• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perceraian Akibat Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Studi Kasus Putusan Hakim Dalam Perkara Perceraian Nomor: 214/Pdt. G/PA. Bgr.)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perceraian Akibat Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Studi Kasus Putusan Hakim Dalam Perkara Perceraian Nomor: 214/Pdt. G/PA. Bgr.)"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

Di Ajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Disusun Oleh :

M. ANDY RAIHAN

NIM: 208044100004

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA

PROGRAM STUDI AKHWAL SYAKHSIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh :

M. Andy Raihan NIM: 208044100004

Di Bawah Bimbingan:

Ismail Hasani, SH, MH. 197712172007101002

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA

PROGRAM STUDI AKHWAL SYAKHSIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERISYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)
(4)
(5)
(6)

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 15 Desember 2014

(7)
(8)

i

Segala puji bagi Allah Dzat yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang, yang

telah memberikan banyak nikmat dan senantiasa memberikan hidayahnya kepada setiap

makhluk ciptaan-NYA. Sehingga dengan izinnya akhirnya penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini.

Shalawat dan Salam selalu tercurahkan kepada baginda besar Nabi Muhammad

SAW, yang telah membawa umatnya minadzulumati illa nur, dan kesejahteraan semoga

selalu tercurahkan kepada keluarga besar beliau, sahabat-sahabatnya, tabi’in

-tabi’uttabiin, dan kita sebagai umatnya semoga mendapatkan syafaatnya kelak.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari masih jauh dari kesempurnaan

baik dalam proses maupun isinya. Namun berkat bantuan serta dukungan dari berbagai

pihak, Alhamdulillah skripsi ini dapat terselesaikan sesuai dengan target yang

diharapkan.

Dengan penuh kerendahan hati dan kesadaran diri, penulis sadar bahwa skripsi ini

tidak akan selesai tanpa bantuan dari berbagai pihak, baik secara moril maupun materil,

sudah sepatutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah

memberikan bantuan dan dukungan demi terselesaikannya penulis skripsi ini. Maka

(9)

ii

Hukum, dan beserta staf-staf nya.

3. Ketua Program Studi Al-Akhwal Syakhsiyyah Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil,

SH, MH, sekaligus sebagai dosen pembimbing akademik yang telah bersedia

meluangkan waktunya untuk membimbing dan memberikan arahan serta

dorongan motivasi kepada penulis.

4. Kepada Dosen Pembimbing skripsi Bapak Ismail Hasani, SH, MH yang dengan

sangat sabar dan telaten membimbing dalam pembuatan skripsi ini, semoga

Allah SWT membalas semua jasa-jasa bapak dan selalu diberikan kesehatan,

kesuksesan beserta rizki yang berlimpah.

5. Kepada Ketua Pengadilan Agama Bogor Kelas IB Bapak Drs. H. Mohamad

Yamin, SH, MH beserta staf-stafnya yang telah bersedia meluangkan waktu,

tenaga, dan pemikirannya untuk melakukan wawancara dan observasi, sehingga

terselesaikannya skripsi ini. Semoga skripsi ini bisa bermanfaat untuk Pengadilan

Agama khususnya Pengadilan Agama Bogor Kelas IB dikemudian hari kelak.

6. Kepada ibunda tercinta, Eti Nurbaiti yang sangat berperan penting dalam

mendidik penulis, dengan penuh kesabaran dan pengertian dan tiada henti

memberikan dukungan baik secara moril maupun secara materil, semoga Allah

SWT selalu melindungi dan memberkahi dengan nikmat rohani dan kesehatan

(10)

iii

Hukum yang selalu memberikan dukungan dan bantuan sehingga

terselesaikannya skripsi ini.

9. Seluruh Dosen dan staff pengajar Fakultas Syariah dan Hukum yang telah

banyak memberikan banyak ilmu pengetahuan dan kesabaran dalam mendidik

penulis selama penulis melakukan studi di Fakultas Syariah dan Hukum.

10. Bagian administrasi dan tata usaha yang telah banyak membantu memberikan

kelancaran kepada penulis dalam proses kemahasiswaan, serta pimpinan dan

segenap karyawan perpustakaan umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan

khususnya perpustakaan FSH, terima kasih atas penyediaan buku-buku

penunjang sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

11. Arsy Dhea Ryzkya sebagai wanita yang selalu mendampingi penulis dan tidak

pernah berhenti berdoa dan memberikan support dalam pembuatan skripsi ini.

12. Dan tidak lupa kepada sahabat-sahabat penulis; Bangkit Erlangga S.Sy, Hanafi,

M. Ibnu Rahman, S.Hi, MM, Raod Kamaluddin, S.Pdi, Mahfud, S.Pdi, Rama

Mahardika, M. Subki, Deni Abdul Hakim, Teguh Hamanda Lubis, Harianto, M.

Rizki Romdhon, Leo, Altof, Galih, Riskana Dewi, team Futsal MP yang selalu

memberikan banyak senyuman dan inspirasi.

13. Dan bagi seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu, tanpa

mengurangi rasa hormat dan terima kasih banyak yang sebesar-besarnya atas

(11)

iv

Ciputat, 15 Desember 2014

(12)

v

DAFTAR ISI... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang ... 1

B. Perumusan dan Pembatasan Masalah ... 15

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 17

D. Metode Penelitian ... 19

E. Kerangka Pemikiran... 25

F. Kajian Terdahulu (Review)... 26

G. Sistematika Penulisan ... 27

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERCERAIAN AKIBAT KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT) ... 29

A. Tinjauan umum Tentang Perceraian ... 29

1. Pengertian Perceraian... 29

2. Dasar Hukum Perceraian ... 36

3. Sebab-Sebab Terjadinya Perceraian ... 39

B. Tinjauan Umum Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga ... 43

1. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga... 43

2. Faktor-Faktor Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga... 47

(13)

vi

1. Letak Geografis Pengadilan Agama Bogor... 56

2. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Bogor... 57

B. Dasar-Dasar Putusan Hakim Pengadilan Agama Bogor Dalam Kasus Cerai Gugat ... 59

C. Persepsi Hakim Tentang Perceraian Akibat Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Memutuskan Perkara Cerai Gugat... 63

BAB IV Putusan Pengadilan Agama Bogor Dalam Perkara Cerai Gugat No. 214/Pdt.G/PA. Bgr... 65

A. Posisi Kasus ... 54

1. Masalah Yang Timbul... 56

2. Putusan... 66

B. Analisis Perceraian Akibat Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Putusan Hakim Dengan Nomor Perkara 214/Pdt.G/PA.Bgr di Pengadilan Agama Bogor ... 72

C. Akibat Hukum Disebabkan Oleh Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Pengadilan Agama Bogor ... 78

BAB V PENUTUP... 80

A. Kesimpulan ... 80

B. Saran ... 82

C. Daftar Pustaka ... 84

(14)

1

Perkawinan menurut Hukum Islam yaitu akad yang sangat kuat atau

mitsaqan ghalidzhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya

merupakan ibadah.1

Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan nrumah tangga yang

sakinah, mawaddah, dan rahmah. Perkawinan juga ‘aqad yang menghalalkan

pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta bertolong-tolongan antara

seorang laki-laki dan perempuan yang antara keduanya bukan muhrim.2

Sebagaimana firman Allah SWT:

                                                     

Artinya: “Maka bolehlah kamu menikahi perempuan yang kamu pandang baik untuk kamu, dua atau tiga atau empat, jika kiranya kamu takut tidak dapat

1

A. Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif Fiqih dan Kompilasi Hukum Islam,(Jakarta: Qalbun Salim, 2005).

