• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tindakan Aborsi Terhadap Kehamilan Akibat Perkosaan Dan Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tindakan Aborsi Terhadap Kehamilan Akibat Perkosaan Dan Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia"

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)

TINDAKAN ABORSI TERHADAP KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAN DAN KAITANNYA DENGAN HAK ASASI MANUSIA

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan

Memenuhi Syarat-syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

ELVIRA FRANSISCA BU’ULOLO

NIM : 110200208

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

TINDAKAN ABORSI TERHADAP KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAN DAN KAITANNYA DENGAN HAK ASASI MANUSIA

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

ELVIRA FRANSISCA BU’ULOLO

NIM : 110200208

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui Oleh,

Ketua Departemen Hukum Pidana

M. HAMDAN, S.H., M.Hum. NIP. 195703261986011001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

LIZA ERWINA, S.H., M.Hum. Dr. M. EKAPUTRA S.H., M.Hum. NIP. 196110241989032002 NIP. 197110051998011001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

ABSTRAK

Elvira Fransisca Bu’ulolo*1

Berkenaan dengan penelitian ini dapat diajukan saran sebagai berikut;

Pertama, hendaknya pengaturan hukum tindakan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan dapat disosialisasikan dengan sebaik-baiknya sehingga pelaksanaan aturan ini kelak dapat semakin efektif. Kedua, sebaiknya pemerintah membuat suatu undang-undang tentang tata cara penanganan bayi-bayi yang lahir dari kehamilan akibat perkosaan. Ketiga, hendaknya ada pengkajian ulang terhadap peraturan tersebut mengenai pengecualian pelaksanaan aborsi.

Liza Erwina**

Mohammad Ekaputra***

Skripsi yang berjudul “Tindakan Aborsi Terhadap Kehamilan Akibat Perkosaan dan Kaitannya dengan Hak Asasi Manusia”, dilatarbelakangi oleh kebijakan pemerintah yang mengeluarkan aturan tindakan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan sebagai upaya perlindungan terhadap hak-hak korban perkosaan dan meminimalisir tindakan aborsi secara ilegal, namun hal ini bertentangan dengan hak asasi janin sehingga menimbulkan dilema bagi para praktisi dalam penerapannya. Adanya kebijakan tersebut disebabkan tingginya kejahatan perkosaan yang mengakibatkan banyaknya korban perkosaan yang menderita secara fisik, mental dan sosial, terlebih jika korbannya hamil akibat perkosaan tersebut, banyak diantaranya yang menginginkan aborsi. Permasalahan dalam penulisan skripsi ini dapat dirumuskan sebagai berikut; Pertama, bagaimana pengaturan hukum aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan.

Kedua, bagaimana tindakan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan dan kaitannya dengan hak asasi manusia. Ketiga, bagaimana pandangan praktisi mengenai tindakan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan.

Metode penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah dengan menggunakan jenis penelitian hukum normatif dengan menggunakan data sekunder berupa buku-buku, tulisan, dokumen resmi, laporan hasil penelitian, dan data pendukung berupa wawancara dengan para informan terkait.

Dari penulisan skripsi ini maka dapat diketahui bahwa; Pertama, pengaturan hukum aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan terdapat dalam KUHP yang melarang segala bentuk tindakan aborsi dengan alasan apapun, terdapat pengecualian pelaksanaan aborsi dalam UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan PP Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Kedua, tindakan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan jika dikaitkan dengan HAM mencakup hak janin dan hak perempuan korban perkosaan yang tidak dapat dikesampingkan. Ketiga, pandangan beberapa praktisi mengenai tindakan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan adalah tidak setuju serta perlu pengkajian ulang peraturan tersebut.

* Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. ** Dosen Pembimbing I, Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas

segala berkat dan penyertaan-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Tindakan Aborsi Terhadap Kehamilan

Akibat Perkosaan dan Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia”, dengan lancar dan

tepat waktu sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum di

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dewasa ini kejahatan perkosaan marak terjadi dan menimbulkan derita

fisik, mental, dan sosial bagi korban, terlebih jika korbannya hamil akibat

perkosaan tersebut, banyak diantaranya yang memilih melakukan aborsi, termasuk

memilih melakukan aborsi secara ilegal. Untuk menanggulangi hal tersebut

pemerintah mengeluarkan aturan pengecualian tindakan aborsi terhadap

kehamilan akibat perkosaan sebagai upaya perlindungan terhadap hak-hak korban

perkosaan dan meminimalisir tindakan aborsi secara ilegal, namun disisi lain

aturan ini bertentangan dengan hak asasi janin sehingga menimbulkan dilema bagi

para praktisi dalam penerapannya. Oleh sebab itu, skripsi ini diharapkan dapat

memberikan tambahan pengetahuan dan informasi mengenai pengaturan hukum

tindakan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan dan kaitannya dengan hak

asasi manusia.

Dalam penyajian skripsi ini tentu banyak mengandung kekurangan dan

kelemahan. Untuk itu penulis berharap kritik dan saran yang bersifat membangun

(5)

Pada kesempatan ini penulis tidak lupa menyampaikan ucapan terima

kasih, penghargaan dan rasa hormat kepada semua pihak yang turut baik secara

langsung maupun tidak langsung memberikan bantuan kepada penulis sejak awal

penulis menjalani perkuliahan hingga selesainya penyusunan skripsi ini, penulis

mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan

I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin S. Hasibuan, S.H., M.H., DFM, selaku Pembantu Dekan

II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. OK. Saidin, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan III

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak M. Hamdan, S.H., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum

Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum

Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus selaku

Dosen Pembimbing I penulis, yang telah mengajar penulis sejak awal

perkuliahan serta bersedia meluangkan waktu untuk membimbing dan

mengarahkan penulis dalam menyusun dan menyelesaikan skripsi ini.

7. Bapak Dr. Mohammad Ekaputra, S.H., M.Hum., selaku Dosen

(6)

membimbing, mengoreksi dan memberikan arahan kepada penulis dalam

menyelesaikan penulisan skripsi ini.

8. Bapak Dr. Faisal Akbar Nasution, S.H., M.Hum., selaku Dosen

Pembimbing Akademik penulis selama menjalani perkuliahan di Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

9. Kedua orangtua penulis yang tercinta, terkasih dan tersayang, Papa Drs.

Ferdinand Bu’ulolo dan Mama Ratna Juita Marunduri, S.H., terimakasih

karena telah melimpahi penulis dengan cinta dan kasih sayang, dukungan

moril dan materil, serta doa yang tiada hentinya bagi penulis.

10.Raymond Saptahari yang tercinta, selalu menemani, menyemangati,

menguatkan, membawa sukacita, menginspirasi, serta memberikan

dukungan dan masukan kepada penulis dalam keseharian dan dalam

menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

11.Bapak dr. Honazaro Marunduri, Sp.Og., selaku Dokter Spesialis Obstetri

Ginekologi pada Rumah Sakit Umum Daerah Gunungsitoli, yang telah

meluangkan waktunya untuk diwawancarai dan berbagi pengetahuan

dengan penulis.

12.Bapak Fatizaro Zai, S.H., selaku Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan

Negeri Gunungsitoli, yang telah meluangkan waktunya untuk

diwawancarai dan berbagi pengetahuan dengan penulis.

13.Ibu Elisabeth Juniarty Perangin-angin, S.H., selaku Koordinator Bidang

(7)

meluangkan waktunya untuk diwawancarai dan berbagi pengetahuan

dengan penulis.

14.Segenap staf pengajar di Fakultas Hukum USU yang sangat berjasa dalam

mengajar penulis mengenai konsep dan pemahaman yang mendalam dari

ilmu hukum. Tanpa jasa Bapak dan Ibu Dosen, penulis tidak dapat

menyelesaikan studi dan proses penulisan skripsi ini.

15.Staf administrasi dan pendidikan, serta seluruh pegawai perpustakaan

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang begitu berbaik hati dan

ramah dalam melayani mahasiswa.

16.Sahabat-sahabat penulis, Innes Ruth Wahyuni Zega als Booty, Gabriel

Grace Hutahaean, Dian Lestari Hura, Santa Angeline Situmeang, Novriani

Tarigan, Fransisca Kosasih, Dyna Sri Wahyuni Hasibuan, Yulian Astri,

David Sinurat dan Nurul Ayu Rezeki, terimakasih atas kebersamaan dan

dukungan yang diberikan kepada penulis. Juga kepada Winda Sembiring,

Tunggul Sihotang, Lasman Napitupulu, terimakasih telah bersedia

menjawab banyak sekali pertanyaan-pertanyaan penulis sehubungan

dengan penyusunan skripsi ini.

17.Seluruh kader DPC Permahi Medan, seluruh kader GMKI FH USU, serta

seluruh mahasiswa stambuk 2011 yang bersama-sama dengan penulis

berjuang menjalani kehidupan akademik dan kepanitiaan, semoga semua

teman-teman cepat lulus dan kita bersama-sama sukses kedepannya.

