• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan Teknik Pengeringan terhadap Kandungan Nutrien Brachiaria humidicola, Gamal (Gliricidia sepium) dan Rumput Raja (Pennisetum purpureum x Pennisetum thypoides)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perbedaan Teknik Pengeringan terhadap Kandungan Nutrien Brachiaria humidicola, Gamal (Gliricidia sepium) dan Rumput Raja (Pennisetum purpureum x Pennisetum thypoides)"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

The Different Drying Techniques on Nutrient Quality of

Brachiaria humidicola, Gamal (Gliricidia sepium) and King Grass (Pennisetum purpureum x Pennisetum thypoides)

Sari, N., E. B. Laconi and A. D. Lubis

Forages feed is all feed ingredients derived from plants in the form of leaves, including the grass and legume. Forage is a fresh grass which is a major source of fiber that needed by ruminants (Prihatman, 2000), but recently the use of primary sources of fiber are still used by farmers depend on the grass at the field. In the rainy season the used of grass field may result water content contained in the tall grass, so to overcome this required the presence of a process of elimination or reduction of water content contained in these materials. One simple way is through the drying process. Forage feed used were Brachiaria humidicola, Gamal (Gliricidia sepium) and King grass (P. purpureum x P. thypoides) derived from Agrostologi Field Laboratory, Faculty of Animal Science, Bogor Agricultural University. Mechanical drying is done with the sun drying and oven drying 60°C for the intensity of drying time 7, 14 hours and 21 hours. The observed variables in this research were the loss weight of forage, loss of dry matter, dry matter, ash and organic matter content and crude protein. Data were analyzed used ANOVA, followed by Duncans test. The results showed that the differences in drying techniques influence the chemical composition of the resulting forages feed. Drying time of 21 hours of sun intensity (P3) can produce a good quality of nutrients to the amount of 88.91% dry matter (DM), 7.03% ash, 92.97% organic matter (BO) and 24, 61% crude protein (PK).

(2)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hijauan pakan merupakan bahan pakan yang berasal dari tanaman dalam bentuk daun-daunan, termasuk didalamnya adalah rumput dan leguminosa. Rumput merupakan hijauan segar yang merupakan sumber serat utama yang dibutuhkan oleh ternak ruminansia sebagai sumber energi (Prihatman, 2000). Beberapa contoh diantaranya adalah rumput Raja (P. purpureum x P. thypoides) dan Brachiaria humidicola. Kedua rumput ini mampu berproduksi tinggi, sedangkan Leguminosa digunakan sebagai hijauan makanan ternak karena mengandung nutrisi yang tinggi. Salah satu diantaranya adalah Gamal (Gliricidia sepium). Hingga saat ini penggunaan sumber serat utama yang digunakan oleh peternak masih bergantung pada rumput yang berada di lapang. Pada musim penghujan penggunaan rumput lapang dapat mengakibatkan jumlah kadar air yang terkandung dalam rumput tinggi. Kadar air tersebut apabila masih tersimpan dan tidak dihilangkan akan mempengaruhi kondisi fisik suatu bahan pakan, contohnya akan terjadinya pembusukan dan penurunan kualitas akibat masih adanya kadar air yang terkandung dalam bahan pakan. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan adanya suatu upaya penghilangan atau pengurangan kadar air yang terdapat dalam bahan pakan tersebut. Salah satu upaya yang dilakukan adalah pengeringan.

Pengeringan merupakan tahap awal dari adanya pengawetan. Di Indonesia teknik pengeringan yang paling banyak digunakan adalah pengeringan alami yaitu pengeringan menggunakan sinar matahari langsung. Pengeringan sinar matahari langsung merupakan teknik pengeringan yang murah dan mudah untuk dilakukan tetapi sering terkendala karena hujan. Musim penghujan dapat mempengaruhi kandungan nutrien hijauan pakan yang dihasilkan, misalnya jumlah kadar air yang tinggi, oleh sebab itu diperlukanlah beberapa teknik pengeringan buatan. Salah satu diantaranya adalah pengeringan oven.

(3)

Tujuan

(4)

TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Brachiaria humidicola

Brachiaria humidicola disebut juga dengan Brachiaria dictyoneura dengan nama umum rumput Koronivia. Brachiaria humidicola merupakan rumput tahunan berasal dari Afrika Selatan yang kemudian menyebar ke daerah Fiji dan Papua New Guinea (Skerman and River, 1990). Batang yang berkembang tingginya dapat mencapai 20-60 cm. Helai daun berwarna hijau terang (Bright green ) dengan panjang 12-25 cm dan lebar 5-6 mm (Jayadi, 1991). Rumput ini biasanya digunakan sebagai hijauan dalam padang penggembalaan permanen (Hanum, 1997). Bentuk Brachiaria humidicola dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Bentuk Brachiaria humidicola

Sumber : Forages fact sheets, 2005

(5)

Tabel 1. Kandungan Nutrien Brachiaria humidicola

BETN (Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen) 57,39

Sumber : Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Institut Pertanian Bogor. 2009

Karakteristik Gamal (Gliricidia sepium)

Gamal merupakan legum pohon yang tingginya mencapai 10 m dengan tipe daunnya berbentuk majemuk sederhana.Gamal memiliki bunga berbentuk kupu-kupu yang berwarna putih dan merah jambu (Rosa, 1998). Gamal dapat tumbuh baik pada kondisi iklim tropis basah dan untuk menghasilkan produksi yang tinggi dibutuhkan curah hujan yang tinggi sepanjang tahun. Legum ini dapat juga bertahan hidup pada musim kering yang panjang tetapi ukuran daunnya lebih kecil (Rosa, 1998). Penanaman gamal dapat dilakukan dengan menggunakan stek yaitu menggunakan batang yang mempunyai mata tunas dengan panjang ± 1 meter, ditanam pada kedalaman 15 cm. Waktu tanam sebaiknya dilakukan pada musim penghujan (Dinas Peternakan, 1999). Bentuk Gamal (Gliricidia sepium) dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Bentuk Gamal (Gliricidia sepium)

(6)

Kegunaan gamal dapat dijadikan sebagai tanaman pagar, pupuk hijau dan sebagai penahan erosi. Daun atau bagian tanaman yang dipangkas dapat digunakan sebagai hijauan makanan ternak yang dapat meningkatkan produktivitas ternak ruminansia seperti : sapi, kambing dan domba (Rossa, 1998). Penggunaan daun gamal sebagai hijauan makanan ternak ruminansia tidak mengakibatkan pengaruh negatif walaupun diberikan dalam jumlah banyak dan terus menerus, tetapi sebelum diberikan kepada ternak legum ini perlu dilakukan pelayuan terlebih dahulu dengan cara dijemur diatas lantai jemur atau alas tikar. Ternak yang belum terbiasa dengan daun Gamal perlu dilatih agar terbiasa dapat memakan daun Gamal sebagai kebutuhan pokoknya. Penggunaan daun Gamal (Gliricidia sepium) kurang disukai oleh ternak karena adanya bau seperti vanilla yang disebabkan oleh senyawa kumarin, khususnya pada daun yang masih basah (Dinas Peternakan, 1999). Gamal selain sebagai hijauan pakan ternak juga mempunyai banyak manfaat apabila ditanam dalam padang penggembalaan. Kegunaan lain dari legum ini adalah sebagai pemberantas alang-alang. Alang-alang akan binasa oleh naungan pohon gamal, hal ini disebabkan daun gamal memiliki akar yang dapat menembus tanah cukup dalam (Rossa, 1998). Kandungan Nutrien Gamal (Gliricidia sepium) diperlihatkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Kandungan Nutrien Gamal (Gliricidia sepium)

Kandungan Nutrien (%)

Karakteristik Rumput Raja (P. purpureum x P. thypoides)

(7)

25-30 cm dan memiliki dua mata tunas. Rumput Raja (P. purpureum x P. thypoides) memiliki batang yang keras dengan daun berbulu kasar serta memiliki bercak berwarna hijau muda. Bentuk Rumput Raja (P. purpureum x P. thypoides) dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Bentuk Rumput Raja (P. purpureum x P. thypoides)

Sumber : Forages fact sheets, 2005

Penanaman rumput Raja (P. pupureum x P. thypoides) dengan menggunakan stek harus diperhatikan yaitu tunas jangan sampai terbalik. Stek dapat langsung ditancapkan setengahnya ke dalam tanah tegak lurus atau miring dengan jarak tanamnya 1 x 1 m, untuk penanaman dengan menggunakan sobekan rumpun, perlu dibuat lubang sedalam 20 cm (Rukmana, 2005). Waktu tanam yang baik adalah pada awal sampai pertengahan musim hujan. Produksi hijauan rumput Raja (P. purpureum x P.thypoides) dua kali lipat dari produksi rumput Gajah yaitu mencapai 200-250 ton rumput segar/hektar/tahun (Rukmana, 2005). Pertumbuhan rumput Raja (P. purpureum x P. thypoides) dapat mengalahkan rumput Gajah (BPTHMT Baturaden, 1989). Kandungan nutrien rumput Raja (P. purpureum x P. thypoides) diperlihatkan pada Tabel 3.

