• Tidak ada hasil yang ditemukan

Indeks Perkembangan Dan Kemandirian Desa Di Kabupaten Sukabumi: Tantangan Pembangunan Wilayah Perdesaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Indeks Perkembangan Dan Kemandirian Desa Di Kabupaten Sukabumi: Tantangan Pembangunan Wilayah Perdesaan"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

INDEKS PERKEMBANGAN DAN KEMANDIRIAN DESA

DI KABUPATEN SUKABUMI:

TANTANGAN PEMBANGUNAN WILAYAH PERDESAAN

DZULFIKAR ALI HAKIM

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Indeks Perkembangan dan Kemandirian Desa di Kabupaten Sukabumi: Tantangan Pembangunan Wilayah Perdesaan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2016

Dzulfikar Ali Hakim

(4)

RINGKASAN

DZULFIKAR ALI HAKIM. Indeks Perkembangan Dan Kemandirian Desa di Kabupaten Sukabumi: Tantangan Pembangunan Wilayah Perdesaan. Dibimbing oleh ARYA HADI DHARMAWAN dan BAMBANG JUANDA.

Informasi perkembangan dan kemandirian desa di Kabupaten Sukabumi sangat penting untuk dimiliki oleh pemerintah daerah serta desa untuk dijadikan sebagai data dasar dalam perencanaan pembangunan. Saat ini informasi indeks perkembangan dan kemandirian desa yang ada tidak memiliki pembanding sehingga perlu dilakukan kajian lain yang bisa memberikan pengayaan penggambaran kondisi perkembangan dan kemandirian desa di Kabupaten Sukabumi.

Pengukuran perkembangan dan kemandirian desa yang menggunakan

Principal Componen Analysis digambarkan dalam sebuah indeks perkembangan dan kemandirian, dan memuat faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan dan kemandirian desa di Kabupaten Sukabumi. Berdasarkan Indeks perkembangan dan kemandirian desa di Kabupaten Sukabumi yang dihasilkan dapat digambarkan tipologi desa yang dibagi kedalam empat tipologi, yaitu tipologi satu adalah desa berkembang dan mandiri, tipologi dua adalah desa mandiri namun tertinggal, tipologi tiga merupakan desa tertinggal dan bergantung, dan tipologi empat adalah desa yang bergantung namun berkembang.

Desa berkembang di Kabupaten Sukabumi berjumlah 110 desa (28,5%) dan desa tertinggal berjumlah 276 desa (61,5%), dengan faktor yang paling berpengaruh terhadap perkembangan desa secara berturut-turut adalah, sarana kesehatan, sarana pendidikan, akses pasar, sarana jalan. Sedangkan dari indeks kemandirian desa di Kabupaten Sukabumi didapatkan sebanyak 138 (35,2%) desa bergantung dan 248 (64,8%) desa mandiri, dan faktor yang berpengaruhnya secara berurutan adalah jumlah KK tani, jumlah pengguna kayu bakar, jumlah pengguna non ledeng dan luas lahan pertanian.

Penggabungan indeks perkembangan dan kemandirian desa menghasilkan data tipologi desa di Kabupaten Sukabumi, dengan gambaran 53 desa masuk pada tipologi satu yaitu desa berkembang dan mandiri, 57 desa berada pada kuadran dua (tertinggal berkembang namun bergantung). Pada tipologi tiga yaitu desa tertinggal dan bergantung, terdata ada 81 desa dan tipologi terakhir yaitu desa mandiri namun tertinggal terdapat 195 desa dari keseluruhan (386) desa di Kabupaten Sukabumi.

Jumlah desa berkembang dan mandiri yang hanya berjumlah 53 desa atau setara dengan 13,73% (jumlah paling sedikit dari seluruh tipologi), sangat jauh dari harapan atas ditetapkannya UU Desa yang diiringi dengan transfer dana desa dari pemerintah pusat. Jumlah desa tertinggal dan bergantung di Kabupaten Sukabumi jumlahnya masih sangat besar yaitu 81 desa setara 20,98%, pada tipe desa berkembang tapi bergantung, terdapat 57 desa (14,77%), dan jumlah desa terbanyak pada pentipologian ini adalah desa dengan tipe tertinggal tetapi mandiri dengan jumlah desa yang masuk pada tipe ini sebanyak 195 desa (50,52%).

(5)

paradigma pembangunan yang berkutat pada permasalahan makro serta percepatan pertumbuhan ekonomi melalui industrialisasi dan investasi yang bersifat eksploitatif telah mendorong terjadi ketergantungan desa terhadap investasi dan industri formalistik.

Permasalahan yang terkait dengan pembangunan sumberdaya manusia seringkali abai dilakukan, hal ini terlihat dari porsi dana pembangunan yang lebih menitikberatkan pada pembangunan infrastruktur (terutama jalan) daripada pembangunan manusia (pemberdayaan) dengan porsi yang mencapai 70:30. Penelitian ini dilakukan untuk mengkritisi strategi pembangunan yang selama ini terlalu mengesampingkan sisi humanis dan nilai-nilai kearifan lokal, dan menggantikannya dengan pembangunan yang dapat menjawab kebutuhan dasar manusia dalam proses pembangunan yang semakin menekankan arti penting kesatuan manusia dan alam sekitarnya.

Pembangunan yang lebih mengakar dengan menjadikan potensi lokal sebagai basis utama industrialisasi adalah sebuah upaya untuk dapat menghindari

Dutch Disease di beberapa wilayah Kabupaten Sukabumi. Kondisi seperti Cikembar, Cidahu dan beberapa wilayah industri lainnya di Kabupaten Sukabumi

yang hanya menjadi “halte” bagi perputaran kapital, terjadi akibat kurangnya

(6)

SUMMARY

DZULFIKAR ALI HAKIM. Rural Development and Self-reliance Index in Sukabumi Regency: the Rural Development challenges. UnderSupervised ARYA HADI DHARMAWAN dan BAMBANG JUANDA.

The development of information and self- reliance of the village in Sukabumi is very important to be owned by the local government as well as the village to be used as basic data for development planning. The existing index information and the development of self- reliance of villages do not have a comparison so we need other studies that could provide enrichment depiction of conditions of development and self-sufficiency of the village in Sukabumi.

development and independence of villages are analyzed by Principal Components Analysis and described in an index of development and self-reliance, includes the factors that influence the development and self-sufficiency of the village in Sukabumi. Based on the index development and self-sufficiency of the village in Sukabumi produced can be described typology village is divided into four typologies, the typology of the village is developed and reliance, the typology of the two are reliance village but undevelop, the typology of the three is a undevelop village and depend on, and the typology of four is dependent rural but developed.

Developed village in Sukabumi were 110 villages (28.5%) and undeveloped villages totaling 276 villages (61.5%), with the most influential factor on the development of the village in a row is, health facilities, educational facilities, access to markets, roads. While the index of reliance of the village in Sukabumi obtained by 138 (35.2%) dependent villages and 248 (64.8%) independent villages, and sequentially influential factor is the number of farm households, the number of users of firewood, the number of users of non tap and agricultural land.

Merging index of development and self- reliance of the village produce data typology village in Sukabumi, with an overview of the 53 villages in on the typology of the village is growing and independent, 57 villages were located in quadrant two (behind growing, but dependent). In the typology of three villages namely underdeveloped and dependent, there are 81 villages and recorded the last typology is independent villages, but behind there are 195 villages of the total (386) village in Sukabumi.

(7)

Village development issues that occur in Sukabumi result from a very biased development strategy of the city, as well as focus on the development of road infrastructure and other assets. In addition, the development paradigm that dwell on the macro issues and the acceleration of economic growth through industrialization and investment exploitative dependency has driven happened village on investment and industry.

Issues related to human resource development often neglect to do, it can be seen from the development funds which is focused on development of infrastructure (especially roads) rather than human development (empowerment) with a portion of which reached 70:30. This study was conducted to scrutinize the development strategy for this too override the humanist side and values of local wisdom, and replace it with a development that can address the basic human needs in the process of development increasingly emphasized the importance of unity of man and the natural surroundings.

Development of a humanist becomes very important because the cause of the destruction process and dehumansiasi during this time include growing the perpetuation of Dutch Disease in some Sukabumi as happened in Nigeria were confirmed through research (Opeyemi 2012) due to a lack of investment in education, the weakness of state institutions and the lack of transparency.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)
(10)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

INDEKS PERKEMBANGAN DAN KEMANDIRIAN DESA

DI KABUPATEN SUKABUMI:

TANTANGAN PEMBANGUNAN WILAYAH PERDESAAN

DZULFIKAR ALI HAKIM

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(11)
(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2016 ini ialah pembangunan perdesaan, dengan judul Indeks Perkembangan Dan Kemandirian Desa di Kabupaten Sukabumi: Tantangan Pembangunan Wilayah Perdesaan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan rasa terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Dr Ir Arya Hadi Dharmawan, MScAgr selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS selaku anggota komisi pembimbing sekaligus ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) atas segala motivasi, arahan dan bimbingan yang diberikan mulai dari tahap awal sampai penyelesaian tesis ini

2. Ibu Dr Ir Sri Mulatsih, MScAgr selaku dosen penguji yang telah memberikan banyak masukan pada penulis

3. Ibu Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si sebagai Perwakilan Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD), serta seluruh staff pengajar di PWD.