18.Semua pihak yang telah membantu baik ketika menjalani masa

(8)

juga menguatkan dan mendoakan ketika penulis sempat kehilangan

harapan. Dengan banyaknya bantuan yang diterima, penulis meminta maaf

sedalam-dalamnya karena tidak dapat menyebutkan satu per satu.

Akhir kata penulis ucapkan sekali lagi terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada semua pihak, kiranya Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberkati kita

semua. Besar harapan penulis kiranya skripsi ini dapat bermanfaat bagi setiap

pembacanya. Amin.

Medan, 17 Maret 2015

Penulis,

(9)

DAFTAR ISI

Abstrak ... i

Kata Pengantar ... ii

Daftar Isi ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penulisan ... 11

D. Manfaat Penulisan ... 11

E. Keaslian Penulisan ... 12

F. Tinjauan Kepustakaan ... 13

G. Metode Penelitian ... 22

H. Sistematika Penulisan ... 25

BAB II PENGATURAN HUKUM TINDAKAN ABORSI TERHADAP KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAN A. Sejarah Singkat Aborsi di Beberapa Negara di Dunia ... 27

B. Pengaturan Hukum Aborsi Terhadap Kehamilan Akibat Perkosaan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ... 36

C. Pengaturan Hukum Aborsi Terhadap Kehamilan Akibat Perkosaan Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan ... 46

D. Pengaturan Hukum Aborsi Terhadap Kehamilan Akibat Perkosaan Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014Tentang Kesehatan Reproduksi ... 54

BAB III TINDAKAN ABORSI TERHADAP KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAN DAN KAITANNYA DENGAN HAK ASASI MANUSIA A. Kaitan Tindakan Aborsi dengan Hak Asasi Manusia ... 64

B. Hak Janin ... 67

C. Hak Wanita Korban Perkosaan ... 71

BAB IV PANDANGAN PRAKTISI MENGENAI TINDAKAN ABORSI TERHADAP KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAN A. Efektifitas Tindakan Aborsi Terhadap Kehamilan Akibat Perkosaan ... 83

B. Pandangan Praktisi Mengenai Tindakan Aborsi Terhadap Kehamilan Akibat Perkosaan ... 87

(10)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 105 B. Saran ... 107

Daftar Pustaka

Lampiran

(11)

ABSTRAK

Elvira Fransisca Bu’ulolo*1

Berkenaan dengan penelitian ini dapat diajukan saran sebagai berikut;

Pertama, hendaknya pengaturan hukum tindakan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan dapat disosialisasikan dengan sebaik-baiknya sehingga pelaksanaan aturan ini kelak dapat semakin efektif. Kedua, sebaiknya pemerintah membuat suatu undang-undang tentang tata cara penanganan bayi-bayi yang lahir dari kehamilan akibat perkosaan. Ketiga, hendaknya ada pengkajian ulang terhadap peraturan tersebut mengenai pengecualian pelaksanaan aborsi.

Liza Erwina**

Mohammad Ekaputra***

Skripsi yang berjudul “Tindakan Aborsi Terhadap Kehamilan Akibat Perkosaan dan Kaitannya dengan Hak Asasi Manusia”, dilatarbelakangi oleh kebijakan pemerintah yang mengeluarkan aturan tindakan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan sebagai upaya perlindungan terhadap hak-hak korban perkosaan dan meminimalisir tindakan aborsi secara ilegal, namun hal ini bertentangan dengan hak asasi janin sehingga menimbulkan dilema bagi para praktisi dalam penerapannya. Adanya kebijakan tersebut disebabkan tingginya kejahatan perkosaan yang mengakibatkan banyaknya korban perkosaan yang menderita secara fisik, mental dan sosial, terlebih jika korbannya hamil akibat perkosaan tersebut, banyak diantaranya yang menginginkan aborsi. Permasalahan dalam penulisan skripsi ini dapat dirumuskan sebagai berikut; Pertama, bagaimana pengaturan hukum aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan.

Kedua, bagaimana tindakan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan dan kaitannya dengan hak asasi manusia. Ketiga, bagaimana pandangan praktisi mengenai tindakan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan.

Metode penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah dengan menggunakan jenis penelitian hukum normatif dengan menggunakan data sekunder berupa buku-buku, tulisan, dokumen resmi, laporan hasil penelitian, dan data pendukung berupa wawancara dengan para informan terkait.

Dari penulisan skripsi ini maka dapat diketahui bahwa; Pertama, pengaturan hukum aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan terdapat dalam KUHP yang melarang segala bentuk tindakan aborsi dengan alasan apapun, terdapat pengecualian pelaksanaan aborsi dalam UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan PP Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Kedua, tindakan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan jika dikaitkan dengan HAM mencakup hak janin dan hak perempuan korban perkosaan yang tidak dapat dikesampingkan. Ketiga, pandangan beberapa praktisi mengenai tindakan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan adalah tidak setuju serta perlu pengkajian ulang peraturan tersebut.

* Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. ** Dosen Pembimbing I, Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(12)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Era yang semakin maju dan berkembang secara global seperti sekarang ini

menuntut manusia untuk semakin cerdas. Manusia baik sebagai makhluk individu

maupun secara berkelompok selalu berusaha melakukan inovasi untuk

menciptakan segala sesuatu yang dapat mempermudah kehidupannya.

Pertumbuhan yang pesat dalam perkembangan kehidupan manusia tidak hanya

dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga dalam bidang hukum,

politik, ekonomi, dan sosial, serta sendi-sendi moral dan budaya dalam kehidupan

manusia, yang juga semakin bergeser. Sehingga pada era modernisasi dan

globalisasi seperti sekarang ini, hukum menjadi salah satu kebutuhan pokok untuk

mengatur kehidupan manusia yang semakin kompleks.

Hukum dan aturan semakin banyak diciptakan seiring dan sejalan dengan

semakin beragamnya kejahatan yang terjadi. Salah satunya adalah tindak pidana

perkosaan, yang melanggar norma-norma dan kaidah-kaidah kesusilaan dan

kepatutan didalam masyarakat. Kemudahan yang ditawarkan oleh teknologi

berupa internet membuat manusia dapat dengan mudah mengakses dan

mengunduh hal-hal yang berbau pornografi dan pornoaksi.

Pornografi dan pornoaksi dapat memicu dan merupakan provokator

tindakan-tindakan agresivitas seksual sebagai akibat lepasnya kontrol diri.2

2

Dadang Hawari, Aborsi Dimensi Psikoreligi, (Jakarta , Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : 2009), hlm 26-27.

Oleh karena itu

(13)

provokasi pornografi dan pornoaksi yang terbuka terus-menerus dan melampaui

batas seperti keadaan dewasa ini dapat berdampak pada salah satunya adalah

kejahatan perkosaan.

Kejahatan perkosaan tidak hanya timbul sebagai akibat dari penyalahgunaan

teknologi dan komunikasi, penyebab lain mulai dari kesenjangan sosial dan

ekonomi, pendidikan moral dan seksual yang kurang, hingga perkosaan yang

terjadi lantaran berbagai hal, salah satunya karena dipicu oleh korban yang

kebanyakan wanita yang menggunakan busana yang minim, busana yang terlalu

ketat dan terbuka, tata rias tebal, pandangan menggoda dan lainnya menjadi

pemicu terjadi kejahatan perkosaan.

Perkosaan pada dasarnya adalah suatu tindakan kekerasan dengan penghinaan,

dan bukan suatu perbuatan seksual yang intim3. Perkosaan meliputi pula suatu

perbuatan sanggama terhadap korban yang tidak menghendaki secara paksa dan

dengan kekerasan, juga sanggama melalui dubur dan felasio (dengan mulut) dapat

dilakukan dengan kekerasan dan paksaan sehingga dapat disebut perkosaan juga4

Sebagian besar dari pemerkosa adalah laki-laki, dan sebagian besar korban

adalah perempuan. Perkosaan yang dilakukan oleh perempuan terhadap laki-laki

berkisar pada umur 16 (enam belas) hingga 24 (dua puluh empat) tahun,

sedangkan korban perkosaan oleh laki-laki terhadap perempuan antara umur 15

(lima belas) bulan hingga 82 (delapan puluh dua) tahun. Sejumlah sedikit lebih

dari sepertiga semua perkosaan dilakukan oleh pemerkosa yang dikenal oleh .

