• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Kemampuan Menyebar Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros L.) Berdasarkan Arah Mata angin (Utara-Selatan) pada Areal Pertanaman Kelapa Sawit (Elais guinensis Jacq.)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kajian Kemampuan Menyebar Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros L.) Berdasarkan Arah Mata angin (Utara-Selatan) pada Areal Pertanaman Kelapa Sawit (Elais guinensis Jacq.)"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN KEMAMPUAN MENYEBAR KUMBANG TANDUK

(Oryctes rhinoceros L.) BERDASARKAN ARAH MATA ANGIN

(UTARA-SELATAN) PADA AREAL PERTANAMAN KELAPA

SAWIT (Elais guinensis Jacq.)

SKRIPSI

OLEH

DEWI HANDAYANI S 060302025

HPT

DEPARTEMEN ILMU HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(2)

KAJIAN KEMAMPUAN MENYEBAR KUMBANG TANDUK

(Oryctes rhinoceros L.) BERDASARKAN ARAH MATA ANGIN

(UTARA-SELATAN) PADA AREAL PERTANAMAN KELAPA

SAWIT (Elais guinensis Jacq.)

SKRIPSI

OLEH

DEWI HANDAYANI S. 060302025

HPT

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Dapat Memperoleh Gelar Sarjana

Di Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

Disetujui Oleh Komisi Pembimbing

Ir. Mena uly Tarigan, MS

Ketua Anggota

Ir. Marheni, MP

DEPARTEMEN ILMU HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(3)

ABSTRACT

Dewi Handayani Sinulingga, "Dispersing Capabilities Study Horn Beetle

(Oryctes rhinoceros L.) Based Eye Direction Wind (North-South) on oil palm plantation area (Elais guinensis Jacq.)" Under the guidance of Mena Uly Tarigan and Marheni. Oryctes rhinoceros is a pest of oil palm plantations are mostly found in areas of immature (TBM). This study aims to determine the spread of Oryctes rhinoceros in immature (TBM) that uses cover crops Mucuna bracteata. The experiment was conducted in Afdeling VII Kebun Rambutan, starting in July-September 2010. The study uses the relationship between correlation and regression to the direction of north and south the realase beetle.

(4)

ABSTRAK

Dewi Handayani Sinulingga, “Kajian Kemampuan Menyebar Kumbang

Tanduk (Oryctes rhinoceros L.) Berdasarkan Arah Mata angin (Utara-Selatan) pada Areal Pertanaman Kelapa Sawit (Elais guinensis Jacq.)” di bawah bimbingan Mena Uly Tarigan dan Marheni. Oryctes rhinoceros merupakan hama tanaman kelapa sawit yang banyak menyerang di areal tanaman belum menghasilkan (TBM. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penyebaran Oryctes rhinoceros pada tanaman belum menghasilkan (TBM) yang menggunakan tanaman penutup tanah Mucuna bracteata. Penelitian dilaksanakan di afdeling VII Kebun Rambutan, mulai bulan Juli-September 2010. Penelitian ini menggunakan hubungan antara korelasi dan regresi dengan arah pelepsan kumbang utara dan selatan.

(5)

RIWAYAT HIDUP

Dewi Handayani Sinulingga lahir pada tanggal 14 Januari 1988 di Desa

Lingga dari Ayahanda T. Sinulingga dan Ibunda L. br Ujung. Penulis merupakan

anak pertama dari empat bersaudara.

Pendidikan yang telah ditempuh penulis adalah sebagai berikut:

- Lulus dari Sekolah Dasar Negeri No 033915 Pasi, Sidikalang pada tahun 2000

- Lulus dari MTsN Kabanjahe pada tahun 2003.

- Lulus dari SMA Negeri 2 Kabanjahe pada tahun 2006.

- Pada tahun 2006 diterima di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

Medan, Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan melalui jalur PMDK.

Penulis pernah aktif dalam organisasi kemahasiswaan yaitu menjadi

anggota IMAPTAN (Ikatan Mahasiswa Perlindungan Tanaman) tahun 2006-2010,

menjadi anggota KOMUS HPT (Komunikasi Muslim HPT), menjadi Asisten

Dasar Perlindungan Tanaman tahun 2007/2008, 2008/2009, 2009/2010, menjadi

asisten Dasar Perlindungan Hutan 2008/2009, menjadi asisten Mikrobiologi

Pertanian 2008/2009, pernah mengikuti Seminar Ilmiah dengan tema “Dengan

Pertanian Berkelanjutan Kita Wariskan Kehidupan Berwawasan Lingkungan” dan

Seminar “Peringatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional”. Penulis melakukan

Praktek Kerja Lapangan (PKL) di PTPN III Afdeling VII Kebun Rambutan,

Kabupaten Serdang Bedagai pada tahun 2010 dan melaksanakan penelitian skripsi

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas

berkat dan rahmat-Nya sehingga Penulis dapat meyelesaikan skripsi ini dengan

baik.

Skripsi ini berjudul, ‘ Kajian Kemampuan Menyebar Kumbang

Tanduk (Oryctes rhinoceros L.) pada Areal Pertanaman Kelapa Sawit (Elais guinensis Jacq.)’, merupakan salah satu syarat untuk dapat memperoleh

gelar sarjana di Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara, Medan.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada komisi pembimbing

Ir. Mena Uly Tarigan, MS selaku Ketua dan Ir. Marheni, MP selaku Anggota

yang telah memberikan bimbingan dan saran dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk

itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi

kesempurnaan skripsi ini.

Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih.

Medan, November 2010

(7)

DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR... viii

DAFTAR LAMPIRAN... ix

Gejala Serangan Kumbang Tanduk O.rinoceros………... 10

Metode Pengendalian... 13

Perangkap Feromon (ethyl -4 methyloctanoate)... 15

Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Penyebaran Serangga... 16

(8)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Faktor yang mempengaruhi penyebaran serangga pada

setiap jarak Pelepasan………... 28 Korelasi antara Jumlah Serangga yang Tertangkap dengan Jarak Ferotrap (Selatan)... 29 Korelasi antara Jumlah Serangga yang Tertangkap dengan Jarak Ferotrap (Utara)……… 30 Persentase kumbang sampel yang tertangkap……… 31 Persentase Kumbang Betina dan Jantan Sampel yang Tertangkap……… 33 Persentase kumbang lain yang tertangkap... 35

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan……… 38 Saran………. 38

(9)

DAFTAR TABEL

No. Keterangan Hlm.

1. Faktor yang mempengaruhi penyebaran kumbang 28 setiap jarak pelepasan

2. Korelasi antara jumlah serangga dengan jarak ferotrap 29 di arah selatan

3. Korelasi antara jumlah serangga dengan jarak ferotrap 30 di arah selatan

4. Persentase kumbang sampel yang tertangkap 31 5. Persentase kumbang sample betina dan jantan yang 33

tertangkap pada Ferotrap

(10)

DAFTAR GAMBAR

No. Keterangan Hlm.

1. Gambar 1. Telur Oryctes rhinoceros 7

2. Gambar 2. Larva Oryctes rhinoceros 8

3. Gambar 3. Pupa Oryctes rhinoceros 9

4. Gambar 4. Imago Oryctes rhinoceros 10

5. Gambar 5. Gejala Serangan Oryctes rhinoceros 12

6. Gambar 6. Ferotrap di Lapangan 16

7. Gambar 7. Periringan Serangga 24

8. Gambar 7. Perangkap Feromon 25

9. Gambar 8. Denah Lokasi Pemasangan Perangkap 26

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Keterangan Hlm.

1. Denah Lokasi Pemasangan Perangkap dan pelepasan kumbang 38

2. Peta Lokasi Kajian Penelitian 39

3. Data Penelitian 40

4. Korelasi Jumlah kumbang yang Tertangkap dengan Arah 42 Penyebaran Kumbang (Selatan)

5. Korelasi Jumlah kumbang yang Tertangkap dengan Arah 42 Penyebaran Kumbang (Utara)

6.

Hubungan antara Faktor Lingkungan dengan Jumlah kumbang 43 yang Tertangkap pada Arah Utara (200m)

7.

Hubungan antara Faktor Lingkungan dengan Jumlah kumbang 45 yang Tertangkap pada Arah Utara (400m)

8.

Hubungan antara Faktor Lingkungan dengan Jumlah kumbang 47 yang Tertangkap pada Arah Selatan (200m)

9. Hubungan antara Faktor Lingkungan dengan Jumlah kumbang 49 yang Tertangkap pada Arah Selatan (400m)

10.

Plank Penelitian 51

11.

Ferotrap 51

12. Kegiatan Penelitian 51

(12)

ABSTRACT

Dewi Handayani Sinulingga, "Dispersing Capabilities Study Horn Beetle

(Oryctes rhinoceros L.) Based Eye Direction Wind (North-South) on oil palm plantation area (Elais guinensis Jacq.)" Under the guidance of Mena Uly Tarigan and Marheni. Oryctes rhinoceros is a pest of oil palm plantations are mostly found in areas of immature (TBM). This study aims to determine the spread of Oryctes rhinoceros in immature (TBM) that uses cover crops Mucuna bracteata. The experiment was conducted in Afdeling VII Kebun Rambutan, starting in July-September 2010. The study uses the relationship between correlation and regression to the direction of north and south the realase beetle.

