP-SPMA Negeri Gowa. Pada tahun 1986 penulis melanjutka

Fakultas Pertanian Universitas "45" Makassar dan lulus tahun 1991.

Semenjak tahun 1991 sampai dengan sekarang penulis bekerja

pada Fakultas Pertanian Universitas "45" Makassar. Pada tahun

mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan S2 pada Program Pascc

Pertanian Bogor dengan program studi Agronomi yang dibiayai

Program Pascasarjana (BPPS).

0 April 1966

:nikah dengall

Gowa; tahun

va; tahu 1986

pendidikan di

;ebagai dosen

1998 penulis

lrjana Institut

(84)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas berkat dan rahmat-

Nya penulis telah dapat melaksanakan penelitian hingga penyusunan

salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Prog

Institut Pertanian Bogor.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kas

besarnya kepada

1 Bapak Dr. Ir. Fred Rumawas, MSc sebagai Ketua Komi

Bapak Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS., dan Bapak Dr. Ir

Mugnisjah, M. Agr., masing-masing sebagai anggota.

2 Bapak Pimpinan Beasaswa Program Pascasarjana (BPP

menyediakan beasiswa selama tugas belajar.

3 Bapak Kepala dan Staf Kebun Percobaan Cikarawang Darmaga,

Bogor yang telah membantu penulis selama penelitian

4 Isteri yang tercinta, Iis Nurliana, dan anak-anak tersayang.

Mochtar, Annisa Nuramaliah Mochtar, dan Alifah Nurhadizah Mochtar, serta

seluruh keluarga yang telah memberi dorongan dan semangat sela

pendidikan baik dalam suka maupun duka.

5 Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Agronomi dan semua

ikut membantu penulis mulai dari pelaksanaan penelitian sampai selesainya

(85)

Penulis berharap semoga sesala kebaikan diberi imbalan yang

Allah SWT dan tesis ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yar

(86)

DAPTAR IS1

DAFTAR TABEL

...

.

.

.

...

DAFTAR GAMBAR

...

...

DAFTAR LAMPIRAN ...

PEWAHULUAN

.

...

...

Latar Belakang

...

Tujuan Percobaan

...

.... ...

Hipotesis Percobaan

...

.

.

.

...

TlNJAIJAN PUSTAKA

...

Budidaya Jenuh Air dan Tanggap Tanaman Kedelai ...

...

Keadaan Tergenang

... ...

Pengapuran

.

.

.

.

.

...

Serapan Hara Tanaman

BAHAN DAN METODE ...

Tempat dan Waktu Percobaan ...

.

.

...

Metode Percobaan

...

....

...

...

...

Pelaksanaan Percobaan ...

Pengamatan dan Analisis

H A S I L ...

Serapan dan Kadar Ca Mg Tajuk ...

.

.

.

...

Pertumbuhan dan Umur Tanaman ... ...

I<omponen Hasil

...

...

Hasil BIJI

PEMBAHASAN ...

... ...

KESIMPULAN DAN SARAN

.

.

.

.

Kesimpulan ...

.

.

...

S a r a n

...

.

.

.

... .

.

...
(87)

DAFTAR TABEL

1 Genotipe kedelai berumur dalam dan asal persilangannya ... 13

2 Pengaruh dolomit dan genotipe terhadap kadar Mg tajuk ... 2 1

3 Pengaruh dolomit dan genotipe terhadap bobot kering bintil akar,

bobot kering akar, dan bobot kering tajuk ... 22

4 Pengaruh dolomit dan genotipe terhadap tinggi tanaman ... 23

5 Pengaruh dolomit dan genotipe terhadap bobot

...

100 biji dan -1

bobot ~ I J I tanaman

...

28

6 Pengaruh dolomit dan genotipe terhadap bobot biji petak-l dan

. . . .

(88)

DAFTAR GAMBAR

1 Hubungan dolomit dengan kadar Ca tajuk beberapa genotipe kedelai berumur dalam ...

2 Serapan Ca tajuk genotipe kedelai berumur dalam pada beberapa dosis dolomit

...

.

.

...

3 Serapan M g tajuk genotipe kedelai berumur dalam pada beberapa dosis dolomit

...

4 Hubungan dolomit dengan jumlah cabang beberapa genotipe

...

kedelai berumur dalam

...

.

.

.

5 Hubungan dolomit dengan umur berbunga beberapa genotipe

...

kedelai berumur dalam

...

.

...

...

...

6 Hubungan dolomit dengan umur panen beberapa genotipe kedelai

...

berumur dalam

7

Hubungan dolomit dengan jumlah polong berisi beberapa genotipe

...

kedelai berumur dalam
(89)

DAPTAR LAMPIRAN

1 Analis ragam bobot kering bintil a k a , bobot kering akar bob kering tajuk, dan serapan Ca dan Mg tajuk ...

.

.

.

.

.

2 Analisis ragam kadar Ca dan Mg tajuk, umur berbunga, umur pan! dan tinggi tanaman

... .

.

.

...

3 Analisis ragam jumlah cabang, polong berisi, polong hampa, bobc

100 biji, dan bobot biji tanaman-'

...

.

.

...

4 Analisis ragam bobot biji petak"

...

5 Pengaruh dolomit dan genotipe terhadap serapan Ca dan Mg taju kadar Ca tajuk, umur berbunga, dan umur panen

... ...

6 Pengaruh dolomit dan genotipe terhadap jumlah polong berisi, pe sentase polong hampa, dan jumlah cabang ...

7 Hasil analisis sifat kimia dan fisika tanah lokasi percobaan sebelum perlakuan dan analisis dolomit

...

8 Rata-rata curah hujan, frekuensi curah hujan, suhu udara, kelen baban relatif, dan penyinaran pada stadia vegetatifa dan generatif.

(90)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kedelai (Glycine n~a. (L.) Memll) merupakan komoditi pang:

yang terjangkau oleh semua lapisan masyarakat. Selain untuk pe

kedelai banyak digunakan untuk pakan dan bahan baku industri.

nasional masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan sendiri a

mengimpornya dengan jumlah yang cukup besar. Dalam periode

rata-rata volume impor kedelai sebesar 1.1 juta ton tahun-' dalam be

bungkil, dan minyak kedelai. Impor tertinggi terjadi pada tahun 1991

ton karena berkurangnya luas panen (Manurung 1999).

Penurunan luas panen mengakibatkan terjadinya penurunan prod

Pada periode tahun 1983-1993 luas panen rata-rata 1.4 juta ha deng

rata 1.5 juta ton, periode tahun 1993-1998 rata-rata luas panen 1.

produksi rata-rata 1.4 juta ton sementara kebutuhan diperkirakan sa

+

2.5 juta ton (Manurung 1999)

Strategi peningkatan kedelai untuk mencapai kebutuhan nasi

melalui perluasan areal. Menurut Sumarno (1999), perluasan areal

pada berbagai tipe lahan dan agroekologi, antara lain, lahan sav

kemarau, lahan bukaan yang berasal dari lahan pasang surut dan lak

lahan sawah tadah hujan pada awal musim hujan sebelum padi. Dul

diperlukan untuk perluasan areal tanam, antara lain, berupa pengal

dengan harga

an, dewasa ini

oduksi kedelai

ngga terpaksa

un 1991-1998

~k biji, tepung,

:besar 1.7 juta

;i dalam negri.

produksi rata-

uta ha dengan

~ a i tahun 2001

11 diutamakan

tpat dilakukan

pada musim

gambut, serta

lgan teknologi

(91)

masam, perbaikan sistem hidrologi, penyediaan benih bermutu

struktur serta kesuburan tanah.

Penelitian selama dekade terakhir menunjukkan bahwa tanam

beradaptasi dengan kondisi lahan basah yang jenuh air serta

menambat nitrogen lebih tinggi daripada dengan budidaya sec,

(Troedson et 01. 1983; Lawn 1985;Garside et

crl.

1992; Raka 1993;

1991).

Menurut Sumarno (1986), budidaya kedelai pada lahan basah

tanah di bawah daerah perakaran jenuh air secara terus-men

pertumbuhan tanaman hingga masak fisiologi. Hunter et rrl. (1980) r

budidaya jenuh air merupakan penanaman dengan memberikan irig:

dan membuat tinggi muka air tetap (f 5 cm di bawah permukaar

lapisan di bawah perakaran jenuh air.

Hasil penelitian Ghulamahdi (1999) pada budidaya jenuh air (BJ

tadah hujan (BTH) dengan berbagai genotipe kedelai, baik berumi

genjah yang diberi kapur 2 ton ha.', menunjukkan bahwa BJA men

leher akar, bobot kering bintil, aktivitas nitrogenase, serapan h

nitrogen, kalium, besi, mangan, bobot kering tanaman, dan bobot kc

tetapi nyata menurunkan kandungan kalsium dan magnesium da

dengan BTH. Produksi kedelai tertinggi dicapai pada genotipe ben

dibandingkan yang berumur genjah, juga pada BJA.

