AKIBAT HUKUM DARI PERCERAIAN DENGAN
ALASAN SUAMI MURTAD
(Analisa Putusan No. 1154/ PDT. G/ 2007/ PA. JS)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H.I)
Oleh : LILIS SURYANI NIM : (104044201470)
Di bawah Bimbingan
Pembimbing I Pembimbing II
Drs. H. Abd. Wahab Abd Muhaimin,Lc. MA Afwan Faizin, S. Ag, M.A,
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM JURUSAN AKHWAL AS-SYAHSIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
ﺮ ا
ﺮ ا
ﷲا
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah
memberikan rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripisi ini. Shalawat serta salam senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Besar
Muhammad SAW, pembawa syari’ah-Nya yang universal bagi semua umat manusia
setiap waktu dan tempat sampai akhir zaman.
Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang
penulis temukan, namun syukur Alhamdulillah berkat rahmat dan inayah-Nya,
kesungguhan, serta dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik langsung
maupun tidak langsung, segala kesulitan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya,
sehingga pada akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan.
Oleh sebab itu, sudah sepantasnya pada kesempatan kali ini penulis ingin
mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M., selaku Dekan
Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A., dan Bapak Kamarusdiana, S.Ag., M.
Hum, selaku Ketua Prodi dan Sekertaris Prodi al-Akhwalus Syakhsiyyah
Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
3. Bapak H. Abd. Wahab Abd Muhaimin, Lc. MA dan Bapak Afwan Faizin, S.Ag,
M.A, selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan
pikiran selama membimbing penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini.
Semoga Allah memudahkan setiap langkahnya. Amin.
4. Segenap Bapak dan Ibu dosen serta staf pengajar pada lingkungan Prodi
al-Akhwalus Syakhsiyyah fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada
penulis selama duduk di bangku kuliah.
5. Segenap jajaran staf dan karyawan akademik Perpustakaan Fakultas Syari’ah
dan Hukum dan Perpustakaan Utama yang telah banyak membantu dalam
pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujukan penulis dalam menyusun
skripsi.
6. Bapak Drs. A. Chairi, M. Hum, selaku Ketua Pengadilan Agama Jakarta Selatan
dan seluruh jajarannya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis
dalam mencari data-data sebagai bahan rujukan skripsi.
7. Sejumput bakti ananda persembahkan kepada Ayahanda H. Abdul Rosyid dan
Uminda tercinta Hj. Zubairoh, yang telah mencahayai hidupku serta senantiasa
memberikan kasih sayang disertai do’a penuh rasa tulus dan ikhlas dalam setiap
jejak langkahku. Semoga baktiku ini mampu menjelma menjadi do’a ‘terima
kasih’ ku untukmu. Semoga Allah selalu menyayangi mereka berdua. Amin.
8. Selaksa do’a dan harapan penulis panjatkan untuk kakak-kakakku tercinta;
Muhammad Ghazali, Murfatmah, Murfatmi, yang senantiasa memberikan
wejangan dan semangat pada penulis selama penulis mengerjakan skripsi. Tidak
lupa terima kasih pada mama Ika, mas Olid, mba Siswi, mas Sidin, mba Ah,
mba Dina, mas Budi dan mas Taufan. Terimakasih atas do’a dan motivasinya.
9. Selaksa cinta penuh kasih penulis haturkan teruntuk Bambang Hermawan
beserta keluarga besar. Terima kasih atasa dukungan dan do’anya dan dan
terima kasih juga telah memberikan penawar dahaga kalbu disaat penulis tengah
gundah gulana.
10. Untuk keponakan-keponakanku tercinta; Ika Trisnawati, terima kasih atas
dukungan, motivasi dan do’a yang senantiasa dipanjatkan untukku, dan terima
kasih juga pada Iin, Aya, Amin, Mahda, teruslah semangat dalam belajar untuk
menggapai impian kalian.
11. Setangkup do’a dan asa kupersembahkan untuk sahabat sekaligus saudariku;
Yayah, Ika, Hajah, Neng Hanna, Ade, Ida, Febri, Rizal, kuucapkan rasa terima
kasih yang tak terhingga atas suntikan motivasi yang tiada henti, serta
bantuannya baik moril maupun materil. Semoga Allah ‘Azza Wa Jalla yang
akan memabalas budi baik kalian. Amin
12. Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada teman-teman diskusi
konsentrasi Administrasi Keperdataan Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan 2004, yang telah
melangkah bersama penulis dalam petualangan asah kecerdasan dan kearifan,
terutama pada sahabat-sahabat karib; Eni, Riana, Rida, Eva, Diah, Iis, Rizka,
Tita, Puji, Zarkazi, Mara, Tofik, Ma’min, Barry, Yanto, serta kawan-kawan lainnya
yang penulis tidak dapat sebutkan satu persatu. Mudah-mudahan jalinan persahabatan
kita tidak akan luntur di lekang waktu dan semoga persahabatan ini bisa terjalin
sampai kapan pun dan dimanapun kita berada.
Semoga amal baik mereka di balas oleh Allah SWT dengan balasan yang
berlipat ganda. Jazakumullah Khairan Kastira. Sungguh hanya Allah SWT yang
dapat membalas kebaikan mereka dengan kebaikan yang berlipat ganda.
Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis
khususnya dan bagi pembaca umumnya. Oleh karena itu, kritik dan saran, senantiasa
penulis harapkan untuk kesempurnaan skripsi ini.
Jakarta:
H Ula Jumadil 19
M 2008 Juni 23
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR... iii
DAFTAR ISI... vii
DAFTAR LAMPIRAN ... ix
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 8
C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian ... 9
D. Metode Penelitian ... 10
E. Sistematika Penulisan ... 12
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN A. Pengertian Perceraian dan Dasar Hukumnya ... 14
B. Sebab-sebab Perceraian... 18
C. Macam-macam Perceraian ... 23
BAB III : TINJAUAN UMUM TENTANG MURTAD MENURUT HUKUM ISLAM A. Pengertian Murtad ... 32
C. Macam-macam Murtad ... 37
BAB IV : AKIBAT HUKUM DARI PERCERAIAN DENGAN ALASAN SUAMI MURTAD A. Akibat Hukum Dari Perceraian Dengan Alasan Suami Murtad ... 39
1. Menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 ... 39
2. Menurut Kompilasi Hukum Islam ... 51
B. Tinjauan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam Memutuskan Perceraian Dengan Alasan Suami Murtad Dengan Perkara No. 1154/Pdt.G/ 2007/PA.JS ... 65
C. Analisa Putusan... 76
BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 80
B. Saran... 82
DAFTAR PUSTAKA... 83
DAFTAR LAMPIRAN
1. Pedoman wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
2. Hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
3. Surat mohon kesediaan pembimbing skripsi
4. Surat mohon data dan wawancara
5. Surat keterangan telah melakukan penelitian dan wawancara di Pengadilan
Agama Jakarta Selatan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam berisi aturan-aturan tentang setiap segi kehidupan manusia,
termasuk didalamnya segi pergaulan antar jenis yang secara ilmiah memerlukan
terpenuhinya kebutuhan lahir dan batin. Dalam syurah al-Dzaariyat 49 Allah
menyatakan :
..
⌧
⌧
Artinya: “Dan segala sesuatu yang kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah”.1
Tuhan telah menciptakan secara berpasang-pasangan segala hal yang
ada di dunia ini, dan menjadikan perkawinan sebagai sunnatullah bagi mahluk-
Nya. Dengan demikian, tingkat kebutuhan lahir dan batin manusia tidak
menghalangi pergaulan antara pria dan wanita disebabkan sudah adanya suatu
ikatan perkawinan.
