• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis resiko iklim di das citarum hulu akibat perubahan iklim dan penggunaan lahan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis resiko iklim di das citarum hulu akibat perubahan iklim dan penggunaan lahan"

Copied!
151
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS RESIKO IKLIM DI DAS CITARUM HULU

AKIBAT PERUBAHAN IKLIM DAN TATA GUNA LAHAN

ADI RAKHMAN

G251100061

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Analisis Resiko Iklim di DAS Citarum Hulu akibat Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan” adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Maret 2013

Adi Rakhman

(3)

ABSTRACT

Adi Rakhman. Climate Risk Analysis at Upper CItarum Watershed Effect of Climate and Land Use Change, supervised by Rizaldi Boer as chairman and Yuli Suharnoto as member of advisory committee.

This research was conducted in Upper Citarum Watershed, West Java province with total area of 172,046 ha, from May to November 2012. The main objective of this study was to assess the effect of climate and land use changes on current and future flood risk in the upper watershed. The assessment was done using dynamic simulation model called Soil Water Assesessment Tool (SWAT). The SWAT model was calibrated using observation data from January 2001 to December 2002 and validated using observation data of 2003 and 2004. Calibration process were done using SUFI. The SUFI-2_SWAT CUP adjusted 20 parameters of the model consisting of streamflow, groundwater, main channel, hygrograph response unit, landuse management and soil parameters that provide the maximum correlation value between observation and simulation. The result of validation of the calibrated model provided Nash-Sutcliffe Efficiency (NSE) of 0.773 with R2 0.771 indicating the model is reliable to be used for further assessment. The assessment used land use 2000, 2010 and land use projection up to 2025 assuming the pattern of land use change following historical pattern. The percent forest cover under the three landuses was 42%, 34% and 26% respectively. The result of the assessment indicated that the land use influences the flood risk. The land with less forest cover would be exposed to higher flood risk. Under land use of 2000, the return period of having heavy flood was once in 14 years, under land use of 2010 and 2025, it increased to once in 13 and 10 years respectively. Climate change would increase flood risk. Under land use of 2010, the return period of flood risk will increase from once in 13 years to once in 5 years.

(4)

RINGKASAN

Adi Rakhman. Analisis Resiko Iklim Di Das Citarum Hulu Akibat Perubahan Iklim Dan Penggunaan Lahan. Dibimbing oleh Rizaldi Boer sebagai ketua komisi pembimbing dan Yuli Suharnoto sebagai anggota komisi pembimbing.

Penelitian ini dilakukan di DAS Citarum Hulu, Provinsi Jawa Barat dengan luas total 172.046 ha, dari Mei hingga November 2012. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menilai pengaruh iklim dan perubahan penggunaan lahan pada resiko banjir saat ini dan masa depan di daerah hulu. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan model simulasi dinamis, yaitu model Soil Water Assesment Tool (SWAT). Model SWAT dikalibrasi menggunakan data pengamatan dari Januari 2001 sampai Desember 2002 dan divalidasi menggunakan data pengamatan tahun 2003 dan 2004. Proses kalibrasi dilakukan dengan menggunakan SUFI-2_SWAT CUP. SUFI-2_SWAT CUP secara otomatis menyesuaikan 20 parameter dari model yang digunakan (terdiri dari parameter aliran sungai, air tanah, hidrograf, manajemen penggunaan lahan dan parameter tanah) untuk mendapatkan nilai korelasi tertinggi antara data observasi dan simulasi. Hasil validasi dari model menghasilkan nilai Nash-Sutcliffe Efisiensi (NSE) dari 0,773 dan R2 0,771 atau termasuk dalam kriteria yang layak digunakan untuk analisis selanjutnya. Parameter-patemeter yang terkalibrasi digunakan pada penggunaan lahan tahun 2000, 2010 dan proyeksi penggunaan lahan sampai tahun 2025 dengan asumsi pola perubahan penggunaan lahan mengikuti pola sejarah. Besarnya tutupan hutan dari tiga penggunaan lahan yang digunakan adalah 42%, 34% dan 26% untuk masing-masingnya. Hasil kajian menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan mempengaruhi besar kecilnya resiko banjir yang akan terjadi. Tanah dengan tutupan hutan yang mengalami pengurangan akan meningkatkan peluang terkena resiko banjir yang lebih tinggi. Dalam penggunaan lahan tahun 2000, periode ulang kejadian banjir sekali dalam 14 tahun, pada penggunaan lahan tahun 2010 dan 2025 meningkat menjadi sekali dalam 13 dan 10 tahun untuk masing-masingnya. Perubahan iklim akan meningkatkan resiko banjir. Dalam penggunaan lahan tahun 2010, periode ulang kejadian resiko banjir akan meningkat dari sekali dalam 13 tahun untuk sekali dalam 5 tahun.

(5)

@ Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitiian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tersebut tidak merugika kepentingan wajar IPB

(6)

ANALISIS RESIKO IKLIM DI DAS CITARUM HULU

AKIBAT PERUBAHAN IKLIM DAN TATA GUNA LAHAN

ADI RAKHMAN

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Klimatologi Terapan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : ANALISIS RESIKO IKLIM DI DAS CITARUM HULU AKIBAT PERUBAHAN IKLIM DAN TATA GUNA LAHAN

Nama Mahasiswa : Adi Rakhman

NRP : G 251100061

Program Studi : Klimatologi Terapan (KLI)

Disetujui, Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Rizaldi Boer, M.Sc Dr. Ir. Yuli Suharnoto, M.Sc

Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Klimatologi Terapan Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Tania June, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur selalu diucapkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan rahmat yang diberikan sehingga karya ilmiah yang berjudul Analisis Resiko Iklim di DAS Citarum Hulu akibat Perubahan Iklim dan Penggunaan Lahan ini dapat diselesaikan.

Melalui tulisan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Rizaldi Boer, M.Sc dan Dr. Ir. Yuli Suharnoto, M.Sc selaku komisi pembimbing yang telah memberikan arahan dan masukan dari awal penelitian hingga selesainya karya tulis ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Pusat Pengelolaan Resiko dan Peluang Iklim kawasan Asia Tenggara (CCROM Seap) yang telah memberikan dukungan materil maupun non materil selama masa kuliah dan penyelesaian tesis. Terima kasih juga disampaikan kepada istri tercinta dan orang tua atas doa dan motivasi yang selalu diberikan, tidak lupa diucapkan terima kasih kepada rekan-rekan yang telah banyak membantu dalam penyelesaian tesis ini.

Tesis ini masih jauh dari sempurna, namun diharapkan dapat bermanfaat bagi banyak pihak, khususnya dalam pengembangan kebijakan pengelolaan DAS ke depan.

Bogor, Februari 2013

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Banda Aceh pada tanggal 17 Nopember 1983 dari Ayah bernama Khairil [Alm] dan ibu Zainimar. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara.

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR ……… iii

DAFTAR TABEL ………. iv

DAFTAR LAMPIRAN ……….. v

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Permasalah ... 2

1.3. Tujuan ... 2

1.4. Kegunaan... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1. Daerah Aliran Sungai [DAS] ... 3

2.2. Siklus Hidrologi ... 4

2.3. Perubahan Penggunaan Lahan Di Kawasan DAS ... 5

2.4. Perubahan Iklim ... 8

2.5. Dampak Perubahan Iklim ... 10

2.6. Soil Water Assesment Tool (SWAT) ... 11

2.7. Regional General Circulation Model 3 (RegCM3) ... 12

2.8. Sequencial Uncertaint Fitting Version 2 (SUFI-2. SWAT-CUP) ... 13

III. METODOLOGI ... 16

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 16

3.2. Alat Dan Bahan ... 16

3.2.1. Alat ... 16

3.2.2. Bahan... 17

3.3. Tahap Pengerjaan ... 19

3.3.1. Persiapan dan Pengolahan Data Input ... 19

3.3.2. Simulasi SWAT untuk Kondisi Histori... 20

3.3.3. Kalibrasi dan Validasi Menggunakan SUFI 2_SWAT CUP ... 21

3.3.4. Simulasi SWAT untuk Kondisi Skenario ... 22

(11)

ii

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 25

4.1. Karateristik Daerah Penelitian ... 25

4.1.1. Topografi ... 25

4.1.2. Karateristik Tanah ... 26

4.1.3. Iklim di Daerah Penelitian ... 27

4.1.4. Kondisi Hidrologi Daerah Penelitian ... 29

4.1.5. Penggunaan Lahan ... 30

4.1.6. Data Iklim model Regm3 SRES A1B ... 34

4.1.7. Hubungan Debit Harian Dan Kejadian Banjir ... 34

4.2. Model Swat ... 35

4.2.1. Deliniasi DAS ... 35

4.2.2. Pembentukan HRU pada DAS Citarum Hulu ... 36

4.2.3. Simulasi model SWAT ... 37

4.3. Kalibrasi dan Validasi Model SWAT ... 37

4.3.1. Kalibrasi ... 37

4.3.2. Validasi ... 40

4.4. Simulasi Mwswat Untuk Kondisi Skenario ... 41

4.5. Perubahan Distribusi Debit ... 42

4.5.1. Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan ... 42

4.5.2. Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan dan Perubahan Iklim ... 43

4.6. Perubahan Peluang Distribusi Debit Yang Menyebabkan Banjir ... 47

4.6.1. Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan ... 47

4.6.2. Pengaruh Perubahan Iklim ... 47

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 49

5.1. Kesimpulan ... 49

5.2. Saran ... 49

VI. DAFTAR PUSTAKA ... 50

(12)

iii DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Siklus Hidrologi (http://www.sylvansource.com/hydrologic.html) ... 4