2

(15)

berlaku adil diantara mereka itu, hendaklah kamu kawini seorang saja”. (Q.S.

An-nisa: 3)

Tujuan dari sebuah perkawinan adalah terbentuknya keluarga yang

bahagia, kekal dan abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, hal ini dapat

terwujud jika suami isteri saling memahami serta melaksanakan hak dan

kewajiban masing-masing sebagai upaya membangun sebuah keluarga.

Kewajiban antara suami dan isteri harus dimaknai secara timbal balik yang

artinya bahwa kewajiban suami adalah merupakan hak isteri dan sebaliknya yang

menjadi kewajiban bagi isteri merupakan hak dari pada suami.3

Keluarga harmonis dan tentram tidak akan terwujud jika terjadi

kelalaian atau kesengajaan baik dari pihak suami maupun isteri, dengan tidak

menunaikan kewajiban ini akan berakibat terlantarnya salah satu pihak atau

keduanya. Suami isteri harus saling bertanggung jawab untuk saling memenuhi

kebutuhan pasangannya untuk membangun keluarga harmonis dan tentram.4

Kehidupan rumah tangga bertujuan menuju ridho Allah SWT. Suami

dan isteri harus saling melengkapi dan bekerja sama dalam membangun rumah

tangga yang harmonis menuju derajat takwa. Allah SWT berfirman di dalam

surat At-Taubah:











3

Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty, 1986), cet. Ke-2, h. 96.

4

(16)

Artinya: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian

mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain”. (Q.S. At-taubah:

71).

Dan firman Allah SWT di dalam surat An-nisa ayat 19:

                                                             

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai

wanita dengan jalan paksa, dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena

hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan

kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan

bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai

mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu,

Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”. (Q.S. An-nisa: 19).

Ayat di atas merupakan seruan kepada para suami agar mereka

mempergauli isteri-isteri mereka secara ma’ruf. Menurut At-Tabari, ma’ruf

adalah bersikap adil dalam giliran dan nafkah; memperbagus ucapan dan

(17)

sesuatu yang tidak disukai pada diri isterinya, selain zina dan nusyuz, suami

diminta bersabar dan tidak terburu-buru menceraikannya. Sebab, bisa jadi pada

perkara yang tidak disukai, terdapat sisi-sisi kebaikan.5

Islam sebagai agama yang mengatur urusan vertikal dan horizontal

telah mengatur urusan perkawinan dengan seksama. Urusan perkawinan ini

merupakan suatu urusan yang tentu secara ilmiah dibutuhkan oleh manusia.

Sebagai agama yang memberi rahmat maka Islam harus responsif dengan

kebutuhan manusia.

Allah Yang Maha Indah sengaja menciptakan manusia secara

berpasang-pasangan, laki-laki dan perempuan sebagai salah satu bagian dari

romantika kehidupan. Supaya romantika kehidupan ini semakin indah dan agar

hubungan laki-laki dan perempuan mampu menyuburkan ketentraman, cinta dan

kasih sayang serta kedamaian maka Allah menetapkan suatu ikatan suci yaitu

perkawinan.6

Perkawinan adalah suatu ikatan yang suci, ia merupakan suatu

persatuan jiwa dan hati, dan harus padu dan aman. Kata cerai harus dibuang

jauh-jauh dari kamus masyarakat. Seorang suami dan seorang isteri yang terikat dalam

5 Farid Ma’ruf. 2007,

Pandangan Islam Terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

(http//baitijannati.wordpress.com), diakses 29 November 2014.

6

(18)

suatu perkawinan harus meyakini bahwa mautlah yang akan memisahkan

mereka.7

Dalam pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

merumuskan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan

perempuan sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

tangga) yang kekal dan berdasarkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Perkawinan

dalam hukum perdata diartikan sebagai pertalian yang dilakukan antara seorang

laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang cukup lama.8

Dari rumusan perkawinan tersebut di atas jelaslah bahwa perkawinan

itu tidak hanya ikatan lahir atau ikatan batin saja akan tetapi kedua-duanya.

Sebagai ikatan lahir, perkawinan merupakan hubungan hukum antara seorang

laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama-sama sebagai suami isteri. Ikatan

lahir ini merupakan hubungan formal yang sifatnya nyata, baik bagi yang

mengingatkan dirinya maupun bagi orang lain atau masyarakat. Sedangkan

perkawinan sebagai ikatan batin merupakan pertalian jiwa yang terjalin karena

adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara laki-laki dan perempuan untuk

hidup bersama sebagai suami isteri, ikatan batin ini tercemin dari adanya

kerukunan suami isteri yang bersangkutan. Terjalinnya ikatan lahir dan batin ini

merupakan dasar dalam membentuk suatu keluarga yang bahagia dan kekal.9

7

M. Muhyidin, Perceraian Yang Indah: Membongkar Fenomena Kawin Cerai Selebritis,

(Yogyakarta: Matahari, 2005), h. 42.

8

Subekti,Pokok-Pokok Hukum Perdata,(Jakarta: PT Intermasa, 1983), cet. Ke-1, h. 23.

9

(19)

Pada dasarnya perkawinan itu dilakukan untuk selamanya sampai

wafatnya salah seorang suami isteri, inilah sebenarnya yang dikehendaki dalam

Islam.

Salah satu azas perkawinan adalah monogami (tawahhud al-zawj).

Perkawinan dilakukan atas prinsip kerelaan taraadli), kesetaraan

musaawah), keadilan adaalah), kemaslahatan maslahat), pluralisme

(al-ta’addudiyyah), dan demokratis (al-diimuqrathiyyah).10

Namun dalam keadaan tertentu terdapat hak-hak yang menghendaki

putusnya perkawinan, dalam arti bila hubungan perkawinan tetap dilanjutkan

akan menimbulkan ke mudharatan yang akan terjadi.11

Dalam azas perkawinan yang ada juga ditekankan untuk mempersulit

terjadinya perceraian artinya mempertahankan rumah tangga dengan cara yang

baik, apabila terpaksa melepaskannya dengan cara yang baik pula sebagaimana

Firman Allah SWT:

















Artinya: Jika mereka bercita-cita hendak menceraikannya maka sesungguhnya

Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.(Q.S. Al-Baqarah: 227).

