• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendugaan Biomassa dan Potensi Karbon Terikat di Atas Permukaan Tanah Pada Hutan Gambut Merang Bekas Terbakar di Sumatera Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pendugaan Biomassa dan Potensi Karbon Terikat di Atas Permukaan Tanah Pada Hutan Gambut Merang Bekas Terbakar di Sumatera Selatan"

Copied!
238
0
0

Teks penuh

(1)

MERANG BEKAS TERBAKAR DI SUMATERA SELATAN

N. A. EKA WIDYASARI H.

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pendugaan Biomassa dan Potensi Karbon Terikat di Atas Permukaan Tanah Pada Hutan Gambut Merang Bekas Terbakar di Sumatera Selatan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2010

(3)

Ground in South Sumatra’s Ex-Burned Merang Peat Forest. Under the direction of BAMBANG HERO SAHARJO and ISTOMO.

Forest has urgent to absorb CO2 which is used photosynthesis to product

O2 and energy dominantly in biomass. When peat forest fired, a lot of carbon

reserve discharged to atmosphere so it can stimulate global warming. This study aims to estimate biomass and fix carbon contain in ex-burned merang peat forest and make models between biomass and fix carbon of various tree component (stems, branches, twigs and leaves) and also to calculate fix carbon and biomass potency in ex-burned merang peat forest. The results showed that biomass and fix carbon in ex-burned merang peat forest can be estimated using allometric equation models: Wtotal = 0,153108 D2,40 and Ctotal = 0,0302 D2,35. Fix carbon potenty in the

trees very related to biomass and it can be calculated using formula Ctotal =

0,188799 W0,980. Based on parths of trees, stems are largest contributors to the potential for biomass total. Its contribute approximately 68,09 – 82,28% of total biomass. Then, in leaves, twigs and brunch each contributor 4,17 – 14,44%; 6,16 – 10,32% and 7,15 – 7,45 respectively. Fix carbon on the trees can be estimated using biomass formula and its showed 16,49 – 17,70% of trees biomass total. Biomass total and fix carbon on the above ground of ex-burned merang peat forest each showed 151.650,48 kg/ha and 29.105,19 kg/ha.

(4)

N.A EKA WIDYASARI H. Pendugaan Biomassa dan Potensi Karbon Terikat di Atas Permukaan Tanah pada Hutan Gambut Merang Bekas Terbakar di Sumatera Selatan. Dibimbing oleh BAMBANG HERO SAHARJO dan ISTOMO.

Hutan mempunyai peran penting dalam menyerap CO2 yang digunakan

dalam proses fotosintesis untuk menghasilkan O2 dan sebagian besar energi

tersebut berada dalam bentuk biomassa. Cadangan karbon yang besar pada lahan gambut menyebabkan tingginya jumlah karbon yang dilepaskan ke atmosfer ketika lahan gambut terbakar yang pada akhirnya dapat memicu percepatan pemanasan global. Penelitian ini bertujuan untuk membuat model penduga biomassa dan kandungan karbon terikat pada hutan gambut merang bekas terbakar berdasarkan bagian-bagian pohon (batang, cabang, ranting dan daun), membuat model hubungan antara biomassa dengan karbon terikat pada setiap bagian pohon serta menghitung potensi biomassa dan karbon terikat pada hutan gambut merang bekas terbakar.

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli hingga bulan Agustus tahun 2009 di hutan gambut merang bekas terbakar yang terletak di Kabupaten Musi Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan. Untuk identifikasi spesies tumbuhan dilakukan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong dan analisis biomassa dan karbon terikat berdasarkan bagian-bagian pohon (batang, cabang, ranting dan daun), tumbuhan bawah, serasah dan nekromasa dilakukan di Laboratorium Kimia Kayu Puslitbang Hutan, Departemen Kehutanan pada bulan Agustus hingga November 2009.

Untuk mendapatkan gambaran komposisi vegetasi maka pada tahap pertama dibuat petak menggunakan prosedur analisis vegetasi cara garis berpetak sebanyak 5 (lima) petak berukuran 20 x 20 m dimana pada petak tersebut dibuat sub petak berukuran 2 m x 2 m untuk analisis tumbuhan bawah, serasah dan nekromasa, sub petak berukuran 5 x 5 m untuk pengukuran tingkat pertumbuhan pancang, sub petak berukuran 10 m x 10 m untuk pengukuran tingkat pertumbuhan tiang dan petak berukuran 20 m x 20 m untuk pengukuran tingkat pertumbuhan pohon. Penentuan plot di lapangan dilakukan dengan systematic sampling with random start. Pada setiap petak penelitian dilakukan inventarisasi terhadap semua pohon yang memiliki diameter ≥ 2 cm kemudian diukur diameternya pada ketinggian 1,3 m di atas tanah (Dbh) dan tinggi.

(5)

kandungan karbon terikat di hutan gambut merang bekas terbakar dapat diprediksi melalui persamaan alometrik Wtotal = 0,153108 D2,40 dan Ctotal = 0,0302 D2,35.

Potensi kandungan karbon terikat pada pohon berkaitan erat dengan potensi biomassa dimana hubungan keeratan antara karbon terikat dengan biomassa dapat ditunjukkan dengan model persamaan Ctotal = 0,188799 W0,980. Berdasarkan

bagian pohon yang ditebang, dapat diketahui bahwa yang memiliki potensi biomassa paling besar adalah pada bagian batang berkisar antara 68,09 - 82,28% dari biomassa totalnya, kemudian diikuti bagian daun sebesar 4,17 - 14,44%, bagian ranting sebesar 6,16 - 10,32% dan terkecil pada bagian cabang sebesar 7,15 - 7,45% dari biomassa totalnya. Kandungan biomassa pada bagian batang yang lebih besar tersebut, berhubungan erat dengan hasil produksi pohon yang diperoleh dari hasil fotosintesis yang pada umumnya disimpan pada batang. Secara umum, batang mempunyai zat penyusun kayu yang lebih banyak dibandingkan dengan bagian pohon lainnya sehingga menyebabkan bagian rongga sel pada batang banyak oleh komponen penyusun kayu dibandingkan air, sehingga bobot biomassa batang menjadi lebih besar. Untuk kandungan karbon terikat pada pohon dapat diduga dengan menggunakan biomassa yaitu sebesar 16,49 % - 17,70% dari biomassa pohon. Total biomassa dan karbon terikat di atas permukaan tanah pada hutan gambut merang bekas terbakar secara berturut-turut adalah 151.650,48 kg/ha dan 29.105,19 kg/ha. Kejadian kebakaran pada lokasi penelitian dalam intensitas yang tinggi terlihat dari terjadinya penurunan potensi biomassa sebesar 71,91% dan karbon terikat sebesar 93,13% dibandingkan dengan hutan gambut primer, hal tersebut mengindikasikan bahwa setelah terjadinya kebakaran banyak tegakan yang hilang di hutan gambut merang.

(6)

MERANG BEKAS TERBAKAR DI SUMATERA SELATAN

N. A. EKA WIDYASARI H.

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Silvikultur Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmia, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(8)

Nama : N..A. Eka Widyasari H. NIM : E451080071

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr Dr. Ir. Istomo, M.Si

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Silvikultur Tropika

Prof. Dr. Ir. IGK. Tapa Darma, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S

(9)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2009 ini ialah potensi karbon, dengan judul “Pendugaan Biomassa dan Potensi Karbon Terikat di Atas Permukaan Tanah pada Hutan Gambut Merang Bekas Terbakar di Sumatera Selatan”.

Terimakasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr dan Dr. Ir. Istomo, M.Si selaku komisi pembimbing yang sangat membantu proses penelitian, pembimbingan dan penyelesaiannya, Prof. Dr. Ir. IGK Tapa Darma, M.Sc selaku Kepala Mayor Silvikultur Tropika serta Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS yang telah memberikan banyak saran. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Djoko Setijono dan Bapak Solichin yang telah membantu selama pengumpulan data dan penyediaan dana proyek penelitian GTZ Merang REDD Pilot Project.

Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada suami tercinta Yoga Sutisna, A.Md yang telah mendukung dan memberikan dukungan baik moril maupun spiritual, Mamah dan Papah serta adik-adikku (Indri, Ami dan Agung), serta keluarga besar Bapak Maman di Ciamis atas segala dorongan, bantuan, doa dan kasih sayangnya, sehingga studi ini bisa diselesaikan. Selain itu juga ucapan terimakasih kepada teman-teman SVK angkatan 2008 Mas Wahyu, Mbk Uut, Mbk Eva, Mbk Rieke, Mbk Ana, Mbk Yeni, Mbk Yanti, Mbk Tutu, Bang Ada dan Mas Rio serta teman seperjuangan Nisa, Laura, Prabu, Fitri, Desti dan Ana yang telah membantu pada saat penyusunan.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Februari 2010

(10)

Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 3 Oktober 1985 sebagai anak pertama dari empat bersaudara dari pasangan Bapak EM. Lukmanul Hakim dan Ibu Wati Wasitoh. Jenjang pendidikan formal pertama yang ditempuh di SDN Kadomas IV Pandeglang (1991 – 1998), SLTPN I Pandeglang (1998 – 2001), SMU Lab. School UPI Bandung (2001 – 2004), kemudian melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) penulis diterima di Institut Pertanian Bogor- Jurusan Budidaya Hutan (2004 – 2008). Pada tahun 2008 penulis melanjutkan pendidikan ke Program Magister Sains (M.Si) di Program Studi Silvikultur Tropika Sekolah Pascasarjana IPB.

