• Tidak ada hasil yang ditemukan

Performa Produksi Dan Kualitas Karkas Itik Cihateup-Alabio (Ca) Generasi Dua (G2).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Performa Produksi Dan Kualitas Karkas Itik Cihateup-Alabio (Ca) Generasi Dua (G2)."

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

PERFORMA PRODUKSI DAN KUALITAS KARKAS ITIK

CIHATEUP-ALABIO (CA) GENERASI DUA (G2)

FITRIANI EKA PUJI LESTARI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Performa Produksi dan Kualitas Karkas Itik Cihateup-Alabio (CA) Generasi Dua (G2) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

FITRIANI EKA PUJI LESTARI. Performa Produksi dan Kualitas Karkas Itik Cihateup-Alabio (CA) Generasi Dua (G2). Dibimbing Oleh JAKARIA dan RUKMIASIH.

Produksi daging itik sebesar 31 000 ton atau hanya menyumbangkan 1.65% dari ketersediaan daging unggas di Indonesia pada tahun 2013. Rendahnya produksi daging itik disebabkan karena itik yang dibudidayakan lebih banyak itik lokal dilakukan oleh masyarakat secara tradisional dengan sistem pemeliharaan ekstensif. Itik lokal secara umum pertumbuhannya lambat, produksi daging rendah dan efisiensi pakan rendah serta memiliki aroma/bau amis/anyir (off-odor) yang kuat dibandingkan dengan daging ayam, sehingga menjadi penolakan bagi sebagian masyarakat yang kurang menyukai daging itik. Upaya peningkatan produksi daging dengan intensitas off-odor yang rendah telah dilakukan, salah satunya diperoleh dengan cara menyilangkan antar rumpun itik lokal Indonesia. Persilangan antara itik cihateup jantan dan itik alabio betina menghasilkan performa pertumbuhan dan produksi daging yang lebih baik dibandingkan dengan tetua dan persilangan timbal baliknya dengan intensitas off odor yang lebih rendah, hal inilah yang menjadi nilai tambah itik persilangan CA tersebut. Pengamatan lebih lanjut CA generasi kedua dilakukan guna mengetahui profil produksi dan kestabilan nilai tambah tersebut.

Penelitian ini dilakukan selama 10 bulan sejak bulan September 2013 sampai Juni 2014 di Laboratorium Kandang Blok B, Fakultas Petenakan, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Kandang Program Diploma IPB. Analisis sensori dilaksanakan di Laboratorium Organoleptik Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Analisis lemak dan asam lemak dilakukan di laboratorium terpadu IPB Baranangsiang. Itik yang digunakan adalah hasil persilangan cihateup jantan dan alabio betina (CA) generasi satu (G1) sebanyak 80 ekor itik CA betina dan 20 ekor itik CA jantan. Itik jantan dan betina yang digunakan berumur 30 minggu yang berasal dari kota Bogor dan dikawinkan secara alami. Koleksi telur dilakukan setiap 5 hari sekali sebanyak 4 periode dan ditetaskan menggunakan mesin tetas. Itik CA generasi dua (G2) yang diamati berjumlah 109 ekor yang dipelihara hingga umur 10 minggu. Pemeliharaan dilakukan dalam kandang boks berukuran 1x1x1 m3. Pemberian pakan dilakukan tiga kali dalam sehari, jenis pakan yang digunakan yaitu pakan ayam broiler buatan pabrik. Analisis sensori, analisis lemak dan asam lemak dilakukan terhadap daging dada dan paha yang berasal dari 8 ekor itik cihateup jantan, 9 ekor itik alabio jantan dan 19 ekor itik CA G2 jantan. Analisis sensori dilakukan oleh 80 orang panelis tidak terlatih. Data reproduksi, produksi itik CA, profil lemak dan asam lemak itik cihateup, alabio dan CA G2 diolah menggunakan bantuan Microsoft Excel dan dibahas secara deskriptif, sedangkan data sensori (intensitas off odor dan tingkat kesukaan) daging itik cihateup, alabio dan CA G2 diolah dengan menggunakan Analisis Varian (ANOVA). Hasil pengolahan data yang berbeda diuji lanjut dengan menggunakan uji Duncan dengan menggunakan bantuan Program SAS 9.1.3.

(5)

sebesar 7 352.32 ± 39.5 g/ekor, rataan pertambahan bobot total sebesar 1 272.24 ± 149.87 g/ekor, bobot akhir yang diperoleh sebesar 1 330.33 ± 143.65 g dan rataan konversi pakan 5.7. Rataan persentase karkas terhadap bobot hidup sebesar 60.28 ± 2.07 %, rataan bobot dada itik CA G2 sebesar 210.85 ± 34.02 g atau 25.75 ± 2.53 % dari bobot karkas dengan persentase daging dada sebesar 82.83 ± 2.63 % dari bobot dada utuh, sedangkan rataan bobot paha sebesar 211.90 ± 29.39 g atau 25.93± 2.25 % dari bobot karkas dengan persentase daging paha sebesar 81.81 ± 2.08 % dari bobot paha utuh. Berdasarkan hasil uji laboratorium yang dilakukan, itik silangan alabio dan cihateup generasi dua memiliki komposisi asam lemak tidak jenuh yang lebih rendah sehingga rasio asam lemak tidak jenuh dan asam lemak jenuh pada itik silangan menjadi lebih rendah dibandingkan dengan itik alabio dan cihateup. Hal ini diduga membuat tingkat kesukaan terhadap aroma daging bagian dada itik silangan lebih baik dibandingkan dengan tingkat kesukaan aroma daging itik alabio.

Kata kunci: Itik CA G2, Kualitas Karkas, Produksi, Reproduksi

(6)

SUMMARY

FITRIANI EKA PUJI LESTARI. Production Performance and Carcass Quality of Cihateup-Alabio (CA) Duck on Second Generation (G2). Supervised by JAKARIA and RUKMIASIH.

Indonesia duck meat production in 2013 was 31 000 tons or just donate 1.65% of the availability of poultry meat in Indonesia. The reasons for the low production of duck meat are the used of local duck that were reared traditionally with extensive rearing system. Local duck generally have characteristic: slow growth, low meat production, low feed efficiency, and duck meat has a strong off-odor compared with chicken meat where as the off-off-odor become the refusal for several people who didn’t like the duck meat. The efforts to increase meat production with lower off-odor intensity has been done, one of them was obtained by crosseding among the local ducks in Indonesia. The crosseding among the male cihateup and the female alabio duck (CA) resulting better growth performance, meat production, and lower off-odor intensity compared with their parents and the reciprocal crossed. These results that become the added value of the CA crossed duck. Further observations on the second generation of CA needs to be conducted to determine the production profile and the stability of those added value.

This research was conducted for 10 months, from September 2013 until Juni 2014 in Block B poultry housing Laboratory of Faculty of Animal Science, and poultry housing Laboratory of Diplome Programme, Bogor Agricultural University. Sensory analysis was carried out at Organoleptic Laboratory Faculty of Animal Science, and fat analysis and fatty acid in Baranangsiang Laboratory, Bogor Agricultural University. A total of 80 female and 20 male at 30 weeks old CA ducks (first generation/G1) from Bogor, West Java, were used for this research. Egg collection was done every 5 days as much as 4 replicates. The eggs were hatched using the incubator/ hatching machine to obtained the second generation (G2) of CA duck. A total of 109 CA duck G2 were reared until 10 weeks old at 1 x 1 x 1 m box cage. Feed were given three times a day. Feed that used was industrial feed for commercial broiler. Breast and thigh duck meat from 8 male cihateup, 9 male alabio, and 19 male CA G2 ducks were used for sensory, fat, and fatty acid analysis. Sensory analysis conducted on 80 untrained panelists. The data obtained (reproduction, production, fat and fatty acid profiles of cihateup, alabio and CA G2) were processed by using Microsoft Excell with description analysis. The data obtained from sensory analysis (off odor intensity and hedonic level) were processed using Analysis of Varian (ANOVA) and Duncan Test use software SAS 9.1.3 portable version.

(7)

meat percentage were 81.81 ± 2.08% from whole thight weight. The level of preference for breast- duck meat flavour from CA was better than alabio. The ratio of unsaturated : saturated fatty acid in crossed breed duck (CA) was lower then in cihateup and alabio. According to the result for the crossed breed duck cihateup-alabio (CA) in second generation (G2), it has lower composition of unsaturated fatty acids. It was believed to make the level of preference for the breast meat flavour of CA better than alabio.

Key words: CA G2 duck, Carcass quality, Production, Reproduction

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

PERFORMA PRODUKSI DAN KUALITAS KARKAS ITIK

CIHATEUP-ALABIO (CA) GENERASI DUA (G2)

FITRIANI EKA PUJI LESTARI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)
(11)
(12)

PRAKATA

Assalamualaikum Wr, Wb. Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Shalawat serta salam tak lupa penulis sampaikan kepada junjungan nabi besar Muhammad SAW, rasul akhir zaman.