10

Tim Pengarustamaan Gender Departemen Agama RI, Pembaruan Hukum Islam,(Jakarta, 2004), h. 36.

11

(20)

Meski diperbolehkan untuk bercerai, tetapi hal itu suatu perbuatan

yang paling dibenci oleh Islam karena akan menghilangkan kemaslahatan antara

suami isteri.12

Saat masalah yang sudah ada tidak dapat diselesaikan dengan upaya

perdamaian maka Islam memberikan solusi dengan dibolehkannya perceraian.

Cerai atau putusnya perkawinan dapat terjadi atas kehendak suami ataupun

kehendak isteri. Hal ini karena karakteristik hukum Islam dalam perceraian

memang menghendaki demikian, sehingga proses perceraiannya pun berbeda.13

Perceraian atas kehendak suami disebut cerai thalaq, dan perceraian atas

kehendak isteri disebut cerai gugat.

Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat terganggu jika kualitas

pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang ada pada akhirnya dapat terjadi

kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul ketidakamanan atau

ketidakadilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga

tersebut.14

Kekerasan adalah tindakan dan serangan terhadap seseorang yang

kemungkinan dapat melukai fisik, psikis, dan mental, serta menyebabkan

penderitaan dan kesengsaraan.15

12

Sayyid Sabiq,Fikih Sunnah,(Beirut: Dar al-Kitab al-Farabi, 1973), cet. Ke-2, h. 9.

13

Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), cet. Ke-I h. 206

14

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974,Tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga,(Jakarta: Visimedia, 2007), cet. I, h. 68-69.

15

(21)

Salah satu masalah yang terjadi adalah masih berkembangnya budaya

kekerasan yang terdapat dalam kehidupan rumah tangga (KDRT) kebanyakan

dilakukan oleh suami dan sebagai korbannya isteri. Allah SWT berfirman:

                                                                       

Artinya: “kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain

(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta

mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi

memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara

(mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah

mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.

Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan

untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha

(22)

Dalam surat An-nisa ayat 34 diatas, Allah menjelaskan tentang

kedudukan suami sebagai pemimpin keluarga dan juga menjelaskan tentang

kewajiban isteri untuk mentaati suami. Jika ternyata dalam relaita terjadi nusuz

dari pihak isteri terhadap suami dengan tidak mengindahkan

kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhinya, maka Islam mengajarkan langkah-langkah

yang harus dilakukan oleh suami sebagai pemimpin untuk mengarahkan isteri

kembali ke jalan yang benar.

Kata dorb dalam surat An-Nisa ayat 34 tidak bisa dijadikan rujukan

dan diterjemahkan secara harfiah dengan memukul, tetapi harus diterjemahkan

sesuai dengan penjelasan ayat dan hadist secara komprehensif sesuai norma

syariah. Karena dalam persepsi Islam, maksud dari institusi perkawinan dalam

bentuk rumah tangga sangatlah mulia. Selain mengikuti Sunnah Nabi dan

mengembangbiakkan keturunan, juga untuk membina keluarga sakinah,

mawaddah, rahmah, mahabbah, dan harmonis. Maka dari itu, menghina,

menganiaya atau memukul isteri bukan hanya kontraproduktif dengan tujuan

perkawinan, tetapi juga melanggar prinsip dasar HAM.16

UU 7/1998 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan

Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, UU No. 23/2002 tentang

perlindungan anak, UU No. 23/2004 tentang penghapusan Kekerasan Dalam Rumah

Tangga, UU No. 21/2007 tentang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang

16

(23)

adalah bukti perubahan konstruktif bagi penghapusan KDRT. Penghapusan KDRT

dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan pada umumnya selanjutnya

menuntut jaminan implementasi dan operasionalisasi yang lebih konkrit sehingga

deretan pasal dalam berbagai perundang-undangan tersebut tidak menjadi pasal bisu

yang tidak mampu melimpahkan keadilan bagi perempuan. Tugas aparat penegak

hukum, polisi, jaksa, hakim, advokat, dan pendamping adalah memastikan bahwa

perundang-undangan itu bisa dijalankan.17

Idealnya sebuah kehidupan berumah tangga adalah untuk hidup rukun

bahagia dan tentram, namun sebuah perjalanan hidup tidak selamanya mulus sesuai

dengan apa yang diharapkan, terkadang aral datang lebih pagi untuk menghantam

keyakinan diri dan goyahkan dinding baja nurani sehingga muncullah perbedaan

pandangan dalam memahami kehidupan dan pertengkaran diantara suami isteri yang

merasa tidak nyamanan tentram lagi dengan perkawinan mereka. Pada hakikatnya,

seseorang yang melakukan akad pernikahan adalah saling berjanji serta

berkomitmen untuk saling membantu, menghargai dan menghormati pasangannya,

sehingga tercapailah kebahagiaan dan cita-cita yang diinginkan. Tujuan pernikahan

tertera pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.18

Kasus gugatan cerai yang diajukan ke Pengadilan Agama akibat pelaku

melakukan KDRT terus menerus juga menjadi salah satu kasus yang

17

Faqihuddin Abdul Kodir, Ummu Azizah Mukarnawati, “Referensi Bagi Hakim Peradilan Agama tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga”, (Jakarta, Komnas Perempuan), h. 2.

18

(24)

didokumentasikan oleh Komnas Perempuan. Beberapa tahun belakangan ini,

dorongan terhadap Pengadilan Agama agar lebih sensitif terhadap gugatan cerai

dengan alasan KDRT yang terus menerus terjadi semakin menguat (Komnas

Perempuan 2008). Adapun gugatan cerai yang diajukan oleh seorang perempuan

korban KDRT dalam kasus terdokumentasi, tidak cukup membuat majelis hakim

tergugah untuk melihat lebih jauh gugatan tersebut. Persoalan tambah lainnya

adalah hak-hak perempuan atau mantan isteri dan hak-hak anak pasca perceraian

tidak memiliki daya paksa untuk menekan mantan suami agar menunaikan

kewajiban hukum mereka.19

Adapun alasan-alasan perceraian yang dibenarkan diatur pada pasal 19 PP No.

9 Tahun 1974 tentang pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam pasal 116.20Bila hubungan pernikahan itu

tidak dapat lagi dipertahankan dan kalau dilanjutkan juga akan menghadapi

kemudaratan, maka Islam membuka pintu untuk terjadinya perceraian. Dengan

demikian, pada dasarnya perceraian atau thalaq itu adalah sesuatu yang tidak

disenangi yang dalam istilah Ushul Fiqh disebut makruh.21 Ikatan perkawinan harus

19

http://www.komnasperempuan.or.iddiakses pada tanggal 24 Januari 2012.

20

Amir Syarifuddin, “Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Serta Kompilasi Hukum Islam”, (Jakarta: Departemen Agama RI: Dirjen, Bimas dan Penyelenggara Haji).

