• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 41 tentang Organisasi Perangkat Daerah di Kota Medan ( Studi Pada Kantor Walikota Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 41 tentang Organisasi Perangkat Daerah di Kota Medan ( Studi Pada Kantor Walikota Medan)"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS IMPLEMENTASI PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DI KOTA

MEDAN

(Studi Pada Kantor Walikota Medan)

SKRIPSI

Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Menyelesaikan Pendidikan Sarjana (S-1) Pada Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Disusun Oleh

ONY YUSNIDAR PAKPAHAN 060903059

DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI NEGARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Halaman Persetujuan

Skripsi ini disetujui untuk diperbanyak dan dipertahankan oleh: Nama : Ony Yusnidar Pakpahan

NIM : 060903059

Departemen : Ilmu Administrasi Negara

Judul : Analisis Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 41 tentang Organisasi Perangkat Daerah di Kota Medan

(Studi Pada Kantor Walikota Medan)

Medan, April 2010

Dosen Pembimbing Ketua Departemen Ilmu Administrasi Negara

Drs. Robinson Sembiring, Msi Prof. Dr. Marlon Sihombing, MA NIP. 131 763 360 NIP. 131 568 391

Dekan

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

(3)

HALAMAN PENGESAHAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI NEGARA

Skripsi ini telah dipertahankan di depan Panitia Penguji Skripsi Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara oleh:

Nama : Ony Yusnidar Pakpahan NIM : 060903059

Departemen : Ilmu Administrasi Negara

Judul : Analisis Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 41 tentang Organisasi Perangkat Daerah di Kota Medan

( Studi Pada Kantor Walikota Medan)

Yang dilaksanakan pada: Hari : Kamis

Tanggal : 15 April 2010 Waktu : 10.00 WIB

Ketua : Dra. Beti Nasution, M.Si (……….) Anggota I : Prof. Dr. Erika Revida, M.Si (……….) Anggota II : Drs. Robinson Sembiring, M.Si (……….)

(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria, karena hanya berkat, kuasa dan rahmat-Nya maka pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan menyusun skripsi ini yang berjudul “Analisis Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah di Kota Medan”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

Selama menyusun skripsi ini, penulis mendapat banyak bantuan, bimbingan, dorongan dan saran-saran dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Orangtuaku Esron Pakpahan, Amd dan Mawar Sianturi, kalian telah berhasil menjadi tuhan yang nyata bagi kami. Terimakasih Tuhan buat keberadaan mereka bagi kami

2. Bapak Prof. DR. M. Arif Nasution, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

3. Bapak Prof. Dr. Marlon Sihombing, MA selaku Ketua Departemen Ilmu Administrasi Negara.

4. Bapak Drs. Robinson Sembiring, MSi selaku Dosen Pembimbing.

5. Ibu Prof. Dr. Erika Revida, MSi selaku Dosen Penguji yang telah memberi banyak masukan ketika penulis seminar proposal.

6. Kak Mega yang selalu baik melayani administrasi anak-anak AN. 7. Kak Dian yang baik dan ramah di loket pendidikan AN.

8. Seluruh pegawai Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

(5)

10.Orangtua angkatku Marojahan Silaen, S.Pd. dan Dra. Romito T A L. Tobing, MSi, MM, terima kasih buat semuanya selama ini. Semoga Tuhan memberkati kalian.

11.Adik-adikku, ada Vee (sang penyuluh kesehatan...he…he...he... Sekalian deh buat Andru Kosti alias Cendung juga yang udah baik hati beli makan malam), Icha (calon dokter ni yee...Amin), Boy (calon arsitek, fotografer atau polisi?), Sari (Hmm…dokter, guru atau suster?), Tati (Mbak pemborong rumah…tipe Balmorth..hi…hi…hi..) and Little girl Usi (Si tiop hepeng songon si Kartolo kwkwkwkw…). Semoga kita bisa mencapai cita-cita kita masing-masing! Tak lupa juga sama Ivo (mudah-mudahan masih punya wortel, jadi jusku gak pake 2 wortel doang…he...he...he…), Sarma (Poni Pisa miringnya keren benget koq Karen…ha…ha…ha…). Hmm…siapa lagi ya? Oh iya…ada adik-adik Katolik AN’07 dan AN’08 juga… Maaf ya Dek, gak ada regenerasi secara resmi… Mudah-mudahan kalian berkenan melanjutkan hidup KMK St. Don Bosco kita itu.

12.Kawan, sahabat dan juga saudara nemu di AN’06 ada Juliyanti 060903005 (Aura eksekutif sekaligus sainganku lama nikah…), Yulia 060903008 (Mbakyulianer si Bendahara Magang yang hobby nyanyi di Topi Tao), Butet 060903010 (Wuih…satu kos awak nan menyebalkan tapi ngangenin ini, cepet dapat jodoh ya!), Dina 060903023 (Temen awak mengkhayal paling yahuud…Mau jadi Caleg, bisnis, mobil, rumah…semuanya klop), Martha 060903033 (Ah…kawan awak seperjuangan Misa ke Mansyur ini bah! Sekaligus pengacara and klien asmaraku… he…he…), Elida 060903065 (Teman seperjuangan di IMDIAN yang super duper pintar debat sama kaum pemikir…ha..ha…ha…, akur sekali-kali klen Dong), trus NIM yang paling bawah ada Juni 060903077 (Teng nanti kebaya seragam kami warna putih aja ya! Biar sama kayak yang dipakai pengantinnya. Gak kebayang nanti apa kata orang mempelai wanita Black ada 8 orang..kwkwkwkw).

(6)

Lang!!), Joan (Kita saingan jadi calon Bupati Pakpak atau kita koalisi jadi calon Bupati dan Wakil Bupati aja Joan?) dan Julian (mujur ya Julian…). 14.Ada anak KP ‘06 yang sudah susah payah cari senior cadangan buat

memenuhi jumlah kelas sebanyak 10 orang demi tercapainya kelas KP impian… Ada penulis sendiri Ony Yusnidar Pakpahan, Butet Dewi Sitompul, Sonasa Gulo, Esry Marliza, Hariono, Rickhy Bajora, Arbaiyah, dan Ulfa Maulida. Wahai kawan-kawan…ternyata KP junior sudah rame sekarang! Ha..ha..ha..tidak sia-sia kita pilih KP ya!

15.Ada anak Administrasi Negara 2006, yang telah bersama-sama dengan penulis selama kurang lebih empat tahun ini di FISIP USU. Sukses buat kita semua ya kawan-kawan awak!

16.Kawan nemu juga dari ISTP, Base Man’s Architect ada Bang Syamsuri yang hobby nongkrong di my facebook, Bang Citra si tangan telaten ahli minimalis, Bang Rizal Daniel ito awak dan the last and the most wanted Herson Edi Guntar, ST (Aku rapuh tanpamu genk! Hiks…)

1. I give special thanks also to Larry (Lazzaindo), who give me a nice Sunday

on 28th March alias a palmistry false (I get job in Aussie, I will get two kids,

and I will be marry with an Australian any month soon! Hmm…you need

learn palmistry anymore boy!) and also in other wise called a handsome

vampire (Ho..ho..ho.. I’m not sure your teeth will be fine if you bite me!

Ha..ha..ha.. Don’t be silly if dentist want you eat porridge all the time!).

Sounds this story will be really continue 3rd or 6th month hence. Wish we

will!

(7)

(Sukses ya Cy..!), anggota IMDIAN dan semua kawan-kawan yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Terimakasih buat kalian ya!

Penulis sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Baik itu dalam penulisan kata, penyusunan kalimat dan juga tidak menutup kemungkinan dalam penyajian data. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua pihak. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih. Semoga skripsi ini berguna bagi kita semua.

Penulis

(8)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar………...………....…..……...i

Daftar Isi.………...……….………...…....v

Daftar Tabel……….vii

Daftar Gambar………viii

Abstrak………..………..………….ix

BAB I PENDAHULUAN………...1

A. Latar Belakang…..…………..……….………….……….…1

B. Rumusan Masalah..………...……….…………...7

C. Tujuan Penelitian……….……..……….……….………..8

D. Manfaat Penelitian………..….……….………...8

E. Kerangka Teori…..………..………..8

1. Kebijakan Publik………....……….…………....8

2. Perampingan Organisasi………...……….………...26

3. Peraturan Pemerintah No.41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah.………..….….………...29

4. Dua Indikator Kinerja Kunci……..………...33

F. Defenisi Konsep……….……….…………35

G. Defenisi Operasional………...…….……….…..37

BAB II METODE PENELITIAN………...40

A. Metode Penelitian………..…….……….40

B. Lokasi Penelitian………..…….………..40

C. Informan Penelitian………..………...41

D. Teknik Pengumpulan Data………...……...42

(9)

BAB III DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN……….…44

A. Gambaran Umum Pemerintah Kota Medan……….……...44

B. Gambaran tentang Bagian Organisasi dan Tatalaksana Kota Medan………….54

C. Gambaran tentang Badan Kepegawaian Daerah Kota Medan…………...58

D. Gambaran tentang BAPPEDA Kota Medan………..61

E. Gambaran tentang DPRD Kota Medan………..63

F. Problematika Implementasi PP No.84 Tahun 2000 dan PP No.08 Tahun 2003 tentang Organisasi Perangkat Daerah………..64

G. Gambaran Umum PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah……….68

BAB IV PENYAJIAN DATA DAN ANALISIS DATA……….71

A. Interpretasi Pemko Medan terhadap PP no.41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah………...……..71

B. Implementasi Kebijakan PP No.41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah……….77

C. Keberhasilan Mengevaluasi Masalah dan Keputusan yang Bersifat Khusus…...………..85

D. Rasio Struktur Jabatan Eselonering……….87

BAB V PENUTUP………..92

A. Kesimpulan……….…….92

B. Saran ………...95

DAFTAR PUSTAKA

(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Pedoman Penetapan Variabel Besaran Organisasi Perangkat Daerah

