• Tidak ada hasil yang ditemukan

Community resilience model in segara anakan lagoon

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Community resilience model in segara anakan lagoon"

Copied!
521
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL RESILIENSI MASYARAKAT

DI LAGUNA SEGARA ANAKAN

SITI HAJAR SURYAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: MODEL RESILIENSI MASYARAKAT DI LAGUNA SEGARA ANAKAN adalah benar merupakan karya saya dengan arahan komisi pembimbing, kecuali dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua data dan sumber informasi yang digunakan telah secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Februari 2012

(3)

ABSTRACT

SITI HAJAR SURYAWATI. Community Resilience Model in Segara Anakan Lagoon. Under direction of ENDRIATMO SOETARTO, LUKY ADRIANTO and AGUS HERI PURNOMO.

Resilience is defined as the capacity of interacting social and ecological systems to absorb disturbance caused by abrupt changes, such that the systems can maintain their structures and essential processes as well as provide feedbacks. Based on such a premise, this research is aimed to assess and to construct scientific understanding of the social-ecological resilience of an important ecosystem currently facing pressures and disturbances, namely the Segara Anakan Lagoon. This research was conducted within the periods of 2008 to 2010, aiming at thorough understanding on the interactions among the existing four subsystems, such that it enables identifications of intervention options required to maximize benefits and minimize problems associated with the existence of the lagoon. Methodological approach used in this research was adapted from Anderies et al’s conceptual framework, wherein the directions of influence of one sub-system on the others are identified to permit assessment of the trend of changes that occur in a particular subsystem as the result of the dynamics that happens in another subsystem. Primary data wich include information on social-ecological systems were collected following the survey approach, using respondents drawn purposively from 17 dusuns of 4 villages in the Segara Anakan Lagoon. Meanwhile, secondary data which consist mainly of previous research results were collected from recorded document and publications available at relevant institutions namely Segara Anakan Management Board (BPKSA), The Sub-district Office and and Village Offices. These data were processed and analyzed following the qualitative approach.In general, the research results showed that the SES in the Segara Anakan Lagoon was constructed by four subsystems: (1) natural resources, which include water area, mangrove forest and land area; (2) the resource users, which include fishermen, farmer and service providers; (3) public infrastructures, which include central government, local goverment and NGO’s; and(4) infrastructure providers, which include water infrastructure, electricity infrastructure, educational infrastructure, health infrastructure and transportation infrastructure. The natural resources subsystem was identified as the most predominant system among the existing subsystems, particularly due to external factor, namely sedimentation attributed to both natural and anthropogenic factors occurring in another system, i.e., the upstream terrestrial system. The process has caused the decrease in the lagoon area, which hence influence social-economic and community aspects, particularly the livelihood of the lagoon inhabitants. Contemporary development of the SES in the Segara Anakan Lagoon shows that pressures from he natural resource subsystem led to social economic and cultural adjustments, which then promotes even bigger pressures on natural resource aspects and vice versa. Following these results, it can be concluded that a number of intervention forms have to be focused on the subsystems of natural resourve and natural resource users, while the two other subsystems should relatively positioned as supporting variables.

(4)

RINGKASAN

SITI HAJAR SURYAWATI. Model Resiliensi Masyarakat di Laguna Segara Anakan. Dibimbing oleh ENDRIATMO SOETARTO, LUKY ADRIANTO dan AGUS HERI PURNOMO.

Segara Anakan merupakan kawasan laguna atau estuari yang terbentuk dari beberapa ekosistem yang saling berhubungan erat, yang mempunyai potensi ekonomis besar, termasuk potensi perikanan, yang menyumbang produksi ikan dari wilayah pantai dengan nilai lebih dari 62 milyar rupiah/tahun. Fungsi sosial ekonomi seperti itu dimungkinkan oleh keberadaan ekosistem mangrove di wilayah ini, yang mendukung siklus kehidupan ikan, udang, kepiting dan fauna lainnya, seperti burung dan aneka reptil. Bagi satwa-satwa laut tersebut, laguna ini merupakan tempat berkembang biak dan tempat membesar atau berkembangnya anak-anak mereka sebelum pada suatu saat keluar melalui muara laguna ke laut lepas, Samudera Hindia, untuk selanjutnya ditangkap para nelayan.

Perkembangan terbaru menunjukkan adanya ancaman yang semakin besar terhadap laguna ini. Sebuah fenomena alam yang mencemaskan sedang terjadi dan ramai dibicarakan, yaitu prediksi akan hilangnya laguna yang kaya manfaat tersebut, karena degradasi lingkungan yang terjadi di Laguna Segara Anakan merupakan sebuah kecenderungan yang tidak dapat dihentikan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kecepatan pengangkutan sedimen dari Sungai Citanduy mencapai 5 juta m3/tahun sedangkan dari sungai

Cikonde serta sungai kecil lainnya mencapai 770.000 m3/tahun. Dengan

kecepatan angkutan sedimen dari Cikonde sebesar 770.000 m3/tahun, terjadi laju

pengendapan sebesar 260.000 m3/tahun. Dari proses sedimentasi dari sungai-sungai tersebut, diperkirakan jumlah sedimen yang mengendap di perairan Segara Anakan adalah sebesar 1 juta m3/tahun.

Perkembangan baru sebagaimana tersebut di atas membawa akibat pada tumbuhnya luasan lahan timbul, yang kemudian mendorong penduduk setempat untuk mengembangkan pencaharian pertanian yang bertumpu pada keberadaan lanan-lahan timbul tersebut. Tidak hanya penduduk setempat, pengembangan pencaharian berbasis lahan timbul ini juga dilakukan oleh para pendatang dari wilayah daratan Pulau Jawa, yang kemudian bermukim tetap di Segara Anakan. Perkembangan lain yang menyusul kemunculan bentuk pencaharian baru tersebut adalah terjadinya perambahan hutan bakau karena berbagai alasan. Perambahan bakau terkait pengembangan pemukiman bagi penduduk pendatang. Disamping itu, penebangan bakau juga terjadi sebagai konsekuensi dari jumlah penduduk yang terlanjur meningkat dan lahan pertanian yang belum sepenuhnya siap untuk digarap, serta usaha budidaya tambak di lahan-lahan bakau, yang dipandang sebagai peluang alternatif bagi pendatang.

Sedimentasi dan penyusutan luasan laguna, meski dapat diperlambat, tidak dapat dihentikan sehingga dampaknya tidak dapat terhindarkan oleh masyarakat di kawasan laguna. Dalam situasi seperti ini, tindakan yang paling logis adalah mempersiapkan masyarakat untuk mampu menghadapi dampak negatif yang ditimbulkan tersebut. Dengan kemampuan tersebut, diharapkan pula bahwa masyarakat mampu berperan dalam mempertahankan keberlanjutan sistem sosial-ekologis di wilayah Segara Anakan.

(5)

aspek ekologis dan aspek-aspek sosial ekonomi masyarakat, yang terintegrasi dalam sebuah sistem. Integrasi seperti itu dikenal sebagai Social-Ecological Systems (SES). Laguna Segara Anakan merupakan sebuah SES dimana aspek sosial dan aspek ekologi terkait sangat erat dan saling berintegrasi. Kedua aspek ini memiliki kompleksitas dan terus berubah secara dinamis.

Dalam konteks peningkatan ketahanan SES ini, satu kata kunci yang sering terabaikan dalam penerapan berbagai kebijakan adalah ’kerentanan’. Tanpa memperhatikan aspek kerentanan, kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan tidak dapat tepat sasaran. Kebijakan yang telah dilakukan diantaranya adalah pengembangan pencaharian alternatif, pembangunan prasarana pengelolaan, program rehabilitasi lingkungan, dan sebagainya. Namun demikian, langkah-langkah kebijakan tersebut pada umumnya tidak dilandasi oleh informasi yang cukup tentang aspek-aspek kerentanan yang mencirikan masyarakat di Segara Anakan.

Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) Mengidentifikasi sistem sosial-ekologis Segara Anakan saat ini; (2) Menganalisis resiliensi masyarakat Segara Anakan; dan (3) Menyusun model peningkatan resiliensi masyarakat yang rentan terhadap perubahan ekologis.

Penelitian dilakukan di kawasan Laguna Segara Anakan, yang tercakup dalam wilayah administratif Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Propinsi Jawa Tengah. Kecamatan Kampung Laut terdiri dari 4 buah desa yang kesemuanya berada di kawasan laguna, yaitu Desa Ujung Alang, Desa Ujung Gagak, Desa panikel dan Desa Klaces.

Pengumpulan data primer yang diperoleh langsung di lokasi penelitian dengan menggunakan kuesioner terhadap 268 responden, yang terdiri dari 38 responden pemanfaat kayu bakar, 81 responden nelayan, 71 responden petani, 39 responden petambak, dan 10 responden untuk penderes. Masih terkait dengan tujuan penelitian dilakukan juga wawancara kepada 8 orang pedagang dan 21 informan kunci. Analisis yang digunakan adalah: analisis sistem sosial-ekologis, analisis kerentanan, analisis resiliensi sosial-sosial-ekologis, analisis stakeholder, analisis deskriptif, metode Coastal Livelihood System Analysis (CLSA), dan analisis Multi Criteria Decision Making (MCDM).

(6)

pemasaran produk-produk andalan lokal (misalnya gula kelapa) ke target-target di luar wilayah mereka.

