• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 - Analisis Dampak Konversi Perkebunan Karet ke Kelapa Sawit pada Masyarakat Desa Batang Kumu Tahun 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 - Analisis Dampak Konversi Perkebunan Karet ke Kelapa Sawit pada Masyarakat Desa Batang Kumu Tahun 2014"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sejarah Tanaman Kelapa Sawit

Tanaman kelapa sawit (Aleais Guineensis Jack) berasal dari Negeria, Afrika Barat, namun ada sebagian pendapat yang justru menyatakan bahwa kelapa sawit berasal dari kawasan Amerika Selatan yaitu Brazil. Hal ini karena lebih banyak ditemukan spesies kelapa sawit dihutan brazil dibandingkan dengan di Afrika, pada kenyataannya kelapa sawit hidup subur di luar daerah asalnya seperti Malaysia, Indonesia, Thailand, Papua Nugini bahkan mampu memberikan hasil produksi per hektar yang lebih tinggi.

Kelapa sawit pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1848 ketika itu ada empat batang bibit kelapa sawit yang dibawa dari Mauritius dan Amsterdam untuk ditanam di kebun raya bogor, tanaman kelapa sawit mulai diusahakan dan dibudidayakan secara komersial pada tahun 1911, perintis usaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah Adrien Haller, seorang yang berkebangsaan Belgia yang telah belajar banyak tentang kelapa sawit di Afrika, budidaya yang dilakukan diikuti oleh K. Schadt yang menandai lahirnya perkebunan kelapa sawit di Indonesia, sejak itu perkebunan kelapa sawit di Indonesia mulai berkembang. Perkebunan kelapa sawit pertama kali berlokasi di Pantai Timur Sumatera (Deli) dan Aceh, luas areal perkebunan saat itu sebesar 5.123Ha, Indonesia mulai mengekspor minyak sawit pada tahun 1919 sebesar 576 ton ke negara-negara eropa, kemudian tahun 1923 mulai mengekspor minyak inti sawit sebesar 850 ton.

(2)

Afrika pada waktu itu, namun kemajuan pesat yang dialami oleh Indonesia tidak diikuti dengan peningkatan perekonomian nasional hasil perolehan ekspor minyak sawit hanya meningkatkan perekonomian negara asing yang berkuasa di Indonesia termasuk Belanda.

Memasuki masa pendudukan Jepang, perkembangan kelapa sawit mengalami kemunduran, secara keseluruhan produksi perkebunan kelapa sawit terhenti, lahan perkebunan mengalami penyusutan sebasar 16% dari total luas lahan yang ada sehingga produksi minyak sawit Indonesia pun hanya mencapai 56.000 ton pada tahun 1948-1949, padahal pada tahun 1940 Indonesia mengekspor 250.000 ton minyak sawit.

Setelah Belanda danJepang meninggalkan Indonesia pada tahun 1957, pemerintah mengambil alih perkebunan dengan alasan politik dan keamanan, Pemerintah menempatkan perwira-perwira militer disetiap jenjang manajemen perkebunan yang bertujuan mengamankan jalannnya produksi, pemerintah juga membentuk BUMIL (Buruh Militer) yang merupakan wadah kerja sama antara buruh perkebunan dengan militer, perubahan manajemen dalam perkebunan dan kondisi sosial politik dan keamanan dalam negeri yang tidak kondusif menyebabkan produksi kelapa sawit mengalami penurunan, pada periode tersebut posisi Indonesia sebagai pemasok minyak sawit dunia terbesar mulai tergeser oleh Malaysia.

(3)

luas lahan mencapai 294.560 Ha dengan produksi CPO (Crude Palm Oil) sebesar 721.172 ton, sejak saat itu lahan perkebunan kelapa sawit Indonesia berkembang pesat terutama perkebunan rakyat, hal ini didukung oleh kebijakan pemerintah yang melaksanakan program Perkebunan Inti Rakyat (PIR-bun).

Dalam pelaksanaannya perkebunan besar sebagai inti membina dan menampung hasil perkebunan rakyat disekitarnya yang menjadi plasma. Perkembangan perkebunan semakin pesat lagi setelah pemerintah mengambangkan program lanjutan yaitu PIR-transmigrasi sejak tahun 1986, program tersebut berhasil menambah luas lahan dan produksi kelapa sawit pada tahun 1990-an luas perkebunan kelapa sawit mencapai lebih dari 1,6 juta Ha yang tersebar diberbagai sentra produksi seperti Sumatera dan Kalimantan.

