KAJIAN KEMAMPUAN MENYEBAR KUMBANG TANDUK
(Oryctes rhinoceros L.) BERDASARKAN ARAH MATA ANGIN
(UTARA-SELATAN) PADA AREAL PERTANAMAN KELAPA
SAWIT (Elais guinensis Jacq.)
SKRIPSI
OLEH
DEWI HANDAYANI S 060302025
HPT
DEPARTEMEN ILMU HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
KAJIAN KEMAMPUAN MENYEBAR KUMBANG TANDUK
(Oryctes rhinoceros L.) BERDASARKAN ARAH MATA ANGIN
(UTARA-SELATAN) PADA AREAL PERTANAMAN KELAPA
SAWIT (Elais guinensis Jacq.)
SKRIPSI
OLEH
DEWI HANDAYANI S. 060302025
HPT
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Dapat Memperoleh Gelar Sarjana
Di Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara
Disetujui Oleh Komisi Pembimbing
Ir. Mena uly Tarigan, MS
Ketua Anggota
Ir. Marheni, MP
DEPARTEMEN ILMU HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
ABSTRACT
Dewi Handayani Sinulingga, "Dispersing Capabilities Study Horn Beetle
(Oryctes rhinoceros L.) Based Eye Direction Wind (North-South) on oil palm plantation area (Elais guinensis Jacq.)" Under the guidance of Mena Uly Tarigan and Marheni. Oryctes rhinoceros is a pest of oil palm plantations are mostly found in areas of immature (TBM). This study aims to determine the spread of Oryctes rhinoceros in immature (TBM) that uses cover crops Mucuna bracteata. The experiment was conducted in Afdeling VII Kebun Rambutan, starting in July-September 2010. The study uses the relationship between correlation and regression to the direction of north and south the realase beetle.
ABSTRAK
Dewi Handayani Sinulingga, “Kajian Kemampuan Menyebar Kumbang
Tanduk (Oryctes rhinoceros L.) Berdasarkan Arah Mata angin (Utara-Selatan) pada Areal Pertanaman Kelapa Sawit (Elais guinensis Jacq.)” di bawah bimbingan Mena Uly Tarigan dan Marheni. Oryctes rhinoceros merupakan hama tanaman kelapa sawit yang banyak menyerang di areal tanaman belum menghasilkan (TBM. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penyebaran Oryctes rhinoceros pada tanaman belum menghasilkan (TBM) yang menggunakan tanaman penutup tanah Mucuna bracteata. Penelitian dilaksanakan di afdeling VII Kebun Rambutan, mulai bulan Juli-September 2010. Penelitian ini menggunakan hubungan antara korelasi dan regresi dengan arah pelepsan kumbang utara dan selatan.
RIWAYAT HIDUP
Dewi Handayani Sinulingga lahir pada tanggal 14 Januari 1988 di Desa
Lingga dari Ayahanda T. Sinulingga dan Ibunda L. br Ujung. Penulis merupakan
anak pertama dari empat bersaudara.
Pendidikan yang telah ditempuh penulis adalah sebagai berikut:
- Lulus dari Sekolah Dasar Negeri No 033915 Pasi, Sidikalang pada tahun 2000
- Lulus dari MTsN Kabanjahe pada tahun 2003.
- Lulus dari SMA Negeri 2 Kabanjahe pada tahun 2006.
- Pada tahun 2006 diterima di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara
Medan, Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan melalui jalur PMDK.
Penulis pernah aktif dalam organisasi kemahasiswaan yaitu menjadi
anggota IMAPTAN (Ikatan Mahasiswa Perlindungan Tanaman) tahun 2006-2010,
menjadi anggota KOMUS HPT (Komunikasi Muslim HPT), menjadi Asisten
Dasar Perlindungan Tanaman tahun 2007/2008, 2008/2009, 2009/2010, menjadi
asisten Dasar Perlindungan Hutan 2008/2009, menjadi asisten Mikrobiologi
Pertanian 2008/2009, pernah mengikuti Seminar Ilmiah dengan tema “Dengan
Pertanian Berkelanjutan Kita Wariskan Kehidupan Berwawasan Lingkungan” dan
Seminar “Peringatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional”. Penulis melakukan
Praktek Kerja Lapangan (PKL) di PTPN III Afdeling VII Kebun Rambutan,
Kabupaten Serdang Bedagai pada tahun 2010 dan melaksanakan penelitian skripsi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan rahmat-Nya sehingga Penulis dapat meyelesaikan skripsi ini dengan
baik.
Skripsi ini berjudul, ‘ Kajian Kemampuan Menyebar Kumbang
Tanduk (Oryctes rhinoceros L.) pada Areal Pertanaman Kelapa Sawit (Elais guinensis Jacq.)’, merupakan salah satu syarat untuk dapat memperoleh
gelar sarjana di Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara, Medan.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada komisi pembimbing
Ir. Mena Uly Tarigan, MS selaku Ketua dan Ir. Marheni, MP selaku Anggota
yang telah memberikan bimbingan dan saran dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk
itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi
kesempurnaan skripsi ini.
Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih.
Medan, November 2010
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR... viii
DAFTAR LAMPIRAN... ix
Gejala Serangan Kumbang Tanduk O.rinoceros………... 10
Metode Pengendalian... 13
Perangkap Feromon (ethyl -4 methyloctanoate)... 15
Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Penyebaran Serangga... 16
HASIL DAN PEMBAHASAN
Faktor yang mempengaruhi penyebaran serangga pada
setiap jarak Pelepasan………... 28 Korelasi antara Jumlah Serangga yang Tertangkap dengan Jarak Ferotrap (Selatan)... 29 Korelasi antara Jumlah Serangga yang Tertangkap dengan Jarak Ferotrap (Utara)……… 30 Persentase kumbang sampel yang tertangkap……… 31 Persentase Kumbang Betina dan Jantan Sampel yang Tertangkap……… 33 Persentase kumbang lain yang tertangkap... 35
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan……… 38 Saran………. 38
DAFTAR TABEL
No. Keterangan Hlm.
1. Faktor yang mempengaruhi penyebaran kumbang 28 setiap jarak pelepasan
2. Korelasi antara jumlah serangga dengan jarak ferotrap 29 di arah selatan
3. Korelasi antara jumlah serangga dengan jarak ferotrap 30 di arah selatan
4. Persentase kumbang sampel yang tertangkap 31 5. Persentase kumbang sample betina dan jantan yang 33
tertangkap pada Ferotrap
DAFTAR GAMBAR
No. Keterangan Hlm.
1. Gambar 1. Telur Oryctes rhinoceros 7
2. Gambar 2. Larva Oryctes rhinoceros 8
3. Gambar 3. Pupa Oryctes rhinoceros 9
4. Gambar 4. Imago Oryctes rhinoceros 10
5. Gambar 5. Gejala Serangan Oryctes rhinoceros 12
6. Gambar 6. Ferotrap di Lapangan 16
7. Gambar 7. Periringan Serangga 24
8. Gambar 7. Perangkap Feromon 25
9. Gambar 8. Denah Lokasi Pemasangan Perangkap 26
DAFTAR LAMPIRAN
No. Keterangan Hlm.
1. Denah Lokasi Pemasangan Perangkap dan pelepasan kumbang 38
2. Peta Lokasi Kajian Penelitian 39
3. Data Penelitian 40
4. Korelasi Jumlah kumbang yang Tertangkap dengan Arah 42 Penyebaran Kumbang (Selatan)
5. Korelasi Jumlah kumbang yang Tertangkap dengan Arah 42 Penyebaran Kumbang (Utara)
6.
Hubungan antara Faktor Lingkungan dengan Jumlah kumbang 43 yang Tertangkap pada Arah Utara (200m)7.
Hubungan antara Faktor Lingkungan dengan Jumlah kumbang 45 yang Tertangkap pada Arah Utara (400m)8.
Hubungan antara Faktor Lingkungan dengan Jumlah kumbang 47 yang Tertangkap pada Arah Selatan (200m)9. Hubungan antara Faktor Lingkungan dengan Jumlah kumbang 49 yang Tertangkap pada Arah Selatan (400m)
10.
Plank Penelitian 5111.
Ferotrap 5112. Kegiatan Penelitian 51
ABSTRACT
Dewi Handayani Sinulingga, "Dispersing Capabilities Study Horn Beetle
(Oryctes rhinoceros L.) Based Eye Direction Wind (North-South) on oil palm plantation area (Elais guinensis Jacq.)" Under the guidance of Mena Uly Tarigan and Marheni. Oryctes rhinoceros is a pest of oil palm plantations are mostly found in areas of immature (TBM). This study aims to determine the spread of Oryctes rhinoceros in immature (TBM) that uses cover crops Mucuna bracteata. The experiment was conducted in Afdeling VII Kebun Rambutan, starting in July-September 2010. The study uses the relationship between correlation and regression to the direction of north and south the realase beetle.