Kota…….………33

Tabel 2. Persentase Struktur Jabatan di Lingkungan Pemerintah Kota Medan tahun 2008..………….………..34

Tabel 3. Lanjutan Tabel Persentase Struktur Jabatan di Lingkungan Pemerintah Kota Medan tahun 2008………..……….35

Tabel 4. Penetapan Variavel Besaran Organisasi Perangkat Daerah Kota Medan tahun 2008……….73

Tabel 5. Jabatan Struktural Organisasi Perangkat Daerah Kota Medan menurut PP No. 84 Tahun 2000……….82

Tabel 6. Jabatan Struktural Organisasi Perangkat Daerah Kota Medan menurut PP No. 41 Tahun 2007………83

Tabel 7. Jumlah Jabatan Struktural Sekretariat di Kota Medan sesuai dengan PP No. 41 Tahun 2007……….88

Tabel 8. Jumlah Jabatan Struktural Dinas-dinas Daerah Kota Medan sesuai dengan PP No. 41 Tahun 2007………...88

Tabel 9. Jumlah Jabatan Struktural Lembaga Teknis Daerah Berbentuk Badan di Kota Medan………89

Tabel 10. Jumlah Jabatan Struktural Lembaga Teknis Daerah Berbentuk Kantor di Kota Medan………89

Tabel 11. Jumlah Kecamatan dan Kelurahan di Kota Medan………90

Tabel 12. Jabatan Fungsional di Kota Medan………90

(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Susunan Organisasi Perangkat Daerah Kota Medan menurut PP No.84 Tahun 2000………....6

Gambar 2. Struktur Jabatan Bagian Organisasi dan Tatalaksana Kota Medan………...54

(12)

ABSTRAK

IMPLEMENTASI PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 41 TAHUN 2007 TANTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DI KOTA MEDAN Nama : Ony Yusnidar Pakpahan

NIM : 060903059

Departemen : Ilmu Administrasi Negara Dosen Pembimbing : Drs. Robinson Sembiring, M.Si

Birokrasi kerapsekali dilanda berbagai patologi birokrasi yang sangat polemik. Adapun salah satu penyakit yang menjamur hingga saat ini yaitu penyakit parkinsonian, yaitu penyakit birokrasi dimana struktur birokrasi semakin membesar tanpa terkendali dengan tugas dan fungsi yang sedikit. Dalam perwujudan sebuah organisasi yang efektif dan efisien seperti menuju good governance yang diidam-idamkan oleh semua pihak selama ini, pemerintah melakukan perbaikan di tubuh birokrasi dengan beberapa cara. Salah satu cara yang digunakan untuk mengatasi patologi parkinsonian birokrasi tersebut adalah dengan restrukturisasi. Restrukturisasi ini dilakukan dengan dikeluarkannya PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Untuk melihat sejauh mana PP No. 41 tahun 2007 tersebut membantu birokrasi melakukan restrukturisasi, maka penulis memilih Pemerintah Kota Medan sebagai subjek penelitian.

Untuk memperoleh deskriptif tentang implementasi PP No. 41 Tahun 2007 ini di Kota Medan, maka penulis melakukan penelitian di Kantor Walikota Medan. Melakukan wawancara mendalam dan focus discussion group (FGD) dengan para informan yang berada di Bagian Organisasi dan Tatalaksana Kota Medan, Bagian Kepegwaian Daerah, Bappeda dan juga dengan pengamat politik.

Untuk memudahkan penulis menjabarkan tentang implementasi dari PP No. 41 Tahun 2007 ini, maka penulis melakukan analisa data implementasi dengan menggunakan model implementasi Meter dan Horn. Dimana dalam implementasi sebuah kebijakan yang berasal dari pemerintah maka ada beberapa hal yang perlu dilihat yaitu badan yang terstruktur sebagai eksekutor kebijakan, standar kebijakan yang merupakan rincian tujuan dari kebijakan tersebut, sumber daya kebijakan berupa dana pendukung implementasi, komunikasi inter organisasi, karakteristik pelaksanaan, kondisi sosial ekonomi, dan sikap pelaksanaan dalam memahami kebijakan.

Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa struktur organisasi perangkat daerah Kota Medan banyak yang berubah. Sebelumnya dinas yang terdiri dari 21 sekarang menjadi 18 dinas, selain itu banyaknya struktur yang kemudian dihapuskan membuat Pemerintah kota Medan harus menonjobkan pejabatnya. Walaupun pada dasarnya tujuan PP No.41 Tahun 2007 untuk mewujudkan struktur yang ramping di Kota Medan telah tercapai, namun masih saja ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintah. Yaitu permasalahan birokrasi bukan hanya berasal dari struktur saja, masih ada beberapa patologi lain seperti penyediaan SDM yang berkualitas dengan demikian pengharusan akan pelaksanaan PP No. 41 Tahun 2007 di seluruh Indonesia perlu dipertimbangkan kembali.

(13)

ABSTRAK

IMPLEMENTASI PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 41 TAHUN 2007 TANTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DI KOTA MEDAN Nama : Ony Yusnidar Pakpahan

NIM : 060903059

Departemen : Ilmu Administrasi Negara Dosen Pembimbing : Drs. Robinson Sembiring, M.Si

Birokrasi kerapsekali dilanda berbagai patologi birokrasi yang sangat polemik. Adapun salah satu penyakit yang menjamur hingga saat ini yaitu penyakit parkinsonian, yaitu penyakit birokrasi dimana struktur birokrasi semakin membesar tanpa terkendali dengan tugas dan fungsi yang sedikit. Dalam perwujudan sebuah organisasi yang efektif dan efisien seperti menuju good governance yang diidam-idamkan oleh semua pihak selama ini, pemerintah melakukan perbaikan di tubuh birokrasi dengan beberapa cara. Salah satu cara yang digunakan untuk mengatasi patologi parkinsonian birokrasi tersebut adalah dengan restrukturisasi. Restrukturisasi ini dilakukan dengan dikeluarkannya PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Untuk melihat sejauh mana PP No. 41 tahun 2007 tersebut membantu birokrasi melakukan restrukturisasi, maka penulis memilih Pemerintah Kota Medan sebagai subjek penelitian.

Untuk memperoleh deskriptif tentang implementasi PP No. 41 Tahun 2007 ini di Kota Medan, maka penulis melakukan penelitian di Kantor Walikota Medan. Melakukan wawancara mendalam dan focus discussion group (FGD) dengan para informan yang berada di Bagian Organisasi dan Tatalaksana Kota Medan, Bagian Kepegwaian Daerah, Bappeda dan juga dengan pengamat politik.

Untuk memudahkan penulis menjabarkan tentang implementasi dari PP No. 41 Tahun 2007 ini, maka penulis melakukan analisa data implementasi dengan menggunakan model implementasi Meter dan Horn. Dimana dalam implementasi sebuah kebijakan yang berasal dari pemerintah maka ada beberapa hal yang perlu dilihat yaitu badan yang terstruktur sebagai eksekutor kebijakan, standar kebijakan yang merupakan rincian tujuan dari kebijakan tersebut, sumber daya kebijakan berupa dana pendukung implementasi, komunikasi inter organisasi, karakteristik pelaksanaan, kondisi sosial ekonomi, dan sikap pelaksanaan dalam memahami kebijakan.

Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa struktur organisasi perangkat daerah Kota Medan banyak yang berubah. Sebelumnya dinas yang terdiri dari 21 sekarang menjadi 18 dinas, selain itu banyaknya struktur yang kemudian dihapuskan membuat Pemerintah kota Medan harus menonjobkan pejabatnya. Walaupun pada dasarnya tujuan PP No.41 Tahun 2007 untuk mewujudkan struktur yang ramping di Kota Medan telah tercapai, namun masih saja ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintah. Yaitu permasalahan birokrasi bukan hanya berasal dari struktur saja, masih ada beberapa patologi lain seperti penyediaan SDM yang berkualitas dengan demikian pengharusan akan pelaksanaan PP No. 41 Tahun 2007 di seluruh Indonesia perlu dipertimbangkan kembali.

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Birokrasi di kebanyakan negara berkembang termasuk Indonesia cenderung bersifat patrimonialistik : tidak efesien, tidak efektif (over consuming and under producing), tidak obyektif, menjadi pemarah ketika berhadapan dengan kontrol dan

kritik, tidak mengabdi kepada kepentingan umum, tidak lagi menjadi alat rakyat tetapi telah menjadi instrumen penguasa dan sering tampil sebagai penguasa yang sangat otoritatif dan represif. Sebagaimana dijelaskan dalam beberapa hasil penelitian, bahwa birokrasi di Indonesia ada kecenderungan berkembang kearah “parkinsonian”, dimana terjadinya proses pertumbuhan jumlah personil dan pemekaran struktur dalam birokrasi secara tidak terkendali. Pemekaran yang terjadi bukan karena tuntutan fungsi, tetapi semata-mata untuk memenuhi tuntutan struktur. Disamping itu, terdapat pula kecenderungann terjadinya birokrasi “orwellian” yakni proses pertumbuhan kekuasaan birokrasi atas masyarakat, sehingga kehidupan masyarakat menjadi dikendalikan oleh birokrasi. Akibatnya, birokrasi Indonesia semakin membesar (big bureaucracy) dan cenderung tidak efektif dan tidak efesien. Pada kondisi yang demikian, akan sangat sulit bagi birokrasi untuk siap dan mampu melaksanakan kewenangan-kewenangan barunya secara optimal.

