POLA PERESEPAN DAN KERASIONALAN PENGGUNAAN ANTIHIPERTENSI PADA PASIEN DENGAN HIPERTENSI DI RAWAT
JALAN PUESKESMAS SIMPUR PERIODE JANUARI-JUNI 2013 BANDAR LAMPUNG
Oleh
NOVITA SARI TARIGAN
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA KEDOKTERAN
Pada
Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
ABSTRAK
POLA PERESEPAN DAN KERASIONALAN PENGGUNAAN ANTIHIPERTENSI PADA PASIEN DENGAN HIPERTENSI DI RAWAT
JALAN PUSKESMAS SIMPUR PERIODE JANUARI-JUNI 2013 BANDAR LAMPUNG
Oleh
NOVITA SARI TARIGAN
Hipertensi merupakan salah satu penyakit utama di dunia. Hipertensi masih menjadi masalah karena prevalensi yang semakin meningkat, masih banyaknya pasien hipertensi yang belum mendapat pengobatan, dan pengobatan yang tidak adekuat. Hal ini menyebabkan angka morbiditas dan mortalitas akibat hipertensi semakin meningkat. Salah satu cara mengatasi hipertensi yaitu dengan terapi farmakologi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola peresepan dan kerasionalan penggunaan obat antihipertensi, mengingat penggunaannya cenderung meningkat di masa mendatang.
Penelitian ini mengambil data retrospektif dari resep pasien rawat jalan di Puskesmas Simpur Bandar Lampung selama periode Januari-Juni 2013. Kasus hipertensi selama periode penelitian sebanyak 1319. Jumlah sampel sebanyak 96 resep yang diambil secara acak proporsi.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ... ii
DAFTAR TABEL ... iv
DAFTAR GAMBAR ... v
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 4
1.3. Tujuan Penelitian... 4
1.3.1. Tujuan Umum ... 4
1.3.2. Tujuan Khusus ... 4
1.4. Manfaat Penelitian... 5
1.5. Kerangka Teori... 6
1.6. Kerangka Konsep ... 8
1.7. Hipotesis ... 8
II. TINJAUAN PUSTAKA... 9
2.1. Hipertensi ... 9
2.1.1. Pengertian Hipertensi ... 9
2.1.2. Etiologi Hipertensi ... 10
2.1.3. Klasifikasi Hipertensi ... 11
2.1.4. Patofisiologi Hipertensi ... 12
2.1.5. Tanda dan Gejala Hipertensi ... 14
2.1.6. Faktor-Faktor Risiko Hipertensi... 15
2.1.7. Komplikasi Hipertensi ... 23
2.1.8. Penatalaksanaan Hipertensi ... 25
2.3. Pola Peresepan ... 39
III. METODE PENELITIAN... 44
3.1. Desain Penelitian ... 44
3.2. Waktu dan Tempat Penelitian ... 44
3.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 45
3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 45
3.5. Identifikasi Variabel ... 46
3.6. Definisi Operasional... 47
3.7. Alur Penelitian... 48
3.8. Pengolahan dan Analisis Data ... 48
3.9. Aspek Etik Penelitian ... 49
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 50
4.1. Hasil Penelitian... 50
4.2. Pembahasan ... 53
V. SIMPULAN DAN SARAN ... 61
5.1. Simpulan... 61
5.1.1. Simpulan Khusus... 61
5.1.2. Simpulan Umum ... 61
5.2. Saran ... 62
DAFTAR PUSTAKA ... 63
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. PenatalaksanaanHipertensi ... 6
2. KerangkaKonsep ... 8
3. AlurPenelitian ... 48
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Klasifikasi Hipertensi Menurut JNC-VII 2003 ... 11
2. Obat-Obat Antihipertensi Utama ... 37
3. Obat-Obat Antihipertensi Alternatif ... 38
4. Karakteristik Dasar Pasien Hipertensi Berdasarkan Jenis Kelamin dan Usia ... 50
5. Distribusi Penggunaan Obat Antihipertensi Pada Pasien Penderita
Hipertensi ... 51
6. Distribusi Jenis Terapi Penggunaan Obat Antihipertensi Pada Pasien
Penderita Hipertensi ... 51
7. Kesesuaian Peresepan Obat Antihipertensi Pada Pasien Penderita
Hipertensi Berdasarkan Dosis Sesuai Standar Depkes 2006a ... 52
8. Kesesuaian Peresepan Obat Antihipertensi Pada Pasien Penderita Hipertensi Berdasarkan Frekuensi Pemberian Sesuai Standar Depkes
2006a... 52
9. Kerasionalan Peresepan Obat Antihipertensi Pada Pasien Hipertensi
Berdasarkan Dosis dan Frekuensi Pemberian ... 53
10.Daftar Persediaan Obat Antihipertensi Puksesmas Simpur Periode
I.PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Hipertensi dikenal secara umum sebagai penyakit kardiovaskular. Penyakit
ini diperkirakan menyebabkan 4,5% dari beban penyakit secara global dan
prevalensinya hampir sama besar di negara berkembang maupun di negara
maju (WHO, 2003). Penyakit ini merupakan salah satu faktor risiko utama
gangguan jantung. Selain mengakibatkan gagal jantung, hipertensi dapat
mengakibatkan terjadinya gagal ginjal maupun penyakit serebrovaskular
(Depkes, 2006a).
Hipertensi merupakan faktor risiko primer penyakit jantung dan stroke. Pada
saat ini hipertensi adalah faktor risiko ketiga terbesar yang menyebabkan
kematian dini. Hipertensi menyebabkan 62% penyakit kardiovaskular dan
49% penyakit jantung. Penyakit ini telah membunuh 9,4 juta warga dunia
setiap tahunnya. Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan jumlah
hipertensi akan terus meningkat seiring dengan jumlah penduduk yang
membesar. Pada 2025 mendatang, diproyeksikan sekitar 29% atau sekitar 1,6
miliar orang di seluruh dunia mengalami hipertensi (Tedjasukmana, 2012).
Presentase penderita hipertensi saat ini paling banyak terdapat di negara
WHO menyebutkan, 40% negara ekonomi berkembang memiliki penderita
hipertensi, sedangkan negara maju hanya 35 %. Kawasan Afrika memegang
posisi puncak penderita hipertensi sebanyak 46%. Sementara kawasan
Amerika sebanyak 35%, 36% terjadi pada orang dewasa menderita hipertensi
(Candra, 2013).
Untuk kawasan Asia, penyakit ini telah membunuh 1,5 juta orang setiap
tahunnya. Hal ini menandakan satu dari tiga orang menderita tekanan darah
tinggi. Menurut Khancit, pada 2011 WHO mencatat ada satu miliar orang
terkena hipertensi. Di Indonesia, angka penderita hipertensi mencapai 32%
pada 2008 dengan kisaran usia diatas 25 tahun. Jumlah penderita pria
mencapai 42,7% , sedangkan 39,2% adalah wanita (Candra, 2013).
Di Indonesia angka kejadian hipertensi berkisar 6-15% dimana masih banyak
penderita yang belum terjangkau oleh pelayanan kesehatan terutama daerah
pedesaan. Sementara itu, berdasarkan data NHANES (National Health and
Nutrition Examination Survey) memperlihatkan bahwa risiko hipertensi
meningkat sesuai dengan peningkatan usia. Data NHANES 2005-2008
memperlihatkan kurang lebih 76,4 juta orang berusia ≥20 tahun adalah
penderita hipertensi, berarti 1 dari 3 orang dewasa menderita hipertensi
(Candra, 2013).
Menurut Data Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung, hipertensi termasuk
dalam 5 besar penyakit terbanyak. Pada tahun 2011, penderita hipertensi
sebanyak 6755 orang dan mengalami peningkatan pada tahun 2012 dengan
Oleh karena peningkatan angka kesakitan hipertensi yang tinggi, tindakan
penanggulangan hipertensi sudah banyak dilakukan dan tersedia banyak obat
untuk mengatasi hipertensi tetapi tata laksana hipertensi masih jauh dari
berhasil. Data NHANES 2005-2008 di Amerika Serikat menunjukkan dari
semua penderita hipertensi, hanya 76,9% yang ada telah menderita hipertensi;
namun hanya 47,8% yang berusaha mencari terapi. Sebanyak 70,9% pasien
yang menjalani terapi, 52,2% tidak mencapai kontrol tekanan darah target.
Salah satu tindakan penanggulangan hipertensi adalah penggunaan
antihipertensi untuk menurunkan tekanan darah dan mencegah terjadinya
komplikasi (Tedjakusuma, 2012).
Pemilihan antihipertensi ditentukan oleh keadaan klinis pasien, derajat
hipertensi dan sifat obat antihipertensi tersebut. Faktor yang perlu
diperhatikan pada pemberian obat antihipertensi dari segi klinis pasien adalah
kegawatan atau bukan kegawatan, usia pasien, derajat hipertensi, insufisiensi
ginjal, gangguan fungsi hati dan penyakit penyerta (Depkes, 2006a).