Tesis dengan judul Performa Produksi dan Kualitas Karkas Itik Cihateup-Alabio (CA) Generasi Dua (G2) ini merupakan tugas akhir dalam memperoleh gelar Magister Sains di Sekolah Pascasarjana Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor (IPB). Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Blok B Ilmu Produksi Ternak Unggas, Laboratorium Organoleptik Fakultas Peternakan IPB, Laboratorium Kandang Program Diploma IPB dan analisis sampel daging itik dilaksanakan di Laboratorium Terpadu IPB Baranangsiang sejak bulan September 2013 hingga Juni 2014.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Ayah dan Ibu tercinta, Bapak Haryono dan Ibu Sri Redjeki serta adik dan keluarga yang telah mendukung secara mental, spiritual, materi dan curahan kasih sayang. Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada komisi pembimbing Dr Jakaria, SPt, MSi dan Dr Ir Rukmiasih, MS yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam penelitian hingga terselesaikannya tesis ini. Tak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Prof. Emeritus. Dr Peni S. Hardjosworo, MSc atas saran dan masukan dalam menyelesaikan tesis ini. Kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi atas Beasiswa Unggulan saat penulis melaksanakan sekolah di Pascasarjana IPB, kepada tim redaktur Jurnal Terapan Program Diploma IPB yang telah banyak membantu dalam publikasi jurnal ilmiah. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada pimpinan Pascasarjana IPB, ketua, sekertaris dan staf terkait Program Studi Pascasarjana Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan atas kesempatan, bimbingan dan bantuannya selama penulis menempuh pendidikan di Program Studi Pascasarjana IPB.

Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Eka Koswara, SPt, Anita Rahman, SPt, Isnaini Pujianti, SPt, kepada teman seperjuangan Danang Priyambodo, SPt, Irma, SPt, MSi dan Tya Amalianingsih SPt, MSi atas diskusi-diskusi yang sangat membantu, seluruh rekan-rekan Pascasarjana IPTP 2012-2013, Program Alih Jenis IPTP 2008, Program Keahlian Teknologi dan Manajemen Ternak Diploma IPB 2005, Ir Andi Murfi, MSi, Gilang Ayuningtyas, SPt, Yuni Resti, SPt, Dudi Firmansyah, SPt, Setiawan, AMd, Fariz AM Kurniawan, SPt, Pria Sembada, SPt, MST, MSi dan seluruh staf dan tim dosen Program Keahlian Teknologi dan Manajemen Ternak Diploma IPB, Ida Raodah, SE, Fahrudin Darlian, SPt, terima kasih atas hubungan persaudaraan serta kerjasama yang baik selama ini, mohon maaf atas segala kesalahan. Kepada Pak Hamzah, Pak Jamhar, Mas Ijul dan seluruh rekan-rekan di kandang atas segala bantuan dan kerja sama selama penelitian dan kepada seluruh pihak yang telah membantu selama pelaksanaan penelitian hingga terselesaikannya tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih. Semoga tesis ini bermanfaat.

Wassalamualaikum Wr, wb

. Bogor, Agustus 2015

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR LAMPIRAN xii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

Perumusan Masalah 2

2 TINJAUAN PUSTAKA 3

Itik Lokal 3

Seleksi Tetua 5

Flavour 6

3 MATERI DAN METODE 8

Tempat dan Waktu Penelitian 8

Materi Penelitian 8

Ternak 8

Kandang dan Peralatan 8

Pakan 9

Metode 9

Tahap Penelitian 9

Persiapan Kandang, Mesin Tetas dan Penetasan 10

Pemeliharaan, Analisis Sensori dan Pengambilan Data 10

Analisis Lemak dan Asam Lemak 11

Peubah yang Diamati 11

Analisis Data 12

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 12

Karakteristik Penetasan 12

Karakteristik Performa 14

Karakteristik Produksi Karkas 18

Sensori Daging Itik 20

Profil Asam Lemak 22

5 SIMPULAN DAN SARAN 24

Simpulan 24

Saran 24

DAFTAR PUSTAKA 24

(14)

DAFTAR TABEL

1 Nutrien pakan itik induk percobaan 9

2 . Nutrien pakan anak itik percobaan 9

3 Performa penetasan itik CA selama lima periode penetasan 12

4 Performa itik CA umur 10 minggu 15

5 Produksi karkas itik CA G2 pada umur potong 10 minggu 18

6 Intensitas off odor daging itik alabio, cihateup dan silangannya umur 10 minggu 20

7 Tingkat kesukaan panelis terhadap aroma daging itik alabio, cihateup dan silangannya umur 10 minggu 20

8 Kandungan lemak dan asam lemak daging bagian dada dan paha pada itik cihateup, alabio dan silangan 23

DAFTAR GAMBAR 1 Itik cihateup jantan 3

2 Itik alabio betina 4

3 (a) itik CA jantan dan (b) itik CA betina 5

4 Grafik performa penetasan pada 5 periode penetasan yang berbeda 13

5 Grafik konsumsi pakan itik CA G2 selama 10 minggu 15

6 Pertambahan bobot badan Itik CA G2 selama 10 minggu 17

7 Grafik bobot badan itik CA G2 selama 10 minggu 17

DAFTAR LAMPIRAN 1 Form Uji Skalar Garis Analisis Sensori Daging Itik 30

2 Form Uji Hedonik Analisis Sensori Daging Itik 31

3 Hasil Analisis Sidik Ragam Intensitas Bau Daging Dada 32

4 Hasil Analisis Sidik Ragam Tingkat Kesukaan Bau Daging Dada 32

5 Hasil Analisis Sidik Ragam Intensitas Bau Daging Paha 33

(15)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (2013), produksi daging secara nasional pada tahun 2013 sebesar 2 827 800 ton, dari jumlah ketersediaan tersebut, 1 880 300 ton berasal dari ternak unggas (ayam broiler, ayam ras petelur, ayam buras, itik dan entog, puyuh dan merpati). Sebesar 287 400 ton (15.3%) ketersediaan daging unggas berasal dari ayam lokal, 70 700 ton (3.8%) berasal dari ayam ras petelur afkir dan 1 479 800 ton (78.7%) berasal dari daging ayam broiler, sedangkan daging itik hanya menyumbangkan 31 000 ton (1.65%).

Rendahnya produksi daging itik bila dibandingkan dengan unggas lainnya seperti ayam broiler disebabkan karena masih jarangnya industri peternakan yang membudidayakan ternak itik sehingga sebagian besar peternakan itik di Indonesia masih dilakukan secara tradisional oleh masyarakat dengan pemeliharaan secara ekstensif. Itik-itik yang dipelihara pun umumnya adalah itik lokal yang pertumbuhannya lambat, produksi daging rendah dan efisiensi pakan yang rendah. Indonesia memiliki banyak rumpun itik lokal yang tersebar di seluruh nusantara namun dari keseluruhan rumpun itik yang dimiliki, belum ada rumpun itik khusus pedaging seperti halnya itik pekin yang berasal dari Cina. Daging itik yang umum dikonsumsi masyarakat berasal dari itik betina afkir atau itik jantan yang dipelihara selama 10-12 minggu yang biasa disebut dengan itik potong. Selain produksi daging yang rendah, daging itik memiliki aroma/bau amis/anyir (off-odor) yang lebih kuat bila dibandingkan dengan daging ayam. Hal ini menjadi penolakan mengkonsumsi daging itik bagi sebagian masyarakat yang kurang menyukai aroma (off odor) tersebut. Penelitian mengenai upaya penurunan intensitas off odor pada daging itik perlu dilakukan guna meningkatkan kesukaan masyarakat terhadap daging itik.

(16)

2

Penelitian mengenai upaya peningkatan produksi daging itik dengan intensitas off-odor yang rendah dilakukan oleh Matitaputty et al. (2011), yang melaporkan bahwa produktivitas daging yang cukup baik diperoleh dari silangan antara itik cihateup jantan dengan itik alabio betina, selanjutnya itik silangan tersebut diberi nama itik CA. Bobot potong itik CA jantan pada umur 8 minggu mencapai 1 412.80 g dengan persentase karkas 63.74% dan konversi pakan sebesar 2.54. Konversi ini lebih rendah bila dibandingkan dengan angka konversi itik yang lainnya seperti alabio (2.79), cihateup (2.83) dan AC (2.66). Intensitas off-odor itik CA lebih rendah dan tingkat penerimaan panelis terhadap aroma daging lebih tinggi dibandingkan dengan alabio dan cihateup. Penelitian lanjutan mengenai keturunan silangan antar CA telah dilakukan guna mengkaji kestabilan produktivitas itik CA baik dalam produksi daging maupun intensitas off-odor. Diharapkan dari hasil penelitian ini didapat informasi itik yang memproduksi daging tinggi dengan intensitas off-odor yang rendah.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis dan mengevaluasi performa reproduksi, pertumbuhan dan kualitas karkas itik hasil silangan antar itik cihateup-alabio (CA) generasi dua (G2).

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah mendapatkan informasi dasar data performa reproduksi, pertumbuhan, kualitas karkas itik cihateup, alabio dan silangan yang diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah kedua jenis rumpun itik tersebut.

Perumusan Masalah

(17)

3 2 TINJAUAN PUSTAKA

ItikLokal

Itik termasuk dalam kelompok unggas air (waterfowl) yang mempunyai klasifikasi sebagai berikut: kelas Aves, ordo Anseriformes, famili Anatidae, subfamili Anatinae, rumpun (tribe) Anatini, genus Anas, spesies Anas plathyrhynchos (Achwanu 1997). Itik cihateup berasal dari Desa Cihateup, Kecamatan Rajapolah, Kabupaten Tasikmalaya, Propinsi Jawa Barat. Selain dikembangkan di daerah asalnya, itik cihateup juga telah dikembangkan di daerah Garut. Daerah Cihateup berada pada ketinggian 378 m di atas permukaan laut (dpl) yang merupakan dataran tinggi, sehingga itik tersebut disebut juga dengan itik gunung. Daya adaptasi terhadap lingkungan dingin baik, sehingga itik tersebut sangat sesuai dipelihara untuk daerah dingin atau pegunungan (Wulandari 2005).

