• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Data penelitian ini dikumpulkan dari dua SMA di Kota Bogor yaitu SMU Negeri Bogor, mewakili sekolah umum dan SMK Negeri Bogor, mewakili sekolah kejuruan. Kedua sekolah ini terletak di kota Bogor dengan status lahan yang digunakan adalah Hak Milik atas nama Pemerintah Daerah Kota Bogor dan termasuk sekolah yang berprestasi serta didukung fasilitas dan sarana prasarana kegiatan belajar mengajar di sekolah yang cukup memadai.

SMUN Bogor menempati lahan seluas 3.920 m2, sedangkan SMKN Bogor merupakan sekolah keahlian yang menempati lahan seluas 5885 m2. Kelancaran kegiatan pembelajaran di sekolah masing-masing dipimpin oleh satu orang kepala sekolah dan dibantu oleh empat orang wakil kepala sekolah yang memiliki tugas dan tanggung jawab sendiri-sendiri yaitu sebagai wakil kepala sekolah bidang kurikulum, wakil kepala sekolah bidang kesiswaan, wakil kepala sekolah bidang sarana prasarana dan wakil kepala sekolah bidang hubungan masyarakat. Kedua sekolah dilengkapi pula dengan guru pengajar, guru BP/BK, petugas tata usaha, petugas perpustakaan, petugas laboratorium, komite sekolah, petugas kebersihan dan petugas keamanan sekolah.

Jumlah Guru dan Siswa

Perolehan dari data sekunder menunjukkan bahwa SMKN memiliki siswa yang lebih banyak dibanding SMUN, banyaknya jumlah siswa tersebut berkaitan dengan jumlah kelas dan luas lahan yang ada di dua sekolah tersebut. Jumlah guru di SMKN juga lebih banyak dibandingkan dengan jumlah guru di SMUN. Namun demikian rasio antara guru dengan siswa dari kedua sekolah tersebut tidak terlalu jauh berbeda yaitu 1 : 18 yang berarti bahwa setiap satu guru membimbing delapan belas siswa, untuk rasio di SMUN dan 1 : 17 atau dapat diartikan dengan pernyataan bahwa setiap satu guru membimbing tujuh belas siswa, untuk rasio di SMKN. Jumlah rombongan belajar dalam kelas untuk SMU dan SMK adalah sama yaitu antara 32 sampai 38 siswa, jadi pada penelitian ini sudah sesuai ketentuan dari Diknas (BPS 2006). Secara lebih jelas disajikan dalam Tabel 5.

Fasilitas Sekolah

Fasilitas dari kedua sekolah yang tersedia meliputi ruang kepala sekolah, ruang guru, ruang TU, ruang laboratorium, tempat ibadah, ruang komputer, ruang perpustakaan, toilet laki-laki dan perempuan secara terpisah, ruang UKS, ruang BK, ruang OSIS, lapangan olahraga dan ruang kelas. SMUN Bogor memiliki pembagian kelas X, XI dan XII sebanyak masing-masing sembilan. sehingga jumlah kelas keseluruhan adalah dua puluh tujuh kelas. Sedangkan SMKN Bogor memiliki pembagian kelas X, XI dan XII sebanyak masing-masing sebelas kelas sehingga jumlah keseluruhan kelas adalah tiga puluh tiga kelas (Tabel 5).

Tabel 5: Luas lahan,status kepemilikan,jumlah kelas, jumlah guru, jumlah siswa dan rasio guru dan siswa.

No Nama Sekolah Luas Lahan (m2) Status Kepemili kan Jumlah Kelas (ruang) Jumlah Guru (orang) Jumlah Siswa (orang) Rasio Guru:Siswa 1. SMUN 3920 Pemda 27 63 1113 1 : 18 2. SMKN 5885 Pemda 33 74 1262 1 : 17

Sumber : Data sekolah terpilih (2012)