Berdasarkan uraian di atas perlu diteliti dosis pemupuka

dibutuhkan dan genotipe kedelai berumur dalam yang dapat beradap

2

dan perbaikan

kedelai dapat

rproduksi dan

I konvensional

iulamahdi et 01.

:mbuat kondisi

.IS sejak awal ~yatakan bahwa

terus-menenis

anah) sehingga

) dan budidaya

dalam maupun

:katkan lingkar

3 daun, kadar

ng biji petak-',

dibandingkan

ur lebih dalam

dolomit yang

(92)

T i ~ j u a n P e r c o b a a ~ ~

1. Mempelajari tanggap genotipe kedelai berumur dalam terhadap

berasal dari pupuk dolomit pada sistem

BJA.

2. Mempelajari tanggap hasil dan karakter agronomi kedelai

terhadap pemupukan dolomit pada sistem

BJA.

Hipotesis Percobaan

1. Tanggap masing-masing genotipe berbeda terhadap Ca I

pemupukan dolomit pada sitem

BJA.

2. Karakter agronomi dan hasil masing-masing genotipe memberi:

berbeda terhadap pemupukan dolomit pada sistem

BJA.

3

:a dan Mg yang

berumur dalam

.n Mg dengan

(93)

TINJAUAN PUSTAKA

Budidaya J e n u l ~ Air dan Tanggap Tanaman Kedelai

Masalah kelebihan air sesaat merupakan keadaan umuln yang terjadi pada pola

penanaman di daerah tropis dan subtropis. Kelebihan air dapat terjadi karena periode

yang panjang dari cuaca basah dan curah hujan tinggi setelah irigasi (Troedson et al.

1983). Sumamo (1986) mengemukakan bahwa di Indonesia ma

juga terjadi pada lahan sawah yang akan dimanfaatkan untuk

setelah padi dipanen. Keadaan ini disebabkan oleh adanya lap

kedalaman 15-20 cm di bawah permukaan tanah. Sebaliknya j

lapisan kedap air membatasi penetrasi perakaran dan tanaman

et al. 1985).

Kedelai relatif toleran terhadap kelebihan air sesaat dibandi

kacangan lain, dan cepat memperbaiki pertumbuhannya setelah air berkurang

(Stanley et al. 1980). Percobaan yang dilakukan Talnpubolon (1988) menunjukkan

bahwa penggenangan terputus-putus menghambat pertumbuha

produksi tanaman kedelai. Menurut Garside et al. (1992), pembe

inenerus pada budidaya jenuh air dapat memperbaiki status ai

sehingga pertumbuhan vegetatif dari tanaman terpacu. Menurut

budidaya jenuh air merupakan penanainan dengan memberikan irig i taus-menerus

dan menlbuat tinggi muka air tetap (f 5 cm di bawah permuka

lapisan di bawah perakaran jenuh air. Air diberikan sejak beru

(94)

5 Menurut Lawn (1985), budidaya jenull air pada tanaman kedelai hampir sama

dengan budidaya tanarnan padi sawah. Perbedaamya terletak pada ketinggian

permukaan air. Pada budidaya jenuh air tinggi muka air berada beberapa centimeter

di bawah permukaan tanah, sedangkan pada padi sawah beberapa centimeter di atas

permukaan tanah. Irigasi pada budidaya jenuh air dilakukan deng ara alur (fiurrow

irrigation).

Fase aklimatisasi tanaman kedelai terhadap kondisi lahan je air berlangsung

selama 2 minggu (Troedson et al. 1983) atau 2-4 minggu setel ngairan dimulai

(Lawn 1985). Pada fase tersebut akar dan bintil akar di bawah permukaan air mati.

Matinya akar dan biitil akar menyebabkan berkurangnya penyerapan nitrogen

sehingga tanaman menunjukkan gejala klorosis (Troedson et al. 1983). Lebih ianjut

klorosis menyebabkan proses fotosintesis berjalan tidak normal, dan terjadi

translokasi hasil fotosintesis ke bagian bawah tanalnan untuk pertumbuhan akar dan

bintil akar yang baru, menyebabkan bobot kering tanaman pada budidaya jenuh air

lebih rendah dibandingkan dengan cara konvensional. Walaupun terjadi gangguan

pertumbuhan pada tahap aklimatisasi, setelall tahap tersebut tanaman kedelai

menunjukkan pertumbuhan akar dan bintil akar baru yang cepat dan banyak pada

lapisan tanah di atas permukaan air. Selanjutnya tanaman menjadi hijau dan tumbuh

cepat dengan laju pertumbuhan lebih tinggi pada budidaya jen r dibandingkan

pada budidaya biasa atau konvensional (Ralph 1985).

Nathanson et al. (1984) menyatakan bahwa kandungan N pada budidaya

jenuh air meningkat, bahkan menjadi sama dengan yang diperoleh pada budidaya

(95)

6 varietas kedelai terhadap keadaan jenuh air berbeda-beda. Kedelai yang berunlur

lebih panjang, pertumbuhannya lebih baik dan produksinya lebih tinggi dibanding

kedelai berumur pendek (Hunter et al. 1980; CSIRO 1983; Ghulamahdi et al. 1991).

Hasil penelitian Nurlianti (1997) menunjukkan ballwa b

menyebabkan kemunduran waktu panen bila dibandingkan u

berdasarkan diskripsinya di lahan kering. Mundurnya waktu pa rsebut berkisar

6-32 hari. Mugnisjah (1996) mendapatkan kisaran keterlambat

hari. Pada penelitian Raka (1993) menyatakan kisaran waktu p

sedangkan hasil penelitian Ghulamahdi (1999) waktu panen mundur 2-3 hari.

Nurlianti (1997) menyatakan bahwa kelompok varietas yang berumur genjah di lahan

kering bila dibudidayakan di lahan jenuh air umur panennya

kelompok berumur sedang atau berumur dalam; varietas berumur

menjadi berumur dalam; varietas berumur dalam tetap berada

berumur dalam.

Menurut Ghulamahdi (1999), perubahan yang terjadi pada b

sejak awal sampai panen yaitu dari perubahan fisiologi sampai ke peningkatan bobot

biji petak", dimulai dari meningkatnya ACC (I-aminocyclopropane-1-carboxylic

acid) akar dan etilen akar. Etilen akar menyebabkan meningkatnya kandungan

glukosa dan sukrosa akar yang dipergunakan untuk pertumbuhan perakaran; etilen

akar juga menyebabkan terbentuknya jaringan aerenkima sehin

lingkar leher akar. Keadaan ini meri~pakan tahap penyesuaian tan

budidaya jenuh air. Pertumbuhan akar-akar baru yang berlangsu

(96)

7 dan serapan hara ole11 akar. Ole11 karena itu, pertu~nbuhan akar-akar baru

meningkatkan serapan hara daun sehingga meningkatkan jumlah polong isi

tanaman" dan akhirnya meningkatkan bobot kering biji petak-'.

Keadaan Tergenang

Segera setelah tanah digenangi kadar 0 2 tanah berkurang drastis dan akhirnya

habis karena didesak air dan difksinya terhanlbat oleh lapisan air (Leiwakabessy

1993). Selanjutnya kadar beberapa gas seperti C02, N2, C&, dan Hz yang terbentuk

selanla penggenangan meningkat karena terhalang keluarnya oleh lapisan air.

Konsentarsi NO-3 menjadi lebih rendah dalam jaringan tanaman pada keadaan

tergenang. Pengamatan menunjukkan bahwa nitrat tanah akan direduksi menjadi

komponen gas seperti N2 dan N2O yang tidak tersedia bagi tanaman. Nitrogen

diangkut dari daun tua ke daun muda pada keadaan tergenang (Drew d m Sisworo

1979). Kahat nitrogen disebabkan oleh denitrifikasi dan pencucian, serta menurunnya

absorbsi dan translokasi N dalam jaringan tanaman (Tsai dan Chu 1992).

Menurut Drew dan Sisworo (1979), pengan~h penggenangan terhadap

pengambilan P tidak konsisten, sedangkan terhadap ion K konsisten, menurun dalam

jaringan tanaman pada keadaan tergenang. Pengaruh mangan dan besi dapat ditekan

dengan CzH4 (Drew 1992). Pembentukan jaringan aerenkiina meningkatkan kapasitas

0 2 yang mempercepat perubahan ACC menjadi etilen (Ghulamahdi 1999).