21

(25)

dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, bisa bertahan dengan bahagia sampai ajal

menjelang dan bisa juga putus di tengah jalan.22

Pengadilan agama adalah salah satu institusi penegak hukum yang sangat

berhubungan dengan penegak berbagai perundang-undangan di atas. Meskipun

untuk kategori kejahatan atau tindak pidana tetap menjadi kewenangan pengadilan

negeri, tetapi laporan tahunan komnas perempuan yang salah satunya dihimpun dari

pengadilan agama, menunjukkan bahwa pengadilan agama pintu pertama

terkuaknya berbagai kekerasan dalam rumah tangga yang sebelumnya tertutup rapi

di tengah rumah tangga. Karena itu, meskipun tidak langsung mengadili tindak

pidananya, pengadilan agama memiliki peranan strategis dalam menguak peristiwa

kekerasan yang terjadi.23

Institusi Peradilan Agama sebagai bagian dari sistem hukum nasional

memiliki kontribusi penting dalam mempengaruhi dan membentuk praktik dan

kebiasaan yang terjadi dalam hubungan antar laki-laki dan perempuan. Hal ini

karena hampir semua kompleksitas persoalan relasi antar laki-laki dan perempuan

sebagai pasangan suami isteri adalah bagian pokok dari kompetensi Peradilan

Agama.24 Peradilan Agama menyelenggarakan guna menegakkan tugas pokok

22

Aiumur Naruddin, Azhari Akmal Tarigan,“Hukum Perdata Islam di Indonesia”, (Jakarta, Kencana 2004), h. 208.

23

Faqihuddin Abdul Kodir, Ummu Azizah Mukarnawati,“Referensi Bagi Hakim Peradilan Agama tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga”, (Jakarta, Komnas Perempuan), h. 2.

24

(26)

untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang

diajukan kepadanya berdasarkan peraturan perundangan.25

Hal utama yang juga menjadi kewajiban hakim adalah mandat legalnya

sebagai pihak yang bertugas memutus perkara. Hakim tidak bisa semata-mata

mengacu secara rigid perundang-undangan yang memiliki keterbatasan dalam

menangkap setiap spektrum peristiwa KDRT yang kompleks, tapi juga dituntut

untuk berkreasi, menelaah, dan terampil membangun argumen yang holistik

(menyeluruh dan meluas) dari berbagai perundang-undangan nasional yang tersedia.

Meskipun kasus yang disidangkannya merupakan kasus perdata, perceraian

misalnya, dalam rangka memenuhi keadilan perempuan, hakim semestinya

menelisik setiap kemungkinan tindak pidana, selanjutnya proses pidana dapat

dimulai dari sini. Dengan demikian, kualitas putusan hakim tidak hanya memenuhi

standar penyelesaian perdatanya saja tapi juga mendorong dan membuka keadilan

baru bagi perempuan korban KDRT.26 Data badilag Mahkamah Agung RI

menyebutkan tentang prosentase cerai gugat dan cerai talak pada tahun 2009

menunjukkan bahwa secara nasional, perkara yang masuk untuk cerai gugat 143,

747 (65%), berbanding perkara untuk cerai talak 77, 773 (35%).27

25

Basiq Djalil,“Peradilan Agama Di Indonesia”, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group), h. 14.

26

Faqihuddin Abdul Kodir, Ummu Azizah Mukarnawati, “Referensi Bagi Hakim Peradilan Agama tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga”, (Jakarta: Komnas Perempuan), h. 3.

27

(27)

Perceraian merupakan perkara yang mendominasi ruang sidang pengadilan

agama di Indonesia. Peraturan perundang-undangan menyebutkan bahwa perceraian

hanya dilakukan melalui pengadilan agama.28 Sebenarnya yang menarik dari

perkembangan hukum perceraian adalah, di mana undang-undang dalam kasus

perceraian apakah melalui talak maupun cerai gugat telah menempatkan laki-laki

dan perempuan dalam posisi yang setara sama-sama dapat mengajukan permohonan

cerai, dan pengadilan adalah pihak yang menentukan dapat atau tidaknya sebuah

perceraian itu terjadi.29

Dari uraian diatas, maka penulis bermaksud untuk melakukan pengkajian

dan melakukan penelitian lebih mendalam dalam permasalahan ini yaitu mengenai

gugatan cerai yang diakibatkan oleh Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT),

maka dalam hal ini penulis memilih Pengadilan Agama Bogor yang untuk

ditelusuri, maka penulis akan memberi judul: “PERCERAIAN AKIBAT

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA” (Studi Analisis Putusan Hakim

Dalam Perkara Gugat Cerai No. 214/Pdt.G/PA. Bgr).

28

Arskal Salim, Euis Nurlaelawati, Lies Marcoes Natsir, Wahdi Sayuti,“Demi Keadilan Dan Kesetaraan”, (Jakarta: PUSKUMHAM), h. 59.

29

(28)

B. PERUMUSAN DAN PEMBATASAN MASALAH

1. Rumusan Masalah

Ada 2 (dua) hal pokok sebagai dasar pemikiran yang digunakan dalam

penyusunan rumusan masalah tentang kesetaraan gender yang selanjutnya

akan menjadi ukuran atau standar dalam menemukan kesetaraan gender, yang

diharapkan bahwa suatu peraturan dan pelaksanaannya pun akan menjadi adil

baik terhadap perempuan, yakni30:

a. Penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi perempuan sebagai

hak asasi manusia, dan untuk hal itu perlu dikaji secara mendalam sumber

hukum hak asasi manusia, yang terkandung dalam:

1. Pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara Republik Indonesia;

2. Ketetapan Majelis Permusyawarahan Rakyat Republik Indonesia

Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia yang ditetapkan

tanggal 13 November 1998;

3. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang

didalamnya terkandung dalam 14 (empat belas) Rumpun Hak, dan

dijabarkan dalam 40 (empat puluh) Hak Konstitusional setiap warga

Negara Indonesia;

30

(29)

4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2005 tentang

Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Dikriminatif

Terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All

Discrimination Against Women);

5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang

Hak asasi Manusia;

b. Pengintegrasian perspektif gender melalui pendekatan tentang Akses,

Paartisipasi, Kontrol dan Manfaat yang setara dan adil dengan

menggunakan analisis gender:31

1. Dasar pemikiran yang terkandung dalam prinsip-prinsip CEDAW,

yakni: prinsip non diskriminatif, prinsip persamaan subtantif

(kesetaraan yang adil), dan prinsip kewajiban negara;

2. Memperhitungkan dan mempertimbangkan aspek-aspek sosial budaya,

khususnya masih kentalnya budaya patriakhi, yang selama ini

merupakan faktor penghambat terkuat, terutama terhadapa perempuan,

dalam pemenuhan dan penikmatan yang adil dalam kehidupan

berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

31

(30)

Agar penelitian ini berjalan dengan sistematis, maka perlu dibuat

perumusan masalah sebagai berikut:

a. Bagaimana dasar pertimbangan Hakim dalam memberikan putusan

perkara No. 214/Pdt.G/PA.Bgr ?

b. Faktor apa saja yang mempengaruhi dasar keputusan Hakim terkait

atau terhadap putusan tersebut ?