(13)

ABSTRAK

Dewi Handayani Sinulingga, “Kajian Kemampuan Menyebar Kumbang

Tanduk (Oryctes rhinoceros L.) Berdasarkan Arah Mata angin (Utara-Selatan) pada Areal Pertanaman Kelapa Sawit (Elais guinensis Jacq.)” di bawah bimbingan Mena Uly Tarigan dan Marheni. Oryctes rhinoceros merupakan hama tanaman kelapa sawit yang banyak menyerang di areal tanaman belum menghasilkan (TBM. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penyebaran Oryctes rhinoceros pada tanaman belum menghasilkan (TBM) yang menggunakan tanaman penutup tanah Mucuna bracteata. Penelitian dilaksanakan di afdeling VII Kebun Rambutan, mulai bulan Juli-September 2010. Penelitian ini menggunakan hubungan antara korelasi dan regresi dengan arah pelepsan kumbang utara dan selatan.

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tanaman kelapa sawit (Elaeis guinensis Jacg) berasal dari Nigeria, Afrika

Barat. Meskipun demikian, ada yang menyatakan bahwa kelapa sawit berasal dari

Amerika selatan yaitu Brazil kerena lebih banyak ditemukan spesies kelapa sawit

di hutan Brazil jika dibandingkan dengan di Afrika. Pada kenyataanya tanaman

kelapa sawit hidup subur diluar daerahnya, seperti Malaysia, Indonesia, Thailand

dan Papua nugini. Bahkan mampu memberikan hasil produksi perhektar yang

lebih tinggi (Fauji dkk, 2005).

Sejarah dari budidaya kelapa sawit di Indonesia telah lama berlangsung

lebih dari 150 tahun. Budidaya kelapa sawit saat ini menghadapi masalah yang

cukup pelik yaitu adanya gangguan hama dan penyakit. Oryctes rhinoceros

merupakan hama utama yang menyerang kelapa sawit dan sangat merugikan

khususnya di areal replanting yang saat ini sedang dilakukan secara besar-besaran

di Indonesia. Hal ini disebabkan di areal replanting kelapa sawit banyak tumpukan

bahan organik yang sedang mengalami proses pembusukan sebagai tempat

berkembang biak hama ini (PPKS, 2010).

Kelapa sawit merupakan salah satu komoditi ekspor non migas yang

terpenting dan memiliki kontribusi yang nyata dalam lingkup regionalmaupun

nasional untuk memacuh pertumbuhan ekonomi. Minyak kelapa sawit (crude

palm oil) digunakan untuk berbagai keperluan antar lain untuk sebagai bahan

(15)

merupakan produk pertanian yang memiliki prospek yang cerah dimasa yang akan

datang (Lubis,1992).

Kumbang tanduk (Oryctes rhinoceros) dikenal sebagai hama yang

menyerang hampir di seluruh pertanaman kelapa di Indonesia dan merupakan

salah satu hama yang paling merusak (Mahmud, 1990). Di Indonesia kerugian

yang ditimbulkan akibat serangan kumbang Oryctes sp. cukup tinggi. Di Jawa

saja diduga kehilangan produksi per tahun berkisar 10-20 milyar rupiah

(Direktorat Jendral Perkebunan, 2008).

Kumbang tanduk Oryctes rhinoceros merupakan hama utama pertanaman

kelapa sawit muda, terutama pertanaman ulang di areal yang sebelumnya

terserang berat, tanaman dapat mati. Jika dapat bertahan, maka daya hasil tanaman

menurun bahkan saat awal produksinya tertunda (Asri, 2010). Masalah kumbang

tanduk saat ini semakin bertambah dengan adanya aplikasi tandan kosong di

gawangan maupun pada sistem lubang tanam besar (Susanto, dkk, 2005).

Kumbang O. rhinoceros menyerang tanaman kelapa sawit yang baru

ditanam di lapangan sampai berumur 2,5 tahun. Kumbang ini jarang sekali di

jumpai menyerang kelapa sawit yang sudah menghasilkan (TM). Namun

demikian, dengan dilakukannya pemberian mulsa tandan kosong kelapa sawit

(TKS) yang lebih dari satu lapis, maka masalah hama ini sekarang juga dijumpai

di areal TM (Utomo, dkk, 2007).

Areal TBM menjadi sasaran utama hama O. rhinoceros dengan

pelepah-pelepah muda yang mengering diantara daun-daun tua yang masih hijau

(PPKS, 2004). Imago menggerek terutama bagian sisi batang pada pangkal

(16)

menyerang pelepah pertama pada mahkota dengan memakan jaringan tanaman

yang masih muda sehingga pertumbuhan pelepah baru akan terganggu bentuknya

dan mengganggu proses fotosintesis (PPKS, 1996).

Kumbang O. rhinoceros jantan dan betina yang menggerek selalu

berpindah-pindah dari pohon yang satu ke pohon sekitarnya sehingga

menyebabkan serangan semakin meluas (Direktorat Jendral Perkebunan, 2008).

Biasanya serangan kumbang O. rhinoceros akan diikuti oleh kumbang

R. ferrugineus atau bakteri ataupun cendawan, sehingga terjadi pembusukan yang

berkelanjutan. Keadaan seperti ini tanaman mungkin menjadi mati atau terus

hidup dengan gejala pertumbuhan yang tidak normal (PPKS, 2004).

Kumbang terbang dari tempat persembunyiannya menjelang senja sampai

agak malam (sampai dengan pukul 21.00 wib), dan jarang dijumpai pada waktu

larut malam. Dari pengalaman diketahui, bahwa kumbang banyak menyerang

kelapa pada malam sebelum turun hujan. Keadaan tersebut ternyata merangsang

kumbang untuk keluar dari persembunyiannya (PPKS, 2004). Pada kelapa sawit

yang ditanam pada tahun-tahun pertama, seekor kumbang tanduk meyerang

sebatang pohon selama 4-6 hari sebelum ia pindah menyerang pohon lain.

Akibatnya walaupun populasi yang kecil saja, tetapi populasi itu dapat

menyebabkan kerusakan besar pada kelapa sawit (PPKS, 1996).

Setiap hama mempunyai musuh alami yang dapat berupa parasit, predator

(pemangsa) atau penyakit. Kalau musuh-musuh alami ini tidak cukup banyak,

maka hama akan mudah berkembang biak (Mahmud, 1990). O. rhinoceros dapat

(17)

penggunaan pestisida atau dengan biologi yaitu penggunaan

Metharizium anisopliae dan Baculovirus oryctes (PPKS, 2004).

Feromon berperan dalam monitoring populasi hama sebagai bagian

penting dalam pengendalian hama secara terpadu serta dapat digunakan dalam

pengendalian hama yang berwawasan lingkungan. Penggunaan feromon dalam

pengendalian hama O. rhinoceros sudah dilakukan. Beberapa hasil penelitian

menunjukkan bahwa feromon agregasi sintetik dapat menangkap kumbang O.

rhinoceros betina lebih banyak dibanding kumbang jantan (Alouw, 2007).

Pola penyebaran dan kepadatan serangga di suatu tempat akan

berbeda-beda. Penyebaran dan kepadatan serangga dapat dipengaruhi oleh banyak

sedikitnya populasi serangga, perilaku serangga dan tempat hidup (habitat)

(Gallangher dan lilies, 1991).

Penyebaran hewan dan tumbuhan di alam ini bukanlah terjadi secara

kebetulan namun sebagai hasil interaksi dari pengaruh faktor-faktor lingkungan

terhadapnya. Sebaran geografis suatu organisme antara lain dibatasi oleh

faktor-faktor fisik yaitu suhu, kelembaban udara, cahaya dan tersedianya air

(Ysvina, 2010).

Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk melakukan

penelitian tentang Daya jelajah Oryctes rhinoceros L. pada tanaman belum

(18)

Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui penyebaran Oryctes rhinoceros pada areal pertanaman

kelapa sawit (Elaeis guinensis jacq.)

Hipotesis Penelitian

1. Diduga adanya perbedaan kumbang O. rhinoceros yang betina dan jantan yang

tertangkap.

2. Diduga adanya hubungan antara pengaruh faktor lingkungan terhadap

penyebaran Oryctes rhinoceros.

3. Diduga adanya hubungan antara penyebaran O. rhinoceros dengan keadaan

areal pertanaman.

Kegunaan Penelitian

• Sebagai salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar sarjana di Departemen

Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara,

Medan

(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Biologi Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros L.)

