• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keragaan Komposisi Jenis Dan Struktur Hutan Mangrove Serta Faktor Lingkungan Fisik Yang Mempengaruhinya Di Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Keragaan Komposisi Jenis Dan Struktur Hutan Mangrove Serta Faktor Lingkungan Fisik Yang Mempengaruhinya Di Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

KERAGAAN KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR

HUTAN MANGROVE SERTA FAKTOR LINGKUNGAN

FISIK YANG MEMPENGARUHINYA

DI PULAU SEBUKU, KALIMANTAN SELATAN

RADEN RODLYAN GHUFRONA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Keragaan Komposisi Jenis dan Struktur Hutan Mangrove serta Faktor Lingkungan Fisik yang Mempengaruhinya di Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan, adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2015

Raden Rodlyan Ghufrona

(4)
(5)

RINGKASAN

RADEN RODLYAN GHUFRONA. Keragaan Komposisi Jenis dan Struktur Hutan Mangrove serta Faktor Lingkungan Fisik yang Mempengaruhinya di Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan. Dibimbing oleh CECEP KUSMANA dan OMO RUSDIANA.

Hutan mangrove Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan, merupakan bagian dari kawasan Cagar Alam Selat Sebuku yang perlu dilindungi dan perkembangannya harus berlangsung secara alami. Kelestarian fungsi hutan mangrove Pulau Sebuku perlu didukung dengan kondisi lingkungan fisik yang sesuai untuk pertumbuhan hutan mangrove. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji komposisi jenis dan struktur hutan, mengkaji kondisi lingkungan fisik ekosistem hutan, dan menganalisis keterkaitan antara faktor lingkungan fisik dengan keragaan hutan (kerapatan dan potensi pohon) di hutan mangrove Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan.

Penelitian ini dilaksanakan melalui beberapa tahapan, antara lain: tahap persiapan, penentuan desain sampling penelitian, pengumpulan data penelitian, dan analisis data. Keterkaitan faktor lingkungan fisik terhadap keragaan hutan di lokasi penelitian dianalisis dengan menggunakan metode analisis komponen utama (Principal Component Analysis), adapun pengaruh faktor lingkungan fisik terhadap keragaan hutan dianalisis menggunakan metode analisis regresi Partial Least Square.

Hutan mangrove Pulau Sebuku memiliki keanekaragaman jenis yang rendah dan kemerataan jenis yang tinggi. Total jenis pohon mangrove dan permudaannya, serta habitus lainnya di lokasi tersebut teridentifikasi sebanyak 10 jenis, yang terdiri atas: 8 jenis berupa pohon mangrove dan permudaannya (Bruguiera gymnorrhiza, B. parviflora, Ceriops tagal, Rhizophora apiculata, R. mucronata,

Sonneratia alba, Heritiera littoralis, dan Xylocarpus granatum), 1 jenis berupa palem-paleman (Nypa fruticans), dan 1 jenis berupa tumbuhan bawah (Acrostichum aureum). Struktur horizontal hutan mangrove Pulau Sebuku cenderung membentuk L-form, yang berkembang kearah uneven-age balanced forest (hutan segala umur yang berimbang). Berdasarkan komposisi flora serta struktur dan penampakan umum hutan, komunitas hutan mangrove Pulau Sebuku dikelompokkan menjadi 3 tipe, antara lain: komunitas mangrove menyemak (bakau-perepat), komunitas mangrove muda (bakau dan bakau-lenggadai), dan komunitas nipah.

(6)

Hasil analisis keterkaitan faktor lingkungan fisik dengan keragaan hutan menunjukkan bahwa terdapat beberapa kelompok lokasi pengamatan yang memiliki karakteristik faktor lingkungan fisik dan potensi pohon yang mirip adalah sebagai berikut: (1) Sungai Selamet – Sungai Serakaman, (2) Sungai Serakaman – Sungai Tarusan, (3) Sungai Serakaman – Sungai Merah, (4) Sungai Merah – Sungai Tarusan, (5) Sungai Bali – Tanjung Mangkok, dan (6) Sungai Dungun. Kedekatan karakteristik pada kelompok (1) dan (2) dicirikan oleh kemasaman tanah (pH) dan kandungan unsur hara berupa C-organik, N-total, Ca, dan Mg. Selain itu, kedekatan karakteristik kelompok (3) dicirikan oleh pH, KTK, fraksi tanah liat, serta kandungan unsur hara berupa C-organik, N-total, K, Mg, Ca, dan Na. Adapun kedekatan karakteristik (4) dicirikan oleh KTK, fraksi liat, serta kandungan unsur hara K dan Na. Selain itu, hasil analisis pengaruh faktor lingkungan fisik terhadap keragaan hutan menujukkan bahwa faktor lingkungan fisik yang siginifikan berpengaruh terhadap total kerapatan pohon di hutan mangrove Pulau Sebuku, antara lain: kandungan C-organik, N-total, P, dan K. Adapun faktor lingkungan fisik yang berpengaruh terhadap total potensi pohon di hutan mangrove Pulau Sebuku, antara lain: kandungan C-organik, N-total, P, K, fraksi pasir, fraksi debu, dan fraksi liat.

Hutan mangrove Pulau Sebuku memiliki kondisi ekosistem yang sangat rentan dari gangguan, baik dari akibat aktivitas pertambangan batu bara dan bijih besi di sekitarnya maupun illegal logging yang dilakukan oleh masyarakat sekitar untuk dibuat rumah maupun perahu untuk mencari ikan. Adanya gangguan tersebut menyebabkan gangguan terhadap keragaan hutan mangrove maupun faktor lingkungan fisiknya, sehingga tidak menutup kemungkinan terjadinya gangguan pada fungsi ekosistem mangrove tersebut. Oleh karena itu, perlu adanya kegiatan rehabilitasi dan restorasi ekosistem agar ekosistem pada hutan mangrove Pulau Sebuku dapat lestari. Di sisi lain, sebagai cagar alam, perkembangan hutan mangrove Pulau Sebuku perkembangannya harus berlangsung alami, tidak boleh dilakukan kegiatan rehabilitasi yang dimaksudkan untuk menjaga kekhasan, keaslian, keunikan, dan keterwakilan dari jenis flora dan fauna serta ekosistemnya. Namun jika pemulihan hutan mangrove dibiarkan secara alami dan tekanan gangguan dari illegal logging dan akibat aktivitas pertambangan di sekitar hutan mangrove berlangsung terus menerus, maka tidak menutup kemungkinan ekosistem mangrove di Pulau Sebuku akan rusak. Oleh karena itu, perlu dilakukan perubahan fungsi kawasan hutan mangrove Pulau Sebuku dari cagar alam menjadi fungsi kawasan lain yang dapat dilakukan rehabilitasi maupun restorasi dalam rangka pemulihannya, seperti: suaka margasatwa, taman hutan raya, atau taman wisata alam.

(7)

SUMMARY

RADEN RODLYAN GHUFRONA. Performance of Species Composition and Mangrove Forest Structure and Its Affected Physical Environment Factors in Pulau Sebuku, South Kalimantan. Supervised by CECEP KUSMANA and OMO RUSDIANA.

Pulau Sebuku mangrove forest, South Kalimantan, is part of Pulau Sebuku

Nature Reserve that needs to be protected as close as naturally. Preservation of Pulau Sebuku mangrove forest needs to be supported by suitable physical environment conditions to the growth of mangrove forest. This study aims to explore the species composition and forest structure, condition of the physical environment of forest ecosystems, and to analyze the relationship between physical environment factors with the performance of the forest (density and standing volume tree) in Pulau Sebuku mangrove forest, South Kalimantan.

This research was conducted through following phases: preparation phase, determination of the sampling design research, research data collcetion, and data analysis. Linkages physical environmental factors on the performance of the forest in the study area were analyzed using principal component analysis method, while the influence of the physical environment factors on the performance of forest were analyzed using Partial Least Square regression analysis.

Pulau Sebuku mangrove forest has low species diversity and high evenness. Total species of mangrove tree, forest regeneration, and other habitus in the location identified as many as 10 species, consisting of: 8 species such as

mangrove tree and forest regeneration (B. gymnorrhiza, B. parviflora, C. tagal,

R. apiculata, R. mucronata, S. alba, H littoralis, and X. granatum), 1 species of palm (N. fruticans), and 1 species of understorey (A. aureum). Horizontal structure of Pulau Sebuku mangrove forest tend to L-form, which evolved towards a balanced uneven-age forest. Based on the floristic composition and structure and the general appearance of the forest, mangrove forest communities in Pulau Sebuku classified into 3 types, i.e: shrubby mangrove community (bakau-perepat), young mangrove community (bakau and bakau-lenggadai), and nypa community.

Based on the characteristics of the physical environment, Pulau Sebuku mangrove forest has low up to quite high salinity; quite high temperature and humidity; soil texture consists of 4 classes (clay, sandy clay loam, sandy clay, and silt loam); soil acidity quite a bit sour, sour, and neutral; moderate to high cation exchange capacity; very high soil organic C, moderate total of N, and high to very high C/N ratio; and high of nutrients (P, K, Ca, Mg, and Na).

