• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Dampak Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit Terhadap Fungsi Hidrologi Das Batang Tabir Menggunakan Model Swat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Dampak Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit Terhadap Fungsi Hidrologi Das Batang Tabir Menggunakan Model Swat"

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN DAMPAK EKSPANSI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

TERHADAP FUNGSI HIDROLOGI DAS BATANG TABIR

MENGGUNAKAN MODEL SWAT

SUSIWIDIYALIZA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Dampak Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit terhadap Fungsi Hidrologi DAS Batang Tabir Menggunakan Model SWAT adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

SUSIWIDIYALIZA. Kajian Dampak Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit terhadap Fungsi Hidrologi DAS Batang Tabir Menggunakan Model SWAT. Dibimbing oleh SURIA DARMA TARIGAN dan LATIEF MAHIR RACHMAN.

DAS Batang Tabir adalah salah satu wilayah di Kabupaten Merangin Provinsi Jambi yang dijadikan sasaran untuk rencana pengembangan perkebunan kelapa sawit. Luas tanaman kelapa sawit di Kabupaten Merangin pada tahun 2004 adalah 42 819 ha, luasan ini meningkat menjadi 52 748 ha pada tahun 2012 dan 10 446 ha tanaman sawit ini berada di DAS Batang Tabir. Pembangunan perkebunan kelapa sawit di Provinsi Jambi, khususnya di DAS Batang Tabir memberikan kesempatan untuk meningkatkan pendapatan. Hal ini karena kelapa sawit merupakan salah satu komoditas yang berperan dalam perekonomian dan merupakan salah satu penghasil devisa utama. Penggunaan lahan suatu kawasan mempengaruhi hidrologi kawasan tersebut, mengubah penggunaan lahan berarti mengubah tipe dan proporsi tutupan lahan serta mempengaruhi respon hidrologinya.

Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Menganalisis perubahan penutupan lahan di DAS Batang Tabir tahun 1995, 2004, 2013 dan pengaruhnya terhadap fungsi hidrologi DAS Batang Tabir; 2) Menganalisis dampak ekspansi perkebunan kelapa sawit terhadap fungsi hidrologi DAS Batang Tabir dengan melakukan simulasi luas perkebunan kelapa sawit menggunakan Model SWAT; 3) Menganalisis pengaruh penerapan teknik konservasi tanah terhadap fungsi hidrologi DAS Batang Tabir.

Analisis fungsi hidrologis pada penutupan lahan tahun 1995, 2004, 2013 adalah menggunakan data aktual (data observasi) yang ditunjukkan dengan nilai koefisien aliran tahunan dan flow duration curve. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa luas hutan di DAS Batang Tabir semakin menurun dari tahun ke tahun. Tahun 1995 DAS Batang Tabir masih ditutupi hutan sebesar 72.3%, sedangkan tahun 2004 berkurang menjadi 65.1% dan tahun 2013 hanya tinggal 53.1% dari luas DAS Batang Tabir. Tutupan lahan perkebunan sawit tahun 1995 luasnya 1.2%, tahun 2004 meningkat menjadi 4.6% dan tahun 2013 sebesar 6% dari luas DAS Batang Tabir. Hasil overlay penutupan lahan 2013 dengan izin lokasi perkebunan sawit menunjukkan peningkatan luas kebun sawit menjadi sebesar 23.3%. Nilai koefisien aliran tahunan di DAS Batang Tabir mengalami peningkatan, pada periode penutupan lahan tahun 1995 adalah 0.22, tahun 2004 sebesar 0.31 dan 2013 sebesar 0.47. Debit andalan 80% juga mengalami kenaikan, pada tahun 1995 sebesar 71.18 m3/det dan meningkat menjadi 107.19 m3/det pada tahun 2013.

(5)

data, dan (6) menganalisis fungsi hidrologi DAS Batang Tabir dengan skenario simulasi perluasan perkebunan kelapa sawit dan penerapan teknik konservasi tanah.

Hasil analisis model SWAT menunjukkan bahwa tutupan lahan tahun 2013 memiliki aliran permukaan (surface runoff), aliran lateral, aliran dasar dan koefisien aliran tahunan masing-masing 443,37 mm, 1.029,42 mm, 324,71 mm dan 0,47. Model SWAT mampu memprediksi dampak dari perluasan perkebunan kelapa sawit terhadap fungsi hidrologis DAS Batang Tabir (skenario 1). Hal ini ditunjukkan oleh aliran permukaan (surface runoff), aliran lateral, aliran dasar dan nilai koefisien aliran tahunan masing-masingnya adalah 533,92 mm, 984,74 mm, 318,57 mm dan 0,50. Penerapan konservasi tanah dan air pada ekspansi perkebunan kelapa sawit (skenario 2) mampu menurunkan aliran permukaan (surface runoff) menjadi 434.56 mm atau berkurang sebanyak 22.9% dari kondisi aliran permukaan pada skenario 1 dengan nilai koefisien aliran tahunan sebesar 0.46.

Perkebunan kelapa sawit secara ekonomi mampu memberikan kontribusi baik bagi petani maupun pemerintah. Jika memang izin lokasi perkebunan sawit ini harus direalisasikan, maka skenario 2 harus diimplementasikan, dimana ekspansi perkebunan kelapa sawit harus diiringi dengan penerapan teknik konservasi tanah dan air yang tepat.

(6)

SUMMARY

SUSIWIDIYALIZA. Study the impact of oil palm expansion on the hydrological functions of Batang Tabir watershed using SWAT model. Supervised by SURIA DARMA TARIGAN and LATIEF MAHIR RACHMAN.

Batang Tabir watershed is one of the areas in Merangin District of Jambi Province targeted for oil palm development. Area of oil palm plantations in Merangin District in 2004 was 42 819 ha, this area increased to 52 748 ha in 2012 and 10 446 ha of oil palm plantations are located in Batang Tabir watershed. The development of oil palm plantations in Jambi Province, especially in the Batang Tabir watershed provide opportunities to increase revenue. This is because oil palm is one commodity that plays a role in the economy and is one of the leading foreign exchange earner. Land use of an area affect the hydrology of the region, changing the land use means changing the type and proportion of land cover and hydrological response.

This research aims to: 1) analyze changes of land cover in Batang Tabir watershed of 1995, 2004, 2013, and its influence on the hydrological functions of Batang Tabir watershed; 2) Analyze the impact of oil palm expansion on the hydrological functions of Batang Tabir watershed by simulating the oil palm plantation area using SWAT model; 3) To analyze the impact of the application of soil conservation practices on hydrological functions of Batang Tabir watershed.

Analyzes of hydrological function on land use in 1995, 2004, 2013 were using actual data (observation data), indicated by the value of the coefficient runoff and flow duration curve. The results of this research showed that area of forest coverage in Batang Tabir watershed was decreasing, in 1995 this areal still 72.3% of watershed area, but in 2004 area of forest only 65.1% and 2013 forest area 53.1% of watershed area. The oil palm plantations in 1995 only 1.2%, in 2004 increased to 4.06% and 2013 increased to 6% of watershed area. the results overlay of land cover in 2013 with the permission of palm plantations showed increased oil palm plantations area to 23.3%. The flow coefficient values in DAS Batang Tabir has increased, in the period of land cover in 1995 was 0.22, 2004 of 0.31 and 0.47 in 2013. Dependable flow of 80% also increased, in 1995 amounted to 71.18 m3/sec

and increases to 107.19 m3/sec in 2013.

Impact of oil palm expansion was analyzed using data from the model SWAT (Soil and Water Assessment Tool). The collected data in SWAT model include global climate data, Digital Elevation Model (DEM), soil, land cover, temperature and rainfall. Apart from these, were colected observed flow-out data for calibration and validation of the model. The stages of activities carried out are: (1) delineation of the borders of Batang Tabir watershed, (2) formation of Hydrology Response Unit (HRU) by overlay of soil map, land cover map and slope classes map, (3) combining HRU with global climate data, average daily rainfall data and maximum minimum daily air temperature data, (4) running SWAT, (5) calibration and validation of data, and (6) analysis of the hydrological functions of Batang Tabir watershed with simulated scenario of oil palm expansion and the adoption of soil conservation techniques.

(7)

mm, 324.71 mm and 0.47 respectively. SWAT model was able to predict the impact of oil palm expansion on the hydrological function of Batang Tabir watershed (scenario 1). It was indicated by surface runoff, lateral flow and base flow and flow coefficient values is 533.92 mm, 984.74 mm, 318.57 mm and 0.50 respectively. Application of soil conservation in the oil palm plantations (scenario 2) was able to reduce surface runoff into 434.56 mm or reduced to 20% of the surface runoff in scenario 1 with flow coefficien values is 0.46.

Oil palm plantations is capable to contribute for both, farmer and government. if the the permission of oil palm plantations should be realized, then the scenario 2 should be implemented, where the expansion of oil palm plantations should be accompanied by the application of soil and water conservation techniques are appropriate.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

KAJIAN DAMPAK EKSPANSI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

TERHADAP FUNGSI HIDROLOGI DAS BATANG TABIR

MENGGUNAKAN MODEL SWAT

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(10)
(11)

n2nIu(4g=hu u -C;-Vu -R`-Fu Gg`-Vg<u #4cF4.nV-Vu 4J-`-u %-q=iu (4d9-2-`u

oV7g;u;2a_I_7>u&u-j-W7u(-.=bu 3V77nV-H-Xu!_24Iu&,)u "-S-u

u 'ng=r=2=s-J?t-u u uu

=g4jnDn=u_I4:u

_S=g=u$4S/@S.=V7u

cuKau&nY-u-Z[-u &0u 4kp-u

eLdu

V77_k-u

=F4j-9n=u_M4:u

4ln-u$c_7c-Tu&mn2=u

#5V76N_O--Vu-4a-9uu=c-Vu&nV7-Bu

duPcu&nd=-u-Z]-u(-c=7-^u

(12)
(13)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah fungsi hidrologi, dengan judul Kajian Dampak Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit Terhadap Fungsi Hidrologi DAS Batang Tabir Menggunakan Model SWAT. Penelitian ini difokuskan pada bagaimana model SWAT dapat menganalisis fungsi hidrologi yang ditimbulkan dari ekspansi perkebunan kelapa sawit dan penerapan teknik konservasi tanah dan air yang tepat di DAS Batang Tabir.