(15)

bentuk ideal birokrasi tidak nampak dalam praktek kerjanya antara lain: Pertama, manusia birokrasi tidak selalu berada (exist) hanya untuk organisasi. Kedua, birokrasi sendiri tidak kebal terhadap perubahan sosial. Ketiga, birokrasi dirancang untuk semua orang. Keempat, dalam kehidupan keseharian manusia birokrasi berbeda-beda dalam kecerdasan, kekuatan, pengabdian dan sebagainya, sehingga mereka tidak dapat saling dipertukarkan untuk peran dan fungsinya dalam kinerja organisasi birokrasi.

Ada kecenderungan bahwa beberapa indikator birokrasi lebih berjaya hidup di dunia barat daripada di dunia timur. Bagi masyarakat yang sedang berkembang tidak semua kemanfaatan birokrasi rasional dapat dipetik dan dirasakan. Apalagi birokrasi menghadapi krisis kepercayaan dari masyarakat, maka kecaman dan pesimisme semakin muncul karena banyak anggota masyarakat merasakan bahwa berbagai pola tingkah laku yang telah merupakan kebiasaan dalam birokrasi tidak dapat mengikuti dan memenuhi tuntutan pembangunan dan perkembangan masyarakatnya. Sebagai contoh, Islamy menyebutkan adanya keadaan birokrasi publik di sektor pemerintahan, pendidikan dan kesehatan dan sebagainya berada dalam suatu kondisi yang dikenal dengan istilah organizational slack yang ditandai dengan menurunnya kualitas pelayanan yang diberikannya.

Terdapat berbagai faktor yang menyebabkan birokrasi publik mengalami organizational slack yaitu antara lain pendekatan atau orientasi pelayanan yang kaku,

(16)

kepentingan publik serta lemah beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi di lingkungannya.

Melihat beberapa gejala tersebut ada beberapa hal yang perlu dilakukan birokrasi dalam mengubah sikap dan perilakunya antara lain : (a) birokrasi harus lebih mengutamakan sifat pendekatan tugas yang diarahkan pada hal pengayoman dan pelayanan masyarakat; dan menghindarkan kesan pendekatan kekuasaan dan kewenangan; (b) birokrasi perlu melakukan penyempurnaan organisasi yang bercirikan organisasi modern, ramping, efektif dan efesien yang mampu membedakan antara tugas-tugas yang perlu ditangani dan yang tidak perlu ditangani (termasuk membagi tugas-tugas yang dapat diserahkan kepada masyarakat); (c) birokrasi harus mampu dan mau melakukan perubahan sistem dan prosedur kerjanya yang lebih berorientasi pada ciri-ciri organisasi modern yakni : pelayanan cepat, tepat, akurat, terbuka dengan tetap mempertahankan kualitas, efesiensi biaya dan ketepatan waktu; (d) birokrasi harus memposisikan diri sebagai fasilitator pelayan publik dari pada sebagai agen pembaharu pembangunan; (e) birokrasi harus mampu dan mau melakukan transformasi diri dari birokrasi yang kinerjanya kaku (rigid) menjadi organisasi birokrasi yang strukturnya lebih desentralistis, inovatif, fleksibel dan responsif.

(17)

Dengan pertimbangan tersebut maka Indonesia pun mulai merombak struktur organisasinya dari sentralisasi menjadi desentralisasi atau yang lebih sering kita sebut sebagai otonomi daerah. Dimulai dari diberlakukannya UU No.05 Tahun 1974, kemudian diikuti UU No.22 Tahun 1999 dan pada akhirnya UU No. 32 Tahun 2004 hal ini menunjukkan bahwa Indonesia secara-terus menerus mencari bentuk desentralisasi yang cocok untuk diterapkan di Indonesia.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 68 UU No. 22 Tahun 1999 ditetapkan bahwa susunan organisasi perangkat daerah ditetapkan dengan peraturan daerah (Perda) sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah, yaitu PP No.84 Tahun 2000 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah.

Dalam peraturan pemerintah tersebut, organisasi perangkat daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan-pertimbangan:

a. Kewenangan pemerintahan yang dimiliki oleh daerah b. Kemampuan keuangan daerah

c. Ketersediaan sumber daya aparatur

d. Pengembangan pola kerjasama antardaerah dan atau dengan pihak ketiga. Perangkat daerah, adalah organisasi/ lembaga pada pemerintah daerah yang bertanggungjawab kepada kepala daerah dan membantu kepala daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan yang terdiri atas sekretariat daerah, dinas daerah dan lembaga teknis daerah, kecamatan, dan kelurahan sesuai dengan kebutuhan daerah.

(18)

Penataan kelembagaan di lingkungan pemerintahan daerah harus benar-benar mempertimbangkan kebutuhan daerah yang bersangkutan dan berdasarkan PP No.84 Tahun 2000, jelas disebutkan bahwa nomenklatur, jenis dan jumlah unit organisasi di lingkungan pemerintah daerah ditetapkan oleh masing-masing pemerintah daerah berdasarkan kemampuan, kebutuhan, dan beban kerja.

Dengan demikian untuk menunjang penyelenggaraan kewenangan otonomi daerah berdasarkan UU serta dalam kaitannya dengan kebutuhan dan karakteristik daerah maka, Pemerintah Kota Medan pun menyusun kelembagaan daerahnya sebagai sarana untuk mempermudah pemerintah dalam memberikan pelayanan publik yang berkualitas. Adapun yang menjadi acuan Kota Medan dalam membentuk kelembagaan daerahnya yaitu Peraturan Walikota Medan No. 02 Tahun 2001 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Daerah Kota Medan dan Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Medan, dalam Perda tersebut terdapat apa yang menjadi tugas dan wewenang dari lembaga pemerintah daerah, dan dari Perda No. 02 Tahun 2001 tersebut lahirlah Perda No. 03 Tahun 2001 tentang organisasi dan tatalaksana tugas pemerintah daerah. Adapun peraturan walikota ini lahir sebagai operasional dari PP No. 84 Tahun 2000.

(19)

Gambar 1. Susunan Organisasi Perangkat Daerah Kota Medan

(Sumber: Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 3 Tahun 2001)

Ket: Kemitraan Komando Koordinasi

Setelah PP No. 41 Tahun 2007 ditetapkan oleh pemerintah, maka sebagai salah satu organisasi pemerintahan, struktur organisasi perangkat daerah Kota Medan pun berubah. Dalam penataan organisasi perangkat daerah Kota Medan yang sesuai dengan PP No. 41 Tahun 2007, Pemerintah Kota Medan juga memakai Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 57 Tahun 2007, sebagai petunjuk teknis dalam penataan organisasi perangkat daerah. Kemudian berdasarkan analisa Pemerintah Kota Medan terhadap PP No. 41 Tahun 2007 dan juga sesuai petunjuk teknis pelaksanaan yang terdapat Permendagri No. 57 Tahun 2007 tersebut pemerintah pun merancang organisasi perangkat daerah Kota Medan yang tertuang dalam Perda No.03 Tahun 2009.

Sek. Daerah Walikota/ Wakil

Bagian Sek. DPRD

DPRD

21 Dinas Daerah

Bagian 4 Assisten

12 Lembaga Teknis 21 Camat

(20)

Namun yang menjadi permasalahan, dalam PP No. 41 Tahun 2007 disebutkan bahwa organisasi perangkat daerah harus sesuai dengan jumlah penduduk, luas wilayah, besar APBD dan juga kebutuhan daerah yang bersangkutan. Jadi saat ini perlu kita analisa kembali apakah struktur organisasi perangkat daerah Kota Medan pada saat ini yang sudah tercantum dalam Perda Kota Medan No. 03 Tahun 2009, sudah sesuai dengan struktur organisasi perangkat daerah seperti yang terdapat pada PP No.41 Tahun 2007.

Administrasi negara mempunyai suatu peranan yang sangat penting dalam merumuskan kebijakan negara dan oleh karenanya merupakan bagian dari proses politik. Berlakunya peraturan-peraturan ini tentu membutuhkan analisis yang pekerjaannya akan diselesaikan dalam bentuk penelitian nantinya. Analisa ini dipersempit dalam kajian Ilmu Administrasi Negara yang akan membedakannya dengan kajian analisa dalam Ilmu Hukum.

Berdasarkan uraian di atas, penulis merasa tertarik untuk mengangkat keadaan tersebut ke dalam suatu masalah penelitian yang berjudul “Analisis Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah Di Kota Medan”.

B. Rumusan Masalah

(21)

Adapun yang menjadi perumusan masalah pada penelitian ini berdasarkan latar belakang yang sudah dijelaskan di awal adalah : Bagaimanakah implementasi PP No. 41 Tahun 2007 di Kota Medan?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah : untuk menganalisis implementasi PP No. 41 Tahun 2007 di Kota Medan jika dilihat dari 2 indikator kinerja kunci pada tahun 2009.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dan dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Secara subyektif, sebagai suatu sarana untuk melatih dan mengembangkan kemampuan berfikir ilmiah, sistematis dan metodologis penulis dalam menyusun berbagai kajian literature untuk menjadikan suatu wacana baru dalam memperkaya khazanah positif.

(22)

E. Kerangka Teori 1. Kebijakan Publik

1.1Pengertian Kebijakan Publik

Chandler dan Plano (dalam Tangkilisan, 2003A:1) berpendapat bahwa kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumber daya – sumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah. Kebijakan tersebut telah banyak membantu para pelaksana pada tingkat birokrasi pemerintah maupun para politisi untuk memecahkan masalah-masalah publik. Kemudian kebijakan publik akan disebut sebagai suatu bentuk intervensi yang dilakukan secara terus menerus oleh pemerintah demi kepentingan kelompok yang kurang beruntung dalam masyarakat agar mereka dapat hidup, dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan secara luas.