Namun demikian, keberadaan aktivitas dan sikap tertentu dari sebagian masyarakat lainnya tidak cukup mendukung keberlanjutan keberadaan prasarana-prasarana tersebut. Penyelenggaraan pembangunan prasarana sebagian dilandasi oleh fungsi layanan publik sedangkan sebagian lain terbatasi oleh tujuan organisasi penyedia prasarana. Kemunculan penyedia-penyedia prasarana tersebut pada umumnya merupakan respons terhadap kekurangan kuantitas dan atau kualitas layanan yang disediakan oleh prasarana yang telah wujud sebelumnya. Di samping itu, perkembangan kondisi laguna juga menjadi dasar bagi pengadaan berbagai bentuk prasarana. Sebagai contoh, penyempitan badan air dan peluasan daratan mendorong penyedia laguna untuk membangun prasarana dan sarana sosial dan ekonomi yang memberikan ruang lebih besar kepada masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan kondisi laguna yang tidak lagi sama dengan kondisi pada waktu-waktu sebelumnya.

Terlepas dari nilai-nilai positif tersebut di atas, kemunculan berbagai bentuk prasarana juga dapat bersifat kontraproduktif. Keberadaan prasarana-prasarana di wilayah Segara Anakan secara umum pada sisi yang lain juga memberikan dorongan yang lebih besar terhadap masyarakat untuk merubah perilaku ekonomi, dari yang lebih bertumpu pada penghidupan berbasis air ke pekerjaan-pekerjaan darat. Hal ini menciptakan kebutuhan yang lebih besar di antara masyarakat akan berbagai prasarana yang dianggap dapat memfasilitasi masyarakat Segara Anakan mendekat kearah gaya hidup di luar wilayah. Perkembangan semacam ini, dimana keberadaan prasarana tertentu mendorong munculnya keberadaan prasarana tertentu lain yang menumbuhkan preferensi masyarakat Segara Anakan kepada budaya daratan, berpotensi mengikis kepedulian pada kelestarian laguna.

(7)

@ Hak cipta milik IPB, Tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang–Undang

a. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(8)

MODEL RESILIENSI MASYARAKAT

DI LAGUNA SEGARA ANAKAN

SITI HAJAR SURYAWATI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Penguji Ujian Tertutup : 1. Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr 2. Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si

Penguji Ujian Terbuka : 1. Dr. Andin H. Taryoto

(10)
(11)
(12)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahiim…... Alhamdulillahirabbil’allamiin...

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan ijin dan petunjuk-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi sebagaimana mestinya. Studi yang diakhiri dengan Disertasi ini merupakan perjuangan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh ilmu pada jenjang pendidikan Strata 3 pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL), Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Disertasi yang berjudul “Model Resiliensi Masyarakat di Laguna Segara Anakan” diselesaikan dengan maksud untuk memberikan kontribusi pemikiran bagi pengelolaan salah satu ekosistem yang unik di Indonesia ini. Hal ini pulalah yang mendorong penulis mengambil judul ini mengingat Laguna Segara Anakan dengan segala potensinya yang besar terancam keberadaan dan fungsinya dalam menunjang keberlanjutan sistem sosial-ekologisnya.

Pertama-tama ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus saya sampaikan kepada Komisi Pembimbing yang telah menghantarkan penyelesaian disertasi ini, yaitu Bapak Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA selaku Ketua, Bapak Dr.Ir. Luky Adrianto, M.Sc dan Bapak Dr.Ir. Agus Heri Purnomo, M.Sc selaku Anggota. Beliau-beliau telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dengan penuh kesabaran dan keikhlasan serta berbagi pengetahuan dari awal hingga selesainya penyusunan Disertasi ini. Pada awalnya saya sendiri meragukan apakah saya sanggup untuk menyelesaikan program Doktor ini, namun dengan dorongan semangat dan kepercayaan dari beliau-beliau telah menjadi pendorong utama dalam penyelesaian studi ini. Ketiga pembimbing merupakan anugerah luar biasa bagi saya dimana saya menemukan optimisme untuk menyelesaikan disertasi.

(13)

telah berkenan meluangkan waktunya di sela kesibukan yang luar biasa sebagai penguji luar komisi pada ujian terbuka yang telah saya lalui.

Saya juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Pimpinan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL), para Dosen beserta staf atas kesempatan belajar dan proses belajar yang telah diberikan.

Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan, Kepala Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan dan Kepala Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Kementerian Kelautan dan Perikanan yang telah memfasilitasi dan mendukung studi ini. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan, Kepala Kantor Pengelola Sumberdaya Kawasan Segara Anakan, Kepala Biro Pusat Statistik beserta seluruh staf dan jajarannya yang telah membantu memberikan informasi yang sangat berarti selama penulis melakukan penelitian di lapangan. Kepala Kecamatan Kampung Laut, Kepala Desa Ujung Alang, Kepala Desa Ujung Gagak, Kepala Desa Panikel dan Kepala Desa Klaces, Seluruh Kepala Dusun beserta staf, responden dan masyarakatnya, yang dengan tulus ikhlas dan sabar dalam memberikan keterangan dan informasi untuk penulisan Disertasi ini.

Selanjutnya ucapan terima kasih dari lubuk hati yang paling dalam kepada orang tua saya Hj. Siti Jamilah dan H. Husein Achmad atas pengorbanannya yang tidak bosan mengiringi setiap langkah saya dengan do’a dan air mata. Pencapaian ini secara khusus saya dedikasikan untuk Emah dan Bapa yang senantiasa memberikan doa, dorongan semangat, materi dan cinta kasih yang tiada henti yang diberikan pada penulis sehingga mampu menyelesaikan program Doktor ini.

Ucapan terima kasih dan penghargaan setulusnya juga ingin saya sampaikan pada suami, Eko Soleh Istihori, STP yang dengan ikhlas mengizinkan saya mengikuti studi ini. Juga anak-anakku tersayang Aa Adya, Kaka Ayas dan Dede Arshad yang telah menjadi sumber kekuatan bagi saya untuk bisa tegar menjalani kehidupan ini.

(14)

selama delapan tahun ini telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari keluarga kami.

Dalam kesempatan ini, saya juga mengucapkan terima kasih pada kawan-kawan EPN angkatan 2006, PSL 2006 dan PSL 2007 yang telah melewati masa-masa pendakian bersama yang panjang dan melelahkan, sekaligus menjadi teman berbagi yang penuh inspirasi. Terakhir dan terpenting adalah ucapan terima kasih kepada banyak pihak yang tidak mungkin saya sebutkan satu per satu.

Segala kritik dan saran saya harapkan demi kesempurnaan usulan penelitian ini, sehingga menjadi tulisan yang bermanfaat. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat dan anugerahNya atas segala kebaikan yang diberikan. Amien.

Bogor, Februari 2012

(15)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Cianjur, Jawa Barat pada tanggal 12 Agustus 1977 sebagai anak pertama (tiga bersaudara) dari pasangan Hj. Siti Jamilah dan H. Husein Achmad. Tahun 2002 penulis menikah dengan Eko Soleh Istihori, STP dan dikaruniai 3 (tiga) orang putra. Putra pertama lahir tanggal 6 Agustus 2003 (Muhammad Dihya Dailamy), putra kedua lahir tanggal 20 September 2007 (Muhammad Ghiyas Hibrizy) dan putra ketiga lahir tanggal 30 Oktober 2011 (Muhammad Arfahshad Ibrahim).

Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Atas di Cianjur, Provinsi Jawa Barat. Tahun 1994 penulis lulus dari SMUN 1 Cianjur dan pada tahun yang sama melalui Program Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) pada Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, yang diselesaikan pada tahun 1998. Program Magister Sains (S-2) pada Sub Program Studi Manajemen Industri Pangan Program Studi Ilmu Pangan Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, lulus pada tahun 2001. Pada tahun 2006 penulis memperoleh beasiswa Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan.

Pada Tahun 2002 – 2005 penulis bekerja sebagai calon peneliti pada Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan. Pada tahun 2005 hingga sekarang bekerja sebagai Peneliti pada Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan.

(16)

Tulisan lainnya berjudul Identifikasi Permasalahan Terkait dengan Resiliensi Masyarakat di Laguna Segara Anakan telah dipresentasikan pada Seminar Nasional Tahunan VII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan di Yogyakarta pada tanggal 24 juli 2010. Karya ilmiah yang berjudul Challenges and Opportunities to Improve Resilience of Communities Living on The Degrading Environment of Segara Anakan Lagoon dan Contemporary Social Context in Marine Governance Issues: Lessons Learned From Segara Anakan Lagoon telah disajikan pada International Seminar on Economic, Culture and Environment di Mataram pada tanggal 11 Nopember 2010.

(17)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI xxiii

DAFTAR TABEL xxvii

DAFTAR GAMBAR xxxi

GLOSSARY Xxxv

I. PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Perumusan Masalah 8

1.3. Tujuan Penelitian 11

1.4. Manfaat Penelitian 11

1.5. Kerangka Pemikiran 11

1.6. Novelty 13

II. TINJAUAN PUSTAKA 15

2.1. Ekologi Estuaria 15

2.2. Tinjauan Teori Sistem dan Studi Komunitas 16

2.2.1. Teori Sistem 16

2.2.2. Studi Komunitas 17

2.3. Pendekatan Penelitian 18

2.3.1. Pendekatan Kuantitatif 18

2.3.2. Pendekatan Kualitatif 19

2.4. Sistem Sosial-Ekologis 21

2.5. Kerentanan (Vulnerability) 26

2.6. Ketahanan (Resilience) 27

2.6.1. Resiliensi Sosial-Ekologis 29

2.6.1.1. Kategori Resiliensi Sosial-Ekologis 30 2.6.1.2. Indikator Resiliensi Sosial-Ekologis 33 2.6.2 Resiliensi Masyarakat (Community Resilience) 36

2.7. Model Adaptif Manajemen 37

2.7.1. Sistem Kompleks Adaptif 37

2.7.2. Siklus Pembaruan Adaptif 38

2.8. Metode Pendekatan Analisis Resiliensi Masyarakat 41 2.8.1. Pendekatan Resiliensi Sosial-Ekologis 41 2.8.2. Pendekatan Partisipatif Stakeholder 42 2.8.3. Pendekatan Keberkelanjutan Mata Pencaharian

