Di Ajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Disusun Oleh :
M. ANDY RAIHAN
NIM: 208044100004
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI AKHWAL SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
M. Andy Raihan NIM: 208044100004
Di Bawah Bimbingan:
Ismail Hasani, SH, MH. 197712172007101002
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI AKHWAL SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERISYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 15 Desember 2014
i
Segala puji bagi Allah Dzat yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang, yang
telah memberikan banyak nikmat dan senantiasa memberikan hidayahnya kepada setiap
makhluk ciptaan-NYA. Sehingga dengan izinnya akhirnya penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini.
Shalawat dan Salam selalu tercurahkan kepada baginda besar Nabi Muhammad
SAW, yang telah membawa umatnya minadzulumati illa nur, dan kesejahteraan semoga
selalu tercurahkan kepada keluarga besar beliau, sahabat-sahabatnya, tabi’in
-tabi’uttabiin, dan kita sebagai umatnya semoga mendapatkan syafaatnya kelak.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari masih jauh dari kesempurnaan
baik dalam proses maupun isinya. Namun berkat bantuan serta dukungan dari berbagai
pihak, Alhamdulillah skripsi ini dapat terselesaikan sesuai dengan target yang
diharapkan.
Dengan penuh kerendahan hati dan kesadaran diri, penulis sadar bahwa skripsi ini
tidak akan selesai tanpa bantuan dari berbagai pihak, baik secara moril maupun materil,
sudah sepatutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
memberikan bantuan dan dukungan demi terselesaikannya penulis skripsi ini. Maka
ii
Hukum, dan beserta staf-staf nya.
3. Ketua Program Studi Al-Akhwal Syakhsiyyah Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil,
SH, MH, sekaligus sebagai dosen pembimbing akademik yang telah bersedia
meluangkan waktunya untuk membimbing dan memberikan arahan serta
dorongan motivasi kepada penulis.
4. Kepada Dosen Pembimbing skripsi Bapak Ismail Hasani, SH, MH yang dengan
sangat sabar dan telaten membimbing dalam pembuatan skripsi ini, semoga
Allah SWT membalas semua jasa-jasa bapak dan selalu diberikan kesehatan,
kesuksesan beserta rizki yang berlimpah.
5. Kepada Ketua Pengadilan Agama Bogor Kelas IB Bapak Drs. H. Mohamad
Yamin, SH, MH beserta staf-stafnya yang telah bersedia meluangkan waktu,
tenaga, dan pemikirannya untuk melakukan wawancara dan observasi, sehingga
terselesaikannya skripsi ini. Semoga skripsi ini bisa bermanfaat untuk Pengadilan
Agama khususnya Pengadilan Agama Bogor Kelas IB dikemudian hari kelak.
6. Kepada ibunda tercinta, Eti Nurbaiti yang sangat berperan penting dalam
mendidik penulis, dengan penuh kesabaran dan pengertian dan tiada henti
memberikan dukungan baik secara moril maupun secara materil, semoga Allah
SWT selalu melindungi dan memberkahi dengan nikmat rohani dan kesehatan
iii
Hukum yang selalu memberikan dukungan dan bantuan sehingga
terselesaikannya skripsi ini.
9. Seluruh Dosen dan staff pengajar Fakultas Syariah dan Hukum yang telah
banyak memberikan banyak ilmu pengetahuan dan kesabaran dalam mendidik
penulis selama penulis melakukan studi di Fakultas Syariah dan Hukum.
10. Bagian administrasi dan tata usaha yang telah banyak membantu memberikan
kelancaran kepada penulis dalam proses kemahasiswaan, serta pimpinan dan
segenap karyawan perpustakaan umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan
khususnya perpustakaan FSH, terima kasih atas penyediaan buku-buku
penunjang sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
11. Arsy Dhea Ryzkya sebagai wanita yang selalu mendampingi penulis dan tidak
pernah berhenti berdoa dan memberikan support dalam pembuatan skripsi ini.
12. Dan tidak lupa kepada sahabat-sahabat penulis; Bangkit Erlangga S.Sy, Hanafi,
M. Ibnu Rahman, S.Hi, MM, Raod Kamaluddin, S.Pdi, Mahfud, S.Pdi, Rama
Mahardika, M. Subki, Deni Abdul Hakim, Teguh Hamanda Lubis, Harianto, M.
Rizki Romdhon, Leo, Altof, Galih, Riskana Dewi, team Futsal MP yang selalu
memberikan banyak senyuman dan inspirasi.
13. Dan bagi seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu, tanpa
mengurangi rasa hormat dan terima kasih banyak yang sebesar-besarnya atas
iv
Ciputat, 15 Desember 2014
v
DAFTAR ISI... v
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang ... 1
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah ... 15
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 17
D. Metode Penelitian ... 19
E. Kerangka Pemikiran... 25
F. Kajian Terdahulu (Review)... 26
G. Sistematika Penulisan ... 27
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERCERAIAN AKIBAT KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT) ... 29
A. Tinjauan umum Tentang Perceraian ... 29
1. Pengertian Perceraian... 29
2. Dasar Hukum Perceraian ... 36
3. Sebab-Sebab Terjadinya Perceraian ... 39
B. Tinjauan Umum Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga ... 43
1. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga... 43
2. Faktor-Faktor Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga... 47
vi
1. Letak Geografis Pengadilan Agama Bogor... 56
2. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Bogor... 57
B. Dasar-Dasar Putusan Hakim Pengadilan Agama Bogor Dalam Kasus Cerai Gugat ... 59
C. Persepsi Hakim Tentang Perceraian Akibat Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Memutuskan Perkara Cerai Gugat... 63
BAB IV Putusan Pengadilan Agama Bogor Dalam Perkara Cerai Gugat No. 214/Pdt.G/PA. Bgr... 65
A. Posisi Kasus ... 54
1. Masalah Yang Timbul... 56
2. Putusan... 66
B. Analisis Perceraian Akibat Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Putusan Hakim Dengan Nomor Perkara 214/Pdt.G/PA.Bgr di Pengadilan Agama Bogor ... 72
C. Akibat Hukum Disebabkan Oleh Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Pengadilan Agama Bogor ... 78
BAB V PENUTUP... 80
A. Kesimpulan ... 80
B. Saran ... 82
C. Daftar Pustaka ... 84
1
Perkawinan menurut Hukum Islam yaitu akad yang sangat kuat atau
mitsaqan ghalidzhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah.1
Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan nrumah tangga yang
sakinah, mawaddah, dan rahmah. Perkawinan juga ‘aqad yang menghalalkan
pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta bertolong-tolongan antara
seorang laki-laki dan perempuan yang antara keduanya bukan muhrim.2
Sebagaimana firman Allah SWT:
Artinya: “Maka bolehlah kamu menikahi perempuan yang kamu pandang baik untuk kamu, dua atau tiga atau empat, jika kiranya kamu takut tidak dapat
1
A. Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif Fiqih dan Kompilasi Hukum Islam,(Jakarta: Qalbun Salim, 2005).