2. Pembatasan Masalah

Berdasarkan uraian permasalahan diatas, penulis memfokuskan

penelitian ini pada Perceraian Akibat Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Terhadap Putusan Hakim Pengadilan Agama Bogor Dalam Kasus Cerai

Gugat Khususnya pada Putusan Perkara Perceraian Nomor:

214/Pdt.G/2007/PA.Bgr. Terkait dengan kasus Kekerasan Dalam Rumah

Tangga.

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

1. Tujuan Penelitian

Berkenaan dengan pokok permasalahan ini, maka tujuan penelitian dapat

dirumuskan sebagai berikut:

a. Mengetahui dan mempelajari dasar pertimbangan Hakim Pengadilan

(31)

b. Mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi dasar keputusan

Hakim Pengadilan Agama Bogor terkait Kekerasan Dalam rumah

Tangga.

2. Manfaat Akademik

Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan ilmu peradilan agama

dalam memahami putusan hakim pengadilan agama terhadap kesetaraan

dan keadilan perempuan di pengadilan agama dalam kasus perceraian dan

dapat memberikan manfaat dari segi akademisi dan praktisi, yaitu:

a. Secara Akademik yaitu:

Untuk pengembangan hukum acara perdata, diharapkan penelitian ini

dapat menjadi tambahan referensi, dan peningkatan akademisi dalam

bidang hukum kelembagaan peradilan agama. Dan untuk memperluas

ilmu pengetahuan di lingkungan Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, terutama Fakultas Syariah dan Hukum,

khususnya untuk menambah referensi bagi kajian hukum perdata, di

mana penulis sangat berharap agar penelitian skipsi ini memberikan

gambaran dengan jelas mengenai peran kewenangan hakim

pengadilan agama dalam menjatuhkan putusan perceraian cerai gugat

tanpa adanya mendiskriminatifkan perempuan atas hak-haknya pasca

(32)

b. Secara Praktis yaitu:

Memberikan informasi bagi akademisi dan masyarakat luas mengenai

Perceraian Akibat Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Putusan

Hakim Pengadilan Agama Dalam Kasus Cerai Gugat.

c. Masyarakat Umum:

Penulis skripsi ini juga diharapkan dapat memberikan penjelasan bagi

masyarakat umum tenang hal-hal yang berhubungan dengan

Perceraian Akibat Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Putusan

Hakim Pengadilan Agama Dalam Kasus Cerai Gugat.

D. METODE PENELITIAN

Mengingat dalam karya ilmiah, metode merupakan strategis yang utama dan

mempunyai peran yang sangat penting, karena dalam penggunaan metode

adalah upaya untuk memahami dan menjawab persoalan yang akan diteliti.32

Untuk itu penulis menggunakan metode sebagai berikut:

a) Metode Penelitian Hukum Normatif

Berdasarkan permasalahan yang diteliti oleh penulis, maka metode

penelitian hukum normatif. metode penelitian hukum normatif atau

metode penelitian hukum kepustakaan adalah metode atau cara yang

dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara

32

(33)

meneliti bahan pustaka yang ada.33Tahapan pertama penelitian hukum

normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum

objektif (norma hukum), yaitu dengan mengadakan penelitian terhadap

masalah hukum. tahapan kedua penelitian hukum normatif adalah

peneliti yang ditujukan untuk mendapatkan hukum subjektif (hak dan

kewajiban).34

b) Metode Penelitian Hukum Sosiologis

Penelitian hukum sosiologis atau empiris adalah metode penelitian

yang dilakukan untuk mendapatkan data primer, dan menemukan

kebenaran dengan menggunakan metode berfikir induktif dan

kriterium kebenaran koresponden serta fakta yang digunakan

melakukan proses induksi dan pengujian kebenaran secara

koresponden adalah fakta yang mutakhir. Cara kerja dari metode

yuridis sosiologi dalam penelitian skripsi ini, yaitu dari hasil

pengumpulan dan penemuan data serta informasi melalui studi

kepustakaan terhadap asumsi atau anggapan dasar yang dipergunakan

dalam menjawab permasalahan pada penelitian skripsi ini, kemudian

dilakukan pengujian secara induktif-verifikatif pada fakta metakhir

yang terdapat di dalam masyarakat. Dengan demikian kebenaran

33

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,

Cetakan ke–11. (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2009), h. 13–14.

34

(34)

dalam suatu penelitian telah dinyatakan reliable tanpa harus melalui

proses rasionalisasi.35

c) Metode Pengumpulan Data

1. Studi Kepustakaan

Penelitian ini juga melakukan studi kepustakaann, yakni

penelitian keperpustakaan dengan cara mengumpulkan

sumber-sumber yang berkaitan dengan aspek-aspek permasalahan,

mengambil data, meneliti dan mengkaji literatul, pendapat para

ahli yang terdapat dalam buku-buku, surat kabar, majalah dan

lain sebagainya yang dapat menunjang dan membantu penulis

untuk menyelesaikan skripsi ini.

Atas dasar bahan-bahan hukum yang diuraikan diatas, maka

dengan sendirinya peneliti peneliti secara sadar memilih dan

menggunakan metode penelitian hukum normatif,36 atau

disebut juga metode yuridis formal.37 Pembahasan akan

dilakukan secara analitis, dengan demikian maka metode ini

disebut juga normatif analitis.

35

Soerjono Soekanto & Sri Mamudji,Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Rajawali Pers, Jakarta, 2001, h. 13-14.

36

Moh. Kusnadi dan Harmaily Ibrahi,Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,

(Jakarta:Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Sinar Bakti, Cet-Kelima, 1983). h.20.

37

(35)

2. Wawancara

Dalam metode pengumpulan data selain menggunakan studi

kepustakaan, peneliti juga melakukan metode wawancara. Dari

penjelasan diatas wawancara merupakan suatu teknik

pengumpulan data yang dilakukan dengan tanya jawab secara

lisan, baik langsung atau tidak langsung dengan sumber data.

Wawancara langsung yaitu ditujukan langsung kepada orang

yang diperlukan keterangan/datanya dalam penelitian.

Sedangkan wawancara tidak langsung, yaitu wawancara yang

ditujukan kepada orang-orang lain yang dipandang dapat

memberikan keterangan mengenai keadaan orang yang

diperlukan datanya.38

3. Analisa Data

Data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini dapt

dibedakan menjadi:

1) Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yang dijadikan acuan adalah

Peraturan Perundang-undangan yang erat hubungan

dengan masalah yang akan diteliti yaitu:

a. Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974.

38

(36)

b. Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman No. 48 Tahun

2009.

c. Rancangan Undang-Undang Tentang Kesetaraan

Gender.

d. Kompilasi Hukum Islam (KHI).

e. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata.

