IMPLEMENTASI ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA
ABSTRAK
Oleh Bagus Priasmoro
Tindak Pidana Korupsi di atur di dalam Undang-Undang No 31 Tahun 1999 Jo.Undang-Undang No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam perubahannya disebutkan mengenai ‘Pembuktian Terbalik’ sebagai ketentuan yang bersifat ‘primum remindium’ dan sekaligus mengandung sifat prevensi khusus. Pembuktian terbalik atau yang dikenal sebagai sistem pembalikan beban pembuktian (Reversal Of Burder Proof atau Omkering Van
Bewijslast) merupakan adopsi dari hukum anglo-saxon atau negara penganut
case-law dan berbatas pada kasus tertentu (certain cases) khusus nya terhadap
tindak pidana gratifikasi (gratification) atau pemberian yang berelokasi dengan suap (bribery). Penerapan pembuktian terbalik bersimpangan dengan ketentuan hukum acara pidana universal yang mensyaratkan terdakwa tidak di bebankan pembuktian. Rumusan masalah skripsi ini yang pertama adalah bagaimanakah pengaturan pembuktian terbalik berdasarkan hukum indonesia dan yang kedua bagaimana implementasi penggunaan pembuktian terbalik dalam kasus tindak pidana korupsi di indonesia.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Pengumpulan data dilakukan dengan cara pencarian data sekunder berupa mengumpulkan berbagai ketentuan Perundang-Undangan, dokumentasi, literatur, dan mengakses internet yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini serta hasil dari wawancara dengan para ahli atau sarjana hukum.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang berlaku di indonesia tidak mengenal asas pembuktian terbalik. Pembuktian Terbalik adalah pengecualian dari pembuktian yang ada didalam KUHAP yang berarti berlaku asas lex specialis derogat legi generali di dalamnya. Sistem pembuktian terbalik dalam Pasal 37 berlaku sepenuhnya pada tindak pidana korupsi suap menerima gratifikasi, khususnya yang nilainya Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih.
Penulis memberikan saran masing-masing penegak hukum perlu mencari format dan persamaan presepsi dalam melaksanakan pembuktian terbalik sehingga pembuktian terbalik walaupun merupakan sistem yang relatif baru dan ruang lingkup penerapannya sempit tidak menimbulkan keraguan penegak hukum untuk menerapkannya.
IMPLEMENTASI ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA
Oleh
Bagus Priasmoro
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar
SARJANA HUKUM
Pada
Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung
BAGIAN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandar Lampung 03 November 1992,
sebagai anak kedua dari tiga bersaudara, dari pasangan Bapak Drs. Dadang Priyatna, M.Si. dan Ibu Sri Chomsah Akpeniyati, S.E.
Penulis mengawali jenjang pendidikan pada tahun 1997 di Taman Kanak-Kanak Bakti Ibu Bandar Lampung. Kemudian pada tahun 1998 masuk ke Sekolah Dasar
Muhamaddiyah 2 Bandar Lampung yang diselesaikan tahun 2004.
Setelah menyelesaikan Sekolah Dasar, penulis melanjutkan pendidikannya ke SMPN 8 Bandar Lampung dan diselesaikan pada tahun 2007. Kemudian pada
tahun 2007 penulis melanjutkan ke SMAN 12 Bandar Lampung dan lulus pada tahun 2010.
MOTTO
“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.
Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan),
kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.
Dan hanya kepada Tuhan-Mulah hendaknya kamu
berharap”
(Q.S. Alam Nasyrah : 6-8)
Jadilah manusia yang bermanfaat untuk orang disekitar
kita, lingkungan, daerah, bangsa ,dan negara.
PERSEMBAHAN
Teriring Do’a dan Rasa Syukur Kehadirat Allah SWT Atas
Rahmat dan Hidayah-Nya serta Junjungan Tinggi
Rasulullah Muhammad SAW
Kupersembahkan karya sederhanaku ini kepada :
Abah dan Emak, yang senantiasa tulus mendoakan
keberhasilanku dengan segenap cinta, kasih sayang, tetesan
keringat dan air mata.
Kakak dan adikku Ardyto Monotov dan Pasca wirandana yang
selalu menjadi motivasi penulis untuk selalu berpikir maju
memikirkan masa depan yang jauh lebih baik dari sekarang.
Untuk semua sanak saudara, keluarga, sahabat-sahabat, dan
rekan-rekan yang telah memberikan dorongan, saran serta
bantuan bagi penulis dalam penulisan skripsi ini, serta semua
pihak yang membantu sehingga dapat terselesainya skripsi
ini.
SANWACANA
Alhamdulillahirabbil ‘alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT. Sebab hanya dengan kehendak-Nya maka penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: Implementasi Asas Pembuktian Terbalik
Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia , sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Penulis menyadari bahwa selama proses penyusunan sampai dengan terselesaikannya skripsi ini penulis mendapatkan bantuan dan bimbingan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Lampung.
2. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H., selaku ketua Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung sekaligus selaku pembahas I atas kesediaannya yang memberikan kritik dan saran dalam penulisan ini.
4. Ibu Dr. Erna Dewi, S.H., M.H., selaku pembimbing I yang penuh dengan
kesabaran memberikan bimbingan motivasi, saran, dan juga kritik dalam proses penyelesaian skiripsi ini.
5. Bapak Rinaldy Amrullah, S.H., M.H. selaku pembimbing II atas masukan dan saran yang diberikan selama proses perbaikan skripsi ini
6. Bapak Budi Rizki Husin, S.H., M.H. selaku pembahas II atas kesediaannya
yang memberikan kritik dan saran dalam penulisan ini.
7. Ibu Widya Krulinasari, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik atas
bimbingannya selama penulis menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Lampung.
8. Seluruh dosen dan staff Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah
memberikan bantuan kepada penulis selama menempuh studi.