2
berlaku adil diantara mereka itu, hendaklah kamu kawini seorang saja”. (Q.S.
An-nisa: 3)
Tujuan dari sebuah perkawinan adalah terbentuknya keluarga yang
bahagia, kekal dan abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, hal ini dapat
terwujud jika suami isteri saling memahami serta melaksanakan hak dan
kewajiban masing-masing sebagai upaya membangun sebuah keluarga.
Kewajiban antara suami dan isteri harus dimaknai secara timbal balik yang
artinya bahwa kewajiban suami adalah merupakan hak isteri dan sebaliknya yang
menjadi kewajiban bagi isteri merupakan hak dari pada suami.3
Keluarga harmonis dan tentram tidak akan terwujud jika terjadi
kelalaian atau kesengajaan baik dari pihak suami maupun isteri, dengan tidak
menunaikan kewajiban ini akan berakibat terlantarnya salah satu pihak atau
keduanya. Suami isteri harus saling bertanggung jawab untuk saling memenuhi
kebutuhan pasangannya untuk membangun keluarga harmonis dan tentram.4
Kehidupan rumah tangga bertujuan menuju ridho Allah SWT. Suami
dan isteri harus saling melengkapi dan bekerja sama dalam membangun rumah
tangga yang harmonis menuju derajat takwa. Allah SWT berfirman di dalam
surat At-Taubah:
3
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty, 1986), cet. Ke-2, h. 96.
4
Artinya: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian
mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain”. (Q.S. At-taubah:
71).
Dan firman Allah SWT di dalam surat An-nisa ayat 19:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai
wanita dengan jalan paksa, dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena
hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan
kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan
bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai
mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu,
Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”. (Q.S. An-nisa: 19).
Ayat di atas merupakan seruan kepada para suami agar mereka
mempergauli isteri-isteri mereka secara ma’ruf. Menurut At-Tabari, ma’ruf
adalah bersikap adil dalam giliran dan nafkah; memperbagus ucapan dan
sesuatu yang tidak disukai pada diri isterinya, selain zina dan nusyuz, suami
diminta bersabar dan tidak terburu-buru menceraikannya. Sebab, bisa jadi pada
perkara yang tidak disukai, terdapat sisi-sisi kebaikan.5
Islam sebagai agama yang mengatur urusan vertikal dan horizontal
telah mengatur urusan perkawinan dengan seksama. Urusan perkawinan ini
merupakan suatu urusan yang tentu secara ilmiah dibutuhkan oleh manusia.
Sebagai agama yang memberi rahmat maka Islam harus responsif dengan
kebutuhan manusia.
Allah Yang Maha Indah sengaja menciptakan manusia secara
berpasang-pasangan, laki-laki dan perempuan sebagai salah satu bagian dari
romantika kehidupan. Supaya romantika kehidupan ini semakin indah dan agar
hubungan laki-laki dan perempuan mampu menyuburkan ketentraman, cinta dan
kasih sayang serta kedamaian maka Allah menetapkan suatu ikatan suci yaitu
perkawinan.6
Perkawinan adalah suatu ikatan yang suci, ia merupakan suatu
persatuan jiwa dan hati, dan harus padu dan aman. Kata cerai harus dibuang
jauh-jauh dari kamus masyarakat. Seorang suami dan seorang isteri yang terikat dalam
5 Farid Ma’ruf. 2007,
Pandangan Islam Terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
(http//baitijannati.wordpress.com), diakses 29 November 2014.
6
suatu perkawinan harus meyakini bahwa mautlah yang akan memisahkan
mereka.7
Dalam pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
merumuskan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan
perempuan sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang kekal dan berdasarkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Perkawinan
dalam hukum perdata diartikan sebagai pertalian yang dilakukan antara seorang
laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang cukup lama.8
Dari rumusan perkawinan tersebut di atas jelaslah bahwa perkawinan
itu tidak hanya ikatan lahir atau ikatan batin saja akan tetapi kedua-duanya.
Sebagai ikatan lahir, perkawinan merupakan hubungan hukum antara seorang
laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama-sama sebagai suami isteri. Ikatan
lahir ini merupakan hubungan formal yang sifatnya nyata, baik bagi yang
mengingatkan dirinya maupun bagi orang lain atau masyarakat. Sedangkan
perkawinan sebagai ikatan batin merupakan pertalian jiwa yang terjalin karena
adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara laki-laki dan perempuan untuk
hidup bersama sebagai suami isteri, ikatan batin ini tercemin dari adanya
kerukunan suami isteri yang bersangkutan. Terjalinnya ikatan lahir dan batin ini
merupakan dasar dalam membentuk suatu keluarga yang bahagia dan kekal.9
7
M. Muhyidin, Perceraian Yang Indah: Membongkar Fenomena Kawin Cerai Selebritis,
(Yogyakarta: Matahari, 2005), h. 42.
8
Subekti,Pokok-Pokok Hukum Perdata,(Jakarta: PT Intermasa, 1983), cet. Ke-1, h. 23.
9
Pada dasarnya perkawinan itu dilakukan untuk selamanya sampai
wafatnya salah seorang suami isteri, inilah sebenarnya yang dikehendaki dalam
Islam.
Salah satu azas perkawinan adalah monogami (tawahhud al-zawj).
Perkawinan dilakukan atas prinsip kerelaan taraadli), kesetaraan
musaawah), keadilan adaalah), kemaslahatan maslahat), pluralisme
(al-ta’addudiyyah), dan demokratis (al-diimuqrathiyyah).10
Namun dalam keadaan tertentu terdapat hak-hak yang menghendaki
putusnya perkawinan, dalam arti bila hubungan perkawinan tetap dilanjutkan
akan menimbulkan ke mudharatan yang akan terjadi.11
Dalam azas perkawinan yang ada juga ditekankan untuk mempersulit
terjadinya perceraian artinya mempertahankan rumah tangga dengan cara yang
baik, apabila terpaksa melepaskannya dengan cara yang baik pula sebagaimana
Firman Allah SWT:
Artinya: Jika mereka bercita-cita hendak menceraikannya maka sesungguhnya
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.(Q.S. Al-Baqarah: 227).
