• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Effect of Parenting Patern of Social-Emotion, Emotional Intelligence and Attachment to Peers Towards Bullying Behavior at High School Students in Bogor City.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The Effect of Parenting Patern of Social-Emotion, Emotional Intelligence and Attachment to Peers Towards Bullying Behavior at High School Students in Bogor City."

Copied!
268
0
0

Teks penuh

(1)

TERHADAP PERILAKU

BULLYING

PADA SISWA SMA DI

KOTA BOGOR

RETNO KUMORO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Pengaruh Pola Asuh Sosial-Emosi, Kecerdasan Emosional dan Keterikatan Teman Sebaya terhadap Perilaku Bullying pada Siswa SMA di Kota Bogor adalah benar hasil karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2013

(4)
(5)

ABSTRACT

RETNO KUMORO. The Effect of Parenting Patern of Social-Emotion, Emotional Intelligence and Attachment to Peers Towards Bullying Behavior at High School Students in Bogor City. Under guidance of HERIEN PUSPITAWATI and TIN HERAWATI

This study aimed to (1) Identify the characteristics of the sample, family characteristics, characteristics of friends and school characteristics, (2) Identify the parenting patern of social-emotion, emotional intelligence, attachment to peers and bullying behavior of the child, (3) Analyze the effect of emotional intelligence and bullying behavior towards children. The study was conducted on two high school in the city of Bogor are SMUN X and SMKN Y. The study used cluster random sampling method that applied for second grade. Based on the analysis of gender showed there is a difference between boys and girls the application of parenting patern of social-emotion and emotional intelligent. The attachment to peers and bullying behavior showed no differences between boys and girls.

The results of the Pearson correlation test showed of gender is positively and significantly with the dimensions of emotional intelligence to manage emotions, self-motivation, empathy, total score emotional intelligence and parenting patern of social-emotion. School is positively and significantly associated with emphaty, relationship and physic bullying behavior. School is negatively and significantly with verbal bullying behavior and social bullying behavior. Father's education negatively and significantly associated with self-motivation, empathy dimensions, total score emotional intelligent and attachment to peers. Father’s education positively and significantly with verbal bullying behavior. Maternal education negatively and significantly associated with self-motivation, total score emotional intelligent and the attachment to peers. Maternal education negatively and significantly with verbal bullying behavior. Family’s income positively and significantly with verbal bullying behavior. Family’s income negatively and significantly with the attachment to peers. Attachment to peers is positively and significantly associated with emotional intelligence dimensions of managing emotions, self-motivation, emphaty, total score emotional intelligent and parenting patern of social-emotion. Attachment to peers is negatively and significantly with verbal bullying behavior. Parenting patern of social-emotion related positively and significantly with to know the emotions, managing emotions, self-motivation, total score emotional intelligence and attachment to peers. Parenting patern of social-emotion related negatively and significantly with verbal bullying behavior and total score bullying behavior.

Factors that influence the emotional intelligence with gender, amounth of friends, friend age, attachment to peers and parenting patern of social-emotion. While the variable factors that influence bullying behavior is amounth of friends, friend age, the parenting patern of social-emotion and managing emotions dimensions, self motivations dimensions and emphaty dimension of emotional intelligent.

(6)
(7)

RINGKASAN

RETNO KUMORO. Pengaruh Pola Asuh Sosial-Emosi, Kecerdasan Emosional dan Keterikatan Teman Sebaya terhadap Perilaku Bullying pada Siswa SMA di Kota Bogor. Dibimbing oleh HERIEN PUSPITAWATI dan TIN HERAWATI.

Bullying atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan istilah perundungan, berkembang dengan pesat dalam lingkungan sekolah yang sering memberikan dampak negatif. Perilaku tersebut dapat disebabkan oleh berbagai faktor lingkungan yang sangat beragam, diantaranya adalah faktor dari keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan sekitar. Anak yang menerima pesan negatif di rumah, akan mengembangkan konsep diri dan harapan diri yang negatif pula. Menyikapi hal tersebut maka peran keluarga terutama pada pola asuh sosial-emosi perlu diperhatikan karena akan membawa dampak terhadap perkembangan kecerdasan emosional anak. Emosi seseorang berkembang secara alamiah sejak individu dilahirkan sampai berkembang hingga mencapai tahap kedewasaannya. Kondisi emosi pula yang akan membawa pada pertemanan dari remaja dengan sebaya yang saling mempengaruhi sehingga keterikatan pertemanan akan menjadi semakin kuat.

Penelitian ini memiliki tujuan umum yaitu menganalisis pengaruh pola asuh sosial-emosi, kecerdasan emosional dan keterikatan teman sebaya terhadap perilaku bullying pada anak laki-laki dan perempuan. Tujuan khusus penelitian ini adalah (1) Mengidentifikasi karakteristik contoh, karakteristik keluarga, karakteristik teman dan karakteristik sekolah pada anak laki-laki dan perempuan; (2) Mengidentifikasi pola asuh sosial-emosi, kecerdasan emosional, keterikatan teman sebaya dan perilaku bullying pada anak laki-laki dan perempuan; (3) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional dan perilaku bullying.

Penelitian ini menggunakan disain cross sectional study dan dilakukan secara purposive pada pemilihan contoh sekolah (SMUN mewakili sekolah umum dan SMKN mewakili sekolah kejuruan di Kota Bogor) dan penarikan sampel secara acak klaster (Cluster Random Sampling) pada pemilihan contoh siswa yaitu 70 laki-laki dan 70 perempuan sehingga keseluruhan contoh adalah 140. Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dengan bantuan kuesioner dan data sekunder. Analisis data yang digunakan adalah statistik deskriptif (rata-rata, standar deviasi, minimum, maksimum dan uji beda ) dan statistik inferensia (korelasi Pearson dan uji regresi linier berganda).

(8)

antara 15-18 tahun. Lebih dari separuh (63.6%) contoh memiliki teman yang berpendidikan antara SMA sampai PT. Separuh contoh (50.7%) menyatakan alasan pertemanan adalah karena adanya kesamaan kegiatan.

Berdasarkan analisis jenis kelamin pada variabel pola asuh sosial-emosi menunjukkan persentase (65.7%) pada contoh laki-laki dan perempuan berada pada kategori sedang. Rata-rata skor perempuan (29.0) lebih tinggi dari laki-laki (27.4) dan terdapat perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan. Pada variabel kecerdasan emosional menunjukkan persentase contoh laki-laki (72.9%) berada pada kategori sedang dan contoh perempuan (67.1%) berada pada kategori tinggi. Rata-rata skor perempuan (194.8) lebih tinggi dari rata-rata skor laki-laki (185.3) dan terdapat perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan. Variabel keterikatan teman sebaya menunjukkan persentase (61.4%) pada laki-laki maupun perempuan berada pada kategori sedang. Rata-rata skor perempuan (95) lebih tinggi dari laki-laki (92.8) dan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan. Variabel perilaku bullying

menunjukkan persentase contoh laki-laki (92.9%) dan perempuan (94.3%) berada pada kategori sedang. Rata-rata skor laki-laki dan perempuan adalah sama (70.7 dan 70.8) dan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan.

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap variabel kecerdasan emosional adalah jenis kelamin, jumlah teman, usia teman, pola asuh sosial-emosi dan keterikatan teman sebaya, yang keseluruhan bernilai positif. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap variabel perilaku bullying adalah jumlah teman, usia teman, pola asuh sosial-emosi, kecerdasan emosional dimensi memotivasi diri dan dimensi empati, yang bernilai positif dan kecerdasan emosional dimensi mengelola emosi bernilai negatif.

(9)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2013

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(10)
(11)

PENGARUH POLA ASUH SOSIAL-EMOSI, KECERDASAN

EMOSIONAL DAN KETERIKATAN TEMAN SEBAYA

TERHADAP PERILAKU

BULLYING

PADA SISWA SMA DI

KOTA BOGOR

RETNO KUMORO

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)
(13)

Judul Tesis : Pengaruh Pola Asuh Sosial-Emosi, Kecerdasan Emosional dan Keterikatan Teman Sebaya terhadap Perilaku Bullying pada Siswa SMA di Kota Bogor

Nama : Retno Kumoro NRP : I251100101

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Herien Puspitawati, M.Sc., M.Sc Dr. Tin Herawati, S.P., M.Si

Ketua Anggota

Diketahui oleh

Koordinator Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak

Dr. Ir. Herien Puspitawati, M.Sc., M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr

Tanggal Ujian : Tanggal Lulus:

(14)
(15)

PRAKATA

Puji dan Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret sampai Mei 2012 ini adalah perundungan (bullying), dengan judul Pengaruh Pola Asuh Sosial-Emosi, Kecerdasan Emosional dan Keterikatan Teman Sebaya terhadap Perilaku

Bullying pada Siswa SMA di Kota Bogor. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Allah SWT yang telah melimpahkan rahman dan rahimNYA kepada seluruh umat tidak terkecuali pada penulis sampai detik ini.