Terdapat beberapa kriteria untuk dapat dikatakan suatu pemberian obat sudah
rasional atau tidak. Prinsip dari pemberian obat yang rasional adalah
terpenuhinya enam tepat, yaitu tepat pasien, indikasi, dosis, waktu pemberian,
dan tepat informasi. Secara singkat pemakaian atau peresepan suatu obat
dikatakan tidak rasional apabila kemungkinan untuk memberikan manfaat
kecil atau tidak ada sama sekali atau kemungkinan manfaatnya tidak
1.2. Rumusan Masalah
Bedasarkan uraian dalam latar belakang masalah diatas, maka dapat
dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :
“Bagaimana pola peresepan dan kerasionalan obat antihipertensi berdasarkan
ketepatan dosis dan frekuensi pemberian obat pada pasien rawat jalan dengan
hipertensi di Puskesmas Simpur periode Januari-Juni 2013 Bandar
Lampung?”.
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pola peresepan dan kerasionalan obat antihipertensi
pada pasien rawat jalan dengan hipertensi di Puskesmas Simpur periode
Januari-Juni 2013 Bandar Lampung.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui kesesuaian obat antihipertensi pada pasien rawat
jalan dengan hipertensi di Puskesmas Simpur periode Januari-Juni 2013
Bandar Lampung berdasarkan ketepatan dosis sesuai standar Depkes
2006a.
2. Untuk mengetahui kesesuaian obat antihipertensi pada pasien rawat
jalan dengan hipertensi di Puskesmas Simpur periode Januari-Juni 2013
Bandar Lampung berdasarkan frekuensi penggunaan sesuai standar
3. Untuk mengetahui kerasionalan obat antihipertensi pada pasien rawat
jalan dengan hipertensi di Puskesmas Simpur periode Januari-Juni 2013
Bandar Lampung berdasarkan ketepatan dosis dan frekuensi
penggunaan sesuai standar Depkes 2006a.
1.4. Manfaat Penelitian
1. Bagi peneliti, menambah ilmu pengetahuan tentang metode penelitian di
bidang farmakologi serta menerapkan ilmu yang didapat.
2. Bagi masyarakat dan instansi terkait, penelitian ini diharapkan dapat
memberikan gambaran pada dokter mengenai rasionalisasi penggunaan
antihipertensi pada pasien hipertensi rawat jalan di Puskesmas Simpur
periode Januari-Juni 2013 Bandar Lampung berdasarkan ketepatan dosis
dan frekuensi penggunaan obat sehingga diperoleh pengobatan yang
efektif dan aman.
1.5. Kerangka Teori
Gambar 1. Penatalaksanaan Hipertensi (Sumber dari Pedoman Tata Laksana Kardiovaskuler PERKI).
Hipertensi
Modifikasi Gaya
Kurangi berat badan Aktifitas fisik teratur Hindari minuman beralkohol
Mengurangi asupan garam Berhenti merokok
Tekanan darah normal tidak tercapai <140/90 mmHg, <130/80 pada penyakit diabetes mielitus dan gagal ginjal
Hipertensi tanpa indikasi khusus
Hipertensi dengan indikasi khusus
Hipertensi derajat 1
Umumnya diberikan gol.tiazid, bisa dipertimbangkan
pemberian beta-bloker, antagonis kalsium, ACE atau
kombinasi.
Hipertensi derajat 2
Terapi Kombinasi.
Pengobatan hipertensi terdiri dari terapi farmakologis dan nonfarmakologis, terapi
nonfarmakologis harus dilakukan oleh semua pasien hipertensi dengan tujuan
menurunkan tekanan darah dan mengendalikan faktor-faktor risiko serta penyakit
penyerta lainnya, misalnya dengan melakukan perubahan gaya hidup dan
menghindari faktor-faktor risiko (Nafrialdi, 2009).
Terapi farmakologis dilakukan dengan pemberian obat antihipertensi. Obat
antihipertensi yang dianjurkan JNC VII antara lain diuretik terutama tiazid atau
antagonis aldosteron, BB (Beta-blocker), CCB (Calcium Canal Blocker), ACEI
(Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor) dan ARB (Angiotensin Reseptor
Blocker). Hipertensi ringan sering diobati dengan obat tunggal, sedangkan
hipertensi berat memerlukan beberapa obat untuk meningkatkan efektivitas obat.
Kombinasi yang telah terbukti efektif dan dapat ditoleransi pasien adalah diuretik
dan ACEI atau ARB, CCB dan BB, CCB dan ACEI atau ARB, CCB dan diuretik,
1.6. Kerangka Konsep
Gambar 2. Kerangka Konsep.
1.7.Hipotesis
Hipotesis pada penelitian ini adalah peresepan obat pada pasien hipertensi
yang menggunakan obat antihipertensi sesuai atas dasar peresepan dan
kerasionalan berdasarkan ketepatan dosis dan frekuensi pemberian dengan
standar depkes tahun 2006 di Puskesmas Simpur periode Januari-Juni 2013
Bandar Lampung.
Hipertensi Pengobatan Hipertensi
(Antihipertensi)
Dosis
Frekuensi
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Hipertensi
2.1.1. Pengertian Hipertensi
Hipertensi lebih dikenal dengan istilah penyakit tekanan darah tinggi. Batas
tekanan darah yang dapat digunakan sebagai acuan untuk menentukan
normal atau tidaknya tekanan darah adalah tekanan sistolik dan diastolik.
Bedasarkan JNC (Joint National Comitee) VII, seorang dikatakan
mengalami hipertensi jika tekanan sistolik 140 mmHg atau lebih dan
diastolik 90 mmHg atau lebih (Chobaniam, 2003).
Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan
sistoliknya diatas 140 mmHg dan tekanan diastolik diatas 90 mmHg. Pada
populasi lanjut usia, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160
2.1.2. Etiologi Hipertensi
1. Hipertensi essensial
Hipertensi essensial atau idiopatik adalah hipertensi tanpa kelainan dasar
patologis yang jelas. Lebih dari 90% kasus merupakan hipertensi essensial.
Penyebab hipertensi meliputi faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik
mempengaruhi kepekaan terhadap natrium, kepekaan terhadap stress,
reaktivitas pembuluh darah terhadap vasokontriktor, resistensi insulin dan
lain-lain. Sedangkan yang termasuk faktor lingkungan antara lain diet,
kebiasaan merokok, stress emosi, obesitas dan lain-lain (Nafrialdi, 2009).
Pada sebagian besar pasien, kenaikan berat badan yang berlebihan dan gaya
hidup tampaknya memiliki peran yang utama dalam menyebabkan
hipertensi. Kebanyakan pasien hipertensi memiliki berat badan yang
berlebih dan penelitian pada berbagai populasi menunjukkan bahwa
kenaikan berat badan yang berlebih (obesitas) memberikan risiko 65-70 %
untuk terkena hipertensi primer (Guyton, 2008).
2. Hipertensi sekunder
Meliputi 5-10% kasus hipertensi merupakan hipertensi sekunder dari
penyakit komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan
darah. Pada kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat penyakit ginjal kronis
atau penyakit renovaskular adalah penyebab sekunder yang paling sering.
hipertensi atau memperberat hipertensi dengan menaikkan tekanan darah
(Oparil, 2003).
Hipertensi yang penyebabnya dapat diketahui, sering berhubungan dengan
beberapa penyakit misalnya ginjal, jantung koroner, diabetes dan kelainan
sistem saraf pusat (Sunardi, 2000).
2.1.3. Klasifikasi Tekanan Darah
Klasifikasi tekanan darah oleh JNC VII untuk pasien dewasa berdasarkan
rata-rata pengukuran dua tekanan darah atau lebih pada dua atau lebih
kunjungan klinis (Tabel 1). Klasifikasi tekanan darah mencakup 4 kategori,
dengan nilai normal tekanan darah sistolik (TDS) <120 mmHg dan tekanan
darah diastolik (TDD) <80 mmHg. Prehipertensi tidak dianggap sebagai
kategori penyakit tetapi mengidentifikasikan pasien-pasien yang tekanan
darahnya cenderung meningkat ke klasifikasi hipertensi dimasa yang akan
datang. Ada dua tingkat (stage) hipertensi, dan semua pasien pada kategori
ini harus diterapi obat (JNC VII, 2003).
