• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengertian dan Pendekatan Teori Keluarga Pengertian Keluarga

Keluarga adalah wahana utama dan pertama bagi anggota-anggotanya untuk mengembangkan potensi, mengembangkan aspek sosial dan ekonomi serta penyemaian benih cinta kasih dan sayang antar anggota keluarga. Menurut beberapa ahli, keluarga merupakan unit sosial ekonomi terkecil dalam masyarakat yang merupakan kelompok primer yang terdiri dari dua atau lebih orang yang mempunyai jaringan interaksi interpersonal, hubungan darah, hubungan perkawinan dan adopsi (BKKBN 1992; Khairuddin 1985; Landis 1989; Day et al. 1995; Gelles 1995).

Tujuan membentuk keluarga adalah untuk mewujudkan kesejahteraan bagi anggota keluarga. Keluarga yang sejahtera diartikan sebagai keluarga yang dibentuk berdasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan fisik dan mental yang layak, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta memiliki hubungan yang serasi, selaras dan seimbang antar anggota keluarga dan antar keluarga dengan masyarakat dan lingkungan (Landis 1989; BKKBN 1992).

Setiap keluarga mempunyai tujuan dan fungsi keluarga. Menurut Rice dan Tucker (1989) mengatakan bahwa fungsi keluarga meliputi fungsi ekspresif yaitu fungsi untuk memenuhi kebutuhan emosi dan perkembangan anak termasuk moral, loyalitas dan sosialisasi anak, fungsi instrumental yaitu fungsi manajemen sumberdaya keluarga untuk mencapai berbagai tujuan keluarga melalui prokreasi dan sosialisasi anak, dukungan serta pengembangan anggota keluarga.

Pendekatan Teori Struktural Fungsional

Pendekatan yang dimaksud di sini adalah suatu pendekatan teori sosiologi yang diterapkan dalam institusi keluarga dan mempunyai prinsip-prinsip serupa yang terdapat dalam kehidupan sosial masyarakat. Struktur dan fungsi keluarga tersebut tidak terlepas dari pengaruh budaya, norma dan nilai-nilai yang melandasi sistem masyarakat tersebut (Megawangi 2002).

Teori struktural fungsional menganggap bahwa masyarakat sebagai organisme biologis yang terdiri dari organ-organ yang saling ketergantungan, dan

ketergantungan tersebut merupakan hasil atau konsekuensi agar organisme tersebut tetap dapat bertahan hidup. Kerusakan atau tidak berfungsinya satu elemen dalam suatu struktur organisme hidup dapat mempengaruhi elemen- elemen lainnya sehingga suatu sistem kehidupan dapat tidak berfungsi dengan baik (Puspitawati 2009).

Pendekatan struktural fungsional menekankan pada keseimbangan sistem yang stabil dalam keluarga dan kestabilan sistem sosial dalam masyarakat. Boss et al. (1993), menyatakan bahwa konsep keseimbangan mengarah kepada konsep homeostatis suatu organisme yaitu suatu kemampuan untuk memelihara stabilitas agar kelangsungan suatu sistem tetap terjaga dengan baik meskipun di dalamnya mengakomodasi adanya adaptasi dengan lingkungan. Untuk mencapai keseimbangan dalam sebuah sistem sosial yang tertib dan selanjutnya dapat mempengaruhi ketertiban dalam sistem sosial yang lebih besar lagi, maka dapat memperhatikan 3 aspek yaitu: Aspek struktural, aspek fungsional dan aspek karakteristik dari sistem keluarga.