1
Perkawinan menurut hukum Islam merupakan suatu perjanjian suci
antara seorang perempuan dan seorang laki-laki untuk membentuk keluarga yang
bahagia. Perjanjian ini mengandung pengertian adanya kemauan bebas antara
kedua belah yang saling berjanji berdasarkan prinsip suka sama suka, sehingga
diharapkan perkawinan tersebut dapat berlangsung sampai akhir hayat. Meskipun
mengandung pengertian adanya kemauan bebas, perkawinan harus tetap
memperhatikan aturan-aturan hukum yang telah ditetapkan dan berlaku secara
sah, karena perkawinan disamping sebagai ibadah ritual juga merupakan suatu
perbuatan hukum.
Untuk mengatur perkawinan sebagai perbuatan hukum, maka Negara
menetapkan peraturan yang akan menjadi dasar atau acuan bagi masyarakat yang
akan melaksanakan perkawinan.
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 merupakan pedoman bagi pemeluk
agama Islam yang berisi tentang tata cara perkawinan. Pada pasal 1
Undang-undang tersebut menyatakan bahwa ; “Perkawinan ialah ikatan lahir dan batin
antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam
mentaati perintah Allah dan mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, dan rahmah.2
Prinsip dari keluarga sakinah tersebut diatas secara Qur’ani antara lain
diatur dalam surat Al-Rumm ayat 21:
☯
☺
⌧
Artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadika-nNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mau berpikir”. (Q. S. al-Rum/ 30:21).
Sedangkan pada pasal 2 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974
Tentang Perkawinan yang menyebutkan tentang keabsahan perkawinan yang
berbunyi : “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
Berdasarkan bunyi dari pasal tersebut di atas telah jelas bahwa ikatan
lahir batin yang dilakukan antara seorang pria dengan seorang wanita, bertujuan
untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal yang dilakukan
berdasarkan ketentuan hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang
bersangkutan.
2
Sesuai dengan penjelasan pasal tersebut, kita dapat mengartikan
adanya prinsip kebebasan beragama bagi setiap warga Negara. Hal ini sejalan
dengan pasal 29 ayat 2 Undang-undang 1945 yang menjamin tentang kebebasan
dalam memeluk agama dan kepercayaan masing-masing yang mana hal tersebut
dilihat dari keabsahan perkawinan, apabila dilakukan menurut aturan hukum
masing-masing.
Beradasar ketentuan di atas, yang mengartikan prinsip kebebasan
beragama bagi setiap warga Negara, maka dapat juga diartikan secara tegas
makna yang tersirat di dalamnya yang mengandung arti kebebasan untuk pindah
agama, sejauh tidak ada paksaan atau bujukan agar seseorang mau melakukan
pindah agama.
Perbuatan pindah agama (riddah) menurut syara’ adalah keluar dari
agama Islam, baik menjadi kafir atau tidak beragama sama sekali. Dalam ikatan
perkawinan, murtadnya salah satu pihak baik atas kemauan sendiri maupun
karena bujukan dari orang lain akan dapat mengakibatkan putusnya ikatan
perkawinan dengan sendirinya, yang mana hal tersebut didasarkan atas
pertimbangan keselamatan agama dari laki-laki/perempuan yang beragama Islam,
dan dikhawatirkan anak-anaknya akan mengikuti agama bapaknya/ibunya yang
bukan Islam.
Adapun hal-hal yang mendorong penulis memilih judul ini adalah
berdasarkan prinsip Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh Sunnah jilid II, sebagai
ﺮﺧ ﺎ
ﺎ ﻬ
ﺔ
ﻄ ا
ﺔﺟوﺰ ا
وا
جوﺰ ا
ﺪ را
اذا
ﺎ ﻬ
ﺔ ﺮ
ﺔ ﺟﻮ
ﺎ ﻬ
ﺪﺧاو
يا
ةدر
ن
Artinya: “Apabila suami isteri murtad, maka putuslah hubungan perkawinan keduanya, karena riddahnya salah seorang dari suami-isteri itu adalah hal yang mewajibkan pisahnya mereka”3
Dan juga berdasarkan firman Allah SWT dalam al-Qur’an yang
berbunyi :
☺
☺
☺
☺
⌧
⌧
☺
☺
⌧
⌧
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah skepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada
3
(suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar, dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya, dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (Q. S. al-Mumtahanah: 10)
Dari ayat diatas kita dapat menyimpulkan bahwa hukum Islam
melarang adanya ikatan perkawinan antara orang Islam dan orang kafir, yang
mana murtadnya salah satu pihak dapat menjadikan putusnya perkawinan.
Hal ini juga dipertegas dalam surat al-Baqarah ayat 221 yang
menjelaskan tentang larangan berpegang pada tali (perkawinan) dengan orang
kafir dan orang musyrik sebelum mereka beriman, dengan didasarkan atas
pertimbangan kemadharatan dan dikhawatirkan akan terbawa kepada agama
suaminya.
Akan tetapi, jika kita lihat dalam kehidupan bermasyarakat masih
banyak kita temui maslah-maslah perpindahan agama, yang mana satu sama lain
tetap mempertahankan agama dan keyakinannya masing-masing tanpa
mengindahkan larangan-larangan tersebut. Misalnya sebelumnya dia telah
memeluk agam Islam kemudian pindah agama selain Islam. Ada beberapa alasan
atau sebab seseorang untuk pindah agama, yaitu:
1. Karena mengikuti kehendak atau bujuk rayu dari suami atau isteri.
3. Karena tertarik dengan ajaran agama lain.
4. Yang tadinya non Islam, karena belum kuat imannya memeluk agama Islam,
sehingga mudah kembali keagama semula yang dia anut.
5. Karena belum mengetahui atau mengerti akibat dari perbuatannya, bahwa
murtadnya itu akan berpengaruh dalam kehidupan rumah tangganya.
Perpindahan agama dalam suatu perkawinan juga ada hubungannya
dengan masalah warisan, di mana perbedaan agama itu dapat menghalangi
seseorang untuk mendapatkan warisan dan tidak berhak untuk diwarisi,
sebagaimana sabda nabi Muhammad SAW:
ص
ا
ا
ﺪ ﺰ
ﺔ ﺎ ا
.
لﺎ
م
:
ا
ثﺮ
ا
ﺮ ﺎﻜ ا
ثﺮ
و
ﺮ ﺎﻜ ا
)
(
Artinya: “Dari Usamah bin Yazid, katanya: bahwa Rasulullah saw bersabda:”Tidak mewarisi orang muslim terhadap orang kafir, begitu pula sebaliknya tidak mewarisi orang kafir terhadap orang Islam”.
(HR. Muttafaq Alaih). 4
Dalam Islam, perkawinan tidak diikat dalam ikatan yang mati dan
tidak pula mempermudah terjadinya perceraian. Perceraian boleh dilakukan jika
benar-benar dalam keadaan darurat atau terpaksa. Perceraian dibenarkan dan
diperbolehkan apabila hal tersebut lebih baik daripada tetap dalam ikatan
perkawinan tetapi tidak tercapai kebahagiaan dan selalu berada dalam
penderitaan. Agama Islam pun membolehkan suami istri bercerai, tentunya
4
dengan alasan-alasan tertentu, kendati perceraian itu (sangat) dibenci oleh Allah
SWT. 5
Dalam penyelesaian keluarga (hubungan suami istri) apabila sudah
tidak ada jalan lain, tidak ada kata sepakat antara kedua belah pihak untuk
menyatu lagi membangun keluarga, bahkan kalau diteruskan mungkin merusak
hubungan keluarga, maka perceraian merupakan alternative terakhir, dimana
suami istri harus berpisah. Pihak yang menentukan sah atau tidaknya talak dalam
suatu peraturan hukum adalah Pengadilan Agama.6
Masalah murtadnya salah satu pasangan suami atau isteri dalam suatu
perkawinan merupakan salah satu alasan yang dapat diajukan untuk bercerai.