Tabel 1. Klasifikasi Hipertensi Menurut JNC-VII 2003
Kategori Tekanan Darah Tekanan Sistolik (mmHg)
Tekanan Diastolik (mmHg)
Normal ≤120 ≤ 80
Prehipertensi 120-139 80-89
Hipertensi stadium 1 140-159 90-99
Krisis hipertensi merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai oleh tekanan
darah yang sangat tinggi yang kemungkinan dapat menimbulkan atau telah
terjadinya kelainan organ target. Biasanya ditandai oleh tekanan darah
>180/120 mmHg, dikategorikan sebagai hipertensi emergensi atau
hipertensi urgensi (American Diabetes Association, 2003). Pada hipertensi
emergensi, tekanan darah meningkat ekstrim disertai dengan kerusakan
organ target akut yang bersifat progresif, sehingga tekanan darah harus
diturunkan segera (dalam hitungan menit-jam) untuk mencegah kerusakan
organ lebih lanjut. Contoh gangguan organ target akut antara lain,
encephalopathy, pendarahan intrakranial, gagal ventrikel kiri akut disertai
edema paru, dissecting aortic aneurysm, angina pectoris tidak stabil dan
eklampsia atau hipertensi berat selama kehamilan (Depkes 2006a,).
2.1.4. Patofisiologi Hipertensi
Mekanisme yang mengontrol kontriksi dan relaksasi pembuluh darah
terletak di pusat vasomotor pada medula di otak. Dari pusat vasomotor ini
bermula jaras saraf simpatis yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan
keluar dari kolumna medula spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan
abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls
yang bergerak ke bawah melalui saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada
titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin yang akan merangsang
serabut saraf pascaganglion ke pembuluh darah, dimana dengan
dilepaskannya norpinefrin mengakibatkan kontriksi pembuluh darah
Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi
respon pembuluh darah terhadap rangsangan vasokontriktor. Individu
dengan hipertensi sangat sensitif terhadap norpinefrin, meskipun tidak
diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi (Corwin, 2005).
Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh
darah sebagai respon rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang
mengakibatkan tambahan aktivitas vasokontriksi. Korteks adrenal
mengsekresikan kortisol dan steroid lainnya yang dapat memperkuat respon
vasokontriktor pembuluh darah. Vasokontriksi yang mengakibatkan
penurunan aliran darah ke ginjal dapat menyebabkan pelepasan renin. Renin
merangsang pembentukkan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi
angiotensin II, suatu vasokontriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang
sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi
natrium dan air oleh tubulus ginjal sehingga menyebabkan peningkatan
volume intravaskuler. Semua faktor tersebut cenderung mencetuskan
keadaan hipertensi (Brunner, 2002).
Perubahaan struktural dan fungsional pada sistem pembuluh darah perifer
bertanggung jawab pada perubahaan tekanan darah yang terjadi pada lanjut
usia. Perubahaan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas
jaringan ikat dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah
yang menyebabkan penurunan distensi dan daya regang pembuluh darah.
Akibat hal tersebut, aorta dan arteri besar mengalami penurunan
jantung (volume sekuncup) sehingga mengakibatkan penurunan curah
jantung dan peningkatan tahanan perifer (Corwin, 2005).
2.1.5. Tanda dan Gejala Hipertensi
Pada pemeriksaan fisik, tidak dijumpai kelainan apapun selain tekanan
darah yang tinggi, tetapi dapat pula ditemukan perubahan pada retina,
seperti perdarahan, eksudat, penyempitan pembuluh darah, dan pada kasus
berat dapat ditemukan edema pupil (edema pada diskus optikus).
Menurut Price, gejala hipertensi antara lain sakit kepala bagian belakang,
kaku kuduk, sulit tidur, gelisah, kepala pusing, dada berdebar-debar, lemas,
sesak nafas, berkeringat dan pusing (Price, 2005).
Gejala-gejala penyakit yang biasa terjadi baik pada penderita hipertensi
maupun pada seseorang dengan tekanan darah yang normal hipertensi yaitu
sakit kepala, gelisah, jantung berdebar, perdarahan hidung, sulit tidur, sesak
nafas, cepat marah, telinga berdenging, tekuk terasa berat, berdebar dan
sering kencing di malam hari. Gejala akibat komplikasi hipertensi yang
pernah dijumpai meliputi gangguan penglihatan, saraf, jantung, fungsi ginjal
dan gangguan serebral (otak) yang mengakibatkan kejang dan pendarahan
pembuluh darah otak yang mengakibatkan kelumpuhan dan gangguan
kesadaran hingga koma (Cahyono, 2008).
Corwin menyebutkan bahwa sebagian besar gejala klinis timbul setelah
kadang kadang disertai mual dan muntah yang disebabkan peningkatan
tekanan darah intrakranial (Corwin, 2005).
2.1.6. Faktor- Faktor Risiko
1. Faktor risiko yang tidak dapat diubah
Faktor risiko yang tidak dapat dirubah yang antara lain usia, jenis kelamin
dan genetik.
a. Usia
Usia mempengaruhi terjadinya hipertensi. Dengan bertambahnya umur,
risiko terkena hipertensi menjadi lebih besar sehingga prevalensi hipertensi
di kalangan usia lanjut cukup tinggi, yaitu sekitar 40%, dengan kematian
sekitar di atas usia 65 tahun (Depkes, 2006b).
Pada usia lanjut, hipertensi terutama ditemukan hanya berupa kenaikan
tekanan sistolik. Sedangkan menurut WHO memakai tekanan diastolik
sebagai bagian tekanan yang lebih tepat dipakai dalam menentukan ada
tidaknya hipertensi. Tingginya hipertensi sejalan dengan bertambahnya
umur yang disebabkan oleh perubahaan struktur pada pembuluh darah besar,
sehingga lumen menjadi lebih sempit dan dinding pembuluh darah menjadi
lebih kaku, sebagai akibatnya terjadi peningkatan tekanan darah sistolik.
Penelitian yang dilakukan di 6 kota besar seperti Jakarta, Padang, Bandung,
Yogyakarta, Denpasar dan Makassar terhadap usia lanjut (55-85 tahun),
Dalam penelitian Anggraini (2009) diketahui tidak terdapat hubungan
bermakna antara usia dengan penderita hipertensi (Anggraini, 2009). Namun
penelitian Aisyiyah (2009) diketahui bahwa adanya hubungan nyata positif
antara usia dan hipertensi. Dalam penelitian Irza (2009) menyatakan bahwa
risiko hipertensi 17 kali lebih tinggi pada subyek > 40 tahun dibandingkan
dengan yang berusia ≤ 40 tahun (Irza, 2009).
b. Jenis kelamin
Faktor gender berpengaruh pada terjadinya hipertensi, dimana pria lebih
banyak yang menderita hipertensi dibandingkan wanita, dengan rasio sekitar
2,29 untuk peningkatan tekanan darah sistolik. Pria diduga memiliki gaya
hidup yang cenderung dapat meningkatkan tekanan darah dibandingkan
dengan wanita (Depkes, 2006b).
Namun, setelah memasuki manopause, prevalensi hipertensi pada wanita
meningkat. Setelah usia 65 tahun, terjadinya hipertensi pada wanita lebih
meningkat dibandingkan dengan pria yang diakibatkan faktor hormonal.
Penelitian di Indonesia prevalensi yang lebih tinggi terdapat pada wanita
(Depkes, 2006b).
Data Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) menyebutkan bahwa prevalensi
penderita hipertensi di Indonesia lebih besar pada perempuan (8,6%)
dibandingkan laki-laki (5,8%). Sedangkan menurut Ditjen Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan (2006), sampai umur 55 tahun, laki-laki
sampai 74 tahun, sedikit lebih banyak perempuan dibanding laki-laki yang
menderita hipertensi (Depkes, 2008a).
c. Keturunan (genetik)
Riwayat keluarga dekat yang menderita hipertensi (faktor keturunan) juga
mempertinggi risiko terkena hipertensi, terutama pada hipertensi primer
(essensial). Tentunya faktor genetik ini juga dipenggaruhi faktor-faktor
lingkungan, yang kemudian menyebabkan seorang menderita hipertensi.
Faktor genetik juga berkaitan dengan metabolisme pengaturan garam dan
renin membran sel. Menurut Davidson bila kedua orang tuanya menderita
hipertensi, maka sekitar 45% akan turun ke anak-anaknya dan bila salah satu
orang tuanya yang menderita hipertensi maka sekitar 30% akan turun ke
anak-anaknya (Depkes, 2006b).
2. Faktor risiko yang dapat diubah
Faktor risiko penyakit jantung koroner yang diakibatkan perilaku tidak sehat
dari penderita hipertensi antara lain merokok, diet rendah serat, kurang
aktifitas gerak, berat badan berlebihan/kegemukan, komsumsi alkohol,
hiperlipidemia atau hiperkolestrolemia, stress dan komsumsi garam berlebih
sangat berhubungan erat dengan hipertensi (Depkes, 2006b).
a. Kegemukan (obesitas)
Kegemukan (obesitas) adalah presentase abnormalitas lemak yang
dinyatakan dalam Indeks Massa Tubuh (IMT) yaitu perbandingan antara
kelebihan berat badan dan kenaikan tekanan darah telah dilaporkan oleh
beberapa studi. Berat badan dan IMT berkorelasi langsung dengan tekanan
darah, terutama tekanan darah sistolik. Sedangkan, pada penderita hipertensi
ditemukan sekitar 20-33% memiliki berat badan lebih (overweight)
(Depkes, 2006b). IMT merupakan indikator yang paling sering digunakan
untuk mengukur tingkat populasi berat badan lebih dan obesitas pada orang
dewasa (Zufry, 2010). Menurut Supariasa, penggunaan IMT hanya berlaku
untuk orang dewasa berumur di atas 18 tahun (Supriasa, 2001).