(8)

form of organic C, total N, K, Mg, Ca, and Na. Similarity characteristics of sites group (4) is characterized by CEC, clay fraction, as well as the nutrient content of K and Na. In addition, the results of analysis of environmental factors influence on forest performance showed that physical environmental factors that significantly affect to total tree density in Pulau Sebuku mangrove forest are: the content of organic C, total-N, P, and K. The physical environment factors that affect total standing volume in Pulau Sebuku mangrove forest are: the content of organic C, total-N, P, K, sand fraction, dust fraction, and clay fraction.

Pulau Sebuku mangrove forest have a very fragile ecosystem conditions from interference, whether as a result of the activity of mining coal and iron ore in the vicinity as well as illegal logging of that undertaken by the local community to make the house and boat for fishing. Those disturbance causes disruption to the mangrove forest performance and its physical environment factors, so do not rule out the possibility of interference on its mangrove ecosystem function. Therefore, the need for ecosystem rehabilitation and restoration that mangrove forest ecosystem Sebuku be sustained. On the other hand, as a nature reserve, Pulau Sebuku mangrove forest development should take place naturally, should not be carried out rehabilitation activities that are intended to maintain the distinctiveness, authenticity, uniqueness, and representation of species of flora, fauna, and ecosystem. But if restoration of mangrove forests left naturally and pressure interference from illegal logging and mining activities result in around mangroves continues, then it is possible that mangrove ecosystem in Pulau Sebuku will be damaged. Therefore, it is necessary to change the function of Pulau Sebuku

mangrove forest of the nature reserve to be a function of other areas to do the rehabilitation and restoration in the context of recovery, such as: wildlife (suaka margasatwa), forest park (taman hutan raya), or natural park (taman wisata alam). Keywords: Forest structure, lingkage analysis, mangrove forest, physical

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(10)
(11)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Silvikultur Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

RADEN RODLYAN GHUFRONA

KERAGAAN KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR

HUTAN MANGROVE SERTA FAKTOR LINGKUNGAN

(12)
(13)

Judul Tesis : Keragaan Komposisi Jenis dan Struktur Hutan Mangrove serta Faktor Lingkungan Fisik yang Mempengaruhinya di Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan

Nama : Raden Rodlyan Ghufrona NIM : E451110031

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS Ketua

Dr Ir Omo Rusdiana, MScFTrop Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Silvikultur Tropika

Prof Dr Ir Sri Wilarso Budi R, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(14)
(15)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga proposal penelitian ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah keterkaitan pengaruh faktor lingkungan fisik terhadap keragaman dan kekayaan mangrove, dengan judul Keragaan dan Analisis Pengaruh Faktor Lingkungan Fisik terhadap Komposisi Jenis dan Struktur Hutan Mangrove di Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS, dan Bapak Dr Ir Omo Rusdiana, MScFTrop, selaku dosen pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada segenap staf Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Kalimantan Selatan, PT Bahari Cakrawala Sebuku (PT BCS), Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W) LPPM IPB, dan Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB, yang telah membantu memberikan izin dan dukungan dalam pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada suami tercinta Hendro Zulkarnain, SHut; Ibunda Hj Winda Lina, BAc, SPdI, MMPd; Ibu Hj Nunuk Triastuti; Ayah Drs H Mad Yani; seluruh keluarga, sahabat, dan rekan-rekan Silvikultur Tropika 2011 atas segala doa dan dukungannya; serta tidak lupa kepada Almarhum Ayahanda Dr Ir H R Sunsun Saefulhakim, MAgr, yang selalu menginspirasi.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2015

(16)
(17)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL iv

DAFTAR GAMBAR iv

DAFTAR LAMPIRAN v

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

Ruang Lingkup Penelitian 3

Kerangka Pemikiran 3

2 TINJAUAN PUSTAKA 5

Keragaan Komposisi Jenis dan Struktur Hutan 5

Ekosistem Mangrove 6

Struktur dan Zonasi Mangrove 7

Faktor-faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Mangrove 8 Keterkaitan Faktor Lingkungan Fisik dengan Kondisi Vegetasi 10 Pengaruh Faktor Lingkungan Fisik terhadap Keragaan Hutan 12

3 METODE 13

Waktu dan Lokasi Penelitian 13

Bahan dan Alat 13

Prosedur Penelitian 14

Tahap Persiapan 14

Penentuan Desain Sampling Penelitian 14

Pengumpulan Data Penelitian 15

Analisis Data 17

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 20

Kondisi Umum Lokasi Penelitian 20

Letak dan Luas 20

Topografi dan Bentuk Lahan 20

Tanah 20

Hidrologi 20

Penggunaan Lahan 21

Fauna (Satwa Liar) 22

Sosial Ekonomi Masyarakat 23

Keragaan Hutan Mangrove Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan 24

Komposisi Jenis 24

Jumlah Jenis 24

Jenis Dominan dan Tipe Komunitas Mangrove 26

Keanekaragaman Jenis 30

Kemerataan Jenis 30

Dominansi Jenis 31

Struktur Hutan 32

(18)

Struktur Vertikal (Stratifikasi Tajuk) 33

Kesamaan Komunitas Vegetasi 35

Karakteristik Lingkungan Fisik Mangrove 36

Salinitas 36

Suhu dan Kelembaban Udara 37

Sifat Fisik Tanah 38

Sifat Kimia Tanah 39

Derajat kemasaman tanah (pH) 39

Bahan organik 39

Kapasitas tukar kation (KTK) 40

Kandungan unsur hara 41

Keterkaitan Faktor Lingkungan Fisik dengan Keragaan Hutan Mangrove

Pulau Sebuku 41

Keterkaitan Faktor Lingkungan Fisik dengan Kerapatan Pohon 42 Keterkaitan Faktor Lingkungan Fisik dengan Potensi Pohon 43 Pengaruh Faktor Lingkungan Fisik terhadap Keragaan Hutan Mangrove

Pulau Sebuku 45

Pembahasan 46

Keragaan Hutan Mangrove Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan 46 Karakteristik Lingkungan Fisik Hutan Mangrove 48 Keterkaitan Faktor Lingkungan Fisik dengan Keragaan Hutan

Mangrove Pulau Sebuku 50

Zonasi Hutan Mangrove Pulau Sebuku berdasarkan Keterkaitan

Faktor Lingkungan Fisik dengan Keragaan Hutan 51 Rekomendasi Pengelolaan Hutan Mangrove Pulau Sebuku 53

5 SIMPULAN DAN SARAN 55

Simpulan 55

Saran 55

DAFTAR PUSTAKA 56

LAMPIRAN 59

(19)

DAFTAR TABEL

1 Jenis dan metode pengumpulan data 15

2 Kriteria pohon dan permudaan serta bentuk hidup tumbuhan lainnya

yang diamati 16

3 Karakteristik sungai utama di Pulau Sebuku pada saat pasang naik

(pasang) dan pasang turun (surut) 21

4 Penggunaan lahan di Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan 21 5 Jenis-jenis satwa liar yang berada di Pulau Sebuku Kalimantan Selatan 22 6 Keadaan penduduk setiap desa di Kecamatan Pulau Sebuku 23 7 Daftar jenis pohon dan permudaannya, serta habitus lainnya yang

ditemukan di hutan mangrove Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan 25 8 Jenis pohon mangrove dominan dan kodominan dan permudaanya, serta

tipe komunitas mangrove pada setiap lokasi pengamatan di hutan

mangrove Pulau Sebuku Kalimantan Selatan 26

9 Kerapatan individu populasi pohon berdiameter ≥ 10 cm untuk setiap kelas diameter pohon pada setiap lokasi pengamatan di hutan mangrove

Pulau Sebuku 32

10 Potensi pohon setiap kelas diameter pada tiap lokasi pengamatan di

hutan mangrove Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan 33 11 Jumlah pohon setiap strata tajuk pada setiap lokasi pengamatan di hutan

mangrove Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan 34

12 Kesamaan komunitas pada setiap lokasi pengamatan di hutan mangrove

Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan 36

13 Tekstur tanah pada setiap lokasi pengamatan di hutan mangrove Pulau

Sebuku, Kalimantan Selatan 38

14 Komposisi bahan organik tanah pada setiap lokasi pengamatan di hutan

mangrove Pulau Sebuku 40

15 Kandungan unsur hara tanah pada setiap lokasi pengamatan di hutan

mangrove Pulau Sebuku 41

16 Karakteristik lingkungan fisik dan kerapatan individu pada setiap kelompok lokasi pengamatan yang memiliki kedekatan karakteristik di

hutan mangrove Pulau Sebuku 43

17 Karakteristik lingkungan fisik dan kerapatan individu pada setiap kelompok lokasi pengamatan yang memiliki kedekatan karakteristik di

hutan mangrove Pulau Sebuku 44

18 Nilai koefisien β dan t-hitung pengaruh faktor lingkungan fisik terhadap kerapatan dan potensi pohon berdasarkan hasil analisis regresi PLS 46

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pikir penelitian 4

2 Peta lokasi penelitian 13

3 Desain penempatan titik pengamatan di lokasi penelitian 14

4 Desain petak contoh berupa jalur berpetak 15

5 Kondisi tegakan hutan mangrove Pulau Sebuku dilihat dari Selat

(20)

