PERSELISIHAN TERUS MENERUS ANTARA SUAMI ISTERI
AKIBAT TURUT CAMPUR ORANG TUA SEBAGAI DASAR
ALASAN PERCERAIAN
(Kajian Terhadap Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur No. 1164/Pdt. G/2008/PA JT)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu
Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
oleh :
AHMAD SAUQI NIM : 106044101386
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAHJ A K A R T APERSELISIHAN TERUS MENERUS ANTARA SUAMI ISTERI
AKIBAT TURUT CAMPUR ORANG TUA SEBAGAI DASAR
ALASAN PERCERAIAN
(Kajian Terhadap Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur No. 1164/Pdt. G/2008/PA JT)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh
Ahmad Sauqi NIM :106044101386
Di bawah Bimbingan
Dr. H. Yayan Sopyan, M.Ag NIP : 150 277 991
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul “PERSELISIHAN TERUS MENERUS ANTARA SUAMI
ISTERI AKIBAT TURUT CAMPUR ORANG TUA SEBAGAI DASAR ALASAN PERCERAIAN (Kajian Terhadap Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur No. 1164/Pdt.G/2008/PA.JT) telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta pada 18 Maret 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Ahwal Al
Sakhshiyyah.
Jakarta, 18 Maret 2010
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. DR. H. M. Amin Suma, SH, MA, MM
NIP 1955 0505 198203 1012
PANITIA UJIAN
1. Ketua : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA. ( ……… )
NIP 1955 0505 198203 1012
2. Sekretaris : Kamarusdiana, S.Ag, MH. ( ……… )
NIP 1972 0224 199803 1003
3. Pebimbing : Dr. H. Yayan Sopyan, M.Ag. ( ……… )
NIP 150 277 991
4. Penguji I : Dr. Asmawi, M. Ag. ( ……… )
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya, yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh Gelar Strata satu (S 1) di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, Maret 2010
KATA PENGANTAR Assalammu’alaikum. Wr. Wb.
Segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam, yang telah menciptakan
manusia sebagai mahluk yang paling sempurna. Diantara salah satu
kesempurnaannya adalah Allah karuniakan manusia pikiran dan kecerdasan.
Shalawat dan salam kita sanjungkan kepada pemimpin revolusioner ummat Islam
sedunia tiada lain yakni, Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat dan
ummatnya yang selalu berpegang teguh hingga akhir zaman.
Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis betul-betul menyadari adanya
rintangan dan ujian, namun pada akhirnya selalu ada jalan kemudahan, tentunya tidak
terlepas dari beberapa individu yang sepanjang penulisan skripsi ini banyak
membantu dalam memberikan bimbingan dan masukan yang berharga kepada penulis
guna penyempurnaan skripsi ini. Sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
yang berjudul: “PERSELISIHAN TERUS MENERUS ANTARA
SUAMI ISTERI AKIBAT TURUT CAMPUR ORANG TUA
SEBAGAI DASAR ALASAN PERCERAIAN
(Kajian Terhadap Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur No. 1164/Pdt. G/2008/PA JT)”.Dengan demikian dalam kesempatan yang berharga ini penulis ingin
mengungkapkan rasa hormat dan terima kasih serta penghargaan yang
1. Bapak Prof. Dr. H. Komaruddin Hidayat, MA., selaku Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Prof. Dr. KH. Muhammad Amin Suma, S.H., MA.,MM. Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum beserta staf dan jajarannya yang telah memberikan
bimbingan serta arahan baik secara langsung maupun tidak langsung selama
penulis menuntut ilmu di Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakrta.
3. Bapak Drs. H.A. Basiq Djalil, S.H., MA. Ketua Program Studi Ahwal
Al-Syakhshiyah Konsentrasi Peradilan Agama.
4. Bapak Kamarusdiana, S.Ag.,M.H. Sekretaris Prodi Ahwal Syakhshiyah
Konsentrasi Peradilan Agama yang telah sabar dalam membantu proses transkif
nilai, semoga Allah membalasnya.
5. Bapak Dr. H. Yayan Sopyan, M.Ag sebagai dosen pembimbing yang dengan
sabar dalam memberikan arahan dan masukan yang amat bermanfaat kepada
penulis hingga selesainya skripsi ini, tiada kata yang pantas selain ucapan rasa
terima kasih dan do’a semoga Allah SWT membalasnya.
6. Seluruh dosen Konsentrasi Peradilan Agama, Fakultas Syariah dan Hukum,
serta karyawan-karyawan dan staf perpustakaan yang telah memfasilitasi
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
7. Teristimewa buat Ayahanda H. Khotib Aly dan Ibunda tercinta Hj. Marwiyah
keluarga tercinta. Terima kasih atas segala do’anya, kesabaran, jerih payah dan
pengorbanan serta nasihat yang senantiasa memberikan semangat tanpa jemu
hingga ananda dapat menyelesaikan studi. Tiada kata yang pantas selain ucapan
do’a, sungguh jasamu tiada tara dan tak akan pernah terbalaskan.
8. Kepada Ketua Pengadilan Agama Jakarta Timur Drs. H. Wakhidun AR, SH, M.
Hum beserta staf dan para hakim yang telah bersedia untuk wawancara
langsung, penulis ucapkan banyak terima kasih atas partisipasi dan bantuannya.
9. Teman-teman angkatan 2005/2006 kelas Syariah dan Hukum Konsentrasi
Peradilan Agama, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih
atas kebersamaannya selama penulis belajar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
semoga persahabatan kita terjalin hingga rambut memutih.
Mudah-mudahan skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca
pada umumnya serta menjadi amal baik kita di sisi Allah SWT, Akhirnya, semoga
setiap bantuan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan dari Allah
SWT. Amin yaa robbal alamien.
(Jaza ka Allah khaira al-Jaza) Wasallamu’alaikum. Wr. Wb.
Jakarta, Maret 2010
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR
...
...i
DAFTAR ISI...iv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah...8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian...9
D. Metode Penelitian...9
E. Tinjauan Kajian Terdahulu...11
F. Sistematika Penulis...………...14
BAB II PERCERAIAN, HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA ORANG TUA DAN ANAK A. Pengertian dan Dasar Perceraian……….16
B. Jenis dan Alasan Perceraian……….20
C. Akibat dan Hikmah Perceraian………....29
E. Hak dan Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak Menurut Hukum
Islam………....38
F. Hak dan Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak Menurut Hukum Positif...42
BAB III ANALISA PUTUSAN TENTANG CERAI GUGAT TURUT CAMPUR ORANG TUA SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR A. Profil Pengadilan Agama Jakarta Timur...46
B. Kronologis Kasus Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor 1164/Pdt.G/2008/PA.JT...60
C. Pertimbangan dan Putusan Hakim Dalam Kasus Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor 1164/Pdt.G/2008/PA.JT...,...62
D. Analisa Penulis...70
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan...76
B. Saran...65
DAFTAR PUSTAKA...80
LAMPIRAN...84 1. Surat Permohonan Kesediaan Menjadi Pembimbing Skripsi
3. Surat Bukti Wawancara
4. Laporan Perkara Tahunan 2008 Pengadilan Agama Jakarta Timur
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah menciptakan segala sesuatu pasangan, hidup
berpasang-pasangan adalah naluri segala makhluk Allah termasuk manusia, maka setiap diri
akan cenderung untuk mencari pasangan hidup dari lawan jenisnya untuk
menikah dan melahirkan generasi baru yang akan memakmurkan kehidupan
dimuka bumi ini.