Sebahagian besar P tersedia dan kalsium yang dapat dipertukarkan berada di

dalam tanah permukaan. Kalium d m magnesium yang dapat dipertukarkan

(97)

8

dan magnesium di dalam propil tanah menunjukkan penurunan. Kandungan

N&+N

bergerak dengan cepat ke bawah pada kedalaman 50 cm (Yoo et nl. 1987).

Pengapuran

Bahan kapur menurut definisi Barber (1967) terdiri dari bahan-bahan kalsium dan

magnesium yang mampu menetralkan tanah masam. Bahan kapur berupa dolomit

yang diberikan ke dalam tanah akan mengalami reaksi sampai terbentuk

keseimbangan baru. Reaksi yang terjadi pertama kali adalah penguraian bahan kapur

mernbentuk ion CO j serta ion ~ a + + dan M ~ + + . Selanjutnya ion C03 yang terbentuk

menarik ion

HC

dari kompleks jerapan.

Soepardi (1979) menyatakan bahwa kation yang paling cocok untuk memperbaiki

kemasaman tanah adalah Ca dan Mg. Keduanya mempunyai perbedaaan dalam ha1

kecepatan reaksinya. Kalsit bereaksi lebih cepat daripada dolomit. Bila kecepatan

reaksi bukan merupakan pertimbangan penggunaan bahan kapur, dolomit dianggap

lebih menguntungkan dibanding kalsit karena dalam bahan dolomit terdapat sejumlah

unsur Mg.

Secara uinum pemberian kapur dapat mempengaruhi sifat fisik, kimia, dan biologi

tanah (Nurhayati 1982). Pengapuran menjadikan tanah lebih gembur sehingga

menguntungkan pertumbuhan tanaman dan akar dapat menjangkau unsur hara pada

lapisan yang lebih dalam. Pemberian kapur dapat menurunkan kadar dan kejenuhan

Al, meningkatkan pH tanah yang diikuti dengan peningkatan ketersediaan P, K, Ca,

dan Mg serta C organik, dan menurunkan ketersediaan Mn dan Fe. Penambahan

(98)

9 diperkiran Ca untuk pembentukan bintil akar lebih besar daripada keperluan Ca untuk

pertunlbuhan tanaman sendiri (Kamprath 1970). Serapan Ca sangat penting untuk

pertunbuhan bintil akar pada tanaman kacang-kacangan (Suhartatik 1986).

Gemawi (1986) menyatakan bahwa pernberian kapur sangat nyata mempengaruhi

tinggi tanaman, jumlah cabang, jumlah polong, dan produksi ha". Lebih lanjut

dikatakan bahwakanaman yang tidak dikapur memiliki pertambahan tinggi tanaman

yang kurang dan lebih cepat mengering, bobot bintil akamya kurang dan jumlah

polong serta prodnksinya rendah emberian

P

6 ton kalsit dan dolomit ha-' nyata dapat

meningkatkan pertumbuhan tanaman, terutama tinggi tanaman, bobot kering

brangkasan, jumlah bintil akar, dan jumlah cabang produktif serta nyata pada

peningkatkan produksi biji kering (Djuhartono 1989).

Serapan Hara Tanaman

Kalsium dan magnesium merupakan kation-kation utama pada kompleks

pertukaran. Keduanya inempunyai sifat dan perilaku yang mirip di dalam tmah

(Sopardie 1979). Menurut Jones (1998), kalsium berperan dalam pemeliharaan sel,

permeabilitas membran, peningkatan pertumbuhan dan perkecambahan, berperan

aktif pada enzim dalam penyusunan, pembelahan, dan pemanjangan sel. Daerah

ineristematik di akar, batang, dan daun yang selnya aktif membelah merupakan

bagian paling peka karena Ca dibutuhkan untuk membentuk lamela tengah baru pada

lempeng sel, yang tumbuh di atas dua sel anak (Salisbury dan Ross 1992).

Kadar Ca dalam tanaman berkisar antara 0.2 sampai beberapa persen

(99)

10 pada kebutuhan minimum. Banyak jenis tanaman dapat tumbuh dengan nornlal dalam

larutan pada konsentrasi kalsium 2 ppm atau 0.05 ppm, yang menghasilkan 0.01 1

persen Ca dalam daun jagung dan 0.08 persen dalam daun tembakau dengan

ketentuan bahwa kadar ion-ion divalen lainnya rendah. Jones (1998) menduga

kandungan Ca dalam tanaman 0.20-5.00 persen berdasarkan bobot kering, dan

dengan nilai kecukupan 0.30-3.00 persen.

Di rizosfer Ca mencapai permukaan akar melalui aliran massa. Dari analisis

diketahui bahwa kebutuhan Ca temyata cukup rendah, juga terjadi penulnpukan pada

permukaan akar, pada dinding sel (apoplas) dan pada permukaan eksterior membran

plasma (Marschner 1995). Berbagai enzim di aktifkan oleh Ca tetapi banyak pula

yang dihambat. Penghainbatan ini mendorong sel me~npertahankan konsentrasi Ca

lebih rendah lagi dalam sitosol tempat enzim berada (Salisbu~y dan Ross 1992).

Akibat dari kahat Ca lebih parah pada pertumbuhan akar jika dibandingkan dengan

pertumbuhan pucuk. Pertumbuhan akar sangat terhambat, akar rusak, berubah warna

dan mati. Kekurangan Ca pada bunga dan buah juga sangat parah dan dikenal sebagai

penyakit "blossom ent-rot" (Sopandie 1997). Kandungan Ca yang berlebihan

lnengakibatkan kekurangan pada Mg atau K, bergantung pada konsentrasi kedua

unsur tersebut dalam tanaman (Jones 1998).

Magnesium merupakan bagian dari klorofil dan mempengaruhi aktivitas enzim

yang berhubungan dengan transfer P. Karenanya, kahat Mg melnpengaruhi aspek

n~etabolisrne tanaman (Sopandie 1997). Menurut Salisbury dan Ross (1992), Mg

halnpir tidak pemah menjadi pembatas pada tumbuhan yang hidup di tanah. Di

(100)

~nenjadikan ATP berfungsi dalam berbagai reaksi, mengakibatk

yang diperlukan dalam fotosintesis, respirasi dan pembentukan

nucleic acid) serta RNA (ribonucleic acid).

Kanduulgan Mg dalam tanaman berkisar antara 0.15 dau 1 .OO

bobot kering dam, dengan nilai kecukupan sekitar 0.25 persen p

beberapa tanaman. Nilai kritis Mg sangat bervariasi pada seti:

terendah pada tanaman biji-bijian dan tinggi pada tanaman leg

tanaman sayuran serta buah-buahan (Jones 1998).

Kahat Mg didahului dengan terjadinya klorosis yang diikuti d

laju fotosintesis dan asimilasi, kemudian senyawa N larut tertimb~

akhirnya kahat Mg menyebabkan pertumbuhan kloroplas, mit~

abnormal (Sopandie 1997). Magnesium berakibat antagonisme d

artinya peningkatan penyerapan Mg mengurangi penyerapan Ca dan

Menurut Small dan Ohlrogge (1973), kandungan hara d

mencukupi untu~k perturnbuhan kedelai pada saat berbunga adalaf

0.26-0.50%,

K

1.71-2.50%, Ca 0.36-2.00%, dan Mg 0.26-1

Ghulamahdi (1999) dengan budidaya jenuh air pada tiga genot

(Wilis, PTR 8, dan PTR 322) menghasilkan kandungan hara (

masing-inasing sebagai berikut: Ca 0.25-0.35%, dan Mg 0.27-0.29

0.23-0.24%, dan Mg 0.27-0.28% pada PTR8; Ca 0.31-0.34%, dai

pada PTR322.

Menurut Marschner (1995), ada beberapa faktor penyebab l a j ~

dan air yang menurun dari ujumg akar ke pangkal akar, antara lain:

11 banyak enzim

NA (deoxyribo

;en berdasarkan

2 jaringan daun

jenis tanaman,

I dan berbagai

:an merosotnya

ialam tanaman,

~ndria menjadi

;an Ca dan K,

I dalaln batas

.1 4.26-5.5%, P

)%. Penelitian

: kedelai yaitu

n Ca dan Mg

pada Wilis; Ca

dg 0.27-0.29%

myerapan hara

(101)

12 suberin (gabus) pada rizodermis; (2) pembentukan endodermis sekunder dan tersier

secara radial ke stele dan; (3) degradasi sel-sel korteks sehingga membentuk celah-

celah dalam daerah kotteks yang disebut aerenkima. Sepanjang perjalanan di dalam

xylem, zat hara diserap kembali oleh sel-sel hidup sejak dati akar sampai ke daun.