Bagi Indonesia tanaman kelapa sawit memiliki arti penting bagi pembangunan perkebunan nasional, selain mampu menciptakan kesempatan kerja yang mengarah pada kesejahteraan masyarakat juga sebagai sumber perolehan devisa Negara, Indonesia merupakan salah satu produsen utama minyak sawit bahkan saat ini sudah menempati posisi kedua di dunia.

(4)

2.2 Peranan Kelapa Sawit Dalam Perekonomian Indonesia

Dipandang dari segi sejarah pada masa lalu peranan (share) sektor pertanian dalam sebagian indikator ekonomi Indonesia digambarkan dengan peranannya dalam perolehan Produk Domestik Bruto (PDB), penyerapan tenaga kerja dan perolehan hasil ekspor dan lain-lain adalah sebagai berikut:

Pertama, peranannya dalam PDB pada awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) cukup besar (>50%), namun dengan adanya upaya pembangunan sektor-sektor yang lebih maju (misalnya industri dan jasa) menyebabkan kecenderungan terjadinya penurunan peranan pertanian pada tahun 1960, 1973, 1980, 1990, 2004 berturut-turut adalah 54%, 41%, 24,8% 19,6% dan 14,3%. Dalam kurun waktu lebih dari empat dasawarsa terlihat bahwa peranan sektor pertanian pada tahap awal relatif besar mulai lebih dari 50% menjadi hanya tinggal sekitar 14%.[1]

(5)

atas harga berlaku, pada tahun 2010 meningkat menjadi Rp 6.436,3 trilyun, dan PDB 2011 naik menjadi Rp 7.427,1 trilyun. Selama tahun 2011 semua sektor (lapangan usaha) pendukung bidang ekonomi mengalami pertumbuhan,. pertumbuhan tertinggi terjadi pada sektor pengangkutan dan komunikasi yang mencapai 10,7%, diikuti oleh sektor perdagangan, hotel, dan restoran 9,2%, sektor keuangan, real estat, dan jasa perusahaan 6,8%, sektor jasa-jasa dan sektor konstruksi masing-masing 6,7%, sektor industri pengolahan 6,2%, sektor listrik, gas, dan air bersih 4,8%, sektor pertanian 3,0%, dan sektor pertambangan dan penggalian 1,4%.[2]

Pada tahun 2011 (sampai dengan Triwulan III), PDB sektor pertanian (di luar perikanan dan kehutanan) tumbuh sebesar 3,07%, di mana tingkat pertumbuhan tersebut lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan tahun 2010 yang hanya 2,86%. Pertumbuhan tersebut berasal dari sub sektor perkebunan (6,06%), disusul dengan sub sektor peternakan (4,23%), dan subsektor tanaman pangan (1,93%), kontribusi PDB sektor pertanian (di luar perikanan dan kehutanan) terhadap PDB nasional pada tahun 2011 tersebut mencapai 11,88%, lebih tinggi dibandingkan tahun 2010 yang mencapai 11,49%. Data terkait menunjukkan pula bahwa kontribusi subsektor perkebunan terhadap PDB nasional nonmigas adalah 2,9%, selanjutnya data BPS juga menunjukkan, nilai PDB sektor perkebunan terus mengalami peningkatan dengan laju antara 9,42% hingga 11,68% per tahun.

(6)

(Penanaman Modal Dalam Negeri) sebanyak 274 proyek, dengan nilai Rp 8,23 triliyun PMA (Penanaman Modal Asing) 246 proyek, dengan nilai US$ 1,03 milyar (Angka s/d 30 September 2011).