Gambar 2. Perubahan panjang musim kemarau di seluruh Indonesia ... 9

Gambar 3. Data dan informasi bencana di Indonesia ... 10

Gambar 4. Kejadian Banjir selama periode 1815-2011 ... 11

Gambar 5. Ilustrasi pemertaan grid matriks ReCM3 pada koordinat observasi di Bumi (http://climateprediction.net/content/regional-climate-models) ... 13

Gambar 6. Ilustrasi hubungan antara ketidakpastian parameter masukan dengan ketidakpastian hasil prediksi ... 14

Gambar 7. Lokasi penelitian DAS Citarum Hulu ... 16

Gambar 8. ASTER GDEM Upper Citarum 30o ... 17

Gambar 9. Tahapan penggunaan dari Model SWAT ... 20

Gambar 10. Diagram alir pengerjaan Tesis ... 24

Gambar 11. Peta Kemiringan lahan daerah Penilitian ... 25

Gambar 12. Peta Jenis Tanah, Puslitanak 1993 ... 26

Gambar 13. Posisi stasiun hujan dan pos duga air Nanjung ... 28

Gambar 14. Posisi grid Regcm dan pos duga air Nanjung ... 28

Gambar 15. Debit PDA Nanjung tahun 1991-2009 ... 29

Gambar 16. Penggunaan lahan tahun 2000 ... 30

Gambar 17. Penggunaan Lahan 2010 ... 30

Gambar 18. Penggunaan Lahan 2025 ... 31

Gambar 19. Grafik Perubahan 10 jenis penggunaan lahan ... 32

Gambar 20. Deskripsi stastistik curah hujan Regcm3 baseline [1991-2010] dan future [4 periode 2011-2090] ... 34

Gambar 21. Histogram debit dan kejadian banjir harian ( : debit yang tidak menyebabkan banjir, : debit yang menyebabkan banjir) ... 35

Gambar 22. Hasil deliniasi DAS Citarum Hulu dengan program SWAT ... 36

Gambar 23. HRU yang terbentuk melalui proses “creates HRU’s” ... 36

Gambar 24. Perbandingan debit observasi dan simulasi bulanan tahun 2001-2002 sebelum (kiri) dan setelah (kanan) proses kalibrasi ... 39

Gambar 25. Perbandingan debit simulasi dengan kedalaman air tahunn 2000 (kiri) dan 2001 (kanan) ... 40

Gambar 26. Perbandingan debit observasi dan simulasi pada proses validasi... 40

(13)

iv DAFTAR TABEL

Tabel 1. Indikator pengelolaan DAS... 7

Tabel 2. Indikator pengelolaan DAS (lanjutan) ... 8

Tabel 3. Penjelasan hubungan antara ketidakpastian parameter dengan ketidakpastian hasil prediksi ... 14

Tabel 4. Daftar Stasiun yang digunakan ... 18

Tabel 5. Skenario simulasi SWAT ... 23

Tabel 6. Jenis, Luas dan Persentase lerengan daerah penelitian ... 25

Tabel 7. Jenis tanah berdasarkan klas Ordo ... 26

Tabel 8. Jenis tanah berdasarkan klas Ordo (lanjutan) ... 27

Tabel 9. Rata-rata bulanan data iklim observasi 1999-2005 di Stasiun klimatologi Banjaran ... 29

Tabel 10. Penggunaan lahan 2000, 2010 dan 2025 ... 31

Tabel 11. Perubahan penggunaan lahan tahun 2000 menjadi 2010 [%] ... 32

Tabel 12. Perubahan penggunaan lahan tahun 2000 menjadi 2025 [%] ... 33

Tabel 13. Perubahan penggunaan lahan tahun 2010 menjadi 2015 (%) ... 33

Tabel 14. Hasil perbandingan data observasi dan simulasi ... 37

Tabel15. Parameter-parameter yang digunakan untuk proses kalibrasi ... 38

Tabel 16. Data debit observasi dan simulasi sebelum dan sesudah proses kalirasi [m3/dtk] ... 39

Tabel 17. Data debit observasi dan simulasi setelah validasi ... 40

Tabel 18. Deskripsi statistik distribusi debit (m3/dtk) disebabkan perubahan penggunaan lahan ... 42

Tabel 19. Deskripsi statistik distribusi debit (m3/dtk) disebabkan perubahan penggunaan lahan dan perubahan iklim ... 43

Tabel 20. Parameter-parameter sebaran Gamma 3 parameter distribusi debit hasil simulasi ... 44

Tabel 21. Sidik ragam pengaruh perubahan iklim dan penggunaan lahan terhadap parameter bentuk ... 45

Tabel 22. Sidik ragam pengaruh perubahan iklim dan penggunaan lahan terhadap parameter skala ... 45

Tabel 23. Hasil Uji Duncan pengaruh perubahan iklim terhadap parameter bentuk ... 46

Tabel 24. Hasil Uji Duncan pengaruh perubahan iklim terhadap parameter bentuk ... 46

Tabel 25. Frekuensi dan peluang debit yang menyebabkan banjir (penggunaan lahan) ... 47

(14)

v DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Tahapan pembuatan parameter-parameter pembangkit data iklim harian ... 53

Lampiran 2. Karateristik tanah untuk input SWAT ... 57

Lampiran 3. Sifat fisik dan kimia Tanah yang digunakan ... 58

Lampiran 4. Format untuk List stasiun dan pos data iklim ... 62

Lampiran 5. Format dari tampilan unsur iklim ... 62

Lampiran 6. Tahapan Simulasi SWAT: Dialog-box pembentukan jaringan deliniasi DAS Citarum Hulu ... 62

Lampiran 7. Tahapan Simulasi SWAT: Dialog-box pembentukan HRU ... 63

Lampiran 8. Tahapan Simulasi SWAT: input wather generator dan data iklim yang digunakan ... 64

Lampiran 9. Tahapan Simulasi SWAT: Dialog-box input daftar posisi stasiun dan weather generator ... 64

Lampiran 10. Tahapan Simulasi SWAT: Simulasi SWAT ... 65

Lampiran 11. Software SWAT Cup: SUFI 2 ... 65

Lampiran 12. Nilai CN untuk berbagai penutupan lahan sesuai dengan kondisi hidrologi tanah ... 66

(15)

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

DAS Citarum merupakan DAS utama di Jawa Barat yang memiliki luas 6.080 km2 dengan sungai utama Citarum dengan panjang mencapai 300 km yang melewati 7 kabupaten di Jawa Barat. Dibagian hulu terdapat tiga waduk yang mengoperasikan tiga PLTA (Saguling, Cirata dan Jatiluhur) yang memasok hamper 20% kebutuhan listrik Jawa Bali. Sedangkan pada bagian hilir, sungai Citarum dimanfaatkan sebagai penyedian air untuk keperluan irigasi, air baku air minum (PDAM) dan kebutuhan industri. Posisi dan peranan DAS Citarum yang sangat penting serta strategi tersebut tidak diikuti dengan pengelolaan lahan yang baik, sehingga mempengaruhi karateristik hidrologi dari DAS.

Perubahan karateristik suatu DAS yang diakibatkan oleh perubahan penggunaan lahan telah banyak dilaporakan dalam penelitian, diantaranya Feri (2007) menyatakan perubahan penggunaan lahan di DAS Atokan selama tahun 1992, 2001, dan 2003 mengakibatkan peningkatan selisih debit maksimum-minimum sungai berturut-turut sebesar 23,58 m3/detik, 39,26 m3/detik dan 89,28 m3/detik. Hasil penelitian Suryani (2005) di DAS Cijalupang yang merupakan sub DAS dari DAS Citarum bagian hulu menunjukkan bahwa terjadinya perubahan penggunaan lahan dari tahun 1990 sampai 2002 berupa penurunan luas hutan, semak, kebun campuran dan sawah masing-masing 2,3%, 0,8%, 7,3% dan 0,9%, disisi lain terjadinya peningkatan perkebunan teh, tegalan dan pemukiman masing-masing sebesar 0,5%, 5,7% dan 5,1% telah menyebabkan terjadinya peningkatan aliran permukaan sebesar 20,42%.

Peningkatan deforestasi dengan dampak degatifnya telah dikenali terjadi di sejumlah daerah aliran sungai (DAS) di Jawa sejak abad 20 lalu, dan disadari sebagai awal permasalahan lingkungan hidup di Indonesia. Berdasarkan data-data yang dikumpulkan, terjadi peningkatan kejadian banjir pada kawasan multi DAS Citarum Ciliwung Jawa Barat, dimana kawasan yang sering dilanda kejadian banjir adalah wilayah kecamatan Cikancung, Majalaya, Baleendah dan Dayeuhkolot. Berdasarkan tabel kronologis, banjir yang terjadi pada tahun 1984 menyebabkan genangan luapan citarum di cekungan Bandung dengan luas mencapai 47.000 ha. Kondisi terbaru adalah banjir yang terjadi pada tahun 2007, dimana banjir tersebut menggenangi kawasan pemukiman di Bandung selatan, terutama kecamatan Deyeuhkolot, Majalaya, Banjaran, Pameungpeuk dan Balaendah dengan luasan genangan mencapai 2.701 ha.

(16)

2 (2007) meneliti bahwa intensitas curah hujan di pulau Jawa akan meningkat dengan panjang musim hujan yang semakin pendek. Sehingga kedepanny diprediksi bahwa terjadi perubahan dari siklus hujan akan menyebabkan semakin banyaknya kejadian hujan ekstrim seperti banjir dan kekeringan.

Pada saat ini telah banyak dikembangkan model-model hidrologi untuk melihat pengaruh dari penggunaan lahan terhadap karateristik suatu DAS. Salah satu model hidrologi yang dapat digunakan secara bebas (open source) adalah SWAT. Sehingga instansi-instansi yang berhubungan langsung dengan system DAS dapat membuat perencanaan pengelolaan DAS yang baik yang dapat mengurangi atau mencegah peluang terjadinya bencana iklim dimasa depan.