4. Bapak H Ir Irawan Prakoso Dipl.Ing dan Ibu Mourina Prakoso yang telah memberikan beasiswa kepada penulis

5. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan teman-teman Kepala Desa dan Perangkat Desa Cicantayan yang telah membantu selama pengumpulan data.

6. Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi yang telah memberikan izin penyelesaian studi penulis serta kesempatan Audiensi dalam rangka penulisan ini

7. Teman-teman PWD angkatan 2012 khususnya para Injured yang selalu semangat berjuang dan seluruh teman-teman PWD atas doa, dukungan dan bantuan melalui kerjasama yang solid dan kompak hingga selesainya proses pembelajaran di PWD.

8. Sahabat-sahabatku di Jati’s House, Kang Tono, Danang Pramudita atas doa, bantuan dan dukungannya

Akhirnya ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Istri dan Anak-anakku yang telah sabar menunggu dan mendampingi, Abah, Ibu, Papa, Mama serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2016

(13)

DAFTAR ISI

PRAKATA i

DAFTAR ISI ii

DAFTAR TABEL v

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

Ruang Lingkup Penelitian 4

KEPUSTAKAAN 5

2.1 Konsep Perdesaan 5

2.2 Teori Perkembangan Desa 6

2.2.1 Konsep Wilayah 6

2.2.2 Ketimpangan Pembangunan Wilayah 6

2.3 Teori Kemandirian Desa 7

Teori Kemandirian (self-reliance) 7

2.4 Teori Indeks/Indikator Perkembangan 7

2.4.1 Indeks Perkembangan Desa 7

2.4.2 Indeks Kemandirian Desa 10

2.4.3 Teori Tipologi Desa 11

2.5 Penelitian Terdahulu 11

2.6 Kerangka Pemikiran 13

METODE PENELITIAN 16

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 16

3.2 Jenis dan Sumber Data 16

3.3 Metode Pengambilan Sampling 16

3.4 Metode Pengolahan Dan Analisis Data 16

3.5 Analisis Level Makro 17

(14)

3.5.2 Indeks Kemandirian Desa 19

3.6 Indeks Komposit 20

3.7 Principal Component Analysis 21

3.8 Tipologi Desa 21

3.9 Analisis Level Mikro 22

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 25

4.1 Letak dan Administrasi Wilayah Kabupaten Sukabumi 25

4.2 Kondisi Biofisik Wilayah Kabupaten Sukabumi 25

4.3 Kependudukan dan Ketenagakerjaan 27

4.4 Komposisi Tenaga Kerja di Kabupaten Sukabumi 28

4.5 Gambaran Sosial Ekonomi di Kabupaten Sukabumi 29

4.6 Kondisi Transportasi di Kabupaten Sukabumi 31

4.7 Penggunaan Lahan di Kabupaten Sukabumi 31

4.8 Statistika Bencana Kabupaten Sukabumi 32

INDEKS PERKEMBANGAN DESA DI KABUPATEN SUKABUMI 34

5.1 Perkembangan Desa-desa di Kabupaten Sukabumi berdasarkan Indikator Jalan

36 5.2 Perkembangan Desa-desa di Sukabumi Indikator Sarana Pendidikan 36 5.3 Perkembangan Desa-desa di Sukabumi Indikator Kesehatan 38 5.4 Perkembangan Desa-desa di Sukabumi Indikator Pengangguran 39 5.5 Perkembangan Desa-desa di Sukabumi Indikator Kesejahteraan

Masyarakat

41 5.6 Perkembangan Desa-desa di Sukabumi Indikator Akses Pasar 42 5.7 Perkembangan Desa-desa di Sukabumi Indikator Bencana 43 5.8 Perkembangan Desa-desa di Sukabumi Berdasarkan Indikator Air

Minum

44

5.9 Indeks Perkembangan Desa di Kabupaten Sukabumi 45

Ikhtisar Indeks Perkembangan Desa di Kabupaten Sukabumi 50 DESA DALAM PERSPEKTIF KEMANDIRIAN

6.1 Indeks Kemandirian Desa 51

6.2 Indikator Proporsi Kepemilikan Lahan Pertanian 55

6.3 Indikator Keluarga Pertanian 56

6.4 Indikator Pengguna PLN 58

(15)

6.5 Indikator Pengguna PDAM 62

6.6 Indikator Ketersediaan Sumber Air 63

6.7 Ikhtisar Kemandirian Desa 65

TIPOLOGI DESA di KABUPATEN SUKABUMI

7.1 Empat Tipologi Desa 66

7.2 Pola Perkembagan Desa ke Depan 71

7.2 Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Perkembangan dan Kemandirian

72 7.3 Ikhtisar Tipologi Kemandirian dan Perkembangan Desa di Sukabumi 73 PEMBANGUNAN PERDESAAN BERBASIS POTENSI LOKAL

8.1 Basis Pembanguna Desa 74

8.2 Pengembangan Wilayah Desa ke Depan 75

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan 77

Saran 78

DAFTAR PUSTAKA 75

LAMPIRAN 76

(16)

DAFTAR TABEL

1 Klasifikasi Desa Kota Berdasarkan Jumlah Penduduk 5

2 Indikator Potensi Desa 8

3

Penentuan Potensi Umum dan Potensi Perkembangan Desa 9

4 Jenis, Sumber dan Teknik Pengumpulan Data 16

5 Indikator dan klasifikasi dalam penentuan Indeks Perkembangan Desa 18

6 Variabel dan indikator Indeks Kemandirian Desa 19

7

Contoh Perhitungan Skor dalam Teknik Skoring 20

8 Perhitungan Teknik Skoring 20

9 Penghitungan indeks komposit (pembobotan) 21

10 Nilai skoring untuk setiap kategori persepsi dan sikap 23

11 Skor ideal tingkat persepsi dan sikap responden 23

12

Informasi demografi Kabupaten Sukabumi Tahun 2014 27 13 Jumlah tenaga kerja per sektor di Kabupaten Sukabumi tahun 2014 28

14 PDRB Kabupaten Sukabumi per sektor tahun 2014 28

15 Statistik Transportasi Kabupaten Sukabumi 30

16 Statistik tanaman pangan di Kabupaten Sukabumi 31

17

Statistik Bencana di Kabupaten Sukabumi Tahun 2015 32 18 Jumlah Desa Berkembang dan Tertinggal Tiap Wilayah 34 19

Persentase jumlah desa berkembang dan tidak berkembang tip wilayah 34 20 Jumlah Desa Mandiri dan Bergantung di Kabupaten Sukabumi 52 21 Perbandingan Persentase Desa Mandiri dan Desa Bergantung Desa se

Kabupaten Sukabumi

53

(17)

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka Pikir 14

2 Alur Pikir Penelitian 15

3 Diagram Tipologi Desa Berdasarkan Indeks Perkembangan Dan Kemandirian Desa

22

4 Alur Penelitian 24

5 Piramida penduduk Kabupaten Sukabumi tahun 2014 28

6

Peta Kondisi Jalan Desa di Kabupaten Sukabumi 36

7

Peta Sarana Kondisi Pendidikan Tiap Desa di Kabupaten Sukabumi 38 8 Peta Kondisi dan Jangkauan Sarana Kesehatan Kabupaten Sukabumi 38 9 Peta Kondisi Jumlah Pengangguran per Desa di Kabupaten Sukabumi 39 10

Peta Kondisi Kesejahteraan Masyarakat per Desa di Kabupaten Sukabumi 40 11 Peta Akses dan Sarana Pasar tiap-tiap Desa di Kabupaten Sukabumi 42 12

Peta Tingkat Kerawanan Bencana Desa-Desa di Kabupaten Sukabumi 43 13 Peta Sumber Air Layak Minum tiap Desa di Kabupaten Sukabumi 44 14 Peta Tingkat Perkembangan Desa di Kabupaten Sukabumi 50 15 Peta Proporsi Lahan Pertanian Desa-Desa di Kabupaten Sukabumi 55 16 Peta Proporsi Keluarga Pertanian setiap Desa di Kabupaten Sukabumi 57 17

Peta Rumah Tangga Pengguna Non PLN di Kabupaten Sukabumi 59 18 Peta Rumah Tangga Pengguna Kayu Bakar di Kabupaten Sukabumi 61 19 Peta Desa-Desa Pengguna PDAM di Kabupaten Sukabumi 63 20

Peta Sumber Air Desa-Desa di Kabupaten Sukabumi 64

21 Peta Kemandirian Desa 65

22 Peta Tipologi Desa-Desa di Kabupaten Sukabumi 68

23 Persentase Tipologi Desa di Kabupaten Sukabumi berdasarkan indeks kemandirian dan Perkembangan

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Persentase Desa Mandiri dan Bergantung per Kecamatan di Kabupaten Sukabumi

80 2 Persentase Perbandingan Desa Mandiri dan Bergantung tiap Kecamatan 81 3 Hasil Pengolahan Tipologi Desa di Kabupaten Sukabumi 82

4 Kuesioner FGD 94

5 Hasil Pengolahan PCA Perkembangan Desa 100

(19)

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Kebijakan desentralisasi pelaksanaan pemerintahan desa dimulai sejak berlakunya UU Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah memberikan ruang cukup besar untuk segenap komponen masyarakat dalam berperan aktif pada pembangunan desa melalui Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Kedua badan tersebut diharapkan dapat memfasilitasi aspirasi masyarakat desa dalam kegiatan pembangunan desa dengan lebih efektif karena memiliki fungsi sebagai penyeimbang kepala desa dalam menjalankan pemerintahannya.

Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 menjanjikan terciptanya suasana kehidupan yang lebih demokratis, cermin peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan dengan menyesuaikan pada potensi dan keanekaragaman daerah. Dengan menerapkan undang-undang tersebut tuntutan terhadap reformasi dalam bidang pemerintahan khususnya terhadap pemerintahan desa semakin tinggi, karena hal tersebut mengakomodasikan secara signifikan peran dan partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi.

Besarnya persentase penduduk yang berada di daerah perdesaan selayaknya menjadikan desa sebagai bagian penting dalam pembangunan di Indonesia, walaupun secara riil ternyata cerminan sumbangan Desa terhadap pembangunan Indonesia sangatlah kecil (Mubyarto, dalam Tjondronegoro 2007).Pembangunan perdesaan memang terasa lebih inferior jika melihat geliat pembangunan di perkotaan yang akhirnya membuka jurang kesenjangan antara desa-kota menjadi sangat tinggi (Hadi Setia, 2007).

Kondisi kesenjangan desa-kota bisa dilihat juga berdasarkan kondisi ketertinggalan dari Kabupaten/kota yang menunjukkan corak wilayah desa-kota. Jika kita membandingkan IPM provinsi Jawa barat sebagai wilayah desa dan DKI Jakarta sebagai wilayah kota, maka akan terlihat betapa Jawa barat yang mayoritas penduduknya tinggal di perdesaan memiliki IPM yang lebih rendah dibandingkan kesejahteraan penduduk Jakarta.

Kabupaten Sukabumi sebagai salah satu Kabupaten tertinggal di Jawa barat yang mayoritas penduduknya berada di perdesaan (68,9% berdasar data BPS 2014) menghadapi tantangan cukup serius dalam upaya perkembangan wilayahnya.Jumlah penduduk miskin Kabupaten Sukabumi per tahun 2014 adalah sebanyak 235.211 jiwa atau setara dengan 9,7 persen dari total penduduk Sukabumi yang berjumlah 2.405.021 jiwa, ukuran kemiskinan yang digunakan adalah ukuran yang ditetapkan pemerintah Kabupaten Sukabumi yaitu sebesar Rp 240.188/kapita/bulan (ukuran garis kemiskinan terendah ke tiga se Jawa barat).

(20)

sangat terbatas pula. Sarana pendidikan sukabumi termasuk pada taraf rendah, hal ini terlihat dari angka rata-rata lama sekolah penduduk Sukabumi yang hanya berkisar di angka 6,9 tahun, yang artinya rata-rata lama sekolah penduduk sukabumi hanya kurang dari kelas satu SMP (Bappeda Sukabumi 2014).

Potensi alam Kabupaten Sukabumi yang meliputi tambang, pertanian, air minum, pariwisata, dan bahkan geopark (taman Wisata Geologi). Tercatat ada dua Taman Nasional pegunungan di Sukabumi, yaitu Taman Nasional Gunung Gede-Pangrago dan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, kawasan Taman Geologi Ciletuh (Ciletuh Geopark), sedang mengalami tantangan yang besar karena arus investasi industri yang akhir-akhir ini semakin gencar. Alih funsi lahan pertanian menjadi pabrik, penyedotan air oleh banyak perusahaan air minum dalam kemasan (AMDK), penambangan emas oleh para gurandil, galian tipe C yang mengikis pegunungan dan masih banyak lagi kegiatan yang bersifat eksploitatif (Jenis usaha eksploitasi alam yang muncul dalam data Sukabumi dalam angka 2014).

1.2 Perumusan Masalah

Kebijakan pembangunan perdesaan di Indonesia telah melewati berbagai masa dan rezim, dimulai dengan terbitnya UU nomor 22 tahun 1948, dilanjutkan dengan UU nomor 19 tahun 1965, UU Nomor 5 tahun 1979, UU Nomor 22 tahun 1999 dan UU nomor 32 tahun 2004. Rentetan Undang-undang yang dikeluarkan pemerintah sejak zaman orde baru hingga orde reformasi, menekankan tentang pentingnya otonomi desa yang berdasarkan pada kemandirian untuk mencapai kesejahteraan rakyat dalam bentuk pertumbuhan dan perkembangan desa yang diharapkan dapat membantu pertumbuhan secara agregat nasional.

Munculnya UU nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, menjadi bukti kesungguhan pemerintah dalam upaya meningkatkan perkembangan, pertumbuhan dan kemandirian desa, karena UU nomor 6 tahun 2014 memberikan peran yang cukup besar bagi masyarakat desa untuk bersama-sama dengan pemerintah desa melalui Sistem Pembangunan Partisipatif menjalankan pembangunan sebagai tonggak kemajuan dan pertumbuhan Nasional. Visi misi presiden RI periode 2014-2019 menyatakan bahwa desa menjadi poros utama pembangunan nasional sehingga perlu diberikan pendanaan yang optimal (minimal 1,4 milyar/desa) sehingga tujuan pembangunan dapat tercapai.

Berdasarkan isu strategis pembangunan desa dan kawasan perdesaan dalam RPJMN 2015-2019 yang terdiri dari lima isu besar, yaitu tingkat kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat yang masih rendah, ketersedian sarana dan prasarana yang belum memadai, tingkat keberdayaan masyarakat akibat faktor ekonomi, pelaksanaan tatakelola pemerintahan desa yang masih dalam penyesuaian terhadap berlakunya UU Desa Nomor 6 tahun 2014 dan terakhir kualitas lingkungan hidup yang buruk serta sumber pangan yang semakin berkurang.

(21)

perencanaan pembangunan desa dan kawasan perdesaan yang disusun memiliki landasan pijak yang kuat sehingga perencanaan yang disusun benar-benar menjadi bernilai guna, tepat serta efisien sesuai amanat Undang-undang desa nomor 6 tahun 2014.

Permendesa nomor 5 tahun 2015 menekankan paling tidak ada beberapa prioritas strategis pembangunan desa yaitu peningkatan kesejahteraan dan kualitas kehidupan masyarakat desa seta pengentasan kemiskinan melalui upaya pemenuhan kebutuhan dasar yang meliputi kedaulatan pangan, kedaulatan energi, penyediaan dan pengelolaan air bersih dan kemandirian ekonomi.

Status Kabupaten Sukabumi sebagai salah satu daerah tertinggal di Indonesia sejatinya memang sudah dihapuskan sesuai dengan surat keputusan Mentri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi tahun 2015, namun demikian berdasarkan Podes Sukabumi tahun 2014, tercatat masih ada 102 desa tertinggal dan 9 desa sangat tertinggal. Jumlah tersebut setara dengan 29,13 persen dari keseluruhan 381 desa yang ada di Kabupaten Sukabumi, jumlah yang masih sangat besar dibandingkan rata-rata jumlah desa tertinggal untuk kawasan Jawa-Bali yang berjumlah 2,56 persen (data Indeks Desa Membangun 2014 yang dikeluarkan Bappeda Kabupaten Sukabumi).

Secara tradisional Kabupaten terbagi menjadi dua wilayah yang dipisahkan oleh Sungai Cimandiri, wilayah selatan Sungai Cimandiri disebut sebagai Sukabumi selatan dan sebelahnya disebut Sukabumi utara. Paradigma yang berkembang di masyarakat maupun pemerintah daerah, wilayah selatan adalah wilayah yang tidak berkembang, tidak sejahtera dan bergantung pada pihak luar. Sedangkan wilayah utara identik dengan kemajuan, kesejahteraan dan kelimpahan.

