PROSPEK PEMASARAN DAN STRATEGI
PENGEMBANGAN LEMBAGA KEUANGAN
MIKRO ”SWAMITRA MINA”
DI KABUPATEN CIREBON
DARMAWAN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PROSPEK PEMASARAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO ”SWAMITRA MINA”
DI KABUPATEN CIREBON
DARMAWAN
Tugas Akhir
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional
pada Program Magister Profesional Industri Kecil Menengah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ABSTRACT
DARMAWAN (F052050125). Marketing Prospect and Development Strategy of Micro Financial Institution of Swamitra Mina in Kabupaten Cirebon.
Supervisor by Musa Hubeis as chairman and Budi Purwanto as a member.
The research aimed to study performance of PEMP (Pemberdayaan Masyarakat Ekonomi Pesisir). Both two models LKM (Lembaga Keuangan Mikro) and non LKM have been evaluated in marketing aspect, expansion strategy, institutional and perception of KMP (Kelompok Masyarakat Pesisir), and impact of program to the level of earnings of coastal area communities. Objectives at research including : (1) to study marketing system of LKM Swamitra Mina to know from KMP of how far they can exploit available product or facilities; (2) to identify external factor (Opportunities and Threats) and internal factor (Strengths and Weaknesses) that can influence business of LKM Swamitra Mina; (3) to formulate strategy of LKM Swamitra Mina to expand their business..
The analysis method of this study are 1) the descriptive method was used in collecting the data of LKM Swamitra Mina profile and DKP (Departemen Kelautan dan Perikanan); they are market prospect, financial statement, volume of trading, earnings and cost, 2) Analysis of SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities and Threats) and Internal – External (IE) matrix, 3) visualization data in the radar and bar chart.
The result of institutional analysis on LKM and non LKM showed that the management on LKM was run professionally compared to non-LKM. The standpoint of increasing the economy of coastal society on LKM is through bankable finance institution. On the other hand non-LKM is treated as grant; the status of LKM is a cooperation since 2004 while non-LKM is society-built.
Based on the SWOT analysis, LKM Swamitra Mina is prospective and potencial micro finance institution in Kabupeten Cirebon. The most appropriate strategy is focus on marketing strategy through socialization and create any programs to help customer.
RINGKASAN
DARMAWAN (F052050125) Prospek Pemasaran dan Strategi Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro Swamitra Mina di Kabupaten Cirebon. Dibimbing oleh Musa Hubeis sebagai ketua dan Budi Purwanto sebagai anggota.
Pendekatan pemerintah untuk membangun keuangan pedesaan berjalan di dua sisi. Di satu sisi, sejak tahun 1970 pemerintah secara aktif campur tangan dalam menentukan pasar keuangan dengan menciptakan berbagai program pinjaman keuangan. Dimulai dengan Bimas (Bimbingan Massal), sebuah program intensifikasi padi dimana komponen kredit dimulai pada tahun 1972 yang diikuti dengan program intensifikasi untuk komoditi lain dan juga berbagai sektor pertanian terkait. Di sisi lain koperasi pertanian pernah menjadi model pengembangan pada tahun 60-an hingga tahun 70-an, namun pada dasarnya koperasi pertanian di Indonesia diperkenalkan sebagai bagian dari dukungan terhadap sektor pertanian. Tugas koperasi pertanian ketika itu adalah menyalurkan sarana produksi pertanian, terutama pupuk dengan membantu pemasaran yang berkaitan dengan program pembangunan sektor pertanian.
Perkembangan koperasi pertanian ke depan lebih fokus pada basis penguatan ekonomi untuk mendukung pelayanan pertanian skala kecil, oleh karena itu konsentrasi ciri umum koperasi pertanian di masa depan adalah koperasi kredit pedesaan yang menekankan kepada kegiatan jasa keuangan dan simpan pinjam seperti yang dilakukan oleh KUD bahwa simpan pinjam telah menjadi motor untuk menjaga kelangsungan hidup koperasi, sedangkan pada subsektor perdagangan umum misalnya, 80 % usaha perdagangan eceran yang tidak berbadan hukum diwakili oleh 5,2 juta unit usaha yang hanya memiliki omset Rp 5 juta/tahun sehingga usaha ekonomi rakyat lapis bawah ini benar-benar berskala gurem dan dimasukan dalam program penanggulangan kemiskinan . Untuk itu pemerintah melakukan dua pendekatan yaitu pertama, sebagai penduduk aktif maka kegiatan ekonomi baik dalam bentuk produksi barang maupun jasa harus diberlakukan sebagai usaha mikro yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas sedangkan yang kedua yaitu sebagai rumah tangga konsumen, dimana setiap pendapatan dan pengeluaran masyarakat yang belum melampui batas garis kemiskinan harus diberlakukan sebagai penduduk miskin yang harus ditingkatkan kondisi kehidupannya hingga melewati batas terbsebut. Bertitik tolak dari sini lahir Lembaga Keuangan Mikro (LKM), yang bergerak di bidang pembiayaan usaha mikro oleh karena itu perlu dipahami secara baik berbagai aspek LKM dengan segmen-segmen pasar yang masih sangat beragam.
tetapi secara khusus penelitian difokuskan kepada LKM Swamitra Mina melalui beberapa perumusan masalah seperti : (1), Prospek pemasaran LKM Swamitra Mina di Kab. Cirebon, (2), Dilihat dari faktor eksternal dan internal apa saja yang diperlukan dalam penyusunan strategi pengembangannya, (3), Bentuk strategi pengembangan bagaimana yang diperlukan oleh LKM Swamitra Mina.
Tujuan penelitian adalah (1), Mengkaji sistem pemasaran LKM Swamitra Mina untuk mengetahui dari KMP seberapa jauh dapat memanfaatkan produk atau fasilitas-fasilitas yang tersedia; (2), Mengidentifikasi faktor eksternal (peluang dan ancaman) dan internal (kekuatan dan kelemahan) yang berpengaruh terhadap maju mundurnya LKM Swamitra Mina; (3), Menyusun strategi pengembangan LKM Swamitra Mina. Hasil identifikasi faktor eksternal dan internal dirumuskan dengan menggunakan analisis SWOT untuk mendapatkan beberapa alternatif strategi.
Dari analisa kelembagaan pada LKM dan non LKM didapatkan hasil bahwa LKM, manajerial dikelola secara profesional dibandingkan dengan non LKM, pada LKM telah terbentuk pandangan dan sikap dalam rangka mendorong perekonomian masyarakat pesisir melalui keuangan yang bankable sedangkan pada non LKM seperti dana hibah, pada LKM status lembaga telah berbadan hukum sejak tahun 2004 dengan bentuk koperasi dan memiliki usaha LKM sedangkan non LKM merupakan bentukan masyarakat dan tidak berbadan hukum. Sebagai ilustrasi dana Ekonomi Produktif yang diterima oleh LKM Swamitra Mina pada tahun 2004 sebesar Rp 435,85 juta dengan kelompok pemanfaat 240 orang sedangkan pada tahun 2005 mengalami kenaikan sebesar 23,16 % dibanding tahun sebelumnya dengan kelompok pemanfaat 382 orang. Pada data keuangan terdapat kenaikan simpanan pada Desember 2005 sebesar Rp 114,30 juta menjadi Rp 187 juta pada Desember 2006, naik sekitar 64 % sedangkan pada simpanan berjangka pada Desember 2006 mengalami penurunan dari 80 % sampai 55 % sebagai contoh Januari dan Desember 2005 sebesar Rp 22 juta turun menjadi 4,5 juta dan Rp 49 juta turun menjadi Rp 22 juta.
Hasil kuesioner yang disebar kepada 19 kelompok pemanfaat, dimana setiap kelompok diwakili oleh 1 orang (ketua kelompok) dan digambarkan dalam matriks SWOT untuk mengetahui prospek pemasaran dan strategi pengembangan LKM Swamitra Mina, sedangkan diagram radar membandingkan analisis pemasaran di LKM Swamitra Mina secara eksternal dan internal, disamping dapat mengukur rasio keuangan sebagai bukti kinerja pemasaran.
PRAKATA
Puji Syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang memberikan
rahmat dan karunia-Nya, sehingga tesis yang merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Industri Kecil
Menengah (PS MPI), Sekolah Pascasarjana (SPS), Institut Pertanian Bogor (IPB)
dapat diselesaikan.
Penulis menyadari bahwa laporan akhir ini tidak akan tersusun tanpa
bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof.Dr.Ir. H. Musa Hubeis, MS, Dipl.Ing, DEA, selaku ketua Komisi
Pembimbing atas pengarahan, bimbingan dan dorongan dalam penyusunan
dan penyelesaian laporan akhir.
2. Bapak Ir. Budi Purwanto, ME, selaku anggota Komisi Pembimbing yang telah
mengorbankan waktu dan pikirannya dalam melaksanakan bimbingan dan
memberikan perhatian penuh dalam penyusunan laporan akhir ini.
3. Bapak Dr.Ir. Amiruddin Saleh, MS sebagai dosen penguji ujian tesis atas
masukannya.
4. Seluruh staf administrasi dan dosen pengajar PS MPI IPB yang telah
membantu dan membuka cakrawala dan wawasan untuk menggali informasi
lebih mendalam dalam proses penyampaian materi studi.
5. Istri, anak-anak dan seluruh keluarga tercinta yang selalu memberikan do’a
restu, dukungan dan semangat.
6. Seluruh pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan laporan akhir
ini, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak dapat disebutkan
satu persatu.
Penulis berharap bahwa laporan akhir ini dapat memberikan kontribusi
pemikiran bagi semua pihak yang berkepentingan. Oleh karena itu, saran dan
kritik membangun akan diterima bagi perbaikan dan penyempurnaan di masa
mendatang.
