• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KASUS KORUPSI YANG DILAKUKAN SECARA BERSAMA PADA UNIT PENGELOLA KEGIATAN (UPK) PAGELARAN (Studi Putusan No.06/Pid/TPK /2013/PT.TK)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KASUS KORUPSI YANG DILAKUKAN SECARA BERSAMA PADA UNIT PENGELOLA KEGIATAN (UPK) PAGELARAN (Studi Putusan No.06/Pid/TPK /2013/PT.TK)"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KASUS KORUPSI YANG DILAKUKAN SECARA BERSAMA PADA UNIT

PENGELOLA KEGIATAN (UPK) PAGELARAN (Studi Putusan No.06/Pid/TPK /2013/PT.TK)

Oleh

Arie Verdiansyah Putra

Setiap koruptor yang mencuri kekayaan negara tanpa pandang bulu harus diproses ke pangadilan, dibuktikan bersalah, divonis kurungan badan dan disita asetnya seperti Persoalam Korupsi seperti yang terjadi di UPK Pagelaran Pringsewu yang sudah mendapatkan putusan pengadilan No.06/Pid/Tpk/2013/Pt.Tk. Permasalahan dalam penelitian ini yaitu.a) Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan secara bersama pada Unit Pengelola Kegiatan (UPK) PNPM Pagelaran,b) Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan secara bersama pada Unit Pengelola Kegiatan (UPK) PNPM Pagelaran.

Penelitian ini menggunakan pendekatan masalah yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Sumber data yang digunakan berupa data primer, dan data sekunder. Data primer adalah data yang didapat dari penelitian di lapangan dengan cara melakukan wawancara dengan responden, sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan.

(2)

Arie Verdiansyah Putra Saran dalam penelitian ini yang dapat disampaikan yaitu: a) Pertanggungjawaban pidana tindak pidana Korupsi di Bandar Lampung apabila ditinjau dari segi pertanggungjawaban putusan oleh hakim telah sesuai tetapi diharapkan mengingat hukuman pidana dan denda yang dijatuhkan kepada terdakwa sangat ringan dan belum mencerminkan rasa keadilan, b) Hakim hendaknya agar selalu cermat dalam melihat suatu kasus yang terjadi baik dalam segi putusan maupun kebijakan yang diambil dan bertolak ukur dengan dasar pertimbangan yang ada karena mengingat perbuatan terdakwa merupakan kategori tindak pidana korupsi yang memang menjadi musuh utama Negara Republik Indonesia.

(3)
(4)
(5)
(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di tanjung karang pada tanggal 9 Nopember 1987 yang merupakan anak ke-3 dari 4 (empat) bersaudara pasangan Bapak Bahrin,SH. dan Siti Dawanah S.E. Penulis menyelesaikan pendidikan dimulai dari TK Al-Azhar Bandar Lampung pada tahun 1993, Pendidikan dasar di SD II Rawa Laut Bandar Lampung pada tahun 2000, pendidikan lanjutan di SMP 9 Bandar Lampung pada tahun 2003, dan pendidikan menengah atas di SMA 12 Bandar Lampung pada tahun 2006.

Pada tahun 2006 penulis terdaftar sebagai mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru dan kemudian mengambil minat pada bagian Hukum Pidana.

(7)

MOTO

Seorang teman tidak bisa dianggap teman sampai ia diuji

dalam tiga kesempatan: Pada waktu dibutuhkan,Sikap di

Belakang anda, dan setelah Kematian anda

(Ali Ibn Abi Talib)

“Biarlah Ibadahmu Menjadi Rahasiamu Sebagaimana

Kamu Merahasiakan

Dosamu”

(8)

PERSEMBAHAN

Puji syukurku sebagai hamba yang lemah kepada Allah SWT atas semua nikmat dan karunia-Nya.

Sebagai wujud ungkapan rasa cinta, kasih dan sayang serta bhakti yang tulus, kupersembahkan karya ini

teruntuk :

Kedua orang tuaku tercinta Bahrin,SH. dan Siti Dawanah S.E. yang ku Hormati juga Kucintai yang terus berjuang tanpa kenal lelah, menyayangi dengan tulus ikhlas tanpa mengharap balasan dan senantiasa

berdo’a untuk kebahagiaan dan masa depan anak-anaknya.