(Coastal Livelihood System Analysis - CLSA)

45

2.8.4. Analisis Eksternalitas 57

2.8.5. Pendekatan Verstehen 57

2.8.6. Partisipatory Coastal Resources Assessment

(PCRA) 58

2.8.7. Focus Group Discussion (FGD) 59

(18)

Halaman

III. METODE PENELITIAN 75

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 75

3.2. Rancangan Penelitian 76

3.3. Jenis dan Metode Pengumpulan Data 78

3.3.1. Jenis Data 78

3.3.2. Metode Pengumpulan Data 79

3.3.3. Participatory Research Action (PRA) 84

3.3.4. Focus Group Discussion (FGD) 84

3.3.4.1. Langkah 1: Identifikasi dan Pemetaan

Stakeholders 84

3.3.4.2. Langkah 2: Mobilisasi Undangan FGD 85 3.3.4.3. Langkah 3: Pelaksanaan FGD 85 3.3.4.4. Langkah 4: Tabulasi Hasil FGD 85

3.4. Metode Analisis Data 85

3.4.1. Analisis Kerentanan 90

3.4.2. Analisis Stakeholder 97

3.4.3. Analisis Latar Sejarah (Historical Analysis) 99 3.4.4. Analisis Dinamika Sistem Sosial-Ekologis 99

3.4.5. Analisis Keberlanjutan Mata Pencaharian Masyarakat Pesisir (Coastal Livelihood System Analysis – CLSA)

100

3.4.6. Multi Criteria Decision Making (MCDM) 103

3.4.7. Analisis Eksternalitas 105

3.5. Organisasi Penulisan 107

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 109

4.1. Sistem Ekologi 109

4.1.1. Sistem Boundary 109

4.1.2. Kondisi Iklim 111

4.1.3. Kondisi Morfologi 111

4.2. Sistem Sosial Ekonomi 115

4.2.1. Pemerintahan dan Demografi 115

4.2.2. Kegiatan Ekonomi 116

4.2.2.1. Perikanan 117

4.2.2.2. Pariwisata 118

4.3. Karakteristik Responden 118

4.3.1. Umur Responden 118

4.3.2. Jenis Kelamin Responden 119

4.3.3. Tingkat Pendidikan Responden 119

4.3.4. Jumlah Tanggungan Keluarga Responden 120

4.3.5. Asal Responden 120

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 121

5.1. Model Sistem Sosial-Ekologi di Laguna Segara Anakan 121 5.1.1. Karakteristik Pengguna Sumberdaya 129 5.1.2. Identifikasi Sarana dan Prasarana 144 5.1.2.1. Prasarana Penyediaan Air Bersih 144

5.1.2.2. Prasarana Penerangan 145

5.1.2.3. Prasarana Pendidikan 145

5.1.2.4. Prasarana Kesehatan 147

5.1.2.5. Prasarana Komunikasi 148

(19)

Halaman

5.1.2.6. Prasarana Keagamaan 148

5.1.2.7. Prasarana Transportasi 148

5.1.3 Identifikasi Penyedia Prasarana 149

5.1.4. Dinamika Sistem Sosial-Ekologi 153 5.1.4.1. Periode Tahun 1980 – 1985 153 5.1.4.2. Periode Tahun 1986 – 1990 155 5.1.4.3. Periode Tahun 1991 – 1995 157 5.1.4.4. Periode Tahun 1996 – 2000 158 5.1.4.5. Periode Tahun 2001 - Sekarang 160 5.2. Analisis Keberkelanjutan Mata Pencaharian

(Coastal Livelihood System Analysis - CLSA)

172 5.2.1. Identifikasi Kondisi Mata Pencaharian 173

5.2.2. Analisis Kerentanan 174

5.2.3. Identifikasi Tekanan dan Gangguan Penyebab

Kerentanan 175

5.2.4. Identifikasi Aset Mata Pencaharian 177

5.2.4.1. Aset Alam 178

5.2.4.2. Aset Manusia 180

5.2.4.3. Aset Sosial 181

5.2.4.4. Aset Keuangan 183

5.2.4.5. Aset Buatan/Fisik 185

5.2.5. Identifikasi Kebutuhan Insentif Masyarakat Pesisir

Laguna Segara Anakan 187

5.2.6. Pemilihan Insentif 188

5.3. Analisis Resiliensi SES 192

5.4. Analisis Eksternalitas 194

5.4.1. Sumber Eksternalitas 194

5.4.1.1. Kondisi Laguna Segara Anakan 194 5.4.1.2. Kondisi Ekosistem Mangrove di

Laguna Segara Anakan 195

5.4.1.3. Persepsi Masyarakat Lokal 196

5.4.2. Tekanan terhadap Sumber Eksternalitas:

Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan di Kawasan Laguna Segara Anakan

198

5.4.2.1. Perikanan Tangkap 198

5.4.2.2. Perikanan Budidaya 198

5.4.3. Identifikasi Eksternalitas di Laguna Segara Anakan 199 5.4.3.1. Identifikasi Eksternalitas Positif dan

Negatif 199

5.4.3.2. Pendugaan Nilai Eksternalitas di

Laguna Segara Anakan 199

5.4.3.3. Analisis Biaya-Manfaat Penanganan

Eksternalitas Negatif 200

5.4.4. Arahan Alternatif Pengelolaan Laguna Segara

Anakan 201

5.5. Strategi untuk Meningkatkan Resiliensi Masyarakat di

Laguna Segara Anakan 202

5.6. Sintesa Hasil 211

5.6.1. Kondisi Sosial Ekologis dan Kerentanan

Masyarakat 211

(20)

Halaman 5.6.2. Kerentanan, Kondisi SES dan Pengembangan

Pencaharian 213

5.6.3. Rekonstruksi Model Resiliensi Berbasis SES 215

5.6.4. Strategi Implementasi Kebijakan 217

VI. KESIMPULAN DAN SARAN 221

6.1. Kesimpulan 221

6.2. Saran 222

EPILOG 223

DAFTAR PUSTAKA 227

   

(21)

DAFTAR TABEL

Nomor Teks Halaman

1. Variabel dalam Kerangka Analisis SES 23

2. Klaster Indikator Resiliensi Sosial-Ekologis berdasarkan Perspektif

Lokal 35

3. Suatu Kerangka 4 Tahap yang Diusulkan Walker et al. (2002) untuk

Analisis Resiliensi dalam SES 41

4. Kerangka Makro Pengembangan Mata Pencaharian Alternatif 48 5. Tahapan Mendisain CLSA (Diadaptasi dari Emerton, 2001) 49

6. Proses Focus Group Discussion 60

7. Aspek Lokal dari Resiliensi 60

8. Ikhtisar Penelitian Terdahulu Terkait dengan Penelitian yang

Dilaksanakan 63

9. Rincian Data Primer 78

10. Rincian Data Sekunder 79

11. Sebaran Jumlah Responden 80

12. Fasilitas yang Diperlukan dalam Pelaksanaan FGD 85 13. Tujuan, Metode, Deskripsi, Keluaran, Jenis Data, Pengumpulan

dan Analisis Data 86

14. Faktor Penentu, Komponen Utama dan Indikator Penilaian Indeks

Kerentanan 90

15. Tingkat Keterpaparan dalam Penentuan Indeks Kerentanan 91 16. Kriteria Penilaian Keterpaparan berdasarkan Indikator Penyusutan

Laguna di Segara Anakan 91

17. Kriteria Penilaian Keterpaparan berdasarkan Indikator Degradasi

Sumberdaya di Segara Anakan 91

18. Kriteria Penilaian Keterpaparan berdasarkan Indikator Produktivitas

Perikanan di Segara Anakan 91

19. Tingkat Sensitivitas dalam Penentuan Indeks Kerentanan 92 20. Kriteria Penilaian Tingkat Sensitivitas untuk Ketergantungan

Pencaharian pada Laguna Segara Anakan 92

21. Kriteria Pengukuran Tingkat Sensitivitas untuk Hak Guna Perairan

di Laguna Segara Anakan 92

22. Kriteria Pengukuran Tingkat Kepekaan untuk Ketergantungan

Kehidupan Sosial pada Laguna Segara Anakan 92 23. Tingkat Adaptasi dalam Penentuan Indeks Kerentanan 93 24. Kriteria Penilaian Tingkat Adaptasi untuk Komponen Resiliensi

(22)

Nomor Teks Halaman 25. Uraian Rasionalisasi Penilaian Kriteria Belajar Hidup dalam

Perubahan dan Ketidakpastian 94

26. Uraian Rasionalisasi Penilaian Kriteria Menjaga Keberagaman

untuk Reorganisasi dan Pembaharuan 94

27. Uraian Rasionalisasi Penilaian Kriteria Mengkombinasikan

Berbagai Ragam Pengetahuan 95

28. Uraian Rasionalisasi Penilaian Kriteria Menciptakan Kesempatan

untuk Pengorganisasian secara Mandiri 95

29. Indikator Pengaruh Stakeholder terhadap Pembangunan Wilayah

Pesisir 98

30. Kriteria dan Skoring Kondisi Aset Alam 101 31. Kriteria dan Skoring Kondisi Aset Manusia dengan Indikator

Pendidikan dan Kesehatan 102

32. Kriteria dan Skoring Kondisi Aset Sosial 102 33. Kriteria dan Skoring Kondisi Aset Keuangan 103 34. Kriteria dan Skoring Kondisi Aset Buatan 103 35. Skor Saaty yang Digunakan dalam FGD Penelitian Resiliensi

Masyarakat di Laguna Segara Anakan 105

36. Batas Administrasi Desa-Desa di Kampung Laut 116 37. Sebaran Penduduk Desa Usia 10 Tahun ke atas di Kampung Laut

berdasarkan Jenis Mata Pencaharian Utama, 2003 - 2008 116 38. Jenis Biota Laut yang Tertangkap di Laguna Segara Anakan 117 39. Potensi Pariwisata di Kawasan Laguna Segara Anakan 118 40. Klasifikasi Umur Responden Utama di Lokasi Penelitian 119 41. Jenis Kelamin Responden Utama di Lokasi Penelitian 119 42. Klasifikasi Tingkat Pendidikan Responden Utama di Lokasi