10
Tim Pengarustamaan Gender Departemen Agama RI, Pembaruan Hukum Islam,(Jakarta, 2004), h. 36.
11
Meski diperbolehkan untuk bercerai, tetapi hal itu suatu perbuatan
yang paling dibenci oleh Islam karena akan menghilangkan kemaslahatan antara
suami isteri.12
Saat masalah yang sudah ada tidak dapat diselesaikan dengan upaya
perdamaian maka Islam memberikan solusi dengan dibolehkannya perceraian.
Cerai atau putusnya perkawinan dapat terjadi atas kehendak suami ataupun
kehendak isteri. Hal ini karena karakteristik hukum Islam dalam perceraian
memang menghendaki demikian, sehingga proses perceraiannya pun berbeda.13
Perceraian atas kehendak suami disebut cerai thalaq, dan perceraian atas
kehendak isteri disebut cerai gugat.
Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat terganggu jika kualitas
pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang ada pada akhirnya dapat terjadi
kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul ketidakamanan atau
ketidakadilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga
tersebut.14
Kekerasan adalah tindakan dan serangan terhadap seseorang yang
kemungkinan dapat melukai fisik, psikis, dan mental, serta menyebabkan
penderitaan dan kesengsaraan.15
12
Sayyid Sabiq,Fikih Sunnah,(Beirut: Dar al-Kitab al-Farabi, 1973), cet. Ke-2, h. 9.
13
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), cet. Ke-I h. 206
14
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974,Tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga,(Jakarta: Visimedia, 2007), cet. I, h. 68-69.
15
Salah satu masalah yang terjadi adalah masih berkembangnya budaya
kekerasan yang terdapat dalam kehidupan rumah tangga (KDRT) kebanyakan
dilakukan oleh suami dan sebagai korbannya isteri. Allah SWT berfirman:
Artinya: “kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta
mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi
memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara
(mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah
mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.
Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan
untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha
Dalam surat An-nisa ayat 34 diatas, Allah menjelaskan tentang
kedudukan suami sebagai pemimpin keluarga dan juga menjelaskan tentang
kewajiban isteri untuk mentaati suami. Jika ternyata dalam relaita terjadi nusuz
dari pihak isteri terhadap suami dengan tidak mengindahkan
kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhinya, maka Islam mengajarkan langkah-langkah
yang harus dilakukan oleh suami sebagai pemimpin untuk mengarahkan isteri
kembali ke jalan yang benar.
Kata dorb dalam surat An-Nisa ayat 34 tidak bisa dijadikan rujukan
dan diterjemahkan secara harfiah dengan memukul, tetapi harus diterjemahkan
sesuai dengan penjelasan ayat dan hadist secara komprehensif sesuai norma
syariah. Karena dalam persepsi Islam, maksud dari institusi perkawinan dalam
bentuk rumah tangga sangatlah mulia. Selain mengikuti Sunnah Nabi dan
mengembangbiakkan keturunan, juga untuk membina keluarga sakinah,
mawaddah, rahmah, mahabbah, dan harmonis. Maka dari itu, menghina,
menganiaya atau memukul isteri bukan hanya kontraproduktif dengan tujuan
perkawinan, tetapi juga melanggar prinsip dasar HAM.16
UU 7/1998 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, UU No. 23/2002 tentang
perlindungan anak, UU No. 23/2004 tentang penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga, UU No. 21/2007 tentang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang
16
adalah bukti perubahan konstruktif bagi penghapusan KDRT. Penghapusan KDRT
dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan pada umumnya selanjutnya
menuntut jaminan implementasi dan operasionalisasi yang lebih konkrit sehingga
deretan pasal dalam berbagai perundang-undangan tersebut tidak menjadi pasal bisu
yang tidak mampu melimpahkan keadilan bagi perempuan. Tugas aparat penegak
hukum, polisi, jaksa, hakim, advokat, dan pendamping adalah memastikan bahwa
perundang-undangan itu bisa dijalankan.17
Idealnya sebuah kehidupan berumah tangga adalah untuk hidup rukun
bahagia dan tentram, namun sebuah perjalanan hidup tidak selamanya mulus sesuai
dengan apa yang diharapkan, terkadang aral datang lebih pagi untuk menghantam
keyakinan diri dan goyahkan dinding baja nurani sehingga muncullah perbedaan
pandangan dalam memahami kehidupan dan pertengkaran diantara suami isteri yang
merasa tidak nyamanan tentram lagi dengan perkawinan mereka. Pada hakikatnya,
seseorang yang melakukan akad pernikahan adalah saling berjanji serta
berkomitmen untuk saling membantu, menghargai dan menghormati pasangannya,
sehingga tercapailah kebahagiaan dan cita-cita yang diinginkan. Tujuan pernikahan
tertera pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.18
Kasus gugatan cerai yang diajukan ke Pengadilan Agama akibat pelaku
melakukan KDRT terus menerus juga menjadi salah satu kasus yang
17
Faqihuddin Abdul Kodir, Ummu Azizah Mukarnawati, “Referensi Bagi Hakim Peradilan Agama tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga”, (Jakarta, Komnas Perempuan), h. 2.
18
didokumentasikan oleh Komnas Perempuan. Beberapa tahun belakangan ini,
dorongan terhadap Pengadilan Agama agar lebih sensitif terhadap gugatan cerai
dengan alasan KDRT yang terus menerus terjadi semakin menguat (Komnas
Perempuan 2008). Adapun gugatan cerai yang diajukan oleh seorang perempuan
korban KDRT dalam kasus terdokumentasi, tidak cukup membuat majelis hakim
tergugah untuk melihat lebih jauh gugatan tersebut. Persoalan tambah lainnya
adalah hak-hak perempuan atau mantan isteri dan hak-hak anak pasca perceraian
tidak memiliki daya paksa untuk menekan mantan suami agar menunaikan
kewajiban hukum mereka.19
Adapun alasan-alasan perceraian yang dibenarkan diatur pada pasal 19 PP No.
9 Tahun 1974 tentang pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam pasal 116.20Bila hubungan pernikahan itu
tidak dapat lagi dipertahankan dan kalau dilanjutkan juga akan menghadapi
kemudaratan, maka Islam membuka pintu untuk terjadinya perceraian. Dengan
demikian, pada dasarnya perceraian atau thalaq itu adalah sesuatu yang tidak
disenangi yang dalam istilah Ushul Fiqh disebut makruh.21 Ikatan perkawinan harus
19
http://www.komnasperempuan.or.iddiakses pada tanggal 24 Januari 2012.
