PEMAAFAN PADA KORBAN
PERKOSAAN
SKRIPSI
Guna Memenuhi Persyaratan
Ujian Sarjana Psikologi
Oleh :
RAHMI SYOFIA
031301013
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul Pemaafan pada Korban Perkosaan adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar keserjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.
Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini yang saya kutip dari hasil karya orang lain telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.
Apabila dikemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi pecabutan gelar akademik yang saya sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Medan, Desember 2007
ABSTRAK
Fakultas Psikologi
Universitas Sumetera Utara, Desember 2007 Rahmi Syofia
Pemafaan pada Korban Perkosaan Ix+153+lampiran
Bibliografi 39 (1994-2007)
Perkosaan merupakan peristiwa yang mengakibatkan beban masalah yang berat bagi korban yang mengalaminya. Pada umumnya korban perkosaan akan mengalami trauma psikis yang itensif dan berat setelah kejadian (Harsono dkk dalam Fausiah, 2002). Korban perkosaan biasanya akan bereksi terhadap kejadian baik ketika perkosaan terjadi maupu reaksi setelah perkosaan. Bentuk reaksi biasanya adalah emosional seperti syok, rasa tidak percaya, marah, malu, menyalahkan diri sendiri, kacau, bingung, ataupun histeris. Semua respon emosional tersebut akan mempengaruhi bagaimana mereka memaafkan kejadian dan pelaku. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pemaafan pada korban perkosaan. Menjawab masalah ini, digunakan teori proses pemaafan dari Enright dan coyle (1998) yang terdiri dari empat fase; fase membuka kembali, fase memutuskan, fase bekerja dalam pemaafan dan fase pendalaman, serta faktor-faktor yang mempengaruhi pemaafan dan dimensi pemaafan yang dikemukan oleh Baumeister, Exline & Sommer (dalam Worthington, 1998) yang terdiri dari dimensi interpersonal dan intrapsikis.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif karena dengan metode ini dapat memahami gejala tingkah laku manusia menurut sudut pandang responden penelitian. Selain itu, masing-masing individu memiliki keunikan tersendiri dalam melakukan pemaafan. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam dan observasi yang dilakukan selama wawancara berlangsung. Responden dalam penelitian ini adalah korban perkosaan.
Hasil penelitian menunjukan bahwa secara umum kedua responden dapat memaafkan secara intrapsikis, tetapi jika pemaafan itu ditunjukan secara interpersonal terhadap setiap pelaku, maka kedua responden memiliki perbedaan. Responden A belum bisa memutuskan untuk memaafkan pelaku, sedangkan respoden B sudah bisa memutuskan untuk memaafkan pelaku dengan syarat pelakulah yang minta maaf kepadanya terlebih dahulu.
Saran dari penelitian ini bagi korban perkosaan adalah agar dapat memaafkan kejadian dan pelaku dengan mengubah pola pikirnya tentang perkosaan dan mengembangkan empati kepada pelaku, karena empati adalah hal yang berperan dalam pemaafan. Bagi pihak pendamping korban perkosaan agar lebih memperhatikan kondisi psikis korban dibandingkan pendampingan hukum di pengadilan.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahim, segala puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Illahi Rabbi, berkat petunjuk dan kasih sayang-Nya, penulis dapat menyelesaikan proposal yang berjudul “Pemaafan pada Korban Perkosaan”. Shalawat dan salam kepada Rosulullah SAW, semoga kesabaran beliau dapat menjadi contoh teladan dalam perjalanan proposal ini dan kerja-kerja selanjutnya.
Terima kasih penulis ucapkan kepada :
1. Ibunda tercinta (Almh) Hj. Zaimar (semoga Allah SWT selalu membahagiakanmu di tempat yang mulia) terima kasih atas semangat dan kasih sayang yang sampai saat ini masih bisa ananda rasakan walaupun kita telah dipisahkan alam (ananda sangat bangga telah diberi kesempatan lahir dari rahimmu yang mulia dan semoga Allah SWT memuliakanmu disana), saya bangga jadi putri mu.
2. Bapak dr.Chairul Yoel, Sp.A(K) selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Raras Sutatminingsih, M.Si., psikolog yang dengan sabar, telah banyak meluangkan waktu dan pikiran dalam memberikan petunjuk, saran, bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal ini dengan baik.
kasih kesempatan dan waktunya, semoga dengan keikhlasan ibu diberikan barakah-Nya, amin.
5. Ibu Lili Garliah, M.si, Psikolog selaku dosen pembimbing akademik. Terimakasih atas waktu, nasehat, bimbingan dan arahannya selama ini. 6. Keluargaku yang kusayangi dan kucintai; Ajo Pir (hidup harus berjuang
Jo!!!) , Uda Era ( da, mi yakin jalan yang baru lebih baik dari pada yang dulu), Akak Meri (akak ibu yang paling sabar n telaten, kak kurangan pamberang nyo, hehehe...) Abang Uli (bang mokasi atas subsidi tiap
bulannyo, dengan tangung jawab yang abang ambiak mimi bisa
manggapai cita-cita mimi, oh yo bang jan banyak bapikia hehehe....), mas
Bekti, ayang Depi, uni At, Shiva, Wahyu, Bayu, Dino, Kaila. Terima kasih atas semangat, perhatian dan kasih sayang yang telah diberikan selama ini. Juga selalu memberikan do’anya yang menjadi kekuatan terbesar untuk ku berdiri.
7. Keluarga Diawarman (Cakni Eti, kan Yenni, ang Wikan, Thoriq, Alda, Mak Ita) sebagai keluarga kedua ku terima kasih atas cinta dan kasih sayang kalian.
8. Keluarga Sumarman SE (ibu, Welly, Pipi, Ade, Fadly) terima kasih atas semangat yang diberikan, cinta dan kasih sayangnya (rumah kedua ku kalau pulkam hehehe...).
10.Buat kedua sampel saya, terima kasih telah mau menjadi sampel penelitian ini dan terbuka terhadap saya, tanpa kalian penelitian ini sulit berjalan. Buat adek sampel yang ga jadi (dek kakak salut dengan perjuangan mu untuk bangkit walaupun itu sulit).
11.Sahabat-sahabatku Welly (yang menjadi saudara ku), Renia (ik..., lo jangan santai kalilah hidup), Mala (makasi buat doa dan semangatnya). 12.Teman-temanku; TeamBush (Indra, Rio, Suwarno, Bobby, Frans, Yulia,
Nani, Ulfi, Susi, Nita, Cici, Surti) klen mang busuk hehehe. Inanda, Depi, Jay (sesama Forgiveness). Kak Gerin, liak, Sane, Yayak, Ahmad dan teman-teman stambuk 2003.
13.Buat Imam & Tini (aku gak nyangka ceritanya sampai begini) terima kasih atas support dan semangat yang diberikan.
14.Semua pihak yang telah mendukung penelitian ini, terutama Tarmidi S.Psi dan Vivi (terimakasih membantu saya dalam mencari buku), yang telah memberi bantuan dalam penyelesaian tugas ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam skripsi ini, oleh karena itu penulis mengharapkan masukan dan saran yang membangun dari semua pihak guna menyempurnakan penelitian ini. Akhirnya, kepada Allah penulis berserah diri. Semoga proposal ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, amiin.
