• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan Interogasi oleh Penyidik Terhadap Tersangka Dalam Kasus Tindak Pidana Pencurian (Studi pada Polsekta Medan Baru)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Peranan Interogasi oleh Penyidik Terhadap Tersangka Dalam Kasus Tindak Pidana Pencurian (Studi pada Polsekta Medan Baru)"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Wirjono Projodikoro, DR. SH, 1967, Tindak Pidana tertentu di Indonesia, PT. Eresco , Bandung

Tongat, SH. M.Hum, 2002, Hukum Pidana Materil, UMM press, Indonesia

Gerson Bawengan, DRS. SH, 1977, Penyidikan Perkara Pidana dan Teknik Interogasi, Pradnya Paramitha, Jakarta

Soejono, SH. M.H, 1996, Kejahatan dan Penegakkan Hukum di Indonesia, Rhineka Cipta, Jakarta

M.Yahya Harahap, SH, 2006, Pembahasan dan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, penyidikan dan penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta

Petter Villiers, 1999, Better Police Ethics: A practical guide; Pedoman Praktis Memperbaiki etika Kepolisian, Cipta Manunggal, Jakarta

Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

Undang-undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Undang-undang Telematika

(2)

BAB III

PERANAN PENYIDIK DALAM INTEROGASI TERHADAP TERSANGKA

DALAM TINDAK PIDANA PENCURIAN

A. Pengertian Interogasi

Interogasi adalah suatu upaya yang dilakukan oleh pihak tertentu (dalam hal ini penyidik kepolisian) untuk meminta keterangan kepada seseorang menyangkut kesaksian orang tersebut terhadap pihak lain dan atau dirinya sendiri mengenai suatu aktivitas yang melibatkan pihak lain tersebut dan atau dirinya sendiri. Dengan tujuan agar mampu melaksanakan tugas mereka, petugas kepolisian perlu mempunyai kemampuan untuk menginterogasi masyarakat. Yang menjadi subjek dalam interogasi adalah korban, saksi dan tersangka. Akan tetapi hal ini dirasa tidak ekslusif, dimana seorang korban atau saksi, dan tersangka juga dapat menjadi korban dalam serangkaian insiden.

Dalam melakukan interogasi berbagai macam trik dan metode diterapkan oleh si interogator, mulai dari penampilan dan sikap yang kadang lebih mirip algojo ketimbang hamba hukum, sangar dan bengis, trik yang menjebak, menggiring opini, menyudutkan yang diinterogasi, memaksa, menyiksa sampai ‘cuci otak’ istilah yang digunakan untuk mengakui sesuatu yang tak ada menjadi fakta, sehingga tujuan interogasi bergeser dari ingin menyingkap kebenaran menjadi ‘sesuai pesanan’.

(3)

studi lapangan di Polsek Medan Baru, dimana Polisi dalam melakukan penyidikan, tidak melakukan tindak kekerasan agar pelaku mau mengakui perbuatannya.

Secara teknis di lapangan, pemukulan atau kekerasan dalam melakukan interogsai yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Tidak selamanya Polisi menemukan tersangka yang mau mengakui perbuatannya. Ada yang berbelat-belit dalam memberikan pengakuan ada juga dari tersangka yang takut untuk mengakui perbuatannya dikarenakan adanya ancaman dari pihak-pihak lain. Untuk mengantisipasi hal-hal ini, Polisi mempunyai berbagai trik dalam mengorek informasi dari tersangka.

B. Penyidik Kepolisian

Pasal 1 butir 1 dan 2 KUHAP, merumuskan pengertian penyidikan yang menyatakan, penyidik adalah pejabat Polri atau pejabat pegwai negeri “tertentu” yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Sedang penyidikan berarti; serangkaian tindakan yang dilakukan pejabat penyidik sesuai dengan cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti, dan dengan bukti itu membuat atau menajdi terang tindak pidana yang terjadi serta sekaligus menemukan tersangkanya atau pelaku tindak pidananya.

(4)

berwujud satu. Antar keduanya saling berkaitan dan isi-mengisi guna dapat diselesaikan pemeriksaan suatu peristiwa pidana. Namun demikian ditinjau dari beberapa segi, terdapat perbedaan antara kedua tindakan tersebut:

dari segi pejabat pelaksana, pejabat penyelidikan terdiri dari “semua anggota” Polri dan pada dasarnya pangkat dan wewenangnya berada di bwah pengawasan penyidik, wewenangnya sangat terbatas hanya meliputi penyelidakan atau mencari dan menemukan data atas suatu tindakan yang diduga merupakan tindak pidana. Hanya dalam hal-hal telah mendapat perintah dari pejabat penyidik barulah penyelidik melakukan tindakan yang disebut Pasal 5 ayat (1) huruf b (penagkapan,larangan meninggalkan tempat, penggeledahan, penyitaan dan sebagainya).

Memang kalau diperiksa ketentuan Pasal 7 ayat (1), apalagi jika dihubungkan dengan beberapa bab KUHAP, seperti Bab V (pengkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan surat) serta Bab XIV (penyidikan), ruang lingkup wewenang dan kewajiban penyidik adalah amat luas jika disbanding dengan penyelidikan, akan tetapi, cara penguraiannya dalam KUHAP agak berserakan dalam beberapa bab. Wewenang dan kewajiban penyidik serta ruang lingkup fungsi penyidikan kurang sistematis pengaturannya, sehingga untuk memahami masalah penyidikan secara sempurna, tidak dapat melihatnya hanya pada Bab XIV saja, tetapi harus melihat dan mengumpulkannya dari bab dan pasal-pasal lain diluar kedua bab yang disebutkan.

(5)

demikian yang diikuti, pembicaraan tentang penyidikan, bisa bolak-balik. Mari kita lihat batapa mundur majunya pembahasan penyidikan jika mengikuti sistematika bab-bab yang diatur dalam KUHAP. Pada Bab IV bagian Kesatu, dibicarakan mengenai penyelidik dan penyidik. Kemudian pada Bab V diatur tentang penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan seterusnya. Bab VI mengatur mengenai tersangka dan terdakwa. Padahal menurut hemat kita, masalah yang diatur pada bab-bab tadi dan bab-bab-bab-bab selanjutnya, pada dasarnya meliputi fungsi dan wewenang penyidikan. Akan tetapi anehnya, bab tentang penyidikan baru diatur pada Bab XIV. Jadi, tampaknya pengaturan dan penyusunan bab dan pasal-pasal mengenai penyidikan agak bercampur-baur dalam beberapa bab. Pasal-pasal peraturan yang berserakan inilah yang akan dibahas dalam suatu pokok pembahasan penyidikan.

B. Pengertian Penyidik Kepolisian.

Sebelumnya dalam Pasal 1 butir 1 dan 2 KUHAP, merumuskan pengertian penyidikan yang menyatakan, penyidik adalah pejabat Polri atau pejabat pegwai negeri “tertentu” yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Sedang penyidikan berarti; serangkaian tindakan yang dilakukan pejabat penyidik sesuai dengan cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti, dan dengan bukti itu membuat atau menajdi terang tindak pidana yang terjadi serta sekaligus menemukan tersangkanya atau pelaku tindak pidananya. Kemudian dipertegas dan diperinci lagi dalam Pasal 6 KUHAP. Akan tetapi, di samping apa yang diatur dalam Pasal 1 butir 1 dan Pasal 6, terdapat lagi Pasal 10 yang mengatur tentang adanya penyidik pembantu di samping penyidik.

(6)

Dalam pasal tersebut ditentukan instansi dan kepangkatan seorang pejabat penyidik. Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 6 dimaksud, yang berhak diangkat sebagai pejabat penyidik yaitu:

Penyidik adalah:

pejabat polisi negara Republik Indonesia;

pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus ole hundang-undang.

Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.

1. Pejabat Penyidik Polri

Menurut ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf a, salah satu instansi yang diberi kewenangan melakukan penyidikan ialah “pejabat polisi Negara”. Memang dari segi diferensiasi fungsional, KUHAP telah meletakkan tanggung jawab fungsi penyidikan kepada instansi kepolisian. Cuma agar seorang pejabat kepolisian dapat diberi jabatan sebagai penyidik, harus memenuhi “syarat kepangkatan” sebagaimana hal itu ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (2). Menuruit penjelasan Pasal 6 ayat (2), kedudukan dan kepangkatan penyidik yang diatur dalam Peraturan Pemerintah, diselaraskan dan diseimbangkan dengan penjelasan ini, KUHAP sendir belum mengatur syarat kepangkatan yang dikehendaki Pasal 6. syarat kepangkatan tersebut akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Untuk itu, penjelasan Pasal 6 telah memberi petunjuk supaya dalam menetapkan kepangkatan pejabat penyidik, disesuaikan dengan kepangkatan penuntut umum dan hakim pengadilan negeri.

(7)

pada tanggal 1 Agustus 1983, berupa PP No.27 Tahun 1983 dimana syarat kepangkatan pejabat penyidik diatur dalam Bab II. Memperhatikan ketentuan kepangkatan yang diatur dalam Bab II PP dim,aksud, syarat kepangkatan dan pengangkatan pejabat penyidik kepolisian dapaty dilihat uraian berikut.

Pejabat Penyidik Penuh

Pejabat Polisi yang dapat diangkat sebagai pejabat “penyidik penuh”, harus memenuhi syarat kepangkatan dan pengangkatan,

Sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan dua Polisi;

Atau yang berpangkat bintara di bawah Pembantu Letnan Dua Polisi apabila dalam suatu sektor kepolisian tidak ada pejabat penyidik yang berpangkat Pembantu Letnan Dua;

Ditunjuk dan diangkat oleh Kepala Kepolisian RI.

Demikian syarat kepangkatan dan pengangkatan pejabat polisi menjadi pejabat penyidik. Dari bunyi ketentuan Pasal 2 ayat (2) PP No.27 Tahun 1983, sekalipun pada prinsipnya syarat kepangkatan pejabat penyidik sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua, namun mengingat kurangnya tenaga personal yang belum memadai terutama di daerah-daerah atau di kantor sector kepolisian, Peraturan Pemerintah memperkenankan jabatan penyidik dipangku oleh seorang anggota kepolisian yang “berpangkat bintara”.