6 Jumlah jenis pohon dan permudaannya, serta bentuk habitus lainnya di hutan mangrove Pulau Sebuku Kalimantan Selatan 25 7 Hutan mangrove dengan tipe komunitas mangrove bakau di Sungai

Selamet, Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan 28

8 Hutan mangrove dengan tipe komunitas mangrove bakau-lengadai di Sungai Serakaman, Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan 28 9 Hutan mangrove dengan tipe komunitas mangrove bakau-perepat di

Sungai Bali, Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan 29

10 Tipe komunitas nipah di pinggir sungai Dungun, Pulau Sebuku,

Kalimantan Selatan 29

11 Kondisi keanekaragaman jenis pohon mangrove dan permudaannya pada setiap lokasi pengamatan di hutan mangrove Pulau Sebuku 30 12 Kondisi kemerataan jenis pohon mangrove dan permudaannya pada

setiap lokasi pengamatan di hutan mangrove Pulau Sebuku Kalimantan

Selatan 31

13 Dominansi jenis pohon mangrove dan permudaannya pada setiap lokasi

pengamatan di hutan mangrove Pulau Sebuku 31

14 Struktur horizontal tegakan hutan mangrove di Pulau Sebuku

Kalimantan Selatan 33

15 Kondisi struktur vertikal komunitas mangrove pada tiap lokasi pengamatan di hutan mangrove Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan 34 16 Profil tajuk hutan mangrove pada setiap lokasi pengamatan di hutan

mangrove Pulau Sebuku 35

17 Salinitas pada setiap lokasi pengamatan di hutan mangrove Pulau

Sebuku, Kalimantan Selatan 37

18 Rata-rata suhu udara harian pada setiap lokasi pengamatan di hutan

mangrove Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan. 37

19 Rata-rata kelembaban udara harian pada setiap lokasi pengamatan di hutan mangrove Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan 38 20 Persentase komposisi tekstur tanah pada tiap lokasi pengamatan di

hutan mangrove Pulau Sebuku 39

21 Kondisi kemasaman tanah (pH) pada setiap lokasi pengamatan di hutan

mangrove Pulau Sebuku 39

22 Kondisi KTK pada setiap lokasi pengamatan di hutan mangrove Pulau

Sebuku, Kalimantan Selatan 40

23 Hasil analisis komponen utama keterkaitan faktor lingkungan fisik dengan kerapatan individu setiap lokasi pengamatan di hutan mangrove

Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan 42

24 Hasil analisis komponen utama keterkaitan faktor lingkungan fisik dengan potensi pohon setiap lokasi pengamatan di hutan mangrove

Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan 44

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peta jenis tanah di Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan 59 2 Peta hidrogeologi di Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan 60 3 Peta penggunaan lahan Tahun 2011 di Pulau Sebuku, Kalimantan

(21)

4 Nilai kerapatan, frekuensi, dominansi, dan indeks nilai penting pohon dan permudaaannya, serta tipe habitus lainnya di Sungai Selamet, Pulau

Sebuku 63

5 Nilai kerapatan, frekuensi, dominansi, dan indeks nilai penting pohon dan permudaaannya, serta tipe habitus lainnya di Sungai Serakaman,

Pulau Sebuku 63

6 Nilai kerapatan, frekuensi, dominansi, dan indeks nilai penting pohon dan permudaaannya, serta tipe habitus lainnya di Sungai Merah, Pulau

Sebuku 64

7 Nilai kerapatan, frekuensi, dominansi, dan indeks nilai penting pohon dan permudaaannya, serta tipe habitus lainnya di Sungai Tarusan, Pulau

Sebuku 64

8 Nilai kerapatan, frekuensi, dominansi, dan indeks nilai penting pohon dan permudaaannya, serta tipe habitus lainnya di Sungai Dungun, Pulau

Sebuku 65

9 Nilai kerapatan, frekuensi, dominansi, dan indeks nilai penting pohon dan permudaaannya, serta tipe habitus lainnya di Sungai Bali, Pulau

Sebuku 66

10 Nilai kerapatan, frekuensi, dominansi, dan indeks nilai penting pohon dan permudaaannya, serta tipe habitus lainnya di Tanjung Mangkok,

Pulau Sebuku 66

11 Kriteria penilaian sifat kimia tanah 67

12 Hasil PCA keterkaitan faktor lingkungan fisik terhadap kerapatan

pohon di hutan mangrove Pulau Sebuku 68

13 Hasil PCA keterkaitan faktor lingkungan fisik terhadap potensi pohon

di hutan mangrove Pulau Sebuku 69

14 Hasil analisis regresi partial least square (PLS) pengaruh tekstur tanah (fraksi debu, fraksi liat, dan fraksi pasir) terhadap kerapatan pohon di

lokasi penelitian 70

15 Hasil analisis regresi partial least square (PLS) pengaruh kandungan unsur hara primer berupa C-organik, N-total, K dan P terhadap

kerapatan pohon di lokasi penelitian 70

16 Hasil analisis regresi partial least square (PLS) pengaruh kandungan unsur hara sekunder berupa Ca, Mg, dan Na terhadap kerapatan pohon

di lokasi penelitian 70

17 Hasil analisis regresi partial least square (PLS) pengaruh salinitas, suhu udara, kelembaban udara (RH), kemasaman tanah (pH), dan Kapasitas Tukar Kation (KTK) terhadap kerapatan pohon di lokasi

penelitian 70

18 Hasil analisis regresi partial least square (PLS) pengaruh tekstur tanah (fraksi debu, fraksi liat, dan fraksi pasir) terhadap potensi pohon di

lokasi penelitian 71

19 Hasil analisis regresi partial least square (PLS) pengaruh kandungan unsur hara primer berupa C-organik, N-total, K dan P terhadap potensi

pohon di lokasi penelitian 71

20 Hasil analisis regresi partial least square (PLS) pengaruh kandungan unsur hara sekunder berupa Ca, Mg, dan Na terhadap potensi pohon di

(22)

21 Hasil analisis regresi partial least square (PLS) pengaruh salinitas, suhu udara, kelembaban udara (RH), kemasaman tanah (pH), dan Kapasitas Tukar Kation (KTK) terhadap potensi pohon di lokasi

penelitian 71

(23)

1

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ekosistem mangrove merupakan suatu ekosistem khas di wilayah pesisir yang merupakan tempat berlangsungnya hubungan timbal balik antara komponen abiotik seperti senyawa anorganik, organik dan iklim (pasang surut, salinitas, dan lain-lain) dengan komponen biotik seperti produsen (vegetasi, plankton), konsumen makro (serangga, ikan, burung, buaya, dan lain-lain). Hutan mangrove sebagai bagian dari ekosistem mangrove telah mengalami penurunan, baik dalam hal penurunan kualitas fungsi ekosistem mangrove maupun kuantitas berupa penurunan luasan hutan mangrovenya. FAO (2007) melaporkan bahwa telah terjadi degradasi hutan mangrove dunia seluas 5 juta hektar (20%) dalam kurun waktu 20 tahun. Adapun Hence (2010) melaporkan degradasi hutan mangrove di Indonesia adalah seluas 35% dalam kurun waktu 18 tahun (1982–2000). Terjadinya penurunan kualitas dan kuantitas hutan mangrove tersebut disebabkan oleh adanya kegiatan eksploitasi hutan yang berlebihan; konversi hutan menjadi areal pertanian, pemukiman, industri, dan sebagainya; kontaminasi; bencana alam; serta kenaikan muka air laut akibat pemanasan global.

Indonesia merupakan negara yang memiliki luas mangrove terluas di tingkat dunia, yaitu seluas 19%. Hutan mangrove di Indonesia mencapai luasan sebesar 3 244 018.64 ha yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, termasuk hutan mangrove yang berada di Pulau Sebuku Kalimantan Selatan seluas sekitar 3 341 ha.

Hutan mangrove di Pulau Sebuku Kalimantan Selatan merupakan bagian dari kawasan suaka alam dengan tipe ekosistem mangrove yang berada di kawasan Cagar Alam Selat Sebuku di bawah pengelolaan Balai Konservasi Sumberdaya Alam Kalimantan Selatan. Sebagai bagian dari kawasan suaka alam, hutan mangrove di Pulau Sebuku perlu dilindungi dan perkembangannya harus berlangsung secara alami. Keberadaan hutan mangrove sangat penting karena berfungsi sebagai habitat berbagai jenis hewan, seperti kepiting, moluska, udang, burung, dan serangga; sebagai areal perlindungan dan pembibitan bagi ikan-ikan juvenil; serta menghasilkan produk kayu dan non kayu seperti arang, makanan ternak, kayu bakar, makanan dan obat-obatan. Selain itu, hutan mangrove juga menghasilkan berbagai jasa lingkungan, seperti menstabilkan garis pantai (perlindungan terhadap abrasi, angin topan, dan tsunami), mengendalikan kualitas air (perlindungan terhadap intrusi air laut dan pemurnian air tercemar), dan mitigasi perubahan iklim global (ekosistem yang sangat produktif untuk mengurangi CO2 di atmosfer). Hutan mangrove dapat menyerap CO2 sebesar 500-600 ton CO2/ha/tahun (Cahyaningrum et al. 2014).