2. Dr. Ir. Herien Puspitawati, M.Sc., M.Sc selaku pembimbing I dan Dr. Tin Herawati, S.P., M.Si selaku pembimbing II serta Dr. Ir. Diah Krisnatuti Pranadji, M.S selaku dosen penguji luar komisi atas semua bimbingan, arahan, saran-saran, pemberian spirit dan motivasi yang luar biasa dalam proses penyusunan, penelitian dan penyelesaian tesis ini.

3. Dr. Ir. Hartoyo, M.Sc selaku Ketua Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen (IKK) atas segala bantuan dan penyediaan fasilitas serta dosen dan staf IKA yang merupakan orang-orang hebat dalam keilmuan, berdedikasi tinggi, memiliki loyalitas yang luar biasa dan bekerja secara profesional.

4. Kepala Sekolah, Wakil kepala Sekolah, Kepala Tata Usaha dan Guru serta Siswa kelas XI sekolah terpilih di Kota Bogor yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk melakukan penelitian pada sekolah tersebut. 5. Suami tercinta, Dandun Prakosa, S.T., M.E yang selalu memberikan dorongan

baik material maupun spiritual yang sangat luar biasa. Anak-anak tercinta, Muhammad Nabil Ramadhan dan Safira Mustafida Husna yang telah menjadikan inspirasi, motivasi serta arti yang sangat spesial bagi penulis sebagai seorang ibu.

(16)

7. Ibunda dan mertua tercinta, Ibu Sri Purwaningsih, Bapak Tukimin Darmo Utomo dan Ibu Djuminem serta kakak dan adik yang selalu memberikan doa tulus, restu dan semangatnya.

8. Teman-teman IKA khususnya angkatan 2010: Novit, Diana, Emak Siti, Mitha, Ria, Tita, Nurul, Dian ata, Andri, Riza, Hani, Ediana, Atika dan Vivi yang telah memberikan warna tersendiri bagi penulis dalam menuntut ilmu di IKA IPB. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan keberkahan untuk ilmu yang telah kita miliki. Penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Pekalongan Propinsi Jawa Tengah pada tanggal 20 April 1972 dari ayah bernama Winarno (alm) dan ibu Sri Purwaningsih. Penulis merupakan putri kedua dari tiga bersaudara. Pendidikan dasar ditempuh selama 6 tahun di Sekolah Dasar Negeri Podosugih 1 Kota Pekalongan, lulus tahun 1984. Dilanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama yang ditempuh di SMPN 3 Kota Pekalongan, lulus tahun 1987. Pendidikan selanjutnya adalah di SMA Negeri 1 Wiradesa Kabupaten Pekalongan, lulus tahun 1990 dan tahun yang sama pula penulis melanjutkan ke jenjang Perguruan Tinggi yaitu di Universitas Pekalongan Fakultas Pertanian Jurusan Budidaya Tanaman dan lulus tahun 1995.

(18)
(19)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 4

Tujuan Penelitian ... 6

Kegunaan Penelitian ... 7

TINJAUAN PUSTAKA ... 9

Pengertian dan Pendekatan Teori Keluarga ... 9

Pengertian Keluarga ... 9

Pendekatan Teori Struktural Fungsional ... 9

Remaja ... 11

Pengertian Remaja ... 11

Perkembangan Fisik Remaja ... 11

Perkembangan Kognitif Remaja ... 12

Perkembangan Sosial Remaja ... 13

Pola Asuh Sosial Emosi... 14

Keterikatan Teman Sebaya ... 16

Kecerdasan Emosional ... 18

Perilaku Bullying ... 20

Hasil Penelitian Terdahulu ... 22

KERANGKA PEMIKIRAN ... 25

METODE PENELITIAN ... 29

Desain, Tempat dan Waktu Penelitian ... 29

Tehnik Pengambilan Contoh ... 29

Jenis Dan Tehnik Pengambilan Data ... 31

Pengukuran, Pengolahan Dan Analisis data ... 33

(20)

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 41

Keadaan Umum Lokasi Penelitian ... 41

Jumlah Guru dan Siswa ... 41

Fasilitas Sekolah ... 42

Peraturan Sekolah ... 42

Karakterisktik Contoh ... 44

Jenis Kelamin dan Usia Contoh ... 44

Urutan Kelahiran ... 44

Karakteristik Keluarga ... 45

Usia Orangtua ... 45

Pendidikan Orangtua ... 46

Pekerjaan Orangtua ... 47

Pendapatan Keluarga ... 48

Karakteristik Teman ... 48

Jumlah Teman ... 48

Usia Teman ... 49

Pendidikan Teman ... 50

Alasan Pertemanan ... 50

Pola Asuh Sosial Emosi ... 51

Keterikatan Teman Sebaya ... 53

Kecerdasan Emosional ... 55

Kemampuan Mengenal Emosi ... 55

Kemampuan Mengelola Emosi ... 57

Kemampuan Memotivasi Diri ... 58

Kemampuan Empati ... 59

Kemampuan Membina Hubungan dengan Orang Lain ... 61

Total Kecerdasan Emosional ... 62

Perilaku Bullying ... 63

Bullying Secara Verbal ... 63

Bullying Secara Fisik ... 64

Bullying Secara Sosial ... 65

(21)

Total Perilaku Bullying ... 68

Hubungan antar Variabel Penelitian Berdasarkan Analisis Jenis Kelamin ... 69

Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Kecerdasan Emosional 75

Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Perilaku Bullying ... 77

Pembahasan Umum ... 79

Keterbatasan Penelitian... 83

SIMPULAN DAN SARAN ... 85

DAFTAR PUSTAKA ... 89

LAMPIRAN ... 95

(22)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Hasil penelitian terdahulu yang terkait dengan materi penelitian ... 22 2. Jenis, cara pengumpulan data dan pengukuran variabel... 32 3. Hasil uji reliabilitas alat ukur variabel (nilai alpha cronbach) ... 33 4. Kategori pola asuh sosial emosi, kecerdasan emosional, keterikatan

teman sebaya dan perilaku bullying... 36 5. Luas lahan,status kepemilikan,jumlah kelas, jumlah guru, jumlah siswa

dan rasio guru dan siswa ... 42 6. Penilaian guru/wali kelas terhadap siswa ... 43 7. Sebaran usia contoh berdasarkan jenis kelamin ... 44 8. Sebaran urutan kelahiran contoh berdasarkan jenis kelamin ... 45 9. Sebaran kategori usia orangtua contoh berdasarkan jenis kelamin ... 45 10. Sebaran pendidikan orangtua contoh berdasarkan jenis kelamin ... 46 11. Sebaran pekerjaan orangtua contoh berdasarkan jenis kelamin ... 47 12. Sebaran pendapatan total keluarga contoh berdasarkan jenis kelamin ... 48 13. Sebaran jumlah teman contoh berdasarkan jenis kelamin ... 49 14. Sebaran usia teman contoh berdasarkan jenis kelamin ... 50 15. Sebaran pendidikan teman contoh berdasarkan jenis kelamin ... 50 16. Sebaran alasan pertemanan contoh berdasarkan jenis kelamin ... 51 17. Sebaran kategori pola asuh sosial-emosi contoh berdasarkan jenis

kelamin ... 53 18. Sebaran kategori keterikatan teman sebaya contoh berdasarkan jenis

kelamin ... 55 19. Hasil uji regresi linier berganda faktor-faktor yang berpengaruh

terhadap kecerdasan emosional ... 76 20. Hasil uji regresi linier berganda faktor-faktor yang berpengaruh

(23)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka pemikiran konseptual pengaruh pola asuh sosial emosi, kecerdasan emosional dan keterikatan teman sebaya terhadap perilaku

bullying pada siswa SMA di Kota Bogor... 27 2. Kerangka Penarikan Contoh ... 30

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Hasil analisis uji beda T pada variabel pola asuh sosial emosi,

kecerdasan emosional, keterikatan teman sebaya dan perilaku bullying ... 97 2. Hasil uji korelasi Pearson variabel karakteristik contoh, karakteristik

keluarga, pola asuh sosial emosi, kecerdasan emosional, keterikatan

teman sebaya dan perilaku bullying berdasarkan jenis kelamin ... 98 3. Hasil uji korelasi Pearson antar variabel karakteristik contoh,

karakteristik keluarga, pola asuh sosial emosi, kecerdasan emosional,

keterikatan teman sebaya dan perilaku bullying ... 99 4. Sebaran pola asuh sosial-emosi contoh berdasarkan jenis kelamin ... 100 5. Sebaran keterikatan teman sebaya contoh berdasarkan jenis kelamin ... 101 6. Sebaran kecerdasan emosional dimensi mengenal emosi contoh

berdasarkan jenis kelamin ... 104 7. Sebaran kecerdasan emosional dimensi mengelola emosi contoh

berdasarkan jenis kelamin ... 105 8. Sebaran kecerdasan emosional dimensi memotivasi diri contoh

berdasarkan jenis kelamin ... 106 9. Sebaran kecerdasan emosional dimensi empati contoh berdasarkan jenis

kelamin ... 107 10.Sebaran kecerdasan emosional dimensi kemampuan membina hubungan

(24)
(25)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Anak sebagai modal sumber daya manusia yang unggul di negara ini, diharapkan dapat memiliki kecerdasan secara intelektual, spiritual bahkan kecerdasan secara emosional karena generasi muda (remaja) merupakan motor penggerak kemajuan sebuah negera. Sebuah negara menjadi kuat eksistensinya ketika para pemudanya mampu tampil aktif dan dinamis di tengah masyarakat. Tongkat estafet pembangunan karakter bangsa dan negera ini terus berganti dari masa ke masa sehingga dibutuhkan sosok generasi yang tangguh dan ulet. Mendapatkan generasi yang kuat perlu memperhatikan beberapa hal diantaranya adalah pola pengasuhan dalam keluarga, kecerdasan emosional serta pergaulan dengan teman sebaya pada remaja (Papalia 2008).

