99 Vol. 13 No. 2: 99-107 Mei 2021 Peer-Reviewed URL: https:https://ejournal.stipwunaraha.ac.id/index.php/AGRIKAN/ DOI: 10.29239/j.agrikan.13.2.99-107
Komposisi dan Kondisi Hutan Mangrove di Pulau Tarnana
Kecamatan Jailolo Selatan Propinsi Maluku Utara
(Composition and Condition of Mangrove Forest in Tarnana Island
Subdistrict South Jailolo, North Maluku Province)
Adi Noman Susanto1, Mesrawaty Sabar1, Salim Abubakar1, Sunarti1, Yuyun Abubakar1
1Program Studi Manajamen Sumberdaya Perairan, FPIK. Universitas Khairun Ternate. E-mail: mylasrinaldy@gmail.com
Info Artikel: Diterima: 26 Maret 2021 Disetujui: 02 Mei 2021 Dipublikasi: 17 Mei 2021
Artikel Penelitian Keyword: Composition, condition, mangrove forest, Tarnana Island Korespondensi: Salim Abubakar Universitas Khairun Ternate- Indonesia Email: mylasrinaldy@gmail.com Copyright© Mei 2021 AGRIKANAbstrak. Ekosistem mangrove sebagai salah satu ekosistem utama di wilayah pesisir yang sangat produktif,
namun sangat rentan terhadap perubahan-perubahan atau pengaruh eksternal. Sebagai ekosistem yang rentan, maka pengelolaan ekosistem mangrove harus memperhatikan keterpaduan secara ekologis, ekonomis dan sosial-budaya masyarakat agar pengelolaan secara optimal dan lestari tercapai. Tujuan penelitian yaitu mengetahui komposisi jenis mangrove, mengetahui struktur komunitas hutan mangrove (keanekaragaman jenis, dominansi jenis, keseragaman, kerapatan jenis, penutupan jenis) dan menentukan kondisi hutan mangrove di Pulau Tarnana Kecamatan Jailolo Selatan. Penelitian ini dilaksanakan di Pulau Tarnana Kecamatan Jailolo Selatan Kabupaten Halmahera Barat pada bulan Januari – Februari 2021. Metode pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode spot check. Pengambilan sampel dilakukan pada saat surut terendah dengan menggunakan 5 buah line transek dan masing-masing line transek ditempatkan 5 buah plot. Analisis data meliputi keanekaragaman jenis, dominansi jenis, keseragaman, kerapatan jenis dan penutupan jenis. Komposisi jenis mangrove di Pulau Tarnana yang diperoleh sebanyak 8 jenis yaitu Rhizophora apiculata, R. stylosa, Bruguirea gymnorrhiza, Ceriops decandra, Ceriops tagal, Sonneratia alba, Xylocarpus granatum dan Avicennia alba. Struktur komunitas mangrove memiliki keanekaragaman jenis tergolong sedang, tidak ada jenis yang mendominasi dan keseragaman sedang. Kondisi hutan mangrove di Pulau Tarnana dalam kategori rusak dengan kerapatan jarang.
Abstract. The mangrove ecosystem is one of the main ecosystems in the coastal area which is very productive, but is very vulnerable to changes or external influences. As a vulnerable ecosystem, mangrove ecosystem management has to concern the integration of the community's ecological, economic and socio-cultural aspects so that optimal and sustainable management is achieved. The research objectives were to know the composition of mangrove species, to determine the structure of the mangrove forest community (species diversity, species dominance, uniformity, species density, species cover) and to determine the condition of mangrove forests on Tarnana Island, Jailolo Selatan District. This research was conducted on Tarnana Island, Jailolo Selatan District, and West Halmahera Regency in January - February 2021. The sampling method was carried out using the spot check method. Sampling was carried out at the lowest tide by using 5 line transects and each line transect placed 5 plots. Data analysis included species diversity, species dominance, uniformity, species density and species cover. The composition of mangrove species on Tarnana Island was obtained as many as 8 species, namely Rhizophora apiculata, R. stylosa, Bruguirea gymnorrhiza, Ceriops decandra, Ceriops tagal, Sonneratia alba, Xylocarpus granatum and Avicennia alba. The structure of the mangrove community has moderate species diversity, no dominant species and moderate uniformity. The condition of the mangrove forest on Tarnana Island is in the damaged category with rare density.