Perceraian karena pindah agama (murtad) di dalam Undang-undang Nomor 1
tahun 1974 tidak diatur secara jelas. Dalam Undang-undang tersebut ada beberapa
hal yang dapat dijadikan alasan perceraian, diatur dalam pasal 38. Dan untuk
alasan perceraian karena salah satu pihak pindah agama (murtad) diatur dalam
pasal 116 huruf (h) Kompilasi Hukum Islam yang apabila terjadi peralihan agama
atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga
oleh salah satu pihak antara suami isteri.
Dari masalah perceraian tentunya akan membawa akibat-akibat hukum
bagi para pihak beserta anak hasil dari perkawinan tersebut, belum lagi nantinya
5
Ahmad Shiddiq, Hukum Talak Dalam Ajaran Islam (Surabaya: Pustaka Pelajar 2001), cet. Ke-I, h. 54-55
6
juga akan menyangkut mengenai harta yang mereka peroleh selama masa
perkawinan. Berangkat dari hal tersebut, maka penulis memilih judul skripsi ini
dengan “Akibat Hukum Dari Perceraian Dengan Alasan Suami Murtad (Analisis Putusan No. 1154/ Pdt. G/ 2007/ PA. JS)”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Agar pokok permasalahannya dalam memahami skripsi ini tidak
terlalu meluas dan tetap pada jalurnya, penulis membatasi ruang lingkup
pembahasan ini hanya berkisar pada perceraian yang dilatarbelakangi adanya
perpindahan agama (riddah) yang dilakukan oleh suami.
Dari permasalahan tersebut penulis merumuskan permasalahan
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah akibat hukum apabila terjadi perceraian dengan alasan suami
murtad ditinjau Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 maupun
Kompilasi Hukum Islam?
2. Bagaimana putusan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan terhadap
perkara perceraian dengan alasan suami murtad?
3. Atas pertimbangan apa saja Pengadilan Agama dalam memutuskan perkara
perceraian dengan alasan suami murtad?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui akibat hukum dari perceraian dengan alasan suami murtad
2. Untuk mengetahui hasil putusan hakim Pengadilan Agama dalam
memutuskan perkara perceraian dengan alasan suami murtad.
3. Untuk mengetahui pertimbangan apa saja yang dilakukan Pengadilan Agama
dalam memutuskan perkara perceraian dengan alasan suami murtad.
Adapun keguaan dari penelitian ini adalah:
1. Bagi akademisi; untuk menambah kajian keilmuan dalam bidang hukum
perkawinan ditinjau dari perspektif agama dan Undang-undang Perkawinan.
2. Bagi elit pengambil kebijakan; untuk mengembangkan pemikiran dan
kepastian hukum bagi pejabat di Pengadilan Agama mengenai
peraturan-peraturan perkawinan yang berada di Indonesia.
3. Bagi masyarakat pada umumnya; untuk memberikan wawasan keilmuan
dalam bidang hukum perkawinan beserta peraturan-peraturannya yang berlaku
di Indonesia.
D. Metode Penelitian
Dalam menyusun penulisan skripsi ini, penulis akan menggunakan
metode:
1. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah penelitian ini adalah pendekatan kualitatif yaitu
dengan melakukan analisa isi, menganalisa dengan cara menguraikan dan
mendeskirpsikan isi dari putusan yang penulis dapatkan tersebut kemudian
kesimpulan objektif, logis, konsisten dan sistematis sesuai dengan tujuan yang
dikehendaki dalam penulisan skripsi ini.
2. Jenis Data
Data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan
data skunder, yaitu;
a. Data Primer
1) Di dapatkan dari Pengadilan Agama Jakarta Selatan dengan nomor
putusan 1154/ Pdt. G/ 2007/PA. JS.
2) Wawancara terhadap hakim.
Kemudian data tersebut di analisis dengan cara menguraikan dan
menghubungkan dengan masalah yang di kaji.
b. Data Skunder
Data skunder adalah data yang diperoleh dengan jalan mengadakan
studi kepustakaan atas dokumen-dokumen yang berhubungan dengan
masalah yang di ajukan. Dokumen yang dimaksud adalah; Al- Qur’an, Al-
Hadist, buku-buku karangan ilmiah, Undang-undang, Kompilasi Hukum
Islam (KHI), Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1875, serta buku dan peraturan
lainnya yang berkaitan dengan masalah yang di ajukan.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penulisan ini dilakukan dengan cara sebagai
a. Menganalisa terhadap putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan nomor
1154/ Pdt. G/ 2007/ PA. JS
b. Interview atau wawancara yaitu mengumpulkan data yang dilakukan
penulis dengna jalan mengadakan dialog langsung dengan responden yaitu
yang telah di pilih sebelumnya yaitu Hakim Pengadilan Agama Jakarta
Selatan.
4. Teknik Analisa Data
Setelah proses pengumpulan data dikumpulkan melalui beberapa
teknik, maka data yang sudah ada akan diolah dan dianalisis supaya
mendapatkan suatu hasil akhir yang bermanfaat bagi penelitian ini. Pengolaan
data dilakukan dengan mengadakan studi dengan teori kenyataan yang ada di
tempat penelitian. Sedangkan teknik penulisan mengikuti pedoman penulisan
skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Jakarta 2007.
E. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini untuk mempermudah dalam memahami
skripsi ini, maka penulis membagi isi skripsi ini dari lima bab. Adapun
sistematikanya adalah sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan
Merupakan pendahuluan yang berisikan latar belakang masalah yang
kegunaan penelitian, metode penelitian serta sistematika penulisan
atau isi dari ringkasan bab demi bab dalam penulisan skripsi ini.
Bab II Tinjauan Umum Tentang Perceraian
Dalam bab ini dijelaskan mengenai perceraian dan dasar hukumnya,
sebab-sebab perceraian, serta macam-macam perceraian.
Bab III Tinjauan Umum Tentang Murtad Menurut Hukum Islam
Dalam bab ini diuraikan mengenai pengertian dari murtad,
syarat-syarat murtad, macam-macam murtad.
Bab IV Akibat Hukum Dari Perceraian Dengan Alasan Suami Murtad
Dalam bab ini dijelaskan juga mengenai akibat hukum dari
perceraian dengan alasan suami murtad menurut Undang-undang
No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan menurut Kompilasi
Hukum Islam, diuraikan juga mengenai tinjauan Hakim Pengadilan
Agama Jakarta Selatan dalam memutuskan perkara perceraian
dengan alasan suami murtad, yang terakhir adalah mengenai analisa
kasus putusan perceraian tersebut dengan nomor perkara 1154/ Pdt.
G/ 2007/ PA. JS.