R I W A Y A T H I D U P
Penulis dilahirkan di Bandung, Jawa Barat, pada tanggal 24 Juni 1962 dari ayah
Soetarman Wiranegara dan ibu Hj. Anis Rukmanah Wiriatmadja. Penulis merupakan
putra ke empat dari lima bersaudara. Pendidikan Diploma III ditempuh di Jurusan
Manajemen pada Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Perbanas, Jakarta, lulus pada tahun
1985, sedangkan gelar Sarjana Ilmu Sosial ditempuh di Jurusan Ilmu Administrasi
Niaga pada Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Mandala, Jakarta.
Penulis bekerja di PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, sejak tahun 1984
sebagai pegawai trainee pada Bagian Pemasaran. Pada tahun 1985 diangkat sebagai pegawai tetap dan ditempatkan di Divisi Dana sebagai tenaga Pelaksana Administrasi
sampai tahun 1987.
Pada tahun 1988 penulis diberikan kesempatan mengikuti Pendidikan Supervisi
Perbankan Umum selama satu tahun dan pada tahun 1990 penulis diangkat sebagai
tenaga Pelaksana Madya.
Pada tahun 1995 penulis menjabat sebagai Kepala Bagian Penyelesaian Transaksi
di Divisi Tresuri, dua tahun kemudian penulis diberi kepercayaan sebagai Supervisor
Kontrol Internal untuk sektor Internasional dan Tresuri dan pada tahun 1999 melalui
SK. Pemimpin Divisi Treasury, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, penulis dipercaya memimpin Tim Penyelesaian Rekening Penampungan lalu tahun 2004
penulis pindah ke Divisi Kepatuhan sebagai Manajer sampai dengan tahun 2006, sejak
pertengahan tahun 2006 sampai sekarang penulis bertugas di PT. Bank Negara
Indonesia (Persero) Tbk, Kantor Wilayah Palembang dengan pangkat Assistant Vice President dan menjabat sebagai Operational Group Head dengan wilayah supervisi meliputi; Propinsi Sumsel, Propinsi Lampung, Propinsi Jambi, Propinsi Bangka
Belitung dan Propinsi Bengkulu.
Penulis masuk Sekolah Pascasarjana IPB pada Program Studi Industri Kecil
S U R A T P E R N Y A T A A N
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tugas Akhir berjudul: Prospek
Pemasaran dan Kajian Strategi Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro
Swamitra Mina di Kabupaten Cirebon adalah karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
Tugas Akhir ini.
Bogor, Juli 2008
DAFTAR ISI
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Perkembangan Lembaga Keuangan
...
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan ...
6 Jumlah erahu dan kapal motor Kabupaten Cirebon pada tahun 2004 ... .
25
7 Produktivitas menurut jenis alat tangkap Kabupaten Cirebon pada tahun
2004 ...
25
8 Potensi dan pemanfaatan tambak Kabupaten Cirebon 2004 ... 26
9 Indikator kelembagaan
koperasi ...
35
10 Indikator pengelolaan LKM dan non LKM...
36
11 Indikator kapasitas
pemanfaat ...
38
12 Data program PEMP Kabupaten Cirebon TA. 2000-2005...
39
13 Data kelompok masyarakat pemanfaat di Kec. Mundu...
39
14 Angsuran dari awal pinjaman s/d Desember 2006... 40
15 Kinerja keuangan Non LKM berdasarkan beberapa rasio keuangan, Tahun 2004-2006 (per 31
Desember)...
41
16 Laporan keuangan LKM Swamitra Mina Kec. Gebang tahun 2005
44
17 Laporan keuangan LKM Swamitra Mina Kec. Gebang tahun 2006
45
18 Kinerja keuangan LKM Swamitra Mina berdasarkan beberapa rasio-rasio keuangan pada tahun 2005-2006 (per 31
DAFTAR GAMBAR
.
SWOT...
No. Halaman
1 Matriks
IE ...
10
2 Diagram
SWOT ………...
12
3 Diagram Radar rasio
keuangan...
58
4 Diagram Radar rasio total modal terhadap simpanan...
59
5 Diagram Batang struktur modal, BOPO dan ROE...
59
6 Diagram Batang jumlah pinjaman yang disalurkan dan simpanan pada LKM dan Non
LKM...
60
7 Diagram Batang jumlah peminjam dan penabung pada LKM dan non
LKM...
DAFTAR LAMPIRAN
No. Halaman
1 Kuesioner
penelitian...
65
2 Pengisian Matriks berpasangan faktor internal dan eksternal...
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia memiliki satu abad sejarah panjang dalam keuangan mikro,
bila dihitung dari masa penjajahan Belanda. Pada masa tersebut, lembaga
keuangan mikro (LKM) muncul diawali oleh kegiatan masyarakat pedesaan
dengan cara konvensional, yaitu lumbung padi. Lumbung padi adalah cara
penghimpunan padi dari setiap petani di pedesaan yang dikumpulkan menjadi
satu dan dapat diambil ketika musim paceklik atau untuk keperluan
pembeliaan alat-alat tani. Lumbung padi juga sering disebut lumbung desa
yang bertempat di kantor kepala desa. Dalam perkembangannya, hingga saat
ini terdapat berbagai bentuk formal, semi formal dan informal dari LKM.
Sering kali LKM tersebut bercampur dengan program subsidi pemerintah yang
berhubungan dengan pembangunan sektor pertanian yang bertujuan
mengurangi kemiskinan.
Pendekatan pemerintah untuk membangun keuangan pedesaan berjalan
di dua sisi. Di satu sisi, sejak tahun 1970 pemerintah secara aktif campur
tangan dalam menentukan pasar keuangan dengan menciptakan berbagai
program pinjaman dengan persyaratan yang telah diatur untuk setiap
kebutuhan yang terlihat penting. Hal ini dimulai dengan Bimbingan Massal
(Bimas), sebuah program intensifikasi padi, dimana komponen kredit dimulai
pada tahun 1972, yang diikuti dengan program intensifikasi untuk komoditi
lain dan juga berbagai sektor pertanian terkait (BPS, 1999). Peraturan
perbankan pada tahun 1996 telah mengurangi subsidi hanya untuk beberapa
program yang mendukung pengembangan koperasi, menjaga stok pangan dan
swasembada pangan, serta pengembangan wilayah Indonesia Timur, meskipun
demikian, tekanan terhadap penyediaan program bantuan pinjaman tetap
berlangsung, terutama untuk alasan politik (Bukopin 2005). Besarnya jumlah
hutang-hutang bermasalah dan penyalahgunaan dana selama periode Bimas
Koperasi pertanian pernah menjadi model pengembangan pada tahun
1960-an hingga awal tujuh puluhan, namun pada dasarnya koperasi pertanian
di Indonesia diperkenalkan sebagai bagian dari dukungan terhadap sektor
pertanian. Sejak dahulu, sektor pertanian di Indonesia selalu didekati dengan
pembagian atas dasar sub-sektor seperti pertanian tanaman pangan,
perkebunan dan peternakan. Cara pengenalan dan penggerakan koperasi pada
saat itu mengikuti program pengembangan komoditas oleh pemerintah. Hal
tersebut melahirkan koperasi pertanian, koperasi kopra, koperasi karet,
koperasi nelayan dan lain-lain. Dua jenis koperasi yang tumbuh dari bawah
dan jumlahnya terbatas yang ketika itu adalah koperasi peternakan sapi perah
dan koperasi tebu rakyat. Kedua-duanya mempunyai ciri yang sama, yaitu
menghadapi pembeli tunggal pabrik gula dan konsumen kota. Pada sub sektor
pertanian tanaman pangan yang pernah diberi nama “pertanian rakyat” praktis
sebagai alat untuk menggerakkan pembangunan pertanian, terutama untuk
mencapai swasembada beras (Bukopin, 2005).
Hal serupa juga di ulang oleh pemerintah Orde Baru yang mengaitkan
dengan pembangunan desa dan tidak lagi terikat dengan Departemen Pertanian
seperti pada masa Orde Lama dan awal Orde Baru. Tugas koperasi pertanian
ketika itu adalah menyalurkan sarana produksi pertanian, terutama pupuk,
dengan membantu pemasaran yang kesemuanya berkaitan dengan program
pembangunan sektor pertanian.
Perkembangan koperasi pertanian ke depan digambarkan sebagai
“restrukturisasi” koperasi yang ada dengan fokus pada basis penguatan
ekonomi untuk mendukung pelayanan pertanian skala kecil. Oleh karena itu,
konsentrasi ciri umum koperasi pertanian di masa depan adalah koperasi
kredit pedesaan, yang menekankan pada kegiatan jasa keuangan dan simpan
pinjam sebagai ciri umum. Pada saat ini, hampir di semua Koperasi Unit Desa
(KUD), yaitu unit simpan pinjam telah menjadi motor untuk menjaga
kelangsungan hidup Koperasi. Sementara kegiatan pengadaan sarana produksi
dan pemasaran hasil menjadi sangat selektif. Hal ini terkait dengan struktur
pendukung pertanian (jasa penggilingan dan pelayanan lainnya) yang
membatasi insentif berkoperasi.