Tabel 3. Kandungan Nutrien Rumput Raja (P. purpureum x P. thypoides)

Kandungan Nutrien (%)

Bahan Kering Protein Kasar

21,2 13,5

TDN (Total Digestible Nutrient) 54

Serat Kasar 34,1

(8)

Rumput sebagai Hijauan Makanan Ternak

Rumput memegang peranan penting dalam penyediaan pakan bagi ternak ruminansia di Indonesia. Rumput mengandung zat-zat makanan yang bermanfaat bagi kelangsungan hidup ternak, seperti air, lemak, serat kasar, beta protein, mineral serta vitamin. Umumnya peternak di pedesaan masih bertumpu pada cara-cara tradisional dengan mengandalkan rumput lapang sebagai sumber utama pakan ternak dengan jumlah yang terbatas. Keterbatasan pakan dapat menjadi penyebab utama populasi ternak di suatu daerah menurun. Kemampuan peternak dalam penyediaan pakan akan menentukan jumlah ternak yang dipelihara (Hutasoit, 2009).

Teknik Pengeringan

Pengeringan merupakan salah satu cara dalam teknologi pangan yang dilakukan dengan cara pengawetan (Rukmana, 2005). Pengeringan dapat menghasilkan produk dengan satu atau lebih produk, tergantung tujuan produk yang diinginkan, misalnya bentuk fisik (bubuk, pipih atau butiran), warna, rasa, dan strukturnya (Mujumdar, 2008). Salah satu tujuan pengeringan adalah untuk mengurangi kadar air bahan sampai batas dimana perkembangan mikroorganisme dan kegiatan enzim yang dapat menyebabkan pembusukan terhambat atau terhenti. Bahan yang dikeringkan biasanya mempunyai waktu simpan yang lebih lama. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengeringan ada 2 faktor, yaitu : faktor yang berhubungan dengan udara pengering (suhu, kelembaban udara) dan faktor yang berhubungan dengan sifat bahan (ukuran bahan, kadar air awal) (Rukmana, 2005).

Pengeringan Matahari (Sun Drying)

(9)

Gambar 4. Bentuk Hasil Pengeringan Hijauan dengan Menggunakan Sinar Matahari

Sumber : Dokumentasi Penelitian

Pengeringan Oven (Oven Drying)

Oven adalah alat untuk memanaskan, memanggang dan mengeringkan. Oven dapat digunakan sebagai alat pengering apabila dengan kombinasi pemanas dengan humidity rendah dan sirkulasi udara yang cukup. Pengeringan menggunakan oven (oven drying) lebih cepat dibandingkan dengan pengeringan menggunakan matahari akan tetapi, kecepatan pengeringan tergantung dari tebal bahan yang dikeringkan. Kelebihan pengeringan menggunakan oven diantaranya dapat dipertahankan dan diatur suhunya selain itu, dapat melindungi bahan pangan dari serangan serangga dan debu (Hui, 2007). Pengeringan dengan menggunakan oven tidak disarankan untuk pengeringan bahan pangan karena sulit untuk mengontrol suhu rendah dan pangan yang dikeringkan lebih rentan hangus (Hughes and Willenberg, 1994). Salah satu contoh pengeringan dengan menngunakan oven dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Pengeringan dengan Menggunakan Oven

(10)

Hasil Penelitian tentang Pengeringan

Menurut Krissetiana (1996) pengeringan labu kuning dengan menggunakan matahari dapat dilakukan selama 4-6 hari, hal ini disebabkan pengeringan matahari sangat tergantung pada cuaca, namun apabila pengeringan dilakukan dengan menggunakan oven 50°C waktu pengeringan yang diperlukan hanya 48 jam.

Penelitian Hove et al., (2003) menunjukkan bahwa perbedaan teknik pengeringan dengan menggunakan metode pengeringan di bawah naungan, matahari langsung dan oven dapat menghasilkan terjadinya perbedaan kandungan nutrien pada tanaman semak Akasia dan Kaliandra. Penelitian lain untuk mengetahui efek pengeringan terhadap tanaman rami menunjukkan bahwa pengeringan matahari 21 jam dan pengeringan efek rumah kaca 14 jam dapat menghasilkan hay dengan kandungan bahan kering (BK) >86% atau kadar air (KA) <14%. Suhu pengeringan 50, 60, dan 70°C pada oven juga menghasilkan hay dengan kandungan bahan kering (BK) >86% atau kadar air (KA) <14% (Noveni, 2009).

(11)

MATERI DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juli sampai dengan Oktober 2011 di Laboratorium Lapang Agrostologi dan Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Materi Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Brachiaria humidicola, Gamal (Gliricidia sepium) dan rumput Raja (P. purpureum x P. thypoides) yang berasal dari Laboratorium Lapang Agrostologi, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi seperangkat alat untuk analisis kadar air (oven 105oC, cawan alumunium, timbangan listrik, eksikator), kadar abu (tanur 400-6000C, cawan porselen, timbangan listrik, eksikator), kadar protein (timbangan listrik, labu destruksi, Erlenmeyer 250 ml, gelas ukur 50 ml, labu destilasi, buret, Kjeldhal Titration Set, Kjeldahl Nitrogen Digesting), terpal, termometer, pisau, timbangan digital, oven 60°C, mesin giling (Hammer mill), kertas label, plastik, kantong kertas.

Prosedur

Tahap Persiapan. Tahap ini meliputi tahap persiapan alat dan hijauan pakan yang digunakan dalam penelitian. Masing-masing sampel hijauan pakan ditimbang sebanyak 500 g per unit percobaan, kemudian sampel tersebut dipotong-potong 5 cm.

(12)

Gambar 6. Cara Pengeringan Matahari

Sumber : Dokumentasi Penelitian

Pengeringan dengan menggunakan Oven 60°C. Hijauan pakan yang telah dipotong langsung dimasukkan ke dalam kantong kertas untuk dilakukan pengeringan menggunakan oven 60°C dengan intensitas waktu pengeringan 7, 14 dan 21 jam. Selanjutnya masing-masing hijauan pakan dilakukan analisis nutrien yang terdiri atas kadar air, abu dan bahan organik (BO) serta protein kasar (PK). Cara pengeringan oven 60°C diperlihatkan pada Gambar 7.

Gambar 7. Cara Pengeringan Oven 60°C

Sumber : Dokumentasi Penelitian

Analisis Kadar Air (AOAC, 1999). Cawan dipanaskan terlebih dahulu ± 1 jam pada oven 105 °C dan didinginkan dalam eksikator ± 15 menit lalu timbang berat cawan. Sampel ditimbang sebanyak 3 gram kemudian dimasukkan ke dalam cawan. Cawan yang telah berisi sampel dimasukkan ke dalam oven 105 °C selama ± 4-6 jam (sampai tercapai bobot tetap). Setelah itu sampel diangkat, didinginkan dalam eksikator selama 15 menit lalu ditimbang untuk mengetahui beratnya. Kadar air dihitung dengan rumus :

(13)

Kadar Abu (%) = x 100%

Analisis Kadar Abu (AOAC, 1999). Cawan yang digunakan dipanaskan terlebih dahulu ke dalam oven 105° C, didinginkan dalam eksikator kemudian timbang berat cawannya (X). Sampel ditimbang ± 3 gram, dimasukkan ke dalam cawan kemudian ditimbang (Y). Sampel dibakar di atas hot plate sampai tidak berasap, lalu dimasukkan ke dalam tanur. Sampel diangkat dan didinginkan dalam eksikator selama 15 menit kemudian ditimbang untuk mengetahui berat akhirnya (Z).

Analisis Bahan Organik (AOAC, 1999). Bahan organik adalah selisih bahan kering dan abu yang secara kasar mengandung karbohidrat, lemak dan protein (AOAC, 1999). Persen bahan organik (BO) dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Analisis Kadar Protein Kasar (AOAC, 1999). Sampel ditimbang ± 0.3 gram, ditambahkan ± 1.5 gram katalis Selenium Mixture. Sampel dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl lalu ditambahkan 20 ml H2SO4 pekat, kemudian didestruksi sampai

warna larutan menjadi hijau kekuning-kuningan dan jernih kemudian didinginkan selama ± 15 menit. Sebanyak 300 ml aquadest ditambahkan ke dalam sampel tersebut lalu didinginkan. Sebelum melakukan proses destilasi sampel ditambahkan 100 ml NaOH 40 %. Hasil destilasi ditampung dengan 10 ml H2SO4 0.1 N yang

sudah ditambah 3 tetes indikator campuran Methylen Blue and Methylen Red. Proses titrasi dengan ditambahkan NaOH 0.1 N sampai terjadi perubahan warna dari ungu menjadi kebiru-biruan. Penetapan blangko : pipet 10 ml H2SO4 0.1 N dan ditambah 2

tetes indikator PP kemudian titrasi dengan menggunakan NaOH 0.1 N.

Kadar Protein (%) = (ml blanko- ml sampel) x N NaOH x 14 x 6.25 x 100% berat sampel (mg)

(14)

Yi j k = μ + αi + βj + (αβ) i j + εi j k Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan

Acak Lengkap (RAL) berpola Faktorial 6 x 3, 3 ulangan yang terdiri dari 2 faktor, faktor A : teknik pengeringan dan faktor B : sampel hijauan pakan (Brachiaria

humidicola, Gamal (Gliricidia sepium) dan rumput Raja (P. purpureum x P. thypoides)) .

Model statistik yang digunakan adalah sebagai berikut :

Keterangan:

Yi j k =Hasil pengamatan untuk faktor A taraf ke i, faktor B taraf ke j dan pada

ulangan ke k.