Kedua, peranannya dalam penyerapan tenaga kerja, pada tahun 1961, sektor pertanian mampu menampung 73,3% tenaga kerja kemudian pada tahun 1971 dan 1980 berturut-turut dapat menyerap 64,2% dan 54,8%, selanjutnya selama periode 1988-1993 dan 1994-2005 sektor ini berturut-turut mampu menyerap rata-rata 54,4% dan 44,2%, maka dari itu dapat dikatakan bahwa peranan sektor pertanian dalam penyerapan tenaga kerja sangat besar karena sekitar 50% dari tenaga kerja yang tersedia dapat dipekerjakannya untuk informasi jumlah secara absolut, bahwa penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian pada tahun 2011 mencapai 39,3 juta orang (Angka s/d Agustus 2011). Selanjutnya, penyerapan tenaga kerja di subsektor perkebunan kelapa sawit juga cukup besar; dengan asumsi setiap sepuluh Ha luas lahan perkebunan diperlukan rata-rata 4 orang tenaga kerja lapangan, maka perkebunan kelapa sawit yang pada tahun 2011 seluas sekitar 8,9 juta Ha akan dapat menyerap sekitar 3,5 juta orang, dan ditambah lagi di bagian pengangkutan, pengolahan dan laboratorium akan menyerap 500 ribu orang jika dihitung juga tenaga kerja administrasi kebun, panen, angkutan, pengolahan dan laboratorium secara total kebutuhan tenaga kerja pada subsektor perkebunan kelapa sawit dapat mencapai 4,5 juta orang.[3]

(7)

absolut nilai ekspor pertanian tetap meningkat, sebagai contoh perkembangan ekspor hasil pertanian pada tahun 2009, meskipun peranannya hanya tinggal sekitar 24% tetapi nilai ekspornya mencapai US$ 23,04 milyar.

Ekspor hasil pertanian ini pada 2009-2010 juga mengalami peningkatan, yaitu pada 2009 nilainya sebesar US$ 23,04 milyar, meningkat menjadi US$ 32,52 milyar pada 2010, selanjutnya peranan ekspor pertanian terhadap ekspor non migas pada kurun waktu 2009 dan 2010 berturut-turut adalah adalah 23,6% dan 25,1%, kemudian peranan ekspor pertanian terhadap ekspor keseluruhan pada 2009 dan 2010 berturut-turut adalah adalah 19,8% dan 20,6% untuk komoditas minyak sawit yang merupakan komponen sektor pertanian, pada 2009 nilai ekspor CPO dan PKO (Palm Karnel Oil) beserta produk turunannya mencapai US$ 11,6 milyar sementara itu nilai ekspor non migas dan ekspor keseluruhan berturut-turut adalah US$ 97,5 milyar dan US$ 116,5 milyar hal ini berarti kontribusi minyak sawit (khususnya CPO dan PKO serta produk turunannya) terhadap nilai ekspor non migas dan ekspor secara keseluruhan adalah sekitar 11,9% dan 10%.

Selanjutnya pada 2011, volume ekspor produk CPO tercatat meningkat sebesar 5,7% dibanding pada 2010, volume ekspor CPO juga meningkat dari 15,656 juta ton pada 2010 menjadi 16,5 juta ton jika diasumsikan rata-rata harga ekspor CPO selama 2011 yang dihitung berdasar asumsi bahwa harga CPO adalah US$ 1.000 per ton, maka perkiraan nilai ekspor CPO mencapai US$16,5 milyar, menurut GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia), perkiraan target produksi CPO Indonesia pada tahun 2011 mencapai 23,5 juta ton CPO.

(8)

US$19,717 milyar, meningkat dari periode yang sama tahun 2010 yaitu sebesar US$14,164 milyar. Informasi catatan neraca perdagangan juga mengalami surplus, yaitu sebesar US$17,02 milyar (Angka s/d September 2011).

Data pada Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (PPHP) Kementerian Pertanian juga menunjukkan bahwa nilai ekspor hasil subsektor perkebunan mengalami peningkatan dari US$21,58 milyar pada tahun 2009 menjadi US$30,7 milyar, atau dengan laju 42,26% per tahun sedangkan penerimaan negara yang dihasilkan dari industri sawit dalam bentuk lain, misalnya bea keluar, pajak penghasilan badan, pajak bumi dan bangunan, pajak pertambahan nilai dan lain-lainnya, yang jumlahnya cukup besar.[4].

[1] Kontribusi Kelapa Sawit sebagai Pilar Perekonomian Bangsa.

http://sawitindonesia.com/artikel/kontribusi-kelapa-sawit-sebagai-pilar-perekonomian-bangsa

[2] IbidKontribusi Kelapa Sawit [3] Ibid

[4] Ibid

2.3Prospek Perkembang Kelapa Sawit Di Indonesia

Kelapa sawit merupakan salah satu tanaman perkebunan yang mempunyai peran penting bagi subsektor perkebunan, pengembangan kelapa sawit antara lain memberi manfaat dalam peningkatan pendapatan petani dan masyarakat, produksi yang menjadi bahan baku industri pengolahan yang menciptakan nilai tambah di dalam negeri, ekspor CPO yang menghasilkan devisa dan menyediakan kesempatan kerja.[5]