Di subsektor perdagangan umum misalnya, 80% usaha perdagangan
eceran yang tidak berbadan hukum diwakili oleh 5,2 juta unit usaha hanya
memiliki omset di bawah Rp. 5 juta/tahun, sehingga usaha ekonomi rakyat
lapis bawah ini benar-benar berskala gurem (SMERU, 2000). Program yang
secara bersinggungan mencoba mengatasi masalah ini pada umumnya masih
dikaitkan dengan program penanggulangan kemiskinan. Untuk tidak
mencampuradukan permasalahan, maka tawaran pendekatan yang dapat
dimanfaatkan adalah melihat sisi kehidupan masyarakat ini dari dua sisi, yaitu
pertama, sebagai penduduk aktif maka kegiatan ekonomi baik dalam bentuk
produksi barang maupun jasa harus diperlakukan sebagai usaha mikro,
sehingga tujuan utamanya adalah meningkatkan produktivitas dan kapasitas
produktifnya; Kedua, sebagai rumah tangga konsumen setiap
pendapatan/pengeluaran masyarakat yang masih belum melampaui batas garis
kemiskinan harus diperlakukan sebagai penduduk miskin yang harus
ditingkatkan kondisi kehidupannya hingga melewati batas tersebut (DKP,
2006).
Untuk mendorong usaha mikro disadari bahwa modal bukan
satu-satunya pemecahan, tetapi tetap saja bahwa ketersediaan permodalan yang
secara mudah dapat dijangkau adalah sangat vital, karena pada dasarnya
kelompok inilah yang selalu menjadi korban eksploitasi oleh pelepas uang.
Salah satu penyebabnya adalah ketiadaan pasar keuangan yang sehat bagi
masyarakat lapisan bawah ini, sehingga setiap upaya untuk mendorong
produktivitas oleh kelompok ini, nilai tambahnya terbang dan dinikmati para
pelepas uang. Adanya pasar keuangan yang sehat tidak terlepas dari
keberadaan lembaga keuangan yang hadir di tengah masyarakat.
Lingkaran setan yang melahirkan jebakan ketidakberdayaan inilah yang
menjadi alasan penting, mengapa LKM yang menyediakan pembiayaan bagi
usaha mikro menempati tempat sangat strategis. Oleh karena itu, perlu
masih sangat beragam, disamping hal-hal lainnya yang masing-masing
terkotak-kotak.
Menurut Yusuf (1999), LKM di Indonesia telah membuktikan bahwa :
a. Tumbuh dan berkembang di masyarakat, serta melayani UKM.
b. Diterima sebagai sumber pembiayaan anggotanya (UKM).
c. Mandiri dan mengakar di masyarakat.
d. Jumlah cukup banyak dan penyebarannya meluas.
e. Berada dekat dengan masyarakat, dapat menjangkau (melayani) anggota
dan masyarakat.
f. Memiliki prosedur dan persyaratan peminjaman dana yang dapat dipenuhi
anggotannya (tanpa agunan).
g. Membantu memecahkan masalah kebutuhan dana yang selama ini tidak
dapat dijangkau oleh kelompok miskin.
h. Mengurangi berkembangnya pelepas uang (informal money lenders). i. Membantu menggerakan usaha produktif masyarakat.
j. LKM dimiliki sendiri oleh masyarakat, sehingga setiap surplus yang
dihasilkan oleh LKM bukan bank dapat kembali dinikmati oleh para
nasabah sebagai pemilik.
Keunggulan di atas menyebabkan LKM sangat penting dalam
pengembangan usaha kecil, karena merupakan sumber pembiayaan yang
mudah diakses oleh UKM, terutama usaha mikro. Pelajaran Bank Rakyat
Indonesia (BRI)-Unit sebagai LKM telah memberikan pelayanan sampai ke
pelosok tanah air dengan tingkat bunga pasar dan tidak memerlukan subsidi.
Disamping itu, secara empiris tingkat pengembalian baik, mutu pelayanan
lebih penting, mengenal dan pendekatan kelompok juga terbukti efektif
sebagai pressure group dan mengurangi biaya dan risiko dalam penyaluran. LKM lainnya yang akhir-akhir ini tumbuh pesat adalah lembaga
keuangan syariah yang penyelenggaraannya sesuai dengan prinsip-prinsip
syariat Islam. Lembaga keuangan syariah terdiri dari bank khusus (bank
Muamalat) dan bank lain serta Bank Perkreditan Rakyat-Syariah (BPR-S),
sedangkan yang berbentuk bukan bank terdiri dari Baitul Mal Wa Tamwil
Baitul Tamwil (BTM) yang dikembangkan oleh Baitul Mal Muhammadiyah
dan Koperasi Syirkah Muawanah yang digairahkan oleh pesantren-pesantren.
Status legalnya ada yang berbentuk koperasi, tetapi tidak jarang masih dalam
pembinaan yayasan atau sama sekali tidak terkait dengan institusi
pengembang.
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana mengkaji prospek pemasaran LKM Swamitra Mina di
Kabupaten Cirebon dilihat dari rasio keuangan ?
2. Faktor internal dan eksternal apakah yang diperlukan dalam penyusunan
strategi pengembangan LKM Swamitra Mina di Kabupaten Cirebon ?
3. Bentuk strategi pengembangan bagaimanakah yang diperlukan oleh LKM
Swamitra Mina di Kabupaten Cirebon ?
C. Tujuan
1. Mengkaji sistem pemasaran LKM Swamitra Mina di Kabupaten Cirebon.
2. Mengidentifikasi faktor-faktor internal dan eksternal dari LKM Swamitra
Mina di Kabupaten Cirebon.
3. Menyusun strategi pengembangan LKM Swamitra Mina di Kabupaten
II. TINJAUAN PUSTAKA
Perkembangan Lembaga Keuangan Mikro
Untuk mendukung pengembangan usaha skala kecil, pemerintah
menyediakan Kredit Investasi Kecil (KIK) dan Kredit Modal Kerja Permanen
(KMKP) sejak tahun 1977 melalui bank-bank komersial. Untuk golongan
usaha kecil, Kredit Candak Kulak telah disalurkan melalui KUD, yang sebagian besar dialokasikan untuk perdagangan skala kecil, sementara untuk
kegiatan selain pertanian Kredit Mini dan Kredit Midi tersedia di BRI unit desa. Semua sistem ini disubsidi, dengan menerapkan suku bunga di bawah
rata-rata pasar (kebanyakan sekitar 12%), dan didanai oleh pemerintah atau
Bank Indonesia dengan bunga 3% per tahun. Pada era ini, sebuah kantor
cabang BRI memiliki 126 program kredit dengan kondisi dan persyaratan dan
pelaporan berbeda (Chaves and Vega, 2003).
Program besar selanjutnya yang diperkenalkan adalah Inpres Desa Tertinggal (IDT) antara Tahun 1993-1996, Pembangunan Keluarga Sejahtera
(PKS) pada Tahun 1996-1997 dan KUT yang mencapai puncaknya pada tahun
1998. IDT menyalurkan dana bergulir Rp. 20 juta setiap tahun untuk setiap
desa melalui kelompok masyarakat (Pokmas) untuk mendanai
kegiatan-kegiatan ekonomi produktif (Masyhuri, 1999). Pokmas bebas menentukan
kondisi-kondisi penyaluran dana ke anggotanya.
Pada Maret 1997 sekitar 120.000 pokmas telah terbentuk dan sekitar 3
(tiga) juta rumah tangga telah menerima dana dengan besar rataan Rp. 200.000.
PKS dilaksanakan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN), didanai dari mobilisasi pungutan 2% dari pendapatan-pendapatan
yang lebih dari Rp 100 juta dan dikelola oleh sebuah yayasan dibentuk oleh
mantan Presiden Soeharto. Setiap penerima bantuan, dimana perempuan
diklasifikasikan ke dalam keluarga yang kurang makmur, mendapatkan hibah
Rp 2.000 untuk memulai dan mengisi sebuah rekening penyimpanan, yang
program PKS menyatakan telah mencapai 9,8 juta kepala keluarga pada April
1997. Program yang terbaru adalah Jaring Pengaman Sosial (JPS) untuk
mengurangi dampak dari krisis moneter pada tahun 1999-1999, yang telah
mendapatkan kritikan dan terjadi demonstrasi mahasiswa sehubungan dengan
salah penggalokasian (missallocation) dana di berbagai lokasi (Ismawan dan Budiantoro, 2005).
Perkembangan bentuk dari lembaga-lembaga tersebut, jumlah dari
lembaga keuangan mikro di Indonesia per Desember 2005, terdiri dari 3.916
BRI unit, 5.345 Badan Keuangan Desa (BKD), 2.148 BPR (non BKD), 2,272
Lembaga Dana Kredit Pedesaan (LDKP), 264 pegadaian dan 1.146 koperasi
kredit, serta 35.218 unit simpan pinjam (Tabel 1).
Tabel 1. Beberapa indikator perkembangan LKM
No Jenis LKM Jumlah Sumber : Ismawan dan Budiantoro , 2005.
dtd = data tidak tersedia
Untuk BKD, sejak terdaftar menjadi BPR, pengawasan secara formal
dilakukan oleh Bank Indonesia. Namun, karena kurangnya pegawai dan
menimbang pengalaman panjang BRI dalam mensupervisi cabang-cabangnya,
Bank Indonesia telah mendelegasikan tugasnya kepada BRI untuk
mendampingi dengan dukungan keuangan penuh. Pegadaian diatur sebagai
satu kesatuan dengan pemerintah dan berada di bawah supervisi Menteri
koperasi dan berada dibawah supervisi Menteri Koperasi dan Pengembangan
Usaha Kecil-Menengah (Menkop dan UKM) (Ismawan dan Budiantoro, 2005)
Koperasi Petani dan Nelayan
KUD sebagai koperasi berbasis wilayah pada era reformasi jumlahnya
mencapai 8.620 unit (Departemen Koperasi dan UKM, 2001). Hingga
menjelang dicabutnya Inpres 4/1984 pada tahun 2002, KUD hanya 25% dari
jumlah koperasi yang ada ketika itu, namun dalam hal bisnis mewakili 43%
dari seluruh volume bisnis koperasi di Indonesia. KUD meskipun bukan
koperasi pertanian namun secara keseluruhan dibandingkan koperasi lainnya
tetap lebih mendekati koperasi pertanian dan karakternya sebagai koperasi
berbasis pertanian sangat menonjol. Diantara koperasi yang ada di Indonesia
yang jumlahnya pada tahun 2001 lebih dari 103 ribu unit, KUD termasuk yang
mempunyai jumlah KUD aktif tertinggi (92% atau 7.931 unit). KUD pada saat
ini tidak berbeda dengan koperasi lainnya dan tidak memperoleh privilege
khusus, tidak terikat dengan wajib ikut program sektoral, sehingga pada
dasarnya sudah menjadi koperasi otonomi yang memiliki rataan anggota
terbesar. Pada tahun 2004 jumlah koperasi sudah mencapai 116.000 unit
(Menegkop dan UKM, 2004).