20
Amir Syarifuddin, “Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Serta Kompilasi Hukum Islam”, (Jakarta: Departemen Agama RI: Dirjen, Bimas dan Penyelenggara Haji).
21
dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, bisa bertahan dengan bahagia sampai ajal
menjelang dan bisa juga putus di tengah jalan.22
Pengadilan agama adalah salah satu institusi penegak hukum yang sangat
berhubungan dengan penegak berbagai perundang-undangan di atas. Meskipun
untuk kategori kejahatan atau tindak pidana tetap menjadi kewenangan pengadilan
negeri, tetapi laporan tahunan komnas perempuan yang salah satunya dihimpun dari
pengadilan agama, menunjukkan bahwa pengadilan agama pintu pertama
terkuaknya berbagai kekerasan dalam rumah tangga yang sebelumnya tertutup rapi
di tengah rumah tangga. Karena itu, meskipun tidak langsung mengadili tindak
pidananya, pengadilan agama memiliki peranan strategis dalam menguak peristiwa
kekerasan yang terjadi.23
Institusi Peradilan Agama sebagai bagian dari sistem hukum nasional
memiliki kontribusi penting dalam mempengaruhi dan membentuk praktik dan
kebiasaan yang terjadi dalam hubungan antar laki-laki dan perempuan. Hal ini
karena hampir semua kompleksitas persoalan relasi antar laki-laki dan perempuan
sebagai pasangan suami isteri adalah bagian pokok dari kompetensi Peradilan
Agama.24 Peradilan Agama menyelenggarakan guna menegakkan tugas pokok
22
Aiumur Naruddin, Azhari Akmal Tarigan,“Hukum Perdata Islam di Indonesia”, (Jakarta, Kencana 2004), h. 208.
23
Faqihuddin Abdul Kodir, Ummu Azizah Mukarnawati,“Referensi Bagi Hakim Peradilan Agama tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga”, (Jakarta, Komnas Perempuan), h. 2.
24
untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang
diajukan kepadanya berdasarkan peraturan perundangan.25
Hal utama yang juga menjadi kewajiban hakim adalah mandat legalnya
sebagai pihak yang bertugas memutus perkara. Hakim tidak bisa semata-mata
mengacu secara rigid perundang-undangan yang memiliki keterbatasan dalam
menangkap setiap spektrum peristiwa KDRT yang kompleks, tapi juga dituntut
untuk berkreasi, menelaah, dan terampil membangun argumen yang holistik
(menyeluruh dan meluas) dari berbagai perundang-undangan nasional yang tersedia.
Meskipun kasus yang disidangkannya merupakan kasus perdata, perceraian
misalnya, dalam rangka memenuhi keadilan perempuan, hakim semestinya
menelisik setiap kemungkinan tindak pidana, selanjutnya proses pidana dapat
dimulai dari sini. Dengan demikian, kualitas putusan hakim tidak hanya memenuhi
standar penyelesaian perdatanya saja tapi juga mendorong dan membuka keadilan
baru bagi perempuan korban KDRT.26 Data badilag Mahkamah Agung RI
menyebutkan tentang prosentase cerai gugat dan cerai talak pada tahun 2009
menunjukkan bahwa secara nasional, perkara yang masuk untuk cerai gugat 143,
747 (65%), berbanding perkara untuk cerai talak 77, 773 (35%).27
25
Basiq Djalil,“Peradilan Agama Di Indonesia”, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group), h. 14.
26
Faqihuddin Abdul Kodir, Ummu Azizah Mukarnawati, “Referensi Bagi Hakim Peradilan Agama tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga”, (Jakarta: Komnas Perempuan), h. 3.
27
Perceraian merupakan perkara yang mendominasi ruang sidang pengadilan
agama di Indonesia. Peraturan perundang-undangan menyebutkan bahwa perceraian
hanya dilakukan melalui pengadilan agama.28 Sebenarnya yang menarik dari
perkembangan hukum perceraian adalah, di mana undang-undang dalam kasus
perceraian apakah melalui talak maupun cerai gugat telah menempatkan laki-laki
dan perempuan dalam posisi yang setara sama-sama dapat mengajukan permohonan
cerai, dan pengadilan adalah pihak yang menentukan dapat atau tidaknya sebuah
perceraian itu terjadi.29
Dari uraian diatas, maka penulis bermaksud untuk melakukan pengkajian
dan melakukan penelitian lebih mendalam dalam permasalahan ini yaitu mengenai
gugatan cerai yang diakibatkan oleh Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT),
maka dalam hal ini penulis memilih Pengadilan Agama Bogor yang untuk
ditelusuri, maka penulis akan memberi judul: “PERCERAIAN AKIBAT
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA” (Studi Analisis Putusan Hakim
Dalam Perkara Gugat Cerai No. 214/Pdt.G/PA. Bgr).
28
Arskal Salim, Euis Nurlaelawati, Lies Marcoes Natsir, Wahdi Sayuti,“Demi Keadilan Dan Kesetaraan”, (Jakarta: PUSKUMHAM), h. 59.
29
B. PERUMUSAN DAN PEMBATASAN MASALAH
1. Rumusan Masalah
Ada 2 (dua) hal pokok sebagai dasar pemikiran yang digunakan dalam
penyusunan rumusan masalah tentang kesetaraan gender yang selanjutnya
akan menjadi ukuran atau standar dalam menemukan kesetaraan gender, yang
diharapkan bahwa suatu peraturan dan pelaksanaannya pun akan menjadi adil
baik terhadap perempuan, yakni30:
a. Penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi perempuan sebagai
hak asasi manusia, dan untuk hal itu perlu dikaji secara mendalam sumber
hukum hak asasi manusia, yang terkandung dalam:
1. Pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara Republik Indonesia;
2. Ketetapan Majelis Permusyawarahan Rakyat Republik Indonesia
Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia yang ditetapkan
tanggal 13 November 1998;
3. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
didalamnya terkandung dalam 14 (empat belas) Rumpun Hak, dan
dijabarkan dalam 40 (empat puluh) Hak Konstitusional setiap warga
Negara Indonesia;
30
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2005 tentang
Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Dikriminatif
Terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All
Discrimination Against Women);
5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak asasi Manusia;
b. Pengintegrasian perspektif gender melalui pendekatan tentang Akses,
Paartisipasi, Kontrol dan Manfaat yang setara dan adil dengan
menggunakan analisis gender:31
1. Dasar pemikiran yang terkandung dalam prinsip-prinsip CEDAW,
yakni: prinsip non diskriminatif, prinsip persamaan subtantif
(kesetaraan yang adil), dan prinsip kewajiban negara;
2. Memperhitungkan dan mempertimbangkan aspek-aspek sosial budaya,
khususnya masih kentalnya budaya patriakhi, yang selama ini
merupakan faktor penghambat terkuat, terutama terhadapa perempuan,
dalam pemenuhan dan penikmatan yang adil dalam kehidupan
berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
31
Agar penelitian ini berjalan dengan sistematis, maka perlu dibuat
perumusan masalah sebagai berikut:
a. Bagaimana dasar pertimbangan Hakim dalam memberikan putusan
perkara No. 214/Pdt.G/PA.Bgr ?
b. Faktor apa saja yang mempengaruhi dasar keputusan Hakim terkait
atau terhadap putusan tersebut ?