(24)

2

Sebuku menjadi terancam. Oleh karena itu, penelitian yang mengkaji keterkaitan antara faktor lingkungan fisik terhadap kondisi hutan mangrove di Pulau Sebuku Kalimantan Selatan sangat penting dilakukan. Selain itu, komposisi jenis, struktur, dan kekayaan jenis vegetasi mangrove di Pulau Sebuku Kalimantan Selatan belum seluruhnya teridentifikasi dan terdokumentasikan dengan baik, baik dari tingkat pohon, pancang, semai, maupun tumbuhan bawah. Oleh karena itu, penelitian ini diarahkan untuk mengkaji komposisi jenis dan struktur hutan mangrove berikut kajian pengaruh faktor fisik lingkungan terhadap tegakan hutan mangrove tersebut.

Perumusan Masalah

Hutan mangrove Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan, merupakan bagian dari kawasan suaka alam dengan tipe ekosistem mangrove yang berada di kawasan Cagar Alam Selat Sebuku di bawah pengelolaan Balai Konservasi Sumberdaya Alam Kalimantan Selatan. Sebagai bagian dari kawasan suaka alam, Hutan Mangrove Pulau Sebuku perlu dilindungi dan perkembangannya harus berlangsung secara alami. Kelestarian fungsi hutan mangrove Pulau Sebuku perlu didukung dengan kondisi lingkungan fisik yang sesuai dengan pertumbuhan hutan mangrove. Adanya perubahan pemanfaatan lahan di sekitar hutan mangrove Pulau Sebuku berupa kegiatan pertambangan biji besi dan batu bara dari beberapa perusahaan tambang diprediksi mengakibatkan adanya perubahan kondisi lingkungan fisik, baik karena kegiatan tambang tersebut maupun akibat perubahan penggunaan lahannya, sehingga kelestarian ekosistem mangrove di Pulau Sebuku menjadi terancam. Oleh karena itu, perlu dikaji beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana komposisi jenis tumbuhan di hutan mangrove Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan?

2. Bagaimana struktur hutan mangrove Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan? 3. Bagaimana kondisi lingkungan fisik ekosistem hutan mangrove di Pulau

Sebuku, Kalimantan Selatan?

4. Bagaimana pengaruh faktor lingkungan fisik terhadap komposisi jenis dan struktur hutan mangrove di Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengkaji keragaan komposisi jenis dan struktur hutan mangrove Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan;

2. Mengkaji kondisi lingkungan fisik hutan mangrove Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan;

(25)

3 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Memberikan informasi mengenai kondisi komposisi jenis dan struktur hutan mangrove di Pulau Sebuku Kalimantan Selatan yang dapat memperkaya data keanekaragaman hayati Cagar Alam Selat Sebuku, Balai Konservasi Sumberdaya Alam Kalimantan Selatan;

2. Memberikan informasi mengenai jenis-jenis mangrove yang dapat beradaptasi hutan mangrove di sekitar kawasan pertambangan sehingga dapat dijadikan pertimbangan keputusan dalam pengelolaan hutan mangrove Pulau Sebuku; 3. Memberikan informasi dasar pengelolaan hutan mangrove Pulau Sebuku agar

dapat fungsi ekosistemnya dapat lestari.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Kajian kondisi umum lingkungan fisik ekosistem hutan mangrove Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan;

2. Kajian keragaan komposisi jenis dan struktur tegakan hutan mangrove Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan;

3. Analisis keterkaitan antara faktor lingkungan fisik dengan keragaan hutan mangrove Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan.

Kerangka Pemikiran

(26)

4

(27)

5

2

TINJAUAN PUSTAKA

Keragaan Komposisi Jenis dan Struktur Hutan

Keragaan hutan (forest performance) dapat dijelaskan melalui gambaran komposisi jenis dan struktur hutan. Richard (1966), Mueller-Dombois dan Ellenberg (1974), menggunakan istilah komposisi untuk menyatakan kekayaan floristik hutan. Kekayaan floristik hutan tropika sangat erat hubungannya dengan kondisi lingkungan seperti iklim, tanah dan cahaya. Adapun Soerianegara dan Indrawan (2005) menambahkan bahwa komposisi jenis dapat dibedakan antara populasi (satu jenis) dan komunitas (beberapa jenis). Interaksi dalam satu komunitas tercermin dari struktur dan komposisi vegetasi. Komposisi masyarakat tumbuhan dapat diartikan sebagai variasi jenis flora yang menyusun satu komunitas. Komposisi jenis tumbuhan merupakan daftar floristik dari jenis tumbuhan yang ada dalam satu komunitas (Misra 1980). Richard (1966) menggunakan istilah komposisi jenis untuk menyatakan keberadaan jenis-jenis pohon dalam hutan.

Adapun struktur hutan adalah susunan bentuk (life form) dari suatu vegetasi yang merupakan karakteristik yang kompleks, dapat digunakan dalam penentuan stratifikasi (vertikal dan horizontal) dan menjadi dasar dalam melihat jenis-jenis dominan, kodominan, dan tertekan (Richard 1966). Struktur vertikal sangat berguna berkaitan dengan kebutuhan cahaya, yaitu toleransi satu jenis vegetasi terhadap cahaya matahari (Smith 1977). Struktur hutan merupakan hasil penataan ruang oleh komponen penyusun tegakan dan bentuk hidup, stratifikasi dan penutupan vegetasi yang digambarkan melalui kelas diameter, tinggi, penyebaran dalam ruang, keanekaragaman, tajuk, serta kesinambungan jenis.

Dalam studi ekologi hutan, struktur hutan terdiri atas lima tingkatan, yaitu fisiognomi vegetasi, struktur biomassa, struktur bentuk hidup (life form), struktur floristik, dan struktur tegakan (Mueller-Dombois & Ellenberg 1974). Struktur vegetasi terdiri atas tiga komponen utama (Kershaw 1964 dalam Mueller-Dombois & Ellenberg 1974) antara lain:

a. Struktur vertikal misalnya stratifikasi tajuk

b. Struktur horizontal misalnya penyebaran jenis dalam suatu populasi

c. Struktur kuantitatif misalnya kepadatan setiap jenis dalam suatu komunitas. Stratifikasi yang terjadi dalam satu tumbuh-tumbuhan di hutan terjadi karena adanya persaingan dimana jenis-jenis tertentu berkuasa (dominan) dari jenis lain, pohon-pohon tinggi dalam lapisan paling atas menguasai pohon-pohon yang berada dibawahnya (Soerianegara & Indrawan 2005). Stratifikasi merupakan susunan tetumbuhan secara vertikal dalam suatu komunitas tumbuhan pada ekosistem tertentu. Indriyanto (2008) menjelaskan bahwa stratifikasi terjadi karena dua hal penting yaitu sebagai akibat persaingan antar tumbuhan dan sebagai akibat sifat toleransi pohon-pohon tertentu. Soerianegara dan Indrawan (2005) menyatakan stratifikasi dalam hutan tropis adalah sebagai berikut:

(28)

6

2. Stratum B: terdiri dari pohon-pohon dengan tinggi antara 20 meter sampai 30 meter, tajuk umumnya kontinyu

3. Stratum C: pohon dengan tinggi 4 – 20 meter, tajuk kontinyu, pohon rendah dan banyak cabangnya.

4. Startum D: tumbuhan penutup tanah (ground cover), perdu dan semak yang memiliki tinggi 1-4 meter.

5. Stratum E: tumbuhan penutup tanah (ground cover) dengan tinggi 0 -1 meter. Dikatakan pula bahwa tidak semua hutan tropika memiliki ketiga strata tersebut diatas.

Ekosistem Mangrove

Kata mangrove merupakan kombinasi antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove (Macnae 1968 dalam Kusmana 2011). Kusmana (2011) menyatakan bahwa dalam bahasa Inggris kata mangrove digunakan baik untuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang surut maupun untuk individu-individu spesies tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut, sedangkan dalam bahasa Portugis kata mangrove digunakan untuk menyatakan individu spesies tumbuhan, dan kata mangal untuk menyatakan komunitas tumbuhan tersebut.

Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan reaksi tanah an-aerob. Aksornkoae (1993) menjelaskan bahwa hutan mangrove adalah tumbuhan halofit (tumbuhan yang hidup pada tempat-tempat berkadar garam tinggi atau bersifat alkalin) yang hidup di sepanjang areal pantai yang dipengaruhi oleh pasang tertinggi sampai daerah mendekati ketinggian rata-rata air laut yang tumbuh di daerah tropis dan sub-tropis. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen, dan hutan payau (Kusmana 2011).

Ekosistem mangrove merupakan suatu ekosistem khas di wilayah pesisir yang merupakan tempat berlangsungnya hubungan timbal balik antara komponen abiotik seperti senyawa anorganik, organik dan iklim (pasang surut, salinitas, dan lain-lain) dengan komponen abiotik seperti produsen (vegetasi, plankton), konsumen makro (serangga, ikan, burung, buaya, dan lain-lain). Mangrove sebagai suatu ekosistem memiliki enam fungsi utama, yaitu: (1) fungsi aliran energi, (2) fungsi aliran makanan, (3) fungsi pola keragaman jenis, (4) fungsi siklus nutrien (biogeokimia), (5) fungsi evolusi dan perkembangan, dan (6) fungsi pengendalian (cybernetics).