Secara umum ciri-ciri fisik itik cihateup mirip dengan itik-itik jawa lainnya, seperti itik karawang, itik cirebon ataupun itik tegal. Walaupun demikian, secara genetik terdapat sedikit keragaman di antara itik-itik tersebut (Muzani 2005). Bulu itik cihateup berwarna coklat, sedangkan paruh dan shank berwarna hitam. Warna itik cihateup jantan dewasa lebih gelap, bahkan bulu di sekitar kepala mengarah kehitaman, akan tetapi betina memiliki warna bulu yang lebih cerah. Bentuk badan itik cihateup serupa dengan itik jawa pada umumnya, yaitu berbadan langsing seperti botol, dengan leher bulat panjang. Jika berjalan lebih tegak dibandingkan dengan itik alabio. Postur itik cihateup jantan dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Itik cihateup jantan

(18)

4

berasal dari Tasikmalaya sebesar 68 g dengan indeks telur 80.19%, fertilitas itik cihateup sebesar 61% dengan kemampuan daya tetas telur itik sebesar 65.12% (Wulandari et a., 2005).

Itik alabio merupakan salah satu plasma nutfah unggas lokal yang mempunyai keunggulan sebagai penghasil telur. Itik ini telah lama dipelihara dan berkembang di Kalimantan Selatan. Itik Alabio semula digembalakan di daerah persawahan, rawa-rawa dan sungai (Suryana 2011). Itik ini merupakan salah satu rumpun itik lokal yang sudah cukup lama dikenal. Meskipun tergolong sebagai jenis itik penghasil telur, itik alabio jantan juga dapat dimanfaatkan sebagai sumber penghasil daging. Itik ini telah lama dipelihara dan berkembang di Kalimantan Selatan (Suryana 2011). Menurut Randa (2007), itik alabio jantan memiliki persentasi karkas yang lebih besar dari itik cihateup.

Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI 2009a), itik alabio memiliki ciri-ciri antara lain postur tubuh tegak membentuk sudut 70º, paruh berwarna kuning sampai kuning jingga dengan bercak hitam pada bagian ujung, terdapat bulu putih membentuk garis mulai dari pangkal paruh sampai ke bagian belakang kepala dan bulu kepala bagian atas berwarna hitam, kaki berwarna kuning jingga, bulu leher bagian depan berwarna putih, bulu dada berwarna coklat kemerahan, bulu punggung dan perut berwarna abu-abu dengan bercak coklat, bulu sayap sekunder berwarna biru kehijauan dan mengkilap, bulu ekor berwarna coklat bercak hitam. Ciri-ciri itik alabio betina dapat dilihat seperti pada Gambar 2.

Gambar 2 Itik alabio betina

Menurut Syaifudin (2013), rataan konsumsi itik alabio selama umur pemeliharaan 0-8 minggu sebesar 4 141.33 g/ekor pada jantan dan 4 136.5 g/ekor pada itik alabio betina. Rataan bobot akhir alabio jantan umur 8 minggu sebesar 1 302.23 g dan betina sebesar 1 225.38 g dengan konversi pakan sebesar 3.22 pada itik alabio jantan dan 3.55 pada itik alabio betina. Menurut Suryana (2011), itik alabio bertelur pertama kali saat berumur 6-6.5 bulan (24-26 minggu) dengan rataan bobot telur pertama sebesar 60.21 g, fertilitas itik alabio berkisar antara 87.30 - 96.50% dengan kemampuan daya tetas telur sebesar 50.84 - 60.44% dan bobot tetas day old duck (DOD) berkisar antara 40.65 - 43.92 g.

(19)

5 persilangan antara itik jantan cihateup dan itik betina alabio. Berdasarkan hasil penelitian Matitaputty (2012), Itik dengan genotip CA merupakan itik dengan performa terbaik bila dibandingkan dengan itik persilangan alabio x alabio, cihateup x cihateup atau persilangan antara itik alabio jantan x cihateup betina. Selain itu itik persilangan CA memperlihatkan keunggulan dan memberi manfaat terbaik untuk sifat daya tetas dengan menunjukkan nilai heterosis yang tinggi di atas tetua murni yaitu cihateup dan alabio. Gambar 3 menunjukkan gambar itik CA jantan dan betina.

(a) (b)

Gambar 3 (a) Itik CA jantan dan (b) itik CA betina

Seleksi Tetua

Seleksi individu paling berguna untuk sifat-sifat yang dapat diukur pada kedua jenis kelamin sebelum dewasa atau sebelum umur perkawinan pertama. Salah satu sifat yang dapat diukur adalah laju pertumbuhan. Catatan penampilan produksi diperlukan untuk menghasilkan program yang efektif, catatan produksi tersebut dibuat pada seluruh populasi seleksi yang akan dilakukan (Warwick 1990). Namun seleksi individu memiliki beberapa keterbatasan, diantaranya adalah sifat-sifat yang nampak pada jenis kelamin tertentu seperti produksi telur atau sifat-sifat induk (maternal) pada betina, pada ternak jantan yang akan diseleksi tidak dapat dipilih berdasarkan penampilannya sendiri. Selain itu bila ingin melakukan seleksi berdasarkan catatan produksi telur atau kualitas induk baru dapat dilakukan setelah dewasa, sehingga bila seleksi dilakukan sebelum dewasa harus digunakan beberapa kriteria selain penampilan individu (Warwick 1990). Seleksi individu sangat penting dilakukan, seluruh genotipe dari individu yang dipilih akan diturunkan pada generasi berikutnya. Setiap individu memiliki rangkaian gen baik gen-gen yang dikehendaki maupun gen-gen yang kurang dikehendaki. Seleksi ditujukan pada ternak-ternak yang kemungkinannya paling besar mempunyai genotipe paling baik, sampai teknik rekombinan DNA memungkinkan untuk mengubah genotipe atau menentukan gen yang akan diwariskan pada keturunannya. Genotipe yang dipilih adalah genotipe yang paling sesuai dengan tujuan seleksi dengan mempertimbangkan lingkungan tempat ternak tersebut akan dipelihara.

(20)

6

merupakan alat seleksi yang berguna selama catatan produksi dilakukan secara valid. Namun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu manajemen pemeliharaan dan lingkungan pemeliharaan antara tetua dan keturunannya harus dilakukan pada lingkungan yang sama agar memperoleh data produksi yang valid. Setelah seleksi dilakukan, hal selanjutnya yang penting diperhatikan adalah sistem perkawinan yang akan dilakukan untuk memperoleh keturunan yang sesuai dengan yang diharapkan. Sistem perkawinan yang banyak diketahui adalah perkawinan individu-individu yang berkerabat (inbreeding) dan perkawinan individu-individu tak berkerabat (outbreeding). Perkawinan berkerabat apabila perkawinan tersebut terjadi pada individu-individu yang mempunyai satu atau lebih nenek moyang bersama. Dengan definisi luas ini, apabila leluhurnya ditelusur hingga beberapa generasi kebelakang, satu ternak dari satu bangsa atau species memiliki kemungkinan berkerabat. Untuk itu, biasanya ternak-ternak dianggap berkerabat bila mempunyai nenek moyang yang sama pada 4-6 generasi pertama dari silsilahnya. Ternak-ternak yang tidak mempunyai moyang bersama pada empat sampai enam generasi pertama dari silsilahnya dianggap mempunyai kekerabatan yang sama seperti kekerabatan antara ternak-ternak acak dalam populasi. Perkawinan interse merupakan perkawinan antar sesama jenis dari spesies itu sendiri. Dalam sistem semacam ini berkembang biak, betina G1 yang dikawinkan dengan jantan G1 dari jenis yang sama (Warwick 1990).

Flavour

Flavour didefinisikan sebagai keseluruhan kesan (sensasi) yang diterima oleh indera manusia pada saat makan atau minum. Kesan yang diterima ini sangat kompleks dan saling mempengaruhi antara satu kesan dengan kesan lainnya, akan tetapi aromalah yang menjadi pusat perhatian. Secara umum aroma suatu makanan atau minuman merupakan salah satu faktor utama yang menjadi perhatian diterimanya suatu makanan atau minuman (Apriyantono 1997).

Daging dan produk daging merupakan bahan pangan yang bergizi tinggi, terutama pada komposisi protein khususnya asam amino essensial dan non-essensial yang dibutuhkan oleh manusia. Karakteristik sensori daging pun mudah diterima oleh konsumen, karakteristik tersebut meliputi, aroma, flavour, dan lainnya yang mempengaruhi tingkat kesukaan daging. Karakteristik sensori flavor pada daging merupakan sensasi kompleks yang meliputi bau, rasa dan tekstur.

(21)

7 Penyebab off-flavor pada daging ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah perbedaan genetik, pakan, perubahan kimia (oksidasi lemak), reaksi yang diinduksi oleh aktivitas dan akibat pengolahan. Pada daging unggas, perbedaan off-flavour dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti perbedaan jenis unggas, umur dan jenis kelamin, off-flavour akibat perbedaan pakan, off-flavour akibat perubahan kimia, dan akibat pengolahan pangan.