Kepangkatan yang serupa ini memang tidak serasi jika ditinjau darai sudut keseimbangan kepangkatan penuntut umum maupun hakim yang bertugas di Pengadilan Negeri. Apalagi dari segi kemampuan pengetahuan hukum seorang bintara kurang dapat dipertanggungjawabkan segi kemampuan dan pengalaman. Itu sebabnyasering dijumpai penyidikan yang tidak memadai dan tidak terarah.

(8)

Penyidik Pembantu

Pejabat polisi yang dapat diangkat sebagai “penyidik pembantu” diatur dalam Pasal 3 PP No.27 Tahun 1983. Menurut ketentuan ini, syarat kepangkatan untuk dapat diangkat sebagai penyidik pembantu:

Sekurang-kurangnya berpangkat Sersan Dua Polisi.

Atau pegawai negeri sipil dalam lingkungan Kepolisan Negara dengan syarat sekurang-kurangnya berpangakat Pengatur Muda (golongan II/a);

Diangkat oleh Kepala Kepolisian RI atas usul kkomandan atau pimpinan kesatuan masing-masing.

Khusus pengangkatan pegawai negeri sipil di lingkungan kepolisian menjadi pejabat penyidik pembantu, yang bersangkutan harus mempunyai keahlian atau kekhususan dalam bidang tertentu. Tanpa syarat tersebut, tidak ada alasan atau urgensi untuk mengangkat mereka menjadi pejabat penyidik pembantu. Syarat kepangkatan penyidik pembantu, lebih rendah dari pangkat jabatan penyidik. Berdasar hierarki dan organisatoris, penyidik pembantu diperbantukan kepada pejabat penyidik. Oleh karena itu, kepangkatan mereka harus lebih rendah dari penyidik.

(9)

Bukankah sudah ada pejabat penyidik? Apa perlunya ada penyidik pembantu? Bukankah hal ini seolah-olah dualistis dalam tubuh aparat penyidik? Memang menurut logika, dengan adanya pejabat penyidik, tidak perlu dibentuk suatu eselon yang bernama penyidik pembantu. Sebab secara rasio, dengan adanya jabatan penyidik berdasar syarat kepangkatan tertentu, semua anggota Polri yang berada di bawah jajaran pejabat penyidik adalah pembantu bagi pejabat penyidik. Apalagi jika dihubungkan dengan ketentuan Pasal 11, pengklasifikasian antara penyidikan dan penyidik pembantu semakin mengherankan. Sebab berdasarkan ketentuan Pasal 11, penyidik pembantu mempunyai wewenang yang sama dengan pejabat penyidik, kecuali sepanjang penahanan wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik. Jadi boleh dikatakan hampir sama wewenangnya sebagaimana yang diperinci pada Pasal 7 ayat (1).

Untuk mendapat penjelasan atas klasifikasi penyidik, mungkin dapat diterima alasan yang dikemukakan pada buku Pedoman Pelaksanaan KUHAP, yang menjelaskan latar belakang urgensi pengangkatan pejabat penyidik pembantu, yang dapat disimpulkan: Disebabkan terbatasnya tenaga Polri yang berpangkat tertentu sebagai pejabat penyidik. Terutama daerah-daerah sector kepolisian di daerah terpencil, masih banyak yang dipangku pejabat kepolisian yang berpangkat bintara;

(10)

2. Penyidik Pegawai Negeri Sipil

Mereka diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Penyidik pegwai negeri sipil diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b, yaitu pegawai negeri sipil yang mempunyai fungsi dan wewenang sebagai penyidik. Pada dasarnya wewenang yang mereka miliki bersumber pada ketentuan undang-undang pidana khusus, yang telah menetapkan sendiri pemberian wewenang penyidikan pada salah satu pasal.

(11)

koordinasi dan pengawasan penyidik Polri. Lebih lanjut mari kita lihat kedudukan dan wewenang penyidik pegawai negeri sipil dalam melaksanakan tugas penyidikan: Penyidik pegawai negeri sipil kedudukannya berada di bawah:

“koordinasi” penyidik Polri, dan

Dibawah “pengawasan” penyidik Polri.

Untuk kepentingan penyidikan, penyidik Polri “memberi petunjuk” kepada penyidik pegawai negeri sipil tertentu, dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan (Pasal 107 ayat (1)).

Penyidik pegawai negeri sipil tertentu, harus “melaporkan” kepada penyidik Polri tentang adanya suatu tindak pidana yang sedang disidik, jika dari penyidikan itu oleh penyidik pegawai negeri sipil ada ditemukan bukti yang kuat untuk mengajukan tindak pidananya kepada penuntut umum (Pasl 107 ayat (2)).

Apabila penyidik pegawai negeri sipil telah selesai melakukan penyidikan, hasilpenytidikan tersebut harus diserahkan kepada penuntut umum. Cara penyerahannya kepada penuntut dlakukan penyidik pegawai negeri sipil “melalui penyidik Polri” (Pasal 107 ayat (3) ).

Apabila penyidik pegawai negeri sipil menghentikan penyidikan yang telah dilaporkan pada penyidik Polri, penghentian penyidikan itu harus “diberitahukan” kepada penyidik Polri dan penuntut umum (Pasal 109 ayat (3)).

(12)

C. PERAN PENYIDIK KEPOLISIAN DALAM INTEROGASI TERHADAP

TERSANGKA

Titik pangkal dari pemeriksaan dihadapan penyidik adalah tersangka. Dari dialah diperoleh keterangan tentang peristiwa pidana yang sedang diperiksa. Akan tetapi, sekalipun tersangka yang menjadi titik tolak pemeriksaan,terhadapnya harus diberlakukan asas aquisatoir. Tersangka harus ditempatkan pada kedudukan manusia yang memiliki harkat dan martabat. Dia harus dinilai sebagai subjek, bukan sebagai objek. Yang diperiksa bukan manusia tersangka. Perbuatan yang dilakukannyalah yang menjadi objek pemeriksaan. Ke arah kesalahan tindak pidana yang dilakukan pemeriksaan ditujukan. Tersangka harus dianggap tidak bersalah sesuai dengan prinsip hukum “praduga tak bersalah” (presumption of innocent) sampai diperoleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan yang tetap.

Pada pemeriksaan tindak pidana, tidak selamanya hanya tersangka saja yang harus diperiksa. Adakalanya diperlukan pemeriksaan saksi atau ahli, demi unutk terang dan jelasnya peristiwa pidana yang disangkakan. Namun, sedangkan kepada tersangka harus ditegakkan perlindungan harkat dan martabat dan hak-hak asasi, kepada saksi dan ahli, harus juga diperlukan dengan cara yang berperikemanusiaan dan beradab.

1. Pemeriksaan Terhadap Tersangka

Sehubungan dengan pemeriksaan tersangka, undang-undang telah memberi beberapa hak perlindungan terhadap hak asasinya serta perlindungan terhadap haknya untuk mempertahankan kebenaran dan pembelaan diri seperti yang diatur pada Bab VI, Pasal 50 sampai Pasal 68.

(13)

a. Hak tersangka untuk segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik.

Apa arti “segera”, undang-undang tidak menjelaskan lebih lanjut. Akan tetapi, dari pengertian bahasa barangkali “secepat mungkin” atau “sekarang juga” tanpa menunggu lebih lama.

Motivasi pemberian hak untuk segera diperiksa dapat dibaca pada penjelasan Pasal 50 antara lain:

Untuk menjauhkan kemungkinan terkatung-katung nasib orang yang disangka. Jangan sampai lama tidak mendapat pemeriksaan sehingga dirasakan tidak ada kepastian hukum, terjadinya perlakuan sewenang-wenang dan ketidakwajaran.

Demi mewujudkan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan.

Sungguh idealistis apa yang hendak dijangkau Pasal 50 tersebut, namun masih dapat dipertanyakan, apakah ini hanya merupakan impian. Pengalaman silam terlampau pahit , sehingga motivasi idealisme yang terkandung pada Pasal 50, masih diragukan dalam pelaksanaan.

b. Hak tersangka agar perkaranya segera diajukan ke pengadilan.

(14)

tiga tahun. Demikian seterusnya pada pemeriksaan kasasi itu sebabnya sering terjadi orang yang berperkara sudah lama jadi almarhum baru dicapai kepastian hukum. Barangkali makna hak yang disebutkan dalam Pasal 50, takkan bisa mencapai saasaran selama mentalitas pejabat belum berubah. Apalagi pelanggaran atas ketentuan ini tidak ada sanksinya. Seandainya pejabat penyidik tidak segera melakukan pemeriksaan terhadap tersangka atau jaksa penuntut umum tidak segera melimpahkan berkas ke sidang pengadilan, hukuman tau tindakan apa yang dapat dikenakan kepada pejabat? Sama sekali tidak ada sehingga sulit untuk memberi jaminan atas pelaksanaan hak yang digariskan Pasal 50 tersebut. Sepoanjang yang kita teliti dalam KUHAP, hanya satu pasal yang memberi ketegasan atas pemeriksaan yang segera. Dijumpai pada Pasal 122 yang menentuakan:

Dalam hal tersangka, ditahan dalam “waktu satu hari” setelah perintah penahanan itu dijalankan, ia (tersangka) mulai diperiksa.

Cuma kita menyayangkan, pasal ini tidak menyebutkan sanksi atas pelanggaran batas waktu itu. Seandainya tersangka ditahana, dan sudah lewat seminggu tidak pernah diperiksa, apa yang harus diperbuat oleh tersangka? Barangkali paling mendongeng menceritakan haknya serta menyebut-nyebut ketentuan Pasal 122 KUHAP. Namun sebagaimana dongengnya itu berkelanjutan, tersangka tetap tidak mempunyai jalan memaksa penyidik untuk segera memeriksanya. Kasihan bukan? Hendak diajukan maslah perkosaan atas haknya itu kepada Pra-peradilan, tampaknya kurang efektif. Memang bisa saja diajukan tuntutan ganti rugi kepada Pra-peradilan atas alasan tindakan tanpa alasan yang berdsarkan undang-undang (Pasal 95 ayat (2)).

c. Hak tersangka untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang

dimengerti tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu

(15)

Salah satu hal yang paling penting untuk diingat penyidik, sejak permulaan pemeriksaan sampai selesai, penyidik harus berdiri di atas landasan prinsip hukum “praduga tak bersalah”. Tentang hal ini, sudah berkali-kali disinggungkan pada uraian terdahulu, yakni harus mempergunakan sistem pemeriksaan “aquisatoir”, di mana si tersangka diproyeksikan sebagai subjek hukum dan bukan sebagai objek pemeriksaan. Yang menjadi objek pemeriksaan adalah kesalahan atau perbuatan yang disangkakan kepada tersangka.