Sistematika kumbang tanduk menurut Kalshoven (1981) adalah sebagai

berikut :

Kingdom : Animalia

Filum : Arthropoda

Kelas : Insekta

Ordo : Coleoptera

Famili : scarabaeidae

Genus : Oryctes

Spesies : Oryctes rhinoceros L.

Siklus hidup kumbang tanduk bervariasi tergantung pada habitat dan

kondisi lingkungannya. Musim kemarau yang panjang dengan jumlah makanan

yang sedikit akan memperlambat perkembangan larva serta ukuran dewasa yang

lebih kecil dari ukuran normal. Suhu perkembangan larva yang sesuai adalah

27°C-29°C dengan kelembaban relatif 85-95%. Satu siklus hidup hama ini dari

telur sampai dewasa sekitar 6-9 bulan (Riostone, 2010).

Telur

Kumbang badak betina bertelur di tempat sampah, daun-daunan yang telah

membusuk, pupuk kandang serta batang kelapa yang telah membusuk. Jumlah

telurnya 30-70 butir atau lebih. Setelah sekitar 12 hari telur akan menetas

(20)

Telur berbentuk bulat-lonjong, berwarna putih, berukuran paanjang 3 mm

dan lebar 3 mm. Seekor kumbang betina bertelur 35-70 butir. Biasanya telur

dijumpai pada sampah-sampah yang sedang membusuk, juga pada pohon kelapa

yang mempunyai bekas luka yang sedang membusuk. Stadium telur lamanya ± 12

hari (Setyamidjaja, 1991).

Telur serangga ini berwarna putih, bentuknya mula-mula oval, kemudian

bulat dengan diameter kurang lebih 3 mm. Telur-telur ini diletakkan oleh serangga

betina pada tempat yang baik dan aman (misalnya dalam pohon kelapa yang

melapuk). Setelah dua minggu telur-telur ini akan menetas. Rata-rata fekunditas

seekor serangga betina berkisar antara 49-61 butir telur, sedangkan di Australia

berkisar 51 butir telur, bahkan dapat mencapai 70 butir. Stadium telur berkisar

antara 11-13 hari, rata-rata 12 hari (Kalshoven, 1981).

Gambar 1. Telur Oryctes rhinoceros Sumber : Foto Langsung

Larva

Periode larva 2.5-6 bulan (tergantung temperatur dan kelembaban).

Setelah dewasa larva akan berhenti makan, kemudian akan mencari tempat

terlindung yang dingin dan lembab untuk persiapan membentuk pupa

(21)

Dalam penelitian tentang sensor fisiologi seperti suhu, larva O. rhinoceros

tertarik pda suhu 27-29 ºC dan menghindari suhu yang lebih rendah. Tingkah laku

larva didominasi oleh faktor cahaya, larva bergerak dipengaruhi oleh cahaya yang

muncul secara tiba-tiba. Di lingkungan alami, jika larva ditempatkan pada

permukaan medium perkembangbiakan larva akan cepat bergerak turun menjauhi

cahaya, larva bergerak mengikuti phototaksis negatif, kemungkinan hal ini

merupakan adaptasi untuk menghindar dari pemangsa. Larva tertarik pada

kelembaban yang rendah (85-95%) daripada kelembaban tinggi. Mekanisme ini

dapat berjalan tunggal atau kombinasi untuk menuntun larva keluar dari kondisi

lingkungan yang tidak menguntungkan untuk pertumbuhan atau perkembangan

(Riostone, 2010).

Gambar 2. Larva Oryctes rhinoceros Sumber : Foto Langsung

Pupa

Ketika akan membentuk pupa, larva meninggalkan sampah dan bergerak

ke pinggir atau dasar dari tumpukan sampah dan larva lebih menyukai membentuk

kokon di dalam tanah yang lembab, pada kedalaman sekitar 30 cm. Larva dapat

(22)

Ukuran pupa lebih kecil dari larvanya, kerdil, bertanduk dan berwarna

merah kecoklatan dengan panjang 5-8 cm yang terbungkus kokon dari tanah yang

berwarna kuning. Stadia ini terdiri atas 2 fase: Fase I : selama 1 bulan, merupakan

perubahan bentuk dari larva ke pupa. Fase II : lamanya 3 minggu, merupakan

perubahan bentuk dari pupa menjadi imago dan masih berdiam dalam kokon

(Riostone, 2010).

Gambar 3. Pupa Oryctes rhinoceros Sumber : Foto Langsung

Imago

Kumbang ini berwarna coklat tua mengilap. Panjangnya bisa mencapai

± 5-6 cm. Kumbang yang muncul akan mulai beterbangan pada waktu senja atau

malam hari menuju mahkota daun tanaman kelapa dan ujung batang

(Pracaya, 2009). Kumbang tinggal dalam terowongan ± 1 minggu. Bila cukup

makanan, jarak terbangnya dekat. Bila kurang makanan, jarak terbangnya bisa

mencapai ± 10 km (Rukmana, 1997).

Imago berwarna hitam, ukuran tubuh 35-45 mm, sedangkan menurut

Mohan (2006), imago Oryctes rhinoceros mempunyai panjang 30-57 mm dan

lebar 14-21 mm, imago jantan lebih kecil dari imago betina. Oryctes rhinoceros

(23)

jantan tidak berbulu. O.rhinoceros dapat terbang sampai sejauh 9 km. Imago aktif

pada malam hari untuk mencari makanan dan mencari pasangan untuk

berkembang biak (Prawirosukarto dkk., 2003 dan Mohan, 2006).

Kumbang Oryctes rhinoceros warnanya hitam, permukaan bagian bawah

badannya berwarana hitam kecoklatan, panjang tubuh 34- 45 mm dan lebarnya 20

mm. Culanya yang terdapat pada kepala menjadi ciri khas kumbang ini . Cula

kumbang jantan lebih panjang dari cula kumbang betina. Selain itu kumbang ini

mempunyai mandible yang kuat dan cocok untuk melubangi pohon (Borror,1976).

Kumbang dewasa betina dapat hidup sampai 274 hari, sedangkan kumbang

dewasa jantan dapat hidup sampai 192 hari (PPKS, 2010).

Gambar 4. Imago Oryctes rhinoceros Sumber : Foto Langsung

Gejala Serangan

Pada tanaman muda kumbang tanduk ini mulai menggerek dari bagian

samping bonggol pada ketiak pelepah terbawah, langsung ke arah titik tumbuh

(24)

Apabila gerekan sampai ke titik tumbuh, kemungkinan tanaman akan mati. Pucuk

kelapa sawit yang terserang, apabila nantinya membuka pelepah daunnya akan

kelihatan seperti kipas atau bentuk lain yang tidak normal atau berbentuk segitiga

atau seperti huruf V (Prawirosukarto dkk., 2003).

Pada pohon kelapa mempunyai ciri kerusakan yang khas yaitu daun

sebagian hilang dan bila membuka daun kelapa nampak berbentuk seperti

kipas/ada deretan lubang-lubang besar di daun. Bagian yang dirusak hama ini

biasanya akan digunakan oleh hama lain untuk menyerang tanaman yang sama,

sehingga kerusakan menjadi lebih berat. Jadi kumbang badak sering sebagai

pembuka jalan bagi hama lain (Subyanto, 1991).

Pada tanaman yang berumur antara 0-1 tahun, kumbang dewasa (baik

jantan maupun betina) melubangi bagian pangkal yang dapat mengakibatkan

kematian titik tumbug atau terpuntirnya pelepah daun yang dirusak. Pada tanaman

dewasa kumbang dewasa akan melubangi pelepah termuda yang belum terbuka.

Jika yang dirusak adalah pelepah daun yang termuda (janur) maka ciri khas bekas

kerusakannya adalah janur seperti digunting berbentuk segitiga. Stadium hama

yang berbahaya adalah stadium imago (dewasa) yang berupa kumbang

(Suhardiyono, 1995).

Serangga dewasa dapat menyebabkan kerusakan dengan melubangi

pangkal daun tombak dan jaringan leher akar, pohon muda akan mati jika titik

tumbuhnya dirusak, kerusakan pada daun tombak biasanya mengakibatkan

malformasi. Serangan yang berulang-ulang akan menyebabkan pertumbuhan

terhambat dan saat menjadi dewasa menjadi terlambat. Masa paling kritis adalah

(25)

terhadap serangan Oryctes rhinoceros jika kanopi telah saling menutup. Pada

tanaman menghasilkan jarang menimbulkan masalah

(http://membangunkebunkelapasawit.webs.com).

Imago menggerek bagian pangkal daun pucuk bahkan sampai ke titik

tumbuh sehingga daun yang keluar menjadi lebih pendek, patah dan bentuknya

berubah. Imago menggerek untuk mendapatkan cairan dari jaringan bekas

gereken. Setelah menggerek, imago betina menuju tempat yang cocok untuk

meletakkan telur yaitu pada bahan material yang baru mulai membusuk. Imago

jantan hanya mengikuti imago betina menuju ke lubang makan

(Rahayuwati, dkk, 2002).