Obesitas bukanlah penyebab hipertensi. Akan tetapi prevalensi hipertensi
pada obesitas jauh lebih besar. Risiko relatif untuk menderita hipertensi
pada orang gemuk 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan seorang yang
badannya normal. Pada penderita hipertensi ditemukan sekitar 20-33%
memiliki berat badan lebih (overweight) (Depkes, 2006b).
Hipertensi pada seseorang yang kurus atau normal dapat juga disebabkan
oleh sistem simpatis dan sistem renin angiotensin (Suhardjono, 2006).
Aktivitas dari saraf simpatis adalah mengatur fungsi saraf dan hormon,
sehingga dapat meningkatkan denyut jantung, menyempitkan pembuluh
darah, dan meningkatkan retensi air dan garam (Syaifudin, 2006).
b. Psikososial dan stress
Stress adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh adanya transaksi antara
individu dengan lingkungannya yang mendorong seseorang untuk
(biologis, psikologis dan sosial) yang ada pada diri seseorang (Depkes,
2006b).
Stress atau ketegangan jiwa (rasa tertekan, murung, rasa marah, dendam,
rasa takut dan rasa bersalah) dapat merangsang kelenjar anak ginjal
melepaskan hormon adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat
serta lebih kuat, sehingga tekanan darah akan meningkat. Jika stress
berlangsung lama, tubuh akan berusaha mengadakan penyesuaian sehingga
timbul kelainan organis atau perubahaan patologis. Gejala yang muncul
dapat berupa hipertensi atau penyakit maag. Diperkirakan, prevalensi atau
kejadian hipertensi pada orang kulit hitam di Amerika Serikat lebih tinggi
dibandingkan dengan orang kulit putih disebabkan stress atau rasa tidak
puas orang kulit hitam pada nasib mereka (Depkes, 2006b).
c. Merokok
Zat-zat kimia beracun seperti nikotin dan karbon monoksida yang dihisap
melalui rokok yang masuk ke dalam aliran darah dapat merusak lapisan
endotel pembuluh darah arteri yang mengakibatkan proses artereosklerosis
dan tekanan darah tinggi. Pada studi autopsi, dibuktikan kaitan erat antara
kebiasaan merokok dengan adanya artereosklerosis pada seluruh pembuluh
darah. Merokok juga meningkatkan denyut jantung dan kebutuhan oksigen
untuk disuplai ke otot-otot jantung. Merokok pada penderita tekanan darah
tinggi semakin meningkatkan risiko kerusakan pada pembuluh darah arteri
Menurut Depkes RI Pusat Promkes (2008), telah dibuktikan dalam
penelitian bahwa dalam satu batang rokok terkandung 4000 racun kimia
berbahaya termasuk 43 senyawa. Bahan utama rokok terdiri dari 3 zat, yaitu
1) Nikotin, merupakan salah satu jenis obat perangsang yang dapat merusak
jantung dan sirkulasi darah dengan adanya penyempitan pembuluh darah,
peningkatan denyut jantung, pengerasan pembuluh darah dan penggumpalan
darah. 2) Tar, dapat mengakibatkan kerusakan sel paru-paru dan
menyebabkan kanker. 3) Karbon Monoksida (CO) merupakan gas beracun
yang dapat menghasilkan berkurangnya kemampuan darah membawa
oksigen (Depkes, 2008b).
d. Olahraga
Aktivitas fisik adalah gerakan yang dilakukan oleh otot tubuh dan sistem
penunjangnya. Selama melakukan aktivitas fisik, otot membutuhkan energi
diluar metabolisme untuk bergerak, sedangkan jantung dan paru-paru
memerlukan tambahan energi untuk mengantarkan zat-zat gizi dan oksigen
ke seluruh tubuh dan untuk mengeluarkan sisa-sisa dari tubuh (Supariasa,
2001).
Olahraga dapat menurunkan risiko penyakit jantung koroner melalui
mekanisme penurunan denyut jantung, tekanan darah, penurunan tonus
simpatis, meningkatkan diameter arteri koroner, sistem kolateralisasi
pembuluh darah, meningkatkan HDL (High Density Lipoprotein) dan
menurunkan LDL (Low Density Lipoprotein) darah. Melalui kegiatan
berkurang, namun kekuatan jantung semakin kuat, penurunan kebutuhan
oksigen jantung pada intensitas tertentu, penurunan lemak badan dan berat
badan serta menurunkan tekanan darah (Cahyono, 2008).
Olahraga yang teratur dapat membantu menurunkan tekanan darah dan
bermanfaat bagi penderita hipertensi ringan. Pada orang tertentu dengan
melakukan olahraga aerobik yang teratur dapat menurunkan tekanan darah
tanpa perlu sampai berat badan turun (Depkes, 2006b).
e. Konsumsi alkohol berlebih
Pengaruh alkohol terhadap kenaikan tekanan darah telah dibuktikan.
Mekanisme peningkatan tekanan darah akibat alkohol masih belum jelas.
Namun, diduga peningkatan kadar kortisol dan peningkatan volume sel
darah merah serta kekentalan darah berperan dalam menaikkan tekanan
darah. Beberapa studi menunjukkan hubungan langsung antara tekanan
darah dan asupan alkohol dilaporkan menimbulkan efek terhadap tekanan
darah baru terlihat apabila mengkomsumsi alkohol sekitar 2-3 gelas ukuran
standar setiap harinya (Depkes, 2006b).
Di negara barat seperti Amerika, komsumsi alkohol yang berlebihan
berpengaruh terhadap terjadinya hipertensi. Sekitar 10% hipertensi di
Amerika disebabkan oleh asupan alkohol yang berlebihan di kalangan pria
separuh baya. Akibatnya, kebiasaan meminum alkohol ini menyebabkan
Komsumsi alkohol seharusnya kurang dari dua kali per hari pada laki-laki
untuk pencegahan peningkatan tekanan darah. Bagi perempuan dan orang
yang memiliki berat badan berlebih, direkomendasikan tidak lebih satu kali
minum per hari (Krummel, 2004).
f. Komsumsi garam berlebihan
Garam menyebabkan penumpukan cairan dalam tubuh karena menarik
cairan di luar sel agar tidak dikeluarkan, sehingga akan meningkatkan
volume dan tekanan darah. Pada sekitar 60% kasus hipertensi primer
(essensial) terjadi respon penurunan tekanan darah dengan mengurangi
asupan garam 3 gram atau kurang, ditemukan tekanan darah rata-rata
rendah, sedangkan pada masyarakat asupan garam sekitar 7-8 gram tekanan
rata-rata lebih tinggi (Depkes, 2006b).
Almatsier (2001) dan (2006), natrium adalah kation utama dalam cairan
ekstraseluler. Pengaturan keseimbangan natrium dalam darah diatur oleh
ginjal. Sumber utama natrium adalah garam dapur atau NaCl, selain itu
garam lainnya bisa dalam bentuk soda kue (NaHCO3), baking powder,
natrium benzoate dan vetsin (monosodium glutamate). Kelebihan natrium
akan menyebabkan keracunan yang dalam keadaan akut menyebabkan
edema dan hipertensi. WHO menganjurkan bahwa komsumsi garam yang
dianjurkan tidak lebih 6 gram/hari setara 110 mmol natrium (Almatsier,
g. Hiperlipidemia/Hiperkolestrolemia
Kelainan metabolisme lipid (lemak) yang ditandai dengan peningkatan
kadar kolestrol total, trigliserida, kolestrol LDL atau penurunan kadar
kolestrol HDL dalam darah. Kolestrol merupakan faktor penting dalam
terjadinya aterosklerosis yang mengakibatkan peninggian tahanan perifer
pembuluh darah sehingga tekanan darah meningkat.
Penelitian Zakiyah (2006) didapatkan hubungan antara kadar kolestrol darah
dengan tekanan darah sistolik dan diastolik (Zakiyah, 2006). Penelitian
Sugihartono (2007) diketahui sering mengkomsumsi lemak jenuh
mempunyai risiko untuk terserang hipertensi sebesar 7,72 kali dibandingkan
orang yang tidak mengkomsumsi lemak jenuh (Sugihartono, 2007).
2.1.7. Komplikasi Hipertensi
Menurut Elisabeth J Corwin komplikasi hipertensi terdiri dari stroke, infark
miokard, gagal ginjal, ensefalopati (kerusakan otak) dan pregnancy-
included hypertension (PIH) (Corwin, 2005).
1. Stroke
Stroke adalah gangguan fungsional otak fokal maupun global akut, lebih
dari 24 jam yang berasal dari gangguan aliran darah otak dan bukan
disebabkan oleh gangguan peredaran darah.