I. PENDAHULUAN
Hutan mangrove merupakan jalur hijau daerah pantai yang mempunyai fungsi ekologis dan sosial ekonomi. Hutan mangrove termasuk kedalam sumberdaya yang dapat dipulihkan (renewable resources) yang menyediakan berbagai jenis manfaat yaitu manfaat langsung maupun manfaat tidak langsung. Mangrove secara langsung mendukung perikanan lokal dan perikanan komersial. Hutan mangrove ini juga menyediakan jasa ekosistem yang bermanfaat bagi
masyarakat pesisir, seperti stabilisasi pantai dan perlindungan badai (Muntalif et al., 2013).
Ekosistem hutan mangrove merupakan salah satu sumberdaya alam wilayah pesisir yang mempunyai fungsi dan manfaat sangat besar, yang dibagi menjadi tiga golongan besar secara fisik, biologis, dan ekonomi. Fungsi utama sebagai penyumbang ekosistem dan penyedia berbagai kebutuhan hidup bagi manusia dan mahluk hidup lainnya. Sumberdaya hutan mangrove sebagai penyedia sumberdaya kayu juga sebagai tempat
100
pemijahan (spawning ground), daerah asuhan (nursery ground), dan juga sebagai daerah untuk mencari makan (feeding ground) bagi ikan dan biota laut lainnya, juga berfungsi untuk menahan gelombang laut dan intrusi air laut kearah darat (Anugra, 2014).
Ekosistem mangrove di Indonesia memiliki tingkat keanekaragaman jenis yang tertinggi di dunia yaitu 89 jenis tumbuhan yang terdiri dari 35 jens pohon, 5 jenis terna, 9 jenis perdu, 9 jenis liana, 29 jenis epifit dan 2 jenis parasit. Namun demikian, hanya terdapat kurang lebih 47 jenis tumbuhan yang spesifik hutan mangrove. Sedikitnya pada hutan mangrove terdapat satu jenis tumbuhan sejati dominan yang termasuk ke dalam empat family Rhizophoraceae (Rhizopora sp., Bruguiera sp. dan Ceriops sp.), Sonneratiaceae (Sonneratia sp.), Avicinneaceae (Avicennia sp.) dan Meliaceae (Xylocarpus sp.) (Tuwo, 2011).
Aktivitas manusia merupakan salah satu faktor yang berperan penting dalam menentukan kehidupan dan kelestarian ekosistem mangrove, misalnya konversi lahan mangrove untuk berbagai peruntukan yang berdampak mengancam regenerasi stok sumberdaya ikan maupun non ikan yang memerlukan hutan mangrove sebagai daerah asuhan, pemijahan, dan mencari makan. Oleh karena itu diperlukan upaya-upaya pengelolaan lingkungan hidup yang dapat menjamin keberlanjutan ekosistem hutan mangrove (Abubakar dan Muksin, 2011).
Ekosistem mangrove sebagai salah satu ekosistem utama di wilayah pesisir yang sangat produktif, namun sangat rentan terhadap perubahan-perubahan atau pengaruh eksternal. Sebagai ekosistem yang rentan, maka pengelolaan ekosistem mangrove harus memperhatikan keterpaduan secara ekologis, ekonomis dan sosial-budaya masyarakat agar pengelolaan secara optimal dan lestari tercapai. Selain itu, wilayah pesisir merupakan suatu wilayah yang unik secara geologis, ekologis, dan merupakan domain biologis yang sangat penting dari berbagi kehidupan di darat dan di perairan, termasuk manusia. Sebagai negara kepulauan, sekitar 65% penduduk bermukim di wilayah pesisir dan tingkat ketergantungannya terhadap sumberdaya pesisir dan jasa lingkungan sangat tinggi sehingga tekanan dari proses kegiatan manusia yang tidak
terkendali merupakan ancaman bagi sumberdaya alam di wilayah tersebut (Tahir et al., 2017).