ABSTRAK
Dewi Handayani Sinulingga, “Kajian Kemampuan Menyebar Kumbang
Tanduk (Oryctes rhinoceros L.) Berdasarkan Arah Mata angin (Utara-Selatan) pada Areal Pertanaman Kelapa Sawit (Elais guinensis Jacq.)” di bawah bimbingan Mena Uly Tarigan dan Marheni. Oryctes rhinoceros merupakan hama tanaman kelapa sawit yang banyak menyerang di areal tanaman belum menghasilkan (TBM. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penyebaran Oryctes rhinoceros pada tanaman belum menghasilkan (TBM) yang menggunakan tanaman penutup tanah Mucuna bracteata. Penelitian dilaksanakan di afdeling VII Kebun Rambutan, mulai bulan Juli-September 2010. Penelitian ini menggunakan hubungan antara korelasi dan regresi dengan arah pelepsan kumbang utara dan selatan.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tanaman kelapa sawit (Elaeis guinensis Jacg) berasal dari Nigeria, Afrika
Barat. Meskipun demikian, ada yang menyatakan bahwa kelapa sawit berasal dari
Amerika selatan yaitu Brazil kerena lebih banyak ditemukan spesies kelapa sawit
di hutan Brazil jika dibandingkan dengan di Afrika. Pada kenyataanya tanaman
kelapa sawit hidup subur diluar daerahnya, seperti Malaysia, Indonesia, Thailand
dan Papua nugini. Bahkan mampu memberikan hasil produksi perhektar yang
lebih tinggi (Fauji dkk, 2005).
Sejarah dari budidaya kelapa sawit di Indonesia telah lama berlangsung
lebih dari 150 tahun. Budidaya kelapa sawit saat ini menghadapi masalah yang
cukup pelik yaitu adanya gangguan hama dan penyakit. Oryctes rhinoceros
merupakan hama utama yang menyerang kelapa sawit dan sangat merugikan
khususnya di areal replanting yang saat ini sedang dilakukan secara besar-besaran
di Indonesia. Hal ini disebabkan di areal replanting kelapa sawit banyak tumpukan
bahan organik yang sedang mengalami proses pembusukan sebagai tempat
berkembang biak hama ini (PPKS, 2010).
Kelapa sawit merupakan salah satu komoditi ekspor non migas yang
terpenting dan memiliki kontribusi yang nyata dalam lingkup regionalmaupun
nasional untuk memacuh pertumbuhan ekonomi. Minyak kelapa sawit (crude
palm oil) digunakan untuk berbagai keperluan antar lain untuk sebagai bahan
merupakan produk pertanian yang memiliki prospek yang cerah dimasa yang akan
datang (Lubis,1992).
Kumbang tanduk (Oryctes rhinoceros) dikenal sebagai hama yang
menyerang hampir di seluruh pertanaman kelapa di Indonesia dan merupakan
salah satu hama yang paling merusak (Mahmud, 1990). Di Indonesia kerugian
yang ditimbulkan akibat serangan kumbang Oryctes sp. cukup tinggi. Di Jawa
saja diduga kehilangan produksi per tahun berkisar 10-20 milyar rupiah
(Direktorat Jendral Perkebunan, 2008).
Kumbang tanduk Oryctes rhinoceros merupakan hama utama pertanaman
kelapa sawit muda, terutama pertanaman ulang di areal yang sebelumnya
terserang berat, tanaman dapat mati. Jika dapat bertahan, maka daya hasil tanaman
menurun bahkan saat awal produksinya tertunda (Asri, 2010). Masalah kumbang
tanduk saat ini semakin bertambah dengan adanya aplikasi tandan kosong di
gawangan maupun pada sistem lubang tanam besar (Susanto, dkk, 2005).
Kumbang O. rhinoceros menyerang tanaman kelapa sawit yang baru
ditanam di lapangan sampai berumur 2,5 tahun. Kumbang ini jarang sekali di
jumpai menyerang kelapa sawit yang sudah menghasilkan (TM). Namun
demikian, dengan dilakukannya pemberian mulsa tandan kosong kelapa sawit
(TKS) yang lebih dari satu lapis, maka masalah hama ini sekarang juga dijumpai
di areal TM (Utomo, dkk, 2007).
Areal TBM menjadi sasaran utama hama O. rhinoceros dengan
pelepah-pelepah muda yang mengering diantara daun-daun tua yang masih hijau
(PPKS, 2004). Imago menggerek terutama bagian sisi batang pada pangkal
menyerang pelepah pertama pada mahkota dengan memakan jaringan tanaman
yang masih muda sehingga pertumbuhan pelepah baru akan terganggu bentuknya
dan mengganggu proses fotosintesis (PPKS, 1996).
Kumbang O. rhinoceros jantan dan betina yang menggerek selalu
berpindah-pindah dari pohon yang satu ke pohon sekitarnya sehingga
menyebabkan serangan semakin meluas (Direktorat Jendral Perkebunan, 2008).
Biasanya serangan kumbang O. rhinoceros akan diikuti oleh kumbang
R. ferrugineus atau bakteri ataupun cendawan, sehingga terjadi pembusukan yang
berkelanjutan. Keadaan seperti ini tanaman mungkin menjadi mati atau terus
hidup dengan gejala pertumbuhan yang tidak normal (PPKS, 2004).
Kumbang terbang dari tempat persembunyiannya menjelang senja sampai
agak malam (sampai dengan pukul 21.00 wib), dan jarang dijumpai pada waktu
larut malam. Dari pengalaman diketahui, bahwa kumbang banyak menyerang
kelapa pada malam sebelum turun hujan. Keadaan tersebut ternyata merangsang
kumbang untuk keluar dari persembunyiannya (PPKS, 2004). Pada kelapa sawit
yang ditanam pada tahun-tahun pertama, seekor kumbang tanduk meyerang
sebatang pohon selama 4-6 hari sebelum ia pindah menyerang pohon lain.
Akibatnya walaupun populasi yang kecil saja, tetapi populasi itu dapat
menyebabkan kerusakan besar pada kelapa sawit (PPKS, 1996).
Setiap hama mempunyai musuh alami yang dapat berupa parasit, predator
(pemangsa) atau penyakit. Kalau musuh-musuh alami ini tidak cukup banyak,
maka hama akan mudah berkembang biak (Mahmud, 1990). O. rhinoceros dapat
penggunaan pestisida atau dengan biologi yaitu penggunaan
Metharizium anisopliae dan Baculovirus oryctes (PPKS, 2004).
Feromon berperan dalam monitoring populasi hama sebagai bagian
penting dalam pengendalian hama secara terpadu serta dapat digunakan dalam
pengendalian hama yang berwawasan lingkungan. Penggunaan feromon dalam
pengendalian hama O. rhinoceros sudah dilakukan. Beberapa hasil penelitian
menunjukkan bahwa feromon agregasi sintetik dapat menangkap kumbang O.
rhinoceros betina lebih banyak dibanding kumbang jantan (Alouw, 2007).
Pola penyebaran dan kepadatan serangga di suatu tempat akan
berbeda-beda. Penyebaran dan kepadatan serangga dapat dipengaruhi oleh banyak
sedikitnya populasi serangga, perilaku serangga dan tempat hidup (habitat)
(Gallangher dan lilies, 1991).
Penyebaran hewan dan tumbuhan di alam ini bukanlah terjadi secara
kebetulan namun sebagai hasil interaksi dari pengaruh faktor-faktor lingkungan
terhadapnya. Sebaran geografis suatu organisme antara lain dibatasi oleh
faktor-faktor fisik yaitu suhu, kelembaban udara, cahaya dan tersedianya air
(Ysvina, 2010).
Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian tentang Daya jelajah Oryctes rhinoceros L. pada tanaman belum
Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui penyebaran Oryctes rhinoceros pada areal pertanaman
kelapa sawit (Elaeis guinensis jacq.)
Hipotesis Penelitian
1. Diduga adanya perbedaan kumbang O. rhinoceros yang betina dan jantan yang
tertangkap.
2. Diduga adanya hubungan antara pengaruh faktor lingkungan terhadap
penyebaran Oryctes rhinoceros.
3. Diduga adanya hubungan antara penyebaran O. rhinoceros dengan keadaan
areal pertanaman.
Kegunaan Penelitian
• Sebagai salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar sarjana di Departemen
Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara,
Medan
TINJAUAN PUSTAKA
Biologi Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros L.)
Sistematika kumbang tanduk menurut Kalshoven (1981) adalah sebagai
berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insekta
Ordo : Coleoptera
Famili : scarabaeidae
Genus : Oryctes
Spesies : Oryctes rhinoceros L.