Kajian yang dilakukan ini merupakan sebuah upaya untuk membantu penyusunan perencanaan pembangunan desa terutama di Kabupaten sukabumi yang menggambarkan tipologi desa berdasarkan indeks perkembangan dan indeks kemadirian desa. Pada praktiknya nanti, kajian ini diharapkan dapat menyajikan gambaran tipologi desa berdasarkan pada indeks kemandirian desa dan perkembangan desa serta faktor-faktor yang menjadi pembeda kesenjangan perkembangan antar desa di Kabupaten Sukabumi.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk:

1. Mengukur dan menggambarkan tingkat perkembangan desa 2. Mengukur tingkat kemandirian desa

3. Memetakan tipologi desa dan mengkaji faktor-faktor pendorong perkembangan dan kemandirian desa.

1.4 Manfaat Penelitian

(22)

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

(23)

2 DAFTAR PUSTAKA

2.1 Konsep Perdesaan

Banyak definisi tentang desa yang telah dikemukan oleh para ahli.Hal ini dimaknai bahwa desa bukan hanya sekedar sebuah entitas unit administratif atau sebagai pemukiman penduduk. Desa juga sebagai basis suatu sumber daya ekonomi, basis komunitas yang mempunyai keberagaman nilai-nilai lokal dan ikatan-ikatan sosial, maupun basis kepemerintahan yang mengatur dan mengurus sumber daya dan komunitas tersebut.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa desa adalah (1) kesatuan wilayah yang dihuni oleh sejumlah keluarga yang mempunyai sistem pemerintahan sendiri (dikepalai oleh seorang kepala desa), (2) kelompok rumah di luar kota yang merupakan kesatuan, (3) udik atau dusun (dalam arti daerah pelaman sebagai lawan kota), (4) tanah; tempat; daerah. Selanjutnya menurut Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang dimaksud

dengan desa adalah: “kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas

wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Pengertian desa dalam perspektif demografi, Yunus (2005) mengklasifikasikan menjadi beberapa kelas.Berikut klasifikasi desa-kota berdasarkan jumlah penduduk disajikan dalam tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi Desa Kota Berdasarkan Jumlah Penduduk No. Klasifikasi Desa

Kota

Istilah lain Ukuran jumlah penduduk (jiwa)

1 Hamlet Dusun 16≤150

2 Village Desa 150≤1.000

3 Town Kota sangat kecil 1000≤2.500

4 Small city Kota kecil 2500≤25.000

5 Medium sized city Kota menengah 25.000≤100.000

6 Large city Kota besar 100.000≤800.000

7 Metropolis Metropolitan 800.000≤8.000.000

8 Megapolis Megapolitan 8.000.000≤25.000.000

9 ecumenopolis Ekumenopolis (Mega Urban)

>25.000.000 Sumber: Yunus (2005) dalam Muta”ali

Definisi yang umum secara formal tentang desa adalah seperti yang dikeluarkan oleh beberapa institusi pemerintahan, misalnya menurut Badan Pusat Statistik (BPS). BPS memberi definisi desa sebagai berikut:

(24)

satuan wilayah yang diempati oleh sejumlah penduduk yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah camat, dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri. Ciri utama kelurahan adalah kepala kelurahan (lurah) sebagai pegawai negeri yang tidak dipilih oleh masyarakat setempat atau rakyat”.

2.2 Teori Perkembangan Desa 2.2.1 Konsep Wilayah

Terminologi wilayah (region) hingga kini belum ada kesepakatan diantara para pakar ekonomi, pembangunan, geografi maupun bidang lainnya (Richardson, 1975; Alkadri 2002). Sebagian ahli mendefinisikan wilayah merujuk pada tipe-tipe, fungsi wilayah atau kawasan dan korelasi unsur-unsur fisik dan non fisik dalam pembentukan suatu wilayah. Namun demikian, secara umum definisi wilayah dapat diartikan sebagai suatu unit geografis yang membentuk suatu kesatuan, Pengertian unit geografis merujuk pada ruang (spatial) yang mengandung aspek fisik dan non fisik, seperti ekonomi, sosial, budaya, politik, lingkungan, biologi dan pendidikan. Dalam konteks pembangunan, penerapan ilmu kewilayahan berpijak pada empat pilar, yaitu: (1) sumber daya alam, (2) lokasi, (3) ekonomi dan (4) sosial-budaya (socio-culture).

2.2.2 Ketimpangan Pembangunan Wilayah

Secara teoritik, polemik pemilihan antara strategi pertumbuhan dan pemerataan relatif telah diselesaikan saat lahirnya The Second Fundamental Theorm of Welfare Economics. Sementara itu The First Fundamental Theorm of Welfare Economics sendiri adalah konsep temuan Simon Kuznets (1966): kurva U-terbalik yang menyatakan bahwa 8 bagi negara yang pendapatannya rendah bertumbuhnya perekonomian harus mengorbankan pemerataan (trade off antara pertumbuhan dan pemerataan). Hal ini telah memberi legitimasi dominasi peranan pemerintah untuk memusatkan pengalokasian sumberdaya pada sektor-sektor atau wilayah-wilayah yang berpotensi besar dalam menyumbang pada pertumbuhan ekonomi.Keadaan ini telah menyebabkan terjadinya net transfer sumberdaya daerah ke kawasan pusat kekuasaan secara besar-besaran maupun melalui ekspor kepada negara-negara maju. Implikasi dari penekanan pertumbuhan ekonomi adalah polarisasi spatial (geografis) alokasi sumberdaya (capital investment) antar wilayah melalui aglomerasi industri di tempat-tempat yang paling kompetitif (kawasan kota-kota besar).Program bantuan pembangunan daerah tidak mampu mengurangi ketimpangan yang terjadi.

2.3 Teori Kemandirian Desa Teori kemandirian (self-reliance)

(25)

1. Mata pencaharian penduduk sebagian besar di sektor jasa dan perdagangan atau lebih dari 55 persen penduduk bekerja di sektor tersier.

2. Produksi desa tinggi dengan penghasilan usaha di atas 100 juta rupiah setiap tahun.

3. Adat istiadat tidak mengikat lagi meskipun sebagian masyarakat masih menggunakannya.

4. Kelembagaan formal dan informal telah berjalan sesuai fungsinya dan telah ada 7-9 lembaga yang hidup.

5. Keterampilan masyarakat dan pendidikannya pada tingkat 60 persen telah lulus SD, sekolah lanjutan bahkan ada beberapa yang telah lulus perguruan tinggi.

6. Fasilitas dan prasarana mulai lengkap dan baik

7. Penduduk sudah memiliki inisiatif sendiri melalui swadaya dan gotong royong dalam pembangunan desa.

2.4 Teori Indeks/Indikator Perkembangan

2.4.1 Indeks Perkembangan Desa

Hasil akhir proses pembangunan wilayah perdesaan dapat dinilai dengan cara menganalisis seberapa jauh desa mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Semakin tinggi dan cepat perkembangan desa, semakin dekat tujuan pembangunan tercapai. Di pihak lain tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan wilayah berhubungan erat dengan potensi yang dimiliki dan intervensi pembangunan yang dilakukan. Oleh karena itu, menilai perkembangan wilayah desa sama halnya menlai potensi desa, semakin tinggi potensi desa maka semakin besar tingkat perkembangan wilayahnya.

Guna mengetahui dinamika perkembangan wilayah perdesaan, baik dalam pengertian desa maupun kelurahan, diperlukan basis data (profil atau monografi) desa dan kelurahan yang selanjutnya dianalisis menjadi potensi desa. Berdasarkan potensi desa tersebut dapat dilakukan penyusunan tipologi desa atau kelurahan dan kajian tentang peluang pengembangan potensi, dan langkah selanjutnya adalah melakukan pendalaman untuk menentukan tingkat perkembangan desa, yang dapat digunakan sebagai evaluasi hasil-hasil pembangunan.

2.4.2 Potensi Desa atau Kelurahan

(26)

Tabel 2. Indikator Potensi Desa

No. Potensi Desa Indikator

1 Sumberdaya alam a. Potensi umum meliputi batas dan luas wilayah, iklim, jenis dan kesuburan tanah, orbitasi, bentangan wilayah dan letak;

2 Sumberdaya manusia a. Jumlah; b. Usia;

h. Cacat fisik dan mental; dan i. Tenaga kerja.

3 Sumberdaya kelembagaan a. Lembaga pemerintah desa dan kelurahan; b. Lembaga kemasyarakatan desa dan kelurahan; c. Lembaga sosial kemasyarakatan; 4 Sarana dan prasarana a. Transportasi;

b. Informasi dan komunikasi; c. Prasarana air bersih dan sanitasi; d. Prasarana dan kondisi irigasi; e. Prasarana dan saana pemerintahan;

f. Prasarana dan sarana lembaga kemasyarakatan; g. Prasarana peribadatan;

h. Prasarana olah raga;

i. Prasarana dan sarana olah raga; j. Prasarana dan sarana pendidikan; k. Prasarana dan sarana kesehatan;

l. Prasarana dan sarana energi dan penerangan; dan m. Prasarana dan sarana hiburan dan wisata

Sumber: Peraturan Menteri Dalam Negeri, Nomor 12 Tahun 2007

(27)

perkembangan desa dapat disajikan dalam bentuk tabel seperti dalam tabel 3. berikut ini:

Tabel 3. Penentuan Potensi Umum dan Potensi Perkembangan Desa No. Klasifikasi

Potensi Umum

Kriteria*) No. Klasifikasi Potensi Perkembangan yang digunakan untuk menetukannya adalah metode skoring.

1. Proses Pengukuran Tingkat Perkembangan Desa

Tingkat perkembangan desa dan kelurahan adalah status tertentu dari capaian hasil kegiatan pembangunan yang dapat mencerminkan tingkat kemajuan dan/atau keberhasilan masyarakat, pemerintahan desa dan kelurahan, serta pemerintahan daerah dalam melaksanakan pembangunan di desa dan kelurahan. Secara umum, untuk mengukur tingkat perkembangan desa dan kelurahan dapat mengikuti langkah-langkah berikut (Muta’ali, 2014):

a. Menentukan tujuan pengukuran, b. Menetapkan kriteria atau indikator,

c. Menetapkan asumsi dari kriteria atau indikator, d. Pengumpulan data,

e. Teknis analisis,

f. Interpretasi dan penyajian hasil. 2.4.3 Indeks Kemandirian Desa

Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dituliskan bahwa pembentukan pemerintahan ialah untuk menciptakan kesejahteraan umum. Selanjutnya, dalam UU No.6 Tahun 2014 tentang desa disebutkan tujuan pembangunan adalah mengejar kesejahteraan masyarakat desa dan tercakup dalam turunannya di Peraturan Pemerintah (PP) No.43 Tahun 2014 dan PP No.60 Tahun 2014. Metode pengukuran indikator terus mengalami perbaikan dikarenakan terjadinya pergeseran paradigma pembangunan dari Production Center Oriented

(orientasi produksi) ke People Center Oriented (orientasi kesejahteran masyarakat). Konsekuensi logisnya adalah diperlukan indikator-indikator baru yang lebih akurat mengukur penigkatan kesejahteraan masyarakat.