Problematika sektor pertanian di Indonesia akan mempengaruhi corak
pengembangan koperasi pertanian di masa depan, yaitu kurangnya sumber
daya manusia (SDM) yang memadai telah menyebabkan terancamnya
regenerasi, sehingga kegiatan pertanian menurun berpengaruh terhadap
menurunnya produktivitas. Hal ini pula yang menyebabkan permintaan akan
produk LKM melemah. Bukti empiris di dunia mengungkapkan bahwa
pertanian keluarga tidak mampu menopang kesejahteraan yang layak setara
dengan sektor lainnya dalam suasana perdagangan bebas (Shankar and Conan,
2002).
Kekuatan utama Koperasi Nelayan terletak pada kekuatan monopoli
penguasaan tempat pendaratan ikan dan pelelangan oleh pemerintah, maka
masa depannya ditentukan oleh kebijakan daerah bersangkutan. Pemerintah
pendaratan baru. Dengan pengorganisasian atas dasar kesamaan tempat
pendaratan, maka pada dasarnya kekuatannya terletak pada daya tarik tempat
pendaratan. Persoalan yang dihadapi koperasi nelayan ke depan adalah alih
fungsi dari nelayan tangkap menjadi nelayan budidaya, karena hampir
sebagian terbesar perairan perikanan pantai sudah di kategorikan overfishing. Fenomena ini juga terjadi di negara seperti Kanada, Korea Selatan dan Eropa
dimana koperasi nelayan sedang menghadapi situasi surut (DKP, 2006).
Perkembangan dan Model LKM
Sebagaimana dimaklumi, 97% usaha kecil di Indonesia memiliki omset
di bawah Rp. 50 Juta/tahun, meskipun batas atas omset usaha kecil adalah Rp.
1 Miliar. Pada dasarnya, jika Indonesia ingin menjangkau usaha kecil,
terutama usaha kecil-kecil atau usaha mikro tersebut secara khusus perlu
diarahkan perhatiannya pada kelompok ini, karena mewakili lebih dari 33 juta
pelaku usaha. Sampai saat ini hampir belum terlihat adanya program khusus
pemberdayaan usaha mikro, padahal lapisan inilah penyedia lapangan kerja
terbesar di Indonesia. Dalam setiap usaha pemberdayaan usaha kecil ada tiga
aspek penting yang perlu dikembangkan, yaitu pertama, lingkungan kondusif
dan sistem administrasi pemerintahan yang mendukung; kedua, dukungan non
finansial berupa jasa perkreditan; dan ketiga, dukungan finansial yang khusus
ditujukan bagi usaha kecil (Syukur, 2001).
Menurut Syukur (2001), usaha mikro sering digambarkan sebagai
kelompok Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dengan kemampuan
permodalan rendah. Akses UKM terhadap lembaga keuangan formal rendah,
sehingga hanya 12% UKM yang memperoleh akses terhadap kredit bank
karena :
a. Produk bank tidak sesuai dengan kebutuhan dan kondisi UKM.
b. Adanya anggapan berlebihan terhadap besarnya risiko kredit UKM.
c. Biaya transaksi kredit UKM relatif tinggi.
d. Persyaratan bank teknis kurang dipenuhi (agunan dan proposal).
f. Monitoring dan koleksi kredit UKM tidak efisien.
g. Bantuan teknis belum efektif dan masih harus disediakan oleh bank sendiri,
sehingga biaya pelayanan UKM menjadi mahal.
h. Bank pada umumnya belum terbiasa dalam pembiayaan kepada UKM.
Secara singkat kredit perbankan diselenggarakan atas pertimbangan
komersial, sehingga menyebabkan UKM sulit memenuhi persyaratan teknis
perbankan, terutama soal agunan dan persyaratan administratif lainnya.
Kredit mikro dapat diartikan bermacam-macam, karena memang produk
kredit mikro sendiri tidak homogen dan lembaga pelaksananya juga
bermacam-macam bila ditinjau dari segi sifat dan status legalnya.
Perbedaan-perbedaan ini juga merupakan ciri segmentasi pasar yang perlu dipahami dan
bahkan dapat dilihat sebagai mekanisme fungsional dalam pembagian pasar
dan target sasaran. Pemahaman ini diperlukan bagi penetapan kebijakan sesuai
kelompok sasaran yang hendak dituju. Meskipun latar belakang program
pengenalannya sangat terkait dengan munculnya tantangan yang dihadapi
masyarakat ketika itu, namun demikian pembiayaan mikro tetap mempunyai
universalitas sebagai penyedia jasa keuangan bagi usaha mikro dan kecil
(Ismawan dan Budiantoro, 2005).
Perkreditan mikro selain dilihat dari segi produk dan kelembagaannya
juga dapat dilihat dari segi ”permintaan dan penawaran” atau dari sudut
sumber dan penggunaan. Gambaran ini akan menjelaskan pembagian kerja
fungsional antar lembaga perkreditan mikro dengan berbagai kelompok
sasaran berdasarkan tingkat pendapatan dan bahkan dapat sangat terkait
dengan penggunaan kredit. Pendekatan ini sekaligus untuk memahami
dinamika perkembangan lembaga perkreditan mikro bagi pengembangan
ekonomi rakyat (Ismawan dan Budiantoro, 2005).
Pada dasarnya, kredit dapat dibedakan dalam dua sifat penggunaan, yaitu
kredit produktif dan konsumtif. Untuk melihat sejauh mana sektor-sektor
ekonomi produktif memberikan tanda adanya permintaan pasar yang kuat
perlu dikaji struktur ekonomi masing-masing sektor berdasarkan atas pelaku
usaha, disamping itu kaitannya dengan sasaran ekspor dan tersedianya dana
dan kesesuaian dengan kebutuhan pengusaha mikro (Ismawan dan Budiantoro,
2005).
Berdasarkan nilai kredit besarnya kredit yang tergolong ke dalam kredit
mikro lazimnya disepakati oleh perbankan untuk pinjaman sampai dengan Rp.
50 juta/ nasabah. Ada yang berpendapat bahwa dalam masyarakat perbankan
internasional kredit mikro dapat mencapai maksimum US$ 1.000,-. Di
Thailand baru dalam taraf pilot project oleh Bank for Agriculture Cooperative
(BAC) menetapkan kredit mikro adalah kredit dengan jumlah maksimum Bath
100.000/nasabah atau setara dengan US$ 2.500,-. Dengan demikian, kredit
mikro pada dasarnya menjangkau pengusaha kecil lapis bawah yang memiliki
usaha dengan perputaran cepat (Ismawan dan Budiantoro, 2005).
Lembaga perkreditan mikro di Indonesia pada dasarnya ada dua
kelompok besar, yakni pertama, bank seperti BRI unit dan BPR yang
beroperasi sampai ke pelosok tanah air; dan kelompok yang kedua adalah
koperasi, baik koperasi simpan pinjam yang khusus melayani jasa keuangan
maupun unit usaha simpan pinjam dalam berbagai macam koperasi.
Disamping itu terdapat LKM lain yang diperkenalkan oleh berbagai lembaga,
baik pemerintahan seperti seperti Lembaga Kredit Desa, Badan Kredit
Kecamatan dan lain-lain, maupun swasta/ lembaga non pemerintah seperti
yayasan, LSM, dan LKM lainnya termasuk lembaga keagamaan (Yusuf, 1999).
Pemasaran
Konsep dari pemasaran telah berkembang, bukan hanya sejedar menjual
atau beriklan melainkan ”memuaskan kebutuhan pelanggan”. Jika pemasar
memahami kebutuhan pelanggan dengan baik; mengembangkan produk yang
mempunyai nilai superior; dan menetapkan harga, mendistribusikan, dan
mempromosikan produknys dengan efektif, maka produk (barang atau jasa)
akan terjual dengan mudah. Jadi, sebenarnya penjualan dan periklanan
hanyalah bagian dari bauran pemasaran (marketing mix) yang lebih besar-satu set perangkat pemasaran yang bekerja bersama-sama untuk mempengaruhi
Lebih lanjut, Kotler dan Amstrong (1999) menjelaskan bahwa
pemasaran didefinisikan sebagai suatu proses sosial dan manajerial yang
membuat individu dan kelompok memperoleh apa yang dibutuhkan dan
inginkan, lewat penciptaan dan pertukaran timbal balik produk dan nilai
dengan orang lain. Konsep pemasaran (marketing concept) mengatakan bahwa untuk mencapai tujuan organisasi tergantung pada penentuan kebutuhan dan
keinginan pasar sasaran (target market) dan memuaskan pelanggan secara lebih efektif dan efisien daripada yang dilakukan oleh pesaing.
