• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sifat Antirayap Ekstrak Kulit Biji Saga (Adenanthera pavonina Linn)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Sifat Antirayap Ekstrak Kulit Biji Saga (Adenanthera pavonina Linn)"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

SIFAT ANTIRAYAP EKSTRAK KULIT BIJI SAGA

(Adenanthera pavonina Linn)

SKRIPSI

Lensi Mian Sinaga

081203024

Teknologi Hasil Hutan

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

SIFAT ANTIRAYAP EKSTRAK KULIT BIJI SAGA

(Adenanthera pavonina Linn)

SKRIPSI

Lensi Mian Sinaga

081203024

Teknologi Hasil Hutan

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Sifat Antirayap Ekstrak Kulit Biji Saga (Adenanthera pavonina L.)

Nama : Lensi Mian Sinaga NIM : 081203024

P. Studi : Teknologi Hasil Hutan

Disetujui oleh: Komisi Pembimbing

Dr. Rudi Hartono, S.Hut, M.Si

Ketua Anggota

Luthfi Hakim, S.Hut, M.Si

Mengetahui:

(4)

RIWAYAT HIDUP

LENSI MIAN SINAGA dilahirkan di Pematang Siantar pada tanggal 2

Februari 1991merupakan anak pertama dari lima bersaudara dari pasangan Ayah

Dapot Sinaga dan dari Ibu Risma Sihombing. Penulis merupakan putri pertama

dari lima bersaudara.

Penulis menyelesaikan Sekolah Dasar di SD. RK 3 P.Siantar pada tahun

2002, dilanjutkan di SMP CR 3 P.Siantar pada tahun 2005 dan lulus di SMA

Sultan Agung P.Siantar pada tahun 2008. Tahun 2008 penulis lulus dari SMA

Swasta Sultan Agung Pematang Siantar dan pada tahun 2008 lulus seleksi masuk

USU melalui jalur Ujian Masuk Bersama (UMB). Penulis memilih jurusan

Teknologi Hasil Hutan, Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten mata kuliah

Sifat Fisis Mekanis Kayu dan Silvika. Penulis juga mengikuti kegiatan organisasi

HIMAS pada tahun 2009. Penulis melaksanakan praktek kerja lapangan di PT.

ARARA ABADI, Riau. Penulis pernah mengikuti Lomba Karya Tulis dan

menjadi finalis pada Pengembangan Kreativitas Mahasiswa Gagasan tertulis dan

PKM-Penelitian DP2M DIKTI di bawah bimbingan Arif Nuryawan dan

dikembangkan menjadi skripsi dengan judul “ Sifat Antirayap Ekstrak Kulit Biji

Saga (Adenanthera pavonina L) di bawah bimbingan Rudi Hartono dan Luthfi

(5)

ABSTRACT

Lensi Mian Sinaga. 081203024. Nature Of Antirayap Ectract Husk Seed Saga (Adenanthera pavonina Linn). Under tuition of Dr. Rudi Hartono, S.Hut, M.Si, and Luthfi Hakim S. Hut, M. Si.

The wood was easy degradated by termites so old age wood become decreased. Controlling of termites could done by used preservative plants by the nature of saga seed husk (Adenanthera pavonina L). This research aimed to know saga seed husk extract rate and percentage of heavy degradation of test example, level toxic of shallot husk extract based on value of mortality and termites consumption level value.

Research done by extracting sample with methanol and partitioned with n-Hexane. Concentrated extract 2%, 4%, and 6% was used the toxicity test of the termite Coptotermes curvignathus. The Results showed that saga seed husk extract content is 15.82%. Mortality of termite baiting with 6% concentration was happened in the day of 5 respectively, mortality in 2% and 4% was happened in the day 6 while the control concentration was happened in the day of 12. There was tendency of saga seed husk extract concentration excelsior hence progressively lower the percentage lost weight of cellulose paper and rate of consumption of termites. The percentage lost weight of cellulose paper about 3,88%–11,04%, mortality rate on different concentration reach 100 % and rate of consumption of termite is 0,26–0,73mg. Thereby concentration 6% was better evaluated from mortality, the percentage lost weight of cellulose paper and rate of consumption of termites.

Keyword : Husk Seed saga, Extract, Biotermitecida, Termite

(6)

ABSTRAK

Lensi Mian Sinaga. 081203024. Sifat Antirayap Ekstrak Kulit Biji Saga (Adenanthera pavonina Linn). Dibawah bimbingan Dr. Rudi Hartono, S.Hut, M.Si, dan Luthfi Hakim S. Hut, M. Si.

Kayu sangat mudah terdegradasi oleh rayap tanah sehingga umur pakai kayu menjadi berkurang. Upaya untuk mencegah serangan rayap dapat dilakukan menggunakan bahan pengawet nabati seperti kulit biji saga (Adenanthera pavonina L). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kadar ekstrak kulit biji saga dan persentase penurunan berat contoh uji, mengevaluasi tingkat ketoksikan ekstrak kulit biji saga berdasarkan nilai mortalitas rayap dan nilai tingkat konsumsi rayap.

Penelitian dilakukan dengan mengekstraksi kulit biji saga dengan metanol dan dipartisi dengan n-heksana. Ekstrak pekat konsentrasi 2%, 4%, dan 6% yang diperoleh digunakan untuk uji toksisitas terhadap rayap tanah Coptotermes curvignathus. Hasil penelitian menunjukkan kandungan ekstrak

kulit biji saga adalah 15.82%. Kematian rayap 100% dengan pengumpanan konsentrasi 6% terjadi pada hari ke-5, pada konsentrasi 2% dan 4% terjadi pada hari ke-6 sedangkan pada kontrol terjadi pada hari ke-12. Ada kecenderungan semakin tinggi konsentrasi ekstrak kulit biji saga maka semakin rendah penurunan berat contoh uji dan tingkat konsumsi rayap. Persentase penurunan berat kertas selulosa adalah 3,88–11,04 %, dan tingkat konsumsi makan rayap per individu 0,26–0,73 mg. Dengan demikian konsentrasi 6% merupakan konsentrasi yang terbaik ditinjau dari mortalitas, penurunan berat contoh uji dan tingkat konsumsi rayap.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah

melimpahkan rahmat dan anugerah-Nya. Atas berkat-Nya hasil penelitian ini

dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Judul hasil penelitian ini adalah “Sifat Antirayap Ekstrak Kulit Biji Saga

(Adenanthera pavonina Linn)”. Ini sebagai salah satu syarat untuk dapat

menyelesaikan perkuliahan minat Teknologi Hasil Hutan, Program Studi

Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Pada kesempatan ini, Penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Rudi Hartono, S.Hut, M.Si dan Bapak Luthfi Hakim, S.Hut, M.Si

sebagai komisi pembimbing yang telah mendukung, membimbing dan

memberi masukan-masukan serta saran dalam penyelesaian penelitian ini.

2. Bapak Lamek Marpaung, Ph.D dan asisten Lab Kimia Bahan Alam (FMIPA)

yang telah membantu dan membimbing dalam proses penelitian.

3. Staf pegawai Kehutanan (Bapak Roby, Bapak Teguh, Ibu Yeni, dan Ibu Ros)

yang membantu dalam proses administrasi.

4. Kedua orang tua, Bapak Dapot Sinaga dan Ibu Risma Sihombing yang selalu

mendoakan, memberikan kasih sayang, semangat, nasehat dan dukungan.

Sungguh tiada kata yang dapat menggambarkan betapa berharganya kedua

orangtua bagi penulis.

5. Margaretha Sitanggang teman seperjuangan dalam penelitian yang

selalu mengingatkan dan memotivasi dan buat sahabatku Lateranita, Ruth, Ory,

dan Friska S juga teman seperjuangan THH08 atas semua perhatian,

(8)

6. Sahabat kos Rohana, Kak Vera, Kak Ana, adik-adik dan keluarga kos di 106

yang memberi perhatian, nasehat dan motivasi, kebersamaan yang tidak

terlupakan.

Penulis menyadari bahwa penulisan hasil penelitian ini masih kurang dari

sempurna. Oleh sebab itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang

bersifat membangun dari para pembaca.

Akhir kata, Penulis mengucapkan terima kasih. Semoga hasil penelitian ini

dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Agustus 2012

(9)
(10)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kadar Ekstrak ... 21

Pengaruh Toksik Ekstrak Kulit Biji Saga Terhadap Mortalitas ... 22

Persentase Penurunan Berat ... 26

Tingkat Konsumsi Rayap ... 29

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 32

Saran ... 32

DAFTAR PUSTAKA ... 33

(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Biji dan Kulit Biji Saga ... 4

2. Bagan Ekstraksi ... 16

3. Botol Uji Pengumpanan ... 18

4. Mortalitas Rayap Selama 12 Hari Pengamatan ... 22

5. Penurunan Berat Contoh Uji dengan Konsentrasi ... 26

6. Kertas Uji yang Dimakan Rayap pada Kontrol (a) dan Kertas Uji yang Diberi Ekstrak Biji Saga (b) ... 28

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Skema Penelitian ... 36

2. Perhitungan Kadar Ekstrak ... 37

3. Data Pengamatan Mortalitas Rayap ... 38

4. Data Berat Kertas Selulosa, Penurunan Berat Contoh Uji dan Tingkat Konsumsi Rayap ... 39

5. Sidik Ragam dan Uji Tukey Nilai Mortalitas ... 40

6. Sidik Ragam dan Uji Tukey Penurunan Berat... 41

7. Sidik Ragam dan Uji Tukey Tingkat Konsumsi Rayap ... 42

(13)

ABSTRACT

Lensi Mian Sinaga. 081203024. Nature Of Antirayap Ectract Husk Seed Saga (Adenanthera pavonina Linn). Under tuition of Dr. Rudi Hartono, S.Hut, M.Si, and Luthfi Hakim S. Hut, M. Si.