9. Kedua orang tuaku Drs. Dadang Priyatna, M.Si. dan Sri Chomsah
Akpeniyati, S.E. yang telah mendidik, membesarkan dan selalu mendukung segala yang saya lakukan.
10. Kakak dan adikku, Ardyto Monotov dan Pasca Wirandana yang tak pernah
lupa mendoakan dalam setia langkahku.
11. Untuk seseorang yang selalu setia dan tidak pernah letih menemani serta
selalu memberikan motivasi semangat demi terselesaikannya skripsi ini. 12. Sahabat-sahabatku RBP (Muhammad Havez, Muhammad Rusjana,
13. Sahabat-sahabatku HMI Komisariat Hukum Unila 2010, (Muhammad Haikal,
Farid Anfasa, Aristo Evandy, Rindi Purnama, Hardiansyah, Zulkifli Hakim, Aldo Perdana Putra).
14. Kakak dan adik tingkat Komisariat Hukum Unila, (Bang Yoni Patriadi, Bang Heri, Bang Andi, Bang Agus Tomi, Bang Novi, Beni, Ebol, Ayu, Rae, Diana, Hanny, Marulfa, Sarah, Bayu, Adit, Kujang, Rb, Belardo, Indra, Fiqi, Bowo,
Iqbal).
15. Keluarga dan teman-teman KKN Tematik 2013 Pekon Rata Agung ,
Kecamatan Lemong, Kabupaten Pesisir Barat (dedi , chintia , leni, jo, dio,). 16. Seluruh angkatan 2010, terutama teman-teman jurusan Hukum Pidana 2010
atas bantuan, dukungan, dan kerjasamanya.
17. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu penulis menyelesaikan skripsi ini, terimakasih atas semua bantuan, dukungan,
kerelaannya.
18. Almamater tercinta Universitas Lampung.
Penulis berdoa semoga semua kebaikan dan amal baik yang telah diberikan akan
mendapat balasan pahala dari sisi Allah SWT, dan akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat.
Bandar Lampung, 12 Agustus 2014
Penulis,
DAFTAR ISI
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 6
C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan ... 7
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 7
E. Sistematika Penulisan... 12
II. TINJAUAN PUSTAKA A.Pengertian Tindak Pidana ... 14
B.Tindak Pidana Korupsi ... 15
C.Sistem Pembuktian dalam Hukum Pidana Indonesia ... 17
D.Pembuktian Terbalik ... 20
III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 22
B. Sumber Data dan Jenis Data ... 23
C. Prosedur Pengumpulan Data ... 24
D. Prosedur Mekanisme Pengolahan Data ... 24
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik Responden ... 26 B. Pembuktian Terbalik Menurut Hukum Indonesia ... 27
1. Pembuktian Terbalik dalam KUHAP Sebagai Hukum Formil yang Berlaku Di Indonesia ... 27 2. Pembuktian Terbalik dalam Undang-Undang Sebagai Hukum Materiil
yang Berlaku Di Indonesia ... 31 C. Implementasi Pembuktian Terbalik dalam Pradilan Tindak Pidana Korupsi
Di Indonesia ... 45
V. PENUTUP
A. Simpulan ... 50
B. Saran ... 52
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejarah kehidupan hukum pidana Indonesia menyebutkan istilah korupsi pertama kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi
menjadi suatu peristiwa hukum. Penggunaan istilah korupsi di dalam peraturan tersebut terdapat pada bagian konsiderannya yang antara lain menyebutkan bahwa
perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian Negara yang oleh khalayak ramai dinamakan korupsi.1
Korupsi merupakan salah satu tindak pidana khusus yang pengaturannya diatur
di luar KUHP. Tindak pidana korupsi diatur di dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999.
Penjelasan umum UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di sebutkan ketentuan mengenai “Pembuktian Terbalik” perlu ditambahkan dalam Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai ketentuan yang bersifat ‘primum2 remidium’ dan sekaligus mengandung sifat prevensi khusus
1 Elwi Danil, Korupsi : Konsep, Tindak Pidana Dan Pemberantasan, Jakarta, Rajawali Pers, 2012, hlm.5
2 www.latinwordlist.com/latin-words/primum-24259298.htm.diakses. Diakses pada hari kamis,
2
terhadap pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka atau terhadap
penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi.
Ketentuan mengenai pembuktian terbalik tersebut atau yang di kenal sebagai sistem Pembalikan Beban Pembuktian (Reversal of Burden Proof atau Omkering Van
Bewijslast) merupakan hasil adopsi dari sistem hukum anglo-saxon atau Negara
penganut case-law dan terbatas pada kasus kasus tertentu (certain cases) khusus
nya terhadap tindak pidana gratifikasi (gratification) atau pemberian yang berelokasi dengan suap (bribery).3
Pembuktian Terbalik yaitu ketentuan mengenai bergesernya beban pembuktian
yang semula di bebankan kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) menjadi beban pembuktian yang di bebankan kepada terdakwa. Sehingga terdakwa berperan aktif
menyatakan bahwa dirinya bukan sebagai pelaku tindak pidana. Apabila tidak dapat membuktikan, maka terdakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana.
Sistem Pembuktian terbalik di Indonesia dapat dilihat antara lain dalam
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah oleh Undang-Undang-Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor),
tetapi yang diterapkan dalam UU Tipikor adalah Sistem Pembuktian Terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang. Sistem Pembuktian Terbalik yang bersifat terbatas
atau berimbang ini dijelaskan dalam penjelasan UU Tipikor tersebut, yaitu terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak
3
pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya
dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan, dan
penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya.4
sistem pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang ini dapat kita lihat dalam Pasal 37 Ayat (1) UU Tipikor dan Pasal 37A Ayat (3) UU Tipikor.
Pasal 37 Ayat (1) UU Tipikor:
“Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan
tindak pidana korupsi”.
Pasal 37a Ayat (3) UU Tipikor:
“Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dan Ayat (2) merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-Undang ini, sehingga penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya”.