3

Harold I. Kaplan, dan Benjamin J. Sadock, Pocket Handbook of Emergency Psychiatric

Medicine, terjemahan Wicaksono M. Roan, Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat, (Jakarta, Widya

Medika : 1998), hlm 399. 4

(14)

korbannya, 7 % (tujuh persen) oleh anggota keluarga dekat. Seperlima dari semua

perkosaan dilakukan oleh lebih dari satu pemerkosa yang disebut perkosaan

berkelompok (gang rape)5. Ada juga perkosaan yang terjadi diantara dua orang yang bertalian darah yang dinamakan perkosaan incest.6

Anggota divisi statistik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Enrico Bisogno

menyatakan berdasarkan sebuah survey setidaknya ada 5 (lima) negara didunia

dengan kasus pemerkosaan paling tinggi, antara lain: 7

a. India

Dalam waktu 4 (empat) dekade perkosaan sudah meningkat 10 (sepuluh) kali lipat. Di New Delhi sendiri setiap minggu ada satu kasus perkosaan yang dilaporkan, dan diduga masih banyak kasus lain yang belum terlihat dipermukaan. Hasil survey oleh kelompok Hak Asasi Amnesty International mengatakan, dalam data 2013, dalam waktu 1 (satu) bulan sekitar 3.760 kasus terjadi di seantero India. Ini artinya setiap 22 (dua puluh dua) menit sekali ada perempuan tengah mendapat kekerasan seks. b. Lesotho

Lesotho adalah sebuah negara kecil di wilayah Afrika Selatan, sekitar 88,6% perkosaan terjadi di tiap 100.000 (seratus ribu) penduduk pada Tahun 2011 menurut laporan PBB. Korban kekerasan seksual dibungkam, sekitar 37% laki-laki dewasa melakukan tindakan perkosaan dan sekitar 7 – 9 % melakukan perkosaan beramai-ramai.

c. Swedia

Sekitar 69% kasus terjadi dari 100.000 (seratus ribu) penduduk pada Tahun 2012, angka ini naik dibandingkan tahun sebelumnya. Selama dua dekade terakhir perkosaan meningkat 4 (empat) kali lipat dan korbannya adalah sekitar 4.000 (empat ribu) orang remaja berusia 15 (lima belas) tahun.

d. Selandia Baru

Sekitar 30% kasus perkosaan terjadi pada 2012, polisi mencatat sekitar 3.466 kasus di tahun yang sama.

e. Belgia

Menurut laporan PBB, dalam rentang Tahun 2009 hingga Tahun 2011 jumlah kasus kekerasan seksual meningkat sekitar 20%. Lebih parah lagi, sekitar 11.170 kasus perkosaan dilaporkan dalam 2 (dua) tahun namun

5

Ibid, hlm 399.

6

Eva Ellya Sibagariang, dkk, Kesehatan Reproduksi Wanita, (Jakarta, Trans Info Media : 2010), hlm 204.

7

(15)

hanya sekitar 2.542 kasus yang ditangani oleh kepolisian Brussels. Dua tahun lalu PBB juga mencatat 11 (sebelas) kasus perkosaan terjadi setiap harinya.

Komnas Perempuanmencatat dalam kurun tahun 1998 – 2010, kasus

kekerasan di Indonesia yang dilaporkan mencapai 400.939 kasus. Seperempatnya

adalah kasus kekerasan seksual, yakni 93.960 kasus. Total kasus kekerasan

seksual sebanyak 93.960 kasus, sejumlah 4.845 kasus diantaranya adalah kasus

perkosaan.8 Lebih dari 3/4 dari total kasus kekerasan seksual, dilakukan oleh

orang-orang terdekat korban, seperti ayah, suami, kakak laki-laki, paman, kakek,

dan pacar. Sejumlah 70.115 kasus dari 93.960 kasus kekerasan seksual tersebut

dialami oleh perempuan sebagai korban.9

Korban perkosaan di Medan Sumatera Utara pada triwulan pertama tahun

2012 cukup banyak, pada umumnya adalah anak yang beranjak dewasa diusia 12

tahun ke atas. Pada tiga bulan pertama diawal Tahun 2012, Yayasan Pusaka

Indonesia mencatat ada 9 korban perkosaan terhadap anak. Kota Medan

menempati peringkat teratas terjadinya kasus perkosaan tersebut, yaitu sebanyak 3

korban. Kasus perkosaan ini diibaratkan seperti gunung es, yang tampak seolah

mengerucut di atas, tetapi melebar ke bawah.10

Pengaturan hukum mengenai perkosaan di Indonesia terdapat dalam KUHP

(yang selanjutnya disebut KUHP) dalam Pasal 285 yang menyatakan,

“Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan

8

http://sosbud.kompasiana.com/2013/11/02/di-indonesia-perkosaan-terjadi-12-kali-sehari-607081.html diakses tanggal 29 September 2014.

9

https://id.berita.yahoo.com/komnas-4-845-kasus-perkosaan-terjadi-di-indonesia-053800795.html diakses tanggal 29 September 2014.

10

(16)

yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa,

dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun”. Ancaman pidana

selama-lamanya dua belas tahun tersebut tidak membuat para pelaku perkosaan

menjadi takut dan jera. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya kasus-kasus

perkosaan yang terjadi ditengah masyarakat.

Korban perkosaan didominasi oleh kaum wanita dan banyak diantaranya yang

menyebabkan kehamilan bagi korban, namun tidak semua kejahatan perkosaan

langsung dapat menyebabkan kehamilan. Dapat dikatakan konsepsi hasil

perkosaan tersebut jarang dapat terjadi. Beberapa hal yang menjadi penyebab,

antara lain, yang pertama, wanita tidak sedang dalam masa suburnya. Kedua,

wanita menggunakan alat kontrasepsi atau menjalani sterilisasi. Ketiga, trauma

dan ketakutan serta perlawanan saat perkosaan terjadi mungkin menyebabkan

terjadinya perubahan hormon, pengerutan tuba falopi11 yang dapat mengagalkan ovulasi ataupun pembuahan karena perkosaan tidak selalu berupa hubungan intim

yang komplit. Keempat, proses keluarnya sperma pemerkosa tidak terjadi, atau

karena pemerkosa tidak subur, tetapi hal-hal tersebut tidak menutup kemungkinan

adanya kehamilan setelah seorang wanita diperkosa.12

Korban perkosaan tidak hanya terluka secara fisik, tetapi juga secara mental

terlebih apabila setelah mengalami kejahatan perkosaan tersebut, korban harus

menghadapi kenyataan pahit bahwa ia mengandung janin dari si pemerkosa.

11

Tuba Falopi adalah sepasang saluran yang berada pada rongga panggul, diantara rahim

dan indung telur, panjangnya sekitar 7,5-10 cm. Saluran ini berperan dalam pembuahan. Pengerutan atau penyumbatan tuba falopi menyebabkan sel telur tidak dapat dibuahi sperma atau embrio yang terbentuk tidak dapat masuk ke rahim untuk berkembang. Kondisi ini yang membuat kehamilan sulit terjadi.

12

(17)

Opini, sikap, penilaian, dan tekanan dari masyarakat juga menjadi hal yang

seringkali membuat korban sulit untuk memilih kemungkinan lain selain

satu-satunya jalan keluar yaitu dengan melakukan aborsi.

Tidak semua wanita korban perkosaan melakukan aborsi, ada diantaranya

yang memilih untuk melahirkan dan membesarkan bayinya, tetapi sangat sedikit

jika dibandingkan dengan korban yang sebenarnya sangat ingin melakukan aborsi

setelah positif hamil akibat perkosaan. Banyak wanita yang ketika meneruskan

kehamilannya justru menimbulkan masalah. Tidak hanya terkait kondisi

psikologis ibu, tapi juga janin dalam kandungan. Efek trauma berat akibat

perkosaan menjadi salah satu pemicu stres ganda atau bahkan depresi. Keadaan

demikian dapat menjadi potensi membahayakan jiwa ibu yang sedang

mengandung, maupun janin, sangat besar, seperti kemungkinan bunuh diri dan

ketergantungan pada obat-obatan penenang. Kondisi psikologis ibu yang

terganggu akan menyumbang kelainan janin dalam kandungan, dan obat-obatan

penenang sangat berbahaya untuk janin.13

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)

memperkirakan ada sekitar 2.000.000 (dua juta) kasus aborsi yang terjadi setiap

tahunnya di Indonesia.

Banyak wanita yang hamil akibat perkosaan memutuskan melakukan aborsi

secara ilegal sebelum adanya perlindungan hukum dan aturan yang tegas

mengenai pelaksanaan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan.

14

13

http://m.inilah.com/read/detail/2128957/banyak-wanita-hamil-akibat-perkosaan-ingin-aborsi diakses tanggal 29 September 2014

14

http://www.aborsi.org/statistik.html diakses tanggal 29 September 2014.

(18)

kematian tertinggi di Asia Tenggara disaat melahirkan, dan dari 100.000 (seratus

ribu) angka kelahiran, 307 orang ibu meninggal akibat aborsi.15

15

http://news.detik.com/surabaya/read/2009/11/24/163720/1247989/466/angka-kematian-akibat-aborsi-di-indonesia-tertinggi-se-asia-tenggara diakses tanggal 29 September 2014.