(29)

7 Struktur dan Zonasi Mangrove

Hutan mangrove terdiri atas pohon dan permudaanya (pancang dan semai), semak belukar, palem-paleman, tumbuhan bawah, maupun epifit, yang mempunyai kemampuan hidup dalam air salin. Sukardjo (1996) menyatakan bahwa hanpir semua jenis mangrove merupakan tumbuhan Dicotyledonae, kecuali tumbuhan bawah seperti Acrostichium aerum dan A. speciosum, serta palem-paleman seperti Nypa fruticans.

Zonasi mangrove merupakan tanggapan terhadap perubahan dan lamanya penggenangan, salinitas tanah, tersedianya sinar matahari, aliran pasang surut dan air tawar. Hal ini berarti bahwa zonasi di hutan mangrove tergantung kepada keadaan tumbuhnya. Zonasi juga menggambarkan tahapan suksesi yang terjadi sejalan dengan perubahan tempat tumbuh. Tempat tumbuh hutan mangrove selalu berubah sebagai akibat laju pengendapan atau pengikisan. Daya adaptasi dari tiap jenis tumbuhan mangrove terhadap keadaan tempat tumbuh akan menentukan komposisi jenis tiap spesies (Istomo 1992).

Zona vegetasi mangrove ditentukan oleh beberapa faktor penting seperti kondisi jenis tanah (lumpur, pasir, gambut), keterbukaan terhadap hempasan gelombang, salinitas, dan pengaruh pasang surut. Menurut Bengen (2002), zonasi hutan mangrove terdiri atas:

1. Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia spp. Pada zona ini, biasa berasosiasi Sonneratia spp. yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik.

2. Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora

spp. Di zona ini juga dijumpai Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp. 3. Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp.

4. Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasanya ditumbuhi oleh N. fruticans dan beberapa spesies lainnya.

Adapun zona vegetasi mangrove yang berkaitan dengan pasang surut terdiri atas: 1. Areal yang selalu digenangi walaupun saat pasang rendah umumnya

didominasi oleh Avicennia spp. atau Sonneratia spp.

2. Areal yang digenangi oleh pasang sedang didominasi oleh jenis-jenis dalam sebulan) umumnya didominasi oleh Bruguiera sexangula dan

Lumnitzera littorea.

(30)

8

Faktor-faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Mangrove

Ekosistem mangrove dapat berkembang baik di daerah pantai berlumpur dengan air yang tenang dan terlindung dari pengaruh ombak yang besar serta eksistensinya bergantung pada adanya aliran air tawar dan air laut. Samingan (1971) menyatakan bahwa kebanyakan mangrove merupakan vegetasi yang agak seragam, selalu hijau dan berkembang dengan baik di daerah berlumpur yang berada dalam jangkaan peristiwa pasang surut. Komposisi mangrove mempunyai batas yang khas dan batas tersebut berhubungan atau disebabkan oleh efek selektif dari: (a) tanah, (b) salinitas, (c) jumlah hari atau lamanya penggenangan, (d) dalamnya penggenangan, serta (e) kerasnya arus pasang surut.

Pertumbuhan vegetasi mangrove dipengaruhi oleh faktor lingkungan (fisik, kimia, dan biologis) yang sangat kompleks, antara lain:

1. Salinitas

Salinitas air tanah mempunyai peranan penting sebagai faktor penentu dalam pengaturan pertumbuhan dan keberlangsungan kehidupan. Salinitas air tanah dipengaruhi oleh sejumlah faktor, seperti genangan pasang, topografi, curah hujan, masukan air tawar dan sungai, run-off daratan dan evaporasi.

Aksorkoae (1993) menyatakan bahwa salinitas merupakan faktor lingkungan yang sangat menentukan perkembangan hutan mangrove, terutama bagi laju pertumbuhan, daya tahan dan zonasi spesies mangrove.

Toleransi setiap jenis tumbuhan mangrove terhadap salinitas berbeda-beda. Batas ambang toleransi tumbuhan mangrove diperkirakan 36 ppm (MacNae 1968). Adapun Aksornkoae (1993) mencatat bahwa Avicennia spp. memiliki toleransi yang tinggi terhadap garam dan Bruguiera gymnorhiza ditemukan pada daerah dengan salinitas 10-20 ppm. Di Australia, Avicennia marina dapat tumbuh dengan tingkat salinitas maksimum 85 ppm, sedangkan Bruguiera spp. dapat tumbuh dengan salinitas tidak lebih dari 37 ppm (Wells 1982 dalam

Aksornkoae 1993). 2. Tanah

Tanah di hutan mangrove memiliki ciri-ciri yang selalu basah, mengandung garam, oksigen sedikit, berbentuk butir-butir dan kaya bahan organik (Soeroyo 1993). Tanah tempat tumbuh mangrove terbentuk dari akumulasi sedimen yang bersal dari sungai, pantai atau erosi yang terbawa dari dataran tinggi sepanjang sungai atau kanal (Aksornkoae 1993). Sebagian tanah berasal dari hasil akumulasi dan sedimentasi bahan-bahan koloid dan partikel. Sedimen yang terakumulasi di daerah mangrove memiliki kekhususan yang berbeda, tergantung pada sifat dasarnya. Sedimen yang berasal dari sungai berupa tanah berlumpur, sedangkan sedimen yang berasal dari pantai berupa pasir. Degradasi dari bahan-bahan organik yang terakumulasi sepanjang waktu juga merupakan bagian dari tanah mangrove. Soerianegara (1971) dalam Kusmana (1996) menjelaskan bahwa tanah mangrove umumnya kaya akan bahan organik dan mempunyai nilai nitrogen yang tinggi, kesuburannya bergantung pada bahan alluvial yang terendap.

Menurut Soeroyo (1993), pembentukan tanah mangrove dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

(31)

9 (b) faktor fisik-kimia, yaitu berupa penggabungan dari beberapa partikel oleh

penggumpalan dan pengendapan;

(c) faktor biotik, yaitu berupa produksi dan perombakan senyawa-senyawa organik.

3. Suhu

Menurut Aksornkoae (1993), suhu merupakan faktor penting dalam proses fisiologi tumbuhan seperti fotosintesis dan respirasi. Diperkirakan suhu rata-rata didaerah tropis meupakan habitat terbaik bagi tumbuhan mangrove. Mikroorganisme mempunyai batasan suhu tertentu untuh bertahan terhadap kegiatan fisiologisnya. Respon bakteri terhadap suhu berbeda-beda, umumnya mempunyai batasan suhu optimum 27–36˚C. Oleh karena itu, suhu perairan berpengaruh terhadap penguraian daun mangrove dengan asumsi bahwa serasah daun mangrove sebagai dasar metabolisme.

Hutchings dan Saenger (1987) menyatakan bahwa Avicennia marina yang ada di Australia memproduksi daun baru pada suhu 18–20˚C, jika suhunya lebih tinggi maka laju produksi daun baru akan lebih rendah. Selain itu, laju tertinggi produksi dari daun Rhizopora spp., Ceriops spp., Exocoecaria spp., dan Lumnitzera spp. adalah pada suhu 26–28˚C. Adapun laju tertinggi produksi daun Bruguiera spp. adalah 27˚C.

4. Curah hujan

Aksornkoae (1993) menyatakan bahwa jumlah, lama dan distribusi curah hujan merupakan faktor penting yang mengatur perkembangan dan penyebaran tumbuhan. Disamping itu curah hujan mempengaruhi faktor lingkungan lain, seperti suhu udara dan air, kadar garam air permukaan dan air tanah yang pada gilirannya akan mempengaruhi kelangsungan hidup spesies mangrove. Pada umumnya tumbuhan mangrove tumbuh dengan baik pada daerah dengan curah hujan kisaran 1 500 – 3 000 mm/tahun. Namun demikian

tumbuhan mangrove dapat juga ditemukan pada daerah dengan curah hujan 4 000 mm/tahun yang tersebar antara 8–10 bulan dalam 1 tahun. Menurut

Noakes (1951), iklim dimana tumbuhan mangrove dapat tumbuh dengan baik adalah iklim tropika yang lembab dan panas tanpa ada pembagian musim tertentu, hujan bulanan rata-rata sekitar 225–300 mm, serta suhu rata-rata maksimum pada siang hari mencapai 32˚C dan suhu rata-rata malam hari mencapai 23˚C.

5. Kecepatan angin

Angin merupakan faktor yang berpengaruh terhadap ekosistem mangrove melalui aksi gelombang dan arus di daerah pantai. Hal ini mengakibatkan terjadinya erosi pantai dan perubahan sistem ekosistem mangrove. Angin berpengaruh pada tumbuhan mangrove sebagai agen polinasi dan desiminasi biji, serta meningkatkan evapotranspirasi. Angin yang yang kuat memungkinkan untuk menghalangi pertumbuhan mangrove dan menyebabkan karakteristik fisiologis yang tidak normal. Angin juga berpengaruh terhadap jatuhan serasah mangrove, angin yang tinggi mengakibatkan besarnya produksi serasah.