Penulis menyusun tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar

Magister Sains dengan judul ”Pendugaan Biomassa dan Potensi Karbon Terikat di

Atas Permukaan Tanah pada Hutan Gambut Merang Bekas Terbakar di Sumatera

Selatan” dibimbing oleh Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr sebagai ketua dan Dr. Ir. Istomo, M.Si sebagai anggota komisi pembimbing.

(11)

DAFTAR ISI

III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 22

(12)
(13)

BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN... 85

6.1 Kesimpulan ... 85

6.2 Saran ... 85

DAFTAR PUSTAKA ... 86

LAMPIRAN ... 90

(14)

DAFTAR TABEL

No. Teks Halaman

1. Biomassa (ton/ha) pada berbagai Tipe Hutan ... 12

2. Karbon (ton/ha) pada berbagai Tipe Hutan ... 13

3. Perbandingan Model Biomassa yang dihasilkan... 17

4. Titik Koordinat dan kedalaman Gambut ... 35

5. Pohon Terpilih untuk Ditebang Berdasarkan Kelas Diameter ... 36

6. Jenis Dominan pada Setiap Tingkat Pertumbuhan Pohon ... 50

7. Luas Bidang Dasar (m2/ha) pada Setiap Tingkat Pertumbuhan ... 51

8. Kerapatan Pohon pada Setiap Tingkat Pertumbuhan ... 51

9. Kerapatan Tertinggi Tumbuhan Bawah Berkayu dan Tidak Berkayu 52 10. Distribusi Kelas Diameter dari Tegakan Hutan ... 53

11. Kadar Air Rata-rata pada Setiap Bagian Pohon dan Kelas Diameter 54 12. Nilai Rata-rata KZT, K.Ab dam KKT ... 54

13. Rekapitulasi Biomassa pada Setiap Bagian Pohon yang Ditebang ... 56

14. Persamaan Alometrik untuk menduga Biomassa ... 58

15. Biomassa Bagian Pohon di Atas Permukaan Tanah ... 61

16. Biomassa Tumbuhan Bawah dan Serasah... 62

17. Nekromasa... 62

18. Rekapitulasi Karbon Terikat pada Setiap Bagian Pohon ... 63

19. Persamaan Alometrik untuk menduga Kandungan Karbon Terikat . 64 20. Kandungan Karbon Terikat Bagian Pohon ... 67

21. Kandungan Karbon Terikat Tumbuhan Bawah dan Serasah ... 68

22. Kandungan Karbon Terikat Nekromasa... 68

23. Model Hubungan antara Kandungan Karbon Terikat dengan Biomassa ... 69

24. Proporsi Kandungan Karbon Terikat terhadap Biomassa Pohon ... 72

(15)

DAFTAR GAMBAR

7. Grafik Curah Hujan Bulanan di Wilayah Bayung Lincir... 28

8. Grafik Suhu Udara Bulanan di Wilayah Tulung Salapan ... 29

9. Grafik Kelembaban Udara Bulanan di Wilayah Tulung Salapan ... 30

10. Peta Lokasi Penelitian ... 31

11. Peralatan Penelitian ... 32

12. Desain Petak Penelitian ... 34

13. Pembuatan Petak ... 35

14. Pengukuran Diameter Pohon... 36

15. Tahap Kegiatan Penebangan ... 38

16. Pengambilan sampel Bagian Batang ... 39

17. Pengambilan Contoh Tumbuhan Bawah dan Serasah ... 40

18. Kegiatan Pengambilan Contoh Nekromasa ... 41

19. Diagram Alur Pembuatan Model Biomassa Pohon ... 45

20. Diagram Alur Pembuatan Model Karbon Terikat Pohon ... 46

21. Hubungan Diameter dan Tinggi Pohon ... 55

22. Hubungan Diameter Pohon dengan Biomassa Batang... 59

23. Hubungan Diameter Pohon dengan Biomassa Cabang ... 59

24. Hubungan Diameter Pohon dengan Biomassa Ranting ... 59

25. Hubungan Diameter Pohon dengan Biomassa Daun ... 60

26. Hubungan Diameter Pohon dengan Biomassa Total ... 60

27. Hubungan Diameter Pohon dengan Biomassa Non-Fotosintesis... 60

28. Hubungan Diameter Pohon dengan Karbon Terikat Batang... 65

29. Hubungan Diameter Pohon dengan Karbon Terikat Cabang ... 65

30. Hubungan Diameter Pohon dengan Karbon Terikat Ranting ... 66

31. Hubungan Diameter Pohon dengan Karbon Terikat Daun ... 66

32. Hubungan Diameter Pohon dengan Karbon Terikat Total ... 66

33. Hubungan Diameter Pohon dengan Karbon Terikat Non-Fotosintesis67 34. Hubungan Biomassa Batang dengan Karbon Terikat Batang ... 70

35. Hubungan Biomassa Cabang dengan Karbon Terikat Cabang ... 70

36. Hubungan Biomassa Ranting dengan Karbon Terikat Ranting ... 70

37. Hubungan Biomassa Daun dengan Karbon Terikat Daun ... 71

38. Hubungan Biomassa Total dengan Karbon Terikat Total ... 71

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Teks Halaman

1. Peta Penutupan Lahan MRPP ... 91

2. Posisi Petak Contoh Penelitian ... 92

3. Daftar Jenis yang Dijumpai ... 93

4. Hasil Analisis Vegetasi berdasarkan Tingkat Pertumbuhan ... 94

5. Hasil Analisis Vegetasi Tumbuhan Bawah ... 96

6. Kerapatan setiap jenis pohon (ind/ha) berdasarkan Kelas Diameter 97

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Hutan gambut merupakan salah satu tipe hutan yang mempunyai peran penting sebagai penyangga (buffer) lingkungan, hal ini berhubungan dengan fungsi gambut dalam gatra hidrologis, biogeokimia dan ekologis. Gambut secara hidrologis dapat menyimpan air dimana gambut yang masih mentah (fibrik) dapat menyimpan air sangat besar antara 500% - 1.000% bobot (kg/m3). Gambut rawa alami selain sebagai daerah tampung air juga penyeimbang sistem tata air wilayah (control water system). Gambut merupakan kawasan penyerap dan penyimpan air (aquifer) selama musim hujan, tetapi pada saat curah hujan sedikit secara perlahan melepaskan air simpanannya (Noor 2001).

Banyak diantara areal hutan Indonesia yang terletak di lahan gambut dan tanah organik yang mengandung karbon dalam jumlah yang besar. Lahan gambut yang belum terganggu merupakan rosot/sink untuk CO2 dan sumber bagi gas

metan (CH4).Pengeringan lahan gambut untuk meningkatkan produktivitas hutan

secara jelas telah menghentikan emisi CH4, tetapi menimbulkan emisi CO2

melalui proses dekomposisi aerobik. Pengeringan lahan gambut yang menyebabkan 20 – 30 cm lahan gambut yang mengalami dekomposisi aerobik, untuk kemudian dijadikan hutan dapat mengeluarkan emisi karbon yang bahkan lebih besar dari jumlah karbon yang diserap oleh hutan (Brown 2002).

Penyimpanan atau pemendaman karbon berkaitan dengan pengukuhan iklim global dan kemantapan ekosistem alami. Kemampuan memendam karbon dari lahan gambut cukup besar yang berarti dapat membatasi emisi gas rumah kaca seperti CO2 (karbondioksida) di atmosfer dengan laju pemendaman karbon

rata-rata gambut di Kalimantan sekitar 0,74 ton/ha/tahun. Jumlah karbon yang tersimpan pada kawasan tropik dapat mencapai 5.000 ton/ha, diantaranya 1.200 ton/ha gambut dunia (Noor 2001).

(18)

tahunan dari perubahan tata guna lahan dan kehutanan di estimasi oleh IPCC mencapai hingga 2.563 MtCO2e dan sebagian besar diperoleh dari deforestrasi

(Houghton 2003 dalam Peace 2007).

Berdasarkan data Kementrian Lingkungan Hidup (2003), sekitar 24 milyar ton karbon (BtC) tersimpan pada tanaman dalam tanah dan 80% dari jumlah tersebut berada di hutan, atau sekitar 19 miliar ton karbon. Diantara 108 juta hektar luas hutan di Indonesia, hampir setengahnya berada pada kondisi yang rusak dan terdegradasi (Departemen Kehutanan 2006). Perubahan tata guna lahan dan deforestrasi diperkirakan mencapai 2 juta hektar yang dapat menyebabkan pelepasan simpanan karbon Indonesia dalam jumlah yang besar.

Emisi karbon dioksida paling besar disumbangkan oleh sektor kehutanan. Sekitar 75% berasal dari deforestrasi dan konversi lahan, diikuti 23% dari penggunaan energi di sektor kehutanan dan 2% dari proses industri di sekitar kehutanan. Kebakaran hutan adalah kontributor utama deforestrasi dan konversi lahan dengan jumlah mencapai 57% dari total deforestrasi dan konversi lahan (Peace 2007).

Penelitian Wetlands International (2006) dalam Peace (2007), menunjukkan dampak yang dahsyat atas perusakan lahan gambut terhadap perubahan iklim. Setiap tahun, 2.000 juta ton CO2 terlepas dari hutan, 600 juta ton

diantaranya disebabkan oleh dekomposisi dari lahan gambut kering (sebuah proses yang akan terus berlanjut sampai seluruh gambut habis) dan 1.400 juta ton dihasilkan dari kebakaran tahunan. Selanjutnya sebuah studi yang dilakukan Page (2002) menunjukkan bahwa kebakaran lahan gambut di Indonesia pada tahun 1997 telah menghasilkan kehilangan karbon antara 810 sampai 2.470 juta ton. Nilai tersebut didukung oleh fakta antaralain bahwa pada tahun tersebut telah tercatat peningkatan paling tinggi emisi CO2 di atmosfer (Peace 2007).