2. Tata Cara Pemeriksaan

Cara pemeriksaan di muka penyidik ditinjau dari segi hukum, antara lain:

A. Jawaban atau keterangan yang diberikan tersangka kepada penyidik,

diberikan tanpa tekanan dari siapa pun jug dengan bentuk apapun juga.

Kita terkesan dan sangat setuju dengan ketentuanPasal 117. tersangka dalam mem berikan keterangan harus “bebas” berdasar “kehendak” dan “kesadaran” nurani. Tidak boleh dipaksakan dengan cara apa pun baik penekanan fisik dengan tindakan kekerasan dan penganiayaan, maupun dengan tekanan dari penyidik maupun dari pihak luar.

(16)

bersifat fakultatif, peran pengawasan yang diharapkan dari para penasihat hukum dalam pemeriksaan penyidikan, sangat terbatas, dan semata-mata sangat tergantung dari belas kasihan pejabat penyidik untuk memperbolehkan atau mengizinkannya. Bagaimana jika ternyata keterangan yang diberikan tersangka yang dituangkan dalam berita acara pemeriksaan adalah hasil pemerasan, tekanan, ancaman, atau paksaan?

Keterangan yang diperoleh dengan cara seperti ini, “tidak sah”. Cara yang dapat ditempuh untuk menyatakan keterangan itu tidak sah, dengan jalan mengajukan ke Pra-peradilan atas alasan penyidik telah melakukan cara-cara pemeriksaan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang, dalam arti pemeriksaan telah dilakukan dengan ancaman kekerasan atau penganiayaan dan sebagainya. Apabila Pra-peradilan mengabulkan, berarti telah membenarkan adanya cara-cara pemaksaan dalam pemeriksaan.

B. Penyidik mencatat dengan seteliti-telitinya keterangan tersangka.

Semua yang diterangkan tersangka tentang apa yang sebenarnya telah dilakukannya sehubungan dengan tindak pidana yang disangkakan kepadanya, dicatat oleh penyidik dengan seteliti-telitinya.

a. Sesuai dengan rangkaian kata-kata yang dipergunakan tersangka.

(17)

sesuai dengan kata-kata yang dipergunakan tersangka. Oleh karena itu, yang paling tepat dengan prinsip tersebut, penyidik tidak perlu menyusun kalimat dan kata-kata yang disesuaikan dengan kalimat yang lebih standar agar catatan itu tidak menimbulkan persoalan. Sebab apabila penyidik membuat penyesuaian, sekalipun isi dan maknanya tetap sama, bisa saja tersangka membantahnya. Tentu resiko yang demikian dari semula harus diperhitungkan kian oleh penyidik.

b. Keterangan tersangka sebagaimana yang dimaksudkan pada

ketentuan diatas:

1. dicatat dalam berita acara pemeriksaan oleh penyidik;

2. Setelah selesai, ditanyakan atau diminta persetujuan dari tersangka tentang kebenaran isi berita acara tersebut.

Persetujuan ini bisa dengan jalan membacakan isi berita acara, atau menyuruh membaca sendiri berita acara pemeriksaan kepada tersangka, apakah dia telah menyetujui isinya atau tidak. Kalau dia tidak setuju harus memberitahukan kepada penyidik bagaian yang tidak disetujui untuk diperbaiaki;

3. apabila tersangka telah menyetujui isi keterangan yang tertera dalam berita acara, tersangka dan penyidik masing-masing membubuhkan tanda tangan mereka dalam berita acara;

(18)

c. Jika tersangka yang hendak diperiksa bertempat tinggal di luar daerah hukum penyidik,

penyidik yang bersangkutan dapat membebankan pemeriksaan kepada penyidik yang berwenang di daerah tempt tinggal tersangka atau “pendelegasian penyidikan” (Pasal 119).

Ada baiknya, untuk memudahkan dan untuk lebih menjuruskan arah pemeriksaan seperti yang dikehendaki oleh penyidik, penyidik yang bersangkutan memberi penjelasan atau petunjuk tentang hal-hal yang akan diperiksa oleh penyidik yang dibebani melakukan pemeriksaan dimaksud. Sangat diharapkan agar hasil pemeriksaan segera dikirimkan kepada penyidik semula.

d. Tersangka yang tidak dapat hadir menghadap penyidik.

Menurut ketentuan Pasal 113, pemeriksaan terhadap tersangka yang tidak dapat hadir mengahadap, dilakukan di tempat kediaman tersangka dengan cara:

1. penyidik sendiri yang datang melakukan pemeriksaan ke tempat kediaman tersangka;

2. hal seperti ini dimungkinkan apabila tersangka dengan ‘alasan yang patut dan wajar”, tidak dapat datang ke tempat pemeriksaan yang ditentukan oleh penyidik.

(19)

apakah yang dimaksud dengan pengertian patut dan wajar? Jawaban atas

pertanyaan di atas;

Pertama, tentang apakah harus ada pernyataan dari tersangka bahwa dia bersedia diperiksa di tempat kediamannya. Mengenai hal ini harus ada, sebab tanpa pernytaan kesediaan timbul anggapan pemeriksaan dilakukan “seolah-olah dengan paksaan”. Untuk menghindari dugaan demikian, baiknya ada pernyataan kesediaan, baik hal itu dinyatakan secara tertulis maupun secara lisan yang disampaikan oleh tersangka kepada penyidik sewaktu penyidik mendatanginya di tempat kediaman.

Adapun mengenai pengertian alsan yang patut dan wajar, perlu landasan hukum yang serasi dengan maksud tersebut. Jika tidak, kemungkinan besar alasan patut dan wajar bisa dimanipulasi dan disalahgunakan tersangka. Akibatnya bisa menimbulkan hambatan kelancaran pemeriksaan dan ketidakmuluisan peningkatan penegakan hukum dan ketertiban masyarakat. Oleh karena itu, alasan-alasan patut dan wajar dalam kasus ini, harus dikaitkan dengan teori “impossibilitas” atau teori “ketidakmungkinan”. Maksudnya, dengan adanya hambatan atau halangan yang diderita dan dihadapi tersangka, benar-benar keadaan hambatan dan halangan tersebut membuat tersangka “tidak mungkin” hadir memenuhi panggilan penyidik. Akan tetapi, alsan ketidakmungkinan ini pun harus benar-benar “impossibilitas yang absolute”.

(20)

dialami tersangka bukan “impossibilitas relative” yang didasarkan pada ukuran subjektifitas. Misalnya, hanya untuk menghadiri pesta, impossibilitas itu subjektif dan masih berada dalam ukuran “ketidakmungkinan yang tak logis”.

D. PENERAPAN INTEROGASI YANG DILAKUKAN PENYIDIK

KEPOLISIAN DALAM TINDAK PIDANA PENCURIAN

Pemeriksaan penyidikan adalah pemeriksaan di muka pejabat penyidik dalam hal ini penyidik kepolisian dengan jalan menghadirkan tersangka, saksi, atau ahli. Pemeriksaan berarti, petugas penyidik berhadapan langsung dengan tersangka, para saksi atau ahli.

Sebagaimana yang sudah berulang kali dijelaskan, penyidikan merupakan “rangkaian” tindakan penyidik dalam hal dan dengan cara yang diatur dalam, undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti. Dengan bukti yang ditemukan dan dikumpulkan, tindak pidana yang terjadi akan menjadi terang dan jelas dapat menemukan tersangka yang menjadi pelaku tindak pidana yang sedang disidik. Dari bunyi Pasal 1 butir 2 tindakan penyidikan tiada lain dari pada “rangkaian” tindakan mencari dan mengumpulkan bukti, agar peristiwa tindak pidananya menjadi terang serta tersangkanya dan berkas perkara tindak pidanya dapat diajukan kepada penuntut umum dan untuk selanjutnya tersangka dihadapkan jaksa kepada hakim di muka persidangan pengadilan. Kalau begitu pemeriksaan tersangka dan saksi-saksi atau ahli di hadapan petugas penyidik, dapat dikatakan merupakan “rangkaian terakhir” tindakan penyidik sebelum menyampaikan hasil penyidikan kepada penuntut umum.

(21)

menemukan orang yang diduga sebagai tersangka. Penyidik yang mengetahui sendir terjadinya peristiwa pidana atau oleh karena berdasarkan laporan ataupun berdasarkan pengaduan, dan menduga peristiwa itu merupakan tindak pidana, penyidik “wajib” segera melakukan tindakan penyidikan yang diperlukan, dan rangkaian akhir tindakan yang diperlukan itu adalah pemeriksaan langsung tersangka dan saksi-saksi maupun ahli.

Langkah yang harus diambil pada saat memulai pemeriksaan penyidikan, pejabat penyidik perlu mengingat adanya “kewajiban” yang harus diperhatikan dan dilaksanakan sebelum memulai penyidikan dan pemeriksaan terhadap tersangka, yang paling pokok diantaranya adalah:

a. Wajib Memberitahu Penuntut Umum

Pada saat penyidik “mulai” melakukan penyidikan peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana, penyidik “memberitahukan” hal itu kepada penuntut umum. Pemberitahuan semacam ini ditentukan dalam Pasal 109 ayat (1): “Dalam hal penyidik telah memulai penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum”. Apa alasan mengkategorikan pemberitahuan tersebut sebagai “kewajiban”, sedang Pasal 109 ayat (1) tidak memuat perkataan wajib, dan dalam penjelasan Pasal 109, juga tidak dijumpai perkataan wajib. Untuk mendukung pendapat pemberitahuan merupakan kewajiban, dapat diajukan beberapa alasan:

(22)

kepastian hukum yang hendak ditegakkan KUHAP, memperkuat kesimpulan, pemberitahuan bersifat “wajib”. Sebab kalu pemberitahuan itu bukan wajib sifatnya, akan hilang makna kepastian hukum yang terkandung di dalamnya. Akibatnya, akan menimbulkan sikap pada penyidik semau sendiri. Jika hatinya senang dia memberitahukan, tapi kalau malas boleh juga tidak diberitahukan.