Bab V Penutup
Dalam bab ini penulis mengemukakan kesimpulan dari akibat
hukum dari perceraian dengan alasan suami pindah agama (murtad),
dan saran-saran. Juga, dikemukakan bahan-bahan yang dipergunakan
pustaka, serta lampiran-lampiran data dan dari hasil wawancara yang
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN
A. Pengertian Perceraian dan Dasar Hukumnya
Perceraian dalam istilah fiqih disebut “talak” atau “furqah”. “Talak”
berarti “membuka ikatan”, “membatalkan perjanjian”. “Furqah” berarti
“bercerai”, lawan dari “berkumpul”. Kemudian kedua perkataan ini dijadikan
istilah oleh ahli-ahli fiqih yang berarti perceraian antara suami istri.2 Ta’rif thalaq
menurut bahasa Arab mempunyai arti melepaskan ikatan. Yang dimaksud disini
adalah melepaskan ikatan perkawinan.3
Talak menurut bahasa adalah membuka ikatan, sedangkan menurut
syara’ adalah melepaskan tali perkawinan dan mengakhiri tali pernikahan suami
istri.4 Talak menurut istilah adalah memutuskan tali perkawinan yang sah dari
pihak suami dengan kata-kata yang khusus, atau dengan apa yang dapat
mengganti kata-kata tersebut.5
Penulis tidak menjumpai pengertian yang jelas tentang perceraian
dalam hukum positif yang mengatur tentang perkawinan. Dalam Undang-undang
2
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), cet. Ke-2, h. 156
3
H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Jakarta: Attahiriya, 1976), cet. Ke-6, h. 376
4
Djaman Nur, Fiqh Munakahat, (Semarang: Dina Utama, 1993), Cet. Ke-1, h. 134
5
Nomor 1 Tahun 1974 pasal 38 hanya menyebutkan sebab-sebab putusnya
perkawinan yaitu:
1. karena kematian
2. karena perceraian
3. karena putusan pengadilan
Akan tetapi, perlu kiranya penulis mengemukakan pendapat para
sarjana sebagai pegangan tentang pengertian perceraian. Subekti merumuskan
bahwa perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan hakim atau tuntutan
salah satu pihak dalam perkawinan itu. Sedangkan Happy Marpaung berpendapat,
perceraian adalah perbuatan pembubaran perkawinan ketika para pihak masih
hidup dengan alasan yang dapat dibenarkan dan ditetapkan dengan putusan
pengadilan.6
Dasar Hukum Perceraian
Dalam melaksanakan kehidupan sehari-hari antara suami isteri
haruslah selaras agar terciptanya kehidupan yang damai dan tenteram sesuai
dengan apa yang diinginkan yaitu terbentuknya kelurga yang sakinah, mawaddah
wa rahmah. Namun tidak sedikit halangan yang dihadapi oleh suami isteri
tersebut, bahkan hal yang terburukpun dapat terjadi dalam rumah tangga bila
tidak ada kata sepakat lagi yaitu terjadinya perceraian sebagai jalan terakhir untuk
menyelamatkan kedua belah pihak.
6
Mengenai dasar hukum perceraian penulis akan mencantumkan
ayat-ayat al-Qur’an serta hadist yang menjadi landasan hukum perceraian, antara lain :
1. Surat al-Baqarah ayat 230 yang berbunyi :
⌧
⌧
⌧
⌧
☺
☺
☺
Artinya: “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) Mengetahui”.
2. Surat al-Baqarah ayat 229 yang berbunyi :
⌧
☺
☺
⌧
☺
⌧
☺
Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang Telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim”.
3. Surat at-Thalaq ayat 1 yang berbunyi :
⌧
itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, Maka Sesungguhnya dia Telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru”.
Selain ayat-ayat al-Qur’an diatas, adapula hadist yang berkenaan
dengan dasar hukum perceraian.
Hadist yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibnu Majah, yang
berbunyi:
ا
ﺮ
ا
ﱠ
ﱠ
ﱠ
ﷲا
ﻰ
و
ﱠ
لﺎ
:
ا
ﻐ
ﺾ
ا
ل
ا
ﷲا
ﻰ
ﱠﺰ
و
ﺟ
ﱠ
ا
ﱠﻄ
ق
) .
داﻮ ا
اور
آﺎ ا
دوا
و
(
Artinya: “Dari Ibnu Umar r. a berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Diantara barang-barang yang halal yang dibenci oleh Allah adalah talak”.
(Diriwayatkan oleh abu Daud, Ibnu Majah, dan disahkan oleh Hakim dan Abu Hatim menguatkan kemursalannya).
B. Sebab-sebab Terjadinya Perceraian
Suatu perceraian dapat terjadi karena sebab-sebab tertentu. Di dalam
Kompilasi Hukum Islam alasan-alasan perceraian disebutkan pada pasal 116 yang
terdapat delapan macam alasan untuk perceraian. Dalam hal ini penulis mencoba
menjelaskan menurut kemampuan yang ada, yaitu:
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan
Zina adalah salah satu perbuatan yang dapat dijadikan alasan
perceraian. Suatu perbuatan zina yang dituduhkan kepada seseorang dapat
dibuktikan dengan saksi-saksi yang kesaksiannya benar-benar menyaksikan
sendiri peristiwa zina yang dilakukan oleh orang yang dituduh berada dalam
keadaan tertangkap basah. Para saksi harus melihat langsung seorang laki-laki
dan perempuan sedang melakukan hubungna kelamin. Tuduhan perbuatan
zina tidak bisa didasarkan atas suatu hasil konklusi. Karena sulitnya cara
pembukitan ini, maka banyak dalam perkara perceraian, penggugatnya jarang
yang berani secara tegas mendasarkan dalilnya atas alasan zina. Karenanya
orang lebih sering mempergunakan istilah “serong, selingkuh, ataupun
menyeleweng” dan dari perbuatan ini akan timbulah perselisihan dan
pertengkaran yang terus menerus.
Alasan lain yang dapat digunakan oleh kedua belah pihak untuk
mengajukan perceraian adalah pemabuk, pemadat, penjudi dan sebagainya.
Jika hal tersebut (mabuk, madat dan judi) dilakukan terus menerus maka akan
timbul dampak negatif terhadap keutuhan rumah tangga dan kehidupan
ekonomi keluarga akan terancam.
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar
kemampuannya;
Dicantumkannya jangka waktu 2 tahun pada rumusan diatas adalah
dengan pihak yang meninggalkan. Perceraian dengan alasan ini adalah untuk
menjaga dan melindungi pihak yang ditinggalkan, sedangkan mengenai kata
‘berturut-turut’, apabila tidak disebutkan dengan jelas ada kemungkinan
kepergiannya terputus-putus asal kepergianya itu jumlahnya 2 tahun maka
bisa dijadikan alasan untuk memohon perceraian.
Persyaratan paling penting dalam hal ini adalah bila memang ada
i’tikad ingin meninggalkan tanpa suatu alasan yang sah dan tanpa izin orang
yang ditinggalkannya itu. Namun, bila meniggalkannya itu demi kepentingan
yang berkaitan dengan kelangsungan hidup mereka pada masa yang akan
datang, maka hal seperti itu tidak dapat dijadikan sebagai alasan memohon
perceraian.
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
Pasal 23 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 disebutkan
“Gugatan perceraian karena salah seorang dari suami-isteri mendapat
hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat sebagai
dimaksud dalam Pasal 19 huruf c maka untuk mendapat putusan perceraian
sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan Pengadilan
yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa
putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum tetap.7
7
Pasal tersebut diatas menunjukan bahwa salinan putusan pidana
yang telah mempunyai kekuatan hukum langsung dianggap mempunyai
kekuatan pembuktian yang menentukan/ mempunyai kekuatan pembuktian
yang memaksa.
Pihak penggugat tidak dapat melumpuhkan alat tersebut dengan
alat bukti lawan. Hakim sendiripun terikat secara mutlak atas alat bukti
tersebut, dengan syarat:
a. Hukuman yang dijatuhkan paling rendah lima tahun penjara.
b. Putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kraht)
c. Adanya keterangan dari pengadilan yang bersangkutan yang menjelaskan
bahwa putusan pidana tersebut telah benar-benar mempunyai kekuatan
hukum tetap. Putusan dijatuhkan setelah perkawinan berlangsung antara
suami istri.8
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiyayaan berat yang
membahayakan pihak lain
Jika suami melakukan kekejaman atau penganiyayaan berat
terhadap isterinya, maka isteri berhak mengajukan gugatan cerai ke
Pengadilan. Alasan kejam yang dimaksudakan bukan hanya menurut ukuran
isteri yang bersangkutan melainkan menurut perasaan umum yang tentunya
8
tidak berlawanan dengan pemukulan secara edukatif yang dibolehkan agama
dalam batas kewajaran.
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagi suami atau isteri
Alasan cacat badan atau menderita suatu penyakit tidak
memperoleh penjelasan yang lengkap di dalam Undang-undang Perkawinan,
keseluruhannya diserahkan pada kebijaksanaan Hakim. Hakimlah yang
menentukan secara pasti terhadap semua keadaan apakah bisa dijadikan alasan
untuk bercerai sebagaimana yang dimaksud dalam pasal ini. Bila cacat badan
atau penyakit itu menurut Hakim menyebabkan seseorang tidak dapat
menjalankan kewajibannya, maka hal tersebut dapat menjadi alasan untuk
memohon perceraian.