(19)

api dapat menjalar cepat meluas dan sangat sulit dikendalikan karena api dapat menjalar mencapai lapisan dalam (Noor 2001).

Kejadian kebakaran hutan yang terus terjadi di Indonesia dapat menyebabkan terjadinya penurunan luas areal hutan yang berperan sebagai penyerap dan penyimpan karbon yang dapat mempengaruhi perubahan iklim global. Salah satu wilayah di Indonesia yang sering terjadi kebakaran hutan di areal gambut adalah Provinsi Sumatera Selatan sehingga daerah tersebut berkontribusi terhadap pelepasan karbon yang cukup besar.

Kandungan karbon terikat pada suatu tegakan diduga berkorelasi positif dan signifikan dengan besarnya biomassa suatu tegakan, namun saat ini belum banyak penelitian mengenai kandungan biomassa dan karbon terikat di areal gambut. Mengingat begitu pentingnya peran hutan terhadap penurunan emisi gas rumah kaca dan kurangnya penelitian mengenai penghitungan potensi biomassa dan karbon terikat di areal gambut maka diperlukan suatu kajian tentang pendugaan potensi biomassa dan simpanan karbon dimana cadangan karbon pada hutan gambut dipengaruhi oleh jenis vegetasinya.

1.2Perumusan Masalah

Hutan berperan penting dalam menyerap CO2 yang digunakan dalam

proses fotosintesis yang akan menghasilkan O2 dan sebagian besar energi tersebut

berada dalam bentuk biomassa. Api yang cukup panas sebagai hasil dari terjadinya kebakaran hutan dapat mematikan 100% tumbuhan hijau, 75% tumbuhan bawah, dan 80% organisme penutup tanah sehingga menyebabkan fungsi hutan sebagai penyerap karbondioksida (CO2) menjadi menurun.

Pada umumnya lahan gambut di dunia menyimpan sekitar 329 - 525 giga ton (Gt) karbon dan sekitar 14 % (70 Gt) terdapat di daerah tropis. Cadangan karbon yang besar ini pulalah yang menyebabkan tingginya jumlah karbon yang dilepaskan ke atmosfer ketika lahan gambut terbakar yang pada akhirnya memicu percepatan pemanasan global.

Dari uraian tersebut dapat dikemukakan beberapa permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah:

(20)

b. Bagaimana model penduga biomassa dan karbon terikat pada hutan gambut bekas terbakar?

c. Bagaimana profil serapan karbon terikat pohon dan bagaimana penyebarannya pada bagian pohon (batang, cabang, ranting dan daun) pada setiap kelas diameter?

1.3Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Membuat model penduga biomassa dan kandungan karbon terikat pada hutan gambut merang bekas terbakar berdasarkan bagian-bagian pohon (batang, cabang, ranting dan daun)

2. Membuat model hubungan antara biomassa dengan karbon terikat pada setiap bagian pohon.

3. Menghitung potensi biomassa dan karbon terikat pada hutan gambut merang bekas terbakar.

1.4Hipotesis Penelitian

Hipotesis pada penelitian ini adalah kandungan karbon terikat pada pohon berdasarkan bagian-bagiannya akan berkorelasi positif dan signifikan terhadap diameter dan tinggi pohon pada setiap kelas diameter.

1.5Manfaat Penelitian

Apabila model penduga kandungan karbon terikat hutan gambut merang bekas terbakar dapat disusun maka dapat membantu dalam menduga kandungan karbon terikat dari hutan gambut bekas terbakar tanpa harus menebang pohonnya yang diharapkan menjadi masukan bagi berbagai pihak terkait sebagai bahan pertimbangan dalam mengelola hutan gambut untuk mencapai pengelolaan hutan secara lestari.

1.6Kerangka Pemikiran

(21)

Gambar 1. Bagan Alir Kerangka Pemikiran Nekromasa Karbon Terikat = f (diameter, tinggi) Karbon Terikat = f (biomassa) kebakaran hutan dapat mematikan 100% tumbuhan hijau, 75% tumbuhan bawah, dan 80% organisme penutup tanah

Terjadi penurunan dalam penyerapan karbon

(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Kebakaran Hutan

Kebakaran hutan adalah pembakaran yang penjalarannya bebas serta mengkonsumsi bahan bakar alam dari hutan seperti serasah, rumput, ranting atau cabang pohon mati, snags atau pohon mati yang tetap berdiri, logs, tunggak pohon, gulma, semak belukar, dedaunan dan pohon-pohon dimana setiap kebakaran yang bukan dilakukan secara sengaja pada areal-areal yang tidak direncanakan (Brown dan Davis 1973).

Menurut Brown dan Davis (1973) dalam Saharjo (2003), pembakaran terjadi melalui dua proses, yaitu proses kimia dan fisika. Proses ini berlangsung dengan cepat memisahkan jaringan-jaringan tanaman menjadi unsur kimia, diiringi dengan proses pembentukan bagian-bagian tanaman melalui proses fotosintesis. Secara ringkas kedua proses tersebut dapat dilihat di bawah ini: Proses Fotosintesis :

6CO2 + 6H2O + Energi Matahari (C6H12O6)n + 6O2

Proses Pembakaran :

(C6H12O6)n + 6O2 + kindling temperatur CO2 + 6H2O + Energi

Panas

Terdapat tiga komponen penting yang diperlukan untuk setiap api agar dapat menyala dan mengalami proses pembakaran, yaitu (1) tersedianya bahan bakar yang dapat terbakar, (2) panas yang cukup untuk digunakan dalam menaikkan temperatur bahan bakar hingga ke titik penyalaan, (3) diperlukan adanya suplai O2 yang cukup, dalam menjaga proses pembakaran agar tetap

(23)

Oksigen (O2)

API

Bahan bakar Sumber panas Gambar 2. Segitiga Api (Brown dan Davis 1973)

Menurut Chandler et al., (1983), terdapat lima fase dalam pembakaran meliputi :

1. Fase Pre-ignition

Pada fase ini bahan bakar mulai mengalami pelepasan uap air, CO2 dan

gas-gas yang mudah terbakar termasuk methane, methanol dan hidrogen (proses pyrolisis). Dalam proses ini terjadi perubahan reaksi yaitu dari proses exothermic (memerlukan panas) menjadi endothermic (melepaskan panas).

2. Fase Flaming combustion

Pada tahap ini reaksi eksotermis dapat menaikkan temperatur melebihi 300 - 500°C. Pyrolisis melaju dan mempercepat proses oksidasi dari gas-gas yang mudah terbakar. Gas-gas yang mudah terbakar dan uap yang dihasilkan dari pyrolisis naik ke atas permukaan bahan bakar, bercampur dengan O2 dan terbakar selama fase ”flaming”. Api menjadi lebih mudah

membesar dan bergerak sesuai dengan gerakan angin. Seperti massa dari gas yang terbakar dalam fase ini. Oksidasi gas-gas organik yang tinggi dan gas-gas dalam zona penyalaan menghasilkan massa terbesar dari produk pembakaran seperti H2O, CO2, SO2, N2 dan NO(x). Fase ”flaming” tidak

terjadi pada semua bahan bakar. 3. Fase Smoldering

Fase ini biasanya mengikuti fase ”flaming combustion” di dalam suatu

pembakaran. Pada fase ini, pembakaran yang kurang menyala menjadi proses yang dominan. ”Smoldering” adalah fase awal di dalam

pembakaran untuk tipe bahan bakar ”duff” dan tanah organik. Laju

(24)

yang mudah terbakar. Panas yang dilepaskan menurun dan suhunya pun menurun, gas-gas lebih terkondensasi ke dalam asap.

4. Fase Glowing

Fase ini merupakan fase akhir dari proses smoldering. Pada fase ini sebagian besar dari gas-gas yang mudah menguap akan hilang dan oksigen mengadakan kontak langsung dengan permukaan dari bahan bakar yang mengurang. Produk utama dari fase ”glowing” adalah CO, CO2 dan abu

sisa pembakaran. Pada fase ini temperatur puncak dari pembakaran bahan bakar berkisar antara 300°C - 600°C.

5. Fase Extinction

Pada fase ini, api akhirnya padam saat semua bahan bakar yang tersedia telah dikonsumsi atau pada saat panas yang dihasilkan dalam proses

smoldering atau glowing tidak cukup lagi untuk menguapkan sejumlah air yang diperlukan dari bahan bakar yang lembab atau basah.