Secara genetik, daging memiliki komposisi penyusun daging yang berbeda. Seperti yang dilaporkan Ali et al. (2007), persentase protein pada daging dada ayam nyata lebih tinggi dibandingkan dengan daging dada itik yaitu secara berturut-turut 22% dan 20%, sementara persentase lemak pada daging dada itik nyata lebih tinggi bila dibandingkan dengan persentase lemak daging dada ayam yaitu secara berturut-turut 1.84% dan 1.05%. Matitaputty (2012) melaporkan bahwa ada perbedaan nyata pada kandungan lemak antara itik cihateup, alabio dan persilangan keduanya. Persilangan itik cihateup jantan dan alabio betina atau sebaliknya memiliki kandungan lemak yang lebih rendah dibandingkan dengan tetuanya. Selain perbedaan protein dan lemak, komposisi lain yang mempengaruhi flavour daging adalah kandungan myoglobin (kadar pigmen daging) dan pigmen darah (haemoglobin). Menurut Apriyantono dan Farid (2001), kandungan myoglobin dan haemoglobin dapat mempercepat laju oksidasi lemak yang dapat menyebabkan ketengikan dan off-flavour selama penyimpanan, sementara kandungan asam lemak dalam daging juga dapat menghasilkan flavour yang berbeda pula. Selain komposisi daging, umur dan jenis kelamin ternak dapat mempengaruhi flavour daging yang dihasilkan. Menurut Mattitaputty (2012), secara genetik aroma bau amis/anyir yang dominan pada ternak jantan diduga akibat dari pengaruh gen-gen yang ada di kromosom kelamin Z.

Selain faktor diatas, faktor berikutnya yang menyebabkan off-flavour pada ternak unggas adalah pakan. Ternak unggas, banyak memakan makanan yang mengandung protein dan lemak yang tinggi. Apabila pakan banyak mengandung asam lemak tidak jenuh, maka akan mudah terbentuk volatil hasil degradasi lipid, seperti heksanal, dekadienal, dekanal. Komponen-komponen volatil turunan lipid ini sangat berperan untuk menghasilkan off-odor (bau yang tidak sedap) pada daging seperti bau tengik, langu, fatty dan fishy. Berdasarkan penelitian Matitaputty (2012), itik cihateup memiliki komponen off-odor dominan berbau fishy atau amis sedangkan itik alabio memiliki komponen off-odor dominan berbau fatty atau berlemak. Berdasarkan hasil penelitian Rukmiasih (2011), pemberian daun beluntas sebanyak 1-2% dalam pakan, sangat nyata dapat menurunkan off-odor pada daging itik. Berdasarkan hasil penelitian Randa (2007), pemberian antioksidan berupa vitamin C sebanyak 250 mg/kg dan E dalam pakan sebanyak 400 IU/kg nyata dapat menurunkan off-odor daging itik.

(22)

8

Analisis Sensori adalah suatu proses identifikasi, pengukuran ilmiah, analisis, dan interpretasi atribut-atribut produk melalui lima panca indra manusia. Analisis sensori pada dasarnya bersifat subjektif dan objektif. Analisis objektif ingin menjawab pertanyaan dasar dalam penilaian kualitas suatu produk, yaitu pembeda dan deskripsi, sementara subjektif berkaitan dengan kesukaan atau penerimaaan. Tujuan analisis sensori adalah untuk mengetahui respon atau kesan yang diperoleh pancaindra manusia terhadap suatu rangsangan yang ditimbulkan oleh suatu produk. Analisis sensori umumnya digunakan untuk menjawab pertanyaan mengenai kualitas suatu produk dan pertanyaan yang berhubungan dengan pembedaan, deskripsi, dan kesukaan atau penerimaan (afeksi) (Setyaningsih et al. 2010).

3 MATERI DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Pemeliharaan ternak itik dilakukan di Laboratorium Kandang Blok B, Fakultas Petenakan, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Kandang Program Diploma IPB. Analisis sensori dilaksanakan di laboratoriun organoleptik Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor dan analisis lemak dan asam lemak dilaksanakan di Laboratorium Terpadu Baranangsiang Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan selama 10 bulan dari bulan September 2013 hingga Juni 2014.

Materi Penelitian

Ternak

Ternak yang digunakan pada penelitian ini adalah itik hasil persilangan Cihateup jantan dan Alabio betina (CA) G1 berjumlah 80 ekor itik CA betina berumur 30 minggu dan 20 ekor itik CA jantan berumur 30 minggu yang berasal dari kota Bogor. Itik CA G2 yang diamati berjumlah 109 ekor yang terdiri atas 51 ekor itik CA betina dan 58 ekor itik CA jantan.

Kandang dan Peralatan

(23)

9 Pakan

Pakan yang diberikan selama penelitian adalah pakan komersial buatan pabrik. Pemberian pakan diberikan tiga kali dalam sehari yaitu pada pukul 07.30 12.00 WIB dan 16.00 WIB dan pemberian air minum dilakukan ad libitum. Pada induk, pakan diberikan sebanyak 150 g/ekor/hari. Kandungan nutrien pakan itik induk yang digunakan disajikan pada Tabel 1 dan kandungan pakan anak itik disajikan pada Tabel 2.

Tabel 1 Nutrien pakan itik induk percobaan

Zat-zat Makanan Kandungan nutrisi (%)

Keterangan : Pakan Komersil Gold Coin (105-M)

Tabel 2 Nutrien pakan anak itik percobaan

Zat-zat Makanan Kandungan nutrisi

Keterangan : Pakan Komersil Caroen Pokphand (CP-BR511)

Metode Penelitian

Tahap Penelitian

(24)

10

Persiapan Kandang, Mesin Tetas dan Penetasan

Mesin tetas yang digunakan dalam keadaan bersih dan baik. Sebelum telur dimasukkan, mesin tetas difumigasi terlebih dahulu dengan dosis 3 kali kekuatan. Setelah itu mesin tetas dinyalakan selama beberapa jam agar suhu di dalam mesin tetas stabil. Selanjutnya telur-telur yang siap ditetaskan dimasukkan ke dalam mesin tetas kemudian difumigasi dengan dosis 2 kali kekuatan.

Selama penetasan berlangsung, telur diputar sebanyak 3 kali dalam sehari, suhu dan kelembaban mesin tetas selalu dijaga guna menghindari terjadinya perubahan suhu yang tinggi pada telur. Pada hari ke 7,14,21 dan 25 dilakukan candling telur untuk mengetahui telur-telur yang fertil dan hidup, telur-telur yang tidak dibuahi dan tidak berkembang dikeluarkan dari mesin tetas. Pada hari ke -25, telur dipindahkan dari rak setter ke rak hatcher. Telur yang tidak menetas dan sisa kerabang, dikeluarkan dari mesin hatcher

Kandang dan peralatan dibersihkan terlebih dahulu, peralatan lain seperti tempat pakan dan tempat air minum dicuci hingga bersih. Boks tempat pemeliharaan anak diberi lampu 60 watt sebagai indukan dan dinyalakan 4 jam sebelum digunakan serta diberi terpal pada bagian sisi untuk melindungi anak itik dari angin dan menjaga agar udara di dalam boks tetap hangat.

Pemeliharaan, Analisis Sensori dan Pengambilan Data

DOD yang menetas dikeluarkan dari mesin tetas beberapa saat setelah bulunya kering kemudian diberi identitas dengan cara pemberian nomor sayap (wing band) dan selanjutnya ditimbang untuk mengetahui bobot tetas (bobot awal).

Pada awal pemeliharaan, itik diberi penghangat dengan menggunakan lampu bohlam yang berukuran 60 watt untuk 10-20 ekor anak itik. Pemberian penghangat dilakukan selama 2 minggu hingga bulu pin (bulu sayap) telah tumbuh. Itik dipelihara hingga berumur 10 minggu. Pengamatan pertumbuhan dilakukan dengan cara melakukan penimbangan pada individu ternak setiap minggu. Itik dipotong pada umur 10 minggu kemudian dilakukan pemisahan dada dan paha dan pemisahan daging dan tulang (deboning).

Daging itik yang digunakan berasal dari 8 ekor itik cihateup jantan, 9 ekor itik alabio jantan dan 19 ekor itik silangan jantan dan daging yang digunakan adalah daging bagian dada dan paha. Masing-masing daging dada dan paha dengan kulit digiling menggunakan grinder kemudian dihomogenisasi dengan menggunakan food processor. Penggunaan daging untuk analisis sensori dilakukan dengan cara daging ditimbang dalam sebuah botol berukuran 5 ml seberat 1 g dan ditambahkan air sebanyak 2 g, kemudian dipanaskan dalam 150 cc air selama 5 menit dari air mendidih, sedangkan untuk sampel analisis lemak dan asam lemak, setelah daging dihomogenisasi dengan food processor, daging ditimbang sebanyak 50 g dalam plastic sheet, kemudian segera dibekukan untuk selanjutnya dilakukan analisis lemak dan asam lemak di laboratorium terpadu IPB Baranang Siang.

(25)

11 Perbandingan air dan tunggir 1:10 masih memungkinkan panelis dapat membedakan aroma menyimpang dari sampel kontrol.

Analisis sensori dilakukan dengan membandingkan masing-masing daging dada dan daging paha pada ketiga rumpun itik. Pengujian intensitas off odor menggunakan uji skalar garis (intensitas bau) dan tingkat kesukaan aroma daging itik dilakukan dengan uji hedonik (tingkat kesukaan) dari panelis tidak terlatih. Pengujian terhadap intensitas off odor, tingkat kesukaan dan komposisi asam lemak dilakukan dengan membandingkan daging bagian dada dari ketiga rumpun dan paha dari ketiga rumpun itik yang berbeda. Jumlah panelis yang digunakan pada analisis sensori ini sebanyak 80 – 85 orang, dengan masing-masing panelis melakukan 3 ulangan uji skalar dan uji hedonik dengan kode sampel yang diacak. Nilai uji skalar dari 0-15 dengan nilai 15 menunjukkan off odor yang tertinggi. Nilai uji hedonik dari 1-6 dengan nilai 6 menunjukkan panelis sangat menyukai aroma daging itik.