Medan, Mei 2007 Penulis
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN
ABSTRAK
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
I.A. Latar Belakang Masalah ... 1
I.B . Perumusan Masalah... 12
I.C. Tujuan Penelitian ... 12
I.D. Manfaat penelitian ... 12
I.E. Sistematika Penulisan ... 13
BAB II LANDASAN TEORI ... 15
II.A. Pemaafan ... 15
II.A.1. Definisi Pemaafan ... 15
II.A.2. Dimensi Pemaafan ... 17
II.A.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Seseorang Untuk Memaafkan ... 22
II.A.4. Proses dalam Pemaafan ... 25
II.B. Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Kekerasan Seksual/Perkosaan ... 27
II.B.1.Kekerasan terhadap Perempuan ... 27
II.B.3. Jenis-jenis Perkosaan ... 31
II.B.4. Reaksi Korban Pemerkosaan ... 34
II.C.Dinamika Pemafaan pada Korban Perkosaan ... 37
BAB III METODE PENELITIAN ... 42
III.A. Pendekatan Kualitatif ... 42
III.A.1. Kredibilitas, Transferabilitas (Generalisasi), Dependability (Reliabilitas), dan Konfirmabilitas (Obyektivitas) dalam Pendekatan Kualitatif ... 44
III. B. Subjek, Informan dan Lokasi Penelitian ... 49
III.B.1. Karakteristik Partisipan Penelitian ... 50
III.B.2. Teknik Sampling ... 50
III.B.3. Jumlah Partisipan Penelitian ... 50
III.B.4. Lokasi Penelitian ... 51
III.C. Metode Pengumpulan Data ... 58
III.C.1.Wawancara ... 51
III.D. Alat Bantu Pengumpulan Data ... 53
III.D.1. Alat Perekam (tape recorder) ... 53
III.D.2. Pedoman Wawancara ... 54
III.D.3. Catatan Lapangan... 54
III.E. Prosedur Penelitian ... 55
III.E.1. Tahap Pralapangan ... 55
III.E.2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 56
III.F. Teknik dan Prosedur Pengolahan Data ... 58
BAB IV ANALISA DAN INTERPRETASI ... 60
IV.A. Responden A IV.A.1. Deskripsi Data Responden A ... 60
IV.A.2. Observasi Umum Responden A... 62
IV.A.3. Data Wawancara Responden A ... 67
IV.A.4. Interpretasi Responden A ... 81
IV.B. Responden B ... 97
IV.B.1. Deskripsi Data Responden B ... 97
IV.B.2. Observasi Umum Responden B ... 98
IV.B.3. Data Wawancara Responden B ... 101
IV.B.4. Interpretasi Responden A ... 110
IV.C. Analisa Data Responden Berdasarkan Allo Anamnesa ... 124
IV.C.1. Responden A ... 124
IV.C.2. Responden B ... 126
IV.C.3. Interpretasi Berdasarkan Allo Anamnesa ... 127
IV.D. Analisa Data Antar Responden ... 128
BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN ... 135
V.A. Kesimpulan ... 135
V.B. Diskusi ... 145
V.C. Saran ... 147
V.C.1. Saran Praktis ... 147
DAFTAR PUSTAKA ... 150
DAFTAR TABEL
Skema 1. Dinamika Pemaafan pada Korban Perkosaan... 40
Tabel 1. Dua Dimensi Pemaafan dan Kombinasi yang Dapat terjadi... 23
Tabel 2. Proses Pemaafan………... 26
Tabel 3. Identitas Responden A………. 61
Tabel 4. Waktu Wawancara Responden A………. 62
Tabel 5. Kesimpulan Hasil Wawancara Responden A……….. 91
Tabel 6. Identitas Responden B……….. 97
Tabel 7. Waktu Wawancara Responden B………. 98
Tabel 8. Kesimpulan Hasil Wawancara Responden B……….. 119
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN A
Verbatim Subjek 1 Verbatim Subjek 2
LAMPIRAN B
Pedoman Wawancara
LAMPIRAN C
Verbatim Allo Anamnesa
LAMPIRAN D
ABSTRAK
Fakultas Psikologi
Universitas Sumetera Utara, Desember 2007 Rahmi Syofia
Pemafaan pada Korban Perkosaan Ix+153+lampiran
Bibliografi 39 (1994-2007)
Perkosaan merupakan peristiwa yang mengakibatkan beban masalah yang berat bagi korban yang mengalaminya. Pada umumnya korban perkosaan akan mengalami trauma psikis yang itensif dan berat setelah kejadian (Harsono dkk dalam Fausiah, 2002). Korban perkosaan biasanya akan bereksi terhadap kejadian baik ketika perkosaan terjadi maupu reaksi setelah perkosaan. Bentuk reaksi biasanya adalah emosional seperti syok, rasa tidak percaya, marah, malu, menyalahkan diri sendiri, kacau, bingung, ataupun histeris. Semua respon emosional tersebut akan mempengaruhi bagaimana mereka memaafkan kejadian dan pelaku. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pemaafan pada korban perkosaan. Menjawab masalah ini, digunakan teori proses pemaafan dari Enright dan coyle (1998) yang terdiri dari empat fase; fase membuka kembali, fase memutuskan, fase bekerja dalam pemaafan dan fase pendalaman, serta faktor-faktor yang mempengaruhi pemaafan dan dimensi pemaafan yang dikemukan oleh Baumeister, Exline & Sommer (dalam Worthington, 1998) yang terdiri dari dimensi interpersonal dan intrapsikis.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif karena dengan metode ini dapat memahami gejala tingkah laku manusia menurut sudut pandang responden penelitian. Selain itu, masing-masing individu memiliki keunikan tersendiri dalam melakukan pemaafan. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam dan observasi yang dilakukan selama wawancara berlangsung. Responden dalam penelitian ini adalah korban perkosaan.
Hasil penelitian menunjukan bahwa secara umum kedua responden dapat memaafkan secara intrapsikis, tetapi jika pemaafan itu ditunjukan secara interpersonal terhadap setiap pelaku, maka kedua responden memiliki perbedaan. Responden A belum bisa memutuskan untuk memaafkan pelaku, sedangkan respoden B sudah bisa memutuskan untuk memaafkan pelaku dengan syarat pelakulah yang minta maaf kepadanya terlebih dahulu.
Saran dari penelitian ini bagi korban perkosaan adalah agar dapat memaafkan kejadian dan pelaku dengan mengubah pola pikirnya tentang perkosaan dan mengembangkan empati kepada pelaku, karena empati adalah hal yang berperan dalam pemaafan. Bagi pihak pendamping korban perkosaan agar lebih memperhatikan kondisi psikis korban dibandingkan pendampingan hukum di pengadilan.
BAB I
PENDAHULUAN
I.A. Latar Belakang Masalah
Perkosaan merupakan peristiwa yang mengakibatkan beban masalah yang berat bagi korban yang mengalaminya. Pada umumnya korban perkosaan akan mengalami trauma psikis yang itensif dan berat setelah kejadian (Harsono dkk dalam Fausiah, 2002). Efek yang segera terjadi dan berlangsung selama beberapa waktu setelah kejadian adalah serangkaian reaksi fisik dan emosional. Korban akan dihinggapi berbagai rasa takut, antara lain takut akan reaksi keluarga dan teman-teman, takut orang lain tidak mempercayai keterangannya, takut diperiksa oleh dokter, takut melapor pada aparat, atau takut pemerkosa melakukan balas dendam jika ia melapor. Di samping itu korban juga mengalami serangkaian reaksi emosional seperti shok, rasa tidak percaya, marah, malu, menyalahkan diri sendiri, kacau, bingung, ataupun histeris.
Reaksi di atas dianggap reaksi wajar, karena korban baru mengalami peristiwa traumatik. Bahkan sebuah penelitian di Amerika Serikat menunjukan bahwa korban perkosaan adalah kelompok masyarakat terbesar yang mengalami PTSD (Post traumatic Stress Disorder) (Giller, 2000).
biasanya menyebabkan ketakutan, kecemasan, penarikan diri, dan reaksi menghindar.
Sr (27 Tahun), korban perkosaan oleh pacarnya sendiri yang terjadi tujuh tahun lalu mengungkapkan bahwa ia mengalami trauma setelah kejadian perkosan itu. Selama lebih kurang satu tahun setelah kejadian Sr susah tidur, selalu teringat akan kejadian bahkan merasa jijik dengan badannya sendiri, ia sering berlama-lama ketika mandi, juga selalu menyiram badannya sampai merasa bersih. Hal yang lebih parah dilakukan Sr ketika teringat akan kejadian adalah ia sering membenamkan kepalanya kedalam bak mandi.
Reaksi traumatis ini terjadi bila tindakan apapun tidak mungkin dilakukan oleh individu. Jika bertahan ataupun membebaskan diri tidak mungkin dilakukan, maka pertahanan diri seseorang akan dikuasai peristiwa tersebut dan menjadi tidak terorganisir. Peristiwa traumatis menghasilkan perubahan mendalam dan berjangka waktu lama pada segi fisik, emosi, kognisi dan memori. Orang yang mengalami peristiwa traumatis mungkin mengalami emosi yang intens, namun tanpa disertai memori yang jelas tentang peristiwa tersebut. Kemungkinan lainnya orang tersebut mengingat segalanya namun tanpa emosi. Gejala lain yang mungkin terjadi adalah korban menjadi sangat mudah tersinggung dan marah, tanpa sebab (Ursano, Fullerton, & McCaughey dalam Fausiah, 2002).
(dalam McCullought, Pargament & Thoresen, 2000) melakukan sebuah penelitian mengenai pemaafan dan salah satu hasil diskusi penelitiannya mengemukakan bahwa salah satu target kategori populasi yang berpotensi untuk mengurangi trauma dengan menggunakan intervensi pemaafan adalah victim of aggressive trauma (seperti, kekerasan seksual, kekerasan fisik, kekerasan dalam rumah
tangga dan korban perkosaan). Jadi berdasarkan hasil penelitian tersebut bahwa untuk memulihkan korban pemerkosaan maka salah satu pendekatan yang bisa digunakan adalah menggunakan pendekatan pemaafan.
gagal akan membuat pertahanan diri dan marah. Apabila penghindaran maupun marah tidak memperbaiki ancaman, orang mungkin menjadi depresi.
Keadaan psikologis seperti perasaan yang dikemukakan diatas dapat dikatakan sebagai kondisi tidak memaafkan. Warthington (1999) mendefinisikan tidak memaafkan sebagai emosi negatif yang melibatkan kemarahan, kegetiran, dan kebencian, bersamaan dengan motivasi menghindar atau pembalasan terhadap pelaku (orang yang berbuat salah). Worthington juga mengemukakan untuk mengurangi tidak memaafkan adalah dengan menciptakan pemaafan. Jadi begitu juga halnya dengan korban perkosaan, emosi-emosi negatif yang dimilikinya seperti kemarahan, kegetiran, penolakan diri bahkan trauma dapat dipulihkan kembali dengan menciptakan pemaafan.