Menurut Brown dan Davis (1973) dan Fuller (1991), klasifikasi bahan bakar berdasarkan lokasinya di dalam hutan terdiri dari :

a. Bahan Bakar Bawah (Ground Fuels)

Merupakan bahan bakar serasah (di bawah permukaan tanah), duff atau humus, bagian-bagian kayu dan akar pohon, bahan organik yang membusuk atau mati, gambut dan batu bara. Kebakaran dapat berjalan terus dan berawal dari kebakaran permukaan.

b. Bahan Bakar Permukaan (Surface Fuels)

Merupakan bahan bakar yang berada di lantai hutan, antaralain berupa bahan bakar mati, serasah, log-log sisa tebangan, tunggak pohon, kulit kayu, cabang kecil dan tumbuhan bawah yang berada di lantai hutan. c. Bahan Bakar Atas (Aerial Fuels)

(25)

Menurut Brown dan Davis (1973) dalam Saharjo (2003), terdapat tiga tipe kebakaran hutan berdasarkan atas tipe bahan bakarnya, yaitu:

a. Kebakaran Bawah (Ground Fire)

Tipe kebakaran bawah ini biasanya mengkonsumsi bahan bakar berupa material organik yang terdapat di bawah permukaan tanah/lantai hutan. Yang paling mudah dan klasik adalah pada hutan gambut. Kebakaran hutan ini dipengaruhi oleh kecepatan angin. Tanda areal itu terbakar adalah adanya asap putih yang keluar dari bawah permukaan tanah. Kebakaran dengan tipe ini pada kebakaran tahun 1997/1998 yang lalu terjadi di lahan gambut yang terdapat di Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat dan beberapa daerah lainnya. Karena berada di bawah permukaan tanah, maka banyak pohon mati karena akarnya hangus terbakar. Kebakaran ini biasanya berkombinasi dengan kebakaran permukaan.

b. Kebakaran Permukaan (Surface Fire)

Kebakaran permukaan mengkonsumsi bahan bakar yang terdapat di lantai hutan, baik berupa serasah, jatuhan ranting, dolok-dolok yang bergelimpangan di lantai hutan, tumbuhan bawah, dan sebagainya yang berda di bawah tajuk pohon dan di atas permukaan tanah. Tipe kebakaran ini merupakan tipe kebakaran yang paling sering terjadi dalam tegakan, hutan sekunder dan hutan alam, terkecuali di daerah rawa gambut dimana yang dominan adalah kebakaran bawah. Kebakaran permukaan ini biasanya merupakan langkah awal menuju kebakaran tajuk, dengan cara terbakarnya tanaman pemanjat yang menghubungkan sampai ke tajuk pohon atau akibat api loncat yang mencapai tajuk pohon.

c. Kebakaran Tajuk (Crown Fire)

(26)

pohon yang berminyak, atau karena pemanasan dari permukaan. Kadangkala bara api yang berasal dari tajuk pohon akan jatuh menimpa lantai hutan, sehingga menimbulkan kebakaran permukaan. Kebakaran ini sangat sulit untuk ditanggulangi karena menjalar sangat cepat.

2.2Biomassa

Biomassa adalah berat bahan organik suatu organisme per satuan unit area pada suatu saat, berat bahan organik umumnya dinyatakan dengan satuan berat kering (dry weight) atau kadang-kadang dalam berat kering bebas abu (ash free dry weight) (Chapman 1976). Menurut Brown (1997), biomassa merupakan jumlah total dari bahan organik yang hidup di atas tanah pada pohon termasuk daun, ranting, cabang, batang utama dan kulit yang dinyatakan dalam berat kering oven ton per unit area.

Biomassa adalah bahan organik yang dihasilkan melalui proses fotosintetik, baik berupa produk maupun buangan. Contoh biomassa antara lain adalah tanaman, pepohonan, rumput, ubi, limbah pertanian, limbah hutan, tinja dan kotoran ternak. Selain digunakan untuk tujuan primer serat, bahan pangan, pakan ternak, minyak nabati, bahan bangunan dan sebagainya, biomassa juga digunakan sebagai sumber energi (bahan bakar) (Anonim 2008).

Sumber energi biomassa mempunyai beberapa kelebihan antara lain merupakan sumber energi yang dapat diperbaharui (renewable) sehingga dapat menyediakan sumber energi secara berkesinambungan (sustainable). Di Indonesia, biomassa merupakan sumber daya alam yang sangat penting dengan berbagai produk primer sebagai serat, kayu, minyak, bahan pangan dan lain-lain yang selain digunakan untuk memenuhi kebutuhan domestik juga diekspor dan menjadi tulang punggung penghasil devisa negara (Anonim 2008).

(27)

dilakukan perhitungan jumlah karbondioksida yang dapat dipindahkan dari atmosfer dengan cara melakukan reboisasi atau dengan penanaman (Brown 1997). Biomassa dapat dibedakan ke dalam dua kategori yaitu, biomassa tumbuhan di atas permukaan tanah (above ground biomass) dan biomassa di bawah permukaan tanah (below ground biomass). Lebih jauh dikatakan biomassa di atas permukaan tanah adalah berat bahan unsur organik per unit luas pada waktu tertentu yang dihubungkan ke suatu fungsi sistem produksi, umur tegakan hutan dan distribusi organik (Kusmana 1993 dalam Onrizal 2004).

Biomassa tumbuhan bertambah karena tumbuhan menyerap CO2 dari

udara dan mengubah zat tersebut menjadi bahan organik melalui proses fotosintesis. Laju pengikatan biomassa disebut produktivitas primer bruto. Hal ini tergantung pada luas daun yang terkena sinar matahari, intensitas penyinaran, suhu, dan ciri-ciri jenis tumbuhan masing-masing. Sisa dari hasil respirasi yang dilakukan tumbuhan disebut produktivitas primer bersih.

Peningkatan penyerapan cadangan karbon dapat dilakukan dengan meningkatkan pertumbuhan biomassa hutan secara alami, menambah cadangan kayu pada hutan yang ada dengan penanaman pohon atau mengurangi pemanenan kayu, dan mengembangkan hutan dengan jenis pohon yang cepat tumbuh. Karbon yang diserap oleh tanaman disimpan dalam bentuk biomassa kayu, sehingga cara yang paling mudah untuk meningkatkan cadangan karbon adalah dengan menanam dan memelihara pohon (Rahayu et al., 2004).

Komponen cadangan karbon daratan terdiri dari cadangan karbon di atas permukaan tanah, cadangan karbon di bawah permukaan tanah dan cadangan karbon lainnya. Cadangan karbon di atas permukaan tanah terdiri dari tanaman hidup (batang, cabang, daun, tanaman menjalar, tanaman epifit dan tumbuhan bawah) dan tanaman mati (pohon mati tumbang, pohon mati berdiri, daun, cabang, ranting, bunga, buah yang gugur, arang sisa pembakaran). Cadangan karbon di bawah permukaan tanah meliputi akar tanaman hidup maupun mati, organisme tanah dan bahan organik tanah. Pemanenan hasil kayu (kayu bangunan,

(28)

demikian jika kita perhitungkan dalam skala global. Demikian juga halnya dengan hilangnya bahan organik tanah melalui erosi (Rahayu et al., 2004).

Tabel 1. Biomassa (ton/ha) pada Berbagai Tipe Hutan

Lokasi dan Jenis Pohon

Biomassa

(ton/ha) Metode Sumber

Hutan Tegakan Mahoni 1,891 Destruktif Adinugroho (2002)

Hutan Rawa Gambut Primer di Atas Permukaan Tanah

, Riau Destruktif Istomo (2002)

1. Ketebalan gambut 2 – 3 m 206,10 2. Ketebalan gambut 4 – 5 m 277,92 3. Ketebalan gambut 6 – 7 m 304,15

Hutan Mangrove Destruktif Hilmi (2003)

1. Rhizopora apiculata 926,2

2. Rhizopora muconata 23,56

3. Bruguiera spp 71,26

Hutan Kerangas, Kalimantan Barat* 874,87 Destruktif Onrizal (2004)

Tegakan Puspa di PT. MHP Sumatera Selatan* Destruktif Salim (2005)

1. Kelas diameter 2 – 10 cm 18,190

2. Kelas diameter 10 – 20 cm 13,687

3. Kelas diameter > 20 cm 34,678

Hutan Sekunder Bekas terbakar di Kalimantan Timur 36,826 Destruktif Adinugroho (2006)

Hutan Rakyat Cempaka dan Wasian Destruktif Langi (2007)

1. Tegakan Murni di Masarang 504,799

2. Tegakan Campuran di Tareran 142,991

Hutan Sekunder Puspa di Jasinga Bogor Destruktif Rahma (2008)

1. Areal tidak terbakar 2,618

2. Areal terbakar 2 kali 1,221

Tegakan Acacia crassicarpa, Sumsel* Destruktif Limbong (2009)

1.Umur 2 tahun 127,153

2.Umur 4 tahun 100,569

3.Umur 6 tahun 138,317

Hutan Gambut bekas Tebangan, Sumsel* 287,13 Destruktif Novita (2010)

(29)

kayu untuk jangka waktu yang lama dan tidak menjadi sumber emisi karbon. Untuk memperoleh potensial penyerapan karbon yang maksimum perlu ditekankan pada kegiatan peningkatan biomassa di atas permukaan tanah bukan karbon yang ada dalam tanah, karena jumlah bahan organik tanah yang relatif lebih kecil dan masa keberadaannya singkat. Hal ini tidak berlaku pada tanah gambut (Rahayu et al .,2004).

2.3Karbon

Karbon merupakan komponen penting penyusun biomassa tanaman melalui proses fotosintesis, kandungannya sekitar 45 – 50% bahan kering dari tanaman. Adanya peningkatan kandungan karbon dioksida di atmosfer secara global telah menyebabkan timbulnya masalah bagi lingkungan. Hal ini mempengaruhi kebijakan negara-negara didunia untuk mempertahankan keberadaan hutan yang dapat dianggap sebagai buffer terhadap kandungan karbon, sehingga para ilmuwan meneliti kandungan karbon yang tersimpan di hutan (Salim 2005).