Stroke dengan defisit neurologik yang terjadi tiba-tiba dapat disebabkan
fokal pembuluh darah yang menyebabkan turunnya suplai oksigen dan
glukosa ke bagian otak yang mengalami oklusi (Hacke, 2003).
Stroke dapat timbul akibat pendarahan tekanan tinggi di otak atau akibat
embolus yang terlepas dari pembuluh otak yang terpajan tekanan tinggi.
Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronik apabila arteri-arteri yang
memperdarahi otak mengalami hipertrofi dan menebal, sehingga aliran
darah ke daerah-daerah yang diperdarahi berkurang. Arteri-arteri otak yang
mengalami arterosklerosis dapat melemah sehingga meningkatkan
kemungkinan terbentuknya anurisma (Corwin, 2005).
2. Infark miokardium
Infark miokard dapat terjadi apabila arteri koroner yang arterosklerotik tidak
dapat mensuplai cukup oksigen ke miokardium atau apabila terbentuk
trombus yang menyumbat aliran darah melalui pembuluh tersebut. Akibat
hipertensi kronik dan hipertensi ventrikel, maka kebutuhan oksigen
miokardium mungkin tidak dapat dipenuhi dan dapat terjadi iskemia jantung
yang menyebabkan infark. Demikian juga, hipertrofi dapat menimbulkan
perubahaan-perubahan waktu hantaran listrik melintasi ventrikel sehingga
terjadi distritmia, hipoksia jantung dan peningkatan risiko pembentukan
bekuan (Corwin, 2005).
3. Gagal ginjal
Gagal ginjal merupakan suatu keadaan klinis kerusakan ginjal yang
yang menuju ke kardiovaskular. Mekanisme terjadinya hipertensi pada
gagal ginjal kronik oleh karena penimbunan garam dan air atau sistem renin
angiotensin aldosteron (RAA) (Chung, 1995).
Menurut Arief mansjoer (2001) hipertensi berisiko 4 kali lebih besar
terhadap kejadian gagal ginjal bila dibandingkan dengan orang yang tidak
mengalami hipertensi (Mansjoer, 2001).
4. Ensefalopati (kerusakan otak)
Ensefalopati (Kerusakan otak) dapat terjadi terutama pada hipertensi
maligna (hipertensi yang meningkat cepat). Tekanan yang sangat tinggi
pada kelainan ini menyebabkan peningkatan tekanan kapiler dan mendorong
ke dalam ruang intersitium diseluruh susunan saraf pusat. Neuron-neuron
disekitarnya kolaps yang dapat menyebabkan ketulian, kebutaan dan tak
jarang juga koma serta kematian mendadak. Keterikatan antara kerusakan
otak dengan hipertensi, bahwa hipertensi berisiko 4 kali terhadap kerusakan
otak dibandingkan dengan orang yang tidak menderita hipertensi (Corwin,
2005).
2.1.8. Penatalaksanaan Hipertensi
1. Pengendalian faktor risiko
Pengendalian faktor risiko penyakit jantung koroner yang dapat saling
berpengaruh terhadap terjadinya hipertensi, hanya terbatas pada faktor risiko
a. Mengatasi obesitas/ menurunkan kelebihan berat badan
Obesitas bukanlah penyebab hipertensi. Akan tetapi prevalensi hipertensi
pada obesitas jauh lebih besar. Risiko relatif untuk menderita hipertensi
pada orang-orang gemuk 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan
sesorang yang badannya normal. Sedangkan, pada penderita hipertensi
ditemukan sekitar 20-33% memiliki berat badan lebih (overweight).
Dengan demikian, obesitas harus dikendalikan dengan menurunkan berat
badan (Depkes, 2006b). Beberapa studi menunjukkan bahwa seseorang
yang mempunyai kelebihan berat badan lebih dari 20% dan
hiperkolestrol mempunyai risiko yang lebih besar terkena hipertensi
(Rahajeng, 2009).
b. Mengurangi asupan garam didalam tubuh
Nasehat pengurangan garam harus memperhatikan kebiasaan makan
penderita. Pengurangan asupan garam secara drastis akan sulit dirasakan.
Batasi sampai dengan kurang dari 5 gram (1 sendok teh) per hari pada
saat memasak (Depkes, 2006b).
c. Ciptakan keadaan rileks
Berbagai cara relaksasi seperti meditasi, yoga atau hipnosis dapat
mengontrol sistem saraf yang akan menurunkan tekanan darah (Depkes,
d. Melakukan olahraga teratur
Berolahraga seperti senam aerobik atau jalan cepat selama 30-45 menit
sebanyak 3-4 kali dalam seminggu, diharapkan dapat menambah
kebugaran dan memperbaiki metabolisme tubuh yang akhirnya
mengontrol tekanan darah (Depkes, 2006b).
e. Berhenti merokok
Merokok dapat menambah kekakuan pembuluh darah sehingga dapat
memperburuk hipertensi. Zat-zat kimia beracun seperti nikotin dan
karbon monoksida yang dihisap melalui rokok yang masuk ke dalam
aliran darah dapat merusak jaringan endotel pembuluh darah arteri yang
mengakibatkan proses arterosklerosis dan peningkatan tekanan darah.
Merokok juga dapat meningkatkan denyut jantung dan kebutuhan
oksigen untuk disuplai ke otot-otot jantung. Merokok pada penderita
tekanan darah tinggi semakin meningkatkan risiko kerusakan pada
pembuluh darah arteri. Tidak ada cara yang benar-benar efektif untuk
memberhentikan kebiasaan merokok. Beberapa metode yang secara
umum dicoba adalah sebagai berikut :
1. Insiatif sendiri
Banyak perokok menghentikan kebiasaannya atas inisiatif sendiri, tidak
memakai pertolongan pihak luar, inisiatif sendiri banyak menarik para
perokok karena hal-hal berikut :
Program diselesaikan dengan tingkat dan jadwal sesuai kemauan
Tidak perlu menghadiri rapat-rapat penyuluhan
Tidak memakai ongkos
2. Menggunakan permen yang mengandung nikotin
Kecanduan nikotin membuat perokok sulit meninggalkan merokok.
Permen nikotin mengandung nikotin untuk mengurangi penggunaan
rokok. Di negara-negara tertentu permen ini diperoleh dengan resep
dokter. Ada jangka waktu tertentu untuk menggunakan permen ini.
Selama menggunakan permen ini penderita dilarang merokok. Dengan
demikian, diharapkan perokok sudah berhenti merokok secara total
sesuai jangka waktu yang ditentukan (Depkes, 2006b).
3. Kelompok program
Beberapa orang mendapatkan manfaat dari dukungan kelompok untuk
dapat berhenti merokok. Para anggota kelompok dapat saling memberi
nasihat dan dukungan. Program yang demikian banyak yang berhasil,
tetapi biaya dan waktu yang diperlukan untuk menghadiri rapat-rapat
seringkali membuat enggan bergabung (Depkes, 2006b).
f. Mengurangi komsumsi alkohol
Hindari komsumsi alkohol berlebihan
Laki-laki : Tidak lebih dari 2 gelas per hari
2.2. Terapi Farmakologis
Penatalaksanaan penyakit hipertensi bertujuan untuk mengendalikan angka
kesakitan dan kematian akibat penyakit hipertensi dengan cara seminimal
mungkin menurunkan gangguan terhadap kualitas hidup penderita.
Pengobatan hipertensi dimulai dengan obat tunggal, masa kerja yang panjang
sekali sehari dan dosis dititrasi. Obat berikutnya mungkin dapat ditambahkan
selama beberapa bulan perjalanan terapi. Pemilihan obat atau kombinasi yang
cocok bergantung pada keparahan penyakit dan respon penderita terhadap
obat antihipertensi. Beberapa prinsip pemberian obat antihipertensi sebagai
berikut :
1. Pengobatan hipertensi sekunder adalah menghilangkan penyebab
hipertensi.
2. Pengobatan hipertensi essensial ditunjukkan untuk menurunkan tekanan
darah dengan harapan memperpanjang umur dan mengurang timbulnya
komplikasi.
3. Upaya menurunkan tekanan darah dicapai dengan menggunakan obat
antihipertensi.
4. Pengobatan hipertensi adalah pengobatan jangka panjang, bahkan
pengobatan seumur hidup.
Dikenal 5 kelompok obat lini pertama (first line drug) yang lazim digunakan
untuk pengobatan awal hipertensi, yaitu diuretik, penyekat reseptor beta
ACE-inhibitor), penghambat reseptor angiotensin (Angiotensin Receptor Blocker,
ARB) dan antagonis kalsium.
Pada JNC VII, penyekat reseptor alfa adrenergik (α-blocker) tidak
dimasukkan dalam kelompok obat lini pertama. Sedangkan pada JNC
sebelumnya termasuk lini pertama.