Selama seseorang yang disakiti (korban) tidak memberi maaf, selama itu pula pengalaman tersebut akan mengganggu pikiran dan kesejahteraan emosinya. Hal ini setidaknya telah terbukti dari hasil penelitian yang bersifat fenomenologis dari Rowe & Halling (dalam Reza, 2004), mereka menemukan bahwa seseorang merasa lebih nyaman ketika memaafkan perbuatan orang lain. Senada dengan pernyataan Rowe & Halling di atas, berikut adalah pernyataan dari korban kekerasan seksual yang merupakan sampel dari penelitiannya:
“Untuk pertama kalinya dalam hidup saya, saya merasa bebas”, subjek lain berkata, “saya menyadari bahwa memaafkan telah membuat saya bebas, bebas untuk melanjutkan hidup saya, bebas tanpa rasa sakit dan marah dan bebas untuk mencintai lagi”
terhadap pikiran dan tubuh. Memaafkan dapat meningkatkan kesehatan fisik, setiap kali kita tidak memaafkan, kita lebih mudah untuk terkena masalah kesehatan (Worthington dalam Lucia, 2005). Lucia (2005) menyatakan bahwa memaafkan juga meningkatkan kesehatan emosional. Ketika seseorang memaafkan, mereka mengganti perasaan tidak memaafkan dengan emosi yang lebih positif, seperti empati, simpati, dan cinta, dimana emosi positif ini biasanya dihubungkan dengan pemaafan.
Enright & Freedman (1996) melakukan penelitian pada 12 orang wanita korban incest (perkosaan dengan keluarga sedarah) yang berumur dari 24 sampai 54 tahun dalam kurun waktu 14,3 bulan melakukan intervensi pada para korban incest mengenai pemaafan di dapatkan hasil bahwa mereka mengalami perubahan
dalam harga diri, dan pengurangan yang signifikan pada kecemasan dan depresi. Dr. Robert Enright, profesor psikologi bidang pendidikan di Universitas Wiscosin di Madison (dalam Anonymous, 1999), menyelenggarakan suatu studi yang berjudul forgiveness boots health and self esteem, research shows, dimana ia mengukur emosi masyarakat sebelum dan sesudah memaafkan seseorang yang telah menyakiti mereka. Studi menemukan bahwa mereka yang telah memaafkan tidak lagi merasa depresi dan cemas serta merasa lebih baik mengenai diri mereka sendiri.
bijaksana, dan mungkin untuk dilakukan. Dapat disimpulkan bahwa pemaafan merupakan sebuah pilihan, apakah seseorang memilih memafkan atau tidak memaafkan, jadi tidak semua orang mau memaafkan dan mampu melakukan pemaafan setelah melalui peristiwa yang menyakitkan. Ada beberapa alasan yang mendasari mengapa seseorang tidak mau atau enggan untuk memaafkan. Menurut Baumeister, Exline & sommer (dalam Worthington, 1998), faktor yang mempengaruhi untuk memilih memaafkan adalah banyaknya pengorbanan yang harus dilakukan, kecenderungan munculnya kembali peristiwa yang menyakitkan, penderitaan diri yang masih dirasakan, harga diri dan dendam.
Penjelasan di atas akan dapat diketahui bahwa ketika seseorang disakiti maka ia akan memilih apakah akan memaafkan atau tidak memaafkan. Menurut McCullought & Worthington (1999), terdapat dua kemungkinan respon dari seorang korban yang terluka, pertama ia akan menghindar, dalam arti menjauhkan diri dari si pelaku kejahatan, dan kedua ia akan membalas pelaku dengan kejahatan setimpal.
Berikut merupakan salah satu kasus yang dikutip dari buku yang berjudul Sexual Violence ( Fortune, 2005):
Seorang wanita yang sudah tidak bertemu ayahnya selama tujuh tahun sejak ayahnya meninggalkan rumah memutuskan untuk mengirim surat dan meminta bertemu dengan ayahnya untuk membicarakan kekerasan seksual yang pernah ayahnya lakukan ketika ia kanak-kanak hingga remaja. Sang ayah membalasnya dan mengajaknya untuk bertemu.
akibat infeksi saluran urine. Sang ayah merasa bertanggung jawab dan menawarkan untuk membiayai pengobatan dan konselingnya. Sang ayah juga berbicara kepada pastor sebagai terapisnya dan pastor tersebut menyuruhnya untuk meminta maaf kepada sang wanita. Meskipun sang ayah telah meminta maaf, sang wanita masih merasa terikat dengan pengkhianatan yang dilakukan oleh sang ayah terhadap dia, ia masih merasa dendam dengan sang ayah dan masih memiliki motivasi untuk balas dendam. Namun kemarahannya telah berkurang karena ayahnya sendiri juga menderita dengan perilakunya tersebut, sehingga ia mengatakan telah memaafkan ayahnya dan menerima kembali ayahnya kedalam kehidupannya. Sang wanita masih berharap ayahnya untuk melakukan terapi karena ia tidak bisa membatu ayahnya untuk pulih.
Mereka sepakat untuk saling berkunjung, ia membiarkan ayahnya bertemu dengan anak-anaknya, yang merupakan cucu yang tidak pernah ia temui, meskipun demikian ia masih mengawasi anaknya ketika bertemu dengan kakek mereka. Dan juga memberikan penjelasan agar segera memberi tahunya jika ada orang dewasa menyentuhnya secara seksual.
Sang ayah juga menekankan pada sang wanita untuk tidak akan melukai atau menyakiti anaknya. Ia berkunjung pada hari libur. Saat ini mereka telah memiliki hubungan yang sangat memuaskan. Namun dilain sisi saat ini sang wanita tidak pernah melupakan apa yang terjadi padanya dan juga tidak pernah mendiskusikan peristiwa yang telah terjadi diantara mereka (dikutip dari: “Sexual Violence” hal 169-170, oleh Fortune (2005))
Begitulah salah satu gambaran pemaafan pada korban incest, bahwa ia bisa memilih untuk berempati dan memaafkan ayahnya sebagai orang yang menyakitinya. Membutuhkan waktu baginya untuk memaafkan ayahnya, banyak faktor yang bisa mempengaruhinya untuk memaafkan dan sangat sulit baginya untuk melupakan kejadian tersebut walaupun ia telah memaafkan ayahnya.
Berdasarkan hasil pengamatan pralapangan penelitian oleh peneliti tidak semua korban kekerasan seksual bisa memaafkan pelakunya, berikut salah satu korban perkosaan yang saat ini didampingi oleh PKPA dalam menangani kasusnya, mengatakan bahwa ia tidak bisa memaafkan pelakunya, berikut kutipan wawancara tersebut:
Abang Adek sendiri, setiap hari ia datang kerumah, Adek ngormati dia, tapi cobak apa yang udah terjadi..., dan Kakak bayangkan aja sendiri Ia tu cuma dipenjara tiga tahun, padahal ia udah merebut..., sampai sekarang adek belum terima..., makanya Adek ama PKPA masih mau ingin naik banding...”(Komunikasi Personal, 7 Mei 2007).
Linda Hollies (dalam Fortune, 2005) seorang incest yang kini aktif bergabung dalam perkumpulan pastor United Methodist, menyatakan bahwa jika seorang korban pelecehan seksual mengaku telah memaafkan dan melupakan pelecehan yang dialaminya, hal tersebut adalah bohong besar, karena pada hakikatnya memaafkan adalah menyerahkan secara utuh permasalahan yang dialami kepada Tuhan. Hal ini berarti kita telah mengahapus semua rasa sakit yang dilakukan oleh pelaku dan kita juga tidak berharap bahwa ia akan datang dan meminta maaf, membuat pengakuan dan merasa bersalah dan meminta kita untuk memaafkannya. Memaafkan berarti menghilangkan semua rasa sakit dari diri kita, meyakinkan bahwa yang terjadi adalah masa lalu dan yakin bahwa hari ini dan esok Tuhan tidak akan menimpakan rasa sakit itu lagi. Ketika seseorang memaafkan hakekatnya adalah ia telah memberikan semua rasa sakitnya hanya kepada Tuhan dan meminta Tuhan untuk menyimpan rasa sakit tersebut, sehingga rasa sakit yang ia rasakan telah hilang. Seseorang yang telah mampu memaafkan pelecehan seksual yang dialami tidak akan berkata “aku tidak ingin mengingat kejadian itu lagi”.
Peneliti juga melakukan wawancara dengan salah seorang korban perkosaan oleh pacarnya sendiri, adapun wawancara tersebut:
saya begitu saja sekarang, yang buat saya kadang belum bisa memaafkan dia...”(Komunikasi Personal, 26 April)
Harsanti (2004) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa korban yang mengalami kekerasan seksual akan sulit memaafkan pelakunya apalagi sampai kepada tahapan benar-benar untuk melupakan kejadian tersebut. Senada dengan hasil penelitian diatas Baumeister, Exline & sommer (1998) menyatakan bahwa pada korban kekerasan pada anak, penyiksaan dan pembantaian menjadikan pengalaman masa lalunya sebagai alasan yang kuat untuk menolak memberi pemaafan. Dasar dari penolakan ini, lahir dari pemahaman bahwa kejadian menyakitkan berupa kekerasan pada anak, penyiksaan dan pembantaian termasuk dalam tindakan pelanggaran moral, jadi demi tegaknya prinsip moral maka korban dapat menolak memberi maaf.