Penerapan pembuktian terbalik berdasarkan UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini bukanlah tanpa masalah. Hal ini menurut Lilik Mulyadi, dapat dilihat dari kebijakan legislasi
pembuatan undang-undang yang produknya masih dapat bersifat multi interprestasi, sehingga relatif banyak ditemukan beberapa kelemahan di dalamnya.5
Keberadaan Pembuktian Terbalik di Indonesia merupakan sesuatu yang bagus
4 Hukum Online, Sitem Pembalikan Beban Pembuktian, diakses dari: http://www.hukumonline. com/klinik/detail/lt513ff99d6eedf/tentang-sistem-pembalikan-beban-pembuktian, pada hari Selasa, tanggal 26 November 2013
4
untuk di jelaskan yang mana ada pertentangan antara hukum pidana formil dan
hukum pidana materiil di dalam ketentuan mengenai pembuktian terbalik yaitu sebagaimana tersurat di dalam Pasal 66 KUHAP bahwa tersangka atau terdakwa
tidak di bebani kewajiban pembuktian, dalam penjelasan Pasal 66 KUHAP dikatakan bahwa ketentuan ini adalah penjelasan asas ‘Praduga Tak Bersalah’ dan
bertentangan dengan Pasal 37 Ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu:
“Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan
tindak pidana korupsi”.
Tidak berjalannya dengan seimbang antara hukum Pidana materiil dan hukum Pidana formil di Indonesia, dimana hukum materiil yang selalu di perbaharui dalam
setiap tahunnya tidak di imbangi oleh hukum formil yang sejak tahun 1981 tidak pernah ada perubahan dalam mengatur kewenangan Negara (melalui aparat
penegak hukum) untuk melaksanakan hak nya dalam penjatuhan pidana.
Indonesia menerapkan Pembuktian Terbalik terbatas atau berimbang di karenakan Indonesia menganut asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) namun
dalam pelaksanaanya asas praduga tidak bersalah pun mengandung multi tafsir dan bila kita pikirkan lagi secara bersama-sama apakah proses penyelidikan yang di
lakukan kepolisian hingga penuntutan oleh jaksa mengandung praduga tidak bersalah (presumption of innocence) atau mangandung praduga bersalah
(presumption of guilt). Jika kepolisian dan jaksa menggunakan asas praduga tak
5
pemeriksa perkara bahwa terdakwa memang benar-benar bersalah dengan
mengumpulkan alat bukti dan barang bukti. Namun di sisi lain, baik Polisi maupun Jaksa harus memperlakukan Tersangka/Terdakwa seakan-akan tidak bersalah.
Begitu juga dengan tugas seorang hakim, yang memeriksa perkara dan memberikan putusan terhadap salah atau tidaknya Terdakwa, harus menggunakan asas praduga tidak bersalah atau Presumption of Innocence. Hal ini berkaitan dengan asas dasar hakim yang berlaku di seluruh dunia, yaitu “Lebih baik tidak menghukum orang
yang bersalah, daripada menghukum orang yang tidak bersalah”.
Secara tidak langsung proses beracara kepolisian dan kejaksaan tidak sesuai antara harapan dan kenyataannya seperti tertuang dalam Penjelasan Umum KUHAP butir ke 3 huruf c yaitu:6
“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Bagaimana implementasi dari asas Pembuktian Terbalik dalam tindak pidana
korupsi apabila KUHAP tidak pernah mengatur mengenai Pembuktian terbalik di dalam proses beracaranya. Apakah di benarkan apabila seorang hakim
menggunakan Pembuktian terbalik di dalam persidangan, yang mana kita ketahui tata cara berjalannya tahapan-tahapan di muka persidangan semuanya di atur dalam KUHP dan KUHAP tidak pernah mengenal Pembuktian terbalik dan mengandung
multi tafsir.
6
Penerapan Pembuktian Terbalik juga menjadi kebijakan Politik Hukum Pidana
yang dilematis karena potensial akan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), dan bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence)
sehingga menimbulkan pergeseran pembuktian menjadi asas praduga bersalah
(presumption of guilt) atau asas praduga korupsi (presumption of corruption).
Selain itu penerapan Pembuktian terbalik bersimpangan dengan ketentuan hukum
acara pidana universal yang mensyaratkan terdakwa tidak dibebankan kewajiban pembuktian.7
Bertolak dari uraian di atas, penulis tertarik untuk menganalisis lebih mendalam tentang implementasi asas pembuktian terbalik dalam kasus Korupsi, ke dalam bentuk skripsi yang berjudul: “Implementasi Asas Pembuktian Terbalik Dalam
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka penyusun merumuskan pokok permasalahn sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pengaturan pembuktian terbalik berdasarkan hukum
Indonesia?
2. Bagaimana implementasi penggunaan pembuktian terbalik dalam kasus
tindak pidana korupsi di Indonesia?
7
C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan
1. Tujuan penelitian
a. Untuk mengetahui dan menganalisis konsep pembuktian terbalik
menurut hukum positip di Indonesia
b. Untuk mengetahui implementasi pembuktian terbalik dalam praktik tindak pidana korupsi di pengadilan tindak pidana korupsi
2. Kegunaan Penulisan
Adapun kegunaan penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Secara teoritis, yaitu untuk memperluas pengetahuan penulis di bidang ilmu hukum pidana, khususnya yang berkaitan dengan pelaksanaan asas pembuktian terbalik di dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
b. Secara praktis, kegunaan penulisan ini adalah untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan memperluas wawasan serta bentuk sumbangan
pemikiran bagi aparat penegak hukum.
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual
Pengaturan tentang berlakunya asas pembuktian terbalik telah di atur didalam UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi yang di jadikan acuan bagi para penegak hukum dalam menangani kasus-kasus tindak pidana korupsi seperti gratifikasi.