Menurut Levy dalam Megawangi (2002) menyatakan bahwa keluarga yang tidak dapat memenuhi perannya dengan baik akan terjadi konflik yang akan mempengaruhi sistem yang lebih besar lagi. Persyaratan struktural yang dibuat sebagai pemenuhan agar sistem keluarga dapat terpenuhi, adalah (1) Diferensiasi peran, alokasi ini mengacu pada gender, generasi, atau posisi dalam status ekonomi dan politik dari masing-masing peran yang dijalankan dalam keluarga. (2) Alokasi solidaritas merupakan sebuah bentuk distribusi kasih sayang antara anggota keluarga yang mengacu kepada keutamaan sebuah relasi terhadap relasi lainnya. (2) Alokasi ekonomi merupakan distribusi barang dan jasa untuk mendapatkan hasil yang diinginkan, didalamnya juga terdapat diferensiasi tugas terutama dalam hal produksi, distribusi, dan konsumsi barang juga jasa. (3) Alokasi politik merupakan distribusi kekuasaan dalam keluarga dan yang bertanggung jawab atas setiap tindakan anggota keluarga. (4) Alokasi integrasi dan ekspresi yaitu distribusi tekhnik atau cara yang bertanggung jawab untuk cara sosialisasi, internalisasi, dan pelestarian nilai-nilai dan perilaku yang memenuhi tuntutan norma yang berlaku untuk setiap anggota keluarga.

Remaja Pengertian Remaja

Istilah remaja berasal dari bahasa latin yaitu adolescere yang berarti

“tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Remaja merupakan periode

perkembangan antara masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Transisi dari tahap yang satu menuju tahap yang selanjutnya bersifat gradual dan tidak pasti, tetapi meskipun jarak waktunya tidak selalu sama pada setiap orang, pada akhirnya sebagian besar remaja akan tumbuh menjadi orang dewasa yang matang. Oleh karena itu masa remaja dapat diartikan sebagai jembatan antara masa kanak- kanak dan masa dewasa yang harus dilalui oleh seorang individu sebelum mereka tumbuh menjadi orang dewasa yang seutuhnya dan mampu bertanggungjawab (Rice & Dolgin 2008). Berdasarkan usia remaja menurut World Human Organizations (WHO) dibagi menjadi dua yaitu remaja awal (10-11 tahun) dan remaja akhir (15-20 tahun). Sementara di Indonesia batasan usia remaja adalah antara 14-24 tahun (Sarwono 2002).

Menurut Hurlock (1978) remaja adalah mereka yang berada pada usia 12- 18 tahun. Monks, dkk (2000) memberi batasan usia remaja adalah 12-21 tahun. Menurut Stanley Hall (Santrock 2007) usia remaja berada pada rentang 12-23 tahun. Berdasarkan batasan-batasan yang diberikan para ahli, bisa dilihat bahwa mulainya masa remaja relatif sama, tetapi berakhirnya masa remaja sangat bervariasi.

Perkembangan Fisik Remaja

Masa remaja diawali dengan masa pubertas, yaitu masa terjadinya perubahan-perubahan fisik (meliputi penampilan fisik seperti bentuk tubuh dan proporsi tubuh) dan fungsi fisiologis (kematangan organ-organ seksual). Perubahan fisik yang terjadi pada masa pubertas ini merupakan peristiwa yang paling penting, berlangsung cepat, drastis, tidak beraturan dan terjadi pada sistem reproduksi. Hormon-hormon mulai diproduksi dan mempengaruhi organ reproduksi untuk memulai siklus reproduksi serta mempengaruhi terjadinya perubahan tubuh. Perubahan tubuh ini disertai dengan perkembangan bertahap dari karakteristik seksual primer mencakup perkembangan organ-organ reproduksi dan karakteristik seksual sekunder mencakup perubahan dalam bentuk

tubuh sesuai dengan jenis kelamin misalnya, pada remaja putri ditandai dengan menarche (menstruasi pertama), tumbuhnya rambut-rambut pubis, pembesaran buah dada, pinggul, sedangkan pada remaja putra mengalami pollutio (mimpi basah pertama), pembesaran suara, tumbuh rambut-rambut pubis, tumbuh rambut pada bagian tertentu seperti di dada, di kaki, kumis dan sebagainya (Hurlock 1978).