6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengakaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Perselisihan dan pertengkaran secara terus menerus yang terjadi
dalam dalam suatu keluarga akan sangat merugikan, baik bagi kedua pasangan
maupun bagi kehidupan anak-anaknya. Disebutkan lebih lanjut dalam
Kompilasi Hukum Islam pasal 134 bahwa; “Gugatan perceraian karena alasan
tersebut dalam pasal 116 huruf f, dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi
dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan
suami isteri tersebut.
7. Suami melanggar ta’lik talak
Apabila suami telah terbukti melakukan pelanggaran atas
perjanjian ta’lik talak atau tidak menepati salah satu dari isi sighat ta’lik talak
yang telah ia ucapkan dahulu, kemudian isteri merasa di rugikan, maka hal
tersebut menimbulkan peluang bagi isteri untuk mengajukan gugatan dengan
menempatkan perjanjian itu sebagai alasan perceraian.
8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan
dalam rumah tangga.
Orang yang murtad yaitu orang yang keluar dari agama Islam baik
memeluk agama Yahudi, Nasrani atau yang lain atau sama sekali tidak
beragama, maka haram bagi diri isterinya yang masih beragama Islam.9
Dengan demikian maka apabila seorang suami atau isteri murtad, maka
dengan sendirinya perkawinannya menjadi batal, artinya jatuhlah perceraian
antara suami isteri tersebut dengan disebabkan kemurtadan. Agama Islam
menetapkan batalnya perkawinan karena murtad dimaksudkan untuk melindungi
agama suami/isteri sehingga tidak terjerumus pada keyakinan hidup yang sesat,
dengan demikian pula dalam suatu pernikahan bila suami atau isteri pindah agama
9
(murtad) jelas sekali akan membawa dampak dalam kehidupan perkawinan,
karena agama dan keimanan merupakan salah satu dasar dari pembentukan rumah
tangga yang sakinah dan diridhai Allah.
C. Macam-macam Perceraian
Menurut hukum Islam putusnya hubungan perkawinan (perceraian)
dapat terjadi karena talak, khulu, syiqaq, fasakh, ta’lik talak, dzihar, ila’, li’an,
tafwid dan riddah. Berikut akan penulis kemukakan secara ringkas
macam-macam perceraian tersebut yaitu :
1. Talak
Menurut bahasa Arab, talak ialah ‘melepaskan’ atau
‘meniggalkan’, seperti melepaskan sesuatu dari ikatannya. Menurut istilah
syara’ talak ialah melepaskan ikatan perkawinan dengan mengucapkan lafal
talak atau yang searti dengannya. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 117
menjelaskan talak adalah ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama
yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara
sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131.
Adapun macam-macam talak adalah :
Talak ditinjau boleh tidaknya suami rujuk kembali pada isterinya
a. Talak raji’, adalah talak kesatu atau kedua dimana suami berhak ruju’
selama istri dalam masa iddah. (Pasal 118 KHI)
b. Talak Ba’in, talak ba’in ada dua macam :
1) Talak bain syughra, adalah talak yang tidak boleh dirujuk tetapi boleh
akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah. (Pasal
119 KHI)
2) Talak ba’in kubra, adalah talak yang menghilangkan hak suami untuk
menikah kembali kepada isterinya, kecuali kalau bekas isterinya itu
telah menikah lagi dengan orang lain dan telah berkumpul sebagai
suami isteri secara nyata dan sah.(Pasal 120 KHI)
Talak ditinjau dari waktu menjatuhkannya;
a. Talak sunni, adalah talak yang diperbolehkan, yaitu talak yang
dijatuhkan terhadap istri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam
waktu sucinya tersebut. (Pasal 121 KHI)
b. Talak Bid’i, adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan
kepada isteri dalam keadaan haid atau isteri dalam keadaan suci tapi
sudah dicampuri pada waktu suci tersebut. (Pasal 122 KHI)
Talak khulu’ adalah suatu perceraian perkawinan dengan cara
memberikan sejumlah uang dari pihak isteri kepada suami yang disebut “talak
tebus”.10
Dasar kebolehan talak khulu’ terdapat dalam surat al- Baqarah ayat
229 :
⌧
☺
☺
⌧
☺
⌧
☺
⌧
Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang Telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah
10
kamu melanggarnya. barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim”.
Khulu’ dapat dijatuhkan sewaktu-waktu baik isteri dalam keadaan
suci ataupun tidak, hal ini disebabkan khulu’ terjadi atas kehendak isteri.
3. Syiqaq
‘Syiqaq’ berarti ‘perselisihan’ menurut istilah fiqih berarti
perselisihan suami isteri yang diselesaikan oleh dua orang hakam, yaitu
seorang hakam dari pihak suami dan seorang dari pihak hakam dari pihak
isteri.11 Tetapi apabila keadaan sangat terpaksa dan hakam sudah sekuat
tenaga berusaha untuk mendamaiakan suami isteri namun tidak berhasil maka
hakam boleh mengambil keputusan menceraiakan suami isteri tersebut.
Adapun pengangkatan hakam apabila terjadi syiqaq, berdasarkan
firman Allah swt :
☺
☺
☯
☺
⌧
☺
Artinya: “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik
11
kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.
4. Fasakh
Fasakh berarti ‘mencabut’ atau ‘menghapus’ maksudnya adalah
perceraian yang disebabkan oleh timbulnya hal-hal yang dianggap berat oleh
suami atau isteri atau keduanya sehingga mereka tidak sanggup untuk
melaksanakan kehidupan suami isteri dalam mencapai tujuannya.12 Jadi
fasakh berarti diputuskannya hubungan perkawinan (atas permintaan salah
satu pihak) oleh hakim agama karena salah satu pihak menemui cela pada
pihak lain atau merasa tertipu atas hal-hal yang belum diketahui sebelum
berlangsungnya perkawinan.13
Perceraian dalam bentuk fasakh ini termasuk perceraian dengan
proses Peradilan. Hakimlah yang memberi keputusan tentang kelangsungan
perkawinan atau terjadimya perceraian, karena itu pihak penggugat dalam
perkara fasakh ini haruslah mempunyai alat-alat bukti yang lengkap, yang
dapat menimbulkan keyakinan bagi hakim yang mengadilinya.
5. Ta’lik Talak
Arti ta’lik talak ialah ‘menggantungkan’ dan jika dihubungkan
dengan kata-kata talak menjadi “ta’lik talak” yang berarti suatu talak yang
digantungkan jatuhnya kepada suatu hal yang memang mungkin terjadi, yang
12
Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, h. 212
13
telah disebutkan lebih dahulu dalam suatu perjanjian atau telah diperjanjikan
lebih dahulu.14
Maksud diadakan ta’lik talak adalah suatu usaha dan upaya untuk
melindungi isteri dari tindakan sewenang-wenang suaminya, dengan adanya
sistem ta’lik talak maka nasib isteri dan kedudukannya dapat diperbaiki jika
suami menyia-nyiakannya, sehingga isteri dapat mengadukan kepada hakim
agar perkawinannya diputus. Dan hakim dapat mengabulkan permohonannya
sesudah terbukti kebenaran pengaduannya tersebut.