Siklus hidup kumbang tanduk bervariasi tergantung pada habitat dan
kondisi lingkungannya. Musim kemarau yang panjang dengan jumlah makanan
yang sedikit akan memperlambat perkembangan larva serta ukuran dewasa yang
lebih kecil dari ukuran normal. Suhu perkembangan larva yang sesuai adalah
27°C-29°C dengan kelembaban relatif 85-95%. Satu siklus hidup hama ini dari
telur sampai dewasa sekitar 6-9 bulan (Riostone, 2010).
Telur
Kumbang badak betina bertelur di tempat sampah, daun-daunan yang telah
membusuk, pupuk kandang serta batang kelapa yang telah membusuk. Jumlah
telurnya 30-70 butir atau lebih. Setelah sekitar 12 hari telur akan menetas
Telur berbentuk bulat-lonjong, berwarna putih, berukuran paanjang 3 mm
dan lebar 3 mm. Seekor kumbang betina bertelur 35-70 butir. Biasanya telur
dijumpai pada sampah-sampah yang sedang membusuk, juga pada pohon kelapa
yang mempunyai bekas luka yang sedang membusuk. Stadium telur lamanya ± 12
hari (Setyamidjaja, 1991).
Telur serangga ini berwarna putih, bentuknya mula-mula oval, kemudian
bulat dengan diameter kurang lebih 3 mm. Telur-telur ini diletakkan oleh serangga
betina pada tempat yang baik dan aman (misalnya dalam pohon kelapa yang
melapuk). Setelah dua minggu telur-telur ini akan menetas. Rata-rata fekunditas
seekor serangga betina berkisar antara 49-61 butir telur, sedangkan di Australia
berkisar 51 butir telur, bahkan dapat mencapai 70 butir. Stadium telur berkisar
antara 11-13 hari, rata-rata 12 hari (Kalshoven, 1981).
Gambar 1. Telur Oryctes rhinoceros Sumber : Foto Langsung
Larva
Periode larva 2.5-6 bulan (tergantung temperatur dan kelembaban).
Setelah dewasa larva akan berhenti makan, kemudian akan mencari tempat
terlindung yang dingin dan lembab untuk persiapan membentuk pupa
Dalam penelitian tentang sensor fisiologi seperti suhu, larva O. rhinoceros
tertarik pda suhu 27-29 ºC dan menghindari suhu yang lebih rendah. Tingkah laku
larva didominasi oleh faktor cahaya, larva bergerak dipengaruhi oleh cahaya yang
muncul secara tiba-tiba. Di lingkungan alami, jika larva ditempatkan pada
permukaan medium perkembangbiakan larva akan cepat bergerak turun menjauhi
cahaya, larva bergerak mengikuti phototaksis negatif, kemungkinan hal ini
merupakan adaptasi untuk menghindar dari pemangsa. Larva tertarik pada
kelembaban yang rendah (85-95%) daripada kelembaban tinggi. Mekanisme ini
dapat berjalan tunggal atau kombinasi untuk menuntun larva keluar dari kondisi
lingkungan yang tidak menguntungkan untuk pertumbuhan atau perkembangan
(Riostone, 2010).
Gambar 2. Larva Oryctes rhinoceros Sumber : Foto Langsung
Pupa
Ketika akan membentuk pupa, larva meninggalkan sampah dan bergerak
ke pinggir atau dasar dari tumpukan sampah dan larva lebih menyukai membentuk
kokon di dalam tanah yang lembab, pada kedalaman sekitar 30 cm. Larva dapat
Ukuran pupa lebih kecil dari larvanya, kerdil, bertanduk dan berwarna
merah kecoklatan dengan panjang 5-8 cm yang terbungkus kokon dari tanah yang
berwarna kuning. Stadia ini terdiri atas 2 fase: Fase I : selama 1 bulan, merupakan
perubahan bentuk dari larva ke pupa. Fase II : lamanya 3 minggu, merupakan
perubahan bentuk dari pupa menjadi imago dan masih berdiam dalam kokon
(Riostone, 2010).
Gambar 3. Pupa Oryctes rhinoceros Sumber : Foto Langsung
Imago
Kumbang ini berwarna coklat tua mengilap. Panjangnya bisa mencapai
± 5-6 cm. Kumbang yang muncul akan mulai beterbangan pada waktu senja atau
malam hari menuju mahkota daun tanaman kelapa dan ujung batang
(Pracaya, 2009). Kumbang tinggal dalam terowongan ± 1 minggu. Bila cukup
makanan, jarak terbangnya dekat. Bila kurang makanan, jarak terbangnya bisa
mencapai ± 10 km (Rukmana, 1997).
Imago berwarna hitam, ukuran tubuh 35-45 mm, sedangkan menurut
Mohan (2006), imago Oryctes rhinoceros mempunyai panjang 30-57 mm dan
lebar 14-21 mm, imago jantan lebih kecil dari imago betina. Oryctes rhinoceros
jantan tidak berbulu. O.rhinoceros dapat terbang sampai sejauh 9 km. Imago aktif
pada malam hari untuk mencari makanan dan mencari pasangan untuk
berkembang biak (Prawirosukarto dkk., 2003 dan Mohan, 2006).
Kumbang Oryctes rhinoceros warnanya hitam, permukaan bagian bawah
badannya berwarana hitam kecoklatan, panjang tubuh 34- 45 mm dan lebarnya 20
mm. Culanya yang terdapat pada kepala menjadi ciri khas kumbang ini . Cula
kumbang jantan lebih panjang dari cula kumbang betina. Selain itu kumbang ini
mempunyai mandible yang kuat dan cocok untuk melubangi pohon (Borror,1976).
Kumbang dewasa betina dapat hidup sampai 274 hari, sedangkan kumbang
dewasa jantan dapat hidup sampai 192 hari (PPKS, 2010).
Gambar 4. Imago Oryctes rhinoceros Sumber : Foto Langsung
Gejala Serangan
Pada tanaman muda kumbang tanduk ini mulai menggerek dari bagian
samping bonggol pada ketiak pelepah terbawah, langsung ke arah titik tumbuh
Apabila gerekan sampai ke titik tumbuh, kemungkinan tanaman akan mati. Pucuk
kelapa sawit yang terserang, apabila nantinya membuka pelepah daunnya akan
kelihatan seperti kipas atau bentuk lain yang tidak normal atau berbentuk segitiga
atau seperti huruf V (Prawirosukarto dkk., 2003).
Pada pohon kelapa mempunyai ciri kerusakan yang khas yaitu daun
sebagian hilang dan bila membuka daun kelapa nampak berbentuk seperti
kipas/ada deretan lubang-lubang besar di daun. Bagian yang dirusak hama ini
biasanya akan digunakan oleh hama lain untuk menyerang tanaman yang sama,
sehingga kerusakan menjadi lebih berat. Jadi kumbang badak sering sebagai
pembuka jalan bagi hama lain (Subyanto, 1991).
Pada tanaman yang berumur antara 0-1 tahun, kumbang dewasa (baik
jantan maupun betina) melubangi bagian pangkal yang dapat mengakibatkan
kematian titik tumbug atau terpuntirnya pelepah daun yang dirusak. Pada tanaman
dewasa kumbang dewasa akan melubangi pelepah termuda yang belum terbuka.
Jika yang dirusak adalah pelepah daun yang termuda (janur) maka ciri khas bekas
kerusakannya adalah janur seperti digunting berbentuk segitiga. Stadium hama
yang berbahaya adalah stadium imago (dewasa) yang berupa kumbang
(Suhardiyono, 1995).
Serangga dewasa dapat menyebabkan kerusakan dengan melubangi
pangkal daun tombak dan jaringan leher akar, pohon muda akan mati jika titik
tumbuhnya dirusak, kerusakan pada daun tombak biasanya mengakibatkan
malformasi. Serangan yang berulang-ulang akan menyebabkan pertumbuhan
terhambat dan saat menjadi dewasa menjadi terlambat. Masa paling kritis adalah
terhadap serangan Oryctes rhinoceros jika kanopi telah saling menutup. Pada
tanaman menghasilkan jarang menimbulkan masalah
(http://membangunkebunkelapasawit.webs.com).
Imago menggerek bagian pangkal daun pucuk bahkan sampai ke titik
tumbuh sehingga daun yang keluar menjadi lebih pendek, patah dan bentuknya
berubah. Imago menggerek untuk mendapatkan cairan dari jaringan bekas
gereken. Setelah menggerek, imago betina menuju tempat yang cocok untuk
meletakkan telur yaitu pada bahan material yang baru mulai membusuk. Imago
jantan hanya mengikuti imago betina menuju ke lubang makan
(Rahayuwati, dkk, 2002).