1.2. Permasalah

Tutupan lahan di DAS Citarum Hulu saat ini banyak didominasi oleh kawawasan pemukiman dan lahan pertanian semusim. Berdasarkan kecendrungan penggunaan lahan yang terjadi selama ini, kemungkinan tutupan lahan di DAS Citarum hulu ke depan akan semakin didominisasi oleh tutupan non-hutan. Perubahan ini diperkirakan akan mempengaruhi regim aliran sungai di DAS Citarum dan akan meningkatkan resiko iklim khususnya bencana kekeringan di musim kemarau dan banjir di musim hujan. Perubahan iklim diperkirakan akan semakin memperbesar tingkat resiko iklim. Ketersedian kajian yang dapat digunakan untuk memberikan arahan dalam perencanaan penggunaan lahan masa depan dengan mempertimbangkan perubahan iklim menjadi sangat penting. .

1.3. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah menilai dampak perubahan tata guna lahan dan iklim terhadap resiko kejadian banjir di DAS Citarum Hulu.

1.4. Kegunaan

(17)

3 II.TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Daerah Aliran Sungai [DAS]

Daerah Aliran Sungai (DAS) dapat diartikan sebagai suatu kawasan yang dibatasi oleh topografi alami, dimana air yang jatuh pada DAS tersebut keluar melalui satu aliran tunggal yang akhirnya sampai pada satu titik tertentu atau sering disebut outlet. Menurut Pawitan (1999), DAS merupakan satu satuan wilayah berupa sistem lahan dengan tutupan vegetasi, dibatasi oleh batas-batas topografi alami (seperti punggung-punggung bukit) yang menerima curah hujan sebagai masukan, mengumpulkan dan menyimpan air, sedimen dan unsur hara lainnya, serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai untuk akhirnya keluar melalui satu sungai utama ke laut atau danau.

Karateristik suatu DAS sangat bergantung kepada kondisi alam dan iklim diantaranya jenis tanah, topografi, tata guna lahan dan besarnya curah hujan. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi besar-kecilnya aliran permukaan yang terjadi, dimana laju aliran suatu DAS akan semakin cepat dengan semakin besarnya kemiringannya.

Bagian hulu dari suatu DAS memegang peranan penting terhadap keseluruhan DAS, karena keberlangsungan kondisi air dari hulu sampai hilir sangat dipengaruhi bagaimana kondisi DAS dibagian hulu tersebut. Alih fungsi lahan dibagian hulu tidak hanya mempengaruhi kondisi didaerah tersebut, akan tetapi juga mempengaruhi bagaimana kualitas air, debit, dan sedimen yang nantinya akan sampai dibagian hilir. Sebagaimana terdapat dalam peraturan Dirjen Rehabilitasi lahan dan Perhutanan Sosial No: P.04/V-SET/2009 juga disebutkan bahwa perubahan kondisi hidrologis suatu DAS yang berdampak negatif seperti erosi dan sedimen, penurunan produktifitas lahan dan degradasi lahan dipicu oleh faktor kegiatan manusia, selain faktor peristiwa alam. Sehingga diperlukan kegiatan-kegiatan yang dapat mendukung proses identifikasi kondisi DAS sehingga dapat direncanakan pengelolaan DAS yang sesuai.

(18)

4 terwujutnya pembangunan yang berkelanjutan, berwawasan lingkungan dan berkeadilan.

2.2. Siklus Hidrologi

Asdak (2002), mendifinisikan hidrologi sebagai suatu kajian ilmu yang mempelajari tentang air (pada fase gas, cair mupun padat) yang berada di dalam tanah dan di udara, distribusi, siklus dan perilakunya. Siklus hidrologi atau sering disebut sebagai keseimbangan hidrologi merupakan keseimbangan antara total masukan (input) dengan total luaran (output). Dalam sistem DAS siklus hidrologi digambarkan sebagai hubungan antara hujan sebagai input dengan debit sebagai output dan karateristik serta proses sebagai struktur sistemnya.

Menurut Chow dan kawan-kawan (1988), siklus hidrologi adalah sirkulasi air yang tidak pernah berhenti dan didalamnya terjadi berbagai proses secara terus-menerus. Air menguap dari lautan, danau, sungai, dan permukaan tanah menuju atmosfer (evaporation). Di atmosfer, uap air dipindahkan dan diangkat sampai terkondensasi dan jatuh sebagai hujan (preciptation), dan dalam perjalanan menuju bumi sebagian hujan kembali dievaporasikan ke atmosfer. Air yang jatuh sebagian diintersepsikan oleh vegetasi, masuk kedalam tanah melalui permukaan (infiltration), mengalir sebagai aliran bawah permukaan (subsurface flow), dan mengalir sebagai aliran permukaan (surface runoff). Sebagian besar air yang diintersepsi dan mengalir di permukaan kembali ke atmosfer melalui proses evaporasi. Air yang diinfiltrasi dapat masuk ke lapisan tanah yang lebih dalam dan mengisi air bawah tanah (percolation), kemudian muncul sebagai mata air di sungai, akhirnya kembali ke laut atau menguap ke atmosfer.

Soemarto (1995) juga menjelaskan siklus hidrologi sebagai pergerakan air permukaan yang mengalir ke sungai dan berikutnya akan mengalir ke laut yang akhirnya akan menguap kembali ke atmosfer. Kemudian dengan proses alam air yang dalam bentuk uap akan berubah dan jatuh dalam bentuk hujan dan sebagian dari air yang jatuh akan menyusup kedalam tanah (infiltrasi), sebagian yang lain akan menguap kembali (evaporasi) dan sebagian yang lain akan mengalir diatas permukaan (run off). Proses tersebut akan berlangsung dan berputar secara terus menerus.

(19)

5 Siklus hidrologi yang berlangsung pada suatu DAS dipengaruhi oleh kondisi iklim, topografi dan geologinya. Unsur-unsur iklim yang mempengaruhi diantaranya curah hujan, suhu udara, kecepatan angin, kelembaban dan radiasi matahari yang sangat ditentukan oleh posisi dari garis bujur dan lintang. Topografi juga berperan penting dalam hidrologi karena mempengaruhi kondsi iklim yang terjadi, sedangkan geologi mempengaruhi karateristik pergerakan air yang meresap kedalam tanah dan bergerak menuju hilir.

Topografi atau kemiringan lereng sangat berhubungan dengan besarnya erosi. Semakin besar kemiringan lereng maka peresapan air hujan ke dalam tanah menjadi lebih kecil sehingga mengakibatkan limpasan permukaan dan erosi menjadi lebih besar. Arsyad (2006) mengkategorikan kecuraman suatu lereng menjadi:

1. 0 sampai < 3% (datar)

2. 3% sampai 8% (landai atau berombak)

3. 8% sampai 15% (agak miring atau bergelombang) 4. 15% sampai 30%

5. 30% sampai 45% (agak curam atau bergunung) 6. 45% sampai 65% (curam)

7. ≥ 65% (sangat curam)

2.3. Perubahan Penggunaan Lahan Di Kawasan DAS

Lahan merupakan bagian dari bentang lahan (landscape) yang mencakup pengertian lingkungan fisik termasuk iklim, topografi hidrologi termasuk vegetasi alami yang semuanya akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan (Sitorus, 2004b). Secara umum penggunaan lahan dapat dibedakan dalam 2 kategori, yaitu kategori penggunaan lahan pertanian dan kategori non pertanian. Penggunaan lahan pertanian adalah yang berkaitan dengan penyedian air dan komoditas pertanian yang diusahakan pada suatu lahan, misalnya ladang/ tegalan, perkebunan, kebun campuran, sawah, padang rumput, hutan primer dan hutan sekunder, sedangkan penggunaan lahan non pertanian adalah kegiatan yang berkaitan dengan penyediaan air akan tetapi tidak berhubungan dengan tanaman, misalnya permukiman, industri, pertambangan, transportasi, kawasan komersial (Arsyad, 2009).

(20)

6 lahan pertanian dan pemukiman, sedangkan di daerah pinggir kota (suburban) dan perkotaan (urban) terjadi dari lahan pertanian menjadi pemukiman dan industri. Perubahan pengggunaan lahan tersebut menurut Agus et.,al (2003b) dapat berdampak kepada keseimbangan hidrologi DAS, yaitu terhadap peningkatan ancaman banjir dan kekeringan.

Asdak (2002) mengemukakan bahwa terdapat beberapa komponen hidrologi yang terpengaruh diakibatkan adanya penggunaan lahan dan kegiatan pembangunan di bagian hulu DAS, namun beberapa yang menjadi fokus utama dan perlu menjadi perhatian, yaitu:

1. Koefisien runoff (C), yang menunjukkan persentase besarnya air hujan yang menjadi runoff.

2. Koefisien rejim sungai (KRS), adalah koefisien yang menyatakan perbandungan debit harian rata-rata maksimum dengan rata-rata minimum. 3. Nisbah/ perbandingan anatara debit maksimum (Qmax) dan debit minimum

(Qmin) dari tahun ke tahun, dan diamati kecendrungan perubahannya. Evaluasi

ini untuk melihat keadaan DAS secara makro.