Selain itu dikenal juga tiga kelompok obat yang dianggap lini kedua yaitu:
penghambat saraf adrenergik, agonis α-2 sentral dan vasodilator (Nafrialdi,
2009).
1. Diuretik
Diuretik bekerja meningkatkan ekskresi natrium, air dan klorida sehingga
menurunkan volume darah dan cairan ekstraseluler. Akibatnya terjadi
penurunan curah jantung dan tekanan darah. Selain mekanisme tersebut,
beberapa diuretik juga menurunkan resistensi perifer sehingga menambah
efek hipotensinya. Efek ini diduga akibat penurunan natrium di ruang
interstisial dan di dalam sel otot polos pembuluh darah yang selanjutnya
menghambat influks kalsium. Hal ini terlihat jelas pada diuretik tertentu
seperti golongan tiazid yang menunjukkan efek hipotensif pada dosis kecil
sebelum timbulnya diuresis yang nyata. Pada pemberian kronik curah
jantung akan kembali normal, namun efek hipotensif masih tetap ada. Efek
ini diduga akibat penurunan resistensi perifer (Nafrialdi, 2009).
Penelitian-penelitian besar membuktikan bahwa efek proteksi
dianjurkan untuk sebagian besar kasus hipertensi ringan dan sedang. Bahkan
bila menggunakan kombinasi dua atau lebih antihipertensi, maka salah
satunya dianjurkan diuretik (Nafrialdi, 2009).
a. Golongan Tiazid
Terdapat beberapa obat yang termasuk golongan tiazid antara lain
hidroklorotiazid, bendroflumetiazid, klorotiazid dan diuretik lain yang
memiliki gugus aryl-sulfonamida. Obat golongan ini bekerja dengan
menghambat transport bersama (symport) Na-Cl di tubulus distal ginjal,
sehingga ekskresi Na+ dan Cl- meningkat (Nafrialdi, 2009).
Tiazid seringkali dikombinasikan dengan antihipertensi lain karena: 1) dapat
meningkatkan efektivitas antihipertensi lain dengan mekanisme kerja yang
berbeda sehingga dosisnya dapat dikurangi, 2) tiazid mencegah resistensi
cairan oleh antihipertensi lain sehingga efek obat-obat tersebut dapat
bertahan (Nafrialdi, 2009).
b. Diuretik Kuat (Loop Diuretics, Ceiling Diuretics)
Diuretik kuat bekerja di ansa Henle asenden bagian epitel tebal dengan cara
menghambat kotransport Na+, K+, Cl-, menghambat resorpsi air dan
elektrolit. Mula kerjanya lebih cepat dan efek diuretiknya lebih kuat
daripada golongan tiazid. Oleh karena itu diuretik ini jarang digunakan
sebagai antihipertensi, kecuali pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal
c. Diuretik Hemat Kalium
Amilorid, triamteren dan spironolakton merupakan diuretik lemah.
Penggunaannya terutama dalam kombinasi dengan diuretik lain untuk
mencegah hipokalemia (Nafrialdi, 2009).
2. Penghambat Adrenergik
a. Penghambat Adrenoreseptor Beta (β-Bloker)
Beta bloker memblok beta-adrenoreseptor. Reseptor ini diklasifikasikan
menjadi reseptor beta-1 dan beta-2. Reseptor beta-1 terutama terdapat pada
jantung sedangkan reseptor beta-2 banyak ditemukan di paru-paru,
pembuluh darah perifer dan otot lurik. Reseptor beta-2 juga dapat ditemukan
di jantung, sedangkan reseptor beta-1 dapat dijumpai pada ginjal. Reseptor
beta juga dapat ditemukan di otak (Nafrialdi, 2009).
Stimulasi reseptor beta pada otak dan perifer akan memacu penglepasan
neurotransmitter yang akan meningkatkan aktivitas sistem saraf simpatis.
Stimulasi reseptor beta-1 pada nodus sino-atrial dan miocardiak
meningkatkan heart rate dan kekuatan kontraksi. Stimulasi reseptor beta
pada ginjal akan menyebabkan penglepasan renin dan meningkatkan
aktivitas sistem renin angiotensin aldosteron. Efek akhirnya adalah
peningkatan cardiac output, peningkatan tahanan perifer dan peningkatan
b. Penghambat Adrenoresptor Alfa (α-Bloker)
Hanya alfa-bloker yang selektif menghambat reseptor alfa-1 (α 1) yang
digunakan sebagai antihipertensi. Alfa-bloker non selektif kurang efektif
sebagai antihipertensi karena hambatan reseptor alfa-2 (α 2) di ujung saraf
adrenergik akan meningkatkan penglepasan norefineprin dan meningkatkan
aktivitas simpatis (Nafrialdi, 2009).
Hambatan reseptor α1 menyebabkan vasodilatasi di arteriol dan venula
sehingga menurunkan resistensi perifer. Di samping itu, venodilatasi
menyebabkan aliran balik vena berkurang yang selanjutnya menurunkan
curah jantung. Venodilatasi ini dapat menyebabkan hipotensi ortostatik
terutama pada pemberian dosis awal (fenomena dosis pertama) yang
menyebabkan refleks takikardia dan peningkatan aktivitas renin plasma.
Pada pemakaian jangka penjang refleks kompensasi ini akan hilang,
sedangkan efek antihipertensinya akan bertahan (Nafrialdi, 2009).
3. Vasodilator
Obat ini bekerja langsung pada pembuluh darah dengan relaksasi otot polos
(otot pembuluh darah) yang menurunkan resistensi dan karena itu
mengurangi tekanan darah. Obat-obat ini menyebabkan stimulasi refleks
jantung, menyebabkan gejala berpacu dari kontraksi miokard yang
meningkat, nadi dan komsumsi oksigen. Efek tersebut dapat menimbulkan
angina pectoris, infark miokard atau gagal jantung pada orang-orang yang
mempunyai predisposisi. Vasodilator juga meningkatkan renin plasma,
diharapkan ini dapat dihambat oleh penggunaan bersama diuretika dan
penyekat-β (Mycek et al, 2001).
Terdapat beberapa obat yang termasuk golongan vasodilator antara lain
hidralazin, minoksidil, diakzoksid dan natrium nitroprusid. Efek samping
yang sering terjadi pada pemberian obat ini adalah pusing dan sakit kepala
(Depkes, 2006b).
4. Penghambat Angiotensin Converting Enzyme (ACE-Inhibitor)
Angiotensin converting enzym inhibitor(ACE-Inhibitor) menghambat secara
kompetitif pembentukan angiotensin II dari prekusor angitensin I yang
inaktif, yang terdapat pada pembuluh darah, ginjal, jantung, kelenjar adrenal
dan otak. Selain itu, degradasi bradikinin juga dihambat sehingga kadar
bradikinin dalam darah meningkat dan berperan dalam efek vasodilatasi
ACE-Inhibitor. Vasodilatasi secara langsung akan menurunkan tekanan
darah, sedangkan berkurangnya aldosteron akan menyebabkan ekskresi air
dan natrium (Nafrialdi, 2009).
Terdapat beberapa obat yang termasuk golongan ACE- Inhibitor antara lain
benazepril, captopril, enalapril, fosinopril, lisinoril, moexipril, penindropil,
quinapril, ramipril, trandolapril dan tanapres (Benowitz, 2002).
Beberapa perbedaan pada parameter farmakokinetik obat ACE- Inhibitor.
Captopril cepat diabsorbsi tetapi mempunyai durasi kerja yang pendek,
sehingga bermanfaat untuk menentukan apakah seorang pasien akan
ACE-Inhibitor harus diberikan pada malam hari karena penurunan tekanan darah
mendadak mungkin terjadi, efek ini akan meningkat jika pasien mempunyai
kadar sodium rendah (Depkes, 2006b).
5. Antagonis Reseptor Angiotensin II (Angiotensin Receptor Blocker, ARB)
Reseptor Angiotensin II terdiri dari dua kelompok besar yaitu AT1
(Angiotensin I) dan AT2 (Angiotensin II). Reseptor AT1 terdapat terutama
di otot polos pembuluh darah dan otot jantung. Selain itu terdapat juga di
ginjal, otak dan kelenjar adrenal. Reseptor AT1 memperantarai semua efek
fisiologis ATII terutama yang berperan dalam homeostatis kardiovaskular.
Reseptor AT2 terdapat di medula adrenal dan mungkin juga di SSP, hingga
saat ini fungsinya belum jelas (Nafrialdi, 2009).
ARB sangat efektif menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi
dengan kadar renin yang tinggi seperti hipertensi renovaskular dan
hipertensi genetik, tapi kurang efektif pada hipertensi dengan aktivitas renin
yang rendah. Pada pasien hipovolemia, dosis ARB perlu diturunkan
(Nafrialdi, 2009).