Penelitian 119

43. Klasifikasi Responden Utama di Lokasi Penelitian menurut Jumlah

Tanggungan Keluarga 120

44. Asal Responden Utama di Lokasi Penelitian 120 45. Komponen Utama Model SES di Segara Anakan 122 46. Hubungan antar Komponen dalam SES Segara Anakan 123 47. Jenis-Jenis Alat Tangkap yang Beroperasi di Laguna Segara

Anakan 125

48. Perkembangan Praktek Perikanan terkait Dinamika Kondisi

Ekologis / Sumberdaya Alam di Segara Anakan 126 49. Destruktivitas Alat terkait Perilaku Nelayan Kampung Laut 128 50. Karateristik Pengguna Sumberdaya di Laguna Segara Anakan 142

(23)

Nomor Teks Halaman 51. Identifikasi Permasalahan dan Solusi yang Dilaksanakan di

Laguna Segara Anakan 142

52. Tingkat Pendidikan Kecamatan Kampung Laut (2008) 146 53. Rasio Sekolah, Murid dan Guru di Kecamatan Kampung Laut

(2008) 147

54. Stakeholder Pengelolaan Kawasan Laguna Segara Anakan 150 55. Praktek Pengelolaan Tradisional Sumberdaya Perikanan di Laguna

Segara Anakan berdasarkan Fase Siklus Pengelolaan Adaptif (Holling 1986, Gunderson et al, 1995)

162

56. Siklus Adaptif Sosial-Ekologi di Laguna Segara Anakan 163 57. Dinamika Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Laguna Segara

Anakan 169

58. Faktor Kunci yang Dapat Memperlemah Resiliensi SES di Laguna

Segara Anakan 169

59. Faktor Kunci yang Dapat Memperkuat Resiliensi SES di Laguna

Segara Anakan 170

60. Analisis Kerentanan di Laguna Segara Anakan 175 61. Dampak Resiko dari Kelompok Rentan terhadap Tekanan Alam

Pesisir dan Laut pada Masyarakat di Kawasan Laguna Segara Anakan

176

62. Tekanan Masyarakat pada Sumberdaya Alam di Kawasan Laguna

Segara Anakan 177

63. Kondisi Aset Kapital di Kawasan Laguna Segara Anakan 178 64. Kondisi Aset Alam di Kawasan Laguna Segara Anakan 179 65. Kondisi Aset Manusia dengan Indikator Pendidikan dan Kesehatan

di Kawasan Laguna Segara Anakan 180

66. Kondisi Aset Sosial di Kawasan Laguna Segara Anakan 182 67. Kondisi Aset Keuangan di Kawasan Laguna Segara Anakan 184 68. Kondisi Aset Buatan di Kawasan Laguna Segara Anakan 186 69. Perubahan Aset Alam di Kawasan Laguna Segara Anakan 188 70. Sistem Insentif Berbasis Masyarakat di Laguna Segara Anakan 190 71. Perbandingan Penilaian terhadap Berbagai Kriteria untuk Setiap

Pilihan Sistem Insentif Pengelolaan Sumberdaya di Laguna Segara Anakan

191

72. Persepsi Masyarakat Lokal terhadap Kondisi Sumberdaya di

laguna Segara Anakan 197

73. Nilai Eksternalitas Positif dan Negatif dari Laguna Segara Anakan 200 74. Analisis Biaya Manfaat untuk Penanganan Eksternalitas di Laguna

Segara Anakan 201

(24)

Nomor Teks Halaman 75. Adaptasi yang Dilakukan Masyarakat di Laguna Segara Anakan

sebagai Respon atas Suatu Kejadian 203

76. Nilai Bobot Kriteria untuk Pengelolaan Sumberdaya di Laguna

Segara Anakan 206

   

(25)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Teks Halaman

1. Pengurangan Luas Laguna Segara Anakan 3

2. Produksi Perikanan Tangkap Air Payau dan Perairan Umum

(Sungai) di Kabupaten Cilacap, 2001-2009 (Sumber: BPS 2010) 5 3. Perbandingan Produksi terhadap Nilai Volume Ikan dan Udang di

Kabupaten Cilacap, 1998-2009 (Sumber: BPS, 2010) 5 4. Siklus Kerusakan Lingkungan di Segara Anakan (Al Amin, 2002) 7 5. Sedimentasi di Kawasan Laguna Segara Anakan 9 6. Kerangka Permasalahan di Laguna Segara Anakan dengan

Pendekatan DPSIR 10

7. Kerangka Pemikiran Model Resiliensi Masyarakat di Segara

Anakan (diadaptasi dari Turner et al., 2003) 12 8. Model Konseptual dari SES (Anderies et al., 2004) 22 9. Sistem Sosial-Ekologis (Berkes and Folke, 2002) 24 10. Keterkaitan antara Sistem Ekologi dan Sosial di Wilayah Pesisir

dan Laut (Anderies, et.al, 2004 dalam Adrianto, 2006) 25 11. Kerangka Kerentanan (Turner et al., 2003) 27 12. Siklus Adaptif dari Empat Fungsi Ekosistem (R, K, Ω, α) dan Alir

Kejadian Diantaranya (Holling et al., 2000)

38

13. Panarchy, Model Heuristic dari Tahapan Siklus Pembaruan Adaptif yang Menekankan Hubungan (Interplay) Lintas Skala (Modifikasi dari Gunderson and Holling, 2002)

39

14. Tahapan Analisis Resiliensi Sosial-Ekologi (Walker et al., 2002) 42 15. Skema Coastal Livelihood System Analysis (Adrianto, 2005) 46 16. Kerangka Pemikiran Kehidupan Masyarakat Pantai (Pomeroy et al,

2005) 47

17. Langkah-Langkah Mendisain CLSA di Segara Anakan (Diadaptasi

dari Emmerton, 2001) 50

18. Langkah lengkap dalam mendisain CLSA di Segara Anakan

(Diadaptasi dari Emmerton, 2001) 51

19. Check list tahap 1 CLSA 52

20. Check list tahap 2 CLSA 53

21. Check list tahap 3 CLSA 54

22. Check list tahap 4 CLSA 55

23. Check list tahap 5 CLSA 56

(26)

Nomor Teks Halaman 26. Diagram Alir Tahapan Penelitian dan Analisis Data 77

27. Kerangka Pengambilan Sampel 81

28. Sebaran Sampel di Kawasan Laguna Segara Anakan 82 29. Siklus Manajemen Adaptif (USDA USDI, 1994) 96 30. Kategori Stakeholder berdasarkan Tingkat Pengaruh dan

Kepentingan (Brown et al, 2001) 98

31. Kerangka Konseptual untuk Analisis Sistem Sosial-Ekologis 100 32. Kerangka Konseptual untuk Analisis Keberlanjutan Mata

Pencaharian (DFID, 2003) 102

33. Model SES Segara Anakan (dimodifikasi dari model Anderies,

2004) 121

34. Alat Tangkap Jaring Apong 130

35. Hasil Tangkapan Jaring Apong 130

36. Alat Tangkap Jala 131

37. Alat Tangkap Bubu 132

38. Umpan Kepiting 132

39. Pengumpul Kerang 134

40. Proses Perebusan Kerang 134

41. Lahan Tambak di Dusun Bondan 136

42. Perumahan Petambak 136

43. Tempat Budidaya Kepiting 136

44. Lahan Budidaya Kepiting 136

45. Lahan yang Disiapkan untuk Budidaya Kepiting 136

46. Kepiting Hasil Tangkapan Nelayan 136

47. Ibu-Ibu Menanam Padi 137

48. Sawah di Desa Klaces 137

49. Proses Pengambilan Nira 139

50. Proses Perebusan Nira 139

51. Pengawet yang Digunakan dalam Perebusan 139

52. Kayu Bakar yang Digunakan Penderes 139

53. Proses Pencetakan Gula 139

54. Gula yang Sudah Dicetak 139

55. Lobster yang Dikeringkan 140

56. Jaring Sirang yang Digunakan untuk Menangkap Lobster 140 57. Kegiatan Penambangan Pasir di Plawangan Barat 140

(27)

Nomor Teks Halaman 58. Kayu Bakau yang Digunakan untuk Kayu Bakar 141 59. Mata Air yang Dibendung dan Dipasang Pompa 144 60. Pipa untuk Menyalurkan Air Tawar ke Bak-Bak Penampungan 144

61. Proses Pengangkutan Air Bersih 145

62. PLTS di Desa Ujung Alang 145

63. Tingkat Pendidikan Responden di Segara Anakan 146

64. SD Filial di Dusun Bondan 147

65. SD Induk di Desa Ujung Alang 147

66. Sarana Ibadah Agama Kristen 148

67. Kegiatan Perayaan Agama Islam 148

68. Sarana Transportasi Anak Sekolah 149

69. Sarana Transportasi Menuju Cilacap 149

70. Grafik Kepentingan dan Pengaruh dari Stakeholder terkait

Pengelolaan Kawasan Laguna Segara Anakan 152 71. Interaksi Kejadian Ekologis dengan Sosial pada