The wood was easy degradated by termites so old age wood become decreased. Controlling of termites could done by used preservative plants by the nature of saga seed husk (Adenanthera pavonina L). This research aimed to know saga seed husk extract rate and percentage of heavy degradation of test example, level toxic of shallot husk extract based on value of mortality and termites consumption level value.

Research done by extracting sample with methanol and partitioned with n-Hexane. Concentrated extract 2%, 4%, and 6% was used the toxicity test of the termite Coptotermes curvignathus. The Results showed that saga seed husk extract content is 15.82%. Mortality of termite baiting with 6% concentration was happened in the day of 5 respectively, mortality in 2% and 4% was happened in the day 6 while the control concentration was happened in the day of 12. There was tendency of saga seed husk extract concentration excelsior hence progressively lower the percentage lost weight of cellulose paper and rate of consumption of termites. The percentage lost weight of cellulose paper about 3,88%–11,04%, mortality rate on different concentration reach 100 % and rate of consumption of termite is 0,26–0,73mg. Thereby concentration 6% was better evaluated from mortality, the percentage lost weight of cellulose paper and rate of consumption of termites.

Keyword : Husk Seed saga, Extract, Biotermitecida, Termite

(14)

ABSTRAK

Lensi Mian Sinaga. 081203024. Sifat Antirayap Ekstrak Kulit Biji Saga (Adenanthera pavonina Linn). Dibawah bimbingan Dr. Rudi Hartono, S.Hut, M.Si, dan Luthfi Hakim S. Hut, M. Si.

Kayu sangat mudah terdegradasi oleh rayap tanah sehingga umur pakai kayu menjadi berkurang. Upaya untuk mencegah serangan rayap dapat dilakukan menggunakan bahan pengawet nabati seperti kulit biji saga (Adenanthera pavonina L). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kadar ekstrak kulit biji saga dan persentase penurunan berat contoh uji, mengevaluasi tingkat ketoksikan ekstrak kulit biji saga berdasarkan nilai mortalitas rayap dan nilai tingkat konsumsi rayap.

Penelitian dilakukan dengan mengekstraksi kulit biji saga dengan metanol dan dipartisi dengan n-heksana. Ekstrak pekat konsentrasi 2%, 4%, dan 6% yang diperoleh digunakan untuk uji toksisitas terhadap rayap tanah Coptotermes curvignathus. Hasil penelitian menunjukkan kandungan ekstrak

kulit biji saga adalah 15.82%. Kematian rayap 100% dengan pengumpanan konsentrasi 6% terjadi pada hari ke-5, pada konsentrasi 2% dan 4% terjadi pada hari ke-6 sedangkan pada kontrol terjadi pada hari ke-12. Ada kecenderungan semakin tinggi konsentrasi ekstrak kulit biji saga maka semakin rendah penurunan berat contoh uji dan tingkat konsumsi rayap. Persentase penurunan berat kertas selulosa adalah 3,88–11,04 %, dan tingkat konsumsi makan rayap per individu 0,26–0,73 mg. Dengan demikian konsentrasi 6% merupakan konsentrasi yang terbaik ditinjau dari mortalitas, penurunan berat contoh uji dan tingkat konsumsi rayap.

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Rayap perusak kayu mempunyai hubungan yang erat dengan lingkungan

tempat hidupnya. Kayu dianggap sebagai inang bagi rayap perusak, karena rayap

hidup dan makan di dalam kayu. Lingkungan hidup rayap terdiri atas faktor fisik

dan biologis. Faktor fisik antara lain suhu dan kelembaban, sedangkan faktor

biologis terdiri atas organisme lain yang hidup di sekitarnya (Tohir, 2010).

Hakim, dkk, (2000) mengemukakan bahwa sebagian besar gedung

bertingkat di kota medan diserang oleh rayap, seperti rayap Coptotermes

curvignatus Holmgren dan Microtermes inspiratus Kemner. Rayap-rayap ini

menyerang kusen, komponen rangka atap, dan sebagainya. Menurut

Tarumingkeng (2003), di Jakarta kerugian terhadap kerusakan bangunan akibat

serangan rayap mencapai Rp 2,6 Triliun per tahun.

Melihat tingginya tingkat kerugian akibat rayap maka perlu upaya

pengendalian rayap. Pengendalian dilakukan dengan menggunakan bahan

pengawet, baik secara kimia ataupun nabati. Penggunaan bahan pengawet nabati

biasanya relatif mudah didapat, aman terhadap hewan bukan sasaran dan mudah

terurai di alam sehingga tidak menimbulkan efek samping (Kardinan, 1992).

Beberapa bahan pengawet alami telah diuji coba terhadap rayap adalah

Ekstrak kulit kayu Accacia auricoliformis A (Yanti, 2008), ekstrak daun mimba

(Priadi, 2007), ekstrak antiaris (Prianto, dkk, 2006) dan lain-lain. Walau sudah

banyak bahan pengawet nabati, namun masih perlu mengeksplorasi jenis-jenis

(16)

Hasil penelitian Lie, dkk,(1980) dan Oey, dkk, (1981) mengemukakan

bahwa biji saga mengandung suatu senyawa beracun. Lebih lanjut Oey, dkk,

(1983) mengemukakan bahwa senyawa beracun dalam biji saga kemungkinan

besar berbeda dengan senyawa-senyawa antinutrisi yang telah diketahui seperti

antitripsin, saponin atau hemaglutinin. Berdasarkan hal tersebut, maka dibuat

penelitian yang menguji sifat antirayap kulit biji saga. Kulit biji saga akan

diekstrak dengan pelarut metanol dan akan diujikan ke rayap tanah.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menentukan kadar ekstrak kulit biji saga dan mengevaluasi tingkat

ketoksikan ekstrak kulit biji saga.

2. Mengevaluasi penurunan berat contoh uji pada kertas selulosa yang telah

diberi ekstrak

3. Mengevaluasi tingkat konsumsi rayap

Kegunaan Penelitian

Kegunaan dalam penelitian ini adalah diperoleh biotermitisida yang

berkualitas baik yang digunakan sebagai bahan pengawet nabati antirayap.

Hipotesis

Hipotesis yang diuji adalah perbedaan konsentrasi ekstraksi kulit biji saga

diduga berpengaruh terhadap mortalitas, penurunan berat contoh uji dan tingkat

(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Pohon Saga (Adenanthera pavonina Linn) 1. Habitat Pohon Saga

Saga merupakan pohon yang memiliki biji kecil berwarna merah dengan

batang pohon yang tinggi, dan daun yang lebih kecil. Pohon Saga merupakan

pohon yang memiliki banyak fungsi jika dimanfaatkan bagian dari pohon tersebut

misalnya kayunya digunakan untuk bahan kayu bakar oleh ibu rumah tangga,

daunnya digunakan sebagai bahan pupuk dan bijinya dapat dibuat menjadi bahan

kerajinan tangan.

Pohon Saga dapat hidup dengan baik di tempat-tempat yang terbuka dan

terkena sinar matahari secara langsung baik di dataran rendah maupun dataran

tinggi, yakni pada ketinggian 1 - 600 m di atas permukaan laut. Perawatan

tanaman saga tidak terlalu sulit. Untuk mendapatkan tanaman yang tumbuh

dengan baik dan sehat, media tanam atau lahan yang akan ditanami harus subur,

gembur, dan drainase diatur dengan baik (Juniarti, dkk, 2009).

Tanaman saga mulai berbuah pada umur lima tahun dan berproduksi tiga

kali setahun sampai berumur 25-30 tahun. Dari saat berbunga sampai polong

buahnya tua diperlukan waktu kira-kira 3.5-4 bulan. Produksi biji kering per

pohon per tahun 1-150 kilogram (Lukman, 1982)

2. Kulit Biji Saga

Pohon Saga merupakan tanaman yang termasuk famili kacang-kacangan

(leguminoceae) yang berbentuk pohon. Tanaman menghasilkan biji merah yang

(18)

Kandungan yang bermanfaat pada biji saga dapat dimanfaatkan secara

benar-benar dengan mengolahnya menjadi sebuah makanan sehingga biji Pohon Saga ini

tidak terbuang-buang di lingkungan sekitar tempat dimana saga pohon ini tumbuh

(Nio, dkk, 2009).

Senyawa antinutrisi yang dianalisa dalam kulit biji saga adalah antitripsin

(metode Smith, dkk, 1980), antikhimotripsin (Kakade, dkk, 1970), dan saponin

dengan metode spektrophotometri (Muchtadi, 1982). Daunnya majemuk,

berbentuk bulat telur serta berukuran kecil-kecil. Daun Saga bersirip ganjil. Saga

mempunyai buah polong berisi biji-biji yang berwarna merah dan licin. Kulit biji

saga yang terdapat pada bagian luar sangat keras sehingga biji tersebut tahan

terhadap kondisi lingkungan dalam masa sebagai bibit tanaman (peregenerasian).