Pada masa remaja tersebut juga rentan terhadap beberapa permasalahan kenakalan remaja yang dihadapi seperti pemakaian narkotika, merokok, tawuran, seks bebas dan bullying serta beberapa kasus kenakalan lainnya. Bullying dalam bahasa Indonesia disebut dengan istilah perundungan, menurut Olweus (1994) dimaknai sebagai perilaku agresif dari seseorang / kelompok anak terhadap anak lain yang lebih lemah dan dilakukan secara berulang-ulang serta terstruktur dengan tujuan menyakiti orang tersebut. Menurut Sejiwa (2006), menyatakan biasanya orang tua atau guru menganggap bahwa hal itu adalah salah satu cara berteman mereka. Kebanyakan perilaku bullying berkembang dari berbagai faktor lingkungan yang kompleks. Faktor tersebut antara lain dari keluarga, sekolah, teman sebaya dan dalam diri remaja itu sendiri. Beberapa macam cara yang dilakukan dalam bullying, yaitu secara verbal, fisik, sosial dan elektronik.

Faktor keluarga yaitu anak yang melihat orang tua atau saudara melakukan

(26)

mengancam. Oleh karena itu perlu mengembalikan fungsi keluarga dengan baik. Menurut Landis (1989) keluarga merupakan bagian terkecil dari masyarakat yang memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan anaknya baik dari segi materiil maupun spirituil, sehingga dengan memperhatikan prinsip pengasuhan secara sosial dan emosi anak akan selalu terkontrol dari hal-hal yang tidak diinginkan. Pola asuh sosial-emosi dapat dilihat dari beberapa dimensi yaitu kehangatan, emosi dan pengarahan. Pola asuh sosial-emosi yang diberikan kepada anak, hendaknya berorientasi pada kasih sayang dan pengawasan serta dorongan. Pengasuhan memiliki peran yang sangat penting bagi seorang anak, karena dalam proses pengasuhan mencakup: 1) Interaksi antara anak, orang tua dan lingkungan masyarakat (termasuk guru dan teman sekolah), 2) Penyesuaian kebutuhan hidup dan temperamen anak dengan orang tuanya, 3) Pemenuhan tanggung jawab untuk membesarkan dan memenuhi kebutuhan anak, 4) Proses mendukung atau menolak keberadaan anak dan orang tua, serta 5) Proses mengurangi resiko dan perlindungan terhadap individu dan lingkungan sosialnya. Kelima proses tersebut akan membentuk gaya pengasuhan yang diterapkan kepada anak yaitu penerimaan dan kehangatan (Bern 1997).

Bullying berkembang dengan pesat dalam lingkungan sekolah yang sering memberi masukan negatif pada siswa, misalnya berupa hukuman yang tidak membangun sehingga tidak mengembangkan rasa menghargai dan menghormati antar sesama anggota sekolah padahal lingkungan sekolah merupakan rumah kedua bagi anak. Anak-anak sebagai pelaku bullying akan mendapatkan penguatan terhadap perilaku mereka untuk melakukan intimidasi terhadap anak-anak yang lainnya. Rata-rata anak-anak menghabiskan waktu di sekolah sekitar 6-8 jam sehari (Sarwono 2002). Hal ini menunjukkan bahwa sepertiga waktunya dihabiskan di sekolah bersama dengan guru dan teman sekolah. Menurut Papalia (2008), sekolah merupakan pengorganisir pusat pengalaman dalam kehidupan sebagian besar remaja.

(27)

dengan perilaku tersebut. Interaksi yang ideal dengan teman sebaya hendaknya merupakan proses yang simetris dan timbal balik. Bersama teman sebaya pula diharapkan remaja belajar menjadi pasangan yang terampil dan sensitif dalam membentuk hubungan. Pertemanan dengan sebaya membutuhkan kemampuan kognisi dan sosial emosi yang baik, agar tidak terjadi penolakan dan agresi (Papalia 2008).

Keadaan dalam diri remaja menyangkut perkembangan fisik, kognitif maupun sosial-emosi. Dijelaskan oleh Soesilowidradini (1990) dalam Puspitawati (2009) bahwa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan dengan yang lain, yaitu (a) Status remaja dalam masyarakat masih tidak menentu; (b) Rasa emosional yang tinggi, cepat marah, takut, cemas, ingin tahu, iri hati, sedih dan kasih sayang; (c) Perasaan yang tidak stabil, mempunyai masalah dengan keadaan jasmani, kebebasan, nilai-nilai yang dianut, peranan pria dan wanita dewasa, lawan jenis dan masyarakat; (d) Kemampuan mengerjakan sesuatu yang terkadang sukar diselesaikan karena menganggap orang tua dan guru terlalu tua untuk mengerti pikiran dan perasaannya. Oleh karena itu hendaknya remaja mampu untuk memberi kesan yang baik tentang dirinya, mampu mengungkapkan dengan baik emosi diri sendiri, berusaha menyetarakan diri dengan lingkungan, dapat mengendalikan perasaan dan mampu mengungkapkan reaksi emosi sesuai dengan waktu dan kondisi yang ada sehingga interaksi dengan orang lain dapat terjalin dengan lancar dan efektif (Goleman 2002).

Bullying sudah menjadi masalah global yang kemudian tidak bisa diabaikan lagi. Oleh sebab itu banyak elemen harus ikut terlibat, baik orang tua, pihak sekolah, bahkan pemerintah yang mempunyai andil sangat besar untuk menentukan kebijakan-kebijakan undang-undang yang berkaitan dengan moralitas bangsa.

(28)

Perumusan Masalah

Bullying merupakan bagian dari suatu kenakalan yang dilakukan oleh para remaja. Kenakalan remaja (juvenile delinquency) adalah suatu perbuatan yang melanggar norma, aturan atau hukum dalam masyarakat yang dilakukan pada usia remaja atau transisi masa anak-anak dan dewasa. Menurut Santrock (2007), kenakalan remaja merupakan kumpulan dari berbagai perilaku remaja yang tidak dapat diterima secara sosial hingga terjadi tindakan kriminal. Berdasarkan tinjauan teori perkembangan, usia remaja adalah masa terjadinya perubahan-perubahan yang cepat, termasuk perubahan-perubahan fundamental dalam aspek kognitif, emosi, sosial dan pencapaian (Fagan 2006).

Permasalahan lain yang biasa dihadapi adalah adanya pola pengasuhan yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya. Terdapat banyak hal yang dapat membentuk cara dan gaya pengasuhan orang tua. Salah satunya adalah pengalaman masa lalu yang menjadi bagian dari sejarah kehidupan orang tua. Orang tua yang memiliki pengalaman traumatis karena disiksa dan dianiaya oleh orang tua mereka akan melakukan hal yang sama pada pengasuhan terhadap anaknya, jadi pada perkembangan sosial-emosi seorang anak sangat dipengaruhi oleh pola asuh sosial-emosi yang dilakukan kepada anaknya (Hastuti 2008).

Secara umum pola asuh yang diberikan orang tua terhadap anak, terutama pola asuh sosial emosi akan membawa dampak terhadap perkembangan kecerdasan emosional anak. Emosi seseorang berkembang secara alamiah sejak individu dilahirkan hingga mencapai tahap kedewasaan. Perkembangan emosi disebabkan adanya situasi perkembangan usia dan kematangan individu (Baradja 2005). Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Khajehpour di Teheran (2011) menyatakan bahwa kecerdasan emosional dan keterlibatan orang tua dalam pengasuhannya dapat memprediksi prestasi akademik siswa.

(29)

oleh kedua variabel yaitu komunikasi orang tua yang rendah dan keterikatan teman yang tinggi, ditambah dengan pengaruh langsung dari perilaku agresif pelajar itu sendiri.