Tabel 2. Karbon (ton/ha) pada Berbagai Tipe Hutan

Lokasi dan Jenis Pohon

Karbon

(ton/ha) Metode Sumber

Hutan Kerangas, Kalimantan Barat* 169,21 Destruktif Onrizal (2004)

Tegakan Puspa di PT. MHP Sumatera Selatan* Destruktif Salim (2005)

1. Kelas diameter 2 – 10 cm 1,483

2. Kelas diameter 10 – 20 cm 2,120

3. Kelas diameter > 20 cm 5,880

Hutan Sekunder Bekas terbakar di Kalimantan Timur 18,413 Destruktif Adinugroho (2006)

Hutan Rakyat Cempaka dan Wasian Destruktif Langi (2007)

1. Tegakan Murni di Masarang 158,389

2. Tegakan Campuran di Tareran 52,601

Hutan Sekunder Puspa di Jasinga Bogor Destruktif Rahma (2008)

1. Areal tidak terbakar 1,204

2. Areal terbakar 2 kali 0,561

Tegakan Acacia crassicarpa, Sumsel* Destruktif Limbong (2009)

1.Umur 2 tahun 23,032

2.Umur 4 tahun 19,567

3.Umur 6 tahun 26,377

Hutan Gambut, Riau (Sebelum Pemanenan (virginforest)) 172,16 Destruktif Perdhana (2009)

(30)

Semua tipe hutan mempunyai kemampuan untuk mengabsorpsi karbon. Adapun lokasi utama cadangan karbon terbesar adalah di hutan tropika, baik di permukaan tanah maupun di bawah permukaan tanah. Hutan tropika merupakan tipe hutan yang mengandung biomassa dalam jumlah yang besar sehingga memiliki cadangan simpanan karbon yang sangat penting. Pada umumnya potensi pertumbuhan di hutan tropis lebih tinggi dan lebih cepat dibandingkan dengan tipe hutan lain, sehingga dapat mempercepat akumulasi karbon di dalam tanaman. Vegetasi hutan mempunyai kemampuan untuk menyerap CO2. Hutan mampu

menyerap karbon sekitar 16,5 juta metrik ton karbon selama 40 tahun melalui pertambahan bersih dari biomassa karbon dan inventarisasi tegakan dan penyerapan melalui tegakan hutan. Selain itu, karbon juga tersimpan dalam material yang telah mati sebagai serasah, batang pohon yang jatuh ke permukaan tanah, dan sebagai material yang sukar lapuk di tanah (Whitmore 1985).

Pada ekosistem daratan karbon tersimpan dalam 3 komponen pokok (Hairiah dan Rahayu 2007) yaitu:

a. Biomassa yaitu masa dari bagian vegetasi yang masih hidup yaitu tajuk pohon, tumbuhan bawah atau gulma dan tanaman semusim.

b. Nekromasa yaitu massa dari bagian pohon yang telah mati baik yang masih tegak di lahan atau telah tumbang tergeletak di permukaan tanah, tonggak atau ranting dan daun-daun gugur (serasah) yang belum terlapuk. c. Bahan organik tanah yaitu sisa makhluk hidup (tanaman, hewan dan

manusia) yang telah mengalami pelapukan baik sebagian maupun seluruhnya dan telah menjadi bagian dari tanah. Ukuran partikel biasanya lebih kecil dari 2 mm.

2.4Pendugaan dan Pengukuran Biomassa

(31)

Biomassa di atas tanah (ton/ha) = VOB x WD x BEF...(Brown et al.,1997) Keterangan: VOB = Volume batang bebas cabang dengan kulit (m3/ha)

WD = Kerapatan kayu (m3)

BEF = Biomassa Expansion Factor

Pendekatan kedua penentuan kerapatan biomassa dengan menggunakan persamaan regresi biomassa berdasarkan diameter batang pohon. Dsar dari persamaan regresi ini adalah hanya mendekati biomassa rata-rata per pohon menurut sebaran diameter, dengan menggabungkan sejumlah pohon pada setiap kelas diameter dan menjumlahkan (total) seluruh pohon untuk seluruh kelas diameter.

Biomassa di atas tanah (Y) = aDb Keterangan:

Y = Berat kering per pohon (kg)

D = Diameter setinggi dada (130 cm), a dan b merupakan konstanta

Menurut Chapman (1976) terdapat dua metode pendugaan biomassa di atas tanah, yaitu:

1) Metode Pemanenan

a) Metode pemanenan individu tanaman

Metode ini diterapkan pada kondisi tingkat kerapatan tumbuhan/pohon cukup rendah dan komunitas tumbuhan dengan jenis sedikit. Nilai total biomassa diperoleh dengan menjumlahkan biomassa seluruh individu dalam suatu unit area tertentu.

b) Metode pemanenan kuadrat

Metode ini mengharuskan memanen semua individu pohon dalam suatu unit area contoh dan menimbangnya. Nilai total biomassa diperoleh dengan mengkonversi berat bahan organik yang dipanen didalam suatu unit area tertentu.

c) Metode pemanenan individu pohon yang mempunyai luas bidang dasar (Lbds) rata-rata

(32)

yang ditebang dengan jumlah individu pohon atau jumlah berat dari semua individu pohon dalam suatu unit area tertentu atau jumlah berat dari semua pohon contoh yang digandakan dengan rasio antara Lbds dari semua pohon dalam suatu unit area dengan jumlah Lbds dari semua pohon contoh.

2) Metode Pendugaan tidak langsung a) Metode hubungan alometrik

Persamaan alometrik dibuat dengan mencari korelasi yang paling baik antara diameter pohon dengan biomassanya. Untuk membuat persamaan alometrik, pohon-pohon yang mewakili sebaran kelas diameter ditebang dan ditimbang. Nilai total biomassa diperoleh dengan menjumlahkan semua berat individu pohon dalam suatu unit area contoh tertentu.

b) Crop meter

Pendugaan biomassa dengan metode ini dilakukan dengan cara menggunakan seperangkat peralatan elektroda listrik yang kedua kutubnya diletakkan di atas permukaan tanah pada jarak tertentu. Biomassa tumbuhan antara dua elektroda dipantau dengan memperhatikan electrical capacitance yang dihasilkan alat tersebut.

2.5Model Pendugaan Biomassa dan Karbon

Biomassa dan kandungan karbon pohon dapat diduga dengan membuat suatu model penduga. Model biomassa mestimulasikan penyerapan karbon melalui proses fotosintesis dan kehilangan karbon melalui respirasi. Penyerapan karbon bersih akan disimpan dalam organ tumbuhan dalam bentuk biomassa. Fungsi dan model biomassa dipresentasikan melalui persamaan dengan tinggi dan diameter pohon (Kusmana 1996 dalam Salim 2005).

(33)

Terdapat beberapa persamaan umum model penduga biomassa pohon yang telah dipakai oleh beberapa peneliti antara lain:

a. Model dengan satu peubah bebas: W = a Db…… (Brown 1997)

W = a + bD + cD2…….(Brown 1997) b. Model dengan dua peubah bebas:

W = a (D2H)b …..(Ogawa et al. 1965 dalam Salim 2005)

Tabel 3. Perbandingan Model Biomassa yang dihasilkan berdasarkan Koefisien a dan b

dari Berbagai Jenis Pohon dan Tipe Hutan

Lokasi dan Jenis Pohon

Koefisien Alometrik R2

Sumber

a b (%)

Batang

Hutan Tegakan Mahoni 0.044 2.61 94.50 Adinugroho (2002)

Hutan Kerangas 0.068 2.829 98.94 Onrizal (2004)

Tegakan Puspa di PT. MHP, Sumsel 0.2621 21.038 98.99 Salim (2005)

Hutan Sekunder Bekas terbakar, Kaltim 0.0912 2.22 94.9 Adinugroho (2006)

Hutan Sekunder Puspa di Jasinga Bogor Rahma (2008)

1. Areal tidak terbakar 0.486 2.08 73.60

2. Areal terbakar 2 kali 0.605 4.34 34.40

Tegakan Acacia crassicarpa, PT. SBAWI Sumsel Limbong (2009)

1. Umur 2 tahun 1,468 1,437 85,6

2. Umur 4 tahun 0,007 3,1929 87,8

3. Umur 6 tahun 1,2727 1,6191 84,5

Hutan Gambut Bekas Tebangan, Sumsel 0,158976 2,44672 95,7 Novita (2010)

Keterangan: Koefisien dihitung berdasarkan persamaan W = aDb

2.6Siklus Karbon

(34)

oleh jalur pertukaran. Reservoir-reservoir tersebut adalah atmosfer, biosfer

teresterial (biasanya termasuk pula freshwater system dan material non-hayati organik seperti karbon tanah (soil carbon)), lautan (termasuk karbon anorganik terlarut dan biota laut hayati dan non-hayati), dan sedimen (termasuk bahan bakar fosil). Pergerakan karbon, pertukaran karbon antar reservoir terjadi karena adanya proses-proses kimia, fisika, geologi, dan biologi yang bermacam-macam. Lautan mengandung kolam aktif karbon terbesar dekat permukaan bumi, namun demikian laut dalam bagian dari kolam ini mengalami pertukaran yang lambat dengan atmosfer.

Menurut Anonim (2009), daur karbon merupakan bagian dari daur energi. Reaksi fotosintesis sangat esensial untuk daur karbon maupun daur energi, melalui proses fotosintesis tersebut karbon dioksida berhubungan dengan mahluk hidup. Melalui proses fotosintesisnya tumbuhan hijau berperan dalam daur karbon, karbon diubah menjadi karbohidrat dengan bantuan energi matahari dan pigmen klorofil. Reaksi tersebut biasanya terjadi di hutan-hutan padang rumput dan juga dirumput laut dilautan. Dalam daur karbon, karbon dioksida dibutuhkan tumbuhan yang kemudian akan dikonsumsi hewan, ikan dan manusia untuk kebutuhan sel dan energi. Dalam bentuk karbon dioksida dikembalikan ke alam, bila hewan atau tumbuhan tersebut mati akibat kerja mikroorganisme karbon akan dikembalikan ke bumi. Aspek penting lain dari daur karbon adalah reaksi non biologi yaitu pertukaran antara karbon dioksida dan bikarbonat yang umumnya terjadi dalam perairan pada kondisi tertentu karbonat akan berpresipitasi dengan membentuk batu kapur (lime stone).