Ketentuan diperbolehkannya ta’lik talak ini tercantum dalam
firman Allah surat An-Nisa/4: 128 :
⌧
☺
☺
☯
⌧
☯
⌧
⌧
☺
☺
Artinya: “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak Mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
14
6. Zihar, Ila’ dan Li’an
Tiga macam perbuatan hukum zihar, ila’ dan li’an adalah
perbuatan yang berupa kata atau sumpah yang tidak secara langsung berisi
ungkapan yang menyatakan putusnya ikatan perkawinan tetapi oleh hukum
dinyatakan berdampak memutuskannya. ‘Zihar’ merupakan kebiasaan orang
jahiliyah yang tidak lagi memfungsikan isterinya sebagai isteri walaupun
masih tetap diikat, seperti pernyataan : “kamu seperti punggung ibuku
sendiri” sambil memulai sikap tidak bersedia lagi menggaulinya. Sedangkan
‘ila’ juga merupakan kebiasaan orang jahiliyah yaitu pihak laki-laki
bersumpah mengenai hubungannya sebagai suami terhadap isterinya sendiri
bahwa ia tidak akan menggaulinya lagi.15
Adapun li’an ialah saling menyatakan bahwa bersedia dilaknat
Allah setelah mengucapkan persaksian empat kali oleh diri sendiri yang
dikuatkan dengan sumpah yang dilakukan oleh suami dan isteri karena salah
satu pihak bersikeras menuduh pihak yang lain melakukan perbuatan zina,
atau suami tidak mengakui bahwa anak yang dikandung atau dilahirkan oleh
isterinya sebagai anaknya dan pihak yang lain bersikeras menolak tuduhan
15
tersebut, sedangkan masing-masing tidak mempunyai alat bukti yang dapat
diajukan kepada hakim.16
Sebagaimana terdapat dalam firman Allah swt :
⌧
☺
Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar”. (Annur/24: 6)
7. Tafwidh
Tafwidh talak artinya menyerahkan talak.17 Yaitu seorang suami
memberikan hak kepada isterinya, yaitu berupa hak talak. Syarat-syaratnya
ditentukan oleh keduanya secara sukarela, jadi bukan hak talak yang bersifat
mutlak. Apabila syarat yang telah ditentukan secara sukarela tersebut terjadi,
maka isterinya mempunyai hak untuk menjatuhkan talak dan terjadilah
talak.18 Sebagaimana ulama berpendapat tidak sah mentafwidhkan talak,
16
Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, h. 203-204
17
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Study Perbandingan dalam Kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara-negara Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 281
18
karena talak sudah ditetapkan berada ditangan suami.19 Firman Allah dalam
surat Al-Ahzab ayat 28 :
☯
⌧
Artinya: “Hai nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu: "Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, Maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut'ah dan Aku ceraikan kamu dengan cara yang baik”.
8. Murtad (riddah)
Murtad atau riddah ialah keluar dari agama Islam, baik pindah
pada agama lain atau tidak beragama. Di Indonesia putusnya perkawinan
karena murtadnya salah seorang dari suami isteri termasuk fasid atau batal
demi hukum, dan pemutusannya dilakukan di depan sidang Pengadilan
Agama. Pengadilan Agama hanya dapat menerima riddahnya seseorang, jika
orang itu menyatakan sendiri dengan tegas di depan sidang Pengadilan
Agama, oleh karena itu riddahnya seseorang yang dinyatakan bukan di depan
sidang Pengadilan Agama dianggap tidak sah.20
Kesimpulan
19
Daly, Hukum Perkawinan Islam, h. 282
20
Perceraian merupakan sesuatu yang halal/ boleh dilakukan jika dalam
bahtera rumah tangga sudah tidak dapat lagi diselamatkan lagi oleh kedua belah
pihak karena tidak adanya persamaan tujuan. Mengenai sebab-sebab perceraian
terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 116, Undang-undang No. 1/ 1974
pasal 38, dan Peraturan Pemerintah No. 9/ 1975 pasal 19, adapun macam dari
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG MURTAD
MENURUT HUKUM ISLAM
A. Pengertian Murtad
1. Segi Bahasa
Riddah menurut bahasa artinya “kembali (kepada jahiliyah)”.
Riddah merupakan perbuatan kufur yang sangat keji dan menghapus semua
amal jika dilakukan terus menerus sampai mati.21 Kata riddah merupakan isim
masdar dari kata irridad yang secara harfiyah berarti “kembali”,
“dikembalikan”, “berpaling”, “dipalingkan”.22 Yakni, lair dari sesuatu menuju
sesuatu yang lain, arti tersebut antara lain terdapat dalam firman Allah,
.
..
Artinya: “…dan janganlah kamu lari kebelakang (karena takut kepada musuh), Maka kamu menjadi orang-orang yang merugi”.
Murtad dalam arti kembali-dikembalikan terdapat dalam surat
al-An’am ayat 28 ;
21
Zainuddin bin Abdul Aziz al- Malibaba al Fannani, Terjemahan Fat- Hul Mu’in, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994), cet. 1, h. 548
22
⌧
☺
Artinya: “Tetapi (sebenarnya) Telah nyata bagi mereka kejahatan yang mereka dahulu selalu menyembunyikannya. sekiranya mereka dikembalikan ke dunia, tentulah mereka kembali kepada apa yang mereka Telah dilarang mengerjakannya. dan Sesungguhnya mereka itu adalah pendusta belaka”.
Sedangkan murtad yang berarti paling-berpaling terdapat dalam
surat Muhammad ayat 25 ;
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, syaitan Telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka.”.
Sayyid Sabiq dalm fiqh sunnahnya mengartikan riddah adalah
kembali atau mundur dijalan dimana ia datang.23
Menurut Wahbah Al- Zuhaili, riddah adalah kembali dari sesuatu
kepada yang lain.24
2. Segi Istilah
23
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah II, (Beirut: Dar Al-Fiqr, 1983), cet. IV, h. 38
24
Di dalam Ensiklopedia Islam di Indonesia, riddah adalah makna
asal dari kembali (ke tempat atau jalan semula), namun kemudian istilah ini
dalam penggunannya lebih banyak dikhususkan untuk pengertian kembali atau
keluarnya seseorang dari agama Islam kepada kekufuran atau pindah kepada
agama selain Islam. Dari pengertian riddah ini dapat dikemukakan tentang
pengertian murtad, yaitu orang Islam yang keluar dari agama (Islam) yang
dianutnya kemudian pindah (memeluk) agama lain atau sama sekali tidak
beragama.25
Menurut hukum Islam, orang yang keluar dari agama Islam (murtad),
maka saat ia bercita-cita dan telah dihukumi murtad, yaitu kafir dan pada saat
itulah gugurlah segala amal ibadah yang telah di kerjakannya. Akan tetapi, bila ia
bertobat kembali, maka tidaklah hilang amalan yang telah berlalu itu. Dia tidak
wajib mengulangi kembali ibadahnya sebelum ia murtad itu.26
B. Syarat-syarat Murtad
Seseorang dianggap murtad jika ia telah mukallaf dan menyatakan
kemurtadannya secara terangan-terangan atau dengan kata-kata yang
menjadikannya murtad atau dengan perbuatan yang mengandung unsure-unsur
kemurtadannya. Adapun seseorang yang dinytakan murtad dengan persyaratan
sebagai berikut:
25
Harun Nasution (Ketua Tim), Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992), h. 696
26
1. Berakal
Tidak sah kemurtadan orang gila dan anak kecil yang belum
berakal karena akan menjadi syarat kecakapan dalam masalah aqidah
(keyakinan) dan masalah lainnya.
2. Baligh (Dewasa)
Karenanya tidak sah murtadnya anak kecil yang telah mencapai
mumayiz menurut ulam Syafi’iyah.27
Adapun pernyataan murtad dari anak kecil mumayiz (berakal) di
perselisihkan oleh para fuqaha.
Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Muhammad yang di kutip
dalam buku ‘Ala’ Ad-din Al- Kasani, baligh (dewasa) bukan merupakan
syarat untuk sahnya murtad. Dengan demikian, murtadnya anak kecil yang
sudah berakal (mumayiz) hukumnya sah.
Sedangkan menurut Abu Yusuf murid Imam Abu Hanifah
berpendapat bahwa anak mumayiz apabila menyatakan Islam maka hukumnya
sah, dengan demikian pula sebaiknya apabila ia menyatakan murtad,
hukumnya juga sah. Hal ini karena iman dan kafir kedua-duanya merupakan
perbuatan nyata yang keluar dair hati sebagai salah satu anggota badan.