4. Kadar muatan sedimen dalam aliran sungai, yang dinyatakan dalam satuan mg/liter air. Evaluasi sedimen aliran sungai dikaitkan dengan debit air yang mengalir, dan digambarkan pada Sedimen-Discharge Rating Curve yaitu kurva hubungan antara muatan sedimen (Cs) dan debit sungai (Q). Kurva ini

berbentuk logaritmik dan dapat digunakan sebagai alat evaluasi. 5. Karateristik air tanah

6. Frekuensi dan periode ulang banjir

Evaluasi keenam komponen hidrologi ini membutuhkan data iklim (curah hujan, suhu, kelembaban, kecepatan angin dan radiasi surya), data runoff, debit aliran sungai, potensi air tanah dan sedimen air sungai. Hasil dari evaluasi enam komponen hidrologi digunakan sebagai alat identifikasi untuk melihat kondisi suatu DAS berada pada kondisi normal atau mulai terganggu. Kondisi DAS dalam keadaan normal apabila fluktuasi C, nisbah Qmax/Qmin dan koefisies arah kurva Cs

(21)

7 Tabel 1. Indikator pengelolaan DAS

Kriteria Indikator Parameter Standar Keterangan

Penggunaan

keluarga pe tahun Garis kemiskinan

(22)

8 Tabel 2. Indikator pengelolaan DAS (lanjutan)

Kriteria Indikator Parameter Standar Keterangan

Kelembagaan

Sumber: Supriyono, 2001 dan Asdak, 2007 dalam Sucipto, 2008

2.4. Perubahan Iklim

Perubahan iklim adalah berubahnya kondisi fisik atmosfer bumi seperti suhu dan distribusi curah hujan, dimana perubahan tersebut dapat membawa dampak luas terhadap berbagai sektor kehidupan manusia (Kementerian Lingkungan Hidup, 2001). Perubahan fisik ini tidak terjadi hanya sesaat, akan tetapi terjadi dalam kurun waktu yang panjang.

IPCC (2001) menyatakan bahwa perubahan iklim merujuk pada variasi rata-rata kondisi iklim suatu tempat atau pada variabilitasnya yang nyata secara statistik untuk jangka waktu yang panjang (biasanya dekade atau lebih).

LAPAN (2002) mendefinisikan perubahan iklim adalah perubahan rata-rata salah satu atau lebih elemen cuaca pada suatu daerah tertentu. Sedangkan istilah perubahan iklim skala global adalah perubahan iklim dengan acuan wilayah bumi secara keseluruhan. Lapan juga mencoba membuat kriteria untuk kondisi perubahan iklim seperti:

1. Suhu permukaan rata-rata dunia telah meningkat sekitar 1.0°F sejak akhir abad ke 19.

2. 10 tahun terpanas pada abad ini terjadi pada 15 tahun terakhir. Dalam hal ini, 1998 merupakan tahun paling panas.

3. Tutupan salju di Kutub Utara dan apungan es di Lautan Arktik telah menurun.

4. Secara menyeluruh, level laut telah meningkat 4-10 inch dibanding abad lalu, sebagian besar disebabkan oleh ekspansi termal pada lautan.

(23)

9 Perubahan iklim tidak hanya memberikan dampak negatif, akan tetapi juga dampak positif bagi semua sektor kehidupan manusia. Namun demikian, sebahagian besar dampak yang ditimbulkan adalah dampak negatif. Untuk menilai dampak perubahan iklim diperlukan perkiraan bagaimana iklim itu berubah pada tingkat lokal dan regional, serta bagaimana perubahan tersebut mempengaruhi ekosistem dan kehidupan manusia. Umumnya para ilmuwan menggunakan Global Circulation Models/ Model sirkulasi umum (GCMs). GCMs telah digunakan untuk menilai dampak perubahan iklim pada semua sektor kehidupan di Indonesia (KNLH, 1998; Kurniawan dkk, 2009)

Salah satu permasalahan dari kebutuhan manusia yang terpengaruhi oleh dampak perubahan iklim adalah ketersedian air. Waggoner dalam Swandayani (2010) menyatakan bahwa peningkatan suhu akan diikuti oleh peningkatan evapotranspirasi, dan berpengaruh pada run off (aliran permukaan/limpasan) sehingga keseimbangan hidrologi akan terganggu. Apabila evapotranspirasi di suatu wilayah meningkat sebagai respon terhadap kenaikan suhu atmosfer, sedangkan curah hujan tetap atau bahkan berkurang maka wilayah tersebut akan kekurangan persediaan air, bahkan kemungkinan besar terjadi bencana kekeringan. Sedangkan di beberapa wilayah akan memperoleh intensitas hujan yang lebih besar sehingga akan meningkat intensitas bencana banjir.

Beberapa ahli menemukan dan memprediksi arah perubahan pola hujan di Bagian Barat Indonesia, terutama di Bagian Utara Sumatera dan Kalimantan, dimana intensitas curah hujan cenderung lebih rendah, tetapi dengan periode yang lebih panjang. Sedangkan di wilayah selatan Jawa dan Bali intensitas curah hujan cenderung meningkat tetapi dengan periode yang lebih singkat (Naylor, 2007). Secara nasional, Boer et al. (2009) mengungkapkan tren perubahan secara spasial, di mana curah hujan pada musim hujan lebih bervariasi dibandingkan dengan musim kemarau.

Gambar 2. Perubahan panjang musim kemarau di seluruh Indonesia

(24)

10 2.5. Dampak Perubahan Iklim

Resiko perubahan iklim merupakan besarnya potensi kerugian yang ditimbulkan akibat perubahan iklim pada suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, pengungsian, kerusakan atau kehilangan harta dan gangguan kegiatan masyarakat. Pada sektor petanian konsep resiko dapat diartikan sebagai suatu kemungkinan yang dapat menyebabkan kerugian yang diwakili oleh penurunan produksi tanaman pangan sebagai bahaya, dimana pada daerah tropis produktivitas pertanian akan mengalami penurunan bila terjadi kenaikan suhu rata-rata global antara 1-2oC sehingga meningkatkan resiko bencana kelaparan. Ancaman banjir yang semakin sering terjadi pada lahan sawah juga merupakan salah satu dampak perubahan iklim pada sektor pertanian. Hal ini menyebabkan berkurangnya luas areal panen dan produksi. Peningkatan intensitas banjir secara tidak langsung akan mempengaruhi produksi karena meningkatnya serangan hama dan penyakit tanaman, dimana terdapat indikasi bahwa lahan sawah yang terkena banjir pada musim sebelumnya berpeluang lebih besar mengalami ledakan serangan hama wereng coklat.

Dampak perubahan iklim terhadap sektor yang berkaitan dengan sumber daya air antara lain meningkatnya kejadian cuaca dan iklim ekstrim yang berpotensi menimbulkan banjir, tanah longsor, dan kekeringan. Kondisi tersebut semakin meningkat dengan semakin menurunnya daya dukung lahan akibat menigkatnya tekanan terhadap lahan. Berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan kejadian bencana di Indonesia dalam periode 1815-2011 didominasi oleh faktor hidrometeorologi dan interaksinya (Gambar 3). Data inventarisasi kejadian banjir menunjukkan kejadian antar-musim mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dengan pertumbuhan eksponensial (Gambar 4).

Gambar 3. Data dan informasi bencana di Indonesia

(25)

11 Gambar 4. Kejadian Banjir selama periode 1815-2011

2.6. Soil Water Assesment Tool (SWAT)

Analisis hidrologi dapat dilakukan dengan menggunakan software SWAT yang pertama kali dikembangkan oleh Dr. Jeff Arnold pada awal tahun 1990-an untuk Agricultural Research Service (ARS) dari USDA. Menurut Neitsch et al (2005), SWAT merupakan hasil gabungan dari beberapa 6 model yaitu Simulator for Water Resources in Rular Basin (SWWRRB); Chemical, Runoff, and Erosion from Agricultultural Management Sistem (CREAMS); Groundwater Loading effects on Agricultural Management Sistem (GREAMS); dan Erosian Productivity Impact Calculator (EPIC). Software SWAT pertama kali digunakan di Amerika Serikat yang kemudian meluas ke Eropa, Afrika dan Asia. Software SWAT dikembangkan untuk mengetahui pengaruh dari manejemen lahan terhadap siklus hidrologi, sedimen yang ditimbulkan dan daur dari bahan kimia pertanian yang diperoleh berdasarkan data pada waktu tertentu. Software SWAT dapat diaplikasikan sebagai tool tambahan pada menu bar Software Arc GIS.

SWAT memungkinkan beberapa proses fisik yang berbeda untuk disimulasikan pada DAS. Neraca air dalam SWAT adalah fenomena paling utama yang dijadikan sebagai dasar dari setiap kejadian suatu DAS. Siklus hidrologi yang dijalankan oleh software SWAT dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah fase lahan yang mengatur jumlah air, sedimen, unsur hara, dan pestisida untuk mengisi saluran utama pada masing-masing sub basin. Kedua adalah fase air yang berupa pergerakan air, sedimen dan lainnya melalui jaringan-jaringan sungai pada DAS menuju outlet.

Persamaan neraca air yang digunakan dalam SWAT:

SWt = SWo + Ʃ (Rday – Qsurf – Ea -Wseep – Qgw)

Dimana:

SWt = kandungan akhir air tanah (mm H2O)

SWo = kandungan air tanah awal pada hari ke-i (mm H2O) Rday = jumlah presipitasi pada hari ke-i (mm H2O)

(26)

12 Ea = jumlah avapotranspirasi pada hari ke-i (mm H2O)

Wseep = jumlah air yang memasuki vadose zone pada profil tanah pada hari ke-i (mm H2O)

Qgw = jumlah air bawah tanah pada hari ke-i (mm H2O)

Iklim menyediakan masukan air dan energi yang berpengaruh terhadap keseimbangan air. Input energi berupa iklim penting dalam melakukan simulasi SWAT untuk perhitungkan water balance yang akurat (Neitsch et al, 2005). Parameter iklim yang digunakan dalam SWAT berupa hujan harian, temperatur udara maksimum dan minimum, radiasi matahari, kecepatan angin, serta kelembapan nisbi. Keunggulan dari SWAT adalah iklim yang sulit untuk disediakan secara harian dapat dibangkitkan dengan menggunakan input file water generator. Selain iklim, masukkan data lainnya berupa sifat-sifat tanah, jenis penutupan lahan (landcover), jenis pengelolaan tanah, dan jenis pemukiman.