Analisis Lemak dan Asam Lemak

Analisis lemak dan asam lemak dilakukan di Laboratorium Terpadu IPB Baranangsiang. Ekstrasi lemak dilakukan dengan ekstrasi lemak bebas dengan pelarut non polar dengan alat Soxhlet. Pengujian dilakukan dengan cara menimbang 7-10 g sampel bahan kering kemudian dimasukan ke dalam selongsong kertas yang dialasi dengan kapas. Selongsong kertas yang berisi sampel disumbat menggunakan kapas, kemudian dimasukan ke dalam alat soxhlet yang telah dihubungkan dengan labu lemak berisi batu didih yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Selanjutnya diekstrak dengan petrolium eter atau pelarut lemak lainnya selama kurang lebih enam jam. Setelah enam jam, pentrolium eter disuling dan ekstrak lemak dikeringkan dalam oven pengering pada suhu 105 oC. Selanjutnya lemak kering didinginkan dan ditimbang. Pengeringan ini dilakukan hingga beberapa kali ulngan sampai tercapai bobot tetap. Kemudian dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

Kadar lemak (%) = Keterangan : W = Bobot sampel (g)

W1 = Bobot labu sebelum ekstraksi (g) W2 = Bobot labu sesudah ekstraksi (g)

Analisis asam lemak dilakukan dengan metode Gas Cromatografi (GC). Sampel yang digunakan adalah lemak yang berasal dari analisis lemak.

Peubah yang Diamati

Peubah yang diamati meliputi:

1. Karakteristik penetasan meliputi: fertilitas, daya tetas telur, bobot tetas hasil perkawinan interse itik CA

(26)

12

3. Karakteristik produksi karkas meliputi: bobot potong umur 10 minggu (g), persentase karkas dari bobot potong (%), persentase dada dan paha dari bobot karkas (%), persentase daging dada dan paha dari bobot dada dan paha utuh (%).

4. Analisis sensori (intensitas off odor dan tingkat kesukaan) daging itik persilangan CA G2 dibandingkan dengan itik alabio dan cihateup murni. 5. Analisis lemak dan asam lemak daging itik persilangan CA G2 dibandingkan

dengan itik alabio dan cihateup murni.

Analisis Data

Karakteristik penetasan, performa, karkas dan hasil analisis lemak dan asam lemak dianalisis dengan menggunakan microsoft excel dan dibahas secara deskriptif. Data sensori (intensitas off odor dan tingkat kesukaan panelis terhadap aroma daging itik) yang diperoleh, diolah dengan menggunakan Analisis Varian (ANOVA) dan diuji lanjut Duncan (Setyaningsih 2010) dengan menggunakan bantuan Program SAS, sedangkan hasil analisis lemak dan asam lemak menunjukkan grafik performa penetasan pada ke lima periode yang berbeda.

Tabel 3 Performa penetasan itik CA G2 selama empat periode penetasan

Variabel Total

(Butir)

Rataan Persentase (%) Banyaknya telur

masuk/dieram 386 96.5±52.28 butir/periode

Fertilitas 273 68.25±69.37 butir/periode 70.73 ± 34.91) Menetas 179 44.75±46.87 butir/periode 65.57 ± 6.412) Rataan bobot

telur - 65.5 ± 5.50 gram/periode

Rataan bobot

tetas - 42.24 ± 5.29 gram/periode

Keterangan: 1) Persentase berdasarkan telur masuk/dieram, 2)Persentase berdasarkan telur fertil

(27)

13 173 butir. Menurut Suryana et al. (2010), produksi telur akan meningkat seiring dengan penambahan umur itik dan pemberian pakan yang memadai. Grafik persentase ferilitas, daya tetas dan kematian embrio selama penetasan disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Grafik performa penetasan pada 4 periode penetasan yang berbeda

Gambar 4 menunjukkan fertilitas telur di awal periode penetasan masih rendah yaitu berkisar antara 17.24 - 31.88% dan meningkat pada periode penetasan ke tiga dan ke empat yaitu berkisar antara 92 - 94%. Hal ini membuktikan bahwa lamanya pencampuran jantan dan betina dapat mempengaruhi fertilitas telur. Pada periode pertama, telur itik dikoleksi setelah dilakukan pencampuran jantan dan betina selama satu minggu, pengumpulan telur dilakukan setiap lima hari. Semakin lama pencampuran maka semakin tinggi kesempatan itik jantan mengawini itik betina sehingga fertilitas semakin meningkat. Berdasarkan hasil penelitian Matitaputty (2012), fertilitas telur hasil persilangan antar itik cihateup jantan dan itik alabio betina (menghasilkan CA generasi 1) yaitu sebesar 95.19% ± 1.99% dengan perbandingan jantan : betina yang digunakan sebesar 1:4 perbandingan jantan dan betina ini sama dengan perbandingan jantan dan betina pada perkawinan itik CA G1 (menghasilkan CA G2). Penelitian lain menunjukkan fertilitas telur itik alabio dan cihateup murni dengan perbandingan jantan dan betina 1:10 secara berturut-turut yaitu sebesar 95.67% dan 74.50% (Darmawati 2013). Setioko et al. (2004) melaporkan fertilitas telur itik hasil persilangan pekin jantan dan alabio betina dengan menggunakan metode perkawinan buatan (IB) sebesar 92.81%. Faktor-faktor yang mempengaruhi fertilitas adalah kebakaan/pewarisan seperti bangsa dan galur, juga faktor lingkungan dan faktor-faktor manajemen termasuk diantaranya adalah perbandingan jantan-betina dan lama pencampuranjantan ke kelompok betina.

Sementara persentase daya tetas selama empat periode penetasan berkisar antara 59.5 – 72.7 %. Menurut Suryana et al. (2010) temperatur dan kelembaban merupakan salah satu faktor penentu dalam keberhasilan penetasan telur. Tinggi-rendahnya temperatur dapat disebabkan oleh panas dalam alat penetas kurang stabil. Matitaputty (2012) melaporkan bahwa daya tetas telur itik hasil persilangan

17%

fertilitas (%) daya tetas (%) telur mati (%)

(28)

14

cihateup jantan dan alabio betina adalah sebesar 61 ± 3.88%, daya tetas ini lebih rendah bila dibandingkan dengan daya tetas telur itik hasil persilangan antar itik CA yaitu sebesar 65.57 ± 6.41%. Penelitian lain melaporkan daya tetas telur itik hasil persilangan pekin jantan dan alabio betina dengan menggunakan metode perkawinan buatan (IB) sebesar 72.94% (Setioko et al. 2004). Lasmini et al. (1992) menyatakan, tinggi rendahnya daya tetas bergantung kepada kualitas telur tetas, sarana penetasan dan keterampilan pelaksana, dan lamanya penyimpanan telur.

Rataan kematian embrio selama pengeraman yaitu sebesar 34.4 ± 6.41%, persentase ini lebih rendah bila dibandingkan dengan yang dilaporkan oleh Matitaputty (2012) pada telur itik hasil persilangan itik cihateup jantan dan alabio betina yang sebesar 39 ± 3.88%. Menurut Matitaputty (2012), daya ketahanan hidup dari embrio tergantung pada lingkungan mikro dan makro serta komponen di dalamnya. Lingkungan makro dari telur tetas seperti faktor suhu, kelembaban ataupun manajemennya.

Bobot telur erat kaitannya dengan bobot tetas DOD yang dihasilkan. Bobot telur CA G2 sebesar 65.5 g, bobot telur ini masih layak untuk ditetaskan, berdasarkan Pedoman Pembibitan Itik Nomor 237/Kpts/1PD.430/6/2005 menganjurkan agar bobot telur untuk ditetaskan minimum sebesar 60 g. Prasetyo dan Ketaren (2005) melaporkan bobot telur itik tegal sebesar 70.79 ± 4.70 g dan bobot telur itik mojosari sebesar 68.98 ± 5.55 g. Rodenberg et al. (2006) menyatakan bahwa bobot telur dipengaruhi oleh lingkungan, genetik, pakan, komposisi telur, periode bertelur, umur unggas dan bobot badan induk. Adamski et al. (2005) menyatakan bahwa bobot telur itik terus meningkat dari minggu pertama produksi telur hingga minggu ke 22 itik berproduksi.

Bobot tetas DOD dihitung setelah proses pengeringan bulu didalam hatcher telah sempurna. Tabel 3 menunjukkan bahwa rataan bobot tetas itik persilangan CA G2 sebesar 42.24 g. Noyansa (2004) melaporkan rataan bobot tetas itik alabio sebesar 36.49 ± 0.41 g, itik mojosari 37.42 ± 0.41 g, persilangan itik alabio-mojosari 37.43 ± 0.39 g, persilangan itik mojosari-alabio 37.05 ± 0.27 g dan bobot tetas itik magelang sebesar 41.70 ± 3.09 g (Lestari et al. 2013). Brahmantyo dan Prasetyo (2001) menyatakan bahwa bobot tetas tidak dipengaruhi oleh bangsa itik. Menurut Darmawati (2013), bobot tetas erat kaitannya dengan bobot telur, semakin berat bobot telur akan menghasilkan bobot tetas yang lebih tinggi pula, dari penelitian tersebut diperoleh persamaan regresi yang menunjukkan bahwa setiap peningkatan 1 g bobot telur akan meningkatkan 0.56 g bobot tetas itik alabio dan 0.51 g bobot tetas itik cihateup. Rataan telur tetas itik CA G2 ini sebesar 65.5 ± 5.5 g sehingga dapat diketahui bahwa persentase bobot tetas terhadap bobot telur tetas yaitu sebesar 64.5%. Lestari et al. (2013), melaporkan persentase bobot tetas itik mojosari dan itik magelang terhadap bobot telur tetas secara berturut-turut yaitu sebesar 58.5 % dan 61.4%.