Periode Tahun 1980- 1985 154

72. Interaksi Kejadian Ekologis dengan Sosial pada

Periode Tahun 1986 - 1990 156

73. Interaksi Kejadian Ekologis dengan Sosial pada

Periode Tahun 1991 - 1995 158

74. Interaksi Kejadian Ekologis dengan Sosial pada

Periode Tahun 1996 - 2000 160

75. Interaksi Kejadian Ekologis dengan Sosial pada

Periode Tahun 2001 – sekarang 161

76. Perubahan Persentase Keterlibatan Penduduk dalam Berbagai

Mata Pencaharian (Prayitno, 2001; Anonim, 2005) 167 77. Siklus Adaptasi Dinamika Sosial-Ekologi di Laguna Segara Anakan 171 78. Jenis Kelompok Mata Pencaharian yang Tersedia oleh Alam 173 79. Grafik Hasil CLSA di Laguna Segara Anakan 189 80. Persentase Responden yang Memiliki Skor Tinggi untuk Berbagai

Faktor yang Mempengaruhinya 193

81. Kondisi Hutan Mangrove di Laguna Segara Anakan (2010) 196 82. Pemanfaatan Mangrove sebagai Bahan Pembuatan Rumah (2010) 196 83. Struktur Hirarki untuk MCDM pada Keberlanjutan Pengelolaan

Sumberdaya di Laguna Segara Anakan 204

84. Skor Akhir Prioritas Model Pengelolaan Sumberdaya di Laguna

Segara Anakan Untuk Kriteria Ekonomi 206

(28)

Nomor Teks Halaman 85. Skor Akhir Prioritas Model Pengelolaan Sumberdaya di Laguna

Segara Anakan untuk Kriteria Ekologi 207

86. Skor Akhir Prioritas Model Pengelolaan Sumberdaya di Laguna

Segara Anakan untuk Kriteria Sosial 208

87. Pilihan-Pilihan Strategi untuk Meningkatkan Resiliensi Masyarakat

di Laguna Segara Anakan dengan Teknik SMART 209 88. Model Resiliensi Masyarakat di Laguna Segara Anakan 216

   

(29)

GLOSSARY

BPKSA Badan Pengelola Kawasan Segara Anakan

Eksternalitas adalah kerugian atau keuntungan-keuntungan yang diderita atau dinikmati pelaku ekonomi karena tindakan pelaku ekonomi lain.

Kecamatan

Kampung Laut Adalah wilayah administratif di kawasan Segara Anakan dihuni sekitar 15.000 jiwa yang terbagi 4 Desa yakni Ujung Gagak, Ujung Alang, Panikel dan Klaces dengan mata pencaharian masyarakat sebagai besar adalah nelayan dan petani.

Kerentanan atau vulnerability yang dimaksudkan dalam disertasi ini adalah atribut yang potensial dari suatu sistem untuk dirusakkan oleh dampak-dampak yang eksogenous.

KPSKSA Kantor Pengelola Sumberdaya Kawasan Segara Anakan Laguna adalah estuaria yaitu bentuk teluk di pantai yang sebagian

tertutup, dimana air tawar dan air laut bertemu untuk bercampur.

Laguna Segara Anakan

merupakan pertemuan muara Sungai Citanduy, Cibeureum, Cimeneng dan Cikonde, serta beberapa anak sungai. Segara Anakan adalah ekosistem estuaria yang unik dan khas di Pantai Selatan Pulau Jawa berfungsi sebagai daerah asuhan (nursery ground), tempat berpijah (spawning ground), mencari makan (feeding habitat) berbagai jenis biota akuatik seperti ikan, udang, dan kepiting. Disamping juga sebagai habitat berbagai burung dan binatang lainnya.

Masyarakat adalah orang-orang yang hidup dalam batas-batas geografis, terlibat dalam interaksi sosial, memiliki satu atau lebih ikatan psikologis antara satu dengan lainnya, dan ikatan dengan tempat tinggal.

MCDM Multi Criteria Decision Making

Model adalah abstraksi atau penyederhanaan dari sistem yang sebenarnya (Hall and Day, 1977). Model merupakan suatu penggambaran abstrak dari dunia nyata (riil), yang akan bertindak seperti dunia nyata untuk aspek-aspek tertentu. Pembangunan

(30)

Panarchy adalah suatu kerangka dalam pengelolaan sumberdaya yang menggambarkan suatu siklus adaptif dalam merespon lingkungan melalui empat fase berulang yaitu eksploitasi, konservasi, kerusakan dan reorganisasi.

PCRA Partisipatory Coastal Resources Assessment

Resiliensi atau Resilience yang dimaksudkan dalam disertasi ini adalah kemampuan dari sebuah ekosistem untuk mentolerir perubahan tanpa menyebabkan pengurangan kondisi kualitatifnya.

Resiliensi

masyarakat adalah tindakan belajar hidup dalam perubahan dan ketidakpastian, menjaga keberagaman untuk reorganisasi dan pembaharuan, mengkombinasikan berbagai ragam pengetahuan, dan menciptakan kesempatan untuk pengorganisasian secara mandiri yang dilakukan masyarakat dalam menghadapi perubahan ekologis.

SACDP Segara Anakan Conservation and Development Project Segara

Anakan adalah perairan estuarin semi tertutup karena ada Pulau Nusakambangan sebagai barier/penghalang, namun efek hidro-osenografi Samudera Hindia masih berpengaruh melalui pintu Plawangan Barat dan Plawangan Timur.

SES Social-Ecological System atau sistem sosial-ekologi yang dalam disertasi ini mengacu pada definisi yang dikembangkan oleh Anderies et al (2002) yaitu sebuah sistem dari unit biologi/ekosistem yang dihubungkan dan dipengaruhi oleh satu atau lebih sistem sosial.

(31)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Wilayah pesisir atau pantai merupakan wilayah yang mempunyai ciri ekologis khas, yang berbeda dengan wilayah ekologis daratan pada umumnya. Wilayah pesisir merupakan tempat peralihan antara daratan dan lautan, yang ditandai oleh perubahan ekologis yang tajam. Wilayah pesisir, terutama daerah muara sungai, juga merupakan wilayah yang sangat subur atau kawasan dengan tingkat produktivitas hayati yang tinggi. Namun demikian, di sisi lain, daerah pesisir dan muara sungai juga merupakan kawasan yang paling rentan terhadap gangguan yang terkait dengan aktivitas manusia. Gangguan tersebut sering menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan, termasuk dalam bentuk kerusakan ekosistem atau penurunan kualitas lingkungan pantai.

Jika dilihat dari sumber kejadian kerusakan ekosistem pantai/pesisir, menurut Dahuri dkk (1996) jenis-jenis kerusakan lingkungan tersebut sebagian disebabkan oleh faktor luar sistem wilayah pesisir dan sebagian lagi disebabkan oleh faktor-faktor di dalam wilayah pesisir itu sendiri. Proses perubahan ekosistem ini mengakibatkan dampak dalam bentuk perubahan sosial ekonomi suatu kawasan dan pola kehidupan penduduk yang berada pada kawasan tersebut. Hal inilah yang dialami oleh masyarakat di Kawasan Segara Anakan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, yang merupakan objek dari penelitian ini.

(32)

Selain itu, Segara Anakan ditetapkan sebagai salah satu kawasan konservasi yang mempunyai ciri khas sebagai satu kesatuan Ekosistem sebagaimana diamanatkan dalam pasal 28 ayat 3 huruf d dalam UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil: ”Ekosistem pesisir yang unik misalnya gumuk pasir di pantai selatan Yogyakarta, Laguna Segara Anakan, ekosistem pesisir Kepulauan Derawan sebagai habitat peneluran penyu laut”. Dan PP. Nomor 26 Tahun 2008 tentang RTRWN bahwa “Kawasan Ekosistem Laguna Segara Anakan merupakan salah satu Kawasan Strategis Nasional yang perlu mendapat perhatian khusus” dari pemerintah dan pemerintah daerah.

Namun demikian, Segara Anakan menghadapi banyak permasalahan pada berbagai aspek. Permasalahan yang menjadi penyebab utama kerusakan Segara Anakan ini yaitu akibat kerusakan lahan pada Daerah Aliran Sungai (DAS) terutama DAS Citanduy dan DAS Cimeneng (Purnamaji, 2006) yang salah satunya adalah deforestasi dan degradasi lahan (Prasetyo, 2004). Menurut Asdak (2004), DAS merupakan satuan hidrologi memiliki keterkaitan biofisik antara daerah hulu hingga hilirnya dimana pemanfaatan sumberdaya di hulu akan berdampak pada kualitas DAS bagian tengah dan hilir.

Berbagai permasalahan dalam aspek-aspek sosial ekonomi penduduk di sekitar Segara Anakan telah terjadi akibat proses ekologis yang terjadi di Segara Anakan. Konflik lahan, kompetisi ekonomi, penebangan liar, dilema alih fungsi lahan adalah beberapa di antara masalah sosial ekonomi tersebut. Perubahan ekosistem laut menjadi ekosistem darat menyebabkan perubahan pada pola mata pencaharian dari aktivitas penangkapan ikan tradisional (nelayan) menjadi aktivitas di bidang pertanian ataupun industri. Karena relevansi dan urgensinya, berbagai permasalahan tersebut harus segera ditangani dan diselesaikan. Relevansi dan urgensi tersebut terutama terkait dengan keberadaan Segara Anakan sebagai muara beberapa sungai besar dan kecil yang mengalami proses sedimentasi, yang berakibat pada terjadinya pendangkalan laguna di Segara Anakan secara sangat cepat, yang berimplikasi pada timbulnya berbagai permasalahan sosial ekonomi seperti tersebut di atas.

(33)

7

1903 1944 1959 19

gan kecepa

971 1984 1986 199

atan angkuta

92 1993 1994 1995

an sedimen

5 1996 1997 1998

dari Cikond an data Landsat n data SPOT 5 ha

1999 2000 2001 2

(34)

beranggapan meletakkan klaim atas lahan-lahan tersebut, untuk membuka peluang alih profesi menjadi petani maupun untuk pengembangan ekonomi yang terkait dengan perikanan, misalnya pertambakan. Lebih lanjut, berkembang masalah lain, dimana ekstensifikasi lahan pertanian tersebut ternyata juga berpengaruh terhadap ekosistem kehidupan sumberdaya hayati ikan, yang pada gilirannya menyebabkan penurunan hasil tangkapan nelayan secara drastis.