Data yang diperoleh dari Kepolisian Resort Kota (Polresta) Bogor antara tahun 2000 – 2004 mengenai kenakalan remaja adalah 49 kasus yang meliputi membawa senjata tajam, tawuran, mengeroyok, pemakaian psikotropika, menganiaya bahkan membunuh yang dilakukan oleh pelajar SMA di Bogor. Berdasarkan data dari Sejiwa (2006), mengatakan bahwa dari penelitian selama tahun 2004-2006 pada tiga SMA di dua kota besar di Pulau Jawa, satu dari lima guru menganggap bullying adalah hal biasa dalam kehidupan remaja dan tak perlu dipermasalahkan. Bahkan, satu dari empat guru berpendapat bahwa ’sesekali penindasan’ tidak akan berdampak buruk terhadap kondisi psikologis siswa.

Kecanggihan tehnologi komunikasi seperti telepon genggam selular maupun akses internet membawa dampak positif dan negatif bagi pemakainya karena bullying juga tengah merambah di dunia maya tersebut. Pelaku bisa orang yang dikenal ataupun tidak, dan biasanya mereka memakai nama samaran agar tak dapat dideteksi. Hampir disetiap penjuru dunia, orang sudah memakai internet dan telepon genggam, karena itu bullying secara elektronik juga menjelma menjadi bentuk bullying yang marak di abad 21. Seseorang yang berniat mengganggu bisa menggunakan pesan pendek, e-mail, chat room, dan aneka jejaring sosial atau bahkan membuat situs khusus untuk mempermalukan orang lain. Bullying secara elektronik mengakibatkan dampak yang bisa jauh lebih berbahaya dari sekedar luka fisik. Permasalahan bullying secara elektronik lebih sulit untuk ditindaklanjuti karena sulit untuk mengendalikan sesuatu yang tersebar melalui dunia maya (Sejiwa 2006).

(30)

empat kota besar di Indonesia yaitu Jakarta, Surabaya, Yogyakarta dan Bogor terdiri dari 1500 siswa SMA dan 75 guru, diperoleh hasil sebanyak 67.9 persen terdapat kasus bullying secara verbal, fisik dan psikologis serta 27.9 persen pelajar terlibat sebagai pelaku sedangkan 25.4 persen adalah sebagai penonton atau hanya diam saja ketika melihat perilaku bullying terjadi di depan mata mereka.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Smith (2002) yang dilakukan di Inggris dengan sampel yang berusia 14 tahun, menyatakan bahwa sebanyak 62 persen pernah melakukan bullying secara sosial, 91 persen pernah melakukan

bullying secara fisik dan 94 persen pernah melakukan bullying secara verbal. Penelitian mengenai bullying secara elektronik juga dilakukan oleh Rivers (2000) dalam Smith (2002) yang menggunakan sampel sebanyak 656 anak yang berusia 11 – 19 tahun, diperoleh hasil sebanyak 16 persen melakukan bullying dengan sms, 7 persen melakukan bullying dengan internet chat room dan 4 persen dengan

e-mail. Dari beberapa uraian di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana pola asuh sosial-emosi yang tepat untuk menghindari perilaku

bullying.

2. Bagaimana kecerdasan emosional yang baik untuk dapat mematangkan pribadi seorang anak sehingga dapat menurunkan tingkat perilaku bullying. 3. Bagaimana keterikatan teman sebaya dalam menghadapi perilaku bullying.

Tujuan Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh pola asuh sosial-emosi, kecerdasan emosional dan keterikatan teman sebaya terhadap perilaku bullying anak

Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi karakteristik keluarga, karakteristik contoh, karakteristik teman dan karakteristik sekolah pada anak laki-laki dan perempuan.

(31)

3. Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kecerdasan emosional, dan perilaku bullying pada anak laki-laki dan perempuan.

Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pola asuh sosial-emosi, kecerdasan emosional, keterikatan teman sebaya dan perilaku bullying anak. Semoga penelitian ini dapat dijadikan acuan bagi orang tua dalam menerapkan pola asuh secara sosial dan emosi yang tepat terhadap anak remaja sehingga dapat meningkatkan kecerdasan emosional dan diharapkan dapat menjadi manusia yang berkualitas.

(32)
(33)

TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian dan Pendekatan Teori Keluarga Pengertian Keluarga

Keluarga adalah wahana utama dan pertama bagi anggota-anggotanya untuk mengembangkan potensi, mengembangkan aspek sosial dan ekonomi serta penyemaian benih cinta kasih dan sayang antar anggota keluarga. Menurut beberapa ahli, keluarga merupakan unit sosial ekonomi terkecil dalam masyarakat yang merupakan kelompok primer yang terdiri dari dua atau lebih orang yang mempunyai jaringan interaksi interpersonal, hubungan darah, hubungan perkawinan dan adopsi (BKKBN 1992; Khairuddin 1985; Landis 1989; Day et al. 1995; Gelles 1995).

Tujuan membentuk keluarga adalah untuk mewujudkan kesejahteraan bagi anggota keluarga. Keluarga yang sejahtera diartikan sebagai keluarga yang dibentuk berdasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan fisik dan mental yang layak, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta memiliki hubungan yang serasi, selaras dan seimbang antar anggota keluarga dan antar keluarga dengan masyarakat dan lingkungan (Landis 1989; BKKBN 1992).

Setiap keluarga mempunyai tujuan dan fungsi keluarga. Menurut Rice dan Tucker (1989) mengatakan bahwa fungsi keluarga meliputi fungsi ekspresif yaitu fungsi untuk memenuhi kebutuhan emosi dan perkembangan anak termasuk moral, loyalitas dan sosialisasi anak, fungsi instrumental yaitu fungsi manajemen sumberdaya keluarga untuk mencapai berbagai tujuan keluarga melalui prokreasi dan sosialisasi anak, dukungan serta pengembangan anggota keluarga.

Pendekatan Teori Struktural Fungsional

Pendekatan yang dimaksud di sini adalah suatu pendekatan teori sosiologi yang diterapkan dalam institusi keluarga dan mempunyai prinsip-prinsip serupa yang terdapat dalam kehidupan sosial masyarakat. Struktur dan fungsi keluarga tersebut tidak terlepas dari pengaruh budaya, norma dan nilai-nilai yang melandasi sistem masyarakat tersebut (Megawangi 2002).

(34)

ketergantungan tersebut merupakan hasil atau konsekuensi agar organisme tersebut tetap dapat bertahan hidup. Kerusakan atau tidak berfungsinya satu elemen dalam suatu struktur organisme hidup dapat mempengaruhi elemen-elemen lainnya sehingga suatu sistem kehidupan dapat tidak berfungsi dengan baik (Puspitawati 2009).

Pendekatan struktural fungsional menekankan pada keseimbangan sistem yang stabil dalam keluarga dan kestabilan sistem sosial dalam masyarakat. Boss

et al. (1993), menyatakan bahwa konsep keseimbangan mengarah kepada konsep homeostatis suatu organisme yaitu suatu kemampuan untuk memelihara stabilitas agar kelangsungan suatu sistem tetap terjaga dengan baik meskipun di dalamnya mengakomodasi adanya adaptasi dengan lingkungan. Untuk mencapai keseimbangan dalam sebuah sistem sosial yang tertib dan selanjutnya dapat mempengaruhi ketertiban dalam sistem sosial yang lebih besar lagi, maka dapat memperhatikan 3 aspek yaitu: Aspek struktural, aspek fungsional dan aspek karakteristik dari sistem keluarga.

(35)

Remaja Pengertian Remaja

Istilah remaja berasal dari bahasa latin yaitu adolescere yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Remaja merupakan periode perkembangan antara masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Transisi dari tahap yang satu menuju tahap yang selanjutnya bersifat gradual dan tidak pasti, tetapi meskipun jarak waktunya tidak selalu sama pada setiap orang, pada akhirnya sebagian besar remaja akan tumbuh menjadi orang dewasa yang matang. Oleh karena itu masa remaja dapat diartikan sebagai jembatan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang harus dilalui oleh seorang individu sebelum mereka tumbuh menjadi orang dewasa yang seutuhnya dan mampu bertanggungjawab (Rice & Dolgin 2008). Berdasarkan usia remaja menurut World Human Organizations (WHO) dibagi menjadi dua yaitu remaja awal (10-11 tahun) dan remaja akhir (15-20 tahun). Sementara di Indonesia batasan usia remaja adalah antara 14-24 tahun (Sarwono 2002).

Menurut Hurlock (1978) remaja adalah mereka yang berada pada usia 12-18 tahun. Monks, dkk (2000) memberi batasan usia remaja adalah 12-21 tahun. Menurut Stanley Hall (Santrock 2007) usia remaja berada pada rentang 12-23 tahun. Berdasarkan batasan-batasan yang diberikan para ahli, bisa dilihat bahwa mulainya masa remaja relatif sama, tetapi berakhirnya masa remaja sangat bervariasi.