Kumbang dewasa terbang ketajuk kelapa pada malam hari dan mulai
bergerak ke dalam bagian dalam melalui salah satu ketiak pelepah daun yang
paling atas. Kumbang merusak pelepah daun yang belum terbuka dan dapat
menyebabkan pelepah patah. Kerusakan pada tanaman baru terlihat jelas setelah
daun membuka 1-2 bulan kemudian berupa guntingan segitiga seperti huruf V.
Gejala ini merupakan ciri khas serangan kumbang O. rhinoceros
(Direktorat Jendral Perkebunan, 2008).
Tunas tanaman di pembibitan menjadi kering karena gerekan dibagian
pangkalnya. Areal TBM menjadi sasaran utama serangan hama dengan
pelepah-pelepah muda yang mengering diantara daun-daun tua yang masih hijau. Adanya
lubang bekas gerekan kumbang pada bagian pangkal pelepah muda tanaman.
Pelepah daun terlihat terpuntir sehingga posisinya tampak tidak beraturan
Gambar 5. Gejala serangan pada Tanaman Belum Menghasilkan
Sumber: Foto Langsung
Metode Pengendalian
Kumbang badak tidak bisa terbang jauh, kisaran penerbangan 200 yard
dari tempat pembibitan. Metode pengendalian adalah berburu pada tempat-tempat
pembiakan, membunuh kumbang dalam tahap muda, larva, kemudian pastikan
bahwa tidak ada kumbang lain yang dapat berkembang biak di sana. Kumbang
betina bertelur pada semua jenis vegetasi yang membusuk, pupuk kandang,
kompos, dan terutama di batang kelapa mati (Piggot, 1964).
Pengendalian biasanya dilakukan dengan menangkap kumbang setiap hari
atau aplikasi insektisida setiap minggu. Biaya operaional teknik ini sangat tinggi.
Sebagai alternatif, daya tarik ethyl 4-metyloctanoate, komponen utama feromon
O. rhinoceros terhadap kumbang ini telah di uji (Asri, 2010).
Upaya terkini dalam mengendalikan kumbang tanduk adalah penggunaan
perangkap feromon. PPKS saat ini telah berhasil mensintesa feromon agregat
(dengan nama dagang Feromonas) untuk menarik kumbang jantan maupun betina.
perangkap massal. Pemerangkapan kumbang O. rhinoceros dengan menggunakan
ferotrap terdiri atas satu kantong feromon sintetik (PPKS, 2010).
Pengendalian O. Rhinoceros pada saat telah terjadi serangan di tanaman
belum menghasilkan (TBM) dapat dilakukan dengan cara menggunakan feromon.
Feromon diletakkan pada posisi di pinggiran seluruh areal tanaman baru atau
tanaman muda., sehingga O.rhinoceros yang ada di dalam areal akan berpindah ke
pinggiran areal tempat feromon dipasang. Sementara untuk serangan O.rhinoceros
dari luar areal TBM akan tertahan juga pada pinggiran areal (Pasaribu, 2005).
Penggunaan feromon dapat menurunkan populasi O. rhinoceros di
lapangan, 5-27 ekor kumbang per hektar dapat terperangkap setiap bulan
(APCC, 2006). Kumbang O. rhinoceros berbahaya pada tanaman kelapa, lima
ekor kumbang (dalam tahap makan) per hektar dapat mematikan setengah dari
tanaman yang baru ditanam (Balitka, 1989). Oleh sebab itu penggunaan feromon
dapat menyelamatkan tanaman kelapa dari ancaman kehilangan produksi bahkan
kematian tanaman. Penggunaan perangkap feromon dapat menurunkan populasi
hama dan tingkat kerusakan hama sampai batas tidak merugikan serta
menurunkan penggunaan insektisida dan kerusakan lingkungan (Roelofs, 1978).
Di samping itu, feromon dapat digunakan untuk mengevaluasi keberhasilan
penggunaan virus di lokasi-lokasi pelepasan virus untuk mengendalikan O.
rhinoceros (APCC, 2006).
Upaya terkini dalam mengendalikan kumbang tanduk adalah penggunaan
perangkap feromon. PPKS saat ini telah berhasil mensintesa feromon agregat
(dengan nama dagang Feromonas) untuk menarik kumbang jantan maupun betina.
perangkap massal. Pemerangkapan kumbang O. rhinoceros dengan menggunakan
ferotrap terdiri atas satu kantong feromon sintetik (PPKS, 2009). Pengendalian
dengan menggunakan feromon untuk mengendalikan populasi hama O.
rhinoceros sudah dilakukan oleh beberapa negara antara lain Filipina, Malaysia,
Srilanka, India, Thailand dan Indonesia (APCC 2005a, 2005b). Hal ini dilakukan
mengingat O. rhinoceros adalah hama yang berbahaya baik pada tanaman kelapa
yang masih di pembibitan sampai tanaman dewasa (Singh and Rethinam, 2005).
Perangkap Feromon (etil-4 metil oktanoate)
Feromon adalah substansi kimia yang dilepaskan oleh suatu organisme ke
lingkungannya yang memampukan organisme tersebut mengadakan komunikasi
secara intraspesifik dengan individu lain. Feromon bermanfaat dalam monitoring
populasi maupun pengendalian hama. Di samping itu feromon bermanfaat juga
dalam proses reproduksi dan kelangsungan hidup suatu serangga. Keberhasilan
penggunaan feromon dipengaruhi oleh kepekaan penerima, jumlah dan bahan
kimia yang dihasilkan dan dibebaskan per satuan waktu, penguapan bahan kimia,
kecepatan angin dan temperatur (Alouw, 2007).
Feromon terdiri atas asam-asam lemak tak jenuh. Senyawa kimia dengan
berat molekul rendah seperti ester, alkohol, aldehida, keton, epoxida, lactone,
hidrokarbon, terpen dan sesquiterpene adalah komponen umum dalam feromon
(Nation, 2002).
Feromon agregasi adalah jenis feromon yang dikeluarkan untuk menarik
serangga jantan maupun betina untuk berkelompok dan jenis feromon ini juga
dapat meningkatkan kemungkinan kopulasi di dalam populasi tersebut. Feromon
mempertahankan diri terhadap serangan predator dan untuk mengatasi resistensi
tanaman inang terhadap serangan kumbang tersebut (Klowden, 2002).
Feromon ini mempunyai bahan aktif Ethyl-4 methyloctanoate dimana
bahan aktif ini 10 kali lipat lebih efektif dibandingkan feromon terdahulu yang
bahan aktifnya Ethyl chrysanthemumate. Feromon diletakkan dalam ferotrap yaitu
menggunakan ember plastik dan perangkap PVC. Satu ferotrap cukup efektif
untuk 2 ha dan kantong feromon sintetik dapat digunakan selama 60 hari
(Utomo, dkk, 2007).
Gambar 6. Ferotrap Sumber: Foto langsung
Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Penyebaran Serangga
Jika lingkungan cocok dan pakan cukup, kumbang badak terbang dalam
jarak yang dekat saja. Namun jika pakan kurang baik kumbang bisa terbang
sampai sejauh 10 km (Pracaya, 2007).
a. Angin
Angin berpengaruh terhadap perkembangan hama, terutama dalam proses
penyebaran hama tanaman. Misalnya kutu daun dapat terbang terbawa angin
sejauh 1.300 km. Kutu loncat (Heteropsylla cubana), penyebarannya dipengaruhi
atau explosive) kutu loncat lamtoro pada daerah yang luas dalam waktu relatif
singkat. Belalang kayu (Valanga nigricornis Zehntneri Krauss), bila ada angin
dapat terbang sejauh 3-4 km. Selain mendukung penyebaran hama, angin kencang
bisa menghambat bertelurnya kupu-kupu, bahkan sering menimbulkan kematian
(Arantha, 2010).
b. Cahaya
Beberapa aktivitas serangga dipengarui oleh responya terhadap cahaya
sehingga timbul jenis serangga yang aktif pada pagi, siang, sore atau malam hari.
Cahaya matahari dapat mempengarui aktifitas dan distribusi lokalnya. Habitat
serangga dewasa (imago) dan serangga pradewasa (larva dan pupa) ada yang sama
dan ada yang berbeda. Pada ordo lepidoptera, larva aktif makan dan biasanya
menjadi hama, sedangkan serangga dewasanya hanya menghisap nectar atau
madu bunga. Pada ordo coleoptera, umumnya larva dan imago aktif makan
dengan habitat yang sama sehingga kedua-duanya menjadi hama ( Jumar, 2000).