Pengaturan hukum mengenai aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan

tidak ada aturannya didalam KUHP. Pasal 346, 347, 348 dan 350 KUHP

menjelaskan dengan tegas bahwa setiap orang tidak dibenarkan melakukan aborsi

dengan alasan apapun. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang

Kesehatan mengatur pula mengenai aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan

yang di atur di dalam Pasal 75, 76, dan 77. Pasal-Pasal tersebut menjelaskan

bahwa setiap orang dilarang melakukan aborsi, kecuali karena adanya indikasi

medis dan terhadap kehamilan akibat perkosaan, dengan batasan-batasan tertentu

yang tidak boleh dilanggar, misalnya aborsi hanya dapat dilaksanakan terhadap

kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi

korban perkosaan itu sendiri, kondisi kehamilan maksimal 6 (enam) minggu

setelah hari pertama haid terakhir, serta upaya aborsi harus dilakukan oleh tenaga

kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu, dan dilakukan

sesuai dengan tanggungjawab profesi serta pertimbangan dari tim ahli. Ketentuan

pidana pada Pasal 194 dalam Undang-Undang Kesehatan tersebut menyatakan,

bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana

penjara paling lama (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.

(19)

Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi

(yang selanjutnya disebut PP) disahkan dan ditandatangani oleh Presiden Susilo

Bambang Yudhoyono pada tanggal 21 Juli 2014 merupakan aturan pelaksanaan

dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Beberapa Pasal

yang mengatur mengenai pelaksanaan aborsi terhadap wanita korban perkosaan

dalam PP tersebut, antara lain, dalam BAB IV Pasal 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38,

dan 39.

Terkait dengan disahkannya PP tersebut, Nafsiah Mboi, Menteri

Kesehatan yang menjabat saat itu, menyatakan :16

Tindakan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan tersebut jika dilihat dari

sudut pandang hak asasi manusia, melanggar hak hidup janin, hak untuk

mempertahankan hidup, serta hak untuk tumbuh dan berkembang janin. Tetapi

disisi lain, wanita sebagai korban perkosaan juga memiliki hak asasi manusia

berupa hak atas kesehatan, termasuk didalamnya hak atas kesehatan reproduksi,

yaitu berupa keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial secara utuh, tidak

semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan sistem,

fungsi, dan proses reproduksi. Wanita juga berhak untuk mendapatkan keturunan,

termasuk juga hak untuk tidak mendapatkan keturunan, hak untuk hamil, hak

untuk tidak hamil, dan hak untuk menentukan jumlah anak yang diinginkan.

“Disahkannya PP Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi adalah untuk menghormati hak wanita, terutama korban kejahatan seksual seperti perkosaan. Wanita tidak boleh dikorbankan dua kali, diperkosa dan diharuskan untuk memelihara bayinya hingga dewasa. Perkosaan adalah kejahatan seksual. Jika wanita diharuskan untuk hamil dan memelihara anak tersebut hingga dewasa, hak perempuan itu dilanggar.”

16

(20)

Aturan-aturan yang bertentangan dalam pelaksanaan aborsi terhadap korban

perkosaan ini antara lain terdapat didalam Sumpah Dokter butir (6), dikatakan:

“Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai saat pembuahan”. Kode Etik

Kedokteran Indonesia (KODEKI) Pasal 1 mengatakan : “Setiap dokter wajib

menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dan atau janji dokter”,

serta Pasal 11 dikatakan : “Setiap dokter wajib senantiasa mengingat kewajiban

dirinya melindungi hidup makhluk insani”.17

Peraturan perundang-undangan tentu memiliki tujuan dalam setiap

pembentukan dan pembuatannya. Suatu peraturan perundang-undangan disebut

telah mencapai tujuan pembentukannya apabila peraturan perundang-undangan

tersebut berlaku efektif ditengah-tengah masyarakat. Begitu sebaliknya,

keefektifan suatu peraturan perundang-undangan diukur dari tercapai atau

tidaknya tujuan peraturan perundang-undangan tersebut dibuat. PP yang mengatur

mengenai tindakan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan dimaksudkan

sebagai dukungan dan perlindungan terhadap kebebasan wanita korban perkosaan

atas tubuhnya dan hak reproduksinya, meskipun disaat yang bersamaan, disisi

lain, PP tersebut juga melanggar hak hidup bagi janin, dan bertentangan dengan

aturan agama tertentu yang melarang aborsi karena menghalangi hak hidup

manusia, namun jika aborsi tersebut dilakukan dengan alasan yang sesuai dengan Hal ini menjadi sangat dilematis

mengingat dokter (tim ahli) merupakan pelaku penting dalam menunjang

terlaksananya aborsi yang legal secara hukum, tetapi kemudian aturan mengenai

aborsi itu sendiri bertentangan dengan KODEKI dan Sumpah Dokter itu sendiri.

17

(21)

yang di atur dalam peraturan perundangan, dan pelaksanaannya sesuai dengan

aturan perundang-undangan yang berlaku, maka pelaksanaan aborsi terhadap

kehamilan akibat perkosaan dalam PP tersebut dapat benar-benar dapat

ditempatkan sebagai perlindungan hukum untuk perempuan hamil akibat

perkosaan guna menyelamatkan hidup mereka dalam keadaan darurat dan

pengakuan terhadap hak atas kesehatannya tanpa bermaksud untuk memusnahkan

kehidupan janin yang ada didalam kandungan perempuan tersebut,

mengenyampingkan hak anak, moral dan agama, meskipun dampak dari tindakan

aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan mengakibatkan kematian bagi janin

yang merupakan kekerasan terhadap anak dan pelanggaran terhadap hak hidup

janin. Hal ini lah yang membuat penulis tertarik memilih judul dan membahas

mengenai tindakan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan, yang berjudul

“Tindakan Aborsi Terhadap Kehamilan Akibat Perkosaan dan Kaitannya

Dengan Hak Asasi Manusia.”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, maka permasalahan

pokok dalam penulisan skripsi ini dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana Pengaturan Hukum Aborsi Terhadap Kehamilan Akibat

Perkosaan ?

2. Bagaimana Tindakan Aborsi Terhadap Kehamilan Akibat Perkosaan dan

(22)

3. Bagaimana Pandangan Praktisi mengenai Tindakan Aborsi Terhadap

Kehamilan Akibat Perkosaan?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan, maka dapat disimpulkan

bahwa tujuan dari penulisan ini adalah :

1. Untuk mengetahui tentang pengaturan hukum aborsi terhadap kehamilan

akibat perkosaan.

2. Untuk mengetahui tentang tindakan aborsi terhadap kehamilan akibat

perkosaan dan kaitannya dengan hak asasi manusia

3. Untuk mengetahui pandangan praktisi mengenai tindakan aborsi terhadap

kehamilan akibat perkosaan.

D. Manfaat Penulisan

Manfaat yang dapat diperoleh dan diketahui dari penulisan skripsi ini adalah :

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu hukum

tentang pengaturan hukum aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan

dan kaitannya ditinjau dari hak asasi manusia, dan dapat dijadikan sebagai

bahan kajian lebih lanjut tentang hal tersebut.

2. Manfaat praktis

a. Sebagai masukan bagi pemerintah, peradilan dan praktisi hukum

dalam menentukan kebijakan dan langkah-langkah yang harus diambil

(23)

sehubungan dengan pelaksanaan aborsi terhadap kehamilan akibat

perkosaan.

b. Sebagai tambahan informasi bagi tenaga medis dan masyarakat

sehubungan dengan pelaksanaan aborsi terhadap kehamilan akibat

perkosaan.

E. Keaslian Penulisan

Judul tulisan ini adalah “Tindakan Aborsi Terhadap Kehamilan Akibat Perkosaan dan Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia”. Berdasarkan hasil pemeriksaan dan penelusuran skripsi di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara dan kearsipan di Departemen Hukum Pidana, belum pernah

dilakukan penelitian sebelumnya yang meninjau pelaksanaan aborsi terhadap

kehamilan akibat perkosaan dan kaitannya dengan hak asasi manusia secara

menyeluruh. Demikian pula dari segi permasalahan yang diangkat dalam

penulisan skripsi ini belum pernah diangkat oleh skripsi lain. Terdapat judul

skripsi yang berkaitan dengan penelitian ini yaitu yang berjudul “Tinjauan Yuridis Aborsi dan Kaitannya Dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan” serta “Pembaharuan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Aborsi Di Indonesia”. Penulisan skripsi ini berbeda dengan judul skripsi yang tertera di atas, utamanya karena penelitian ini dikaitkan dengan

Hak Asasi Manusia. Proses mengumpulkan bahan-bahan yang berkaitan dengan

aborsi, perkosaan, dan dasar hukumnya, mulai dari buku-buku, literatur-literatur,

serta media massa baik media cetak seperti surat kabar, maupun media elektronik

(24)

wawancara, hingga kutipan yang dikutip disertai dengan sumber kutipannya dan

disebutkan dalam daftar pustaka. Penulisan skripsi ini asli dan dapat

dipertanggungjawabkan.