μ = Nilai tengah umum.

αi = Pengaruh faktor A pada taraf ke i.

βj = Pengaruh faktor B pada taraf ke j.

(αβ) I = Pengaruh interaksi AB pada taraf ke i (dari faktor A), dan taraf ke j (dari

faktor ke B).

ε i j k = Pengaruh acak (galat percobaan) pada taraf ke i (faktor A) taraf ke j (faktor

B), interaksi AB yang ke i dan ke j dan ulangan ke k. Perlakuan yang digunakan pada penelitian ini antara lain: P1 = Pengeringan matahari selama 7 jam

(15)

Peubah yang Diamati

Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah bobot kering, kehilangan bahan kering, bahan kering (BK), kadar abu, bahan organik (BO) dan protein kasar (PK).

Analisis Data

(16)

Skema Penelitian

Alur pelaksanaan penelitian dapat dilihat pada skema dibawah ini. Pakan Hijauan

Penimbangan (500 g)

Gambar 8. Skema Penelitian Pemotongan (5 cm)

Pengeringan Matahari 7, 14 dan 21 jam

Pengeringan Oven 60o C 7, 14 dan 21 jam

Penimbangan

Penggilingan (Hammer mill)

(17)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Lingkungan selama Proses Pengeringan

Kondisi lingkungan merupakan aspek penting saat terjadinya proses pengeringan. Proses pengeringan dapat memberikan pengaruh terhadap sifat fisik dan kandungan nutrien hijauan pakan yang dihasilkan. Secara umum kedua teknik pengeringan dengan intensitas waktu 7, 14 dan 21 jam dapat menurunkan kadar air hijauan pakan yang dihasilkan. Suhu merupakan ukuran panas atau dinginnya suatu benda (Tiwari dan Goyal, 1998). Pada penelitian ini suhu pengeringan diukur setiap 1 jam untuk pengeringan matahari. Rataan suhu pada saat pengeringan matahari berkisar antara 30,37-33,62°C. Data suhu yang didapat cenderung fluktuatif. Menurut Anne (2007) fluktuasi suhu udara dapat disebabkan oleh adanya keseimbangan antara panas yang diperoleh dari radiasi surya dengan panas yang hilang dari permukaan bumi. Rataan suhu pengeringan matahari pada saat penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Rataan Suhu Pengeringan Matahari pada Saat Penelitian

Perlakuan Suhu (°C)

Waktu (Jam) 09.00 12.00 16.00

Pengeringan Matahari 30,37 33,62 31,68

(18)

Tabel 5. Kondisi Lingkungan Wilayah Bogor

Kondisi Lingkungan Nilai

Suhu (°C) 23-32

Kelembaban Udara (%) 62-95

Kecepatan Angin (km/jam) (10-30 km/jam)

Sumber : Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), 2011

Bobot Kering Hijauan Pakan setelah Proses Pengeringan

Pada penelitian ini teknik pengeringan yang digunakan adalah pengeringan matahari dan pengeringan oven 60°C dengan intensitas waktu 7, 14 dan 21 jam. Hijauan pakan setelah mengalami proses pengeringan berwarna hijau kecoklatan, berbau khas hijauan dan teksturnya masih berbentuk daun (tidak berubah) namun tidak segar lagi, hal ini disebabkan kadar air yang terdapat pada hijauan pakan telah diambil pada saat pengeringan (Renny, 2005). Rataan bobot kering hijauan pakan setelah proses pengeringan diperlihatkan pada Tabel 6.

Tabel 6. Rataan Bobot Kering Hijauan Pakan setelah Proses Pengeringan (g/500g) Perlakuan Brachiaria humidicola Gamal Rumput Raja

P1 393,33±5,77BC 386,67±11,54C 303,33±5,77EFG

P2 403,33±5,77ABC 403,33±5,77ABC 320±0E

P3 406,67±5,77AB 416,67±5,77A 360±10D

P4 293,33±11,54G 200±0I 200±10I

P5 310±0EFG 300±0FG 266,67±28,86H

P6 343,33±11,54D 316,67±5,77EF 310±10EFG

Keterangan : Superskrip yang berbeda menunjukkan sangat berbeda nyata (P<0,01), P1=Pengeringan matahari selama 7 jam, P2 = Pengeringan matahari selama 14 jam, P3 = Pengeringan matahari selama 21 jam, P4 = Pengeringan oven 60º C selama 7 jam, P5 = Pengeringan oven 60º C selama 14 jam, P6 = Pengeringan oven 60º C selama 21 jam

(19)

dengan menggunakan pengeringan matahari 21 jam (P3). Tingginya bobot kering pada hijauan pakan tersebut dapat disebabkan oleh pengeringan matahari yang merupakan pengeringan terbuka sehingga dapat mempengaruhi tingginya jumlah bobot kering hijauan pakan yang dihasilkan. Hasil ini sesuai dengan pendapat Soewarno (1990) yang menyatakan bahwa pada saat pengeringan matahari/pengeringan tempat terbuka energi panas untuk penguapan air tidak semata-mata berasal dari sinar semata-matahari langsung melainkan faktor-faktor lain di sekitar tempat penjemuran juga mempengaruhi, seperti sifat bahan yang dikeringkan, cara penjemuran (adanya pembalikan), ukuran bahan. Pada pengeringan matahari mudah untuk dilakukan pembalikan, dengan adanya pembalikan dapat mempengaruhi tingginya bobot kering hijauan pakan tersebut. Selain itu menurut Soewarno (1990) angin yang kencang juga dapat mempercepat proses pengeringan. Menurut Noveni (2009) jumlah bobot kering pada pengeringan matahari cenderung meningkat dengan meningkatnya intensitas cahaya matahari.

Rataan bobot kering hijauan pakan pada pengeringan oven 60°C berkisar antara 200 –343,33 g/500g hijauan pakan. Hasil yang didapat cenderung lebih rendah dibandingkan dengan pengeringan menggunakan matahari, hal ini dapat disebabkan panas yang didapat selama proses pengeringan tidak merata. Sesuai dengan pendapat Winarno et al., (1980) yang menyatakan bahwa pengeringan dengan menggunakan suhu yang tinggi dapat mengakibatkan pengeringan yang tidak merata (bagian luar kering bagian dalamnya masih basah). Fenomena ini sering disebut dengan Case Hardening. Pada penelitian ini laju bobot kering yang dihasilkan tidak fluktuatif, tetapi cenderung naik dengan meningkatnya intensitas lama waktu pengeringan.

(20)

dapat memberikan pengaruh terhadap bobot kering yang dihasilkan. Semakin lama intensitas waktu pengeringan yang digunakan, baik pengeringan matahari ataupun oven 60°C maka semakin tinggi bobot kering hijauan pakan yang dihasilkan. Selain itu, ketiga jenis hijauan pakan yang digunakan memiliki morfologi yang berbeda-beda.

Kehilangan Bahan Kering

Proses pengeringan juga dapat menyebabkan terjadinya kehilangan bahan kering pada hijauan pakan. Persentase kehilangan bahan kering hijauan pakan setelah proses pengeringan berkisar antara 0,73-31,54% baik pada pengeringan matahari ataupun oven 60°C dengan intensitas waktu 7, 14 dan 21 jam. Persentase kehilangan bahan kering tertinggi terdapat pada rumput Raja (P. purpureum x P. thypoides), sedangkan kehilangan bahan kering terendah pada Brachiaria humidicola. Hasil ini sesuai dengan penelitian Rudy (2011) yang menyatakan bahwa jumlah kehilangan bahan kering terbesar pada rumput Raja (P. pupureum x P. thypoides) sebesar 32,50±3,96% yang dipotong pada saat malam hari. Menurut McDonald (1991) jumlah kehilangan bahan kering yang sesuai standar yaitu 7-40%. Persentase kehilangan bahan kering hijauan pakan setelah proses pengeringan diperlihatkan pada Tabel 7.

Tabel 7. Persentase Kehilangan Bahan Kering Hijauan Pakan setelah Proses Pengeringan (%)

Perlakuan Brachiaria humidicola Gamal Rumput Raja

P1 1,68±1,09K 7,09±1,97IJ 14,06±0,95EF

P2 0,73±0,57K 9,86±1,05GHI 11,35±0,11FGH

P3 1,09±0,44K 12,39±1,01EFG 4,17±1,81JK

P4 18,56±1,86CD 25,86±0,25B 31,54±1,93A

P5 15,58±0,49DE 8,52±0,18HI 21,23±5,61C

P6 10,49±1,98FGHI 6,85±1,16IJ 13,03±1,96EFG

(21)

Persentase kehilangan bahan kering hijauan pakan pada pengeringan matahari cenderung lebih rendah dibandingkan dengan pengeringan oven 60°C. Kehilangan bahan kering pada pengeringan matahari disebabkan oleh pengeringan matahari yang merupakan pengeringan terbuka, sehingga jumlah pakan yang tercecer cukup tinggi. Hasil ini sesuai pendapat Rahmawan (2001) yang menyatakan bahwa salah satu kelemahan pada pengeringan matahari/penjemuran kemungkinan terjadinya kehilangan bahan kering cukup tinggi, hal ini disebabkan adanya pakan yang tercecer dan gangguan oleh ternak/ burung selama proses pengeringan. Pada pengeringan oven 60oC jumlah kehilangan bahan kering yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan pada pengeringan matahari terutama pada P4 (pengeringan ovenoC selama 7 jam). Menurut Rudy (2011) jumlah kehilangan bahan kering pada silase dapat disebabkan oleh aktivitas bakteri asam laktat yang akan memanfaatkan gula-gula sederhana. Kehilangan bahan kering tidak hanya disebabkan oleh bakteri asam laktat saja, tetapi juga dapat disebabkan oleh proses respirasi dan proteolisis yang terjadi pada awal ensilase, serta adanya kehilangan melalui cairan (effluent), akibatnya kadar air akan meningkat dan bahan kering akan turun (Lendrawati, 2008).