Kakak ku tersayang

Marliza Wiesdareni S.Pt , Noviana Wiesdareni S.Sos dan Adikku Roby Ilahi yang selalu memberi motivasi dan semangat.

(9)

SANWACANA

Alhamdulillahirobbil’alamin. Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam,

yang senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan penulisan skripsi ini yang berjudul “Analisis Penegakan Hukum

Terhadap Kasus Korupsi Yang Dilakukan Secara Bersama Pada Unit Pengelola Kegiatan (UPK) Pagelaran(Studi Putusan No.06/Pid/Tpk /2013/Pt.Tk)”. Skripsi ini disusun guna memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Lampung. Melalui skripsi ini peneliti banyak belajar sekaligus memperoleh ilmu dan pengalaman yang belum pernah diperoleh sebelumnya dan diharapkan ilmu dan pengalaman tersebut dapat bermanfaat di masa yang akan datang.

Penulis menyadari bahwa selesainya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan berbagai pihak, dan segala sesuatu dalam penulisan skripsi ini jauh dari sempurna mengingat keterbatasan kemampuan Penulis. Pada kesempatan ini, Penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung;

(10)

3. Bapak Dr. Maroni S.H., M.H., Selaku Pembimbing I yang senantiasa memberikan saran dan masukan, serta atas kesabarannya dalam membimbing Penulis selama penulisan skripsi ini;

4. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H., Selaku Pembimbing II yang senantiasa memberikan saran dan masukan, serta atas kesabarannya dalam membimbing Penulis selama penulisan skripsi ini;

5. Firganefi, S.H., M.H., Selaku Pembahas I yang telah banyak memberikan saran dan penilaian selama penulisan skripsi ini;

6. Ibu Dona Raisha, S.H., M.H., Selaku Pembahas II yang telah banyak memberikan saran dan penilaian selama penulisan skripsi ini;

7. Seluruh dosen, Staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung, terima kasih atas ilmu yang telah diberikan selama proses pendidikan dan atas bantuannya selama ini;

8. Seluruh responden yang telah bersedia memberikan info dan masukan sehingga skripsi ini bisa di selesaikan oleh Penulis dengan baik;

9. Ayahanda Bahrin,SH. dan Siti Dawanah S.E. tercinta, atas doa, pengorbanan serta dukungan dan kasih sayang tak henti-henti yang membuat Penulis selalu bersemangat memberikan yang terbaik bagi masa depan;

10.Marliza Wiesdareni S.Pt , Noviana Wiesdareni S.Sos dan Adikku Roby Ilahi tersayang, terima kasih atas motivasi, dukungan dan semangat yang diberikan; 11.Teman satu angkatan fakultas hukum yang selalu setia menemani dalam suka

(11)

kita semua dan di bidang hukum demi kemajuan dan kesejahteraan bangsa. Bandar Lampung, Agustus 2014 Penulis

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 5

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian. ... 6

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual. ... 7

E. Sistematika Penulisan ... 15

II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Umum Korupsi... ... .. 17

B. Karakteristik Tindak Pidana Korupsi ………. ... 19

C. Pengertian Pertanggungjawaban ……… ... 21

D. Pengertian Penyertaan dan Pertanggungjawaban para pelaku ……… 27

E. Dasar Pertimbangan Hakim ... 29

III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 35

B. Sumber dan Jenis Data ... 35

C. Penentuan Populasi dan Sampel... 37

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 37

(13)

A. Karakteristik Responden dan Gambaran Umum ………. 40 B. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana

Korupsi Yang Dilakukan Secara Bersama Pada Unit Pengelola

Kegiatan (UPK) PNPM Pagelaran……….. 48 C. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Pidana Terhadap

Pelaku Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Secara Bersama Pada Unit Pengelola Kegiatan (UPK) PNPM

Pagelaran………..……… 57

V PENUTUP

(14)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tindak pidana korupsi dianggap dapat membahayakan dan sekaligus mengancam stabilitas politik, perekonomian serta keamanan suatu bangsa. Disamping itu tindak pidana korupsi dapat melumpuhkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang akan menghambat proses pembangunan bangsa dan sekaligus akan membentuk kondisi kemiskinan yang semakin parah yang dapat mengancam ratusan juta orang diseluruh Negara.