(9)

menghasilkan CPO sebesar 2,16 juta ton, dan swasta menyumbang produksi CPO sebesar 16,5 juta ton ( bps, 2013 )

Tabel 2.1

Volume dan Nilai Ekspor CPO Tahun 2003-2013

Tahun

Laju pertumbuhan rata-rata volume ekspor kelapa sawit khususnya CPO selama 2003-2014 sebesar 12,94% per tahun dengan peningkatan nilai ekspor rata-rata 25,76% per tahun, realisasi ekspor komoditas kelapa sawit tahun 2013 telah mencapai volume 20,58 juta ton (minyak sawit/CPO dan minyak sawit lainnya) dengan nilai US $15,84 milyar, volume ekspor komoditas kelapa sawit sampai dengan bulan September 2014 mencapai 15,96 juta ton dengan nilai sebesar US$ 12,75 juta hal ini mengalami kenaikan sebesar 7,59% jika dibandingkan dengan volume ekspor sampai dengan september 2013 sebesar 14,831 juta ton neraca perdagangan untuk komoditas kelapa sawit tahun 2013 telah mencapai US$ 19,43 miliyar.[6]

(10)

sawit terbesar di dunia, hal ini disebakan antara lain : perkebunan kelapa sawit dapat memberikan manfaat positif pertumbuhan ekonomi yang dirasakan masyarakat dan pelaku usaha kelapa sawit, harga CPO dunia yang cukup baik dan stabil, sebagai minyak biofuel pengganti minyak fosil dan juga sangat dimungkinkan berkat prakarsa pemerintah yang diawali dengan pengembangan perkebunan kelapa sawit melalui proyek-proyek Pola PIR (Perkebunan Inti Rakyat)/NES (Nucleus Estate Smallholders) pada awal tahun ’80 an

Tabel 2.2

Sebaran Kelapa Sawit Menurut Provinsi Di Indonesia Tahun 2014

Provinsi Luas (Ha) Produksi (Ton)

Riau 2.296.849 7.037.636

Sumatera Utara 1.392.532 4.753.488

Kalimantan Tengah 1.156.653 3.312.408

Sumatera Selatan 1.111.050 2.852.988

Kalimantan Barat 959.226 1.898.871

Kalimantan Timur 856.091 1.599.895

Jambi 688.810 1.857.260

Kalimantan Selatan 499.873 1.316.224

Aceh 413.873 853.855

Sumatera Barat 381.754 1.082.823

Bengkulu 304.339 833.410

Kep. Bangka Belitung 211.237 538.724

Lampung 165.251 447.978

Sulawesi Tengah 147.757 259.361

Sulawesi Barat 101.001 300.396

Jumlah 10.956.231 29.344.479

Sumber : ditjenbun.pertanian,2014

(11)

1,16 juta Ha dan Sumatera Selatan dengan luas 1,11 juta Ha serta provinsi-provinsi lainnya.[7]

[5] Kementrian Pertanian, 2014. Pertumbuhan Aareal Kelapa

Sawit.http://ditjenbun.pertanian.go.id/berita-362-pertumbuhan-areal-kelapa-sawit-meningkat.html. [6] Ibid Kementrian pertanian

[7] Ibid

2.4Sejarah Perkebunan Karet Di Indonesia

Tanaman Karet (Hevea brasiliensis) merupakan tanaman perkebunan yang penting baik dalam konteks ekonomi masyarakat maupun sumber penghasil devisa non migas bagi Negara, tanaman karet berasal dari daerah tropika lembah Amazon Brazilia dengan curah hujan 2000-3000 mm/tahun dan hari hujan antara 120- 170 hari/tahun (Sutardi, 1981), pengembangan karet berkonsentrasi pada daerah 10 LU dan 10 LS (Moraes, 1977) sebagian besar areal perkebunan karet Indonesia terletak di Sumatera(70%) , Kalimantan (24%) dan Jawa (4%) dengan curah hujan 1500- 4000 mm/tahun dengan rata-rata bulan kering 0-4 bulan pertahun dan terletak pada elevasi dibawah 500 m diatas permukaan laut. Perkembangan terahir di Thailand, India, dan China sedang meneliti pengembangan karet di daerah semiarid, elevasi tinggi dan daerah subtropis (Vijayakumar dalam Sabarman, 2012)

2.5Luas dan Produksi Karet Di Indonesia

(12)

Nilai ekspor tahun 2008, sebesar US$ 6.023.295.600 dengan volume ekspor 2.283.153,8 ton, produksi dunia diperkirakan laju pertumbuhannya 2,5% pertahun dan perdagangan dunia tumbuh 2,6% (BPS, 2009).