Perkembangan Fisik Remaja

(36)

tubuh sesuai dengan jenis kelamin misalnya, pada remaja putri ditandai dengan

menarche (menstruasi pertama), tumbuhnya rambut-rambut pubis, pembesaran buah dada, pinggul, sedangkan pada remaja putra mengalami pollutio (mimpi basah pertama), pembesaran suara, tumbuh rambut-rambut pubis, tumbuh rambut pada bagian tertentu seperti di dada, di kaki, kumis dan sebagainya (Hurlock 1978).

Berdasarkan penelitian Pranadji dan Muharrifah (2010) menyatakan bahwa anak perempuan lebih mudah untuk stres dibanding laki-laki hal itu berkaitan erat dengan hormon dan proses kematangan perempuan yang lebih cepat dibanding dengan laki-laki. Pada masa pubertas, hormon-hormon yang mulai berfungsi selain menyebabkan perubahan fisik/tubuh juga mempengaruhi dorongan seks remaja. Remaja mulai merasakan dengan jelas meningkatnya dorongan seks dalam dirinya, misalnya muncul ketertarikan dengan orang lain dan keinginan untuk mendapatkan kepuasan seksual. Akibat proses kematangan sistem reproduksi ini, seorang remaja sudah dapat menjalankan fungsi prokreasinya, artinya sudah dapat mempunyai keturunan. Meskipun demikian, hal ini tidak berarti bahwa remaja sudah mampu bereproduksi dengan aman secara fisik (Santrock 2007).

Perkembangan Kognitif Remaja

Menurut Crain (2007), berdasar teori perkembangan kognitif dari Piaget ada empat tahapan perkembangan yaitu :

1. Tahapan sensorimotor yang terjadi pada masa infant

2. Tahapan preoperasional yang terjadi pada masa anak-anak awal 3. Tahapan formal operational yang dimulai pada masa remaja.

(37)

dengan elemen yang lainnya sehingga mengarah pada analisis dan (3) Adanya proses berpikir yang konkrit yang terbalik.

Selain dapat berpikir lebih logis, abstrak dan idealis, karakteristik tahapan pemikiran operasional formal Piaget dapat berubah secara kognitif juga. David Elkind (1978) dalam Santrock (2007) mendeskripsikan mengenai bagaimana egosentrisme remaja mempengaruhi cara remaja berpikir tentang masalah- masalah sosial. Egosentrisme remaja adalah kesadaran diri yang bertambah tinggi pada remaja, yang menganggap semua orang tertarik pada mereka, disertai perasaan munculnya perasaan unik dan tidak terkalahkan.

Perkembangan Sosial

Dalam masa perkembangan ini, seorang remaja mulai tergugah rasa sosial untuk ingin bergabung dengan anggota-anggota kelompok yang lain. Pergaulannya yang dulu terbatas dengan keluarga, tetangga dan teman-teman sekolah, pada perkembangannya ingin lebih meluaskan pergaulannya sehingga tidak jarang mereka meninggalkan rumah. Menurut Otto Rank dalam Sarwono (2002) pada diri remaja terjadi perubahan yang sangat drastis, yaitu dari keadaan tergantung pada orang lain (dependence) pada masa kanak-kanak menuju kepada keadaan mandiri (independence) pada masa dewasa. Hal-hal lain yang dapat dikaitkan dengan perkembangan sosial remaja adalah (1) Dependency atau ketergantungan kepada orang lain; (2) Otonomi yaitu melakukan sesuatu tanpa adanya bantuan orang lain; (3) Mastery atau penguasaan sebagai keunggulan individu; dan (4) Kompetensi artinya kecakapan atau kemahiran seseorang (Crain 2007).

(38)

menyalahkan diri sendiri (self criticism) dan perasaan rendah diri. Ketika proses ini berkepanjangan maka remaja yang bersangkutan akan terlibat dalam gejala neurotik, tetapi kalau bisa mengatasi tahap ini dengan baik, remaja yang bersangkutan akan masuk ketahap berikutnya yaitu menjadi manusia yang produktif kreatif, (3) Integrasi antara kehendak dan kontra-kehendak menjadi pribadi yang harmonis. Tahapan perkembangan dan konflik yang dikemukakan oleh Erikson, menyebut fase remaja ini sebagai fase identitas lawan kekaburan peran (role diffusion). Individu pada tahap ini sudah ingin menonjolkan identitas diri, akan tetapi masih terperangkap oleh kaburnya peran dalam lingkungan asal. Kaburnya peran remaja dalam lingkungan mengakibatkan remaja mulai membentuk kelompok-kelompok. Penggabungan diri dengan anggota kelompok lain sebenarnya merupakan usaha mencari nilai-nilai baru, sebab remaja mulai meragukan kewibawaan dan kebijaksanaan orang tua, norma-norma yang ada dan sebagainya (Mulyono 1995).

Perkembangan sosial memiliki makna lain yaitu perolehan kemampuan berperilaku yang sesuai dengan tuntutan sosial. Menjadi orang yang mampu bermasyarakat (socialized) memerlukan tiga proses yaitu (1) Belajar berperilaku yang dapat diterima secara sosial artinya setiap kelompok sosial mempunyai standar bagi anggotanya tentang perilaku yang dapat diterima, (2) Memainkan peran sosial yang dapat diterima artinya setiap kelompok sosial mempunyai pola kebiasaan yang telah ditentukan dengan seksama oleh para anggotanya dan dituntut untuk dipatuhi, dan (3) Perkembangan sikap sosial yaitu untuk bermasyarakat dengan baik dalam aktivitas sosial (Hurlock 1978).

Pola Asuh Sosial-Emosi

(39)

Penerapan pengasuhan yang menyangkut sejumlah keterampilan interpersonal secara sosial dan emosi yang intensif dari orang tua didapat melalui pembelajaran dari orang tuanya, sebagian orang tua menerima cara mengasuh anak dari orang tuanya dulu dan sebagian lagi tidak memakai cara dari orang tuanya (Santrock 2007). Hasil penelitian dari Satoto (1990), menyatakan bahwa faktor yang saling berkaitan pada pertumbuhan dan perkembangan seorang anak adalah adanya interaksi antara ibu dan anak secara timbal balik dan pemberian stimulasi dari orang dewasa disekitar anak. Hal ini menunjukkan bahwa ketika seseorang telah menempatkan komitmen sebagai fondasi dalam kehidupan berkeluarganya maka kualitas hubunganlah yang dipertaruhkan untuk menentukan arah mana keluarga tersebut akan dibawa. Segala kepentingan pribadi menjadi pemikiran tersendiri untuk diletakkan pada skala prioritas. Banyak faktor yang menentukan keberhasilan interaksi diantara keluarga, salah satunya dengan menempatkan waktu kebersamaan dalam keluarga yang diatur dengan jadwal yang telah disepakati antara orang tua dengan anak-anak.

Hasil penelitian Lee (2008) mengatakan bahwa ibu terutama yang berusia relatif muda atau dibawah usia 19 tahun memiliki kecenderungan untuk melakukan perilaku pengasuhan yang keras terhadap anak-anaknya karena adanya

generation gap terlebih jika tidak mendapatkan dukungan sosial dari pihak luar terutama oleh suaminya sebagai mitra pengasuh dalam keluarga. Pola asuh dalam keluarga sudah lama dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantoro dalam filosofi pendidikan yang pada perkembangannya dapat diterapkan pada keluarga yaitu trikon atau konsentris, kontinuitas dan konvergensi. Lebih jauh dalam penelitian Satu (2008) mengatakan bahwa pola asuh yang mengacu pada konsep trikon tersebut diharapkan akan memacu tumbuh dan berkembangnya anak menjadi sumberdaya manusia yang berkualitas baik secara fisik maupun non fisik yang dicirikan dengan pribadi yang tangguh dan ulet menghadapi tantangan di masa mendatang. Berdasarkan konsep trikon tersebut dikembangkan suatu pola asuh yang memperhatikan tiga aspek yaitu intelektual, emosi dan psikomotorik yang seimbang

(40)

maupun perempuan yang disebabkan karena pengaruh pola asuh dari keluarganya, hal ini menunjukkan pentingnya pengasuhan yang memperhatikan aspek sosial maupun emosi yang berkorelasi dengan kualitas persahabatan dan remaja yang terlibat interparental konflik. Pengembangan kematangan sosial emosi anak yang dilakukan oleh orang tua kepada anak, perlu dilakukan suatu metode pendekatan yang diterangkan oleh Goleman (2002) dalam beberapa aspek, yaitu: (1) Mengakui potensi anak yaitu kemampuan orang tua untuk mengakui potensi dan bakat anak agar anak memiliki kepercayaan atas dirinya sendiri, tidak menghina atau mencela perbuatan anak dan merasa bangga atas perbuatan yang telah dilakukan oleh anak, (2) Mendorong kemampuan berkomunikasi anak kemampuan orang tua untuk mendorong anak berkomunikasi secara terbuka dengan menggunakan bahasa yang positif, sopan sesuai adat timur dan agama yang dianut, (3) Melatih mengungkapkan emosi anak yaitu kemampuan orang tua melatih anak agar dapat mengungkapkan emosi atau perasaannya dengan cara yang tepat, sesuai dengan norma yang berlaku dan mampu mendengarkan keluh kesah dan perasaannya, (4) Menghargai pertemanan anak merupakan kemampuan orang tua untuk menghargai pertemanan yang dipilih anak sambil mengarahkan anak untuk memilih teman yang baik, (5) Memberikan kepercayaan yaitu kemampuan orang tua memberikan kepercayaan kepada anak untuk mandiri dan memutuskan kepentingannya sendiri namun tetap diberikan batasan atau aturan yang sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat.