2) Bahan Hukum Sekunder

a. Literatul-literatul.

b. Artikel-artikel yang berasal dari internet dan media

cetak.

3) Bahan Hukum Tersier

a. Kamus Hukum.

b. Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Sumber data sekunder diporeleh dari hasil penelusuran pustaka dan

dokumentasi di berbagai lembaga atau instansi.

d) Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan oleh

peneliti adalah:39

a. Observasi

Observasi adalah pengamatan dan pencatatan yang sistematis

terhadap gejala-gejala yang diteliti. Peneliti mengawasi dengan

cermat setiap perkembangan yang berkitan dengan penelitian.

39

(37)

b. Dokumentasi

Pada tahap dokumentasi, penilis mengumpulkan buku-buku,

majalah, artikel dari internet maupun dari media cetak yang

berkaitan dengan kesetaraan dan keadilan gender perempuan

terhadap putusan hakim pengadilan agama dalam kasus cerai gugat.

Dokumentasi ini memudahkan penulis dalam mencari teori-teori

yang berkaitan dengan judul skripsi.

Analisis penulisan skripsi ini dilakukan dengan metode secara

kualitatif yang merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan

data deskriptif-analisis, yakni apa yang dinyatakan secara tertulis

atau lisan dan juga perilakunya yang nyata, diteliti sebagai sesuatu

yang utuh. Sehingga dengan menggunakan metode kualitatif,

penulis diharapkan dalam melakukan penelitian bertujuan untuk

mengerti dan memahami gejala yang ditelitinya.40

Adapun sebagai pedoman dalam penulisan skripsi ini, penulis

mempergunakan buku pedoman peulis yang diterbitkan oleh

Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta tahun 2007.

40

(38)

E. KERANGKA PEMIKIRAN

Perkawinan

Isteri Suami

Konflik Keluarga

Awal KDRT

Isteri Sebagai Korban Konflik Keluarga dari Suami

Psikis Sosiologis Mental

Gugatan Perceraian

Respon Hakim Replik

Penggugat

Duplik Tergugat

Pertimbangan Hakim

(39)

F. KAJIAN (REVIEW) STUDI TERDAHULU

Dalam penulisan skripsi ini penulis merujuk pada buku, serta

skripsi-skripsi ataupun penelitian-penelitian yang pernah membahas seputar Kesetaraan

dan Keadilan Gender di Pengadilan Agama. Buku-buku yang digunakan

diantaranya “Kontroversi Hakim Perempuan Pada Peradilan Islam Di

Negara-Negara Muslim” karangan Dr. Hj. Djazimah Muqoddas, S.H., M.Hum.

Adapun skripsi yang pernah membahas seputar Kesetaraan dan Keadilan Gender

di Pengadilan agama:

1. Kesetaraan gender dan gugatan cerai di Pengadilan Agama Cilacap (Studi

kasus perceraian di Pengadilan Agama Cilacap). Penulis Kasyono dari

fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, pada

skripsi ini penulis memaparkan Eksitensi Hakim Pengadilan Agama dalam

memutuskan proses perkara cerai gugat.

2. Penyelesaian kasus kekerasan dalam rumah tangga di luar pengadilan.

Penulis Marisa Kurnianingsih dari fakultas hukum Universitas

Muhammadiyah Surakarta Jawa Tengah 2010, pada skripsi ini penulis

memaparkan tentang kekerasan dalam rumah tangga yang diselesaikan di

luar pengadilan yang lebih mementingkan untuk mengupayakan perdamaian

terlebih dahulu adanya putusan hakim yang menjadi mediator dalam kasus

kekerasan dalam rumah tangga.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa skripsi yang penulis

(40)

meneliti tentang bagaimana putusan hakim pengadilan agama Bogor dalam

memutuskan perkara cerai gugat tanpa harus menghilangkan hak-hak yang

didapatnya dan tanpa harus mendikriminasikan kaum perempuan ketika terjadi

perceraian yang diselesaikan di pengadilan agama Bogor.

G. SISTEMATIKA PENULISAN

Untuk lebih mempermudah pembahasan dan penulisan skripsi ini lebih

fokus dan sistematis, maka penulis mengklasifikasikan permasalahan dalam

beberapa bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut:

BAB I: Pendahuluan yang memberikan gambaran secara umum dan menyeluruh tentang latar belakang masalah, perumusan masalah,

tujuan dan manfaat penelitian, metode pembahasan serta

sistematika penyusunan.

BAB II: Merupakan bab yang membahas tentang konsepsi kesetaraan dan keadilan gender, yang menjelaskan tentang pengertian terdahulu,

pengertian tentang kesetaraan gender, keadilan bagi gender

perempuan, gender dalam pandangan Islam dan pandangan barat

(western), gender dalam perundang-undangan di Indonesia. Bab

ini agar dijadikan bekal bagi peneliti untuk menguji dan mengukur

kebenaran teori dengan realitas di lapangan.

(41)

tentang konteks sejarah pengadilan agama bogor, dasar-dasar

putusan hakim pengadilan agama Bogor dalam kasus cerai gugat,

serta persepsi hakim tentang kesetaraan dan keadilan gender

dalam memutuskan perkara cerai gugat.

BAB IV: Bab ini menguraikan dan menganalisis putusan hakim pengadilan agama bogor dalam Putusan Perkara Perceraian Nomor:

214/Pdt.G/2007/PA.Bgr, terhadap kesetaraan dan keadilan gender

perempuan di pengadilan agama bogor dalam kasus cerai gugat.

Dan memaparkan yang meliputi pandangan hakim pengadilan

agama Bogor terhadap konsep kesetaraan dan keadilan gender

perempuan dalam putusan majelis hakim pengadilan agama

Bogor.

BAB V: Merupakan bab terakhir yang berisi tentang penutup. Bab ini terdiri dari dua pembahasan yaitu kesimpulan dari hasil proses penelitian

yang dilakukan mulai dari awal penelitian judul sampai penentuan

akhir yaitu kesimpulan serta berisi tentang saran-saran konstruktif

(42)

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI

PERCERAIAN AKIBAT KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

A. Tinjauan Umum Tentang Perceraian 1. Pengertian Perceraian

Perceraian merupakan bagian dari pernikahan, sebab tidak ada

perceraian tanpa diawali pernikahan terlebih dahulu. Pernikahan merupakan

awal dari hidup bersama antara seorang wanita yang diatur dalam peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal ini, perkawinan selalu dipandang

sebagai dasar bagi unit keluarga yang mempunyai arti penting bagi penjagaan

moral atau akhlak masyarakat dan pembentukan peradaban.41

Allah SWT telah menetapkan dalam Al-Quran bahwa kedua pasangan

suami isteri harus segera melakukan antisipasi apabila tiba-tiba timbul

gejala-gejala dapat diduga akan menimbulkan gangguan kehidupan rumah tangganya,

yaitu dalam firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat 34:

41

(43)

                                                                       

Artinya:“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena

Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang

lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari

harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah

lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah

memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka

nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan

pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu

mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi

lagi Maha besar”.(Q.S. An-Nisa ayat: 34).