Mc.Cullough, Rachal & Worthington (1997) mendefinisikan pemaafan sebagai suatu perubahan motivasi, yaitu motivasi untuk melakukan pembalasan dan motivasi untuk menghindar. Penurunan kedua motivasi tersebut mendorong seseorang untuk mencegah respon yang merusak hubungannya dengan pihak yang telah menyakiti atau melukainya dan berperilaku lebih konstruktif terhadap pihak tersebut. Kedekatan antara korban dan pelaku kekerasan, kadar penderitaan yang dipersepsikan subjek dan keinginan untuk berhubungan baik kembali/rekonsiliasi merupakan faktor yang mempengaruhi seseorang untuk memaafkan (McCullough, Sandage, Brown, Rachal, Worthington & Hight, 1998).
korban. Dalam proses waktu seorang korban diharapkan dapat melakukan perenungan dan menyusun kembali kerangka berfikirnya (reframing) untuk memahami sebab timbulnya suatu tindakan kejahatan (transgression). Jadi Enright (1998) memandang pemaafan sebagai suatu proses. Akan tetapi dalam kenyataannya, terdapat dua kemungkinan respon dari seorang korban yang terluka. Pertama, ia akan menghindar dalam arti kata menjauhkan diri dari si pelaku kejahatan dan kedua, ia akan membalas pelaku dengan kejahatan setimpal (Mc. Cullought & Worthington, 1999). Kedua kemungkinan diatas mungkin bisa menjawab respon dari korban pemerkosaan yang belum bisa memaafkan yang padahal respon yang mereka berikan sudah termasuk dalam ranah pemaafan.
hollow forgiveness (korban dapat memaafkan secara interpersonal, namun tidak
memaafkan secara intrapsikis), silent forgiveness (korban secara intrapsikis mampu memaafkan pelaku, namun tidak mampu memaafkan secara interpersonal), total forgiveness (korban dapat memaafkan pelaku pelanggaran baik secara intrapsikis maupun intrapersonal) dan no forgiveness (dalam kombinasi ini korban baik secara interpersonal ataupun intrapsikis tidak dapat memaafkan pelaku).
Berbagai tinjauan dan problematika yang sudah peneliti kemukakan sebelumnya seperti pemaafan bisa membantu korban perkosaan dalam pemulihan traumanya dan sangat bermanfaat bagi kesehatan psikologisnya namun pemaafan adalah sebuah pilihan dan membutuhkan proses. Berbagai perbedaan hasil penelitian yang mengungkapkan bahwa ada korban perkosaan yang bisa memaafkan dan ada juga tidak bisa memaafkan pelakunya membuat peneliti juga bermaksud untuk melihat bagaimanakah pemaafan pada korban perkosaan khususnya yang berada dikota Medan walaupun korban perkosaan belum memaafkan namun dengan adanya proses pemafan maka penelitian ini bisa melihat ditahapan proses pemaafan manakah korban dan selanjutnya dalam penelitian ini peneliti juga melihat kombinasi pemaafan apa yang terbentuk dari dua dimensi utama pemaafan yang dimunculkan oleh Baumeister, Exline & sommer (1998).
tujuan dari penelitian ini, peneliti memilih metode kualitatif, karena fokus penelitiannya adalah manusia sebagai makhluk sosial yang bersifat subjektif dan berbagai kemungkinan interaksinya.
I.B. Perumusan Masalah
Untuk memudahkan penelitian, maka perlu dirumuskan masalah apa yang menjadi fokus penelitian. Dalam hal ini peneliti mencoba merumuskan masalah penelitian dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut bagaimana dinamika pemaafan pada korban perkosaan, yang mencakup:
1. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi pemaafan pada korban perkosaan?
2. Apa saja langkah-langkah yang dilalui dalam pemaafan pada korban perkosaan?
3. Kombinasi pemaafan apa yang terbentuk dari dua dimensi utama pemaafan yang dimunculkan korban perkosaan?
I.C. Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah pemaafan pada korban perkosaan.
I.D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi bidang psikologi pada umumnya dan secara khusus dapat menambah khasanah ilmu pada bidang psikologi klinis mengenai pemaafan (forgiveness) pada korban perkosaan..
2. Manfaat Praktis
a. Manfaat dari penelitian ini adalah selain untuk memberikan wacana/pengetahuan ataupun data empiris mengenai perkosaan yang sekarang ini semakin sering terjadi, diharapkan dari hasil penelitian ini juga akan dapat memberikan masukan bagi para konselor dalam menangani kasus-kasus perkosaan.
b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pada korban perkosaan khususnya yang berkaitan dengan pemaafan.
c. Kedepannya hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi referensi atau acuan bagi penelitian selanjutnya.
I.E. Sistematika Penulisan
Laporan hasil penelitian ini disusun dalam sistematika sebagai berikut: Bab I : Pendahuluan
Dalam Bab ini akan disajikan uraian singkat mengenai latar belakang masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian serta sistematika penulisan.
Bagian ini berisikan tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah.
Bab III : Metode Penelitian
Dalam bab ini akan dijelaskan metode penelitian yang digunakan oleh peneliti dalam hal ini adalah metode penelitian kualitatif, metode pengumpulan data, responden dan lokasi penelitian, alat bantu pengumpulan data, prosedur penelitian serta analisis data. Selain itu juga memuat teknik pengambilan subjek/responden yang akan digunakan dalam penelitian.
Bab IV : Analisis Data dan Interpretasi
Bab ini berisikan analisis dan interpretasi data hasil wawancara yang dilakukan, mencakup deskripsi data, pengorganisasian (rekonstruksi) data, dan selanjutnya membahas data-data penelitian tersebut dengan teori yang relevan.
Bab V : Kesimpulan, diskusi dan saran.
BAB II
LANDASAN TEORI
II.A. Pemaafan
II.A.1. Definisi Pemaafan
Pemaafan dalam beberapa tahun terakhir ini merupakan konsep yang banyak diteliti, dalam bidang psikologi klinis di Barat beberapa teori tentang memaafkan berkembang pesat. Banyak peneliti yang mencoba mendefinisikan konsep pemaafan beberapa diantaranya yaitu, menurut McCullough (dalam, McCullough, Fincham & Tsang, 2003), mengatakan pemaafan adalah:
“the set of motivational changes whereby one becomes (a) decreasingly motivated to retaliate against an offending relationship partner; (b) decreasingly motivated to maintain estrangement from the offender; and (c) increasingly motivated by conciliation and goodwill for the offender, despite the offender’s hurtful actions” (pp.540)
Dari definisi di atas dapat dikatakan bahwa pemaafan merupakan perubahan serangkaian perilaku dengan jalan menurunkan motivasi untuk membalas dendam, menjauhkan diri atau menghindar dari perilaku kekerasan dan meningkatkan motivasi ataupun keinginan untuk berdamai dengan pelaku.
Selain itu, masih dalam McCullough, Fincham & Tsang, (2003) terdapat definisi pemaafan yang dikemukan oleh Enright, Gassin & Wu:
“the overcoming of negatif affect and judgement toward the offender, not by denying ourselves the right to such affect and judgement, but by endeavoring to view the offender with compassion, benevolence, and love”
Exline & Baumeister yaitu:
Jadi pemaafan adalah pembatalan dari dosa atau kesalahan dari sesesorang yang pernah menyakiti kita.
Gustafson (1999), mendefenisikan pemaafan kedalam lima point yaitu adanya; deciding, punishing, perceiving an injustice, taking action, experiecing emotional relief. Kelima point tersebut diambil dari pengertian yang ia buat yaitu:
“forgiveness means deciding not to punish a perceived injustice, taking action on thet decesion, and experiencing the emosional relief that follows.
Pemaafan dari pengertian tersebut adalah pengambilan keputusan untuk tidak menghukum, merasakan ketidakadilan, mengambil tindakan dalam keputusan dan mengikuti untuk mengurangi pengalaman yang emosional.
Worthington & Wade (1999), mendefinisikan pemaafan sebagai suatu pilihan internal korban (baik sengaja maupun tidak) untuk melepaskan rasa tidak memaafakan dan untuk mencari perdamaian/rekonsialisasi dengan pelaku jika aman, bijaksana, dan mungkin untuk dilakukan.
“is a victim’s internal choice (either unconscious or deliberate) to relinquish unforgiveness and to seek reconciliation with the offender if safe, prudent and possible to do so”
“is a motivational transformation-reduction in avoidance motivation and revenge motivation that inclines people to inhibit relationship-detructive responses and to behave constructively toward someone who has behaved destructively toward them”
Di lihat dari begitu banyaknya definisi pemaafan yang peneliti kemukakan dari berbagai tokoh, maka peneliti mengambil salah satu definisi pemafaan yang sering menjadi acuan dalam berbagai penelitian yaitu yang dikemukakan oleh McCollought et al. (1997),
“the set of motivational changes whereby one becomes (a) decreasingly motivated to retaliate against an offending relationship partner, (b) decreasingly motivated to maintain estrangement from the offender, and (c) increasingly motivated by concialiation and goodwill for the offender, despite the offender’s hurtful actions.”(p.321-322)
Dari definisi di atas dapat simpulkan bahwa pemaafan adalah perubahan serangkaian perilaku dengan jalan menurunkan motivasi untuk membalas dendam, menjauhkan diri atau menghindar dari pelaku kekerasan dan meningkatkan motivasi atau keinginan untuk berdamai dengan pelaku. Peneliti menggunakan pengertian ini dikarenakan dari pengertian ini bisa menjadi acuan dalam batasan pemaafan dari penelitian yang akan dilakukan serta pengertian ini juga mencakup dari dua dimensi pemafaan yang akan peneliti teliti yaitu dimensi intrapsikis dan interpersonal.