Pernikahan merupakan ikatan suci dari dua insan yang saling mencintai dan
mengharapkan kebahagiaan yang kekal dalam menjalani kehidupan rumah
tangganya. Namun untuk mencapai cita-cita tersebut sangatlah tidak mudah,
karena didalam membina sebuah keluarga yang sakinah akan banyak ujian dan
rintangan yang menghalangi terwujudnya suatu keluarga yang kekal dan bahagia.
Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang
sangat kuat atau mitsaaqon ghalidzan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.1 Agama Islam menganjurkan perkawinan, anjuran ini diungkapkan dalam berbagai macam ungkapan yang terdapat dalam
1
Al-Quran dan Hadits. Ada yang mengatakan bahwa perkawinan itu telah menjadi
sunnah para rasul sejak dahulu dan hendaklah diikuti pula oleh generasi-generasi
yang akan datang kemudian.2
Islam sangat memperhatikan masalah keluarga bagi para penganutnya.
Apabila landasan keluarga itu kuat, landasan negarapun akan kuat pula. Oleh
karena itu, Islam tidak mengabaikan peranan pribadi antara anggota keluarga
demi perenungan kemanusiaan saja. Islam memberi hak setiap anggota keluarga
sesuai dengan kehidupannya, kemudian mengajukannya untuk mengemban
tanggung jawab dengan penuh ketaqwaan.
Untuk memelihara kedamaian dan ketertiban dalam kehidupan keluarga
muslim, Allah telah menerangkan dalam surat An-nisa ayat 34 yang mengatakan
bahwa kaum lelaki adalah pelindung dan pemelihara kaum perempuan.
Kedudukan sebagai pelindung dan pemelihara diberikan kepada kaum lelaki atas
kaum perempuan, karena secara umum mereka memiliki kekuatan fisik lebih
besar daripada kaum perempuan untuk bekerja keras. Kaum lelaki juga
dinobatkan sebagai pemimpin. Adanya seorang pemimpin akan berpengaruh
dalam menata anggota keluarga. Inilah sebabnya anggota keluarga yang lain
terutama istri dituntut untuk menaati suaminya, maka Allah menjelaskan ketaatan
istri sebagai hal yang paling pantas.
2
Kehidupan berkeluarga tidak selalu harmonis seperti yang diangankan pada
kenyataan, bahwa memelihara kelestarian dan keseimbangan hidup bersama
suami isteri bukanlah perkara yang mudah dilaksanakan. Bahkan banyak di dalam
hal kasih sayang dan kehidupan harmonis antara suami isteri itu tidak dapat
diwujudkan.
Keluarga bisa berarti “bathin” yaitu ibu, bapak, anak-anaknya atau seisi rumah yang menjadi tanggungan dan dapat pula berarti “kaum” yaitu sanak saudara serta kaum kerabat. Yang di maksud dengan keluarga di sini adalah “Unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami dan isteri, atau suami-isteri dan anak-anaknya, atau ayah dan anaknya atau ibu dan anaknya”.3
Asal-usul keluarga terbentuk dari peristiwa pernikahan yang kemudian
melahirkan keturunan. Melalui sebuah lembaga pernikahan, seseorang laki-laki
dan seorang perempuan mengikatkan diri lahir dan bathin untuk hidup bersama
membentuk keluarga sebagai suami isteri dengan tujuan “membangun kehidupan yang tentram, penuh cinta dan kasih sayang”, yang sering diistilahkan dengan
sakinah mawaddah waa rahmah.
Keterampilan mengelola sebuah keluarga agar mencapai kehidupan yang
sakinah membutuhkan pengetahuan manajemen keluarga, juga memerlukan
pengetahuan lain yang berkaitan dengan keluarga, diantaranya: sosiologi
3 Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
keluarga. Yang dimaksud dengan sosiologi keluarga adalah “suatu ilmu yang menjelaskan hubungan dan pengaruh timbal balik antara anggota keluarga dan antara keluarga dengan struktur sosial, proses sosial dan perubahan sosial”.4
Pola hubungan anak dan orang tua dalam sebuah keluarga sangat ditentukan
oleh dua hal. Pertama, bagaimana orang tua memposisikan anaknya. Kedua,
bagaimana status orang tua di tengah-tengah masyarakat.5
Mendudukan posisi anak “apakah anak itu sesungguhnya milik orang tua”
ataukah “milik dirinya sendiri” akan sangat mempengaruhi relasi orang tua
terhadap anak itu. Jika anak dianggap milik orang tua, maka orang tua akan
berusaha sekuat tenaga mengarahkan, membimbing dan mengatur agar segenap
prilaku dan pikiran anak sesuai dengan keinginan orang tua. Dalam banyak hal,
orang tua akan bersikap diktator dan anak tidak punya kesempatan untuk
mengembangkan pilihannya sendiri. Sedangkan jika anak diposisikan sebagai
milik diri anak itu sendiri, maka orang tua akan berusaha sekuat tenaga
mengarahkan, membimbing dan mengatur agar segenap prilaku dan pikiran anak
sesuai dengan kemampuan, keuntungan dan dampaknya bagi anak. Anak
memiliki banyak kesempatan melakukan pilihan-pilihan berdasarkan
keinginannya sendiri. Dalam banyak hal, orang tua dan anak akan melakukan
proses tawar menawar. Terkadang anak yang harus mengalah mengikuti harapan
4
Hendi Suhendi, Pengantar Studi Sosial Keluarga, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 45-53
5
orang tua, dan terkadang lagi orang tua yang harus mengalah mengikuti keinginan
anak.6
Adapun pengertian konsep keluarga bahagia adalah bilamana seluruh
anggota keluarga merasa bahagia yang ditandai oleh berkurangnya ketegangan,
kekecewaan dan puas terhadap seluruh keadaan dan keberadaan dirinya
(eksistensi atau aktualisasi diri) yang meliputi aspek fisik, mental, emosi dan
sosial tanpa adanya turut campur dari orang lain. Keluarga tak bahagia sebaliknya
bilamana ada seorang atau beberapa orang anggota keluarga yang kehidupannya
diliputi ketegangan, kekecewaan dan tidak pernah merasa puas dan bahagia
terhadap keadaan, dan keberadaan dirinya terganggu atau terhambat.7
Rumah tangga adalah amanah bersama yang seharusnya dijadikan sebagai
awal ketika menempatkan masalah rumah tangga sebagai sentral pembinaan
bersama di dalamnya. Apabila terjadi suatu problematika kehidupan dalam rumah
tangga, hal ini dikarenakan masing-masing pihak di antara mereka tidak bisa
memenuhi amanah tersebut. Karena itu, upaya-upaya dalam menanggulangi
segala permasalahan dalam sebuah keluarga sangat penting sekali baik sebelum
dilaksanakannya pernikahan maupun setelah terjadinya masalah-masalah dalam
rumah tangga.8
6Ibid.,
h. 179
7Ibid.,
Islam memberikan jalan keluar ketika suami isteri yang tidak dapat lagi
meneruskan perkawinan, dalam arti ketidakcocokan pandangan hidup dan
perselisihan rumah tangga yang tidak bisa didamaikan lagi, maka diberikan jalan
keluar yang dalam istilah fiqih disebut dengan thalaq (perceraian). Agama islam membolehkan suami isteri bercerai, tentunya dengan alasan-alasan tertentu
walaupun dibenci oleh Allah SWT.