Kumbang dewasa terbang ketajuk kelapa pada malam hari dan mulai

bergerak ke dalam bagian dalam melalui salah satu ketiak pelepah daun yang

paling atas. Kumbang merusak pelepah daun yang belum terbuka dan dapat

menyebabkan pelepah patah. Kerusakan pada tanaman baru terlihat jelas setelah

daun membuka 1-2 bulan kemudian berupa guntingan segitiga seperti huruf V.

Gejala ini merupakan ciri khas serangan kumbang O. rhinoceros

(Direktorat Jendral Perkebunan, 2008).

Tunas tanaman di pembibitan menjadi kering karena gerekan dibagian

pangkalnya. Areal TBM menjadi sasaran utama serangan hama dengan

pelepah-pelepah muda yang mengering diantara daun-daun tua yang masih hijau. Adanya

lubang bekas gerekan kumbang pada bagian pangkal pelepah muda tanaman.

Pelepah daun terlihat terpuntir sehingga posisinya tampak tidak beraturan

(26)

Gambar 5. Gejala serangan pada Tanaman Belum Menghasilkan

Sumber: Foto Langsung

Metode Pengendalian

Kumbang badak tidak bisa terbang jauh, kisaran penerbangan 200 yard

dari tempat pembibitan. Metode pengendalian adalah berburu pada tempat-tempat

pembiakan, membunuh kumbang dalam tahap muda, larva, kemudian pastikan

bahwa tidak ada kumbang lain yang dapat berkembang biak di sana. Kumbang

betina bertelur pada semua jenis vegetasi yang membusuk, pupuk kandang,

kompos, dan terutama di batang kelapa mati (Piggot, 1964).

Pengendalian biasanya dilakukan dengan menangkap kumbang setiap hari

atau aplikasi insektisida setiap minggu. Biaya operaional teknik ini sangat tinggi.

Sebagai alternatif, daya tarik ethyl 4-metyloctanoate, komponen utama feromon

O. rhinoceros terhadap kumbang ini telah di uji (Asri, 2010).

Upaya terkini dalam mengendalikan kumbang tanduk adalah penggunaan

perangkap feromon. PPKS saat ini telah berhasil mensintesa feromon agregat

(dengan nama dagang Feromonas) untuk menarik kumbang jantan maupun betina.

(27)

perangkap massal. Pemerangkapan kumbang O. rhinoceros dengan menggunakan

ferotrap terdiri atas satu kantong feromon sintetik (PPKS, 2010).

Pengendalian O. Rhinoceros pada saat telah terjadi serangan di tanaman

belum menghasilkan (TBM) dapat dilakukan dengan cara menggunakan feromon.

Feromon diletakkan pada posisi di pinggiran seluruh areal tanaman baru atau

tanaman muda., sehingga O.rhinoceros yang ada di dalam areal akan berpindah ke

pinggiran areal tempat feromon dipasang. Sementara untuk serangan O.rhinoceros

dari luar areal TBM akan tertahan juga pada pinggiran areal (Pasaribu, 2005).

Penggunaan feromon dapat menurunkan populasi O. rhinoceros di

lapangan, 5-27 ekor kumbang per hektar dapat terperangkap setiap bulan

(APCC, 2006). Kumbang O. rhinoceros berbahaya pada tanaman kelapa, lima

ekor kumbang (dalam tahap makan) per hektar dapat mematikan setengah dari

tanaman yang baru ditanam (Balitka, 1989). Oleh sebab itu penggunaan feromon

dapat menyelamatkan tanaman kelapa dari ancaman kehilangan produksi bahkan

kematian tanaman. Penggunaan perangkap feromon dapat menurunkan populasi

hama dan tingkat kerusakan hama sampai batas tidak merugikan serta

menurunkan penggunaan insektisida dan kerusakan lingkungan (Roelofs, 1978).

Di samping itu, feromon dapat digunakan untuk mengevaluasi keberhasilan

penggunaan virus di lokasi-lokasi pelepasan virus untuk mengendalikan O.

rhinoceros (APCC, 2006).

Upaya terkini dalam mengendalikan kumbang tanduk adalah penggunaan

perangkap feromon. PPKS saat ini telah berhasil mensintesa feromon agregat

(dengan nama dagang Feromonas) untuk menarik kumbang jantan maupun betina.

(28)

perangkap massal. Pemerangkapan kumbang O. rhinoceros dengan menggunakan

ferotrap terdiri atas satu kantong feromon sintetik (PPKS, 2009). Pengendalian

dengan menggunakan feromon untuk mengendalikan populasi hama O.

rhinoceros sudah dilakukan oleh beberapa negara antara lain Filipina, Malaysia,

Srilanka, India, Thailand dan Indonesia (APCC 2005a, 2005b). Hal ini dilakukan

mengingat O. rhinoceros adalah hama yang berbahaya baik pada tanaman kelapa

yang masih di pembibitan sampai tanaman dewasa (Singh and Rethinam, 2005).

Perangkap Feromon (etil-4 metil oktanoate)

Feromon adalah substansi kimia yang dilepaskan oleh suatu organisme ke

lingkungannya yang memampukan organisme tersebut mengadakan komunikasi

secara intraspesifik dengan individu lain. Feromon bermanfaat dalam monitoring

populasi maupun pengendalian hama. Di samping itu feromon bermanfaat juga

dalam proses reproduksi dan kelangsungan hidup suatu serangga. Keberhasilan

penggunaan feromon dipengaruhi oleh kepekaan penerima, jumlah dan bahan

kimia yang dihasilkan dan dibebaskan per satuan waktu, penguapan bahan kimia,

kecepatan angin dan temperatur (Alouw, 2007).

Feromon terdiri atas asam-asam lemak tak jenuh. Senyawa kimia dengan

berat molekul rendah seperti ester, alkohol, aldehida, keton, epoxida, lactone,

hidrokarbon, terpen dan sesquiterpene adalah komponen umum dalam feromon

(Nation, 2002).

Feromon agregasi adalah jenis feromon yang dikeluarkan untuk menarik

serangga jantan maupun betina untuk berkelompok dan jenis feromon ini juga

dapat meningkatkan kemungkinan kopulasi di dalam populasi tersebut. Feromon

(29)

mempertahankan diri terhadap serangan predator dan untuk mengatasi resistensi

tanaman inang terhadap serangan kumbang tersebut (Klowden, 2002).

Feromon ini mempunyai bahan aktif Ethyl-4 methyloctanoate dimana

bahan aktif ini 10 kali lipat lebih efektif dibandingkan feromon terdahulu yang

bahan aktifnya Ethyl chrysanthemumate. Feromon diletakkan dalam ferotrap yaitu

menggunakan ember plastik dan perangkap PVC. Satu ferotrap cukup efektif

untuk 2 ha dan kantong feromon sintetik dapat digunakan selama 60 hari

(Utomo, dkk, 2007).

Gambar 6. Ferotrap Sumber: Foto langsung

Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Penyebaran Serangga

Jika lingkungan cocok dan pakan cukup, kumbang badak terbang dalam

jarak yang dekat saja. Namun jika pakan kurang baik kumbang bisa terbang

sampai sejauh 10 km (Pracaya, 2007).

a. Angin

Angin berpengaruh terhadap perkembangan hama, terutama dalam proses

penyebaran hama tanaman. Misalnya kutu daun dapat terbang terbawa angin

sejauh 1.300 km. Kutu loncat (Heteropsylla cubana), penyebarannya dipengaruhi

(30)

atau explosive) kutu loncat lamtoro pada daerah yang luas dalam waktu relatif

singkat. Belalang kayu (Valanga nigricornis Zehntneri Krauss), bila ada angin

dapat terbang sejauh 3-4 km. Selain mendukung penyebaran hama, angin kencang

bisa menghambat bertelurnya kupu-kupu, bahkan sering menimbulkan kematian

(Arantha, 2010).

b. Cahaya

Beberapa aktivitas serangga dipengarui oleh responya terhadap cahaya

sehingga timbul jenis serangga yang aktif pada pagi, siang, sore atau malam hari.

Cahaya matahari dapat mempengarui aktifitas dan distribusi lokalnya. Habitat

serangga dewasa (imago) dan serangga pradewasa (larva dan pupa) ada yang sama

dan ada yang berbeda. Pada ordo lepidoptera, larva aktif makan dan biasanya

menjadi hama, sedangkan serangga dewasanya hanya menghisap nectar atau

madu bunga. Pada ordo coleoptera, umumnya larva dan imago aktif makan

dengan habitat yang sama sehingga kedua-duanya menjadi hama ( Jumar, 2000).

Cahaya mempunyai peranan penting dalam pertumbuhan,

perkembangannya dan tahan kehidupannya serangga baik secara langsung

maupun tidak langsung. Cahaya mempengaruhi aktifitas serangga, cahaya

membantu untuk mendapatkan makanan, tempat yang lebih sesuai. Setiap jenis

serangga membutuhkan intensitas cahaya yang berbeda untuk aktifitasnya.