Karenanya tanaman yang ditanam dalam larutan hara menghasilkan konsentrasi ion-

ion tertentu yang menurun drastis dari akar sampai ke pucuk. Gejala ini jelas sekali

pada tanaman jenis kacang-kacangan (Sopandie 1997).

Sorooshzadeh dan Batthakur (1995) dari hasil penelitiannya melaporkan bahwa

pada biji dan polong tanaman kedelai yang diairi (irigasi) mengakibatkan absorbsi

kalsium lebih banyak daripada yang tanpa diairi. Lebih lanjut dinyatakan bahwa di

bawah cekaman air, Ca tidak ditranslokasikan dari polong ke daun selama periode

pengisian polong. Menurut Marschner (1995), tingkat remobilisasi hara mikro dan

Ca selama tahap reproduktif seringkali sangat tinggi bila dibandingkan dengan saat

pertumbuhan vegetatif

Kandungan N, K, Fe, dan Mn dari kedelai pada budidaya jenuh air lebih tinggi

dibanding dengan pada budidaya tadah hujan, sedangkan kandungan P daun sama

pada kedua perlakuan tersebut. Akan tetapi, kandungan Ca dan M g daun pada

budidaya jenuh air lebih rendah dibandingkan dengan pada budidaya tadah hujan.

Rendahnya kandungan Ca dan Mg tersebut disebabkan Ca dan Mg banyak diperlukan

di bagian bawah untuk membentuk akar-akar barn sehingga transportasi ke bagian

atas menurun dan dengan bettambahnya bobot daun, Ca dan Mg daun menjadi lebih

(102)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Percobaan dilaksanakan di Kebun Percobaan Cikarawang I

Pertanian Bogor, pada ketinggian tempat 240 m dpl., dengan jer

-.

(Oxic Dystropept). Percobaan ini berlangsung dari bulan Mei samp

Proses pengeringan dan analisis kadar Ca dan Mg tajuk tanarr

laboratorium Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan, Bogo

sampai Agustus 2000.

Metode

Rancangan yang digunakan dalam percobaan ini adalah rancang

dalam acak kelompok dengan tiga ulangan. Petak utama adalah dosi:

dan 6 ton ha-') dan anak petak adalah enam genotipe kedelai berun:

1). Denah percobaan dan penempatan perlakuan secara acak di lapar

[image:102.595.84.519.46.717.2]

pada Lampiran 1.

Tabel 1. Genotipe kedelai berumur dalam dan asal persilangannya

91 - 070 :

Dempo x

-

Amerikan Kerinci x

Nomor 1 2 3 4 5 6

I I I

Keterangan : #) Berasal dari koleksi Bapak Dr.

II.

Fred Rutnawas, M! Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian, Institut Pertaniar

Genotipe# PTR6 PTR178 PTR190 PTR 201 PTR288 PTR293

maga, Institut

tanah Latosol

4gustUs 2000.

dilakukan di

lari bulan Juni

petak terpisah

~lomit (0, 2, 4,

dalam (Tabel

n dapat dilihat

(103)

Benih kedelai diinokulasi dengan inokulum Bradyrhizobiunz

berasal dari inokulum yang diperoleh dari Dr. Ir. Rasti Saraswati,

BioteknoIogi Tanaman Pangan Bogor. Rhizoplus merupakan

multiguna (PMMg), pengernbangan dari inokulum Rhizobiunl

beberapa jenis mikroba multiguna (Bradyrhizobitrm dan mikroba

Indonesia (Saraswati et al. 1997; Sunarlim 1997).

Model linear yang gunakan adalah sebagai berikut :

i = 1,2,3 ( ulangan)

j = 1,2,3,4 (dosis dolomit)

k = 1,2, 3,4, 5, 6 (genotipe beru~nur dalam) dengan

Yijk = hasil pengamatan dosis dolomit ke-j dan genotipe 1

ulangan ke-r

P = nilai rata-rata umum

pi = pengamatan aditif ulangan ke-r

'4 = pengaruh aditif perlakuan petak utama ke-j

Yij = pengaruh aditif galat perlakuan petak utama ke-j I

Pk

= pengaruh aditif perlakuan anak petak ke-k

(ap)jk = pengamh interaksi antara dosis dolomit ke-j dan ge Eijk = pengaruh galat yang timbul dari dosis dolomit ke-j

ke-k pada ulangan ke-r.

Analisis data yang menunjukkan pengaruh perlakuan yang berl

taraf 5% uji

F

dalam analisis ragam dilanjutkan dengan uji beda nila

Multiple Range Test (DMRT). Untuk melihat hubungan antara pen

dan karakter agronomi yang interaksinya nyata dilakukan uji re(

?panicurn yang

lalai Penelitian

upuk mikroba

romersial dari

3elarut P) asal

-k pada

mgan ke-r

otipe ke-k an genotipe

:da nyata pada

tengah Duncan

ipuran dolomit

(104)

15 Pelaksanaan

Tanah untuk percobaan diolah dengan menggunakan bajak kemudian diratakan

dengan cangkul, akhirnya dibersihkan dari sisi-sisa gulina. Anak petak percobaan

berukuran 2 m x 5 m.Yang berperan sebagai saluran air adalah Jarak antarpetak

utaina dan antarulangan 0.30 m. Petak utama dikapur sesuai dengan dosis masing-

masing perlakuan, dan diinkubasi selama 4 minggu. Pupuk SP 36 sebanyak 200 kg

ha-' dan KC1 100 kg ha" diberikail bersamaan pada saat pengapuran dengan

mencampur pupuk dan kapur menjadi satu.

Benih kedelai ditanam langsung di lapangan setelah terlebih dahulu diinokulasi

dengan rhizobiu~n jenis Biolestari (5 g kg-' benih). Jarak tanam yang digunakan

adalah 50 cm x 7.5 cm dengan 1 butir setiap lubang. Untuk ~nengatasi lalat kacang,

sebelum tanam benih diberi karbosulfun (Marshal 25 ST) sebanyak 15 glkg benih.

Untuk inengatasi tumbuhnya gulma dilakukan penyemprotan herbisida pratumbuh

0

dengan oxyflourfen (Goal 2E) bertakaran 1,25 1 ha.' (2 ml 1.' air) satu hari setelah

tanam. Gangguan hama diatasi dengan penyemprotan insektisida Deltametrin (Decis

2.5 EC) pada takaran 2.5 ml I-' dengan volume semprot 500

1

ha" pada umur 3, 5,6,

dan 8 minggu setelah tanam (MST). Pengairan diberikan dari umur 14 hari setelah

tanain sampai polong benvama coklat dengan tinggi muka air tetap dipertahankan i 5

cm di bawah permukaan tanah sehingga lapisan di bawah perakaran jenuh air (Hunter

et 01. 1980). Pengaturan tinggi nluka air diatur sedemikian rupa sehingga diharapkan

(105)

16

Panen dilakukan jika daun telah mulai rontok dan 90 % polong benvarna coklat.

Pemanenan dilakukan dengan memotong pangkal batang dengan sabit bergerigi,

kemudian brangkasan dimasukkan ke dalam karung panen sesuai perlakuan. Hasil

panen kemudian dijemur sampai kering atau polong mulai pecah, lalu biji

dikeringkan sampai mencapai kadar air 14 %.

Pengamatan dan Analisis

Peubah yang diamati meliputi komponen peitumbuhan, kadar hara, komponen

hasil, hasil, data iklim, dan sifat fisik dan kimia tanah selama perlakuan. Komponen

pertumbuhan dan komponen hasil diukur berdasarkan rata-rata dari 10 tanaman

contoh, kecuali bobot biji dan hasil biji.

1. Serapan dan kadar C a dan M g tajuk.

-4nalisis hara tajuk dilakukan dengan mengambil sampel tajuk dari lapangan,

kemudian dikeringkan dalam oven dengan suhu 105' C selama 3 hari. Tajuk

dihaluskan dengan alat penggiling. Ca dan Mg dianalisis dengan metode HC104

+

HN03 dengan alat atomic absorbtion spectrometer (AAS). Pengamatan

dilakukan pada umur 8 minggu setelah tanam.

2. Bobot kering bintil a k a r (g).

Pengamatan bobot kering bintil akar dilakukan dengan memisahkan bintil akar

yang aktif, dikeringkan dengan oven pada suhu 105' C selama 72 jam lalu

(106)

3. Bobot kering tajuk dan a k a r t a ~ ~ a m a n - ' ( ~ ) .

Tanaman contoh untuk pengukuran bobot bintil akar di atas dipisahkar, antara

tajuk dan akarnya. Tajuk dan akar dikeringkan dalam oven pada suhu 105' C

selama 72 jam, atau sampai bobotnya konstan, dan ditimbang.