Gambar 1. Biji dan kulit biji saga

Pigmen kulit biji saga melarut dalam pelarut lemak dan menghasilkan

warna kuning muda. Sifat-sifat kelarutan pigmen kulit biji saga dalam pelarut

lemak memperlihatkan kesamaan dengan sifat-sifat kelarutan pigmen klofofil dan

karetonoid, sedangkan kelarutan dalam pelarut air menunjukkan kesamaan dengan

(19)

3. Kimia Kulit Biji Saga

Biji saga pohon berbeda dengan biji saga manis baik dalam bentuknya

maupun ukurannya. Biji saga pohon berbentuk segitiga tumpul berwarna merah

tua polos. Garis tengah biji 5-6 mm, kedua sisinya berbentuk cembung dan berat

satu butir biji kira-kira 0.267 g. Diduga biji saga pohon mengandung flavogloid,

alkaloid, antitripsin, saponin, hemaglutinin dan faktor goitrogenik yang

menyebabkan racun (Lukman, 1982).

Biji saga mengandung saponin pada kulit bijinya yang berwarna merah.

Saponin adalah jenis glikosida yang banyak ditemukan dalam tumbuhan. Sumber

utama saponin adalah biji-bijian selain pada biji saga juga terdapat pada kedelai.

Saponin memiliki karakteristik berupa buih. Sehingga ketika direaksikan dengan

air dan dikocok maka akan terbentuk buih yang dapat bertahan lama. Saponin

mudah larut dalam air dan tidak larut dalam eter. Saponin memiliki rasa pahit

menusuk dan menyebabkan bersin serta iritasi pada selaput lendir. Saponin

merupakan racun yang dapat menghancurkan butir darah atau hemolisis pada

darah. Saponin bersifat racun bagi hewan berdarah dingin dan diantaranya

digunakan sebagai racun ikan. Saponin yang bersifat keras atau racun biasa

disebut Sapotoksin (Muehtrrdiu, dkk, 2002).

Saponin adalah suatu glikosida yang mungkin ada pada banyak tanaman.

Saponin ada pada seluruh tanaman dengan konsentrasi tinggi pada bagian-bagian

tertentu dan dipengaruhi oleh varietas tanaman serta tahap pertumbuhan. Fungsi

dalam tumbuh-tumbuhan tidak diketahui, mungkin sebagai bentuk penyimpanan

karbohidrat atau merupakan waste product dari metabolisme tumbuh-tumbuhan.

(20)

jenis saponin yang dikenal yaitu glikosida triterpenoid alkohol dan glikosida

struktur steroid (Robinson, 1995).

Saponin merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun,

serta dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan

menghemolisis sel darah. Saponin yang terdapat dalam simplisia mengandung

turunan terpena dan sebagian kecil steroid. Beberapa saponin bersifat asam,

karena kehadiran gugus karboksil pada aglikon dan atau gugus gula (Harborne,

1996).

Hemaglutinin terutama terdapat dalam kacang-kacangan dan kacang

polong famili legumeninose dan euphorbiaceae. Zat aktif ini berupa protein yang

akan menggumpalkan dan hemolisis butir darah. Wujud toksiknya juga berupa

adanya hambatan terhadap aneka ragam enzim protease (Lukman, 1982).

4. Keawetan BijiSaga

Biji tersusun oleh adanya kulit, kotiledon, dan hipokotil. Kulit merupakan

bagian yang lebih besar yaitu sebesar 52,13% dengan kisaran 51,8-52,5%,

sedangkan kotiledon dan hipokotil sebesar 47,87% dengan kisaran 46,2–48,91%.

Tanda-tanda tua biji saga adalah adanya polong pecah dan terbelah dan tangkupan

kulit polong membentuk susunan spiral, biji sangat keras, kulit biji berwarna

merah cemerlang, serta keping biji berwarna kuning kecoklatan (Theresia, 1986).

Kandungan ekstraktif dalam kulit lebih tinggi daripada dalam kayu.

Keanekaragaman senyawa yang dapat diekstraksi biasanya membutuhkan

(21)

komposisi ini dapat sangat besar bahkan di dalam kayu satu genus

(Fengel dan Wegener, 1995).

Ekstraktif-ekstraktif menempati tempat-tempat morfologi tertentu dalam

struktur kayu. Sebagai contoh asam–asam resin terdapat dalam saluran resin,

sedangkan lemak dan lilin terdapat dalam sel parenkim jari-jari. Ekstraktif–

ekstraktif fenol terdapat terutama dalam kayu teras dan dalam kulit

(Sjớstrớm, 1998). Hasil penelitian menunjukkan bahwa antara air, metanol,

etanol, dan propanol yang mampu melarutkan zat warna yang paling banyak

adalah metanol. Kemampuan pelarutan dari masing-masing pelarut secara

berurutan adalah metanol > air > etanol > propanol (Rahmana, dkk, 2010).

Ekstraksi

Ekstraksi merupakan salah satu cara pemisahan satu atau lebih komponen

dari suatu bahan atau jaringan tanaman. Menurut Markham (1975), proses awal

ekstraksi komponen-komponen aktif dari suatu jaringan tanaman adalah dengan

menghaluskan jaringan tanaman tersebut. Hal ini bertujuan untuk memperbesar

peluang terlarutnya komponen-komponen metabolit yang diinginkan. Tetapi

sebelum diekstraksi, jaringan tanaman dikeringkan untuk mempertahankan

kandungan metabolit dalam tanaman yang telah dipotong sehingga proses

metabolism terhenti (Mursito, 2002).

Terdapat berbagai macam metode ekstraksi seperti maserasi, refluks dan

sokletasi. Metode ekstraksi yang digunakan untuk proses ekstraksi dalam

penelitian ini adalah maserasi. Prinsip dari metode ini adalah proses difusi pelarut

(22)

dalam tanaman tersebut. Biasanya maserasi digunakan untuk mengekstrak

senyawa yang kurang tahan panas, dan digunakan untuk sampel yang belum

diketahui karakteristik senyawanya sedangkan kelemahan metode ini adalah

waktu ekstraksi yang relatif lama (Yulanda, 2007).

Ekstrak adalah sediaan kering, kental, atau cair dibuat dengan menyari

simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok di luar pengaruh cahaya

matahari langsung. Ekstraksi atau penyarian merupakan proses perpindahan massa

zat aktif yang semula berada di dalam sel setelah mengalami pembasahan oleh

cairan penyari, zat aktif yang terlarut pada cairan penyari akan keluar dari dinding

sel. Metode ekstraksi maserasi merupakan cara penyarian sederhana, yang

dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan

penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam ronga sel yang

mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan

konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan di luar sel, maka larutan

yang terpekat didesak keluar (Kartikasari, 2008).

Campuran bahan padat maupun cair (biasanya bahan alami) seringkali

tidak dapat atau sulit dipisahkan dengan metode pemisah mekanik, misalnya

karena komponennya bercampur secara homogen. Campuran bahan yang tidak

dapat atau sukar dipisahkan dengan metode pemisahan mekanik adalah dengan

metode ekstraksi (Tohir, 2010).

Proses pemisahan ekstraksi cair-cair menggunakan pelarut n-heksana.

Pada saat pencampuran antara ekstrak pekat dengan n-heksana terjadi perpindahan

massa yaitu ekstrak meninggalkan pelarut yang pertama (media pembawa) dan

(23)

bahan ekstraksi dan pelarut tidak saling melarut atau bercampur agar terjadi

perpindahan massa yang baik. Penambahan pelarut n-heksana yang baik adalah

yang mana ekstrak yang dihasilkan sebanding dengan pelarut n-heksana

(Bernasconi, 1995).

Biji saga yang diekstrak dengan air atau aseton dapat bersifat sebagai

racun perut bagi serangga, sedangkan tepung bijinya yang diaplikasikan pada

tepung terigu dengan konsentrasi 5% mampu mengendalikan hama gudang

Sitophilus sp. selama tiga bulan (Iskandar dan Kardinan 1995).

Uji toksisitas dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu uji toksisitas

tidak khas dan uji toksisitas khas. Uji toksisitas tidak khas adalah uji yang

dirancang untuk mengevaluasi keseluruhan atau spektrum efek toksik suatu

senyawa. Uji toksisitas khas adalah uji yang dirancang untuk mengevaluasi secara

rinci efek yang khas suatu senyawa. Kematian merupakan salah satu diantara

beberapa kriteria toksisitas. Salah satu caranya dengan menggunakan senyawa

dosis maksimal, kemudian kematian hewan percobaan dicatat. Angka kematian

hewan percobaan dihitung sebagai harga median lethal dose (LD50) atau median

lethalconcentration (LC50) (Donatus, 1990).

Biotermitisida Alamiah

Pestisida alami adalah pestisida yang bahan dasarnya berasal dari tanaman

atau tumbuhan. Pestisida nabati bisa dibuat secara sederhana yaitu dengan

menggunakan hasil perasan, ekstrak, rendaman atau rebusan bagian tanaman baik

berupa daun, batang, akar, umbi, biji ataupun buah misalnya ekstrak kulit kayu

(24)

ekstrak antiaris (Prianto, dkk, 2006) dan lain-lain. Biotermitisida sangat

diperlukan dalam pengendalian hama rayap sesuai dengan dosis yang dianjurkan.

Penolakan serangga atau binatang untuk memakan tumbuhan tersebut dapat

disebabkan karena tumbuhan memiliki kandungan senyawa kimia yang sifatnya

sebagai allomone, yakni memberi efek negatif terhadap perkembangan serangga.

Senyawa-senyawa kima tersebut dikenal dengan istilah metabolit sekunder, yang

bersifat sebagai senyawa bioaktif. Senyawa bioaktif yang terkandung tersebut

diduga memiliki peranan yang sangat besar dalam meningkatkan sifat anti rayap

dalam mematikan rayap. Senyawa-senyawa bioaktif tersebut juga dapat merusak

sistem saraf rayap menyebabkan sistem saraf tidak berfungsi dan pada akhirnya

dapat mematikan rayap (Nasir dan lasmini, 2008).