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan teknik pengeringan dan jenis hijauan pakan memberikan pengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap kehilangan bahan kering yang dihasilkan. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa secara perlakuan P4 (pengeringan ovenoC selama 7 jam) nyata dapat meningkatkan kehilangan bahan kering (BK) ketiga hijauan pakan tersebut. Interaksi antara teknik pengeringan dan jenis hijauan pakan yang digunakan dapat memberikan pengaruh terhadap persentase kehilangan bahan kering (BK). Selain teknik pengeringan, hijauan pakan yang digunakan juga dapat mempengaruhi tingginya kehilangan bahan kering (BK), ketiga jenis hijauan pakan tersebut memiliki morfologi yang berbeda-beda.

Kandungan Nutrien

Bahan Kering (BK)

(22)

berubah) namun tidak segar lagi, hal ini disebabkan kadar air yang terdapat pada bahan pakan telah diambil pada saat pengeringan (Renny, 2005). Bahan kering (BK) sangat mempengaruhi jumlah kadar air suatu bahan pangan. Kadar air merupakan parameter jumlah air yang terkandung dalam bahan pangan (Renny, 2005). Persentase bahan kering (BK) yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar antara 86,33-92,31% baik pada pengeringan matahari ataupun oven 60°C dengan intensitas waktu pengeringan 7, 14 dan 21 jam. Persentase bahan kering (BK) hijauan pakan setelah proses pengeringan diperlihatkan pada Tabel.8.

Tabel 8. Persentase Bahan Kering (BK) Hijauan Pakan setelah Proses Pengeringan (100% BK)

Perlakuan Brachiaria humidicola Gamal Rumput Raja

P1 87,85 ±1,09ABA 88,60± 0,40ABB 89,64±0,51ABA

P2 88,63 ± 0,18ABA 88,07 ±0,27ABB 90,42±0,31ABA P3 87,65 ± 0,12ABA 88,48 ±0,50ABB 90,61±0,12ABA

P4 88,11 ± 0,41BA 86,58 ± 0,32BB 87,90 ±3,22BA

P5 88,79 ± 0,46ABA 86,33± 1,31ABB 90,86 ±1,04ABA

P6 92,31 ± 1,05AA 88,43 ± 0,19AB 90,11±3,17AA

Keterangan : Superskrip yang berbeda menunjukkan sangat berbeda nyata (P<0,01), P1 = Pengeringan matahari selama 7 jam, P2 = Pengeringan matahari selama 14 jam, P3 = Pengeringan matahari selama 21 jam, P4 = Pengeringan oven 60º C selama 7 jam, P5 = Pengeringan oven 60º C selama 14 jam, P6 = Pengeringan oven 60º C selama 21

(23)

proses pengeringan dapat ditandai dengan adanya kecenderungan naik pada saat awal laju pengeringan kemudian menurun. Rata-rata suhu pengeringan matahari pada saat penelitian berkisar antara 30,37-33,62°C.

Pengeringan menggunakan oven 60°C selama 21 jam (P6) dapat menyebabkan jumlah kadar air yang berkurang cukup tinggi dibandingkan dengan pengeringan matahari, hal ini dapat disebabkan pada saat pengeringan oven 60°C terjadinya proses penguapan air. Rendahnya kadar air hijauan pakan terutama Brachiaria humidicola pada perlakuan P6 (pengeringan oven 60°C selama 21 jam) juga dapat disebabkan oleh suhu pengeringan yang tinggi serta kelembaban udara di dalam oven yang terlalu rendah, hal tersebut mempercepat pelepasan kandungan air dari hijauan pakan yang dikeringkan. Berbeda dengan pengeringan matahari yang memiliki suhu yang rendah dengan tingkat kelembaban udara yang tinggi sehingga proses penguapan air dari bahan lebih kecil dan proses pengeringan berjalan lebih lambat. Hasil ini sesuai dengan pendapat Ardiansyah (2004) yang menyatakan bahwa rata-rata kadar air untuk metode penjemuran lebih tinggi dibandingkan dengan metode pengeringan rak, hal ini disebabkan pada saat penjemuran panas yang diterima oleh bahan tidak konstan sehingga proses perpindahan air dan uap berjalan lambat akibat perbedaan konsentrasi atau tekanan uap.

(24)

Interaksi antara teknik pengeringan dengan hijauan pakan memberikan pengaruh terhadap bahan kering (BK) yang dihasilkan. Hal ini dapat diartikan bahwa bahan kering (BK) yang dihasilkan dipengaruhi oleh teknik pengeringan matahari dan oven 60°C intensitas waktu 7, 14 dan 21 jam dan hijauan pakan yang digunakan. Pada pengeringan oven 60°C dengan semakin lama intensitas waktu pengeringan maka bahan kering (BK) yang dihasilkan semakin tinggi terutama pada Brachiaria humidicola. Tingginya bahan kering (BK) Brachiaria humidicola pada perlakuan P6 (pengeringan oven 60°C selama 21 jam) dapat disebabkan oleh suhu pengeringan yang tinggi dan morfologi dari hijauan pakan yang digunakan. Brachiaria humidicola memiliki daun yang tidak lebar dan tidak berbulu yang memudahkan terjadinya proses penguapan air.

Kadar Abu

Abu dapat digunakan untuk menentukan nilai gizi suatu bahan pangan. Kandungan abu suatu bahan pangan berhubungan dengan kandungan mineral di dalamnya (Herniawan, 2010). Semakin tinggi kandungan abu yang terkandung dalam suatu bahan pangan maka kandungan mineral yang dihasilkan semakin banyak. Selama proses pembakaran, bahan-bahan organik terbakar, tetapi zat anorganiknya tidak terbakar karena itulah disebut abu (Herniawan,2010). Persentase abu hijauan pakan setelah proses pengeringan diperlihatkan pada Tabel 9.

Tabel 9. Persentase Abu Hijauan Pakan setelah Proses Pengeringan (100 %BK) Perlakuan Brachiaria humidicola Gamal Rumput Raja

P1 4,42±0,63HI 6,43±0,37DEF 7,79±0,73AB

P2 5,23±0,98GH 6,60±0,32CDE 7,88±0,41A

P3 5,74±0,54EFG 6,84±0,39BCD 8,51±0,25A

P4 5,54±0,48FG 5,03±0,37GHI 7,75±0,59AB

P5 4,16±0,62I 5,56±0,71FG 7,56±0,35ABC

P6 6,68±0,28CDE 4,84±0,26GHI 7,47±0,04ABC

(25)

Persentase abu yang terkandung dalam hijauan pakan berkisar antara 4,16-8,51% dengan kata lain rataan kadar abu dalam penelitian ini menunjukkan <10%. Secara umum pengeringan matahari menghasilkan abu yang relatif cukup tinggi, hal tersebut dapat terlihat pada perlakuan P3 (pengeringan matahari selama 21 jam) abu yang dihasilkan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan pengeringan matahari 7 dan 14 jam. Persentase abu tertinggi terdapat pada rumput Raja (P. purpureum x P. thypoides) perlakuan P3 (pengeringan matahari selama 21 jam) yaitu 8,51%. Tingginya abu dapat disebabkan oleh pengeringan matahari yang merupakan pengeringan terbuka sehingga debu atau kotoran yang masuk selama proses pengeringan sulit untuk dikontrol, hal ini sesuai dengan pendapat Herniawan (2010) yang menyatakan bahwa proses pengeringan yang dilakukan pada tempat terbuka memungkinkan terjadinya kontaminasi oleh bahan pengotor seperti debu yang mempengaruhi bertambahnya kandungan abu. Menurut Fery (2006) kadar abu dapat terbentuk dari kotoran atau debu yang masuk selama proses pengeringan. Persentase abu hijauan pakan pada pengeringan oven 60°C relatif lebih rendah dibandingkan dengan pengeringan matahari. Dapat dilihat pada perlakuan P5 (pengeringan oven 60°C selama 14 jam) dapat menurunkan abu Brachiaria humidicola (4,16%). Menurut Herniawan (2010) pengeringan oven merupakan pengeringan yang bersifat tertutup sehingga rendah untuk terjadinya kontaminasi oleh komponen pengotor seperti batu atau debu.

Hasil analisis statistik menggunakan sidik ragam menunjukkan bahwa kedua jenis teknik pengeringan dengan intensitas waktu pengeringan yang berbeda dan hijauan pakan yang digunakan memberikan pengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap persentase abu yang dihasilkan. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perbedaan intensitas lamanya waktu pengeringan pada pengeringan matahari terutama pada perlakuan P3 (pengeringan matahari selama 21 jam) nyata dapat meningkatkan persentase abu pada hijauan pakan yang dihasilkan.