4. W a l t u berbunga (hari).

Waktu berbunga ditetapkan jika 50% dari total tanaman telah berbunga pada

petakan.

Waktu panen ditentukan jika 90% polong telah benvarna coklat di setiap petak.

6 . Tinggi tanaman (em).

Tinggi tanaman diukur dari permukaan tanah sampai titik tumbuh pada setiap

tanaman sampel. Pengamatan dilakukan pada saat panen.

7. Jumlah cabang tmaman-' (buah).

Jumlah cabang per tanaman dilakukan dengan menghitung semua cabang yang

berada pada batang utama pada setiap tanaman sampel saat panen.

8. Jumlah polong isi (buah) dan polong hampa tanaman-' (%).

Pengamatan polong isi dan hampa per tanaman dilakukan pada saat panen

dengan menghitung persentase polong yang berisi dan hampa dari seluruh polong

yang terbentuk pada tanaman sampel.

9. Bobot 100 biji (g).

Pengamatan dilakukan dengan menimbang 100 butir biji yang berkadar air 14%

(107)

10 Bobot biji tanaman" (g).

Pengamatan dilakukan dengan menimbang biji kering yan,

tanaman sampel dari masing-masing petak percobaan.

11. Hasil biji (g).

Pengamatan dilakukan dengan menimbang biji kering yang dih

percobaan.

12. Hasil (ton ha-').

Hasil tanaman dihitung dari hasil biji per petak, selanjutnya

satuan hektar.

13. Analisis t m a h awal dan data agroklimatologi.

Pada analisis tanah ini diamati kandungan pasir, debu, liat; pH,

P total, K total, PzOs, dan KzO; kation K, Na, Ca, Mg, dan KTE

Mn, Zn, dan Cu, serta A d d . Kandungan pasir, liat, dan debu (

metode pipet; pH dengan metode pH meter; N dengan me

dengan metode Kurmis;

P

total dan K total dengan metode

dengan metode Bray I; kation K, Na, Ca, dan Mg dengan ml

dengan metode titrasi; dan unsur mikro Fe, Mn, Zn dan Cu den,

A d d dengan metode titrasi. Pengamatan data agroklimatologi

hujan, dan kelembaban relatif dilakukan sejak tanam sampai

percobaan selesai dipanen.

ihasilkan tiap

;an tiap petak

~nversi dalam

dungan N, C,

isur mikro Fe,

tukan dengan

: Kjeldahl; C

:I 25%; PzOs

e AAS; KTK

metode AAS;

.I

suhu, curah
(108)

H A S I L

Serapan dan I<adar Ca Mg Tajuk

Dolomit dan genotipe serta interaksinya tidak nyata mempen

dan M g tajuk, tetapi dolomit nyata mempengaruhi kadar Ca dan

tidak nyata mempengaruhi kadar Ca tajuk, tetapi interaksi dolo

nyata mempengaruhi kadar Ca tajuk (Lampiran 1).

Gambar 1 menunjukkan bahwa kadar Ca tajuk setiap genoti

dosis dolomit. PTR6, PTR190, dan PTR201 polanya hampir sama yaitu kadar Ca

tajuk meningkat pada dosis 2 hingga 4 ton dan menurun pada dosis dolomit 6 ton

ha-'. Pada PTR178 dan PTR288, kadar Ca tajuk menurun dengan p

2 ton dan meningkat pada dosis 4 hingga 6 ton ha.'. Pada genotipe

tajuk semakin menurun dengan penambahan dosis dolomit

0.5

5

0 2 4 6

Dmts D o l m ~ t (ton / ha)

+ PTR6 U PTR178 A PTRIEO X PTR201 X PTR288 e PTR253

-Pow (PTRG) --Pow (PTR178) -Pow (PTRIEO) -Poly (PTR201) -Poly (PTR288) -Poly (PTR253)

[image:108.595.77.516.334.727.2]
(109)

140

-

120

s"

100

-

$3 z 80

C 60

8

40 "I 20 0

0 2 4 6

Dosis Dolonlit (ton/ Ira)

Garnbar 2. Serapan Ca tajuk genotipe kedelai berumur dalam pada beberapa dosis dolomit.

0.00

[image:109.602.86.515.40.596.2]

0 1 2 3 4 5 6 7 Dosis Dolomit (tonlha)

Gambar 3. Serapan Mg tajuk genotipe kedelai berumur dalam pada beberapa dosis dolomit.

Pada Lampiran 5 dan Gambar 1 juga memperlihatkan bahwa kadar Ca tajuk

genotipe PTR6 nyata lebih tinggi yakni 1.33% pada dosis dolomit

2

ton ha" dan
(110)

2 1 PTR201 tanpa dolomit, PTR178 pada dosis dolomit 4 dan 6 ton ha-', PTR288 pada

dosis dolomit 4 ton ha-', dan PTR293 pada dosis dolomit 6 ton ha.' yang juga

memiliki kadar Ca tajuk yang paling rendah yakni 0.87%. Meskipun pola kadar Ca

tajuk setiap genotipe bel-variasi pada dosis dolomit, serapan hara baik Ca maupun

Mg tajuk hampir sama yakni meningkat dengan pelnupukan 2 hingga 4 ton dolomit

dan cendert~ng menurun pada dosis 6 ton ha" (Gambar 2 dan 3).

Tabel 2. Pengaruh dolomit dan genotipe terhadap kadar Mg tajuk.

Hasil pengamatan kadar Mg tajuk pada Tabel 2 mernperlihatkan bahwa Rata-rata 0.25 Genotipe PTR6 PTR178 PTR190 PTR201 PTR288 PTR293 Rata-rata

pemupukan dolomit 2 ton ha-' menghasilkan kadar Mg tajuk yang paling tinggi yakni

0.26% dan berbeda nyata bila dibandingkan dengan dosis dolomit lainnya, terutama Dosis dolomit (ton ha-')

Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0.05 DMRT. 0.25 0.21 0.20 0.24 0.21 0.22 b

pada pemupukan dolomit 6 ton ha-' yang semakin menurunkan kadar Mg tajuk. 0

Pada Tabel 2 juga terlihat bahwa dosis dolomit 4 ton hd', 6 ton ha-', dan tanpa 0.25 0.23 0.26 0.26 0.28 0.26 a 2

Kadar Mg tajuk (%)

0.22 0.25 0.22 0.24 0.22 0.23 b 4 0.23 6 0.23 0.22 0.18 0.23 0.18 0.21 b 0.29 0.24 0.24 0.22 0.24 0.22

[image:110.595.85.544.131.752.2]
(111)

Pertumbuhan dan Umur Tanaman

Dolomit tidak nyata mempengaruhi bobot kering bintil akar, bobot kering akar,

bobot kering tajuk, dan tinggi tanaman, tetapi genotipe nyata mempengaruhi bobot

kering bintil akar, bobot kering tajuk, tinggi tanaman, dan jumlah cabang. Interaksi

dolomit dan genotipe nyata mempengaruhi jumlah cabang (Lampiran 1,2, dan 3).

Tabel 3. Pengaruh dolomit dan genotipe terhadap bobot kering bintil akar, bobot kering akar, dan bobot kering tajuk

[image:111.595.76.514.188.724.2]
(112)

23 Genotipe PTR293 menghasilkan bobot kering bintil akar terendah dan berbeda

nyata dengan PTR6, PTR178, PTR190, PTR201, dan PTR288, tetapi kelima genotipe

yang disebut terakllir tidak berbeda nyata (Tabel 3). Pada Tabel 3 juga terlihat bahwa

bobot kering bintil akar paling tinggi pada PTR190. Bobot kering akar juga tinggi

pada PTR190 dan rendah pada PTR288 meskipun secara statistik tidak nyata

perbedaannya. Tinggi tanaman tertinggi juga pada PTR190 dan berbeda nyata dengan

[image:112.595.85.513.200.734.2]

genotipe lainnya, terutama PTR6 yang karakter tinggi tanamannya terendah

(Tabel 4).

Tabel 4. Pengaruh dolomit dan genotipe terhadap tinggi tanaman.