Menurut Sastrodihardjo (1999), pengaruh zat ekstraktif terhadap kematian

rayap dan serangga lainnya adalah sebagai penghambat sintesis protein,

khususnya dari kelompok tanin, stilbena, alkaloid dan resin sedangkan kelompok

terpenoid dapat merusak fungsi sel rayap yang pada akhirnya menghambat proses

ganti kulit rayap.

Pada sisi lain, faktor-faktor perusak harus dilihat sebagai komponen yang

muncul sebagai hasil interaksi antara kayu dengan lingkungan penggunaannya,

baik lingkungan biotik maupun lingkungan abiotik. Lingkungan biotik dapat

mempengaruhi ketahanan kayu karena organisme perusak berinteraksi dengan

kayu dalam bentuk menjadikannya sebagai bahan makanan atau tempat

perlindungan. Sedangkan lingkungan abiotik mampu mempengaruhi ketahanan

kayu karena adanya interaksi fisik, mekanis maupun kimia yang dapat merombak

(25)

Rayap Tanah

1. Rayap sebagai Perusak Kayu

Rayap selalu hidup dalam satu kelompok yang disebut koloni dengan pola

hidup sosial. Seketurunan rayap selalu hidup dalam kelompok yang disebut

koloni. Satu koloni terbentuk dari sepasang laron (alates) betina dan jantan yang

melakukan kopulasi dan mampu memperoleh habitat yang cocok yaitu bahan

berselulosa untuk membentuk sarang utama. Koloni rayap dapat juga terbentuk

dari fragmen koloni yang terpisah dari koloni utama karena sesuatu bencana yang

menimpa koloni utama itu. Individu betina pertama yang disebut ratu meletakkan

beribu-ribu telur yang kemudian menetas dan berkembang menjadi

individu-individu yang polimorfis, subkelompok yang berbeda bentuk yaitu kasta pekerja,

kasta prajurit dan neoten, di samping itu terdapat juga individu-individu muda

(pradewasa) yang biasa disebut nimfa atau larva (Prianto, dkk, 2006).

Dalam hidupnya rayap mempunyai beberapa sifat yang penting untuk

diperhatikan yaitu:

1. Sifat Trophalaxis, yaitu sifat rayap untuk berkumpul saling menjilat serta

mengadakan pertukaran bahan makanan.

2. Sifat Cryptobiotic, yaitu sifat rayap untuk menjauhi cahaya. Sifat ini tidak

berlaku pada rayap yang bersayap (calon kasta reproduktif) dimana

mereka selama periode yang pendek di dalam hidupnya memerlukan

cahaya (terang).

3. Sifat Kanibalisme, yaitu sifat rayap untuk memakan individu sejenis yang

lemah dan sakit. Sifat ini lebih menonjol bila rayap berada dalam keadaan

(26)

4. Sifat Necrophagy, yaitu sifat rayap untuk memakan bangkai sesamanya.

Setiap koloni rayap terdapat tiga kasta yang menurut fungsinya

masing-masing diberi nama kasta pekerja, kasta prajurit, dan kasta reproduktif (reprodukif

primer dan reproduktif suplementer) (Tambunan dan Nandika, 1989;

Tarumingkeng, 2004).

Menurut Nandika, dkk, (2003), rayap merusak bangunan tanpa

memperdulikan kepentingan manusia. Rayap mampu merusak bangunan gedung,

bahkan juga menyerang dan merusak buku-buku, kabel listrik dan telepon, serta

barang-barang yang disimpan. Rayap untuk mencapai sasaran dapat menembus

tembok yang tebalnya beberapa sentimeter (cm), menghancurkan plastik, kabel

penghalang fisik lainnya. Apapun bentuk konstruksi bangunan gedung

(slab, basement atau cawal space) rayap dapat menembus lubang terbuka atau

celah pada slab, disekitar celah kayu atau pipa ledeng, celah antara pondasi dan

tembok maupun pada atap kuda-kuda.

Di Indonesia rayap tegolong kedalam kelompok serangga perusak kayu

(Tarumingkeng, 2000). Kerusakan akibat serangan rayap tidak kecil. Binatang

kecil yang tergolong kedalam binatang sosial ini, mampu menghancurkan

bangunan yang berukuran besar dan menyebabkan kerugian yang besar pula.

Serangan rayap tanah ini dapat ditandai dengan adanya :

1. Tanda awal adalah pemunculan swarmer atau sayap yang tersebar dalam

jumlah banyak.

2. Adanya liang kembara (shelter tube) yang dibangun rayap di atas pondasi

dinding, dalam celah antara sejumlah struktur atau pada kayu yang

(27)

3. Kerusakan dalam kayu (internal damage) kadang dideteksi dengan alat tajam

atau dipukul permukaan untuk mendeteksi perbedaan suara (bergema)

(Kadarsah, 2005).

2. Rayap Tanah (Coptotermes sp)

Rayap Coptotermes curvignathus merupakan rayap perusak yang

menimbulkan tingkat serangan yang paling ganas. Telur rayap Coptotermes

curvignathus menetas setelah berumur 8-11 hari, namun beberapa rayap jenis lain

memiliki kisaran masa penetasan telur antara 20-70 hari. Rayap mampu

menyerang hingga ke lantai atas suatu banguanan bertingkat. Rayap ini akan

masuk ke dalam kayu sampai bagian tengah yang memanjang searah dengan serat

kayu melalui lubang kecil yang ada di permukaan kayu. Ada perilaku unik yang

dilakukan rayap ini ketika menyerang kayu yaitu bagian luar kayu yang diserang

tidak rusak (Prasetiyo dan Yusuf 2005).

Rayap tanah memiliki pola hidup yaitu umum terdapat di daerah tropis,

khususnya tropical rain forest sebagai pengurai, dan daerah kering. Koloni

ditemukan pada kayu yang terkubur dalam tanah, tetapi kebanyakan spesies juga

membangun sarang di pohon atau di atas tiang kayu. Sarang dibangun di atas

tanah yang dihubungkan ke sarang utama di dalam tanah dengan saluran

pelindung (shelter tube) yang melindungi dari proses pengeringan (Hunt and

Garrat, 1986 dalam Tambunan dan Nandika,1989).

Ciri-ciri rayap Coptotermes sp adalah kepala berwarna kuning, antena,

lambrum, dan pronotum kuning pucat. Bentuk kepala bulat ukuran panjang

(28)

dari 15 segmen, segmen kedua dan segmen keempat sama panjangnya. Capit

berbentuk seperti arit dan melengkung diujungnya. Batas antara sebelah dalam

dari capit kanan sama sekali rata. Panjang kepala dengan capit 2.46-2.66 mm,

panjang kepala tanpa capit 1.56-1.68 mm. lebar kepala 1.40-1.44 mm dengan

lebar pronotum 1.00-1.03 mm dan panjangnya 0.56 mm. panjang badan 5.5-6

mm. bagian perut belakang ditutupi dengan rambut yang menyerupai duri. Perut

abdomen berwarna putih kekuning-kuningan (Nandika, dkk, 2003).

Nandika dan Husaeni (1991), menyatakan bahwa kasta pekerja rayap jenis

Coptotermes curvignathus yang mewarna putih pucat mampu membentuk

saluran-saluran yang ditutupi oleh tanah yang melekat pada tembok maupun kayu.

Disamping sebagai tempat perlindungan dari predator dan sinar matahari juga

tanah tersebut berfungsi untuk mempertahankan kelembaban dan suhu sehingga

keadaan seperti habitat aslinya yang jauh di dalam tanah dapat tetap terkendali.

Pada kepala kasta prajurit yang berbentuk oval dan berwarna kuning terdapat

fontanel yang dapat mengeluarkan aksudat seperti susu yang berguna untuk

(29)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2012 sampai bulan Juni 2012.

Pembuatan ekstrak kulit biji saga terhadap rayap dilaksanakan di Laboratorium

Kimia Bahan Alam Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam dan diuji

terhadap rayap di Laboratorium Teknologi Hasil Hutan, Program Studi

Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan utama yang digunakan adalah serbuk kulit biji saga (Adenanthera

pavonina Linn) yang berasal dari Hutan kota kampus USU dan bahan-bahan lain

yakni tisu gulung, plester pipa, double tip, kain penutup, karet gelang, pasir, air

aquades, kertas selulosa, aluminium foil, pelarut metanol, n-heksana, dan rayap

tanah jenis Coptotermes curvignathus dari kampus kehutanan USU untuk menguji

toksitasnya.

Alat utama yang digunakan adalah rotary evaporator dan bahan-bahan lain

yakni ember, tangga, palu, spraying, blender, bak pengumpanan, pinset, saringan,

cawan petri, Erlenmeyer, penangas air, ekstraktor, oven, timbangan analitik, gelas

ukur, kamera digital, botol kaca, batang pengaduk, masker, sarung tangan,

(30)

Metode Penelitian

1. Ekstrak Kulit Biji Saga (Adenanthera pavonina Linn)

Biji saga yang dipukulkan bagian tengahnya dengan menggunakan palu

(martil) sehingga ketika direndam air akan lebih mudah masuk untuk melunakkan

kulit biji saga tersebut. Setelah direndam air dingin selama 8 jam maka kulit biji

saga tersebut terlepas dari isinya.

Kulit biji saga yang telah terkumpul dihaluskan dan disaring sampai

didapat 2 Kg serbuk kulit biji saga. Selanjutnya kulit biji saga tersebut diekstrak.