2. Atau kita ambil pendapat Mahkamah Agung yang dituangkan dalam fatwa bahwa pemberitahuan penyidik kepada penuntut umum dalam rangkaian ketentuan Pasal 109 ayat (1) adalah merupakan “kewajiban” atas dasar bahwa pemberitahuan tersebut merupakan rangkaian tugas yustisial yang bersifat “imperatif”.

Tentang kapan saat pemberitahuan disampaikanpenyidik kepada penuntut umum, harus tepat pada saat penyidik melakukan tindakan penyidikan. Misalnya telah mulai dilakukan penangkapan, pemanggilan, penggledahan, penahanan, penyitaan, dan sebagainya. Tidak termasuk ruang lingkup tindakan penyelidikan, sebab dari pengertian saja penyelidikan baru merupakan tahap rangkaian “mencari” dan “menemukan” suatu peristiwa. Belum tentu peristiwa yang diselidiki itu peristiwa pidana atau tidak. Apabila hasil penyelidikan sudah “dapat diduga” sebagai peristiwa pidana, baru dapat dilakukan tindakan penyidikan. Jika dari hasil penyelidikan telah ditentukan untuk dilanjutkan dengan tindakan penyidikan, pada saat itulah terbit “kewajiban” penyidik memberitahukan penyidikan kepada penuntut umum. Hal ini sesuai dengan petunjuk pelaksanaan angka 3 Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman No. M. 14-PW.07.03/1983, yang menyatakan,

(23)

Cara pemberitahuan, undang-undang tidak menentukan bentuknya. Cara yang paling dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan tujuan KUHAP yang bermaksud menagrahkan pembinaan dan penyempurnaan administrasi yustisial:

1. Pemberitahuan dilakukan dengan “tertulis”.

Dari segi praktis dan sekaligus untuk uniformitas tata laksana pemberitahuan, formulir pemberitahuan harus mampu memberi gambaran yang jelas tentang peristiwa pidanayang sedang disidik. Penjelasan yang demikian sangat diperlukan, agar sejak dini penuntutan umum dapat mengikuti jalannya penyidikan, dan apabila dianggap perlu memberi petunjuk dalam rangka kesempurnaan penyidikan sesuai dengan maksud yang terkandung pada ketentuan Pasal 14 huruf b dan pasal 110 ayat (3) dan (4).

2. Atau dalam keadaan mendesak dapat dilakukan dengan “lisan” asal disusul dengan pemberitahuan “tertulis”.

b. Wajib Memberitahu Tersangka Tentang Haknya (Miranda Warning)

Berdasarkan Pasal 114, penyidik sebelum mulai melakukan pemeriksaan, “wajib” memberitahu atau memperingatkan tersangka akan “haknya” untuk mencari dan mendapatkan bantuan hukum dari seseorang atau beberapa orang penasihat hukum. Sesuai dengan ketentuan di atas, terdapat dua sisi mengenai tampilnya penasihat hukum mendampingi seorang tersangka:

(24)

mampu, diancam dengan tindak pidana kurang dari lima tahun (lihat Pasal 56). Pada sisi seperti ini diserahkan kepada kehendak tersangka apakah dia akan mempergunakan haknya mencari atau mendapatkan bantuan hukum dari penasihat hukum yang dikehendakinya. Jadi, apabila ancaman hukuman tindak pidana yang disangkakan kepadanya hukumannya kurang dari lima tahun, kepada tersangka yang mampu diberi hak untuk mencari dan mendapatkan penasihat hukum yang disukainya.

2. Sisi kedua, pemberian bantuan hukum oleh penasihat hukum, bukan semata-mata hak dari tersangka, tetapi telah berubah sifatnya menjadi “kewajiban” penyidik atau kewjiban dari aparat penegak hukum pada semua tingkat pemeriksaan, baik pada tingkat penuntutan dan persidangan. Hak tersangka dan kewajiban penyidik (aparat penegak hukum) berjumpa disebabkan beberapa factor:

a. tindak pidana yang diancamkan kepada tersangka/terdakwa merupakan ancaman hukuman mati atau ancaman pidana lima belas tahun ke atas. b. Bagi mereka yang tidak mampu untuk mempunyai atau mendatangkan

bantuan penasihat hukum, sedang ancaman pidana yang disangkakan atau didakwakan kepadanya lima tahun atau lebih.

(25)

dapat dilaksanakan di kota-kota besar, yang cukup mempunyai lembaga-lembaga bantuan hukum, tetapi belum dapat dilaksanakan di daerah terpencil. Jangankan dengan cuma-cuma, mencari dan mendapatkan bantuan hukum dengan pembayaran pun tidak mungkin seperti di daerah Maluku, Irian Jaya, dan sebagainya.

Memperhatikan keadaan ini, ketentauan Pasal 56 pada saat sekarang baru berupa perhiasan dan kerangka saja, tapi belum dapat diisi sebagaimana yang diharapkan oleh pasal tersebut. Kecuali jika secepatnya dikelauarkan peraturan pendirian lembaga-lembaga bantuan hukum pemerintah, yang menyebarkan sarjana hukum ke seluruh pelosok tanah air.

BEBERAPA SARAN DAN TEKNIK PEMERIKSAAN MENURUT INBAU

DAN READ.

Inbau dan Read mengemukakan beberapa teknik dan taktik pemeriksaan dan yang kita pandang sebagai saran-saran belaka, mengingat variasi-variasi yang beraneka ragam daripada watak dan kepribadian tersangka pada satu pihak sedangkan pada pihak lain harus diingat pula bahwa pemeriksaan-pemeriksaan pun memiliki serba aneka ragam watak dan kepribadian.

a. Yakin akan kesalahan tersangka:

(26)

Seorang tersangka dengan dibimbing oleh petugas memasuki ruangan pemeriksaan. Petugas pembimbing itu seharusnya memberitahukan kepada tersangka, bahwa ia akan dihadapkan kepada Mr. …………(nama pemeriksa) yang akan melakukan pemeriksaan. Bilamana tersangka memasuki ruangan itu, maka pemeriksa dianjurkan untuk memberi hormat kepada tersangka, bagaikan seorang dokter memberi salam kepada pasien yang akan mengunjunginya. Penghormatan yang diberikan itu tak perlu diikuti dengn uluran tangan untuk berjabat, kecuali bilamana tersangka mengulurkannya untuk salaman.

Yang dimaksudkan oleh Inbau dengan mengulurkan tangan adalah untuk tetap mempertahankan sifat resmi, oleh karena salaman berjabat tangan yang dimulai dapat menimbulkan kesan yang merugikan jalannya pemeriksaan. Memberi salam sebagaimana dokter menghhormati tamunya dapat dimengerti sebagai suatu cara untuk memberi kelegaan tersangka, sehingga ia tidak akan diserang oleh kecemasan-kecemasan yang dapat membuat suasana tegang.

Untuk seterusnya pemeriksaan dapat dimulai dengan mengatakan: “Saudara telah diperiksa sebelum ini, tapi sayang bahwa saudara belum mengemukakan secara benar tentang peristiwa yang terjadi”. Pemeriksa harus segera berhenti sebentar untuk menantikan reaksi tersangka. Dari reaksi itu pemeriksa akan menggunakannya untuk menarik kesimpulan apakah tersangka membohong atau mengucapkan hal yang sebenarnya.

(27)

bersalah. Kewaspadaan pemeriksaan harus diarahkan pula pad usaha agar yang diperiksa tidak melakukan penyangkalan. Sekali ia menyangkal, akan terbentang suatu tembok pemisah yang makin tebal antara pemeriksa dan yang diperiksa dan akan semakin mengurangi kesempatan untuk memperoleh pengakuan. Proses psychologis dalam penyangkalan membuat tersangka itu sendiri sulit untuk kembali pada ceritera tentang keadaan sebenarnya. Oleh karena itu, maka pertanyaan sebaiknya menggunakn istilah: “apakah sebabnya engkau telah melakukan atau tidak”. Tentulah teknik bertanya sedemikian itu semata-mata diarahkan kepada tersangka yang perbuatannya telah pasti. Oleh karena dalam menghadapi tersangka yang masih diragukan, maka sikap pemeriksa pun harus disesuaikan dengan cara lain.

b. Tunjukkanlah sebagian dari pembuktian

(28)

Tepatnya mnegmukakan sebagian dari bahan-bahan pembuktian adalah tindakan yang bijaksana. Dengan demikian tersangka akan dihadapkan pada suatu situasi untung rugi bilamana ia membohong atau mengakui kesalahannya.

c. Perhatikan gejala-gejala psychologis dan psychologis dari tersangka.

Jika pemeriksaan dapat membimbing jalanm pikiran tersangka kearah suatu pemikiran bahwa tersangka memiliki kelemahan-kelemahan psychologis dengan reaksi-reaksi reflex yang merupakan pratanda daripada dosa-dosa yang telah diperbuatnya, atau pelanggaran hukum yang tak dapat disembunyikan, maka tersangka akan merasakan terdesak ke sudut, kehilangan keseimbanagan dan tak berdaya, kecuali mengakui kesalahannya.

Dalam hal ini Inbau, mengemukakan contoh-contoh sebagai berikut:

1. Denyutan nadi di leher

Jika pemeriksa memperhatikan urat nadi pad aleher tersangka berdenyut dengan cepat, katakanlah bahwa cepatnya nadi itu berdenyut adalah disebabkan oleh karena sebenarnya. Sementara itu pemeriksa dapat menunjukkan pada nadinya sendiri yang berjalan normal. Lalu pemeriksa mengikuti pula dengan suatu penjelasan bahwa denyutan nadi yang menjadi cepat dan nampak itu tidak pernah terjadi pada orang yang bicara benar.

(29)

kita harus hati-hati membuat kesimpulan dengan anjuran ini, apalagi jika yang diperiksa adalah mahasiswa kedokteran atau psychiatry dan sebagainya.

2. Gerakan Adam’s Apple

Yang dimaksudkan dengan Adam’s Apple ialah lekum yang nampak membentul pada leher kaum pria. Keterangan selanjutnya pun akan sama dengan penjelasan pada point 1 diatas.

3. Beberapa reaksi Panca Indera

Reaksi panca indera yang mungkin dilakukan oleh tersangka, misalnya memalingkan mukanya tak mau melihat kea rah pemeriksa.