Karakteristik Performa

(29)

15 convertion ratio (FCR) atau konversi pakan pada itik CA G2. Performa itik hasil persilangan antar itik CA G2 disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Performa itik CA G2 umur 10 minggu

Variabel Nilai

Bobot awal (g) 41.27 ± 5.72

Konsumsi pakan total (g) 7 352.32 ± 39.50

Bobot akhir (g) 1 330.33 ± 143.65

PBB (g) 1 289.05 ± 149.87

FCR 5.7

Bobot awal dihitung berdasarkan bobot DOD sebelum masuk dan dipelihara didalam kandang. Bobot awal itik CA G2 (Tabel 4) lebih rendah bila dibandingkan dengan bobot awal itik CA G1, namun bobot DOD ini masih lebih tinggi bila dibandingkan dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) (2008a,2008b) yang mensyaratkan bobot DOD itik alabio dan mojosari jantan maupun betina di tingkat final stock adalah sebesar 37 g sedangkan bobot DOD itik alabio dan mojosari jantan dan betina di tingkat parent stock sedikit lebih tinggi yaitu sebesar 38 g/ekor (SNI 2009b, 2009c). Hal ini mengartikan bahwa, DOD CA G2 masih baik untuk dipelihara sebagai itik potong (final stock) maupun sebagai sumber bibit (parent stock).

Konsumsi pakan itik di setiap umur selama pemeliharaan 10 minggu disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5 Grafik konsumsi pakan itik CA G2 selama 10 minggu

Gambar 5 menunjukkan bahwa konsumsi pakan itik meningkat setiap minggunya, peningkatan konsumsi pakan sejalan dengan makin bertambahnya umur itik. Rataan konsumsi pakan itik CA G2 selama 10 minggu berkisar antara 7 312.8 - 7 391.8 g per ekor, jumlah ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan konsumsi pakan itik CA G1 yakni sebesar 6 207.33 g (Putra 2013). Matitaputty et al. (2011) melaporkan bahwa konsumsi pakan kumulatif itik CA jantan G1 yang dipelihara selama 8 minggu yaitu sebesar 3 523.93 ± 83.08, sedangkan Putra (2013) melaporkan konsumsi pakan kumulatif itik CA jantan umur 8 minggu sebesar 4 235.33 g pada jantan dan 4 179.33 g pada itik CA betina. Jumlah ini lebih rendah bila dibandingkan dengan konsumsi pakan itik CA G2 selama umur 8 minggu yang sebesar 4 938 g. Susanti et al. (2012) melaporkan bahwa konsumsi

(30)

16

pakan kumulatif pada itik silangan alabio jantan dan pekin betina (AP) pada umur 0-8 minggu sebesar 8 804.84 g/ ekor, sedangkan konsumsi pakan total itik silangan pekin jantan dengan alabio betina (PA) pada umur 0 - 8 minggu sebesar 7 973.10g/ekor. Kandungan protein pakan yang digunakan pada pemeliharaan CA G2 berkisar antara 21-23% dengan kandungan energi metabolis sebesar 2 900-3 000 Kkal/kg sementara kandungan protein pakan CA G1 sebesar 19-22% dengan kandungan energi metabolis sebesar 2920-3020 Kkal/kg (Matitaputty et al. 2011). Berdasarkan SNI (2006), persyaratan kandungan protein untuk pakan anak itik umur 0-8 minggu minimal 18% dan energi metabolis minimal 2700 Kkal/kg dengan kandungan kadar air dan serat kasar maksimal 14% dan 7%.

Konsumsi pakan yang berbeda pada itik CA G1 dan G2 diduga disebabkan karena adanya perbedaan kandungan protein pakan. Menurut Purba dan Prasetyo (2014), konsumsi pakan itik pedaging EPMp yang diberi pakan dengan kandungan protein 23% nyata lebih tinggi dibandingkan dengan konsumsi pakan itik dengan kandungan protein pakan 19 dan 21%. Konsumsi pakan itik tegal jantan, mojosari jantan, persilangan antara itik tegal jantan dan mojosari betina dan persilangan antara itik mojosari jantan dan tegal betina yang dipelihara selama 8 minggu secara berturut-turut adalah 4 290.4 g, 4 327 g, 4 317.80 g, dan 4 215.20 g dengan kandungan protein pakan sebesar 16% dan energi termetabolis sebesar 2 500 kkal/kg (Prasetyo dan Susanti 1997). Kandungan protein yang tinggi diduga menjadi pemicu pada itik untuk mengkonsumsi pakan dalam jumlah yang lebih banyak (Purba dan Prasetyo 2014).

Gambar 6 menunjukkan rataan pertambahan bobot badan (pbb) itik CA G2 yang dipelihara selama 10 minggu. Dari grafik tersebut diketahui bahwa rataan pertambahan bobot badan tertinggi terjadi di minggu ke empat (umur 3 ke 4 minggu) yaitu sebesar 199 g/ekor. Rataan pertambahan bobot badan terendah terjadi di minggu sepuluh (umur 0 ke 1 minggu) yaitu sebesar 72 g/ ekor. Matitaputty et al (2011). melaporkan rataan pertambahan bobot badan CA G1 tertinggi terjadi pada minggu ke lima (umur 4 ke 5 minggu) dengan rataan pertambahan bobot badan sekitar 200 g/ekor dan terendah terjadi pada minggu pertama (umur 0-1 minggu) dengan rataan pertambahan bobot badan berkisar antara 70 – 80 g/ekor. Berdasarkan hasil penelitian Suparyanto et al. (2004), karakteristik pertumbuhan yang cepat pada itik betina hasil silang antara pekin dengan mojosari putih terjadi pada periode awal menetas hingga umur 30 hari. Penelitian lain melaporkan, pertambahan bobot badan itik persilangan pekin dan itik alabio (PA) pada minggu pertama (umur 0 ke 1 minggu) relatif kecil yaitu sebesar 7.46 ± 3.22 g/hari dan puncak pertumbuhan terjadi di minggu ke 6 (umur 5 ke 6 minggu) dengan rataan pertambahan bobot badan sebesar 51.25 ± 13.29 g/hari (Setioko et al. 2004).

(31)

17 0.3 m2/ekor, sedangkan pada penelitian Putra (2013) luasan kandang yang digunakan adalah sebesar 0.15 - 0.20 m2/ekor, kepadatan kandang itik yang digunakan pada penelitian ini sebesar 10 - 15 ekor/m2 atau setara dengan 0.7 - 0.1 m2/ekor. Ermidias (2014) menyatakan bahwa kepadatan kandang anak itik umur 0 - 8 minggu yaitu 10 - 20 ekor itik/m2. Hasil penelitian Ali dan Febrianti (2009) menunjukkan itik dengan kepadatan kandang yang lebih tinggi memiliki pertambahan bobot badan yang lebih rendah disebabkan suhu kandang yang lebih tinggi serta tingkat stres yang lebih tinggi. Selain kepadatan kandang, konsumsi pakan juga dapat mempengaruhi bobot badan itik. Efisiensi atau konversi pakan, merupakan salah faktor penting yang harus diperhatikan dalam pemeliharaan itik.

Gambar 6 Pertambahan bobot badan itik CA G2 selama 10 minggu Gambar 7. menunjukkan rataan bobot badan setiap minggu itik CA G2 selama 10 minggu pemeliharaan

Gambar 7 Grafik bobot badan itik CA G2 selama 10 minggu

Hasil penelitian menunjukkan bahwa konversi ransum pada itik penelitian ini sebesar 5.7. Hal ini mengartikan dibutuhkan pakan sebanyak 5.7 kg untuk mendapatkan 1 kg pertambahan bobot badan itik CA G2. Semakin tinggi angka konversi menandakan semakin tidak efisien pemeliharaan yang dilakukan. Matitaputty et al. (2011) melaporkan konversi pakan itik CA jantan G1 selama 8 minggu pemeliharaan yaitu sebesar 2.54, sementara Putra (2013) melaporkan

(32)

18

konversi pakan itik CA G1 di minggu ke 8 yaitu sebesar 4.03, minggu ke 10 sebesar 4.9 dan minggu ke 12 sebesar 6.1. Susanti et al. (2012) menyatakan bahwa konversi pakan itik silangan AP selama 8 minggu sebesar 4.7 dan konversi pakan itik AP umur 10-12 minggu sebesar 9.7,4 sedangkan konversi pakan itik silangan PA umur 0-8 minggu sebesar 4.31 dan umur 10-12 minggu sebesar 8.81. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa semakin tua umur potong itik maka nilai FCR akan meningkat. Hal ini disebabkan konsumsi yang semakin tinggi, sedangkan pertambahan bobot badan yang didapatkan semakin rendah.