Hutan mangrove di Pulau Tarnana sebagian habitatnya sudah rusak sebagai akibat dari berbagai aktivitas antropogenik yang dilakukan oleh masyarakat sekitarnya seperti pengambilan kayu bakar, moluska, kepiting, ikan dan pembuangan sampah. Kegiatan tersebut apabila dibiarkan secara terus menerus akan berdampak berubahnya topografi pantai yang dapat mempengaruhi struktur mangrove, komposisi dan distribusi jenis serta luas kawasan. Olehnya itu perlu dilakukan penelitian tentang kondisi hutan mangrove di Pulau Tarnana Kecamatan Jailolo Selatan yang nantinya berguna sebagai bahan pertimbangan untuk pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan di Pulau Tarnana. Tujuan penelitian yaitu mengetahui komposisi jenis mangrove, mengetahui struktur komunitas hutan mangrove meliputi keanekaragaman jenis, dominansi jenis, kemerataan jenis, kerapatan jenis dan penutupan jenis dan menentukan kondisi hutan mangrove di Pulau Tarnana Kecamatan Jailolo Selatan.
II. METODE PENELITIAN 2.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Pulau Tarnana Kecamatan Jailolo Selatan Kabupaten Halmahera Barat (gambar 1), sedangkan waktu pelaksanaan pada bulan Januari – Februari 2021. 2.2. Prosedur Pengambilan Data
Pengambilan vegetasi mangrove dilakukan dengan menggunakan metode spot check
(Abubakar dan Ahmad, 2013). Pengambilan sampel dilakukan pada saat surut terendah dengan menggunakan 5 buah line transek dan masing-masing line transek ditempatkan 5 buah plot secara acak. Panjang line transek tergantung ketebalan mangrove dan penempatannya dilakukan secara acak. Data vegetasi diambil dengan menggunakan plot berukuran 10 x 10 m untuk pengamatan kategori pohon dan dalam ukuran tresebut di bagi menjadi 4 berukuran 5 x 5 m untuk kategori anakan dan 2 m x 2 m sebanyak 10 buah untuk kategori semaian (gambar 2). Jenis mangrove diidentifikasi langsung di lapangan berdasarkan petunjuk Noor et al., (2006) dan apabila ada jenis yang belum diketahui maka diambil daun, bunga dan buah.
101 Gambar 1. Peta lokasi penelitian
Gambar 2. Sketsa penempatan plot
2.3. Prosedur Analisa Data
2.3.1. Keanekaragaman Jenis (H')
Indeks keanekaragaman jenis adalah ukuran kekayaan komunitas dilihat dari jumlah spesies dalam suatu komunitas, berikut jumlah individu dalam tiap spesies. Untuk menghitung besarnya keanekaragaman digunakan metode Shannon dan Wiener (Kusmana, 2005; Rondo, 2015) sebagai berikut:
s iN
ni
N
ni
H
1 : ,ln
Keterangan: H = Keanekaragaman jenis ni = Jumlah individu jenis-iN = Jumlah seluruh individu
Dengan kriteria:
H' < 1 = Keanekaragaman jenis rendah, tekanan
ekosistem tinggi.
3
1
H
' Keanekaragaman jenis sedang, tekananekosistem sedang.
H' > 3 = Keanekaragaman jenis tinggi, tekanan ekosistem
rendah. 2.3.2. Dominansi Jenis (C)
Dominansi spesies adalah penyebaran jumlah individu tidak sama dan ada kecenderungan suatu spesies mendominasi. Untuk mengetahui indeks dominansi menurut Rondo (2015) yaitu:
102
2N
ni
C
Keterangan: C = Dominansi jenisni = Jumlah individu tiap jenis
N = Jumlah individu seluruh jenis
Dengan kriteria: Nilai C berkisar 0 – 1.
Jika C mendekati 0 berarti tidak ada spesies yang mendominasi dan apabila nilai C mendekati 1 berarti adanya salah satu spesies yang mendominasi.
Dengan kriteria:
0 < E ≤ 0,5 : Ekosistem berada dalam kondisi tertekan dan keseragaman rendah.
0,5 < E ≤ 0,75 : Ekosistem berada dalam kondisi kurang stabil dan keseragaman sedang.