F. Tinjauan Kepustakaan

1. Tindakan Aborsi

Istilah aborsi dipakai dalam kalangan kedokteran dan hukum. Aborsi

(abortus, abortion) adalah berakhirnya kehamilan melalui cara apapun sebelum janin mampu bertahan hidup. Di Amerika Serikat, defenisi ini

terbatas pada terminasi kehamilan sebelum 20 (dua puluh minggu) didasarkan

pada tanggal hari pertama haid normal terakhir. Defenisi lain yang sering

digunakan adalah keluarnya janin yang beratnya kurang dari 500 (lima ratus)

gram.18

Didalam Kamus Hukum karangan Sudarsono19

18

F. Gary Cunningham, Norman F. Gant dkk, Obstetri Williams Edisi 21, (Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran : 2006), hlm 951.

19

Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta, Asdi Mahasatya : 2007), hlm 9.

, disebutkan :

ABORTUS (lat), - abortus : terpencarnya embrio yang tidak mungkin lagi hidup (sebelum habis bulan keempat dari kehamilan); keguguran; keluaran; keadaan terhentinya pertumbuhan yang normal (tentang makhluk hidup); guguran (janin).

ABORTUS PROCURATIO (Lat), pengguguran bayi yang ada dalam kandungan dengan sengaja ialah, dengan mengusahakan lahirnya bayi sebelum waktunya tiba.

(25)

Secara medis, abortus adalah penghentian dan pengeluaran hasil

kehamilan dari rahim sebelum janin dapat hidup diluar kandungan.20 Sebagai

batasan ialah kehamilan kurang dari 20 (dua puluh minggu) atau berat janin

kurang dari 500 (lima ratus) gram. Abortus yang berlangsung tanpa tindakan

disebut abortus spontan, sedangkan abortus yang terjadi dengan sengaja

dilakukan tindakan disebut abortus provokatus.21 Menurut Saifullah, aborsi

dapat dibagi kedalam dua macam, yaitu aborsi spontan dan aborsi buatan.

Aborsi buatan terbagi dua macam pula yaitu Aborsi Artificialis Therapicus

dan Aborsi Provocatus Criminalis.22

Aborsi (pengguguran) berbeda dengan keguguran. Aborsi atau

pengguguran kandungan adalah terminasi (penghentian) kehamilan yang

disengaja (abortus provocatus), yakni kehamilan yang diprovokasi dengan

berbagai macam cara sehingga terjadi pengguguran. Keguguran adalah

kehamilan berhenti karena faktor-faktor alamiah (abortus prontaneous).

23

Abortus provocatus meliputi :24

a. Abortus Provocatus Medicalis, yakni penghentian kehamilan (terminasi) yang disengaja karena alasan medik. Praktek ini dapat

20

Mien Rukmini, dkk., Penelitian Tentang Aspek Hukum Pelaksanaan Aborsi Akibat

Perkosaan, (Jakarta, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM RI :

2002), hlm 18. 21

Sarwono Prawirohardjo, Ilmu Kebidanan, (Jakarta, PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo : 2008), hlm 72.

22

Yang dimaksud dengan Aborsi Artificialis Therapicus adalah penguguran yang dilakukan oleh dokter atas dasar indikasi medis sebagai penyelamatan terhadap nyawa ibu yang terancam bila kelangsungan kehamilan dipertahankan oleh pemeriksaan medis yang menunjukkan gejala itu. Sedangkan yang dimaksud Aborsi Provocatus Criminalis adalah pengguguran yang dilakukan tanpa dasar indikasi medis, misalnya untuk meniadakan hasil hubungan seks diluar perkawinan atau untuk mengakhiri kehamilan yang tidak dikehendaki. Lihat Saifullah dalamMien Rukmini, et.al., Op.Cit., hlm 21 – 22.

23

Dadang Hawari, op.cit., hlm 64. 24

(26)

dipertimbangkan, dapat dipertanggungjawabkan, dan dibenarkan oleh

hukum.

b. Abortus Provocatus Criminalis, yakni penghentian kehamilan (terminasi) atau pengguguran kandungan yang melanggar kode etik

kedokteran, melanggar hukum agama, dan melanggar undang-undang

(kriminal). Cara tersebut kasusnya dapat diperkarakan.

Secara umum dan singkat, dapat dirinci bahwa faktor yang mendorong

seseorang melakukan aborsi adalah :25

a. Kondisi usia masih muda atau menurutnya belum layak memiliki anak,

b. Malu diketahui oleh orang tua atau keluarga masyarakat, c. Pria yang menghamilinya tidak bertanggungjawab (kabur), d. Masih bersekolah,

e. Kondisi ekonomi yang tidak mencukupi, f. Janin yang dikandung akibat perkosaan, g. Dorongan dari orangtua atau keluarga.

Metode untuk pelaksanaan aborsi dapat dilakukan dengan menempuh

berbagai cara, diantaranya dengan cara menggunakan jasa ahli medis dirumah

sakit atau kepada para dukun atau bahkan menggugurkan kandungannya

sendiri dengan memakai alat-alat yang kasar. Penggunaan jasa dukun yang

tidak memiliki keahlian dalam pengguguran kandungan biasanya

menggunakan cara-cara yang kasar dan keras seperti memijat beberapa

bagian tertentu, perut atau pinggul misalnya, atau tubuh wanita yang akan

digugurkan kandungannya. Pengguguran kandungan yang dilakukan secara

medis dibeberapa rumah sakit biasanya menggunakan metode antara lain:

25

(27)

a. Kuretasi dan Dilatasi26

b. Mempergunakan alat khusus untuk memperlebar mulut rahim

kemudian janin dikuret dengan alat seperti sendok kecil.

c. Aspirasi, yaitu penyedotan isi rahim dengan pompa kecil.

d. Operasi

Metode aborsi lain seperti penggunaan pil aborsi atau RU-486 ditemukan

di Perancis dan mulai dipakai disana sejak 1988. Selain di Perancis, pil aborsi

ini juga dipakai di 11 negara lain dan 15 negara UNI Eropa. Di Amerika,

setelah masa pertimbangan yang lama sekali, pil aborsi ini baru disetujui oleh

Food and Drug Administration pada tahun 2000.27

Melalui Internet pil aborsi ini dijual dengan sangat bebas. Nama kimia

dari pil aborsi ini adalah Mifepristone, namun lebih dikenal dengan nama Pil

Abortus, RU-486, Mifegyn, atau Mifeprex. Ada juga Misoprostol atau yang lebih dikenal dengan nama Cytotec, Arthrotec, Oxaprost, Cyprostol, Mibetec,

Prostokos, atau Misotrol.

28

26

Kuretasi dan dilatasi adalah operasi rahim untuk wanita. Dilatasi adalah membuka leher rahim, kuretasi adalah mengangkat isi rahim. Kuretasi dapat dilakukan dengan cara menggosokkan alat pada dinding rahim (alat tersebut adalah kuret atau kuretase hisap/aspira vakum yang berbentuk seperti vakum). Metode ini biasanya dilakukan untuk mengeluarkan jaringan yang tertinggal didalam rahim.

27

Ibid, hlm 25.

28

http://www.womenonwaves.org/id/page/702/how-to-do-an-abortion-with-pills-misoprostol-cytotec.html diakses tanggal 30 November 2014.

Cara ini adalah cara yang paling aman bagi wanita

untuk menggugurkan kehamilannya sampai dengan usia 12 minggu.

Beberapa website bahkan menjamin tingkat keberhasilan dari penggunaan pil

(28)

2. Pengertian Korban

Korban adalah merupakan orang yang mengalami kerugian, baik kerugian

fisik, mental maupun kerugian finansial yang merupakan akibat dari suatu

tindak pidana (sebagai akibat) atau merupakan sebagai salah satu faktor

timbulnya tindak pidana (sebagai sebab). Korban diartikan sebagai seseorang

yang telah menderita kerugian sebagai akibat tindak pidana dan rasa

keadilannya secara langsung terganggu sebagai akibat pengalamannya

sebagai target atau sasaran tindak pidana.29

Korban berarti objek yang menderita atau mati akibat suatu kejadian,

perbuatan jahat, dan sebagainya. Tindakan kejahatan yang menimbulkan

korban disebut “korban kejahatan”

30

Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara

Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi-Saksi Dalam Pelanggaran HAM

Yang Berat Pasal 1 ayat (2), menyebutkan, “Korban adalah orang

perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai

akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang memerlukan

perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan

pihak manapun.”

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan

Korban Pasal 1 ayat (2), menyebutkan, “Korban adalah seseorang yang

mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang

diakibatkan oleh suatu tindak pidana”

29

http://yuyantilalata.blogspot.com/2012/10/korban-victim.html diakses tanggal 12 September 2014.