2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan uraian permasalahan diatas, penulis memfokuskan
penelitian ini pada Perceraian Akibat Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Terhadap Putusan Hakim Pengadilan Agama Bogor Dalam Kasus Cerai
Gugat Khususnya pada Putusan Perkara Perceraian Nomor:
214/Pdt.G/2007/PA.Bgr. Terkait dengan kasus Kekerasan Dalam Rumah
Tangga.
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
1. Tujuan Penelitian
Berkenaan dengan pokok permasalahan ini, maka tujuan penelitian dapat
dirumuskan sebagai berikut:
a. Mengetahui dan mempelajari dasar pertimbangan Hakim Pengadilan
b. Mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi dasar keputusan
Hakim Pengadilan Agama Bogor terkait Kekerasan Dalam rumah
Tangga.
2. Manfaat Akademik
Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan ilmu peradilan agama
dalam memahami putusan hakim pengadilan agama terhadap kesetaraan
dan keadilan perempuan di pengadilan agama dalam kasus perceraian dan
dapat memberikan manfaat dari segi akademisi dan praktisi, yaitu:
a. Secara Akademik yaitu:
Untuk pengembangan hukum acara perdata, diharapkan penelitian ini
dapat menjadi tambahan referensi, dan peningkatan akademisi dalam
bidang hukum kelembagaan peradilan agama. Dan untuk memperluas
ilmu pengetahuan di lingkungan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, terutama Fakultas Syariah dan Hukum,
khususnya untuk menambah referensi bagi kajian hukum perdata, di
mana penulis sangat berharap agar penelitian skipsi ini memberikan
gambaran dengan jelas mengenai peran kewenangan hakim
pengadilan agama dalam menjatuhkan putusan perceraian cerai gugat
tanpa adanya mendiskriminatifkan perempuan atas hak-haknya pasca
b. Secara Praktis yaitu:
Memberikan informasi bagi akademisi dan masyarakat luas mengenai
Perceraian Akibat Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Putusan
Hakim Pengadilan Agama Dalam Kasus Cerai Gugat.
c. Masyarakat Umum:
Penulis skripsi ini juga diharapkan dapat memberikan penjelasan bagi
masyarakat umum tenang hal-hal yang berhubungan dengan
Perceraian Akibat Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Putusan
Hakim Pengadilan Agama Dalam Kasus Cerai Gugat.
D. METODE PENELITIAN
Mengingat dalam karya ilmiah, metode merupakan strategis yang utama dan
mempunyai peran yang sangat penting, karena dalam penggunaan metode
adalah upaya untuk memahami dan menjawab persoalan yang akan diteliti.32
Untuk itu penulis menggunakan metode sebagai berikut:
a) Metode Penelitian Hukum Normatif
Berdasarkan permasalahan yang diteliti oleh penulis, maka metode
penelitian hukum normatif. metode penelitian hukum normatif atau
metode penelitian hukum kepustakaan adalah metode atau cara yang
dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara
32
meneliti bahan pustaka yang ada.33Tahapan pertama penelitian hukum
normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum
objektif (norma hukum), yaitu dengan mengadakan penelitian terhadap
masalah hukum. tahapan kedua penelitian hukum normatif adalah
peneliti yang ditujukan untuk mendapatkan hukum subjektif (hak dan
kewajiban).34
b) Metode Penelitian Hukum Sosiologis
Penelitian hukum sosiologis atau empiris adalah metode penelitian
yang dilakukan untuk mendapatkan data primer, dan menemukan
kebenaran dengan menggunakan metode berfikir induktif dan
kriterium kebenaran koresponden serta fakta yang digunakan
melakukan proses induksi dan pengujian kebenaran secara
koresponden adalah fakta yang mutakhir. Cara kerja dari metode
yuridis sosiologi dalam penelitian skripsi ini, yaitu dari hasil
pengumpulan dan penemuan data serta informasi melalui studi
kepustakaan terhadap asumsi atau anggapan dasar yang dipergunakan
dalam menjawab permasalahan pada penelitian skripsi ini, kemudian
dilakukan pengujian secara induktif-verifikatif pada fakta metakhir
yang terdapat di dalam masyarakat. Dengan demikian kebenaran
33
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
Cetakan ke–11. (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2009), h. 13–14.
34
dalam suatu penelitian telah dinyatakan reliable tanpa harus melalui
proses rasionalisasi.35
c) Metode Pengumpulan Data
1. Studi Kepustakaan
Penelitian ini juga melakukan studi kepustakaann, yakni
penelitian keperpustakaan dengan cara mengumpulkan
sumber-sumber yang berkaitan dengan aspek-aspek permasalahan,
mengambil data, meneliti dan mengkaji literatul, pendapat para
ahli yang terdapat dalam buku-buku, surat kabar, majalah dan
lain sebagainya yang dapat menunjang dan membantu penulis
untuk menyelesaikan skripsi ini.
Atas dasar bahan-bahan hukum yang diuraikan diatas, maka
dengan sendirinya peneliti peneliti secara sadar memilih dan
menggunakan metode penelitian hukum normatif,36 atau
disebut juga metode yuridis formal.37 Pembahasan akan
dilakukan secara analitis, dengan demikian maka metode ini
disebut juga normatif analitis.
35
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji,Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Rajawali Pers, Jakarta, 2001, h. 13-14.
36
Moh. Kusnadi dan Harmaily Ibrahi,Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,
(Jakarta:Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Sinar Bakti, Cet-Kelima, 1983). h.20.
37
2. Wawancara
Dalam metode pengumpulan data selain menggunakan studi
kepustakaan, peneliti juga melakukan metode wawancara. Dari
penjelasan diatas wawancara merupakan suatu teknik
pengumpulan data yang dilakukan dengan tanya jawab secara
lisan, baik langsung atau tidak langsung dengan sumber data.
Wawancara langsung yaitu ditujukan langsung kepada orang
yang diperlukan keterangan/datanya dalam penelitian.