Berdasarkan penelitian Pranadji dan Muharrifah (2010) menyatakan bahwa anak perempuan lebih mudah untuk stres dibanding laki-laki hal itu berkaitan erat dengan hormon dan proses kematangan perempuan yang lebih cepat dibanding dengan laki-laki. Pada masa pubertas, hormon-hormon yang mulai berfungsi selain menyebabkan perubahan fisik/tubuh juga mempengaruhi dorongan seks remaja. Remaja mulai merasakan dengan jelas meningkatnya dorongan seks dalam dirinya, misalnya muncul ketertarikan dengan orang lain dan keinginan untuk mendapatkan kepuasan seksual. Akibat proses kematangan sistem reproduksi ini, seorang remaja sudah dapat menjalankan fungsi prokreasinya, artinya sudah dapat mempunyai keturunan. Meskipun demikian, hal ini tidak berarti bahwa remaja sudah mampu bereproduksi dengan aman secara fisik (Santrock 2007).

Perkembangan Kognitif Remaja

Menurut Crain (2007), berdasar teori perkembangan kognitif dari Piaget ada empat tahapan perkembangan yaitu :

1. Tahapan sensorimotor yang terjadi pada masa infant

2. Tahapan preoperasional yang terjadi pada masa anak-anak awal 3. Tahapan formal operational yang dimulai pada masa remaja.

Penelitian yang dilakukan oleh Piaget (Crain 2007) adalah tentang perubahan struktur kognitif anak sebagai suatu fungsi perkembangan yang terjadi masa puber pada adolescent. Perubahan dalam struktur kognitif menyangkut transisi dari pemikiran tahapan operasional ke pemikiran tahapan formal yang muncul selama masa remaja tergantung pada modifikasi kualitatif termasuk; (1) Kemampuan kognitif yang telah dikembangkan menyangkut keterampilan berpikir abstrak, (2) Kemampuan untuk menghubungkan antara satu elemen

dengan elemen yang lainnya sehingga mengarah pada analisis dan (3) Adanya proses berpikir yang konkrit yang terbalik.

Selain dapat berpikir lebih logis, abstrak dan idealis, karakteristik tahapan pemikiran operasional formal Piaget dapat berubah secara kognitif juga. David Elkind (1978) dalam Santrock (2007) mendeskripsikan mengenai bagaimana egosentrisme remaja mempengaruhi cara remaja berpikir tentang masalah- masalah sosial. Egosentrisme remaja adalah kesadaran diri yang bertambah tinggi pada remaja, yang menganggap semua orang tertarik pada mereka, disertai perasaan munculnya perasaan unik dan tidak terkalahkan.

Perkembangan Sosial

Dalam masa perkembangan ini, seorang remaja mulai tergugah rasa sosial untuk ingin bergabung dengan anggota-anggota kelompok yang lain. Pergaulannya yang dulu terbatas dengan keluarga, tetangga dan teman-teman sekolah, pada perkembangannya ingin lebih meluaskan pergaulannya sehingga tidak jarang mereka meninggalkan rumah. Menurut Otto Rank dalam Sarwono (2002) pada diri remaja terjadi perubahan yang sangat drastis, yaitu dari keadaan tergantung pada orang lain (dependence) pada masa kanak-kanak menuju kepada keadaan mandiri (independence) pada masa dewasa. Hal-hal lain yang dapat dikaitkan dengan perkembangan sosial remaja adalah (1) Dependency atau ketergantungan kepada orang lain; (2) Otonomi yaitu melakukan sesuatu tanpa adanya bantuan orang lain; (3) Mastery atau penguasaan sebagai keunggulan individu; dan (4) Kompetensi artinya kecakapan atau kemahiran seseorang (Crain 2007).