(26)

pengeringan dapat meningkatkan persentase abu pada hijauan pakan yang dihasilkan. Tingginya kadar abu terutama pada rumput Raja (P. purpureum x P. thypoides) pada pengeringan matahari selama 21 jam (P3) dapat terbentuk dari kotoran yang masuk selama proses pengeringan. Selain teknik pengeringan, hijauan pakan yang digunakan juga dapat mempengaruhi tingginya abu. Rumput Raja (P. purpureum x P. thypoides) memiliki helai daun yang tipis, sehingga saat dikeringkan menjadi rapuh dan mudah terbang menjadi abu.

Bahan Organik

Bahan organik merupakan selisih antara bahan kering dan abu yang secara kasar merupakan kandungan karbohidrat, lemak dan protein (AOAC, 1999). Pada penelitian ini persentase bahan organik (BO) hijauan pakan yang dihasilkan berkisar antara 91,49-95,84% baik pada pengeringan matahari ataupun oven 60°C dengan intensitas waktu 7, 14 dan 21 jam. Persentase bahan organik (BO) hijauan pakan setelah proses pengeringan diperlihatkan pada Tabel 10.

Tabel 10. Persentase Bahan Organik Hijauan Pakan setelah Proses Pengeringan (100% BK)

Perlakuan Brachiaria humidicola Gamal Rumput Raja

P1 95,58±0,63A 93,57±0,37CDE 92,21±0,73GHI

P2 94,77±0,98AB 93,40±0,32DEF 92,12±0,41HI

P3 94,26±0,54BCD 93,16±0,39EFG 91,49 ±0,24I

P4 94,46±0,48BC 94,97±0,37AB 92,25±0,59GHI

P5 95,84±0,63A 94,44±0,71BC 92,44±0,35FGHI

P6 93,32±0,28DEF 95,16±0,26AB 92,53±0,04FGH

Keterangan : Superskrip yang berbeda menunjukkan sangat berbeda nyata (P<0,01), P1 Pengeringan matahari selama 7 jam, P2 = Pengeringan matahari selama 14 jam, P3 = Pengeringan matahari selama 21 jam, P4 = Pengeringan oven 60º C selama 7 jam, P5 = Pengeringan oven 60º C selama 14 jam, P6 = Pengeringan oven 60º C selama 21 jam

(27)

pada saat penelitian. Hasil ini sesuai dengan pendapat Fery (2006) yang menyatakan bahwa suhu yang tinggi dapat meningkatkan jumlah bahan organik (BO) pada tanaman obat Sambiloto (Andrographis paniculata Nees). Selain itu jenis hijauan pakan yang digunakan juga dapat mempengaruhi tingginya bahan organik (BO). Brachiaria humidicola memiliki struktur daun yang cukup kuat sehingga proses dekomposisi berjalan lambat dan bahan organik (BO) tetap terjaga. Persentase bahan organik (BO) berbanding terbalik dengan kadar abu hijauan pakan yang dihasilkan. Semakin tinggi bahan organik (BO) maka semakin rendah kadar abu yang dihasilkan. Pada perlakuan P5 (pengeringan oven 60°C selama 14 jam) bahan organik (BO) yang dihasilkan relatif tinggi terutama pada Brachiaria humidicola, hal ini menunjukkan bahwa kadar abu yang terdapat pada hijauan pakan tersebut cukup rendah.

Hasil analisis statistik menggunakan sidik ragam menunjukkan bahwa kedua teknik pengeringan dengan intensitas waktu pengeringan yang berbeda dan jenis hijauan pakan memberikan pengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap persentase bahan organik (BO) yang dihasilkan. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan P5 (pengeringan oven 60°C selama 14 jam) dapat meningkatkan bahan organik (BO) pada Brachiaria humidicola, sedangkan pada perlakuan P3 (pengeringan matahari selama 21 jam) nyata dapat menurunkan bahan organik ketiga hijauan pakan tersebut (Brachiaria humidicola, rumput Raja (P. purpureum x P. thypoides) dan gamal (Gliricidia sepium)).

(28)

Protein Kasar

Protein adalah senyawa yang mengandung nitrogen. Sumber protein khususnya untuk ternak ruminansia dapat berasal dari tanaman, hal ini karena tanaman mampu mensintesis protein dengan cara mengkombinasikan nitrogen dan air dari dalam tanah serta CO2 dari udara (Asngad, 2005). Persentase protein kasar

dari ketiga hijauan pakan yang dihasilkan berkisar antara 6,5-24,93% baik pada pengeringan matahari ataupun oven 60°C intensitas waktu 7, 14 dan 21 jam. Persentase protein kasar (PK) hijauan pakan setelah proses pengeringan diperlihatkan pada Tabel 11.

Tabel 11. Persentase Protein Kasar (PK) Hijauan Pakan setelah Proses Pengeringan (100% BK)

Perlakuan Brachiaria humidicola Gamal Rumput Raja

P1 8,70 ±0,37C 20,88 ±1,97A 11,84 ±0,36B (P<0,01), P1 = Pengeringan matahari selama 7 jam, P2 = Pengeringan matahari selama 14 jam, P3 = Pengeringan matahari selama 21 jam, P4 = Pengeringan oven 60º C selama 7 jam, P5 = Pengeringan oven 60º C selama 14 jam, P6 = Pengeringan oven 60º C selama 21 jam

(29)

meningkatnya umur suatu tanaman. Secara umum jenis leguminosa yaitu Gamal (Gliricidia sepium) memiliki kandungan protein yang lebih tinggi dibandingkan dengan Brachiaria humidicola dan rumput Raja (P. purpureum x P. thypoides). Hasil ini sesuai dengan pendapat Ferry (2006) yang menyatakan bahwa rumput-rumputan mengandung protein kasar lebih rendah dibandingkan dengan leguminosa. Leguminosa memiliki bintil-bintil pada akar yang digunakan sebagai pensuplai nitrogen. Menurut Winarno et al., (1980) penurunan protein kasar juga dapat disebabkan oleh reaksi Browning. Reaksi Browning terjadi karena adanya reaksi antara asam-asam amino dengan gula pereduksi. Reaksi ini ditandai dengan perubahan warna kecoklatan yang terjadi pada hijauan pakan setelah mengalami proses pengeringan. Semakin lama proses pengeringan maka semakin lama reaksi browning itu terjadi, sehingga jumlah protein kasar akan menurun.

Hasil analisa statistik menggunakan sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan teknik pengeringan tidak memberikan pengaruh nyata, sedangkan hijauan pakan yang digunakan memberikan pengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap protein kasar yang dihasilkan. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa Gamal (Gliricidia sepium) nyata mengandung protein kasar yang lebih tinggi dibandingkan dengan dengan Brachiaria humidicola dan rumput Raja (P.purpureum x P. thypoides).

(30)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Perbedaan teknik pengeringan memberikan pengaruh terhadap bobot kering, kehilangan bahan kering, persentase bahan kering (BK), abu dan bahan organik (BO) hijauan pakan, namun teknik pengeringan tidak memberikan pengaruh terhadap protein kasar hijauan pakan yang dihasilkan. Secara umum pengeringan matahari selama 21 jam (P3) dapat menghasilkan kualitas nutrien yang baik dengan persentase bahan kering (BK) 88,91%, abu 7,03%, bahan organik (BO) 92,97% dan protein kasar (PK) 24,61%.

Saran

(31)

PERBEDAAN TEKNIK PENGERINGAN TERHADAP

KANDUNGAN NUTRIEN

Brachiaria humidicola

,

GAMAL (

Gliricidia sepium

) DAN RUMPUT RAJA

(Pennisetum purpureum x Pennisetum thypoides)

SKRIPSI NURMALA SARI

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(32)

PERBEDAAN TEKNIK PENGERINGAN TERHADAP

KANDUNGAN NUTRIEN

Brachiaria humidicola

,

GAMAL (

Gliricidia sepium

) DAN RUMPUT RAJA

(Pennisetum purpureum x Pennisetum thypoides)

SKRIPSI NURMALA SARI

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(33)

RINGKASAN

NURMALA SARI. D24070208. 2012. Perbedaan Teknik Pengeringan terhadap Kandungan Nutrien Brachiaria humidicola, Gamal (Gliricidia sepium) dan Rumput Raja (Pennisetum purpureum x Pennisetum thypoides). Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Prof. Dr. Ir. Erika B Laconi, MS. Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Ahmad Darobin Lubis, MSc.