Selanjutnya Allah SWT dalam firman-Nya, yaitu didalam surat

(44)

                                              

Artinya:“Dan jika seorangwanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh

dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya Mengadakan perdamaian

yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)

walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan

isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh),

maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

(Q.S. An-Nisa: 128)

Apabila usaha antisipasi melalui ayat-ayat tersebut tidak berhasil

mempertahankan kerukunan dan kesatuan ikatan perkawinan dan tinggallah

jalan satu-satunya terpaksa harus bercerai dan putusnya perkawinan, maka

ketentuan yang berlaku adalah surat Al-Baqarah ayat 229:42

42

(45)

                                                                                    

Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi

dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal

bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada

mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan

hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak

dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya

tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah

hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang

melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim”. (Q.S.

(46)

Perceraian berasal dari kata dasar cerai, yang berarti pisah dan talak.43

Mendapat awalan “per” dan akhiran “an” yang mempunyai fungsi sebagai

pembentuk kata benda abstrak, kemudian menjadi perceraian yang berarti hasil

dari perbuatan cerai.44 Perceraian dalam istilah fiqih disebut talak atau furqah,

kata talak berrati membuka ikatan, membatalkan perjanjian, sedangkan furqah

berarti bercerai, kedua istilah tersebut oleh fiqih diartikan sebagai perceraian

antara suami isteri.45

Menurut Dahlan Idhami, lafadz talak berarti melepaskan ikatan, yaitu

putusnya ikatan perkawinan dengan ucapan lafadz yang khusus seperti talak

dan kinayah (sindiran) dengan niat talak.46

Pengertian perceraian yang dijelaskan secara tegas dalam Pasal 117 KHI

yang menyebutkan bahwa perceraian adalah ikrar suami dihadapkan sidang

Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan.

Berdasarkan uraian tersebut dapat diperoleh pemahaman bahwa perceraian

adalah putusnya ikatan perkawinan antara suami isteri yang sah dengan

menggunakan lafadz talak atau semisalnya, selanjutnya dipertegas oleh

ketentuan Pasal 38 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa

perkawinan dapat putus disebabkan karena kematian, perceraian dan putusan

43

Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam Dalam Undang-Undang Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty, 1986), cet. Ke-2, h. 81-83.

44

Gorys Keraf,Tata Bahasa Indonesia,(Jakarta: Nusa Indah, 1982), cet. Ke-9, h. 115.

45

Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 156.

46

(47)

pengadilan, yang mana akibat hukum yang ditimbulkan dari ketiga sebab

tersebut berbeda-beda.

Sedangkan menurut hukum Islam talak berarti:

a. Menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurai keterikatan dengan

ucapan tertentu.

b. Melepaskan ikatan perkawinan dan mengakhiri hubungan suami isteri.

c. Melepaskan ikatan akad perkawinan dengan ucapan talak atau yang

sepadan dengannya.47

Dalam peraturan di Indonesia dalam hal perceraian dikenal adanya cerai

gugat dan cerai talak. Cerai talak adalah perceraian yang terjadi atas inisiatif

dari pihak suami, sedangkan cerai gugat adalah perceraian atas inisiatif dari

pihak isteri. Dengan demikina jelaslah bahwa makna perceraian di sini adalah

perceraian atas inisiatif isteri.48

Perkawinan sebagai perjanjian atau kontrak (‘aqad), maka pihak-pihak yang terikat dengan perjanjian atau kontrak berjanji akan membina rumah

tangga yang bahagia lahir bathin dengan melahirkan anak cucu yang

meneruskan cita-cita mereka. Bila ikatan lahir bathin tidak dapat diwujudkan

dalam perkawinan, misalnya tidak lagi dapat melakukan hubungan seksual, atau

tidak dapat melahirkan keturunan, atau, masing-masing sudah mempunyai

47

Zahri Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam Dan UU Perkawinan Indonesia,

(Yogyakarta: Bina Cipta, 1976), h. 73.

48

(48)

tujuan yang berbeda, maka perjanjian dapat dibatalkan melalui pemutusan

perkawinan (perceraian) atau paling tidak ditinjau kembali melalui perkawinan

kembali setelah terjadi perceraian“ruju”.49

Bagi orang Islam, perceraian lebih dikenal dengan istilah talak.

Menurut Sayyid Sabiq, talak adalah

Artinya: “Melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan

perkawinan”.50

Menurut HA. Fuad Sa’is yang dimaksud dengan perceraian adalah

putusnya perkawinan antara suami isteri karena tidak terdapat kerukunan dalam

rumah tangga atau sebab lain seperti mandulnya isteri atau suami dan setelah

sebelumnya diupayakan perdamaian dengan melibatkan keluarga kedua belah

pihak.51

49

Rifyal Ka’bah,Permasalahan Perkawinan,Dalam Majalah Varia Peradilan, No. 271 Juni 2008, (Jakarta: IKAHI, 2008), h. 7.

50

Sayyid Sabiq,Fiqh Sunnah,(Beirut: Darul Fikri), Jilid II, h. 206 tt.

51

(49)

2. Dasar Hukum Perceraian

Adapun dasar hukum perceraian adalah sebagai berikut:

Di antara ayat-ayat Al-Quran yang berbicara tentang perceraian adalah

sebagai berikut:                                                                                     

Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi

dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak

halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan

kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat

menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya

(suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada

(50)

dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya.

Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang

yang zalim”. (Q.S. Al-Baqarah: 229).

Ayat di atas menjelaskan bahwa talak yang boleh dirujuk itu 2 (dua)

kali dan talak yang sesuai dengan syariat Islam adalah satu demi satu, tidak

sekaligus. Apabila berkehendak merujuk isteri harus dengan cara yang ma’ruf

dan apabila ingin menceraikan isteri dengan cara yang baik juga.52

Lalu di jelaskan pula di dalam Firman Allah SWT di dalam surat

Al-Baqarah ayat 230:

                                                

Artinya: “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua),

Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami

yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada

dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali

jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.

52

(51)

Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau)

mengetahui”. (Q.S. Al-Baqarah: 230).

Ayat tersebut menjelaskan bahwa suami yang mentalak isterinya

sampai tiga kali tidak boleh merujuk dan mengawininya kembali kecuali

setelah bekas isteri kawin dengan laki-laki lain dan telah dicerai serta telah

berakhir masa‘iddah-nya53.

Dan Allah SWT berfirman dalam surat At-Thalaq ayat 1:

                                                                            

Artinya: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka

hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi)

iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah

kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah

mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka

53

(52)

mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, Maka

Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. kamu tidak

mengetahui barangkali Allah Mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang

baru”. (Q.S. At-Thalaq:1).