Tahap-tahap perubahan yang terjadi dalam perkembangan sosial pada anak-anak sampai dewasa adalah sebagai berikut: (1) Pembebasan kehendak dari kekuatan-kekuatan dari dalam sendiri maupun dari lingkungannya (misalnya dari orang tuanya yang selama ini mendominasinya), (2) Pemilahan kepribadian (division in personality). Dalam tahap ini terjadi perpecahan (discunity) antara kehendak (will) dan kontra kehendak (counter will). Terjadilah perjuangan moral antara dorongan-dorongan neurotik (kecenderungan untuk tetap tertekan) dengan dorongan-dorongan kreatif (kecenderungan untuk mencipta dan mengatur). Akibat dari konflik moral itu timbullah perasaan bersalah, menyesali dan

menyalahkan diri sendiri (self criticism) dan perasaan rendah diri. Ketika proses ini berkepanjangan maka remaja yang bersangkutan akan terlibat dalam gejala neurotik, tetapi kalau bisa mengatasi tahap ini dengan baik, remaja yang bersangkutan akan masuk ketahap berikutnya yaitu menjadi manusia yang produktif kreatif, (3) Integrasi antara kehendak dan kontra-kehendak menjadi pribadi yang harmonis. Tahapan perkembangan dan konflik yang dikemukakan oleh Erikson, menyebut fase remaja ini sebagai fase identitas lawan kekaburan peran (role diffusion). Individu pada tahap ini sudah ingin menonjolkan identitas diri, akan tetapi masih terperangkap oleh kaburnya peran dalam lingkungan asal. Kaburnya peran remaja dalam lingkungan mengakibatkan remaja mulai membentuk kelompok-kelompok. Penggabungan diri dengan anggota kelompok lain sebenarnya merupakan usaha mencari nilai-nilai baru, sebab remaja mulai meragukan kewibawaan dan kebijaksanaan orang tua, norma-norma yang ada dan sebagainya (Mulyono 1995).

Perkembangan sosial memiliki makna lain yaitu perolehan kemampuan berperilaku yang sesuai dengan tuntutan sosial. Menjadi orang yang mampu bermasyarakat (socialized) memerlukan tiga proses yaitu (1) Belajar berperilaku yang dapat diterima secara sosial artinya setiap kelompok sosial mempunyai standar bagi anggotanya tentang perilaku yang dapat diterima, (2) Memainkan peran sosial yang dapat diterima artinya setiap kelompok sosial mempunyai pola kebiasaan yang telah ditentukan dengan seksama oleh para anggotanya dan dituntut untuk dipatuhi, dan (3) Perkembangan sikap sosial yaitu untuk bermasyarakat dengan baik dalam aktivitas sosial (Hurlock 1978).

Pola Asuh Sosial-Emosi

Pembentukan kualitas anak dalam keluarga merupakan faktor penting yang terdapat pada pola pengasuhan dari orang tuanya. Pengasuhan atau disebut juga parenting adalah proses menumbuhkan dan mendidik anak dari kelahiran hingga dewasa. Proses pengasuhan mencakup interaksi antara anak, orang tua dan masyarakat. Adanya proses mengurangi resiko dan perlindungan terhadap individu dan lingkungan sosial ( Hastuti 2008).

Penerapan pengasuhan yang menyangkut sejumlah keterampilan interpersonal secara sosial dan emosi yang intensif dari orang tua didapat melalui pembelajaran dari orang tuanya, sebagian orang tua menerima cara mengasuh anak dari orang tuanya dulu dan sebagian lagi tidak memakai cara dari orang tuanya (Santrock 2007). Hasil penelitian dari Satoto (1990), menyatakan bahwa faktor yang saling berkaitan pada pertumbuhan dan perkembangan seorang anak adalah adanya interaksi antara ibu dan anak secara timbal balik dan pemberian stimulasi dari orang dewasa disekitar anak. Hal ini menunjukkan bahwa ketika seseorang telah menempatkan komitmen sebagai fondasi dalam kehidupan berkeluarganya maka kualitas hubunganlah yang dipertaruhkan untuk menentukan arah mana keluarga tersebut akan dibawa. Segala kepentingan pribadi menjadi pemikiran tersendiri untuk diletakkan pada skala prioritas. Banyak faktor yang menentukan keberhasilan interaksi diantara keluarga, salah satunya dengan menempatkan waktu kebersamaan dalam keluarga yang diatur dengan jadwal yang telah disepakati antara orang tua dengan anak-anak.