Terima kasih penulis ucapkan kepada:

1. Bapak Dr Ir Suria Darma Tarigan MSc dan Dr Ir Latief Mahir Rachman MSc selaku pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, saran dan masukan selama penelitian ini.

2. Bapak Prof. Dr. Kukuh Murtilaksono, MS selaku penguji luar komisi pada ujian tesis yang telah menyediakan waktu untuk menguji dan memberikan kontribusi dalam perbaikan penulisan tesis.

3. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI yang memberikan bantuan beasiswa melalui Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan Bogor sebagai fasilitator mahasiswa dengan IPB.

4. Kepala Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Batanghari, Bapak Ir Taruna Jaya, M.Si. beserta staf sebagai tempat penulis bekerja.

5. Balai Wilayah Sungai VI Sumatera, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Jambi dan Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Merangin Provinsi Jambi yang memberikan data sebagai pendukung dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan karya ilmiah ini.

6. Suami tercinta Yudha Rusmansyah, SE,.Ak,.MM, ananda tersayang Zakky Maulana Yudha dan Farel Athaya Yudha yang selalu memberi semangat dan mendukung dengan cinta, do’a, kesabaran dan keikhlasan.

7. Ayahanda (Alimar, Alm) dan ibunda (Munizar) beserta keluarga besar di Jambi yang selama ini telah memberikan perhatian dengan penuh kasih sayang. 8. Teman-teman Program Studi DAS 2012 (Neng Wati Ana Sulastri, Chollis

Munajad, Setyo P Nugroho) yang selalu memberi semangat, rekan-rekan di FORDAS IPB yang telah memberikan bantuan dan dukungan selama menyelesaikan studi di IPB.

9. Asia Mico SE, Dian Annisa, Romza Saman dan kak Mirajiani atas kebersamaannya selama di Kos DARA.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(14)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN viii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 4

Ruang Lingkup Penelitian 4

2 TINJAUAN PUSTAKA 5

Daerah Aliran Sungai (DAS) 5

Aliran Permukaan 6

Pengaruh Tanaman Kelapa Sawit terhadap Kondisi Hidrologi 7

Model Hidrologi SWAT 8

3 METODE 11

Waktu dan Lokasi Penelitian 11

Alat dan Bahan 12

Prosedur Analisis Data 12

Analisis Perubahan Penutupan Lahan terhadap Debit Aliran di DAS

Batang Tabir 12

Analisis Dampak Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit dan Penerapan Teknik Konservasi Tanah terhadap Fungsi Hidrologi DAS Batang Tabir

Menggunakan Model SWAT 14

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 20

Gambaran Umum Wilayah Penelitian 20

Analisis Perubahan Penutupan Lahan terhadap Debit Aliran 24

Debit Aliran Sungai Batang Tabir 26

Flow Duration Curve DAS Batang Tabir 28

Analisis Dampak Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit terhadap Fungsi

Hidrologi DAS Batang Tabir Menggunakan Model SWAT 29

Deliniasi Sub DAS (Watershed Delineator) 29

Pembentukan HRU (Hidrologic Response Unit) 31

Kalibrasi Model 31

Validasi Model 35

Analisis Fungsi Hidrologi DAS Batang Tabir 36

Simulasi Penutupan Lahan Tahun 2013 (skenario 0) 36 Simulasi Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit pada Tutupan Lahan 2013

(15)

Simulasi Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit pada Tutupan Lahan 2013 dengan Penerapan Teknik Konservasi (Skenario 2) 41

Penggunaan Lahan Terbaik 41

5 SIMPULAN DAN SARAN 43

Simpulan 43

Saran 44

DAFTAR PUSTAKA 44

LAMPIRAN 45

(16)

DAFTAR TABEL

1 Klasifikasi Nilai Koefisien Aliran Tahunan (KAT) 14 2 Konduktivitas hidrolik efektif tanah pada saluran terbuka berdasarkan

Lane (1983) 16

3 Karakteristik saluran terbuka untuk menentukan nilai kekasaran

Manning berdasarkan Chow (1959) 16

4 File-file Input dan Fungsinya dalam Analisis Hidrologi 17 5 Sebaran dan luas setiap jenis tanah di DAS Batangtabir 22 6 Luas masing-masing kelas kelerengan DAS Batangtabir 23 7 Luas penutupan lahan DAS Batang Tabir tahun 1995, 2004 dan 2013 24 8 Nilai Koefisien Aliran Tahunan (KAT) berdasarkan penutupan lahan

tahun 1995, 2004 dan 2013 28

9 Luas Sub DAS hasil delineasi Model SWAT 30

10 Nilai parameter pada tahap kalibrasi model SWAT 33 11 Penutupan lahan DAS Batang Tabir tahun 2013 berdasarkan peta izin

lokasi perkebunan sawit 38

12 Hasil Simulasi Model SWAT terhadap Fungsi Hidrologi 39 13 Direct Runoff dan koefisien aliran tahunan (KAT) berdasarkan

perubahan penutupan lahan pada masing-masing sub DAS 40 14 Nilai Koefisien Aliran Tahunan (KAT) pada masing-masing sub DAS

Batang Tabir berdasarkan skenario 1 dan 2 43

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka Pemikiran Penelitian 4

2 Skema representasi siklus hidrologi (Neitsch 2005) 9 3 Proses yang terjadi dalam sungai (Neitsch 2005) 10

4 Lokasi Penelitian 11

5 Diagram Alir Penelitian 15

6 Curah hujan wilayah tahunan periode 2008-2013 di DAS Batang Tabi 21

7 Klasifikasi tanah DAS Batang Tabir 21

8 Titik pengambilan sample tanah di DAS Batang Tabir 22

9 Sebaran kelas lereng DAS Batang Tabir 23

10 Penutupan lahan DAS Batang Tabir tahun 1995, 2004 dan 2013 25 11 Debit rata-rata bulanan tahun 1995, 2004 dan 2013 27 12 Debit rata-rata tahunan, curah hujan tahunan dan koefisien aliran

tahunan tahun 1995, 2004 dan 2013 27

13 Flow Duration Curve DAS Batang Tabir tahun 1995, 2004 dan 2013 29

14 Sebaran Sub DAS pada DAS Batang Tabir 30

(17)

16 Hubungan koefisien deterministik antara debit model sebelum

kalibrasi dengan debit observasi 32

17 Hubungan koefisien deterministik antara debit model sesudah kalibrasi

dengan debit observasi 34

18 Perbandingan debit model sesudah kalibrasi dengan debit observasi 35 19 Hubungan koefisien deterministik antara debit model hasil validasi

dengan debit observasi 35

20 Perbandingan debit model hasil validasi dengan debit observasi 36 21 Direct runoff pada masing-masing sub DAS Batang Tabir tahun 2013

output dari model SWAT 36

22 Penutupan lahan 2013 (a) Penutupan lahan 2013 yang sudah di overlay

dengan izin lokasi perkebunan sawit (b) 38

23 Penutupan lahan dan koefisien aliran tahunan pada masing-masing sub DAS berdasarkan skenario 1 dan 2. Penutupan lahan yang ditampilkan

hanya yang dominan. 42

DAFTAR LAMPIRAN

1 Parameter data tanah DAS Batang Tabir 48

2 Input database tutupan lahan 51

(18)
(19)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Besarnya prospek komoditas minyak kelapa sawit dalam perdagangan minyak nabati dunia telah mendorong pemerintah Indonesia mengembangkan usaha investasi perkebunan kelapa sawit secara lebih luas. Perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu sektor andalan pemerintah diluar sektor migas, bahkan menjadi sektor penyumbang devisa negara terbesar non migas. Sebagaimana pidato Menteri Perindustrian yang dibacakan Dirjen Industri Agro Kementerian Perindustrian, Panggah Susanto, pada acara Palm Oil Industry Development Conference (POIDec), menyampaikan bahwa industri kelapa sawit nasional memiliki kontribusi yang sangat tinggi bagi pertumbuhan ekonomi negara dimana sampai tahun 2012, terdapat seluas 9,1 Juta hektar milik petani rakyat, BUMN, dan swasta; yang menghasilkan sekitar 29,5 Juta Ton Minyak kelapa sawit CPO (Crude Palm Oil) dan CPKO (Crude Palm Kernel Oil), sehingga dengan jumlah produksi tersebut, Indonesia menjadi produsen minyak sawit terbesar dan menguasai 48% pangsa pasar dunia (Susanto 2013).

Fakta dari aspek ekonomi sebagaimana digambarkan di atas, memberi suatu konsekuensi pada aspek ekologi atau lingkungannya. Tantangan terbesar dalam pengelolaan sumberdaya alam adalah menciptakan dan mempertahankan keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan hidup manusia dan keberlanjutan pemanfaatan dan keberadaan sumberdaya alam (Asdak 2010). Lahan sebagai salah satu sumberdaya alam yang terbatas dapat mengalami kerusakan dan penurunan produktifitas apabila tidak dikelola secara bijaksana. Penggunaan lahan suatu kawasan mempengaruhi hidrologi kawasan tersebut, mengubah penggunaan lahan berarti mengubah tipe dan proporsi tutupan lahan yang selanjutnya mempengaruhi respon hidrologinya. Ketidaksesuaian penggunaan lahan dapat berdampak kepada penurunan kualitas lahan, sehingga sering mengakibatkan terjadinya banjir, kekeringan, erosi yang akan menurunkan produktivitas lahan dan kesejahteraan masyarakat.