Usaha-usaha serupa yang sering pula dilakukan misalnya menggoyang-goyangkan sebelah atau kedua belah kakinya, menempatkan kaki itu kedepan atau menariknya ke belakang; memain-mainkan jari tangan apakah dengan cara meraba-raba kancing baju atau mengetuk-ngetukkannya ke kursi; menggigit kuku dan sebagainya. Ada pula yang merasakan kering pada bibirnya dan karean itu ia membasahi bibirnya dengan mengeluarkan lidah sebagai alat pembasah bibir itu.

Dalam hal tersangka memalingkan mukanya memandang ke loteng atau keluar jendela atau ke lantai, pemeriksa harus berusaha agar tetap terjadi kontak antara mata dengan mata. Kontak yang demikian itulah yang hendak dihindarinya dan kebalikannya pemeriksa harus berusaha mencegah penghindaran sedemikian itu merupakan pelarian daripada bahaya akan terbukanya kebenaran sebagai masalah pokok yang hendak dijauhi oleh tersangka.

(30)

4. Kecemasan tersangka

Gejala-gejala yang diterangkan pada point 3 di atas itu sebenarnya pun merupakan bagaian daripada proses psychologis sebagaimana halnya dengan kecemasan. Dengan kata lain, kecemasan dapat ditandai oleh gerakan-gerakan panca indera; ialah usaha untuk membentuk keseimbangan psychis, sedangkan kecemasan itu sendiri merupakan produk daripada conflict psychologis.

Kecemasan antara lain dapat dilihat pada keringat dingin pucat atau gemetar dan sebagainya. Jika kecemasan tersangka dapat dimanfaatkan, maka pintu pengakuan segera terbuka. Tetapi jika kecemasan itu semakin dipertebal oleh sikap dan ucapan-ucapan pemeriksa yang kurang pengalaman menghadapinya, bahkan akan merupakan tembok tebal yang hendak menutup kebenaran atau sekurang-kurangnya mempersulit keadaan.

5. Sumpah tersangka

Lazim pula terjadi seorang tersangka hendak membenarkan keterangan dengan sikap bersumpah: “Demi Tuhan, aku akan terkutuk jika mngatakan kata-kata bohong”. Hal ini tidak selalu menunjukkan kesungguhan bahkan banyak yang berani membohong lalu berani pula berlindung di balik sumpah palsu. Jika misalnya tersangka hendak bersikap demikian dan hendak mengangkat tangannya sebagai syarat bahwa ia hendak bersumpah adalah bijaksana bila pemeriksa mengatakan: “Turunkanlah tangan anda, aku kebetualan dididik dan berpengalaman untuk melihat bentuk muka orang yang berkata benar atau bohong”. Keadaan demikian ini dapat kita sebut “akal dibalas akal, muslihat dibalas dengan muslihat”.

6. Berlindung pada agama

(31)

saya akan berlaku demikian”. Menghadapi ucapan-ucapan demikian, dianjurkan agar pemeriksa dengan tegas menyatakan: “bagaimana alimnya sekalipun kehidupan tuan, adalah masalah tuan dengan Tuhan. Yang menjadi urusan dengan saya, adalah bahwa tuan berkewajiban untuk mempertanggungjawabkan persoalan yang menyebabkan tuan harus berhadapan dengan hukum. Demi untuk kebenaran agama yang tuan peluk, jelaskanlah duduk persoalan dengan sebenarnya”. Situasi tertentu, memerlukan perlakuan tertentu pula.

7. “Tidak, bukan begitu”

Jika di atas tadi kita melihat tersangka yang hendak bersembunyi di balik sumpah palsu atau bersembunyi di balik kebenaran agama, maka disini kita kemukakan pula tersangka yang langsung menyangkali perbuatannya dengan menjawab pertanyaan pemeriksa: “Tidak, bukan begitu”. Mengahadapi tersangka yang demikian itu, pemeriksa harus berusaha mengemukakan pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya demikian rupa sehingga jawaban hanyalah: “ya” atau “tidak”.

Jawaban-jawaban tersangka yang mengatakan: “sepanjang ingatan saya bukan demikian” atau “saya kira bukan begitu”, adalah jawaban setengah-setengah dan ragu-ragu. Tersangka dengan demikian berada di ambang penyangkalan dan pengakuan. Hanyalah keahlian pemeriksa yang akan menariknya ke dalam suasana pengakuan atau kelalaian kecil dari pemeriksa dapat mendorong kea rah penyangkalan yang mempertele-telekan pemeriksaan.

d. Berikanlah rasa simpati kepada tersangka:

(32)

“criminal offender, and particularly one of the emotional type, derives considerable mental relief and comfort from an interrogator’s assurance else under similar conditions or circumstances might havew done the same thing”.

Bahwa seorang tersangka akan merasa lega jika pemeriksa menyatakan bahwa siapapun akan berbuat sama dengan yang dilakuakn oleh tersangka, jika menghadapi keadaan serupa.

Memang ucapan demikian itu dapat memperbesar hati tersangka sen\hingga situasi lunak antar pemeriksa dan pemeriksa yan dapat tercipta, kemudian memberi kesempatan pada pemeriksa untuk membimbing tersangka kea rah pengakuan. Hal ini dapat terjadi pada tersangka yang kurang berpengalaman ata kurang membaca masalah psychology.

Sebab, reaksi manusia terhadap situasi yang asma, tidak selalu menciptakan reaksi yang sama. Manusia memiliki struktur psychologis yang berbeda sebagai akibat perbedaan-perbedaan pengalaman, perbedaan kondisi psychis, perbedaan hiostoris. Bahkan anak kembarpun tidak selalu mempunyai reaaksi yang sama terhadap impuls intern yang sama atau conflict extern yang sama. Perhatikanlah misalnya pengaruh tekanan ekonomi yang lazim mencekam kehidupan manusia. Wanita A yang mengalami tekanan ekonomi bereaksi menjadi pelacur, ada pula yang rela menjadi pesuruh, lain lagi berusaha untuk belajar lebih keras, bekerja lebih keras atau ada pual yang putus asa lalu memilih jalan-jalan yang penuh dengan pelarian psycholigis. Contoh ini hendak menjelaskan dengan singkat bahwa situasi yang sama, atau tekanan yang sama tidak selalu menciptkan reaksi yang sama.

(33)

sebuah saran bagi pemeriksa untuk menyatakan rasa tahu menghargai bahwa tersangka adalah manusia seperti pemeriksa juga. Akan tetapi penghargaan yang diberikan itu jangan pula berkelanjutan sehingga menyebabkan pemeriksa kehilanagan pegangan untuk membimbing tersangka ke arah pengakuan. Menghargai tersangka sebenarnya hanyalah dipergunakan sebagai umpan belaka, agar pihak tersangka pun akan menaruh perhatian dan memberikan kepercayaannya kepada pemeriksa.

e. Rasa bersalah

Sebelum ini kita sering membicarakan mengenai tersangka yang berusaha menutup-nutupi kesalahannya dengan melakukan penyangkalan. Dapat pula terjadi sebaliknya ialah tersangka segera mengakui akan kesalahannya, namun tak mampu kuntuk memberikan penjelasan tentang sebab musabab serta cara ia melakukan perbuatannya. Golongan ini biasanya adalah mereka yang mengalamikecemasn dan kecemasan itu demikian rupa menekan jiwanya, mengaburkan kesehatn berpikirnya bahkan menjadi pelupa, atau dengan kata lain tak mampu mengadakan pemusatan pikiran. Tentualah kecemasan itu dirangsang oleh perbuatan yang telah dilakukannya, diikuti dengan rasa bersalah yang hebat, dan rasa bersalah itulah yng membangkitkan kecemasan. Rasa bersalah itu sebenarnya ditonjolkan oleh sautu instansi jiwa yang penting yang disebut super ego.

(34)

pemeriksa melihat bahwa kecemasan tresangka bukanlah kurang bahkan semakin parah, sangat dianjurkan untuk berkonsentrasi dengan pschiater.

Oleh karena itulah, maka pemeriksa yang menghadapi tersangka dengan kondisi sedemikain itu, ia menghadapai tersangka secara yuridis telah melakukan pelanggaran, tetapi psychologis pemeriksa akan berlaku sebagai asisten psychiater yang menghadapai seorang pasien. Air yang keruh jangan tambah diperkeruh, tapi berusahalah memberikan kejernihan. Pengakuan yang diberikan oleh tersangka dalam keadaan tenang tentram adalah pengakuan yang dapat dipertanggung jawabkan, baik secara moral maupun yuridis.

f. Memilih kalimat sopan

Terutama dalam menghadapi kejahatan kesusilaan atau yang dalam bahasa Inggrisnya lebih tegas disebut sebagai sexual crime, maka pemeriksa akan menemui beberapa hal dimana istilah-istilah porno harus dikemukakan. Walaupun tersangka telah melakukan kejahatan asusila, namun penggunaan istilah-istilah porno tidak dipergunakan dan menggantikannya dengan istilah lain yang tidak membwa arti langsung tapi harus tidak menghilangkan maksud sebenarnya.

(35)

g. Tujuan simpatik para tersangka, dalam hal ia mempersalahkan korbannya

Perlu diingat bahwa orang yang suka melihat ke luar mempersalahkan orang lain daripada mengakui kesalahan sendiri adalah mereka yang tergolong egosentri. Seorang egosentrik tidak tercipta seketika ia melakukan kejahatan atau seketika menyalahkan korbannya, melaiankan melalui suatu masa yang panjang yaitu sejak ia mulai menghadapi pergaulan dengan sesame manusia. Dengan kata lain bahwa egosentrik bersumber pada masa kanak-kanak bahkan tak dapat dikecualikan ialah struktur kejiwaan tertentu yang mengalami kontak-kontak tertentu.

Menghadapi orang yang demikian harus diinggat bahwa mereka dapat bersifat kerasa kepala (stubborn) terhadap nasehat-nasehat yang dapat menyinggung rasa harga dirinya, walaupun secara sadar ia tahu akan kesalahannya. Oleh karena itu maka lazim bagi seorang egosentrik mempersalahkan lawannya walaupun ia sendiri menyadari akan kesalahan yang diperbuatnya.