6. Derajat kemasaman (pH)

(32)

10

adanya kation serta anion dalam perairan (Aksornkoae & Wattayakorn 1987

dalam Aksornkoae 1993). Nilai pH hutan mangrove berkisar antara 8.0 – 9.0 (Welch dalam Winarno 1996). Nilai pH yang tinggi lebih mendukung organisme pengurai untuk menguraikan bahan-bahan organik yang jatuh di daerah mangrove, sehingga tanah mangrove yang bernilai pH tinggi secara nisbi mempunyai karbon organik yang kurang lebih sama dengan profil tanah yang dimilikinya (Winarno 1996).

Air laut sebagai media yang memiliki kemampuan sebagai larutan penyangga dapat mencegah perubahan nilai pH yang ekstrim. Perubahan nilai pH sedikit saja akan memberikan petunjuk terganggunya sistem penyangga.

7. Zat hara

Aksornkoae (1993) menyatakan bahwa hara merupakan faktor penting dalam memelihara keseimbangan ekosistem mangrove. Hara dalam ekosistem mangrove dibagi kedalam dua kelompok:

a. Hara anorganik, yang penting untuk kelangsungan hidup organisme mangrove. Hara ini terdiri atas N, P, K, Mg, Ca, dan Na. Sumber utama hara anorganik adalah curah hujan, limpasan sungai, endapan, air laut, dan bahan organik yang terurai di mangrove;

b. Detritus organik, yang merupakan bahan organik yang berasal dari bioorganik yang melalui beberapa tahap pada proses mikrobial. Sumber utama detritus organik ada dua, antara lain:

- Autochtonous, seperti fitoplankton, diatom, bakteri, jamur, algae pada pohon atau akar dan tumbuhan lain di hutan mangrove;

- Allochtonous, seperti partikel-partikel dari aliran sungai, partikel tanah dari erosi darat, tanaman, dan hewan yang mati di daerah pesisir atau laut.

Keterkaitan Faktor Lingkungan Fisik dengan Kondisi Vegetasi

Eni et al. (2011) melaporkan bahwa vegetasi dan tanah saling berkaitan satu dengan lainnya. Vegetasi mendukung fungsi ekosistem dalam skala spasial. Vegetasi sangat mempengaruhi karakter tanah termasuk volume tanah, kimia tanah maupun tekstur, dimana karakter tersebut memberikan timbal balik terhadap karakteristik kerapatan, potensi, serta keanekaragaman vegetasi seperti produktivitas, struktur, dan komposisi flora.

(33)

11 Pada dasarnya, PCA dapat digunakan sebagai analisis antara maupun analisis akhir. Sebagai analisis antara, PCA dapat menghilangkan multikollinearitas atau dapat menyederhanakan data yang berpeubah banyak menjadi data yang berpeubah sedikit. Sebagai analisis akhir, PCA dapat digunakan untuk mengelompokkan peubah-peubah penting dari satu bundel peubah dasar penduga suatu fenomena, sekaligus memahami struktur dan melihat hubungan antar peubah tersebut. Format data untuk analisis PCA dapat disusun

membentuk suatu matriks yang berukuran n x p, dimana n : unit sample dan

p : jumlah peubah (jumlah kolom). Persamaan umum PCA yang dihasilkan adalah sebagai berikut: keragaman dari peubah komponen utama dihasilkan dari analisis, semakin besar nilai akar ciri maka semakin besar pula keragaman data awal yang mampu dijelaskan oleh data baru;

- Proporsi (proportion) dan kumulatif (cumulative);

- Nilai pembobot atau vektor ciri (eigen vector) yang merupakan parameter yang menggambarkan hubungan setiap peubah dengan komponen utama ke-i; - PC loading yang menggambarkan besarnya korelasi antar variabel pertama

dengan komponen ke-i;

- Component score yaitu nilai yang menggambarkan besarnya titik-titik data baru dari hasil komponen utama dan digunakan setelah PCA. Scores inilah yang digunakan jika terdapat analisis lanjutan setelah PCA.

Agar hasil PCA dapat bersifat deskriptif maka dilakukan analisis biplot yang dapat menyajikan secara visual segugus objek dan variabel dalam satu grafik berdimensi dua. Grafik yang dihasilkan dari biplot ini merupakan grafik yang berbentuk bidang datar. Dengan penyajian seperti ini, ciri-ciri variabel dan objek pengamatan serta posisi relatif antara objek pengamatan dengan variabel dapat dianalisis (Jollife 1986 & Rowling 1988 dalam Sartono et al. 2003). Informasi yang dihasilkan oleh analisis biplot meliputi objek dan variabel yang dapat menggambarkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Kedekatan antar objek yang diamati

Informasi ini dapat dijadikan panduan untuk mengetahui objek yang memiliki kemiripan karakteristik dengan objek lain. Dua objek yang memiliki karakteristik sama akan digambarkan sebagai dua titik dengan posisi yang berdekatan.

2. Keragaman variabel

(34)

12

3. Hubungan atau korelasi antar variabel

Dari informasi ini dapat diketahui bagaimana suatu variabel mempengaruhi ataupun dipengaruhi variabel yang lain. Pada analisis biplot, variabel akan digambarkan sebagai garis berarah. Dua variabel yang memiliki nilai korelasi positif akan digambarkan sebagai dua buah garis dengan arah yang sama atau membentuk sudut sempit. Sementara itu, dua variabel yang memiliki nilai korelasi negatif akan digambarkan dalam bentuk dua garis dengan arah yang berlawanan atau membentuk sudut lebar (tumpul). Adapun dua variabel yang tidak berkorelasi akan digambarkan dalam bentuk dua garis dengan sudut yang

mendekati 90˚ (siku-siku). 4. Nilai variabel pada suatu objek

Dalam informasi ini digunakan untuk melihat keunggulan dari setiap objek. Objek yang terletak searah dengan arah vektor variabel dikatakan bahwa objek tersebut mempunyai nilai di atas rata-rata. Namun jika objek terletak berlawanan dengan arah dari vektor variabel tersebut, maka objek tersebut memiliki nilai di bawah rata-rata. Adapun objek yang hampir berada ditengah-tengah berarti objek tersebut memiliki nilai dekat dengan rata-rata.

Pengaruh Faktor Lingkungan Fisik terhadap Keragaan Hutan

Keragaan hutan, khususnya kerapatan individu tumbuhan dan potensi hutan, erat kaitannya dengan pertumbuhan suatu spesies yang tidak terlepas dari adanya pengaruh faktor lingkungan fisik (abiotik). Analisis PCA hanya dapat menjelaskan keterkaitan antar variabel faktor lingkungan fisik dengan keragaan hutan, tidak dapat menjelaskan pengaruh variabel faktor lingkungan fisik terhadap keragaan hutan. Oleh karena itu, penentuan pengaruh faktor lingkungan fisik terhadap keragaan hutan dapat dianalisis dengan menggunakan metode analasis regresi

partial least square (PLS). Analisis regresi PLS adalah suatu teknik statistik multivariat yang bisa menangani banyak variabel respon dan variabel eksplanatori sekaligus (Abdi 2003). Analisis regresi PLS merupakan alternatif yang baik untuk metode analisis regresi berganda dan regresi komponen utama karena metode analisis ini bersifat lebih robust, artinya parameter model tidak banyak berubah ketika sampel baru diambil dari total populasi (Geladi & Kowalski 1986). Analisis regresi PLS pertama kali dikembangkan pada tahun 1960-an oleh Herman OA Wold dalam bidang ekonometrik. Analisis regresi PLS merupakan suatu teknik prediktif yang bisa menangani banyak variabel independen, bahkan sekalipun terjadi multikolinieritas diantara variabel-variabel tersebut.

Analisis regresi berganda sebenarnya bisa digunakan ketika terdapat variabel prediktor yang banyak. Namun, jika jumlah variabel tersebut terlalu besar (misal lebih banyak dari jumlah observasi) akan diperoleh model yang fit dengan data sampel, tapi akan gagal memprediksi untuk data baru. Fenomena ini disebut

(35)

13

3

METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di kawasan hutan mangrove Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan, yang merupakan bagian dari Cagar Alam Selat Sebuku yang termasuk dalam wilayah kerja Seksi Konservasi Wilayah III Balai Konservasi Sumberdaya Alam Kalimantan Selatan (Gambar 2). Pengumpulan data penelitian dilaksanakan selama 1 bulan (Mei 2013), kemudian dilanjutkan dengan pengolahan data selama 5 bulan (Juni – Oktober 2013) dan analisis data 6 bulan (Mei – Oktober 2014).

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh pohon dan permudaannya, serta habitus lainnya yang terdapat terdapat dalam jalur pengamatan; dan peta tutupan lahan Pulau Sebuku.