Perceraian merupakan solusi terakhir yang dapat ditempuh oleh suami isteri
dalam mengakhiri ikatan perkawinan setelah mengadakan upaya perdamaian
secara maksimal. Perceraian dapat dilakukan atas kehendak suami atau
permintaan isteri, perceraian yang dilakukan atas permintaan isteri disebut cerai
gugat.9
Salah satu masalah sosial yang datangnya dari keluarga adalah terjadinya
campur tangan orang tua yang mengakibatkan tidak harmonisnya relasi antara
orang tua dan anak. Fenomena tersebut sangatlah memprihatinkan karena rumah
tangga yang diawali dengan suatu ikatan dan ikrar suci, saling percaya dan
menyayangi hancur dengan hilangnya kepercayaan dan tidak adanya keselarasan.
Turut campur orang tua dalam rumah tangga anak memang sering terjadi
dalam kehidupan, karena orang tua tersebut merasa menjadi orang tua dari anak
8
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002) Cet. Ke-2 H. 102
9
tersebut sehingga ikut campur dalam rumah tangga anaknya. Ada pula bahkan
yang mengatur kehidupan anaknya sehingga anaknya tertekan. Problem inilah
yang menjadi masalah, batasan dari orang tua mencampuri urusan dari rumah
tangga anaknya. Karena tidak semua dengan turut campurnya orang tua dalam
keluarga anak bisa membuat harmonis dalam keluarga anak tersebut.
Dalam kasus yang berada pada pengadilan agama Jakarta Timur yaitu
bahwasannya rumah tangga penggugat dengan tergugat selalu dicampuri
urusannya oleh orang tua tergugat dan tergugat lebih mementingkan orang tuanya
dari pada isterinya, sehingga sebuah keluarga tidak berjalan dengan baik karena
adanya intervensi dari keluarga tergugat yang kemudian menyebabkan perceraian.
Melihat dari pembahasan diatas, penulis tergugah untuk menulis tentang
perkara turut campur orang tua yang mengakibatkan perceraian karena campur
tangan orang tua dalam keluarga anak bisa menyebabkan hingga perceraian.
Problem inilah yang membuat penulis tertarik untuk mengadakan studi penelitian,
dan pada skripsi ini penulis mengangkat judul “TURUT CAMPUR ORANG TUA SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN (Kajian Terhadap Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur No. 1164/Pdt.G/2008/PA.JT). Dengan harapan bahwa skripsi ini dapat bermanfaat dan menyumbangkan sedikit
keterangan mengenai perceraian dengan alasan karena adanya turut campur dari
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Sesuai dengan latar belakang yang telah dipaparkan di atas dan untuk
mempertajam pembahasan maka penulis akan membatasi masalah tentang
kewenangan orang tua terhadap keluarga anak dan mengetahui apa yang
menjadi alasan hakim dalam memutuskan perkara di Pengadilan Agama
Jakarta Timur dengan nomor 1164/Pdt.G/2008/PA.JT.
2. Perumusan Masalah
Dalam kehidupan rumah tangga, suami dan istri mempunyai kewajiban
yang sama yaitu menjaga keutuhan rumah tangga agar menjadi keluarga yang
sakinah, mawaddah waa rahmah yang tidak adanya intervensi atau turut campur dari orang lain. Akan tetapi, terkadang orang tua sering kali
mencampuri urusan rumah tangga anaknya dikarenakan masih merasa
menjadi orang tua dari anaknya tersebut. Padahal, seseorang yang sudah
menikah artinya anak itu sudah dianggap dewasa dan bisa menjalankan
menjalankan kehidupan keluarganya. Maka yang menjadi rumusan pada
penelitian ini dapat dirinci sebagai berikut:
a. Apakah turut campur orang tua terhadap rumah tangga anak dibenarkan
menurut hukum Islam dan hukum positif.
b. Bagaimana pertimbangan hakim dalam menyelesaikan dan memutus
perkara tersebut.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui turut campur orang tua terhadap rumah tangga anak
dibenarkan menurut hukum Islam dan hukum positif.
2. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam menyelesaikan dan
memutus perkara cerai gugat dengan alasan turut campur orang tua.
Sedangkanmanfaat dan signifikansi penelitian ini adalah:
1. Hasil kajian ini diharapkan menjadi masukan dan manfaat bagi khazanah
keilmuan bidang hukum, baik hukum perdata positif maupun hukum
perdata Islam.
2. Menambah perbendaharaan kepustakaan hukum umumnya dan hukum
Islam khususnya dibidang Peradilan Agama.
3. Bagi pihak suami atau istri hendaknya selalu menjaga dan memelihara
keutuhan dan keharmonisan rumah tangga, dari berbagai masalah yang
D. Metode Penelitian
Untuk mengumpulkan data dalam penulisan skripsi ini, penulis
menggunakan metode sebagai berikut:
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang digunakan penulis adalah jenis penelitian kualitatif
yang bersifat pendekatan survey.
2. Sumber data dan proses pengumpulan data
a. Data primer
Data primer berbentuk putusan yang didapatkan dari Pengadilan
Agama Jakarta Timur, serta melakukan wawancara dengan hakim yang
memutuskan perkara tersebut.
b. Data sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari buku-buku, internet
dan beberapa hasil penelitian yang berhubungan dengan perkara turut
campur orang tua sebagai alasan perceraian dan dikumpulkan permasalah
dan diklasifikasikan berdasarkan klasisifikasi masalah.
3. Alat pengumpul data
Alat pengumpul data yang diperoleh meliputi transkip interview,
catatan lapangan, dokumen pribadi dan lain-lain.
Analisa data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara menggunakan
analisa kualitatif dengan pendekatan konten analisis yaitu menganalisis isi
(conten analisa) dengan mendeskripsikan putusan perceraian akibat campur
tangan orang tua dan menghubungkan dengan hasil wawancara, analisa
yurisprudensi hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur untuk melihat sejauh
mana proses penyelesaian para hakim dalam menyelesaikan kasus perceraian
yang dikarenakan adanya campur tangan orang tua.
5. Teknik Penulisan
Teknik penulisan skripsi ini menggunakan buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007”.
E. Tinjauan Kajian Terdahulu
Untuk menentukan arah pembahasan dalam penulisan skripsi ini penulis
menelaah literatur yang sudah membahas tentang judul yang akan penulis
kemukakan dalam penulisan skripsi.
No Nama/
NIM/Judul/Pro di/Kon/Fak/Tah un
Substansi Perbedaan
1. Herdianto 103044121030 Perceraian Karena
Perselingkuh (Studi Kasus di Pengadilan Agama Jakarta Timur)
1. Menjelaskan
penyebab dan faktor-faktor apa saja yang menyebabkan adanya orang ketiga atau perselingkuhan. 2. Untuk mengetahui
penyelesaian kasus
Ahwal Al-Syakhsiyyah Peradilan Agama Universitas Islam
Negeri syarif Hidayatullah Jakarta
Fakultas Syari’ah & Hukum
2007
cerai gugat karena orang ketiga atau perselingkuhan.
2. M. Lutfi 103044128035 Penyebab Perceraian
Pada Pasangan Dini (Studi kasus pada Pengadilan Agama Jakarta Selatan)
Ahwal
Al-Syakhsiyyah Peradilan Agama Universitas Islam
Negeri syarif Hidayatullah Jakarta
Fakultas Syari’ah & Hukum
2007
1. Menjelaskan faktor-faktor penyebab perceraian pada pasangan dini. 2. Perselisihan yang
sering dihadapi kurang siapnya pasangan untuk menuju bahtera rumah tangga juga merupakan penyebab perceraian pada pasangan dini
1. Menjelaskan faktor-faktor penyebab orang tua turut campur yang mengakibatkan perceraian.
2. Akibat dari kurang siapnya menjalin sebuah keluarga sehingga adanya turut campur orang tua.
3. Eva Muslimah 104044201463 Intervensi Orang
Tua Sebagai
Faktor Pemicu Perceraia(Studi analisis putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat)
Ahwal
Al-1. Menjelaskan
penyebab dan faktor-faktor apa saja yang menyebabkan adanya intervensi orang tua yang menjadi pemicu perceraian.