Peraturan Sekolah

Kelancaran proses kegiatan belajar mengajar tidak dapat terlepas dari peraturan-peraturan sekolah. Kedua sekolah yang dijadikan penelitian menerapkan peraturan dengan kedisiplinan dan pemberian sanksi yang disesuaikan permasalahannya. Kasus yang dihadapi di masing-masing sekolah dibedakan dalam dua kategori yaitu kategori kesatu dan kedua. Kategori kesatu meliputi kedisiplinan berpakaian, membolos pada jam sekolah, kedatangan tepat waktu, merokok, pertengkaran dan perkelahian, sedangkan kategori kedua meliputi pemakaian narkoba dan zat adiktif lainnya, kehamilan, pelecehan dan penyimpangan seksual. Sanksi yang diterapkan pada kategori kesatu adalah melalui teguran kepada siswa yang bersangkutan, surat teguran dan pemanggilan terhadap orang tua siswa jika masih berlanjut, jika tidak ada perubahan maka sanksi terakhir adalah dikeluarkan dari sekolah. Sanksi pada kasus kategori kedua adalah langsung diberhentikan atau dikeluarkan dari sekolah terhadap siswa yang bersangkutan. Lebih spesifik permasalahan yang dihadapi siswa SMKN Bogor selain tersebut diatas dilatar belakangi oleh faktor ekonomi keluarga yang relatif rendah, jadi dengan penghasilan keluarga yang rendah tersebut mengakibatkan

siswa di SMKN tidak dapat datang tepat waktu karena harus berjalan kaki dari rumah ke sekolah, tidak memakai sepatu yang seragam karena sepatu yang dipakai telah rusak dan masih banyak contoh kasus lain yang berkaitan dengan faktor keuangan keluarga siswa.

Fasilitas dan peraturan sekolah yang baik saja dirasa tidak cukup untuk meningkatkan kualitas siswa, maka kedua sekolah tersebut melakukan pembimbingan dan penilaian terhadap siswa. Guru BP/BK secara klasikal dari kelas X sampai XII memberikan pembimbingan yang dilakukan secara intensif dan diintegrasikan dalam mata pelajaran Bimbingan Konseling, sedangkan masing-masing guru wali kelas secara khusus memberikan bimbingan dan penilaian secara personal terhadap siswa. Pada penelitian ini guru wali kelas diminta untuk memberikan penilaian terhadap masing-masing siswa contoh yang meliputi kebiasaan berkata kasar, emosional, kekerasan secara fisik, kekerasan melalui media elektronik dan efek negatif yang diberikan terhadap orang lain. Penilaian guru/wali kelas terhadap siswa tersebut disajikan dalam bentuk kuesioner dengan pilihan jawaban menggunakan empat skala yaitu sangat setuju, cukup setuju, kurang setuju dan tidak setuju (Tabel 6).

Tabel 6: Penilaian guru/wali kelas terhadap siswa

No Pernyataan Penilaian ( % ) Rata- rata skor Std. SS CS KS TS Total Skor (1) (2) (3) (4) 1. Berkata kasar 0.0 5.7 30.0 64.3 100 3.6 0.6 2. Emosional 0.0 5.7 20.0 74.3 100 3.7 0.6 3. Kekerasan fisik 0.7 0.7 5.0 93.6 100 3.9 0.4 4. Media elektronik 0.0 0.7 6.4 92.9 100 3.9 0.3 5. Pengaruh negatif 0.7 1.4 7.1 90.7 100 3.7 0.4 Keterangan:

SS = Sangat setuju; CS = Cukup Setuju; KS = Kurang Setuju; TS = Tidak Setuju

Std = Standar deviasi

Dari data di atas dapat dikatakan bahwa rata-rata menurut penilaian guru/wali kelas kurang setuju/tidak setuju jika siswa siswi di sekolah masing- masing melakukan perilaku bullying secara fisik, verbal, membawa pengaruh negatif dan emosional.

Karakteristik Contoh Jenis Kelamin dan Usia Contoh

Contoh pada penelitian ini berjumlah 140 siswa yang terdiri dari siswa laki-laki sebanyak 70 orang (50 %) dan siswa perempuan sebanyak 70 orang (50 %). Contoh tersebut diambil dari dua sekolah menengah terpilih yang terdiri atas 70 orang (50%) siswa SMUN dan 70 orang (50%) siswa SMKN.

Usia contoh secara keseluruhan berkisar antara 14 sampai 18 tahun. Baik contoh laki-laki maupun perempuan memiliki persentase tertinggi usia 16 tahun (52.9 %) dan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan

perempuan pada taraf α < 0.05 (Tabel 7).