(20)

2

ditetapkan, sehingga luas minimal tidak boleh dijadikan alasan untuk terus mengeksploitasi hutan yang ada.

Berdasarkan studi JICA tahun 2002 terhadap perbandingan luas tutupan lahan hutan dalam beberapa tahun, diketahui bahwa luas tutupan hutan di DAS Batanghari semakin berkurang. Hal ini tentu saja disebabkan karena peningkatan luas tutupan lahan pertanian/perkebunan, tanah terbuka, semak belukar dan pemukiman (non hutan). Luas hutan di DAS Batanghari pada tahun 1982 adalah 3.572.689 ha berkurang hingga menjadi 1.921.962 ha di tahun 1996 (BPDAS Batanghari 2009). Perubahan setiap tutupan lahan di DAS Batanghari diperkirakan telah menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan, terutama perubahan tutupan hutan karena tutupan hutan mempunyai multifungsi (ekologi, sosial, dan ekonomi). Konversi hutan yang terjadi di DAS Batanghari sangat sulit dikendalikan karena berbagai kepentingan. Umumnya masyarakat petani melakukan kegiatan usahatani dengan sistem ladang berpindah, areal perladangan tersebut dipersiapkan dengan menebang hutan kemudian membakar dan menanami padi dengan sistem tugal. Sejak tahun 1990 sektor pertambangan dan pengalihan komoditas perkebunan sawit juga menambah lajunya pengurangan areal hutan.

Komoditas kelapa sawit merupakan salah satu primadona tanaman perkebunan di Provinsi Jambi yang memiliki pelabuhan ekspor dan menjadi salah satu provinsi penghasil kelapa sawit di Indonesia. Tanaman kelapa sawit di Provinsi Jambi yang semula hanya seluas 92 688 ha pada tahun 1993 meningkat menjadi 609 950 ha di tahun 2012, hal demikian berarti mengalami peningkatan hampir 7 kali lipat dalam kurun waktu 20 tahun (Disbun 2013).

Perluasan perkebunan kelapa sawit yang cukup cepat ini dapat menyebabkan kehilangan fungsi-fungsi lingkungan seperti cadangan karbon, biodiversitas dan sumber daya air sehingga perlu adanya pengelolaan lahan kelapa sawit yang dapat mengurangi pengaruh negatif terhadap sumber daya air lokal, namun disisi lain, perkebunan kelapa sawit memberikan kontribusi yang cukup signifikan bagi perbaikan ekonomi dan berperan dalam menyerap tenaga kerja (Tarigan et al. 2012).

Fluktuasi debit aliran merupakan salah satu indikator untuk menilai aspek biofisik terhadap suatu DAS atau kerusakan lingkungan. Dari aspek fisik, perlu adanya pengawasan terhadap perubahan penggunaan lahan sehingga dapat mengontrol perubahan aliran air dan meminimalkan kerusakan tanah (Pawitan 2006). Pengelolaan DAS yang baik adalah pengelolaan yang memperhatikan berbagai aspek yang terkait di dalamnya, baik aspek sosial, ekonomi maupun fisik. DAS memiliki komponen hidrologi yang kompleks dan mungkin sulit untuk dipahami secara keseluruhan.

(21)

3 bermacam-macam sepanjang waktu yang lama (Neitsch et al. 2005). Penelitian ini mencoba mengaplikasikan model SWAT untuk mengetahui dampak ekspansi perkebunan kelapa sawit terhadap fungsi hidrologi DAS Batang Tabir dengan melakukan simulasi luas perkebunan kelapa sawit.

Perumusan Masalah

DAS Batang Tabir adalah salah satu wilayah di Kabupaten Merangin Provinsi Jambi yang dijadikan sasaran untuk rencana pengembangan perkebunan kelapa sawit. Luas tanaman kelapa sawit di Kabupaten Merangin pada tahun 2004 adalah 42 819 ha, luasan ini meningkat menjadi 52 748 ha pada tahun 2012 dan 10 446 ha tanaman sawit ini berada di DAS Batang Tabir (Disbun 2013).

Berdasarkan data dari KKI Warsi Jambi, Kecamatan Tabir Ulu yang merupakan salah satu kecamatan yang berada di DAS Batang Tabir sudah dikepung dengan pembukaan lahan untuk perkebunan sawit dan perusahaan hutan tanaman industri (HTI). Perusahaan yang sudah memperoleh izin di bidang perkebunan kelapa sawit di kecamatan ini meliputi PT Raihan seluas 61 000 ha dan PT Sawit Harum Makmur seluas 16 500 ha (Raharja 2013). Kondisi kerusakan ekosistem yang terjadi sudah cukup parah, walaupun baru sebagian dari lahan tersebut yang sudah dikelola. Rusaknya ekosistem itu tidak hanya melahirkan konflik satwa dengan manusia, beberapa titik kawasan di Kabupaten Merangin juga tengah dilanda banjir akibat kondisi hutan yang rusak tersebut.

Hasil monitoring dan evaluasi tata air yang dilakukan oleh BPDAS Batanghari pada tahun 2007, DAS Batang Tabir memiliki frekuensi banjir yang tergolong rendah yakni terjadi 1 kali selama 5 tahun dengan curah hujan 413, 91 mm/tahun (BPDAS Batanghari 2010), namun sejak tahun 2010 frekuensi banjir di wilayah sungai Batang Tabir meningkat disertai dengan bertambahnya luas genangan banjir (BWS VI Sumatera 2012).

Terjadinya perubahan tutupan lahan di DAS Batang Tabir menjadi perkebunan kelapa sawit ini menarik diteliti untuk mengetahui bagaimanakah sebenarnya dampak ekspansi perkebunan kelapa sawit terhadap fungsi hidrologis DAS Batang Tabir. Berdasarkan hal tersebut, permasalahan yang akan dikaji lebih lanjut yaitu:

1. Bagaimanakah trend perubahan penutupan lahan dan pengaruhnya terhadap fungsi hidrologi DAS Batang Tabir selama kurun waktu 20 tahun terakhir 2. Bagaimanakah dampak dari ekspansi perkebunan kelapa sawit terhadap fungsi

hidrologi DAS Batang Tabir.

3. Bagaimanakah pengaruh penerapan teknik konservasi tanah terhadap fungsi hidrologi DAS Batang Tabir.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan permasalahan yang telah diuraikan, maka tujuan penelitian ini adalah:

(22)

4

2. Menganalisis dampak ekspansi perkebunan kelapa sawit terhadap fungsi hidrologi DAS Batang Tabir dengan melakukan simulasi luas perkebunan kelapa sawit menggunakan Model SWAT.

3. Menganalisis pengaruh penerapan teknik konservasi tanah terhadap fungsi hidrologi DAS Batang Tabir.

Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan atau bahan pertimbangan bagi pemangku kepentingan dalam membuat kebijakan di sektor perkebunan kelapa sawit khususnya terkait pengelolaaan lahan yang tepat dan penyediaan lahan budidaya kelapa sawit.

Ruang Lingkup Penelitian

Agar dalam pembahasan lebih terarah, berikut ruang lingkup dalam penelitian ini:

1. Survei dalam penelitian ini adalah pada tingkat meso atau tinjau mendalam. 2. Fungsi hidrologi DAS merupakan komponen hidrologi DAS yang dapat diukur

dan dikuantifikasikan dalam bentuk nilai koefisien aliran permukaan. 3. Simulasi dilakukan dengan skenario sebagai berikut:

a. Kondisi existing (2013).

b. Ekspansi perkebunan kelapa sawit pada penutupan lahan 2013

c. Ekspansi perkebunan kelapa sawit pada penutupan lahan 2013 dengan penerapan teknik konservasi tanah.

d. Penutupan lahan tahun 2013 dengan penerapan teknik konservasi.

(23)

5

2

TINJAUAN PUSTAKA

Daerah Aliran Sungai (DAS)

Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 37 tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS), Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.

DAS mempunyai karakteristik yang spesifik serta berkaitan erat dengan unsur utamanya seperti jenis tanah, tataguna lahan, topografi, kemiringan dan panjang lereng. Karakteristik biofisik DAS tersebut dalam merespon curah hujan yang jatuh didalam wilayah suatu DAS sangat berpengaruh terhadap besar kecilnya evapotranspirasi, infiltrasi, perkolasi, air larian, aliran permukaan, kandungan air tanah dan aliran sungai. Faktor tataguna lahan, kemiringan dan panjang lereng dapat direkayasa oleh manusia, sementara faktor lainnya bersifat alamiah. Perubahan tataguna lahan, pengaturan kemiringan dan panjang lereng menjadi salah satu fokus aktivitas perencanaan pengelolaan DAS. Peranan vegetasi dalam sistem hidrologi sangat penting karena kemungkinan intervensi manusia terhadap unsur tersebut amat besar. Vegetasi dapat merubah sifat fisika dan kimia tanah dalam hubungannya dengan air, dapat mempengaruhi kondisi permukaan tanah sehingga mempengaruhi besar kecilnya aliran permukaan (Asdak 2010).