2.7. Regional General Circulation Model 3 (RegCM3)

Analisis perubahan iklim sering dikaitkan dengan kondisi iklim mendatang, sebagaimana diketahui telah banyak analisis yang menggambarkan kondisi mendatang menggunakan hasil olahan data General Circulation Model (GCM). GCM merupakan efek dengan skala besar dari perubahan konsentrasi gas rumah kaca, letusan gunung berapi dll pada iklim global. Iklim (suhu, angin dll) dihitung dengan GCM yang digunakan sebagai masukan pada tepi RegCM tersebut. RegCMs dapat mengatasi dampak lokal diberikan informasi skala kecil tentang orography (ketinggian tanah), dll penggunaan lahan, cuaca dan memberikan informasi iklim pada resolusi sehalus 50 atau 25km.

Regional Climate Model (RegCM) merupakan model yang dikembangkan dengan perhitungan matematika dan fisika untuk memodelkan iklim. RegCM yang pertama, dikembangkan oleh Dickinson et-al (1989), Grogi dan Bates (1989) dan Grogi (1990) pada National Center for Atmospheric Research(NCAR), dan di maintain di ICTP. Saat ini RegCM adalah versi generasi ke-tiga (RegCM3). RegCM3 merupakan perbaikan dari RegCM2.5 yang dideskripsikan oleh Grogi dan Mearns (1999). Perbaikan meliputi kondisi fisik curah hujan, kondisi fisik permukaan, kimia atmosfer dan aerosol, tampilan saat memasukkan data, serta tampilan pengguna.

(27)

13

Gambar 5. Ilustrasi pemertaan grid matriks ReCM3 pada koordinat observasi di Bumi (http://climateprediction.net/content/regional-climate-models)

2.8. Sequencial Uncertaint Fitting Version 2 (SUFI-2. SWAT-CUP)

SWAT-CUP (Soil and Water Assesment Tool-Calibration and Uncertainty Program) merupakan progam komputer yang digunakan untuk kalibrasi model hidrolologi SWAT. SWAT-CUP memiliki empat program link yaitu GLUE, ParaSol, MCMC, dan SUFI-2. SWAT-CUP dapat digunakan untuk melakukan analisis sensitivitas, kalibrasi, validasi dan analisis ketidakpastian pada model hidrologi SWAT.

Pada SUFI2, ketidakpastian parameter – parameter masukkan digambarkan memiliki distribusi yang seragam. Kemudian ketidakpastian nilai output, dikalibrasi menggunakan metode 95% Prediction Uncertainty (95PPU). 95PPU dihitung pada level 2.5% sampai 97.5% dari distribusi kumulatif variabel output menggunakan Latin Hypercube Sampling. Konsep algoritma analisis ketidakpastian dari SUFI 2 seperti dijelaskan pada grafik (Gambar 6). Gambar tersebut mengilustrasikan bahwa nilai parameter tunggal (diwakili oleh titik) memberi pengaruh tunggal pada model (Gambar 1a), kemudian peningkatan ketidakpastian pada nilai dan jumlah parameter masukan (diwakili oleh garis) mempengaruhi nilai 95PPU yang diilustrasikan oleh luasan wilayah pada Gambar 1b. Ketika, ketidakpastian pada parameter masukkan meningkat (gambar 1c) maka meningkat pula ketidakpastian pada output yang dihasilkan.

(28)

14 SUFI-2 memulai proses kalibrasi dengan mengasusmsikan besarnya ketidakpastian pada parameter masukan, kemudian nilai ketidakpastian berkurang seiring dengan proses kalibrasi sampai dua syarat terpenuhi: (1) sebagian besar data hasil observasi berpotongan dengan luasan grafik 95PPU dan (2) selisih rata

– rata antara batas atas (pada level 97.5%) dan batas bawah (pada level 2.5%) 95PPU kecil. Model dianggap valid jika 80 – 100% data hasil observasi berpotongan dengan luasan grafik 95 PPU serta selisih antara batas atas dan batas bawah 95PPU lebih kecil dari standar deviasi data hasil observasi.

Gambar 6. Ilustrasi hubungan antara ketidakpastian parameter masukan dengan ketidakpastian hasil prediksi

Tabel 3. Penjelasan hubungan antara ketidakpastian parameter dengan ketidakpastian hasil prediksi

Gambar 1a. Menujukkan satu nilai parameter dalam masukkan parameter kalibrasi sehingga model yang dihasilkan tunggal atau 1 titik atau berbentuk garis bukan luasan.

Gambar 1b. Menunjukkan bahwa nilai parameter dalam bentuk ketidakpastian (nilai dalam bentuk range) dan jumlah parameter meningkat sehingga model yang dihasilkan berupa luasan ketidakpastian yang nantinya akan dipotongkan dengan data observasi untuk dilihat sampai mana luasan ketidakpastian yang berpotongan dengan data observasi dan data keluaran (debit) dari hasil simulasi.

Gambar 1c. Menunjukkan bahwa nilai pramater dalam bentuk ketidakpastian (nilai dalam bentuk range) bertambah atau meningkat sehingga model luasan prediksi ketidakpastian meningkat dan menyebabkan output simulasi meningkat sehingga luasan prediksi ketidakpastian menjadi lebih besar.

(29)
(30)

16

III. METODOLOGI

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum Hulu yang bagian dari DAS Citarum, DAS terbesar dan terpanjang di Jawa Barat, secara Geografis dari 107° 10’ - 108°° 00’ BT dan 6° 40’ - 7° 20’ LS. Luas daerah penelitian 172045,92 ha yang melalui Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Bandung dan Kota Cimahi. Terdapat 5 sub DAS (Sub Das Ciwidei, Cisangkuy, Citarum hulu, Ctarik, dan Sub Das Cikapundung) dan terdapat 1 Waduk Besar (Saguling), sebagai sumber air irigasi pertanian dan juga sebagai sumber air minum. Penelitian ini telah dilaksanakan sejak bulan Mei sampai dengan Nopember 2012.

Gambar 7. Lokasi penelitian DAS Citarum Hulu

3.2. Alat Dan Bahan 3.2.1. Alat

(31)

17 3.2.2. Bahan

3.2.2.1. Data Global

1. Peta topografi yang diturunkan dari data ASTER GDEM v. 2 (ASTER Global Digital Elevation Model) dengan resolusi 30m (meter)

Gambar 8. ASTER GDEM Upper Citarum 30o

2. Peta Penggunaan Lahan tahun 2000, 2003 dan 2010. yang merupakan olahan citra satelit Landsat TM.

3. Sedangkan untuk mendapatkan kondisi penggunaan lahan untuk kondisi mendatang digunakan skenario sesuai dengan RTRW 2025, dan Penggunaan lahan hasil model dengan mengikuti tren perubahan land use

yang mengikuti “Business as Ussual”. Peta dan Data jenis Tanah diturunkan dari peta semi detil, Puslitanak.

4. Peta tanah semi-detail skala 1:100.000 tahun 1993 dan data karateristiknya diperoleh dari Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat-Bogor, seperti kedalaman efektif (mm) dan infiltrasi tanah, ketebalan horizon (mm), tekstur tanah, bulk density (g/cm3), kapasitas menahan air (mm H2O/mm

tanah), saturated hydraulic conductivity, kandungan fraksi batuan (%), nilai erodibilitas tanah dan kandungan bahan organik (%) untuk beberapa lapisan tanah.

3.2.2.2. Data Iklim

3.2.2.2.1. Iklim

(32)

18 sedangkan untuk membuat data weather generator digunakan stasiun BMKG Banjaran yang memiliki data iklim harian tahun 1999-2005.

Tabel 4. Daftar Stasiun yang digunakan

No Stasiun Lintang Bujur Ketinggian

Data weather generator digunakan untuk proses membangkitkan atau mengisi data kosong untuk data harian pada setiap sub-basin. Data weather generator merupakan parameter-parameter yang digunakan dalam proses pembangkitan data harian untuk unsur ikim curah hujan, suhu, radiasi, kecepatan angin dan kelembaban. Berdasarkan parameter-parameter yang terbentuk akan digunakan untuk membentuk data curah hujan bangkitan dengan menggunakan model eksponensial rantai markov, sedangkan untuk unsur yang lain digunakan distribusi normal. Data suhu rata-rata dan radiasi dibangkitkan dengan melihat variasi musim hujan dan musim kemarau, sehingga menghasilkan data bangkitan dalam jangka waktu yang panjang. Tahapan proses pembuatan parameter-parameter pembangkit data disajikan pada lampiran 1.

(33)

19 3.2.2.2.2. Data pendukung

Selain data-data utama diatas, digunakan data pendukung seperti: data seris debit tahun 1999-2010 untuk Pos Duga Air (PDA) Nanjung yang digunakan untuk kalibrasi dan validasi program SWAT, dan data kejadian banjir tahun 2000-2008.

3.3. Tahap Pengerjaan

Tahap pengerjaan tesis ini dilakukan dalam tahap-tahap, yaitu (1) Persiapan dan pengolahan data input; (2) Menjalankan simulasi SWAT dengan menggunakan data histori; (3) Kalibarasi dengan SUFI 2 menggunakan data debit observasi 1999-2005 sebagai pembanding; (4) Menjalankan simulasi SWAT untuk skenario perubahan penggunaan lahan dan skenario perubahan iklim; (5) Menghitung peluang perubahan Debit yang menyebabkan Banjir skenario yang dirancang.