Metode ekstraksi disajikan pada gambar berikut (Hakim, dkk, 2008) :

Partisi n-heksana

Lapisan MeOH Residu : lapisan n-heksan sisa

Residu MeOH sisa Ekstrak MeOH kasar

Pelarutan dengan MeOH 3 x 24 jam

Penguapan

Gambar 2. Bagan ekstraksi

2000 gr serbuk kulit biji saga

(Adenanthera pavonina Linn)

(31)

2. Pengumpulan Rayap Coptotermes curvignathus

Rayap yang dikumpulkan berasal dari kampus Kehutanan USU dengan

metode pengumpanan yakni menggunakan tisu gulung di sekitar dinding kampus

kehutanan yang terserang rayap Coptotermes sp. Tisu gulung yang dipasang di

sekitar kampus selama 1 bulan. Rayap yang telah terkumpul dicobakan untuk

menguji ketoksikan ekstraksi kulit biji saga.

Untuk memperoleh hasil yang baik maka spesimen yang telah diawetkan

dengan menggunakan alkohol 70 % tersebut diidentifikasi. Identifikasi yang

dilakukan meliputi morfologi (ukuran kepala, capit, tubuh, jumlah ruas antena dan

jenis kasta) dan menentukan spesies melalui kunci determinasidan menggunakan

bantuan literatur pendukung. Rayap yang diuji setelah diidentifikasi memiliki

ciri-ciri jumlah ruas antena prajurit 14-15 dengan panjang kepala 2.4-2.6 mm sehingga

setelah disesuaikan dengan kunci identifikasi rayap Nandika, dkk, (2003)

termasuk jenis rayap Coptotermes curvignathus.

3. Penentuan Kadar Ekstrak

Kadar ekstrak dapat dihitung dengan menggunakan rumus :

Kadar ekstrak (%) : x100%

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode pengumpanan

(Baiting). Dalam penelitian ini, umpan makan yang digunakan adalah kertas

selulosa (paper disc). Metode pengumpanan dilakukan dengan cara memberi

(32)

Gambar 3. Botol uji pengumpanan

Pengujian terhadap rayap dilakukan dengan menggunakan kertas selulosa

yang telah direndam dengan larutan ekstrak kulit biji saga pada berbagai taraf

konsentrasi yakni 2%, 4% dan 6%, dimana perlakuan sebelumnya adalah kertas

selulosa dioven pada suhu 103±2 ºC selama 2 jam sebelum perendaman. Kertas

selulosa yang direndam larutan ekstrak dan dikeringudarakan selama 24 jam agar

pelarut menguap sehingga yang tertinggal dalam kertas selulosa tersebut adalah

zat ekstraktif yang dikandung oleh kulit biji saga. Untuk kontrol digunakan kertas

selulosa tanpa diberi perlakuan.

Untuk pengumpanan terhadap rayap, kertas selulosa yang telah diberi

ekstrak dimasukkan ke dalam botol kaca. Setiap botol kaca dimasukkan 50 ekor

rayap (45 ekor rayap pekerja dan 5 ekor rayap prajurit. Botol uji dengan ukuran

tinggi 6 cm dan diameter 10 cm berdasarkan dengan metode syafii, (2000) dan

Guswenrivo, dkk, (2006) ditutup dengan kain penutup hitam dan disimpan di

tempat yang gelap selama 4 minggu. Pengamatan pada rayap dalam botol kaca

dilakukan setiap hari, hal ini dilakukan untuk mengetahui mortalitas rayap dengan

jelas.

Kain hitam penutup

Botol kaca

Paper disc

(33)

5. Perhitungan Nilai Mortalitas

Nilai mortalitas pada rayap yang diamati dihitung dengan rumus sebagai

berikut :

6. Perhitungan Persentase Penurunan Berat Contoh Uji

Perhitungan berat contoh uji dilakukan pada minggu keempat pengamatan.

Perhitungan persentase penurunan berat contoh uji menggunakan persamaan

seperti di bawah ini:

Keterangan: A = Persentase penurunan berat (%) Bo = Berat sebelum pengumpanan (g) B1 = Berat setelah pengumpanan (g)

7. Tingkat Konsumsi Rayap

Konsumsi makan rayap rata-rata juga dihitung dengan rumus :

Konsumsi makan per individu (g) :

N

W1 = Berat CU sebelum diumpankan pada rayap (g)

(34)

8. Analisis data

Selanjutnya data-data yang diperoleh tersebut diolah dengan menggunakan

RAL (Rancangan Acak Lengkap) sederhana. Model linear dari rancangan tersebut

adalah:

Yij = µ + αi+ ε i( j)

Dimana:

Yij = Respon pengaruh bagian ke-i ulangan ke-j

µ = Rata-rata umum

αi = Pengaruh komposisi ekstrak ke-i

εi ( j)= Kesalahan (galad) percobaan

Untuk melihat adanya pengaruh perlakuan terhadap respon maka

dilakukan analisis sidik ragam berupa uji F pada tingkat kepercayaan 95%

(nyata). Uji lanjutan pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan test

(35)

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Kadar Ekstrak

Kulit biji saga yang diekstrak menghasilkan ekstrak padat berwarna hitam

kekuningan dan berbau kacang-kacangan. Kadar ekstrak yang diperoleh dari

2000 g kulit biji saga dihasilkan sebanyak 316,48 g ekstrak padat. Perbandingan

dalam persen menyatakan nilai rendemen dari ekstrak tersebut. Nilai rendemen

ekstrak yang diperoleh adalah 15.82%. Penelitian Adharini (2008), dari 1000 g

serbuk akar tuba (Derris elliptica Benth) didapat kadar ekstrak sebesar 8,53%

dengan perendaman pelarut etanol. Hal ini menunjukkan perbedaan yang tidak

jauh dari ekstrak kulit biji saga dan ekstrak akar tuba.

Besar kecilnya nilai rendemen menunjukkan keefektifan proses ekstraksi.

Menurut Kartikasari (2008), efektivitas proses ekstraksi dipengaruhi oleh jenis

pelarut yang digunakan sebagai pengekstrak, ukuran partikel ekstrak, metode, dan

lamanya ekstraksi. Cairan pengekstrasi akan menembus dinding sel dan masuk ke

dalam rongga sel yang mengandung zat aktif sehingga zat aktif akan larut karena

adanya perbedaan konsentrasi antara larutan. Dengan demikian hasil kandungan

senyawa ekstraksi kulit biji saga oleh Lukman (1982), didapatkan bahwa kulit biji

saga mengandung flavogloid, alkaloid, antitripsin, saponin, hemaglutinin, dan

faktor goitrogenik yang menyebabkan racun.

Penggunaan pelarut metanol bertujuan untuk mempercepat proses

keluarnya zat ekstraktif yang terkandung pada tumbuhan tersebut. Menurut

Sastrodiharjo (1999), senyawa bioaktif yang terkandung tersebut diduga memiliki

peranan yang sangat besar dalam meningkatkan sifat anti rayap dalam mematikan

(36)

antara air, metanol, etanol, dan propanol yang mampu melarutkan zat warna yang

paling banyak adalah metanol. Hasil analisis ini ditunjukkan dengan absorbansi

tertinggi dari larutan hasil ekstraksi zat warna kulit yang diekstrak.

2. Pengaruh Toksik Ekstrak Kulit Biji Saga terhadap Mortalitas Rayap

Nilai mortalitas merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk

mengetahui efektivitas anti rayap dari suatu bahan. Pengaruh mortalitas rayap

terlihat pada berbagai tingkat konsentrasi ekstrak kulit biji saga dengan pelarut

metanol yang dibandingkan dengan kontrol (tanpa perlakuan). Hasil efektivitas

nilai mortalitas dapat dilihat pada Gambar 4 dan data selengkapnya dapat dilihat

pada Lampiran 3.

Gambar 4 . Mortalitas rayap selama 12 hari pengamatan

Pada Gambar 4 dapat dilihat bahwa mortalitas paling tinggi adalah

perlakuan konsentrasi 6% selanjutnya diikuti oleh konsentrasi 2% dan 4%.

Pemberian ekstrak kulit biji saga pada konsentrasi 2% dan 4% mortalitasnya

100% pada hari ke-VI dan konsentrasi 6% mortalitasnya 100% pada hari ke-V,

(37)

Pada Gambar 4 juga dapat dilihat mortalitas rayap dengan LC50. 50%

rayap mati pada kontrol di hari ke-VII, hari ke-IV pada konsentrasi 2% dan 4%,

dan hari ke-III pada konsentrasi 6%. Halini berarti bahwa pemberian ekstrak kulit

biji mengakibatkan kematian rayap tanah yang cukup tinggi. Sebaliknya pada

perlakuan kontrol tingkat mortalitas yang terjadi cukup lama dan rendah kuantitas

yang berarti pada tingkat ini daya tahan rayap tanah cukup tinggi. Dengan

demikian konsentrasi 6% memiliki efektivitas antirayap tertinggi (LC50 = 51.34%)

yang tercapai pada pengamatan hari ke-3.

Supriana (2002), menjelaskan tentang perilaku makan rayap yang berbeda

di alam dan di laboratorium. Di alam rayap memilih sendiri lingkungan, dimana

rayap dihadapkan kepada berbagai pilihan makanan. Sebaliknya di laboratorium,

lingkungan tersebut sudah dibuat oleh manusia, dalam hal ini rayap dihadapkan

kepada keadaan terpaksa sehingga rayap akan memakan bahan makanan yang

diberikan.