27
Pengakuan dari anak kecil yang sudah berakal (mumayiz) menunjukan adanya
hal tersebut (iman dan kufur).
Menurut fuqaha Syafi’iyah yang dikutip dalam buku Jalal Ad- Din
Abu Bakar As- Suyuthi berpendapat murtadnya anak kecil dan islamnya
hukumnya tidak sah. Pendapat ini juga merupakan pendapat Imam Zufar dari
pengikut mazhab Hanafi, Zhahiriyah, dan Syi’ah Zaidiyah. Mereka beralasan
dengna hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, Nasa’i, Ibnu
Majah, dan Hakim dari Aisyah bahwa Rasulullah SAW bersabda;
و
ﻆ
ﻰﱠ
ﺋﺎﱠ ا
ث ﺛ
ا
ر
ﺮ ﻜ
ﻰﱠ
ﱢ ﱠ ا
و
أﺮ
ﻰﱠ
ﻰ ا
) .
اور
ﺪ ا
,
دواد
ﻰ ا
,
ءﺎ ا
,
ﺔﺟﺎ
ا
,
آﺎ او
ﺔﺸﺋﺎ
(
Artinya: “Pena itu diangkat (beban itu dibebaskan) dari tiga kelompok orang; orang tidur sampai bangun, orang gila sampai berakal (sembuh), serta anak kecil sampai dewasa”.
Meskipun demikian, kelompok Syafi’iyah telah mengakui
keislaman anak kecil, karena ia mengikuti kedua orang tuanya atau salah
satunya yang masuk Islam.
3. Kehendak Sendiri
Karena tidak sah murtdanya orang yang dipaksa, dengna catatan
tidak melakukannya, tidaklah ia dihukumi kafir atau murtad selama hatinya
tetap seperti yang dikehendaki Islam.28
Sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah dalam surat
al-Nahl 106.
⌧
☺
☺
☺
⌧
⌧
Artinya: “Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (Dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (Dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar”.
C. Macam-macam Murtad
1. Murtad karena ucapan
Seperti contohnya ucapan mencela Allah ta’ala atau Rasul-Nya,
menjelek-jelekkan malaikat atau salah seorang rasul. Atau mengaku
mengetahui ilmu gaib, mengaku sebagai Nabi, membenarkan orang yang
mengaku Nabi. Atau berdoa kepada selain Allah, beristighotsah (meminta
dihilangkan kesusahan yang sedang menimpa, pen) kepada selain Allah dalam
28
urusan yang hanya dikuasai Allah atau meminta perlindungan kepada selain
Allah dalam urusan semacam itu.
2. Murtad karena perbuatan
Seperti contohnya melakukan sujud kepada patung, pohon, batu
atau kuburan dan menyembelih hewan untuk diperembahkan kepadanya. Atau
melempar mushaf di tempat-tempat yang kotor, melakukan prkatek sihir,
mempelajari sihir atau mengajarkannya. Atau memutuskan hukum dengan
bukan hukum Allah dan meyakini kebolehannya.
3. Murtad karena keyakinan
Seperti contohnya meyakini Allah memiliki sekutu, meyakini
khamr, zina dan riba sebagai sesuatu yang halal. Atau meyakini bahwa sholat
itu tidak diwajibkan dan sebagainya. Atau meyakini keharaman sesuatu yang
jelas disepakati kehalalannya. Atau meyakini kehalalan sesuatu yang telah
disepakati keharamannya.
4. Murtad karena keraguan
Seperti meragukan sesuatu yang sudah jelas perkaranya di dalam
agama, seperti meragukan diharamkannya syirik, khamr dan zina. Atau
meragukan kebenaran risalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau para
Nabi yang lain. Atau meragukan kebenaran Nabi tersebut, atau meragukan
ajaran Islam. Atau meragukan kecocokan Islam untuk diterapkan pada zaman
BAB IV
AKIBAT HUKUM DARI PERCERAIAN
DENGAN ALASAN SUAMI MURTAD
A. Akibat Hukum Dari Perceraian Dengan Alasan Suami Murtad 1. Akibat Hukum Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
a. Terhadap Status Perkawinan
Ikatan perkawinan yang kekal dan abadi sepanjang masa
merupakan harapan dan cita-cita bagi setiap pasangan suami isteri,
keabadian tersebut diwujudkan dalam bentuk keluarga yang harmonis,
damai dan sejahtera.
Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga
yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa, makana
Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menganut prinsip
untuk mempersukar perceraian itu ditetapkan dengan menegaskan bahwa
perceraian hanya dapat dilakukan di depan siding Pengadilan dengan
disertai alasan-alasan tertentu sebagaimana yang telah diterapkan oleh
Undang-undang Perkawinan tersebut.
Suatu perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayannya itu, disamping itu
berlaku. Demikianlah bunyi pasal 2 ayat 1 dan 2 Undang-undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
Dari bunyi pasal tersebut kita dapat menarik kesimpulan bahwa
sahnya suatu perkawinan semata-mata didasarkan pada ketentuan hukum
agama dari yang bersangkutan, Jadi, apabila ada perkawinan yang
menyimpang dari norma-norma agama dipandang sebagai sesuatu yang
menyalahi hukum agama. Selain dilakukan menurut hukum agama,
perkawinan itujuga harus dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah.
Perkawinan yang demikian itulah yang dianggap sah, baik oleh hukum
agama maupun oleh hukum Negara.
Di atas telah dijelaskan bahwa suatu perkawinana adalah sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya. Ketentuan tersebut mempunyai arti bahwa suatu
perkawinan menjadi fasakh (batal) apabila ada suatu kejadian, yaitu
kejadian yang mana menurut hukum agamanya dan kepercayaannya dapat
menghilangkan keabsahan perkawinan tersebut.
Menurut pandangan para ahli hukum fiqh Islam, bahwa apabila
dalam suatu perkawinan salah satu pihak dari suami atau isteri berpindah
agama/murtad, yaitu keluar dari agama Islam kepada agama selain Islam,
maka perkawinannya menjadi fasakh (batal) dan keduanya harus segera
dipisahkan.29
Jadi, perpindahan agama/ murtadnya suami merupakan suatu
kejadian yang dapat mengakibatkan batal/ putusnya ikatan perkawinan
demi hukum, yaitu hukum Islam.
Suatu perkawinan dapat menjadi fasakh karena disebabkan
oleh tiga hal, yaitu :
1) Apabila salah seorang dari suami-isteri murtad dair Islam dan tidak
mau kembali samasekali, maka akadnya fasakh (batal) disebabkan
adanya kemurtadan yang dilakukan.
2) Apabila suami yang tadinya kafir masuk Islam, tetapi isteri tetap
dalam kekafirannya, maka akadnya fasakh (batal).
3) Perkawinan yang dilakukan dibawah ancaman yang melanggar hukum
atau pada waktu perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri
suami/isteri.30
Akan tetapi Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
tidak mengatur bentuk-bentuk dan tata cara perceraian yang dikarenakan
perpindahan agama/ murtad dalam suatu perkawinan. Dalam
Undang-undang Perkawinan pasal 38 hanya menggolongkan secara umum
mengenai putusnya perkawinan kepada 3 golongan, yaitu :
1) karena kematian
2) karena perceraian
3) karena putusan dari Pengadilan
30
Dan pada pasal 39 ayat 1 dan 2 Undang-undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974, berbunyi ;
(1) Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang Pengadilan setelah
Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak
(2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara
suani isteri itu tidak dapat hidup rukun sebagai suami-isteri.
Adapun alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk
melakukan perceraian diatur dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor
9 Tahun 1975. Menurut penulis, kata “dapat” dalam pasal tersebut
mengandung arti bahwa perceraian itu dapat terjadi karena alasan-alasan
tertentu.
Perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan yang terdapat
dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 116.