Easton (dalam Tangkilisan, 2003A:2) menyatakan bahwa kebijakan publik merupakan pengalokasian nilai-nilai kekuasaan untuk seluruh masyarakat yang keberadaannya mengikat. Sehingga cukup pemerintah yang dapat melakukan sesuatu tindakan kepada masyarakat dan tindakan tersebut merupakan bentuk dari sesuatu yang dipilih oleh pemerintah yang merupakan bentuk dari pengalokasian nilai-nilai kepada masyarakat.

(23)

kebijakan publik merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah, 4) kebijakan publik yang diambil bisa bersifat positif dalam arti merupakan tindakan pemerintah segala sesuatu masalah tertentu, atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu, 5) kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif didasarkan pada peraturan perundangan yang bersifat mengikat dan memaksa.

Sedangkan menurut Woll (dalam Tangkilisan, 2003A:2) kebijakan publik adalah sejumlah aktivitas pemerintah untuk memecahkan masalah di masyarakat, baik secara langsung maupun melalui berbagai lembaga yang mempengaruhi kehidupan masyarakat.

Dalam buku H Soenarko (2003:41) O. Jones, mengemukakan pendapat H.Hugh Heclo bahwa kebijaksanaan adalah suatu arah kegiatan yang tertuju kepada tercapainya beberapa tujuan. Selanjutnya Heclo juga mengemukakan bahwa suatu kebijaksanaan akan lebih cocok dilihatnya sebagai suatu arah tindakan atau tidak dilakukannya tindakan, daripada sebagai sekedar suatu keputusan atau tindakan belaka.

James E Anderson (dalam Soenarko, 2003:42) mengemukakan defenisi kebijakan publik dari Robert Eyestone yaitu: kebijaksanaan pemerintah adalah hubungan suatu lembaga pemerintah terhadap lingkungannya.

(24)

di dalam rangka mencapai suatu cita-cita atau mewujudkan kehendak serta tujuan tertentu.

Dari defenisi-defenisi di atas maka penulis menyatakan pengetahuan pokok yang dapat dikembangkan lebih lanjut dan yang menjadi landasan teori dari penelitian ini. Kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang dibangun oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah, dimana implikasi dari kebijakan tersebut adalah : 1) kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau mempunyai tindakan-tindakan yang berorientasi pada tujuan tertentu, 2) kebijakan publik berisi tindakan-tindakan pemerintah, 3) kebijakan publik merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah, 4) kebijakan publik yang diambil bisa bersifat positif dalam arti merupakan tindakan pemerintah segala sesuatu masalah tertentu, atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu, 5) kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif didasarkan pada peraturan perundangan yang bersifat mengikat dan memaksa.

1.2Kategori Kebijakan Publik

Juhn B. Joynt (dalam Soenarko, 2003:61) mengatakan bahwa kebijaksanaan itu dapat berarti yang berbeda-beda untuk orang-orang yang berbeda. Udaha untuk mengadakan klasifikasi/ tingkat-tingkatan kebijaksanaan itu adalah seperti halnya membagi-bagi tingkatan suhu udara.

(25)

a. Legislative policy, yaitu kebijaksanaan yang dibuat landasan dan pegangan bagi pimpinan (management) dalam melaksanakan tugasnya, atau kebijaksanaan yang banyak mengandung norma-norma yang harus diselenggarakan oleh pimpinan tersebut. Oleh karena itu, kebijaksanaan ini lebih banyak memberikan ketentuan-ketentuan yang mengandung pemberian hak-hak, kewajiban, larangan-larangan dan keharusan-keharusan, dan lebih banyak dibuat oleh legislatif.

b. Management policy, merupakan peraturan-peraturan yang dibuat oleh pimpinan

pusat (top-management) atau pejabat-pejabat teras.

c. Working policy, yaitu kebijaksanaan lainnya yang dibuat untuk pelaksanaan

(operation) dilapangan untuk tercapainya tujuan akhir yang tersimpul dari kebijaksanaan itu.

Berbeda dengan A Simon, Hudson (dalam Soenarko, 2003:62) menyoroti klasifikasi kebijakan publik dalam pemerintahan. Sehingga kebijakan publik itu dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu:

a. Over-all Policies, pada umumnya dibuat oleh Badan Legislatif atau presiden

dengan berdasarkan UUD (constitution). Oleh karena itu, sifatnya adalah umum dan berlaku untuk seluruh wilayah negara.

b. Top management policies (kebijaksanaan pimpinan), yaitu merupakan

kebijaksanaan yang biasanya dibuat oleh kepala-kepala jawatan atau dinas-dinas pelaksanaan “over-all policies” dengan menentukan cara-cara, prosedur dan sebagainya yang meliputi soal-soal yang strategis.

c. Divisional of bureau policies (kebijaksanaan pelaksanaan), merupakan

(26)

bertanggungjawab tentang tercapainya tujuan program di dalam kegiatan operasionalnya.

Kebijaksanaan pemerintah di Indonesia, yang sesuai dengan azas hidup bangsa Indonesia, adalah merupakan kebijaksanaan pemerintah yang berlandaskan Pancasila. Kebijaksanaan ini, tidaklah hanya memperhatikan keinginan dan kehendak dari rakyat (sosio-democratis), akan tetapi juga haruslah mengacu pada kepentingan nasional seperti tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 (sosio-nasionalisme)

Adapun bentuk-bentuk Peraturan Perundangan Republik Indonesia menurut UUD 1945 adalah : UU/ Peraturan Pemerintah pengganti UU, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Pelaksana lainnya (Peraturan Menteri, Instruksi Menteri selain itu, masih terdapat Peraturan-peraturan Daerah Tingkat I dan tingkat II serta Keputusan-keputusan gubernur, dan bupati/ walikota kepala daerah.

1.3Pengertian Implementasi Kebijakan Publik

(27)

program, serta melakukan interpretasi terhadap perencanaan yang dibuat, dan petunjuk yang dapat diikuti dengan mudah bagi realisasi program yang dilaksanakan.

Jadi tahapan implementasi merupakan peristiwa yang berhubungan dengan apa yang terjadi setelah suatu perundang-undangan ditetapkan dengan memberikan otoritas pada suatu kebijakan dengan membentuk out-put yang jelas dan dapat diukur. Dengan demikian tugas implementasi kebijakan sebagai suatu penghubung yang memungkinkan tujuan-tujuan kebijakan mencapai hasil melalui aktivitas atau kegiatan dari program pemerintah. (Tangkilisan, 2003:9)

Menurut Nakamura dan Smallwood (dalam Tangkilisan, 2003B:78), hal-hal yang berhubungan dengan implementasi kebijakan adalah keberhasilan dalam mengevaluasi masalah dan kemudian menerjemahkan ke dalam keputusan yang bersifat khusus. Sedangkan menurut Pressman dan Wildavsky (dalam Tangkilisan, 2003B:79) implementasi diartikan sebagai interaksi antara penyusunan tujuan dengan sarana-sarana tindakan dalam mencapai tujuan tersebut, atau kemampuan untuk menghubungkan dalam hubungan kausal antara yang diinginkan dengan cara untuk mencapainya.

Jones (dalam Tangkilisan, 2003B:79) menyatakan kebijakan sebagai suatu proses yang dinamis yang melibatkan secara terus-menerus usaha-usaha untuk mencari apa yang akan dan dapat dilakukan. Dengan demikian implementasi mengatur kegiatan-kegiatan yang mengarah pada penempatan suatu program ke dalam tujuan kebijakan yang diinginkan.

(28)

akan sia-sia belaka. Oleh karena itulah implementasi kebijakan mempunyai kedudukan yang penting di dalam kebijakan publik.

Dalam implementasi sebuah kebijakan dibutuhkan proses implementasi sebagai bahan persiapan dalam melaksanakan rumusan kebijakan yang telah ditetapkan. Menurut, Lineberry proses implementasi setidaknya memiliki elemen-elemen sebagai berikut: 1) pembentukan unit organisasi baru dan staf pelaksana, 2) penjabaran tujuan ke dalam berbagai aturan pelaksana (standard operating procedures/ SOP) 3) koordinasi berbagai sumber dan pengeluaran kepada kelompok

sasaran; pembagian tugas di dalam dan diantara dinas-dinas/ badan pelaksana, 4) pengalokasian sumber-sumber untuk mencapai tujuan.( Tangkilisan, 2003B:81)

Lain dengan Anderson (dalam Tangkilisan, 2003B:82) yang mengemukakan bahwa implementasi kebijakan dapat dilihat dari empat aspek yaitu; a. Siapa yang mengimplementasikan kebijakan, maksudnya yaitu bahwa

pelaksanaan suatu kebijakan tidak hanya terbatas pada jajaran birokrasi, tetapi juga melibatkan actor-aktor di luar birokrasi pemerintah, seperti organisasi kemasyarakatan, bahkan individu juga sebagai pelaksana kebijakan.

b. Hakekat dari proses administrasi. Untuk menghindari pertentangan atau perbedaan persepsi dalam pelaksanaan antar implementor (unit birokrasi maupun non birokrasi), proses administrasi harus selalu berpijak pada standar prosedur operasional (sebagai acuan pelaksanaannya).