Rayap pada botol uji memakan kertas yang diberi ekstrak kulit biji saga

dengan tingkat konsentrasi yang berbeda yakni 2%, 4%, 6% dan dibandingkan

dengan kontrol. Ketika rayap memakan kertas uji terlihat bahwa mortalitas rayap

pada hari kedua paling tinggi terdapat pada konsentrasi 6%. Dengan demikian

semakin tinggi konsentrasi ekstrak yang diberikan pada kertas uji, maka mortalitas

rayap semakin meningkat pula. Pola ini memberikan indikasi umum bahwa

ekstrak yang ditambahkan tersebut mempunyai daya racun terhadap kehidupan

rayap.

Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 5) ditunjukkan bahwa perlakuan

(38)

rayap. Sehingga perlakuan konsentrasi disimpulkan mempengaruhi mortalitas

rayap.

Pada uji lanjutan Tukey dapat dilihat bahwa kulit biji saga dengan

konsentrasi 6% tidak berbeda nyata dengan 2%, 4% dan kontrol, tetapi dalam

penelitian ini konsentrasi 6% merupakan konsentrasi yang lebih baik dalam

mempengaruhi mortalitas rayap. Hal ini disebabkan semakin banyak ekstrak yang

digunakan maka semakin banyak senyawa bioaktif yang tertinggal pada kertas uji

yang diawetkan. Dari grafik dapat dilihat juga bahwa kenaikan nilai mortalitas

rayap Coptotermes curvignathus sebanding dengan kenaikan konsentrasi ekstrak.

Pada tahap awal rayap akan melakukan penyesuaian dengan lingkungan

hidup yang diberikan yakni di dalam botol kaca yang berisikan kertas uji. Pada

hari pertama dan kedua aktifitas makan rayap rendah. Rayap yang mampu

bertahan dan menyesuaikan diri akan melakukan orientasi makanan, sedangkan

yang tidak mampu menyesuaikan diri akan mati. Tahap berikutnya rayap mencoba

mencicipi makanan yang diberikan (orientasi makanan) dengan jalan menggigit

bagian permukaan kertas uji.

Saat rayap mencicipi kertas uji tersebut, bagian kutikel pada tubuh rayap

yang terdapat pori dan lubang keluar kelenjar epidermis dan sensila berperan

penting dalam melewatkan racun ke dalam tubuh rayap. Pada kondisi ini, rayap

akan mengalami gejala keracunan dan pergerakannya menjadi lamban, bahkan

tidak bergerak dan akhirnya mati. Sedangkan pada contoh uji kontrol yang tidak

mendapatkan perlakuan pengawetan, rayap akan meneruskan untuk beradaptasi

(39)

Berdasarkan penelitian Adharini (2008), kematian rayap dapat disebabkan

oleh dua hal, pertama bahwa ekstrak kulit biji saga tersebut menyebabkan

kematian protozoa di dalam perut rayap ketika memakan kertas selulosa dan

kedua bahwa ekstrak tersebut telah menyebabkan rusaknya sistem saraf pada

rayap. Protozoa atau enzim yang terdapat di dalam perut rayap yang bertugas

mencerna selulosa tidak dapat memakan kertas tersebut, sehingga dengan

kematian protozoa di dalam perut rayap, rayappun menjadi mati karena umpan

yang dimakan rayap yang terutama terdiri dari selulosa tidak dapat diserap oleh

tubuh rayap. Pada pengujian ini disimpulkan bahwa ekstrak kulit biji saga

perlakuan perendaman menghasilkan senyawa racun terhadap rayap. Hal ini

sesuai dengan pernyataan Lie, dkk, (1980) dan Oey, dkk, (1981) yang

mengemukakan bahwa senyawa beracun dalam biji saga yakni senyawa-senyawa

(40)

3. Persentase Penurunan Berat

Persentase nilai penurunan berat kertas uji menunjukkan adanya pengaruh

yang beragam pada tingkat konsentrasi yang digunakan terhadap penurunan berat.

Penurunan berat contoh uji yang dihasilkan berkisar antara 3.88-11.04%.

Penurunan berat rata-rata dapat dilihat dalam Gambar 5 dan data selengkapnya

dapat dilihat pada Lampiran 4.

Gambar 5. Penurunan berat contoh uji dengan konsentrasi

Pada Gambar 5 terlihat bahwa terdapat kecenderungan semakin tinggi

konsentrasi maka semakin rendah persentase penurunan berat contoh uji.

Penurunan berat kertas uji pada kontrol sebesar 11.04%, pada konsentrasi 2%

sebesar 7.01%, pada konsentrasi 4% sebesar 5.61%, dan penurunan berat untuk

tingkat konsentrasi 6% sebesar 3.88%.

Penurunan berat kertas uji yang dibuat berbeda tingkat konsentrasi masih

lebih rendah jika dibandingkan dengan penurunan berat kertas uji kontrol. Hal ini

(41)

tinggi daripada konsentrasi 2% dan 4% dan diduga karena adanya komponen

bioaktif yang mengandung racun terhadap rayap.

Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 6) ditunjukkan bahwa perlakuan

dengan konsentrasi yang berbeda berpengaruh sangat nyata terhadap penurunan

berat contoh uji. Sehingga perlakuan konsentrasi disimpulkan mempengaruhi

penurunan berat contoh uji.

Pada uji lanjutan Tukey dapat dilihat bahwa kulit biji saga dengan

konsentrasi 6% tidak berbeda nyata dengan 2% dan 4% sedangkan pada kontrol

berbeda nyata terhadap penurunan berat contoh uji. Hal ini disebabkan pada

ekstrak kulit biji saga dengan konsentrasi 6% mempunyai efek bau ekstrak sampel

yang lebih kuat dibandingkan konsentrasi 2% dan 4%. Robinson (1995),

mengemukakan bahwa kemungkinan lain senyawa kimia yang terdapat pada

ekstrak menjadi sebagai pelindung terhadap serangan serangga. Dengan demikian

ekstrak kulit biji saga konsentrasi 6% mampu mempertahankan penurunan berat

yang minimal.

Dilihat dari pengurangan berat contoh uji, senyawa terlarut di dalam

metanol pada konsentrasi 6% mampu melindungi kertas selulosa sehingga sedikit

kerusakan yang disebabkan oleh rayap. Penurunan berat contoh uji yang

(42)

(a) (b)

Gambar 6. Kertas uji yang dimakan rayap pada kontrol (a) dan kertas uji yang diberi ekstrak biji saga (b)

Pada Gambar 6 dapat dilihat bahwa perlakuan ekstrak menunjukkan

sedikit terdapat bekas gigitan rayap dibandingkan kontrol, Hal ini

mengindikasikan adanya senyawa aktif pada ekstrak yang bersifat toksik.

Konsentrasi ekstrak juga berpengaruh terhadap penurunan berat, dimana kontrol

memiliki penurunan berat yang selalu lebih besar daripada konsentrasi 6%. Falah

(2005), menyatakan bahwa penurunan berat kertas uji akibat peningkatan

konsentrasi ekstrak menunjukkan peningkatan ketahanan kertas uji terhadap

serangan rayap. Hasil penelitian tersebut dapat kita simpulkan bahwa semakin

tinggi konsentrasi pada ekstrak kulit biji saga maka penurunan berat contoh uji

semakin kecil.

Disamping itu rendahnya penurunan berat contoh uji menurut

Tarumingkeng (1971), dikarenakan rayap memiliki sifat yang nekropagi

(memakan bangkai sesamanya) dan kanibalisme (memakan anggota yang lemah

(43)

diakibatkan karena memakan racun ekstrak kulit biji saga tersebut, sehingga rayap

yang memakan sesamanya tersebut akan mati.

4. Tingkat Konsumsi Rayap

Indikator lain yang dapat digunakan untuk melihat daya racun zat

ekstraktif adalah penilaian laju konsumsi terhadap contoh uji oleh rayap. Laju

konsumsi ditunjukkan dengan besarnya kehilangan berat contoh uji setelah

diumpankan. Tingkat konsumsi rayap per individu dapat dilihat pada Gambar 7

dan data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 4.

Gambar 7. Tingkat Konsumsi Rayap per Individu

Laju konsumsi rayap setelah pengumpanan selama 12 hari pada kertas uji

yang telah diberi ekstrak pada berbagai konsentrasi berkisar antara 0.73%-0.26%.

Berdasarkan Gambar 7, Tingkat konsumsi rayap paling rendah terdapat pada

konsentrasi 6% sebesar 0.26 mg, pada konsentrasi 4% sebesar 0.38 mg, pada

konsentrasi 2% sebesar 0.48mg sedangkan tingkat konsentrasi terendah terdapat

pada kontrol sebesar 0.73 mg. Kehilangan berat contoh uji sangat bervariasi

(44)

Syafii, (2000), menyatakan bahwa ekstrak yang ditambahkan pada kertas uji

tersebut mempunyai daya racun terhadap perkembangan rayap, yang ditunjukkan

oleh hilangnya kemampuan rayap dalam mengonsumsi kertas uji tersebut.

Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 7) ditunjukkan bahwa perlakuan

dengan konsentrasi yang berbeda berpengaruh sangat nyata terhadap tingkat

konsumsi rayap. Sehingga perlakuan konsentrasi disimpulkan mempengaruhi

tingkat konsumsi rayap.

Pada uji lanjutan Tukey dapat dilihat bahwa kulit biji saga dengan

konsentrasi 6% tidak berbeda nyata dengan 2% dan 4% sedangkan pada kontrol

berbeda nyata terhadap tingkat konsumsi rayap. Hal ini disebabkan pada ekstrak

kulit biji saga dengan konsentrasi 6% mempunyai efek bau ekstrak sampel yang

lebih kuat dibandingkan konsentrasi 2% dan 4%. Dengan demikian semakin

tinggi konsentrasi ekstrak yang diberikan pada kertas uji, maka efek bau ekstrak

sampel akan lebih kuat dan akan mempengaruhi rayap untuk mengkonsumsi

kertas uji yang diberikan.