Daerah Aliran Sungai (DAS) terdiri atas tiga bagian yaitu bagian hulu, tengah dan hilir yang mempunyai keterkaitan biofisik maupun hidrologis. DAS bagian hulu dicirikan sebagai kawasan konservasi dengan kerapatan drainase lebih tinggi, kemiringan lereng lebih besar dari 15%, bukan daerah banjir dan vegetasi didominasi tegakan hutan. Bagian tengah merupakan kawasan penyangga yang merupakan daerah perubahan/transisi dari kondisi biogeofisik bagian hulu dan hilir. Bagian hilir merupakan kawasan pemanfaatan dengan kerapatan drainase lebih kecil, kemiringan lereng kurang dari 8% dan beberapa tempat merupakan daerah banjir/genangan (Asdak 2010). Fungsi hidrologis DAS dipengaruhi oleh curah hujan yang diterima, geoogi lahan dan bentuk lahan. Fungsi hidrologis DAS mencakup : (a) mengalirkan air, (b) menyangga kejadian puncak hujan, (c) melepas air secara bertahap, (d) memelihara kualitas air, dan (d) Mengurangi perpindahan massa tanah (Van Noordwijk et al. 2004).

Pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) bagian hulu akan berpengaruh sampai pada hilir, karena DAS bagian hulu merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap seluruh bagian DAS terutama dalam fungsi tata air, jadi apabila terjadi pengelolan yang tidak benar terhadap bagian hulu maka dampak yang ditimbulkan akan dirasakan juga pada bagian hilir.

(24)

6

partisipasi aktif Instansi terkait dan masyarakat dalam pengelolaan DAS yang lebih baik, mewujudkan kondisi lahan yang produktif sesuai dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan DAS secara berkelanjutan, mewujudkan kuantitas, kualitas dan keberlanjutan ketersediaan air yang optimal menurut ruang dan waktu serta mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat (Asdak 2010).

Pengelolaan suatu DAS dikatakan berhasil apabila terpenuhi beberapa hal berikut yaitu: (1) Tercapainya kondisi hidrologis yang optimal, (2) Meningkatnya produktivitas lahan yang diikuti oleh perbaikan kesejahteraan masyarakat, (3) Terbentuknya kelembagaan masyarakat yang muncul dari bawah sesuai dengan sosial budaya masyarakat setempat dan (4) Terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan, berwawasan lingkungan dan berkeadilan (Departemen Kehutanan 2001).

Aliran Permukaan

Aliran permukaan (surface runoff) adalah air yang mengalir di atas pemukaan tanah dan menjadi bagian yang penting sebagai penyebab erosi karena mengangkut bagian-bagian tanah. Aliran permukaan mempunyai sifat yang dinyatakan dalam jumlah, kecepatan, laju dan gejolak aliran permukaan. Sifat-sifat ini mempengaruhi kemampuan aliran dalam menimbulkan erosi. Kecepatan dan laju aliran permukaan dipegaruhi oleh berbagai faktor dan komponen siklus air seperti: (1) curah hujan: jumlah, intensitas dan distribusi, (2) temperatur udara, (3) tanah: tipe, jenis substratum, dan topografi, (4) luas DAS, (5) tanaman/tumbuhan penutup tanah, dan (6) sistem pengelolaan tanah. Pengaruh faktor-faktor tersebut sedemikian kompleksnya, sehingga meskipun semuanya dapat diketahui, keadaan aliran permukaan yang terjadi hanya mungkin dapat dihitung sampai mendekati keadaan sebenarnya (Arsyad 2006).

(25)

7 Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 37 tahun 2014 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) bahwa salah satu indikator untuk menentukan apakah suatu DAS telah mengalami gangguan (fisik) adalah melalui nilai Koefisien Aliran Tahunan (KAT) atau biasa dikenal dengan koefisien aliran permukaan (C). Koefisien Aliran Tahunan (KAT) adalah perbandingan antara direct runoff (tebal aliran tahunan yang sudah dikurangi base flow) dengan curah hujan tahunan (mm) pada suatu DAS untuk mengetahui persentase curah hujan yang menjadi aliran (runoff).

Nilai koefisien aliran tahunan (KAT) yang besar menunjukkan bahwa lebih banyak air hujan yang menjadi air larian atau aliran permukaan sehingga air tanah menjadi berkurang dan ancaman terjadinya erosi dan banjir semakin besar, jika semakin kecil nilai koefisien aliran tahunan menunjukkan kondisi DAS dalam keadaan baik.

Pengaruh Tanaman Kelapa Sawit terhadap Kondisi Hidrologi

Perkebunan kelapa sawit mulai berkembang pesat sejak tahun 1978 dengan laju pertumbuhan luas per tahun yang sangat tinggi, yaitu 21,7% (perkebunan swasta), 2,9% (perkebunan negara) dan 19,3% (perkebunan rakyat). Untuk mendapatkan lahan yang dibutuhkan, cara yang paling sering ditempuh oleh pengusaha adalah melakukan konversi kawasan hutan, karena mekanisme untuk mendapatkannya relatif mudah dan mereka memperoleh keuntungan dari hasil tebangan kayu. Kondisi ini menyebabkan hampir seluruh perkebunan kelapa sawit yang ada merupakan areal pertanaman baru (new planting) dari areal hutan produksi yang dapat dikonversi (Widodo 2011).

Beberapa penelitian pernah dilakukan terkait dengan pengaruh tanaman kelapa sawit terhadap kondisi hidrologi dengan kesimpulan yang berbeda diantaranya yaitu penelitian yang dilakukan Widodo (2011) pada perkebunan sawit dengan umur rata-rata lebih dari 7 tahun, adalah bahwa run off pada tutupan lahan perkebunan kelapa sawit lebih besar dibandingkan dengan run off pada tutupan lahan hutan. Besarnya run off untuk tutupan lahan hutan adalah sebesar 16 mm, sedangkan besarnya run off untuk tutupan lahan perkebunan kelapa sawit adalah sebesar 200 mm. Artinya tutupan lahan hutan mampu menahan air limpasan pada saat terjadinya hujan dan menyimpan air lebih banyak sehingga mampu dimanfaatkan untuk sektor kebutuhan air lainnya. Hasil penelitian Sunarti, et al. (2008), di DAS Batang Pelepat Jambi juga memperlihatkan bahwa koefisien aliran permukaan pada tutupan hutan sekunder adalah sebesar 0,05%, sementara koefien aliran permukaan pada lahan hutan bekas tebangan yang telah dikonversi menjadi tanaman kelapa sawit yang berumur 7 – 8 tahun adalah sebesar 5,80%.

(26)

8

areal tanah yang ditanam kelapa sawit struktur tanahnya lebih baik akibat aktifitas perakaran yang membuat pori-pori makro dan mikro cukup untuk meningkatkan infiltrasi dibandingkan pada areal yang ditanam kebun campuran.

Pengaruh langsung akibat konversi lahan dari hutan menjadi tanaman monokultur adalah terjadinya penurunan debit serta meningkatnya air larian permukaan (surface runoff). Hal ini sesuai dengan pendapat Pawitan (1999) yang menyatakan bahwa perubahan pola penggunaan lahan berdampak pada penurunan ketersediaan air wilayah akibat meningkatnya fluktuasi musiman dengan gejala banjir dan kekeringan yang semakin ekstrim. Ukuran DAS dan kapasitas storage DAS baik di permukaan (tanaman, sawah, rawa, danau, waduk dan sungai) maupun bawah permukaan (lapisan tanah dan air bumi), merupakan faktor dominan yang menentukan kerentanan dan daya dukung sistem sumberdaya air wilayah terhadap perubahan iklim. Pawitan (2002) juga mengemukakan bahwa perubahan penggunaan lahan dengan memperluas permukaan kedap air menyebabkan berkurangnya infiltrasi, menurunkan pengisian air bawah tanah (recharge) dan meningkatkan aliran permukaan (run off). Penurunan muka air tanah secara langsung mempengaruhi penurunan debit dan peningkatan run off.

Penelitian Harahap dan Darmosarkoro (1999), mengemukakan bahwa kelapa sawit memerlukan air berkisar 1 500 - 1 700 mm setara curah hujan per tahun untuk mencukupi kebutuhan pertumbuhan dan produksinya, dibanding tanaman keras atau perkebunan lainnya kelapa sawit memang termasuk tanaman yang memerlukan ketersediaan air relatif banyak. Kebutuhan air kelapa sawit hampir sama dengan kebutuhan air untuk tebu yaitu 1 000 – 1 500 mm per tahun dan pisang 700 – 1 700 mm per tahun, tetapi tidak setinggi kebutuhan air untuk tanaman pangan berkisar 1 200 – 2 850 mm per tahun atau per 3 musim tanam, seperti padi, jagung, dan kedelai. Penelitian tersebut juga menyatakan bahwa nilai crop coefisien untuk tanaman kelapa sawit berkisar antara 0,82 (untuk LAI < 2 tahun), 0,93 (untuk LAI> 5 tahun) dan 4,9-5,1 (untuk LAI >7).

Model Hidrologi SWAT

Harto (1993) menyatakan bahwa model hidrologi adalah sebuah sajian sederhana (simple representation) dari sebuah sistem hidrologi yang kompleks. Adapun tujuan penggunaan suatu model dalam pengkajian hidrologi adalah untuk 1) Peramalan (forecasting) termasuk sistem peringatan dan manajemen, peramalan disini menunjukkan besaran maupun waktu kejadian yang dianalisis berdasarkan probabilistic; 2) Perkiraan (prediction) termasuk besaran kejadian dan waktu hipotetik; 3) Alat deteksi dalam masalah pengendalian, dengan sistem yang telah pasti dan keluaran yang diketahui maka masukan dapat dikontrol dan diatur; 4) Alat pengenal (identification tool) dalam masalah perencanaan, misalnya untuk melihat pengaruh urbanisasi, pengelolaan tanah dengan membandingkan masukan dan keluaran dalam sistem tertentu; 5) Ekstrapolasi data/informasi; 6) Perkiraan lingkungan akibat tingkat perilaku manusia yang berubah/ meningkat; dan 7) Penelitian dasar dalam proses hidrologi.