Karakteristik Produksi Karkas

Karakteristik produktivitas karkas daging yang diamati adalah bobot potong itik umur 10 minggu, persentase karkas dari bobot potong (%), persentase dada dan paha dari bobot karkas (%), persentase daging dada dan paha dari bobot dada dan paha utuh (%). Produksi karkas itik CA G2 pada umur potong 10 minggu disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Produksi karkas itik CA G2 pada umur potong 10 minggu

Variabel Komposisi

Keterangan : 1) persentase dari bobot hidup, 2) Persentase dari bobot karkas, 3) persentase dari dada utuh, 4) persentase dari paha utuh

Menurut Matitaputty et al. (2011), karkas merupakan organ tubuh yang masak lambat. Soeparno (2005) menyatakan bahwa pada unggas persentase karkas meningkat selama pertumbuhan, pertambahan umur dan kenaikan bobot badan. Dari hasil penelitian diketahui bahwa persentase karkas itik CA G2 sebesar 60% dari bobot hidup dengan rataan bobot sebesar 817.95 g. Persentase karkas ini masih lebih tinggi bila dibandingkan dengan persentase karkas tetuanya yaitu sebesar 57.36% (Putra 2013). Putra (2013) juga melaporkan bahwa persentase karkas itik CA G1 yang paling tinggi pada umur pemotongan 10 minggu, umur potong 12 minggu menghasilkan persentase karkas sebesar 56.05% dan pada umur 8 minggu menghasilkan karkas itik dengan persentase sebesar 56.77%, lebih kecil dibandingkan dengan persentase karkas itik CA jantan G1 hasil penelitian Matitaputty et al. (2011) yang sebesar 63.74%.

(33)

19 29.91% lebih tinggi dibandingkan dengan persentase dada itik CA G1 umur potong 10 minggu dan 8 minggu dengan persentase dada terhadap karkas sebesar 20.18%, sementara Matitaputty et al. (2011) melaporkan persentase dada itik CA jantan G1 sebesar 25.81%. Menurut Armissaputri et al. (2013) selain umur potong, faktor lain yang mempengaruhi persentase bagian-bagian karkas adalah bobot karkas, sedangkan bobot karkas dipengaruhi oleh bobot hidup. Persentase dada itik magelang, mojosari dan tegal terhadap bobot hidup itik yang dipotong pada umur 10 minggu secara berturut-turut sebesar 12.9%, 11.13% dan 13.95%, sedangkan persentase dada itik rouen jantan dan betina serta pekin jantan dan betina yang dipotong umur 10 minggu secara berturut-turut sebesar 15.54%, 12.32%, 14.65%, dan 18.74% (Omojola 2007).

Persentase daging dada itik CA G2 yang dipotong umur 10 minggu sebesar 82.83%. Matitaputty (2012) melaporkan bahwa persentase daging dada itik CA jantan yang dipotong umur 8 minggu sebesar 85.55%, sedangkan persentase daging dada itik alabio jantan yang dipotong pada umur 10 minggu sebesar 87.82 % (Lestari 2011) dan daging dada itik tegal yang dipotong pada umur 10 minggu sebesar 78.21% (Setiyanto 2005). Menurut Soeparno (2005), proporsi tulang, otot dan lemak sebagai komponen utama karkas, dipengaruhi oleh umur dan bobot hidup serta rumpun itik (Setiyanto 2005).

(34)

20

kecilnya tulang. Semakin besar ukuran tulang memungkinkan semakin banyaknya daging terdeposit dibandingkan ukuran tulang yang lebih kecil (Setiyanto 2005).

Sensori Daging Itik

Hasil analisis sensori berupa intensitas off odor daging dada dan paha itik alabio, cihateup dan silangannya disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Intensitas off odor daging itik alabio, cihateup dan silangannya umur 10 minggu

Potongan komersial A (n=8) C (n=9) CA (n=19)

Dada 6.59 ± 2.03 6.80 ± 1.91 6.33 ± 3.27

Paha 6.64 ± 2.25 6.74 ± 2.17 6.59 ± 2.16

Tabel 6 menunjukkan bahwa intensitas off odor pada daging dada dan paha itik silangan, semakin tinggi nilai yang dihasilkan menunjukkan semakin tinggi intensitas off-odor daging itik. Hasil analisis statistik menunjukkan intensitas off odor daging dada itik silangan tidak berbeda nyata terhadap intensitas off odor daging dada itik cihateup dan alabio. Hal ini juga terjadi pada intensitas off odor daging bagian paha yang juga tidak berbeda nyata pada ketiga rumpun itik. Randa et al. (2010) menyatakan bahwa intensitas off odor pada daging itik bagian paha itik cihateup nyata (P<0.05) lebih tinggi dibandingkan dengan intensitas off odor daging paha itik alabio. Rukmiasih et al. (2010)a melaporkan bahwa intensitas off odor daging dengan kulit bagian paha itik cihateup sebesar 7.08, sedangkan intensitas off odor pada daging dengan kulit bagian paha itik alabio sebesar 6.87. Tingkat kesukaan panelis terhadap aroma daging itik cihateup, alabio dan silangannya disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Tingkat kesukaan panelis terhadap aroma daging itik alabio, cihateup dan silangannya umur 10 minggu

Potongan komersial A (n=8) C (n=9) CA (n=19)

Dada 3.09 ± 0.96a 3.28 ± 1.05ab 3.38 ± 0.93b

Paha 3.24 ± 1.12 3.23 ± 1.14 3.33 ± 1.09

Keterangan: a-b Huruf yang berbeda dalam lajur yang sama menyatakan berbeda nyata (P<0.05)

(35)

21 alabio. Menurut Matitaputty dan Suryana (2010), salah satu faktor kurang disukainya daging itik oleh konsumen karena adanya kesan mempunyai aroma daging yang amis atau anyir. Semakin rendah intensitas off odor pada daging diharapkan dapat meningkatkan kesukaan konsumen terhadap aroma daging.

Matitaputty (2012) menyatakan bahwa tingkat penerimaan panelis terhadap aroma daging paha itik CA generasi 1 lebih disukai bila dibandingkan dengan daging itik tetuanya yaitu alabio dan cihateup. Menurut Setyaningsih et al. (2010), perbedaan sensasi yang diterima karena tingkat perbedaan sensitifitas organ pengindraan pada setiap panelis, atau karena kurangnya pelatihan dalam mengekspresikan apa yang dirasakan dalam kata-kata atau angka. Bau atau aroma sendiri merupakan sifat sensori yang paling sulit untuk diklasifikasikan dan dijelaskan karena ragamnya yang begitu besar.

Apriyantono dan Farid (2001) menyatakan bahwa off odor pada daging unggas dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah genetik, umur, jenis kelamin, pakan, perubahan kimia dan pengolahan. Secara genetik setiap jenis unggas mempunyai komposisi penyusun daging yang berbeda, salah satunya adalah kadar pigmen daging (mioglobin) dan komponen minor lain seperti lemak dan vitamin. Kandungan mioglobin dan haemoglobin dalam daging merupakan prooksidan yang dapat mempercepat laju oksidasi lemak yang dapat menyebabkan ketengikan selama penyimpanan daging. Menurut Aberle et al. (1989), banyaknya mioglobin ini bervariasi menurut spesies, umur, jenis kelamin, jenis otot dan aktivitas fisik. Menurut Omojola (2007), warna daging itik rouen dan itik pekin betina lebih disukai oleh panelis dibandingkan dengan daging itik rouen dan itik pekin jantan. Penelitian lain melaporkan persentase protein pada daging dada ayam nyata lebih tinggi dibandingkan dengan daging dada itik yaitu secara berturut-turut 22% dan 20%, sementara persentase lemak pada daging dada itik nyata lebih tinggi bila dibandingkan dengan persentase lemak daging dada ayam yaitu secara berturut-turut 1.84% dan 1.05% (Ali et al. 2007), sedangkan kandungan asam lemak tak jenuh (PUFA) pada daging dada entok nyata lebih rendah (P<0.05) dibandingkan asam lemak tak jenuh pada daging dada itik pekin (Aronal et al. 2012). Pada itik liar, komposisi asam lemak yang banyak terdapat pada hati, daging dada dan leher terdiri atas asam lemak tidak jenuh seperti oleat (18:1) sebanyak 17±34%, linoleat (18:2) sebanyak 13 ± 23%, arakidonat (20:4) sebesar 8 ± 19%, dan asam lemak jenuh seperti palmitat (16:0) sebesar 18±22% dan stearat (18:0) sebesar 12 ± 22% (Cobos 2000).

Off odor pada daging juga dapat dipengaruhi oleh umur dan jenis kelamin unggas. Hal ini dikaitkan dengan adanya perbedaan kontrol metabolisme, perbedaan hormon seksual dan perbedaan masa pubertas (Apriyantono dan Farid 2001). Pakan dan pengolahan daging menjadi faktor lain yang menyebabkan terjadinya off odor pada daging itik. Pakan unggas mengandung banyak protein dan asam lemak yang tinggi, kandungan asam lemak tidak jenuh yang tinggi akan membuat mudah terbentuknya komponen volatil hasil degradasi lipid (Apriyantono dan Farid 2001). Kerusakan lipid dapat berupa ketengikan, perubahan rasa maupun aroma (Winarsi 2007).

(36)

22

intensitas off odor yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan bau daging segar, dengan bau yang terdeteksi oleh panelis berupa bau amis, bau darah, apek, tengik, seperti kentang rebus dan bau seperti telur asin. Menurut Mattitaputty (2012), bau dominan yang terdeteksi pada daging itik cihateup adalah fishy sementara bau yang dominan terdeteksi pada daging itik alabio adalah fatty, sementara bau daging pada silangan itik keduanya memiliki off odor yang rendah.