Cahaya mempunyai peranan penting dalam pertumbuhan,
perkembangannya dan tahan kehidupannya serangga baik secara langsung
maupun tidak langsung. Cahaya mempengaruhi aktifitas serangga, cahaya
membantu untuk mendapatkan makanan, tempat yang lebih sesuai. Setiap jenis
serangga membutuhkan intensitas cahaya yang berbeda untuk aktifitasnya.
Berdasarkan hasl di atas serangga dapat digolongkan :
o Serangga diurnal yaitu serangga yang membutuhkan intensitas cahaya tinggi
o Serangga krepskular adala serangga yang membutuhkan intensitas cahaya
sedang aktif pada senja hari.
o Serangga nokturnal adalah serangga yang membutuhkan intensitas cahaya
rendah aktif pada malam hari
o Penelitian menunjukkan bahwa cahaya bulan berpengaruh nyata pada tangkapan
lampu perangkap terhadp serangga nokturnal
(Ysvina, 2010).
C. Suhu
Serangga memiliki kisaran suhu tertentu dimana dia dapat hidup. Diluar
kisaran suhu tersebut serangga akan mati kedinginan atau kepanasan. Pengaruh
suhu ini jelas terlihat pada proses fisiologi serangga. Pada waktu Tertentu
aktivitas serangga tinggi, akan tetapi pada suhu yang lain akan berkurang
( menurun ). Pada umumnya kisaran suhu yang efektif adalah suhu minimum
15 ºC, suhu optimum 25 ºC dan suhu maksimum 45 ºC. Pada suhu optimum
kemampuan serangga untuk melahirkan keturunan besar dan kematian
( mortalitas ) sebelum batas umur akan sedikit ( Jumar, 2000).
Pengaruh suhu terhadap kehidupan serangga banyak dipelajari di negara
beriklim dingin/sedang, dimana suhu selalu berubah menurut musim. Di negara
tropika seperti Indonesia keadaanya berbeda, iklimnya hampir sama sehingga
variasi suhu relatif kecil. Perbedaan suhu yang nyata adalah karena ketinggian.
Serangga adalah organisme yang sifatnya poikilotermal sehingga suhu badan
serangga banyak dipengaruhi dan mengikuti perubahan suhu udara. Beberapa
aktifitas serangga dipengaruhi oleh suhu dan kisaran suhu optimal bagi serangga
kesuburan/produksi telur, laju pertumbuhan dan migrasi atau penyebarannya.
Kematian serangga dalam hubungannya dengan suhu terutama berkaitan dengan
pengaruh batas-batas ekstrim dan kisaran yang masih dapat ditahan serangga
(suhu cardinal). Suhu yang sangat tinggi mempunyai pengaruh langsung terhadap
denaturasi/ merusak sifat protein yang mengakibatkan serangga mati. Pada suhu
rendah kematian serangga terjadi karena terbentukknya kristal es dalam sel
(Ysvina, 2010).
d. Kelembaban / Hujan
Kelembaban atau curah hujan merupakan faktor penting yang
mempengaruhi distribusi, kegiatan, dan perkembangan serangga. Dalam
kelembaban yang sesuai serangga biasanya lebih tahan terhadap suhu ekstrem.
Pada umumnya serangga lebih tahan terhadap lebih banyak air, bahkan beberapa
serangga yang bukan serangga air dapat tersebar karena hanyut bersama air. Akan
tetapi, kebanyakan air seperti banjir dan hujan deras merupakan bahaya bagi
beberapa serangga ( Jumar, 2000).
Serangga seperti juga hewan yang lain harus memperhatikan kandungan
air dalam tubuhnya, akan mati bila kandungan airnya turun melewati batas
toleransinya. Berkurangnya kandungan air tersebut berakibat kerdilnya
pertumbuhan dan rendahnya laju metabolisme. Kandungan air dalam tubuh
serangga bervariasi dengan jenis serangga, pada umumnya berkisar antara 50-90%
dari berat tubuhnya. Pada serangga berkulit tubuh tebal kandungan airnya lebih
rendah. Agar dapat mempertahankan hidupnya serangga harus selaluu berusaha
agar terdapat keseimbangan air yang tepat. Beberapa serangga harus dilingkungan
pada keadaan kering bahkan mampu menahan lapar untuk beberapa hari.
Kelembaban juga mempengaruhi sifat-sifat, kemampuan bertelur dan
pertumbuhan serangga (Ysvina, 2010).
e. Makanan
Kita mengetahui bahwa makanan merupakan sumber gizi yang
dipergunakan oleh serangga untuk hidup dan berkembang biak. Jik makanan
tersedia dengan kualitas yang cocok, maka populasi serangga akan naik cepat.
Sebaliknya, jika keadaan makan kurng maka populasi serangga juga akan
menurun. Pengaruh jenis makanan , kandungan air dalam makanan dan besarnya
butiran material juga berpengaruh terhadap perkembangansuatu jenis serangga
hama. Dalam hubungannya dengan makanan , masing – masing jenis serangga
memiliki kisaran makanan ( inang ) dari satu sampai banyak makanan ( inang )
( Jumar, 2000).
Kelimpahan serangga berhubungan erat dengan perbandingan antara
kelahiran dan kematian pada suatu waktu tertentu. Kelahiran dipengaruhi antara
lain oleh cuaca, makanan dan taraf kepadatannya. Kematian terutama dipengaruhi
oleh cuaca dan musuh alami. Kepadatan dapat mengakibatkan emigrasi yang
dapat berarti sebagai kurangnya individu di suatu lokasi yang dianggap suatu
kematian. Cuaca berpengaruh langsung terhadap tingkat kelahiran dan kematian,
secara tidak langsung cuaca mempengaruhi hama melalui pengaruhnya terhadap
kelimpahan organisme lain termasuk musuh alaminya. Organisme, khususnya
serangga mempunyai daya menahan pengaruh faktor lingkungan fisik sehingga
menjadi kebal. Organisme serangga dapat mengatasi keadaan yang ekstrem
sifatnya fisiologis. Serangga sesuai dengan sifatnya mempunyai kemampuan
meyesuaikan diri dengan lingkungan tetapi karena serangga juga mempunyai
sayap, serangga dapat pindah menghindari tempat yang ekstrim mencari tempat
yang lebih sesuai.
Faktor cuaca dapat mempengaruhi segala sesuatu dalam sistem komunitas
serangga anatara lain fisiologi, perilaku, dan ciri-ciri biologis lainnya baik
langsung maupun tidak langsung. Faktor cuaca dapat dipisahkan menjadi
unsur-unsur cuaca: suhu, kelembaban, cahaya dan pergerakan udara/angin.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan dan perkembangan populasi
Bila sejumlah kecil populasi tertentu menyerbu suatu habitat baru dan
disukai, jumlah mereka akan semakin bertambah sampai mencapai suatu
maksimum yang dapat didukung oleh lingkungan. Kelompok individu yang
menyerbu suatu habitat yang disukai tidak segera bertambah jumlahnya. Hal itu
memerlukan waktu bagi individu-individu untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungan sekitarnya yang baru, menemukan pasangan dan menghasilkan
individu muda (Michael, 1995).
Andrewartha and Birch (1954) mengartikan bahwa hubungan antara 4
komponen yaitu iklim, makanan, patogen dan tempat tinggal sebagai lingkungan
untuk suatu organisme. Contohnya di Brazil, populasi serangga kadang-kadang
berubah-ubah pada awal musim, terutama oleh faktor lingkungan yang
mendukung seperti curah hujan, temperatur, dan kelembaban. Coleoptera dan
perkembangan spesies kumbang scarabid sangat dipengaruhi oleh ph tanah,
tanaman penutup dan kepadatan makanan mereka (Kamarudin, dkk, 2005).
Kelakuan menggambarkan respon hewan terhadap lingkungannya.
Serangga sangat sensitif terhadap variasi lingkungan, dan serangga dapat merubah
kelakuan mereka dalam merespon naik turunnya kondisi lingkungan atau
perubahan lingkungan. Serangga, khususnya yang dapat terbang dapat berpindah
untuk menghindari naik turunnya temperatur, kelembaban, zat kimia atau faktor
abiotik lainnya untuk menghindar dari kondisi yang merugikan
(Schowalter, 1996).
Berdasarkan teori Andrewartha dan birch kerapatan populasi alami di
lapangan ditentukan oleh :
1. Tersedianya sumberdaya seperti makanan, ruang tempat hidup.
2. Keberadaan tempat sumberdaya dan kemampuan individu-individu
populasi untuk mencapai dan memperoleh sumberdaya (antara lain sifat
penyebaran, pemencaran dan kemampuan mencari).
3. Waktu atau kesemptan untuk memanfaatkan laju pertumbuhn yang tinggi,
misalnya pada keadaan iklim yang menguntungkan untuk pertumbuhan.