Praktik korupsi pada masa sekarang mengalami perkembangan dengan munculnya

praktik-praktik baru yang berusaha memanfaatkan celah atau kelemahan berbagai

peraturan perundang-undangan yang ada. Pemberian hadiah seringkali kita anggap

hanyalah sebagai suatu ucapan terima kasih atau ucapan selamat kepada seorang

pejabat.

(15)

Fakta bahwa tindak pidana korupsi tumbuh dan berkembang dengan subur di negeri ini sungguh tidak terbantahkan. Masyarakat di tingkat lokal, nasional, regional dan internasional semua mafhum tentang maraknya tipikor dalam berbagai bidang, bentuk dan modus operandi yang menguras kekayaan negara dan menyengsarakan rakyat. Pada saat bersamaan, tekanan tentang perlunya penyelenggaraan pemerintahan yang sesuai dengan norma good governance dan clean government serta penyelengaaran perusahaan, terutama Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/D), yang sejalan dengan prinsip good corporate governance dilontarkan semakin gencar dan meluas serta persisten oleh kalangan mahasiswa, pengusaha, profesional, akademisi serta masyarakat luas yang merindukan tegaknya keadilan. Substansi utama dari tuntutan tersebut bermuara pada seruan pemberantasan tindak pidana korupsi dalam penyelenggaraan pemerintahaan dan pengelolaan BUMN/D. Semua kalangan juga sepakat bahwa salah satu instrumen yang sangat penting dalam upaya pemberantasan tipikor adalah sistem hukum dan proses peradilan yang obyektif, fair, transparan dan konsisten.

(16)

3

Hal ini menurut Bintoro Tjokroamidjojo dalam Ninik Mariyanti, adalah disebabkan :

1. Persoalan korupsi memang merupakan persoalan yang rumit. 2. Sulitnya menemukan bukti

3. Adanya kekuatan yang justru menghalangi pembersihan itu.

Setiap koruptor yang mencuri kekayaan negara tanpa pandang bulu harus diproses ke pangadilan, dibuktikan bersalah, divonis kurungan badan dan disita asetnya untuk mengganti kerugian negara akibat dari tindakan koruptor tersebut. Namun dalam realisasinya hal tersebut tidak semudah membalikkan telapak tangan, kenyataannya masalah pengembalian kekayaan negara sangat sulit dilakukan. Hal ini bermula dari susahnya persoalan dalam menentukan unsur kerugian negara sampai pada rumitnya masalah pembuktian adanya kerugian negara dalam tindak pidana korupsi.

(17)

Para terdakwa didakwa dengan dakwaan yang menyatakan perbuatan terdakwa I Misno Spd bin (Alm) Dulkarim bersama-sama dengan II Ponimin bin Sorjo, saksi Ermawati dan saksi Wahyu Sri Astuti dengan tidak menyetorkan angsuran pinjaman ke rekening UPK dan tidak dicatat dalam buku kas harian SPP atas angsuran ketua kelompok/anggota kelompok Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) sebanyak 41 kelompok Negara mengalami kerugian sebesar Rp. 87.087.450 (delapan puluh tujuh juta delapan puluh tujuh ribu empat ratus lima puluh rupiah).

Perbuatan para terdakwa sebagaimana diuraikan diatas, diatur dan diancam pidana berdasarkan Pasal 9 Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Undang undang 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 31 ahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.

Luasnya ruang lingkup korupsi ini dan mengingat sulitnya untuk membuktikan bahwa tindak pidana korupsi secara bersama atau tidak maka perlu memahami tentang tindak pidana korupsi secara bersama ini lebih dalam lagi dalam hal penegakan hukumnya karena disisi lain terdapat kesenjangan hukum bagi antara terdakwa dan saksi sehingga unsur unsur yang terkait perlu dipahami. Hal inilah yang melatarbelakangi penulis memilih korupsi secara bersama sebagai penelitian

skripsi penulis, yaitu suatu “Analisis penegakan hukum Terhadap Kasus Korupsi

(18)

5

B. Permasalahan dan Ruang lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian yang telah penulis kemukakan diatas atau pada halaman sebelumnya, maka masalah yang diangkat atau diajukan dalam penulisan skripsi ini adalah :

1. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan secara bersama pada Unit Pengelola Kegiatan (UPK) PNPM Pagelaran (Studi Putusan No.06/Pid/Tpk /2013/Pt.Tk) ?

2. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan secara bersama pada Unit Pengelola Kegiatan (UPK) PNPM Pagelaran (Studi Putusan No.06/Pid/Tpk /2013/Pt.Tk)?

2. Ruang Lingkup

(19)

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini, maka tujuan penulisan skripsi ini adalah :

a. Untuk mengetahui Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan secara bersama pada Unit Pengelola Kegiatan (UPK) PNPM Pagelaran (Studi Putusan No.06/Pid/Tpk /2013/Pt.Tk).

b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan secara bersama pada Unit Pengelola Kegiatan (UPK) PNPM Pagelaran (Studi Putusan No.06/Pid/Tpk /2013/Pt.Tk).

2. Kegunaan Penelitian

Secara garis besar dan sesuai dengan tujuan penelitian, maka kegunaan penelitian ini dapat dibagi menjadi beberapa. Adapun kegunaan yang diharapkan dalam penulisan skripsi ini :

a. Kegunaan Teoritis

(20)

7

b. Kegunaan Praktis

a) Penulisan skripsi ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian terhadap perkembangan ilmu pengetahuan serta menambah wawasan khususnya mengenai Tindak Pidana Korupsi.

b) Memberikan kontribusi kepada kalangan akademisi dan praktisi, penambahan pengetahuan hukum umumnya dan hukum pidana

c) Memberikan pengetahuan kepada kita semua tentang tugas dan fungsi aparat penegak hukum dalam pemberantasan korupsi khususnya Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan secara bersama-sama.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.1 Manusia sebagaimana diakui oleh hukum (pendukung hak dan kewajiban hukum) pada dasarnya secara normal mengikuti hak-hak yang dimiliki manusia. Hal ini berkaitan dengan arti hukum yang memberikan pengayom, kedamaian dan ketentraman seluruh umat manusia dalam masyarakat, berbangsa dan bernegara.

Setiap penelitian itu akan ada suatu kerangka teoritis yang menjadi acuan dan bertujuan untuk mengidentifikasi terhadap dimensi sosial yang dianggap relevan

1

(21)

oleh peneliti.2 Kata teoritis adalah bentuk adjective dari kata “teori”. Teori adalah anggapan yang teruji kebenarannya, atau pendapat/cara/aturan untuk melakukan sesuatu, atau asas/hukum umum yang menjadi dasar ilmu pengetahuan.

Pengertian tindak pidana maupun strafbaar feit menurut Simons, strafbaar feit adalah

“Kelakuan atau handeling yang diancam dengan pidana yang bersifat

melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan oleh

orang yang mampu bertanggungjawab” 3 :

Kemampuan bertanggung jawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggung jawab yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Tindak pidana jika tidak ada kesalahan adalah merupakan asas pertanggung jawaban pidana, oleh sebab itu dalam hal dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan sebagaimana yang telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan.4

Pertanggungjawaban pidana adalah sesuatu perbuatan pidana yang harus dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukan. Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidan tertentu bagi barangsiapa melarang larangan tersebut.5

Kriminalisasi diartikan sebagai ”proses yg memperlihatkan perilaku yg semula

tidak dianggap sebagai peristiwa pidana, tetapi kemudian digolongkan sbg

2

Ibid.hal.125 3

Ruslan Saleh,.1981. Beberapa Asas-asas Hukum Pidana dalam Perspektif'.Jakarta: Aksara Baru. hal .21

4

Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, 1983. Jakarta:

Bina Aksara, hal. 153

5 Roeslan Saleh, “Beberapa Asas-asas Hukum Pidana dalam Perspektif', (Jakarta: Aksara Baru,

(22)

9

peristiwa pidana oleh masyarakat” objek dari sebuah proses kriminalisasi bukanlah orang maupun lembaga tertentu, melainkan sebuah perbuatan.

Pertanggungjawaban pidana atau kesalahan menurut hukum pidana terdiri dari 3 (tiga) unsur, yaitu :

1. Toerekening strafbaarheidd (dapat dipertanggungjawabkan) pembuat. a) Suatu sikap psikis pembuat berhubungan dengan kelakuannya. b) Kelakuan yang sengaja.

2. Kelakuan dengan sikap kurang berhati-hati atau lalai (unsur kealpaan : culva)

3. Tidak ada alasan-alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana pembuat (unsur Toerkenbaar heid).

Kebijakan yang dibuat dalam bentuk pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka disebut dengan putusan pengadilan, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1 butir ke 11 KUHAP yang menyatakan bahwa :

“Putusan pengadilan merupakan pernyataan hakim yang diucapkan dalam

sidang terbuka yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini”.