II.A.2. Dimensi Pemaafan
menyakitkan, dan suatu bentuk hubungan antara orang yang telah disakiti dengan orang yang menyakiti. Jadi Baumeister, Exline & Sommer (dalam Worthington, 1998) mengkategorikan pemaafan dapat terjadi karena adanya dua dimensi yang terbentuk yaitu intrapsikis dan interpersonal. Dimensi intrapsikis melibatkan keadaan dan proses yang terjadi di dalam diri orang yang disakiti secara emosional maupun pikiran dan perilaku yang menyertainya, sedangkan dimensi interpersonal lebih melihat bahwa memaafkan orang lain merupakan tindakan sosial antara sesama manusia. Maksudnya disini adalah langkah menuju mengembalikan hubungan kekondisi semula sebelum peristiwa yang menyakitkan terjadi.
Dimensi intrapsikis dan dimensi interpersonal ini saling berinteraksi yang akan menghasilkan beberapa kombinasi pemaafan. Hal ini dapat dilihat sebagai berikut:
Tabel 1.Dua Dimensi Pemaafan dan Kombinasi yang dapat terjadi Interpersonal Act + No Intrapsychic State Hollow Forgiveness Intrapsychic State + No Interpersonal Act Silent Forgiveness
Intrapsychic State + Interpersonal Act Total Forgiveness No Intrapsychic State + No Interpersonal Act No Forgiveness
Sumber: Baumester, Exline & Sommer, (dalam Worthington, 1998)
a. Hollow Forgiveness
disakiti masih menyimpan rasa dendam, kebencian meskipun ia telah mengatakan kepada pelaku “saya memaafkan kamu”
Hollow forgiveness ini menggambarkan bahwa ada diskrepansi yang
terjadi antara dimensi intrpsikis dengan dimensi interpersonal. Dimensi intrapsikis dari pemaafan memiliki dua langkah yaitu orang yang disakiti baru memiliki keinginan untuk memaafkan seseorang dan saat memaafkan seseorang merupakan sesuatu yang diberikan secara total serta orang yang disakiti tidak lagi merasakan kemarahan, kebencian atau dendam. Berbeda dengan dimensi interpersonal yang hanya memfokuskan pada suatu tindakan yang mengekspresikan memaafkan orang lain. Perbedaan ini berpotensi menimbulkan konflik dan salah paham karena pada saat orang disakiti mengatakan bahwa, “saya memaafkan kamu” kepada pelaku namun dari diri orang yang disakiti baru berada pada tahap awal proses pemaafan (Baumeister, Exline & Sommer dalam Worthington, 1998).
b. Silent Forgiveness
Pada kombinasi yang kedua ini merupakan kebalikan dari hollow forgiveness. dalam kombinasi ini, intrapsikis pemaafan dirasakan namun tidak
ditampilkan melalui perbuatan dalam hubungan interpersonal, no interpersonal forgiveness. Orang yang disakiti tidak lagi menyimpan perasaan marah, dendam,
c. Total Forgiveness
Dalam kombinasi ini, intrapsikis dan interpersonal pemaafan terjadi. Orang yang disakiti menghilangkan perasaan negatif seperti kekecewaan, benci, atau marah terhadap pelaku tentang peristiwa yang terjadi, dan pelaku dibebaskan secara lebih lanjut dari perasaan bersalah dan kewajibanya. Kemudian hubungan antara orang yang disakiti dengan pelaku kembali menjadi baik seperti sebelum peristiwa yang menyakiti terjadi (Baumeister, Exline & Sommer dalam Worthington, 1998)
d. No Forgiveness
Dalam kombinasi ini intrapsikis dan interpersonal pemaafan tidak terjadi pada orang yang disakiti. Baumeister, Exline & Sommer (dalam Worthington, 1998) menyebut kombinasi ini sebagai total grudge combination. Dijelaskan lebih lanjut oleh Baumeister, Exline & Sommer (dalam Worthington, 1998) bahwa total grudge combination terjadi karena beberapa faktor, antara lain:
1). Claim on Reward and Benefit
2). To Prevent Reccurence
Dengan memberikan maaf kepada pelaku, dianggap akan dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya peristiwa menyakitkan terulang kembali kepada orang yang disakiti di masa yang akan datang. Dengan tidak memaafkan pelaku, orang yang disakiti akan dapat terus mengingat peristiwa yang menyakitkan tersebut dan dengan demikian diharapkan pelaku tidak mudah untuk mengulang lagi peristiwa yang menyakiti tersebut.
3). Continued Suffering
Perasaan atau emosi yang selalu dirasakan oleh orang yang disakiti sebagai korban dari peristiwa yang menyakitkan dan membuat ia menderita berkepanjangan oleh peristiwa tersebut akan mempengaruhinya dalam membuat keputusan untuk memaafkan pelaku. Konsekuensi dari peristiwa menyakitkan yang dialami korban di masa lalu berlanjut hingga hubungan mereka di masa akan datang, maka akan sulit bagi korban untuk memaafkan pelaku.
4). Pride and Revenge
5). Principled Refusal
Pemaafan tidak diberikan oleh orang yang disakiti, karena hal ini dianggap mengabaikan prinsip yang telah baku atau standar hukum yang ada. Pemaafan diidentikan dengan memberikan pengampunan hukum terhadap pelaku yang dinyatakan bersalah melalui sistem peradilan yang ada, oleh karena itu pemaafan dilihat sebagai perbuatan yang keliru
Dimensi pemaafan yang peneliti cantumkan diatas digunakan untuk melihat dan menjadi acuan dimensi pemaafan apakah yang terbentuk dari proses memaafkan oleh korban perkosaan, dan kombinasi pemaafan apa yang terbentuk. Meskipun total forgiveness sulit dicapai, tetapi paling tidak dengan adanya 4 kombinasi pemaafan dapat dilihat seberapa dalam korban perkosaan memaafkan pelakunya.
II.A.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Seseorang Untuk Memaafkan
Telah digambarkan bahwa memaafkan merupakan tindakan yang sangat sulit dilakukan. Ada berbagai kondisi yang mempengaruhi terjadinya tindakan memaafkan ini. Kondisi-kondisi itu antara lain bisa merupakan penghambat ataupun penunjang terwujudnya pemaafan. Kondisi-kondisi itu antara lain adalah: a. Respon pelanggar
pengakuan akan kesalahannya lalu berjanji akan mengubah tindakannya akan sangat membantu korban untuk memaafkan pelaku
b. Karakteristik serangan
Faktor yang berkaitan dengan persepsi dari kadar penderitaan atau kepahitan yang dialami oleh korban serta konsekuensi yang menyertai serangan tersebut. Girard & Mullet, Ohbucci, Kameda & Agarie (dalam McCullough, Sandage, Brown, Rachal, Worthington & Hight, 1998) berpendapat bahwa semakin intens serangan yang dilakukan, maka akan sulit pelaku dimaafkan oleh korban.
c. Kualitas hubungan interpersonal
Faktor-faktor hubungan seperti kedekatan, komitmen dan kepuasan juga merupakan faktor yang menentukan dalam memaafkan. Orang-orang yang cenderung lebih bisa memaafkan dalam suatu hubungan dikarakteristikan dengan adanya kedekatan, komitmen dan kepuasan. Banyak penelitian yang dilakukan oleh para ahli. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan terhadap 100 pasangan, baik itu sebagai orang yang memaafkan maupun sebagai orang yang sudah menyakiti pasangan. Kedua-duanya melaporkan adanya tingkatan kedekatan, komitmen maupun kepuasan yang dihubungkan dengan tingkatan memaafkan.
d. Faktor kepribadian
e. Nilai-nilai agama
Studi yang menunjukkan bahwa nilai dan praktek keagamaan berhubungan positif dengan sikap yang mendukung tindakan memaafkan (Gorsuch &Hou; Poloma & Gallup; DiBlasio dalam Pertiwi 2004). Studi yang dilakukan Wuthnow (dalam Pertiwi, 2004) menunjukan bahwa kegiatan kelompok agama yang bersifat emosional seperti sharing dan doa bersama, terbukti membantu individu memaafkan orang lain.
f. Lamanya waktu setelah peristiwa yang menyakitkan tersebut terjadi
Jika kejadian menyakitkan itu baru terjadi, tindakan memaafkan amat sulit dilakukan (Nort dalam Pertiwi, 2004). Waktu memiliki pengaruh pada kemampuan korban untuk memaafkan; makin panjang waktu berlalu sejak terjadinya peristiwa yang menyakitkan tersebut, maka makin mudah korban melupakan pelaku kekerasan.
g. Proses emosional dan kognitif
tentangnya selalu muncul dan mengganggu diri individu. Hal-hal tersebut muncul karena peristiwa buruk yang pernah dialami karena kesalahan orang lain tersebut ditekan, dan dalam hal ini individu melakukan supresi.
Faktor-faktor diatas sangat menentukan dalam memilih untuk memaafkan atau tidak pelaku oleh koban perkosaan. Oleh sebab itu peneliti memasukan faktor-faktor ini sebagai acuan dalam penelitian di lapangan nantinya walaupun sebenarnya masih banyak faktor lain yang akan mempengaruhi bahkan bisa saja peneliti menemukan faktor-faktor baru dalam proses pemaafan pada korban perkosaan.