Sedangkan wawancara tidak langsung, yaitu wawancara yang
ditujukan kepada orang-orang lain yang dipandang dapat
memberikan keterangan mengenai keadaan orang yang
diperlukan datanya.38
3. Analisa Data
Data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini dapt
dibedakan menjadi:
1) Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yang dijadikan acuan adalah
Peraturan Perundang-undangan yang erat hubungan
dengan masalah yang akan diteliti yaitu:
a. Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974.
38
b. Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman No. 48 Tahun
2009.
c. Rancangan Undang-Undang Tentang Kesetaraan
Gender.
d. Kompilasi Hukum Islam (KHI).
e. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata.
2) Bahan Hukum Sekunder
a. Literatul-literatul.
b. Artikel-artikel yang berasal dari internet dan media
cetak.
3) Bahan Hukum Tersier
a. Kamus Hukum.
b. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Sumber data sekunder diporeleh dari hasil penelusuran pustaka dan
dokumentasi di berbagai lembaga atau instansi.
d) Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan oleh
peneliti adalah:39
a. Observasi
Observasi adalah pengamatan dan pencatatan yang sistematis
terhadap gejala-gejala yang diteliti. Peneliti mengawasi dengan
cermat setiap perkembangan yang berkitan dengan penelitian.
39
b. Dokumentasi
Pada tahap dokumentasi, penilis mengumpulkan buku-buku,
majalah, artikel dari internet maupun dari media cetak yang
berkaitan dengan kesetaraan dan keadilan gender perempuan
terhadap putusan hakim pengadilan agama dalam kasus cerai gugat.
Dokumentasi ini memudahkan penulis dalam mencari teori-teori
yang berkaitan dengan judul skripsi.
Analisis penulisan skripsi ini dilakukan dengan metode secara
kualitatif yang merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan
data deskriptif-analisis, yakni apa yang dinyatakan secara tertulis
atau lisan dan juga perilakunya yang nyata, diteliti sebagai sesuatu
yang utuh. Sehingga dengan menggunakan metode kualitatif,
penulis diharapkan dalam melakukan penelitian bertujuan untuk
mengerti dan memahami gejala yang ditelitinya.40
Adapun sebagai pedoman dalam penulisan skripsi ini, penulis
mempergunakan buku pedoman peulis yang diterbitkan oleh
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2007.
40
E. KERANGKA PEMIKIRAN
Perkawinan
Isteri Suami
Konflik Keluarga
Awal KDRT
Isteri Sebagai Korban Konflik Keluarga dari Suami
Psikis Sosiologis Mental
Gugatan Perceraian
Respon Hakim Replik
Penggugat
Duplik Tergugat
Pertimbangan Hakim
F. KAJIAN (REVIEW) STUDI TERDAHULU
Dalam penulisan skripsi ini penulis merujuk pada buku, serta
skripsi-skripsi ataupun penelitian-penelitian yang pernah membahas seputar Kesetaraan
dan Keadilan Gender di Pengadilan Agama. Buku-buku yang digunakan
diantaranya “Kontroversi Hakim Perempuan Pada Peradilan Islam Di
Negara-Negara Muslim” karangan Dr. Hj. Djazimah Muqoddas, S.H., M.Hum.
Adapun skripsi yang pernah membahas seputar Kesetaraan dan Keadilan Gender
di Pengadilan agama:
1. Kesetaraan gender dan gugatan cerai di Pengadilan Agama Cilacap (Studi
kasus perceraian di Pengadilan Agama Cilacap). Penulis Kasyono dari
fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, pada
skripsi ini penulis memaparkan Eksitensi Hakim Pengadilan Agama dalam
memutuskan proses perkara cerai gugat.
2. Penyelesaian kasus kekerasan dalam rumah tangga di luar pengadilan.
Penulis Marisa Kurnianingsih dari fakultas hukum Universitas
Muhammadiyah Surakarta Jawa Tengah 2010, pada skripsi ini penulis
memaparkan tentang kekerasan dalam rumah tangga yang diselesaikan di
luar pengadilan yang lebih mementingkan untuk mengupayakan perdamaian
terlebih dahulu adanya putusan hakim yang menjadi mediator dalam kasus
kekerasan dalam rumah tangga.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa skripsi yang penulis
meneliti tentang bagaimana putusan hakim pengadilan agama Bogor dalam
memutuskan perkara cerai gugat tanpa harus menghilangkan hak-hak yang
didapatnya dan tanpa harus mendikriminasikan kaum perempuan ketika terjadi
perceraian yang diselesaikan di pengadilan agama Bogor.
G. SISTEMATIKA PENULISAN
Untuk lebih mempermudah pembahasan dan penulisan skripsi ini lebih
fokus dan sistematis, maka penulis mengklasifikasikan permasalahan dalam
beberapa bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut:
BAB I: Pendahuluan yang memberikan gambaran secara umum dan menyeluruh tentang latar belakang masalah, perumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, metode pembahasan serta
sistematika penyusunan.
BAB II: Merupakan bab yang membahas tentang konsepsi kesetaraan dan keadilan gender, yang menjelaskan tentang pengertian terdahulu,
pengertian tentang kesetaraan gender, keadilan bagi gender
perempuan, gender dalam pandangan Islam dan pandangan barat
(western), gender dalam perundang-undangan di Indonesia. Bab
ini agar dijadikan bekal bagi peneliti untuk menguji dan mengukur
kebenaran teori dengan realitas di lapangan.
tentang konteks sejarah pengadilan agama bogor, dasar-dasar
putusan hakim pengadilan agama Bogor dalam kasus cerai gugat,
serta persepsi hakim tentang kesetaraan dan keadilan gender
dalam memutuskan perkara cerai gugat.
BAB IV: Bab ini menguraikan dan menganalisis putusan hakim pengadilan agama bogor dalam Putusan Perkara Perceraian Nomor:
214/Pdt.G/2007/PA.Bgr, terhadap kesetaraan dan keadilan gender
perempuan di pengadilan agama bogor dalam kasus cerai gugat.
Dan memaparkan yang meliputi pandangan hakim pengadilan
agama Bogor terhadap konsep kesetaraan dan keadilan gender
perempuan dalam putusan majelis hakim pengadilan agama
Bogor.