Pemberian ARB menurunkan tekanan darah tanpa mempengaruhi frekuensi
denyut jantung. Penghentian mendadak tidak menimbulkan hipertensi
rebound. Pemberian jangka panjang tidak mempengaruhi lipid dan glukosa
Terdapat beberapa obat yang termasuk golongan antagonis reseptor ATII
antara lain kandersartan, eprosartan, irbesartan, losartan, olmesartan,
telmisartan dan valsartan (Depkes, 2006a).
6. Antagonis Kalsium (Calcium Channel Blocker (CCB)
Antagonis kalsium bekerja dengan menghambat influks ion kalsium ke
dalam sel miokard, sel-sel dalam sistem konduksi jantung dan sel-sel otot
polos pembuluh darah. Efek ini akan menurunkan kontraktilitas jantung,
menekan pembentukan dan propagasi impuls elektrik dalam jantung dan
memacu aktivitas vasodilatasi, interferensi dengan kontriksi otot polos
pembuluh darah. Semua hal di atas adalah proses yang bergantung pada ion
kalsium (Nafrialdi, 2009).
Terdapat tiga kelas CCB : dihdropiridin (nifedipin, amlodipin, veramil dan
benzotiazipin (diltiazem)). Dihidropiridin mempunyai sifat vasodilator
perifer yang merupakan kerja antihipertensinya, sedangkan verapamil dan
diltiazem mempunyai efek kardiak dan digunakan untuk menurunkan heart
rate dan mencegah angina (Gormer, 2008).
7. Penghambat Simpatis
Golongan obat ini bekerja dengan menghambat aktifitas saraf simpatis
(saraf yang bekerja saat kita beraktivitas). Contoh obat yang termasuk dalam
golongan penghambat simpatetik adalah metildopa, klonidin dan reserpin.
Efek samping yang dijumpai adalah anemia hemolitik (kekurangan sel darah
terkadang menyebabkan penyakit hati kronis. Obat ini jarang digunakan
(Depkes, 2006b).
[image:45.595.109.499.222.761.2]Tatalaksana hipertensi dengan obat antihipertensi yang dianjurkan :
Tabel 2. Obat-Obat Antihipertensi Utama (Depkes, 2006a).
Kelas Nama Obat Dosis Lazim
(mg/hari)
Frekuensi Pemberian Diuretik
Tiazid Klortalidon 6,25–25 1
Hidroklorotiazid 12,5–50 1
Indapamide 1,25-2,5 1
Metolazone 0,5 1
Loop
Bumetanide 0,5–4 2
Furosemide 20- 80 2
Torsemide 5 1
Penahan kalium
Triamteren 50-100 1
Triamteren 37,5–75 2
HCT 25-50 1
Antagonis aldosteron
Eplerenone 50-100 1-2
Spironolakton 25-50 1
Spironolakton/HCT 25-50/25-50
ACE-Inhibitor
Benazepril 10-40 1-2
Captopril 12,5-150 2-3
Enalapril 5-40 1-2
Fosinopril 10-40 1
Lisinoril 10-40 1
Moexipril 7,5-30 1-2
Perindopril 4-16 1
Quinapril 10-80 1-2
Ramipril 2,5-10 1-2
Trandolapril 1-4
Tanapres Penyekat reseptor
angiotensin
Kandesartan 8-32 1-2
Eprosartan 600-800 1-2
Irbesartan 150-300 1
Losartan 50-100 1-2
Olmesartan 20-40 1
Telmisartan 20-80 1
Valsartan 80-320 1
Penyekat beta (β Bloker) Kardioselaktif
Betaxolol 5-20 1
Bisoprolol 2,5-10 1
Metoprolol 50-200 1
Non-selektif
Nadolol 40-120 1
Propanolol 160-480 2
Propanolol LA 80-320 1
Timolol Sotalol Aktifitas simpatomimetik
Acebutolol 200-800 2
Carteolol 2,5-10 1
Pentobutolol 10-40 1
Pindolol 10-60 2
Campuran penyekat
α dan β
Karvedilol 12,5-50 2
Labetolol 200-800 2
Antagonis kalsium Dihidropiridin
Amlodipin 2,5-10 1
Felodipin 5-20 1
Isradipin 5-10 2
Isradipin SR 5-20 1
Lekamidipin 60-120 2
Nicardipin SR 30-90 1
Nicardipin LA 10-40 1
Nisoldipin
Non-dihidropiridin
Diltiazem SR 180-360 1
[image:46.595.112.525.565.707.2]Verapamil SR 1
Tabel 3. Obat-Obat Antihipertensi Alternatif (Depkes, 2006a).
Kelas Nama Obat Dosis Lazim
(mg/hari)
Frekuensi Pemberian
Penyekat α-1 Doxazosin 1-8 1
Prazosin 2-20 2-3
Terazosin 1-20 1-2
Agonis sentral α-2 Klonidin 0,1-0,8 2
Metildopa 250-1000 2
Antagonis Adrenergik Perifer
Reserpin 0,05-0,2,5
Minoxidil 10-40 1-2
Terapi kombinasi antara lain :
1. Penghambat ACE dengan diuretik
2. Penyekat reseptor angiotensin II (ARB) dengan diuretik
3. Diuretik dan agen penahan kalium
4. Penghambat ACE dengan penghambat kalsium
5. Penghambat reseptor beta dengan diuretik
6. Agonis reseptor α-2 dengan diuretik
7. Penyekat α-1 dengan diuretik
2.3. Pola Peresepan
Resep adalah suatu permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi dan dokter hewan
kepada apoteker untuk membuatkan obat dalam bentuk sediaan tertentu dan
menyerahkannya kepada pasien. Prinsip dari peresepan rasional adalah adanya
elemen-elemen yang essensial untuk penggunaan obat yang efektif, aman dan
ekonomis (Joenes, 2001). Pada konferensi para ahli pada penggunaan obat
rasional yang diselenggarakan oleh World Health Organization (WHO)
menyatakan bahwa penggunaan obat yang rasional terjadi ketika pasien
mendapatkan obat dan dosis yang sesuai dengan kebutuhan klinik pasien dalam
periode waktu yang cukup dan dengan harga yang terjangkau untuk pasien dan
1. Peresepan Rasional
a. Indikasi yang tepat
Keputusan untuk memberikan resep secara keseluruhan didasarkan oleh
alasan medis dan farmakoterapi sebagai alternatif pengobatan yang terbaik.
Keputusan ini tidak boleh dipengaruhi oleh alasan nonmedis seperti
permintaan pasien, menolong rekan kerja atau menciptakan kredibilitas
(Santoso, 1996).
b. Obat yang tepat
Penentuan kesesuaian obat yang diresepkan dengan diagnosa yang ditegakkan
sangat ditentukan oleh kemampuan dan pengalaman dokter menaati
prinsip-prinsip ilmiah peresepan. Penyeleksian obat secara objektif dapat dibuat
berdasarkan efikasi, keamanan, kesesuaian dan biaya. Obat yang dipilih
adalah obat dengan profil risikobenefit yang paling baik. Obat yang terseleksi
harus dengan mudah tersedia, praktis dibawa, mudah disimpan dan tidak
menyusahkan pasien. Pertimbangan biaya obat tidak boleh mengurangi
pertimbangan efikasi dan toleransi (Santoso, 1996).
c. Pasien yang tepat
Ketika mengevaluasi kondisi pasien sebelum memulai terapi obat, hal yang
penting untuk dipertimbangkan adalah adanya reaksi samping pada pasien
meliputi kemungkinan terjadinya efek samping, gangguan fungsi hati atau
ginjal dan adanya obat lain yang dapat berinteraksi dengan obat yang
d. Dosis dan cara penggunaan yang tepat
Pemberian obat secara oral (bentuk sediaan cair, tablet dan puyer) paling
dianjurkan untuk anak. Pemberian ini perlu mempertimbangkan kondisi
pasien, tingkat penerimaan dan faktor-faktor lain yang akan mempengaruhi
masuknya obat secara lengkap ke dalam tubuh.
Dosis yang digunakan hendaknya dimulai dengan dosis efektif minimal yang
direkomendasikan. Ada beberapa keadaan yang memungkinkan modifikasi
dosis yang dibutuhkan, seperti pada pasien gangguan hati, ginjal dan respon
klinis individu pasien berdasarkan respon terapetik dan efek samping.
Frekuensi adminstrasi obat bergantung pada berapa lama efek akan bertahan
dan riwayat perjalanan penyakit (Santoso, 1996).
e. Informasi yang tepat
Pemberian informasi yang tepat pada pasien merupakan bagian integral dari
pola peresepan. Informasi yang disampaikan mencakup cara minum obat,
kemungkinan terjadinya efek samping dan penanggulanganya. Informasi
hendaknya sederhana, jelas dan mudah dipahami sehingga keberhasilan terapi
dapat dicapai (Santoso, 1996).
f. Evaluasi dan tindak lanjut yang tepat
Setiap intervensi pengobatan harus dievaluasi secara tepat. Hal ini
membutuhkan perencanaan sejak awal pemberian resep obat. Hal-hal penting
akan tercapainya serta aksi yang dibutuhkan jika respon terapetik tidak
tercapai atau jika efek samping yang tidak diharapkan terjadi (Santoso, 1996).