Walaupun faktor-faktor terpaut kerapatan (faktor-faktor biotik) terutama
mempengaruhi pertumbuhan populasi makhluk hidup yang tumbuh pada habitat
yang sesuai, namun tak dapat disangkal bahwa faktor iklim dan cuaca menentukan
tempat hidup setiap makhluk hidup (pemencaran dan penyebaran populasi)
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada areal Tanaman Kelapa Sawit di afdeling VII,
kebun Rambutan PTPN III . Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli -
September 2010.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah imago O. rhinoceros
dimana jumlah jantan dan betina adalah sama yaitu 30 ekor, feromon ethyl
4-methyl octanoate, batang sawit busuk dan tanaman kelapa sawit.
Alat yang digunakan adalah 14 ferotrap, tinta india, kawat, stoples, karet,
kain kasa dan alat tulis.
Metode Penelitian
Penelitian dilakukan dengan menggunakan hubungan antara korelasi dan
regresi dengan arah pelepasan kumbang utara dan selatan
Metoda linear yang digunakan adalah :
Ý = a+ax1+ax2+ax3+ax4
Dimana :
Ý = Hubungan korelasi dan regresi
a = konstanta
x1 = Suhu
x3 = Curah hujan
x4 = Angin
(Sudjana, 1983).
Metoda Pelaksanaan
Penelitian dilakukan pada areal tanaman belum menghasilkan seluas
18,45 ha tahun tanam 2007 dengan menggunakan penutup tanah Mucuna
bracteata di blok 35 afdeling VII kebun Rambutan. Kegiatan penelitian
dilakukan sebagai berikut :
Periringan Serangga
Periringan dilakukan di rumah kasa dan laboratorium dengan banyak larva
instar tiga dan pupa yang diriring berjumlah ±300 ekor. Media riringan
menggunakan batang kelapa sawit yang telah membusuk dan stoples. Batang
kelapa sawit di bor agar membentuk lubang, kemudian larva dimasukkan kedalam
lubang. Stoples diisi dengan batang kelapa sawit yang telah membusuk, kemudian
pupa dimasukkan ke dalam stoples tersebut. Tujuannya agar kondisi lingkungan
riringan sesuai dengan kondisi sebenarnya.
Pemasangan perangkap
Perangkap serangga menggunakan feromon yaitu Etl-4 metil oktanoate
dalam pipa PVC. Feromon diletakkan dengan cara menggantungkan feromon
kedalam pipa PVC yang berdiameter 6 – 8 (15 - 20 cm). Pipa PVC dipotong
sepanjang 2 meter, lubang bagian bawah ditutup dengan menggunakan seng,
sedangkan lubang bagian atas dibiarkan terbuka. Bagian atas pipa dibuat 2 buah
jendela dengan ukuran 20 x 10 cm, pipa diisi dengan cacahan janjangan kosong
kelapa sawit yang masih segar, bagian atas pipa PVC dipasang kawat untuk dapat
menggantungkan feromon. (sesuai yang digunakan pihak perkebunan dan
rekomendasi dari Pusat Penelitian Kelapa Sawit Marihat).
Gambar 8. Perangkap Feromon
Penempatan perangkap
Perangkap ditempatkan dengan cara meletakkan dan menanam pipa PVC pada
pusat pelepasan serangga ke arah empat mata angin yaitu Utara, Selatan, Timur,
dan Barat.
Gambar 9. Denah Lokasi Pemasangan Perangkap dan pelepasan kumbang
Pelepasan Oryctes rhinoceros
Kumbang O. rhinoceros yang dilepaskan sebanyak 120 ekor (60 ekor betina dan
60 ekor jantan) merupakan kumbang yang baru muncul dari hasil pembiakan
massal. Penandaan Kumbang dilakukan dengan menggunakan biomarker berupa
tinta india yang tahan air pada thoraks.Penandaan bertujuan untuk memberi tanda
penomoran untuk membedakan individu populasi dan kombinasi warna tinta
untuk menandakan posisi pelepasan Oryctes rhinoceros sesuai arah mata angin
(Utara, Selatan).
Pada masing-masing arah mata angin tersebut dilepaskan 15 pasang
kumbang Oryctes rhinoceros dari tengah areal pertanaman yang merupakan jalan
kebun, dan pelepasan kumbang dilaksanakan pada pukul 18.00 Wib sesuai dengan
Pengamatan
Kumbang yang masuk ke dalam perangkap pada tiap jarak diamati pukul
07.00 Wib, dan kemudian dilepaskan kembali hingga diketahui kemampuan
dispersal terjauh. Pengamatan dilakukan setiap hari selama lima minggu sesuai
umur stadia kumbang.
Peubah Amatan
1. Oryctes rhinoceros yang tertangkap pada setiap jarak diamati dan dilepaskan
kembali hingga diketahui kemampun dispersal terjauh
2. Populasi kumbang yang tidak diberi penandaan tetapi masuk kedalam ferotrap
3. Data analisis menggunakan SPSS untuk menguji signifikan (ANOVA) antara
populasi kumbang yang masuk ke dalam ferotrap dan korelasi jarak pelepasan
dengan arah pelepasan kumbang
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyebaran serangga Pada Setiap Jarak Pelepasan
Dari analisis regresi antara jumlah kumbang yang tertangkp dengan
faktor-faktor lingkungan menunjukkan adanya hubungan antara penyebaran dengan
faktor lingkungan. Jumar (2000) menyatakan bahwa perkembangan serangga di
alam dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor dalam yang dimiliki serangga itu
sendiri dan faktor luar yang berada di lingkungan sekitarnya.
Penyebaran serangga dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan seperti
suhu, curah hujan, kelembaban dan angin. Hal ini sesuai dengan pernyataan
ysvina (2010) yang menyatakan bahwa penyebaran hewan dan tumbuhan di alam
ini bukanlah terjadi secara kebetulan namun sebagai hasil interaksi dari pengaruh
faktor-faktor lingkungan terhadapnya. Sebran geografis suatu organisme antara
lain dibatasi oleh faktor-faktor fisik yaitu suhu, kelembaban udara, cahaya dan
tersedianya air. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran kumbang dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyebaran serangga Pada Setiap Jarak Pelepasan
Jarak Model Sig
Selatan(200) Angin 0.005
Selatan (400) Angin
Pada hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada jarak S1, S2, U1, U2
faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap penyebaran kumbang adalah faktor
angin. Dimana nilai koefisiennya adalah S1 (0.005), S2 (0.0300, U1 (0.012) dan
U2 (0.035). hal ini sesuai dengan pernyataan Arantha (2010) yang menyatakan
bahwa angin berpengaruh terhadap perkembangan hama, terutama dalam proses
penyebaran tanaman.
Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa pada S2 dan U2 faktor kelembaban juga
berpengaruh terhadap penyebaran kumbang. Dimana nilai koefisiennya adalah S2
(0.012) dan U2 (0.045). hal ini sesuai dengan pernyataan Jumar (2000) yang
menyatakan bahwa kelembaban atau curah hujan merupakan faktor penting yang
mempengaruhi distribusu, kegiatan, dan perkembangan serangga. Ysvina (2010)
menyatakan bahwa kelembaban juga mempengaruhi sifat-sifat, kemampuan
bertelur dan pertumbuhan serangga.
2. Korelasi Antara Jumlah Serangga yang Tertangkap dengan Jarak Ferotrap (Selatan)
Korelasi antara jumlah serangga yang tertangkap dengan jarak ferotrap di
Arah Selatan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Korelasi antara jumlah serangga yang tertangkap dengan jarak ferotrap di Arah Selatan
Selatan (200 m) Selatan (400 m) Seltan (200 m) Pearson correlation
Sig. (2-tailed) Selatan (400 m) Pearson correlation
Dari data pengamatan pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa jumlah serangga
yang tertangkap pada jarak 400 m berhubungan nyata terhadap jumlah serangga
yang tertangkap pada jarak 200 m. begitu juga sebaliknya, jumlah serangga yang
tertangkap pada jarak 200 m berhubungan nyata terhadap jumlah kumbang yang
tertangkap pada jarak 400 m. dimana nilai korelasinya adalah 0.352 (Korelasi ;
SPSS Versi 12.00).
Dari hasil pengamatan diketahui bahwa kumbang sampel yang dilepas
hanya tertangkap pada jarak 200 meter (ferotrap pertama) dan 400 meter
(perangkap kedua), hal tersebut terjadi karena feromon yang digunakan cukup
efektif untuk 2 ha. Hal ini sesuai dengan pernyataan Utomo, dkk (2007) yang
menyatakan bahwa feromon diletakkan dalam ferotrap yaitu menggunakan ember
plastik dan perangkap PVC. Satu ferotrap cukup efektif untuk 2 ha dan kantong
feromon sintetik dapat digunakan selama 60 hari.