Karbon yang berada di atmosfer bumi bagian terbesarnya adalah gas karbon dioksida (CO2). Meskipun jumlah gas ini merupakan bagian yang sangat

(35)

Jumlah CO2 di atmosfer tetap sangat stabil pada tingkat sekitar 280 μmol/

mol selama ribuan tahun belakangan ini, dan cukup stabil antara 200 dan 300

μmol/mol selama 150.000 tahun sebelum itu. Sejak sekitar tahun 1850, CO2 di

atmosfer meningkat secara eksponensial sampai mencapai 352 μmol/mol pada tahun 1990. CO2 meningkat sekitar 1,4 μmol/mol/tahun selama 15 tahun terakhir,

tetapi pada tahun 1988 peningkatannya lebih dari 2 μmol/mol, sebuah lompatan terbesar dan lebih dari 0,5% dari kandungan CO2 saat ini. Alasan utama

peningkatan sejak tahun 1850 ini ialah pembakaran bahan bakar fosil, tapi pembukaan lahan khususnya pembakaran hutan tropika juga ikut berperan. Ekosistem mantap seperti hutan hujan tropika menambah CO2 ke atmosfer

(melalui respirasi dan pembusukan) sebanyak yang mereka ambil, tetapi apabila hutan itu ditebang dan di bakar maka karbon yang tersimpan di biomassanya dan sebagian besar atau semua simpanan karbon di tanah berpindah dari biosfer ke atmosfer (Salisbury 1995).

Dalam jangka pendek (yakni selama masa hidup kita), CO2 ditambahkan

ke atmosfer oleh respirasi tumbuhan, mikroorganisme, dan hewan, oleh pembakaran bahan bakar fosil, serta oleh pembukaan lahan. Dalam kurun waktu geologi (dan berlanjut sampai sekarang), CO2 ditambahkan ke atmosfer melalui

semburuan gunung berapi dan semburan mata air mineral. Dalam jangka pendek, fotosintesis merupakan salah satu mekanisme penting pengambilan CO2 dari

atmosfer. Mekanisme lainnya adalah pelarutan CO2 di samudra dan laut, dengan

karbonat padat dan terlarut dalam keadaan setimbang dengan CO2 dimana apabila

terjadi perubahan pada yang satu maka akan mempengaruhi yang lainnya, sehingga konsentrasi CO2 pada skala dunia disangga oleh karbonat di dalam air

(Salisbury 1995).

Selanjutnya menurut Salisbury (1995), peningkatan CO2 di atmosfer di

seluruh dunia mendapat perhatian karena CO2 dan beberapa gas lainnya yang

(36)

dingin daripada matahari) yang diserap oleh gas rumah kaca, yang selanjutnya memancarkan sebagian energi (pada panjang gelombang panjang) kembali ke bumi, sehingga lebih memanaskan bumi lagi. Pemanasan permukaan bumi tersebut dalam waktu ratusan tahun akan mencairkan cukup banyak es di daerah kutub sehingga permukaan air laut akan naik dan menggenangi banyak kota pantai. Perubahan iklim lain yang menyertainya terutama pada pola curah hujan, akan sangat banyak mengubah pertanian dan vegetasi alam.

2.7Pengaruh Gas Karbon Dioksida

Pada umumnya karbon menyusun 45 – 50 % bahan kering dari tanaman. Sejak kandungan karbondioksida meningkat secara global dari atmosfer akan dianggap sebagai masalah lingkungan selanjutnya berbagai ekolog tertarik untuk menghitung karbon yang tersimpan di hutan. Hutan tropika mengandung biomassa dalam jumlah besar sehingga hutan tropika merupakan cadangan simpanan karbon yang penting (Whitmore 1985).

Menurut Fardiaz (1992), pengaruh gas rumah kaca terbentuk dari interaksi antara CO2 atmosfer yang jumlahnya meningkat dengan radiasi sinar matahari.

Kira-kira sepertiga dari sinar yang mencapai permukaan bumi akan direfleksikan kembali ke atmosfer. Sebagian besar sisanya akan diabsorpsi oleh benda-benda seperti batu karang dan benda lainnya. Sinar yang diabsorpsi tersebut akan diradiasi kembali dalam bentuk inframerah dengan panjang gelombang lebih panjang dari sinar tampak yang dapat dirasakan sebagai panas jika bumi menjadi dingin. Sinar dengan panjang gelombang yang lebih tinggi tersebut akan diabsorpsi oleh CO2 atmosfer dan membebaskan panas sehingga suhu akan

meningkat. Kenaikan suhu ini akan mengakibatkan bertambahnya perolehan gunung es dan kemungkinan menyebabkan bertambahnya kedalaman laut.

Gas rumah kaca yang terdiri dari karbon dioksida (CO2), metana (CH4),

nitrous oxide (N2O) dan beberapa gas lainya merupakan gas yang terperangkap

(37)

Tanaman atau biomassa akan mengurangi konsentrasi karbondioksida dari atmosfer melalui proses fotosintesis. Karbon dioksida (CO2) yang diserap untuk

tumbuh dan berkembang. Ketika biomassa dibakar, karbon (C) akan diubah kedalam bentuk karbon dioksida dan kembali ke atmosfer. Proses ini berlangsung secara terus menerus sehingga jumlah konsentrasi karbon dioksida di atmosfer akan selalu seimbang bila sejumlah biomassa menyerap sejumlah karbon dioksida yang seimbang. Tetapi bila konsumsi energi fosil menjadi meningkat maka konsentrasi karbon dioksida akan meningkat. Sehingga penambahan biomassa dibutuhkan untuk menyeimbangkan kembali jumlah karbon dioksida yang diserap dan dilepaskan (Pambudi 2008).

Kenyataannya, peningkatan sejumlah energi fosil seperti gas, minyak yang terjadi belakangan ini tidak diimbangi dengan peningkatan jumlah biomassa, yang terjadi adalah apa yang dinamakan deforestasi atau penggundulan hutan, pembalakan dan sebagainya. Hal tersebut makin meningkatkan konsentrasi karbon dioksida. Penggunaan biomassa sebagai pengganti bahan bakar dapat mengurangi konsentrasi karbon dioksida (Pambudi 2008).

(38)

BAB III

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

3.1 Luas dan Lokasi

Wilayah Merang Peat Dome Forest (MPDF) memiliki luas sekitar 150.000 ha yang terletak dalam kawasan Hutan Produksi (HP) Lalan di Kecamatan Bayung Lencir Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Areal ini merupakan bagian dari area gambut yang berhubungan dengan Taman Nasional Sembilang sebelah Timur, hutan gambut Muaro Jambi di utara dan Taman Nasional Berbak di bagian barat daya. Kubah gambut terletak tepat diantara sungai Medak dan Kepayang (Gambar 3).

3.2 Aksesibilitas

Desa yang termasuk kedalam lokasi terdekat dengan MPDF adalah desa Muara Merang dimana jarak dari Palembang ke desa ini sekitar 225 km yang dapat ditempuh dengan akses darat atau sungai selama 4-5 jam. Sarana transportasi yang paling penting bagi masyarakat adalah melalui jalur sungai. Kota terdekat dari desa ini adalah kota Bayung Lencir dengan waktu tempuh selama 2 jam menggunakan perahu.

Gambar 4. Sungai sebagai Akses Transportasi

3.3 Iklim dan Hidrologi

(39)

Sumber: Solichin (2008) Gambar 3. Peta Lokasi Merang Peat Dome Forest (MPDF)

MPDF

TN.Sembilang

PT. RHM PT.Pakerin

PTPN VII

(40)

Oldeman, area ini termasuk ke dalam zona B1, yang berarti memiliki intensitas curah hujan yang cukup (Solichin 2008).

Kondisi hidrologi areal MDPF dipengaruhi oleh pasang surut Sungai Lalan dan anak sungainya, yaitu Sungai Merang, Sungai Kepahyang dan Sungai Medak yang termasuk kedalam DAS Lalan dan bermuara di Selat Bangka. Sungai tersebut memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap kondisi hidrologi dan proses pembentukan gambut serta berpengaruh terhadap fluktuasi genangan air.

Sumber: Solichin (2008) Gambar 5. Deskripsi Hidrologi Merang

Sungai Merang mengalir ditengah kubah gambut (peat dome) yang terletak tepat diantara Sungai Kepayang dan Medak. Sungai Merang memiliki banyak anak sungai diantaranya adalah Sungai Cangkak, Sungai Buring, Sungai Beruhun dan Sungai Bawo. Sungai Merang mengalir dari daerah Petaling (perbatasan Provinsi Sumatera Selatan dengan Jambi) sampai ke Sungai Lalan di desa Bakung, Kecamatan Bayung Lencir.

3.4 Karakteristik Gambut dan Cadangan Karbon

(41)

dan gambut dalam dengan tingkat kematangannya secara umum pada kedalaman 1 m rata-rata pada tingkat hemik - saprik, sedangkan pada kedalaman > 1 m pada tingkat kematangan saprik.