(27)

9 aliran sungai yang kompleks dengan berbagai macam tanah, penggunaan lahan dan pengelolaannya sepanjang waktu yang lama. Model SWAT berbasis fisik yang menggabungkan persamaan regresi untuk menggambarkan hubungan antara variabel input dan output. SWAT membutuhkan informasi secara rinci tentang iklim, sifat tanah, topografi, vegetasi, dan pengelolaan lahan yang terjadi dalam DAS (Neitsch et al. 2005).

Model SWAT membagi DAS menjadi beberapa subbasin atau sub DAS, yang kemudian dibagi lagi ke dalam unit respon hidrologi (Hydrologic Response Units = HRU) yang memiliki karakteristik tutupan lahan, kelerengan, dan tanah yang homogen. HRU menunjukkan persentase subbasin yang teridentifikasi dan tidak teridentifikasi secara spasial dalam simulasi SWAT atau dengan kata lain DAS dapat dibagi ke dalam subbasin yang memiliki karakteristik tutupan lahan, jenis tanah dan kelerengan yang dominan (Neitsch et al. 2005).

Neraca air merupakan konsep yang mendasari model SWAT dalam menjalankan proses yang terjadi dalam DAS. Perhitungan neraca air yang digunakan dalam simulasi siklus hidrologi model SWAT berdasarkan pada persamaan:

dimana SWi adalah kadar air tanah akhir (mm), SWo adalah kadar air tanah awal pada hari ke-i (mm), t adalah waktu (hari), Rday adalah jumlah hujan pada hari ke-i (mm), Qsurf adalah jumlah aliran permukaan pada hari ke-i (mm), Ea adalah jumlah evapotranspirasi pada hari ke-i (mm), Wseep adalah jumlah air yang masuk ke zona vadose dari profil tanah (seepage) pada hari ke-i (mm), Qgw adalah jumlah aliran air bawah tanah (baseflow/ground water flow) pada hari ke-i (mm).

(28)

10

Simulasi hidrologi DAS dipisahkan menjadi dua bagian utama. Bagian pertama adalah siklus hidrologi dari fase lahan (Gambar 2), yang mana fase lahan pada siklus hidrologi mengontrol jumlah air, sedimen, unsur hara dan pestisida yang bergerak menuju saluran utama pada masing-masing Sub DAS. Bagian kedua adalah fase air atau penelusuran dari siklus hidrologi yang dapat didefinisikan sebagai pergerakan air, sedimen dan lainnya melalui jaringan sungai dalam DAS menuju ke outlet sebagaimana disajikan pada Gambar 3 (Neitsch et al. 2005).

Model hidrologi SWAT telah diaplikasikan untuk berbagai penelitian yang terkait dengan pengelolaan DAS di Indonesia. Edy Junaidi menggunakan model SWAT dalam kajiannya tentang perencanaan pengelolaan DAS Cisadane. Penggunaan model SWAT menurut Junaidi (2009) dapat mengevaluasi tindakan perencanaan yang dilakukan, sehingga bisa menentukan perencanaan pengelolaan DAS yang menguntungkan secara ekologi dan ekonomi. Model SWAT juga telah digunakan untuk menganalisis respon hidrologi dari perubahan penggunaan lahan di Sub DAS Cirasea yang merupakan Hulu DAS Citarum di Propinsi Jawa Barat oleh Yusuf (2010) dan mendapatkan kesimpulan bahwa perubahan penggunaan lahan yang terjadi di DAS Cirasea mengakibatkan terjadinya perubahan respon hidrologi khususnya aliran permukaan dan aliran dasar (base flow). Konversi lahan dari penggunaan lahan yang dapat meresapkan air dengan baik ke dalam tanah menjadi penggunaan lahan yang menyebabkan hilangnya kemampuan tanah dalam meresapkan air mengakibatkan terjadinya peningkatan jumlah curah hujan yang menjadi aliran permukaan.

Model SWAT mempunyai beberapa keunggulan yaitu dibangun berdasarkan proses yang terjadi dengan menghimpun informasi mengenai iklim, sifat tanah, topografi, tanaman dan pengelolaan lahan yang terdapat dalam DAS, mempunyai data input yang sudah tersedia, dapat dikerjakan secara efisien menggunakan komputer sehingga hemat waktu dan biaya dan memungkinkan pengguna untuk mengevaluasi dampak jangka panjang dalam suatu DAS. Selain itu Model SWAT

(29)

11 menggunakan hubungan deskripsi matematika dan empiris dalam menghitung respon hidrologi. Dalam penggunaannya, model SWAT membutuhkan data input yang cukup banyak dan kompleks (Neitsch et al. 2005).

Berdasarkan pada keunggulan yang dimiliki model SWAT menggugah Gassman, et al (2007) untuk mengumpulkan beberapa penelitian yang berbasis SWAT di seluruh dunia dan mengkritisi beberapa kelemahan SWAT dalam pemodelan hidrologi diantaranya: (1) sebagaimana model hidrologi lainnya, SWAT mengasumsikan kondisi tanah adalah statis, yang pada kenyataannya di banyak lokasi tertentu kondisi tanah adalah dinamis seperti perubahan prosentase kandungan bahan organik tanah sehingga perlu pembaharuan database tanah untuk penelitian dengan jangka waktu lebih dari 5 tahun; (2) input database tanaman dalam rangka rekayasa vegetatif kurang luas, sehingga perlu manipulasi model yang diperluas untuk beberapa jenis tanaman kaitannya dengan umur tanaman, sistem tanam, pola percampuran tanaman, dan lain-lain; dan (3) penggunaan SWAT pada lahan basah seperti daerah rawa gambut juga perlu modifikasi model secara khusus karena model SWAT tidak dapat mendefinisikan sifat-sifat fisik tanah non mineral.

3

METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di DAS Batang Tabir mulai bulan Agustus 2014 sampai dengan Juni 2015. DAS Batang Tabir secara adminitratif meliputi Kabupaten Merangin dan Kerinci Provinsi Jambi dan terletak pada koordinat 101°31’54.5” - 102°17’36.3” BT dan 01°49’5.2” - 02°3’37.8” LS (Gambar 4).

(30)

12

Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) komputer dengan software ArcGIS 10.1, ArcSWAT versi 2012.1_8, Microsoft Office 2013, SWAT Plot untuk perhitungan nilai R2 dan NS; (2) Global Positioning System (GPS); (3) alat pengambilan contoh tanah: ring soil sampler, palu, bor tanah, meteran, cangkul, papan, kantong plastik dan pisau tipis, (4) kamera digital, alat tulis dan hard disk external untuk penyimpanan data.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : 1. Data Spasial

a. Peta penggunaan lahan skala 1:250.000 hasil interpretasi citra landsat rekaman tahun 1995, 2004 dan 2013.

b. Peta klasifikasi tanah skala 1:250 000 dari Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (Puslitanak) Bogor

c. Peta Digital Elevasion Model (DEM) dengan resolusi 30 m

d. Peta izin lokasi perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Merangin dari Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Merangin

2. Data Numerik

a. Data curah hujan rata-rata harian (mm) tahun 1995, 2004, 2009 – 2013 dari Balai Wilayah Sungai Wilayah VI Sumatera.

b. Data debit rata-rata harian hasil pengukuran tinggi muka air pada Pos Duga Air (PDA) Rantau Panjang tahun 1995, 2004, 2009 - 2013 dari Balai Wilayah Sungai Wilayah VI Sumatera.

c. Data Iklim meliputi temperatur maksimum dan minimum (oC), radiasi matahari (MJ/m2/hari) dan kecepatan angin (m/det) tahun 2008 2013 dari

Balai Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Jambi.

d. Data lokasi stasiun hujan, debit dan iklim berupa koordinat dan elevasi. e. Data karakteristik tanah yaitu kedalaman efektif (mm) dan infiltrasi tanah

(mm/jam), pada masing-masing horizon meliputi ketebalan horizon (mm), tekstur tanah, bulk density (g/cm3), kapasitas menahan air (mm H2O/mm tanah), Saturated hydraulic conductivity (mm/jam), kandungan fraksi batuan (%), nilai erodibilitas tanah dan kandungan bahan organik tanah (%).

f. Data karakteristik sungai yaitu karakteristik saluran sungai yang ada di wilayah penelitian.

Prosedur Analisis Data

Analisis Perubahan Penutupan Lahan terhadap Debit Aliran di DAS Batang Tabir

(31)

13 Beberapa data pendukung diperlukan dalam melakukan digitasi penutupan lahan karena rendahnya resolusi citra yang digunakan. Data pendukung dimaksud adalah peta penggunaan lahan dari Badan Planologi Kementerian Kehutanan tahun 1990, 2003, 2012, peta administrasi dan data numerik statistik perkebunan kelapa sawit terkait dengan lokasi dan luas perkebunan kelapa sawit. Data pendukung tersebut digunakan sebagai koreksi pada unit penutupan lahan tertentu yang tidak dapat teridentifikasi secara visual, namun pada interpretasi penutupan lahan tahun 2013 dilakukan cek lapangan di beberapa titik untuk meyakinkan keterwakilan dari unit penutupan lahan yang didigitasi.

Analisis Flow Duration Curve (FCD)

Analisis debit aliran dilakukan dengan membandingkan debit aliran harian dari masing-masing periode penutupan lahan yakni tahun 1995, 2004 dan 2013. Data rata-rata debit sungai harian dianalisis dalam bentuk flow duration curve (FDC) yang menghubungkan aliran dengan persentase dari waktu yang dilampaui dalam pengukuran. Flow Duration Curve (FDC) dapat menentukan karakteristik suatu sungai dengan memperhatikan susunan garis massa debit yang waktunya dinyatakan dengan persentase. Untuk keperluan itu data debit dari hidrograf disusun mulai dari yang terendah sampai dengan yang tertinggi dan tiap debit diberikan probabilitas yang dihitung dengan persamaan:

dimana P adalah probabilitas dari debit, M adalah posisi ranking dari data debit dan n adalah total jumlah data debit (Cole 2003).