Berdasarkan hasl di atas serangga dapat digolongkan :

o Serangga diurnal yaitu serangga yang membutuhkan intensitas cahaya tinggi

(31)

o Serangga krepskular adala serangga yang membutuhkan intensitas cahaya

sedang aktif pada senja hari.

o Serangga nokturnal adalah serangga yang membutuhkan intensitas cahaya

rendah aktif pada malam hari

o Penelitian menunjukkan bahwa cahaya bulan berpengaruh nyata pada tangkapan

lampu perangkap terhadp serangga nokturnal

(Ysvina, 2010).

C. Suhu

Serangga memiliki kisaran suhu tertentu dimana dia dapat hidup. Diluar

kisaran suhu tersebut serangga akan mati kedinginan atau kepanasan. Pengaruh

suhu ini jelas terlihat pada proses fisiologi serangga. Pada waktu Tertentu

aktivitas serangga tinggi, akan tetapi pada suhu yang lain akan berkurang

( menurun ). Pada umumnya kisaran suhu yang efektif adalah suhu minimum

15 ºC, suhu optimum 25 ºC dan suhu maksimum 45 ºC. Pada suhu optimum

kemampuan serangga untuk melahirkan keturunan besar dan kematian

( mortalitas ) sebelum batas umur akan sedikit ( Jumar, 2000).

Pengaruh suhu terhadap kehidupan serangga banyak dipelajari di negara

beriklim dingin/sedang, dimana suhu selalu berubah menurut musim. Di negara

tropika seperti Indonesia keadaanya berbeda, iklimnya hampir sama sehingga

variasi suhu relatif kecil. Perbedaan suhu yang nyata adalah karena ketinggian.

Serangga adalah organisme yang sifatnya poikilotermal sehingga suhu badan

serangga banyak dipengaruhi dan mengikuti perubahan suhu udara. Beberapa

aktifitas serangga dipengaruhi oleh suhu dan kisaran suhu optimal bagi serangga

(32)

kesuburan/produksi telur, laju pertumbuhan dan migrasi atau penyebarannya.

Kematian serangga dalam hubungannya dengan suhu terutama berkaitan dengan

pengaruh batas-batas ekstrim dan kisaran yang masih dapat ditahan serangga

(suhu cardinal). Suhu yang sangat tinggi mempunyai pengaruh langsung terhadap

denaturasi/ merusak sifat protein yang mengakibatkan serangga mati. Pada suhu

rendah kematian serangga terjadi karena terbentukknya kristal es dalam sel

(Ysvina, 2010).

d. Kelembaban / Hujan

Kelembaban atau curah hujan merupakan faktor penting yang

mempengaruhi distribusi, kegiatan, dan perkembangan serangga. Dalam

kelembaban yang sesuai serangga biasanya lebih tahan terhadap suhu ekstrem.

Pada umumnya serangga lebih tahan terhadap lebih banyak air, bahkan beberapa

serangga yang bukan serangga air dapat tersebar karena hanyut bersama air. Akan

tetapi, kebanyakan air seperti banjir dan hujan deras merupakan bahaya bagi

beberapa serangga ( Jumar, 2000).

Serangga seperti juga hewan yang lain harus memperhatikan kandungan

air dalam tubuhnya, akan mati bila kandungan airnya turun melewati batas

toleransinya. Berkurangnya kandungan air tersebut berakibat kerdilnya

pertumbuhan dan rendahnya laju metabolisme. Kandungan air dalam tubuh

serangga bervariasi dengan jenis serangga, pada umumnya berkisar antara 50-90%

dari berat tubuhnya. Pada serangga berkulit tubuh tebal kandungan airnya lebih

rendah. Agar dapat mempertahankan hidupnya serangga harus selaluu berusaha

agar terdapat keseimbangan air yang tepat. Beberapa serangga harus dilingkungan

(33)

pada keadaan kering bahkan mampu menahan lapar untuk beberapa hari.

Kelembaban juga mempengaruhi sifat-sifat, kemampuan bertelur dan

pertumbuhan serangga (Ysvina, 2010).

e. Makanan

Kita mengetahui bahwa makanan merupakan sumber gizi yang

dipergunakan oleh serangga untuk hidup dan berkembang biak. Jik makanan

tersedia dengan kualitas yang cocok, maka populasi serangga akan naik cepat.

Sebaliknya, jika keadaan makan kurng maka populasi serangga juga akan

menurun. Pengaruh jenis makanan , kandungan air dalam makanan dan besarnya

butiran material juga berpengaruh terhadap perkembangansuatu jenis serangga

hama. Dalam hubungannya dengan makanan , masing – masing jenis serangga

memiliki kisaran makanan ( inang ) dari satu sampai banyak makanan ( inang )

( Jumar, 2000).

Kelimpahan serangga berhubungan erat dengan perbandingan antara

kelahiran dan kematian pada suatu waktu tertentu. Kelahiran dipengaruhi antara

lain oleh cuaca, makanan dan taraf kepadatannya. Kematian terutama dipengaruhi

oleh cuaca dan musuh alami. Kepadatan dapat mengakibatkan emigrasi yang

dapat berarti sebagai kurangnya individu di suatu lokasi yang dianggap suatu

kematian. Cuaca berpengaruh langsung terhadap tingkat kelahiran dan kematian,

secara tidak langsung cuaca mempengaruhi hama melalui pengaruhnya terhadap

kelimpahan organisme lain termasuk musuh alaminya. Organisme, khususnya

serangga mempunyai daya menahan pengaruh faktor lingkungan fisik sehingga

menjadi kebal. Organisme serangga dapat mengatasi keadaan yang ekstrem

(34)

sifatnya fisiologis. Serangga sesuai dengan sifatnya mempunyai kemampuan

meyesuaikan diri dengan lingkungan tetapi karena serangga juga mempunyai

sayap, serangga dapat pindah menghindari tempat yang ekstrim mencari tempat

yang lebih sesuai.

Faktor cuaca dapat mempengaruhi segala sesuatu dalam sistem komunitas

serangga anatara lain fisiologi, perilaku, dan ciri-ciri biologis lainnya baik

langsung maupun tidak langsung. Faktor cuaca dapat dipisahkan menjadi

unsur-unsur cuaca: suhu, kelembaban, cahaya dan pergerakan udara/angin.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan dan perkembangan populasi

Bila sejumlah kecil populasi tertentu menyerbu suatu habitat baru dan

disukai, jumlah mereka akan semakin bertambah sampai mencapai suatu

maksimum yang dapat didukung oleh lingkungan. Kelompok individu yang

menyerbu suatu habitat yang disukai tidak segera bertambah jumlahnya. Hal itu

memerlukan waktu bagi individu-individu untuk menyesuaikan diri dengan

lingkungan sekitarnya yang baru, menemukan pasangan dan menghasilkan

individu muda (Michael, 1995).

Andrewartha and Birch (1954) mengartikan bahwa hubungan antara 4

komponen yaitu iklim, makanan, patogen dan tempat tinggal sebagai lingkungan

untuk suatu organisme. Contohnya di Brazil, populasi serangga kadang-kadang

berubah-ubah pada awal musim, terutama oleh faktor lingkungan yang

mendukung seperti curah hujan, temperatur, dan kelembaban. Coleoptera dan

(35)

perkembangan spesies kumbang scarabid sangat dipengaruhi oleh ph tanah,

tanaman penutup dan kepadatan makanan mereka (Kamarudin, dkk, 2005).

Kelakuan menggambarkan respon hewan terhadap lingkungannya.

Serangga sangat sensitif terhadap variasi lingkungan, dan serangga dapat merubah

kelakuan mereka dalam merespon naik turunnya kondisi lingkungan atau

perubahan lingkungan. Serangga, khususnya yang dapat terbang dapat berpindah

untuk menghindari naik turunnya temperatur, kelembaban, zat kimia atau faktor

abiotik lainnya untuk menghindar dari kondisi yang merugikan

(Schowalter, 1996).

Berdasarkan teori Andrewartha dan birch kerapatan populasi alami di

lapangan ditentukan oleh :

1. Tersedianya sumberdaya seperti makanan, ruang tempat hidup.

2. Keberadaan tempat sumberdaya dan kemampuan individu-individu

populasi untuk mencapai dan memperoleh sumberdaya (antara lain sifat

penyebaran, pemencaran dan kemampuan mencari).

3. Waktu atau kesemptan untuk memanfaatkan laju pertumbuhn yang tinggi,

misalnya pada keadaan iklim yang menguntungkan untuk pertumbuhan.

Walaupun faktor-faktor terpaut kerapatan (faktor-faktor biotik) terutama

mempengaruhi pertumbuhan populasi makhluk hidup yang tumbuh pada habitat

yang sesuai, namun tak dapat disangkal bahwa faktor iklim dan cuaca menentukan

tempat hidup setiap makhluk hidup (pemencaran dan penyebaran populasi)

(36)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada areal Tanaman Kelapa Sawit di afdeling VII,

kebun Rambutan PTPN III . Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli -

September 2010.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah imago O. rhinoceros

dimana jumlah jantan dan betina adalah sama yaitu 30 ekor, feromon ethyl

4-methyl octanoate, batang sawit busuk dan tanaman kelapa sawit.