Hijauan pakan merupakan bahan pakan yang berasal dari tanaman dalam bentuk daun-daunan, termasuk didalamnya rumput dan leguminosa. Rumput merupakan hijauan segar sebagai sumber serat utama yang dibutuhkan oleh ternak ruminansia (Prihatman, 2000). Hingga saat ini penggunaan sumber serat utama yang digunakan oleh peternak masih bergantung pada rumput yang berada di lapang. Pada musim penghujan penggunaan rumput lapang dapat mengakibatkan kadar air yang terkandung dalam rumput tinggi, sehingga diperlukan adanya suatu upaya penghilangan atau pengurangan kadar air yang terdapat dalam bahan pakan tersebut. Salah satu upaya yang dilakukan adalah pengeringan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi waktu dan teknik pengeringan yang efektif terhadap kandungan nutrien hijauan pakan Brachiaria humidicola, Gamal (Gliricidia sepium) dan rumput Raja (P. purpureum x P. thypoides). Hijauan pakan yang digunakan adalah Brachiaria humidicola, Gamal (Gliricidia sepium) dan rumput Raja (P. purpureum x P. thypoides) yang berasal dari Laboratorium Lapang Agrostologi, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Perlakuan pengeringan yang dilakukan meliputi P1 (pengeringan matahari selama 7 jam), P2 (pengeringan matahari selama 14 jam), P3 (pengeringan matahari selama 21 jam), P4 (pengeringan oven 60°C selama 7 jam), P5 (pengeringan oven 60°C selama 14 jam) dan P6 (pengeringan oven 60°C selama 21 jam). Peubah-peubah yang diamati berupa bobot kering, kehilangan bahan kering, bahan kering (BK), abu dan bahan organik (BO) serta protein kasar (PK). Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis sidik ragam (ANOVA) dan apabila terjadi perbedaan yang nyata dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan (Steel and Torrie, 1995).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan teknik pengeringan memberikan pengaruh terhadap sifat fisik dan kandungan nutrien hijauan pakan yang dihasilkan. Perbedaan teknik pengeringan memberikan pengaruh terhadap bobot kering hijauan pakan yang dihasilkan, selain itu perbedaan teknik pengeringan juga memberikan pengaruh terhadap kehilangan bahan kering, bahan kering (BK), abu dan bahan organik (BO), namun teknik pengeringan tidak memberikan pengaruh terhadap protein kasar hijauan pakan yang dihasilkan. Pada perlakuan P3 (pengeringan matahari selama 21 jam) dapat menghasilkan kualitas nutrien yang baik dengan persentase bahan kering (BK) 88,91%, abu 7,03%, bahan organik (BO) 92,97% dan protein kasar (PK) 24,61%.

(34)

ABSTRACT

The Different Drying Techniques on Nutrient Quality of

Brachiaria humidicola, Gamal (Gliricidia sepium) and King Grass (Pennisetum purpureum x Pennisetum thypoides)

Sari, N., E. B. Laconi and A. D. Lubis

Forages feed is all feed ingredients derived from plants in the form of leaves, including the grass and legume. Forage is a fresh grass which is a major source of fiber that needed by ruminants (Prihatman, 2000), but recently the use of primary sources of fiber are still used by farmers depend on the grass at the field. In the rainy season the used of grass field may result water content contained in the tall grass, so to overcome this required the presence of a process of elimination or reduction of water content contained in these materials. One simple way is through the drying process. Forage feed used were Brachiaria humidicola, Gamal (Gliricidia sepium) and King grass (P. purpureum x P. thypoides) derived from Agrostologi Field Laboratory, Faculty of Animal Science, Bogor Agricultural University. Mechanical drying is done with the sun drying and oven drying 60°C for the intensity of drying time 7, 14 hours and 21 hours. The observed variables in this research were the loss weight of forage, loss of dry matter, dry matter, ash and organic matter content and crude protein. Data were analyzed used ANOVA, followed by Duncans test. The results showed that the differences in drying techniques influence the chemical composition of the resulting forages feed. Drying time of 21 hours of sun intensity (P3) can produce a good quality of nutrients to the amount of 88.91% dry matter (DM), 7.03% ash, 92.97% organic matter (BO) and 24, 61% crude protein (PK).

(35)

PERBEDAAN TEKNIK PENGERINGAN TERHADAP

KANDUNGAN NUTRIEN

Brachiaria humidicola

,

GAMAL(

Gliricidia sepium

) DAN RUMPUT RAJA

(Pennisetum purpureum x Pennisetum thypoides

)

NURMALA SARI

D24070208

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(36)

Judul : Perbedaan Teknik Pengeringan terhadap Kandungan Nutrien Brachiaria humidicola, Gamal (Gliricidia sepium) dan Rumput Raja

(Pennisetum purpureum x Pennisetum thypoides)

Nama : Nurmala Sari NIM : D24070208

Menyetujui,

Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,

(Prof. Dr. Ir. Erika B Laconi, MS.) (Dr. Ir. Ahmad Darobin Lubis, MSc.) NIP. 19610916 198703 2 002 NIP. 19670103 199303 1 001

Mengetahui: Ketua Departemen

Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan

(Dr. Ir. Idat Galih Permana, MSc.Agr) NIP. 19670506 199103 1 001

Tanggal Ujian: 15 Maret 2012 Tanggal Lulus:

(37)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 10 Maret 1989 di Wonosobo, Jawa Tengah. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Musholeh dan Ibu Endi Khoiriah. Pendidikan yang pernah ditempuh diawali dari Taman Kanak-Kanak (TK) Pertiwi Darma Wanita Wonosobo tahun 1994-1995 dilanjutkan ke pendidikan dasar di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 5 Wonosobo pada tahun 1995-2001 dilanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 2 Wonosobo pada tahun 2001-2004 kemudian dilanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA) Muhammadiyah 1 Wonosobo pada tahun 2004-2007. Tahun 2007 penulis terdaftar sebagai mahasiswa pada Program Studi Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Selama mengikuti pendidikan, penulis aktif dalam Organisasi Mahasiswa Daerah Ikatan Mahasiswa Wonosobo (IKAMANOS). Penulis menyusun skripsi dengan judul Perbedaan Teknik Pengeringan terhadap Kandungan Nutrien

Brachiaria humidicola, Gamal (Gliricidia sepium) dan Rumput Raja

(38)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi robbil’alamin

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat melaksanakan studi, penelitian, seminar dan skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW beserta sahabat, keluarga dan pengikut beliau hingga akhir zaman. Skripsi dengan judul Perbedaan Teknik Pengeringan terhadap Kandungan Nutrien Brachiaria humidicola, Gamal (Gliricidia sepium) dan Rumput Raja

(Pennisetum purpureum x Pennisetum thypoides) disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran sehingga skripsi ini menjadi lebih baik. Semoga skripsi ini bermanfaat dalam dunia peternakan serta menjadi catatan amal saleh. Amin.

Tidak lupa ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang turut membantu penyusunan skripsi ini, hanya Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang yang akan membalasnya.

Bogor, Maret 2012

(39)
(40)

HASIL DAN PEMBAHASAN……….. 16 Kondisi Lingkungan selama Proses Pengeringan.……… 16 Bobot Kering Hijauan Pakan setelah Proses Pengeringan…...……….

Kehilangan Bahan Kering ……… Kandungan Nutrien ……….

17 19 20 Bahan Kering………. 20 Kadar Abu…..………... 23 Bahan Organik ……….. 25 Protein Kasar …….………... 27 KESIMPULAN DAN SARAN…….……….. 29 UCAPAN TERIMA KASIH ……….. 30

DAFTAR PUSTAKA ………. 31

(41)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman 1. Kandungan Nutrien Brachiaria humidicola………...………. 4 2. Kandungan Nutrien Gamal (Gliricidia sepium)…………..……... 5 3. Kandungan Nutrien Rumput Raja (P.purpureum x P. thypoides)... 6 4. Rataan Suhu Pengeringan Matahari pada Saat Penelitian ……….. 16 5. Kondisi Lingkungan Wilayah Bogor ……….…………. 17 6. Rataan Bobot Kering Hijauan Pakan setelah Proses Pengeringan

(g/500 g)... 17 7. Persentase Kehilangan Bahan Kering Hijauan Pakan setelah

Proses Pengeringan (%)……….………..

19 8. Persentase Bahan Kering (BK) Hijauan Pakan setelah Proses

Pengeringan (100% BK) …...

21

9. Persentase Abu Hijauan Pakan setelah Proses Pengeringan

(100% BK) ………...………... 23 10. Persentase Bahan Organik (BO) Hijauan Pakan setelah Proses

Pengeringan (100% BK) ………..………..

25

11. Persentase Protein Kasar (PK) Hijauan Pakan setelah Proses

Pengeringan (100% BK) ……….………

(42)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Bentuk Brachiaria humidicola ………... 3 2. Bentuk Gamal (Gliricidia sepium) ………. 4 3. Bentuk Rumput Raja (P. purpureum x P.thypoides)………... 6 4. Bentuk Hasil Pengeringan Hijauan dengan Menggunakan Sinar

Matahari ……….. 8

5. Pengeringan Menggunakan Oven……… 8

(43)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman 1. Sidik Ragam (Anova) Bobot Kering Hijauan Pakan setelah Proses

Pengeringan ……… 35 2. Uji Lanjut Duncan Interaksi antara Teknik Pengeringan* Hijauan

Pakan terhadap Bobot Kering setelah Proses Pengeringan... 35 3. Sidik Ragam (Anova) Kehilangan Bahan Kering Hijauan Pakan

setelah Proses Pengeringan ..……….…..………. 36 4. Uji Lanjut Duncan Interaksi antara Teknik Pengeringan* Hijauan

Pakan terhadap Kehilangan Bahan Kering setelah Proses

Pengeringan ……….. 36 11. Sidik Ragam (Anova) Protein Kasar (PK) Hijauan Pakan setelah

Proses Pengeringan ……....………... 41 12. Uji Lanjut Duncan Protein Kasar (PK) Hijauan Pakan setelah