Keterikatan Teman Sebaya

(41)

Keterikatan teman sebaya merupakan sumber penting dukungan sosial yang berpengaruh terhadap rasa percaya diri remaja. Dukungan emosional dan persetujuan sosial dalam bentuk konfirmasi dari orang lain merupakan pengaruh yang penting bagi rasa percaya diri remaja (Santrock 2007).

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa keterikatan teman sebaya adalah saat remaja berfungsi dalam pertemanan. Teman sebaya menjadi rekan dan teman bermain. Teman juga merupakan seseorang yang selalu ada untuk menghabiskan waktu dan melakukan aktifitas bersama-sama. Menurut Parker dan Gottman (1988) dalam Santrock (2007) menyatakan bahwa teman sebaya memiliki keterikatan yang berfungsi sebagai berikut: (1) Fungsi Komparasi Sosial merupakan sumber informasi dalam membandingkan nilai dan perilaku. Nilai dan perilaku yang ditunjukkan teman, dapat menjadi contoh bagi remaja ketika menghadapi masalah atau bersikap dengan orang tua, (2) Fungsi kasih sayang sebagai sumber kehangatan, keakraban dan saling percaya. Persahabatan yang terjalin tersebut membuat remaja merasa nyaman berbagi dengan teman sebaya, (3) Dukungan semangat sebagai sumber informasi yang menarik, yang memberi kegembiraan, hiburan dan dukungan semangat pada remaja, (4) Dukungan fisik sebagai sumber dukungan yang senantiasa menyediakan bantuan yang berupa materi dan non materi. Remaja seringkali lebih suka meminta dan memberi bantuan dari teman dan kepada teman sebagai bentuk rasa setia kawan, (5) Dukungan Ego sebagai sumber untuk mendapatkan dukungan dan umpan balik yang menolong remaja untuk menjaga rasa percaya dirinya tetap stabil (ego).

Berdasarkan hasil penelitian dari Wang et al (2009) menyatakan bahwa dukungan dari teman sebaya lebih efektif untuk menekan adanya agresi atau serangan dari lingkungan baik itu dalam bentuk kekerasan secara fisik, verbal maupun relasional. Penelitian lain dari Puspitawati (2008), menyatakan hubungan antara sesama teman yang saling bermasalah akan cenderung meningkatkan tingkat agresifitas dan perilaku kenakalan pada remaja.

(42)

dipertegas dengan pendapat dari Fuhrman (1990) yang mengatakan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi identitas diri diantaranya adalah pola asuh, model identifikasi, homogenitas lingkungan, perkembangan kognisi, sifat individu, pengalaman masa kanak-kanak, pengalaman kerja dan keterikatan dengan kelompok teman sebaya.

Kecerdasan Emosional

Goleman (2002) menyatakan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dengan orang lain serta menggunakan perasaan-perasaan tersebut untuk memandu pikiran dan tindakan. Kecerdasan emosi merupakan kemampuan untuk menggunakan emosi secara efektif dalam mengelola diri sendiri dan mempengaruhi hubungan dengan orang lain secara positif dan diukur dari self awareness yang merupakan kemampuan seseorang untuk mengetahui perasaan dalam dirinya, self management merupakan kemampuan menangani emosinya sendiri, motivation adalah kemampuan menggunakan hasrat untuk setiap saat membangkitkan semangat dan tenaga,

empathy merupakan kemampuan merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain,

relationship management merupakan kemampuan menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain.

(43)

telah memiliki pengendalian dan kemandirian dalam tingkah lakunya (Crow & Crow 1963 dalam Puspitawati 2009).

Kecerdasan emosional juga merupakan koordinasi suasana hati yang merupakan inti dari hubungan sosial yang baik. Seseorang yang pandai menyesuaikan diri dengan suasana hati individu yang lain atau dapat berempati, orang tersebut memiliki tingkat emosionalitas yang baik dan akan lebih mudah menyesuaikan diri dalam pergaulan sosial serta lingkungannya, sehingga seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati. Menurut Salovey dan Myer (diacu dalam Goleman 2002) membagi kecerdasan emosional dalam lima aspek yaitu:

1. Kemampuan Mengenal Emosi Diri adalah kemampuan dari seseorang untuk mengenal dan menyadari emosinya ketika emosi tersebut muncul. Individu yang memiliki kepekaan terhadap perasaannya pada proses selanjutnya akan dengan mudah mengenali emosi orang lain.

2. Kemampuan Mengelola Emosi Diri adalah kemampuan seseorang untuk menangani emosinya sehingga dapat diungkapkan dengan reaksi yang wajar. Seseorang yang tidak cakap dalam mengelola emosinya akan larut dalam emosi negatif, sementara seseorang yang cakap dalam mengelola emosinya akan bangkit kembali menghadapi nasalah yang dihadapinya.

3. Kemampuan Motivasi Diri adalah kemampuan seseorang untuk mengelola emosinya sebagai bentuk atau salah satu cara memotivasi dan menyemangati dirinya sendiri agar dengan penguasaan dan pengendalian diri yang baik dapat meningkatkan kreatifitasnya.

4. Kemampuan Empati adalah kemampuan dari individu yang memiliki empati yang baik, akan dengan mudah memposisikan dirinya pada posisi orang lain sehingga mampu membaca isyarat dari lingkungannya.

5. Kemampuan Membina Hubungan adalah kemampuan untuk bersosialisasi yang didukung oleh kecakapan mengelola emosi pribadi dan berempati.

(44)

bahwa peran orang tua dalam memberikan pola asuh yang baik terhadap anak akan meningkatkan kecerdasan emosional dalam diri anak tersebut sehingga membawa dampak terhadap hasil prestasi akademik yang baik pula.

Penelitian lain dari Arisandi dan Latifah (2007) mengatakan bahwa pola asuh yang baik akan meningkatkan kecerdasan emosional siswa dan menghasilkan prestasi secara akademik maupun motorik yang baik. Kecerdasan emosional dapat ditingkatkan dengan melakukan bimbingan kelompok. Hal itu dibuktikan dengan penelitian dari Nurnaningsih (2011) yang mengatakan bahwa pada hasil studi pendahuluan (sebelum dilakukan pembimbingan kelompok) menunjukkan bahwa kecerdasan emosional siswa berada pada kategori rendah. Hasil penelitian (setelah dilakukan pembimbingan kelompok) menunjukkan bahwa bimbingan kelompok efektif untuk meningkatkan kecerdasan emosional siswa. Program bimbingan kelompok ini direkomendasikan untuk dipertimbangkan sebagai salah satu kerangka kerja dalam pengembangan program bimbingan dan konseling untuk meningkatkan kecerdasan emosional siswa.

Perilaku Bullying

Bullying dilakukan untuk menyakiti teman dan umumnya terjadi berulang kali. Praktek ini bukan merupakan sesuatu yang kebetulan terjadi. Biasanya dilakukan oleh anak yang merasa lebih kuat, lebih berkuasa atau bahkan merasa lebih terhormat untuk menindas anak lain untuk mendapatkan kepuasan atau keuntungan tertentu. Coloroso (2006) juga menyatakan bahwa bullying akan terjadi dengan adanya kekuatan yang tidak seimbang, didalamnya terdapat tiga unsur utama yaitu (1) Pelaku atau penindas, (2) Korban atau tertindas, dan (3) Penonton atau orang yang tidak terlibat secara langsung tapi turut menyaksikan kejadian tersebut.

(45)

lainnya. Proses penyelesaian kenakalan anak remaja dilakukan oleh kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan Bispa, sedangkan prosedurnya hampir sama dengan penyelesaian terhadap orang dewasa, hanya ada pengecualian antara lain terdapat dalam pasal 45 KUHP dan pertimbangan lainnya. Undang-undang yang relevan dalam kasus kenakalan remaja dan perilaku bullying ini dapat menggunakan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang dimaksudkan untuk melindungi dan mengayomi anak ketika berhadapan dengan hukum agar dapat menyongsong masa depannya yang masih panjang, serta memberi kesempatan kepada anak agar melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, dan berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Substansi lain yang diatur dalam Undang-Undang ini antara lain mengenai penempatan anak yang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan dalam Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), dan yang paling mendasar dalam undang-undang ini adalah pengaturan secara tegas mengenai Restoratif Justice and Diversi, yaitu dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan anak dapat kembali kedalam lingkungan sosial secara wajar (Sekretariat Negara-KUHP 2007).