Rata-rata usia contoh adalah 16 tahun dan usia tersebut termasuk dalam kategori remaja. Hal ini sesuai dengan data dari Diknas yang menyatakan tentang usia 16-18 tahun adalah usia yang sesuai untuk mengenyam pendidikan di tingkat SMA (BPS 2006).

Tabel 7: Sebaran usia contoh berdasarkan jenis kelamin Usia

(tahun)

Laki-laki Perempuan Total

n % n % n % 14 1 1.4 0 0 1 0.7 15 4 5.7 4 5.7 8 5.7 16 32 45.7 42 60.0 74 52.9 17 31 44.3 23 32.9 54 38.6 18 2 2.9 1 1.4 3 2.1 Total 70 100 70 100 140 100 Minimum 14 18 16.4± 0.7 15 18 16.3 ±0.6 14 18 16.4 ±0.7 Maksimum Rata-rata ± Std Uji Beda T(p) 0.31TB

Keterangan: TB = Tidak Berbeda Nyata

Urutan Kelahiran

Contoh pada penelitian ini bervariasi jika ditinjau dari urutan kelahiran, mulai dari anak kesatu sampai kesembilan, namun dalam laporan hasil ditunjukkan dengan anak kesatu, kedua, ketiga dan lebih dari tiga. Secara keseluruhan, persentase terbesar anak urutan kesatu (45.7%) selebihnya menyebar rata dari kedua sampai lebih dari tiga. Hal yang sama terlihat pada contoh laki- laki (48.5%) maupun perempuan (42.8%) merupakan anak kesatu (Tabel 8).

Tabel 8: Sebaran urutan kelahiran contoh berdasarkan jenis kelamin

Keterangan: TB = Tidak Berbeda Nyata

Karakteristik Keluarga Usia Orang tua

Pada Tabel 9 menunjukkan bahwa usiaorang tua contoh berkisar antara 33 sampai 70 tahun. Secara keseluruhan usia ayah contoh laki-laki berada pada kisaran usia 46-57 tahun (50.8%). Persentase terbanyak pada ayah contoh perempuan (51.5%), ibu contoh laki-laki (70.1%) dan ibu contoh perempuan (73%) berda pada kisaran usia antara 33 sampai 45 tahun. Rata-rata usia ayah contoh adalah 46.7 sampai 47.5 tahun sedangkan rata-rata usia ibu contoh adalah 42.7 sampai 44 tahun, dan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara usia orang tua contoh laki-laki dan perempuan pada taraf α < 0.05 (Tabel 9).

Tabel 9 : Sebaran kategori usia orang tua contoh berdasarkan jenis kelamin

Kategori Usia Ayah Usia Ibu

Contoh Laki-laki Contoh perempuan Contoh Laki-laki Contoh perempuan n % n % n % n % Meninggal 5 7.1 3 4.3 4 5.7 0 0.0 33– 45 24 36.9 34 51.5 45 70.1 53 73.0 46 – 57 33 50.8 28 42.4 18 26.9 14 23.4 58 – 70 8 12.3 4 6.1 2 3.0 3 3.6 Total 70 100 70 100 70 100 70 100 Minimum 37 38 33 34 Maksimum 62 70 62 61 Mean ± SD 47.5 ± 5.5 46.7± 5.6 44.0 ± 6.0 42.7 ± 5.6 Uji Beda T(p) 0.41TB 0.20TB

Keterangan: TB = Tidak Berbeda Nyata

Urutan Kelahiran Contoh Laki-laki Contoh Perempuan Total n % n % n % 1 34 48.5 30 42.8 64 45.7 2 18 25.7 23 32.9 41 29.3 3 8 11.4 10 14.3 18 12.9 ≥4 10 13.1 7 9.9 17 12.0 Total 70 100 70 100 140 100 Minimum 1 9 1 9 2.00 ± 1.58 1 9 2.03 ± 1.65 0.8 TB Maksimum Mean ± SD 2.06 ± 1.74 Uji Beda T(p)

Hasil penelitian menunjukkan secara umum usia ibu dibawah usia ayah serta berada pada kelompok dewasa madya, hal ini sesuai dengan pendapat dari Hurlock (1978) yang menjelaskan bahwa usia terbagi atas tiga kategori diantaranya adalah kelompok usia dewasa awal (18-30), dewasa madya (30-60), dan dewasa lanjut (diatas 60). Dalam teori perkembangan yang disampaikan oleh Duvall (1957) menyatakan bahwa orang tua yang berada pada masa dewasa madya memiliki anggota keluarga yang berusia remaja didalamnya sehingga mempunyai tugas dalam perkembangan anak untuk membimbing dan membantu remaja menghadapi perubahan fisik yang cepat.