8
atau pernyataan bersalah atau tidak terhadap seorang terdakwa mengenai
penggunaan asas pembuktian terbalik telah di atur didalam. Apabila dilihat dari hukum pembuktian yang dianut Indonesia dewasa ini, sistem pembuktian dapat
diberi batasan sebagai suatu kebulatan atau keseluruhan dari berbagai ketentuan perihal kegiatan pembuktian yang saling berhubungan satu dengan yang lain yang tidak terpisahkan danmenjadi suatu kesatuan yang utuh. Sebagaimana yang
dipahami selama ini, bahwa sistem pembuktian adalah merupakan ketentuan mengenai bagaimana cara dalam membuktikan dan sandaran dalam menarik
kesimpulan tentang terbuktinya apa yang dibuktikan. Pengertian sistem pembuktian yang mengandung isi yang demikian, dapat pula disebut dengan teori atau ajaran pembuktian. Ada beberapa sistem pembuktian yang telah dikenal dalam doktrin
hukum acara pidana, ialah:
1. Sistem keyakinan belaka (Conviction In Time)
Teori ini menyatakan bahwa hakim mengambil keputusan semata-mata berdasarkan keyakinan pribadinya. Walaupun tidak ada alat bukti, Hakim dapat menjatuhkan pidana dan hakim tidak perlu menyebut alasan-alasan putusannya.
Dalam sistem ini hakim mempunyai kebebasan penuh untuk menjatuhkan putusan. Subyektifitas hakim sangat menonjol dalam sistem ini.8 Sistem ini mengandung
kelemahan yang besar. Sebagaimana manusia biasa, hakim bisa salah keyakinan yang telah dibentuknya, berhubung tidak ada kriteria, alat- alat bukti tertentu yang
harus dipergunakan dan syarat serta cara-cara hakim dalam membentuk keyakinan
9
tersebut. Disamping itu, pada sistem ini terbuka peluang besar untuk terjadi praktik
penegakan hukum yang sewenang-wenang, dengan bertumpu pada alasan hakim yang telah yakin.9
2. Teori pembuktian positif (Positief Wettelijk Bewijstheorie)
Pembuktian dalam sistem ini didasarkan pada alat-alat bukti yang sudah ditentukan secara limitatif dalam undang-undang, sistem ini merupakan kebalikan dari sistem
Conviction in Time karena dalam sistem ini apabila perbuatan sudah terbukti
dengan adanya alat-alat bukti maka keyakinan hakim sudah tidak diperlukan lagi.
Sistem ini bertentangan dengan hak-hak asasi manusia, yang pada zaman sekarang sangat diperhatikan dalam hal pemeriksaan tersangka atau terdakwa oleh Negara. Juga sistem ini sama sekali mengabaikan perasaan nurani hakim. Hakim bekerja
menyidangkan terdakwa seperti robot yang tingkah lakunya sudah diprogram melalui undang-undang. Sistem pembuktian ini menyandarkan diri pada alat bukti
saja, yakni alat bukti yang telah ditentukan oleh undang-undang.
3. Teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (Negatief
Wettelijk)
Menurut sistem ini, hakim tidak sepenuhnya mengandalkan alat-alat bukti serta dengan cara-cara yang ditentukan oleh undang-undang. Tetapi harus disertai pula
keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana. Keyakinan yang dibentuk ini haruslah didasarkan atas fakta-fakta yang diperoleh dari alat bukti yang
10
ditentukan dalam undang-undang. Kegiatan pembuktian didasarkan pada 2 (dua)
hal, yaitu alat-alat bukti dan keyakinan yang merupakan kesatuan tidak dipisahkan, yang tidak berdiri sendiri-sendiri. Inti pembuktian berdasarkan undang-undang
secara negatif (Negatief Wettelijk) adalah bahwa hakim di dalam menentukan terbukti tidaknya perbuatan atau ada tidaknya kesalahan terdakwa harus berdasarkan alat-alat bukti yang tercantum di dalam undang- undang. Dan terhadap
alat-alat bukti tersebut hakim mempunyai keyakinan terhadapnya. Jika alat bukti terpenuhi, tetapi hakim tidak memperoleh keyakinan terhadapnya, maka hakim
tidak dapat menjatuhkan putusan yang sifatnya pemidanaan. Sebaliknya, sekalipun hakim memiliki keyakinan bahwa terdakwa adalah pelaku dan mempunyai kesalahan, tetapi jika tidak dilengkapi dengan alat-alat bukti yang sah, ia pun tidak
dapat menjatuhkan putusan pidana, tetapi putusan bebas.10 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menganut sistem ini, hal tersebut dapat terlihat dari
isi Pasal 183 KUHAP yaitu:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Sistem pembuktian yang dianut dalam ketentuan hukum acara pidana Indonesia adalah sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (Negatief
Wettelijk) atau berdasarkan “beyond reasonable doubt”. Sistem Pembuktian
berdasarkan Undang-Undang secara Negatif (Negatief Wettelijk) berlaku dan diterapkan secara umum untuk semua tindak pidana, baik yang ada dalam
10 Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2007,
11
kodifikasi (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) maupun di luar kodifikasi.