Alat yang digunakan adalah 14 ferotrap, tinta india, kawat, stoples, karet,

kain kasa dan alat tulis.

Metode Penelitian

Penelitian dilakukan dengan menggunakan hubungan antara korelasi dan

regresi dengan arah pelepasan kumbang utara dan selatan

Metoda linear yang digunakan adalah :

Ý = a+ax1+ax2+ax3+ax4

Dimana :

Ý = Hubungan korelasi dan regresi

a = konstanta

x1 = Suhu

(37)

x3 = Curah hujan

x4 = Angin

(Sudjana, 1983).

Metoda Pelaksanaan

Penelitian dilakukan pada areal tanaman belum menghasilkan seluas

18,45 ha tahun tanam 2007 dengan menggunakan penutup tanah Mucuna

bracteata di blok 35 afdeling VII kebun Rambutan. Kegiatan penelitian

dilakukan sebagai berikut :

Periringan Serangga

Periringan dilakukan di rumah kasa dan laboratorium dengan banyak larva

instar tiga dan pupa yang diriring berjumlah ±300 ekor. Media riringan

menggunakan batang kelapa sawit yang telah membusuk dan stoples. Batang

kelapa sawit di bor agar membentuk lubang, kemudian larva dimasukkan kedalam

lubang. Stoples diisi dengan batang kelapa sawit yang telah membusuk, kemudian

pupa dimasukkan ke dalam stoples tersebut. Tujuannya agar kondisi lingkungan

riringan sesuai dengan kondisi sebenarnya.

(38)

Pemasangan perangkap

Perangkap serangga menggunakan feromon yaitu Etl-4 metil oktanoate

dalam pipa PVC. Feromon diletakkan dengan cara menggantungkan feromon

kedalam pipa PVC yang berdiameter 6 – 8 (15 - 20 cm). Pipa PVC dipotong

sepanjang 2 meter, lubang bagian bawah ditutup dengan menggunakan seng,

sedangkan lubang bagian atas dibiarkan terbuka. Bagian atas pipa dibuat 2 buah

jendela dengan ukuran 20 x 10 cm, pipa diisi dengan cacahan janjangan kosong

kelapa sawit yang masih segar, bagian atas pipa PVC dipasang kawat untuk dapat

menggantungkan feromon. (sesuai yang digunakan pihak perkebunan dan

rekomendasi dari Pusat Penelitian Kelapa Sawit Marihat).

Gambar 8. Perangkap Feromon

Penempatan perangkap

Perangkap ditempatkan dengan cara meletakkan dan menanam pipa PVC pada

(39)

pusat pelepasan serangga ke arah empat mata angin yaitu Utara, Selatan, Timur,

dan Barat.

Gambar 9. Denah Lokasi Pemasangan Perangkap dan pelepasan kumbang

Pelepasan Oryctes rhinoceros

Kumbang O. rhinoceros yang dilepaskan sebanyak 120 ekor (60 ekor betina dan

60 ekor jantan) merupakan kumbang yang baru muncul dari hasil pembiakan

massal. Penandaan Kumbang dilakukan dengan menggunakan biomarker berupa

tinta india yang tahan air pada thoraks.Penandaan bertujuan untuk memberi tanda

penomoran untuk membedakan individu populasi dan kombinasi warna tinta

untuk menandakan posisi pelepasan Oryctes rhinoceros sesuai arah mata angin

(Utara, Selatan).

Pada masing-masing arah mata angin tersebut dilepaskan 15 pasang

kumbang Oryctes rhinoceros dari tengah areal pertanaman yang merupakan jalan

kebun, dan pelepasan kumbang dilaksanakan pada pukul 18.00 Wib sesuai dengan

(40)

Pengamatan

Kumbang yang masuk ke dalam perangkap pada tiap jarak diamati pukul

07.00 Wib, dan kemudian dilepaskan kembali hingga diketahui kemampuan

dispersal terjauh. Pengamatan dilakukan setiap hari selama lima minggu sesuai

umur stadia kumbang.

Peubah Amatan

1. Oryctes rhinoceros yang tertangkap pada setiap jarak diamati dan dilepaskan

kembali hingga diketahui kemampun dispersal terjauh

2. Populasi kumbang yang tidak diberi penandaan tetapi masuk kedalam ferotrap

3. Data analisis menggunakan SPSS untuk menguji signifikan (ANOVA) antara

populasi kumbang yang masuk ke dalam ferotrap dan korelasi jarak pelepasan

dengan arah pelepasan kumbang

(41)

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyebaran serangga Pada Setiap Jarak Pelepasan

Dari analisis regresi antara jumlah kumbang yang tertangkp dengan

faktor-faktor lingkungan menunjukkan adanya hubungan antara penyebaran dengan

faktor lingkungan. Jumar (2000) menyatakan bahwa perkembangan serangga di

alam dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor dalam yang dimiliki serangga itu

sendiri dan faktor luar yang berada di lingkungan sekitarnya.

Penyebaran serangga dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan seperti

suhu, curah hujan, kelembaban dan angin. Hal ini sesuai dengan pernyataan

ysvina (2010) yang menyatakan bahwa penyebaran hewan dan tumbuhan di alam

ini bukanlah terjadi secara kebetulan namun sebagai hasil interaksi dari pengaruh

faktor-faktor lingkungan terhadapnya. Sebran geografis suatu organisme antara

lain dibatasi oleh faktor-faktor fisik yaitu suhu, kelembaban udara, cahaya dan

tersedianya air. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran kumbang dapat

dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyebaran serangga Pada Setiap Jarak Pelepasan

Jarak Model Sig

Selatan(200) Angin 0.005

Selatan (400) Angin

(42)

Pada hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada jarak S1, S2, U1, U2

faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap penyebaran kumbang adalah faktor

angin. Dimana nilai koefisiennya adalah S1 (0.005), S2 (0.0300, U1 (0.012) dan

U2 (0.035). hal ini sesuai dengan pernyataan Arantha (2010) yang menyatakan

bahwa angin berpengaruh terhadap perkembangan hama, terutama dalam proses

penyebaran tanaman.

Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa pada S2 dan U2 faktor kelembaban juga

berpengaruh terhadap penyebaran kumbang. Dimana nilai koefisiennya adalah S2

(0.012) dan U2 (0.045). hal ini sesuai dengan pernyataan Jumar (2000) yang

menyatakan bahwa kelembaban atau curah hujan merupakan faktor penting yang

mempengaruhi distribusu, kegiatan, dan perkembangan serangga. Ysvina (2010)

menyatakan bahwa kelembaban juga mempengaruhi sifat-sifat, kemampuan

bertelur dan pertumbuhan serangga.

2. Korelasi Antara Jumlah Serangga yang Tertangkap dengan Jarak Ferotrap (Selatan)

Korelasi antara jumlah serangga yang tertangkap dengan jarak ferotrap di

Arah Selatan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Korelasi antara jumlah serangga yang tertangkap dengan jarak ferotrap di Arah Selatan

Selatan (200 m) Selatan (400 m) Seltan (200 m) Pearson correlation

Sig. (2-tailed) Selatan (400 m) Pearson correlation

(43)

Dari data pengamatan pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa jumlah serangga

yang tertangkap pada jarak 400 m berhubungan nyata terhadap jumlah serangga

yang tertangkap pada jarak 200 m. begitu juga sebaliknya, jumlah serangga yang

tertangkap pada jarak 200 m berhubungan nyata terhadap jumlah kumbang yang

tertangkap pada jarak 400 m. dimana nilai korelasinya adalah 0.352 (Korelasi ;

SPSS Versi 12.00).

Dari hasil pengamatan diketahui bahwa kumbang sampel yang dilepas

hanya tertangkap pada jarak 200 meter (ferotrap pertama) dan 400 meter

(perangkap kedua), hal tersebut terjadi karena feromon yang digunakan cukup

efektif untuk 2 ha. Hal ini sesuai dengan pernyataan Utomo, dkk (2007) yang

menyatakan bahwa feromon diletakkan dalam ferotrap yaitu menggunakan ember

plastik dan perangkap PVC. Satu ferotrap cukup efektif untuk 2 ha dan kantong

feromon sintetik dapat digunakan selama 60 hari.