BAB V: Merupakan bab terakhir yang berisi tentang penutup. Bab ini terdiri dari dua pembahasan yaitu kesimpulan dari hasil proses penelitian
yang dilakukan mulai dari awal penelitian judul sampai penentuan
akhir yaitu kesimpulan serta berisi tentang saran-saran konstruktif
BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI
PERCERAIAN AKIBAT KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
A. Tinjauan Umum Tentang Perceraian 1. Pengertian Perceraian
Perceraian merupakan bagian dari pernikahan, sebab tidak ada
perceraian tanpa diawali pernikahan terlebih dahulu. Pernikahan merupakan
awal dari hidup bersama antara seorang wanita yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal ini, perkawinan selalu dipandang
sebagai dasar bagi unit keluarga yang mempunyai arti penting bagi penjagaan
moral atau akhlak masyarakat dan pembentukan peradaban.41
Allah SWT telah menetapkan dalam Al-Quran bahwa kedua pasangan
suami isteri harus segera melakukan antisipasi apabila tiba-tiba timbul
gejala-gejala dapat diduga akan menimbulkan gangguan kehidupan rumah tangganya,
yaitu dalam firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat 34:
41
Artinya:“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena
Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang
lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari
harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah
lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah
memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka
nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan
pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu
mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi
lagi Maha besar”.(Q.S. An-Nisa ayat: 34).
Selanjutnya Allah SWT dalam firman-Nya, yaitu didalam surat
Artinya:“Dan jika seorangwanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh
dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya Mengadakan perdamaian
yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)
walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan
isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh),
maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
(Q.S. An-Nisa: 128)
Apabila usaha antisipasi melalui ayat-ayat tersebut tidak berhasil
mempertahankan kerukunan dan kesatuan ikatan perkawinan dan tinggallah
jalan satu-satunya terpaksa harus bercerai dan putusnya perkawinan, maka
ketentuan yang berlaku adalah surat Al-Baqarah ayat 229:42
42
Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal
bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada
mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan
hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak
dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya
tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah
hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang
melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim”. (Q.S.
Perceraian berasal dari kata dasar cerai, yang berarti pisah dan talak.43
Mendapat awalan “per” dan akhiran “an” yang mempunyai fungsi sebagai
pembentuk kata benda abstrak, kemudian menjadi perceraian yang berarti hasil
dari perbuatan cerai.44 Perceraian dalam istilah fiqih disebut talak atau furqah,
kata talak berrati membuka ikatan, membatalkan perjanjian, sedangkan furqah
berarti bercerai, kedua istilah tersebut oleh fiqih diartikan sebagai perceraian
antara suami isteri.45
Menurut Dahlan Idhami, lafadz talak berarti melepaskan ikatan, yaitu
putusnya ikatan perkawinan dengan ucapan lafadz yang khusus seperti talak
dan kinayah (sindiran) dengan niat talak.46
Pengertian perceraian yang dijelaskan secara tegas dalam Pasal 117 KHI
yang menyebutkan bahwa perceraian adalah ikrar suami dihadapkan sidang
Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan.
Berdasarkan uraian tersebut dapat diperoleh pemahaman bahwa perceraian
adalah putusnya ikatan perkawinan antara suami isteri yang sah dengan
menggunakan lafadz talak atau semisalnya, selanjutnya dipertegas oleh
ketentuan Pasal 38 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa
perkawinan dapat putus disebabkan karena kematian, perceraian dan putusan
43
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam Dalam Undang-Undang Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty, 1986), cet. Ke-2, h. 81-83.
44
Gorys Keraf,Tata Bahasa Indonesia,(Jakarta: Nusa Indah, 1982), cet. Ke-9, h. 115.
45
Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 156.
46
pengadilan, yang mana akibat hukum yang ditimbulkan dari ketiga sebab
tersebut berbeda-beda.
Sedangkan menurut hukum Islam talak berarti:
a. Menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurai keterikatan dengan
ucapan tertentu.
b. Melepaskan ikatan perkawinan dan mengakhiri hubungan suami isteri.
c. Melepaskan ikatan akad perkawinan dengan ucapan talak atau yang
sepadan dengannya.47
Dalam peraturan di Indonesia dalam hal perceraian dikenal adanya cerai
gugat dan cerai talak. Cerai talak adalah perceraian yang terjadi atas inisiatif
dari pihak suami, sedangkan cerai gugat adalah perceraian atas inisiatif dari
pihak isteri. Dengan demikina jelaslah bahwa makna perceraian di sini adalah
perceraian atas inisiatif isteri.48
Perkawinan sebagai perjanjian atau kontrak (‘aqad), maka pihak-pihak yang terikat dengan perjanjian atau kontrak berjanji akan membina rumah
tangga yang bahagia lahir bathin dengan melahirkan anak cucu yang
meneruskan cita-cita mereka. Bila ikatan lahir bathin tidak dapat diwujudkan
dalam perkawinan, misalnya tidak lagi dapat melakukan hubungan seksual, atau
tidak dapat melahirkan keturunan, atau, masing-masing sudah mempunyai
47
Zahri Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam Dan UU Perkawinan Indonesia,
(Yogyakarta: Bina Cipta, 1976), h. 73.
48
tujuan yang berbeda, maka perjanjian dapat dibatalkan melalui pemutusan
perkawinan (perceraian) atau paling tidak ditinjau kembali melalui perkawinan
kembali setelah terjadi perceraian“ruju”.49
Bagi orang Islam, perceraian lebih dikenal dengan istilah talak.
Menurut Sayyid Sabiq, talak adalah
Artinya: “Melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan
perkawinan”.50
Menurut HA. Fuad Sa’is yang dimaksud dengan perceraian adalah
putusnya perkawinan antara suami isteri karena tidak terdapat kerukunan dalam
rumah tangga atau sebab lain seperti mandulnya isteri atau suami dan setelah
sebelumnya diupayakan perdamaian dengan melibatkan keluarga kedua belah
pihak.51
49
Rifyal Ka’bah,Permasalahan Perkawinan,Dalam Majalah Varia Peradilan, No. 271 Juni 2008, (Jakarta: IKAHI, 2008), h. 7.
50
Sayyid Sabiq,Fiqh Sunnah,(Beirut: Darul Fikri), Jilid II, h. 206 tt.
51
2. Dasar Hukum Perceraian
Adapun dasar hukum perceraian adalah sebagai berikut:
Di antara ayat-ayat Al-Quran yang berbicara tentang perceraian adalah
sebagai berikut:
Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak
halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan
kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya
(suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada
dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya.
Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang
yang zalim”. (Q.S. Al-Baqarah: 229).