Namun penerapan sistem pembuktian secara negatif (Negatief Wettelijk) dianggap mengalami hambatan untuk membuktikan kasus korupsi yang bersifat sistematis
dan transnasional. Sistem pembuktian secara negatif tidak mampu mengembalikan aset negara yang di korupsi dan seolah-olah menjadikan tindak pidana korupsi seperti “beyond the law” dan sebagai bentuk perbuatan yang “untouchable by the
law”. Sehingga diajukannya alternatif pembalikan beban pembuktian (“Reversal of
Burden Proof” atau “Omkering van Bewijslast”), yang jika dikaji dari perspektif
teoritis dan praktik, dapat diklasifikasikan lagi menjadi pembalikan beban pembuktian yang bersifat murni maupun bersifat terbatas (limited burden of proof). Ketentuan tersebut, khususnya ditujukan terhadap harta kekayaan tersangka korupsi
yang bertujuan menggugat hak kepemilikan seseorang atas harta kekayaannya yang selayaknya tidak dimiliki seseorang dibandingkan dengan penghasilan yang
diterimanya secara sah. Penggunaan model ini harus memiliki 2 (dua) fungsi yaitu,
pertama model ini bertujuan untuk memudahkan proses pembuktian asal-usul harta
kekayaan dari suatu kejahatan; akan tetapi di sisi lain, tidak dapat dipergunakan
sehingga bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) seseorang tersangka. Fungsi kedua, model ini tidak memiliki tujuan yang bersifat represif melalui proses
kepidanaan melainkan harus bertujuan yang bersifat rehabilitatif dan semata-mata untuk memulihkan aset hasil dari kejahatan tertentu (recovery) dengan melalui jalur
12
E. Sistematika Penulisan
Agar penulisan hukum ini bisa tersusun dengan baik, sistematis dan mudah dimengerti yang akhirnya dapat diambil suatu kesimpulan yang menyeluruh,
Dengan pedoman pada sistematika penulisan karya ilmiah pada umumnya maka penulis berusaha untuk mendeskripsikan gambaran umum yang berhubungan dengan cakupan skripsi ini, maka penulisan skripsi ini akan dibagi menjadi 5 (lima)
Bab, yaitu sebagai berikut :
I. PENDAHULUAN
Dalam bab ini dijelaskan antara lain tentang latar belakang, permasalahan yang akan diangkat, tujuan dan manfaat penelitian, dilanjutkan pula dengan uraian mengenai ruang lingkup penelitian, dan terakhir memuat sistematika penulisan
yang membahas pokok bahasan tiap-tiap bab dalam penulisan hukum ini.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini menguraikan secara ringkas mengenai Tindak Pidana dan dalam skripsi ini juga digambarkan secara tegas mengenai pengertian korupsi serta, pada bagian ini juga dikemukakan mengenai Pembuktian Terbalik dalam rangka penyelesaian
kasus Tindak Pidana Korupsi.
III. METODE PENELITIAN
Bab ini menguraikan metode yang digunakan pada penulisan skripsi. Selain itu, juga digambarkan secara ringkas tentang pendekatan masalah dalam penulisan
13
yang digunakan dalam proses pengumpulan data. Terakhir, ditampilkan analisis
data untuk mengetahui cara-cara yang digunakan dalam penelitian skripsi.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini dimulai dengan pemaparan hasil penelitian dan uraian dari pembahasannya. Diawali dengan membahas latar belakang dan sejarah penggunaan kata-kata korupsi serta pengaturan mengenai Pembuktian Terbalik dalam penyelesaian kasus
Tindak Pidana Korupsi. Pada bagian terakhir dibahas mengenai Implementasi Asas Pembuktian Terbalik dalam penyelesaian kasus Tindak Pidana Korupsi di
Indonesia.
V. PENUTUP
Pada bab ini diuraikan secara singkat mengenai kesimpulan akhir yang merupakan
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Tindak Pidana
Tindak pidana di dalam KUHP tidak dirumuskan secara tegas tetapi hanya menyebutkan unsur-unsur tindak pidananya saja, tetapi dalam konsep hal tersebut
telah dirumuskan atau diformulasikan, misalnya dalam konsep KUHP dirumuskan dalam Pasal 11 yang menyatakan bahwa:
1. Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu
yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.
2. Untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan kesadaran hukum
masyarakat.
3. Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali
ada alasan pembenar.
Muladi mendefinisikan tindak pidana, yaitu merupakan gangguan terhadap keseimbangan, keselarasan dan keserasian dalam kehidupan masyarakat yang
mengakibatkan gangguan individual ataupun masyarakat.11 Berdasarkan kajian
15
etimologis tindak pidana berasal dari kata ‘strafbaar feit’ di mana arti kata ini
menurut Simons adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan
oleh orang yang mampu bertanggung jawab.12 Rumusan tersebut menurut Jonkers dan Utrecht merupakan rumusan yang lengkap, yang meliputi:13
1. diancam dengan pidana oleh hukum,
2. bertentangan dengan hukum,
3. dilakukan oleh orang yang bersalah,
4. orang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya.
Komariah E. Sapardjaja menggunakan istilah Tindak Pidana dalam menerjemahkan
‘strafbaar feit’. Menurutnya bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan manusia
yang memenuhi perumusan delik, melawan hukum dan pembuat bersalah melakukan perbuatan itu.14
B. Tindak Pidana Korupsi
Henry Campbell Black mengartikan korupsi sebagai ”an act done with an intent to
give some advantage inconsistent with official duty and the rights of other” yang
artinya adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak hak dari pihak
lain.15
12 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta, 2000, hlm.56 13 Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta, 2008, hlm.88
14 Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggung-jawaban
Pidana Tanpa Kesalahan, Jakarta, Kencana, 2008, hlm.27
16
Termasuk pula dalam pengertian ‘corruption’ menurut Black adalah perbuatan
seorang pejabat yang secara melanggar hukum menggunakan jabatannya untuk mendapatkan suatu keuntungan yang berlawanan dengan kewajibannya.
A.S Hornby dan kawan kawan juga mengartikan istilah korupsi sebagai suatu pemberian atau penawaran dan penerimaan hadiah berupa suap (the offerin and
accepting of bribes) serta kebusukan atau keburukan.16
David M. Chalmer menguraikan pengertian korupsi dalam berbagai bidang antara lain menyangkut masalah penyuapan yang berhubungan dengan manipulasi di
bidang ekonomi dan menyangkut mengenai bidang umum.
Menurut Fockema Andreae kata korupsi berasal dari bahasa latin corruption atau
corruptus. Selanjutnya di sebutkan bahwa corruption berasal pula dari kata asal
corrumpere, suatu kata latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu corruption, Belanda yaitu corruptive
(korruptie). Kita dapat memberanikan diri bahwa dari bahasa belanda inilah kata
itu turun ke bahasa Indonesia, yaitu korupsi.