2.6 Potensi dan Perkebangan Karet Di Indonesia

Indonesia mempunyai potensi untuk menjadi produsen utama karet dunia walaupun saat ini masih kedua setelah Thailand, apabila berbagai permasalahan utama yang dihadapi perkebunan karet dapat diatasi dan agribisnisnya dikembangkan serta dikelola secara baik. Indonesia masih memiliki lahan potensial yang cukup besar untuk pengembangan karet terutama di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timurdan Papua. Berdasarkan hasil penelitian karet ditanami pada elevasi > 500 meter di atas permukaan laut, dan daerah beriklim kering dengan curah hujan kurang dari 1500 mm/tahun. (Thomas (dalam Damanik, 2012))

(13)

akan tercapai dengan areal perkebunan karet Indonesia mencapai 4,5 juta Ha dan mampu menghasilkan 3,3 juta ton.

Perkembangan karet alam masih mempunyai harapan untuk tetap bertahan dipasar internasional, industri pabrik ban mobil tidak selamanya memihak pada karet sintetis,karena sebagian sifat karet alam tidak dimiliki oleh karet sintetis.

Perkembangan akhir-akhir ini menunjukkan semakin banyaknya industri ban radial yang harus memakai karet alam sebagai bahan bakunya, sejak dekade 1980 hingga saat ini permasalahan karet Indonesia adalah rendahnya produktivitas dan kualitas karet yang dihasilkan khususnya karet rakyat sebagai gambaran produksi karet rakyat hanya 600-650 KG/KK/Ha/Tahun, walaupun demikian, peranan Indonesia sebagai produsen karet alam dunia masih dapat diraih kembali dengan memperbaiki teknik budidaya dan pasca panen pengolahan, sehingga produktivitas dan mutu hasil akan dapat ditingkatkan secara optimal. Perkembangan cara penyajian karet alam ternyata sangat menarik timbulnya industri karet dengan spesifikasi teknis merupakan perkembangan yang sangat positif sebagai jawaban yang sangat nyata, demikian pula adanya cara pengepakan yang baik akan membuka era baru penyajian karet alam, kondisi kemajuan seperti ini menyebabkan para konsumen mulai berpaling lagi ke karet alam, selain hal tersebut di atas, kemajuan lainyang terjadi pada industri karet alam diantaranya sebagai berikut :

1. Pembuatan karet secara kimia yang menghasilkan karet tahan minyak pelumas.

(14)

3. Perluasan penggunaan karet alam untuk pembuatan barang bukan ban. 4. Penemuan teknik pencangkokan dari lateks.

5. Perbaikan teknik eksploitasi seperti penggunaan stimulan dan penyempurnaan alat sadap.

Melalui inovasi teknologi seperti di atas secara sungguh-sungguh, bukan tidak mungkin usaha ini akan memberikan dampak pada kenaikan harga jual dan menurunkan biaya produksi, oleh karena terdapat kecenderungan konsumen akan kembali pada karet alam maka diperkirakan akan terjadi kekurangan penawaran karet alam, jika berpijak pada asumsi ini maka dapat disimpulkan masa depan karet alam memiliki prospek yang cukup baik.

2.7 Perkembangan dan Luas Perkebunan Kelapa Sawit Di Provinsi Riau dan

Kabupaten Rokan Hulu

(15)

pada tahun 1993, 2003 dan 2009 masing-masing sebesar 5,73%, 16,89% dan 16,71% kontribusi sub sektor perkebunan terhadap nilai tambah sektor pertanian pada tahun 1993, 2003 dan 2009 masing-masing sebesar 27,71%, 45,03% dan 49,35%. Sub sektor perkebunan merupakan penyedia bahan baku untuk sektor industri, penyerap tenaga kerja dan penghasil devisa.