Dipihak lain dapat pula kita perhatikan bahwa sifat mempersalahkan lain orang itu dijumpai pula pada banyak orang, walaupun mereka tidak tergolong kategori egosentrik, contoh-contoh yang lazim kita jumpai misalnya seseorang penderita influenza, lebih menyalahkan pada angina daripada harus menyalahkan kondisi badannya atau mengapa ia harus berjalan di hujan. Dalam hal terlambat memasuki kantor maka yang dipersalahkan adalah jam tangannya, ataukah mobilnya mogok, ataukah kemacetan lalu lintas dan sebagainya. Sifat –sifat demikian itu adalah gejala-gejala dari pada sifat memperoleh “excuse”.

(36)

mereka lakukan. Tetapi sebagaimana telah dikemukakan di atas tadi, asalkan pemeriksa tidak tegas-tegas menantang seorang egosentrik yang dapat bersikap subborn; pemeriksa mengikuti aliran pikiran mereka namun tetap pada persoalan pokok ialah kebenarn melalui proses pemeriksaan itu.

h. Manfaatkan saling pengertian antara pemeriksa dan yang diperiksa

Langkah pertama yang harus dilakukan adalah usaha pemeriksa untuk menciptakan suasana saling mengerti antara pemeriksa dengan yang diperiksa. Suasana saling mengerti itu dapat diciptakan dengan banyak cara. Setelah terciptanya suasana saling mengerti antara kedua belah pihak, tibalah kesempatan bagi pemeriksa untuk maju memanfaatkan suasana itu. Tapi akan kelirulah seorang pemeriksa yang menyangka bahwa pemeriksa akan segera mencapai tujuan yang diharapkannya. Hal yang penting yang harus diingat adalah yanhg diperiksa juga manusia dengan sifat-sifat kemanusiaan, mempunyai pola perhitungan untung rugi. Yang diperiksa pun akan berusaha untuk memanfaatkan saling pengertian antara kedua belah pihak itu. Disinilah letaknya jurang-jurang yang banyak dimanfaatkan oleh tersangka untuk melemahkan kedudukan pemeriksa.

(37)

atau profesional yang berpengalaman dalam dunia kejahatan, maka perbuatan menepuk pundak hanyalah dipandang sebagai hal yang menertawakan tersangka.

Jika usaha pemanfaatan itu mengalami kegagalan oleh karena tersangaka tidak mau mengakui kesalahannya, maka Inbau mengemukakan suatu metode yang dinamakan “friendly unfriendly act”. Metode ini dilakukan dengan cara kerja sama antar dua orang pemeriksa, ataupun seorang pemeriksa saja. Jika yang digunakan adalah dua orang pemeriksa, maka seorang bersikap bersahabat (friendly) dan yang lainnya bersikap tidak bersahabat (unfriendly). Yang melaksanakan sifat unfriendly, bersikap seperti oaring tidak tenang, keluar masuk ruangan dan sebagainya. Keluar dari ruangan sebenarnay adalah suatu kesempatan yang diberikan kepada tersangka agar ia mendekati pemeriksa yang bersikap bersahabat.

Jika metode yang dipergunakan adalah seoerang pemeriksa, maka pemeriksa sewaktu-waktu menjadi kesal nampaknya lalu merobah sikap menjadi lunak dan seterusnya. Metode-metode sedemikian ini dapat dipandang sebagai anjuran belaka, namun penulis tetap mengingatkan bahwa tersangka adalah manusia dengan reaksi sebagai manusia. Mereka memiliki keutuhan pribadi tetapi juga tidak luput dari kelemahan-kelemahan. Tugas utama adalah mempercakapkan masalah-masalah yang nampaknya tidak berhubungan dengan pemeriksaan, tetapi sebenarnya mengarah pad penelitian tentang kelemahan-kelemahan psychologis yang dimiliki oleh tersangka. Mengekspose kelemahan ini dapat merupakan penerobosan benteng penyangkalan menjadi pengakuan.

(38)

BEBERAPA TEKNIK DAN CARA PEMERIKSAAN TERHADAP

TERSANGKA YANG MASIH DIRGUKAN KESALAHANNYA.

Pemeriksaan terhadap tersangak yang masih diragukan kesalahannya, adalah lazim menggunakan siasat sebagai berikut:

a. Mengapa tersangka diperiksa

Pertanyaan pertama yang biasanya dipergunakan adalah “tahukah anda mengapa anda diperiksa?” atau pertanyaan-pertanyaan yang senada dengan itu. Seorang yang telah melakukan kesalahan bilamana mendengar pertanyaan demikian itu, akan menunjukkan sikap waspada. Maka ia akan berhati-hati, mungkin menarik napas panjang untuk memperoleh kelegaan, mungkin tersenyum atau mungkin juga menjadi pucat, bahakan ada yang langsung menunjukkan wajah bermusuhan.

(39)

b. Tanyakan kegiatan tersangka sebelum terjadinya peristiwa, ketika dan

setelah peristiwa itu terjadi

Menanyakan kegiatan tersangka sekitar peristiwa sebelum, sedang dan sesudah terjadinya tindak pidana adalah termasuk usaha untuk menyesuaikan alibi tersangka. Pertanyaan demikian akan menempatkan tersangka pada tiga peristiwa yang terpisah-pisahnamun mempunyai kaiatan antara peristiwa yang satu dengan yang lain. Kemungkinan besar, tersangka akana sangat bersifat waspada bilamana menjelaskan kegiatannya di sekitar phase kedua ialah phase terjadinya peristiwa pidana. Kewaspadaan yang terpusat pada phase kedua itu dapat secara tak sadar melemahkan kewaspadaan terhadap phase pertama dan ketiga. Sifat waspada pada phase kedua yang melebihi kewaspadaan pada kedua phase lainnya adalah termasuk indikasi akan adanya kesalahan tersangka, yang sebenarnya sudah nampak ketika dilakukan pertayaan pada point A. Maka pertanyaan point B ini biasanya dilakukan terhadap tersangka yang mencoba hendak memungkiri perbuatannya.

(40)

yang mempunyai hubungan dengan peristiwa pidana. Riwayat hidup tersangka yang menyangkut pengalaman-pengalaman dalam bidang kejahatan, misalnya pernah dihukum, pernah ditahan, pernah terlibat dalam kejahtan anak-anak, penjudi, pemabuk dan sebagainya adalah keterangan yang berguna untuk analaisa dan evaluasi. Pada bagian yang membicarakan mengenai kasus-kasus kriminal, akan kita jumpai hal-hal yang menyangkut background ini.

Apa yang kita sebut dengan menguji alibi tersangka ialah pengamatan terhadap kegiatan tersangka pada phase kedua khususnya mengenai tersangka di tempat terjadinya peristiwa pidana itu. Yang dimaksud dengan “alibi” ialah tidak hadirnya tersangka pada tempat kejadian peristiwa pidana dan karena itu kepadanya tidak dapat dinyatakan “bersalah”. Jika tersangka mengemukakan alibinya, maka pembuktian alibi itu tidak akan cukup hanya dengan pemeriksaan lisan belaka. Tugas penyidikan akan sangat menetukan kebenaran alibi yang dikemukakan oleh tersangka itu. Kebenaran alibi ini pun sedikit banyak ditentukan pula oleh hasil-hasil pertanyaan mengeni kegiatan tersangka phase pertama, bahkan juga mungkin mempunyai hubungan dengan kegiatan tersangka pada phase ketiga. Di atas tadi telah dikemukakan bahwa seorang yang bersalah akan sangat waspada memberikan jawaban mengenai kegiatanya di sekitar phase kedua ialah pada waktu terjadinya peristiwa pidana.

(41)

Tetapi kontradiksi psychologis yaitu sikap tersangka, cara mengemukakan keterangan serta gejala-gejala psychologis lainnya yang nampak secara somatis, dapat menunjukkan atau sekurang-kurangnya menjaid pertanda tentang benar tidaknya keterangan tersangka.

c. Pelajari persoalan sebelum melakukan pemeriksaan

Cara yang dikemukakan disini sebenarnya berlaku untuk semua pemeriksaa. Sebelum menghadapi tersangka, pemeriksa harus terlebih dahulu mempelajari duduknya peritiwa pidana dimana subjek diajukan sebagai tersangka. Jika laporan dan bahan-bahan yang dipelajari oleh pemeriksa adalah lengkap, sebaiknya pemeriksa telah mempunyai gambaran yang jelas mengenai: riwayat hidup tersangka, background peristiwa pidana, watak tersangka, bukti-bbukti dan saksi-saksi serta keterangan ahli, terjadinya peristiwa pidana, kelemahan-kelemahan dalam laporan yang memungkinkan penyangkalan, petunjuk-petunjuk yang sulit untuk dimungkiri oleh tersangka misalnya keterangan saksi tertentu atau sifat sesuatu bukti.

(42)

kemampuannya, menghadapi tersangka tanpa keragu-raguan, dengan cara mematangkan persoalan lebih dahulu sebelum melakukan pemeriksaan. Dengan demikian maka pemeriksa dapat merncanakan pertanyaan-pertanyaan yang terarah bahkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu sudah dapat dipastikan oleh pemeriksa. Lain daripada jawaban yang direncanakan itu dapat dinyatakan sebagai jawaban yang tidak benar.

d. Tunjukkan beberapa bukti

Orang yang telah melakukan kesalahan, akan berusaha untuk menyembunyikan jejaknya dan oleh karena itu ia akan gelisah bilamana polisi akan memperoleh bukti-bukti yang dapat dipergunakan untuk menuduhnya. Sebaliknya, orang yang tidak bersalah, tidak perlu gelisah menghadapi penyelidikan. Inbau mengatakan bahwa seorang yang bersalah biasanya akan memberikan penjelasan yang menyangkut peristiwa itu, atau mungkin pula bahwa tersangka akan mengemukakan pertanyaan-pertanyaan lebih lanjut mengenai hal yang ditanyakan oleh pemeriksa kepadanya. Seorang yang tidak bersalah akan memberikan jawaban yang tegas berkenaan dengan hal yang tidak dilakukannya.

e. Tanyakan apakah tersangka pernah memikirkan sebelumnya melakukan

perbuatan yang dituduhkan kepadanya

(43)

membedakan dengan “episodic criminal” ialah mereka yang melakukan kejahatan sebagai akibat tekanan emosi yang hebat, tekanan mana terjadi dengan tiba-tiba dan peristiwa pidana dilakukan sebagai tindakan yang tidak dipikirkan lebih dahulu.

f. Pengakuan sekedar mengikuti kehendak pemeriksa

Dari sekian banyak reaksi tersangka, pemeriksa akan menjumpai pula golongan yang memberikan reaksinya: “baiklah, saya akan mengakui sesuai kehendak Bapak, tetapi sebenarnya saya tidak melakukannya”. Reaksi demikian dapat dibagi atas dua kemungkinan; pertama, kemungkinan bahwa tersanagka memang bersalah tak mungkin memberikan penyangkalan, tetapi hendak menyatakan bahwa dirinya tidak bersalah. Kemungkinan kedua adalah, bahwa pemeriksa telah melakukan pemeriksaan dengan menggunakan kekuatan fisik yang tak mampu diderita oleh tersangka.

g. Sistem 6W

Sistim 6W itu disebut demikian untuk memudahkan dalam mengingatnya dan di dalam tiap kata terdapat huruf “w”. Keenam kata yang kita maksudkan itu adalah dalam bahasa Inggris, yakni: who, what, when, where, how, why. Tentulah jika kita terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia akan menjadi: siapa, apa, kapan, dimana, bagaimana, dan mengapa.