(29)

kebijakan, memerlukan system kontrol dan komunikasi yang terbuka, serta penyediaan sumber daya untuk melakukan pekerjaan. Sedangkan untuk dapat mewujudkan implementasi yang efektif, Islamy menyebutnya dengan tindakan atau perbuatan manusia yang menjadi anggota masyarakat sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pemerintah atau negara.

d. Efek atau dampak dari implementasi kebijakan. Menurut Islamy (1997:119) setiap kebijakan yang telah dibuat dan dilaksanakan akan membawa dampak tertentu terhadap kelompok sasaran, baik yang positif (intended) maupun yang negatif (unintended). Ini berarti bahwa konsep dampak menekankan pada apa yang terjadi secara actual pada kelompok yang ditargetkan dalam kebijakan. Jadi, dengan melihat konsekuensi dari dampak, maka dapat dijadikan sebagai salah satu tolok-ukur keberhasilan implementasi kebijakan dan juga dapat dijadikan sebagai masukan dalam proses perumusan kebijakan yang akan meningkatkan kualitas kebijakan tersebut.

1.4Model Implementasi Kebijakan Publik

Dalam rangka mengimplementasikan kebijakan publik ada ragam tindakan yang dapat dilakukan yaitu: a)dengan mengeluarkan dan menggunakan indikator, b)membelanjakan dana, c)memakai pinjaman, d)menghargai hibah,

e)menandatangani kontrak, f)mengumpulkan data, g)mendistribusikan informasi,

h)menganalisis berbagai masalah, i)mengalokasi dan merekrut personalia,

j)menciptakan unit-unit organisasi, k)mengusulkan berbagai alternative,

l)merencanakan atas masa depan, dan m)bernegosiasi dengan warga secara pribadi,

(30)

Tangkilisan (2003A:20) dalam bukunya menyatakan bahwa dalam melaksanakan implementasi dikenal beberapa model antara lain:

a. Model Gogin, dalam model ini implementasi dilakukan dengan

mengidentifikasikan variabel-variabel yang mempengaruhi tujuan-tujuan formal pada keseluruhan implementasi yakni ; (1) Bentuk dan isi kebijakan, termasuk didalamnya kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi, (2) Kemampuan organisasi dengan segala sumber daya berupa dana maupun insentif lainnya yang akan mendukung implementasi secara efektif, (3) pengaruh lingkungan dari masyarakat dapat berupa katakteristik, motivasi, kecenderungan hubungan antara warga masyarakat, termasuk pola komunikasinya.

b. Model Grindle, menciptakan model implementasi sebagai kaitan antara tujuan

kebijakan dan hasil-hasilnya, selanjutnya pada model ini hasil kebijakan yang dicapai akan dipengaruhi oleh isi kebijakan yang terdiri dari; (1) kepentingan-kepentingan yang dipengaruhi, (2) Tipe-tipe manfaat, (3) derajat perubahan yang diharapkan (4) letak pengambilan keputusan, (5) pelaksanaan program dan (6) sumber daya yang dilibatkan. isi sebuah kebijakan akan menunjukkan posisi pengambilan keputusan oleh sejumlah besar pengambilan kebijakan, sebaliknya ada kebijakan tertentu yang lainnya hanya ditentukan oleh sejumlah kecil 1 unit pengambil kebijakan. Pengaruh selanjutnya adalah lingkungan yang terdiri dari: (1) kekuasaan, kepentingan dan strategi actor yang terlibat, (2) karakteristik lembaga penguasa dan, (3) kepatuhan dan daya tanggap.

(31)

implementasi, 3) komunikasi inter organisasi dan kegiatan pengukuran digunakan oleh pelaksana untuk memakai tujuan yang hendak dicapai, 4) karakteristik pelaksanaan, artinya karakteristik organisasi merupakan faktor krusial yang akan menentukan berhasil tidaknya suatu program, 5) kondisi sosial ekonomi dan politik yang dapat mempengaruhi hasil kebijakan, dan 6) sikap pelaksanaan dalam memahami kebijakan yang akan ditetapkan.

d. Model Deskriptif, William N. Dunn mengemukakan bahwa model kebijakan

dapat diperbandingkan dan dipertimbangkan menurut sejumlah banyak asumsi, yang paling penting diantaranya adalah; 1)perbedaan menurut tujuan, 2) bentuk penyajian dan 3) fungsi metodologis model. Dua bentuk pokok dari model kebijakan adalah (1) Model deskriptif, yaitu model yang menjelaskan dan atau meramalkan sebab dan akibat pilihan-pilihan kebijakan, model kebijakan digunakan untuk memonitor hasil tindakan kebijakan misalnya penyampaian laporan tahunan tentang keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan di lapangan dan (2) Model normatif.

(32)

Secara matematis, model ini disebut dengan “Zero-minus model”, dimana yang ada hanya nilai nol dan minus saja. Sedangkan model mekanisme pasar mengedepankan mekanisme insentif bagi yang menjalani, dan bagi yang tidak menjalankan tidak mendapat sanksi, namun tidak mendapat insentif. Secara matematis model ini dapat disebut sebagai model “ Zero-Plus Model”, dimana yang ada hanya nilai nol dan plus saja. Diantaranya ada kebijakan yang memberikan insentif di satu kutub, dan memberikan sanksi di kutub lain. Model “top-down” mudahnya berupa pola yang dikerjakan oleh pemerintah untuk rakyat,

dimana partisipasi lebih berbentuk mobilisasi. Sebaliknya “bottom-up” bermakna meski kebijakan dibuat pemerintah, namun pelaksanaan antara pemerintah dengan masyarakat.

Secara terperinci ada beberapa model menyoal tentang implementasi kebijakan, yang pertama model klasik dari Van Meter dan Van Horn yang mengandaikan implementasi kebijakan berjalan secara linier dari kebijakan publik, implementor dan kinerja kebijakan publik. Beberapa variabel yang dimasukkan sebagai variabel yang mempengaruhi kebijakan publik adalah variabel:

a. Aktivitas implementasi dan komunikasi antarorganisasi b. Karakteristik dari agen pelaksana/ implementor

c. Kondisi ekonomi, sosial dan ekonomi

d. Kecenderungan (disposisi) dari pelaksana/ implementor.

(33)

mana ukuran dasar dan tujuan kebijakan direalisasikan. Ukuran dasar dan tujuan berguna di dalam menguraikan keputusan kebijakan secara menyeluruh. Disamping itu, ukuran dasar dan tujuan merupakan bukti itu sendiri dan dapat diukur dengan mudah dalam beberapa kasus. Namun demikian dikatakan seringkali dalam banyak kasus sering terjadi kesulitan dalam mengidentifikasi dan mengukur pencapaian yang disebabkan oleh dua hal, yaitu program yang terlalu luas dan sifat tujuan yang kompleks, serta kekaburan dalam ukuran-ukuran dasar tujuan-tujuan sengaja diciptakan oleh pembuat keputusan agar dapat menjamin tanggapan positif dari orang-orang yang diserahi tanggungjawab implementasi pada tingkat organisasi yang lain atau system penyampaian kebijakan.

1.5Keberhasilan Implementasi Kebijaksanaan

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kejelasan antara kebijakan dan kinerja implementasi yaitu: standard dan sasaran kebijakan, komunikasi antara organisasi dan pengukuran aktivitas, karakteristik organisasi komunikasi antar organisasi, kondisi sosial, ekonomi dan politik, sumber daya dan sikap pelaksanaan.

Adapun yang menjadi faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan kebijakan adalah:

a. Persetujuan, dukungan dan kepercayaan dari masyarakat. Karena ketiga hal ini dapat menimbulkan partisipasi masyarakat, yang benar-benar diperlukan untuk pelaksanaan kebijaksanaan.

(34)

interpretasi terhadap kebijaksanaan yang tepat sehingga mempunyai persepsi seperti yang dikehendaki oleh pembentuk kebijaksanaan.

c. Pelaksana haruslah mempunyai cukup informasi, terutama mengenai kebijaksanaan itu.

d. Pembagian pekerjaan yang efektif dalam pelaksanaan. Hal ini berarti perlu pengorganisasian yang baik dengan:

e. Pembagian kekuasaan dan wewenang yang rasional

Selain itu Rippley dan Franklin (dalam Tangkilisan, 2003A:21) menyatakan keberhasilan implementasi kebijakan program dan ditinjau dari tiga faktor yaitu:

a. Prespektif kepatuhan (compliance) yang mengukur implementasi dari kepatuhan strate level burcancrats terhadap atas mereka.

b. Keberhasilan implementasi diukur dari kelancaran rutinitas dan tiadanya persoalan.

c. Implementasi yang berhasil mengarah kepada kinerja yang memuaskan semua pihak terutama kelompok penerima manfaat yang diharapkan.

(35)

Peters (dalam Tangkilisan, 2003A:22) mengatakan bahwa kegagalan implementasi kebijakan disebabkan oleh beberapa faktor.

a. Informasi, informasi yang kurang dengan mudah mengakibatkan adanya gambaran yang kurang tepat baik kepada obyek kebijakan maupun kepada para pelaksana dari isi kebijakan yang akan dilaksanakannya dan hasil-hasil dari kebijakan itu.

b. Isi kebijakan, implementasi kebijakan dapat gagal karena masih samarnya isi atau tujuan kebijakan atau ketidaktepatan atau ketidaktegasan intern maupun ekstern atau kebijakan itu sendiri, menunjukkan adanya kekurangan yang sangat berarti atau adanya kekurangan yang menyangkut sumber daya pembantu.

c. Dukungan, implementasi kebijakan publik akan sangat sulit bila pada pelaksanaannya tidak cukup dukungan untuk kebijakan tersebut.

d. Pembagian potensi, hal ini terkait dengan pembagian potensi diantaranya para actor implementasi dan juga mengenai organisasi pelaksana dalam kaitannya dengan diferensiasi tugas dan wewenang.