Apabila tingkat konsumsi rayap kecil berarti penghambat aktivitas

makannya tinggi. Hal ini diduga disebabkan protozoa yang berperan dalam

merombak polimer selulosa tidak dapat bekerja dengan baik sehingga rayap tidak

memperoleh suplai makanan (Arif, dkk, 2008). Dengan demikian perlakuan kertas

uji tanpa ekstrak kulit biji saga (kontrol) lebih banyak dikonsumsi daripada kertas

uji yang diberikan ekstrak karena kertas uji yang diberikan ekstrak mempengaruhi

rayap dalam mengkonsumsi kertas tersebut.

Ekstrak kulit biji saga dapat digunakan mengendalikan hama gudang

(45)

saga bersifat antifeedant (penghambat makan) bagi serangga dikarenakan adanya

senyawa antitripsin dengan konsentrasi yang tinggi sehingga laju konsumsi rayap

terhadap kertas uji rendah dan pada konsentrasi rendah dapat bersifat sebagai

racun dan mengakibatkan kematian. Tingkat konsumsi rayap yang paling

meningkat pada perlakuan adalah pada konsentrasi 2%.

Sifat trofalaksis rayap juga diduga sebagai penyebab matinya rayap pada

kertas uji yang diberi perlakuan. Tambunan dan Nandika (1989), menyatakan

bahwa terdapat sifat trofalaksis, yaitu sifat rayap untuk berkumpul mengadakan

pertukaran bahan makanan antara rayap pekerja dan rayap prajurit. Kasta prajurit

memperoleh makanannya dari kasta pekerja melalui peristiwa trofalaksis.

Sehingga dari sifat rayap tersebut akan mempercepat penyebaran racun saat

mengadakan pertukaran bahan makanan sehingga rayap tersebut mati.

(46)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Ekstrak pekat kulit biji saga yang dihasilkan berwarna hitam kekuningan

dan memiliki bau yang khas yakni kacang-kacangan. Kandungan ekstrak yang

diperoleh dari 2000 g kulit biji saga adalah sebesar 15,82%. Terdapat

kecenderungan semakin tinggi konsentrasi semakin cepat mortalitas rayap,

penurunan berat contoh uji semakin kecil, dan laju konsumsi rayap juga menurun.

Mortalitas rayap pada konsentrasi 6% terjadi hari ke-5, pada konsentrasi 2% dan

4% terjadi pada hari ke-6, sedangkan kontrol terjadi pada hari ke-12. Selain itu

persentase penurunan berat kertas selulosa adalah 3,88–11,04 %, dan tingkat

konsumsi makan rayap per individu 0,26–0,73 mg.

Saran

Saran dalam penelitian ini adalah dilakukan pengamatan 1 kali seminggu

agar rayap tidak stres dan juga perlu dilakukan pengujian fitokimia untuk

(47)

DAFTAR PUSTAKA

Adharini, G. 2008. Uji Keampuhan Ekstrak Akar Tuba (Derris elliptica Benth) untuk Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes curvignathus Holmgren.

IPB Press. Bogor.

Arif, A., Usman, M., dan Fatmawaty, S. 2008. Sifat anti rayap dari ekstrak ijuk aren (arenga pinnata merr.) Antitermicidal activities of sugar- palm tree fibers extract. Jurnal perennial, Vol 3 No 1 Hal 15-18.

Bernasconi, G. 1995. Teknologi Kimia 2. Penerjemah : Handojo L. PT Prandya Paramitha. Jakarta.

Guswenrivo, I., Kartika, T., Tarmadi, D., Yusuf, S. 2006. Utilization of Humicola Sp Enzyme Extract as Biotermiticide. Journal Of Tropical Wood Science and Technology. Vol. 6 No. 1 Hal. 21-25.

Falah, S., T. Katayama dan Mulyaningrum. 2005. Utilazation of Bark Extractives From Some Tropical Hardwoods As Natural Wood. Preservatives : Termitidal Activities of Extractives from Bark of Some Tropical Hardwoods. Proceeding International Wood Science Symposium. Bali. August 29-31. P323-328.

Fengel, D dan G. Wegener. 1995. Kayu, Ultrastruktur, Reaksi-Reaksi (Terjemahan). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Hakim, L., Azhar, I, Utomo B, dan Silaen, PC. 2009. Pemanfaatan Ekstrak Akar Tuba (Derris elliptica) Sebagai Biotermitisida. Jurnal Akademika. Jurnal Akademia. Vol. 13 No. 4.

Harborne, J. B. 1987. Metode Fitokimia. Penerjemah: Kosasih Padmawinata. Edisi kedua, pp 94-95. ITB Press. Bandung.

Hunt, G., M dan G. Garrat. 1986. Pengawetan Kayu (terjemahan). Akademika Pressindo. Jakarta.

Iskandar, M. dan A. Kardinan. 1995. Manfaat biji saga (Abrus precatorius L.) sebagai bahan pengendali hama yang berwawasan lingkungan. Prosiding Seminar Peranan MIPA dalam Menunjang Pengembangan Industri dan Pengelolaan Lingkungan.Universitas Pakuan, Bogor.

(48)

Kadarsah, A. 2005. Studi Keragaman Rayap Tanah dengan Teknik Pengumpanan Pada Tumpukan Jerami Padi dan Ampas Tebu di Perusahaan Jamur PT Zeta Agro Corporation Jawa Tengah. Vol. 2 No. 2 Juli 2005 Hal 17-22. Universitas Lambung Mangkurat. Kalimantan.

Kardinan, A. 1992. Pestisida Nabati: Ramuan dan aplikasi. Cetakan ke-4. Penebar Swadaya, Jakarta. 88 hlm.

Kartikasari, N. 2008. Uji Toksisitas Ekstrak Daun Awar-Awar (Ficus septica B) terhadap Artemia salina L dan profil Kromatografi Lapis Tipis. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta.

Lie, G, H., Oey, G., Nainggolan-Sihombing, J. Herlinda dan R. Aminah. 1980.

Investigation Of Saga Seed (Adenanthera pavonina Linn). Second Report For ASEAN Project of Soybean and Protein Rich Foods. Nutrition Unit

Dipenogoro. Jakarta.

Lukman, A. 1982. Pengaruh Perajangan dan LamaPengukusan Biji Saga Pohon (Adenanthera pavonina L) terhadap rendemen dan mutu minyak yang dihasilkan pada proses ekstraksi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Muehtrrdiu, D,. P. Besanconn dan B. Possompd. 2002. Pengaruh ekstraksi lemak terhadap nilai gizi Tepung saga (A Study on the Saga Bean (Adenanthera pavonina, L.). 11. The Effect of Lipid Extraction on the Nutritional Value of Saga Bean Flour). Universite des Sciences. Perancis.

Nandika, D., Rismayadi, Y., dan Diba, F. 2003. Rayap Biologi dan Pengendaliannya. Muhammadiyah University Press. Surakarta.

Nasir, B dan Lasmini, S. 2008. Toksisitas senyawa bioaktif tumbuhan “sidondo” (vitex negundo l.) Pada spodoptera exigua hubner dan Plutella xylostella

Linnaeus. Journal Agroland Vol.15 No. 4. Hal 288 – 295.Sulawesi.

Nio, O., L. G. Hong., J. Herlinda., G. Nainggolan-Sihombing., Risnawati Aminah., dan Sumardi. Substansi Biji Saga Pohon. : http://www.litbang. depkes.go.id/Publikasi_BPPK/Buletin_BPPK/BUL81.html [17Juni 2009].

Ohmura, W., S. Doi, M. Aoyama and S. Ohara. 2000. Antifeedant Activity of Flavonoids and Related Compounds Against The Subterranean Termite Coptotermes formosanus Shiraki. J. Wood Sci (2000). No 46 Hal 149-153.

Oey, K.N., G.H. Lie, J. Herlinda, G. Nainggolan-Sihombing, R. Aminah dan Sumardi. 1981. An Unknown Toxic (Or Anti Nutritive) Substance In The Sagabean. Health Studies In Indonesia Vol. 9 No. 1. Hal 37-45.

(49)

Priadi, T. 2007. Efikasi Ekstrak Daun Mimba terhadap Rayap Kayu Kering dalam Pengawetan bambu. Prosiding Seminar Nasional Mapeki X. Pontianak. Kalimantan Barat.

Prianto, A., Guswenrivo., Tarmadi, D., Kartika, T., dan Yusuf, S. 2006. Sifat Anti Rayap Ekstrak Antiaris (Antiaris Toxicaria) dan Ki Pahit (Picrasima javanica) Terhadap Rayap Tanah (Coptotermes curvignathus Holmgren). UPT BPP-Biomaterial LIPI. Bogor.

Rahmana, U., Kris, Irmina., dan Presetyoko. 2010. Optimasi Ekstraksi Zat Warna Pada Kayu Intsia bijuga dengan Metode Pelarutan. Institut Teknologi Sepuluh November.

Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tingkat Tinggi. ITB. Bandung.

Rudi dan Nandika. 1999. Konsumsi Makan dan Daya Tahan Hidup Rayap Tanah

Coptotermes curvignathus Holmgren (Isoptera : Rhinotermitidae) pada pengujian laboratorium. IPB. Bogor.

Sastrodiharjo, S. 1999. Arah Pembangunan dan Strategi Penggunaan Pestisida Nabati. Makalah Disajikan pada Forum Komunikasi Pemanfaatan Pestisida Nabati, Balai Penelitian Tanaman Rempah dan obat. Bogor.