II.A.4. Proses dalam Pemaafan
Table 2. Proses Pemaafan
UNIT COGNITIVE, BEHAVIORAL, AND AFFECTIVE PHASES
1 Pemeriksaan terhadap mekanisme pertahanan diri
Konfrontasi dengan kemarahan; intinya adalah bukan menyembunyikannya melainkan disalurkan
Menerima rasa malu Menyadari adanya katarsis
Kesadaran bahwa korban berulangkali memikirkan peristiwa yang menyakitkan
Korban membandingkan dirinya dengan pelaku atau pihak yang menyakitinya
Menyadari akan adanya perubahan yang permanen akibat dari perbuatan menyakitkan tersebut
Korban menyadari bahwa pandangannya tentang keadilan telah berubah
9 10 11
Fase Memutuskan
Perubahan dalam hati, adanya insight baru bahwa strategi yang lama untuk mengatasi masalahnya tidak membawa hasil yang diharapkan. Keinginan untuk mempertimbangkan pemaafan sebagai suatu pilihan Komitmen untuk memaafkan pelaku
12
13 14 15
Fase Bekerja dalam Pemaafan
Reframing, mulai mengambil peran, dengan pemaknaan terhadap peristiwa menyakitkan yang dialami dengan memposisikan dirinya yang telah menyakiti
Mengembangkan empati terhadap pelaku
Penerimaan terhadap luka (peristiwa yang menyakitkan) yang dialami Pemaafan sebagai hadiah moral bagi pelaku
16
Menemukan makna baru dalam diri dengan melakukan pemaafan
Menyadari bahwa dirinya memiliki kebutuhan untuk dimaafkan pada masa yang lalu
Menyadari bahwa dirinya tidak sendiri
Penemuan tujuan hidup yang baru karena peristiwa ini
II.B. Kekerasan Terhadap Perempuan dan Kekeran Seksual/Perkosaan
II.B.1. Kekerasan Terhadap Perempuan
Kekerasan, pelecehan, dan eksploitasi seksual itu bahkan bukan hanya menimpa perempuan dewasa, namun juga perempuan yang tergolong di bawah umur (anak-anak). Kejahatan seksual ini juga tidak hanya berlangsung di lingkungan perusahaan, perkantoran atau tempat-tempat tertentu yang memberikan peluang manusia berlainan jenis dapat saling berkomunikasi, namun juga dapat terjadi di lingkungan keluarga.
PBB tahun 1993, mendefinisikan tentang kekerasan terhadap perempuan yaitu:
“...kekerasan terhadap peempuan adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin (gender-based violence) yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi” (pasal 1 Deklerasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan PBB tahun 1993, dalam Luhulima, 2000).
Poerwandari (dalam Luhulima, 2000) menjelaskan kekerasan terhadap perempuan dapat digolongkan dalam 3 bentuk:
a. Kekerasan dalam area domestik/hubungan intim-personal.
b. Kekerasan dalam area publik.
Yaitu berbagai bentuk kekerasan yang terjadi di luar hubungan keluarga atau hubungan personal lain. Termasuk berbagai bentuk kekerasan yang sangat luas cakupannya, baik yang terjadi di tempat kerja (dalam semua tempat kerja, juga untuk pekerjaan domestik, seperti baby sitter, pembantu rumah tangga, perawat orang sakit), di tempat umum (kendaraan umum, pasar, restoran dan tempat-tempat umum lain); di lembaga-lembaga pendidikan; dalam bentuk publikasi atau produk dan praktik ekonomis yang meluas distribusinya (minsalnya pornografi, perdagangan perempuan-pelacuran paksa) maupun bentuk-bentuk lain.
c. Kekerasan yang dilakukan oleh/dalam lingkup negara.
Kekerasan secara fisik, seksual, dan/atau psikologis yang dilakukan, dibenarkan, atau didiamkan/dibiarkan terjadi oleh negara dimanapun terjadinya. Termasuk bagian ini adalah pelanggaran-pelanggaran hak asasi perempuan dalam pertentangan antar kelompok, situasi konflik bersenjata, berkaitan dengan antara lain pembunuhan, perkosaan (sistematis), perbudakan seksual dan kehamilan paksa.
Menurut Poerwandari (dalam Luhulima, 2000), adapun hubungan pelaku dalam kaitan dengan korban tindak kekerasan terhadap perempuan adalah:
b. Orang dengan posisi otoritas (atasan, pengajar, atau pemberi jasa tertentu). c. Negara dan/atau wakilnya (militer, pejabat,lebih dari satu individu, atau lebih
dari satu kelompok).
Kekerasan terhadap perempuan berdasarkan dimensi atau bentuk-bentuknya dapat dibagi menjadi beberapa macam (Peorwandari, 2004):
a. Kekerasan fisik: Pemukulan, pengeroyokan, penggunaan senjata untuk menyakiti, melukai; penyiksaan, penggunaan obat untuk menyakitri, penghancuran fisik, pembunuhan, dalam banyak manifestasinya.
b. Kekerasan seksual/reproduksi: serangan atau upaya fisik untuk melukai pada alat seksual/reproduksi; ataupun serangan psikologis (kegiatan merendahkan, menghina) yang diarahkan pada penghayatan seksual subjek, minsalnya: manipulasi seksual pada anak-anak (atau pihak yang tidak memiliki posisi tawar setara), pemaksaan hubungan seksual/perkosaan, pemaksaan bentuk-bentuk hubungan seksual, sadisme dalam relasi seksual, mutilasi alat seksual, pemaksaan aborsi, penghamilan paksa, dan bentuk-bentuk lain.
c. Kekerasan psikologis: penyerangan harga diri, penghancuran motivasi, perendahan, kegiatan mempermalukan, upaya membuat takut, teror dalam banyak manifestasinya. Misal: makian kata-kata kasar, ancaman, pengutitan, penghinaan; dan banyak bentuk kekerasan fisik/seksual yang berdampak psikologis, misal: penelanjangan, pemerkosaan).
dalam berbagai bentuknya. Misal: pengurungan, pembiaran tanpa makanan dan minuman, pembiaran orang sakit serius.
Kekerasan terhadap perempuan yang peneliti kemukan di atas digunakan sebagai pemamaparan dari bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi dan kaitannya dalam penelitian ini adalah bahwa perkosaan merupakan salah satu kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk kekerasan seksual, fisik bahkan sampai pada psikologis.
II.B.2. Definisi Perkosaan
Menurut Foley & Davies (dalam Fausiah, 2002), “perkosaan” yang dalam bahasa Inggris disebut “rape” berasal dari kata “rapere” (bahasa latin) yang berarti “to steal”, “seize” atau “carry away”. Adapun definisi perkosaan sendiri disebutkan: the use of threat, physical force, or intimidation in obtaining sexual relation with another person against his or her own will.
Beberapa definisi lain misalnya:
“...an individual who forces another person to submit to or commit a sexual act against that person’s will though intimidation, threat, or physical force and without person’s consent” (Groth dalam Fausiah, 2002)
Matlin (dalam Fausiah, 2002) menekankan bahwa perkosaan adalah tindak kriminal dan tidak hanya sekedar nafsu. Dalam perkosaan, korban dipermalukan dan direndahkan lebih dari sekedar perampokan atau kekerasan fisik belaka. Hal senada juga dikemukakan oleh Poerwandari (dalam Luhulima, 2002) yang menyatakan bahwa perkosaan merupakan tindakan pseudo-seksual, yang tidak hanya sekedar dimotivasi dorongan seksual sebagai motivasi primer, namun berhubungan dengan penguasaan dan dominasi, agresi dan perendahan pada pihak korban oleh pelaku.
II.B.3. Jenis-jenis Perkosaan
Hasbianto & Triningtyasasih (dalam Fausiah, 2002) menggolongkan perkosaan berdasarkan pelaku dan cara melakukannya:
a. Berdasarkan pelakunya
1). Perkosaan oleh orang yang dikenal. Perkosaan jenis ini dilakukan oleh teman atau anggota keluarga (ayah, paman, atau saudara)
2). Perkosaan oleh pacar (dating rape). Yaitu perkosaan yang terjadi ketika korban berkencan dengan pacarnya. Keanyakan karena dikondisikan berkencan ditempat yang sepi. Seringkali diawali dengan cumbuan, dan diakhiri dengan pemaksaan hubungan seksual.
pemaksaan hubungan pada waktu atau dengan cara yang tidak dikehendaki oleh istri.
4). Perkosaan oleh orang asing/tidak dikenal. Perkosaan jenis ini sering disertai tindakan kejahatan lain, seperti pencurian, perampokan, penganiayaan, bahkan pembunuhan.
b. Berdasarkan cara melakukannya
1). Perkosaan dengan janji-janji atau penipuan. Misalnya dengan janji korban akan dinikahi, tidak akan ditinggalkan.
2). Perkosaan dengan ancaman halus. Biasanya terjadi pada korban yang memiliki ketergantungan sosial/ekonomi pada pelaku, seperti majikan pada pembantu atau guru pada murid.
3). Perkosaan dengan paksaan fisik, yang dilakukan dengan ancaman menggunakan senjata, ataupun dengan kekuatan fisik.
4). Perkosaan dengan memakai pengaruh tertentu (penggunaan obat-obatan, hipnotis). Perkosaan jenis ini dilakukan dengan cara menghilangkan kesadaran korban terlebih dahulu, baik dengan memakai obat, hipnotis.