Hasil penelitian Lee (2008) mengatakan bahwa ibu terutama yang berusia relatif muda atau dibawah usia 19 tahun memiliki kecenderungan untuk melakukan perilaku pengasuhan yang keras terhadap anak-anaknya karena adanya generation gap terlebih jika tidak mendapatkan dukungan sosial dari pihak luar terutama oleh suaminya sebagai mitra pengasuh dalam keluarga. Pola asuh dalam keluarga sudah lama dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantoro dalam filosofi pendidikan yang pada perkembangannya dapat diterapkan pada keluarga yaitu trikon atau konsentris, kontinuitas dan konvergensi. Lebih jauh dalam penelitian Satu (2008) mengatakan bahwa pola asuh yang mengacu pada konsep trikon tersebut diharapkan akan memacu tumbuh dan berkembangnya anak menjadi sumberdaya manusia yang berkualitas baik secara fisik maupun non fisik yang dicirikan dengan pribadi yang tangguh dan ulet menghadapi tantangan di masa mendatang. Berdasarkan konsep trikon tersebut dikembangkan suatu pola asuh yang memperhatikan tiga aspek yaitu intelektual, emosi dan psikomotorik yang seimbang

Penelitian dari Larsen et al. (2007) menyatakan bahwa kualitas persahabatan pada remaja yang rendah merupakan faktor resiko baik bagi laki-laki

maupun perempuan yang disebabkan karena pengaruh pola asuh dari keluarganya, hal ini menunjukkan pentingnya pengasuhan yang memperhatikan aspek sosial maupun emosi yang berkorelasi dengan kualitas persahabatan dan remaja yang terlibat interparental konflik. Pengembangan kematangan sosial emosi anak yang dilakukan oleh orang tua kepada anak, perlu dilakukan suatu metode pendekatan yang diterangkan oleh Goleman (2002) dalam beberapa aspek, yaitu: (1) Mengakui potensi anak yaitu kemampuan orang tua untuk mengakui potensi dan bakat anak agar anak memiliki kepercayaan atas dirinya sendiri, tidak menghina atau mencela perbuatan anak dan merasa bangga atas perbuatan yang telah dilakukan oleh anak, (2) Mendorong kemampuan berkomunikasi anak kemampuan orang tua untuk mendorong anak berkomunikasi secara terbuka dengan menggunakan bahasa yang positif, sopan sesuai adat timur dan agama yang dianut, (3) Melatih mengungkapkan emosi anak yaitu kemampuan orang tua melatih anak agar dapat mengungkapkan emosi atau perasaannya dengan cara yang tepat, sesuai dengan norma yang berlaku dan mampu mendengarkan keluh kesah dan perasaannya, (4) Menghargai pertemanan anak merupakan kemampuan orang tua untuk menghargai pertemanan yang dipilih anak sambil mengarahkan anak untuk memilih teman yang baik, (5) Memberikan kepercayaan yaitu kemampuan orang tua memberikan kepercayaan kepada anak untuk mandiri dan memutuskan kepentingannya sendiri namun tetap diberikan batasan atau aturan yang sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat.