Proses Pengeringan ……..………. 41 13. Grafik Hubungan antara Teknik Pengeringan dengan Hijauan Pakan terhadap Bobot Kering Hijauan Pakan setelah Proses Pengeringan... 42 14. Grafik Hubungan antara Teknik Pengeringan dengan Hijauan Pakan

terhadap Kehilangan Bahan Kering setelah Proses Pengeringan... 42 15. Grafik Hubungan antara Teknik Pengeringan dengan Hijauan Pakan terhadap Bahan Kering (BK) setelah Proses Pengeringan…………... 43 16. Grafik Hubungan antara Teknik Pengeringan dengan Hijauan Pakan terhadap Abu setelah Proses Pengeringan ………….…...…...…… 43

(44)
(45)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hijauan pakan merupakan bahan pakan yang berasal dari tanaman dalam bentuk daun-daunan, termasuk didalamnya adalah rumput dan leguminosa. Rumput merupakan hijauan segar yang merupakan sumber serat utama yang dibutuhkan oleh ternak ruminansia sebagai sumber energi (Prihatman, 2000). Beberapa contoh diantaranya adalah rumput Raja (P. purpureum x P. thypoides) dan Brachiaria humidicola. Kedua rumput ini mampu berproduksi tinggi, sedangkan Leguminosa digunakan sebagai hijauan makanan ternak karena mengandung nutrisi yang tinggi. Salah satu diantaranya adalah Gamal (Gliricidia sepium). Hingga saat ini penggunaan sumber serat utama yang digunakan oleh peternak masih bergantung pada rumput yang berada di lapang. Pada musim penghujan penggunaan rumput lapang dapat mengakibatkan jumlah kadar air yang terkandung dalam rumput tinggi. Kadar air tersebut apabila masih tersimpan dan tidak dihilangkan akan mempengaruhi kondisi fisik suatu bahan pakan, contohnya akan terjadinya pembusukan dan penurunan kualitas akibat masih adanya kadar air yang terkandung dalam bahan pakan. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan adanya suatu upaya penghilangan atau pengurangan kadar air yang terdapat dalam bahan pakan tersebut. Salah satu upaya yang dilakukan adalah pengeringan.

Pengeringan merupakan tahap awal dari adanya pengawetan. Di Indonesia teknik pengeringan yang paling banyak digunakan adalah pengeringan alami yaitu pengeringan menggunakan sinar matahari langsung. Pengeringan sinar matahari langsung merupakan teknik pengeringan yang murah dan mudah untuk dilakukan tetapi sering terkendala karena hujan. Musim penghujan dapat mempengaruhi kandungan nutrien hijauan pakan yang dihasilkan, misalnya jumlah kadar air yang tinggi, oleh sebab itu diperlukanlah beberapa teknik pengeringan buatan. Salah satu diantaranya adalah pengeringan oven.

(46)

Tujuan

(47)

TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Brachiaria humidicola

Brachiaria humidicola disebut juga dengan Brachiaria dictyoneura dengan nama umum rumput Koronivia. Brachiaria humidicola merupakan rumput tahunan berasal dari Afrika Selatan yang kemudian menyebar ke daerah Fiji dan Papua New Guinea (Skerman and River, 1990). Batang yang berkembang tingginya dapat mencapai 20-60 cm. Helai daun berwarna hijau terang (Bright green ) dengan panjang 12-25 cm dan lebar 5-6 mm (Jayadi, 1991). Rumput ini biasanya digunakan sebagai hijauan dalam padang penggembalaan permanen (Hanum, 1997). Bentuk Brachiaria humidicola dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Bentuk Brachiaria humidicola

Sumber : Forages fact sheets, 2005

(48)

Tabel 1. Kandungan Nutrien Brachiaria humidicola

BETN (Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen) 57,39

Sumber : Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Institut Pertanian Bogor. 2009

Karakteristik Gamal (Gliricidia sepium)

Gamal merupakan legum pohon yang tingginya mencapai 10 m dengan tipe daunnya berbentuk majemuk sederhana.Gamal memiliki bunga berbentuk kupu-kupu yang berwarna putih dan merah jambu (Rosa, 1998). Gamal dapat tumbuh baik pada kondisi iklim tropis basah dan untuk menghasilkan produksi yang tinggi dibutuhkan curah hujan yang tinggi sepanjang tahun. Legum ini dapat juga bertahan hidup pada musim kering yang panjang tetapi ukuran daunnya lebih kecil (Rosa, 1998). Penanaman gamal dapat dilakukan dengan menggunakan stek yaitu menggunakan batang yang mempunyai mata tunas dengan panjang ± 1 meter, ditanam pada kedalaman 15 cm. Waktu tanam sebaiknya dilakukan pada musim penghujan (Dinas Peternakan, 1999). Bentuk Gamal (Gliricidia sepium) dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Bentuk Gamal (Gliricidia sepium)

(49)

Kegunaan gamal dapat dijadikan sebagai tanaman pagar, pupuk hijau dan sebagai penahan erosi. Daun atau bagian tanaman yang dipangkas dapat digunakan sebagai hijauan makanan ternak yang dapat meningkatkan produktivitas ternak ruminansia seperti : sapi, kambing dan domba (Rossa, 1998). Penggunaan daun gamal sebagai hijauan makanan ternak ruminansia tidak mengakibatkan pengaruh negatif walaupun diberikan dalam jumlah banyak dan terus menerus, tetapi sebelum diberikan kepada ternak legum ini perlu dilakukan pelayuan terlebih dahulu dengan cara dijemur diatas lantai jemur atau alas tikar. Ternak yang belum terbiasa dengan daun Gamal perlu dilatih agar terbiasa dapat memakan daun Gamal sebagai kebutuhan pokoknya. Penggunaan daun Gamal (Gliricidia sepium) kurang disukai oleh ternak karena adanya bau seperti vanilla yang disebabkan oleh senyawa kumarin, khususnya pada daun yang masih basah (Dinas Peternakan, 1999). Gamal selain sebagai hijauan pakan ternak juga mempunyai banyak manfaat apabila ditanam dalam padang penggembalaan. Kegunaan lain dari legum ini adalah sebagai pemberantas alang-alang. Alang-alang akan binasa oleh naungan pohon gamal, hal ini disebabkan daun gamal memiliki akar yang dapat menembus tanah cukup dalam (Rossa, 1998). Kandungan Nutrien Gamal (Gliricidia sepium) diperlihatkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Kandungan Nutrien Gamal (Gliricidia sepium)

Kandungan Nutrien (%)

Karakteristik Rumput Raja (P. purpureum x P. thypoides)

(50)

25-30 cm dan memiliki dua mata tunas. Rumput Raja (P. purpureum x P. thypoides) memiliki batang yang keras dengan daun berbulu kasar serta memiliki bercak berwarna hijau muda. Bentuk Rumput Raja (P. purpureum x P. thypoides) dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Bentuk Rumput Raja (P. purpureum x P. thypoides)

Sumber : Forages fact sheets, 2005

Penanaman rumput Raja (P. pupureum x P. thypoides) dengan menggunakan stek harus diperhatikan yaitu tunas jangan sampai terbalik. Stek dapat langsung ditancapkan setengahnya ke dalam tanah tegak lurus atau miring dengan jarak tanamnya 1 x 1 m, untuk penanaman dengan menggunakan sobekan rumpun, perlu dibuat lubang sedalam 20 cm (Rukmana, 2005). Waktu tanam yang baik adalah pada awal sampai pertengahan musim hujan. Produksi hijauan rumput Raja (P. purpureum x P.thypoides) dua kali lipat dari produksi rumput Gajah yaitu mencapai 200-250 ton rumput segar/hektar/tahun (Rukmana, 2005). Pertumbuhan rumput Raja (P. purpureum x P. thypoides) dapat mengalahkan rumput Gajah (BPTHMT Baturaden, 1989). Kandungan nutrien rumput Raja (P. purpureum x P. thypoides) diperlihatkan pada Tabel 3.

Tabel 3. Kandungan Nutrien Rumput Raja (P. purpureum x P. thypoides)

Kandungan Nutrien (%)

Bahan Kering Protein Kasar

21,2 13,5

TDN (Total Digestible Nutrient) 54

Serat Kasar 34,1

(51)

Rumput sebagai Hijauan Makanan Ternak

Rumput memegang peranan penting dalam penyediaan pakan bagi ternak ruminansia di Indonesia. Rumput mengandung zat-zat makanan yang bermanfaat bagi kelangsungan hidup ternak, seperti air, lemak, serat kasar, beta protein, mineral serta vitamin. Umumnya peternak di pedesaan masih bertumpu pada cara-cara tradisional dengan mengandalkan rumput lapang sebagai sumber utama pakan ternak dengan jumlah yang terbatas. Keterbatasan pakan dapat menjadi penyebab utama populasi ternak di suatu daerah menurun. Kemampuan peternak dalam penyediaan pakan akan menentukan jumlah ternak yang dipelihara (Hutasoit, 2009).

Teknik Pengeringan

Pengeringan merupakan salah satu cara dalam teknologi pangan yang dilakukan dengan cara pengawetan (Rukmana, 2005). Pengeringan dapat menghasilkan produk dengan satu atau lebih produk, tergantung tujuan produk yang diinginkan, misalnya bentuk fisik (bubuk, pipih atau butiran), warna, rasa, dan strukturnya (Mujumdar, 2008). Salah satu tujuan pengeringan adalah untuk mengurangi kadar air bahan sampai batas dimana perkembangan mikroorganisme dan kegiatan enzim yang dapat menyebabkan pembusukan terhambat atau terhenti. Bahan yang dikeringkan biasanya mempunyai waktu simpan yang lebih lama. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengeringan ada 2 faktor, yaitu : faktor yang berhubungan dengan udara pengering (suhu, kelembaban udara) dan faktor yang berhubungan dengan sifat bahan (ukuran bahan, kadar air awal) (Rukmana, 2005).