(28)

pembangunan kemudian mendapatkan manfaatnya (outcome) dan dalam jangka panjang manfaat tersebut dapat memberikan dampak yang diinginkan pembangunan (impact).

Indeks kemandirian Desa dapat disusun dalam rentang 0,00 hingga 1,00. Kategorisasi indeks diharapkan mampu menampung keragaman desa-desa dari Sabang-Merauke. Maka dari itu, kelas indeks perlu disusun lebih banyak. Dalam rentang indeks tersebut disusun kategori indeks sebagai berikut:

a. Tinggi ≥ 0,80 – 1,00 mengindikasikan “Sangat Mandiri” b. Sedang ≥ 0,60 – 0,80 mengindikasikan “Agak Mandiri” c. Rendah ≥ 0,40 – 0,60 mengindikasikan “Mandiri”

d. Sangat rendah ≥ 0,20 0,40 mengindikasikan “KurangMandiri” e. Terlalu rendah ≥ 0,00 – 0,20 mengindikasikan “Tidak Mandiri”.

Desain IKD telah sesuai dengan hasil kajian teoretis, kebijakan dan instrumen pengumpulan data yang biasa dilakukan di Indonesia.Akan tetapi terdapat kekurangan yakni ketersediaan data. Dengan menyadari kelemahan ketersediaan data, maka dilakukan proksi IKD. Hal ini dilakukan dengan langkah, pertama, tetap menggunakan konsep, knstruk dan variabel IKD. Kedua, menggunakan semirip mungkin indikator sebagai penyusunan variabel tersebut. Ketiga, menggunakan gugus perhitungan skor yang sama dengan konsep awal IKD. Keempat, menggunakan kelas data sesuai konsep awal IKD. Kelima, melakukan uji reabilitas dan korelasi untuk mengoreksi keterkaitan dan arah hubungan antar indikator.

2.5 Teori Tipologi Desa

Peraturan pemerintah nomor 72 tahun 2005 menyebutkan bahwa pembentukan desa harus memenuhi syarat diantaranya jumlah penduduk, luas wilayah, bagian wilayah kerja, perangkat, dan sarana serta prasarana pemerintahan. Karakteristik penduduk beserta tata kehidupan dan wilayah desa menjadi unsur utama penciri desa.Tipologi wilayah perdesaan adalah kegiatan pengelompokan desa-desa berdasarkan ciri-ciri wilayah dan masyarakatnya untuk mencapai tujuan tertentu. Peraturan dalam negeri nomor 12 tahun 2007 tentang pedoman penyusunan dan pendayagunaan data profil desa dan kelurahan mendefinisikan tipologi desa/kelurahan adalah kondisi spesifik keunggulan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan potensi kelembagaan serta potensi sarana dan prasarana dalam menentukan arah pengembangan dan pembinaan masyarakat berdasarkan karakteristik keunggulan komparatif dan

kompetitif dari setiap desa dan kelurahan (Muta’ali, 2014)

(29)

Indikatro lainnya seperti pertumbuhan ekonomi, produksi barang dan jas, kemandirian desa, ketersediaan sarana prasarana serta tingkat perkembangan kelembagaan desa. Berdasarkan keragaman indikator-indikator tersebut dan mempertimbangkan variasi karakteristiknya, maka desa-desa di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi beberapa bagian dengan mendasarkan kesamaan lingkungan fisik, sosial budaya masyarakat, posis geografis terhadap kota, spasial, administrasi bahkan mendasarkan pada tingkat perkembangan desa.

2.6 Penelitian Terdahulu

Menurut Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah yang dimaksud dengan desa adalah: “kesatuan masyarakat hukum yang

memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.”BPS memberi definisi desa sebagai berikut:“Desa adalah satuan wilayah yang ditempati sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat, termasuk didalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah dan langsung di bawah camat, serta berhak menyelenggarakan rumah tangga sendiri dalam ikatan negara kesatuan Republik Indonesia. Ciri utama desa adalah kepala desanya dipilih oleh masyarakat

setempat”.Selanjutnya, kelurahan adalah satuan wilayah yang ditempati oleh

sejumlah penduduk yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah camat, dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri. Ciri utama kelurahan adalah kepala kelurahan (lurah) sebagai pegawai negeri yang tidak dipilih oleh masyarakat setempat atau rakyat”.

Sajogyo (1984) membuat peta Kabupaten dan kecamatan yang perlu memperoleh prioritas dalam menanggulangi masalah rawan konsumsi pangan.Pemetaan tersebut didasarkan pada frekuensi liputan berita rawan pangan yang dimuat oleh media cetak. Departemen dalam negeri, pada tahun 1978 juga melakukan penelitian untuk menentukan cara klasifikasi desa-desa menjadi desa Swadaya, Swakarya dan Desa Swasembada. Selain itu, Sajogyo, dkk (1992) dalam Muta’ali (2014) melalui metode tipologi melakukan studi pengidentifikasian wilayah miskin dengan memberdakan anatar daerah tertinggal dan maju. Tipologi tersebut dibuat dengan menganalogikan bahwa kemiskinan merupakan fungsi dari ketertinggalan perkembangan sektoral seperti pendidikan, sarana ekonomi, media massa, kesehatan, industri, pertanian, jasa dan lainnya.

Agusta (2014) mengevaluasi di tingkat nasional menggunakan dimensi kemampuan sendiri, tanggungjawab bersama dan keberlanjutan, nilai indeks kemandirian desa mencapai 0,54 atau tergolong “rendah”. Hal ini mengindikasikan hasil pembangunan masih kurang meningkatkan potensi pengembangan, kurang menguatkan partisipasi masyarakat, kurang memberikan manfaat yang diinginkan. Secara rinci hanya sebanyak 107 desa atau 0,14 persen yang tergolong tinggi. Sebanyak 24.604 desa (31,56 persen) tergolong sedang. Dan ada 46.031 desa (59,05 persen) yang tergolong rendah dan 7.213 desa (9,25 persen) tergolong sangat rendah.

(30)

Kabupaten di Provinsi Jawa Barat berdasarkan data potensi desa. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa Kabupaten-Kabupaten di Provinsi Jawa Barat dapat diklasifikasikan berdasarkan dua faktor, yakni faktor pelayanan dan faktor pendidikan. Berdasarkan hasil analisis faktor unit kecamatan, dilakukan suatu klasifikasi kecamatan menjadi empat tipologi. Tipologi 1 adalah kecamatan dengan tingkat pelayanan dan pendidikan rendah. Tipologi 2 adalah kecamatan dengan tingkat pelayanan rendah, pendidikan baik. Tipologi 3 adalah kecamatan dengan tingkat pelayanan baik, pendidikan rendah. Dan tipologi 4 adalah kecamatan dengan tingkat pelayanan dan pendidikan baik.

Evianto Evan (2010) melakukan analisis disparitas IPM di Kabupaten Sukabumi dan faktor-faktor yang mempengaruhi capaiannya model regresi panel tahun 2003-2007. Penelitian tersebut menemukan fakta bahwa wilayah yang maju dan tumbuh cepat (high growth and high income) didominasi oleh kecamatan yang ada di utara Kabupaten Sukabumi yaitu Cisaat, Cibadak, Cicurug, Cidahu, Sukaraja, dan hanya ada dua dari wilayah selatan yaitu Pelabuhanratu dan Surade. Lima kecamatan wilayah utara menguasai PDRB Kabupaten Sukabumi sebesar 37,24 persen sedangkan sisanya 62,76 persen dibagi merata ke 42 kecamatan lainya.

2.7 Kerangka Pemikiran

Struktur hirarki pemerintahan di Indonesia terdiri dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, Pemerintah Kecamatan, dan terakhir Pemerintah Desa sebagai satuan pemerintahan terdepan dan terkecil. Dari hirarki yang ada, dapat ditarik gambaran bahwa tingkat perkembangan dan kemandirian level pemerintahan, akan ditentukan oleh baik tidaknya perkembangan dan kemandirian level pemerintahan dibawahnya. Artinya, semakin baik dan berkembang suatu desa, maka semakin berkembang kecamatannya, dan kemudian demikian seterusnya.

(31)

Gambar 1. Kerangka Pikir

2.8 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka pikir dan teori-teori serta acuan yang telah disebutkan, maka dapat diambil kesimpulan sementara bahwa terdapat keragaman tipologi desa berdasarkan indeks kemandirian dan tingkat perkembangan desa dengan dugaan sebagai berikut:

1. Diduga ada desa yang mandiri dan berkembang (Tipologi Satu) jika memenuhi kriteria mendapatkan skor yang tinggi (> 80 persen) baik dalam skoring kemandirian maupun perkembangannya.