3. Korelasi antara Jumlah Serangga yang Tertangkap dengan Jarak Ferotrap (Utara)
Korelasi antara jumlah kumbang yang tertangkap dengan jarak ferotrap di
arah pelepasan Utara dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Korelasi antara jumlah serangga yang tertangkap dengan jarak ferotrap di Arah Utara
Selatan (200 m) Selatan (400 m) Utara (200 m) Pearson correlation
Sig. (2-tailed) Utara (400 m) Pearson correlation
Dari data pengamatan pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa jumlah serangga
yang tertangkap pada jarak 400 m berhubungan sangat nyata terhadap jumlah
serangga yang tertangkap pada jarak 200 m. Dimana nilai korelasinya adalah
0.678 (Korelasi ; SPSS Versi 12.00). Sedangkan jumlah kumbang yang tertangkap
pada jarak 200 m berhubungan nyata terhadap jumlah kumbang yang tertangkap
pada jarak 400 m. Dimana nilai korelasinya adalah 0.352 (Korelasi ; SPSS Versi
12.00).
4. Persentase kumbang sampel yang tertangkap
Hasil pengamatan menunjukan bahwa kumbang yang tertangkap pada
ferotrap bukan hanya kumbang sampel yang dilepaskan ke Arah Utara dan
Selatan, tetapi terddapat juga kumbang sampel yang berasal dari arah lain.
Jumlah kumbang yang dilepaskan ke setiap arah mata angin
(Utara-Selatan) yaitu sebanyak 30 ekor (15 betina dan 15 jantan). Persentase jumlah
kumbang sampel dan kumbang lain yang tertangkap pada ferotrap dapat dilihat
pada Tabel 4.
Tabel 4. Persentase Jumlah Kumbang Sampel dan Kumbang Lain Yang Tertangkap Pada Ferotrap
Perangkap Kumbang sampel Kumbang lain
U3 U4 U5 U6 U7
Total 16 5
Persentase 53.33% 4,17%
Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa persentase jumlah kumbang sampel yang
tertangkap pada Arah Selatan yaitu sebesar 73.33 %, sedangakan pada Arah Utara
sebesar 53.33 %. Persentase kumbang lain yang tertangkap pada Arah Selatan
sebesar 20 %, sedangkan di Arah Utara sebesar 17 %. Dari hasil penelitian dapat
dilihat bahwa dari jumlah kumbang yang dilepaskan yaitu sebanyak 30 ekor ke
setiap arah mata angin, yang tertangkap di ferotrap sebanyak 22 ekor di setiap
Arah Selatan dan 16 ekor di Arah Utara. Dalam APCC (2006) menyatakan bahwa
penggunaan feromon dapat menurunkan populasi O. rhinoceros di lapangan, 5-27
ekor kumbang per hektar dapat terperangkap setiap bulan. Kumbang O.
rhinoceros berbahaya pada tanaman kelapa, lima ekor kumbang (dalam tahap
makan) per hektar dapat mematikan setengah dari tanaman yang baru ditanam.
Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa jumlah kumbang sampel yang tertangkap
di Arah Selatan lebih tinggi dari pada di Arah Utara yaitu sebanyak 22 ekor,
sedangkan di Arah Utara sebanyak16 ekor. Hal ini terjadi kerena ferotrap S1 dan
S2 di letakkan di areal tanaman kelapa sawitbelum menghasilkan (TBM) yang
merupakan sasaran utama kumbang Oryctes rhinoceros. Dalam PPKS (2010)
menyatakan bahwa tunas tanaman di pembibitan menjadi kering karena gerekan
di bagian pangkalnya. Areal TBM menjadi sasaran utama serangan hama dengan
Adanya lubang bekas gerekan kumbang pada bagian pangkal pelepah muda
tanaman. Pelepah daun terlihat terpuntir sehingga posisinya tampak tidak
beraturan.
5. Persentase kumbang sampel yang tertangkap
Hasil pengamatan penangkapan dengan ferotrap menunjukkan perbedaan
Kumbang jantan dan Kumbang betina yug tertangkap. Persentase kumbang
sample jantan dan betina yang tertangkap pada Ferotrap dapat dilihat pada Tabel
5.
Tabel 5. Persentase kumbang sample betina dan jantan yang tertangkap pada Ferotrap
Perangkap Kumbang Betina Kumbang Jantan Total Lokasi
S1 9 8 17 TBM
Persentase 59.18% 40.82%
Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa selama pengamatan kumbang Oryctes
rhinoceros sampel yang didapat dengan menggunakan ferotrap adalah sebanyak
Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa jumlah kumbang tertangkap yang
tertinggi adalah pada perangkap pertama di Arah Selatan yaitu sebanyak 17 ekor,
sedangkan jumlah kumbang tertangkap yang terendah adalah pada perangkap
kedua di Arah Utara yaitu sebanyak 7 ekor.
Pada hasil pengamatan dapat dilihat bahwa baik kumbang betina maupun
kumbang jantan dapat tertangkap pada ferotrap. Hal ini terjadi karena feromon
yang digunakan adalah feromon agregasi yang dapat menarik baik kumbang
betina maupun kumbang jantan.
Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa persentase kumbang betina sampel yang
tertangkap pada ferotrap lebih tinggi daripada kumbang jantan sampel yaitu
59,18 %, sedangkan kumbang jantan 40,82 %. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Alow (2007) yang menyatakan bahwa Feromon berperan dalam monitoring
populasi hama sebagai bagian penting dalam pengendalian hama secara terpadu
serta dapat digunakan dalam pengendalian hama yang berwawasan lingkungan.
Penggunaan feromon dalam pengendalian hama O. rhinoceros sudah dilakukan.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa feromon agregasi sintetik dapat
menangkap kumbang O. rhinoceros betina lebih banyak dibanding kumbang
jantan.
Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa kumbang betina yang paling banyak
tertangkap pada perangkap S1 dan U1 sebanyak 9 ekor, sedangkan jumlah
kumbang betina yang paling sedikit tertangkap terdapat pada perangkap U2
sebanyak 4 ekor. Kumbang jantan yang pling banyak tertangkap terdapat pada
perangkap S1 sebanyak 8 ekor, sedangkan jumlah kumbang jantan yang paling
Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa lokasi pemasangan perangkap berada di
areal tanaman kelapa sawit (TBM dan TM) dan di areal tanaman karet.
Pemasangan perangkap di areal tanaman karet dilakukan karena areal tanaman
kelapa sawit berdekatan dengan areal tanaman karet. Tujuannya yaitu untuk
mengetahui apakah kumbang sampel yang di lepas dapat menyebar sampai ke
tanaman karet.
6. Persentase kumbang lain yang tertangkap
Hasil pengamatan penangkapan dengan ferotrap menunjukkan perbedaan
Kumbang jantan dan Kumbang betina yang tertangkap. Persentase kumbang
betina dan jantan lain yang tertangkap pada Ferotrap dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Persentase kumbang jantan dan betina lain yang tertangkap pada Ferotrap
Perangkap Kumbang betina Kumbang jantan Total Lokasi
S1 36 26 62 TBM
Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa selama pengamatan kumbang Oryctes
rhinoceros lain yang didapat dengan menggunakan ferotrap adalah sebanyak 525
ekor, yang terdiri dari 301 ekor betina dan 224 ekor jantan.
Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa persentase kumbang betina lain yang
tertangkap pada ferotrap lebih tinggi daripada kumbang jantan lain yaitu 57,33 %,
sedangkan kumbang jantan 42,67 %. Jumlah kumbang betina paling banyak
tertangkap terdapat pada perangkap S2 sebanyak 41 ekor, sedangkan jumlah
kumbang betina yang paling sedikit tertangkap terdapat pada perangkap U7
sebanyak 12 ekor. Jumlah kumbang jantan yang paling banyak tertangkap
terdapat pada perangkap S1 dan s3 sebanyak 26 ekor, sedangkan jumlah kumbang
jantan yang paling sedikit terdapat pada perangkap U5 dan U7 sebanyak 9 ekor.
Dari hasil pengamatan pada Tabel 6 dapat dilihat jumlah kumbang yang
tertinggi adalah pada perangkap kedua di Arah Selatan yaitu sebanyak 66 ekor,
sedangkan jumlah kumbang yang terendah adalah terdapat pada perangkap
ketujuh di Arah Utara yaitu sebanyak 21 ekor.