30

(29)

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan

Dalam Rumah Tangga Pasal 1 ayat (3), menyebutkan, “Korban adalah orang

yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup

rumah tangga”

Theo Van Boven mencantumkan pengertian korban dari Deklarasi

Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan

Kekuasaan (Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime

and Abuse of Power), sebagai berikut, korban adalah orang yang secara individual maupun kelompok telah menderita kerugian, termasuk cedera fisik

maupun mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau perampasan

yang nyata terhadap hak-hak dasarnya, baik karena tindakan (by act) maupun karena kelalaian (by omission).31

Istilah korban didalam penelitian ini berdasarkan pengertian-pengertian

yang dikutip di atas tidak hanya tertuju secara ekslusif kepada perorangan

atau kelompok yang secara langsung menjadi korban tetapi juga mencakup

keluarga korban, orang menjadi tanggungannya atau orang dekatnya

(relatives), dan orang-orang yang membantu atau mencegah agar tidak

menjadi korban. Jenis penderitaan yang mungkin dialami oleh korban tidak

hanya terbatas pada kerugian ekonomi, cedera fisik maupun mental semata,

melainkan mencakup pula derita yang dialami secara emosional oleh para

korban seperti mengalami trauma.

31

(30)

3. Tindak Pidana Perkosaan

Perkosaan adalah suatu tindakan kriminal berwatak seksual yang terjadi

ketika seorang manusia (atau lebih) memaksa manusia lain melakukan

hubungan seksual dalam bentuk penetrasi vagina atau anus dengan penis,

anggota tubuh lainnya seperti tangan, atau dengan benda-benda tertentu

secara paksa baik dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.32

Menurut Frans Maramis33, dalam bukunya Hukum Pidana Umum dan

Tertulis di Indonesia, mengatakan bahwa kejahatan perkosaan merupakan

termasuk dalam delik terhadap kesusilaan. Perkosaan (verkrachting)

merupakan salah satu delik yang berkenaan dengan kehormatan kesusilaan.

Menurut Pasal 285 KUHP, barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman

kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan,

diancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama 12

tahun. Unsur-unsur Pasal34

1. Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan :

2. Memaksa 3. Seorang wanita

4. Bersetubuh dengan dia. Pengertian bersetubuh berarti terjadi penetrasi, yaitu penerobosan atau penembusan, dari alat kelamin laki-laki kedalam alat kelamin perempuan. Untuk pengertian bersetubuh dalam KUHP tidak disyaratkan sampai terjadi pemencaran benih oleh laki-laki;

5. Diluar perkawinan. Pengertian diluar perkawinan berarti antara laki-laki dan perempuan yang bersangkutan tidak sedang dalam ikatan perkawinan. Pasal 285 KUHP tidak mencakup pemaksaan hubungan seksual dari suami terhadap istri; tetapi jika disertai pemukulan misalnya, maka perbuatan pemukulan ini sudah merupakan tindak pidana yang lain yaitu penganiayaan. Kekerasan seksual dalam rumah

32

http://id.m.wikipedia.org/wiki/perkosaan diakses tanggal 12 September 2014. 33

Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, (Jakarta , Rajawali Press : 2013), hlm 305-306.

(31)

tangga dapat dituntut pidana berdasarkan Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU No. 23 Tahun 2004)

Seorang ahli kriminologi Mulyana W. Kusuma menyebutkan jenis-jenis

perkosaan sebagai berikut :35

a. Forcible Rape, yaitu dalam Pasal 285 KUHP, yang berbunyi, “Barangsiapa dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

b. Exploitation Rape, yaitu perkosaan yang menunjukkan bahwa pada setiap kesempatan melakukan hubungan seksual yang diperoleh oleh laki-laki dengan mengambil keuntungan yang berlawanan dengan posisi perempuan yang bergantung padanya secara ekonomis dan sosial. Misalnya istri yang diperkosa oleh suaminya atau pembantu rumah tangga yang diperkosa oleh majikannya, sedangkan pembantunya tidak mempersoalkan atau mengadukan kasusnya ini kepada pihak yang berwajib.

c. Victim Precipitated Rape, yaitu perkosaan yang terjadi (berlangsung) dengan menempatkan korban sebagai pencetusnya.

d. Angea Rape, yaitu penganiayaan seksual yang bercirikan seksualitas yang menjadi sarana untuk menyatakan dan melampiaskan rasa geram dan marah yang tertahan. Tubuh korban disini seakan-akan merupakkan obyek terhadap siapa pelaku yang memproyeksikan pemecahan atas frustasi-frustasi, kelemahan, kesulitan dan kekecewaan hidupnya.

e. Domination Rape, yaitu suatu perkosaan yang terjadi ketika pelaku mencoba untuk gigih atas kekuasaan dan superioritas terhadap korban. Tujuannya adalah penaklukan seksual, pelaku menyakiti korban, namun tetap memiliki keinginan berhubungan seksual.

f. Seductive Rape, yaitu suatu perkosaan yang terjadi pada situasi-situasi yang merangsang yang tercipta oleh kedua belah pihak. Pada mulanya korban memutuskan bahwa keintiman personal harus dibatasi tidak sampai sejauh persenggamaan. Pelaku pada umumnya mempunyai keyakinan membutuhkan paksaan, oleh karena tanpa itu tidak mempunyai perasaan bersalah.

g. Sadistic Rape, yaitu perkosaan sadistis, artinya pada tipe ini seksualitas dan agresif berpadu dalam bentuk yang merusak. Pelaku perkosaan telah nampak menikmati kesenangan erotik bukan melalui hubungan seksnya melainkan melalui serangan yang mengerikan atas alat kelamin dan tubuh korban.

35

(32)

4. Hak Asasi Manusia

Hak Asasi Manusia secara khusus di atur didalam Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu didalam Bab X A, Pasal 28A

sampai Pasal 28J.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia,

Pasal 1 ayat (1) menyatakan, “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak

yang melekat pada hakikatnya dan keberadaan manusia sebagai makhluk

Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,

dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap

orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.

Pengertian Hak Asasi Manusia secara umum adalah hak-hak yang

melekat dalam diri manusia, dan tanpa hak tersebut manusia tidak dapat

hidup layak sebagaimana mestinya. John Locke menyatakan bahwa semua

orang itu diciptakan sama dan memiliki hak-hak alamiah yang tak dapat

dilepaskan. Hak-hak alamiah tersebut meliputi hak atas hidup, hak

kemerdekaan, hak milik, dan hak kebahagiaan.36

Hak mengandung unsur perlindungan, kepentingan dan juga kehendak.

Dalam hukum, hak selalu dikaitkan dengan orang dan tertuju kepada orang.

Hak ada yang bersifat relatif dan absolut. Pada awalnya, sebagai pribadi,

orang per orang memiliki hak asasi (personal rights) dan berubah menjadi hak asasi manusia (human rights) ketika antarsesamanya bergumul dalam

36

(33)

kehidupan bersama. Hal ini sesuai dengan fitrah keberadaan manusia sendiri

sebagai makhluk sosial (zoon politicon).37

Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang

didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan

untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan

menganalisisnya, juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta

hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas

permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala bersangkutan.

G. Metode Penelitian

38

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang

dikonsepsikan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan

perundang-undangan. Penelitian ini mengkonsepkan hukum sebagai kaidah atau norma

yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas. Sumber

datanya hanyalah data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan

hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. 1 Jenis Penelitian

39

37

Masyhur Effendi, dkk, HAM Dalam Dinamika/Dimensi Hukum, Politik, Ekonomi, dan

Sosial, (Bogor, Ghalia Indonesia : 2010), hlm 280.

38

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta, PT RajaGrafindo Persada : 2007), hlm 38.

39

Amiruddin,dkk., Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta, PT RajaGrafindo Persada : 2004), hlm 134.

(34)

2. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu penelitian yang mengungkapkan

peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang

menjadi objek penelitian dan hukum dalam pelaksanaannya didalam

masyarakat yang berkenaan dengan objek penelitian40. Penelitian yang

bersifat deskripstif menguraikan sifat dan fakta yang sebenarnya dari suatu

objek penelitian untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu,

keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan ada tidaknya

hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat.41

Data adalah keterangan yang benar dan nyata, atau bahan yang dapat

dijadikan dasar kajian. 3. Sumber Data

42

a. Bahan Hukum Primer, yaitu berupa peraturan

perundang-undangan yang bersifat mengikat dan ditetapkan oleh pihak-pihak

yang berwenang, terdiri dari peraturan perundang-undangan yang Sumber data yang digunakan dalam penelitian

skripsi ini menggunakan data sekunder. Data sekunder merupakan data yang

dalam keadaan siap dan dapat dipergunakan segera oleh peneliti-peneliti

selanjutnya. Data sekunder ini mencakup dokumen-dokumen resmi,

buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan dan sebagainya. Jenis data

sekunder adalah sebagai berikut:

40

Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta, Sinar Grafika : 2010), hlm 105-106.

41

Op.Cit., hlm 25.