0,75 < E ≤ 1,0 : Ekosistem berada dalam kondisi stabil dan keseragaman tinggi
2.3.4. Kerapatan Jenis
Kerapatan jenis (Di), yaitu jumlah individu jenis i dalam suatu area yang diukur (Abubakar dan Ahmad, 2013):
Keterangan :
Di = kerapatan jenis-i
ni = jumlah total individu dari jenis-i
A = luas areal total pengambilan contoh 2.3.4. Keseragaman (E)
Kemerataan jenis digunakan untuk melihat penyebaran setiap organisme pada suatu habitat yang ditempati. Kemerataan jenis mengikuti formula (Ludwig dan Reynold, 1988) sebagai berikut : max
'
H
H
E
Keterangan : E = Indeks kemerataan H’ = Keanekaragaman jenis Hmax = Ln S S = Jumlah taksa 2.3.5. Penutupan JenisPenutupan jenis (Ci) adalah luas penutupan jenis i dalam suatu unit areal tertentu (Abubakar dan Ahmad, 2013):
∑ Keterangan :
BA = (dalam cm2)
= suatu konstanta (3,1416)DBH = diameter pohon dari jenis-i =
CBH = lingkaran pohon setinggi dada A = luas areal total pengambilan
contoh (luas total plot contoh) 2.3.6. Penutupan Relatif Jenis
Penutupan Relatif Jenis (RCi) adalah perbandingan antara luas area penutupan jenis i (Ci) dan luas total areal penutupan untuk seluruh
jenis (C) (Abubakar dan Ahmad, 2013):
∑
2.3.7. Analisis Kondisi Hutan Mangrove
Analisis Kondisi ekosistem hutan mangrove dapat dilihat berdasarkan kerapatan pohon serta persentase penutupan lahan (tabel 1) (Abubakar et
al., 2020; Rumalean et al., 2019).
.
Tabel 1. Kriteria baku kerusakan mangrove menurut Kep-MENLH No. 201 (2004)
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Komposisi dan Distribusi Jenis Mangrove Komposisi jenis mangrove diperoleh sebanyak 4 Famili dengan 8 jenis. Famili Rhizophoraceae dengan 5 jenis yaitu Rhizophora
stylosa, R. apiculata, Bruguiera gymnorrhiza, Ceriops decandara, Ceriops tagal. Famili Sonneratiaceae (Sonneratia alba), Meliaceae (Xylocarpus granatum) dan famili Avicenniaceae (Avicennia alba). Komposisi jenis mangrove yang ditemukan disajikan pada tabel 2.
Tabel 2 menunjukkan distribusi jenis mangrove tertinggi pada Lintasan 2 dan 3 sedangkan sedikit pada Lintasan 1, 4 dan 5.
Penyebab tingginya komposisi jenis di Lintasan 2 dan 3 karena kondisi vegetasi masih bagus dan kurangnya kegiatan antropogenik yang dilakukan oleh masyarakat, selain itu substrat beragam (pasir, pasir berlumpur, lumpur, lumpur berpasir, pasir bercampur patahan karang). Sedangkan pada Lintasan 1, 4 dan 5 sebagian vegetasi mengalami kerusakan dan terdapat tumpukan sampah serta bekas penebangan.
Famili Rhizophoraceae memiliki komposisi
jenis lebih banyak diabandingkan dengan famili lainnya, karena peluang ditemukannya jenis dari famili ini lebih banyak, dan kondisi substrat sangat mendukung pertumbuhan dari famili ini,
Kriteria Penutupan (%) Kerapatan (pohon/ha)
Baik Rusak Sangat padat Sedang Jarang ≥ 75 ≥ 50 - < 75 < 50 ≥ 1500 ≥ 1000 - < 1500 <1000
103
seperti pasir, pasir bercampur patahan karang, lumpur berpasir dan lumpur sebagai media tumbuh bagi famili ini. Abubakar et al., (2018) menyatakan bahwa areal dengan tanah berlumpur dalam, Rhizophora mucronata merupakan vegetasi
yang dominan, sedangkan daerah-daerah yang berlumpur dangkal didominasi oleh Rhizophora
apiculata. Bila tanah banyak mengandung pasir
atau karang maka Rhizophora stylosa yang mendominasi.