Dijelaskan pula di dalam hadist dari Abu Dawud dan Ibnu Majah:

( ) :

Artinya: “Dari ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah SAW telah

bersabda: Sesuatu yang halal yang paling dibenci Allah adalah

talak”. (H.R. Abu Daud).54

3. Sebab-Sebab Terjadinya Perceraian

Yang dimaksud dengan sebab-sebab terjadinya perceraian disini

adalah suatu kondisi dimana suami atau isteri mempergunakannya

sebagai alasan untuk mengakhiri atau memutuskan tali perkawinan

mereka.

Pada dasarnya hukum Islam menetapkan bahwa alasan perceraian hanya

satu macam saja, yaitu pertengkaran yang sangat memuncak dan

54

(53)

membahayakan keselamatan jiwa yang disbut dengan “syiqaq” sebagaimana

firman Allah SWT dala Al-Quran surat An-Nisa ayat 35 yang berbunyi:

                                     

Artinya: “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya,

Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari

keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan

perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya

Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Q.S. An-Nisa: 35).

Sedangkan alasan perceraian menurut Hukum Perdata, hanya dapat

terjadi berdasarkan alasan-alasan yang ditentukan Undang-Undang dan harus

dilakukan didepan sidang pengadilan.55 Dalam kaitan ini ada dua pengertian

yang perlu dipahami yaitu istilah “bubarnya perkawinan” dan “perceraian”.

55

(54)

Alasan terjadinya perceraian berdasarkan Pasal 19 Peraturan Pemerintah

Nomor 9 tahun 1975 adalah:56

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi,

dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

b. Salah satu pihak (suami isteri) meninggalkan pihak lain selama 2 (dua)

tahun yang sah terkait dengan kewajiban memberikan nafkah lahir dan

batin.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara selama 5 (lima) tahun atau

yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang dpat

membahayakan pihak lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak

dapat menjalankan kewajiban sebagai suami isteri.

f. Antara suami isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran,

serta tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Disamping Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975

tersebut diatas, bagi yang beragama Islam sesuai dengan pasal 116 Kompilasi

Hukum Islam ada penambahan sebagai berikut:

a. Suami melanggar taklik talak.

56

(55)

b. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak

rukunan dalam rumah tangga.

Dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan

disebutkan, bahwa putusnya perkawinan dapat terjadi karena salah satu pihak

meninggal dunia, karena perceraian dan karena adanya putusan pengadilan.

Kemudian dalam Pasal 39 ayat (2) ditentukan bahwa untuk melaksanakan

perceraian harus cukup alasan yaitu antara suami isteri tidak akan hidup sebagai

suami isteri.

Berdasarkan apa yang telah ditentukan dalam Pasal 19 Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam, maka

dapat disimpulkan bahwa perceraian tidak dapat dilakukan dengan sesuka hati.

Dengan demikian perceraian hanya dapat dilakukan apabila telah

memenuhi rumusan yang ditentukan dalam Psala 19 Peraturan Pemerintah

Nomor 9 Tahun 1975 jo pasal 116 Kompilasi Hukum Islam dengan kata lain

Pengaturan tersebut sesuai dengan asas dasar perkawinan yang mempersulit

(56)

B. Tinjauan Umum Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga 1. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Secaraetimologi kekerasan berasal dari kata “keras” yang berarti padat dan tidak mudah pecah sedangkan kata “kekerasan” itu sendiri adalah perihal

(yang bersifat dan berciri) keras, perbuatan seseorang atau sekelompok orang

yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan fisik atau

barang orang lain, serta paksaan.57

Secara terminologi yang dimaksud kekerasan atau “violence” pada

dasarnya merupakan suatu konsep yang maksna iainya sangat bergantung

kepada masyarakat sendiri, seperti dikatakan (Levi, 1994: 295-353).58

Kekerasan dalam Kamus Besar bahasa Indonesia berarti:59

a. Perihal yang bersifat, berciri keras;

b. Perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cidera

atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang

orang lain;

Dapat diartikan bahwa kata “kekerasan” pada umumnya dipahami hanya menyangkut serangan fisik belaka.60 Sebagaimana yang didefinisikan oleh

Kandish Sanford bahwa:61

57

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan bahasa,Kamus Besar Bahasa Indonesia,Edisi ke-2, cet. VII, (Jakarta: balai Pustaka), h. 484-485.

58

Fathul Djannah, Dkk,Kekerasan Terhadap Isteri,(Yogyakarta: Lkis, 2003), h. 11.

59

(57)

“All type illegal behavior, or either threatened or actual that result in the

damage or destruction of property or in the injury or death of on individual”.

Senada dengan definisi dari Kandish Sanford, Encylopedia of Crime and Justice

mendefinisikan “Violence” sebagai:62

“...a general tern referring to all ytpe of behavior, either threatened or actual,

that result in or are intended to result in the damage or destruction of property

or the unjury or death of an individual”.

Sedangkan pengertian kejahatan dengan kekerasan yang diberikan oleh

B. Mardjono Reksodiputro sebagaimana dikutip oleh Sagung Putri, dapat

diketahui bahwa dalam pengertian kejahatan kekerasan ada dua faktor penentu

yaitu:63

a. Adanya penggunaan kekerasan, dan

b. Adanya tujuan untuk mencapai tujuan pribadi yang bertentangan dengan

orang lain.

Menurut para ahli kriminologis, kekerasan yang mengakibatkan

terjadinya kekerasan fisik adalah kekerasan yang bertentangan dengan hukum.

60

Mansour Fakih,Perkosaan dan Kekerasan Perspektif Analisis Gender, (Perempuan Dalam Wacana Perkosaan), (Yogyakarta: PKBI, 1997), h. 6.

61

Kandish Sanford,Encylopedia of Criminal Justice,(Collier Macmilan, 1983), h. 1618.

62

<

Referensi

Dokumen terkait

The fiscal decentralisation side of Village Law 2014 has cre- ated new intergovernmental village fiscal relations in the form of fiscal transfers adding village funds (Dana Desa)

[r]

Pendapat Nothofer tersebut kemudian diperkuat oleh Brandes dalam Mahsun (210:185) yang mengatakan bahwa bahasa Jawa dan bahasa Indonesia termasuk kedalam rumpun

Alat- dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bubuk temulawak instan, gula halus, soda kue, asam sitrat, kandang ayam, sekam, sekat, feeder, drinker, brooder,

Hiperkolesterolemia merupakan masalah yang cukup penting karena termasuk faktor resiko utama penyakit jantung koroner disamping hipertensi dan merokok. Kebiasaan makan individu..

Detectio n R ed uced Sp eed L o ss Lingkungan Lingkungan yang panas Kinerja operator berkurang Operator tidak konsentrasi 8 Uap panas hasil proses produksi dengan

Data Variabel Penelitian Tahun 2008 (Sebelum

Terbawanya kebiasaan dalam bahasa ibu pada bahasa penerima yang sedang digunakan, pada umumnya terjadi karena kurangnya kontrol bahasa dan kurangnya penguasaan terhadap