Korupsi secara etimologis menurut Andi Hamzah berasal dari bahasa latin yaitu “corruptio” atau “corruptus” yang kemudian muncul dalam banyak bahasa Eropa
seperti Inggris dan Prancis yaitu “coruption”, dalam bahasa Belanda “korruptie”
yang selanjutnya muncul pula dalam perbendaharaan bahasa Indonesia : korupsi, yang dapat berarti suka di suap.17
16. Elwi danil, Korupsi: Konsep, Tindak Pidana Dan Pemberantasan, Jakarta, Rajawali Pers, 2012, hlm.3
17 Andi Hamzah, Delik-delik Tersebar Di Luar KUHP dengan Komentar, Jakarta, Pradnya Paramita,
17
Arti harfiah dari kata itu adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidak jujuran,
dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.18Dalam Kamus Bahasa Indonesia kata ‘korupsi’
di artikan sebagai perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang , penerimaan uang sogok dan sebagainya.19
Rumusan pengertian mengenai korupsi tersebut di atas terlihat bahwa korupsi pada
umumnya merupakan kejahatan yang dilakukan oleh kalangan menengah ke atas, atau yang dinamakan dengan White Collar Crime yaitu kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang berkelebihan kekayaan dan dipandang “terhormat”, karena
mempunyai kedudukan penting baik dalam pemerintahan atau di dunia perekonomian.20
C. Sistem Pembuktian dalam Hukum Pidana Indonesia
Sistem pembuktian terdiri dari dua kata, yaitu kata “sistem” dan “pembuktian”.
Secara etimologis, kata “sistem” merupakan hasil adopsi dari kata asing “system”
(Bahasa Inggris) atau “systemata” (Bahasa Yunani) dengan arti “suatu kesatuan yang tersusun secara terpadu antara bagian-bagian kelengkapannya dengan memiliki tujuan secara pasti” atau “seperangkat komponen yang bekerja sama guna
mencapai suatu tujuan tertentu”.
Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan, dengan kata lain melalui pembuktian nasib
18 Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi:Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 4-5
19Ibid., hlm.6
18
terdakwa ditentukan apakah ia dapat dinyatakan bersalah atau tidak. Pembuktian
juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan oleh undang-undang yang boleh dipergunakan oleh hakim membuktikan kesalahan yang
didakwakan.
Benar atau salahnya suatu permasalahan terlebih dahulu perlu dibuktikan. Begitu pentingnya suatu pembuktian sehingga setiap orang tidak diperbolehkan untuk
menjustifikasi begitu saja sebelum melalui proses pembuktian. Urgensi pembuktian ini adalah untuk menghindari dari kemungkinan-kemungkinan salah dalam
memberikan penilaian.
Pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam sidang di pengadilan, karena melalui pembuktian tersebut putusan hakim ditentukan.oleh
karena itu, maka kita perlu memperjelas terlebih dahulu tentang pengertian pembuktian baik secara etimologi maupun secara terminologi.
Pembuktian merupakan salah satu rangkaian dalam peradilan yang memegang peranan penting. Hal ini disebabkan pembuktian merupakan proses yang menentukan bersalah atau tidaknya seseorang. Apabila bukti yang disampaikan di
pengadilan tidak mencukupi atau tidak sesuai dengan yang disyaratkan maka tersangka akan dibebaskan. Namun apabila bukti yang disampaikan mencukupi
maka tersangka dapat dinyatakan bersalah. Karenanya proses pembuktian merupakan proses yang penting agar jangan sampai orang yang bersalah
19
Arti pembuktian dalam hukum acara pidana terdapat beberapa sarjana hukum
mengemukakan definisi yang berbeda-beda. Pengertian dari bukti, membuktikan, terbukti dan pembuktian menurut W.J.S. Poerwadarminta sebagai berikut :
1. Bukti adalah sesuatu hal (peristiwa dan sebagainya) yang cukup untuk memperlihatkan kebenaran sesuatu hal (peristiwa dan sebagainya);
2. Tanda bukti, barang bukti adalah apa-apa yang menjadi tanda sesuatu
perbuatan (kejahatan dan sebagainya).
3. Membuktikan mempunyai pengertian-pengertian:
a. Memberi (memperlihatkan) bukti;
b. Melakukan sesuatu sebagai bukti kebenaran, melaksanakan (cita-cita dan sebagainya);
c. Menandakan, menyatakan (bahwa sesuatu benar);
d. Meyakinkan, menyaksikan.
Andi Hamzah mendefinisakan pembuktian sebagai upaya mendapatkan keterangan-keterangan melalui alat-alat bukti dan barang bukti guna memperoleh
suatu keyakinan atas benar tidaknya perbuatan pidana yang didakwakan serta dapat mengetahui ada tidaknya kesalahan pada diri terdakwa.21
Menurut R. Supomo menjabarkan bahwa pembuktian mempunyai dua arti, yaitu arti yang luas dan arti yang terbatas. Arti yang luas ialah: membenarkan hubungan
hukum, yaitu misalnya apabila hakim mengabulkan tuntutan penggugat. Pengabulan ini mengandung arti, bahwa hakim menarik kesimpulan bahwa apa yang dikemukakan oleh penggugat sebagai hubungan hukum antara penggugat dan
20
tergugat adalah benar. Untuk itu, membuktikan dalam arti yang luas berarti
memperrkuat kesimpulan hakim dengan syarat-syarat bukti yang sah. Dalam arti yang terbatas, pembuktian hanya diperlukan apabila apa yang dikemukakan oleh
penggugat itu dibentuk oleh tergugat. Apa yang tidak dibantah, tidak perlu dibuktikan.
M. Yahya Harahap, dia beranggapan bahwa yang dimaksud dengan pembuktian
adalaha ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usahanya mencari dan mempertahankan kebenaran.22
D. Pembuktian Terbalik
Dalam penjelasan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 dikatakan pengertian “pembuktian terbalik yang terbatas dan berimbang”, yakni terdakwa mempunyai
hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istrinya
atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan dan penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.