Berdasarkan pasal 38 dan 39 Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 , suatu perkawinna baru pitus apabila Pengadilan telah memutuskan
melalui siding Pengadilan dengan disertai alasan-alasan yang diatur dalam
pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, kecuali putusnya
perkawina karena kematian, karena tnapa diputuskan oleh Pengadilan
perkawinan itu telah putus dengan sendirinya akibat adanya kematian
Jadi apabila salah seorang dari suami-isteri keluar dari agama
Islam (murtad) dan kemurtadannya iu belum atau tidak diajukan ke
Pengadilan, dan Pengadilan belum memutuskannya, maka perkawinan
mereka masih dianggap sah dan berlaku. Berbeda halnya menurut hukum
agama, maka perkawinan mereka tetap dianggap tidak sah.
Jadi berdasarkan pasal 38 dan 39 Undang-undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974, bahwa perpindahan agama/murtad dalam suatu
perkawinan, maka hakim tidak dapat memfasinnya begitu saja. Yang
menjadi arahan hakim dalam menyelesaikan perkara murtad, riddahnya itu
adalah bukan karena murtadnya itu sendiri akan tetapi didasarkan pada
pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang telah
disebutkan di atas mengenai alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar
untuk melakukan perceraian, maka hakim dapat memutuskannya dengan
didasarkan pada adanya perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus
antara suami-iateri yang disebabkan karena perpindahan agama tersebut.31
Dalam hal ini penulis berpendapat, apabila dalam rumah
tangga mereka tidak ada pertengkaran ataupun perselisihan yang
disebabkan karena perpindahan agama yang terjadi oleh salah satu pihak,
maka perkawinan tersebut tetap fasakh dan harus segera diputuskan.
31
b. Terhadap Status Anak
Seorang anak dikatakan sah atau tidak, tergantung kepada sah
atau tidaknya suatu perkawinan yang menyebabkan lahirnya anak itu, dan
tergantung juga kepada sah atau tidaknya perkawinan tersebut.
Dalam hal ini dapat diartikan bahwa perkawinanlah yang akan
menentukan status seorang anak sah atau tidak. Jika suatu perkawinan itu
sah, baik menurut hukum agama maupun Negara, maka anak yang akan
dilahirkan mempunyai status anak sah. Akan tetapi, apabila perkawinan
dari kedua orang tuanya itu tidak sah, maka anak yang akan dilahirkannya
sudah pasti mempunyai status anak yang tidak sah.
Masalah kedudukan anak ini diatur dalam Undang-undang
Perkawinan No. 1/ 1974, pasal 42 yang berbunyi : “Anak yang sah, adalah
anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”.
Pasal 43 ayat 1 Undang-undang Perkawinan No. 1/ 1974 :
(1) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Pasal 44 ayat 1 dan 2 Undang-undang Perkawinan No. 1/ 1974:
(1) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan
isterinya bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina
dan anak itu akibat dari pada perzinaan tersebut.
(2) Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas
Berdasarkan pasal 42 Undang-undang Perkawinan No. 1/
1974, bahwa anak dikatakan sah apabila ia lahir dari perkawinan yang sah.
Apabila perkawinan (rumah tangga) yang di dalamnya telah terjadi
kemurtadan pada suami menurut pasal 39 ayat 1 dan 2 Undang-undang
Perkawinan No. 1/ 1974, bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di
depan hakim Pengadilan, begitu juga dengan kemurtadan yang terjadi
pada suami dan belum diajukan ke Pengadilan, maka perkawinan (rumah
tangga) tersebut tetap dianggap sah dan berlaku karena pengadilan belum
memutuskannya.
Karena perkawinan itu masih dianggap sah menurut
Undang-undang Perkawinan No. 1/ 1974, maka hubungan mereka juga tetap
dianggap sah dan bukan sebagai perbuatan zina, begitu juga dengan
anak-anak yang dilahirkan dair hasil perkawinan tersebut adalah sah hukumnya.
Karena anak tersebut dianggap sah maka konsekwensinya
adalah :
1. Anak tetap bernasab kepada bapak dan ibunya.
2. Anak mewarisi bapak dan ibunya.
3. Bila anak itu perempuan, maka bapak berhak menjadi wali dalam
perkawinannya.
c. Terhadap Status Harta Suami/Isteri dan Harta Bersama
Setelah secara resmi hakim memutuskan perceraian diantara
dapat menyebabkan perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus di
antara keduanya, maka akibat putusnya perkawinan inidalam hal harta
kekayaan diadakan pembagian, terutama terhadap kekayaan yang
diperoleh selama berlangsungnya perkawinan yang lebih dikenal dengan
harta bersama.
Menurut Undang-undang No. 1/ 1974 pasal 35 dinyatakan
bahwa : “harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta
bersama, sedangkan harta bawaan dari masing-masing suami atau isteri
dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau
warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak
tidak menentukan lain”. Selanjutnya di dalam penjelasan pasal tersebut
dikatakan apabila perkawinan putus, maka harta bersama tersebut diatur
menurut hukumnya masing-masing, yaitu hukum adapt dan hukum-hukum
lainnya (penjelasan pasal 35).32
Dilihat dair bunyi pasal di atas, maka harta kekayaan dalam
perkawinan terbagi atas 2 (dua) macam :
1) Harta bersama
Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta
bersama. Ini berarti terbentuknya harta bersama ialah sejak saat
32
tanggal terjadinya perkawinan sampai ikatan perkawinan itu putus,
mati), maupun karena perceraian (cerai hidup). 33
2) Harta pribadi
Harta yang diperoleh berupa warisan atau hibah oleh salah satu pihak
yang dibawa masuk dalam perkawinan danterletak di luar harta
bersama.34 Harta pribadi ini dapat dibagi menjadi 4 (empat) bagian,
menurut pasal 35 ayat 2 yaitu :
a) Harta bawaan suami
b) Harta bawaan isteri
c) Harta hibah/warisan suami
d) Harta hibah/warisan isteri35
Dalam hal pembagian harta kekayaan, maka menurut ketentuan
pasal 35 yang telah disebutkan diatas tadi dan dalam pasal 36 yang
berbunyi :
(1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas
persetujuan kedua belah pihak.
(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai
hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta
bendanya.
33
M. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta : Pustaka Kartini, 1997), Cet. ke-3, h. 299
34
Ibid., h. 300
35
Mengenai harta warisan masing-masing suami dan isteri
mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai
harta bendanya. Asas hukum yang diatur dalam ketentuan pasal 35 ayat 2
merupakan asas teori hukum yang diatur dalam syariat hukum Islam,
dimana isteri tetap memegang kekayaan sebagai subyek hukum atas segala
miliknya sendiri, mengusai hasil pencaharian yang diperolehnya dari jerih
payah yang dilakukannya, berhak menerima hibah dan warisan selam
perkawinannya berlangsung, dan dengan sendirinya menjadi hak dan
berada di bawah pengawasannya sendiri. 36
Apabila pasal 35 ayat 2 dihubungkan dengan pasal 36 ayat 2,
terdapat perbedaan antara harta bawaan dan pusaka warisan yang
diperoleh salah satu pihak dan harta yang diperoleh karena hibah atau
berdasar usaha sendiri pada pihak lain, yaitu :
(1) Mengenai harta bawaan dan harta warisan yang diperoleh dalam
perkawinan; terhadap kedua harta inilah yang dimaksudkan oleh pasal
36 ayat 2, masing-masing berhak dan berkuasa penuh menurut hukum
atas harta-harta tersebut.
(2) Akan tetapi mengenai hibah dan hadiah atau hasil jerih payah
masing-masing termasuk pada kategori pasal 35 ayat 2, yaitu berada dibawah
pengawasannya masing-masing, tetapi penguasaannya tidak mutlak
sepenuhnya seperti berlaku terhadap harta bawaan dan warisan. Jadi
36
pengawasan ada ditangan pihak-pihak tapi bagaimana