Tabel 2. Komposisi dan distribusi jenis mangrove
No. Famili Jenis Nama Lokal Lintasan
1 2 3 4 5
1
Rhizophoraceae
Rhizophora stylosa Soki-soki √ √ √ √ √
2 Rhizophora apiculata Soki-soki √ √ √ √ √
3 Bruguiera gymnorrhiza Dau - √ √ √ √
4 Ceriops decandra Ting - √ √ - √
5 Ceriops tagal Ting √ - √ - -
6 Sonneratiaceae Sonneratia alba Posi-posi √ √ - √ -
7 Meliaceae Xylocarpus granatum Kira-kira - √ √ √ -
8 Avicenniaceae Avicennia alba Mangi √ - - - √
Keterangan : (√ ) = Ada, (-) = tidak ada
Ekosistem mangrove ditemukan masih dalam keadaan alami dimana belum terjadi alih fungsi lahan, maka dalam ekosistem tersebut terdapat banyak spesies yang tumbuh dan berkembang biak. Sedikitnya jumlah spesies mangrove disebabkan besarnya pengaruh antropogenik yang mengubah habitat mangrove untuk kepentingan lain seperti pembukaan lahan untuk pertambakan dan pemukiman (Abubakar dan Ahmad, 2013).
3.2. Struktur Komunitas Mangrove
Keanekaragaman merupakan indeks yang digunakan untuk menduga kondisi suatu perairan berdasarkan komponen biologisnya. Kondisi perairan dikatakan baik bila memiliki keanekaragaman tinggi, jumlah organisme banyak dan tidak terjadi dominasi dari salah satu atau beberapa jenis organisme. Hasil analisis struktur komunitas mangrove disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3. Struktur komunitas mangrove
Gambar 3 menunjukkan struktur komunitas jenis mangrove di Pulau Tarnana memiliki keanekaragaman jenis tergolong sedang dengan tekanan ekosistem sedang, tidak ada jenis yang mendominasi dan keseragaman sedang atau ekosistem berada dalam kondisi kurang stabil. Jika H' < 1 (keanekaragaman jenis rendah, tekanan ekosistem tinggi),
1
H
'
3
(keanekaragamanjenis sedang, tekanan ekosistem sedang) dan H' > 3 (keanekaragaman jenis tinggi, tekanan ekosistem rendah). Lebih lanjut dikatakan Ludwig dan Reynold (1988) bahwa apabila nilai kisaran keseragaman 0,5 < E ≤ 0,75 maka ekosistem berada dalam kondisi kurang stabil dan keseragaman sedang.
104
Keanekaragaman jenis tergolong sedang dipengaruhi oleh jumlah jenis yang ditemukan sebanyak 8 jenis. Selain itu dipengaruhi aktifitas masyarakat dalam memanfaatkan mangrove sebagai kayu bakar dan pembuangan sampah. Rahim et al., (2018) menyatakan bahwa keanekaragaman spesies suatu komunitas tinggi apabila komunitas itu disusun oleh banyak spesies. Sebaliknya, suatu komunitas memiliki nilai keanekaragaman yang rendah, apabila komunitas itu disusun oleh sedikit spesies dan ada spesies yang dominan. Lebih lanjut dikatakan Antu et al., (2015) bahwa keanekaragaman jenis mangrove tergolong sedang dipengaruhi oleh adanya pengaruh aktifitas masyarakat yang secara langsung merusak mangrove.
Indeks dominansi digunakan untuk mengetahui jenis biota tertentu yang mendominasi
di suatu habitat. Berdasarkan hasil analisis diperoleh nilai indeks dominansi jenis mangrove tergolong rendah atau tidak ada jenis yang mendominasi. Ini artinya belum terjadi persaingan yang berarti terhadap ruang, makanan, atau tempat hidup bagi organisme di lokasi penelitian. Menurut Rondo (2015), bahwa nilai dominansi (C) berkisar 0 – 1. Jika C mendekati 0 berarti tidak ada spesies yang mendominasi dan apabila nilai C mendekati 1 berarti adanya salah satu spesies yang mendominasi.