Analisis Koefisien Aliran Tahunan

Koefisien aliran tahunan biasa dikenal dengan istilah koefisien aliran permukaan (C). Analisis dalam kajian ini menggunakan Koefisien Aliran Tahunan (KAT) karena mengacu pada Peraturan Pemerintah nomor 37 tahun 2014 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) bahwa koefisien aliran tahunan merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk mengetahui kondisi suatu DAS. Koefisien aliran tahunan adalah perbandingan antara direct runoff (tebal aliran tahunan yang sudah dikurangi base flow) dengan tebal hujan tahunan (mm) pada suatu DAS untuk mengetahui persentase curah hujan yang menjadi aliran (runoff). Secara teknis juga dijelaskan pada Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.61/Menhut-II/2014 tentang Monitoring dan Evaluasi Pengelolaan DAS, bahwa nilai koefisien aliran tahunan ini merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk menentukan apakah suatu DAS mengalami gangguan (fisik), semakin kecil nilai koefisien aliran tahunan menunjukkan kondisi DAS dalam keadaan baik (Kemenhut 2014). Koefisien aliran tahunan menggunakan persamaan:

(32)

14

dimana Direct runoff (DRO) merupakan nilai air limpasan riil yaitu total aliran tahunan dikurangi dengan nilai aliran dasar (base flow), atau dalam bentuk persamaannya:

DRO = Q – BF.

Tebal aliran (Q) tahunan dihitung dengan cara:

Debit (m3/det) x jumlah hari x 86400(det)

Luas DAS (m2)

Perhitungan aliran dasar (base flow/BF) adalah dengan menentukan nilai baseflow rata-rata bulanan yaitu nilai Q rata-rata harian terendah saat tidak ada hujan (P = 0). Nilai perhitungan koefisien aliran tahunan dibagi dalam 5 klasifikasi (Tabel 1).

Analisis Dampak Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit dan Penerapan Teknik Konservasi Tanah terhadap Fungsi Hidrologi DAS Batang Tabir

Menggunakan Model SWAT

Analisis Karakteristik Hidrologi

Simulasi model SWAT berdasarkan luas tutupan lahan perkebunan kelapa sawit dan penerapan teknik konservasi tanah di DAS Batang Tabir ini diawali dengan menganalisis karakteristik hidrologi berdasarkan penutupan lahan eksisting tahun 2013. Analisis hidrologi dengan model SWAT ini dilakukan melalui tahapan delineasi DAS, analisis HRU, pembuatan basis data iklim (Weather Generator Data), kalibrasi dan validasi hingga memperoleh data karakteristik hidrologi yang dianggap valid. Fungsi hidrologi yang merupakan output model SWAT adalah meliputi aliran permukaan (SUR_Q), aliran lateral (LAT_Q) dan aliran dasar (GW_Q).

Diagram alir penelitian dalam menganalisis fungsi hidrologi DAS Batang Tabir sebagaimana pada Gambar 5 dan uraian tahapannya adalah sebagai berikut:

Penyiapan Data Input

Data yang harus dipersiapkan meliputi:

1) Peta klasifikasi tanah dengan informasi database yaitu kedalaman efektif (mm) dan infiltrasi tanah, pada masing-masing horizon meliputi ketebalan horizon (mm), tekstur tanah, bulk density (g/cm3), kapasitas menahan air (mm H2O/mm tanah), Saturated hydraulic conductivity (mm/jam), kandungan fraksi batuan(%),

Tabel 1 Klasifikasi Nilai Koefisien Aliran Tahunan (KAT)

(33)

15 nilai erodibilitas tanah dan kandungan bahan organik tanah (%). Dilakukan survey ke lapangan (ground check) untuk pengambilan beberapa contoh tanah. 2) Peta penggunaan lahan dengan informasi data base adalah jenis tutupan lahan

dan pengelolaan tanaman. Peta ini dibuat berdasarkan hasil interpretasi citra landsat TM dan apabila diperlukan, dapat dilakukan survey ke lapangan (ground check) .

3) Peta DEM dari Citra Shuttle Radar Topography Mission (SRTM) dengan resolusi 30 x 30 m.

4) Data Iklim meliputi temperatur maksimum dan minimum (oC), radiasi matahari (MJ/m2/hari) dan kecepatan angin (m/det) tahun 2009-2013 dari Balai Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Jambi.

5) Data hidrologi berupa curah hujan harian dan debit harian pada tahun 2008-2013 yang diperoleh dari Balai Wilayah Sungai Wilayah VI Sumatera.

6) Data karakteristik sungai yaitu karakteristik saluran sungai yang ada di wilayah penelitian. Pengamatan karakteristik ini untuk menentukan nilai kekasaran Manning untuk saluran (Tabel 2), konduktivitas hidrolik efektif tanah pada saluran (Tabel 3).

(34)

16

Data input yang telah disiapkan dimasukkan ke dalam file data input (SWAT Input File). Ada beberapa file data input yang terkait dengan analisis hidrologi seperti disajikan pada Tabel 4. File PCP, TMP, SLR, HMD dan SOL disiapkan dengan memasukkan data iklim dan tanah ke dalam parameter setiap file. Sedangkan file FIG, CIO, COD, BSN, SUB, HRU, MGT, GW, dan RTE terbentuk setelah prosedur analisis dijalankan. Data tutupan lahan dan pemukiman menggunakan data yang telah disediakan oleh SWAT dalam file CROP dan URBAN.

Tabel 3 Karakteristik saluran terbuka untuk menentukan nilai kekasaran Manning berdasarkan Chow (1959)

No Karakteristik saluran Nilai kekasaran Manning

Rata-rata Range

1. Sudah dikeruk atau digali a.Terpelihara, lurus dan

seragam 0.025 0.016 – 0.033

b.Terpelihara, berkelok dan

tidak seragam 0.035 0.023 – 0.05

Tabel 2 Konduktivitas hidrolik efektif tanah pada saluran terbuka berdasarkan Lane (1983)

No Group material dasar Karakteristik Material Dasar

Konduktivitas Hidrolik (mm/jam)

1. Kecepatan kehilangan Tidak ada kerikil dan pasir

sangat cepat dengan ukuran besar 127

2. Kecepatan kehilangan Sedikit mengandung krikil

cepat dan pasir 51 - 127

3. Kecepatan kehilangan Campuran krikil dan pasir dengan

sedang kandungan liat-debu rendah 25 -76

4. Kecepatan kehilangan Campuran krikil dan pasir dengan

rendah kandungan liat-debu sedang 6 -25

5. Kecepatan kehilangan Campuran krikil dan pasir dengan

sangat rendah kandungan liat-debu tinggi 0,025 - 2,5

(35)

17

Deliniasi DAS

DAS yang akan dijadikan sebagai daerah penelitian akan dideliniasi berdasarkan DEM secara otomatis oleh Model SWAT sesuai batas topografi alaminya, begitu pula dengan jaringan hidrologi. Untuk tujuan simulasi, Model SWAT membagi DAS menjadi beberapa subbasin dimana setiap subbasin memiliki satu jaringan sungai utama.

Model SWAT memberikan pilihan ambang batas (threshold) dalam pembentukan subbasin pada DAS. Besar kecilnya threshold yang digunakan akan menentukan pembentukan jaringan sungai utama dan anak sungai. Jaringan sungai tersebut akan menentukan jumlah subbasin yang terbentuk dalam DAS. Jumlah subbasin yang terbentuk tergantung pada seberapa detil jaringan sungai yang teridentifikasi sesuai threshold yang digunakan, semakin detil jaringan sungai maka maka semakin banyak subbasin yang akan terbentuk.

Pembentukan HRU (Hidrologic Response Unit) dan Penggabungan Data Iklim HRU merupakan unit analisis hidrologi yang dibentuk berdasarkan karakteristik tanah, kelas lereng dan penggunaan lahan yang spesifik. HRU merupakan Satuan Peta Tanah yang diperoleh melalui overlay peta tanah, penggunaan lahan dan lereng. HRU tersebar dalam masing-masing subbasin yang terbentuk pada tahap awal sehingga dapat menggambarkan keadaan biofisik dan kerusakan lahan untuk masing-masing subbasin tersebut. Metode yang digunakan dalam pembentukan HRU adalah threshold by percentage. Metode ini digunakan untuk menetukan seberapa besar batas (threshold) untuk jenis tanah, penggunaan lahan dan lereng yang akan diabaikan oleh model dalam pembentukan HRU.

Tabel 4 File-file Input dan Fungsinya dalam Analisis Hidrologi

Nama File Fungsi

FIG Mendefinisikan jaringan hidrologi DAS CIO Mengontrol file parameter DAS

COD Menentukan waktu simulasi

BSN Mengontrol parameter input di tingkat DAS PCP File data curah hujan harian

TMP File data temperatur maksimum dan minimum harian SLR File data radiasi matahari harian

HMD File data kelembaban udara harian

CROP File parameter penutupan lahan/pertumbuhan tanaman URBAN File data lahan terbangun

SUB Mengontrol parameter input di tingkat Sub DAS WGN File input generator iklim

RTE File input saluran utama : mengontrol parameter pergerakan air dan sedimen di tingkat Sub DAS

HRU Mengontrol parameter di tingkat HRU

MGT File input pengelolaan : skenario pengelolaan dan penutup lahan SOL File karakteristik tanah

(36)

18

Setelah HRU terbentuk maka dilakukan pemanggilan data iklim meliputi data iklim global, data curah hujan rata-rata harian serta data suhu maksimum dan minimum harian untuk digabungkan dengan HRU yang telah terbentuk tersebut. SWAT dapat dijalankan setelah proses penggabungan HRU dengan data iklim selesai. Model SWAT yang telah dijalankan akan menghasilkan output file yang terpisah untuk subbasin, HRU dan outlet sungai.