Kata-kata “bersifat terbatas” didalam memori atas Pasal 37 dikatakan, bahwa apabila terdakwa dapat membuktikan dalilnya bahwa “terdakwa tidak melakukan tindak pidana korupsi” hal itu tidak berarti bahwa terdakwa tidak terbukti
melakukan korupsi. Sebab Penuntut Umum, masih tetap berkewajiban untuk
membuktikan dakwaannya.
22 Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pustaka Kartini: Jakarta
21
Kata-kata “berimbang” mungkin lebih tepat “sebanding”. Digambarkan sebagai
penghasilan terdakwa ataupun sumber penambahan harta benda terdakwa, sebagai
income terdakwa dan perolehan harta benda, sebagai output. Antara income dan
input yang tidak seimbang dengan output, atau dengan kata lain input lebih kecil
dari output. Dengan demikian diasumsikan bahwa perolehan barang-barang sebagai
output tersebut (misalnya berwujud rumah-rumah, mobil-mobil, saham-saham,
III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah
Pendekatan diperlukan dalam sebuah karya tulis ilmiah untuk lebih menjelaskan
dan mencapai maksud serta tujuan penelitian tersebut. Pendekatan tersebut dimaksudkan agar pembahasan sesuai dengan ruang lingkup pembahasan dapat
terfokus pada permasalahan yang dituju. Menurut the Liang Gie, pendekatan adalah: 23
“Keseluruhan unsur yang dipahami untuk mendekati suatu bidang ilmu dan
memahami pengetahuan yang teratur, bulat, mencari sasaran yang ditelaah oleh ilmu tersebut”.
Terdapat beberapa pendekatan yang dikenal dalam penelitian, yaitu pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan sejarah (history approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan
pendekatan konseptual (conceptual approach).24 Penelitian ini menggunakan beberapa pendekatan, dimana dengan pendekatan-pendekatan tersebut penyusun
akan mendapat informasi dari berbagai aspek mengenai implementasi pembuktian
23 The Liang Gie. Ilmu Politik; Suatu pembahasan tentang Pengertian, Kedudukan, Lingkup
Metodelogi, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 1982, hlm.47
23
terbalik dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Pendekatan
penelitian yang digunakan adalah pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), dan pendekatan komparatif (comparative
approach).
B. Sumber dan Jenis Data
Karakteristik utama penelitian ilmu hukum normatif dalam melakukan pengkajian
hukum terletak pada sumber datanya. Sumber utamanya adalah bahan hukum bukan data atau fakta sosial, karena dalam penelitian hukum normatif yang dikaji adalah
bahan hukum yang berisi aturan-aturan yang bersifat normatif.25 Data yang diperoleh dan diolah dalam penelitian hukum jenis data sekunder yang dalam penelitian ini dijadikan sebagai bahan hukum primer. Bahan diperoleh dari sumber
kepustakaan. Bahan hukum yang hendak dikaji atau menjadi acuan berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian, yaitu: 26
1. Bahan Hukum Primer : Yaitu berupa ketentuan perundang undangan, terdiri dari:
a. UUD 1945 Dan semua Konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
25 Bahder Johan Nasution, , Metode Penelitian Hukum, Bandung, Mandar Maju, 2008., hlm.86
26 Umu Hilmy, Metodologi Penelitian dari Konsep ke Metode: Sebuah Pedoman Praktis Menyusun
24
2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu terdiri dari bahan yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer,27 seperti buku-buku, skripsi-skripsi, surat kabar, artikel internet, hasil-hasil penelitian, pendapat para ahli
atau sarjana hukum serta hasil yang dapat mendukung pemecahan masalah yang diteliti dalam penelitian ini.
3. Bahan Hukum Tersier: Yaitu bahan-bahan yang memberi petunjuk
terhadap bahan hukum sekunder, yang lebih dikenal dengan nama bahan acuan bidang hukum atau rujukan bidang hukum.28 Termasuk dalam bahan
hukum ini adalah Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Inggris, dan Kamus Hukum.
C. Prosedur Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan cara pencarian data sekunder berupa
mengumpulkan berbagai ketentuan perundang-undangan, dokumentasi, mengumpulkan literatur, dan mengakses internet berkaitan dengan permasalahan
dalam lingkup Hukum Pidana serta hasil dari wawancara dengan para ahli atau sarjana hukum.
D. Prosedur Pengolahan Data
Setelah data terkumpul, secepatnya diolah agar data tersebut memberikan gambaran mengenai masalah yang diajukan. Hasil pengolahan data dapat menyimpulkan
kebenaran-kebenaran sebagai hasil temuan dari masalah yang ada di lapangan.
27 Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Universitas Indonesia (UIPress), 2007, hlm.52
25
Untuk mendapatkan suatu gambaran dari data yang diolah, perlu adanya analisis
sebagai akhir dari penyilidikan.29
Setelah data diperoleh, maka yang dilakukan selanjutnya adalah mengolah data,
melalui tahap-tahap sebagai berikut:
1. Seleksi data, yaitu pemerikasaan data untuk mengetahui apakah data tersebut sudah lengkap sesuai dengan keperluan penelitian.
2. Klasifikasi data, yaitu menempatkan data sesuai dengan bidang atau pokok bahasan agar mempermudah dalam menganalisisnya.
Sistematika data, yaitu penyusunan data menurut sistematika yang telah ditetapkan dalam penelitian sehingga mempermudah dalam menganalisisnya.
E.Analisis Data
Analisis data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang mudah dibaca dan diinterpretasikan.30 Penyusun menggunakan metode analisis deskriptif,
yakni usaha untuk mengumpulkan dan menyusun suatu data, kemudian dilakukan analisis terhadap data tersebut. 31 Data yang telah terkumpul, selanjutnya dianalisa dengan menggunakan metode deduktif, yaitu cara berfikir yang berangkat dari teori
atau kaidah yang ada. Metode ini digunakan untuk menganalisis bagaimana implementasi asas pembuktian terbalik dalam praktik peradilan tindak pidana
korupsi di Indonesia.