3.3. Kondisi Hutan Mangrove
Kondisi hutan mangrove dapat dilihat berdasarkan analisis kerapatan jenis (pohon/ha) dan penutupan relatif jenis. Analisis kerapatan dan penutupan jenis mangrove disajikan pada gambar 4 dan gambar 5.
.
Gambar 4. Kerapatan jenis mangrove
Kerapatan jenis tertinggi pada jenis
Rhizophora stylosa karena terdistribusi pada
semua plot (25 plot) dengan jumlah individu lebih banyak (208 individu). Jenis ini memiliki adaptasi tertinggi terhadap lingkungan, ini terlihat dari hasil pengamatan jenis ini hidup pada semua jenis substrat pasir, pasir berlumpur dan lumpur berpasir. Sedangkan kerapatan jenis terendah ditemukan pada jenis Sonneratia alba, karena peluang ditemukananya jenis ini sedikit (24 individu) dan umumnya ditemukan pada zona tengah dan belakang. Menurut Murhum et al., (2018) bahwa kerapatan jenis tertinggi disebabkan habitat yang cocok, kurangnya eksploitasi dan kemampuan mangrove beradaptasi dengan lingkungan
Rhizophora stylosa merupakan jenis yang
memiliki pola adaptasi terhadap semua jenis susbtrat (pasir, pasir bercampur patahan karang, pasir berlumpur dan lumpur berpasir).
Abubakar et al. (2020), menyatakan bahwa kerapatan jenis berhubungan dengan jarak pohon, jumlah individu ditemukannya jenis mangrove dan luas lokasi penelitian. Makin banyak jumlah individu yang diperoleh, maka nilai kerapatan semakin tinggi.
Sonneratia alba memiliki nilai penutupan
relatif jenis tertinggi. Hal ini berhubungan erat dengan diameter pohon, dimana jika diameter pohon berukuran besar maka akan memiliki nilai penutupan lebih besar walaupun jumlah
105
individunya sedikit. Sedangkan Ceriops tagal dengan penutupan relatif jenis rendah karena memiliki diameter pohon yang kecil dengan jumlah individu paling sedikit. Akbar et al., (2017), menyatakan bahwa penutupan jenis mangrove
menggambarkan tingkat penutupan terhadap lahan yang menjadi areal tumbuh mangrove. Tutupan jenis tertinggi disebabkan karena ukuran lingkar batang yang besar dengan tutupan kanopi yang tinggi.
Gambar 5. Penutupan relatif jenis mangrove
Berdasarkan rata-rata hasil analisis kerapatan jenis (431,50 pohon/ha) dan penutupan relatif jenis (12,5%), maka dapat dikemukakan kondisi hutan mangrove Pulau Tarnana dalam kategori rusak/jarang. Sebagaimana kriteria baku kerusakan mangrove yang telah ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 201 Tahun 2004 yaitu kerapatan jenis mangrove kriteria baik/sangat padat (≥1500 pohon/ha), baik/sedang (≥1000 - <1500), rusak/jarang <1000). Sedangkan untuk penutupan relatif jenis kriteria baik/sangat padat (≥ 75%), baik/sedang (≥50-<75%), rusak/jarang (< 50%).
Faktor penyebab kondisi hutan mangrove di Pulau Tarnana dalam kategori rusak dengan kerapatan jarang pada umumnya disebabkan oleh faktor manusia yaitu adanya kegiatan penebangan liar yang digunakan sebagai kayu bangunan, dayung, kayu bakar dan aktivitas pelabuhan. Hal ini terbukti dari hasil pengamatan di lapangan banyak sekali hasil penebangan pohon mangrove yang dilakukan oleh masyarakat. Disamping itu banyaknya sampah masyarakat yang hanyut di pulau ini sehingga menyebabkan terjadinya kematian pada jenis mangrove, karena sampah akan berdampak pada proses pernapasan (pneumatofhore) dari akar mangrove ketika terjadi surut. Menurut Japa dan Santoso (2019) bahwa sistem perakaran pneumatophores (akar udara)
berfungsi untuk membantu mangrove bernafas dan tegak berdiri. Sistem perakaran yang demikian ini memungkinkan mangrove memperoleh cukup udara pada habitat yang berlumpur dan miskin drainase.