Masalah konflik lahan juga diperparah oleh keterbatasan ekonomi alternatif. Akibat meluasnya areal tanah timbul di Kawasan Segara Anakan, sejumlah besar nelayan yang kehilangan sumber penghidupan berupaya beralih mata pencaharian, dari yang semula berbasis kelautan menjadi berbasis darat. Namun, keterbatasan ekonomi alternatif di wilayah tersebut membuat pilihan alih pencaharian menjadi terbatas. Sebagian dari mereka berhasil menguasai petak tanah timbul dan memanfaatkannya sebagai lahan pertanian. Sebagian dari mereka tidak berkesempatan untuk mendapatkan penguasaan atas timbul maupun kesempatan di sektor perekonomian lain; akibatnya, seperti yang dilaporkan oleh Sastranegara et al (2007) hutan mangrove mereka konversi menjadi lahan pertanian.

Perubahan kondisi sosial ekonomi tersebut berlangsung sangat cepat, seiring dengan kecepatan kerusakan lingkungan yang terjadi. Sumberdaya perikanan di laguna misalnya, telah mengalami penurunan sebesar 50% dari produksi 10 tahun yang lalu. Lebih menghawatirkan, perubahan drastis ini ternyata tidak hanya berdampak pada penduduk Kampung Laut yang berada pada wilayah utama laguna Segara Anakan, yang masih menggantungkan hidupnya sebagai nelayan, melainkan juga pada sejumlah besar nelayan pantai selatan di wilayah lain di Pulau Jawa. Produksi perikanan tangkap air payau dan perairan umum (sungai) di Kabupaten Cilacap pada tahun 2000-2009 dapat dilihat pada Gambar 2.

(35)
(36)

Selain karena terbatasnya mata pencaharian alternatif, alih profesi bagi masyarakat nelayan juga tidak mudah karena berbagai alasan, misalnya masalah budaya, keterbatasan keahlian, dan pola perilaku. Sebagaimana hasil pengamatan Mubyarto (1984), nelayan pada umumnya tidak mudah membayangkan untuk memiliki pekerjaan lain, yang dimungkinkan oleh kemampuan yang mereka miliki. Keterampilan nelayan bersifat amat sederhana dan hampir sepenuhnya dapat dipelajari dari orangtua mereka sejak kecil, sedangkan bisang pekerjaan lain pada umumnya memerlukan keterampilan yang lebih sulit untuk dipelajari.

Nelayan di bagian utara laguna, yang kehilangan sumber penghidupan sebagai nelayan akibat makin meluasnya tanah timbul pada umumnya kemudian memanfatkan tanah tersebut sebagai lahan pertanian. Tidak hanya itu, mereka juga melakukan perambahan hutan mangrove oleh petani untuk mencukupi kebutuhan akan lahan pertanian mereka. Hal ini menyebabkan masalah lain, yaitu kerusakan mangrove yang merupakan tempat perlindungan bagi beberapa hewan darat dan burung serta tempat memijahnya biota laut. Hasil penelitian Dudley (2000) menyatakan bahwa sebanyak 8% ikan dan 34% udang yang tertangkap oleh nelayan di perairan sekitar Pesisir Selatan Jawa menetas dan dibesarkan di laguna Segara Anakan, jumlah tersebut senilai US$ 8,3 juta per tahun.

Kondisi internal masyarakat Segara Anakan diperparah dengan adanya faktor luar yang ikut mempengaruhinya. Saat ini, telah banyak petambak dari luar daerah yang memulai usaha budidaya di wilayah Segara Anakan. Sebagian masyarakat lokal mendapatkan kesempatan untuk mempelajari teknologi dari luar tersebut dan kemudian terdorong untuk membuka lahan mangrove dan mengkonversinya menjadi areal-areal pertambakan.

(37)

Gambar 4. Siklus Kerusakan Lingkungan di Segara Anakan (Al Amin, 2002)

Permasalahan dan berbagai penyebabnya saling terkait, mencakup aspek ekologis dan aspek-aspek sosial ekonomi masyarakat, yang terintegrasi dalam sebuah sistem. Integrasi seperti itu dikenal sebagai Social-Ecological Systems (SES) (Adrianto dan Aziz, 2006). Mengacu pada gejala yang ditunjukkan oleh berbagai permasalahan di Segara Anakan sebagaimana dipaparkan di atas, paradigma yang membicarakan unit ekosistem yang dihubungkan dengan dan dipengaruhi oleh sistem sosial yang ada dimana ada keterkaitan antara aspek sistem alam (ekosistem) dan sistem manusia, jelas merupakan suatu hal yang sangat relevan.

Pemahaman terhadap potensi dinamika sosial-ekologi telah menyadarkan perlunya pengembangan pendekatan untuk beradaptasi terhadap potensi tersebut. Dalam konteks ini, adaptasi dimaksudkan sebagai kemampuan sistem sosial dan ekologi yang terkait sangat erat, kemampuan tersebut diperlukan untuk menghadapi situasi-situasi baru tanpa mengurangi kesempatan untuk mendapatkan pilihan-pilihan di masa depan, yang menurut Folke et al. (2002) kata kuncinya adalah resiliensi. Dengan adanya resiliensi, sistem ekologi dan sosial akan mampu untuk menyerap kejutan dan pada saat yang sama mempertahankan fungsinya. Dalam peristilahan Gunderson and Holling, 2002; Berkes et al., 2002), resiliensi menyediakan komponen-komponen yang

Degradasi food web dan ekosistem di SA

Produksi perikanan

laut SA menurun Alih mata pencaharian nelayan di SA Penduduk pendatang

dan luar Kampung Laut

Petani bertambah

Petambak bertambah Sedimentasi dari

hulu DAS

Penurunan/degradasi:

- Ekosistem mangrove - Ekosistem perairan

Ekosistem Pemukiman

(Daratan)

Ekosistem Daratan

meningkat Ekosistem

Pertanian

(38)

dibutuhkan untuk pembaruan dan pengorganisasian kembali pada saat terjadinya perubahan.

Mengacu pada konsep tersebut dan mempertimbangkan latar belakang permasalahan sebagaimana dipaparkan diatas, maka upaya identifikasi resiliensi berdasarkan penggambaran sistem sosial-ekologis di Segara Anakan adalah relevan dan urgen. Atas dasar itu pula, penelitian ini dirancang untuk difokuskan pada penyusunan model resiliensi masyarakat di Laguna Segara Anakan, Kabupaten Cilacap, Propinsi Jawa Tengah.

1.2. Perumusan Masalah

Perairan Laguna Segara Anakan yang menghubungkan kota Cilacap dan Pangandaran merupakan sebuah sistem ekologis yang memerankan fungsi sosial penting bagi komunitas padat penduduk di wilayah itu. Namun demikian, fungsi tersebut terganggu akibat berbagai tekanan yang terjadi pada sistem ekologis yang ada. Laguna Segara Anakan yang selama ini diandalkan oleh penduduk untuk menopang berbagai aktivitas ekonomi sosial, merupakan tempat bermuaranya berbagai sungai yang saat ini sedang mengalami percepatan pendangkalan dan pertumbuhan daratan baru (dalam bentuk mud flat).

Ekonomi lokal yang sejak semula tergantung pada keberadaan laguna, yaitu perikanan, menjadi sangat terganggu; sementara itu, daratan baru yang terbentuk oleh proses sedimentasi berkembang menjadi lahan sengketa. Konflik sumberdaya di sekitar laguna kemudian terjadi di antara penduduk lokal maupun dengan pelaku ekonomi dari luar wilayah itu dalam hal akses terhadap lahan garapan dan sumber air, mangrove dan wilayah penangkapan. Rencana intervensi kebijakan dalam bentuk pengalihan alur Sungai Citanduy, yang diperkirakan dalam meredam konflik-konflik tersebut untuk sementara ini belum dapat dilaksanakan karena diperkirakan akan menyebabkan konflik-konflik dalam bentuk lain.

(39)

wilayah tersebut sebagai area wisata; dengan demikian, pengalihan alur sungai ke Pangandaran besar kemungkinan akan mengancam keberlanjutan aktivitas ekonomi masyarakat di sekitarnya.

Untuk kondisi sosial dan ekologis yang terjadi pada saat ini, intervensi kebijakan dengan cakupan spasial yang lebih rendah, misalnya pengerukan muara sungai, pun belum mampu untuk menurunkan tingkat permasalahan sosial ekonomi di Segara Anakan secara signifikan. Untuk kondisi sosial saat ini, pengerukan reguler muara sungai oleh sebagian pengamat diperkirakan berpotensi memunculkan ketidakadilan distribusi dan merupakan sumber konflik baru. Hal ini terutama karena sedimentasi yang terus berlanjut, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 5 sebenarnya merupakan hal yang positif bagi petani, meskipun nelayan memandangnya sebagai sesuatu yang negatif, karena menyebabkan penurunan hasil tangkapan.

Gambar 5. Sedimentasi di Kawasan Laguna Segara Anakan

(40)

Secara umum, dapat disimpulkan bahwa permasalahan sosial ekonomi yang terjadi di Segara Anakan mengaitkan banyak aspek, baik internal maupun eksternal. Gambar 6 merangkum dalam bentuk diagram, saling keterkaitan antar permasalahan tersebut di atas, termasuk keterkaitannya dengan permasalahan yang terjadi di bagian hulu dari sungai-sungai yang bermuara di Segara Anakan dengan model DPSIR (Driving-Force-Pressure-State-Impact-Respon).

Gambar 6. Kerangka Permasalahan di Laguna Segara Anakan dengan Pendekatan DPSIR

Berdasarkan uraian permasalahan pokok tersebut di atas maka pertanyaan penelitian (research question) adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana struktur sistem sosial-ekologi yang ada di Segara Anakan?