Pendidikan Orang Tua

Pendidikan yang ditempuh oleh orang tua contoh sangat beragam mulai dari jenjang SD/sederajat sampai jenjang S3. Pendidikan ayah dan ibu contoh yang terendah adalah SD sedangkan pendidikan tertinggi ayah contoh adalah S3 dan pendidikan tertinggi ibu contoh adalah S2 (Tabel 10).

Tabel 10: Sebaran pendidikan orang tua contoh berdasarkan jenis kelamin

Jenjang (tahun) Pendidikan Ayah Pendidikan Ibu

Contoh Laki-laki Contoh Perempuan Contoh Laki-laki Contoh Perempuan n % n % n % n % Lulus SD (6) 6 8.6 4 5.7 16 22.9 11 15.7 Lulus SMP (9) 9 12.9 4 5.7 7 10.0 8 11.4 Lulus SMA (12) 26 37.1 29 41.4 23 32.9 30 42.9 Lulus D3 (15) 2 2.9 3 4.3 6 8.6 4 5.7 Lulus S1(16) 21 30.0 22 31.4 15 21.4 15 21.4 Lulus S2 (18) 4 5.7 4 5.7 3 4.3 2 2.9 Lulus S3 (21) 2 2.9 4 5.7 0 0.0 0 0.0 Total 70 100 70 100 70 100 70 100 Minimum 6 6 6 6 Maksimum 21 21 18 18 Rata-rata ± SD 13.0 ± 3.6 13.8 ± 3.5 11.7 ± 3.9 11.9 ± 3.4 Uji Beda T(p) 0.19TB 0.73TB

Keterangan: TB = Tidak Berbeda Nyata

Secara keseluruhan persentase tertinggi pendidikan ayah contoh laki-laki (37.1%) dan ayah contoh perempuan (41.4%). Persentase tertinggi pendidikan ibu contoh laki-laki (32.9%) dan ibu contoh perempuan (42.9%) adalah lulus SMA. Rata-rata lama pendidikan ayah contoh laki-laki (13.0) lebih rendah dari ayah contoh perempuan (13.8) serta tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara contoh laki-laki dan perempuan pada taraf α < 0.05. Rata-rata lama

pendidikan ibu contoh laki-laki (11.7) lebih rendah dari ibu contoh perempuan (11.9) serta tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara contoh laki-laki dan

perempuan pada taraf α < 0.05 (Tabel 10).

Berdasarkan data tersebut dapat dinyatakan bahwa pendidikan orang tua contoh cukup tinggi, hal ini terlihat dari jumlah persentase orang tua contoh yang beragam pendidikan di atas lulus SMP yang berarti bahwa orang tua contoh telah melewati batas minimal wajib belajar yaitu sembilan tahun atau lulus SMP. Hal ini dijelaskan dari data Diknas (BPS 2006) yaitu adanya program pemerintah mengenai pendidikan wajib belajar yang harus ditempuh oleh warga negara Indonesia minimal adalah sembilan tahun atau setara dengan lulus SMP.

Pekerjaan Orang tua

Keseluruhan hasil penelitian menunjukkan kurang dari setengah ayah contoh (31.4%) bekerja sebagai pegawai swasta dan lebih dari setengah ibu contoh (67.1%) sebagai ibu rumah tangga (Tabel 11).