1. Siapa (who)

(44)

yang disangka telah melakukannya; siapakah yang disangka telah melakukan; siapakah yang ikut terlibat; siapakah yang diharapakan dapat menambah keterangan selain bahan-bahan yang telah ada.

2. Apa (what)

Di dalam daftar pertanyaan berikut, pemeriksa perlu meneliti hal-hal sebagai berikut: apakah yang telah terjadi; kerugian dalam bentuk apakah yang telah terjadi; bukti-bukti apakah yang dapat dipergunakan; jenis kejahatan apakah yang terjadi; alat-alat apakah yang telah dipergunakan; senjata apakah yang dipergunakan; kendaraan apakah yang dipergunakan; tindakan apakah yang telah dilakukan oleh petugas hukum; tindakan apakah yang harus dilakukan lagi.

3. Dimana (where)

Dengan ini pemeriksa akan melakukan penelitian atas hal-hal mengenai: di manakah tempat terjadinya perkara; ketika terjadinya peristiwa itu, yang mengadu atau yang menjadi korban berada dimana; dimana pula beradanya saksi ketika menyaksikan peristiwa itu; dimanakah terletaknya alat-alat yang mempunyai nilai pembuktian; dimanakah alat-alat dan senjata itu berada ketika pemeriksaan sedang dilakukan; dimanakah letaknya barang curin disimpan; dimanakah biasanya tersangka pergi; dimanakah dapat diperoleh tambahan keterangan; dimanakah pernah terjadi suatu peristiwa yang sejenis.

4. Kapan (when)

(45)

wilayah itu suatu peristiwa yang sejenis; kapankah saksi-saksi dapat ditanyai selanjutnya; kapankah bukti-bukti dapat diperoleh seluruhnya; kapankah diperkirakan akanterjadi lagi peristiwa yang sama.

5. Bagaimana (how)

Bagaimana peristiwa itu terjadi; bagaimana tersangka memasuki tempat peristiwa; bagaimana caranya ke luar dari tempat itu; bagaiaman peristiwa itu diketahui; bagaiaman cara menggunakan alat-alat bukti; berapa lamakah pelaksanaanya; berapa banyakkah orang yang terlibat dalam peristiwa itu; bagaimanakah pelaksanaan rencana yang dilakukan oleh tersangka dalam arti berhasil atau kurang berhasil atau sama sekali tidak cocok dengan rencana; berapa banyakkah peristiwa sejenis yang terjadi di wilayah itu.

6. Mengapa (why)

Bentuk keenam dari sistematik “6W’ ini adalah mengemukakan pertanyaan-pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: mengapa peristiwa itu dilakukan oleh tersangka; mengapa dia menggunakan metode tertentu dalam pelaksanaannya; mengapa justru seorang tertentu yang dijadikan korbandalam peristiwa itu; mengapa pul suatu waktu atau jam tertentu telah dipergunakan untuk pelaksanaan; mengapa hanya benda-benda tertentu saja yang diambil dan mengapa yang lain dibiarkan; mengapa pula tersangka telah menggunakan alat-alat atau senjata khusus dalam pelaksanaannya; mengapa laporan peristiwa itu terlambat atau tidak tepat pada waktunya.

(46)

Bab IV

KENDALA-KENDALA YANG DIHADAPI DALAM INTEROGASI OLEH

PENYIDIK

A. KENDALA-KENDALA YANG DIHADAPI

Perkembangan kehidupan masyarakat yang begitu cepat sebagai hasil dan proses pelaksanaan pembangunan di segala bidang kehidupan social, politik, ekonomi, keamanan dan budaya telah membawa pula dampak negatif berupa peningkatan kualitas dan kuantitas berbagai kejahatan yang sanagat merugikan dan meresahkan masyarakat. undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana sebagai produk hukum nasional pengganti HIR yang memilki 11 (sebelas) asas dalam upaya penegakan hukum tersebut dalam pelaksanaannya masih ditemui adanya berbagai kendala, hambatan terutama yang menyangkut masalah peran dan perlindungan masyrakat daalm proses penegakan hukum.

(47)

Asas penegakan hukum yang cepat, tepat, sederhana dan biaya ringan, hingga saat ini belum spenuhnya, mencapai sasaran seperti yang diharapkan masyrakat. Sejalan dengan itu pula masih, banyak ditemui sikap dan perilaku aparat penegak hukum yang merugikan masyarakat maupun keluarga korban. Harus diakui juga bahwa banyak anggota masyarakat yang masih sering melakukan hal-hal yang bertentangan dengan ketentuan yang berlaku yaitu mempengaruhi aparatur hukum secara negatif yang bertentangan dengan ketentuan yang berlaku pada proses penegakan hukum yang bersangkutan dengan diri, pribadi, keluarga atau anaknya/kelompoknya.

Banyak faktor yang mempengaruhi belum berperannya masyrakat secara baik dan optimal sesuai ketentuan dalam proses penegakan hukum, disamping itu masih banyak ditemui hambatan/ kendala-kendala yang merugikan masyarakat selama proses penegakan hukum tersebut. Contohnya :

a. Adanya pembackingan pencurian oleh oknum kepolisian. b. Kurangnya kepercayaan masyarakat

c. Kurangnya kesadaran hukum ditengah-tengah masyrakat.

A. Adanya pembackingan pencurian oleh oknum kepolisian.

(48)

oknum kepolisian yang membacking dan diproses secara undang-undang yang berlaku dan tidak dibawa ke Mahkamah Militer langsung dan ditahan bersama-sama dengan sipelaku. Tentu saja jika oknum kepolisian turut dalam membacking usaha pencurian memiliki alasan-alasan yaitu merasa kurang dengan apa yang didapatnya dari pekrjaannya dan dikarenakan adanya pergaulan bebas yang mana pergaulan bebas berarti adanya keinginan untuk memperkaya dan memuaskan diri sendiri.

Tentu akan terasa berat jika penyidik mengetahui bahwa rekan satu profesi di kepolisian turut serta dalam melakukan pencurian atau pun yang membacking usaha pencurian. Akan tetapi berdasarkan keterangan yang didapat, jika terjadi hal demikian rekanan tersebut harus dikesampingkan demi tegaknya hukum, dalam hal ini penyidik yang mengemban tugas dalam menuntaskan kasus pencurian, tidak perlu merasa tertekan dalam menegakkan hukum kepada oknum yang melenceng.

Dua tahapan dalam menjatuhkan hukuman kepada oknum kepolisian tersebut yaitu: 1. Oleh institusi kepolisian memecat oknum tersebut dan diproses dalam peradilan

umum dimana oknum tersebut disamakan dengan masyrakat umum dan dijatuhkan vonis hukuman;

2. setelah vonis hukuman dari pengadilan negeri dijatuhkan, maka oknum tersebut disidang profesi oleh kepolisian dan jika bersalah akan dipecat atau dimutasikan dan pangkatnya diturunkan.

B. Kurangnya Kepercayaan dari Masyarakat

(49)

Aparat kepolisian kini sudah melakukan reformasi diberbagai bidang sehingga masyarakat dapat melihat dan membedakan bahwa POLRI yang sekarang ini jauh lebih baik dari yang dahulu. Yang lebih mengutamakan kepentingan masyarakat dan membuat masyarakat sebagai rekan sekerja dalam memberantas tindak pidana yang marak terjadi dikalangan masyarakat.

C. Kurangnya Kesadaran Hukum ditengah-tengah masyarakat.

Hal ini sangatlah jelas sekali terlihat dalam kehidupan masyarakat kita. Yaitu main hakim sendiri terhadap pelaku tindak pidana. Seperti yang saya lihat pada saat mengadakan penelitian di Polsekta Medan Baru, saya melihat langsung pelaku pencurian yang babak belur dihajar massa karena ketahuan mencuri di Pasar Petisah. Tetapi pihak keluarga tidak terima karena anggota keluarga dihajar massa maka pada kahirnya pihak kepolisian yang menjadi sasaran kemarahan keluarga karena dikira dihajar Polisi pada saat diadakan penyidikan.

Dalam mengemban tugasnya penyidik harus memperhatikan hal-hal seperti dengan cermat dimana jika terjadi suatu tindak pidana dan orang itu dihajar massa maka Polisi harus membuat berita acara penerimaan tersangka oleh dua orang saksi dan ditanda-tangani oleh saksi dan dijelaskan tentang keadaan dari tersangka kenapa sampai babak belur. Hal ini diperbuat agar tidak terjadi tudingan terhadap aparat kepolisian yang main hakim sendiri dalam melakukan tugasnya.

(50)

B. UPAYA YANG DILAKUKAN DALAM MENGATASI KENDALA DALAM

MELAKUKAN INTEROGASI

Upaya atau kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan kejahatan termasuk bidang “kebiijakan kriminal” (“criminal policy”). Kebijakan kriminal ini pun tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu “kebijakan sosial” (“social policy”) yang terdiri dari “kebijakan/upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial” (“social welfare policy”) dan “kebijakan/ upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat” (“social defence policy”). Dengan demikian sekiranya kebijakan penanggulangan kejahatan (politik kriminal) dilakukan dengan menggunakan sarana “penal” (hukum pidana), maka “kebijakan hukum pidana” (“penal policy”), khususnya pada tahap kebijakan yudikatif/aplikatif (penegakan hukum pidana in concreto) harus memperhatikan dan mengarah pada tercapainya tujuan dari kebijakan sosial itu, berupa “social welfare” dan “social defence” .