Alat- alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: GPS, kompas, peta kerja, pita ukur, tali tambang, haga hypsometer, termo-higrometer, bor tanah, salinometer/refraktometer, plastik dan botol sampel, gunting daun, perlengkapan herbarium, Munsell Color Soil Chart, kamera digital, seperangkat alat tulis, dan

tally sheet. Pengolahan dan analisis data menggunakan seperangkat komputer dengan sistem operasi Windows 7 Ultimate yang dilengkapi beberapa perangkat lunak sebagai berikut:

1. Microsoft Office Excel 2013 untuk perhitungan dan tabulasi;

2. ArcView GIS 3.3 untuk analisis dan pemetaan secara spasial;

3. Minitab 15.0 untuk analisis keterkaitan faktor lingkungan fisik terhadap kerapatan dan potensi hutan mangrove dengan metode Principal Component Analysis (PCA);

(36)

14

Prosedur Penelitian

Tahap Persiapan

Tahap persiapan meliputi beberapa kegiatan antara lain: (1) pengurusan izin administrasi penelitian di Balai Konservasi Sumberdaya Alam Kalimantan

Selatan, PT Bahana Cakrawala Sebuku, dan instansi terkait lainnya; (2) pengumpulan data sekunder/literatur terkait dengan penelitian; (3) observasi

kondisi lapang lokasi penelitian; serta (4) persiapan peralatan dan bahan dalam rangka pengambilan data lapangan.

Penentuan Desain Sampling Penelitian

Peletakkan unit contoh (desain sampling) yang digunakan dalam penelitian ini adalah probability sampling (penarikan contoh berpeluang) berupa two-stage sampling (penarikan contoh dua tingkat). Kusmana (1997) menyatakan bahwa

two-stage sampling memberikan keuntungan dalam mengkonsentrasikan pekerjaan pengukuran yang dekat dengan lokasi contoh primer yang terpilih dibandingkan menempatkan unit-unit contoh secara tersebar di seluruh areal hutan.

Dalam penelitian ini, tingkat pertama penarikan contoh dilakukan dalam menentukan titik-titik pengamatan. Titik-titik pengamatan penelitian ditentukan secara purpossive dengan pertimbangan tertentu berdasarkan tujuan penelitian dan karakteristik lapangan. Pertimbangan untuk menentukan titik pengamatan pada penelitian ini adalah muara sungai di Pulau Sebuku, dengan asumsi hutan mangrove di Pulau Sebuku memiliki kondisi vegetasi dan lingkungan fisik yang spesifik pada setiap muara sungai. Berdasarkan pertimbangan tersebut ditentukan titik-titik pengamatan seperti yang disajikan pada Gambar 3.

(37)

15 Adapun tingkat kedua penarikan contoh dalam penelitian ini dilakukan dengan membuat lima buah petak contoh berukuran 10 m × 100 m dengan jarak tiap petak contoh selebar 20 m pada setiap lokasi pengamatan, sehingga jumlah seluruh petak contoh penelitian adalah sebanyak 35 petak contoh atau seluas 3.5 ha (Intensitas sampling = 0.1%). Petak contoh dibuat dengan metode kombinasi antara metode jalur dengan metode garis berpetak. Arah jalur petak contoh dibuat memotong kontur atau tegak lurus garis pantai (tepi laut/selat). Desain petak contoh tersebut dibuat secara nested sampling (Gambar 4).

Gambar 4 Desain petak contoh berupa jalur berpetak (A: sub-petak contoh untuk risalah semai dan tumbuhan bawah berukuran 2 m × 2 m, B: sub-petak

contoh untuk risalah pancang berukuran 5 m × 5 m, dan C: sub-petak contoh untuk risalah pohon dan palem-paleman

berukuran 10 m × 10 m). Pengumpulan Data Penelitian

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder seperti yang disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Jenis dan metode pengumpulan data

Jenis data Data yang diukur Metode

A. Data primer

Vegetasi Tingkat pertumbuhan pohon:

- Nama jenis (lokal dan ilmiah) Identifikasi herbarium

- Jumlah individu tiap jenis Analisis vegetasi

- Diameter batang Analisis vegetasi

- Tinggi total Analisis vegetasi

Tingkat pertumbuhan pancang, semai, tumbuhan bawah, dan lainnya:

- Nama jenis (lokal dan ilmiah) Identifikasi herbarium

- Jumlah individu tiap jenis Analisis vegetasi

Lingkungan abiotik - Suhu udara Pengukuran langsung

- Kelembaban udara Pengukuran langsung

- Salinitas Analisis laboratorium

- Tekstur tanah 3 fraksi (pasir, debu, liat) Analisis laboratorium

- Sifat kimia tanah

a. pH tanah

b. C-Organik (Walkey & Black)

c. N-Total (Kjehdahl)

d. P-Tersedia (Bray I)

e. Kapasitas Tukar Kation

f. Ca

g. Mg

h. K

i. Na

(38)

16

Jenis data Data yang diukur Metode

B. Data sekunder

- Peta lokasi penelitian Dokumen/laporan

- Kondisi iklim lokasi penelitian Dokumen/laporan

- Peta penggunaan lahan di sekitar lokasi penelitian

Dokumen/laporan

- Peta hidrologi di sekitar lokasi penelitian Dokumen/laporan

- Kondisi sedimentasi di lokasi penelitian Dokumen/laporan

- Peta topografi lokasi penelitian Dokumen/laporan

- Kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar lokasi penelitian

Dokumen/laporan

Data primer yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah berupa data vegetasi dan data lingkungan abiotik. Data vegetasi dikumpulkan dengan teknik analisis vegetasi. Teknik analisis vegetasi ditujukan untuk menentukan struktur dan komposisi jenis dari suatu tegakan hutan. Teknik analisis vegetasi diterapkan pada jalur-jalur pengamatan dengan lebar 10 m dan panjang 100 m atau disesuaikan dengan kondisi lapangan, yang dibagi ke dalam beberapa sub-petak contoh untuk analisis vegetasi tingkat pohon dan permudaannya (semai dan pancang), serta bentuk hidup tumbuhan lainnya (tumbuhan bawah, epifit, liana, dan palem). Kriteria pohon dan permudaanya serta bentuk hidup tumbuhan lainnya tersebut dapat dilihat pada Tabel 2. Ukuran sub-petak contoh untuk setiap tingkat pertumbuhan vegetasi yang diamati adalah sebagai berikut:

1. Sub-petak contoh berukuran 2 m × 2 m untuk pengukuran permudaan tingkat semai dan tumbuhan bawah (rumput, herba, terna, semak belukar) dan epifit; 2. Sub-petak contoh berukuran 5 m × 5 m untuk pengukuran permudaan tingkat

pancang;

3. Sub-petak contoh berukuran 10 m × 10 m untuk pengukuran pohon, tumbuhan liana (berkayu dan tidak berkayu), pandan, dan palem.

Tabel 2 Kriteria pohon dan permudaan serta bentuk hidup tumbuhan lainnya yang diamati (Soerianegara & Indrawan 2005)

Tingkat permudaan dan bentuk hidup Tumbuhan lainnya

Kriteria

Pohon Pohon dengan diameter setinggi dada ≥ 10 cm

Pancang Anakan pohon dengan tinggi ≥ 1.5 m dan diameter sampai < 10 cm

Semai Anakan pohon dari mulai berdaun 2 sampai tinggi < 1.5 cm

Liana berkayu Tumbuhan pemanjat berkayu dengan panjang > 1.5 m

Liana tidak berkayu Tumbuhan pemanjat dengan panjang > 1.5 m

Palem Tumbuhan palem dengan panjang/tinggi > 1.5 m jika dewasa

Pandan Jenis-jenis tumbuhan pandan

Epifit Jenis-jenis epifit yang berada pada 2 m di atas permukaan tanah

Tumbuhan bawah Tumbuhan penutup tanah tidak berkayu mulai dari 2 daun sampai

tinggi < 1 m

(39)

17 Analisis Data

Analisis Data Vegetasi

Hasil pengumpulan data di lokasi penelitian diolah untuk menghitung Indeks Nilai Penting (INP), Indeks Dominansi Jenis (C), Indeks Keanekaragaman (H’), Indeks Kemerataan (E), Indeks Kesamaan Komunitas (IS), Indeks Kekayaan Jenis (R) dan Pola Penyebaran Individu Jenis. Selain itu, dilakukan pula analisis keterkaitan faktor lingkungan fisik dengan kekayaan jenis hutan mangrove di lokasi penelitian.

a. Indeks Nilai Penting

Komposisi pohon dan permudaannya, serta bentuk hidup tumbuhan lainnya dapat diketahui dengan menghitung indeks nilai penting (INP). INP juga dapat menggambarkan komposisi jenis dan tingkat penguasaan (dominansi) jenis dalam satu komunitas (Indriyanto 2008) dengan cara menjumlahkan nilai kerapatan relatif (KR), frekuensi relatif (FR) dan dominansi relatif (DR) dari suatu jenis tersebut (Curtis 1959 dalam Mueller-Dombois dan Ellenberg 1974). Untuk menghitung INP, digunakan beberapa rumus sebagai berikut:

Notasi LBDS menyatakan luas bidang dasar (m2) dan D adalah diameter pohon (m).

2. Kerapatan (K)

Notasi menyatakan kerapatan dengan satuan individu/ha. 3. Indeks nilai penting (INP)

Untuk tingkat pohon dan tiang: Untuk tingkat pancang dan semai:

Notasi KR menyatakan nilai kerapatan relatif yang diperoleh dari persamaan:

Notasi FR menyatakan nilai frekuensi relatif yang diperoleh dari persamaan:

(40)

18

Notasi DR menyatakan nilai dominansi relatif yang diperoleh dari persamaan:

Dalam menghitung DR, nilai dominansi (D) dihitung dengan persamaan: ; Nilai D dinyatakan dengan satuan m2/ha

b. Indeks Keanekaragaman Jenis

Analisis Indeks Keanekaragaman Jenis (H’) dihitung menggunakan rumus

keanekaragaman jenis Shannon (Magurran 1988) sebagai berikut:

Notasi H’ menyatakan indeks keanekaragaman Shannon, N adalah total jumlah individu semua jenis yang ditemukan, niadalah jumlah individu spesies ke-i, dan

s adalah total jumlah spesies ditemukan.