Grafik 2.1

Luas lahan dan produksi kelapa sawit Provinsi Riau

Terlihat dari grafik bahwa luas dan produksi terus berfluktuasi disetiap tahunnya keadaan ini timbul karena kelapa sawit bagi masyarakat dianggap sebagai komoditas yang memiliki nilai profibilitas yang tinggi dan keuntungan yang tinggi ini memicu masyarakat untuk beralih dari sub sektor pertanian lain atau usaha lainnya untuk berinvestasi di sub sektor perkebunan kelapa sawit, tidak hanya masyarakat yang berusaha mengembangkan komoditas ini melainkan perkebunan negara dan perkebunan swasta pun turut berperan.(Academia.edu)

(16)

Tabel 2.3

Data Luas Perkebunan Kabupaten Rokan Hulu Tahun 2012

Kecamatan Karet (Ha) Kelapa Sawit (Ha)

Rambah 4,569 2,305

Rambah Hilir 10,819 6,946

Rambah Samo 4,351 18,739

Bangun Purba 2,452 9,245

Tambusai 3,114 31,196

Tambusai Utara 11,391 66,198

Kepenuhan 2,805 6,695

Tandun 542 6,299

Rokan IV Koto 7,080 6,801

Kunto Darusalam 47 22,129

Ujung Batu 336 2,168

Kabun 2,447 3,524

Pagaran Tapah Darusalam 102 4,794

Bonai Darusalam 53 8,738

Pendalian IV Koto 3,576 1,666

Kepenuhan Hulu 1,742 10,312

Total 55,426 208,475

Sumber : Dishutbun Kab. Rohul, 2013

Tabel 2 di atas menunjukkan luas perkebunan karet dan kelapa sawit perkecamatan Di Kabupaten Rokan Hulu tahun 2012, dimana luas perkebunan kelapa sawit Di Kecamatan Tambusai 31,196 Ha atau terluas ke 2 dari seluruh kecamatan Di Kabupaten Rokan Hulu.

2.8PengertianKonversi Lahan

Konversi lahan dapat diartikan sebagai berubahnya fungsi sebagian atau selur uh kawasan dari fungsinya semula seperti direncanakan menjadi fungsi lain yang berdampak negatif terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Misalnya, b erubahnya peruntukan fungsi lahan persawahan beririgasi menjadi lahan industri.

Konversi lahan berarti alih fungsi atau mutasi lahan secara umum menyangku t transformasi dalam pengalokasian sumberdaya lahan dari satu penggunaan kepen ggunaan lainnya.

(17)

eh bukan petani lewat proses penjualan. Berdasarkan faktor-faktor penggerak uta ma konversi lahan, pelaku, pemanfaatan dan proses konversi, maka tipologi konve rsi terbagi menjadi tujuh tipologi, yaitu:

1) Konversi gradual-berpola sporadik, pola konversi yang diakibatkan oleh dua faktor penggerak utama yaitu lahan yang tidak/kurang produktif/ber manfaat secara ekonomi dan keterdesakan pelaku konversi.

2) Konversi sisitematik berpola enclave, pola konversi yang mencakup wila yah dalam bentuk sehamparan tanah secara serentak dalam waktu yang re latif sama.

3) Konversi adaptif demografi, pola konversi yang terjadi karena kebutuhan tempat tinggal/pemukiman akibat adanya pertumbuhan pendudukan. 4) Konversi yang disebabkan oleh masalah sosial, pola konversi yang terjadi

karena motivasi untuk berubah dari kondisi lama untuk keluar dari sektor pertanian utama.

5) Konversi tanpa beban, pola konversi yang dilakukan oleh pelaku untuk m elakukan aktivitas menjual tanah kepada pihak pemanfaat yang selanjutny a dimanfaatkan untuk peruntukan lain.

6) Konversi adaptasi agraris, pola konversi yang terjadi karena keinginan un tuk meningkatkan hasil pertanian dan membeli tanah baru ditempat terten tu.

7) Konversi multi bentuk atau tanpa pola, konversi yang diakibatkan berbag ai faktor peruntukan seperti pembangunan perkantoran, sekolah, koperas i, perdagangan, dan sebagainya.

(18)

Penelitian terdahulu yang berkaitan dengan skripsi ini adalah sebagai berikut 1. Penelitian yang dilakukan oleh Paruhuman Daulay (2003) yang berjudul

“Konversi Lahan Komoditi Karet menjadi Komoditi Sawit” di lakukan di

Desa Batu Tunggal Kecamatan Na IX-X Kabupaten Labuhan Batu, dengan hasil penelitian bahwa usaha tani kelapa sawit lebih menguntungkan di bandingkan usaha tani karet dan faktor – faktor yang mempengaruhi atau memotivasi petani mengkonversi lahan karet ke sawit adalah 70% di dominasi oleh faktor coba – coba mengikuti orang lain dan selebihnya di sebabkan oleh faktor lain.