Tabel 11: Sebaran pekerjaan orang tua contoh berdasarkan jenis kelamin Jenis

Pekerjaan

Contoh Laki-laki Contoh Perempuan Total

Ayah Ibu Ayah Ibu Ayah Ibu

n % n % n % n % n % n % Meninggal 5 7.1 3 4.3 4 5.7 0 0 9 6.4 3 2.1 PNS 20 28.6 12 17.1 21 30.0 7 10.0 41 29.3 19 13.6 Swasta 20 28.6 3 4.3 24 34.3 5 7.1 44 31.4 8 5.7 Wiraswasta 16 22.9 3 4.3 16 22.9 11 15.7 32 22.9 14 10.0 Buruh/sopir 4 5.7 0 0.0 1 1.4 0 0.0 5 3.6 0 0.0 BUMN 2 2.9 0 0.0 0 0.0 0 0.0 2 1.4 0 0.0 Pensiunan 1 1.4 0 0.0 0 0.0 0 0.0 1 0.7 0 0.0 Polri/TNI 2 2.9 1 1.4 4 2.9 1 1.4 6 4.3 2 1.4 IRT 0 0.0 48 68.6 0 0.0 46 65.7 0 0.0 94 67.1 Total 70 100 70 100 70 100 70 100 140 100 140 100

Berdasarkan jenis kelamin menunjukkan persentase tertinggi (28.6%) pada ayah contoh laki-laki adalah sebagai pegawai swasta dan PNS (Pegawai negeri sipil), sedangkan jenis pekerjaan ayah contoh perempuan adalah sebagai swasta (34.3%). Pada jenis pekerjaan ibu contoh baik laki-laki (65.7%) maupun perempuan (68.6%) sebagai Ibu Rumah Tangga (Tabel 11).

Pendapatan Total Keluarga

Pendapatan total keluarga contoh adalah pendapatan yang diperoleh dari total pendapatan dalam keluarga per bulan yang berkisar kurang dari Rp.1,000,000 sampai lebih dari Rp. 7,000,000. Berdasarkan keseluruhan contoh (25.7%) terhadap total pendapatan keluarga adalah pada kisaran Rp. 1.000.001 – Rp. 2.000.000. Hal yang sama pula terlihat dari jenis kelamin yang menunjukkan proporsi tertinggi (25.7%) baik contoh laki-laki maupun perempuan berada pada kisaran Rp. 1.000.001 – Rp. 2.000.000 dan selebihnya menyebar rata pada kisaran kurang dari Rp. 1.000.000 sampai lebih dari Rp.7.000.000. Hasil uji beda menunjukkan perbedaan yang signifikan antara pendapatan total keluarga contoh laki-laki dan perempuan pada taraf α < 0.05.

Tabel 12. Sebaran pendapatan total keluarga contoh berdasarkan jenis kelamin Pendapatan Total Keluarga Contoh

Laki-laki Contoh Perempuan Total n % n % n % ≤ Rp. 1.000.000 13 18.6 12 17.1 25 17.9 Rp. 1.000.001 – Rp. 2.000.000 18 25.7 18 25.7 36 25.7 Rp. 2.000.001 – Rp. 3.000.000 13 18.6 8 11.4 21 15.0 Rp. 3.000.001 – Rp. 4.000.000 9 12.9 13 18.6 22 15.7 Rp. 4.000.001 – Rp. 5.000.000 6 8.6 9 12.9 15 10.7 Rp. 5.000.001 – Rp. 6.000.000 4 5.7 4 5.7 8 5.7 Rp. 6.000.001 – Rp. 7.000.000 0 0.0 3 4.3 3 2.1 ≥ Rp. 7.000.001 7 10.0 3 4.3 10 7.1 Total 70 100 70 100 140 100

Hal ini sesuai dengan data yang dihimpun oleh Human resource community, yang menunjukkan bahwa upah minimum regional untuk daerah Jawa Barat pada tahun 2012 sebesar Rp. 1.236.991 dan lebih spesifik terdapat perbedaan antar berbagai wilayah, seperti untuk wilayah Kota Bogor pada tahun 2012 adalah sebesar Rp. 1.174.200 dan upah minimum regonal untuk wilayah Kabupaten Bogor pada tahun 2012 sebesar Rp. 1.269.320 (www.hrcentro.com), sehingga dapat dikatakan bahwa hasil penelitian untuk pendapatan total keluarga pada contoh sebagian besar telah melewati batas UMR (Tabel 12).