Perhitungan Prediksi Debit aliran pada Model SWAT

Neitsch et al. 2005 dalam SWAT theoretical documentation menyatakan bahwa: Aliran permukaan dalam pemodelan SWAT dihitung menggunakan metode SCS Curve Number sebagai berikut :

Qsurf = ��� − �� +��� − �� ²

dimana Qsurf adalah jumlah aliran permukaan pada hari i (mm), Rday adalah jumlah curah hujan pada hari tersebut (mm), Ia adalah kehilangan awal akibat

simpanan permukaan, intersepsi dan infiltrasi (mm) dan S adalah parameter retensi (mm). Parameter retensi dihitung berdasarkan persamaan berikut :

= . + ( �� − )

dimana CN adalah curve number (bilangan kurva) dan nilai Ia adalah 0.2 S

(berdasarkan hasil penelitian), sehingga persamaan perhitungan aliran permukaan menjadi :

Q � = ��� − . ²��� + .8

Aliran lateral pada pemodelan SWAT dihitung menggunakan persamaan :

Ql = , SWl ,Φ L K slp

ll

dimana Qlat adalah jumlah air lateral yang masuk ke sungai utama pada hari i (mm), SWly,excessadalah kelebihan air pada lapisan tanah (mm), Ksatadalah konduktivitas hidrolik jenuh (mm/jam), slp adalah lereng (m/m), Φd adalah porositas tanah (mm/mm) dan Lhill adalah panjang lereng (m). Kelebihan air pada lapisan tanah dihitung dengan persamaan :

SWly, excess= SWly– FCly jika SWly > FCly

SWly, excess= 0 jika SWly < FCly

dimana Swly adalah kandungan air tanah (mm) dan FCly adalah kapasitas lapang

(mm).

Aliran bawah permukaan atau base flow (Qgw) persamaan yang digunakan adalah:

Q =8 � � K2 × h l

dimana Ksatadalah konduktivitas hidrolik (mm/hari), Lgw2adalah jarak antara sub DAS ke saluran utama (m) dan h

(37)

19 Output SWAT

Model SWAT menghasilkan output file (SWAT Output File) yang terdiri dari file subbasin (output.sub), file HRU (output.hru) dan file sungai utama (output.rch). Informasi yang terdapat pada masing-masing subbasin (output.sub) dan HRU (output.hru) terdiri dari jumlah curah hujan (PRECIP), evapotranspirasi potensial (PET) dan aktual (ET), kandungan air tanah (SW), perkolasi (PERC), aliran permukaan (SURQ), aliran lateral (LATQ), aliran dasar (GW_Q) dan hasil air (WYLD). Informasi pada masing-masing sungai utama (output.rch) dalam subbasin adalah jumlah aliran yang masuk ke sungai (FLOW_IN) dan keluar (FLOW_OUT), jumlah kehilangan air dari sungai melalui evaporasi (EVAP) dan transmisi (TLOSS).

Kalibrasi Model SWAT

Untuk menilai kebenaran dan kedekatan hasil data model dengan data pengukuran/observasi, maka setiap analisis yang menggunakan model harus disertai dengan pengujian terhadap model tersebut. Output model diuji keakuratannya dengan menggunakan persamaan Nash-Sutcliffe Efficiency (NSE) yaitu:

dimana y adalah debit aktual yang terukur (m3/dtk), ŷ adalah debit hasil simulasi

(m3/dtk), dan ȳ adalah rata-rata debit terukur. Nash-Sutcliffe Efficiency dikelompokkan menjadi 3 kelas yaitu :

1). Baik, jika NS ≥ 0,75

2). Memuaskan, jika 0,75 > NS > 0,36 3) Kurang memuaskan, jika NS < 0,36.

Selain itu, untuk melihat keakuratan pola hasil output model dengan hasil observasi lapangan digunakan koefisien deterministik atau persamaan linier, yaitu:

dimana X adalah besarnya variabel pengamatan, X adalah variabel rata-rata pengamatan dan Y adalah variabel perhitungan model. Hasil perhitungan R2 menunjukan evaluasi kelayakan model tersebut, apabila R2 mendekati 1 maka terdapat hubungan yang erat antara hasil prediksi model dengan hasil observasi lapangan (Neitsch et al. 2005).

Validasi

(38)

20

Simulasi Model SWAT

Model SWAT selanjutnya digunakan untuk melakukan simulasi pada beberapa skenario untuk mengetahui pengaruh ekspansi perkebunan kelapa sawit terhadap fungsi hidrologis DAS berdasarkan perubahan luas tutupan lahan perkebunan kelapa sawit dan penerapan teknik konservasi tanah di DAS Batang Tabir. Analisis dilakukan dengan menginput hasil overlay peta penutupan lahan tahun 2013 dengan peta perluasan lahan perkebunan sawit dengan asumsi bahwa semua parameter masukan model tetap kecuali parameter penutupan lahan. Parameter yang dianggap tetap adalah data tanah, data iklim dan data curah hujan.

Hasil simulasi ini diharapkan dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam membuat perencanaan penggunaan lahan terbaik di DAS Batang Tabir. Simulasi dilakukan berdasarkan beberapa skenario sebagai berikut:

1. Penutupan lahan tahun 2013

2. Ekspansi perkebunan kelapa sawit pada penutupan lahan 2013.

3. Ekspansi perkebunan kelapa sawit pada penutupan lahan 2013 dengan penerapan teknik konservasi tanah dan air.

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Wilayah Penelitian

DAS Batang Tabir merupakan salah satu Sub DAS Batanghari yang berada di bagian tengah DAS Batanghari, bagian utara DAS Batang Tabir adalah Sub DAS Batang Tebo dan bagian selatan adalah Sub DAS Merangin Tembesi. DAS Batang Tabir secara keseluruhan memiliki luas sebesar 301.912.91 ha yang mempunyai bentuk memanjang atau lonjong, namun jika dihitung dari titik outlet yaitu Stasiun Pengamatan Arus Sungai (SPAS) Rantau Panjang, maka luasan DAS Batang Tabir adalah 107 442 ha. Luasan dari titik outlet inilah yang dijadikan acuan untuk menganalisa pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap fungsi hidrologis DAS Batang Tabir. Stasiun Pengamatan Arus Sungai (SPAS) yang digunakan sebagai outlet pada DAS ini berlokasi pada koordinat 1°51'41.50"LS dan 102°17'31.70"BT.

Curah hujan merupakan salah satu unsur iklim yang mempengaruhi debit aliran sungai, selain temperatur, radiasi matahari, kelembaban udara, radiasi matahari dan kecepatan angin. Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, tipe iklim di DAS Batang Tabir termasuk dalam tipe iklim A, dimana semua curah hujan yang jatuh tiap bulannya > 100 mm (nilai Q = 0). Klasifikasi ini didasarkan pada tingkat kebasahan suatu wilayah, yaitu dari perbandingan jumlah bulan kering (curah hujan bulanan < 60 mm) dengan jumlah bulan basah (curah hujan bulanan > 100 mm).

(39)

21 pada tahun 2010 yaitu sebesar 3376,78 mm, sedangkan terendah pada tahun 2009 yaitu sebesar 2013,57 mm (Gambar 6).

Jenis tanah di DAS Batang Tabir berdasarkan peta Landsystem skala 1: 250.000 terdapat 8 jenis tanah (Gambar 7) yang terbagi kedalam 4 ordo yaitu, Inceptisols, Ultisols, Entisols,dan Oksisol. Inceptisols terdiri dari Great Grup Dystropepts, Eutropepts, dan Humitropepts. Tanah-tanah tersebut umumnya memiliki tekstur lom berklei. Ultisols terdiri dari Great Grup Hapludults dan Kandiudults. Tanah-tanah tersebut umumnya memiliki tekstur antara lom dan lom berpasir. Entisols terdiri dari Great Grup Tropoquepts, dan Troporthents. Tanah-tanah ini umumnya memiliki tekstur lom. Oksisol terdiri dari Great Grup Hapludox yang memiliki tekstur liat berpasir.

Gambar 6 Curah hujan wilayah tahunan periode 2008-2013 di DAS Batang Tabir

Gambar 7 Klasifikasi tanah DAS Batang Tabir Sumber:

(40)

22

DAS Batang Tabir didominasi oleh jenis tanah Humitropepts (39.95%) yang berada pada bagian hulu dan tengah DAS. Persentase sebaran luasan jenis tanah ini dapat dilihat pada Tabel 5.

Peta tanah tersebut diberikan beberapa tambahan informasi terkait dengan sifat fisik tanah sebagai data masukan model SWAT. Survei dilakukan untuk mendapatkan informasi sifat fisik tanah dengan mengambil sample tanah sebanyak 10 titik sebagai keterwakilan dari unit lahan. Sebaran spasial pengambilan sampel tanah di DAS Batang Tabir dapat dilihat pada Gambar 8 dan hasil analisis sample tanah secara lengkap disajikan dalam Lampiran 1.