Dilihat dari karakteristik kimia gambut, pH tanah tergolong masam dimana nilai kemasaman gambut diperoleh dari hasil sumbangan ion H+ dari proses dekomposisi bahan organik yang terjadi secara terus menerus pada lahan gambut (SSFFMP-EU 2005). Kandungan C di lahan gambut dikategorikan tinggi karena C lebih dari 5% sekaligus membuktikan tingginya ketersediaan karbon di lahan gambut. Untuk kandungan N dan nisbah C/N tergolong tinggi, sebaliknya kandungan P total relatif rendah terutama pada daerah deposisi atau endapan. Berdasarkan kondisi kejenuhan basanya, area ini tergolong sangat rendah disebabkan karena kandungan basa pada gambut jauh lebih rendah daripada basa di tanah mineral. Ciri kimia lain pada areal gambut ini adalah : ketersediaan unsur K tergolong dari rendah hingga sedang, unsur N tergolong sedang, Ca dan Mg tergolong rendah hingga sangat rendah. Untuk Kapasitas Tukar Kation (KTK) MPDF dikategorikan memiliki kation sangat tinggi yang dapat mencerminkan kondisi kesuburan tanah karena berhubungan dengan kemampuan tanah dalam menyerap unsur-unsur hara (SSFFMP-EU 2005).

MPDF merupakan salah satu kubah gambut terluas di bagian utara Sumatera Selatan. Menurut Wetlands dan IPB (2003), hutan rawa gambut Merang dan Kepahyang memiliki luas 210 ribu ha, dengan rata-rata kedalaman gambut 150 cm dan menyimpan 0,5 Gigaton karbon. Pada tahun 2006, SSFFMP membangun model 3D kubah gambut berdasarkan pengeboran tanah gambut dan DEM SRTM menghasilkan 0,1 Gigaton karbon dari 140 ribu ha dengan kedalaman rata-rata gambut 208 cm (Mott 2006). Ballhorn (2007) menyatakan bahwa dengan luas 125 ribu ha dan rata-rata kedalaman gambut 2,5 meter, MPDF mengandung 0,2 Gigaton karbon atau setara dengan 0,72 Gigaton CO2.

3.5 Kondisi Sosial Ekonomi

(42)

berjumlah 1.240 jiwa terdiri dari 273 kepala keluarga. Penduduk desa ini bermatapencarian utama sebagai penebang kayu (pembalak), petani, buruh di perusahaan perkebunan kelapa sawit, dan nelayan.

Di daerah ini terdapat operasi bisnis yang biasa disebut Lebak Lebung, yang artinya suatu mekanisme panen ikan dari sungai yang dimiliki oleh Pemerintah Kabupaten. Setiap tahun, pemerintah mengadakan lelang untuk hak pemanenan ikan di salah satu bagian spesifik sungai. Pemegang hak harus membayar 35 juta rupiah kepada pemerintah untuk dapat menggunakan haknya setiap tahun. Pemegang hak akan memperoleh pajak dari setiap penangkap ikan yang memanen ikan di area tersebut. Ini hanya sebagian kecil pemasukan dari pemilik hak. Pemasukan terbesar berasal dari pajak yang dipungut dari kayu-kayu ilegal yang dibawa melewati bagian sungai tersebut. Pajak yang diperoleh dapat mencapai 300 juta rupiah. Ini merupakan fakta dalam mekanisme aktivitas illegal.

3.6 Sejarah Areal

Kejadian kebakaran dilaporkan terjadi sejak tahun 1960, kemudian terjadi kebakaran berulang pada tahun 1982, 1987, 1997 (Lubis et al., 2004). Hal tersebut diakibatkan oleh kegiatan pembalakan yang terus berlangsung yang menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologi dari ekosistem kubah gambut (peat dome) menjadi kering. Selain itu, para pembalak liar memperburuk kondisi hutan dengan membuat galian parit seperti bentuk kuda-kuda untuk dapat mengangkut potongan kayu keluar dari kubah hutan pada waktu musim kemarau. Kelalaian dari penebang liar diduga menjadi penyebab terjadinya kebakaran adalah sumber api yang berasal dari kegiatan memasak maupun puntung rokok.

(43)

Berdasarkan peta rawan kebakaran, menunjukkan bahwa area dalam tingkat kerawanan yang tinggi.

Sumber: Solichin (2008) Gambar 6. Peta Citra Hot spot di MPDF Sumatera Selatan

(44)

tahun 2005. Hingga akhirnya pada tahun 2006 merupakan puncak dimana banyak ditemukannya titik api dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Kejadian kebakaran hutan di MPDF pada tahun 2006 diduga disebabkan karena semakin banyaknya areal yang terdegradasi akibat dari kegiatan penebangan liar maupun akibat terjadinya kebakaran berulang yang menyebabkan hutan menjadi areal terdegradasi sehingga rentan untuk terjadinya kebakaran hutan. Kegiatan illegal logging menyisakan limbah sisa penebangan yang dapat menjadi bahan bakar yang sangat potensial dan apabila terdapat sumber penyulutan maka akan memicu terjadinya kebakaran hutan.

Kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 2006 di areal MPDF selain dipengaruhi oleh aktivitas illegal logging maupun kebakaran hutan tahun sebelumnya yang menyebabkan degradasi hutan juga dipengaruhi oleh faktor iklim (curah hujan, suhu dan kelembaban). Faktor iklim merupakan faktor pendukung untuk terjadinya kebakaran hutan, dapat dilihat pada gambar 7, 8 dan 9. Berdasarkan hasil pengukuran Badan Meteorologi dan Geofisika Stasiun Klimatologi Kenten Palembang terhadap data curah hujan bulanan di Bayung Lincir Kabupaten Musi Banyuasin dari bulan Januari sampai Desember tahun 2005, 2006 dan 2007 (Gambar 7).

Gambar 7. Grafik Curah Hujan Bulanan di Wilayah Bayung Lincir Kabupaten Musi Banyuasin

(45)

bulan tersebut merupakan bulan yang sangat rentan terjadinya kebakaran hutan, hal ini terbukti, bahwa kejadian kebakaran hutan di lokasi penelitian yang terjadi pada tahun 2006 diperkirakan terjadi pada bulan Agustus hingga Oktober yang ditandai dengan adanya bulan kering. Oleh karena itu, pada periode inilah dimulainya proses akumulasi pengeringan dan penumpukan bahan bakar sehingga kadar airnya semakin menurun dan apabila terdapat sumber penyulutan maka bahan bakar tersebut akan relatif mudah untuk terbakar.

Untuk data pengukuran suhu dan kelembaban udara menggunakan data hasil pengukuran Badan Meteorologi dan Geofisika Stasiun Klimatologi Kenten Palembang di Desa Tulung Salapan karena secara umum kondisi cuaca di Palembang hampir sama. Berdasarkan data yang ada dapat diketahui bahwa suhu udara bulanan maksimal pada tahun 2006 terjadi pada bulan Oktober sebesar 28,9°C sedangkan suhu udara minimal pada bulan Januari sebesar 26,4°C. Sedangkan suhu udara bulanan maksimal pada tahun 2007 terjadi pada bulan Mei dan September sebesar 27,5°C dan minimal pada bulan Desember 26,4°C (Gambar 8).

(46)

bulan September sebesar 78%. Semakin tinggi suhu berarti kelembaban udara semakin rendah, hal ini berarti bahwa daerah tersebut berpeluang besar terhadap kejadian kebakaran hutan. Hal ini dapat dilihat bahwa kejadian kebakaran pada bulan Agustus hingga Oktober 2006 ditandai dengan meningkatnya suhu dan rendahnya kelembaban udara.

(47)

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli hingga bulan Agustus tahun 2009 di hutan gambut merang bekas terbakar yang terletak di Kabupaten Musi Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan. Untuk identifikasi spesies tumbuhan dilakukan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong dan analisis biomassa dan karbon terikat berdasarkan bagian-bagian pohon (batang, cabang, ranting dan daun), tumbuhan bawah, serasah dan nekromasa dilakukan di Laboratorium Kimia Kayu Puslitbang Hutan, Departemen Kehutanan pada bulan Agustus hingga November 2009.

(48)

4.2Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kompas, GPS (Global Positioning System) Garmin 60CSx, bor gambut, paralon (untuk patok), phi band, parang/golok, meteran (panjang 50 m dan 100 m), terpal (2 x 3 m), tambang, tali rafia, timbangan (25 kg, 50 kg), timbangan analitik (5 kg), chainsaw, karabiner dan webing, gunting daun, cawan porselen, tanur, eksikator, kamera serta alat tulis. Sedangkan bahan yang digunakan adalah tali rafia, kertas koran, alkohol 70%, kantong plastik (2 kg), kertas label, cat semprot merah, amplop, sealed plastic untuk menyimpan sampel, serta tally sheet.

(a) (b)

(c) (d) Gambar 11. Peralatan Penelitian Keterangan :

(a) Timbangan (5 kg, 25 kg dan 50 kg), timbangan analitik (5 kg), meteran (100 m), pita diameter, tali tambang dan gunting daun

(b) Gergaji dan parang

(c) Patok yang terbuat dari pipa, tali tambang, GPS, kompas, meteran dan pita diameter (d) Chainsaw

4.3Jenis Data

Data- data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

(49)

pohon (batang, cabang, ranting dan daun), tumbuhan bawah, serasah dan nekromasa pada setiap petak penelitian, kadar air, kadar zat terbang, kadar abu dan kadar karbon terikat.

b. Data Sekunder : kondisi umum lokasi penelitian meliputi luas dan lokasi administratif, aksesibilitas, iklim dan hidrologi, karakteristik gambut, kondisi sosial ekonomi masyarakat, dan sejarah areal.