Karakteristik Teman Contoh Kelompok Teman Berdasarkan Jumlah Teman Contoh

Contoh memiliki teman yang jumlahnya bervariasi mulai dari kisaran kurang dari tiga sampai lebih dari enam belas orang. Hasil penelitian

menunjukkan sebanyak 37.1 persen dari keseluruhan contoh memiliki teman yang berjumlah antara empat sampai tujuh orang, akan tetapi berdasar jenis kelamin terlihat bahwa contoh laki-laki memiliki teman yang lebih banyak yaitu empat sampai lima belas orang (37.1%) (Tabel 13).

Berdasarkan hasil penelitian yang disajikan pada Tabel 13, dapat diketahui bahwa contoh membutuhkan teman dalam lingkungan pergaulan sebagai ajang sosialisasi dan keseimbangan emosional, karena anggota keluarga jarang memenuhi tersebut yang disebabkan karena dalam anggota keluarga terutama orang tua dianggap terlalu tua untuk mengerti tentang remaja. Hal ini sesuai dengan pendapat Hurlock (1978), yang mengatakan bahwa jumlah teman yang dimiliki anak untuk memuaskan kebutuhan mereka sangat bervariasi sesuai dengan usia dan tingkat perkembangannya.

Tabel 13: Sebaran jumlah teman contoh berdasarkan jenis kelamin Kisaran Jumlah Teman

( orang ) Contoh Laki-laki Contoh Perempuan Total n % n % n % ≤ 3 3 4.3 8 11.4 11 7.9 4 – 7 26 37.1 26 37.1 52 37.1 8 – 15 26 37.1 20 28.6 46 32.9 ≥ 16 15 21.4 14 20.0 29 20.7 Total 70 100 70 100 140 100

Papalia (2008) menyatakan bahwa jumlah teman yang sesuai akan saling mempengaruhi baik perilaku negatif maupun positif, akan tetapi pada anak laki- laki memiliki teman dalam jumlah yang lebih banyak karena laki-laki cenderung mendapatkan harga diri dengan mengalahkan orang lain. Aturan secara umum adalah jumlah teman yang dibutuhkan akan meningkat bila usia anak bertambah dewasa.

Kelompok Teman Berdasarkan Usia Teman Contoh

Penelitian menunjukkan lebih dari setengah jumlah contoh (62.9 %) memiliki teman yang berusia antara 15 sampai 18 tahun. Berdasarkan jenis kelamin juga menunjukkan bahwa contoh laki-laki, persentase tertinggi (65.7%) dan contoh perempuan (60%) memiliki teman yang berusia antara 15 sampai 18 tahun (Tabel 14).

Berdasarkan Tabel 14 dapat dikatakan bahwa antara contoh dengan teman contoh terdapat usia yang relatif homogen yaitu antara 15 sampai 18. Hal ini

sesuai dengan pendapat Papalia (2008) yang mengatakan bahwa remaja cenderung berteman dengan orang yang usianya sebaya karena adanya kesamaan perkembangan baik secara fisik, secara emosional dan secara kognitif, sehingga membuat akan merasa lebih nyaman dalam berteman

Tabel 14: Sebaran usia teman contoh berdasarkan jenis kelamin Kisaran Usia Teman

(tahun) Contoh Laki-laki Contoh Perempuan Total n % n % n % ≤ 14 9 12.9 8 11.4 17 12.1 15 – 18 46 65.7 42 60.0 88 62.9 19 – 22 12 17.1 13 18.6 25 17.9 ≥ 23 3 4.3 7 10.0 10 7.1 Total 70 100 70 100 140 100

Kelompok Teman Berdasarkan Pendidikan Teman Contoh

Hasil penelitian menunjukkan persentase tertinggi contoh (63.6%) memiliki teman dengan tingkat pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) sampai Perguruan Tinggi (PT). Berdasarkan jenis kelamin terlihat bahwa contoh perempuan (68.6%) dan contoh laki-laki (58.5%) juga memiliki teman yang berpendidikan antara SMA sampai PT. Contoh dengan teman contoh memiliki latar belakang pendidikan yang relatif sama sehingga memudahkan mereka untuk saling berkomunikasi dan berbagi informasi mengenai apapun yang diperoleh di sekolah. Hal ini sesuai dengan pendapat Papalia (2008) yang menyatakan bahwa remaja cenderung memilih teman yang satu lingkungan dengan dirinya dikarenakan adanya kesamaan lingkungan yang homogen (Tabel 15).