Genotipe

I

Tinggi tanaman (cm)

I

I

PTR 293 42.10 40.20 41.73 39.73

1

40.94 bc

I

PTR 6 PTR 178 PTR 190 PTR 20 1 PTR 288

I

Rata-rata 42.50 44.11 44.1 1 40.68

Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0.05 Rata-rata Dosis dolomit (ton ha-')

Interaksi antara dolomit dan genotipe nyata mempengaruhi jumlah cabang 0 35.63 39.13 58.56 41.26 38.30

(Lampiran 3). Jumlah cabang terbanyak terdapat pada PTR293 dengan dosis 4 ton

ha-' dan paling sedikit pada PTR288 tanpa dolomit (Lampiran 6 Gambar 4). Pada 2 41.20 41.70 58.83 44.76 39.10

Gambar 4 terlihat bahwa jumlah cabang semua genotipe pola interaksinya hampir

sama terhadap dosis dolomit, cenderung meningkat dengan peningkatan dosis 4 39.43 44.73 53.83 43.23 41.70

dolomit 2 hingga 4 ton, dan menurun dengan penambahan 6 ton ha-'. 6

(113)
[image:113.599.80.515.39.744.2]

Gambar 4. Hubungan dolomit dengan jumlah cabang beberapa genotipe kede berumur dalam.

0.0

-1

0 2 4 6

DrmsDolomt (ton/ ha)

+

PTR6 B PTR178 -k-PTRIEO X P T m l X PTFa88 b PTFa93 -Lin%~(PTffi) -Uw(PTR178) -Lmesr(PTRlSO) -Lmer(PTRZOl) -Uner(PTRZffl) -Lln%U(PTR293)
(114)

Dolomit, genotipe, dan interaksinya nyata mempengaruhi umur berbunga dan

umur panen (Lampitan 5). Pada Gambar 5 dan 6 terlihat bahwa baik umur berbunga

maupun umur panen pola interaksinya linear dengan nilai konstan setiap peningkatan

dosis dolomit. Pada Gambar 5 dan 6 juga terlihat bahwa hampir semua genotipe

1

0 2 4 6 [image:114.595.83.515.37.771.2]

1

Cosls Ddmit (ton / ha)

Gambar 6. Hubungan dolomit dengan umur panen beberapa genotipe kedelai berumur dalam.

mempunyai umur berbunga dan umur panen berbeda kecuali PTR178, PTR201, dan

PTR288 pada semua tingkat dolomit, umur berbunganya sama tetapi umur panennya

sedikit berbeda. Umur panen PTR6 sedikit meningkat dengan meningkatnya dosis

dolomit.

Komponen Hasil

Dololllit tidak nyata mempengaruhi persentase polong hampa, tetapi genotipe dan

interaksinya nyata mempengaruhi ju~nlah polong berisi dan persentase polong han~pa

(115)

26 polong berisi yang lebih banyak (108.1 buah) pada dosis dolomit 4 ton ha*' dan

99.8 buah pada dosis 2 ton ha.' dan berbeda nyata dengan semua perlakuan lainnya

terutama PTR6 yang paling sedikit yakni 46.3 buah tanpa dolomit. Pada Gambar 7

juga terlihat bahwa jumlah polong berisi semua genotipe polanya hampir sama yaitu

terjadi peningkatan pada dosis 2 hingga 4 ton dan semakin menurun pada dosis

dolomit 6 ton ha.'.

[image:115.595.81.519.156.749.2]

YplQOl= 50.041 + 17.363~-2.7231*

Gambar 7. Hubungan dolomit dengan jumlah polong berisi beberapagenotipe kedelai berumur dalam.

Genotipe PTR293 memiliki jumlah polong berisi yang tertinggi, tetapi memiliki

persentase polong hampa tertinggi pula, terutama pada dosis dolomit 2 ton ha.'

(10.4%). Persentase polong hampa terendah dimiliki oleh PTR190 yakni 3.3%, 3.5%,

dan 3.7% masing-masing pada dosis dolomit secara berurutan 6 ton, 4 ton ha-', dan

(116)

R2 = 0 5454

Yp10?3= 5.784 t 2.18h- 031759 $ = o m

0.0

20 0

0

2 4 6

Dmis Ddwnt (ton / k)

PIR6 f# FIR178 A FIR153 X m 0 1 X m e a

*

m

-POW. WW -W. eTR178) -Pot$ eTR153) -pohl. (F'lRZo1) -mty. (~1~289) -pohl. ~ 9 3 )

Gambar 8. Hubungan dolomit dengan persentase polong hampa beberapa genotipe kedelai berumur dalam.

Dolomit dan genotipe nyata mempengaruhi bobot 100 biji dan bobot biji

tanaman-', tetapi interaksinya tidak nyata pengaruhnya (Lampiran 3). Pada Tabel 5

terlihat bobot bahwa 100 biji dan bobot biji tanaman-' tinggi pada dosis dolomit 4

ton ha-' dan berbeda nyata dengan dosis lainnya. Tanpa pemupukan dolomit, bobot

100 biji paling rendah, begitu pula kornponen bobot biji tanaman-'.

Genotipe PTR6 memiliki bobot 100 biji tinggi dan berbeda nyata dengan semua

genotipe lainnya. Bobot 100 biji PTR190 juga masih berbeda nyata dengan PTR178,

PTR201, PTR288, dan PTR293 (Tabel 5). Pada Tabel 5 juga terlihat bahwa PTR190

dan PTR293 memiliki bobot biji tanaman-' tinggi dan berbeda nyata dengan PTR6

[image:116.599.101.522.55.678.2]
(117)

Tabel 5. Pengaruh dolomit dan genotipe terhadap bobot 100 biji dan bobot biji tanaman-'.

DMKT.

Hasil Biji

Genotipe nyata mempengaruhi bobot biji petak-' dan hasil biji ha*', tetapi dolomit

dan interaksi~lya tidak nyata mempengaruhi kedua peubah ini (Lampiran 4).

Pada Tabel 6 terlihat bahwa bobot biji petak-' dan hasil biji tertinggi pada PTR190

yakni masing-masing 1139.92 g atau 2.849 ton ha-', bobot dan hasilnya sama dengan

PTR6 (yakni 1016.30 g atau 2.540 ton) serta PTR293 (yakni 1017,42 g atau 2.543 ton

ha-'). Bobot biji dan hasil biji terendah terdapat pada PTR178 yakni 860.50 g p e t a ~ '

atau 2.151 ton ha-'. Tabel 6 juga terlihat bahwa bobot biji petak-' PTR178 tidak

berbeda nyata dengan PTR201 dan PTR288 dengan nilai masing-masing 922.75 g

[image:117.595.87.526.69.592.2]
(118)
(119)

PEMBAHASAN

Hasil percobaan ini inenunjukkan bahwa kandungan kalsiu

tajuk telah cukup untuk pertuinbuhan normal tanainan tanpa

(Lampiran 5 dan Gambar 1, 2, dail 3). Hal ini tidak terlepas

percobaan masih cukup subur untuk peituinbuhan tanaman kede

tidak terlalu inasam kandungan Ca dan Mg tersedia inasih dal

serta unsur-unsur beracun seperti A1 dalain jumlah kecil b

berdasarkan hasil analisis tanah awal ( Lanlpiran 7).

Dalam kondisi BJA kesuburan tanah semakin meningkat

ineningkatnya pH tanah dan lebih tingginya P dail I<

dibandingkan dengan pada BTH (Ghulamahdi, 1999). Ono (1991) inenyatalcall bahwa

tanah yang digenangi hampir tidak dipengaruhi oleh tingkat p

halnya tanah tanpa penggenangan. Tanah yang digenangi da

perlakuail pengapuran ternyata pH-nya juga ineili~lgkat dari p

6.44, sebaliknya tanpa penggenangan pH bahkan inenurun dari

5.3. Penggenangan dengan pengapuran dapat inendorong berkurangnya juinlah ion-

ion hidrogen dan aluminium yang dapat dipertukarkan sehingga pH

Dolomit dan genotipe serta interaksi~lya tidak nyata mempen

dan Mg tajuk, tetapi dolomit nyata mempengarul~i kadar

(Tabel 2). Genotipe tidak nyata meinpengaruhi kadar Ca taj

dolomit dengan genotipe nyata ineinpengaruhi kadar Ca taj

(120)

31 ha-' 0.26%, paling tinggi dan berbeda nyata dengaii lainnya. Disustll dengan

menurtmya kadar Mg tajuk dengan penlambahan dosis dolomit.

Gambar 1 menunjulkan ballwa Ca tajuk setiap genotipe bervariasi menurtit dosis

dolomit. Pada genotipe PTR6, PTR190, dan PTR201 berpola hampir sazna yaitu

kadar Ca tajuk meningkat pada dosis 2 hingga 4 ton dan lnenurun pada dosis dolomit

hingga 6 ton ha-'. Pada PTR178 dan PTR288, kadar Ca tajuk lnenurun dengan

penlupukan 2 ton dolomit dan meningkat pada dosis 4 hingga 6 ton ha-'. Pada

genotipe PTR293 kadar Ca semakin menurun dengan penamballan dosis doloinit.