Pengeringan Matahari (Sun Drying)

(52)

Gambar 4. Bentuk Hasil Pengeringan Hijauan dengan Menggunakan Sinar Matahari

Sumber : Dokumentasi Penelitian

Pengeringan Oven (Oven Drying)

Oven adalah alat untuk memanaskan, memanggang dan mengeringkan. Oven dapat digunakan sebagai alat pengering apabila dengan kombinasi pemanas dengan humidity rendah dan sirkulasi udara yang cukup. Pengeringan menggunakan oven (oven drying) lebih cepat dibandingkan dengan pengeringan menggunakan matahari akan tetapi, kecepatan pengeringan tergantung dari tebal bahan yang dikeringkan. Kelebihan pengeringan menggunakan oven diantaranya dapat dipertahankan dan diatur suhunya selain itu, dapat melindungi bahan pangan dari serangan serangga dan debu (Hui, 2007). Pengeringan dengan menggunakan oven tidak disarankan untuk pengeringan bahan pangan karena sulit untuk mengontrol suhu rendah dan pangan yang dikeringkan lebih rentan hangus (Hughes and Willenberg, 1994). Salah satu contoh pengeringan dengan menngunakan oven dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Pengeringan dengan Menggunakan Oven

(53)

Hasil Penelitian tentang Pengeringan

Menurut Krissetiana (1996) pengeringan labu kuning dengan menggunakan matahari dapat dilakukan selama 4-6 hari, hal ini disebabkan pengeringan matahari sangat tergantung pada cuaca, namun apabila pengeringan dilakukan dengan menggunakan oven 50°C waktu pengeringan yang diperlukan hanya 48 jam.

Penelitian Hove et al., (2003) menunjukkan bahwa perbedaan teknik pengeringan dengan menggunakan metode pengeringan di bawah naungan, matahari langsung dan oven dapat menghasilkan terjadinya perbedaan kandungan nutrien pada tanaman semak Akasia dan Kaliandra. Penelitian lain untuk mengetahui efek pengeringan terhadap tanaman rami menunjukkan bahwa pengeringan matahari 21 jam dan pengeringan efek rumah kaca 14 jam dapat menghasilkan hay dengan kandungan bahan kering (BK) >86% atau kadar air (KA) <14%. Suhu pengeringan 50, 60, dan 70°C pada oven juga menghasilkan hay dengan kandungan bahan kering (BK) >86% atau kadar air (KA) <14% (Noveni, 2009).

(54)

MATERI DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juli sampai dengan Oktober 2011 di Laboratorium Lapang Agrostologi dan Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Materi Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Brachiaria humidicola, Gamal (Gliricidia sepium) dan rumput Raja (P. purpureum x P. thypoides) yang berasal dari Laboratorium Lapang Agrostologi, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi seperangkat alat untuk analisis kadar air (oven 105oC, cawan alumunium, timbangan listrik, eksikator), kadar abu (tanur 400-6000C, cawan porselen, timbangan listrik, eksikator), kadar protein (timbangan listrik, labu destruksi, Erlenmeyer 250 ml, gelas ukur 50 ml, labu destilasi, buret, Kjeldhal Titration Set, Kjeldahl Nitrogen Digesting), terpal, termometer, pisau, timbangan digital, oven 60°C, mesin giling (Hammer mill), kertas label, plastik, kantong kertas.

Prosedur

Tahap Persiapan. Tahap ini meliputi tahap persiapan alat dan hijauan pakan yang digunakan dalam penelitian. Masing-masing sampel hijauan pakan ditimbang sebanyak 500 g per unit percobaan, kemudian sampel tersebut dipotong-potong 5 cm.

(55)

Gambar 6. Cara Pengeringan Matahari

Sumber : Dokumentasi Penelitian

Pengeringan dengan menggunakan Oven 60°C. Hijauan pakan yang telah dipotong langsung dimasukkan ke dalam kantong kertas untuk dilakukan pengeringan menggunakan oven 60°C dengan intensitas waktu pengeringan 7, 14 dan 21 jam. Selanjutnya masing-masing hijauan pakan dilakukan analisis nutrien yang terdiri atas kadar air, abu dan bahan organik (BO) serta protein kasar (PK). Cara pengeringan oven 60°C diperlihatkan pada Gambar 7.

Gambar 7. Cara Pengeringan Oven 60°C

Sumber : Dokumentasi Penelitian

Analisis Kadar Air (AOAC, 1999). Cawan dipanaskan terlebih dahulu ± 1 jam pada oven 105 °C dan didinginkan dalam eksikator ± 15 menit lalu timbang berat cawan. Sampel ditimbang sebanyak 3 gram kemudian dimasukkan ke dalam cawan. Cawan yang telah berisi sampel dimasukkan ke dalam oven 105 °C selama ± 4-6 jam (sampai tercapai bobot tetap). Setelah itu sampel diangkat, didinginkan dalam eksikator selama 15 menit lalu ditimbang untuk mengetahui beratnya. Kadar air dihitung dengan rumus :

(56)

Kadar Abu (%) = x 100%

Analisis Kadar Abu (AOAC, 1999). Cawan yang digunakan dipanaskan terlebih dahulu ke dalam oven 105° C, didinginkan dalam eksikator kemudian timbang berat cawannya (X). Sampel ditimbang ± 3 gram, dimasukkan ke dalam cawan kemudian ditimbang (Y). Sampel dibakar di atas hot plate sampai tidak berasap, lalu dimasukkan ke dalam tanur. Sampel diangkat dan didinginkan dalam eksikator selama 15 menit kemudian ditimbang untuk mengetahui berat akhirnya (Z).

Analisis Bahan Organik (AOAC, 1999). Bahan organik adalah selisih bahan kering dan abu yang secara kasar mengandung karbohidrat, lemak dan protein (AOAC, 1999). Persen bahan organik (BO) dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Analisis Kadar Protein Kasar (AOAC, 1999). Sampel ditimbang ± 0.3 gram, ditambahkan ± 1.5 gram katalis Selenium Mixture. Sampel dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl lalu ditambahkan 20 ml H2SO4 pekat, kemudian didestruksi sampai

warna larutan menjadi hijau kekuning-kuningan dan jernih kemudian didinginkan selama ± 15 menit. Sebanyak 300 ml aquadest ditambahkan ke dalam sampel tersebut lalu didinginkan. Sebelum melakukan proses destilasi sampel ditambahkan 100 ml NaOH 40 %. Hasil destilasi ditampung dengan 10 ml H2SO4 0.1 N yang

sudah ditambah 3 tetes indikator campuran Methylen Blue and Methylen Red. Proses titrasi dengan ditambahkan NaOH 0.1 N sampai terjadi perubahan warna dari ungu menjadi kebiru-biruan. Penetapan blangko : pipet 10 ml H2SO4 0.1 N dan ditambah 2

tetes indikator PP kemudian titrasi dengan menggunakan NaOH 0.1 N.

Kadar Protein (%) = (ml blanko- ml sampel) x N NaOH x 14 x 6.25 x 100% berat sampel (mg)

Gambar

Gambar 2. Bentuk  Gamal (Gliricidia sepium)
Gambar 4. Bentuk Hasil Pengeringan Hijauan dengan Menggunakan Sinar Matahari
Gambar 6. Cara Pengeringan Matahari
Tabel 8. Persentase Bahan Kering (BK) Hijauan Pakan setelah Proses Pengeringan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kondisi kemiskinan masyarakat di Desa Manukan pada saat ini sudah cukup berkurang karena dilihat dari kon- disi tempat tinggal yang sudah layak dan tingkat pendidikan

Jika User mengklik tombol “Preview” pada layar Edit Artikel atau layar Artikel, maka akan ditampilkan preview artikel sesuai dengan tampilan dalam majalah nantinya. 4.2.2.17

Berdasarkan hasil pengolahan data terhadap variabel-variabel yang dianalisis dapat disimpulkan yaitu, hasil pengolahan data antara motivasi dengan kinerja dengan nilai

Penelitian yang telah dilakukan Idharmahadi Adha, (2011) dengan memanfaatkan abu sekam padi sebagai pengganti semen pada metoda stabilisasi tanah di Lampung

Hasil penelitian yang dilakukan dapat menjelaskan secara teknis dalam hal pelaksanaan pekerjaan perbaikan jalan di atas tanah lunak dengan perkuatan

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa terdapat dua faktor yang mempengaruhi perkembangan aspek psikososial remaja dengan disabilitas fisik, yaitu faktor internal yang

Pada beban truk ini digunakan beban kendaraan semi-trailer dengan mempunyai jarak As depan = 5 m dan As belakang 7 m degan beban pada STRT adalah 50 kN dan beban pada

Setiap hari, dalam melaksanakan pengabdiannya seorang perawat tidak hanya berhubungan dengan pasien, tetapi juga dengan keluarga pasien, teman pasien, rekan kerja