Tabel 15: Sebaran pendidikan teman contoh berdasarkan jenis kelamin Pendidikan Teman Contoh

Laki-laki Contoh Perempuan Total n % n % n % SD – SMA 2 2.9 1 1.4 3 2.1 SMP – SMA 27 38.6 21 30.0 48 34.3 SMA – PT 41 58,5 48 68.6 89 63.6 Total 70 100 70 100 140 100

Kelompok Teman Berdasarkan Alasan Pertemanan Contoh

Hasil penelitian menunjukkan setengah jumlah contoh (50.7%) menggunakan pernyataan kesamaan kegiatan sebagai alasan contoh dalam memilih teman. Hal yang sama juga jika dilihat berdasarkan jenis kelamin

menunjukkan bahwa contoh laki-laki maupun perempuan memiliki kesamaan kegiatan sebagai alasan pertemanan, sehingga dapat dikatakan bahwa kesamaan kegiatan merupakan alasan terpenting dalam pertemanan remaja (Tabel 16). Tabel 16: Sebaran alasan pertemanan contoh berdasarkan jenis kelamin Alasan Pertemanan Contoh Laki-laki Contoh

Perempuan Total n % n % n % Kesamaan hobi 19 27.2 18 25.7 37 26.7 Kesamaan cita-cita 14 20.0 18 25.7 32 22.9 Kesamaan kegiatan 37 52.9 34 48.7 71 50.7 Total 70 100 70 100 140 100

Hal ini sesuai dengan pendapat Hurlock (1978), yang menyatakan beberapa alasan penting yang dibutuhkan akan pertemanan adalah adanya perasaan menerima perhatian dan afeksi yang berupa kesamaan minat, kesamaan nilai dan kedekatan geografis.

Pola Asuh Sosial-Emosi

Fase remaja adalah fase pencarian identitas diri yang sangat penting untuk mendapatkan rasa percaya diri. Menurut teori Erickson, tugas utama remaja adalah membangun pemahaman baru mengenai identitas diri yaitu sebuah perasaan tentang siapa dirinya dan sebagai apa ditatanan sosial yang lebih besar (Crain 2007).

Hasil penelitian menunjukkan, lebih dari setengah contoh (50.7% - 58.6%)

menyatakan sering pada pernyataan “jika saya berhasil menjadi juara kelas maka

orangtua akan ikut senang, orang tua mengenal teman bermain saya baik di rumah maupun di sekolah dan orang tua memberikan kepercayaan terhadap pilihan saya dalam mencari teman bermain”. Contoh melaporkan dengan memberikan

pernyataan “jarang” pada pernyataaan “Ketika saya berhasil (mendapat nilai

bagus ) maka saya akan mendapat pujian dan hadiah dari orangtua, ketika saya gagal dalam ulangan orangtua akan mengajak menelusuri bersama penyebab kegagalannya agar tidak mengulanginya lagi dan kesedihan saya, bagi orangtua merupakan sesuatu yang harus di ungkapkan tetapi tidak yakin ada tindakan yang mampu menghilangkan kesedihan tersebut” dengan skor kurang lebih setengah jumlah contoh (34.3%-51.4%), namun sebanyak 44.3 persen contoh menyatakan

bahwa orang tua tidak mengijinkan anak marah untuk mengeluarkan kekesalannya (Lampiran 4).

Berdasarkan analisis jenis kelamin pada Lampiran 4, menunjukkan adanya perbedaan penerimaan pola asuh sosial-emosi yang diterima antara contoh laki- laki dan perempuan. Pernyataan-pernyataan yang menunjukkan perbedaan diantaranya adalah ketika anak berhasil mendapatkan prestasi maka orang tua akan memberikan hadiah, rata-rata skor perempuan (2.6) lebih tinggi dari laki-laki (2.3). Pernyataan yang menyebutkan bahwa orang tua akan memberikan solusi ketika anak takut menghadapi guru, diperoleh rata-rata skor perempuan (2.7) lebih tinggi dari laki-laki (2.3). Pernyataan lainnya yang mengatakan bahwa orang tua mengajarkan berempati memiliki rata-rata skor perempuan (3.4) lebih tinggi dari laki-laki (3.1). Pernyataan mengenai orang tua tidak yakin bahwa kesedihan yang diungkapkan anak akan menghilangkan kesedihan tersebut diperoleh rata-rata skor perempuan (2.6) lebih tinggi juga dari laki-laki (2.1).