Strategi Pengembangan
Faktor lingkungan sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan
pencapaian sasaran suatu organisasi atau perusahaan, untuk itu pengelola
organisasi harus dapat mengantisipasi perubahan lingkungan yang sangat
cepat dewasa ini dan dapat menetapkan alternatif kebijakan yang akan diambil
dalam rangka penyesuaian dengan perubahan lingkungan tersebut. Dalam
menghadapi perubahan yang dihadapi maka seorang manajer strategi harus
melakukan analisa yang dalam terhadap semua sumber daya organisasi.
Perubahan lingkungan juga akan dihadapi oleh instansi pemerintahan sehingga
memaksa mereka untuk dapat melakukan penyesuaian dalam rangka
menghadapi perubahan tersebut.
Menurut Jauch dan Glueck (1988), strategi merupakan suatu rencana
yang dipadukan secara menyeluruh dan terpadu dengan mengkaitkan
keunggulan strategi perusahaan terhadap tantangan lingkungan yang dirancang
sesuai dengan lingkungan, agar tujuan perusahaan dapat tercapai melalui
pelaksanaan yang tepat oleh perusahaan. Selanjutnya Jauch dan Glueck (1988)
mengatakan untuk menentukan strategi maka perlu analisis lingkungan.
Analisis lingkungan adalah suatu proses yang digunakan dalam perencanaan
strategik dalam upaya memantau sektor lingkungan untuk menentukan
peluang dan ancaman terhadap usaha.
Purnomo dan Zulkieflimansyah (1999) merinci beberapa manfaat dari
manajemen strategi, yaitu :
2. Membantu proses identifikasi, pemilihan prioritas, dan eksploitasi
3. Memberikan kerangka kerja sehingga dapat meningkatkan koordinasi dan
pengendalian
4. Mengarahkan dan membentuk budaya perusahaan
5. Kebijakan yang diambil akan taat azas
6. Mengintegrasikan perilaku individu ke dalam perilaku kolektif
7. Meminimalkan adanya resiko karena adanya perubahan
8. Menciptakan kerangka kerja dalam komunikasi internal
9. Memberikan disiplin dan formalitas manajemen
Tahap kegiatan manajemen strategi menurut Wheelen dan Hunger (2000)
mencakup empat tahap, yaitu :
1. Environmental scanning, yaitu melakukan monitoring, menghimpun dan evaluasi terhadap faktor-faktor lingkungan internal dan lingkungan
eksternal yang mempengaruhi perusahaan atau organisasi.
2. Formulasi strategi, yaitu menyusun suatu perencanaan dengan prinsip
manajemen yang efektif berdasarkan analisa terhadap ancaman dan
peluang, kemudian meminimalkan ancaman dan memanfaatkan peluang.
Selanjutnya dilakukan analisa terhadap kekuatan dan kelemahan dan
berupaya seoptimal mungkin untuk memanfaatkan kekuatan, serta
mengeliminir kelemahan. Dalam kegiatan ini termasuk mendefinisikan
misi perusahaan, menetapkan tujuan yang spesifik, menyusun strategi dan
menciptakan kebijakan yang dapat mendukung pencapaian sasaran.
3. Implementasi strategi, yaitu dalam hal ini strategi dan kebijakan yang
dibuat kemudian dijabarkan ke dalam suatu program, anggaran pendanaan
dan membuat uraian tugas.
4. Evaluasi dan kontrol, yang merupakan kegiatan monitoring terhadap
pelaksanaan dan melakukan tindakan korektif, bila ditemukan
penyimpangan.
Dari hasil analisis lingkungan dapat ditentukan formulasi strategi, yaitu
merupakan cara atau arah suatu perusahaan untuk mencapai tujuan yang
Zulkieflimansyah (1999), bahwa sebelum menentukan formulasi strategi,
maka beberapa pertanyaaan mendasar yang harus dijawab oleh manajer
perusahaan, dimana pertanyaaan tersebut harus mampu menyediakan
kerangka umum untuk menganalisa situasi perusahaan-perusahaan secara
obyektif agar dapat menentukan formulasi strategi yang efektif.
III. METODE KAJIAN
Lokasi dan Waktu
Tugas akhir ini dilaksanakan di Kabupaten Cirebon sebagai penerima
PEMP selama 5 tahun dan terdapat dua pola, yaitu menggunakan LKM dan
Non LKM.
Kajian ini dilakukan pada bulan November 2007 hingga Februari 2008,
dengan kegiatan meliputi pengumpulan dan pengolahan data, kajian pustaka,
penelitian lapangan, penulisan laporan dan konsultasi dengan pembimbing.
Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan terdiri data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh dari hasil wawancara langsung dengan pengelola Koperasi
Lembaga Ekonomi Pedesaan (LEP-M3) dan LKM, serta wawancara kepada
nasabah. Data primer mencakup data internal Koperasi dan LKM seperti
laporan keuangan, kondisi nasabah, perkembangan LKM dari awal sampai
sekarang dan strategi pengelolaan. Data nasabah didapatkan melalui alat bantu
kuesioner (Lampiran 1) berupa keadaan nasabah, pendapatan, tingkat
kesejahteraan, keadaan usaha kecil dan kesempatan berusaha. Jumlah nasabah
peminjam sebanyak 18 orang akan dijadikan contoh yang merupakan
perwakilan (ketua kelompok) dari kelompok nelayan pemanfaat.
Data sekunder dikumpulkan melalui berbagai buku dan literatur yang
berhubungan dengan topik yang akan dibahas dan bermanfaat sebagai data aktual,
dijadikan sebagai tolok ukur. Data sekunder lainnya berupa laporan dari koperasi
dan LKM, diantaranya posisi kredit koperasi dan LKM, khususnya kredit mikro.
Jenis data yang dimaksud mencakup :
1. Data umum seperti potensi usaha kecil perikanan Kabupaten Cirebon yang
meliputi lokasi, kondisi fisik, komposisi nasabah, rataan pendapatan dan
lama berusaha.
2. Data tentang pandangan terhadap perbankan, faktor pendukung atau
penghambat bagi akses nasabah pada LKM swamitra Mina di Kabupaten
Cirebon.
Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan data dan analisis data dilakukan secara deskriptif
kuantitatif (tabulasi keuangan) dan kualitatif (analisis pemasaran dan strategi
pengembangan)
Hal – hal yang dilakukan dalam analisis ini adalah :
a. Karakteristik LKM Swamitra Mina.
Kajian ini dilakukan untuk menentukan hal-hal berikut :
1. Bentuk model LKM yang ada.
2. Sektor ekonomi/usaha yang ditekuni oleh peminjam.
3. Pola kebutuhan akan pinjaman. Informasi ini akan menjelaskan waktu
kapan mulai dibutuhkannya pinjaman.
b. Analisis Lingkungan Pemasaran
Lingkungan pemasaran terbagi atas lingkungan eksternal dan internal.
Lingkungan eksternal terdiri atas berbagai faktor ancaman dan peluang
yang berada di luar kontrol LKM, sementara lingkungan internal terdiri
atas berbagai faktor kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh LKM dan
berada di dalam kontrol manajemen.
Lingkungan eksternal yang dominan terdiri dari lima faktor, yaitu (1)
sosioekonomi yang terdiri dari data kondisi ekonomi, demografi dan sosial;
(2) teknologi berupa tingkat kemajuan teknologi; (3) pemasok meliputi
sistem pembelian dan harga bahan baku; (4) pesaing meliputi ancaman
industri; (5) pemerintah meliputi kebijakan pemerintah, dukungan sarana
dan prasarana bagi perkembangan UKM.
Lingkungan internal yang dominan terdiri dari enam faktor, yaitu (a)
Misi dan tujuan berupa data mengenai misi dan tujuan dari LKM; (b)
Struktur organisasi meliputi data mengenai pola dan struktur organisasi; (c)
Fasilitas dan kegiatan menghasilkan produk jasa; (d) SDM meliputi data
mengenai jumlah karyawan dan kompetensi; (e) Sumber daya keuangan
meliputi aspek permodalan; (f) Bauran pemasaran meliputi data produk,
harga, distribusi dan promosi. Dalam analisis lingkungan pemasaran ini
dibandingkan antara LKM Swamitra Mina dengan LKM Kecamatan
Mundu.
c. Analisis Strategi Pengembangan
Analisis Strengths, Weaknesses, Opportunities dan Threats (SWOT) dilakukan untuk merumuskan strategi yang perlu diimplementasikan.
Analisis ini menggolongkan faktor-faktor lingkungan yang dihadapi oleh
suatu perusahaan sebagai kombinasi dari faktor kelemahan (weaknesess) dan ancaman (threats), kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities).
Kekuatan merupakan sumber daya, keterampilan atau
keunggulan-keunggulan lain relatif terhadap pesaing dan kebutuhan pasar yang
dilayani atau ingin dilayani oleh perusahaan. Kekuatan adalah kompetisi
khusus (distinctive competence) yang memberikan keunggulan komparatif bagi perusahaan. Kekuatan dapat terkandung dalam sumber daya keuangan,
citra, kepemimpinan pasar, hubungan pembeli dengan pemasok dan
faktor-faktor lain (Pearce dan Robinson, 2001).
Kelemahan menurut Pearce dan Robinson (2001), merupakan
keterbatasan atau kekurangan dalam sumber daya, keterampilan dan
kemampuan yang dapat menghambat kinerja efektif perusahaan.
Sumber-sumber kelemahan tersebut dapat meliputi fasilitas, Sumber-sumber daya keuangan,
kemampuan manajemen, keterampilan pemasaran dan citra produk.
Peluang merupakan situasi penting yang menguntungkan dalam
lingkungan industri (Pearce dan Robinson, 2001). Perkembangan trend
pasar yang terabaikan, perubahan situasi persaingan atau peraturan,
perubahan teknologi, serta membaiknya hubungan antara pembeli dengan
pemasok dapat memberikan peluang bagi perusahaan.