1. Untuk mengetahui turut campur orang tua terhadap anak dibenarkan menurut hukum Islam dan hukum positif. 2. Kedudukan orang
Syakhsiyyah Peradilan Agama Universitas Islam
Negeri syarif Hidayatullah Jakarta
Fakultas Syari’ah & Hukum
2009
4. Surya Parma Batu Bara
10404414445
Faktor Ekonomi
Sebagai Alasan Perceraian
Ahwal
Al-Syakhsiyyah Peradilan Agama Universitas Islam
Negeri syarif Hidayatullah Jakarta
Fakultas Syari’ah & Hukum
2008
1. Menjelaskan faktor-faktor perceraian yang diakibatkan karena ekonomi. 2. Adanya pihak ketiga
dalam penyelesaian yaitu orang tua yang membantu keluarga anaknya
1. Menjelaskan faktor-faktor penyebab orang tua turut
campur yang
mengakibatkan perceraian.
2. Akibat dari kurang siapnya menjalin sebuah keluarga sehingga adanya turut campur orang tua.
5. Shonifah Albani 102044125066 Perceraian Akibat
Poligami (Studi kasus Pengadilan Agama Jakarta Selatan)
Ahwal
Al-Syakhsiyyah Peradilan Agama Universitas Islam
Negeri syarif Hidayatullah Jakarta
Fakultas Syari’ah &
1. Perceraian yang diakibatkan oleh orang ketiga,
sehingga terjadi atau adanya perceraian. 2. Orang ketiga tersebut
bukanlah dari pihak keluarga atau dengan kata lain adalah orang lain.
Hukum 2006
6. Hilmia
Perceraian Karena Alasan Murtad
Ahwal
Al-Syakhsiyyah Peradilan Agama Universitas Islam
Negeri syarif Hidayatullah Jakarta
Fakultas Syari’ah & Hukum
2007
1. Perceraian yang dikarenakan suami murtad, sehingga terjadi atau adanya perceraian.
1. Perceraian yang di akibatkan karena adanya turut campur orang tua.
F. Sistematika Penulisan
Untuk lebih memudahkan dalam pembahasan skripsi ini. Penulis
menyusunnya secara sistematik. Adapun setiap babnya terdiri dari:
Bab I Pendahuluan. Dalam bab ini diuraikan hal-hal yang meliputi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, tinjauan kajian terdahulu, metode penelitian serta
sistematika penulisan.
Bab II Perceraian, Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak. Dalam bab ini diuraikan hal-hal yang meliputi pengertian dan dasar perceraian,
hukum, jenis dan alasan perceraian, akibat dan hikmah perceraian,
kedudukan orang tua dalam keluarga anak, hak dan kewajiban antara
Bab III Analisa kasus cerai gugat turut campur orang tua sebagai alasan perceraian di pengadilan agama Jakarta timur. Dalam bab ini diuraikan
hal-hal yang meliputi profil pengadilan agama Jakarta Timur, duduk
perkara, pertimbangan hukum, amar putusan, analisis penulis.
Bab IV Penutup. Bab ini merupakan kesimpulan menggambarkan secara umum tentang permasalahan yang dibahas, dalam bab ini juga mencakup
saran-saran dari peneliti atas permasalahan yang di teliti sehingga
upaya mencapai tujuan dari penelitian yang dilakukan dan diharapkan
akan bermanfaat untuk kalangan akademis umumnya dan penulis pada
BAB II
PERCERAIAN, HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA ORANG TUA DAN ANAK
A. Pengertian dan Dasar Perceraian
Langgengnya kehidupan perkawinan merupakan suatu tujuan yang sangat
diinginkan oleh setiap umat Islam yang hendak menikah dari awal pernikahan
hingga ajal menjemput, karena di dalam perkawinan itulah kita bisa
menikmati naungan kasih sayang dan dapat memelihara keluarga kita dengan
baik, tetapi apabila semua itu tidak tercapai maka tidak sedikit pasangan
suami istri mengakhiri bahtera rumah tangganya melalui jalan perceraian.
Talak diambil dari kata “Ithlaq” yang menurut bahasa artinya
“melepaskan atau meninggalkan”. Menurut istilah syara' talak yaitu :
10
Artinya: “Melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri”.
Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dijelaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan
sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak
10
berhasil mendamaikan kedua belah pihak.11 Hal ini sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam pasal 115 dikatakan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di
depan sidang Pengadilan Agama setelah pengadilan agama tersebut berusaha
dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.12
Bila kita melihat dari redaksi di atas bahwa yang dinamakan perceraian
adalah menghilangkan atau melepas ikatan perkawinan sehingga setelah
hilangnya ikatan tersebut maka tidak lagi halal bagi suami atas istrinya. Tetapi
dari pengertian di atas ada perbedaan bahwa para ulama mendefinisikan
perceraian bisa dilakukan kapanpun dan dimanapun, tetapi hal ini berbeda jika
kita melihat di dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
dan Kompilasi Hukum Islam bahwa perceraian dapat dilangsungkan hanya
pada pengadilan agama.
Sehingga apabila ada orang Islam yang berada di negara Indonesia yang
melakukan pernikahan secara sah baik secara agama atau negara dan
melakukan perceraian di luar pengadilan agama maka perceraiannya itu tidak
sah demi hukum atau batal demi hukum.
11
R.Subekti, S.H dan R.Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (PT Pradnya Paramita, Jakarta,2006) cet ke-37, h 549.
12
Memang tidak terdapat dalam al-Qur’an ayat-ayat yang menyuruh atau
melarang eksistensi perceraian itu, namun isinya hanya sekedar mengatur bila
thalaq terjadi. Di dalam hal perceraian dasar-dasar perceraian itu dapat kita
lihat dari beberapa ayat al-Qur'an atau Hadis, seperti:
a) Al-Baqarah Ayat 232
! "# $
%
&'
( !
)#*+ ,
- ./)#01 2
34 ,
- 56 5#78 5 9
: 2
(
;<=*>
- ./01?
!@ 2
ABAC
…….
Artinya : “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa
iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi
mereka kawin lagi dengan bakal suaminya”.(Q.S. Al-Baqarah
Ayat 232)
b) At-Thalaq Ayat 1
DEFG H" *>
IJ
KL=
M O! "# $
%
&'
- 56 7
E# P ,
QREB-G
5
U
VWX
2
)Y-G
5!
U
U
7 L9
Z
[\7+]^
_
U
3`
QR56
1B !>ab
c
b
-
/
9
d^
3`
FRX1
!> e
`
: 2
*fg
9,H*>
hD*i;
4j
^
hD
=
&k*hlb
m
0h,#
9
.
.G )
m
*b
-G05*n*>
0
.G )
XG
,
(\)# .
o % !j*p
m
3`
q_XG 9
Lr05
0G 5*^
0h
?
t !b 2
uC
Artinya: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu dan bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali kalau mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.” (Q.S. At-Thalaq: 1)
c) Hadits Nabi Muhammad SAW
!" # $ %&'
() !" #
*
+ !,
-+
%&. ﺹ0 1 0
*
2 * &3+ 4
5678 9 6 * :6ﺹ * ;07+ ; <
4 " 4 946 4: ; 4 4 1 =4>1 4
9?