Hasil penelitian pada Tabel 17 menunjukkan lebih dari setengah contoh (65.7%) mendapatkan kualitas pola asuh secara sosial dan emosi dengan kategori sedang, persentase pada contoh perempuan (61.4%) dan laki-laki (70.0%) juga berada pada kategori sedang dengan rata-rata skor perempuan (29.0) lebih tinggi dari laki-laki (27.4) dan terdapat perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan pada taraf α < 0.05. Hal ini berarti bahwa orangtua contoh memperlakukan anak perempuan lebih baik dalam pola asuh sosial-emosi dibandingkan contoh laki-laki. Menurut Puspitawati (2012), menyatakan bahwa perlakuan orang tua dalam pengasuhan berbeda secara gender karena secara fisik dan genetik berbeda. Pada anak laki-laki diarahkan dengan kegiatan yang menuju independensi serta orang tua mempunyai ekspektasi agar menjadi kuat dan agresif dalam mencapai cita-cita, sedangkan anak perempuan diarahkan pada kegiatan pasif, sensitif serta hormat dan sopan namun menuju pembentukan emosi.

In-Box: 1

“Contoh (perempuan) mengatakan bahwa kedua orang tua menyayanginya dan jika contoh marah maka ibunya akan merayunya sampai contoh tidak

marah lagi”

Tabel 17: Sebaran kategori pola asuh sosial-emosi contoh berdasarkan jenis kelamin

Kategori Pola asuh sosial-emosi

Jumlah

Laki-laki Perempuan Total

n % n % n % Rendah (10 – 20) 5 7.1 2 2.9 7 5.0 Sedang (21 – 30) 49 70.0 43 61.4 92 65.7 Tinggi (31 – 40) 16 22.9 25 35.7 41 29.3 Total 70 100 70 100 140 100 Minimum 19 39 17 38 17 39 Maksimum Rata-rata ±SD 27.4 ± 4.2 29.0 ± 4.6 28.2 ± 4.5 Uji beda t 0.03**

Keterangan: ** Berbeda nyata pada p < 0.05

Keterikatan Teman Sebaya

Sebagai remaja, kebutuhan identitas sosial adalah sesuatu yang sangat kuat sehingga individu di masa ini akan menerima saja segala persyaratan yang diberikan oleh kelompok. Proses pencarian identitas diri dilakukan remaja untuk mendapatkan kejelasan mengenai dirinya dan untuk membentuk diri menjadi seorang yang utuh dan unik. Pada masanya, remaja memiliki keinginan untuk tidak lagi terlalu bergantung pada keluarganya dan mulai mencari dukungan dan rasa aman dari kelompok sebayanya. Pencarian identitas diri mereka dapatkan melalui pertemanan dengan sebaya yang saling pengaruh mempengaruhi. Bagi remaja penerimaan dalam pertemanan dengan saling keterikatan yang tinggi menjadi sangat penting karena bisa berbagi rasa dan pengalaman dengan teman sebaya dan kelompoknya. Keterikatan dengan teman sebaya menjadi model atau contoh bagi remaja dalam upaya pencarian identitas diri (Quiroz 2006).

Hasil penelitian yang disajikan pada Lampiran 5, menyatakan bahwa kurang dari setengah contoh merasa sering beranggapan bahwa orang tuanya

In-Box: 2

“menurut contoh (laki-laki) orang tua tidak pernah mengijinkan contoh mengeluarkan kekesalannya ketika marah dan juga tidak memberikan solusi ketika contoh bermasalah dengan guru, orang tua mengharuskan dirinya mampu mengatasi permasalahannya sendiri”.

khawatir dengan pergaulan dengan temannya, lebih senang curhat dengan teman, sering dihibur teman ketika sedih, merasa lebih nyaman dengan teman ketika ada masalah, menanggapi cerita teman jika menarik, sering juga meminta bantuan secara langsung, sering curhat dengan teman dan sering pula menghibur teman

Dokumen terkait