2. Diduga ada desa yang mandiri tapi tidak berkembang (Tipologi dua) jika memenuhi kriteria sebagai desa yang mendapatkan skor > 80 di bidang kemandirian dan mendapatkan skor < 70 pada bidang perkembangan desa. 3. Diduga ada desa yang tidak mandiri tapi berkembang (Tipologi tiga) jika

memenuhi kriteria mendapatkan skor rendah (kurang dari 70 persen) dalam kemandirian dan mendapatkan skor tinggi dalam perkembangan (skor >80). 4. Diduga ada desa yang tidak mandiri dan tidak berkembang (Tipologi empat)

yang dalam skoring indeks kemandirian dan perkembangannya memiliki nilai yang rendah (skor < 50).

Perkembangan Desa 1. Berkembang 2.Tidak berkembang

Kabupaten

Kecamatan

Desa

Kemandirian Desa 1. Mandiri 2. Tidak mandiri

Tipologi Desa

Tipologi I (+) Mandiri (+)Berkembang

Tipologi II (-) Tidak Mandiri (+) Berkembang

Tipologi III (-) Tidak Mandiri (-) Tidak Berkembang

Tipologi IV (+) Mandiri

(32)

Level Makro Level Mikro

INPUT

Identifikasi wilayah studi Penentuan wilayah studi

Tujuan dan sasaran

Ruang lingkup wilayah studi

Indeks Perkembangan Desa

Kabupaten Sukabumi Satu desa keterwakilan tiap tipologi

Ruang lingkup materi

- Pangan - Energi - Air

Indeks Kemandirian Desa

- Sosial - Ekonomi - Ekologi

Pengumpulan data

Data sekunder Data primer

literatur

instansi kuesioner

Hasil observasi dan foto

Jurnal, Artikel, peta

BAPPEDA

BPS (PODES/SUSENAS) Kelurahan (monografi desa/profil desa)

OUTPUT

Pengolahan data

Analisis data

Hasil dan Pembahasan CCCCCCCCCCCCCCCCC

Kesimpulan dan Saran CCCCCCCCCCCCCCCCC PROCES

(33)

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada periode Februari-Maret 2016 selama dua bulan penuh bertempat di Kabupaten Sukabumi (untuk level makro) dan empat desa sesuai tipologi yang sudah ditetapkan (level mikro) yang ditentukan secara sengaja (purposive).

3.2 Jenis dan Sumber Data

Studi ini menggunakan dua basis data yaitu data primer yang bersumber dari hasil wawancara menggunakan daftar pertanyaan yang ditentukan terhadap responden dari unsur pemerintahan dan masyarakat, serta bersumber dari data sekunder yang dirilis oleh BPS,Bappenas/Bappeda serta institusi-institusi lainnya. Berikut disajikan jenis, sumber dan teknik pengumpulan data untuk penelitian ini dalam tabel 4.

Tabel 4. Jenis, Sumber dan Teknik Pengumpulan Data

No Jenis Data Sumber Data Teknik Pengumpulan

Data Data Primer

1 Kondisi infrastruktur desa Responden/Informan Wawancara 2 Kondisi ekologi desa Responden/Informan Wawancara 3 Kondisi ekonomi Responden/Informan Wawancara 4 Kondisi demografi Responden/Informan Wawancara 5 Kondisi sosial desa Responden/Informan Wawancara

Data Sekunder

1 Gambaran Umum Kabupaten/kota BPS Studi data sekunder

2 Potensi Desa BPS Studi data sekunder

3 Monografi Desa Desa/Kelurahan Studi data sekunder

4 Publikasi statistik BPS Studi data sekunder

3.3 Metode Pengambilan Sampling

Penentuan sumber data/responden dari pihak pemangku kepentingan desa dipilih secara sengaja dan ditentukan dalam pertimbangan tertentu (purposive sampling)baik yang berasal dari struktur pemerintahan maupun masyarakat yang memiliki pengetahuan tentang desa dan perencanaan pembangunan desa ditentukan sebanyak masing-masing lima responden (baik masyarakat maupun pemerintah) pada setiap tipologi desa, sehingga total responden yang diwawancarai adalah sebanyak 12 orang.

3.4 Metode Pengolahan Dan Analisis Data

(34)

menampilkan pengelompokkan desa dan dapat diurutkan berdasarkan tingkat perkembangan serta indeks kemandiriannya.

Interpretasi data hasil olahan menjadi bagian yang sangat signifikan karena akan menjadi penentu ketepatan analisa atas tingkat perkembangan dan kemandirian desa. Penginterpretasian data dilakukan melalui tiga cara, yaitu deskriptif, komparatif (membandingkan antar desa dan antar kriteria), serta analisis keterkaitan dan penetapan faktor penentu perkembangan dan kemandirian desa yang berfungsi sebagai basis data dalam merumuskan strategi rekomendasi dengan bentuk penyajian berupa grafis, tabulasi maupun spasial dengan penyusunan peta sesuai tipologi.

3.5 Analisis Level Makro

Pengukuran tingkat perkembangan dan indeks kemandirian desa dalam kajian ini berdasarkan pada hasil publikasi BPS melalui Data Potensi desa tahun 2014 dengan i=386 populasi desa se Kabupaten Sukabumi.

3.5.1 Tingkat Perkembangan Desa

Berdasarkan pada definisi Kementrian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, daerah tertinggal adalah sebuah daerah yang perkembangannya berada pada titik dibawah angka rataan perkembangan nasional.Setiap indikator memiliki skor antara satu sampai tiga dengan gambaran skor tinggi untuk tingkat perkembangan tinggi, dan skor rendah untuk perkembangan yang rendah pula. Dari setiap skor indikator tersebut dikelompokkan ke dalam variabel sehingga nantinya akan menghasilkan skor variabel. Hasil dari seluruh total skor variabel selanjutnya dirumuskan menjadi indeks komposit. Berikut indikator yang digunakan oleh BPS.Yang sudah diolah. Asumsi-asumsi yang digunakan:

Berdasarkan indikator-indikator yang dipergunakan dalam studi ini, maka dapat diambil asumsi-asumsi sebagai berikut:

1. Dimensi Sosial dalam Indeks Perkembangan Desa memiliki tiga indikator yang dinilai, yaitu Jalan Desa, Fasilitas Pendidikan dan Fasilitas Kesehatan. Indikator ini dipilih berdasarkan pada tingginya pengaruh tiga indikator tersebut terhadap dimensi sosial yang akan dikaji, hal ini diperkuat dengan indikator perkembangan desa yang tercantum dalam

Sustainabilty Development Goals (SDGs)

2. Dimensi Ekonomi menggunakan indikator Akses ke Pasar dan Jumlah Masyarakat diatas Pra Sejahtera karena dua indikator ini merupakan gambaran riil kondisi ekonomi masyarakat,terutama indikator jumlah masyarakat diatas pra sejahtera merupakan indikator utama menurut BPS yang menandakan naik-tidaknya perekonomian sebuah wilayah.

3. Dimensi Ekologi memasukkan indikator Persentase jumlah air yang layak konsumsi dan frekuensi bencana karena dua faktor tersebut merupakan faktor yang paling dominan dalam mengukur kualitas ekologi serta kerentanan kondisi perekonomian akibat kejadian tidak terduga.

4. Dimensi Pangan dalam Indeks kemadirian menyertakan indikator Konsumsi Pangan, Luas lahan pertanian/luas wilayah,

(35)

6. Dimensi Air menggunakan indikator

Dalam tabel 5 dibawah ini dapat dilihat beberapa indikator dan klasifikasi dalam penentuan Indeks perkembangan desa di Kabupaten Sukabumi, yang telah diformulasi dan ditentukan berdasarkan beberapa dimensi perkembangan.

Tabel 5. Indikator dan klasifikasi dalam penentuan Indeks Perkembangan Desa No. Dimensi Indikator Satuan Relatif Klasifikasi Skoring 1 Sosial Jalan utama desa Kondisi Jalan Aspal,

Diperkeras, dan Tanah

Aspal 3

Diperkeras 2

Tanah 1

Fasilitas pendidikan Keberadaan Sekolah dari tingkat dasar hingga tingkat atas

SD-SMA 3

SD-SMP 2

SD saja 1

Fasilitas kesehatan Keberadaan pelayanan kesehatan (Poliklinik,

2 Ekonomi Akses ke pasar Ketersediaan sarana angkutan (Mudah, Cukup mudah, Sulit)

Mudah 3

Cukup mudah 2

Sukar 1

Jumlah Pengangguran Persentase Penganguran terhadap Penduduk

Sumber: skoring yang dilakukan BPS dan diolah (Muta’ali, 2014) Asumsi-asumsi yang digunakan:

Dimensi Sosial: pada dimensi ini asumsi yang dipakai untuk menentukan klasifikasi dan scoring didasarkan pada batasan/ukuran yang dikeluarkan oleh BPS Kabupaten Sukabumi tahun 2015 (data tahun 2014).