$ 8+
13
Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Katsir bin Uba’id al- Himsi, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Khalid dari Ubaidillah bin Walid al-Dzashofi dari Muharib bin Itsar dari Abdullah bin Umar RA.: telah berkata Rasulullah Saw. : Sesuatu perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak atau perceraian (HR.Ibnu Majah)”.
Dalam perundang-undangan Indonesia mengenai perceraian ini diatur
dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 pada pasal 38-41. Pada pasal 38
Undang-Undang No. 1 tahun 1974 disebutkan bahwa : “perkawinan dapat
13
putus karena: a. Kematian; b. perceraian; c. atas keputusan pengadilan”. Hal
ini sejalan dengan Kompilasi Hukum Islam pasal 113.
Dalam perundang-undangan Indonesia membedakan antara perceraian
atas kehendak suami dan perceraian atas kehendak istri. Hal ini karena
karakteristik hukum Islam dalam perceraian memang menghendaki demikian
sehingga proses penyelesaiannya pun berbeda.14 Maksud dari hal ini perceraian dapat terjadi akibat talak yang dilakukan oleh suami kepada istri
seperti halnya talak yang dijelaskan oleh hukum Islam, dan perceraian dapat
terjadi akibat gugatan perceraian yang dilakukan oleh istri terhadap suami.
Namun hal ini harus dilakukan didepan pengadilan seperti dalam pasal 115
Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi: “perceraian hanya dapat dilakukan
didepan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut
berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”.15
B. Jenis dan Alasan Perceraian 1. Jenis Perceraian
a. Cerai Talak
14
Mukri Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Jakarta : Pustaka Pelajar, 2003), cet. ke-4, h. 206.
15Kompilasi Hukum Islam.
Cerai talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama
yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara
sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130 dan 131.16
b. Cerai Gugat
Dalam sebuah perkawinan, keputusan untuk bercerai tidak hanya
tergantung pada seorang suami, isteri juga bisa mengajukan gugatan
perceraian apabila sudah tidak merasa cocok lagi dan tidak tahan oleh
tingkah laku suaminya.
Dalam Islam, gugat cerai biasa disebut khulu’. Khulu’ berasal dari
lafadz kha-la-‘a yang secara bahasa berarti menanggalkan atau membuka
pakaian. Pengertian ini dihubungkan dengan perkawinan karena Al-Qur’an
surat Al-Baqarah ayat 187, Allah SWT berfirman:
- 56
…
JL
*+
[\ <Z
[\Op 2
JL
*+
- ./Z
<
….
uwC
@AArtinya:Mereka merupakan pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi
mereka (QS. Al-Baqarah: 187)
Secara istilah, kata Khulu’ diartikan talak yang berlaku dengan
keinginan isteri dan kesunguhannya untuk bercerai, maksudnya adalah
16Ibid.,
isteri menebus dirinya agar dibebaskan dari ikatan perkawinan dengan cara
mengembalikan mas kawin yang telah mereka sepakati sebelumnya.17
Definisi lain dari khulu’ secara bahasa berarti tebusan dan menurut
istilah adalah talak yang diucapkan oleh isteri dengan mengembalikan
mahar yang penah dibayarkan suami.18
Sebagian Ulama mendefinisikan Khulu’ secara harfiah adalah “lepas”
atau “copot” tetapi secara istilah Khulu’ diartikan “perceraian dengan
tebusan (dari pihak isteri kepada pihak suami) dengan menggunakan lafadz
talak atau khulu”.19
2. Alasan perceraian
Alasan perceraian adalah suatu kondisi dimana suami atau isteri
mempergunakanya sebagai alasan untuk mengakhiri atau memutuskan tali
perkawinan mereka.
Di dalam menjalankan kehidupan perkawinan bertujuan untuk
membentuk keluarga yang sakinah, mawadah dan rohmah. Namun terkadang
dalam perjalanannya sebuah perkawinan ada yang tidak mencapai tujuan
17
Mustofa Al-Khin, Mustofa Al-Bugho, dan Ali Asy-Syarbaji, kitab fiqh madzhab syafie,
jilid ke 4 (Kuala Lumpur: Prospecta Printers SDN BHD, 2005)
18
Syaikh Hasan Ayub, fikih keluarga,penerjemah M. Abd.Ghofar,E.M (Pustaka Al-Kautsar,2006) cet ke-5. hlm. 305.
19
tersebut, maka terajadi putusnya perkawinan yakni melalui jalan perceraian.
Dalam sebuah perceraian harus ada alasan kuat yang melatar belakangi
terjadinya perceraian ini. Setidaknya ada empat kemungkinan yang terjadi
dalam kehidupan rumah tangga, yang dapat memicu timbulnya keinginan
untuk memutus/terputusnya perkawinan.20
Nusyuz bermakna kedurhakaan yang dilakukan seorang istri
terhadap suaminya. Hal ini bisa terjadi dalam bentuk pelanggaran
perintah, penyelewengan, dan hal-hal yang dapat menggangu
keharmonisan rumah tangga. Berkenaan dengan hal ini Al-Qur’an
memberi tuntunan bagaimana mengatasi nusyuz istri agar tidak terjadi
perceraian. Adapun petunjuk mengenai langkah-langkah menghadapi istri
melakukan nusyuz, surat an-Nisa’ ayat 34:
xy0 Bz
F{
b?
y
|)9*
%
&'
0}
^
3r~8 ,
•
./38 5*^
m|)9*
K€ 5*^
0}
^
U
7 4jp 2
X
b
[\ /
?
!b 2
m
7• 0
# ‚W
,
ĥ *n
=
y
•
7
j 0
#!d*
,#
…
0}
^
4†
j0
•
m
J
Z
*: 5,
> b
QR560@ 7i5‡
QR56 V7
5 ,
- 56
7ˆ 6
20
|
f
Rƒ;1
380}!
- 56 ^
‰X
U
:
Š ,
[\7+ = 5 $ 2
34 ,
U
[h 9
- E[‰)#*
‹4d
+0Œ
<
L:
Z
F{y4c
`
#*
=‰
+3•
BC
B C
DArtinya: “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri, ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatiri nusyuznya maka nasihatilah mereka dan pisahkan diri mereka dari tempat tidur mereka ,dan pukulah mereka. kemudian jika mereka menaatimu maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar” (Q.S. an-Nisa’ : 34).
! " !
% $
$ !& '
Kemungkinan nusyuz ternyata tidak hanya datang dari istri tetapi
dapat juga nusyuz yang datang dari suami. Selama ini sering
disalahpahami bahwa nusyuz hanya datang dari pihak istri.
( !) ' #*
C:
ŽY 2(I[•
X• ,y •
c
b
0/
# 5*^
@ 7ip
2
=u
•kX
34 ,
00
Y' 1
0}E[‰)#*’
: 2
0
#
W >
0}’z
= k*^
“ ,#.”
m
.4,#IW
‰[ 0(
<
\ ‰;•X a2
–“7jpO•
-4|i
m
:
U
=;
59
U
7 ]n 9
Q{ Š ,
Z
F{y4c
0}
^
F{ 5#0} 5 9
=‰
+0(
uAC
B C
dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Q.S. an-Nisa’ : 128).
Dalam Al-Qur’an dan terjemahannya terdapat keterangan bahwa
jalan yang ditempuh apabila suami nusyuz seperti acuh tak acuh, tidak
menggauli dan tidak memenuhi kewajibannya, maka upaya perdamaian
bisa dilakukan dengan cara istri merelakan haknya dikurangi untuk
sementara agar suaminya bersedia kembali kepada istrinya dengan baik.