Gambar 8 Titik pengambilan sample tanah di DAS Batang Tabir Tabel 5 Sebaran dan luas setiap jenis tanah di DAS Batangtabir

Jenis Tanah (Group) Luas

Ha %

Dystropepts 4,273 3.98

Eutropepts 9,378 8.73

Hapludox 4,427 4.12

Hapludults 20,544 19.12

Humitropepts 42,926 39.95

Kandiudults 1,912 1.78

Tropaquepts 5,346 4.98

Troporthents 18,636 17.35

Jumlah 107,442 100.00

Sumber:

(41)

23 Kelerengan merupakan faktor yang mempengaruhi karakteristik aliran air karena dapat menentukan besar dan kecepatan volume aliran permukaan. Klasifikasi kelas lereng dibuat secara otomatis oleh model SWAT berdasarkan DEM yang telah diinput sesuai dengan kelas interval yang ditetapkan yaitu sebanyak 5 kelas, mulai dari landai (0-8%), bergelombang (8-15%), berbukit (15-25%), curam (25-40%) dan sangat curam (>40%).

Penetapan kelas kelerengan ini mengacu pada penetapan kelas kelerengan oleh Dirjen RLPS Kemenhut (2009). Sebaran kelas kelerangan wilayah DAS Batang Tabir dapat dilihat pada Gambar 9. Kelas kelerengan di DAS Batang Tabir didominasi oleh lereng sangat curam (>40%) seluas 32 149 ha (29.92%) dan kelas kelerengan terkecil adalah landai (0-8%) seluas 11 794 ha (Tabel 6).

Gambar 9 Sebaran kelas lereng DAS Batang Tabir

Tabel 6 Luas masing-masing kelas kelerengan DAS Batangtabir Slope (%) Keterangan Luas (ha) Luas (%) 0-8

8-15 15-25 25-40 >40

Landai

Bergelombang Berbukit Curam

Sangat Curam

11 794 14 496 19 616 29387 32 149

13.49 10.98 18.26 27.35 29.92

Jumlah: 107 442 100.00

Sumber:

(42)

24

Analisis Perubahan Penutupan Lahan terhadap Debit Aliran di DAS Batang Tabir

Penutupan lahan adalah salah satu faktor yang mempengaruhi proses hidrologi sekaligus merupakan faktor yang dapat dikelola untuk menciptakan kondisi hidrologi yang lebih baik. Penutupan lahan mempengaruhi karakteristik hidrologi melalui kemampuan menyimpan air dipermukaan, diintersepsi oleh tajuk tanaman dan masuk ke dalam tanah melalui pori-pori (infiltrasi).

Perubahan penutupan lahan pada penelitian ini dianalisis dengan membandingkan data penutupan lahan pada tahun 1995, 2004 dan 2013 yang tersaji pada Tabel 7 dan sebarannya dapat dilihat pada Gambar 10. Penutupan lahan DAS Batang Tabir tahun 1995 terdiri dari 8 (delapan) tutupan lahan yaitu: hutan, kebun campuran, pertanian lahan kering, kebun sawit, sawah, pemukiman, badan air dan lahan terbuka. Hasil identifikasi citra tahun 1995 menunjukkan jenis penutupan lahan yang mendominasi di DAS Batang Tabir adalah hutan yakni seluas 77 648.46 ha atau mencapai 72.27 % dan kebun campuran seluas 23 464.80 ha (21.84 %).

Penutupan lahan pada tahun 2004 mengalami perubahan dengan bertambahnya satu klasifikasi tutupan lahan yaitu semak belukar seluas 2 003.50 ha (1.86%). Luas hutan pada tahun 2004 juga mengalami penurunan yakni menjadi 67.764.12 ha (65.09%) atau berkurang seluas 9.884.34 (7.18%) dibandingkan dengan tutupan lahan tahun 1995, sementara luas kebun sawit meningkat menjadi 4 945.89 ha (4.06%) dari yang sebelumnya hanya 1 257.28 ha (1.17%) dan untuk tutupan lahan lainnya tidak terlalu nyata perubahannya.

Hasil interpretasi citra tahun 2013 memperlihatkan luas hutan semakin berkurang yakni menjadi 57 006.94 ha (53.06%) atau berkurang seluas 20 641.52 ha (19.21%) dibandingkan dengan tutupan lahan tahun 1995, namun pertanian lahan kering mengalami peningkatan dari 2 225.11 (2.07%) menjadi 11 903.32 (11.08%). Peningkatan luasan tutupan lahan juga terjadi pada kebun sawit yaitu menjadi 6 451.08 ha (6%) dari yang sebelumnya hanya seluas 1 257.28 ha (1.17%), begitu pula dengan pemukiman yang meningkat dari 332.24 ha (0.31%) menjadi 2.195.79 ha (2.04%).

Tabel 7 Luas penutupan lahan DAS Batang Tabir tahun 1995, 2004 dan 2013

(43)

25

Gambar 10 Penutupan lahan DAS Batang Tabir tahun 1995, 2004 dan 2013

Sumber:

(44)

26

Hutan pada kawasan DAS Batang Tabir terdiri dari hutan lindung dan hutan adat. Penurunan luas lahan hutan diiringi dengan peningkatan luas pertanian lahan kering dan perkebunan sawit. Hal ini dikarenakan adanya peningkatan luasan pada sektor pertanian berupa pisang, cabe, ubi kayu, ubi jalar, jagung, kedelai dan kacang tanah. Luas tutupan lahan kebun campuran di wilayah ini cenderung tetap, yang didominasi oleh tanaman karet rakyat, sedikit kelapa dan kayu manis. Tanaman karet merupakan salah satu komoditi andalan dan menjadi pilihan utama masyarakat di DAS Batang Tabir, tanpa waktu yang relatif lama, karena hanya berkisar sekitar 10-15 tahun, maka pohon karet yang ditanam sudah dapat diproduksi getahnya untuk kemudian dijual. Satu hektar lahan dapat ditanami seribuan bibit pohon karet yang jika kelak saatnya diproduksi akan menghasilkan puluhan liter getah yang setelah dipadatkan akan menjadi puluhan kilogram karet.

Berkembangnya komoditas kelapa sawit di daerah ini seiring dengan datangnya para transmigran dari pulau Jawa yang banyak mengusahakan komoditas ini. Pada awalnya komoditas kelapa sawit masih menjadi komoditas ‘kelas dua’ yang diusahakan masyarakat di wilayah ini. Kurangnya minat masyarakat untuk mengusahakan tanaman ini adalah menyangkut permasalahan dana dan tenaga penggarap. Kelapa sawit membutuhkan dana yang besar untuk keperluan pengadaan bibit terutama untuk biaya pupuk dan pemeliharaan oleh tenaga khusus. Persoalan lainnya adalah masalah pemasaran yang sangat sulit karena penjualannya harus ke pabrik pengolahan secara langsung yang jaraknya sangat jauh dari lokasi penanaman komoditas di sektor ini.

Namun demikian, belakangan ini beberapa persoalan di atas sudah mulai dapat terpecahkan, seperti pengadaan bibit dan pupuk tidak lagi membutuhkan biaya besar karena sudah banyak penjualan bibit di sekitar wilayah ini. Pemasaran juga sudah dapat terpecahkan seiring dengan banyaknya berdiri pabrik-pabrik di sekitar wilayah ini, sehingga masyarakat mulai termotivasi melakukan pengusahaan perkebunan kelapa sawit melalui beragam perusahaan. Kondisi ini mengakibatkan bertambahnya pembukaan lahan setiap tahunnya untuk perkebunan kelapa sawit.

Debit Aliran Sungai Batang Tabir

Debit aliran yang dianalisis adalah sesuai tahun interpretasi penutupan lahan tahun 1995, 2004 dan 2013 berdasarkan data debit pengukuran dari Balai Wilayah Sungai (BWS) VI Sumatera yang diukur pada pos duga air Rantau Panjang Kabupaten Merangin Jambi.

Debit rata-rata bulanan pada tahun 1995 menunjukan bahwa debit tertinggi terjadi pada bulan April yaitu sebesar 131.00 m3/det dan debit terendah terdapat

pada bulan September sebesar 21.70 m3/det. Debit rata-rata bulanan tertinggi pada penutupan lahan tahun 2004 terjadi pada bulan September yaitu sebesar 91.73 m3/det dan debit terendah pada bulan Januari sebesar 61.71 m3/det dan pada tahun

Gambar

Gambar 1   Kerangka Pemikiran Penelitian
Gambar 2  Skema representasi siklus hidrologi (Neitsch 2005)
Gambar 3  Proses yang terjadi dalam sungai (Neitsch 2005)
Gambar 4  Lokasi Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian yang dilakukan bahwa masyarakat yang melakukan konversi perkebunan karet ke kelapa sawit pada umumnya melakukan konversi dengan

Dengan kemitraan yang diselenggarakan oleh Perkebunan Kelapa Sawit Luwu Unit I Burau, PTPN XIV seharusnya memiliki dampak yang baik bagi petani kelapa sawit di Kabupaten

Tesis yang berjudul “Kajian Tingkat Bahaya Erosi (TBE) pada Lahan Perkebunan di Hulu DAS Batang Pane Kabupaten Padang Lawas Utara”.. Penulisan tesis ini tidak akan terselesaikan

nitrogen dan total fosfor pada areal perkebunan kelapa sawit PTP Nusantara IV. Kebun Pabatu yang merupakan bagian hulu DAS Padang Sub-Das

Perkembangan perkebunan kelapa sawit di Propinsi Riau sangat berperan dalam kesejahteraan masyarakatnya, karena profibilitas kelapa sawit yang tinggi, dari tahun

Dari hasil penelitian yang dilakukan bahwa masyarakat yang melakukan konversi perkebunan karet ke kelapa sawit pada umumnya melakukan konversi dengan

Variabel yang berpengaruh signifikan yaitu diameter (DBH) dan tinggi batang, total biomassa dan sekuestrasi karbon pada perkebunan kelapa sawit rakyat semakin tinggi dengan

Penurunan jumlah spesies tumbuhan setelah adanya perkebunan kelapa sawit ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Savilaakso et al 2014 yang menyatakan bahwa perkebunan kelapa