Dimensi Ekonomi: asumsi yang dipakai untuk menentukan klasifikasi angka dasar pengangguran, dan Persentase KK pra KS berdasarkan pada jumlah pengangguran terbuka di ka bupaten Sukabumi dan jumlah KK pra KS di Kabupaten Sukabumi per tahun 2014 (Sukabumi dalam angka 2015)

Dimensi Ekologi: Asumsi yang digunakan dalam pengklasifikasian dan scoring pada dimensi ini menggunakan patiokan pada data sumber mata air dan data bencana yang terangkum dalam Sukabumi dalam angka 2015.

3.5.3 Indeks Kemandirian Desa

(36)

desa yang terbagi kedalam tiga dimensi kemandirian yaitu dimensi pangan, energi dan air.

Tabel 6. Variabel dan indikator Indeks Kemandirian Desa

No. Dimensi Indikator Satuan Relatif Klasifikasi Scoring

1 Pangan

(37)

Asumsi yang digunakan:

Dimensi Pangan: pada dimensi ini, asumsi yang dipakai adalah kondisi desa di Kabupaten Sukabumi yang sesuai data Bappeda rata-rata memiliki lahan pertanian seluas 20 persen dari total luas desanya sehingga angka 20 persen menjadi angka dasarnya, kemudian pada indikator jumlah KK yang bekerja di Pertanian, jumlah produksi disbanding jumlah penduduk serta penerima Rastra/Raskin juga menggunakan angka dasar yang diolah dari data BPS/Bappeda.

Dimensi Energi: asumsi yang digunakan dalam dimensi ini yang terdiri dari indikator pengguna kayu bakar, Listrik Non PLN dan Minyak didasarkan pada angka dasar dalam Sukabumi dalam angka 2015 yang diolah.

Dimensi Air: pada dimensi ini asumsi yang digunkan untuk menentukan angka dasar masing-masing indikatornya menggunakan data BPS dengan pengolah yang dianggap diperlukan.

Skoring

Indeks tertimbang (skoring) operasinya dilakukan dengan cara memberi masing-masing indikator nilai skor, sehingga masing-masing indikator yang memiliki satuan yang berbeda menjadi satuan yang sama. Dalam tabel tujuh, dapat dilihat bahwa pemberian skor pada setiap indikator dilakukan dengan secara relatif berdasar pada sebaran data yang ada, dari nilai terendah sampai nilai tertinggi atau dengan memakai kriteria nilai rata-rata (r) dan standart deviasi (sd). Tabel 7. Contoh Perhitungan Skor dalam Teknik Skoring

Skor 3= > r+1/2 sd Skor 2= (r+1/2 sd)-(< r-1/2 sd) Skor 1= < r-1/2 sd

Sumber: Muta’ali, 2014

Jumlah rentang skor menyesuaikan dengan tujuan penelitian.Prinsip dalam pemberian skor mendasarkan pada analisa logis dan pertimbangan tertentu. Selanjutnya indikator-indikator yang telah memiliki satuan sama dijumlahkan sehingga diperoleh indeks yang dapat diklasifikasikan menjadi perkembangan tinggi dan rendah atau kalisifikasi lain sesuai dengan tujuan. Merujuk pada tabel delapan, dapat kita lihat bahwa indeks yang rendah cenderung mengarah pada daerah tertinggal atau bergantung.

Tabel 8.Perhitungan Teknik Skoring

Objek/Unit Analisis Indikator Hasil standarisasi Indeks Kelas (1) (2) (...) (n) (1) (2) (...) (n)

Desa-1 X1 X2 x... Xn Tinggi

Desa-2 X1 X2 x... Xn Tinggi

.... X1 X2 x... Xn Rendah

Desa-n X1 X2 x... Xn Sedang

Maksimal Minimal

Interval

(38)

3.6 Indeks Komposit

Indeks komposit adalah menghitung indeks gabungan yang berupa nilai indikator-indikator yang telah terstandarisasi (memiliki satuan yang sama). Asumsi penyusunan indeks komposit tersebut menganggap bahwa masing-masing indikator memiliki bobot yang sama, padahal dalam kenyataannya terdapat beberapa indikator yang memiliki bobot tinggi sebagai penyumbang besar dalam penyusunan indeks tersebut. Oleh karena itu, diperlukan penetapan pembobotan masing-masing indikator.Penetapan bobot masing-masing indikator dapat ditentukan dengan metode statistik seperti analisis faktor. Formula yang digunakan adalah:

Keterangan:

= indikator-indikator = bobot atau koefisien indikator Tabel 9. Penghitungan indeks komposit (pembobotan)

Objek/unit analisis

Keterangan: asumsi semakin tinggi nilai indikator, semakin tinggi potensi wilayah. Kelas menunjukkan nilai rendah = wilayah tertinggal/bergantung.

3.7 Principal Component Analisis/PCA

Semua variabel-variabel dasar baik karakteristik ekonomi maupun social yang digunakan dalam menganalisis tipologi wilayah didasarkan pada karakteristik khas yang dimilikinya. Dalam proses analisis dilakukan seleksi variabel berdasarkan pertimbangan kelengkapan data dan kemampuan variabel tersebut dalam menjelaskan keragaman karakteristik wilayah. Seleksi variabel atau peubah dilakukan melalui teknik analisis komponen utama (Principal Component Analysis/PCA).Melalui analisis ini dapat dikelompokkan peubah-peubah penting untuk menduga fenomena, sekaligus memahami struktur dan melihat hubungan antar variabel di wilayah studi. Alat bantu yang digunakan berupa perangkat lunak statistik seperti Microssoft Excell 2016, SPSS 16 atau

Stata 12.

3.8 Tipologi desa

(39)

mempunyai nilai yang berbeda. Masing-masing kuadran memberikan tipologi yang berbeda.Karakteristik dari keempat kuadran tersebut sebagai berikut.

Tipologi I : Pada kuadran ini berisi desa-desa yang indeks kemandiriannya berada pada kategori mandiri dan indeks perkembangan desa berada dikategori desa berkembang {(+),(+)}.

Tipologi II : Pada kuadran ini berisi desa-desa yang indeks kemandiriannya berada pada kategori bergantung dan indeks perkembangan desa berada dikategori desa berkembang {(-),(+)}.

Tipologi III : Pada kuadran ini berisi desa-desa yang indeks kemandiriannya berada pada kategori bergantung dan indeks perkembangan desa berada dikategori desa tertinggal {(-),(-)}.

Tipologi IV : Pada kuadran ini berisi desa-desa yang indeks kemandiriannya berada pada kategori mandiri dan indeks perkembangan desa berada dikategori desa tertinggal {(+),(-)}.

Keterangan:

Indeks Perkembangan Desa Indeks Kemandirian Desa

Gambar 3. Diagram tipologi desa berdasarkan indeks perkembangan dan kemandirian desa

3.9 Analisis pada Level Mikro

Pada level mikro diambil empat desa yang mewakili tiap tipologi untuk melihat tingkat perkembangan dan kemandirian desa. Secara umum, pada analisis level mikro menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif menggunakan instrument kuesioner untuk mngukur tingkat persepsi responden terhadap perkembangan dan kemandirian desa. Sedang pendekatan kualitatif dilakukan dengan melakukan observasi langsung dan diskusi kelompok terarah (focus group discussion).

Pengolahan data dilakukan dalam bentuk tabulasi dan kemudian dianalisis secara deskriptif untuk menggambarkan tingkat persepsi masyarakat.Pertanyaan dalam kuesioner terbagi menjadi dua bagian, yakni bagian pertanyaan tertutup dan bagian pertanyaan terbuka. Pertanyaan tertutup memberikan beberapa pilihan jawaban bagi responden untuk mendapatkan data identitas dan karakteristik responden. Sedangkan pertanyaan terbuka memberikan kesempatan responden

Tipologi II

Tipologi III Tipologi IV Tipologi I

Bergantung Mandiri

(40)

untuk bebas menentukan jawaban atas persepsi perkembangan, dinamika perubahan, dan kemandirian desa.

Analisis data yang digunakan yakni menggunakan metode deskriptif dengan penskalaan 1-3-5 (modifikasi skala likert). Untuk melakukan penskalaan dengan penggunaan metode tersebut, responden akan diminta untuk menyatkan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang ada di kuesioner dalam tiga kategori jawaban yang telah disediakan, yakni sebagai berikut:

a. Tidak memahami atau tidak setuju, b. Kurang memahami atau ragu-ragu, dan c. Memahami atau setuju.