Jika dua kemungkinan diatas menggambarkan salah satu pihak
nusyuz sedangkan pihak yang lain dalam kondisi normal, maka
kemungkinan yang ketiga ini terjadi karena keduan-duanya terlibat dalam
syiqaq (percekcokan), misalnya disebabkan kesulitan ekonomi, sehingga
keduanya sering bertengkar. Dalam hal ini Al-Qur’an memberi petunjuk:
:
O!j;(
—
Z
˜EC™ k*^
U
5š05[^
,
›} <0
X
&b
œ
2
6 2
›} <0
X
&b
0/
# 6 2
:
0G>B
>
“
)#X”
C• …,
>
•
0}E ™! *^
<
L:
Z
*:y4c
‹}
#*
=‰
h0(
B C
B C
hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscayaAllah memberi taufik kepada suami istri itu, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Bijaksana”. (Q.S. an-Nisa’ : 35).
Penunjukan hakam dari kedua belah pihak ini diharapkan dapat
mengadakan perdamaian dan perbaikan untuk menyelesaikan
persengketaan antara kedua belah pihak suami dan istri. Apabila karena
sesuatu hal hakam yang ditunjuk tidak dapat melaksanakan tugasnya,
dicoba lagi dengan menunjuk hakam lainnya.
Hal ini juga disebut dengan fakhisyah, hal ini menimbulkan saling
tuduh menuduh antara keduanya. Cara penyelesaiannya adalah
membuktikan tuduhan yang didakwakan, dengan cara li’an. Li’an
sesungguhnya telah memasuki “gerbang putusnya perkawinan, dan
bahkan untuk selama-lamanya karena akibat li’an adalah terjadinya talak
ba’in kubra”.
Dalam hukum Islam perceraian dapat disebabkan oleh alasan-alasan sebagai
berikut:21
"
21
+
,
!
,
, "
Sedangkan menurut Sayyid Sabiq, alasan-alasan perceraian itu adalah:
,
,
,
,
Di dalam muatan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 Tahun
1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan menerangkan dan menjelaskan bahwa alasan-alasan
perceraian sebagai berikut:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi,
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.
f. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga.
Sedangkan di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) menjelaskan hal
yang sama tentang alasan-alasan perceraian akan tetapi di dalam kompilasi
hukum Islam ada tambahan dua point dalam penyempurnaannya yaitu:
a. Suami melanggar taklik-talak.
b. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidakrukunan dalam rumah tangga.
C. Akibat dan Hikmah Perceraian
1. Akibat Perceraian
Apabila perkawinan yang diharapkan tidak tercapai dan perceraian yang
diambil sebagai jalan keluarnya maka akan timbul akibat dari perceraian itu
Perkawinan atau Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur hal tersebut pada
pasal-pasal berikut ini, yaitu :
1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 197422 Pasal 41
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana
ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak Pengadilan memberi
keputusannya.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlakukan anak itu, bilamana bapak dalam
kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut Pengadilan dapat
menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan
biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas
isteri.
2) Kompilasi Hukum Islam (KHI)23 Pasal 149
Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib :
22
R.Subekti, S.H dan R.Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, h 549.
23Kompilasi Hukum Islam,
a. Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas isterinya baik berupa
uang atau benda kecuali bekas isteri tersebut Qobla al-Dukhul.
b. Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama
dalam iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak bain atau nusyuz
dan dalam keadaan tidak hamil.
c. Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya dan separuh apabila
Qobla al-Dukhul.
d. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum
mencapai umur 21 tahun.
Pasal 150
Bekas suami berhak melakukan ruju’ kepada bekas isterinya yang masih
dalam masa iddah.
Pasal 151
Bekas isteri selama dalam masa iddah wajib menjaga dirinya tidak
menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain.
Pasal 152
Bekas isteri berhak mendapat nafkah iddah dari bekas suaminya kecuali
bila ia nusyuz.
a. anak yang belum Mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka
kedudukannya diganti oleh:
1) Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ibu;
2) Ayah;
3) Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ayah;
4) Saudara perempuan dari anak yang besangkutan;
5) Wanita-wanita dari kerabat sedarah menurut garis samping dari
ibu;
6) Wanita-wanita dari kerabat sedarah menurut garis samping dari
ayah.
b. Anak yang sudah Mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya.
c. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin
keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan
hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang
bersangkutan pengadilan dapat memindahkan hak hadhanah kepada
kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula.
d. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah
menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut
e. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak,
pengadilan agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b),
(c), dan (d).
f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya
menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan
anak-anak yang tidak turut padanya.24
2. Hikmah Perceraian
Dalam Al-Qur’an tidak ada ayat yang menyuruh atau melarang eksistensi
perceraian, sedangkan untuk perkawinan ditemukan beberapa ayat yang
menyuruh melakukannya.
Suatu kejadian pastilah terdapat hikmah yang akan didapatkan, begitu
juga pada permasalahan perceraian akan ada hikmah yang akan kita dapatkan
baik bagi sang suami atau sang isteri. Talak pada dasarnya sesuatu yang halal
tetapi hal yang paling dibenci oleh Allah SWT, hikmah dibolehkannya talak
itu adalah karena dinamika kehidupan rumah tangga kadang-kadang menjurus
kepada sesuatu yang bertentangan dengan tujuan pembentukan rumah tangga
itu. Dalam keadaan begini kalau dilanjutkan akan menimbulkan mudharat
bagi kedua belah pihak baik itu sang suami atau isteri bahkan kepada sang
anak itu sendiri.25
24Ibid
Allah SWT Yang Maha Bijaksana menghalalkan talak tapi membencinya,
kecuali untuk kepentingan suami, istri atau keduanya, atau untuk kepentingan
keturunannya. Selain hal itu, hikmah adanya perceraian akan menambahkan
kita pada pembelajaran hidup bahwasanya dalam hidup terdapat dinamika
yang harus kita jalani, baik itu bersifat senang ataupun sedih. Karena semua
ini sudah ada ketentuannya yang telah lama ditentukan oleh Allah SWT
sehingga diharapkan semua peristiwa yang kita alami dapat kita ambil hikmah
atau sebagai pembelajaran untuk kehidupan kita kedepan agar lebih baik dan
bisa lebih mendekatkan diri dengan sang pencipta yaitu Allah SWT.
D. Kedudukan Orang Tua Dalam Keluarga Anak
Orang tua merupakan orang yang lebih tua atau orang yang dituakan, namun
umumnya di masyarakat pengertian orang tua adalah orang yang telah melahirkan
kita yaitu bapak dan ibu.26
Ibu dan bapak selain telah melahirkan kita ke dunia ini juga yang mengasuh
dan yang telah membimbing anaknya dengan cara memberikan contoh yang baik
25Amir Syarifudin
, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh dan Munakahat dan UU perkawinan, (Jakarta, Prenada Media, 2006), h. 109-200.
26
dalam menjalani kehidupan sehari-hari, selain itu orang tua juga telah
memperkenalkan anaknya kedalam hal-hal yang terdapat di dunia ini dan
menjawab secara jelas tentang sesuatu yang tidak dimengerti oleh anak. Karena
orang tua adalah pusat kehidupan rohani anak dan sebagai penyebab berkenalnya
dengan alam luar, maka setiap reaksi emosi anak dan pemikirannya dikemudian
hari terpengaruh oleh sikapnya terhadap orang tuanya di permulaan hidupnya
dahulu. Sedangkan anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa
yang senantiasa harus dijaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat dan
hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi.27
Semua agama menempatkan kedudukan orang tua pada tempat terhormat.