Terdapat tiga kriteria dalam analisis indeks keanekaragaman jenis yaitu jika

nilai H’ < 2, maka termasuk kedalam kategori rendah, nilai 2 < H’< 3, maka

termasuk kedalam kategori sedang dan akan dimasukkan kedalam kategori baik

bila H’ > 3 (Magurran 1988).

c. Indeks Kemerataan Individu per Jenis (Eveness Index)

Indeks Kemerataan Jenis (E) menunjukkan tingkat kemerataan individu per jenis. Jika nilai E semakin mendekati 1, maka nilai kemerataannya semakin tinggi. Nilai E (Pielou 1975 dalam Magurran 1988) dihitung menggunakan rumus matematis sebagai berikut:

Notasi E menyatakan indeks kemerataan jenis; H’ menyatakan indeks keanekaragaman jenis; S menyatakan jumlah jenis yang ditemukan.

Menurut Magurran (1988) besaran E < 0.3 menunjukkan kemerataan jenis yang rendah, 0.3 < E < 0.6 menunjukkan tingkat kemerataan jenis yang sedang dan E > 0.6 menunjukkan tingkat kemerataan jenis yang tergolong tinggi.

d. Indeks Dominansi Jenis (C)

Indeks Dominansi Jenis bertujuan untuk mengetahui pemusatan atau penguasaan suatu jenis pada suatu areal yang menggunakan rumus matematis (Simpson 1949 dalam Misra 1980) sebagai berikut:

(41)

19

Dimana:

C = Indeks Dominansi Jenis

ni = Kerapatan ke-i

N = Total Kerapatan

Nilai Indeks Dominansi Jenis berkisar antara 0 ≤ C ≤ 1. Bila suatu tegakan

hanya dikuasai oleh satu jenis saja maka nilai C akan mendekati 1, dengan kata lain telah terjadi pengelompokan/pemusatan suatu jenis tumbuhan. Sebaliknya, apabila nilai C mendekati nilai 0, maka tidak terjadi pemusatan jenis dimana terdapat beberapa jenis mendominasi secara bersama-sama.

e. Indeks Kesamaan Komunitas (IS)

Indeks Kesamaan Komunitas digunakan untuk mengetahui tingkat kesamaan komunitas tumbuhan dari dua tegakan yang dibandingkan pada setiap tingkat pertumbuhan. Nilai IS dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut (Mueller-Dombois dan Ellenberg 1974):

W = Jumlah nilai penting yang lebih kecil atau sama dari dua jenis/spesies berpasangan yang ditemukan pada dua komunitas

Nilai IS berkisar antara 0 – 100% dimana semakin tinggi nilai IS, maka komposisi jenis setiap komunitas semakin memiliki kesamaan.

Analisis Keterkaitan Faktor Lingkungan Fisik dengan Kerapatan dan Potensi Hutan Mangrove

Keterkaitan faktor lingkungan fisik terhadap kerapatan individu dan potensi pohon di hutan mangrove Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan, dianalisis dengan menerapkan analisis komponen utama / Principal Component Analysis (PCA). Variabel-variabel yang dimasukan dalam pengolahan data antara lain variabel salinitas, suhu dan kelembaban udara, tekstur tanah, bahan organik dan unsur hara tanah, kerapatan individu, dan potensi hutan mangrove.

Analisis Pengaruh Faktor Lingkungan Fisik terhadap Kerapatan dan Potensi Hutan Mangrove

(42)

20

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Letak dan Luas

Hutan mangrove Pulau Sebuku merupakan bagian dari Cagar Alam Selat Sebuku yang termasuk dalam wilayah kerja Seksi Konservasi Wilayah III Balai Konservasi Sumberdaya Alam Kalimantan Selatan. Secara geografis, kawasan ini terletak antara 0323’-0338’ LS dan 11615’-11624’ BT. Secara administratif, hutan mangrove Pulau Sebuku berada di wilayah Kecamatan Pulau Sebuku, Kabupaten Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan. Kawasan hutan ini berada di sepanjang pantai bagian barat Pulau Sebuku dengan luas sebesar 3 385 ha (BCS 2013).

Topografi dan Bentuk lahan

Hutan mangrove di Pulau Sebuku memiliki bentuk wilayah dataran datar dengan kemiringan lahan di bawah 3% didominasi bentuk lahan (landform) dataran lumpur pasang surut bervegetasi mangrove dan nipah yang menyebar di sisi barat pulau memanjang dari ujung utara sampai selatan pulau.

Tanah

Bahan induk di hutan mangrove Pulau Sebuku berupa bahan endapan aluvial dan marin. Bahan induk aluvial dan marin tersebut merupakan bahan hasil pengendapan dari bahan-bahan yang terbawa air dari bagian tengah berlereng (bahan aluvial) yang letaknya pada dataran pelembahan dan pantai dan yang terpengaruh oleh aktivitas laut (endapan marin) yang letaknya pada dataran pantai sepanjang sisi barat pulau.

Berdasarkan sistem klasifikasi taksonomi tanah USDA (1975), jenis tanah yang mendominasi hutan mangrove Pulau Sebuku adalah Sulfaquent dan

Hydraquent (Lampiran 1). Jenis tanah ini terbentuk dari endapan relatif muda pada daerah rendahan sering jenuh air bahkan tergenang atau banjir sehingga pembentukan dan perkembangan berlangsung pada pengaruh air yang tinggi. Tanah-tanah cenderung berwarna kelabu, dengan struktur yang tidak berkembang karena masa tanah melumpur atau sebaliknya pejal, drainase agak terhambat sampai buruk bahkan tergenang, tetapi sifat-sifat kimia sedikit lebih baik yaitu kapasitas tukar kation sedang dan kandungan basa-basa juga tergolong sedang. Hidrologi

(43)

21 Sungai Serakaman, Sungai Selamet, Sungai Merah, dan Sungai Tarusan. Sungai Serakaman, Sungai Tarusan, dan Sungai Dungun merupakan sungai utama di Pulau Sebuku dengan karakteristik yang dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Karakteristik sungai utama di Pulau Sebuku pada saat pasang naik

Kondisi hidrogeologi hutan mangrove Pulau Sebuku didominasi oleh akuifer produktif. Bagian timur hutan mangrove tersebut memiliki kondisi hidrogeologi akuifer produktifitas rendah, yang merupakan kelas hidrogeologi yang mendominasi seluruh Pulau Sebuku. Kondisi hidrogeologi di Pulau Sebuku dapat dilihat pada Lampiran 2.

Penggunaan Lahan

Berdasarkan hasil interpretasi Citra Lidar tahun 2011 dan pengamatan lapangan, hutan mangrove Pulau Sebuku berada di sepanjang sisi barat dari bagian utara sampai bagian selatan di Pulau Sebuku dengan luas mencakup 15.4% dari total luas Pulau Sebuku. Penggunaan lahan di Pulau Sebuku dapat dilihat pada Tabel 4 dan sebarannya secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 3.

Tabel 4 Penggunaan lahan di Pulau Sebuku No. Penggunaan Lahan Luas

(ha)

Gambar

Gambar 2  Peta lokasi penelitian.
Gambar 3  Desain penempatan titik pengamatan di lokasi penelitian.
Tabel 1  Jenis dan metode pengumpulan data
Tabel 4  Penggunaan lahan di Pulau Sebuku
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam hal tumbuhan tingkat permudaan, kompleks hutan Pusrehut UNMUL mempunyai jumlah jenis dan kelimpahan permudaan hutan yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kompleks

Tujuan penelitian ini menggambarkan kondisi fisik kerusakan ekosistem hutan mangrove oleh penduduk yang bermukim di sekitar kawasan hutan mangrove, jenis- jenis aktivitas

Lampiran 13.Dokumentasi Kondisi Lapangan Selama Pengamatan Burung di Hutan Mangrove

Untuk mengetahui komposisi dan jenis struktur tegakan pada hutan bekas tebangan pada RKL I sampai dengan RKL VII dan hutan primer, dibuat petak- petak pengamatan dimana pada

29 Jika dibandingkan dengan hutan mangrove di beberapa tempat lain di Kalimantan Timur, maka komposisi jenis pada tingkat semai, pancang, dan pohon yang tercatat

Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji komposisi dan struktur vegetasi mangrove alami di Kawasan Ekowisata Taman dan setiap transek dibuat (plot 5 x 5 m)

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui :Struktur dan komposisi vegetasi Hutan Mangrove Desa Tagalaya serta Hubungan antara kerapatan vegetasi (Pohon dan

Tujuan penelitian yaitu mengetahui komposisi jenis mangrove, mengetahui struktur komunitas hutan mangrove meliputi keanekaragaman jenis, dominansi jenis, kemerataan