Dari distribusi jawaban responden pada kuesioner, maka dapat disimpulkan sejauh mana tingkat persepsi dan sikap mesyarakat terhadap tingkat perkembangan dan kemandirian desa. Selain itu, ditentukan skor dari masing-masing jawaban sesuai dengan kategori jawaban yang favourable maupun un-favourable, yang dapat kita lihat pada tabel berikut:

Tabel 10. Nilai skoring untuk setiap kategori persepsi dan sikap No. Kategori persepsi dan sikap Skor 1. Tidak memahami/tidak setuju 1

2. Kurang memahami/ragu-ragu 3

3. Memahami/setuju 5

Sumber: Muta’ali, 2014

Dengan demikian, skor ideal untuk mengetahui tingkat persepsi dan sikap responden terhadap tingkat perkembangan dan kemandiiran desa dapat ditentukan sesuai tabel berikut:

Tabel 11. Skor ideal tingkat persepsi dan sikap responden

No. Kategori tingkat persepsi dan sikap Range skor

1. Rendah 40 – 93

2. Sedang 94 – 149

3. Tinggi 150 – 200

(41)

Gambar 4. Alur Penelitian

Empat Tipologi Desa di Kabupaten Sukabumi Analisis Level

Mikro (Data Primer)

Sampling satu Desa per Tipologi

Ploting data dalam kuadran untuk penentuan

tipologi

Persepsi Stakeholder Desa terhadap Kemandirian dan

Perkembangan Desa

Wawancara dan Observasi Updating Indikator

Kemandirian dan Perkembangan Desa

di Kabupaten Sukabumi

Desa di Kabupaten Sukabumi

Penentuan Indikator berdasarkan literature review / penentuan threseholdindikator Indeks Perkembangan Desa

- Indikator Pangan - Indikator Energi - Indikator Air Indeks Kemandirian Desa

- Indikator Sosial - Indikator Ekonomi - Indikator Ekologi

Pemberian Bobot dengan Teknik

Skoring Data sekunder

(42)

4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Letak dan Administrasi Wilayah Kabupaten Sukabumi

Kabupaten Sukabumi merupakan daerah yang berbatasan dengan provinsi Banten, tepatnya dengan Kabupaten Lebak. Kabupaten Sukabumi adalah kabutaten terluas se Jawa-Bali yang Terdiri dari 47 kecamatan dan 381 Desa serta lima Kelurahan. Saat ini ibukota Kabupaten Sukabumi berada di Kecamatan Palabuhanratu, meskipun beberapa kantor pemerintahan masih ada yang berdomisili di Kecamatan Cisaat dan Kecamatan Cibadak bahkan di wilayah Kota Sukabumi. Menurut hasil pendataan potensi desa yang terakhir, kecamatan Cisaat, Cicurug dan Cisolok memiliki jumlah desa/kelurahan yang paling banyak yaitu 13 desa. Sedangkan kecamatan yang memiliki jumlah desa/kelurahan terkecil hanya mempunyai lima desa/kelurahan, yaitu kecamatan Cidolog, Lengkong, Kebonpedes, Cireunghas dan Bojonggenteng.

Luas Wilayah Kabupaten Sukabumi adalah 4.128 km2 atau 14,39 persen dari luas Jawa Barat atau 3,01 persen dari luas Pulau Jawa. Jarak tempuh Kabupaten Sukabumi ke ibukota Propinsi Jawa Barat (Bandung) sejauh 96 km dan 119 km dari Ibukota Negara (Jakarta). Secara geografis wilayah Kabupaten Sukabumi terletak diantara 6o57’ - 7o25’ Lintang Selatan dan 106o49’ - 107o00’ Bujur Timur, dengan batas-batas wilayahnya adalah sebagai berikut:

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat 2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia

3. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Lebak Propinsi Banten dan Samudera Indonesia

4. SebelahTimur berbatasan dengan Kabupaten Cianjur

Selain itu secara administratif Kabupaten Sukabumi juga berbatasan secara langsung dengan wilayah Kota Sukabumi yang merupakan daerah kantong (enclave) dikelilingi beberapa wilayah kecamatan di Kabupaten Sukabumi, Kecamatan tersebut yaitu Kecamatan Sukabumi di sebelah Utara, Kecamatan Cisaat dan Kecamatan Gunungguruh di sebelah Barat, Kecamatan Nyalindung di sebelah Selatan, Kecamatan Sukaraja dan Kecamatan Kebon Pedes di sebelah Timur.

4.2 Kondisi Biofisik Wilayah Kabupaten Sukabumi

(43)

Pembagian morfologi Kabupaten Sukabumi dibagi menjadi dataran, pantai, perbukitan dan pegunungan sehingga pemerintah Kabupaten Sukabumi sering menyebutnya dengan Gunung, Rimba/Hutan, Laut, pantai dan Sawah (GURILAPS). Sumberdaya alam dan potensi yang dimiliki Kabupaten Sukabumi meliputi potensi sumberdaya pertanian, perkebunan, dan kehutanan. Pertanian di Kabupaten Sukabumi terutama tersebar di bagian Utara aliran Sungai Cimandiri. Kondisi ini tidak bisa terlepas dari keberadaan Gunung Gede-Pangrango di sebelah Utara dan Gunung Salak di sebelah Barat. Selain karena didukung kondisi lembah dan lereng di kedua gunung tersebut yang melandai kearah Selatan juga karena kondisi hutannya yang memberi daya dukung iklim dan tata air yang baik sehingga daerah pertanian relatif lebih subur dibandingkan daerah pertanian bagian selatan aliran sungai Cimandiri.

Dalam sejarahnya, sejak dulu daerah Utara terkenal sebagai penghasil komoditi perkebunan berupa karet dan teh yang sempat memegang peranan penting dalam perekonomian negara di masa lampau. Sementara adanya dukungan tata air yang sangat baik, menyebabkan daerah utara berkembang menjadi daerah persawahan, usaha tani sayur mayur, peternakan dan budidaya ikan air tawar yang cukup potensial. Potensi sumberdaya pertanian lain yang juga terdapat di Kabupaten Sukabumi adalah kehutanan. Sebaran kawasan hutan di Kabupaten Sukabumi terdapat di beberapa kecamatan, dengan pengelompokan besar terdapat di Sukabumi-Sukarajabagian Utara, Cicurug – Parungkuda – Parakansalak –Kalapanunggal – Cisolok, Palabuhanratu, Ciemas, Surade – Jampangkulon – Kalibunder – Lengkong – Tegalbuleud – Cidolog – Sagaranten dan Nyalindung.

Potensi geologi pertambangan Kabupaten Sukabumi yang teridentifikasi Hasil Kajian Bahan Galian Gol. C dan Logam Kerjasama Distamben dengan LPM UNPAD (Tahun 2001) meliputi Mineral Logam (Besi, Timbal, Emas, Mangan, Perak, Tembaga, danSeng), Mineral Bukan Logam (Batu gamping, Lempung, Zeolit, Fospat, Bentonit, Feldspar, Kaolin, BatuApung, Batusela (Damar), Batubara Muda, Serpentin, Perlit, Dolomit, Kalsit), serta batuan (Tras, Pasir,Sirtu, Marmer, Diabas, Gabro, Toseki, Andesit, Pasirkuarsa, Obsidian, Granit, danRijang).

Potensi sumberdaya pesisir dan kelautan Kabupaten Sukabumi terutama tersebar di tujuh wilayah kecamatan yang berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia, yaitu sepanjang ± 117 km yang memanjang dari wilayah kecamatan Cisolok, Palabuhanratu, Ciemas, Ciracap, Surade, Cibitung, dan Tegalbuleud. Adapun jenis potensi sumberdaya pesisir dan kelautan yang ada antaralain: perikanan, terumbu karang, hutan mangrove, rumput laut, penyu, bahan tambang dan mineral, serta pariwisata. Sejauh ini, pemanfaatan pesisir dan kelautan di wilayah Kabupaten Sukabumi, selain dimanfaatkan untuk pariwisata pantai, juga pelabuhan nelayan sebagai sarana bagi penangkapan ikan. Untuk Palabuhanratu dan sekitarnya yang saat ini menjadi pusat pemerintahan dan pengembangan industri perikanan dan kelautan.

Gambar

Tabel 4. Jenis, Sumber dan Teknik Pengumpulan Data
Tabel 5. Indikator dan klasifikasi dalam penentuan Indeks Perkembangan Desa
Tabel 6. Variabel dan indikator Indeks Kemandirian Desa
Tabel 10. Nilai skoring untuk setiap kategori persepsi dan sikap
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian ini akan dibandingkan aplikasi dari metode Lagrange dan Constriction Factor Particle Swarm Optimization (CFPSO) untuk mendapatkan biaya pembangkitan yang

Hasil analisa dari penelitian ini adalah penggunaan internet sebagai media pembelajaran memiliki pengaruh terhadap motivasi belajar siswa.. Kata kunci: Motivasi belajar,

Dengan bantuan guru, siswa dapat menghubungkan matematika dan pengetahuan ilmiah mereka dengan masalah, dan mampu mengidentifikasi teknologi yang diperlukan.. Students are able

Pada form ini terdapat teks box id posisi dan nama posisi yang akan dinilai oleh bagian personalia, kemudian pada form ini terdapat juga teks id profile, nama profile dan

Pada penelitian dilakukan iradiasi pada chitin, dengan harapan iradiasi tersebut memutuskan rantai panjang chitin dan ikatan hidrogen yang kuat antara nitrogen dan

Bersama ini menyatakan setuju untuk melepaskan dan membebaskan, dan akan mengganti kerugian dan tidak akan menuntut IBLCE, serta pemegang jabatan, para direktur, anggota

Akar permasalahan pembelajaran tersebut me- liputi: (1) belum adanya model dan manajemen pembelajaran yang disepakati antara kedua belah pihak, (2) belum siapnya

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyimpanan produk fermentasi lumpur sawit selama 12 minggu dalam kemasan kantong plastik, karung pakan maupun kantong semen nyata