Ancaman merupakan suatu situasi penting yang tidak menguntungkan
dalam lingkungan industri. Ancaman merupakan pengganggu utama bagi
posisi perusahaan, misal masuknya pesaing baru, lambatnya pertumbuhan
pasar, meningkatnya kekuatan tawar-menawar pembeli atau pemasok
utama, perubahan teknologi dan peraturan baru yang direvisi dapat
menjadi ancaman bagi keberhasilan perusahaan. Secara umum analisis
SWOT dapat dijabarkan dalam Tabel 3.
Strategi pemasaran terdiri dari prinsip-prinsip dasar yang melandasi
manajemen untuk mencapai tujuan bisnis dan permasalahannya dalam
sebuah pasar sasaran, bauran pemasaran dan alokasi pemasaran (Kotler,
2000).
Tabel 2. Matriks SWOT
IFAS
Opportunities (O) Faktor-faktor peluang
Strategi S-O (Strategi Agresif) Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan
untuk memanfaatkan peluang
Strategi W-O (Strategi Diversifikasi) Ciptakan strategi yang
meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang
Threats (T) Faktor – faktor
ancaman
Strategi S-T (Strategi Diferensiasi) Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan
untuk memanfaatkan ancaman
Strategi W-T (Konsolidasi/Defensif) Ciptakan strategi yang
meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman.
Sumber : Rangkuti, 2004
Keterangan : Internal Factor Analysis Summary(IFAS)
External Factor Analysis Summary(EFAS)
Data yang diperoleh diklasifikasikan secara kualitatif menurut
LKM, serta analisis lingkungan eksternal untuk mengetahui peluang dan
ancaman yang dihadapi LKM. Daftar peluang dan ancaman, serta
kekuatan dan kelemahan tersebut harus dievaluasi. Untuk mengevaluasi
peluang dan ancaman dapat digunakan matriks Evaluasi Faktor Strategi
Eksternal atau EFAS dan untuk mengevaluasi kekuatan dan kelemahan
menggunakan matriks Evaluasi Faktor Strategi Internal atau IFAS
(Rangkuti, 2004)
Evaluasi terhadap faktor strategi eksternal menggunakan matriks
EFAS (Tabel 4). Terdapat beberapa langkah yang harus dilakukan untuk
mengevaluasi berbagai faktor strategi eksternal yang mempengaruhi LKM.
Langkah-langkah tersebut adalah :
1) Susunlah dalam kolom 1 (5-10 peluang dan ancaman).
2) Beri bobot masing-masing faktor dalam kolom 2, mulai dari 1,0
(sangat penting) sampai dengan 0,0 (tidak penting). Faktor-faktor
tersebut kemungkinan dapat memberikan dampak terhadap faktor
strategik.
3) Hitung rating (kolom 3) untuk masing-masing faktor dengan
memberikan skala mulai dari 4 (outstanding) sampai dengan 1 (poor) berdasarkan pengaruh faktor tersebut terhadap kondisi perusahaan
yang bersangkutan. Pemberian nilai rating untuk faktor peluang
bersifat positif (peluang yang semakin besar diberi rating +4, tetapi
jika peluangnya kecil, diberi rating +1). Pemberian nilai rating
ancaman adalah kebalikannya. Misalnya, jika nilai ancamannya sedikit,
maka ratingnya 4.
4) Kalikan bobot pada kolom 2 dengan rating pada kolom 3, untuk
memperoleh faktor pembobotan dalam kolom 4. Hasilnya berupa skor
pembobotan untuk masing-masing faktor yang nilainya bervariasi
mulai dari 4,0 (outstanding) sampai dengan 1,0 (poor).
5) Gunakan kolom 5 untuk memberi komentar atau catatan mengapa
faktor tertentu dipilih dan bagaimana skor pembobotannya.
6) Jumlahkan skor pembobotan (kolom 4), untuk memperoleh total skor
menunjukkan bagaimana perusahaan tertentu bereaksi pada
faktor-faktor strategik eksternal. Total skor ini dapat digunakan untuk
membandingkan perusahaan ini dengan perusahaan lainnya dalam
kelompok industri yang sama.
Total skor terbobot antara 1-4, nilai 1 pada matriks EFAS
menunjukkan bahwa LKM tidak mampu memanfaatkan peluang untuk
menghindari ancaman. Nilai 4 mengindikasikan bahwa LKM saat ini telah
dengan sangat baik memanfaatkan peluang untuk menghadapi
ancaman-ancaman yang ada. Nilai 2,5 menggambarkan kondisi LKM mampu
merespon situasi eksternal secara rataan untuk matriks EFAS.
Evaluasi terhadap faktor strategi internal menggunakan matriks IFAS
(Tabel 4). Terdapat beberapa langkah yang harus dilakukan untuk
mengevaluasi berbagai faktor strategi internal yang mempengaruhi LKM.
Langkah-langkah tersebut adalah : tentukan faktor-faktor yang menjadi
kekuatan dan kelemahan perusahaan dalam kolom 1.
Tabel 3. Matrik EFAS
Faktor-Faktor
Tabel 4. Matrik IFAS
B. Kelemahan : 1.
2.
Jumlah (B) Total (A+B)
Matriks Internal-Eksternal (IE) mengindikasikan 9 sel strategi (Gambar 2),
tetapi umumnya kesembilan sel tersebut dapat dikelompokkan menjadi
tiga strategi utama. Strategi tersebut adalah :
1) Strategi pertumbuhan (Growth Strategy), merupakan kondisi pertumbuhan perusahaan (sel 1, 2 dan 5) atau upaya diversifikasi (sel 7
dan 8).
2) Strategi Stabilitas (Stability Strategy) adalah strategi yang diterapkan tanpa mengubah arah strategi yang diterapkan dengan tanpa mengubah
arah strategi yang telah diterapkan.
3) Strategi Penciutan (Retrenchment Strategy) adalah usaha untuk memperkecil atau mengurangi usaha yang dilakukan perusahaan (sel 3,
6 dan 9).
Kuat Rataan Lemah
4,0 3,0 2,0 1,0
Tinggi
I II III
Sedang
IV V VI
VII VIII IX
d. Analisis Diagram Radar.
Diagram radar (spider chart) merupakan cara sederhana untuk menentukan apakah suatu sebab akibat terjadi di antara dua peubah.
Total Skor Faktor Internal
3,0
2,0
1,0
Gambar 1. Matriks IE (Rangkuti, 2004)
Total Skor Faktor Ekst
ernal
Diagram ini berguna untuk menunjukkan hubungan antara titik-titik yang
dipetakan dan menggambarkan hubungan antara dua peubah. Diagram ini
juga membantu memeriksa korelasi dari penyebab yang kontinu terhadap
suatu karakteristik mutu. Diagram radar digunakan untuk membandingkan
analisis pemasaran pada LKM Swamitra Mina. Hal lainnya digunakan
untuk menunjukkan ukuran gap lima sampai sepuluh area kinerja organisasi. Gambar diagram ini menunjukkan kategori penting sebuah
kinerja dan membuat konsentrasi yang nyata tentang kekuatan dan
kelemahan.
Analisis pemasaran adalah menganalisis bagian-bagian secara
terperinci pada harga (price), produk (product), tempat (place), promosi (promotion), SDM (personality) dan fisik (physical). Hasil akhir dari diagram radar dapat menunjukkan bagaimana sebuah tim dapat terevaluasi
dalam angka kinerja organisasi dalam bentuk sebuah gambar kinerja.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Umum
1. Keadaan umum Kabupaten Cirebon
Kabupaten ini merupakan Kabupaten di pantai utara Jawa Barat yang
terdekat di bagian paling Timur. Kabupaten ini terletak antara
108º32’-108º49’ BT dan 6º00’-7º00’ LS. Sebelah utara dibatasi Kota Cirebon dan
Laut Jawa, sebelah timur dibatasi Kabupaten Brebes Provinsi Jawa Tengah,
sebelah Selatan dibatasi Kabupaten Kuningan, sebelah Barat dibatasi
Kabupaten Majalengka dan Indramayu.
Konsentrasi kegiatan kelautan ada di 7 Kecamatan, yaitu Kapetakan,
Cirebon Utara, Mundu, Astanajapura, Pangenan, Gebang, dan Losari.
Jumlah Rumah Tangga Perikanan (RTP) mencapai 4.602 orang (18,82%).
Kecamatan Gebang memiliki jumlah RTP terbesar dan sekaligus proporsi
RTP terbesar pula (Tabel 5), sedangkan Kecamatan Astanajapura tidak
diperoleh informasi yang pasti.
Kecamatan Jumlah (org) Nisbah* RTP RTBP Total
1. Kapetakan 638 2.275 2.913 21.90
2. Cirebon Utara 818 3.694 4.512 18.13
3. Mundu 689 4.265 4.954 16.15
4. Astanajapura
5. Pangenan 302 1.446 1.748 20.89
6. Gebang 2.830 7.245 9.075 39.06
7. Losari 325 925 1.250 26.00
Total 4.602 19.850 24.452 18.82
Sumber : Laporan Tahunan LKM Swamitra Mina Kecamatan Gebang, 2003, dalam LEPP-M3, 2006.
Keterangan: Nisbah = persentase RTP terhadap Total RTP = Rumah Tangga Perikanan RTBP = Rumah Tangga Bukan Perikanan
Seluruh RTP itu terlibat dalam kegiatan penangkapan. Indikasi itu
ditunjukkan dengan jumlah perahu yang relatif sebanding dengan jumlah
RTP (Tabel 6). Para nelayan menggunakan alat yang beragam. Tabel 6
menunjukkan jenis alat tangkap, produksi, dan frekuensi melaut setiap bulan.