3.3.1. Persiapan dan Pengolahan Data Input

Proses simulasi SWAT membutuhkan data yang sesuai dengan format input

yang tetah ditetapkan dalam panduan “SWAT Input/Output File Documentation”, sehingga data yang ada perlu diolah terlebih dahulu sebelum menjadi input SWAT. Pengolahan data input meliputi:

a. Pengolahan data spatial, seperti pengkoreksian peta DEM, penggunaan lahan dan tanah sesuai dengan batas DAS kawasan penelitian serta merubah system koordinat peta dalam bentuk system proyeksi UTM (Universal Transverse Mercator)

Semua data spatial yang digunakan harus diberikan ID tambahan, sebagai kode yang terhubung dengan database yang ada di “SWAT 2009.mdb”. b. Pengolahan data Iklim

- Membuat file text (*.txt) yang berisi list, ketinggian dan koordinat stasiun dan pos penangkar (untuk kondisi observasi hanya menggunakan data curah hujan, sedangkan untuk kondisi scenario menggunakan 5 parameter iklim yaitu surah hujan, suhu maksimum dan minimum, kelembaban, radiasi dan kecepatan angin) yang digunakan. Seperti yang disajikan pada lampiran 3.

(34)

20 3.3.2. Simulasi SWAT untuk Kondisi Histori

Langkah pertama simulasi SWAT adalah membentuk batas DAS dan

sub-DAS menggunakan data DEM, menentukan HRU’s dan proses pembacaan data weather generator, data iklim dan data pendukung lainnya, serta setting dan menjalankan simulasi SWAT. Skematik dari model SWAT dapat dilihat pada gambar dibawah ini:

Gambar 9. Tahapan penggunaan dari Model SWAT

3.3.2.1. Deliniasi DAS secara Otomatis

Langkah pertama dalam pengolahan data hidrologi adalah menentukan batas DAS dan Sub-DAS, dimana batas DAS dan Sub-DAS tersebut dibentuk berdasarkan kondisi topografi dari data DEM 30 x 30 m. Setiap Sub-DAS akan saling berhubungan, dimana aliran sungai suatu DAS akan mengalir ke Sub-DAS lainnya yang saling berdekatan. Metode yang digunakan dalam proses deliniasi DAS adalah metode threshold, besar kecilnya threshold yang digunakan akan menentukan jumlah jaringan sungai yang terbentuk dan juga menentukan banyaknya Sub Das yang dihasilkan. Dialog-box proses deliniasi dapat ditunjukkan pada lampiran 5.

(35)

21 langkah sebelumnya dan setelah dipilih maka dilakukan proses deliniasi watershed, dan terakhir (5) Calculate subbasin parameters.

3.3.2.2. Penentuan HRU’s (Hidrological Response Units)

HRU’s merupakan interaksi dari batas Sub-DAS yang terbentuk dari hasil overlay antara data penggunaan lahan, jenis tanah dan kemiringan. Setiap sub-DAS memiliki satu atau lebih HRU yang sangat tergantung pada option yang digunakan saat simulasi dijalankan. Dialog-box proses pembentukan HRU disajikan pada lampiran 6.

3.3.2.3. Proses pembacaan data Iklim dan data pendukung lainnya

Pada tahap ini dilakukan proses pembacaan data weather generator yang telah dibuat, data iklim yang akan dimasukkan serta data-data pendukung lainnya seperti data parameter penggunaan lahan, tanah dan kemiringan lahan sebagai input dalam simulasi SWAT.

3.3.2.4. Setting dan menjalankan simulasi SWAT

Tahapan ini merupakan tahapan untuk mengatur tanggal simulasi, distribusi curah hujan dan satuan dari luaran model (harian, bulanan atau tahunan) sebelum proses simulasi dijalankan. Setelah semua pengaturan selesai maka simulasi SWAT dapat dijalankan, dimana proses simulasi ini akan membutuhkan waktu yang sangat tergantung dari luaran data yang diinginkan.

3.3.3. Kalibrasi dan Validasi Menggunakan SUFI 2_SWAT CUP

Untuk melihat apakah hasil simulasi telah sesuai dengan kondisi observasi, maka perlu dilakukan proses kalibrasi dengan software SWAT-CUP~SUFI dan mengunakan data penggunaan lahan 2000, data iklim 1999-2002 serta data debit tahun 2001-2002 dari PDA Nanjung. SUFI 2_SWAT CUP secara otomastis mengeluarkan akan parameter- parameter yang menghasilkan korelasi paling tinggi antara hasil simulasi dengan kondisi sebenarnya dilapangan.

Proses kalibrasi suatu model dapat menggunakan koefisien determinasi (R2) dan Nash-Sutcliffe Index (NSI). Koefisien determinasi dan Nash-Sutcliffe

Index digunakan untuk melihat seberapa dekat nilai dari debit hasil simulasi dengan debit observasi. Jika koefisien determinasi yang didapat mendekati atau sama dengan 1, maka hasil simulasi memiliki kesamaan dengan kondisi observasi. Sedangkan membandingkan hasil simulasi dan kondisi observasi berdasarkan nilasi NSI dapat dikategorikan adalah sebagai berikut (Van Liew et al., 2005 dalam Stehr, 2009):

- Layak jika ≥ 0,75

(36)

22 Jika dihitung secara manual maka koefisien determinasi (R2) dihitung dari hasil kuadrat koefisien korelasi (r) yang dikembangan oleh Karl Pearson, dimana koefisien korelasi dapat dinyatakan dalam bentuk:

Sehingga koefisien determinasi dapat dinyatakan dalam bentuk:

Dan persamaan Nash-Sutcliffe Index (NSI) adalah sebagai berikut:

Keterangan:

QO = debit observasi (m3/det)

= debit observasi rata-rata (m3/det)

QS = debit hasil simulasi (m3/det)

Setelah tahap kalibrasi, selanjutnya dilakukan proses validasi untuk melihat apakah parameter-paremater yang akan digunakan dalam Software SWAT telah dapat menduga data debit yang menggambarkan kondisi sebenarnya dilapangan. Proses kalibrasi dilakukan dengan menggunakan data penggunaan lahan 2003, data iklim 1999-2005 dan data debit 2003-2004 dari PDA Nanjung.

3.3.4. Simulasi SWAT untuk Kondisi Skenario

Simlasi SWAT skenario dirancang dengan menggabungkan faktor pengguaan lahan dan perubahan iklim, dimana simulasi ini dilakukan dengan mengggunakan parameter-parameter hasil proses kalibrasi dan validasi. Sehingga dari parameter-parameter tersebut akan dihasilkan besaran debit yang telah sesuai dengan kondisi sebenarnya tergantung dari pengunaan lahan dan data iklim yang digunakan.

(37)

23 Berdasarkan 5 periode data tersebut simulasi SWAT untuk skenario perubahan iklim dilakukan dalam 15 skenario, seperti yang disajikan pada tabel 5:

Tabel 5. Skenario simulasi SWAT

Periode Iklim Penggunaan Lahan 2000 2010 2025 1. 1991-2010 2000_1 2010_1 2025_1 2. 2011-2030 2000_2 2010_2 2025_2 3. 2031-2050 2000_3 2010_3 2025_3 4. 2051-2070 2000_4 2010_4 2025_4 5. 2071-2090 2000_5 2010_5 2025_5

3.3.5. Mengitung Peluang Perubahan Debit Yang Menyebabkan Banjir Untuk Skenario yang Dirancang

(38)

24 Gambar 10. Diagram alir pengerjaan Tesis

Climate data history Land use data

history DEM

SWAT Model Soil data

Stream flow data simulation

Stream flow data series

SUFI-2

Climate Model SRES A1B [1980-2029] Land use data

scenario DEM

SWAT Model Soil data

Change parameters

Good parameters

1. 2000 2. 2010

3. 2025 :BAU [Business as Ussual]

End Perubahan peluang debit

yang menyebabkan

banjir

(39)

25

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Karateristik Daerah Penelitian 4.1.1. Topografi

DAS Citarum hulu merupakan cekungan yang dikelilingi oleh beberapa pegunungan, dimana pada bagian utara terdapat pegunungan Tangkuban perahu dengan beberapa puncak gunung seperti Guung Burarang (2.076 m), Gunung Tangkuban Perahu (2.064 m), Gunung Manglayang (1800 m) dan Gunung Jarian (1282 m). Pada bagian timur terdapat Gunung Malang (1256 m) dan Gunung Tanjak Nangsi (1514 m). Dibagian Barat cekungan terdapat sederetan yang berbentuk pungung-pungung tak teratur yaitu Pegunungan Krenceng (1736 m) dan pada bagian timur terdaoa Gunung Mandalawangi (1676 m) yang membatasi cenkungan ini.

Topografi atau kemiringan lereng yang merupakan ukuran kemiringan lahan relatif terhadap bidang datar di DAS Citarum Hulu dibagi menjadi 5 kelas rentang kemiringan lereng dalam satuan derajat “o” seperti pada gambar 11.

Gambar 11. Peta Kemiringan lahan daerah Penilitian

Tabel 6. Jenis, Luas dan Persentase lerengan daerah penelitian

No Jenis Lerengan (o) Luas (ha) %

1 0 – 5 78641,22 18,50

2 5 – 15 145682,38 34,27

3 15 – 30 108242,76 25,46

4 30 – 45 54369,00 12,79

(40)

26 4.1.2. Karateristik Tanah

Jenis tanah di daerah penelitian menggunakan peta tanah Semi Detail DAS Citarum Hulu skala 1:100.000 tahun 1993. Berdasarkan peta tersebut terdapat 55 SPT di DAS Citarum Hulu yang terbagi menjadi 6 ordo klasifikasi tanah yaitu alfisolls, Inceptisols, Mollisols, Andisols, Entisols dan Ultisolls, seperti disajikan pada gambar 12.