3. Korelasi antara Jumlah Serangga yang Tertangkap dengan Jarak Ferotrap (Utara)

Korelasi antara jumlah kumbang yang tertangkap dengan jarak ferotrap di

arah pelepasan Utara dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Korelasi antara jumlah serangga yang tertangkap dengan jarak ferotrap di Arah Utara

Selatan (200 m) Selatan (400 m) Utara (200 m) Pearson correlation

Sig. (2-tailed) Utara (400 m) Pearson correlation

(44)

Dari data pengamatan pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa jumlah serangga

yang tertangkap pada jarak 400 m berhubungan sangat nyata terhadap jumlah

serangga yang tertangkap pada jarak 200 m. Dimana nilai korelasinya adalah

0.678 (Korelasi ; SPSS Versi 12.00). Sedangkan jumlah kumbang yang tertangkap

pada jarak 200 m berhubungan nyata terhadap jumlah kumbang yang tertangkap

pada jarak 400 m. Dimana nilai korelasinya adalah 0.352 (Korelasi ; SPSS Versi

12.00).

4. Persentase kumbang sampel yang tertangkap

Hasil pengamatan menunjukan bahwa kumbang yang tertangkap pada

ferotrap bukan hanya kumbang sampel yang dilepaskan ke Arah Utara dan

Selatan, tetapi terddapat juga kumbang sampel yang berasal dari arah lain.

Jumlah kumbang yang dilepaskan ke setiap arah mata angin

(Utara-Selatan) yaitu sebanyak 30 ekor (15 betina dan 15 jantan). Persentase jumlah

kumbang sampel dan kumbang lain yang tertangkap pada ferotrap dapat dilihat

pada Tabel 4.

Tabel 4. Persentase Jumlah Kumbang Sampel dan Kumbang Lain Yang Tertangkap Pada Ferotrap

Perangkap Kumbang sampel Kumbang lain

(45)

U3 U4 U5 U6 U7

Total 16 5

Persentase 53.33% 4,17%

Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa persentase jumlah kumbang sampel yang

tertangkap pada Arah Selatan yaitu sebesar 73.33 %, sedangakan pada Arah Utara

sebesar 53.33 %. Persentase kumbang lain yang tertangkap pada Arah Selatan

sebesar 20 %, sedangkan di Arah Utara sebesar 17 %. Dari hasil penelitian dapat

dilihat bahwa dari jumlah kumbang yang dilepaskan yaitu sebanyak 30 ekor ke

setiap arah mata angin, yang tertangkap di ferotrap sebanyak 22 ekor di setiap

Arah Selatan dan 16 ekor di Arah Utara. Dalam APCC (2006) menyatakan bahwa

penggunaan feromon dapat menurunkan populasi O. rhinoceros di lapangan, 5-27

ekor kumbang per hektar dapat terperangkap setiap bulan. Kumbang O.

rhinoceros berbahaya pada tanaman kelapa, lima ekor kumbang (dalam tahap

makan) per hektar dapat mematikan setengah dari tanaman yang baru ditanam.

Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa jumlah kumbang sampel yang tertangkap

di Arah Selatan lebih tinggi dari pada di Arah Utara yaitu sebanyak 22 ekor,

sedangkan di Arah Utara sebanyak16 ekor. Hal ini terjadi kerena ferotrap S1 dan

S2 di letakkan di areal tanaman kelapa sawitbelum menghasilkan (TBM) yang

merupakan sasaran utama kumbang Oryctes rhinoceros. Dalam PPKS (2010)

menyatakan bahwa tunas tanaman di pembibitan menjadi kering karena gerekan

di bagian pangkalnya. Areal TBM menjadi sasaran utama serangan hama dengan

(46)

Adanya lubang bekas gerekan kumbang pada bagian pangkal pelepah muda

tanaman. Pelepah daun terlihat terpuntir sehingga posisinya tampak tidak

beraturan.

5. Persentase kumbang sampel yang tertangkap

Hasil pengamatan penangkapan dengan ferotrap menunjukkan perbedaan

Kumbang jantan dan Kumbang betina yug tertangkap. Persentase kumbang

sample jantan dan betina yang tertangkap pada Ferotrap dapat dilihat pada Tabel

5.

Tabel 5. Persentase kumbang sample betina dan jantan yang tertangkap pada Ferotrap

Perangkap Kumbang Betina Kumbang Jantan Total Lokasi

S1 9 8 17 TBM

Persentase 59.18% 40.82%

Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa selama pengamatan kumbang Oryctes

rhinoceros sampel yang didapat dengan menggunakan ferotrap adalah sebanyak

(47)

Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa jumlah kumbang tertangkap yang

tertinggi adalah pada perangkap pertama di Arah Selatan yaitu sebanyak 17 ekor,

sedangkan jumlah kumbang tertangkap yang terendah adalah pada perangkap

kedua di Arah Utara yaitu sebanyak 7 ekor.

Pada hasil pengamatan dapat dilihat bahwa baik kumbang betina maupun

kumbang jantan dapat tertangkap pada ferotrap. Hal ini terjadi karena feromon

yang digunakan adalah feromon agregasi yang dapat menarik baik kumbang

betina maupun kumbang jantan.

Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa persentase kumbang betina sampel yang

tertangkap pada ferotrap lebih tinggi daripada kumbang jantan sampel yaitu

59,18 %, sedangkan kumbang jantan 40,82 %. Hal ini sesuai dengan pernyataan

Alow (2007) yang menyatakan bahwa Feromon berperan dalam monitoring

populasi hama sebagai bagian penting dalam pengendalian hama secara terpadu

serta dapat digunakan dalam pengendalian hama yang berwawasan lingkungan.

Penggunaan feromon dalam pengendalian hama O. rhinoceros sudah dilakukan.

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa feromon agregasi sintetik dapat

menangkap kumbang O. rhinoceros betina lebih banyak dibanding kumbang

jantan.

Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa kumbang betina yang paling banyak

tertangkap pada perangkap S1 dan U1 sebanyak 9 ekor, sedangkan jumlah

kumbang betina yang paling sedikit tertangkap terdapat pada perangkap U2

sebanyak 4 ekor. Kumbang jantan yang pling banyak tertangkap terdapat pada

perangkap S1 sebanyak 8 ekor, sedangkan jumlah kumbang jantan yang paling

(48)

Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa lokasi pemasangan perangkap berada di

areal tanaman kelapa sawit (TBM dan TM) dan di areal tanaman karet.

Pemasangan perangkap di areal tanaman karet dilakukan karena areal tanaman

kelapa sawit berdekatan dengan areal tanaman karet. Tujuannya yaitu untuk

mengetahui apakah kumbang sampel yang di lepas dapat menyebar sampai ke

tanaman karet.

6. Persentase kumbang lain yang tertangkap

Hasil pengamatan penangkapan dengan ferotrap menunjukkan perbedaan

Kumbang jantan dan Kumbang betina yang tertangkap. Persentase kumbang

betina dan jantan lain yang tertangkap pada Ferotrap dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Persentase kumbang jantan dan betina lain yang tertangkap pada Ferotrap

Perangkap Kumbang betina Kumbang jantan Total Lokasi

S1 36 26 62 TBM

(49)

Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa selama pengamatan kumbang Oryctes

rhinoceros lain yang didapat dengan menggunakan ferotrap adalah sebanyak 525

ekor, yang terdiri dari 301 ekor betina dan 224 ekor jantan.

Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa persentase kumbang betina lain yang

tertangkap pada ferotrap lebih tinggi daripada kumbang jantan lain yaitu 57,33 %,

sedangkan kumbang jantan 42,67 %. Jumlah kumbang betina paling banyak

tertangkap terdapat pada perangkap S2 sebanyak 41 ekor, sedangkan jumlah

kumbang betina yang paling sedikit tertangkap terdapat pada perangkap U7

sebanyak 12 ekor. Jumlah kumbang jantan yang paling banyak tertangkap

terdapat pada perangkap S1 dan s3 sebanyak 26 ekor, sedangkan jumlah kumbang

jantan yang paling sedikit terdapat pada perangkap U5 dan U7 sebanyak 9 ekor.

Dari hasil pengamatan pada Tabel 6 dapat dilihat jumlah kumbang yang

tertinggi adalah pada perangkap kedua di Arah Selatan yaitu sebanyak 66 ekor,

sedangkan jumlah kumbang yang terendah adalah terdapat pada perangkap

ketujuh di Arah Utara yaitu sebanyak 21 ekor.

Dari hasil pengamatan pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa baik kumbang

betina maupun kumbang jantan dapat tertangkap pada ferotrap. Hal ini terjadi

karena feromon yang digunakan adalah feromon agregasi yang dapat menarik

baik kumbang betina maupun kumbang jantan. Hal ini sesuai dengan pernyataan

Klowden (2002) yang menyatakan bahwa feromon agregasi adalah jenis feromon

yang dikeluarkan untuk menarik serangga jantan maupun betina untuk

berkelompok dan jenis feromon ini juga dapat meningkatkan kemungkinan

(50)

Pada hasil pengamatan pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa jumlah kumbang

yang paling banyak tertangkap adalah di areal TBM sebanyak 62 ekor di

perangkap pertama Arah Selatan dan 66 ekor di perangkap kedua di Arah Selatan.