Sjostrom, E. 1998. Kimia Kayu, Dasar-Dasar dan Penggunaan. Edisi Kedua. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Syafii, W. 2000. Zat Ekstraktif Kayu Damar Laut (Hopea Spp) dan Pengaruhnya Terhadap Rayap Kayu Kering Cryptotermes cynochepalus L. Jurnal Teknologi Hasil Hutan. Vol. 13 No. 2 Hal 1-8.

Supriana, N. 2002. Kajian Peran Pengawetan Kayu Perumahan dan Gedung dalam Rangka Pengelolaan Hutan Lestari. Laporan Hasil Penelitian (Tidak Dipublikasikan).

Tambunan, B. dan D. Nandika. 1989. Deteriorasi Kayu oleh Faktor Biologis. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknologi Instititut Pertanian Bogor. Bogor.

Tarumingkeng, R. 1971. Biologi dan Pengenalan Rayap Perusak Kayu di Indonesia. Laporan Lembaga Penelitian Hasil Hutan. No. 133. Bogor.

(50)

Tohir, A. 2010. Teknik Ekstraksi dan Aplikasi Beberapa Pestisida Nabati untuk Menurunkan Palatabilitas Ulat Grayak (Spodoptera litura Fabr.) Di Laboratorium. Buletin Teknik Pertanian. Vol 15 No. 1, hal 37-40. Bogor.

Theresia. 1986. Karakterisasi Biji Saga (Adenanthera pavonina Linn). Institut Peratanian Bogor. Bogor.

Yanti, H., Syafii., dan Darma, T. 2008. Sifat Anti Rayap Zat Ekstraktif Kulit Kayu Acacia auricoliformis A Cunn Ex Benth. Prosiding Seminar Nasional MAPEKI XI. Palangkaraya.

(51)

LAMPIRAN 1. Skema Penelitian

Tahapan prosedur penelitian yang akan dilakukan disajikan pada gambar

dibawah ini :

Mengumpulkan Rayap di Kampus Kehutanan USU

Serbuk kulit biji Saga

Dikeringanginkan dan dioven Persiapan Bahan Baku

Diblender Persiapan wadah serbuk

Pembuatan ekstrak

Konsentrasi 0%, 2%, 4%, 6% Pelarut methanol

Pengkondisian kertas selulosa 24 jam

Pengujian Toksik Ekstraktif

Rayap Tanah Coptotermes sp

Dipartisi dengan n-heksana

Ekstrak dikentalkan dalam penangas air

(52)

Lampiran 2. Perhitungan Kadar Ekstrak

Data Perhitungan kadar ekstrak kulit biji saga (Adenanthera pavonina L.) :

Kadar ekstrak (%) : x100%

ekstraksi sebelum

serbuk kering

Bobot

ekstrak kering

Bobot

Kadar ekstrak (%) : x100% g

2000 g 316.48

(53)

Lampiran 4. Data Berat Kertas Selulosa, Penurunan Berat Contoh Uji dan Tingkat Konsumsi Rayap

Data Berat Kertas Contoh Uji

Konsentrasi Sebelum diumpankan (gr)

Sesudah diumpankan (gr)

Ulangan 1 2 3 1 2 3

Kontrol 0.294 0.301 0.301 0.262 0.268 0.267

2% 0.310 0.315 0.315 0.288 0.295 0.291

4% 0.311 0.311 0.314 0.295 0.294 0.294

6% 0.312 0.309 0.302 0.298 0.293 0.296

Data Tingkat Konsumsi per individu

Perlakuan TKR (mg) Rata-rata

Data Penurunan Berat Contoh Uji

(54)

Lampiran 5. Sidik Ragam dan Uji Tukey Nilai Mortalitas

Sidik Ragam Nilai mortalitas

SK DF SS MS F P perlakuan 3 662.9 221.0 10.40 0.004 Error 8 170.0 21.3

Total 11 832.9

S = 4.610 R-Sq = 79.59% R-Sq(adj) = 71.94%

UJI TUKEY

Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev

Level N Mean StDev ---+---+---+---+- 0% 3 9.000 2.646 (---*---)

2% 3 9.667 4.933 (---*---) 4% 3 10.000 5.568 (---*---)

6% 3 16.000 9.000 (---*---) ---+---+---+---+- 6.0 12.0 18.0 24.0

(55)

Lampiran 6. Sidik Ragam dan Uji Tukey Penurunan berat contoh uji

Sidik Ragam Penurunan Berat

SK DF SS MS F P perlakuan 3 83.624 27.875 30.36 0.000 Error 8 7.344 0.918

Total 11 90.968

S = 0.9581 R-Sq = 91.93% R-Sq(adj) = 88.90%

Uji TUKEY

Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev

Level N Mean StDev +---+---+---+--- 0% 3 11.043 0.217 (----*----) 2% 3 7.013 0.638 (----*----)

4% 3 5.653 0.633 (----*----) 6% 3 3.877 1.678 (---*----)

+---+---+---+--- 2.5 5.0 7.5 10.0

(56)

Lampiran 7. Sidik Ragam dan Uji Tukey Tingkat Konsumsi Rayap

Sidik Ragam Tingkat Konsumsi

SK DF SS MS F P

perlakuan 3 0.35209 0.11736 25.51 0.000

Error 8 0.03680 0.00460 Total 11 0.38889

S = 0.06782 R-Sq = 90.54% R-Sq(adj) = 86.99%

UJI TUKEY

Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev

Level N Mean StDev -+---+---+---+--- 0% 3 0.73000 0.02000 (---*----)

2% 3 0.48333 0.04509 (---*----) 4% 3 0.38667 0.04726 (---*----) 6% 3 0.26333 0.11719 (---*----)

(57)

Lampiran 8. Dokumentasi Penelitian

1. Mendestilasi larutan Metanol 2. Maserasi Ekstrak kulit biji saga

3. Partisi dengan N-heksana 4. Hasil Ektrak Partisi

(58)

7. Pengovenan Kertas Selulosa 8. Perendaman dengan ekstrak

9. Pengumpanan 10. Pengamatan Rayap

(59)

13. Bangkai rayap pekerja dan prajurit yang mati

14. Rayap pada kontrol lebih banyak mendekati kertas selulosa

(60)

Lampiran 3. Data Pengamatan Mortalitas Rayap

Perlakuan Ulangan Pengamatan hari ke-

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Pr Pk Pr Pk Pr Pk Pr Pk Pr Pk Pr Pk Pr Pk Pr Pk Pr Pk Pr Pk Pr Pk Pr Pk

Kontrol 1 0 0 0 2 0 2 0 2 1 10 0 11 0 2 0 4 1 4 1 5 2 3 0 0

2 0 0 0 1 0 3 1 4 0 8 0 6 1 5 1 8 0 2 0 0 1 5 1 3

3 0 0 0 1 0 4 0 2 1 3 1 9 1 1 0 7 0 11 1 4 2 3 0 0

Rata-rata 0 1.3 4.3 7.3 15 24 27.3 34 40 43.7 49 50

2 % 1 0 0 0 1 2 9 0 4 1 16 2 15 - - - -

2 0 0 0 2 3 13 1 12 1 9 0 9 - - - -

3 0 0 1 3 0 11 2 10 2 12 0 9 - - - -

Rata-rata 0 2.33 15 24.67 38.33 50 - - - -

4 % 1 1 0 0 5 1 4 2 11 0 14 1 11 - - - -

2 2 0 2 2 0 9 0 19 1 14 0 1 - - - -

3 0 0 0 5 0 16 1 12 2 9 2 3 - - - -

Rata-rata 1 5.67 15.67 30.67 44 50 - - - -

6 % 1 0 1 0 7 2 14 1 18 2 5 - - - -

2 0 1 0 7 2 23 2 12 1 2 - - - -

3 0 0 1 12 1 6 0 15 3 12 - - - -

Gambar

Gambar 1. Biji dan kulit biji saga
Gambar 2. Bagan ekstraksi
Gambar 3. Botol uji pengumpanan
Gambar 4 . Mortalitas rayap selama 12 hari pengamatan
+4

Referensi

Dokumen terkait

lampiran 3, diperoleh rasio Inersia (Ix) gelagar V/1 =1,05... Perhitungan Beban Secara Teoritis Berdasarkan Tegangan Geser Gaya geser yang dapat dipikul oleh badan pada gelagar

● Mengumpulkan data tentang Teknik mendesain dan menyampaikan slide dari buku lks atau dari internet ● Mengolah berdasarkan Teknik mendesain dan menyampaikan slidemenggunakan

Anak dikatakan berhasil pada satu sesi, jika ia mampu menunjukkan tahapan perilaku memakai kemeja sesuai dengan target setiap sesi sebanyak dua kali secara

Pembahasan Perbedaan Kemandirian Emosi Antara Siswa yang Tinggal di Pondok Pesantren dan Tinggal di Rumah Bersama Keluarga Hasil hipotesis pada kemandirian emosi yang tinggal di

Perancangan sistem yang akan dibangun menggunakan metode Analytical Network Process perlu ditentukan kelompok (cluster) kriteria, subkriteria maupun alternatif yang

Maka disusunlah kemerdekaan bangsa Indonesia itu dalam suatu hukum dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat

Kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum menuntut antara lain bahwa lalu lintas hukum dalam kehidupan masyarakat memerlukan adanya alat bukti yang

Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ini bertujuan untuk meningkatkan sikap percaya diri dan prestasi belajar siswa pada mata pelajaran IPS menggunakan model