1.6Analisis Kebijakan Publik

(36)

Menurut William N Dunn, dalam arti historis yang lebih luas, analisis kebijakan merupakan suatu pendekatan terhadap pemecahan masalah sosial, dimulai pada tonggak sejarah ketika pengetahuan secara eksplisit dan relfektif kemungkinan menghubungkan pengetahuan dengan tindakan.

Analisis kebijakan didefinisikan oleh Harold D Lasswell (dalam Dunn, 2001:1) sebagai aktivitas menciptakan pengetahuan tentang dan dalam proses pembuatan kebijakan. Dalam menciptakan pengetahuan tentang proses pembuatan kebijakan, analisis kebijakan meneliti sebab, akibat dan kinerja kebijakan dan program publik.

Analisis kebijakan tidak diciptakan untuk membangun dan menguji teori-teori deskriptif yang umum seperti teori-teori-teori-teori ekonomi, politik dan sosiologi dalam mengkaji fenomena kasus per kasus. Analisis kebijakan melampaui apa yang dicapai oleh disiplin-disiplin ilmu tradisional. Jika disiplin-disiplin tradisional sekedar menjelaskan keteraturan-keteraturan empiris, maka analisis kebijakan ,mengkombinasikan informasi yang relevan dengan kebijakan yang digunakan untuk mengatasi dan memecahkan permasalahan-permasalahan publik tertentu.

1.7Bentuk-bentuk Analisis Kebijakan

Analisis kebijakan dapat dibedakan menjadi tiga bentuk utama, yakni: analisis kebijakan prospektif, restropektif, dan terintegratif (Dunn, 200:117).

a. Analisis Kebijakan Prospektif

(37)

dipakai dalam merumuskan suatu alternative dan prefensi kebijakan yang dinyatakan secara komparatif, diramalkan dalam bahasa kuantitatif atau kualitatif sebagai landasan atau penuntun dalam pengambilan keputusan.

b. Analisis Kebijakan Retrospektif

Analisis kebijakan retospektif dalam banyak hal sesuai dengan deskripsi penelitian kebijakan yang dikemukakan sebelumnya. Analisis kebijakan retrospektif dijelaskan sebagai penciptaan dan transformasi informasi sesudah aksi kebijakan dilakukan, mencakup berbagai tipe kegiatan yang dikembangkan oleh tiga kelompok analis:

1. Analis yang berorientasi pada disiplin, yang sebagian besar terdiri dari para ilmuwan politik san sosiologi terutama berusaha untuk mengembangkan dan menguji teori yang didasarkan pada teori dan menerangkan sebab-sebab dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan. Kelompok ini jarang berusaha untuk mengidentifikasikan tujuan-tujuan dan sasaran spesifik dari para pembuat kebijakan dan tidak melakukan usaha apapun untuk membedakan variabel kebijakan yang merupakan hal dapat diubah melalui manipulasi kebijakan, dan variabel situasional yang tidak dapat dimanipulasi.

(38)

variabel-variabel yang dapat dimanipulasi oleh para pembuat kebijakan untuk mengatasi masalah.

3. Analis yang beorientasi pada aplikasi, yaitu kelompok analis yang mencakup ilmuwan politik dan sosiologi, tapi juga orang-orang yang datang dari bidang studi professional pekerjaan sosial dan administrasi publik dan bidang studi sejenis seperti penelitian evaluasi. Kelompok ini juga berusaha menerangkan sebab dan konsekuensi kebijakan-kebijakan dan program publik, tetapi tidak menaruh perhatian terhadap pengembangan dan pengujian teori-teori dasar. Lebih jauh, kelompok ini tidak hanya menaruh perhatian pada variabel-variabel kebijakan, tetapi juga melakukan identifikasi tujuan dan sasaran kebijakan dari pada para pembuat kebijakan dan pelaku kebijakan.

c. Analisis Kebijakan yang Terintegrasi

(39)

satupun dari keleihan mereka. Analisis yang terintegrasi melakukan pemantauan dan evaluasi kebijakan secara terus-menerus sepanjang waktu. Tidak demikian halnya dengan analisis prospektif dan retrospektif yang menyediakan lebih sedikit informasi.

2. Perampingan Organisasi

Perampingan merupakan salah satu bentuk restrukturisasi dilakukan untuk meningkatkan kinerja dan mengoptimalkan pelayanan kepada masyarakat. Banyak cara yang dapat ditempuh untuk melakukan restrukturisasi atau rasionalisasi, dan masing-masing cara memiliki kon-sekuensi tersendiri, baik terhadap pekerjaan, maupun konsekuensi psikologis. Laila Naqib menyarankan agar rasionalisasi dilakukan dengan cara, yaitu bagi mereka yang tidak efektif “dirumahkan” dengan menerima gaji separuh bahkan dibayar sampai pensiun, sedangkan bagi pegawai yang efektif dan terpakai di kantor kesejahteraannya dijaga sebaik-baiknya agar mendapatkan penghasilan yang pantas dan seimbang dengan jerih payahnya. Adapun langkah ke depan khususnya dalam melakukan rekrutmen tenaga kerja baru untuk PNS harus dilakukan dengan perencanaan yang matang (manpower planning). Artinya, rekrutmen pegawai dilakukan sesuai dengan kebutuhan.

Secara teoritis, ada delapan cara yang dapat ditempuh untuk melakukan restrukturisasi (Bernardian dan Russell, 1998: 210) yaitu: downsizing, delayering, decentralizing, reorganization, cost-reduction strategy, IT Innovation, competency

(40)

1. Downsizing adalah perampingan organisasi dengan menghapuskan beberapa pekerjaan atau fungsi tertentu. Dengan downsizing, bukan saja organisasi menjadi lebih ramping, tetapi juga pegawai akan berkurang. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa downsizing berdampak pada rasa aman pegawai, baik terhadap pekerjaan maupun karier mereka. Secara psikologis, betapapun rasionalnya alasan untuk melakukan downsizing, pegawai sulit menerima kenyataan ter-sebut. Oleh karena itu, restrukturisasi dengan cara downsizing harus dilakukan secara hati-hati dan selektif.

2. Delayering adalah pengelompokkan kembali jenis-jenis pekerjaan yang sudah

ada. Dengan cara ini, jumlah pegawai akan berkurang karena ada beberapa pekerjaan yang disatukan. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa delayering akan berakibat pada hilangnya beberapa jabatan, sehingga secara psikologis mereka akan kehilangan jati diri karena menganggap mereka tidak akan maju-maju dalam kariernya

(41)

hasil sesuai dengan yang direncanakan, perlu dipersiapkan aturan-aturan dan standar yang jelas sebagai dasar restrukturisasi.

4. Reorganization adalah bentuk restrukturisasi yang dilakukan dengan cara

melakukan peninjauan atau penyusunan kembali (refocusing) tentang kompetensi inti (core competition) dari organisasi yang bersangkutan. Dengan cara ini akan mengakibatkan jumlah pegawai akan berkurang karena adanya pemfokusan kembali pada tugas pokok yang sebenarnya. Pengalaman menunjukkan bahwa restrukturisasi dengan cara reorganisasi akan menimbulkan rasa frustasi pada pegawainya karena mereka akan mengalami pemindahan bahkan pemecatan.

5. Cost reduction strategy adalah penggunaan sumber daya yang lebih sedikit

untuk pekerjaan yang sama. Dengan strategi ini, semua sumber daya, termasuk sumber daya manusia, digunakan sehemat mungkin tanpa mengurangi kualitas keluaran. Ini berarti sebagian pegawai harus dikurangi, meskipun tidak ada perubahan fungsi maupun susunan organisasi. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa cost reduction strategy berdampak langsung pada intensifikasi pekerjaan. Di lain pihak terjadi dampak cukup serius, yaitu pegawai merasa tertekan dan banyak pegawai yang mengalami stres karena tidak tahan menghadapi tekanan dari pekerjaan yang dilakukan. Di samping itu, aspek psikologis khususnya bagi pegawai yang dipilih untuk tetap bekerja (tidak diberhentikan) juga harus diperhatikan.

6. IT Innovation adalah penyesuian pekerjaan dengan perkembangan teknologi.

(42)

pegawai dituntut memiliki skills yang tinggi. Sedangkan mereka yang tidak memiliki kemampuan sesuai dengan tuntutan teknologi akan tersingkir.

7. Competency measurement adalah bentuk restrukturisasi dengan cara melakukan

pengukuran atau pendefinisian ulang terhadap kompetensi yang dibutuhkan oleh pegawai. Dengan strategi ini berakibat pada pengurangan jumlah pegawai karena kemungkinan besar banyak pegawai setelah dilakukan pengkajian kembali kompetensi yang saat ini diperlukan sudah usang atau sudah tidak terpakai lagi (obsoles cence). Secara psikologis akan berdampak pada perilaku mempertahankan diri (self defence).

8. Performance-related pay artinya nilai yang diperoleh oleh pegawai didasarkan pada kinerja yang dicapainya. Strategi ini walaupun tidak drastis akan berakibat pada pengurangan jumlah pegawai, karena hanya pegawai yang memiliki kinerja baik yang akan mendapat penghargaan misal promosi dalam kariernya. Pengalaman menunjukkan bahwa restrukturisasi melalui cara ini akan berdampak pada besarnya rasa individualitas seseorang dan nuansa politis akan kental di dalamnya. Selain itu, secara psikologis akan berdampak pada rasa kepercayaan pegawai begitu rendah.

PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah ditujukan untuk melakukan perampingan (downsizing) dalam birokrasi pemerintah daerah karena dianggap cara inilah langkah yang paling tepat dalam mencapai efektivitas dan juga efisiensi kinerja birokrasi dengan perhitungan risiko yang paling rendah.

(43)

3. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah

Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah diperlukan adanya struktur pemerintahan yang merupakan suatu bagian dari organisasi perangkat pemerintahan. Kepala daerah sebagai pemimpin penyelenggara pemerintah daerah perlu dibantu oleh perangkat daerah yang dapat menyelenggarakan seluruh urusan pemerntahan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Maka dalam PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah disebutkan bahwa perangkat daerah kabupaten/ kota merupakan unsur pembantu kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang terdiri dari sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah dan lembaga teknis daerah, kecamatan dan kelurahan.

Dalam peraturan ini disebutkan bahwa sekretariat daerah merupakan unsur staf yang mempunyai tugas dan kewajiban membantu bupati/ walikota dalam menyusun kebijakan dan mengkoordinasikan dinas daerah dan lembaga teknis daerah.

(44)

Inspektorat merupakan unsur pengawas penyelenggaraan pemerintah daerah. Inspektorat ini mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah kabupaten/ kota, pelaksanaan pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan desa dan pelaksanaan urusan pemerintahan desa. Inspektur dalam melaksanakan tugasnya bertanggungjawab langsung kepada bupati/ walikota dan secara teknis administrastif mendapat pembinaan dari sekretaris daerah.

Badan perencanaan pembangunan daerah merupakan unsur perencana penyelenggaraan pemerintahan daerah. Badan perencanaan pembangunan daerah mempunyai tugas melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah di bidang perencanaan pembangunan daerah. Kepala badan berada di bawah dan bertanggungjawab kepada bupati/ walikota melalui sekretaris daerah.

Dinas daerah merupakan pelaksana otonomi daerah. Dinas daerah mempunyai tugas melaksanakan urusan pemerintahan daerah berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Dinas daerah berkedudukan dibawah dan bertanggungjawab kepada bupati/ walikota melalui sekretaris daerah. Pada dinas daerah dapat dibentuk unit pelaksana teknis untuk melaksanakan sebagian kegiatan teknis operasional dan/ atau kegiatan teknis penunjang yang mempunyai wilayah kerja satu atau beberapa kecamatan.

(45)

Pada lembaga teknis daerah yang berbentuk badan dapat dibentuk unit pelaksana teknis (UPT) tertentu untuk melaksanakan kegiatan teknis operasional dan/ atau kegiatan teknis penunjang yang mempunyai wilayah kerja satu atau beberapa kecamatan.

Kecamatan merupakan wilayah kerja camat sebagai perangkat daerah kabupaten dan daerah kota yang mempunyai tugas melaksanakan kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan oleh bupati/ walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah.

Kelurahan adalah wilayah kerja lurah sebagai perangkat daerah kabupaten/ kota dalam wilayah kecamatan. Lurah berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab kepada bupati/ walikota melalui camat.

Pembentukan organisasi perangkat daerah ditetapkan dengan Peraturan daerah dengan berpedoman pada peraturan pemerintah ini. Dan peraturan yang dimaksud tersebut mengatur mengenai susunan, kedudukan, tugas pokok organisasi perangkat daerah.

(46)
[image:46.595.101.501.145.601.2]

Tabel. 1 Pedoman Penetapan Variabel Besaran Organisasi Perangkat Daerah Kota Menurut PP No.41 Tahun 2007

VARIABEL KELAS INTERVAL NILAI

JUMLAH PENDUDUK (jiwa)

Untuk Kota di Pulau Jawa dan Madura

≤ 100.000

100.001 - 200.000 200.001 - 300.000 300.001 - 400.000 > 400.000 8 16 24 32 40 JUMLAH PENDUDUK (jiwa)

Untuk Kota di luar Pulau Jawa dan Madura

≤ 50.000

50.001 - 100.000 100.001 - 150.000 150.001 - 200.000 > 200.000 8 16 24 32 40 LUAS WILAYAH (KM 2)

Untuk Kota di Pulau Jawa dan Madura

≤ 50 51 - 100 101 - 150 151 - 200 > 200 7 14 21 28 35 LUAS WILAYAH (KM2)

Untuk Kota di luar Pulau Jawa dan Madura

≤ 75 76 - 150 151 - 225 226 - 300 >300 7 14 21 28 35

JUMLAH APBD ≤ Rp. 200 M

Rp. 200.000.000.001 – Rp. 400.000.000.000 Rp.400.000.000.001 – Rp.600.000.000.000 Rp.600.000.000.001 – Rp.800.000.000.000 > Rp.800.000.000.000 5 10 15 20 25 (Sumber: PP No.41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah)

4. Dua Indikator Kinerja Kunci

(47)

a. Rasio Struktur Jabatan Eselonering yang Terisi

Dalam mengukur rasio struktur jabatan eselonering yang terisi ini penulis memakai dua indikator yaitu tingkat struktur jabatan yang sudah terisi dan juga tingkat pendidikan formal sesuai bidang tugasnya.

[image:47.595.112.492.319.728.2]

Jika dilihat dari indikator pertama, pada tahun 2008 adapun persentase struktur jabatan di lingkungan Pemerintah Kota Medan dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel.2 Persentase Struktur Jabatan di Lingkungan Pemko Medan Tahun 2008

No Nama SKPD Jabatan Jab.Terisi

1 Dinas Pendidikan 27 25

2 Kantor Kepustakaan 4 4

3 Dinas Kesehatan 31 27

4 RSU Pirngadi 27 27

5 Dinas Pekerjaan Umum 26 22

6 Dinas Perumahan dan Permukiman 25 15

7 Dinas Pencegah dan Pemadam Kebakaran 26 20

8 Dinas Tata Kota dan Bangunan 25 25

9 Badan Perencanaan Pembangunan Daerah 25 25

10 Dinas Perhubungan 26 12

11 Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup 22 19

12 Dinas Pertamanan 26 26

13 Dinas Kebersihan 26 20

14 Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil 23 21

15 Badan Keluarga Berencana 24 18

16 Kantor Sosial 5 4

17 Dinas Tenaga Kerja 28 19

18 Dinas Koperasi 17 16

19 Kantor Penanaman Modal 5 5

20 Dinas Pariwisata dan Kebudayaan 21 21

21 Dinas Pemuda dan Olahraga 20 17

22 Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat

20 14

23 Badan Polisi Pamong Praja 13 13

24 Bagian Kesejahteraan Rakyat 3 3

25 Bagian Pemberdayaan Perempuan 4 2

26 Bagian Bina Program 4 4

27 Bagian Bina Perekonomian 4 4

(48)
[image:48.595.112.493.135.454.2]

Tabel.3 Lanjutan Tabel Persentase Struktur Jabatan di Lingkungan Pemko Medan Tahun 2008

No. Nama SKPD Jabatan Jab.yang Terisi

28 Bagian Hubungan Antar Kota Antar Daerah

3 3

29 Bagian Agama dan Pendidikan 4 3

30 Bagian Tata Pemerintahan 4 3

31 Bagian keuangan 6 6

32 Bagian Umum 7 6

33 Bagian Humasy 4 2

34 Bagian Hukum 4 4

35 Sekretariat Dewan 10 9

36 Dinas Pendapatan 31 31

37 Balitbang 18 16

38 Bawasko 30 26

39 Badan Kepegawaian Daerah 29 27

40 Badan Pemberdayaan Masyarakat 20 18

41 Kantor Arsip Daerah 5 5

42 Dinas Infokom dan PDE 23 22

43 Dinas Pertanian 29 24

44 Dinas Perikanan dan Kelautan 28 24 45 Dinas Perindustrian dan Perdagangan 30 27

Total 790 696

(Sumber: www.pemkomedan.go.id)

Dari tabel di atas bahwa dari 45 SKPD yang berada di lingkungan Pemerintah Kota Medan, terdapat 790 struktur jabatan. Sampai tahun 2008 hanya 696 struktur jabatan yang terisi. Bila dihitung persentase dari jumlah jabatan yang tersedia dibagi dengan jabatan yang terisi maka hasilnya adalah 696/790 x 100% = 88,1 %, sehingga struktur jabatan yang sudah terisi adalah 88,1 %.

(49)

b. Jenis Jabatan Fungsional dalam Struktur Organisasi Satuan Kerja Perangkat Daerah

Menurut Peraturan Pemerintah 16 Tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional, jabatan fungsional adalah kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggungjawab dalam suatu satuan organisasi yang dalam pelaksanaan tugasnya didasarkan pada mandiri. Jabatan fungsional pada hakikatnya adalah jabatan teknis yang tidak tercantum dalam tugas-tugas pokok dalam organisasi pemerintah. Jabatan fungsional dibagi ke dalam dua bagian besar. Pertama, Jabatan fungsional keahlian yaitu kedudukan yang menunjukkan tugas yang dilandasi oleh pengetahuan, metodologi dan teknis analisis yang didasarkan atas disiplin ilmu yang bersangkutan dan/atau berdasarkan sertifikasi yang setara dengan keahlian dan ditetapkan berdasarkan akreditasi tertentu. Kedua, jabatan fungsional ketrampilan adalah kedudukan yang mengunjukkan tugas yang mempergunakan prosedur dan teknik kerja tertentu serta dilandasi kewenangan penanganan berdasarkan sertifikasi yang ditentukan.

Pengaturan tentang Unit Pelayanan Teknis Dinas dan Badan mengenai nomenklatur, jumlah dan jenis, susunan organisasi, tugas dan fungsi ditetapkan dengan Peraturan Bupati/ Walikota.