Hal ini sesuai dengan pernyataan Utomo, dkk (20070 yang menyatakan bahwa

kumbang O. rhinoceros menyerang tanaman kelapa sawit yang baru ditanam di

lapangan sampai berumur 2,5 tahun. Kumbang ini jarang sekali di jumpai

menyerang kelapa sawit yang sudah menghasilkan (TM). Namun demikian,

dengan dilakukannya pemberian mulsa tandan kosong kelapa sawit (TKS) yang

lebih dari satu lapis, maka masalah hama ini sekarang juga dijumpai di areal TM

Dari hasil pengamatan yang didapat diketahui bahwa Oryctes rhinoceros

lebih banyak tertangkap pada areal tanaman belum menghasilkan (TBM) daripada

tanaman menghasilkan (TM). Dalam PPKS (2004) yang menyatakan bahwa areal

TBM menjadi sasaran utama hama O. rhinoceros dengan pelepah-pelepah muda

(51)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Angin, kelembaban dan curah hujan merupakan faktor lingkungan yang

mempengaruhi penyebaran serangga.

2. Persentase jumlah kumbang sampel yang tertangkap pada Arah Selatan yaitu

sebesar 53.33 %. Persentase kumbang lain yang tertangkap pada Arah Selatan

sebesar 20 %, sedangkan di Arah Utara 17 %.

3. Jumlah kumbang sampel yang tertangkap tertinggi pada perangkap pertama di

Arah Selatan yaitu sebanyak 17 ekor, dan terendah pada perangkap kedua di

Arah Utara yaitu sebanyak 7 ekor.

4. Jumlah kumbang lain yang tertinggi adalah pada perangkap kedua di Arah

Selatan yaitu sebanyak 66 ekor, dan terendah pada perangkap ketujuh di Arah

Utara yaitu sebanyak 21 ekor.

5. Persentase kumbang betina sampel lebih tinggi daripada kumbang jantan

sampel yaitu 59,18 %, sedangkan kumbang jantan 40,782 %.

6. Persentase kumbang betina lain lebih tinggi daripada kumbang jantan lain

yaitu 57,33 %, sedangkan kumbang jantan 42,67 %.

Saran

Sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan di musim yang berbeda untuk

(52)

DAFTAR PUSTAKA

Alouw, J. C . 2007. Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae) Pheromone and its Use to Control Coconut Beetle, Oryctes rhinoceros (Coleoptera : Scarabaeidae). Indonesian Coconut and Other Palmae Research Institute.

APCC 2006. Coconut Integrated Pest Management. Annual report. APCC. Jakarta.195 p.

Arantha, 2010. Serangga Hama Tanaman.

Asri, 2010. Hama pada Tanaman Kelapa Sawit.

Balitka, 1989. Pengendalian kumbang Kelapa secara Terpadu. Badan litbang, Balika, FAO/UNDP, Dirjenbun, Direktorat Perlintan. 29 pp

Direktorat Perlindungan Perkebunan. 2008. Pemanfaatan Musuh Alami Untuk

Mengendalikan Kumbang Nyiur. http://ditjenbun.deptan.go.id (Diakses Tanggal 28 Januari 2010).

Fauzi, Y., yustina, E. W., Iman, S dan Rudi. 2002. Kelapa Sawit. Edisi revisi. Penebar Swadaya, Jakarta.

Gallangher, D. K dan S. Lilies, Ch., 1991. Metode Ekologi Lapangan. Program Nasional Pelatihan dan Pengembangan Pengendalian Hama Terpadu, Jakarta.

Kalshoven, L.G.E. 1981. The Pest of Crop In Indonesia. P.A. Van Der Laan. PT. Ichtiar Baru-Van Hoeve.Jakarta.

Kamarudin, N., M. Basri, W., dan Ramle, M., 2005. Environmental Factors affecting the population Density of Oryctes rhinoceros in a Zero-Burn Oil Palm Replant. Journal of Oil Palm Research.17:53-63

Lubis, A.U., 1992. Kelapa Sawit di Indonesia. Pusat Penelitian Perkebunan Marihat. Pematang Siantar.

(53)

Michael, P., 1995. Metode Ekologi Untuk Penyelidikan Ladang dan Laboratorium. Terjemahan Yanti R. Koester. Universitas Indonesia Press, Jakarta.

Mohan, C., 2006. The association for tropical biology and Conservation Ecology of The Coconut Rhinoceros Beetle (Oryctes rhinoceros L.). http//www.linkjstor.org (Diakses Tanggal 30 Januari 2010).

PPKS, 1996. Pengendalian Baru Kumbang Tanduk dengan Feromon, Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Medan

_____, 2004. Budidaya Kelapa Sawit. Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Medan

_____, 2010. Pengendalian Oryctes rhinoceros yang Ramah Lingkungan

Menggunakan Feromonas dan Metari.

2010)

Pasaribu, H., R. D. de Chenon. 2005. Strategi Pengendalian Hama Oryctes rhinoceros di PT. Tolan Tiga Indonesia (SIPEF GROUP). Dalam Prosiding Pertemuan Teknis Kelapa Sawit 2005. Pemeliharaan Kesehatan Tanaman Kelapa Sawit melalui pengendalian terkini hama, penyakit dan Gulma serta Aplikasi Pemupukan. Yogyakarta, 13-14 September 2005. Hal 106.

Piggott, 1964. coconut growing. Oxford university press. london

Pracaya. 2009. Hama dan Penyakit Tanaman.Penebar Swadaya.Jakarta

Prawirosukarto, S., Y.P. Roerrha, U. Condro dan Susanto. 2003. Pengenalan dan Pengendalian Hama Penyakit Tanaman Kelapa Sawit. PPKS, Medan

Rahayuwati, S., R. D de Chenon dan Sudharto ps. 2002. sistem Reproduksi Betina Oryctes rhinoceros (Coleoptera:Scarabaeidae) dari Berbagai Populasi Berbeda di Perkebunan Kelapa sawit. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit. 10(1):11-22.

Riostone, 2010. Kumbang Kelapa Oryctes rhinoceros.http://riostones.blogspot.com/2009/08/kumbang-kelapa-oryctes-rhinoceros(Diakses Tanggal 13 Februari 2010).

Roelofs, W. L., 1978. Chemical Control of Insect by Pheromones. In Rockstein, M., 1978. Biochemistry of Insect (edt). Acad Press, New York.Hal:419-464

(54)

Schowalter, T, D., 1996. Insect Ecology an Ecosystem Approach. Academic Press, New York.

Setyamidjaja, D., 1991. Bertanam Kelapa hibrida. Kanisius, Yogyakarta

Subiyakto dan Achmad, S., 1991. Kunci Determinasi serangga. Kanisius, Yogyakarta.

Sudjana, 1983. Teknik Analisis Regresi dan Korelasi. Tarsito, Bandung

Suhardiyono, 1991., Tanaman Kelapa. Kanisius, Yogyakarta.

Susanto, A., A.P. Dongoran., Fahridayanti., A.F. Lubis., dan A. Prasertyo. 2005. Pengurangan Populasi Larva Oryctes rhinoceros pada Sistem Lubang Tanam besar. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit. 13(1):1-9.

Tarumingkeng, R. C., 1994. Dinamika Populasi: Kajian Ekologi Kuantitatif. Pustaka Sinar Harapan dan Universitas Kristen Krida Wacana, Jakarta.

(55)

Regression

Variables Entered/Removedb

Model Variables Entered Variables Removed

a.All requested variables entered b. Dependent variable : Utara (200m)

Model Summaryb

(56)

Coefficientsa

a. Dependent Variable ; Utara (200 m)

Residuals Statisticsa

(57)

Regression

Variables Entered/Removedb

Model Variables Entered Variables Removed

a.All requested variables entered b. Dependent variable : Utara (400m)

Model Summaryb

(58)

Coefficientsa

a. Dependent Variable : Utara (400 m)

Residuals Statisticsa

(59)

Regression

Variables Entered/Removedb

Model Variables Entered Variables Removed

a.All requested variables entered b. Dependent variable : Selatan (200m)

Model Summaryb

(60)

Coefficientsa

a. Dependent Variable : Selatan (200 m)

Residuals Statisticsa

(61)

Regression

Variables Entered/Removedb

Model Variables Entered Variables Removed

a.All requested variables entered b. Dependent variable : Selatan (400m)

Model Summaryb

(62)

Coefficientsa

a. Dependent Variable : Selatan (400 m)

Residuals Statisticsa

(63)

PETA LOKASI PENELITIAN

(64)

Plank Penelitian

Ferotrap

Kegiatan Penelitian

(65)
(66)

Gambar

Gambar 1. Telur Oryctes rhinoceros Sumber : Foto Langsung
Gambar 2. Larva Oryctes rhinoceros Sumber : Foto Langsung
Gambar 3. Pupa Oryctes rhinoceros Sumber : Foto Langsung
Gambar 4. Imago Oryctes rhinoceros Sumber : Foto Langsung
+7

Referensi

Dokumen terkait