Dari hasil pengamatan pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa baik kumbang
betina maupun kumbang jantan dapat tertangkap pada ferotrap. Hal ini terjadi
karena feromon yang digunakan adalah feromon agregasi yang dapat menarik
baik kumbang betina maupun kumbang jantan. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Klowden (2002) yang menyatakan bahwa feromon agregasi adalah jenis feromon
yang dikeluarkan untuk menarik serangga jantan maupun betina untuk
berkelompok dan jenis feromon ini juga dapat meningkatkan kemungkinan
Pada hasil pengamatan pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa jumlah kumbang
yang paling banyak tertangkap adalah di areal TBM sebanyak 62 ekor di
perangkap pertama Arah Selatan dan 66 ekor di perangkap kedua di Arah Selatan.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Utomo, dkk (20070 yang menyatakan bahwa
kumbang O. rhinoceros menyerang tanaman kelapa sawit yang baru ditanam di
lapangan sampai berumur 2,5 tahun. Kumbang ini jarang sekali di jumpai
menyerang kelapa sawit yang sudah menghasilkan (TM). Namun demikian,
dengan dilakukannya pemberian mulsa tandan kosong kelapa sawit (TKS) yang
lebih dari satu lapis, maka masalah hama ini sekarang juga dijumpai di areal TM
Dari hasil pengamatan yang didapat diketahui bahwa Oryctes rhinoceros
lebih banyak tertangkap pada areal tanaman belum menghasilkan (TBM) daripada
tanaman menghasilkan (TM). Dalam PPKS (2004) yang menyatakan bahwa areal
TBM menjadi sasaran utama hama O. rhinoceros dengan pelepah-pelepah muda
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Angin, kelembaban dan curah hujan merupakan faktor lingkungan yang
mempengaruhi penyebaran serangga.
2. Persentase jumlah kumbang sampel yang tertangkap pada Arah Selatan yaitu
sebesar 53.33 %. Persentase kumbang lain yang tertangkap pada Arah Selatan
sebesar 20 %, sedangkan di Arah Utara 17 %.
3. Jumlah kumbang sampel yang tertangkap tertinggi pada perangkap pertama di
Arah Selatan yaitu sebanyak 17 ekor, dan terendah pada perangkap kedua di
Arah Utara yaitu sebanyak 7 ekor.
4. Jumlah kumbang lain yang tertinggi adalah pada perangkap kedua di Arah
Selatan yaitu sebanyak 66 ekor, dan terendah pada perangkap ketujuh di Arah
Utara yaitu sebanyak 21 ekor.
5. Persentase kumbang betina sampel lebih tinggi daripada kumbang jantan
sampel yaitu 59,18 %, sedangkan kumbang jantan 40,782 %.
6. Persentase kumbang betina lain lebih tinggi daripada kumbang jantan lain
yaitu 57,33 %, sedangkan kumbang jantan 42,67 %.
Saran
Sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan di musim yang berbeda untuk
DAFTAR PUSTAKA
Alouw, J. C . 2007. Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae) Pheromone and its Use to Control Coconut Beetle, Oryctes rhinoceros (Coleoptera : Scarabaeidae). Indonesian Coconut and Other Palmae Research Institute.
APCC 2006. Coconut Integrated Pest Management. Annual report. APCC. Jakarta.195 p.
Arantha, 2010. Serangga Hama Tanaman.
Asri, 2010. Hama pada Tanaman Kelapa Sawit.
Balitka, 1989. Pengendalian kumbang Kelapa secara Terpadu. Badan litbang, Balika, FAO/UNDP, Dirjenbun, Direktorat Perlintan. 29 pp
Direktorat Perlindungan Perkebunan. 2008. Pemanfaatan Musuh Alami Untuk
Mengendalikan Kumbang Nyiur. http://ditjenbun.deptan.go.id (Diakses Tanggal 28 Januari 2010).
Fauzi, Y., yustina, E. W., Iman, S dan Rudi. 2002. Kelapa Sawit. Edisi revisi. Penebar Swadaya, Jakarta.
Gallangher, D. K dan S. Lilies, Ch., 1991. Metode Ekologi Lapangan. Program Nasional Pelatihan dan Pengembangan Pengendalian Hama Terpadu, Jakarta.
Kalshoven, L.G.E. 1981. The Pest of Crop In Indonesia. P.A. Van Der Laan. PT. Ichtiar Baru-Van Hoeve.Jakarta.
Kamarudin, N., M. Basri, W., dan Ramle, M., 2005. Environmental Factors affecting the population Density of Oryctes rhinoceros in a Zero-Burn Oil Palm Replant. Journal of Oil Palm Research.17:53-63
Lubis, A.U., 1992. Kelapa Sawit di Indonesia. Pusat Penelitian Perkebunan Marihat. Pematang Siantar.
Michael, P., 1995. Metode Ekologi Untuk Penyelidikan Ladang dan Laboratorium. Terjemahan Yanti R. Koester. Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Mohan, C., 2006. The association for tropical biology and Conservation Ecology of The Coconut Rhinoceros Beetle (Oryctes rhinoceros L.). http//www.linkjstor.org (Diakses Tanggal 30 Januari 2010).
PPKS, 1996. Pengendalian Baru Kumbang Tanduk dengan Feromon, Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Medan
_____, 2004. Budidaya Kelapa Sawit. Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Medan
_____, 2010. Pengendalian Oryctes rhinoceros yang Ramah Lingkungan
Menggunakan Feromonas dan Metari.
2010)
Pasaribu, H., R. D. de Chenon. 2005. Strategi Pengendalian Hama Oryctes rhinoceros di PT. Tolan Tiga Indonesia (SIPEF GROUP). Dalam Prosiding Pertemuan Teknis Kelapa Sawit 2005. Pemeliharaan Kesehatan Tanaman Kelapa Sawit melalui pengendalian terkini hama, penyakit dan Gulma serta Aplikasi Pemupukan. Yogyakarta, 13-14 September 2005. Hal 106.
Piggott, 1964. coconut growing. Oxford university press. london
Pracaya. 2009. Hama dan Penyakit Tanaman.Penebar Swadaya.Jakarta
Prawirosukarto, S., Y.P. Roerrha, U. Condro dan Susanto. 2003. Pengenalan dan Pengendalian Hama Penyakit Tanaman Kelapa Sawit. PPKS, Medan
Rahayuwati, S., R. D de Chenon dan Sudharto ps. 2002. sistem Reproduksi Betina Oryctes rhinoceros (Coleoptera:Scarabaeidae) dari Berbagai Populasi Berbeda di Perkebunan Kelapa sawit. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit. 10(1):11-22.
Riostone, 2010. Kumbang Kelapa Oryctes rhinoceros.http://riostones.blogspot.com/2009/08/kumbang-kelapa-oryctes-rhinoceros(Diakses Tanggal 13 Februari 2010).
Roelofs, W. L., 1978. Chemical Control of Insect by Pheromones. In Rockstein, M., 1978. Biochemistry of Insect (edt). Acad Press, New York.Hal:419-464
Schowalter, T, D., 1996. Insect Ecology an Ecosystem Approach. Academic Press, New York.
Setyamidjaja, D., 1991. Bertanam Kelapa hibrida. Kanisius, Yogyakarta
Subiyakto dan Achmad, S., 1991. Kunci Determinasi serangga. Kanisius, Yogyakarta.
Sudjana, 1983. Teknik Analisis Regresi dan Korelasi. Tarsito, Bandung
Suhardiyono, 1991., Tanaman Kelapa. Kanisius, Yogyakarta.
Susanto, A., A.P. Dongoran., Fahridayanti., A.F. Lubis., dan A. Prasertyo. 2005. Pengurangan Populasi Larva Oryctes rhinoceros pada Sistem Lubang Tanam besar. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit. 13(1):1-9.
Tarumingkeng, R. C., 1994. Dinamika Populasi: Kajian Ekologi Kuantitatif. Pustaka Sinar Harapan dan Universitas Kristen Krida Wacana, Jakarta.
Regression
Variables Entered/Removedb
Model Variables Entered Variables Removed
a.All requested variables entered b. Dependent variable : Utara (200m)
Model Summaryb
Coefficientsa
a. Dependent Variable ; Utara (200 m)
Residuals Statisticsa
Regression
Variables Entered/Removedb
Model Variables Entered Variables Removed
a.All requested variables entered b. Dependent variable : Utara (400m)
Model Summaryb
Coefficientsa
a. Dependent Variable : Utara (400 m)
Residuals Statisticsa
Regression
Variables Entered/Removedb
Model Variables Entered Variables Removed
a.All requested variables entered b. Dependent variable : Selatan (200m)
Model Summaryb
Coefficientsa
a. Dependent Variable : Selatan (200 m)
Residuals Statisticsa
Regression
Variables Entered/Removedb
Model Variables Entered Variables Removed
a.All requested variables entered b. Dependent variable : Selatan (400m)
Model Summaryb
Coefficientsa
a. Dependent Variable : Selatan (400 m)
Residuals Statisticsa
PETA LOKASI PENELITIAN
Plank Penelitian
Ferotrap
Kegiatan Penelitian