2. Menurut Purba (2009) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Alih fungsi Lahan Tanaman Perkebunan Teh Menjadi Perkebunan Kelapa Sawit Di Kabupaten Simalungun”. Dengan menggunakan metode Ordinary Least Square

(OLS) untuk melihat pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen dengan bantuan komputer dan mendapatkan fakta-fakta yaitu: Tenaga kerja perkebunan teh akibat alih fungsi lahan (konversi) tanaman perkebunan teh menjadi perkebunan kelapa sawit menurun selama periode tahun 2000-2005. Produktivitas tenaga kerja diperkebunan teh menurun selama periode 2000-2005. Produktivitas teh menurun selama periode 2000-2005.

(19)

Menurut Sudarman Danim manusia yang sejahtera adalah manusia yang memiliki tata kehidupan dan penghidupan, baik material maupun spiritual yang disertai dengan rasa keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir dan batin, yang pada akhirnya dapat memenuhi kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosialnya. (Sudarman Danim, 1995)

Dari pengertian diatas, maka dapat diambil suatu pengertian bahwa yang dimaksud dengan tingkat kesejahteraan adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan seseorang baik sosial material maupun spiritual yang disertai dengan rasa keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir dan batin sehingga dapat memenuhi kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosialnya.

2.10.1 Tahap kesejahteraan

Untuk mengetahui tingkat kesejahteraan, berdasarkan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang telah mengadakan program yang disebut dengan Pendataan Keluarga. Yang mana pendataan ini bertujuan untuk memperoleh data tentang dasar kependudukan dan keluarga dalam rangka program pembangunan dan pengentasan kemiskinan. Adapun pentahapan keluarga sejahtera tersebut ialah sebagai berikut:

A.Keluarga Pra Sejahtera yaitu keluarga-keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) secara minimal, seperti: kebutuhan spiritual, pangan, sandang, papan dan kesehatan atau keluarga yang belum dapat memenuhi salah satu indikator-indikator keluarga sejahtera I.

(20)

keseluruhan kebutuhan sosial psikologisnya, seperti: kebutuhan akan pendidikan, keluarga berencana, interaksi dalam keluarga, interaksi dengan lingkungan sekitar dan transportasi.

C.Keluarga Sejahtera II yaitu keluarga-keluarga yang disamping dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, juga telah dapat memenuhi kebutuhan sosial psikologisnya, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan pengembangan, seperti: menabung dan memperoleh informasi.

D.Keluarga Sejahtera III yaitu keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi keseluruhan kebutuhan dasar, kebutuhan sosial psikologisnya dan kebutuhan pengembangan, tetapi belum dapat memberikan sumbangan yang maksimal dan teratur bagi masyarakat dalam bentuk material, seperti: sumbangan materi untuk kepentingan sosial kemasyarakatan atau yayasan sosial, keagamaan, kesenian, olah raga, pendidikan dan lain sebagainnya.

E.Keluarga Sejahtera III Plus yaitu keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi seluruh kebutuhannya, baik yang bersifat dasar, sosial psikologis maupun pengembangan serta telah memberikan sumbangan yang nyata dan berkelanjutan bagi masyarakat.(www.bkkbn.go.id)

2.10.2 Indikator kesejahteraan

(21)

digunakan beberapa indikator yang telah digunakan oleh BKKBN, adapun beberapa indikator tersebut adalah sebagai berikut :

A. Keluarga Pra Sejahtera :

Keluarga yang tidak dapat memenuhi syarat-syarat sebagai keluarga sejahtera :

Keluarga Sejahtera I :

1. Melaksanakan ibadah menurut agama yang dianut masing-masing. 2. Makan dua kali sehari atau lebih.

3. Pakaian yang berbeda untuk berbagai keperluan. 4. Lantai rumah bukan dari tanah.

5. Jika anak sakit dibawa ke sarana/ petugas kesehatan. B. Keluarga Sejahtera II :

1. Anggota keluarga melaksanakan ibadah secara teratur menurut agama yang dianut masing-masing.

2. Minimal seminggu sekali keluarga tersebut menyediakan daging/ ikan/ telursebagai lauk pauk.

3. Memperoleh pakaian baru dalam setahun terakhir. 4. Luas lantai tiap penghuni rumah satu 8 m².

5. Anggota keluarga sehat dalam keadaan tiga bulan terakhir, sehingga dapat menjalankan fungsi masing-masing.

(22)