Hal ini sungguh pada tempatnya, karena tiada seorang pun yang nuraninya bisa
mengingkari pengorbanan dan jasa tanpa batas dari orang tua mereka. Selama
sembilan bulan ibu menjaga dan memberikan darahnya sendiri demi anak yang
dikandung. Pada saat melahirkan betapa seorang ibu amat menderita. Ia tidak
mempedulikan hidupnya sendiri. Harapan satu-satunya hanyalah: "Semoga
anakku lahir dengan selamat".28
Anak dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai keturunan,
anak juga mengandung pengertian sebagai manusia yang masih kecil. Selain itu
27 Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
(Citra Umbara, Bandung), hal. 4.
28
anak pada hakekatnya seorang yang berada pada satu masa perkembangan
tertentu dan mempunyai potensi untuk dewasa.29
Di dalam al-Qur’an anak sering disebutkan dengan kata walad-awlad yang berarti anak yang dilahirkan orang tuanya laki-laki maupun perempuan, besar
atau kecil, tunggal atau banyak. Karenanya jika anak belum lahir belum dapat
disebut al-Walad atau al-Mawlud, tetapi disebut al-Janin yang berarti al-Mastur
(tertutup) dan al-Khafy (tersembunyi) di dalam rahim ibu.30
Dalam masyarakat ditemui banyak sekali bentuk keluarga, antara satu
masyarakat dengan masyarakat lainnya dan terkadang tidak memiliki bentuk
keluarga yang sama. Bentuk-bentuk keluarga tersebut dapat dibedakan dari dua
hal, yaitu: 31
1. Keluarga Bathin (Nuclear Family), yaitu sebuah keluarga yang terdiri dari pasangan suami isteri bersama anak-anaknya yang belum menikah. Bentuk
keluarga yang seperti ini tidak memiliki ketergantungan terhadap unit
keluarga lainnya. Hanya saja, dalam kegiatan yang sifatnya kolektif,
keluarga ini masih relatif mementingkan kebersamaan walau hanya bersifat
pilihan bukan kewajiban. Hubungan antara suami dan isteri lebih penting
dari pada hubungan dengan sanak saudara lainnya. Sehingga membentuk
29
Anton M. Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (cet-2; Jakarta: Balai Pustaka, 1988), hal. 30-31.
30
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah:Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, (jilid XV, Jakarta, Lentera Hati, 2004), hal. 614.
31
keluarga yang mandiri, lebih bertanggung jawab, lebih bebas menentukan
pilihan dan terhindar dari konflik lebih jauh antara keluarga besar.
2. Keluarga Luas (Extended Family), yaitu sebuah keluaga yang terdiri dari keluarga bathin ditambah semua orang yang memiliki hubungan keturunan
dari kakek dan nenek yang sama, termasuk keturunan tinggal dalam satu
atap rumah. Bentuk kekeluargaan luas biasanyanya adanya konflik antara
anggota keluarga akan sering terjadi dan arus hubungan kekeluargaan lebih
banyak ditentukan oleh satu orang saja, yaitu orang yang memiliki
kelebihan dan pengaruh, biasanya oleh orang yang lebih tua.
Pada hakekatnya kedudukan orang tua sangatlah penting bagi anak, karena
orang tua adalah orang yang telah melahirkan dan membesarkan anak. Sesuai
dengan pasal 46 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan seorang anak hendaklah wajib menghormati orang tuanya
dan wajib mentaati kehendak dan keinginan yang baik dari orang tuanya, dan jika
anak sudah dewasa mengemban kewajiban memelihara orang tua serta karib
kerabatnya yang memerlukan bantuan sesuai kemampuannya.
Walaupun hubungan orang tua dan anak perlu mendapatkan perhatian
khusus karena antara orang tua dan anak adanya ikatan biologis, artinya relasi ini
secara alamiah atau natural yang mempersatukan mereka, yang terpenting dalam
hubungan antara orang tua dan anak ini adalah kewajiban orang tua dalam
nafkah dan penghidupan kepada anak itu. Artinya ketika anak sudah berkeluarga,
orang tua sudah tidak wajib lagi dalam memberikan nafkah dan penghidupan
kepada anaknya, karena seorang anak yang sudah berkeluarga sudah dikatakan
dewasa, dan seorang anak yang sudah berkeluarga apabila seorang isteri menjadi
tanggungan suaminya.
Tentunya kewajiban anak itu sendiri sebenarnya tidak hilang ketika seorang
anak ini sudah dewasa dan mempunyai keluarga sendiri, namun kedudukan orang
tua terhadap anak yang berubah. Karena ketika anak sudah berkeluarga mereka
sudah mempunyai kewajiban terhadap keluarganya sendiri. Oleh karena itu
kedudukan orang tua terhadap anak yang sudah mempunyai keluarga hanyalah
sebatas antara hubungan timbal balik antara orang tua dan anak, atau orang tua
hanya sebatas sebagai penasihat dan menjadi pembimbing dalam keluarga
anaknya jika memang dibutuhkan.
E. Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak menurut hukum Islam
Islam selain mengatur hubungan suami isteri juga mengatur hubungan
timbal balik yang harmonis antara orang tua dan anaknya. Keterkaitan yang erat
dalam aturan Islam ini memugkinkan perkembangan yang seimbang antara
generasi ke generasi.32
Mengenai kewajiban orang tua terhadap anak diantaranya mencukupi
kebutuhan-kebutuhan ekonomisnya, baik dalam bentuk pangan, sandang
32
perumahan dan kesehatan. Kemudian mendidik anak-anaknya adalah sangat
penting karena posisi keduanya sangat menentukan bagi kehidupan
anak-anaknya, selain itu kewajiban orang tua adalah mendidik anaknya agar berakhlak
baik.33
Kelahiran anak merupakan peristiwa hukum, dengan resminya seorang anak
menjadi anggota keluarga melalui garis nasab berhak mendapatkan berbagai
macam hak dan mewarisi ayah dan ibunya. Yaitu: 34
1. Hak nasab, dengan hubungan nasab ada sederetan hak-hak anak yang harus ditunaikan orang tuanya dan dengan nasab pula dijamin hak orang tua
terhadap anaknya.
2. Hak Radla’ adalah hak anak menyusui, ibu bertanggung jawab di hadapan Allah menyusui anaknya ketika masih bayi hingga umur dua tahun, baik
masih dalam tali perkawinan dengan ayah bayi atau pun sudah bercerai.
3. Hak Hadhanah adalah tugas menjaga, mengasuh dan mendidik bayi atau anak yang masih kecil sejak lahir sampai mampu menjaga dan mengatur diri
sendiri.
4. Hak Walâyah disamping bermakna hak perwalian dalam pernikahan juga berarti pemeliharaan diri anak setelah berakhir periode hadhanah sampai
33
Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, (PT: Bina Ilmu, Surabaya) 1995, cet. 1 h. 212.
34
dewasa dan berakal atau sampai menikah dan perwalian terhadap harta
anak.
5. Hak Nafkah merupakan pembiayaan dari semua kebutuhan di atas yang didasarkan pada hubungan nasab.
Seorang anak meskipun telah berkeluarga, tetap wajib berbakti kepada
kedua orang tuanya. Kewajiban ini tidaklah gugur bila seseorang telah
berkeluarga. Karena jalan yang haq dalam menggapai ridha Allah SWT adalah
melalui orang tua yaitu dengan “Birrul Walidain”. Sebagaimana yang tersirat
dalam al-Qur’an surat al-Israa’ ayat 23:
mJ%J y
0hl^ _
~` 2
U
j .Gh 5 9
`
)
]>
Cf!Ÿ*
?