(51)

Pencegahan dan penangggulangan kejahatan dengan sarana “penal” merupakan “penal policy” atau “penal law enforcement policy” yang fungsionalisasi/ operasionalisasinya melalui beberapa tahap:

a. Tahap formulasi (kebijakan legislatif) b. Tahap aplikasi (kebijakan yudikatif)

c. Tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/ administratif).

Dengan adanya tahap “formulasi”, maka upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan bukan hanya tugas aparat penegak hukum dan penerap hukum, tetapi juga tugas aparat pembuat hukum (aparat legislatif); bahkan kebijakan legislatif merupakan tahap paling startegis dari “penal policy”. Karena itu, kesalahan/kelemahan kebijakan legislatif merupakan kesalahan startegis yang dapat menjadi penghambat upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan pada tahap aplikasi dan eksekusi.

BEBERAPA UPAYA MENINGKATKAN PERANAN MASYRAKAT DALAM

PENEGAKAN HUKUM

1. Masyarakat harus menyadari bahwa dalam proses penegakan hukum, bukan merupakan tanggung jawab aparatur penegak hukum semata, tetapi merupakan tanggung jawab masyarakat dalam upaya menghadapi, menanggulangi berbagai bentuk kejahatan yang merugikan dan meresahkan masyrakat itu sendiri.

(52)

3. Dalam proses penegakan hukum, anggota masyarakat sangat berperan dalam mengungkapkan pelanggaran/kejahatan yang terjadi selaku saksi dalam perkara tersebut.

Kesadaran untuk menjadi saksi dan melaporkan peristiwa pelanggaran, kejahatan kepada aparatur GAKKUM dalam hal ini Kepolisian dan aparatur Kejaksaan untuk pidana khusus merupakan kewajiban hukum setiap warga negara/ anggota masyarakat yang baik.

4. Masyarakat dilarang menghakimi sendiri, apabila terjadi pelanggaran/kejahatan di daerahnya.

5. Peranan masyarakat dalam proses GAKKUM ini sangat diharapkan dan dilindungi oleh hukum.

Khusus dalam Hukum lingkungan masyarakat/individu memilki hak atas lingkungan hidup yang baik, artinya apabila ada perusakan lingkungan, pencemaran lingkungan ia/mereka berhak menuntut perusak/pencemar lingkungan sesuai ketentuan Undang-undang No.4 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Lingkungan hidup.

6. Penerangan Hukum, penyuluhan hukum yang dilakukan oleh instansi pemerintah selama ini ditujukan juga agar masyarakat menyadari hak dan kewajibannya termasuk peran serta tanggung jawabnya dalam proses penegakan hukum.

(53)

mengayomi masyarakat. Proses penegakan hukum yang berasas cepat, sederhana dan biaya murah, memang belum memenuhi seluruh harapan masyarakat, dan masih menemui hambatan dan kendala yang bersumber juga dari masyarakat sendiri, di samping adanya faktor lain. Proses penegakan hukum secara cepat, sederhana dan biaya ringan sangat mendorong peran masyarakat dalam proses GAKKUM selanjutnya.

8. Proses penegakan hukum secara cepat, sederhana, dan biaya ringan akan dapat terwujud apabila didukung sepenuhnya oleh sikap dan tindak seluruh jajaran aparatur hukum.

Prinsip dasar dalam hal ini adalah sikap dan cara pandang aparatur adalah abdi masyarakat atau kelompok pelayan/abdi masyarakat, yang bertugas dalam proses penegakan hukum. Aparatur hukum harus selalu menyadari, meyakini bahwa kekuasaan/kewenangan tersebut dimilki sebagai abdi masyarakat/abdi negara untuk melindungi dan mengayomi masyarakat. Di samping kesadaran, keyakinan pada dirinya sebagai abdi negara, abdi masyarakat untuk selalu mengayomi, melindungi masyarakat dengan kewenangan, kekuasaan yang dimilikinya, para aparatur juga dituntut kemahiran di bidang tugasnya secara maksimal.

9. Banyak ketentuan yang dapat digunakan sebagai dasar mempercepat proses penegakan hukum secara cepat, sederhana dan biaya ringan antara lain:

a. Pasal 50 KUHP b. Pasal 326 KUHP

c. Pasal 234 ayat (1) KUHP d. Pasal 248 KUHP

(54)

Penyusunan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 menyadari sepenuhnya bahwa ketentuan untuk memacu mempercepat proses penegakan hukum prasyarat terwujudnya asas penegakan hukumyang baik tersebut sekaligus akan memberi daya semangat masyarakat untuk meningkatkan perannya dalam proses penegakan hukum.

Dan akan terjadi sebaliknya masyarakat akan apatis, masa bodoh dan enggan ikut berprean dalam proses penegakan hukum apabila proses penegakan hukum itu berjalan dengan proses yang lambat, birokratis, berbelat-belit, dan menyusahkan masyarakat.

Bisa dibayangkan oleh kita semua bila saksi/saksi korban sudah engganm hadir di tahap penyelidikan, penyidikan, pra-penuntutan maupun di persidangan, karena merasa proses penegakan hukum yang terjadi lebih menyulitkan diri dan keluarganya, bahkan secara ekonomis pengorbanan waktu kerja, waktu cari nafkah, telah mendapat imbalan perlakuan yang tidak baik.

10.Peanambahan sarana, dana, dan prasarana dalam perangkat proses penegakan hukum perlu terus diselenggarakan oleh pemerintah. Hal ini mencegah timbulnya biaya yang memberatkan masyarakat yang terlibat proses penegakan hukum tersebut.

Di samping itu pembinaan, pengembangan perlu terus ditingkatkan sehingga terwujud adanya:

(55)

Kualitas aparat hukum harus tercermin dalam sikap yang menjunjung tinggi kejujuran, kebenaran dan keadilan, bersih, berwibawa dan bertanggung jawab dalam perilaku keteladanan.

Selanjutnya mengingat bahwa aparatur hukum adalah juga aparatur pemerintah, maka pembinaan dan pengembangannya harus dapat diarahkan pada:

Pembangunan aparatur pemerintah diarahkan pada peningkatan kualitas efisiensi, dan efektivitas seluruh tatanan administrasi pemerintah, termasuk peningkatan kemampuan dan disiplin, pengabdian, keteladanan dan kesejahteraan aparatnya, sehingga secara keseluruhan makin mampu melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan dengan sebaik-baiknya, khususnya dalam melayani, mengayomi serta menumbuhkan prakarsa dan peran aktif masyarakat dalam pembangunan serta tanggap terhadap kepentingan dan aspirasi masyarakat. Aparat penegak hukum yang juga aparatur pemerintah pada dirinya juga terikat pada Sapta Prasetia Korpri atau Sumpah Prajurit yang akan mengikat batin dan jiwa untuk melaksanakan wewenang yang dimiliki pada proses penegakan hukum yang selalu berasas melindungi, mengayomi masyarakat.

Apabila masyarakat mendapat pelayanan yang penuh perhatian, cepat, sederhana tanpa menyulitkan dan merugikan masyarakat, maka masyarakat akan lebih meningkatkan partisipasi dan perannya dalam setiap tugas penegakan hukum. Yang harus dicegah dari masyarakat adalah jangan sampai masyarakat yang terlibat langsung atau tidak langsung dalam proses penegakan hukum ini mempengaruhi aparatur yang bertentangan dengan ketentuan yang berlaku.

(56)

saat penyampaian laporan, penyelidikan, penyidikan, penggeledahan, penyitaan, maupun dalam proses penangkapan terdakwa agar tetap dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan selalu memperhatikan harkat martabat manusia, mengayomi masyarakat secara cepat, lugas dan professional.

Harus disadari oleh aparat penegak hukum, bahwa banyak anggota masyarakat kita terutama yang ada di pedesaan msih wam dengan hukum, perlu pendekatan dan pelayanan hukum yang sederhana dan tidak menyulitkan masyarakat.

Contoh:

Dalam pelaporan peristiwa terjadinya kejahatan yang menimpa anggota masyarakat agar penerima laporan cukup pandai menuangkan dalam laporan pengaduan tersebut apa yang disampaikan secara lisan, syukur-syukur kalau sudah ada formulir isiannya, sehingga dapat dengan cepat, mudah, dan akurat. Perhatian yang lebih banyak lagi apabila yangmenyampaikan pengaduan tidak bisa menulis atau membaca.

Referensi

Dokumen terkait

Layanan anak yang telah tersedia di Perpustakaan Umum Kota Depok dapat dikatakan belum sepenuhnya memberikan layanan anak yang prima karena pada kenyataannya memiliki

adalah respon penolakan dari publik dalam menanggapi suatu kebijakan yang telah diimplementasikan oleh administrator sebagai bentuk reaksi masyarakat, dalam

Dampak penggunaan kode BMS dalam penelitian ini penelitian ini juga diperkuat oleh penelitian relevan dilakukan oleh Saddhono dengan judul „ Fenomena Pemakaian

Hasil penelitian menunjukkan bahwa permasalahan pelaksanaan layanan bimbingan karir yang dialami guru BK di SMK Negeri se-Kota Yogyakarta yang meliputi aspek perencanaan,

Untuk meminimalisir adanya friksi atau praktek monopoli yang sangat merugikan satu sama lainya. Dalam upayanya meningkatkan kesejahteraan manusia selalu dituntut untuk bersikap

Kulit ikan pari yang telah disamak ini selain akan dibuat produk mebel, rencananya  juga akan dijual ke pengrajin –  pengrajin kreatif di Indonesia khususnya di

“Metode penelitian dapat diartikan sebagai cara ilmiah yang dilakukan untuk mendapatkan data yang objektif, valid dan reliable dengan tujuan dapat ditemukan,

Dia adalah satu (wahid) sejak wujud dan untuk selamanya. Di samping itu Insân kamîl dapat muncul dan menampakkan dirinya dalam berbagai macam. la diberi nama