Produksi tertinggi dicapai oleh nelayan dengan alat tangkap jaring insang
hanyut, dogol dan rawai tetap. Pengumpul kerang juga berhasil mencapai
tingkat produksi cukup tinggi (LEPP-M3, 2006).
Tabel 6. Jumlah perahu dan kapal motor Kabupaten Cirebon pada tahun 2004
Kecamatan Jumlah (unit)
Motor
Sumber : DKP Kab. Cirebon, 2006
Tabel 7. Produktivitas menurut jenis alat tangkap Kabupaten Cirebon pada tahun 2004
Jenis Alat Jumlah (unit)
Produksi (ton) Frekuensi (trip/bln)
1. Payang 401 2.178 11
3. Pukat Rantai 4 219 13
4. Jaring Insang Hanyut 1.864 13.596 10
5. Jaring Lingkar 221 1.059 8
6. Jaring Insang Tetap 2.634 1.799 16
7. Trammel Net 2.204 1.430 15
8. Bagan Tancap 180 774 13
9. Rawai Tetap 185 5.250 14
10. Pengumpul Kerang 1.080 3.681 10
Total 9.100 40.850
Sumber : DKP Kab. Cirebon, 2006
Potensi tambak di Kabupaten Cirebon cukup besar, yaitu mencapai
7.500 ha, yang baru dimanfaatkan 68,56% (Tabel 8). Potensi yang masih
tersedia dalam jumlah besar adalah di Kecamatan Losari dan Pangenan.
Pengembangan tambak Udang, tambak Bandeng dan rumput laut tersebar di
Kecamatan Kapetakan, Gebang, Losari, Astanajapura, Pangenan, Cirebon
Utara dan Mundu. Untuk pengembangan tambak udang dan bandeng
tersedia lahan 500 Ha, tersebar di Kecamatan Kapetakan, Babakan, Losari,
Astanajapura dan Cirebon utara. Bendung Karet di Kapetakan serta rencana
Bendung Karet di Bondet dan Losari akan menunjang pembudidayaan
perikanan air tawar ini.
Tabel 8. Potensi dan pemanfaatan tambak Kabupaten Cirebon 2004
Kecamatan Potensi (ha)
Pemanfaatan
Ha %
1. Losari 2.500 1.382 55,28
2. Gebang 600 491 81,83
3. Pangenan 1.834 1.074 58,56
4. Astanajapura 66 28 42,42
5. Mundu 100 71 71,00
6. Cirebon Utara 300 185 61,67
7. Kapetakan 2.100 1.911 91,00
Total 7.500 5.152 68,56
Sumber : DKP Kab. Cirebon, 2006
Di Kabupaten Cirebon terdapat 813 unit pengolahan ikan, yang
tersebar di 9 kecamatan (Tabel 8). Pengolah ikan itu pada umumnya
berskala rumah tangga. Selain itu, terdapat 7 perusahaan pengolah hasil
perikanan skala industri, yang mengolah jenis produk berikut :
2. Udang beku (1 perusahaan).
3. Chitin/chitosan (1 perusahaan).
4. Teri nasi (2 perusahaan).
5. Daging rajungan (2 perusahaan).
PEMP 2001 disalurkan kepada 6 KMP yang beranggotakan 70 orang.
Lokasi PEMP adalah Kecamatan Cirebon Utara (Desa Mertasinga, Grogol,
dan Jatimerta) dan Kecamatan Kapetakan (Desa Karangreja). Jenis usaha
yang dilayani adalah penangkapan ikan.
PEMP 2002 disalurkan kepada 16 KMP yang beranggotakan 181
orang. Lokasi PEM adalah Kecamatan Pangenan (Desa Pengarengan) dan
Kecamatan Gebang (Desa Gebang Mekar dan Gebang Ilir). Jenis usaha yang
dilayani adalah :
1. Budidaya bandeng.
2. Pembuatan terasi.
3. Pengolahan ikan.
4. Galangan perahu.
5. Penangkapan ikan.
6. Penangkapan keong macan.
PEMP 2003 disalurkan kepada 26 KMP yang beranggotakan 482
orang. PEMP dikonsentrasikan di Kecamatan Mundu (Desa Mundu Pesisir,
Bandengan, Citemu, dan Waruduwur) dan Kecamatan Losari (Desa
Tawangsari). Selain itu, dibangun juga 2 unit SPDN, yaitu di Kapetakan dan
Gebang, masing-masing dengan kapasitas 8,000 liter.
PEMP 2004 disalurkan kepada perseorangan yang dinilai bankable
untuk menerima dana kredit. Tercatat ada 42 debitur, yang pada umumnya
berlokasi di Kecamatan Gebang dan Losari. Sebanyak 40 debitur adalah
pedagang, sedangkan nelayan hanya 2 debitur.
LKM Swamitra Mina di Kabupaten Cirebon terletak di
tengah-tengah perkampungan nelayan di Kecamatan Gebang Ilir. LKM Swamitra
Mina merupakan unit simpan-pinjam milik seluruh masyarakat pesisir yang
direpresentasikan oleh Koperasi. LKM Swamitra Mina dikelola secara
memperoleh pelatihan dari Bank Bukopin. Dengan pendampingan Bank
Bukopin Cabang, Swamitra Mina diharapkan akan menjadi lembaga LKM
terkemuka di daerah pesisir, yang mudah diakses oleh para nelayan dan
masyarakat pesisir.
Sebagai konsekuensi dari kepemilikan Swamitra Mina, maka
nelayan dan masyarakat pesisir akan mendapatkan sisa hasil usaha (deviden)
setiap tahun dari keuntungan Swamitra Mina. Selain itu, melalui Swamitra
Mina dana masyarakat dapat dimobilisasi melalui tabungan dengan tingkat
suku bunga yang kompetitif serta dana dari sumber lain, untuk akhirnya
disalurkan kembali ke masyarakat pesisir dari lembaga keuangan lainnya.
Swamitra Mina merupakan proses pembelajaran bagi nelayan dan
masyarakat pesisir untuk mengakses dana dari pihak perbankan, begitu pula
sebaliknya proses pembelajaran bagi perbankan dalam mengakses
masyarakat pesisir.
2. LKM Swamitra Mina
Tidak dapat disangkal lagi bahwa masyarakat pesisir merupakan
segmen anak bangsa yang paling tertinggal tingkat kesejahteraannya
dibandingkan dengan anak bangsa lainnya yang bergelut di sektor non
perikanan. Betapa tidak, nelayan kecil yang jumlahnya cukup banyak
mendiami wilayah pesisir mempunyai pendapatan hanya sekitar Rp
300.000,-/bulan/keluarga. Memang sungguh ironis, padahal wilayah pesisir
sangat kaya sumber daya kelautan dan perikanan serta jasa kelautan lainnya.
Ditengarai bahwa kejadian ini terjadi karena lemahnya masyarakat pesisir
dalam mengakses permodalan.
Keterbatasan akses permodalan ditandai dengan realisasi modal
melalui investasi pemerintah dan swasta selama periode Pembangunan
Jangka Panjang Tahap Pertama (PJPT I) yang hanya 0,02 % dari
keseluruhan modal pembangunan. Konsekuensinya, terutama nelayan,
kebutuhan permodalan dipenuhi oleh para tengkulak, toke, atau ponggawa,
yang kenyataannya tidak banyak menolong untuk meningkatkan
kesejahteraan mereka, malah cenderung menjeratnya dalam lilitan utang
Melihat kenyataan ini, Departemen Kelautan dan Perikanan
menginisiasi program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP).
Program ini pun berhasil mengangkat pendapatan dan kesejahteraan
masyarakat pesisir. Sukses yang diraih itu belum memuaskan, karena ada
obsesi untuk menjadikan profesional dan mandiri para pengelola Koperasi
LEPP-M3. Untuk itu Departemen Kelautan dan Perikanan bekerjasama
dengan PT. BANK BUKOPIN mendirikan sebuah LKM Swamitra Mina.
Hadirnya lembaga ini di masyarakat pesisir akan menjadi lokomotif
permodalan bagi masyarakat pesisir. Lembaga ini telah hadir di 139
kabupaten/kota. Launching LKM Swamitra Mina telah dilaksanakan dan diresmikan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi pada
tanggal 12 Desember 2004 di Cilincing, Jakarta Utara.
Cikal bakal pelaksanaan program Swamitra Mina bermula dari
program PEMP. Pada tahun 2004 program PEMP mendapat kucuran dana
sebesar Rp 140 milyar untuk mengakomodir 160 kabupaten/kota. Adapun
pagu untuk Dana Ekonomi Produktif (DEP) yang digunakan sebagai
penguatan modal sebesar Rp 98.347.592,000 yang dikelola melalui LKM
Swamitra Mina, BPR-Pesisir, dan USP. Adapun jumlah LKM Swamitra
Mina yang ada saat ini sebanyak 139 buah yang kesemuanya adalah
Koperasi LEPP-M3/Koperasi Perikanan yang telah berbadan hukum.
Dengan status berbadan hukum, maka telah memenuhi persyaratan
perundang-undangan yang mensyaratkan bahwa untuk menyerap dana
masyarakat dan memberikan pinjaman kepada masyarakat hanyalah
lembaga perbankan dan koperasi yang berbadan hukum. Tentu bukan itu
saja persyaratan yang harus dimiliki LKM Swamitra Mina. Selain berbadan
hukum, juga harus mempunyai SDM yang profesional untuk mengelolanya,
sebab pelaksanaan transaksi di LKM ini dilakukan pula secara profesional,
yaitu penggunaan perangkat Teknologi Informasi. Dengan demikian semua
transaksi yang terjadi di LKM Swamitra Mina sudah dapat dimonitoring
secara real time dan on time.