29 Dikutip dari:
http://perpustakaancyber.blogspot.com/2013/05/jenis-dan-metode-pengolahan-data-penelitian.html#ixzz2jC1Pwz1I, pada tanggal 5 Desember 2013
V. PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah peneliti paparkan pada pembahasan, dapat disimpulkan bahwa :
1. Pengaturan pembuktian terbalik berdasarkan hukum indonesia adalah :
Status hukum atau kedudukan Asas pembuktian terbalik yang telah dirumuskan
dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Jo.Undang-undang No. 20 Tahun 2001 di dalam sistem hukum acara pidana di Indonesia (KUHAP) tidak diatur di dalamnya. Sesuai dengan Pasal 183 KUHAP, maka jelaslah bahwa kedudukan asas
pembuktian terbalik tidak dianut dalam sistem hukum acara pidana pada umumnya (KUHAP).
Pembuktian Terbalik adalah pengecualian dari pembuktian yang ada didalam KUHAP, karena Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Jo.Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi merupakan salah satu
delik khusus di luar KUHP yang berarti berlaku asas lex specialis derogat legi
generali di dalamnya.
51
membuktikan barulah hakim menyuruh terdakwa menjelaskan darimana asal harta
yang tidak bisa di buktikan oleh jaksa.
Indonesia menggunakan sistem pembuktian terbalik yang bersifat terbatas yang
tertuang secara eksplisit Dalam Penjelasan Umum UU No. 31 Tahun 1999.
Sistem pembuktian terbalik dalam Pasal 37 berlaku sepenuhnya pada tindak pidana korupsi suap menerima gratifikasi, khususnya yang nilainya Rp. 10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah) atau lebih (Pasal 12 b Ayat (1) huruf a)
2. Implementasi asas pembuktian terbalik di Indonesia
Penggunaan metode pembuktian terbalik dalam mengefektifkan penegakan hukum di indonesia khusus nya di dalam kasus tindak pidana korupsi belum banyak digunakan oleh para hakim padahal Presiden telah menerbitkan Instruksi Presiden
Nomor 1 Tahun 2011 dan Nomor 2 Tahun 2011 dan hasilnya selama ini pembuktian terbalik hanya tulisan di atas kertas tanpa implementasi yang jelas.
B. Saran
1. Masing-masing penegak hukum perlu mencari format dan persamaan presepsi dalam melaksanakan pembuktian terbalik sehingga pembuktian terbalik walaupun
merupakan sistem yang relatif baru dan ruang lingkup penerapannya sempit tidak menimbulkan keraguan penegak hukum untuk menerapkannya.
2. Diperlukan adanya sosialisasi khusus yang mendalam terutama berkaitan dengan pengaturan mengenai pembalikan beban pembuktian yang tertuang di dalam suatu
52
bentuk pelanggaran terhadap asas praduga tidak bersalah (presumption of innocent)
dan hak asasi terdakwa. Sehingga para penegak hukum tidak lagi ragu untuk menerapkan pembalikan beban pembuktian sebagaimana diatur di dalam peraturan
perundang-undangan.
DAFTAR PUSTAKA
A.Buku
Ali Marhus,2011, Hukum Pidana Korupsi Indonesia, Yogyakarta, UII Pers. Amirudin dan H Zainal Asikin, 2003, Pengantar Metode Penelitian Hukum,
Jakarta, Radja Grafindo Persada.
Chazawi Adami,2005, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Bayumedia Publishing, Malang.
_____________,2008,Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi,Penerbit P.T Alumni, Bandung,
Danil Elwi,2012, Korupsi : Konsep, Tindak Pidana Dan Pemberantasan, Jakarta, Rajawali Pers.
Gie Liang,1982, Ilmu Politik; Suatu pembahasan tentang Pengertian, Kedudukan,
Lingkup Metodelogi, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press.
Hamzah Andi,1984,Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia: Jakarta. _____________,1995,Delik-delik Tersebar Di Luar KUHP dengan Komentar,
Jakarta, Pradnya Paramita.
_____________,2007,Pemberantasan Korupsi:Melalui Hukum Pidana Nasional
dan Internasional, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
_____________,2008,Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta.
Harahap Yahya,1993,Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pustaka Kartini: Jakarta.
Henry Camble Black, Black's Law Dictionary, Sixth Edition, St. Paul Min, West Publising Co.
Hilmy Umu,2000,Metodologi Penelitian dari Konsep ke Metode: Sebuah
Pedoman Praktis Menyusun Proposal dan Laporan Penelitian, Malang:
Huda Chairul,2008,Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggung-jawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Jakarta, Kencana.
Marzuki Peter Mahmud,2009,Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana
Masri Singarimbun dan Sofyan Efendi,1989,Metode Penelitian Survei, Jakarta, LP3ES
Moeljatno,2000,Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta. Muladi,2002,Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung, Alumni. Mulyadi Lilik,1995, Hukum Acara Pidana,Bandung, Alumni.
____________,2008,Bunga Rampai Hukum Pidana; Perspektif Teoritis dan
Praktik, Bandung, Alumni.
Nasution Bahder Johan,2008, Metode Penelitian Hukum, Bandung, Mandar Maju. Nawawi Arief Barda,2003, Kapita Selekta Hukum Pidana,Bandung,PT.Citra
Aditya Bakti.
Projodikoro Wirjono,1974, Hukum Acara Pidana di Indonesia,Bandung,Sumur Bandung.
Soekanto Soerjono dan Mamudji S ri, 2001, Penelitian Huum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat,edisi I Cetakan V, Jakarta,PT Raja Grafindo Persada.
Soekamto Soerjono,2007,Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UIPress.
Soemitro Ronny Hanitijo,1982,Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Sudarto,1977, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung, Alumni.
Surachman Winarno,1990,Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode, dan