42

(35)

terkait dengan objek penelitian, berupa undang-undang, peraturan

pemerintah dan lain-lain.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu semua publikasi tentang hukum

yang merupakan dokumen yang tidak resmi, buku-buku, tulisan

ilmiah hukum, dan semua dokumen yang merupakan hasil kajian

dari berbagai media seperti koran, majalah, artikel-artikel yang

dimuat diberbagai website di internet.

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu semua dokumen yang berisikan

konsep-konsep dan keterangan yang mendukung bahan hukum

primer dan bahan baku sekunder seperti kamus dan ensiklopedia.

4. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah penelitian

kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research) Metode penelitian kepustakaan dilakukan dengan cara menelaah buku-buku,

karangan ilmiah, artikel-artikel yang dimuat didalam majalah maupun koran

yang dimuat diberbagai media massa maupun dimuat di website-website

internet serta peraturan perundang-undangan yang ada hubungannya dengan

permasalahan skripsi ini. Metode penelitian lapangan yang dilakukan adalah

dengan melakukan wawancara secara langsung dengan informan-informan

yang relevan dengan topik yang dibahas dalam skripsi ini. Wawancara adalah

situasi peran antar-pribadi bertatap-muka, ketika pewawancara mengajukan

(36)

memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah penelitian

kepada seorang responden.43

5. Analisa Data

Analisa data dalam penulisan skripsi ini menggunakan analisa kualitatif.

Analisa data kualitatif adalah suatu proses untuk menemukan apa yang

penting dan apa yang dipelajari dari data tersebut serta mencari dan

menemukan pola hubungan-hubungan dan temuan-temuan umum sehingga

data tersebut mempunyai makna yang dijadikan rujukan dalam

menyelesaikan permasalahan hukum yang menjadi objek kajian.

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan bertujuan untuk mempermudah dalam melakukan

penulisan skripsi dan mempermudah pembaca untuk memahami dan mengerti isi

skripsi ini. Keseluruhan skripsi ini meliputi 5 (lima) bab yang secara garis besar

isi dari bab per bab diuraikan sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini diuraikan latar belakang, permasalahan, tujuan dan

manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan

sistematika penulisan.

BAB II : PENGATURAN HUKUM ABORSI TERHADAP KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAN

Dalam bab ini akan diuraikan mengenai bagaimana pengaturan

aborsi terhadap wanita korban perkosaan, yaitu berupa sejarah

43

(37)

BAB II

PENGATURAN HUKUM ABORSI TERHADAP KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAN

A. Sejarah Singkat Aborsi di Beberapa Negara di Dunia

Aborsi merupakan masalah kompleks karena mencakup norma-norma agama,

etika, moral, ilmiah, dan hukum. Aborsi dilakukan karena alasan yang berbeda

dan dengan metode yang beragam. Ada yang dilakukan karena alasan sosial,

ekonomi, maupun kemanusiaan, misalnya jumlah anak yang bertambah banyak,

program keluarga berencana yang gagal, hamil diluar nikah, kemampuan finansial

yang kurang, kehamilan akibat perkosaan, wanita yang akan melahirkan anak

yang cacat, hingga alasan seorang wanita takut kehilangan bentuk tubuhnya.

Metode dalam melakukan aborsi juga dilakukan dengan berbagai macam cara,

mulai dari meminum atau mengoles ramuan obat-obatan tradisional, pil, suntik,

pemijatan, penyedotan, hingga dilatasi atau kerokan.

Aborsi atau pengguguran kandungan sudah dikenal sejak zaman kekaisaran

China kuno, yakni zaman Kaisar Shan Nung, sekitar tahun 2000 Sebelum Masehi

(SM).44

Undang-undang tertulis tentang aborsi paling tua hingga saat ini adalah

Undang-Undang Hammurabi45

44

CB. Kusmaryanto, Kontroversi Aborsi, (Jakarta , Gramedia Widiasarana Indonesia : 2002), hlm 19.

45

Hammurabi adalah Raja Babilonia (sekarang Irak) yang berkuasa dari Tahun 1792 – 1750 SM. Undang-Undang Hammurabi tersebut berisikan aturan yang mengatur kehidupan bermasyarakat dan berpolitik waktu itu.

yang terdiri atas 282 ayat. Dalam ayat 209 dan 210

dikatakan : “Jika seseorang memukul seorang perempuan yang sedang

mengandung dan menyebabkan perempuan itu mengalami keguguran, ia harus

(38)

membayar denda 10 shekels perak oleh karena kematian fetus itu. Jika wanita itu

meninggal, anak perempuan yang memukul itu juga harus dibunuh.”

Undang-undang tersebut dibuat pertama-tama bukan untuk melindungi hak hidup janin

tetapi untuk melindungi hak ayah yang merasa dirugikan oleh karena kematian

janin itu.46

Sekitar 5 abad sesudah Undang-Undang Hammurabi, muncul Undang-Undang

Assiria yang memberikan hukuman pada pelaku aborsi. Wanita yang melakukan

aborsi dihukum dengan hukum cambuk dan mayatnya tidak boleh dikubur.47

Salah satu Pasal dalam “Sumpah Asaph”48 menyebutkan, “Janganlah

membunuh orang dengan getah akar-akaran. Janganlah memberikan obat kepada

wanita yang mengandung anak haram untuk menggugurkannya”. 49

Aborsi dizaman Yunani Kuno berlangsung sangat luas. Orang Yunani tak

memandang perbuatan aborsi sebagai perbuatan yang keji atau sebuah

pembunuhan. Pada zaman ini dikenal pula secara luas metode pengguguran

kandungan atau aborsi dengan menggunakan ramuan dari tanaman pennyroyal, artemisia, rue, dan silpihium50. Naskah paling kuno mengenai aborsi yang tersimpan dari kebudayaan Yunani Kuno berasal dari abad 5 SM, yang

mengatakan bahwa terdapat undang-undang yang menghukum bagi mereka yang

kedapatan bersalah karena melakukan aborsi.51

46

CB. Kusmaryanto, Ibid, hlm 20. 47

Ibid, hlm 20. 48

Terdapat pada bagian akhir buku “Buku Asaph, Dokter” yang ditulis oleh Asaph Judaeus, seorang dokter Yahudi yang berasal dari Syria atau Mesopotamia yang hidup kira-kira pada abad 6 SM.

49

Mien Rukmini, dkk, Op.Cit., hlm 26. 50

http://iraapriliani.wordpress.com/2014/08/19/aborsi-sejarah-dan-kontroversinya diakses tgl 19 Oktober 2014.

51

CB. Kusmaryanto, Op.Cit, hlm 21.

(39)

seperti Plato dan Sokrates pada umumnya cukup toleran terhadap perilaku aborsi.

Berbeda hal nya dengan seorang Filsuf bernama Phytagoras yang diyakini

menulis “Sumpah Hyppocrates”. Sumpah itu berbunyi demikian : ”Saya tidak

akan memberikan obat yang mematikan kepada siapapun meskipun diminta, atau

menganjurkan kepada mereka untuk tujuan itu. Atas dasar yang sama saya tidak

akan memberikan obat untuk menggugurkan kandungan”.52 Sumpah tersebut

adalah protes terhadap situasi waktu itu banyak terjadi perbuatan aborsi. Sumpah

Hyppocrates tersebut kemudian diterima sebagai sumpah dokter dan tersebar

keseluruh penjuru dunia, sampai dewasa ini. Sumpah ini diucapkan ketika

mahasiswa kedokteran lulus, sebelum melakukan tugasnya sebagai dokter. Para

dokter di Indonesia juga memakai sumpah ini sebagai sumpah resmi ketika

mereka dilantik sebagai dokter. Aristoteles sendiri, menganjurkan agar aborsi

dipakai sebagai sarana untuk mengontrol jumlah kelahiran, tetapi hanya dapat

dilakukan sebelum nyawa atau jiwa masuk kedalam janin. 53

Hukum sipil yang pertama mengenai aborsi ditulis oleh Henry de Bracton. Ia

menjelaskan bahwa aborsi dilarang bila pelaksanaannya terjadi sesudah adanya

tanda-tanda pergerakan janin. Tentu saja aturan ini sangat longgar karena pada

zaman itu belum ada alat pendeteksi janin.54

52

M. Jusuf Hanafiah, Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, (Jakarta, Buku Kedokteran EGC : 2009), hlm 8.

53

CB. Kusmaryanto, Op.Cit, hlm 23. 54

(40)