!
^
= % X
m
Lb
- *
5#[h*>
4 0G'
‰0
;+!
0}56.G*) 2
2
0}5634 c
34 ,
r7
9
0}¡¢£
h¤
a2
3`
0}56[ DE ™ 9
r5y
0}./Z
=`[
y
›}>B 3•
ABC
; E+ B
Artinya : “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”. (Q.S. al-Israa’: 23).
Mengenai ayat al-Qur-an di atas, bahwa adalah benar seorang anak itu harus
akan tetapi orang tua pun harus mengerti ketika anaknya sudah berkeluarga.
Artinya anaknya itu mempunyai kewajiban yang lain selain kewajiban kepada
orang tuanya, yaitu kewajiban kepada keluarganya. Selain itu memang benar
bahwa anak itu harus selalu berbakti kepada orang tuanya dan selalu
menghormatinya, namun berbakti dan menghormati disini bukan berarti harus
selalu mematuhi perintah orang tua, apalagi ketika anak tersebut sudah
berkeluarga. Jadi, selama perintah kedua orang tua tidak mengandung
kezhaliman, maka anak harus menaatinya karena ridha orang tua adalah pintu
surga. Sebagaimana dalam Hadis disebutkan:
4; 4 4. $ 4F G ?4+ "H 91 4 *I 4:34+B 4,1+" : 1 4 48
JG 44 1 : "HK
"H 48
42<4 4 :ﻥ 1M4F :N
O
4; 4 4.
5678 9164 96 :"64ﺹ 96 4;074+ P1Q 47
;0 4ی
S
JT" 4U14 - 401 V47184 40
4M4. 4 1WX 1HY4.
4- 41 4Z 4[ 1\3
91]4^1# 84
OS
4;4<48 %_` Na $ 484+
bc1 4ﺹ b 4C4# bd1ی 4#
35
Artinya:Abu Darda’ ra. berkata, “Seorang laki-laki datang kepadaku dan berkata, ‘Aku memiliki seorang istri dan ibuku menyuruhku agar menceraikannya.’” Abu Darda’ menjawab, “Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Orang tua adalah pintu surga yang paling baik. Jika kamu mau, buanglah pintu itu atau peliharalah.’” (H.R. Tirmidzi. Ia berkata, “Hadits ini shahih”).
35
Pada hakekatnya seorang anak harus berbuat baik kepada kedua orang
tuanya, meskipun orang tua masih dalam keadaan musyrik mereka tetap
mempunyai hak untuk mendapatkan perlakuan yang baik dari anak-anaknya.
Berbuat baik kepada kedua orang tua harus didahulukan daripada fardhu
kifayah, amalan-amalan sunnah, berjihad di jalan Allah SWT dan berbuat baik
kepada kedua orang tua tidak berarti harus meninggalkan kewajiban terhadap istri
dan anak-anaknya, kewajiban memberikan nafkah kepada istri dan anak-anak
tetap dipenuhi walaupun kepada kedua orang tuanya harus didahulukan.36
Permasalahan mentaati perintah orang tua ketika diminta untuk menceraikan
istri sudah berlangsung sejak lama. Oleh karena itu para Imam (Aimmah) sudah
menjelaskan penyelesaian dari permasalahan tersebut. Pada zaman Imam Ahmad
(abad kedua) dan zaman Syaikhul Islam (abad ketujuh) permasalahan ini sudah
terjadi dan sudah dijelaskan bahwa tidak boleh taat kepada kedua orang tua untuk
menceraikan istri karena hawa nafsu. Kecuali jika istri tidak taat pada suami,
berbuat zhalim, berbuat kefasikan, tidak mengurus anaknya, berjalan dengan
laki-laki lain, tidak pakai jilbab (tabaruj/memperlihatkan aurat), jarang shalat dan
ketika suami sudah menasehati dan mengingatkan tetapi istri tetap nusyuz
(durhaka), maka perintah untuk menceraikan istri wajib ditaati.37
F. Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak menurut hukum Positif
36
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Berbakti Kepada Kedua Orang Tua, (Darul Qolam – Jakarta, 2005) hal. 34
37 Ibid.,
Di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Hak dan
kewajiban antara orang tua dan anak dapat kita lihat dalam Bab X menyatakan
bahwa:
Pasal 45
1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka
sebaik-baiknya.
2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku
sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana
berlaku terus-menerus meskipun perkawinan antara kedua orang tua
putus.
Di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa:38 Pasal 19
Setiap anak berkewajiban untuk:
1) Menghormati orang tua, wali dan guru.
2) Mencintai keluarga, masyarakat dan menyayangi teman.
3) Mencintai tanah air, bangsa dan Negara.
4) Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya.
5) Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.
38Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Berkaitan dengan kewajiban anak maka orang tua berkewajiban memelihara
dan mendidik anak-anaknya. Kewajiban tersebut merupakan dasar dari kekuasaan
orang tua, akan tetapi bukan sebagai akibat dari kekuasaan orang tua.
Kewajiban tersebut disebabkan oleh adanya hubungan antara orang tua
dengan anak yang tercipta karena keturunan. Hal ini terbukti dari ketentuan pasal
26 ayat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak yang menyebutkan bahwa orang tua berkewajiban dan
bertanggung jawab untuk :
1) Mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak.
2) Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan
minantnya.
Apa yang dimaksud dengan pemeliharaan yaitu pemberian tempat tinggal,
makanan, pakaian, perawatan jika anak tersebut sakit. Sedangkan pendidikan
yang dimaksud ialah mendidik anak tersebut menjadi mahluk sosial. Bagian yang
utama dari kewajiban orang tua ini adalah menyekolahkan anak-anak agar dapat
hidup mandiri di kemudian hari.39
Orang tua mempunyai hak mengoreksi dan mendisiplinkan anak-anaknya,
orang tua dapat memerintah anak dan sebaliknya anak wajib mematuhi perintah
39
itu. Kewajiban orang tua terhadap anaknya adalah sebuah wujud aktualitas
hak-hak anak yang harus dipenuhi oleh orang tua.40
Dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 98 menyebutkan bahwa batas
usia anak yang mampu berdiri sendiri (dewasa) adalah 21 tahun, sepanjang anak
tidak cacat fisik atau pun mental atau belum kawin. Orang tua mewakili anak
mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan. Apabila
kedua orang tua anak tidak mampu, Pengadilan dapat menunjuk salah seorang
kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban orang tuanya.
Sedangkan dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974
tentang perkawinan disebutkan bahwa kewajiban anak yang utama terhadap orang
tuanya adalah menghormati dan mentaati kehendak yang baik dari orang tuanya.
Dan bila mana anak telah dewasa wajib memelihara orang tuanya dengan
sebaik-baiknya menurut kemampuannya. Bahkan anak juga berkewajiban untuk
memelihara keluarga dalam garis lurus keatas, bila mereka ini memerlukan
bantuannya.
Seorang anak yang sudah berkeluarga artinya sudah dikatakan dewasa, dan
seorang yang sudah dewasa berarti harusnya sudah bisa mengurusi keluarganya
sendiri tanpa adanya turut campur orang tua, karena dengan adanya turut campur
40
orang tua ke dalam keluarga anak biasanya akan terjadi ketidakharmonisan dalam
keluarga dan tidak berjalannya hak dan kewajiban sebagaimana mestinya.
Oleh karena itu, mengenai kewajiban orang tua terhadap keluarga anak
sebenarnya hanya sebatas hubungan timbal balik dan bukan mencampuri urusan
keluarga anaknya, karena anak tersebut sudah dikatakan dewasa dan mempunyai