2. Peresepan Obat Yang Tidak Rasional
Pola peresepan yang menyimpang memiliki andil besar pada pengobatan
tidak rasional. Peresepan yang tidak rasional dapat juga dikelompokkan
dalam lima bentuk:
a. Peresepan boros (extravagant prescribing)
Peresepan dengan obat-obat yang lebih mahal, padahal ada alternatif obat
yang lebih murah dengan manfaat dan keamanan yang sama. Termasuk disini
adalah peresepan yang terlalu berorientasi ke pengobatan simptomatik hingga
mengurangi alokasi obat yang lebih vital contoh pemakaian obat antidiare
yang berlebihan dapat menurunkan alokasi untuk oralit yang notabene lebih
vital untuk menurunkan mortalitas (Sastramihardja, 2006).
b. Peresepan berlebihan (over prescribing)
Peresepan yang jumlah, dosis dan lama pemberian obat melebihi ketentuan -
serta peresepan obat-obat yang secara medik tidak atau kurang diperlukan
(Sastramihardja, 2006).
c. Peresepan yang salah (incorrect prescribing)
Pemakaian obat untuk indikasi yang salah, obat yang tidak tepat, cara
pemakaian salah, mengkombinasi dua atau lebih macam obat yang tak bisa
memperhitungkan kondisi penderita secara menyeluruh (Sastramihardja,
2006).
d. Peresepan majemuk (multiple prescribing)
Pemberian dua atau lebih kombinasi obat yang sebenarnya cukup hanya
diberikan obat tunggal saja. Termasuk disini adalah pengobatan terhadap
semua gejala yang muncul tanpa mengarah ke penyakit utamanya
(Sastramihardja, 2006).
e. Peresepan kurang (under prescribing)
Terjadi kalau obat yang diperlukan tidak diresepkan, dosis obat tidak cukup
III. METODE PENELITIAN
3.1. Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif retrospektif non analitik
yaitu suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama membuat
gambaran atau deskripsi tentang suatu keadaan secara objektif dengan melihat
ke belakang (Notoatmodjo, 2005).
Sumber data penelitian menggunakan data sekunder dengan melihat
variabel-variabel penelitian yang tercatat pada rekam medik rawat jalan pasien
hipertensi di Puskesmas Simpur Bandar Lampung periode Januari-Juni 2013.
Data akan dikelola dengan menggunakan lembar kerja penelitian.
3.2. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober-November 2013 di
3.3. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi penelitian adalah seluruh data resep pasien rawat jalan yang
didiagnosa menderita hipertensi di Puskesmas Simpur Bandar Lampung
periode Januari-Juni 2013 sebanyak 1319 orang (Dinkes, 2013).
n = Za2PQ P: 0,5 ; Za: 1,96 ; d:0,1
d2
n = (1,96)2 x 0,5 x (1-0,5) = 96 resep (0,1)2
Besar sampel penelitian yang digunakan dalam penelitian ini ditentukan
dengan metode proportion random sampling yaitu pengambilan sampel
secara acak, yang dimana diasumsikan populasi yang diambil homogen, jadi
setiap anggota populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk diseleksi
sebagai sampel (Notoatmodjo, 2010).
3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
1. Kriteria Inklusi
a. Pasien yang didiagnosa menderita hipertensi tanpa penyakit penyerta dan
mendapatkan pengobatan antihipertensi serta tercatat pada rekam medik
rawat jalan di Puskesmas Simpur Bandar Lampung periode Januari-Juni
2013.
c. Resep utuh/tidak sobek, masih bisa terbaca.
d. Resep yang ditulis oleh dokter.
2. Kriteria Eksklusi
a. Resep yang hilang.
c. Resep yang sedang digunakan oleh pasien.
c. Resep dengan pasien usia lansia.
d. Resep dengan pasien berulang.
3.5. Identifikasi Varibel
Pada penelitian ini, yang menjadi variabel penelitian adalah antihipertensi,
3.6. Definisi Operasional
Variabel Definisi Cara
Ukur
Hasil Ukur Skala
Hipertensi Hipertensi : Tekanan sistol ≥140 mmHg, tekanan diastol ≥90 mmHg. Data yang tertera di Rekam Medik Puskesmas Simpur selama periode januari-juni 2013 Bandar Lampung.
Rekam Medik Diagnosa Hipertensi Nominal Peresepan obat
Peresepan obat adalah
penulisan resep obat
antihipertensi oleh dokter dengan diagnosa hipertensi tanpa penyakit penyerta di Puskesmas Simpur Kota periode januari-juni 2013 Bandar Lampung.
Resep Jenis Obat Nominal
Dosis Dosis adalah takaran yang diberikan pada pasien yang mendapat terapi, tercantum pada resep yang ditulis oleh
dokter di Puskesmas
Simpur Januari-Juni 2013 Bandar Lampung.
Resep Sesuai (S) : bila dosis penggunaan obat
antihipertensi
sesuai dengan
pedoman yang
diacu.
Tidak Sesuai (TS)
: bila dosis
penggunaan obat antihipertensi
tidak sesuai
dengan pedoman yang diacu.
Ordinal
Frekuensi Penggunaan
Jangka waktu pemberian obat antihipertensi, tercantum pada resep yang ditulis oleh dokter di Puskesmas Simpur Januari-Juni 2013 Bandar
Lampung.
Resep Sesuai (S) : bila frekuensi
penggunaan obat antihipertensi
sesuai dengan
pedoman yang
diacu.
Tidak Sesuai (TS) : bila frekuensi penggunaan obat antihipertensi
tidak sesuai
dengan pedoman yang diacu.
Standar Peresepan obat yang digunakan adalah standar Depkes RI tahun 2006
Pharmaceutical Care untuk Penyakit Hipertensiyang dikeluarkan oleh Direktorat
Bina Farmasi Komunitas dan Klinik (Departemen Kesehatan).
[image:56.612.243.346.194.527.2]3.7. AlurPenelitian
Gambar 3. Alur Penelitian
3.8. Pengolahan dan Analisis Data
Data yang telah diperoleh kemudian dikumpulkan dan dilakukan deskripsi
terhadap setiap variabel dari data tersebut. Data lalu disusun dan
dikelompokkan berdasarkan variabel. Hasil penelitian kemudian disajikan
dan dijabarkan dalam bentuk tabel, dan kemudian dilakukan teknik analisa Periizinan
Pengambilan Data
Pengambilan Data
Pengolahan Data Hasil Penelitian
kualitatif melakukan cara induktif yaitu penarikan kesimpulan umum
berdasarkan hasil survei yang telah dilakukan.
3.9. Aspek Etik Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Simpur dengan periode penelitian
Oktober-November 2013. Pada penelitian ini menggunakan data sekunder
berupa resep. Resep didapatkan dari bagian pengelola obat Puskesmas
Simpur melalui izin untuk melakukan penelitian yang dikeluarkan oleh Dinas
Kesehatan Kota Bandar Lampung melalui nomor surat 440.1289.09.2013.
Data yang berasal dari resep akan dikelola dengan menggunakan lembar kerja
penelitian. Penelitian ini telah mendapat Keterangan Lolos Kaji Etik dari
Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan
Dari Penelitian di bagian rawat jalan Puskesmas Simpur periode Januari-Juni
2013 terhadap 96 data peresepan pasien hipertensi yang mendapat pengobatan
antihipertensi, dapat disimpulkan bahwa :
5.1.1. Simpulan Khusus
1. Pola Persesepan di Puskesmas Simpur sudah sesuai sebanyak 97,92 %
berdasarkan ketepatan dosis dan frekuensi pemberian sebanyak 81,25%.
2. Bahwa pemberian obat antihipertensi di Puskesmas Simpur ini sudah
rasional sebanyak 81,25% dengan ketentuan yang ada berdasarkan :
a. Ketepatan dosis obat antihipertensi di Puskesmas Simpur dan sesuai
dengan standar depkes 2006a.
b. Frekuensi pemberian obat antihipertensi di Puskesmas Simpur dan
sesuai dengan standar depkes 2006a.
5.1.2. Simpulan Umum
1. Distribusi jenis kelamin pada pasien rawat jalan dengan diagnosa
hipertensi pada periode Januari-Juni 2013 terbanyak adalah perempuan
65 pasien (67,7%) dan laki-laki 31 pasien (32,3%).
2. Distribusi usia terbanyak terdapat pada usia 56-65 tahun pada 39 pasien
3. Distribusi penggunaan obat antihipertensi terbanyak adalah captopril
sebanyak 65 resep (60,1%).
4. Distribusi jenis terapi terbanyak adalah terapi tunggal sebanyak 84 resep
(88,5%).
5.2. Saran
Saran yang dapat penulis berikan setelah dilakukannya penelitian ini adalah :
1. Bagi peneliti, agar dapat memanfaatkan penget