4.4 Peubah yang Diamati

Peubah yang diamati dalam penelitian ini terdiri dari kelompok peubah vegetasi dan serasah.

4.4.1 Kelompok Peubah Vegetasi

Vegetasi hutan yang akan diukur dan diamati adalah dengan kriteria sebagai berikut:

a. Pohon, yaitu semua tumbuhan berkayu yang memiliki diameter setinggi dada

≥ 2 cm (Heriyanto et al. 2002). Peubah vegetasi berupa pohon yang diamati

terdiri dari :

1) Nama jenis, jumlah individu dan diameter pohon.

2) Untuk pohon yang terpilih sebagai contoh uji untuk penduga biomassa dan kandungan karbon terikat pohon, peubah yang diukur dilapangan yaitu diameter, tinggi, berat basah total berdasarkan bagian-bagian pohon (batang, cabang, ranting dan daun) dan berat basah contoh. Sedangkan di laboratorium peubah yang diukur adalah kadar air, kadar zat terbang, kadar abu dan kadar karbon terikat dari pohon berdasarkan bagian-bagiannya.

3) Pohon dikelompokkan berdasarkan tingkat pertumbuhannya, dengan kriteria sebagai berikut:

a) Pancang adalah regenerasi pohon yang memiliki diameter ≥ 2 cm – 10 cm

b) Tiang adalah pohon muda yang memiliki diameter 10,01 – 20 cm c) Pohon adalah pohon dewasa yang memiliki diameter > 20,01 cm b. Tumbuhan bawah terdiri atas tumbuhan berkayu (diameter < 2 cm) dan

(50)

dan berat basah contoh. Sedangkan di laboratorium yang diukur adalah kadar air, kadar zat terbang, kadar abu dan kadar karbon terikat. Pengukuran semua peubah tersebut diklasifikasikan berdasarkan bagian-bagiannya.

4.4.2 Kelompok Peubah Serasah dan Nekromasa

Peubah serasah terdiri dari serasah jatuhan daun sedangkan nekromasa adalah bagian dari pohon yang telah mati meliputi tunggak pohon bagian batang, cabang serta ranting. Peubah serasah dan nekromasa yang diukur di lapangan adalah berat basah total dan berat basah contoh sedangkan yang diukur di laboratorium adalah kadar air, kadar zat terbang, kadar abu dan kadar karbon terikat.

4.5 Prosedur Penelitian di Lapangan

4.5.1 Penentuan dan Pembuatan Petak Penelitian

Petak yang digunakan untuk penelitian adalah petak hutan gambut merang bekas terbakar. Pembuatan petak ini sesuai dengan prosedur analisis vegetasi cara garis berpetak sebanyak 5 (lima) petak berukuran 20 m x 20 m (Soerianegara dan Indrawan 2008). Penentuan petak di lapangan dilakukan dengan systematic sampling with random start dengan jarak antara petak contoh yang satu dengan yang berikutnya relatif sama. Petak ditentukan dengan mempertimbangkan kedalaman gambut dan jarak tiap petak masing-masing 200 m dimana petak pertama ditentukan secara acak. Adapun gambar desain petak terlihat pada Gambar 12.

20 m

c 20 m

b a

(51)

Lanjutan (Gambar 12)

Keterangan :

a. Sub- petak ukuran 2 m x 2 m untuk analisis vegetasi tumbuhan bawah, serasah dan nekromasa

b. Sub-petak ukuran 5 m x 5 m untuk analisis vegetasi tingkat pancang (≥ 2 cm Ø ≤ 10 cm)

c. Sub-petak ukuran 10 m x 10 m untuk analisis vegetasi tingkat tiang (≥ 10,01 cm Ø ≤ 20 cm)

d. Petak ukuran 20 m x 20 m untuk analisis vegetasi tingkat pohon (Ø ≥ 20,01 cm)

(a) (b)

Gambar 13. Pembuatan Petak : (a) Petak ukuran 20 m x 20 m, (b) Sub-petak ukuran 2 m x 2 m

Adapun titik koordinat untuk setiap petak yang dibuat dilapangan disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Titik Koordinat dan Kedalaman Gambut Lokasi Penelitian

Petak UTMx UTMy Kedalaman Gambut (m)

1 415015,13 9776165,89 4,02

2 414984,09 9776246,33 4,10

3 415253,17 9776301,44 5,50

4 415438,13 9776299,15 5,50

5 415648,12 9776332,55 4,50

4.5.2 Inventarisasi Tegakan

Inventarisasi dilakukan untuk menentukan pohon mana yang akan ditebang untuk dijadikan bahan analisis. Inventarisasi tegakan meliputi pengukuran diameter dan tinggi pohon yang berada pada petak pengamatan.

(52)

Gambar 14. Pengukuran Diameter Pohon

4.5.3 Penebangan dan Penimbangan Berat Basah Pohon Contoh

Penentuan jumlah pohon contoh dilakukan dengan metode acak berlapis berdasarkan kelas diameter pohon sebagai lapisan (stratum) sesuai dengan analisis vegetasi. Untuk menentukan jumlah pohon yang ditebang dalam setiap lapisan (kelas diameter) digunakan rumus:

nh = Nh x n N

Keterangan : nh = Pohon contoh terpilih dalam lapisan ke-h Nh = Jumlah pohon dalam lapisan ke-h

n = Jumlah pohon contoh

N = Jumlah pohon dalam populasi

Jumlah pohon yang ditebang berdasarkan kelas diameter batang adalah sebanyak 20 pohon yang tersebar pada berbagai kelas diameter, yaitu kelas diameter 2 – 10 cm sebanyak 15 pohon, kelas diameter 10,01 – 20 cm sebanyak 2 pohon, kelas diameter 20,01 – 30 cm sebanyak 2 pohon dan kelas diameter ≥ 30,01 cm sebanyak 1 pohon (Tabel 5).

Tabel 5. Pohon Terpilih untuk Ditebang berdasarkan Kelas Diameter Kelas Diameter No. Nama Jenis Diameter

(cm)

Tinggi (m) 2 – 10 cm 1. Parastemon urophyllus 2 3,75

(53)

Lanjutan (Tabel 5)

9. Antidesma montanum 4,5 4,75 10. Dacryodes rostrata 5 4,95 11. Syzigium bankense 5,2 3,2

12. bebangun (?) 5,7 4,4

13. Macaranga maingayi 7,8 5 14. Palaquium burkii 8,9 8,06 ≥10,01 – 20 cm 15. Macaranga maingayi 10 5,5

17. Endospermum malaccensis 20 12,1 ≥20,01 – 30 cm 18. Cantleya corrniculata 24,2 17,3 19. Horsfieldia crassifolia 26,1 15,75 ≥30,01 cm 20. Parartocarpus venenosus 30,2 19,1

Pohon contoh yang terpilih kemudian ditebang, selanjutnya dipisahkan berdasarkan bagian-bagian pohon batang, cabang, ranting dan daun. Batang pohon dipisahkan menjadi beberapa sortimen tergantung dengan bentuk batang dimana apabila terdapat perubahan pada bagian batang maka dilakukan pembagian dan diukur diameter ujung dan pangkal setiap potongan sortimen tersebut kemudian diukur berat basahnya (fresh weight).

Berat basah pohon adalah total berat basah dari semua bagian pohon tersebut. Setelah penimbangan, setiap bagian pohon diambil contohnya untuk dianalisis di laboratorium. Penimbangan berat basah pohon dimaksudkan untuk mengetahui biomassa dan kandungan karbon terikat dengan membuat model persamaan alometrik berdasarkan dimensi pohon (diameter dan tinggi). Penebangan dan penimbangan berat basah pohon contoh disajikan pada Gambar 15.

(54)

(c) (d)

(e) (f)

(g) (h)

Gambar 15. Tahap Kegiatan Penebangan dan Penimbangan Pohon Contoh: (a). Penebangan pohon, (b) Pemotongan batang, (c) Penimbangan batang, (d) Pengumpulan cabang, (e) Penimbangan cabang, (f) Penimbangan ranting, (g) Pengumpulan daun, (h) Penimbangan daun.

4.5.4 Pengambilan Contoh Vegetasi

Gambar

Gambar 4.  Sungai sebagai Akses Transportasi
Gambar 3.  Peta Lokasi Merang Peat Dome Forest (MPDF)
Gambar 5. Deskripsi Hidrologi Merang
Gambar 6.   Peta Citra Hot spot di MPDF Sumatera Selatan
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Anda juga boleh melihat pada setiap menu Appearance &gt; Customize, Widgets, Menus, Header, Background dan lain-lain untuk Themes tersebut. Refresh

Persentase berikut ini dari campuran yang terdiri dari komponen dengan bahaya toksistas akut tidak diketahui: 85

The method manipulates the redundancy inherent in line pair-relations to generate artificial 3D point entities and utilize those entities during the estimation process to improve

Dependent) tidak terdapat variabel pelaku, yang berarti tidak ada variabel dalam sub elemen pelaku ini yang tidak terkait dengan sistem serta tidak ada variabel yang sangat

a) Kecerdasan (Inteligensi) adalah kecakapan yang terdiri dari tiga jenis yaitu kecakapan untuk menghadapi dan menyesuaikan kedalam situasi yang baru dengan cepat

Hubungan teori yang dikemukakan Mawardi pada penulisan nilai-nilai ritual dalam pertunjukan Barongsai Naga Sakti sama dengan pendapat penulis karena nilai merupakan suatu

Model Persamaan Struktural Konsep dan Aplikasi dengan Program..