Undang-undang yang dikenal dengan sebutan Lord Ellenborough’s Act pada tahun 1803 di Inggris yang menyatakan bahwa pelaku aborsi dapat dihukum

mati.55

Kondisi aborsi di Amerika Serikat menyebutkan bahwa pada tahun 1800,

tidak satu negara bagian pun di Amerika yang memiliki peraturan yang melarang

aborsi.56 Sejak sekitar tahun 1900 mulailah diberlakukan larangan aborsi. Hal ini

dikecualikan untuk menyelamatkan hidup ibu atas persetujuan dua dokter atau

lebih.57 Pada tahun 1952, diadakan suatu konferensi untuk mengganti persyaratan

aborsi. Aborsi sebelumnya dilarang dan hanya dikecualikan dengan alasan

keselamatan nyawa ibu dan kemudian diperluas agar aborsi boleh dilakukan demi

kesehatan jiwa si ibu. Pada tahun 1967 aborsi diperbolehkan demi kesehatan

mental ibu.58 Tahun 1973 langkah bersejarah lain dalam kasus aborsi di Amerika

ditandai dengan Undang-Undang Roe v. Wade59, menurut undang-undang ini aborsi sampai dengan trisemester pertama (3 bulan) dapat dilakukan bebas tanpa

harus ada alasan tertentu. Aborsi pada trisemester kedua dan tiga (lebih dari tiga

bulan) hanya dapat dilakukan jika demi kesehatan ibu si janin.60 Hal ini kemudian

mendapat reaksi yang hebat dari berbagai pihak. Pada tahun yang sama, mencuat

polarisasi keras dan bengis mengenai legalisasi aborsi yang berdampak cukup

besar terhadap perkembangan politik di negara tersebut.61

55

CB. Kusmaryanto, Op.Cit, hlm 23. 56

Mien Rukmini, dkk., Op.Cit., hlm 28. 57

Dadang Hawari, Op.Cit., hlm 60. 58

CB. Kusmaryanto, Op.Cit, hlm 23. 59

Jane Roe adalah nama samaran dari Norma McCorvey, seorang penduduk Dallas (Texas) , menggugat Negara Bagian Texas yang diwakili oleh pengacara Henry Wade.

60

CB. Kusmaryanto, Ibid, hlm 35. 61

Mien Rukmini, dkk., Op.Cit., hlm 29.

(41)

yang menekankan hak janin untuk hidup dan gerakan pro choice yang mengedepankan hak perempuan untuk melanjutkan kehamilannya atau

mengakhirinya dengan aborsi. Pandangan dari kedua gerakan ini sangat ekstrem,

penuh unjuk rasa dan kekerasan dan tidak jarang terjadi benturan dan penyerangan

yang dilakukan oleh anggota gerakan yang satu terhadap gerakan yang lain.62

Negara Jepang melegalkan aborsi setelah Perang Dunia II dan disusul banyak

negara komunis lainnya beberapa tahun kemudian, antara lain Uni Sovyet dan

Republik Rakyat China. 63 Catatan tertua tentang praktik aborsi di Asia Tenggara

tercatat dalam relief Angkor Wat, Kamboja.64

Tulisan tertua mengenai praktik aborsi di Indonesia dicatat dalam Sejarah Melayu (Tahun 1612).65 Aborsi bukanlah hal yang baru lagi karena telah dilakukan sejak lama. Pada masa itu praktik aborsi itu dianggap kejadian biasa,

yang dapat dilakukan dengan mudah menggunakan ramuan umbi-umbian atau

dengan pijat tradisional. Aborsi pada dasarnya adalah fenomena yang hidup dalam

masyarakat Indonesia. Aborsi dapat dikatakan sebagai fenomena terselubung

karena praktik aborsi sering tidak tampil ke permukaan, bahkan cenderung

ditutupi oleh pelaku ataupun masyarakat bahkan negara. Ketertutupan ini antara

lain dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya, sosial dan agama yang hidup dalam

masyarakat.66

62

K. Bertens, Aborsi Sebagai Masalah Etika, (Jakarta , Grasindo : 2003), hlm 30. 63

Ibid, hlm 8-9. 64

http://iraapriliani.wordpress.com/2014/08/19/aborsi-sejarah-dan-kontroversinya/ diakses tgl 19 Oktober 2014.

65 Ibid.

66

(42)

Memasuki abad ke-19 ketika bangsa Eropa menjajah Asia Tenggara termasuk

Indonesia, pemerintah kolonial Hindia Belanda pada tahun 1981 mengeluarkan

undang-undang yang didalamnya mengatur mengenai aborsi. Undang-undang ini

menyatakan aborsi menjadi sebuah tindakan kejahatan. Peraturan ini bertahan

hingga setelah masa kemerdekaan dimana pemerintah Indonesia tetap melarang

praktik aborsi dalam bentuk apapun.

KUHP yang merupakan warisan dari jajahan Belanda dan yang hingga saat ini

masih berlaku di Indonesia mengatur beberapa Pasal yang melarang dengan tegas

tindakan aborsi dengan alasan apapun, yaitu terdapat didalam Pasal 299, 346, 347,

348, dan 349 KUHP. Tindakan aborsi tersebut menurut KUHP dikategorikan

sebagai tindakan kriminal dan termasuk dalam kejahatan terhadap nyawa.

Ketentuan dalam KUHP tersebut dilandasi oleh suatu pemikiran atau

paradigma bahwa anak yang masih didalam kandungan merupakan subjek hukum

sehingga berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum. Apabila ditinjau dari

segi hak asasi manusia yang mengatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup

maupun mempertahankan hidupnya, maka pengguguran kandungan atau aborsi

dapat dikualifikasikan sebagai tindakan yang melanggar hak asasi manusia.

Paradigma yang digunakan mengutamakan hak hidup anak. Oleh karena itu

didalam KUHP tindakan aborsi dikualifikasikan sebagai kejahatan terhadap

nyawa.67

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 1

angka (1), menyebutkan, “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan

67

(43)

belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Meskipun telah

terjadi perubahan pada Undang-Undang ini yakni Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

Tentang Perlindungan Anak, pengertian anak yang dimaksudkan dalam

Undang-Undang ini tidak diubah.

Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, menyatakan :

Pasal 76C

Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap Anak

Pasal 80 ayat (1),

Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).

Pasal 80 ayat (3),

Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Pengguguran anak atau janin mengakibatkan kematian bagi anak atau janin

tersebut. Dengan demikian, setiap tindakan yang merupakan kekerasan terhadap

anak terlebih jika kekerasan tersebut menyebabkan anak itu mati, maka pelaku

dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda

paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Tidak dapat dipungkiri meskipun didalam pengaturan hukum di Indonesia

pengguguran kandungan adalah merupakan bentuk kejahatan dan dapat dipidana,

(44)

aborsi tetap dilakukan secara ilegal atau diam-diam. Jasa pengguguran kandungan

secara ilegal dapat dengan mudah dijumpai diperoleh di kota-kota besar maupun

di dunia maya sehingga membuat tingginya angka kematian ibu hamil akibat

komplikasi aborsi yang tidak aman. Khususnya di Indonesia sekitar 750.000

(tujuh ratus lima puluh ribu) hingga 1.000.000 (satu juta) pertahun dilakukan

unsafe abortion (aborsi tidak aman), 2.500 (dua ribu lima ratus) diantaranya menyebabkan kematian.68

68Ibid .

Hal ini mendorong pemerintah untuk menyediakan

pelayanan aborsi yang aman sehingga dapat mengurangi angka kematian ibu.

Pemerintah Indonesia pada tahun 2009 mengeluarkan suatu undang-undang

yang mengatur tentang praktik aborsi selain yang terdapat dalam KUHP yaitu

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Didalam

undang-undang ini dinyatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan perbuatan aborsi,

dikecualikan berdasarkan indikasi medis dan kehamilan akibat kejahatan

perkosaan. Undang-Undang Kesehatan yang baru ini selain mengatur mengenai

aborsi terhadap indikasi kedaruratan medis juga mengatur suatu ketentuan

mengenai aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan yang tidak di atur da

Referensi

Dokumen terkait

U pozadini mnogih state-of-the-art metoda super rezolucije nalaze se generativne suparniˇcke mreˇze (eng. generative adversarial networks - GAN) koje spadaju u kategoriju generativ-

Dari data percobaan yang diperoleh dari perhitungan, dapat dibuat profil holdup fasa gas untuk kecepatan pancaran cairan pada ukuran diameter nozzle yang berbeda dan pada panjang

Penelitian ini menggunakan pendekatan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dengan subyek penelitian adalah siswa kelas XII TPHP SMK Putra Wilis Kecamatan Sendang

Setelah mendapatkan parameter-parameter Carbon Nanotube (CNT) dengan menggunakan CNTBANDS 2.0, untuk kemudian dilakukan perhitungan berdasarkan parameter-parameter

Kabupaten Labuhan Batu Selatan yaitu sesuai struktur organisasi sekolah, yaitu semua ikut berperan dalam penanganan siswa khususnya masalah kedisiplinan

Dalam bab ini berisi tentang hasil penelitian yang telah dilakukan di lapangan mengenai implementasi penilaian autentik pada mata pelajaran pendidikan agama Islam

masalah yang timbul dalam pembelajaran matematika.. 2) Guru mengetahui penalaran induktif siswa sehingga kemampuan. penalaran induktif siswa meningkat dalam menyelesaikan

Dalam hal ini misalnya Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai kota Pangkalpinang yang berperan untuk mengawasi peredaran barang yang masuk ke wilayah