Gambar 12. Peta Jenis Tanah, Puslitanak 1993

Jenis tanah yang paling dominan di DAS Citarum Hulu adalah jenis tanah Inceptisols (aeric tropaquepts) dengan persentase luas 37,17% (67318,91 ha), yang diikuti oleh jenis tanah Andisols (typic hapludands) dengan persentase luas 13,47% (24394,39 ha). Jenis tanah berdasarkan ordo dan sub-ordonya disajikan pada tabel 7.

Tabel 7. Jenis tanah berdasarkan klas Ordo

Ordo Sub Ordo Bentuk Kawasan Kemiringan

Alfisols Aeric Ochraqualfs Berombak 3 - 5 %

Aquic Hapludalfs Bergelombang 8 - 15 %

Lithic Hapludalfs Berbukit 20 - 50 %

Mollic Hapludalfs Berbukit-bergunung 25 - 50 % Typic Hapludalfs

Berombak-bergelombang-berbukit-bergunung

8 - 50 %

Typic Hapludalfs Bergelombang-berbukit 15 - 50 %

Typic Hapludalfs Berbukit 20 - 50 %

Ultic Hapludalfs Berombak 3 - 8 %

Ultic Hapludalfs Berombak-bergelombang-berbukit-bergunung

3 - 50 %

(41)

27 Tabel 8. Jenis tanah berdasarkan klas Ordo (lanjutan)

Ordo Sub Ordo Bentuk Kawasan Kemiringan

Andisols

Thaptic Hapludands Datar agak berombak 1 - 5 % Typic Malanudands Berombak-bergelombang 5 - 15 %

Troporthants Bergunung > 50 %

Aeric Tropaquepts Datar agak berombak dengan hillock 1 - 8 % Andic Dystropepts Bergelombang-berbukit 15 - 30 %

Aquic Eutropepts Datar 1 - 3 %

Fluventic Eutropepts Datar 1 - 3 %

Mollisols Oxic Humitropepts Bergunung > 45 %

Typic Eutropepts Datar agak berombak dengan hillock 1 - 30 % Typic Humitropepts Berombak-bergelombang 5 - 50 % Vertic Tropaquepts Datar agak berombak 1 -5 % Andic Hapludolls Berombak-bergelombang 5 - 10 % Aquic Hapludolls Berombak-bergelombang 5 - 15 % Cumulic Hapludolls Berombak-bergelombang 3 - 15 % Oxic Argludolls Berbukit-bergunung 25 - 60 % Typic Hapludolls Bergelombang-berbukit 10 - 30 %

Typic Hapludolls Berbukit 20 - 50 %

Ultisolls Typic Hapludults Bergelombang-berbukit 8 - 50 %

Typic Kandiudults Berbukit 15 - 50 %

Typic Palaudults Berombak 5 - 8 %

Typic Rhodudults Bergelombang-berbukit 8 - 15 %

4.1.3. Iklim di Daerah Penelitian

(42)

28 Gambar 13. Posisi stasiun hujan dan pos duga air Nanjung

Sedangkan untuk melihat bagaimana perubahan iklim mempengaruhi kondisi debit di DAS citarum hulu, maka digunakan data global dari Regcm untuk SRES A1B. Data hasil olahan ini berbentuk grid, dimana setiap grid akan memiliki 6 parameter iklim. Posisi grid data Regcm yang digunakan sebagai input dalam skenario simulasi SWAT disajikan pada gambar 14.

(43)

29 Tabel 9. Rata-rata bulanan data iklim observasi 1999-2005 di Stasiun klimatologi

Banjaran

Bulan Trata Tmax Tmin Hujan RH Kec. Angin Radiasi Surya

oC oC oC Mm % m/s

MJ m-2 day-1

1 23,3 28,2 19,4 172,8 81,4 1,3 29,8

2 23,0 27,5 19,7 193,1 81,6 1,4 30,8

3 23,3 28,4 19,6 241,5 81,3 1,1 27,4

4 23,5 28,7 19,5 150,3 81,6 1,0 26,8

5 23,6 29,2 19,1 84,7 79,8 1,0 24,7

6 23,2 28,9 18,4 68,8 77,4 1,0 23,0

7 23,0 29,2 17,8 68,7 74,8 1,1 21,7

8 23,4 29,4 18,0 39,9 71,7 1,2 21,0

9 23,7 29,7 18,5 81,6 73,1 1,3 22,9

10 23,7 29,5 18,9 153,8 75,4 1,1 26,4

11 23,8 28,7 19,7 209,2 81,0 1,0 29,6

12 24,3 28,5 19,5 141,5 79,5 1,2 28,4

4.1.4. Kondisi Hidrologi Daerah Penelitian

Data debit observasi harian pos Nanjung yang digunakan untuk melihat kondisi hidrologi sungai diperoleh dari PDA milik Dinas PU Pengairan dari tahun 1991-2009 yang terletak di Kecamatan Batujajar_Kabupaten Bandung (06’57o LS

dan 107’32o BT). Pemilihan pos Nanjung sebagai titik outlet dikarenakan titik

terakhir pos pemantau tinggi aliran sungai sebelum mencapai Waduk Saguling yang merupakan tempat bermuara air dari DAS Citarum bagian Hulu.

Gambar 15 menunjukkan debit sungai harian untuk pos Nanjung, dimana debit aliran tertinggi mencapai 554 m3/dtk yang terjadi pada tanggal 28 April 2007.

(44)

30 4.1.5. Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan di DAS Citarum hulu diinterpretasikan dari olahan Citra Satelit Landsat, dimana penggunaan lahan yang menggambarkan kondisi histrori digunakan olahan citra satelit untuk tahun 2000 dan 2010. Sedangkan untuk kondisi penggunaan lahan tahun 2025, penggunaan lahan diambil hasil model yang disimulasikan berdasarkan perubahan penggunaan lahan tahun 2000-2010. Penyebaran jenis penggunaan lahan di Das Citarum Hulu disajikan pada gambar 21, 22 dan 23. Berdasarkan kondisi penggunaan lahannya, DAS Citarum dibagi menjadi 10 kategori penggunaan lahan yaitu lahan pertanian, tambak, padang rumput, lahan perkebunan, sawah, hutan primer, pedesaan, hutan skunder, perkotaan dan air.

Gambar 16. Penggunaan lahan tahun 2000

(45)

31 Gambar 18. Penggunaan Lahan 2025

Tabel 10. Penggunaan lahan 2000, 2010 dan 2025

Jenis Penggunaan Lahan

2000 2010 2025

Luasan (ha) % Luasan (ha) % Luasan (ha) % Lahan Pertanian 1208,40 0,70 1058,07 0,62 8420,32 4,90 Agroforestry 12029,76 7,00 12742,32 7,41 14205,47 8,27

Semak Belukar 0,00 80,08 0,05 1,97 0,00

Lahan Perkebunan 29919,66 17,41 38389,76 22,34 43832,95 25,50 Padi/ Sawah 35482,17 20,64 27121,32 15,78 4584,73 2,67 primary forest 35975,17 20,93 27473,11 15,98 19515,21 11,35

Pedesaan 12296,63 7,15 24617,01 14,32 45687,82 26,58

secondary forest 23858,93 13,88 17986,17 10,46 11581,09 6,74

Teh 2700,59 1,57 2684,46 1,56 2733,30 1,59

Perkotaan 18335,45 10,67 19654,45 11,44 21254,93 12,37

Tubuh Air 65,99 0,04 65,99 0,04 54,95 0,03

(46)

32

Gambar 19. Grafik Perubahan 10 jenis penggunaan lahan

4.1.5.1. Perubahan penggunaan lahan 2000 menjadi 2010

Pola perubahan penggunaan lahan diidentifikasi dengan cara tumpang tindih (overlay) peta penggunaan lahan 2000 dengan 2010 mengunakan program GIS. Perubahan penggunaan lahan yang terjadi didominasi oleh penurunan luas lahan sawah yang berubah menjadi lahan pertanian (6,59%), pedesaan (17,69%) dan perkotaan (3,72%). Penurunan luas lahan juga terjadi pada penggunaan lahan hutan skunder dan hutan primer, dimana sebagian besar lahannya berubah menjadi lahan pertanian dan pedesaan. Perubahan penggunaan lahan selengkapnya disajikan pada tabel 11.

Tabel 11. Perubahan penggunaan lahan tahun 2000 menjadi 2010 [%]

4.1.5.2. Perubahan penggunaan lahan 2000 menjadi 2025 dan 2010 menjadi 2025

(47)

33

penggunaan lahan pertanian, pedesaan dan perkotaan meningkat secara drastic dalam jangka waktu 25 tahun, dimana sekitar 6,60% (sawah), 26,04% (hutan primer) dan 17,95% (hutan skunder) berubah menjadi lahan perkebunan.

Jika dilihat pada matrik perubahan penggunaan lahan pada tebel 12 dan 13, terdapat perubahan penggunaan lahan hutan primer menjadi lahan perkebunan sebesar 26,04% (2000 ke 2025) dan 16,54% (2010 ke 2025). Pengurangan hutan yang terus-menerus tanpa disertai perbaikan akan mempengaruhi kondisi hidrologi DAS (Seyhan, 1999). Berkurangnya tutupan menyebabkan peresapan air ke dalam tanah menjadi rendah sehingga air bawah tanah berkurang dan terjadi kelebihan air dipermukaan. Hasil penelitian Fohrer et.,al (2002), perubahan penggunaan lahan menjadi padang rumput dan lahan pertanian menyebabkan terjadinya peningkatan komponen runoff secara signifikan.