Kerusakan mangrove selain faktor alamiah (bio-fisik) dapat juga disebabkan oleh adanya aktivitas manusia, misalnya pengambilan kayu bakar, bahan bangunan, bahan untuk membuat alat penangkapan ikan, aksesoris rumah tangga, dan juga digunakan sebagai bahan untuk pengobatan tradisional. Pembuangan sampah padat mengakibatkan terjadinya perembesan bahan-bahan pencemar dalam sampah padat yang kemudian larut dalam air ke perairan di sekitar pembuangan sampah dan kemungkinan terlapisnya pneumatofora dengan sampah yang akan mengakibatkan kematian pohon-pohon
mangrove (Hartati dan Harudu, 2016).
Pertambahan penduduk di sekitar Pulau Tarnana (Desa Sidangoli Dehe dan Sidangoli Gam) mengakibatkan adanya penggunaan lahan dan pemanfaatan sumberdaya alam secara berlebihan, sehingga keberadaan ekosistem mangrove semakin menipis dan rusak. Secara umum yang menjadi penyebab utama terjadinya kerusakan hutan mangrove di Pulau Tarnana yaitu karena ketidaktahuan masyarakat sekitarnya akan pentingnya ekosistem mangrove, masyarakat
106
kurang memahami manfaat mangrove bagi kehidupan dan kurangnya penguasaan manusia tentang teknik-teknik pengelolaan mangrove yang ramah lingkungan. Umayah et al., (2016), menyatakan kerusakan mangrove dapat dicegah dengan adanya keterlibatan masyarakat dalam proses rehabilitasi lahan. Adanya kegiatan rehabilitasi akan berdampak langsung pada masyarakat sekitar mangrove.
IV. PENUTUP
1. Komposisi jenis mangrove di Pulau Tarnana
yang diperoleh sebanyak 8 jenis yaitu
Rhizophora apiculata, R. stylosa, Bruguirea gymnorrhiza, Ceriops decandra, Ceriops tagal, Sonneratia alba, Xylocarpus granatum dan Avicennia alba.
2. Struktur komunitas mangrove di Pulau
Tarnana memiliki keanekaragaman jenis tergolong sedang dengan tekanan ekosistem sedang, tidak ada jenis yang mendominasi dan keseragaman sedang atau ekosistem berada dalam kondisi kurang stabil.
3. Kondisi hutan mangrove di Pulau Tarnana
dalam kategori rusak dengan kerapatan jarang.
REFERENSI
Abubakar, S dan A. Achmad. 2013. Tumbuhan Air (Panduan Pengajaran). LepKhair. Universitas Khairun. Ternate.
Abubakar, S dan D, Muksin. 2011. Pemanfaatan ekosistem hutan mangrove di Kecamatan Jailolo
Kabupaten Halmahera Barat Provinsi Maluku Utara,” Jurnal Ilmiah Prospek, vol. XIII, edisi
1 Januari 2011.
Abubakar, S., M. A. Kadir, N. Akbar danI. Tahir. 2018. Asosiasi dan Relung Mikrohabitat Gastropoda pada Ekosistem Mangrove di Pulau Sibu Kecamatan Oba Utara Kota Tidore Kepulauan Provinsi Maluku Utara. Jurnal Enggano, 3 (1) : 22-38.
Abubakar, S., R Subur, F. R. Malik dan N. Akbar. 2020. Damage level and area suitability of mangrove in small island Indonesia. International Conference on Fisheries and Marine IOP Conf. Series:
Earth and Environmental Science 584 (2020) 012037 IOP Publishing
doi:10.1088/1755-1315/584/1/012037.
Akbar, N., I. Marus, I. Haji, S. Abdullah, S. Umalekhoa, F.S. Ibrahim, M. Ahmad, A. Ibrahim, A. Kahar dan I. Tahir. 2017. Struktur Komunitas Hutan Mangrove Di Teluk Dodinga, Kabupaten
Halmahera Barat Provinsi Maluku Utara. Jurnal Enggano Vol. 2, No. 1, April 2017: 78-89.