Menurut KUHP dalam pasal 45 berbunyi sebagai berikut: ”Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum umur 16 tahun, hakim dapat menentukan, memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, wali atau memeliharanya tanpa pidana apa pun, atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apa pun, jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran berdasarkan Pasal-Pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503, 504, 505, 514, 517, 519, 526, 531, 532, 536, dan 540, serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan atau pelanggaran tersebut di atas, dan putusannya menjadi tetap atau menjatuhkan pidana pada yang bersalah (UU RI 1997).

(46)

orang tua dan teman sebaya. Pada penelitian Wang et al. (2009) mengatakan bahwa dukungan orang tua terhadap anak akan menekan atau mencegah terjadi

bully maupun victim baik secara fisik, verbal, sosial maupun elektronik. Dukungan dari teman sebaya hanya akan mencegah terjadinya bullying fisik, verbal dan sosial saja. Bullying secara elektronik dukungan dari teman tidak begitu berpengaruh nyata. Hasil penelitian lainnya adalah dari Widayanti (2009) yang mengatakan bahwa seorang korban bully atau biasa dikenal dengan istilah

victim dapat berkembang menjadi pelaku jika terus menerus di bully oleh orang lain. Hasil penelitian menunjukkan 37,55 persen dari salah satu siswa SDN di Semarang adalah korban atau victim. Hal itu semakin diperparah dengan adanya pemahaman dari lingkungan sekolah mengenai perilaku bullying.

Uraian di atas menunjukkan bahwa perilaku bullying sebagai bagian dari kenakalan pada remaja merupakan hal yang sangat serius dan perlu dilakukan tindakan preventif. Umumnya para orang tua, guru dan masyarakat mengganggap fenomena bullying di sekolah adalah hal biasa dan baru meresponnya jika hal itu telah membuat korban terluka hingga membutuhkan bantuan medis dalam hal

bullying secara fisik, sementara bullying secara sosial, verbal dan elektronik masih belum ditanggapi dengan baik. Hal ini diakibatkan karena kurangnya pemahaman akan dampak buruk dari bullying terhadap perkembangan dan

Beberapa penelitian mengenai pola asuh sosial-emosi, kecerdasan emosional, peran teman sebaya dan perilaku bullying dapat dirangkum dalam sebuat tabel sebagai berikut:

Tabel 1: Hasil penelitian sebelumnya yang terkait dengan topik penelitian

(47)
(48)

No Tahun Nama Judul Hasil dan kontrol dari ayah ibu.

12. 2010 Diah

13. 2011 Nurnaningsih Bimbingan Kelompok

(49)

KERANGKA PEMIKIRAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan teoritis adalah Teori Struktural Fungsional, yaitu keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat. Keluarga memiliki tanggung jawab dan peranan yang besar dalam pemeliharaan dan perkembangan anak. Hal ini sesuai dengan model sosialisasi anak dari Broenfenbrenner (Broenfenbrenner 1981; Santrock 2007; Klein dan White 1996) menyajikan model pandangan dari segi ekologi dalam memahami proses sosialisasi dan pendidikan anak. Model tersebut menempatkan anak atau keluarga inti pada pusat di dalam model yang secara langsung dapat berinteraksi dengan lingkungan yang berada di sekitar, misalnya lingkungan mikrosistem (the microsystem) yang merupakan lingkungan terdekat tempat anak tersebut tinggal, meliputi keluarga, sekolah, teman sebaya dan tetangga. Lingkungan yang lebih luas disebut lingkungan mesosistem (the mesosystem) merupakan hubungan antara lingkungan mikrosistem satu dengan mikrosistem lainnya, misalnya hubungan antara lingkungan keluarga dengan sekolah, dan hubungan antara lingkungan keluarga dengan teman sebaya. Lingkungan yang lebih luas lagi disebut lingkungan eksosistem yang merupakan lingkungan anak yang tidak secara langsung mempunyai peranan secara aktif, misalnya lingkungan keluarga besar (extended family) atau lingkungan pemerintahan. Akhirnya lingkungan yang paling luas adalah lingkungan makrosistem (the macrosystem) merupakan tingkatan paling luas yang terdapat sikap, ideologi dari suatu budaya dan kepercayaan. Struktur keluarga yang meliputi karakteristik contoh dan karakteristik keluarga serta lingkungan yang meliputi karakteristik teman dan karakteristik sekolah merupakan input dalam penelitian ini.

(50)

emosinya, sehingga diharapkan diperoleh anak yang cerdas secara emosi. Pertumbuhan kecerdasan emosional dipengaruhi oleh lingkungan, keluarga dan contoh yang didapat seseorang sejak lahir dari orangtuanya. Dari orangtua pula kecerdasan emosional pertama kali diajarkan dengan memberikan contoh dan perilaku yang positif (Hastuti 2008).

Lingkungan bagi anak selain keluarga adalah lingkungan sekolah dan lingkungan sekitar. Dalam lingkungan tersebut anak akan bertemu dengan teman yang usianya relatif sama atau sebaya, teman sebaya memiliki peran yang unik dalam perkembangan anak. Teman sebaya adalah teman yang memiliki tingkat umur dan kedewasaan yang kurang lebih sama. Salah satu fungsi terpenting adalah memberikan sumber informasi dan perbandingan tentang dunia di luar keluarga. Anak-anak menerima umpan balik tentang kemampuan dari teman sebaya. Anak-anak akan mengevaluasi apa yang dilakukan dengan ukuran apakah hal tersebut lebih baik, sama baik, atau lebih buruk dari apa yang dilakukan anak lain. Sulit melakukan hal tersebut di rumah karena saudara biasanya lebih tua atau lebih muda (Santrock 2007).

Output pada penelitian ini adalah mengenai kecerdasan emosional dan perilaku bullying. Kecerdasan emosi remaja dipengaruhi oleh pola pengasuhan orang tua yang memberikan ruang untuk bersosialisasi dengan baik dan secara emosi. Kecerdasan emosional merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan serta mengatur keadaan jiwa. Diharapkan dengan penerapan pola asuh secara sosial emosi yang baik maka akan meningkatkan kecerdasan emosional remaja (Goleman 2002).

(51)

Karakteristik dipisahkan antara lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan bermain remaja, karena remaja termasuk dalam fase tidak stabil perkembangan emosinya. Berdasarkan uraian di atas maka kerangka pemikiran dari penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut ( Gambar 1).

(52)
(53)

METODE PENELITIAN

Desain, Tempat dan Waktu Penelitian

Desain penelitian ini menggunakan cross sectional study yaitu suatu penelitian yang dilakukan pada saat dan waktu tertentu. Penelitian dilakukan di dua Sekolah Menengah Atas (SMA) di Kota Bogor yaitu satu Sekolah Menengah Umum Negeri (SMUN), dan satu Sekolah Menengah Kejuruan Negeri Bogor (SMKN). Waktu pelaksanaan antara bulan Maret sampai Mei 2012. Penelitian ini merupakan bagian dari Penelitian Hibah Kompetensi yang berjudul “Analisis Gender terhadap Pengasuhan, Proses Pembelajaran terhadap Keadaan mental / Emosional pada Siswa di Kota Bogor- Indonesia” yang diketuai oleh Dr. Ir. Herien Puspitawati, M.Sc.,M.Sc pada tahun 2011.

Tehnik Pengambilan Contoh

Populasi pada penelitian ini adalah anak remaja yang duduk di kelas XI Sekolah Menengah Atas di Kota Bogor. Pengambilan contoh sekolah dilakukan secara purposive berdasar data dari Diknas Kota Bogor dengan kriteria SMU dan SMK sehingga terpilih satu SMUN sebagai contoh dari Sekolah Menengah Umum dan satu SMKN sebagai contoh dari Sekolah Kejuruan. Masing-masing sekolah tersebut diambil siswa kelas XI dengan pertimbangan siswa tersebut sudah dapat beradaptasi, baik dengan lingkungan sekolah maupun dengan sistem pembelajaran dibandingkan dengan kelas X serta tidak disibukkan dengan persiapan Ujian Nasional seperti kelas XII. Penarikan sampel dilakukan secara klaster acak sederhana (Cluster Random Sampling) yaitu penentuan sampel dengan memperhatikan cluster yang ada pada populasi yaitu cluster laki-laki dan perempuan.

(54)

contoh sekolah dengan jumlah 35 laki-laki dan 35 perempuan sehingga jumlah keseluruhan 70 siswa untuk masing-masing sekolah sehingga keseluruhan contoh pada penelitian ini adalah 140 siswa. Secara lengkap kerangka penarikan contoh disajikan dalam Gambar 2.