F. Definisi Konsep 1. Kebijakan Publik

(50)

pada tujuan tertentu dan mempunyai tindakan-tindakan yang berorientasi pada tujuan, 2) kebijakan publik berisi tindakan-tindakan pemerintah, 3) kebijakan publik merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah, 4) kebijakan publik yang diambil bisa bersifat positif dalam arti merupakan tindakan pemerintah untuk melakukan segala sesuatu dalam masalah tertentu, atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu, 5) kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang bersifat mengikat dan memaksa.

Kebijakan publik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2001 tentang Organisasi Perangkat Daerah.

2. Implementasi Kebijakan

Implementasi kebijakan adalah rangkaian kegiatan setelah suatu kebijakan dirumuskan. Dengan demikian, tahapan implementasi merupakan peristiwa yang berhubungan dengan apa yang terjadi setelah suatu perundang-undangan ditetapkan dengan membentuk out-put yang jelas dan dapat diukur. Dengan demikian tugas implementasi kebijakan sebagai sebuah penghubung yang memungkinkan tujuan-tujuan kebijakan mencapai hasil melalui aktivitas atau kegiatan dari program pemerintah. (Hesel Nogi Tangkilisan, 2003:9)

3. Perampingan Organisasi

(51)

betapapun rasionalnya alasan untuk melakukan downsizing, pegawai sulit menerima kenyataan tersebut. Oleh karena itu, restrukturisasi dengan cara downsizing harus dilakukan secara hati-hati dan selektif.

4. Analisis Kebijakan

Analisis kebijakan adalah aktivitas menciptakan pengetahuan tentang dan dalam proses pembuatan kebijakan (Harold D Lasswell dalam Dunn, 2000:1)

Analisis kebijakan yang dilakukan adalah analisis kebijakan retrospektif yaitu analisis kebijakan yang berorientasi pada masalah (problem oriented analysts).

G. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah unsur-unsur yang memberitahukan bagaimana mengukur suatu variabel sehingga dengan pengukuran tersebut dapat diketahui indikator-indikator apa saja untuk mendukung analisa dari variabel-variabel tersebut. (Singarimbun, 2006:46).

Adapun yang menjadi indikator dari analisa implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah adalah: 1. Kebijakan publik dalam pemerintahan Indonesia berbentuk seperti :

Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Pelaksana lainnya (Peraturan Menteri, Instruksi Menteri, selain itu masih terdapat Peraturan-peraturan Daerah Tingkat I dan Tingkat II serta Keputusan-keputusan Gubernur, dan bupati/ walikota kepala Daerah).

(52)

a. Implementasi merupakan kegiatan yang berkaitan dengan apa yang terjadi sesudah suatu perundang-undangan ditetapkan.

b. Implementasi ini dilakukan oleh unit-unit eksekutor (birokrasi pemerintahan) tertentu dengan memobilisasikan sumber dana dan sumber daya lainnya (teknologi dan manajemen)

c. Melakukan interpretasi dan menerapkan kebijakan.

d. Keberhasilan dalam mengevaluasi masalah dan menerjemahkan ke dalam keputusan yang bersifat khusus.

e. Suatu proses yang dinamis yang melibatkan secara terus-menerus usaha-usaha untuk mencari apa yang akan dan dapat dilakukan.

3. Rasio struktur jabatan eselonering yang terisi, adalah perbandingan antara struktur eselon yang tersedia dengan yang terisi oleh pejabat yang tepat baik dari jabatan eselonnya maupun dari segi pendidikan dari pejabat tersebut.

(53)

BAB II

METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Guna memperoleh informasi sesuai dengan yang terumuskan dalam permasalahan atau tujuan penelitian perlu suatu desain atau rencana menyeluruh tentang urutan kerja penelitian dalam bentuk suatu rumusan operasional suatu metode ilmiah, rincian garis-garis besar keputusan sebagai suatu pilihan beserta dasar atau alasan-alasan ilmiahnya.

Adapun bentuk penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan bentuk penelitian deskriptif dengan analisis data kualitatif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang memusatkan perhatian terhadap masalah-masalah atau fenomena-fenomena yang ada pada saat penelitian dilakukan atau masalah yang actual, kemudian menggambarkan fakta tentang masalah yang diselidiki sebagaimana adanya diiringi dengan interpretasi, tidak menguji hipotesa melainkan hanya mendesskripsikan informasi apa adanya sesuai dengan apa yang diteliti. Dengan bentuk deskriptif ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas tentang analisis implementasi PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah di Kota Medan Tahun 2009.

B. Lokasi Penelitian

(54)

sebagai hasil dari suatu penjajakan dengan alasan bahwa bagian tersebut erat kaitannya dalam pelaksanaan PP No. 41 Tahun 2007 tentang organisasi perangkat daerah.

C. Informan Penelitian

Penelitian kualitatif tidak dimaksudkan untuk membuat generalisasi dari penelitiannya. Oleh karena itu dalam penelitian kualitatif, tidak dikenal adanya populasi dan sampel. Subjek penelitian menjadi informan yang akan memberikan berbagai informasi yang diperlukan selama proses penelitian. Informan penelitian ini meliputi tiga macam yaitu (1) informan kunci (key informan), yaitu mereka yang mengetahui dan memiliki informasi pokok yang diperlukan dalam penelitian, (2) informan utama, yaitu mereka yang terlibat secara langsung dalam interaksi sosial yang diteliti, (3) informan tambahan, yaitu mereka yang dapat memberikan informasi walaupun tidak langsung terlibat dalam interaksi sosial yang sedang diteliti.

Berdasarkan uraian di atas maka penelitian menentukan informan dengan menggunakan purposive sampling yaitu penentuan informan tidak didasarkan atas strata, kedudukan, pedoman atau wilayah tetapi didasarkan adanya tujuan tertentu yang tetap berhubungan dengan permasalahan penelitian, maka peneliti dalam hal ini menggunakan informan yang terdiri atas :

a. Informan Kunci yang terdiri atas:

(55)

b. Informan Utama yang terdiri atas:

- Pejabat dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah c. Informan tambahan

- LSM Birokrat/ Pengamat Politik - Akademisi

D. Teknik Pengumpulan Data

Informasi tentang implementasi PP No. 41 Tahun melalui 2 indikator kinerja kunci di Kota Medan akan digali oleh peneliti sebagai instrumen melalui pengumpulan data primer. Data primer adalah pengumpulan data yang dilakukan secara langsung pada lokasi penelitian dengan cara observasi dan juga melalui wawancara (Focus Group Discussion) terhadap pejabat/ bagian terkait dengan implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 ini.

Selain itu, peneliti juga akan mengumpulkan data sekunder yang dilakukan penulis melalui studi kepustakaan yaitu mengumpulkan data/ dokumen yang dimiliki oleh Bagian Organisasi Tata Pemerintahan dan Bagian Kepegawaian Daerah Kantor Walikota Medan dan informasi melalui literature yang relevan dengan judul penelitian seperti buku-buku, artikel dan majalah yang memiliki masalah yang relevan dengan masalah yang diteliti.

E. Teknik Analisa Data

(56)

memberi penjelasan dan mencari interpretasi dari responden atau menarik kesimpulan.

(57)

BAB III

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

A. Gambaran Umum Pemerintah Kota Medan

1. Sejarah Kota Medan

Pada zaman dahulu Kota Medan dikenal dengan nama Tanah Deli dan keadaan tanahnya berawa-rawa kurang lebih seluas 4000 Ha. Beberapa sungai melintasi Kota Medan ini dan semuanya bermuara ke Selat Malaka. Sungai-sungai itu adalah Sei Deli, Sei Babura, Sei Sikambing, Sei Denai, Sei Putih, Sei Belawan dan Sei Kera.

Pada mulanya yang membuka perkampungan Medan adalah guru Patimpus lokasinya terletak di Tanah Deli, maka sejak zam

Gambar

Gambar 1. Susunan Organisasi Perangkat Daerah Kota Medan
Tabel. 1 Pedoman Penetapan Variabel Besaran Organisasi Perangkat Daerah Kota Menurut PP No.41 Tahun 2007
Tabel.2 Persentase Struktur Jabatan di Lingkungan Pemko Medan Tahun 2008
Tabel.3 Lanjutan Tabel Persentase Struktur Jabatan di Lingkungan Pemko Medan Tahun 2008
+7

Referensi

Dokumen terkait

Setelah pelaksanaan restrukturisasi organisasi perangkat daerah di Kabupaten Gayo Lues menghasilkan perangkat daerah yang terdiri dari: Sekretariat daerah yang meliputi 3

8 tahun 2003, maka perangkat daerah adalah organisasi/lembaga pada Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab kepada Kepala Daerah dan membantu Kepala Daerah dalam

Sebelum terbitnya Peraturan Pemerintah nomor 41 tahun 2007 (PP No. 41 Tahun 2007) tentang Organisasi Perangkat Daerah, Sekretariat Daerah Kabupaten Karo diatur dalam Peraturan

Dari hasil penelitian diperoleh bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah terkait dengan tiga substansi yang diteliti yakni,

Carl Friedrich memandang kebijakan sebagai suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, yang memberikan hambatan

1) Penyelenggaraan kesekretariatan dinas. 2) Penyusunan rencana program, pengendalian, evaluasi, dan pelaporan. 4) Pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan.

Perangkat daerah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah Pasal 1 angka 8 PP ini menyatakan

Diatur pula dalam Peraturan Pemerintah ini mengenai pembentukan lembaga lain dalam rangka melaksanakan kebijakan Pemerintah, sebagai bagian dari perangkat daerah, seperti