Keterikatan Teman Sebaya

Pertemanan dengan sebaya merupakan sumber afeksi, simpati, pemahaman, dan panduan moral serta tempat bereksperimen. Menurut Sarafino (1994), keterikatan teman sebaya adalah suatu keterikatan antar remaja dengan teman sebaya yang memiliki kesenangan, perhatian, penghargaan, ataupun bantuan yang dirasakan dari orang lain atau kelompok dan adanya keterikatan dengan teman sebaya yang dipercaya, bahwa mereka merasa dicintai dan diperhatikan, berharga dan bernilai, dan menjadi bagian dari jaringan sosial, seperti keluarga dan komunitas organisasi, yang dapat membekali kebaikan, pelayanan, dan saling memperhatikan ketika dibutuhkan.

Keterikatan teman sebaya merupakan sumber penting dukungan sosial yang berpengaruh terhadap rasa percaya diri remaja. Dukungan emosional dan persetujuan sosial dalam bentuk konfirmasi dari orang lain merupakan pengaruh yang penting bagi rasa percaya diri remaja (Santrock 2007).

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa keterikatan teman sebaya adalah saat remaja berfungsi dalam pertemanan. Teman sebaya menjadi rekan dan teman bermain. Teman juga merupakan seseorang yang selalu ada untuk menghabiskan waktu dan melakukan aktifitas bersama-sama. Menurut Parker dan Gottman (1988) dalam Santrock (2007) menyatakan bahwa teman sebaya memiliki keterikatan yang berfungsi sebagai berikut: (1) Fungsi Komparasi Sosial merupakan sumber informasi dalam membandingkan nilai dan perilaku. Nilai dan perilaku yang ditunjukkan teman, dapat menjadi contoh bagi remaja ketika menghadapi masalah atau bersikap dengan orang tua, (2) Fungsi kasih sayang sebagai sumber kehangatan, keakraban dan saling percaya. Persahabatan yang terjalin tersebut membuat remaja merasa nyaman berbagi dengan teman sebaya, (3) Dukungan semangat sebagai sumber informasi yang menarik, yang memberi kegembiraan, hiburan dan dukungan semangat pada remaja, (4) Dukungan fisik sebagai sumber dukungan yang senantiasa menyediakan bantuan yang berupa materi dan non materi. Remaja seringkali lebih suka meminta dan memberi bantuan dari teman dan kepada teman sebagai bentuk rasa setia kawan, (5) Dukungan Ego sebagai sumber untuk mendapatkan dukungan dan umpan balik yang menolong remaja untuk menjaga rasa percaya dirinya tetap stabil (ego).

Berdasarkan hasil penelitian dari Wang et al (2009) menyatakan bahwa dukungan dari teman sebaya lebih efektif untuk menekan adanya agresi atau serangan dari lingkungan baik itu dalam bentuk kekerasan secara fisik, verbal maupun relasional. Penelitian lain dari Puspitawati (2008), menyatakan hubungan antara sesama teman yang saling bermasalah akan cenderung meningkatkan tingkat agresifitas dan perilaku kenakalan pada remaja.

Remaja memiliki identitas diri yang dipengaruhi oleh berbagai hal, salah satunya adalah dukungan dari teman sebaya seperti yang diungkapkan dalam penelitian Ristianti (2008) yang mengatakan bahwa terdapat hubungan antara dukungan sosial teman sebaya dengan identitas diri pada remaja. Hal ini

dipertegas dengan pendapat dari Fuhrman (1990) yang mengatakan bahwa faktor- faktor yang dapat mempengaruhi identitas diri diantaranya adalah pola asuh, model identifikasi, homogenitas lingkungan, perkembangan kognisi, sifat individu, pengalaman masa kanak-kanak, pengalaman kerja dan keterikatan dengan kelompok teman sebaya.