7. Bisa baca tulis latin bagi anggota keluarga dewasa yang berumur 10-60 tahun.

8. Seluruh anak yang berumur 7-15 tahun bersekolah pada saat ini. 9. Anak hidup dua atau lebih dan saat ini masih memakai alat

kontrasepsi. C. Keluarga Sejahtera III :

1. Keluarga mempunyai upaya untuk meningkatkan pengetahuan agama.

2. Keluarga mempunyai tabungan.

3. Keluarga biasanya makan bersama minimal sekali dalam sehari. 4. Turut serta dalam kegiatan masyarakat.

5. Keluarga mengadakan rekreasi bersama minimal sekali dalam 6 bulan.

6. Keluarga dapat memperoleh berita dari surat kabar/radio/televisi/majalah.

7. Anggota keluarga dapat menggunakan sarana transportasi. D. Keluarga Sejahtera III Plus :

1. Memberikan sumbangan secara teratur dan sukarela untuk kegiatan sosial masyarakat dalam bentuk materi.

2. Memenuhi kriteria A dan D.[10]

(23)

dan pembangunan keluarga sejahtera, maka penulis dapat mengetahui mana yang termasuk keluarga pra sejahtera, sejahtera I, sejahtera II dan sejahtera III serta sejahtera III plus. (www.bkkbn.go.id)

2.11Kerangka Konseptual

Dalam kerangka konseptual ini menjelaskan gambaran indikator – indikator yang akan di teliti seperti dampak konversi perkebunan ke kelapa sawit terhadap sosial dan ekonomi dalam penelitian ini aspek sosialnya yaitu tentang bagaimana dampak konversi perkebunan karet ke kelapa sawit terhadap lingkungan dan infrastruktur, sedangkan untuk aspek ekonominya adalah tentang bagaimana tingkat pendapatan masyarakat dan jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia,sehingga nantinya dapat menjelaskan berbagai dampak yang terjadi akibat konversi karet ke kelapa sawit Di Desa Batang Kumu.

Gambar 2.1Kerangka Konseptual Dampak Konversi Karet

Ke Kelapa Sawit

Ekonomi Sosial

Pendapatan Lingkungan

Lapangan kerja

Gambar

Tabel 2.1 Volume dan Nilai Ekspor CPO Tahun 2003-2013
Tabel 2.2 Sebaran Kelapa Sawit Menurut Provinsi Di Indonesia Tahun 2014
Grafik 2.1 Luas lahan dan produksi kelapa sawit Provinsi Riau
Tabel 2.3 Data Luas Perkebunan Kabupaten Rokan Hulu Tahun 2012
+2

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas antibakteri infusa daun mangga bacang ( Mangifera foetida L.) terhadap pertumbuhan Shigella flexneri ,

Balance Scorecardmerupakan sistem pengukuran kinerja komprehensif yang meliputi aspek keuangan dan aspek nonkeuangan.Langkah awal yang harus dilakukan adalah menetapkan bobot

Jarak sosial yang sudah menjadi norma di dalam kelompok akan dapat menimbulkan suatu kejadian bahwa orang berprasangka tanpa bergaul dulu dengan individu atau kelompok yang

Pengembangan kapas di Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Nusa Tenggara Barat dilakukan di lahan tadah hujan dengan musim hujan yang

Otonomi daerah sebagai suatu konsekuensi reformasi yang harus dihadapi oleh setiap daerah di Indonesia, terutama Kabupaten dan Kota sebagai unit pelaksana otonomi

Dalam usaha untuk menemukan marka molekuler atau segmen DNA yang berkaitan dengan fenotipe tertentu, penelitian untuk mengkaji asosiasi polimorfisme lokus

dan progesteron pada serviks, maka dapat menghasilkan cairan mukoid yang berlebihan, berwarna keputihan karena menggandung banyak sel epitel vagina. Berdasarkan uraian diatas

Peningktan kandungan Fe pada pasir besi pada ukuran partikel 20 mesh dengan lama penyinaran 30 menit dengan menggunakn input daya 800 watt yaitu sebesar 73.15%, maka