Dipilihnya Bank Bukopin sebagai Bank Pelaksana didasarkan bahwa
sukses di daerah pedesaan seluruh Indonesia. Yang lebih penting bahwa
Bank Bukopin punya komitmen untuk berperan sebagai executor dan menyalurkan 100% dana ekonomi produktif yang dimiliki Koperasi
LEPP-M3. Selain itu bank ini juga berkomitmen untuk mengadakan pelatihan dan
pendampingan bagi pengelola LKM Swamitra Mina.
Dengan kerja keras yang dilakukan Departemen Kelautan dan
Perikanan, kini telah berdiri 139 LKM Swamitra Mina di wilayah pesisir.
Dari 139 ini sampai pertengahan Februari 2005 tercatat 60 LKM Swamitra
Mina telah melakukan transaksi pinjaman kepada masyarakat, dan
diharapkan pada akhir Maret semua LKM ini telah melakukan transaksi
kepada masyarakat pesisir. Adapun bunga pinjaman yang diterapkan di
lembaga ini bervariasi antara 12 – 24% secara efektif per tahun. Bunga
pinjaman ini dirasakan masyarakat pesisir cukup kompetitif. Begitu pula
variasi bunga pinjaman ini sangat dipengaruhi oleh situasi, kondisi, dan
kesepakatan masyarakat pesisir setempat.
Memang disadari bahwa dalam mengelola Swamitra Mina yang
lokasinya berada jauh di wilayah pesisir, diperlukan dua tipe pengelolaannya
yaitu online dan offline. Apabila di lokasi tersedia jaringan telepon yang secara mutu dapat dilalui dengan data, maka LKM Swamitra Mina bersifat
online. Begitu pula apabila daerah tersebut tidak mampu mendapatkan jaringan yang layak untuk data, maka dikelola secara offline. Walaupun statusnya offline tetap disediakan sarana komunikasi. Artinya pencatatan secara komputerisasi tetap dilakukan, hanya data tersebut pada waktu
tertentu di upload atau dikirim rata-rata 1 - 2 minggu sekali, kemudian digabungkan dengan data yang online dan disatukan kemudian dikirim ke Jakarta.
LKM Swamitra Mina merupakan salah satu unit usaha milik koperasi
yang bergerak di bidang pelayanan permodalan bagi masyarakat pesisir,
terutama untuk segmen usaha mikro. Unit usaha ini bermitra dengan Bank
Bukopin dengan orientasi pelayanan permodalan berbasiskan sistem
usaha keuangan dapat berjalan secara profesional, transparan, dapat dipantau
setiap saat, baik di tingkat pusat maupun daerah (Bukopin, 2005).
Pengembangan kelembagaan LKM ini sesuai dengan tahapan PEMP,
yaitu :
a. Tahap Inisiasi pada tahun 2001 – 2003,
b. Tahap Institusionalisasi pada tahun 2004 – 2006,
c. Tahap Diversifikasi pada tahun 2007 – 2009.
Tahap institusionalisasi yang dimulai pada tahun 2004-2006 telah
terbentuk LKM, antara lain 141 unit Swamitra Mina (41 unit di antaranya
beroperasi dengan sistem online), 9 unit Unit Simpan-Pinjam (USP) dan 20 unit BPR pesisir. Pada tahun 2005 sebanyak 80 unit LKM dikembangkan
melalui diversifikasi usaha. Usaha-usaha yang dikembangkan adalah
pembangunan Solar Packed Dealer untuk Nelayan (SPDN) dan Kedai Pesisir yang tersebar di beberapa daerah. Tujuannya adalah agar Koperasi
LEPP-M3/Koperasi Perikanan dapat mengarah kepada cita-cita untuk
menjadi holding company (DKP, 2006).
Tahap institusionalisasi ditandai dengan perluasan lokasi sasaran
Program PEMP melalui pembentukan LKM di 20 Kabupaten/Kota yang
baru. Pada saat ini, kegiatan LKM dikerjasamakan dengan berbagai lembaga
perbankan dan non perbankan, seperti Bank Bukopin, Bank BRI, Bank
Pembangunan Daerah (Maluku dan Papua), dan PT Permodalan Nasional
Madani (PNM). Sesuai dengan tujuannya, maka untuk daerah khusus seperti
Nangro Aceh Darussalam (NAD) direncanakan pula menciptakan micro finance dan bekerjasama dengan lembaga perbankan berbasis syariah (PT Bank Mandiri Syariah). Adapun pembangunan SPDN bekerjasama dengan
PT Pertamina dan PT Elnusa Petrofin dan untuk Kedai Pesisir bekerja sama
dengan Distributor Ritel (DKP, 2006).
Swamitra Mina merupakan unit simpan-pinjam milik seluruh
masyarakat pesisir yang direpresentasikan oleh Koperasi
LEPP-M3/Koperasi Perikanan lainnya. Swamitra Mina dikelola secara profesional
pelatihan dari Bank Bukopin. Dengan pendampingan Bank Bukopin Cabang,
Swamitra Mina diharapkan akan menjadi lembaga keuangan mikro
terkemuka di daerah pesisir, yang mudah diakses oleh para nelayan dan
masyarakat pesisir lainnya.
Sebagai konsekuensi dari kepemilikan Swamitra Mina, maka nelayan
dan masyarakat pesisir akan mendapatkan sisa hasil usaha (deviden) setiap tahun dari keuntungan Swamitra Mina. Selain itu, melalui Swamitra Mina
dana masyarakat dapat dimobilisasi melalui tabungan dengan tingkat suku
bunga yang kompetitif serta dana dari sumber lain, untuk akhirnya
disalurkan kembali ke masyarakat pesisir dari lembaga keuangan lainnya.
Swamitra Mina merupakan proses pembelajaran bagi nelayan dan
masyarakat pesisir untuk mengakses dana dari pihak perbankan, begitu pula
sebaliknya proses pembelajaran bagi perbankan dalam mengakses
masyarakat pesisir.
Agar masyarakat pesisir dapat mengakses dengan mudah LKM
Swamitra Mina serta mengelola secara efesien modal yang telah
diperolehnya, maka disediakan tenaga pendamping desa (TPD)
masing-masing dua orang tiap kabupaten/kota. TPD tersebut terdiri atas
sarjana-sarjana baru yang sebelumnya dilatih secara nasional. Selain itu, juga
disediakan Konsultan Manajemen (Perguruan Tinggi, LSM, atau lembaga
konsultan profesional) untuk membantu mengembangkan dan meningkatkan
kinerja kelembagaan dan pemasaran.
Hadirnya LKM Swamitra Mina di wilayah pesisir, maka secara
bertahap peran tengkulak dan rentenir akan berkurang sehingga LKM dapat
memobilisasi dana masyarakat dengan adanya suku bunga tabungan yang
menarik. Dengan lancarnya pengelolaan LKM Swamitra Mina maka
perlahan tapi pasti bantuan modal yang disalurkan di masyarakat pesisir
bukan lagi berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN),
tapi dari LKM Swamitra Mina itu sendiri. Sehingga LKM Swamitra Mina
semakin dilirik oleh lembaga keuangan lainnya untuk bermitra mengakses
permodalan. Dengan demikian LKM Swamitra Mina sebagai lokomotip
membangun usaha sektor perikanan dan kelautan (Direktorat PEMP – Ditjen
P3K, 2005).
B. Deskripsi Hasil Studi
1. Analisis kelembagaan non LKM dan LKM.
Peran pelaksana lembaga ini akan sangat menentukan kondisi
lembaga keuangan. Berbagai permasalahan muncul ketika kegiatan usaha
dilaksanakan seperti kredit macet, kinerja pengguna jasa yang rendah dan
kurangnya pengawasan dari lembaga itu sendiri. Kondisi yang spesifik di
masyarakat pesisir membutuhkan pemahaman khusus dari pihak lembaga
keuangan. Beberapa hal yang sangat berpengaruh dalam masyarakat nelayan
dan pesisir. Hal ini perlu diperhatikan untuk pengembangan aquabisnis
masyarakat nelayan. Keunikan tersebut meliputi (1) kehidupan masyarakat
nelayan dan petani ikan sangat tergantung pada ekosistem dan lingkungan
yang sangat rentan pada kerusakan seperti pencemaran dan degradasi kualitas
lingkungan, (2) sangat tergantung pada musim, dan (3) sangat tergantung
pasar. Kondisi ini menimbulkan risiko yang cukup besar pada
kesinambungan permodalan usaha. Akibatnya akan menjadi sangat susah
bagi nelayan untuk mengakses berbagai permodalan yang ada. Bagi lembaga
keuangan memberikan akses permodalan akan memiliki risiko dalam
akumulasi modal usaha serta pengembangan lembaga tersebut. Dampak pada
lembaga ini akan dapat mempengaruhi kinerja lembaga keuangan yang ada.
LKM dan Non LKM terbentuk melalui program PEMP .Dalam
pedoman umum PEMP selalu disebutkan, bahwa pemberdayaan ekonomi
masyarakat pesisir itu perlu didorong melalui tiga inisiatif, yaitu perbaikan
manajemen, perbaikan teknologi, dan perbaikan akses masyarakat pada
modal. Artinya, segala program pemberdayaan PEMP itu dirancang sebagai
bentuk perbaikan tiga komponen di atas. Dalam prakteknya, kebijakan
permodalan masyarakat pesisir telah berkembang menjadi jiwa program
PEMP. Pemberian modal ‘secara komersial’ telah menjadi penciri program