Ayat di atas menjelaskan bahwa talak yang boleh dirujuk itu 2 (dua)
kali dan talak yang sesuai dengan syariat Islam adalah satu demi satu, tidak
sekaligus. Apabila berkehendak merujuk isteri harus dengan cara yang ma’ruf
dan apabila ingin menceraikan isteri dengan cara yang baik juga.52
Lalu di jelaskan pula di dalam Firman Allah SWT di dalam surat
Al-Baqarah ayat 230:
Artinya: “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua),
Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami
yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada
dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali
jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.
52
Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau)
mengetahui”. (Q.S. Al-Baqarah: 230).
Ayat tersebut menjelaskan bahwa suami yang mentalak isterinya
sampai tiga kali tidak boleh merujuk dan mengawininya kembali kecuali
setelah bekas isteri kawin dengan laki-laki lain dan telah dicerai serta telah
berakhir masa‘iddah-nya53.
Dan Allah SWT berfirman dalam surat At-Thalaq ayat 1:
Artinya: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka
hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi)
iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah
kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah
mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka
53
mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, Maka
Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. kamu tidak
mengetahui barangkali Allah Mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang
baru”. (Q.S. At-Thalaq:1).
Dijelaskan pula di dalam hadist dari Abu Dawud dan Ibnu Majah:
( ) :
Artinya: “Dari ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah SAW telah
bersabda: Sesuatu yang halal yang paling dibenci Allah adalah
talak”. (H.R. Abu Daud).54
3. Sebab-Sebab Terjadinya Perceraian
Yang dimaksud dengan sebab-sebab terjadinya perceraian disini
adalah suatu kondisi dimana suami atau isteri mempergunakannya
sebagai alasan untuk mengakhiri atau memutuskan tali perkawinan
mereka.
Pada dasarnya hukum Islam menetapkan bahwa alasan perceraian hanya
satu macam saja, yaitu pertengkaran yang sangat memuncak dan
54
membahayakan keselamatan jiwa yang disbut dengan “syiqaq” sebagaimana
firman Allah SWT dala Al-Quran surat An-Nisa ayat 35 yang berbunyi:
Artinya: “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya,
Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari
keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan
perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Q.S. An-Nisa: 35).
Sedangkan alasan perceraian menurut Hukum Perdata, hanya dapat
terjadi berdasarkan alasan-alasan yang ditentukan Undang-Undang dan harus
dilakukan didepan sidang pengadilan.55 Dalam kaitan ini ada dua pengertian
yang perlu dipahami yaitu istilah “bubarnya perkawinan” dan “perceraian”.
55
Alasan terjadinya perceraian berdasarkan Pasal 19 Peraturan Pemerintah
Nomor 9 tahun 1975 adalah:56
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi,
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak (suami isteri) meninggalkan pihak lain selama 2 (dua)
tahun yang sah terkait dengan kewajiban memberikan nafkah lahir dan
batin.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara selama 5 (lima) tahun atau
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang dpat
membahayakan pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajiban sebagai suami isteri.
f. Antara suami isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran,
serta tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Disamping Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
tersebut diatas, bagi yang beragama Islam sesuai dengan pasal 116 Kompilasi
Hukum Islam ada penambahan sebagai berikut:
a. Suami melanggar taklik talak.
56
b. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak
rukunan dalam rumah tangga.
Dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
disebutkan, bahwa putusnya perkawinan dapat terjadi karena salah satu pihak
meninggal dunia, karena perceraian dan karena adanya putusan pengadilan.
Kemudian dalam Pasal 39 ayat (2) ditentukan bahwa untuk melaksanakan
perceraian harus cukup alasan yaitu antara suami isteri tidak akan hidup sebagai
suami isteri.
Berdasarkan apa yang telah ditentukan dalam Pasal 19 Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam, maka
dapat disimpulkan bahwa perceraian tidak dapat dilakukan dengan sesuka hati.
Dengan demikian perceraian hanya dapat dilakukan apabila telah
memenuhi rumusan yang ditentukan dalam Psala 19 Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 jo pasal 116 Kompilasi Hukum Islam dengan kata lain
Pengaturan tersebut sesuai dengan asas dasar perkawinan yang mempersulit
B. Tinjauan Umum Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga 1. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Secaraetimologi kekerasan berasal dari kata “keras” yang berarti padat dan tidak mudah pecah sedangkan kata “kekerasan” itu sendiri adalah perihal
(yang bersifat dan berciri) keras, perbuatan seseorang atau sekelompok orang
yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan fisik atau
barang orang lain, serta paksaan.57
Secara terminologi yang dimaksud kekerasan atau “violence” pada
dasarnya merupakan suatu konsep yang maksna iainya sangat bergantung
kepada masyarakat sendiri, seperti dikatakan (Levi, 1994: 295-353).58
Kekerasan dalam Kamus Besar bahasa Indonesia berarti:59
a. Perihal yang bersifat, berciri keras;
b. Perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cidera
atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang
orang lain;
Dapat diartikan bahwa kata “kekerasan” pada umumnya dipahami hanya menyangkut serangan fisik belaka.60 Sebagaimana yang didefinisikan oleh
Kandish Sanford bahwa:61
57
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan bahasa,Kamus Besar Bahasa Indonesia,Edisi ke-2, cet. VII, (Jakarta: balai Pustaka), h. 484-485.
58
Fathul Djannah, Dkk,Kekerasan Terhadap Isteri,(Yogyakarta: Lkis, 2003), h. 11.
59
“All type illegal behavior, or either threatened or actual that result in the
damage or destruction of property or in the injury or death of on individual”.
Senada dengan definisi dari Kandish Sanford, Encylopedia of Crime and Justice
mendefinisikan “Violence” sebagai:62
“...a general tern referring to all ytpe of behavior, either threatened or actual,
that result in or are intended to result in the damage or destruction of property
or the unjury or death of an individual”.
Sedangkan pengertian kejahatan dengan kekerasan yang diberikan oleh
B. Mardjono Reksodiputro sebagaimana dikutip oleh Sagung Putri, dapat
diketahui bahwa dalam pengertian kejahatan kekerasan ada dua faktor penentu
yaitu:63
a. Adanya penggunaan kekerasan, dan
b. Adanya tujuan untuk mencapai tujuan pribadi yang bertentangan dengan
orang lain.
Menurut para ahli kriminologis, kekerasan yang mengakibatkan
terjadinya kekerasan fisik adalah kekerasan yang bertentangan dengan hukum.
60
Mansour Fakih,Perkosaan dan Kekerasan Perspektif Analisis Gender, (Perempuan Dalam Wacana Perkosaan), (Yogyakarta: PKBI, 1997), h. 6.
61
Kandish Sanford,Encylopedia of Criminal Justice,(Collier Macmilan, 1983), h. 1618.
62
<