2. Sejauh mana tingkat resiliensi masyarakat di Segara Anakan sehubungan

dengan berbagai permasalahan di atas?

3. Bagaimana model peningkatan resiliensi masyarakat yang dapat

diaplikasikan untuk kesejahteraan masyarakat dan kesehatan ekosistem Segara Anakan yang lestari?

• Pemicu di hulu: alih fungsi lahan, illegal logging, letusan gunung

ikan, penggunaan alat tangkap tidak ramah

lingkungan, • Kebijakan ekonomi: alih mata

pencaharian,

• Kelembagaan: BPKSA • Teknologi: pengerukan laguna,

sudetan sungai STATES CHANGES (S)

DAMPAK/ IMPACTS (I) RESPON/

(41)

1.3. Tujuan Penelitian

Sejalan dengan pertanyaan penelitian yang diajukan diatas, maka tujuan utama penelitian ini adalah mengkaji model resiliensi masyarakat di laguna Segara Anakan terhadap perubahan lingkungan terkait dengan sistem sosial-ekologis yang melingkunginya. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi struktur sistem sosial-ekologis Segara Anakan saat ini. 2. Mengidentifikasi tingkat resiliensi masyarakat Segara Anakan.

3. Menyusun model peningkatan resiliensi masyarakat yang rentan terhadap perubahan ekologis.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah diharapkan dapat :

1. Menghasilkan informasi ilmiah mengenai struktur sistem sosial-ekologis di laguna Segara Anakan saat ini.

2. Menghasilkan informasi ilmiah mengenai resiliensi masyarakat pesisir dalam beradaptasi dengan perubahan berupa ancaman/gangguan, baik yang bersifat cepat ataupun lambat, di Segara Anakan, untuk diaplikasikan di wilayah lain.

3. Menyediakan masukan bagi pemerintah dalam merancang intervensi kebijakan terkait resiliensi masyarakat Segara Anakan maupun di tempat lain.

1.5. Kerangka Pemikiran

(42)

Dalam kaitan dengan pembangunan wilayah pesisir, terdapat karakteristik dan dinamika masyarakat pantai serta faktor-faktor ekonomi, ekologi dan sosial yang berlaku pada masyarakat yang harus dipertimbangkan dalam pelaksanaan pembangunan. Wilayah pesisir memiliki karakteristik khusus yang lebih kompleks dibanding daratan atau lautan. Hal ini karena terdapat interaksi antar ekosistem di wilayah pesisir dan juga interaksi masyarakat wilayah pesisir yang sangat dinamis, baik antar masyarakat sendiri maupun interaksi antara masyarakat dengan ekosistem pesisir. Interaksi ini disebut sistem sosial-ekologis atau SES.

Dinamika sistem sosial-ekologis di Segara Anakan ditunjukkan dengan adanya interaksi antara sistem alam (laguna) dan sistem sosial (manusia) dalam memanfaatkan ekosistem laguna. Interaksi ini mengakibatkan ekosistem laguna saat ini mengalami degradasi yang diakibatkan baik oleh fenomena alam maupun akibat aktivitas manusia. Sehingga dengan menggunakan pendekatan SES diharapkan mampu meningkatkan ketahanan (resilience) terkait dengan kerentanan pemanfaatan sumberdaya ekosistem laguna. Adapun kerangka pemikiran model resiliensi masyarakat di laguna Segara Anakan tertera pada Gambar 7.

Gambar 7. Kerangka Pemikiran Model Resiliensi Masyarakat di Segara Anakan (diadaptasi dari Turner et al., 2003)

(43)

sosial-ekologi telah menyadarkan perlunya pengembangan pendekatan untuk beradaptasi terhadap potensi tersebut. Dalam konteks ini, adaptasi dimaksudkan sebagai kemampuan sistem sosial dan sistem ekologi yang terkait sangat erat, kemampuan tersebut diperlukan untuk menghadapi situasi-situasi baru tanpa mengurangi kesempatan untuk mendapatkan pilihan-pilihan di masa depan, hal ini disebut resiliensi. Sebagaimana sistem sosial-ekologis mengalami perubahan secara konstan, resiliensi adalah unsur pusat untuk mempertahankan berlanjutnya kehidupan yang dapat menggeser tujuan utama kebijakan dari mengontrol sistem yang stabil menjadi kemampuan sistem untuk bertahan dan beradaptasi terhadap resiko dan perubahan. Atas pemikiran tersebut maka perlu dilakukan penilaian bagaimana peningkatan resiliensi masyarakat menghadapi perubahan baik yang bersifat mendadak ataupun gradual pada laguna Segara Anakan.

1.6. Novelty

Kebaruan dari penelitian ini adalah:

1. Lokasi penelitian dilakukan di laguna Segara Anakan yang merupakan suatu ekosistem yang unik dengan karakteristik spesifik.

2. Pendekatan praktis dan teoritis selama ini baik di Segara Anakan maupun dalam penanganan permasalahan sosial dan lingkungan pada umumnya menggunakan pendekatan yang cenderung memisahkan aspek sosial dan aspek ekologis. Kalaupun ada pendekatan yang mengakomodasikan kedua aspek, hampir tidak pernah akomodasi tersebut dilakukan dalam format terintegrasi sebagaimana dalam pendekatan SES.

3. Interaksi antara sistem ekologi dan sistem sosial di laguna Segara Anakan sangat kuat, karena terdapat ketergantungan sistem sosial terhadap sistem ekologi. Sistem sosial sangat sensitif terhadap perubahan sistem ekologi. Perubahan sistem ekologi yang terjadi merupakan akumulasi dari perubahan-perubahan sistem ekologi dan sosial dari wilayah hulu dan hilir DAS, serta dinamika perairan laut.

(44)
(45)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ekologi Estuaria

Estuaria berasal dari kata aestus yang berarti pasang surut (tide) yang mempunyai definisi sebagai suatu perairan pesisir yang semi tertutup dan mempunyai hubungan bebas dengan laut terbuka (Pritchard, 1967 dalam Koesbiono, 1979). Estuaria mempunyai definisi yang beragam, keragaman ini karena adanya beberapa bentuk geomorfologis garis pantai, misalnya gobah, rawa, fjord dan bentuk teluk dangkal lainnya seringkali dianggap sebagai estuaria (Nyabbaken, 1988). Definisi estuaria adalah bentuk teluk di pantai yang sebagian tertutup, dimana air tawar dan air laut bertemu untuk bercampur. Definisi ini memberi arti bahwa adanya hubungan bebas antara air laut dengan sumber air tawar paling sedikit selama setengah waktu dari setahun.

Ekosistem estuaria sering sekali berasosiasi dengan hutan mangrove sehingga sering disebut dengan ekosistem mangrove. Ekosistem ini sangat produktif, rapuh dan sekaligus penuh dengan sumberdaya. Ekosistem ini diartikan sebagai ekosistem yang mendapatkan subsisdi energi, karena arus pasang surut banyak membantu dalam menyebarkan zat-zat hara. Spesies ikan laut banyak menggunakan estuaria untuk berlindung dan mencari makan karena estuaria kaya akan nutrien. Ikan-ikan dari daerah laut banyak yang menggunakan estuaria sebagai daerah asuhan (nursery ground).

Ekosistem estuaria merupakan jalan masuk dan jalan keluar bagi ikan-ikan diadromus (anadromus dan katadromus). Ikan anadromus menggunakan estuaria sebagai jalan masuk dari laut menuju sungai atau estuaria, sebaliknya ikan katadromus menggunakan estuaria sebagai jalan keluar sungai atau danau untuk bermigrasi ke laut. Menurut Nursid (2002) di perairan estuaria Segara Anakan ditemukan lebih dari 45 jenis ikan. Diantara 45 jenis ikan ini,17 jenis merupakan jenis peruaya (migratory), 12 jenis menetap (resident spesies) dan 16 jenis merupakan pendatang (occasional visitor). Menurut Dirjen Perikanan (1992) jenis ikan peruaya di Segara Anakan diantaranya teri (Sardinella fimbriata), belanak (Mugil spp.), sidat (anguilla anguila), tuna dan pepetek (Leigognathus spp.)

(46)

pulau Nusakambangan dan Plawangan Barat (Western Outlet. Selain itu Segara Anakan disebut juga sebagai estuaria, karena secara principal dipengaruhi oleh pasang surut air laut dan juga air tawar dari beberapa sungai yang bermuara di laguna Segara Anakan. Sebagai kawasan estuaria, Segara Anakan merupakan perairan estuaria semi tertutup dengan keberadaan Pulau Nusakambangan.

2.2. Tinjauan Teori Sistem dan Studi Komunitas 2.2.1. Teori Sistem

Teori sistem adalah suatu bidang interdisipliner dari ilmu pengetahuan dan studi yang menyangkut sifat alami dari sistem kompleks di alam, masyarakat dan ilmu pengetahuan. Lebih rinci, merupakan suatu kerangka dimana seseorang dapat meneliti dan/atau menguraikan kelompok objek manapun bahwa bekerja dengan maksud untuk menghasilkan beberapa hasil (Wikipedia, 2009). Teori sistem menganalisis struktur dan pemfungsian sistem yang mengatur dirinya sendiri dalam suatu lingkungan yang kompleks (McCarthy, 2006).

Prinsip sistem sebagai struktur pengetahuan dimaksudkan untuk mengintegrasikan pengamatan dengan pengetahuan sehingga lebih bermakna (Forrester, 1968). Hal-hal yang dapat diperoleh dengan menggunakan teori sistem dalam sistem sosial adalah: (1) teori sistem diturunkan dari ilmu pasti; (2) teori sistem mengandung banyak tingkatan dan dapat juga diaplikasikan pada aspek dunia sosial berskala terbesar dan terkecil, ke aspek yang paling subyetif dan objektif; (3) teori sistem tertarik dengan keragaman hubungan dari berbagai aspek dunia sosial; (4) pendekatan sistem cenderung menganggap melihat semua aspek sistem sosiokultural dari segi proses; dan (5) teori sistem secara inheren bersifat integratif (Buckley, 1967 dalam Ritzer dan Goodman, 2004).