Perubahan kimia daging menjadi salah satu faktor utama penyebab terjadinya off odor pada daging. Hal ini terutama diakibatkan oleh terjadinya oksidasi lemak dalam daging (Apriyantono dan Farid 2001), terutama pada daging yang mengandung asam lemak tidak jenuh yang tinggi (Winarsi 2007). Menurut Matitaputty (2012), rendahnya tingkat intensitas off odor pada daging itik silangan sejalan dengan hasil komposisi asam-asam lemak terutama asam lemak tidak jenuh yang rendah dan berkorelasi positif dengan nilai tingkat kesukaan terhadap penerimaan bau daging yang lebih disukai.

Profil Asam Lemak

Kandungan lemak dan asam lemak pada daging paha dan dada itik cihateup, alabio dan silangan ditunjukan pada Tabel 8.

Tabel 8 Kandungan lemak dan asam lemak daging bagian dada dan paha pada

(37)

23 Tabel 8 menunjukkan bahwa kandungan lemak itik silangan lebih tinggi bila dibandingkan dengan itik cihateup dan alabio baik pada daging bagian dada maupun paha. Akan tetapi kandungan asam lemak jenuh itik CA pada bagian dada relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan itik cihateup. Kandungan asam lemak jenuh pada bagian paha, itik alabio memiliki persentase asam lemak jenuh yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan itik silangan dan itik cihateup. Persentase asam lemak tidak jenuh pada daging bagian dada dan paha itik silangan lebih rendah bila dibandingkan dengan daging dada dan paha itik cihateup dan alabio maupun pada tetuanya (CA generasi 1) dan perbandingan komposisi asam lemak tidak jenuh dan asam lemak jenuh itik silangan baik pada daging bagian dada dan paha lebih rendah dibandingkan tetuanya hal ini berarti bahwa komposisi asam lemak tidak jenuh itik silangan lebih rendah dibandingkan dengan tetuanya. Hal ini yang diduga menjadi salah satu penyebab rendahnya off odor daging itik silangan dibandingkan dengan itik cihateup dan alabio dan membuat penerimaan panelis terhadap aroma daging itik silangan menjadi lebih baik. Apriyantono dan Farid (2001) menyatakan bahwa perubahan kimia utama yang bisa menyebabkan off odor pada daging adalah terjadinya oksidasi lemak dalam daging terutama pada asam lemak tidak jenuh yang memiliki dua atau lebih ikatan rangkap yang sangat mudah mengalami oksidasi dengan adanya oksigen, proses autooksidasi tersebut menyebabkan berkembangnya bau dan flavour yang tidak enak.

Winarsi (2007) menyatakan bahwa oksidasi lemak terjadi melalui tiga tahapan yaitu tahap inisiasi, propagasi dan terminasi. Reakni inisiasi terjadi diantara asam lemak tidak jenuh dengan radikal hidroksil. Selanjutnya akan terjadi reaksi propagasi yang ditunjukan oleh struktur beresonansi dan bereaksi dengan oksigen triplet membentuk biradikal yang memiliki dua elektron tak berpasangan.

(38)

24

5 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Karakteristik performa penetasan dan pertumbuhan itik CA G2, lebih rendah dibandingkan dengan itik CA G1. Persentase karkas yang dihasilkan CA G2 lebih baik dibandingkan tetuanya. Intensitas off odor pada potongan komersial tidak berbeda pada itik alabio, itik cihateup dan itik silangannya. Hal ini memungkinkan tingkat kesukaan terhadap aroma daging bagian dada itik silangan lebih baik dibandingkan dengan aroma daging itik alabio. Hasil analisis lemak dan asam lemak yang diperoleh menunjukkan bahwa itik CA G2 memiliki komposisi rasio asam lemak tidak jenuh yang lebih rendah terhadap itik cihateup dan alabio.

Saran

Perlu dilakukan seleksi induk yang ketat untuk menghasilkan CA generasi tiga (G3) dengan performa reproduksi, produksi dan kualitas karkas yang lebih baik dari tetuanya.

DAFTAR PUSTAKA

Aberle ED, Forrest JC, Gerrard DE, Mills EW. 1989. Principles or Meat Science. 4th edition. United States of America (US) : Kendall

Achmanu. 1997. Ilmu Ternak Itik. Malang (ID): Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya

Adamski M, Bernacki Z, Kuzniacka J. 2005. Changes in the Biological Value of Duck Eggs Defined by Egg Quality. Volume 53. Folia biologica. Kraków Ali A, Febrianti N. 2009. Performans itik pedaging (lokal x Peking) fase starter

pada tingkat kepadatan kandang yang berbeda di Desa Laboi Jaya Kabupaten Kampar. J Petern (6): 29–35.

Ali Md S, Kang G, Yang H, Jeong J, Hwang Y. 2007. A comparison of meat characteristics between duck and chicken breast. Asian-Aust J Anim Sci 20(6):1002–1006.

Anggraeni. 1999. Pertumbuhan alometri dan tinjauan morfologi serabut otot dada (Muscullus Pectoralis dan Muscullus Supracorarideus) pada itik dan entok local [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor

AOAC.1984. Official Methods of Analysis: Association of Official Analylical Chemist. 14th edition. Virginia (USA)

Apriyantono A.1997. Kimia Flavour. Bogor (ID): Universitas Terbuka

(39)

25 Armissaputri NK, Ismoyowati, Mugiyono S. 2013. Perbedaan bobot dan persentase bagian-bagian karkas dan non karkas pada itik lokal (Anas Plathyrincos) dan itik manila (Cairina Moschata). JIP 1 (3):1086-1094 Aronal AP, Huda N, Ahmad R. 2012. Amino acid and fatty acid profiles of pekin

and muscovy duck meat. Inter J Poult Sci 11(3):229-236

Cobos A, Veiga A, Diaz O. 2000. Chemical and fatty acid composition of meat and liver of wild ducks (Anas platyrhynchos). Food Chem-Elsevier:68 Darmawati D. 2013. Daya tetas telur itik cihateup dan alabio [skripsi]. Bogor

(ID): Institut Pertanian Bogor

Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2013. Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan 2013. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Peternakan Kementrian Pertanian Republik Indonesia

[DPKH] Direktorat Peternakan dan Kesehatan Hewan.2005. Pedoman Pembibitan Itik yang Baik Nomor 237/Kpts/1PD.430/6/2005. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Peternakan Kementrian Pertanian Republik Indonesia.

Ermidias. 2014. Inovasi teknologi budidaya itik di lahan pekarangan. Sumatra Barat (ID): Badan Penelitian Pertanian Kementrian Pertanian Republik Indonesia

Hustiany R. 2001. Identifikasi dan karakterisasi komponen off-odor pada daging itik [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor

Lasmini AR, Abdulsamie, Purwati NM. 1992. Pengaruh cara penetasan terhadap daya tetas telur itik Tegal dan Alabio. Bogor (ID): Seminar Nasional Sains dan Teknologi. Balai Penelitian Ternak Ciawi: 31-34.

Lestari E, Ismoyowati, Sukardi. 2013. Korelasi antara bobot telur dengan bobot tetas dan perbedaan susut bobot pada telur entok (Cairrina moschata) dan itik (Anas plathyrhinchos). JIP 1(1):163-169

Lestari FEP. 2011. Persentase karkas, dada , paha dan lemak abdomen itik alabio jantan umur 10 minggu yang diberi tepung daun beluntas, vitamin C dan E dalam pakan [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor

Matitaputty PR. 2012. Peningkatan produktivitas karkas dan kualitas daging itik melalui silangan antara itik cihateup dan alabio [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor

Matitaputty PR, Noor RR, Hardjosworo PS, Wijaya CH. 2011. Performa persentase karkas dan nilai heterosis itik alabio, cihateup dan hasil persilangannya pada umur delapan minggu. JITV 16(2):90-98

Matitaputty PR, Suryana. 2010. Karakteristik daging itik dan permasalahannya serta upaya pencegahan off flavour akibat oksidasi lipida. Wartazoa 20(3):130-138

Gambar

Gambar 1.
Gambar 3 (a) Itik CA jantan dan (b) itik CA betina
Tabel 3  Performa penetasan itik CA G2 selama empat periode penetasan
Gambar 4  Grafik performa penetasan pada 4 periode penetasan yang
+3

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini sejalan dan sesuai dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Nurwani (2016) yang menyatakan bahwa secara empiris variabel suku bunga memiliki pengaruh negatif

Hasil penelitian kandungan keasaman total asam humat yang diperoleh dari kompos bermacam-macam dengan menggunakan jenis pelarut, dapat dilihat pada Tabel 2 di

Dalam penelitian ini digunakan tiga jenis gula merah yaitu gula aren, gula kelapa dan gula lontar sebagai alternatif pengganti gula pasir dalam pembuatan wine tomat yang

Saran yang berkaitan dengan hasil penelitian tersebut adalah Sebaiknya fungsi akuntansi terpisah dengan fungsi kas, Sebaiknya dalam sistem akuntansi pengeluaran

MENEMBUS ANTARGENERASI DAN DEMOGRAFI KESUKSESAN BISINIS (COMPARATIVE &amp; COMPETITIVE ADVANTAGE) DALAM BINGKAI KEKOKOHAN KARAKTER BANGSA KULTUR SBG DETERMINAN. KECAKAPAN

Penguasaan agama pada ranah budaya di Bali memberikan dampak pola kerukunan umat beragama hanya bisa dimungkinkan tercipta ketika ada kebesaran hati agama Hindu

Demak Kota Wali yang menjadi tagline kota Demak, di lihat dari kondisi wilayah Demak dan unsur budaya kota Demak yang sangat agamis, Demak merupakan kerajaan islam

Dalam pengembangan pariwisata, Pemerintah daerah Tapanuli Utara selaku pengelola parawisata senantiasa memperhatikan sarana pendukung dalam meningkatkan kualiatas