Meskipun pola kadar Ca tajulc genotipe beirvariasi pada setiap dosis dolomit, pola

serapan hara baik Ca maupun Mg tajuk hampir sama yaitu meningkat dengan

pe~nupukan 2 hingga 4 ton dan cenderung inenuirun pada dosis 6 ton doloinit ton

ha-' (Gambar 2 dan 3). Pada Gambar 1 juga meinperlihatkan ballwa PTR6 kadar Ca

tajuknya tinggi yakni 1.33% pada dosis dolomit 2 ton, dan rendah pada PTR293

(0.85%) pada dosis dolomit 6 ton ha.'. Meskipun berbeda dengan hasil penelitian

Ghulamahdi (1999), yang rendah kadar Ca dan Mg-nya pada B

dan Mg 0.23%. Berdasarkan pengamatan pada BTH, Ca menc

0.32% dengan pemupukan kalsit 2 ton ha-' dan pengamatan pad

Mg hasil penelitian ini diduga sama dengan penga~natan pada

Mg banyak diperlukan di bagian bawah untuk pertumbuhan a

1999), juga diduga diperlukan untuk pe~nbentukan batang, dan

polong dan pengisian biji. Hal ini dapat dibuktikan pada Ga

yang lebih cepat berbunga kadar Ca tajuknya lebih tingg

(121)

32 miho dan Ca selama tahap reproduksi sering tinggi jika dibandingkan dengan selalna

tahap vegetatif. Di bawah cekaman air kalsium tidak ditranslokasikan dari polong ke

daun selama pengisian polong (Sorooshcades et al. 1995).

Rendalmya kadar Ca dan Mg daun pada BJA seperti yang dilaporkan Ghula~nahdi

(1999), juga dilaporkan ole11 Seong et al. (1999). Para peneliti ittipun mendapatlcan

kandungan Ca dan Mg daun yang rendah pada pet~ggenangan dibandinglcan dengall

pada BTH tetapi kandumgan hara Fe dall Mg daun tinggi. Meskipun demikian

pertunbuhan tanaman terutama daun kelihatan normal (tidak terlihat gejala

kekurangan Ca dan Mg). Ini menunjukkan baliwa Ca dan Mg dam yang rendah pada

BJA cukup ultuk pertumbuhan normal tanaman terutama pada daun. Sopandie

(1997) lnenyatakan bahwa kadar Ca dala~n tanaman berkisar antara 0.2 sa~npai

beberapa persen (berdasarkan bobot kering), ballkan mungkin jumlahnya lebih tinggi

dari pada kebutuhan minimum. Lebih lanjut dinyatakan bahwa banyak jenis tanaman

yang dapat tumbuh normal dalam larutan dengall konsentrasi Ca 2 ppm atau 0.05

ppm seperti pada tanaman tell dan tenlbakau, dengan ketentuan ballwa kadar ion-ion

divalen lai~uiya rendah. Rumawas menyebutkan kadar Ca 0.16% cukup untuk

pertumbuhan normal tanaman kedelai (komunikasi pribadi, 2002). Hal lain yang

mungkin juga mendukung pertumbuhan normal adalah adanya unsur Fe dan Mn daun

yang tinggi pada BJA, yang diduga menggantikan fungsi Ca dan Mg pada daul.

Sopandie (1997) dan Salisbury dan Ross (1992) menyataka~l bahwa kahat Fe

dicirikan dengan meluasnya klorosis yang jelas di daerah antara urat-urat daun yang

mirip gejala kahat Mg. Jones (1998) menyatakan baliwa Ca bersaing dan

(122)

33 0.075 nm, berada di antara Mg (0.065 nm) dan Ca (0.099 nm) sehingga dapat saling

bertukar atau bersaing pada bermacam-macam reaksi, dalarn beberapa ha1 Mg dapat

digantikan oleh Mn atau sebaliknya dan kaliat Mn dapat znenyebabkan defisiensi Fe,

Mg, terutama Ca.

Serapan l~ara yang tinggi menyebabkan kandungan hara yang tinggi pula dan

berpengaruh pada bobot kering akar. Pada percobaan ini genotipe PTR190 bobot

kering akamya tinggi (0.93 g tanaman-') da~i rendah pada PTR6 (0.77 g) meskipun

secara statistik nilainya sama. Pada penelitia~i Jafri (2002) bobot kering akar tinggi

pada PTR293 (0.57 g tanaman-') dan rendah pada P'TR288 (0.36 g).

Bobot kering akar yang tinggi pada BJA tidak terlepas dari pertumbuhan

perakaran yang terus-.lnene~us (karena terjadi akumulasi hasil fotosintesis kebagian

bawah tanaman pada tahap aklimatisasi) (Troedson et 01. 1983). Tidak terjadinya

penuaan akar me~lyebabkan pe~nbentukan bintil akar terus-menerus yang selanjutnya

berpengaruh pada peni~igkatan bobot bintil aka]. seliingga ~neningkatkan nitrogenase,

peningkatan serapan hara akar la111 lneningkatkan serapan 11ara daun (Gl~ulnmahdi

1999). Pada percobaan ini bobot kering bintil akar tanaman" tinggi pada genotipe

PTR190 (0.35 g) hrunpir sania yang dilaporkan Ghulamahdi (1999) pada PTR322

yakni 0.34 g pada BJA, dilakukan penga~natan pada u~nur 8 MST, dan bobot kering

bintil akar yang rendah terdapat pada genotipe PTR293 yakni 0.1 5 g. Sementara Jafri

(2002) melaporkan bahwa pada BTH, bobot keri~lg bintil akar te~tinggi juga pada

PTR190 (59.59 mg) dan terendal~ pada PTR178 (40.00 n~g). Namun bobot kering

bintil akar percobaan Jafri (2002) masill Iebih rendah dengan sisteni BTI-I

(123)

34 karena pada BJA akar tumbuh terus-menerus dan tidak terjadi penuaan altar dan bintil

akar dibandingkan dengan BTH, disanlping itu kondisi lahan percobaan ~nasih cukup

mengandung unsur hara Ca dan Mg se~ta adanya tambahall dolomit yang sangat

dibutuhkan untuk pertulnbuhan bintil akar dan tanaman. Menu~ut Yutono (1983) dan

Sul~artatik et al. (1987), selain menaikkan pH pemberian kapur juga berpengaruh

terhadap peitumbul~an tananlan leguninosa dan bintil akar. Kalsiuln diperlukan oleh

tanaman dan bakteri rhizobium dalaln julnlah yang besar untuk proses infeksi

rhizobium pada akar tanalnau dan pembentukan bintil akar selanjutnya.

Meningkatnya bobot kering bintil akar berpengaruh pada peningkatan bobot

kering tajuk, tinggi tanaman, dan jumlah cabang. Bobot kering tajuk teltinggi pada

pada PTR201 (9.66 g) yang nilainya salna dengan PTR6, PTR178, dan PTR190.

Bobot kering tajuk terendah pada PTR 288 (7.63 g) dan PTR 293 (7.31 g) (Tabel 3).

Tinggi tanaman tertinggi pada PTR19O (54.76 cm) dall berbeda nyata dengan

genotipe lailmya, terendah pada PTR6 (38.38 cln) (Tabel 4). Jafii (2002) pada

penelitian BTH melaporkan genotipe te~tinggi juga pada PTR190 dan terendah pada

PTR6. Hal ini dapat dijadikan indikasi bahwa tinggi tanaman dipengaruhi oleh faltor

genetik tanaman (Dewi et

al.

1993). Zahara et 01. (1994) menyatakan bahwa tinggi

tanaman merupakan kriteria yang cukup penting karena secara tidak langsung dapat

meningkatkan hasil kedelai melalui jumlah polong berisi.

Tinggi tanaman tidak sejalan dengan julnlah cabang. Jumlah cabang terbanyak

pada PTR293 pada dosis dolomit 4 ton ha7' (4.8 buah) dan paling rendah pada

PTR288 tanpa dolomit (2.3 buah) dan dolomit 6 ton ha*' (2.3 buah) (Lampiran 5 dan

(124)

35 pola interalcsinya ha~npir sama terhadap dosis dolomit, cenderung meningkat dengan

peningkatan dosis dolomit 2 hingga 4 ton dan menurun pada penambahan 6 ton ha-'.

Hasil penelitian Jafri (2002) pada BTH juga dilaporkan, baliwa jumlah cabang

tertinggi pada PTR293 (3.6 buah) dan rendah pada PTR288 (2.5 buah). Menurut

Adam dan Weber (1998), jumlah cabang lebih banyak dipengaruhi oleh faktor

genetik. Pada kondisi lingkungan yang menguntungkan kedelai dapat menghasilkan

cabang dan buku lebih banyak.