Foley & Davies (dalam Fausiah, 2002) mengemukakan pembagian lain dari perkosaan, yang meliputi:
2). Statutory rape, yaitu hubungan seksual antara orang yang usianya 18 tahun atau lebih (dewasa) dengan seseorang yang berusia kurang dari 14 tahun, dan bukan merupakan pasangannya. Pada perkosaan jenis ini pembatasan hanya dari segi umur. Sehingga hubungan seksual atas dasar suka-sama suka yang dilakukan di luar persetujuan orang tua dapat masuk dalam kategori ini.
3). Incest, adalah hubungan seksual, pernikahan, atau kohabitasi dengan keluarga sedarah tanpa memandang legitimasi dari tindakan tersebut. Defenisi incest kemudian berkembang dengan memasukkan hubungan seksual antara anak angkat dengan orang tua anggkatnya.
4). Indecent assault, yang meliputi tindakan memegang “daerah pribadi” pada tubuh seseorang (daerah kelamin, payudara, atau pantat) yang bukan pasangannya, dalam keadaan di mana korban mengetahui bahwa tindakan semacam itu berbahaya atau tidak menyenangkan.
5). Involuntary deviate sexual intercouse, yaitu intercousse secara oral maupun anal dengan seseorang tanpa persetujuannya, baik dengan ancaman atau paksaan, pada kondisi korban yang tidak sadar, terbelakang mental, atau di bawah usia 14 tahun.
6). Kekerasan seksual pada anak, adalah hubungan seksual yang dipaksakan pada anak-anak oleh orang lain.
berbagai jenis kasus perkosaan asalkan sampel tersebut sudah memenuhi kriteria dari jenis-jenis perkosaan yang ada diatas.
II.B.4. Reaksi Korban Perkosan
a. Reaksi Selama Perkosaan
Menurut Matlin (dalam Fausiah, 2002) tidak ada reaksi tunggal yang dilakukan oleh korban selama mengalami perkosaan. Respon korban tergantung pada persepsinya, antara lain apakah perkosaan itu sesuatu yang tiba-tiba atau dilakukan pada saat kencan, tahapan perkembangan korban, apakah ia mengenal pelaku. Akan tetapi kebanyakan perempuan yang mengalami perkosaan menyebutkan bahwa mereka sangat gelisah, ketakutan, khawatir, merasa ngeri, dan bingung, dengan barbagai pikiran muncul di kepala mereka (Killpatrick, Resick, & Veronen dalam Fausiah, 2002).
Respons “fright-panic” semacam ini terutama terjadi pada korban yang menganggap hidup mereka dalam bahaya besar. Persepsi dan daya nilai mereka sangat terganggu, karena segala daya upaya mereka kerahkan untuk bertahan hidup (Katz & Mazur dalam Fausiah, 2002). Selanjutnya mereka menambahkan, bahwa dari sudut pandang korban, kekerasan seksual terjadi tanpa diperkirakan. Maka ketika serangan terjadi, mereka mengalami shock, tidak dapat melakukan suatu tindakan dan berpikir jernih. Akibatnya korban tidak dapat bereaksi secara efektif.
secara fisik maupun verbal, yang derajatnya tergantung dari beberapa faktor (Fausiah, 2002). Penelitian menunjukan remaja dan orang dewasa lebih mungkin melakukan perlawanan dari pada korban yang lebih muda. Perempuan dari tingkat sosial ekonomi yang lebih rendah lebih mungkin menunjukan perlawanan secara fisik, jika dibandingkan dengan mereka yang berasal dari kelompok sosial ekonomi yang lebih tinggi. Juga perempuan lebih mungkin melawan jika pelaku tidak melakukan kejahatan lain dan tanpa senjata (Kartz & Mazur dalam Fausiah, 2002).
b Reaksi Setelah Perkosaan
Perkosaan merupakan peristiwa yang mengakibatkan beban masalah yang berat bagi korban, beban semakin berat dengan adanya masalah psikologis yang dialami korban sesudah adanya peristiwa perkosaan. Korban mengalami apa yang disebut sebagai Rape Trauma Syndrome (dalam Wrightsman, 2000) . Ada 2 jenis tahapan dalam Rape Trauma Syndrome yaitu: acute crisis phase dan long term reaction, berikut ciri-ciri dari kedua phase tersebut:
1). Acute Crisis Phase
Acute crisis phase ditandai dengan perubahan yang menjadi kacau, shock,
berlebihan, terlalu mendisiplinkan anak, terlalu sensitif terhadap pembicaraan mengenai perkosaan.
Reaksi fisik seperti : Gemetaran, detak jantung cepat, sakit, otot-otot menjadi tegang, nafas memburu, mati rasa. Bahkan ada yang sampai depresi, bunuh diri, harga-diri menurun. Terganggu pola makan dan tidur, untuk tingkat tertentu kepribadian menjadi tidak menentu seperti : bingung dan disorientasi, mematung dan mati rasa sehingga mereka tidak berespon dengan lingkungannya.
2). Long-Term Reaction
Perkosaan akan merusak kehidupan seseorang, tidak hanya dalam hitungan hari atau minggu namun bahkan bulan atau tahun. Dalam keseharian, setelah peristwa perkosaan berlalu relatif lama, korban mungkin terlihat telah menjalani kehidupan dengan wajar. Akan tetapi, jika kita memperhatikan dan mendengarkan pembicaraannya dengan sungguh-sungguh, akan tampak adanya luka psikologis yang sebelumnya tersembunyi.
Pada long–term reaction bentuk yang terjadi berupa: cemas, bersalah, malu, fantasi menakutkan, merasa kotor, tidak berdaya atau isolasi, dan simtom fisik berupa: perkembangan kognisi terganggu ”selalu dihantui” secara jelas oleh memori yang traumatik, phobia, masalah seksual, perubahan gaya hidup
yang merupakan manifestasi dari rasa tidak memaafkan (unforgiveness) yang akan bisa berubah menjadi pemaafan.
II.C. Dinamika Pemaafan pada Korban Perkosaan
Sulit untuk membatasi pengertian dari perkosaan hal ini dikarenakan kasus itu sendiri yang sangat sensitif. Berbagai macam jenis dan bentuk perkosaan yaitu berupa cara melakukannya dan berdasarkan pelakunya (Hasbianto & Triningtyasasih dalam Fausiah, 2002). Foley & Davies (dalam Fausiah, 2002) mengemukakan pembagian lain dari perkosaan, yang meliputi: percobaan perkosaan, statutory rape, incest, indecent assault, involuntary deviate sexual intercouse, kekerasan seksual pada anak.
Perkosaan merupakan peristiwa yang mengakibatkan beban masalah yang berat bagi korban yang mengalaminya. Berbagai respon akan dimunculkan oleh korban perkosaan, respon yang muncul biasanya berupa reaksi perilaku dan reaksi emosional. Reaksi tersebut akan ditunjukan mulai dari selama perkosaan sampai reaksi setelah perkosaan.
dokter, takut melapor pada aparat, atau takut pemerkosa melakukan balas dendam jika ia melapor. Di samping itu korban juga mengalami serangkaian reaksi emosional seperti syok, rasa tidak percaya, marah, malu, menyalahkan diri sendiri, kacau, bingung, ataupun histeris.
Reaksi yang ditunjukan oleh diatas dapat dikatakan sebagai kondisi tidak memaafkan. Warthington (1999) mendefinisikan tidak memaafkan sebagai emosi negatif yang melibatkan kemarahan, kegetiran, dan kebencian, bersamaan dengan motivasi menghindar atau pembalasan terhadap pelaku (orang yang berbuat salah). Worthington juga mengemukakan untuk mengurangi tidak memaafkan adalah dengan menciptakan pemaafan. Jadi begitu juga halnya dengan korban perkosaan emosi-emosi negatif yang dimilikinya seperti kemarahan, kegetiran, penolakan diri bahkan trauma dapat dipulihkan kembali dengan menciptakan pemaafan. Terdapat 4 fase dalam pemaafan, yaitu fase membuka kembali, fase memutuskan, fase bekerja dalam pemaafan dan fase pendalaman.
juga mempengaruhi adalah respon pelanggar, karakteristik serangan, kualitas hubungan interpersonal, faktor kepribadian, nilai-nilai agama, proses emosional dan kognitif, lamanya waktu setelah peristiwa yang menyakitkan tersebut terjadi. Peneliti juga berasumsi bahwa faktor usia, perkawinan (jika pelaku menikahi korban), pendidikan, suku bangsa, juga mempengaruhi korban untuk memilih memaafkan pelaku.
Baumeister, Exline & Sommer (dalam Worthington, 1998), mengatakan bahwa ada dua dimensi utama (mayor) dalam pemaafan yaitu: terdapat dimensi interpersonal dan dimensi intrapsikis. Pada dimensi interpersonal seorang korban memaafkan pelaku yang telah melukainya bukan semata-mata demi kepentingan diri korban melainkan justru demi menolong pelaku, pelaku tidak terbebani dengan masa lalunya sebagai pelaku kejahatan (offender). Pada dimensi kedua yaitu intrapsikis (intrapychic) pemaafan pada dimensi ini ditandai dengan korban berhenti merasa marah atau benci terhadap pelaku kejahatan dan mulai memahami peristiwa dari sudut pandang pelaku kejahatan tersebut. Kedua dimensi utama pemaafan (forgiveness) ini selanjutnya kemudian akan membentuk 4 macam kombinasi pemaafan (forgiveness) yaitu : hollow forgiveness (korban dapat memaafkan secara interpersonal, namun tidak memaafkan secara intrapsikis), silent forgiveness (korban secara intrapsikis mampu memaafkan transgressor,
Gambar 1
Dinamika pemaafan pada korban perkosaan
Reaksi selama perkosaan
Pemaafan
Lamanya waktu yang sudah dilewati setelah kejadian
Keterangan :
: dibahas dalam penelitian
: Responden
: Korelasi
BAB III
METODE PENELITIAN
III.A. Pendekatan Kualitatif
Menurut Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2000) metode penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang akan menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini juga digunakan untuk menggambarkan dan menjawab pertanyaan seputar subjek penelitian beserta konteksnya.