(47)

Sistem adalah suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau suatu gugus dari tujuan-tujuan (Manetcsh and Park, 1979 dalam Eriyatno, 1999). Sistem juga dapat bemakna sejumlah ide dan prinsip yang saling berhubungan yang terorganisasi, sebagai suatu bentuk organisasi sosial ekonomi-politik, atau sebagai sejumlah objek dan fenomena yang terkelompok bersama. Dalam makna sistem sebagai suatu organisasi dari sejumlah element dan bagian yang bekerja sebagai sebuah unit, maka beberapa kata yang dekat dengan pengertian ini adalah entity, integral, sum, totality,dan whole.

Prinsip dasar teori sistem cukup sederhana, bahwa masyarakat merupakan suatu keseluruhan yang saling tergantung (Roderick, 1986), seperti sebuah mobil kata ahli fisika, atau seperti sebuah organisme dalam bidang biologi. Kelangsungan sistem ditentukan oleh pertukaran masukan dan keluaran dengan lingkungannya. Setiap sistem terbagi dalam sejumlah variabel subsistem, dimana tiap subsistem juga terdiri dari tatanan sub-subsistem yang lebih kecil.

2.2.2. Studi Komunitas

Community yang diterjemahkan menjadi komunitas oleh Koentjaraningrat (1990) memiliki pengertian sebagai “suatu kesatuan hidup manusia yang menempati suatu wilayah yang nyata dan berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat serta oleh suatu rasa identitas komunitas yang memiliki ciri-ciri yaitu adanya kesatuan wilayah, kesatuan adat istiadat rasa identitas, sbg suatu komunitas dan rasa loyalitas terhadap komunitas itu sendiri”.

Soekanto (2002) mengartikan community sebagai masyarakat setempat. Masyarakat setempat merujuk pada warga sebuah desa, kota, suku atau bangsa yang mana para anggotanya hidup bersama sehingga merasakan bahwa kelompok dapat memenuhi kepentingan-kepentingan hidup yang utama. Keterikatan secara geografis merupakan suatu ciri dasar yang sifatnya pokok sebagai suatu komunitas, tetapi hal ini tidaklah cukup karena suatu community harus memiliki apa yang disebut dengan community sentiment atau perasaan komunitas. Perasaan sebagai suatu komunitas memiliki beberapa unsur yaitu seperasaan, sepenanggungan dan saling memerlukan.

(48)

menghadapi pengaruh faktor eksogen dan endogen, maka tetap ada dinamika sosial (Kartodirdjo, 1993).

Masyarakat lokal merupakan kelompok masyarakat yang mempunyai kepentingan terhadap kawasan konservasi dikarenakan kedekatan masyarakat dengan kawasan tersebut dan adanya faktor kepentingan baik secara historis, sosial religi, ekologi maupun ekonomi masyarakat lokal. Namun masyarakat hampir tidak pernah terlibat di dalam berbagai proses pengambilan keputusan, dan sebaliknya diposisikan sebagai penerima setiap kebijakan yang dihasilkan oleh pemerintah. Oleh karenanya dimasa yang akan datang, peran serta yang dikembangkan didalam berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan konservasi haruslah ditekankan kepada peran serta yang bersifat kemitraan, dimana masyarakat turut berperan didalam proses pengambilan keputusan akhir (Sembiring dan Husbani 1999).

2.3. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian menurut rancangan tersebut di atas adalah kombinasi metode kualitatif dan kuantitatif (Patton, 1980; McCracken, 1988; Shaffir and Stebbins, 1991; Bernard, 1994; Kvale, 1996).Sasaran dari pendekatan kuantitatif adalah gejala sedangkan sasaran dari pendekatan kualitatif adalah prinsip-prinsip umum dari perwujudan gejala-gejala (Rudito dan Famiola, 2008).

2.3.1. Pendekatan Kuantitatif

Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan metode survai, dengan tujuan untuk memahami masalah sosial melalui penjaringan pendapat dan aspirasi masyarakat atau entitas penduduk, melalui pendekatan sampel populasi. Pengambilan contoh populasi (sampling) yang heterogen menjadi bagian-bagian yang relatif homogen (homogenous subsets) atau disebut juga strata, dilakukan untuk dapat menjaring seluruh lapisan dalam masyarakat, baik secara acak dilakukan pada setiap strata tersebut (Cochran, 1984; Walsh, 1990).

(49)

penelitian diukur dengan angka-angka kuantitatif secara ontologis dan diletakkan pada tatanan realisme (Basrowi dan Sukidin, 2002). Sparringa (2000) menyatakan bahwa semangat utama positivisme adalah memetakan pola-pola dan kecenderungan umum tentang bagaimana struktur sosial yang ada menghasilkan disposisi dan perilaku individu yang berbeda. Produk akhir dari upaya intelektual tersebut adalah ditemukannya dalil-dalil umum sebagai upaya geberalisasi atas fakta-fakta empirik dari berbagai pengamatan yang terukur (Basrowi dan Sukidin, 2002).

Analisis statistik merupakan salah satu alat yang digunakan dalam penelitian kuantitatif. Salah satu faktor terpenting dalam analisis statistik adalah pemilihan metode statistik yang tepat sesuai dengan kebutuhan dan tujuan penelitian. Analisis statistika hanya suatu alat saja, diharapkan dapat mengungkapkan kebenaran dari serangkaian data, tetapi pemahaman, pengalaman, intuisi dan penalaran tetap menjadi kekuatan peneliti (Greenfield, 2002).

Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja di Kecamatan Kampung Laut. Kemudian pada masing-masing desa dilakukan pemilihan sampel secara stratified random sampling, yaitu teknik pengambilan sampel secara proporsional berdasarkan strata yang ditentukan, yaitu kelompok pemanfaat sumberdaya pada lokasi penelitian.

2.3.2. Pendekatan Kualitatif

Pendekatan kualitatif dilakukan untuk memberikan pemahaman lebih mendalam tentang berbagai aspek kultural masyarakat yang tidak dapat dijaring melalui pendekatan kuantitatif, sedangkan pendekatan kuantitatif dilakukan untuk memberikan pemahaman tentang aspek-aspek sosial budaya secara lebih positivistik, terukur dan kuantitatif. Pada pendekatan kualitatif, digunakan pendekatan teori kritis (Denzin and Lincoln, 2008) untuk mencapai suatu proses interaksi yang mampu membuka selubung kepentingan masing-masing partisipan secara lebih jujur dalam suatu seri dialog kritis.

(50)

kecil yang dikaji, dengan menelaah dimensi-dimensi kultural masyarakat secara rinci, untuk mendukung kajian dalam penelitian kuantitatif (Faisal, 2004; Basrowi dan Sukidin, 2002). Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang berguna melihat secara detil dan mendalam bagaimana proses suatu dampak muncul dari perubahan sosial yang terjadi akibat perubahan ekologis.

Penelitian juga dikombinasikan dengan rancangan penelitian studi kasus. Menurut Yin (2002) studi kasus adalah suatu inkuiri empiris yang menyelidiki fenomena di dalam konteks kehidupan nyata, bilamana batas-batas antara fenomena dan konteks tak nampak dengan tegas; dan dimana berbagai sumber dapat dimanfaatkan.

Strategi penelitian studi kasus diterapkan pada suatu komunitas, karena sesuai dengan keterwakilannya dengan karakteristik permasalahan dan tujuan penelitian. Pemilihan strategi penelitian studi kasus didasarkan pada: 1) kesesuaian dengan pertanyaan penelitian yang bersifat eksploratif, 2) peluang peneliti sangat kecil untuk mengontrol peristiwa/gejala sosial yang hendak diteliti, dan 3) pumpunan penelitian adalah peristiwa/gejala sosial kontemporer (masa kini) dalam kehidupan nyata (Yin, 1996 dalam Sitorus, 1998).

Pumpunan penelitian kualitatif adalah aspek subjektif perilaku manusia, dimana subjektif berarti melihat dari sudut pandang subjek penelitian sebagai subjek penelitian, sehingga hubungan antara peneliti dan subjek penelitian dirumuskan sebagai hubungan inter-subjektivitas. Secara logis, dapat dikemukakan bahwa jika ingin melihat gejala sosial secara kritis, maka terlebih dahulu harus dipahami masyarakat dimana gejala sosial tersebut terjadi. Untuk memahami sifat kritis dan tujuan emansipasi, maka sudut pandang yang dibawakan tidak cukup sudut pandang peneliti saja, karena akan memunculkan kemungkinan bias/rancu. Oleh karena itu dibutuhkan intersubjektivitas antara peneliti dengan subjek penelitian, sehingga peneliti benar-benar memahami secara benar masyarakat yang diteliti sekaligus memahami gejala sosial timbul. Teknik triangulasi berupa pengamatan, wawancara mendalam dan kajian data sekunder diperlukan untuk menangkap realitas sosial secara lebih valid.

Gambar

Gambar 6.  Kerangka Permasalahan di Laguna Segara Anakan dengan  Pendekatan DPSIR
Gambar 7.  Kerangka Pemikiran Model Resiliensi Masyarakat di Segara Anakan  (diadaptasi dari Turner et al., 2003)
Tabel 1.  Variabel dalam Kerangka Analisis SES
Gambar 10.  Keterkaitan antara Sistem Ekologi dan Sosial  di Wilayah Pesisir  dan Laut (Anderies, et.al, 2004  dalam Adrianto, 2006)
+7

Referensi

Dokumen terkait