Antu, Y. R., F. M. Sahami dan S. N. Hamzah. 2015. Keanekaragaman Jenis dan Indeks Nilai Penting
Mangrove di Desa Tabulo Selatan Kecamatan Mananggu Kabupaten Boalemo Provinsi Gorontalo. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. Volume 3, Nomor 1, Maret 2015 : 11 – 15.
Anugra, F. 2014. Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove Pantai di Desa Malakosa Kecamatan Balinggi
Kabupaten Parigi Moutong. Jurnal Ilmu Perikanan dan Kelautan, Vol 2, No. 1, 2014.
Hartati dan L. Harudu. 2016. Identifikasi Jenis-Jenis Kerusakan Ekosistem Hutan Mangrove Akibat Aktivitas Manusia Di Kelurahan Lowulowu Kecamatan Lea-Lea Kota Baubau. Jurnal Penelitian Pendidikan Geografi, 1 (1) : 30 – 45.
Hartati dan L. Harudu. 2016. Identifikasi Jenis-Jenis Kerusakan Ekosistem Hutan Mangrove Akibat Aktivitas Manusia Di Kelurahan Lowulowu Kecamatan Lea-Lea Kota Baubau. Jurnal
107
Japa, L dan D. Santoso 2019. Analisis Komunitas Mangrove di Kecamatan Sekotong Lombok Barat NTB.
Jurnal Bologi Tropis, 19 (1) :25 – 33. DOI: 10.29303/jbt.v19i1.1001.
Kusmana, C. 2005. Rencana Rehabilitasi Hutan Mangrove dan Hutan Pantai Pasca Tsunami di NAD dan Nias. Makalah dalam Lokakarya Hutan Mangrove Pasca Tsunami. Medan.
Ludwig, J. A., J. F. Reynolds. 1988. Statistical Ecology: A Primer of Methods and Computing. Wiley Press. New York.
Muntalif, B. S, O. Hasian dan E. Sembiring. 2013. Valuasi Ekonomi Dan Upaya Pengelolaan Hutan
Mangrove Di Kecamatan Muara Gembong Kabupaten Bekasi. Jurnal Teknik Lingkungan
Volume 19 Nomor 1, April 2013. Hal 82-90.
Murhum, M, S. Abubakar dan S. E. Widiyanti. 2018. Sumberdaya Pesisir dan Laut Desa Gotowasi. Studi
Ekologi, Ekonomi dan Sosial. Penerbit Samudera Biru. Yogyakarta. 134 hal.
Noor, Y.R., M. Khazali, dan N.N. Suryadiputra. 2006. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Ditjen PHKA dan Wetlands International Indonesia Programme. Bogor.
Rahim, S., D. K. Baderan dan M. S. Hamidun. 2018. Keanekaragam Spesies, Biomassa Dan Stok Karbon
Pada Hutan Mangrove Torosiaje Kabupaten Pohuwato-Provinsi Gorontalo. Jurnal Pro-Life
Volume 5 Nomor 3, November 2018 : 650 – 665.
Rondo, M. 2015. Metodologi Analisis Ekologi Populasi dan Komunitas Biota Perairan. Program Pascasarjana. Unsrat. Manado. 453 hal.
Rumalean, A. S., F. Purwati, B. Hendrarto dan S. Hutabarat. 2019. Struktur Komunitas Hutan Mangrove pada Kawasan Mempawah Mangrove Park di desa Pasir Mempawah Hilir. Jurnal Ilmu dan
Teknologi Kelautan Topis, 11 (1) : 221 – 230.
Tahir, I., R. E. Paembonan, Z. A Harahap, N. Akbar dan E. S. Wibowo. 2017. Sebaran Kondisi Ekosistem
Hutan Mangrove Di Kawasan Teluk Jailolo Kabupaten Halmahera Barat Provinsi Maluku Utara, Jurnal Enggano Vol. 2, No. 2, September 2017: 143-155.
Umayah, S., H. Gunawan dan M. N. Isda. 2016. Tingkat Kerusakan Ekosistem Mangrove di Desa Teluk Belitung Kecamatan Merbau Kabupaten Kepulauan Meranti. Jurnal Riau Biologia, 1 (4): 24-30.