Kecerdasan Emosional

Goleman (2002) menyatakan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dengan orang lain serta menggunakan perasaan-perasaan tersebut untuk memandu pikiran dan tindakan. Kecerdasan emosi merupakan kemampuan untuk menggunakan emosi secara efektif dalam mengelola diri sendiri dan mempengaruhi hubungan dengan orang lain secara positif dan diukur dari self awareness yang merupakan kemampuan seseorang untuk mengetahui perasaan dalam dirinya, self management merupakan kemampuan menangani emosinya sendiri, motivation adalah kemampuan menggunakan hasrat untuk setiap saat membangkitkan semangat dan tenaga, empathy merupakan kemampuan merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, relationship management merupakan kemampuan menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain.

Kecerdasan emosional adalah kekuatan dibalik kemampuan intelektual yaitu kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intelligence), menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and it expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial. Hal ini merupakan dasar-dasar pembentukan emosi yang mencakup keterampilan untuk membangun kesadaran diri dan pemahaman pribadi. Kecerdasan ini dapat dipelajari sepanjang hidup tanpa mengenal batas usia. Emosi memainkan peranan penting dalam kehidupan manusia karena merupakan aspek dari kemampuan pengembangan pola tingkah laku seseorang, karena keputusan yang diambil untuk dirinya cenderung dikondisikan oleh pengalaman emosinya, dengan kata lain orang yang matang adalah orang yang

telah memiliki pengendalian dan kemandirian dalam tingkah lakunya (Crow & Crow 1963 dalam Puspitawati 2009).

Kecerdasan emosional juga merupakan koordinasi suasana hati yang merupakan inti dari hubungan sosial yang baik. Seseorang yang pandai menyesuaikan diri dengan suasana hati individu yang lain atau dapat berempati, orang tersebut memiliki tingkat emosionalitas yang baik dan akan lebih mudah menyesuaikan diri dalam pergaulan sosial serta lingkungannya, sehingga seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati. Menurut Salovey dan Myer (diacu dalam Goleman 2002) membagi kecerdasan emosional dalam lima aspek yaitu:

1. Kemampuan Mengenal Emosi Diri adalah kemampuan dari seseorang untuk mengenal dan menyadari emosinya ketika emosi tersebut muncul. Individu yang memiliki kepekaan terhadap perasaannya pada proses selanjutnya akan dengan mudah mengenali emosi orang lain.

2. Kemampuan Mengelola Emosi Diri adalah kemampuan seseorang untuk menangani emosinya sehingga dapat diungkapkan dengan reaksi yang wajar. Seseorang yang tidak cakap dalam mengelola emosinya akan larut dalam emosi negatif, sementara seseorang yang cakap dalam mengelola emosinya akan bangkit kembali menghadapi nasalah yang dihadapinya.

3. Kemampuan Motivasi Diri adalah kemampuan seseorang untuk mengelola emosinya sebagai bentuk atau salah satu cara memotivasi dan menyemangati dirinya sendiri agar dengan penguasaan dan pengendalian diri yang baik dapat meningkatkan kreatifitasnya.

4. Kemampuan Empati adalah kemampuan dari individu yang memiliki empati yang baik, akan dengan mudah memposisikan dirinya pada posisi orang lain sehingga mampu membaca isyarat dari lingkungannya.

5. Kemampuan Membina Hubungan adalah kemampuan untuk bersosialisasi yang didukung oleh kecakapan mengelola emosi pribadi dan berempati.

Berdasarkan hasil penelitian dari Khajehpour (2011) di Teheran Iran, menyatakan bahwa terdapat hubungan positif yang sangat signifikan antara kecerdasan emosional dengan prestasi akademik dan antara keterlibatan orang tua dalam memberikan pola asuh emosi terhadap prestasi akademik. Hal itu berarti

bahwa peran orang tua dalam memberikan pola asuh yang baik terhadap anak akan meningkatkan kecerdasan emosional dalam diri anak tersebut sehingga membawa dampak terhadap hasil prestasi akademik yang baik pula.

Penelitian lain dari Arisandi dan Latifah (2007) mengatakan bahwa pola asuh yang baik akan meningkatkan kecerdasan emosional siswa dan

Dokumen terkait