Dolomit, genotipe dan interaksinya nyata mempengaruhi umur berbunga dan

umur panen (Lampiran 2 Gambar 5 dan 6). Pada Gambar 5 dan 6 memperlihatkan

bahwa baik umur berbunga maupun umur panen genotipe yang dicobakan cenderung

linier dengan nilai konstan setiap peningkatan dosis dolomit. Menurut Sumarno dan

Hartono (1983), lunur berbunga dan umur panen kedelai beragam tergantung varietas

yang ditanam. Di Indonesia umur panen kedelai dibedakan atas 3 golongan yaitu

berumur genjah (75-85 hari), berumur sedang (86-90 hari), dan berumur dalam (> 95

hari). Umur berbunga terkait dengan umur panen, semakii cepat berbunga semakin

cepat umur panen, begitu pula sebaliknya. Genotipe PTR6 umur berbunganya lebih

cepat (38.2 hari), umur panen 93.0 hari. Umur berbunga lebih lama pada PTR293

(49.0 hari), umur panen 106.0 hari. Jafri (2002) juga melaporkan bahwa pada BTH

umur berbunga tercepat dijumpai pada PTR6 (37.0 hari), umur panennya (87.3 hari),

dan terlama pada PTR293 (47.0 hari), umur panen (101.3 hari). Umur berbunga dan

umur panen pada BJA tidak jauh berbeda dengan BTH. Menurut Arsyad (1988)

(125)

36 diiendalikan oleh gen secara poligenik culup mantap dan stabil pada lingk~mgan

yang berbeda.

Komponen hasil nyata dipengaruhi ole11 genotipe dan dolomit, kecuali persentase

p ~ l o n g hamnpa, dolomit tidak nyata menlpengaruhi (Lampiran 3). Interaksi kedua

perlakuan juga nyata inempengaruhi jumlah polong berisi maupun persentase polong

hampa (Lampiran 3 Gambar 7 dan 8). Genotipe PTR293 menghasilkan polong berisi

yang lebih banyak (108.1 buah) pada dosis dolomit 4 ton ha" dan 99.8 buah pada

dosis dololllit 2 ton ha*', lebih sedikit pada PTR6 (46.3 buah) tanpa dolomit. Jafri

(2002) melaporkan, bahwa jumlah polong berisi tinggi pada PTR293 (71.2 buah) dan

rendah pada PTR6 (39.8 buah). Ganlbar 6 juga memperlihatkan ballwa juinlali polong

berisi semua genotipe polanya hampir sama yaitu terjadi peningkatan pada dosis

dolomit 2 hingga 4 ton ha-' dan semakin menurun dengan penambahan dosis dolomit.

Tigginya jumlah polong berisi pada PTR293 disebabkan oleh pertumnbd~an

(perkembangan akar, tajuk, dan cabang) yang lebih baik, disamping itu faktor genetik

tanaman, terutama umur yang panjang sehingga proses pembentukan dan pengisian

polong lebih lama dan didukung kondisi lahan jenuh air menyebabkan daun lambat

mengalami keguguran (senecence) sehingga proses fotosintesis berlangstmg lebih

lama dan menghasilkan asimilat yang lebih banyak. Nugraha (1994) menyatakan

bahwa tanaman kedelai berkorelasi positif dengan urnur. Dengan umur yang lebih

dalam hasil fotosintesis dapat dirnanfaatkan untuk pembentukan biji dan pengisian

polong. Board et al. (1999) menyatakan bahwa masa reproduktif yang lama dapat

(126)

37 Jumlah polong berisi yang tinggi pada PTR293 ternyata juga diilcuti ole11

persentase polong hampa yang tinggi pula, terutama pada dosis dolo~nit 2 ton 11a-l

(10.4%). Persentase polong hampa yang rendah dimiliki oleh PTR190 (3.3%) pada

dosis 6 ton ha-' (Lampiran 6, Gambar 5 dan 6). Jafri (2002) juga inelaporlcan bahwa

genotipe PTR393 memiliki persentase polong hainpa tinggi pula pada BTH. Ini

nlengindikasikan bahwa tingginya persentase polong hampa PTR293 disebabkan oleh

faktor genetik tanaman.

Dolomit dan genotipe nyata meinpengaruhi bobot 100 biji dan bobot biji

tanaman-', tetapi tidak nyata inempengaruhi bobot biji dan hasil biji ha-'

(Lanlpiran 3). Tabel 4 inemperlihatkan ballwa dosis dolomit 4 ton ha-' meninglcatkan

bobot 100 biji dan bobot biji tanaman' dan berbeda nyata deilgan yang lainnya. Pada

Tabel 5 juga terlihat bahwa Genotipe PTR190 dan PTR293 meiniliki bobot biji

tansunan-' yang tinggi yakni masing-masing 15.42 g dan 15.08 g. Bobot biji tanaman-'

yang rendah terdapat pada PTR6 dan PTR288, masing-masing 13.37 g dan 12.5 g.

Bobot 100 biji yang tinggi pada PTR6 (11.9 g) berbeda nyata dengan genotipe

lainnya, terutama PTR178 dan PTR293, masing-masing 9.80 g dan 9.74 g (Tabel 5).

Jafri (2002) pada BTH inelaporkan bobot biji tanaman-' juga tinggi pada PTR293

dan bobot 100 biji pada PTR6, masing-masing adalah 11.82 g tanaman-' dan

10.21 g. Bobot biji tanaman" PTR190 dan PTR293, dan bobot 100 biji PTR6 yang

tinggi tidalc terlepas dari tanggap yang tinggi genotipe-genotipe tersebut terhadap

lulgkungan tumbuhnya disamping faktor genetik. Arsyad dan Tanj~mg (2000)

ineyatakan ballwa hasil kedelai dipengarithi sangat nyata ole11 faktor genetik, kondisi

(127)

38 IComponen hasil yang tinggi berpengaluh pada peningkatan bobot biji petal<-' dan

akhirnya menghasilkan biji ha-' yang tinggi pula. Bobot biji petal<-' tinggi pada

PTiIl90 (1139.92 g) nilainya tidak berbeda dengan PTR293 dan PTR6, masing-

masing 1017.42 g dan 1016.33 g. Bobot biji petak' juga agak ren

PTR201, dan PTR288 masing-masing 860.50 g, 992.75 g, dan 9

Tabel 6 juga memperlihatkan hasil biji ha-' tinggi pada PTR190

tidak berbeda dengan PTR293 dan PTR6 masing-masing 2.543

Hasil biji ha-' juga agak rendah pada PTR178, PTR201, dan PTR288 masing-masing

2.306 ton, 2.420 ton, dan 2.151 ton. Penelitian Jafri (2002) pada BTH mendapatkan

hasil bij

Gambar

Tabel 1. Genotipe kedelai berumur dalam dan asal persilangannya
Gambar 1. Hubungan dolomit dengan kadar Ca tajuk beberapa genotipe kedelai
Gambar 3. Serapan Mg tajuk genotipe kedelai berumur dalam pada beberapa dosis
Tabel 2. Pengaruh dolomit dan genotipe terhadap kadar Mg tajuk.
+7

Referensi

Dokumen terkait

PEKERJAAN : PENGADAAN KONSTRUKSI BANGUNAN AULA DAN ASRAMA DIKLAT RSUD TUGUREJO LOKASI : JL.TUGUREJO SEMARANG. SUMBER DANA : APBD TAHUN ANGGARAN

46 Associative Meaning Found in The Central Media News PDF 47 Syntactic Characteristics of African American Vernacular English on ‘a Raisin’ in the Sun’ Film PDF 48

Kelompok Kerja Unit Layanan Pengadaan (Pokja ULP) Jasa Konsultansi dan Jasa Lainnya pada Biro-Biro dan Pusat-Pusat di Sekretariat Jenderal Kecuali Pusat K3,

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa keaktifan belajar siswa pada materi pecahan sederhana di kelas III semester II SDN Jrahi 01

sistem akuntansi gaji untuk kebanyakan perusahaan adalah suatu sistem dari prosedur dan catatan-catatan yang memberikan kemungkinan untuk menentukan dengan cepat dan tepat berapa

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh konsentrasi ekstrak markisa dan sumber nutrisi yang bebeda terhadap kualitas berdasarkan sensoris dan daya terima,

Pada suatu tes di sebuah sekolah yang diikuti 48 siswa diperoleh nilai rata-rata ujian adalah 30 dengan median 29 dan simpangan baku 2. Agar nilainya lebih baik, maka semua

Namun demikian meskipun pada evaluasi terakhir belum menunjukkan keberhasilan terapi, tetapi paling tidak pemberian terapi latihan dengan metode tersebut mampu memberikan