Tabel 12. Perubahan penggunaan lahan tahun 2000 menjadi 2025 [%]

(48)

34 4.1.6. Data Iklim model Regm3 SRES A1B

Data regcm3 yang terdiri dari 5 unsur (curah hujan, suhu, radiasi, kelembaban dan kecepatan angin) merupakan data model hasil koreksi dengan menggunakan data observasi. Koreksi data hanya dilakukan untuk unsur curah hujan saja, karena kurangnya data observasi untuk unsur-unsur yang lain.

Penggunaan data untuk model SWAT dari regcm3 dipisah menurut periode tahunnya, dimana untuk kondisi baseline digunakan data tahun 1991-2010 dan kondisi mendatang digunakan 4 periode tahun yaitu: 2011-2030; 2031-2050; 2051-2070; 2071-2090.

Gambar 20. Deskripsi stastistik curah hujan Regcm3 baseline [1991-2010] dan future [4 periode 2011-2090]

Secara statistik terdapat perbedaan curah hujan kondisi periode saat sekarang dibandingkan dengan 4 periode masa mendatang (gambar 20), dimana rata-rata curah hujan diperiode mendatang mengamali penurunan. Besarnya curah hujan untuk kuartil 3 secara rata-rata juga mengalami peningkatan dimasa mendatang, dimana nilai tertinggi terjadi pada periode 2051-2070. Akan tetapi besarnya curah hujan maksimum mengalami penurunan dimasa mendatang sampai periode 2051-2070 dan kembali meningkat pada periode 2071-2090.

Kondisi ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Australia, dimana instensitas curah hujan dan jumlah hari-hari kering meningkat selama abad ke-21 dan dimasa yang akan datang curah hujan ekstrim akan semakin besar (CSIRO, 2007).

4.1.7. Hubungan Debit Harian Dan Kejadian Banjir

(49)

35 debit yang menyebabkan banjir, 2 kelompok data tersebut dibuat distribusi yang akan menentukan ambang batas debit yang menyebabkan banjir. Seperti terlihat pada gambar 26 titik debit pada nilai 131 m3/dtk merupakan ambang batas pertama debit yang menyebabkan banjir, dimana ambang batas ini masih terdapat peluang sekitar 20% debit diatas 131 m3/dtk yang tidak menyebabkan banjir. Besarnya nilai debit disebabkan oleh faktor kejadian lokal, sehingga tidak berpengaruh terhadap kejadian banjir. Sedangkan titik debit pada nilai 206.5 m3/dtk merupakan ambang batas kedua, dimana debit yang melewati nilai batas dapat dipastikan terjadi banjir.

Gambar 21. Histogram debit dan kejadian banjir harian ( : debit yang tidak menyebabkan banjir, : debit yang menyebabkan banjir)

4.2. Model Swat 4.2.1. Deliniasi DAS

(50)

36 Proses deliniasi menggunakan ambang batas (threshold) yang digunakan adalah 3500 ha, sehingga menghasilkan 31 Sub-DAS dengan total luasan 172045,92 ha Hasil deliniasi batas DAS dan Sub DAS Citarum Hulu dapat dilihat pada gambar 22.

Gambar 22. Hasil deliniasi DAS Citarum Hulu dengan program SWAT

4.2.2. Pembentukan HRU pada DAS Citarum Hulu

Setiap HRU yang terbentuk oleh deliniasi SWAT merupakan hasil tumpang tindih dari peta jenis penggunaan lahan, jenis tanah dan kemiringan lereng yang terdapat pada DAS Citarum Hulu. Pembentukan HRU menggunakan

kriteria “Multiple HRU’s” dengan persen threshold area jenis penggunaan lahan (0%), jenis tanah (0%) dan kemiringan lereng (8%). Penentuan batas threshold ini didasarkan kepada luasan terkecil dari kategori penggunaan lahan, jenis tanah dan kemiringan lahan serta tingkat ketelitian yang diinginkan oleh user.

(51)

37 Jumlah HRU yang terbentuk 2577 pada 31 sub-DAS, dimana hasil HRU yang terbentuk memuat kuantitas dan persentase penggunaan lahan, jenis tanah dan kemiringan lahan di daerah DAS yang terdeliniasi. Tampilan output pembentukan HRU disajikan pada gambar 23.

4.2.3. Simulasi model SWAT

Model SWAT dijalankan dengan menggunakan data-data input yang telah dipersiapkan sebelumnya. Periode simulasi dilakukan dari tahun 2001 sampai 2005 secara harian dengan fase percobaan penggunaan model (warm up model) 2 tahun (1999-2000). Fase warm up model SWAT merupakan suatu proses yang paling esensial untuk menyeimbangkan kondisi aliran dasar (base flow) saat simulasi dijalankan, sehingga kondisi keseimbangan dalam proses hidrologi tercapai.

Output hasil proses simulasi SWAT diberikan dalam bentuk harian, bulanan maupun tahunan, dimana file tersebut dapat dilihat pada file output.txt di dalam folder Txt.InOut.

4.3. Kalibrasi dan Validasi Model SWAT 4.3.1. Kalibrasi

Model SWAT merupakan model hidrologi yang banyak menggunakan parameter-parameter dalam proses perhitungannya. Dalam proses kalibrasi, parameter-parameter ini dikoreksi untuk mendapatkan nilai tertentu, sehingga hasil proses perhitunggan model bisa menduga kondisi sebenarnya. Kalibrasi Model SWAT dilakukan dengan membandingan data debit simulasinya (flow out pada file RCH) dengan data debit observasi bulanan tahun 2001 dan 2002 untuk pos air Nanjung.

Proses kalibrasi menggunakan parameter-parameter dari aliran sungai (*.bsn), aliran dasar (*.gw), saluran utama (*.rte), parameter tingkat HRU (*.hru), pengelolaan lahan (*.mgt) dan tanah (.*sol) yang disajikan pada lampiran 13.

Tabel 14. Hasil perbandingan data observasi dan simulasi

Sebelum koreksi Setelah koreksi

R2 0,517 0,771

NSI 0,153 0,773

(52)

38 Tabel15. Parameter-parameter yang digunakan untuk proses kalibrasi

Parameter Keterangan Nilai

Akhir Aliran Sungai

MSK_CO1 koefesien pengontrol untuk aliran 4,625

MSK_CO2 koefesien pengontrol untuk aliran 8,625

MSK_X Faktor pengontrol aliran 0,289

SURLAG Parameter time lag suatu DAS 11,637

Aliran Dasar

ALPHA BF Indeks respon dari aliran dasar 0,987

GW DELAY (hari) Rentang waktu dari turunnya air ke aquifer dangkal 6,25

GW_REVAP Koefisien air bawah tanah 0,198

GWQMN (mm) Batas kedalam air penentu terjadinya aliran + 2,187 REVAPMN (mm) Batas kedalaman air penentu terjadinya perkolasi + 1,875

HRU

EPCO Faktor kompensasi pengeluaran air (transpirasi, evapotranspirasi dan kadar air tanah)

0,269

ESCO Fakto kompensasi evaporasi tanah + 0,097

OV_N Nilai koefisien kekasaran manning “n” 7,132

SLSUBBSN (m) Panjang lereng rata-rata * 1,062

Managemen

CH_K2 (mm hari-1) Input konduktivitas hidrolik efektif saluran utama 68,741 CH_N2 (mm hari-1) Nilai kekasaran manning pada saluran utama sungai 0,195 ALPHA _BNK (hari) Factor alpha aliran untuk penyimpanan air 0,537 Catatan: + (ditambahkan terhadap nilai parameter); * (dikalikan terhadap nilai parameter)

Sebelum dilakukan kalibrasi dapat terlihat hasil simulasi masih berada dibawah data observasi (tabel 16), dimana bedasarkan hasil perbandingan yang dilakukan dengan analisis excel didapat R2 = 0,513 dan nilai NSI = 0,153 atau

termasuk dalam kategori kurang memuaskan (kategori pertama dari kategori NSI). Jika dilihat sebaran data hubungan data simulasi dan observasi terlihat bahwa seluruh titik hubungan data simulasi dan observasi masih berada dibawah garis 1:1 (gambar 24).

Gambar

Gambar 7.  Lokasi penelitian DAS Citarum Hulu
Tabel 4. Daftar Stasiun yang digunakan
Gambar 10.  Diagram alir pengerjaan Tesis
Gambar 11. Peta Kemiringan lahan daerah Penilitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

[r]

Alternatif ini dianalisis dengan simulasi persentase luas lahan hutan (produksi, lindung, dan konservasi) yang dilakukan kemitraan dengan program PHBM. ii) Jika PHBM

b.. Penelitian ini menggunakan analisis data kuantitatif dan kualitatif. Analisis kuantitatif menggunakan metode scoring untuk tahap-tahap faktor yang menyebabkan perubahan

Analisis debit pada DAS Tapung Kiri dilakukan menggunakan program SWAT dengan input data yang telah dijelaskan sebelumnya... parameter yang digunakan pada simulasi

Using the Soil and Water Assessment Tool (SWAT) to assess land use impact on water resources in an East African watershed... Peraturan Presiden Republik Indonesia Tentang Rencana

Penelitian dilakukan melalui beberapa tahap yaitu persiapan dan penentuan lokasi pengamatan intensif, pengumpulan data, analisa data dan penyusunan rekomendasi penggunaan lahan

Analisis debit pada DAS Tapung Kiri dilakukan menggunakan program SWAT dengan input data yang telah dijelaskan sebelumnya... parameter yang digunakan pada simulasi