Gambar 2: Skema penarikan contoh konseptual pola asuh sosial-emosi, kecerdasan emosional, keterikatan teman sebaya dan perilaku

bullying.

Sekolah Menengah Atas (SMA) di Kota Bogor

SMUN

Secara purposive

SMKN

Secara purposive

Kelas XI

Secara

Cluster Random Sampling

Kelas XI

Secara

Cluster RandomSampling

L = 35 P = 35 L= 35

P= 35

(55)

Rumus yang digunakan pada pengambilan sampel ini adalah dengan menggunakan rumus Slovin dalam Riduan (2005) yaitu :

N = n / N (d)2 + 1 Keterangan:

n = sampel; N = populasi;

d = nilai presisi 90% atau sig. = 0.1

Jadi sampel yang diambil untuk mewakili SMU dan SMK adalah sebesar: 765 = n / 765 (0.1)2 + 1

n = 765/765 (0.01) + 1 n = 88,44 atau dibulatkan 88

Ketentuan minimal sampel pada penelitian ini adalah 88 siswa kelas XI dan seperti dijelaskan di atas bahwa jumlah sampel pada penelitian ini adalah 140 siswa sehingga sudah sesuai dengan ketentuan dari rumus di atas.

Jenis Dan Tehnik Pengambilan data

Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer meliputi karakteristik keluarga (usia orangtua, pendidikan orangtua, pekerjaan orangtua dan pendapatan total keluarga), karakteristik contoh (usia, jenis kelamin dan urutan kelahiran), karakteristik teman (jumlah teman, usia teman, pendidikan teman dan alasan pertemanan), pola asuh sosial-emosi, kecerdasan emosional (mengenal emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri, empati dan kemampuan membina hubungan), keterikatan teman sebaya dan perilaku bullying (verbal, fisik, sosial dan elektronik). Keseluruhan data primer tersebut dikumpulkan dengan alat bantu kuesioner.

(56)

Tabel 2: Jenis, cara pengumpulan data dan pengukuran variabel

Primer Siswa kuesioner Merujuk pada Rohner 1986

Primer Siswa kuesioner Merujuk pada Parker dan

Primer Siswa kuesioner Merujuk pada Golleman

Primer Siswa kuesioner Merujuk pada Olweus 1994 dikembangkan oleh Coloroso 2006

Ordinal

(57)

perilaku bullying dengan metode Cronbach’s Alpha. Hasil uji reliabilitas disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3: Hasil uji reliabilitas alat ukur variabel (nilai alpha cronbach) dengan n = 140

No Variabel Jumlah

2. Keterikatan Teman Sebaya 32 item 0,757 1= tidak setuju

2= kurang setuju

Data yang diperoleh diolah melalui proses editing, coding, scooring, entry data dan cleaning data. Data selanjutnya disajikan dalam bentuk tabel dan dianalisis secara deskriptif dan statistik inferensial.

Data yang dianalisis secara statistik deskriptif meliputi:

1. Data karakteristik contoh meliputi usia, jenis kelamin dan urutan kelahiran pada contoh. Data tentang karakteristik contoh diukur dengan satuan tahun pada usia anak dan keterangan laki-laki atau perempuan pada jenis kelamin. Urutan kelahiran diukur dengan keterangan mengenai urutan kelahiran dalam keluarga.

(58)

dikelompokkan menjadi; (1) 33 - 45 tahun; (2) 46 - 57 tahun dan (3) 58 - 70 tahun. Pendidikan dikatagorikan menjadi (1) Lulus SD/Sederajat (6 tahun); (2) Lulus SMP/sederajat (9 tahun); (3) Lulus SMA/sederajat (12 tahun); (4) Lulus Diploma III (15 tahun); (5) Lulus Sarjana Strata 1(16 tahun); (6) Lulus Sarjana Strata 2(18 tahun) dan (7) Lulus Sarjana Strata 3 (21 tahun). Pekerjaan dikatagorikan menjadi: (1) PNS, (2) Swasta; (3) wiraswasta/dagang, (4) buruh/supir, (5) BUMN, (6) pensiunan, (7) TNI/Polri dan (8) IRT/Tidak Bekerja. Sementara pendapatan dikategorikan menjadi (1) < Rp.1.000.000 ; (2) Rp.1.000.001- Rp.2.000.000 ; (3) Rp.2.000.001-Rp.3.000.000 ; (4) Rp.3.000.001- Rp.4.000.000 ; (5) Rp.4.000.001- Rp.5.000.000 ; (6) Rp.5.000.001- Rp.6.000.000 ; (7) Rp.6.000.001- Rp.7.000.000 dan (8) > Rp. 7.000.001.

3. Data karakteristik teman meliputi jumlah teman, usia teman, pendidikan teman dan alasan pertemanan. Data karakteristik teman meliputi jumlah teman yang dikatagorikan menjadi (1) < 3 orang, (2) 4-7 orang, (3) 8-15 orang dan (4) > 16 orang. Usia teman dibedakan menjadi (1) < 14 tahun, (2) 15-18 tahun, (3) 19-22 tahun dan (4) > 23 tahun. Pendidikan teman yang dibedakan atas (1) SD-SMA, (2) SMP-SD-SMA, (3) SMA-Perguruan Tinggi. Alasan pertemanan diukur dengan dikategorikan jawabannya kedalam (1) kesamaan hobi, (2) kesamaan cita-cita, (3) kesamaan kegiatan/aktifitas dan (4) dan lain-lain (tuliskan alasannya).

(59)

Skor yang diberikan adalah (1) sangat setuju, (2) cukup setuju, (3) kurang setuju dan (4) tidak setuju.

Data yang dianalisis berdasarkan pengolahan variabel adalah sebagai berikut: 1. Data tentang pola asuh sosial-emosi berdasarkan perceived. Pernyataan

dirangkum dalam item-item yang berjumlah 10 butir. Data tersebut diskoring. Untuk jawaban “sering” diberi skor 4, jawaban “cukup sering”diberi skor 3, jawaban “jarang” diberi skor 2 dan jawaban “ tidak pernah” diberi skor 1. Data dikategorikan menjadi tinggi (3), sedang (2) dan rendah (1). Asumsi dari skor tersebut adalah bahwa semakin tinggi skor yang diperoleh menunjukkan semakin tinggi pola asuh sosial-emosi yang diterima oleh anak. Konsep kuesioner yang digunakan merujuk pada Rohner (1986) yang dikembangkan oleh Lamria (2007).

2. Data keterikatan teman sebaya diukur berdasarkan perceived anak yang dirangkum dalam pernyataan berjumlah 32 butir. Data tersebut diskoring. Untuk jawaban “setuju” diberi skor 4, jawaban “cukup setuju”diberi skor 3, jawaban “kurang setuju” diberi skor 2 dan jawaban “ tidak setuju” diberi skor 1. Data dikategorikan menjadi tinggi (3), sedang (2) dan rendah (1). Asumsi dari skor tersebut adalah bahwa semakin tinggi skor yang diperoleh menunjukkan semakin tinggi keterikatan dengan teman sebaya. Konsep kuesioner yang digunakan merujuk pada Parker & Gottman (1988) yang dikembangkan oleh Priatini (2006).

Gambar

Tabel 1:  Hasil penelitian sebelumnya yang terkait dengan topik penelitian
Gambar 1: Kerangka Pemikiran konseptual Pola asuh sosial-emosi, Kecerdasan
Gambar 2:  Skema penarikan contoh konseptual pola asuh sosial-emosi,
Tabel 2:  Jenis, cara pengumpulan data dan pengukuran variabel
+7

Referensi

Dokumen terkait

Mengembangkan keprofesionalan melalui tindakan yang reflektif Jumlah (Hasil penilaian kinerja guru) (22) *) Nilai diisi berdasarkan laporan dan evaluasi

[r]

Aktar, Sachu, Emran(2012) in research titled The Impact of Rewards on Employee Performance in Commercial Banks of Bangladesh: An Empirical Study find that there

Pada awalnya pengolahan citra ini dilakukan untuk memperbaiki kualitas citra, namun dengan berkembangnya dunia komputasi yang ditandai dengan semakin meningkatnya

mengapersepsi materi teks deskriptif kepada siswa dianggap masih kurang; Penjelasan materi mengenai menulis teks deskriptif kepada siswa masih kurang;

Pengaruh berbagai komposisi media tanah : bokashi : cocopeat ( 50 : 25 : 25) berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah daun, luas daun, bobot kering tanaman, diameter

Hasil perawatan pada hari ketiga, minggu keempat dan minggu kedelapan memperlihatkan luka bekas operasi sudah menyembuh dan tidak ada tanda - tanda terjadinya

Bersama surat ini saya Sally mengajukan permohonan mengundurkan diri sebagai karyawan dari perusahaan yang Bapak / Ibu pimpin sebagai Translator Mandarin.. Saya ucapkan terima