Penelitian kualitatif dalam hal ini dipandang dapat menyampaikan dunia responden secara keseluruhan dari perspektif subjek sendiri dan yang menjadi instrumen dalam mengumpulkan data adalah peneliti sendiri (Banister, 1994).
Padgett (1998) mengemukakan beberapa alasan mengapa menggunakan penelitian kualitatif. Alasan-alasan adalah sebagai berikut:
1. Penelitian kualitatif digunakan jika peneliti ingin menggali suatu topik yang masih sedikit diketahui.
2. Jika topik yang ingin diteliti memiliki tingkat kedalaman sensitivitas dan emosional.
3. Penelitian tersebut diharapkan dapat menggambarkan “pengalaman hidup” dari perspektif orang yang hidup di dalamnya dan menciptakan arti darinya. 4. Diharapkan dapat memasuki “kotak hitam” dari program dan intervensi. 5. Seorang peneliti kuantitatif yang mencapai jalan buntu dalam mengumpulkan
Senada dengan beberapa alasan penggunaan metode penelitian kualitatif yang dikemukan oleh Padgett (1998) diatas, maka peneliti menilai jenis penelitian yang paling tepat untuk mengetahui bagaimanakah pemaafan pada korban perkosaan adalah dengan menggunakan metode penelitian kualitatif.
Beberapa alasan peneliti memilih menggunakan metode penelitian kualitatif untuk mengetahui bagaimanakah pemaafan pada korban perkosaan dikarenakan tema tersebut tidak umum dikaji dalam penelitian psikologi klinis khususnya di psikologi Universitas Sumatera Utara, dan tema ini juga merupakan yang pertama kali diangkat dalam sebuah penelitian. Belum ada penelitian lebih lanjut mengenai pemaafan pada korban pekosaan, bahkan pada salah satu literatur yang penulis baca, penelitian mengenai pemaafan dan kekerasan seksual merupakan salah satu tema ataupun masalah yang diajukan untuk diteliti lebih lanjut.
Penelitian mengenai pemaafan pada korban perkosaan masih sulit diteliti, lebih lanjut mengingat bukan hal yang mudah bagi korban untuk begitu saja memaafkan pelaku perkosaan. Hal ini sangat membutuhkan proses dan waktu yang cukup lama dan mendalam. Seseorang tidak akan mungkin memberi maaf kepada pelaku perkosaan pada saat itu juga. Hal inilah yang menyebabkan tema mengenai pemaafan pada korban perkosaan sangat jarang dibicarakan dan orisinalitas dari tema ini juga dapat kita buktikan dengan minimnya literatur berkaitan dengan tema ini.
mengetahui sikapnya yang cenderung positif dari kejadian yang ia alami, yang padahal kejadian tersebut cukup menyakitkan baginya dan hal itu sangat sulit sekali untuk dimunculkan oleh korban kedalam reaksi-reaksi emosional tertentu, sehingga kemampuan untuk membaca reaksi emosional yang tersirat (non verbal) dan tersurat (verbal) mutlak diperlukan guna menunjang kualitas hasil penelitian.
Melalui penelitian kualitatif diharapkan peneliti akan dapat memasuki “kotak hitam” dari permasalahan ini dengan lebih mendalam karena turut mempertimbangkan dinamika, perspektif, alasan dan faktor-faktor eksternal yang turut mempengaruhi subjek penelitian.
Hal ini sesuai dengan pendapat Poerwandari (2001) yang menyatakan bahwa salah satu tujuan penting penelitian kualitatif adalah diperolehnya pemahaman yang menyeluruh dan utuh tentang fenomena yang diteliti, sebagian besar aspek psikologis manusia juga sangat sulit direduksi dalam bentuk elemen dan angka sehingga akan lebih ‘etis’ dan kontekstual bila diteliti dalam setting alamiah. Artinya tidak cukup mencari “what” dan “how much”, tetapi perlu juga memahaminya (”why” dan “how”) dalam konteksnya.
III.A.1. Kredibilitas, Transferabilitas (Generalisasi), Dependability
(Reliabilitas), dan Konfirmabilitas (Obyektivitas) dalam Pendekatan
Kualitatif
a. Kredibilitas
penelitian kualitatif. Kredibilitas studi kualitatif terletak pada keberhasilannya mencapai maksud mengeksplorasi masalah atau mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi yang kompleks (Poerwandari, 2001).
Menurut Sarantoks (dalam Poerwandari, 2001) ada empat jenis validitas yang digunakan dalam pendekatan kualitatif yaitu:
1). Validitas kumulatif
Validitas kumulatif dicapai bila temuan dari studi-studi lain mengenai pemaafan pada korban perkosaan menunjukan hasil yang kurang lebih serupa. 2). Validitas komunikatif
Validitas komunikatif didapatkan melalui dikonfirmasikannya kembali data dan analisis pada responden penelitian. Data dan hasil analisis yang diperoleh akan dikonfirmasikan kembali pada sampel penelitian.
3). Validitas argumentatif
Validitas argumentatif tercapai bila presentasi temuan dan kesimpulan dapat diikuti dengan rasional, serta dapat dibuktikan dengan melihat kembali ke data mentah
4). Validitas ekologis
Validitas ekologis menunjukan pada sejauh mana studi dilakukan pada kondisi alamiah dari partisipan yang diteliti, sehingga justru kondisi ‘apa adanya’ dan kehidupan sehari-hari menjadi konteks penting penelitian.
untuk meningkatkan kredibilitas penelitian ini adalah sesuai dengan yang dikemukan oleh Patton (dalam Poerwandari, 2001), yaitu:
1). Mencatat hal-hal penting serinci mungkin, mencakup catatan pengamatan objektif terhadap setting, partisipan ataupun hal-hal yang terkait. Peneliti juga perlu menyediakan catatan khusus yang memungkinkan menuliskan berbagai alternatif konsep maupun skema yang terkait dengan data. Catatan ini sangat penting dalam memudahkan mengembangkan analisis dan interpretasi.
2). Mendokumentasikan secara lengkap dan rapi data yang terkumpul, proses pengumpulan data dan strategi analisisnya.
3). Memanfaatkan langkah-langkah dan proses yang diambil peneliti-peneliti sebelumnya sebagai masukan bagi peneliti untuk melakukan pendekatan terhadap penelitiannya dan menjamin pengumpulan data yang berkualitas untuk penelitianya sendiri.
4). Menyertakan rekan yang dapat berperan sebagai pengkritik yang memberikan saran-saran dan pembelaan (‘devil advocate’) yang akan memberikan pertanyaan-pertanyaan kritis terhadap analisis yang dilakukan peneliti.
b. Transferabilitas (Generalisasi)
Penelitian kualitatif dianggap lemah dalam validitas eksternal. Pada dasarnya dalam penelitian apapun generalisasi sangat sulit dicapai, generalisasi hanya dapat dicapai bila obyek studi dapat dilepaskan sepenuhnya dari pengaruh konteks dimana penelitian dilakukan(Poerwandari, 2001). Selanjutnya Cronbach (dalam Poerwandari, 2001) menyatakan bahwa fenomena sosial sangat bervariasi dan terikat pada konteks untuk memungkinkan tercapainya generalisasi empiris, adalah sah bahwa peneliti mengamati situasi khusus karena memberi prioritas pada upaya memahami setting dan situasi khusus tersebut, dengan kata lain, meneliti efek-efek dalam konteksnya.
Lincoln dan Guba (dalam Poerwandari, 2001) mengusulkan istilah generalisasi dengan istilah transferabilitas yaitu sejauh mana suatu penelitian yang dilakukan pada suatu kelompok tertentu dapat diaplikasikan pada kelompok yang lain dengan memperhatikan parameter teoritis yang digunakan.
Penelitian ini diharapkan mampu menggambarkan hasil dari penelitian yaitu berupa dampak dari pemaafan yang dilakukan oleh korban perkosaan kepada pelaku seperti dampak bagi kesehatan fisik maupun psikologis si korban, dimana hasil ini bisa diaplikasikan pada korban perkosaan yang lain yang tidak menjadi subjek penelitian ini.
c. Dependability (Reliabilitas)
1). Koheresi
Metode koheresi dipilih guna mencapai tujuan yang digunakan. Peneliti menganggap bahwa pendekatan kualitatif tepat digunakan dalam penelitian karena sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu untuk mengatahui bagaimanakah pemaafan pada korban perkosaan beserta bentuk kombinasi yang terjadi atau sampai tahap kombinasi manakah pemaafan yang terjadi pada korban perkosaan.
2). Keterbukaan
Keterbukaan menunjukan sejauh mana peneliti bisa membuka diri dengan memanfaatkan metode yang berbeda untuk mencapi tujuan.
3). Diskursus
Diskursus menunjukan sejauh mana dan seintensif apa peneliti mendiskusikan temuan dan analisanya dengan orang lain.
d. Konfirmabilitas (Obyektivitas)