Surat dakwaan merupakan dasar bagi hakim untuk menjatuhkan putusan, tetapi hakim tidak terikat kepada surat dakwaan tersebut. Hal ini didasarkan pada Pasal 183 KUHAP, yang menyatakan :

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila

sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah

(23)

Hakim dalam memutus suatu perkara harus berdasar pada alat bukti yang sah Pasal 184 KUHAP tersebut yang dimaksud dengan alat bukti adalah:

1. keterangan saksi

Keterangan saksi berkaitan dengan keterangan dari saksi korban maupun saksi dari terdakwa yang menegetahui secara langsung kronologi peristiwa.

2. keterangan ahli

Keterangan ahli digunakan oleh Hakim dalam menentukan suatu tindak pidana apakah sudah layak dan memenuhi unsur unsur dari perbuatan pidana tersebut yang nantinya akan diputus.

3. Surat

Surat surat dapat berupa akta, perjanjian, nota-nota dan surat lainnya yang berkaitan erat dengan kasus sebagai bahan pertimbangan hakim dalam memutus suatu perkara.

4. petunjuk

Petunjuk biasanya ditemukan bahwa apabila ada petunjuk atau fakta lain dipersidangan maupun yang telah Hakim gali ditengah masyarakat. 5. keterangan terdakwa

Keterangan terdakwa berkaitan dengan kasus yang sedang dihadapi untuk dinilai oleh hakim dalam rangka pengumpulan alat bukti guna menjadi dasar pertimbangan hakim.

(24)

11

penuntut umum merupakan dasar hukum acara pidana, karena dengan berdasarkan pada dakwaan itulah pemerikasaan sidang pengadilan itu dilakukan. Suatu persidangan di pengadilan seorang hakim tidak dapat menjatuhkan pidana di luar batas-batas dakwaan.6

Hakim melakukan penemuan hukum adalah karena hakim tidak boleh menangguhkan atau menolak menjatuhkan putusan dengan alasan karena hukumannya tidak lengkap atau tidak jelas, ketika undang-undang tidak lengkap atau tidak jelas untuk memutus suatu perkara, saat itulah hakim harus mencari dan menemukan hukumnya (rechtsviding).

Larangan bagi hakim menolak perkara ini diatur juga dalam Pasal 10 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Lalu, hasil temuan itu akan menjadi hukum apabila diikuti oleh hakim berikutnya atau dengan kata lain menjadi yurisprudensi. Penemuan hukum ini dapat dilakukan dengan cara menggali nilai-nilai hukum yang berkembang dalam masyarakat.

Penemuan hukum disebutkan dapat dilakukan dengan dua metode, yakni:7

a. Interpretasi atau penafsiran, merupakan metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Metode interpretasi ini adalah sarana atau alat untuk mengetahui makna undang-undang. Interpretasi adalah metode penemuan hukum dalam hal peraturannya ada tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan pada peristiwanya.

6

Andi Hamzah . 2005. KUHP dan KUHAP. Rineka Cipta,hal 167

7

(25)

Interpretasi atau penafsiran ini dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu secara:

a. Gramatikal, yaitu penafsiran menurut bahasa sehari-hari. b. Historis, yaitu penafsiran berdasarkan sejarah hukum.

c. Sistimatis, yaitu menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan dari sistem perundang-undangan.

d. Teleologis, yaitu penafsiran menurut makna/tujuan kemasyarakatan. e. Perbandingan hukum, yaitu penafsiran dengan cara membandingkan

dengan kaedah hukum di tempat laen.

f. Futuristis, yaitu penafsiran antisipatif yang berpedoman pada undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum.

b. Konstruksi hukum, dapat digunakan hakim sebagai metode penemuan hukum apabila dalam mengadili perkara tidak ada peraturan yang mengatur secara secara khusus mengenai peristiwa yang terjadi.

Konstruksi hukum ini dapat dilakukan dengan menggunakan logika berpikir secara:

a. Argumentum per analogiam atau sering disebut analogi. Pada analogi,peristiwa yang berbeda namun serupa, sejenis atau mirip yang

diatur dalam undang-undang diperlakukan sama.

b. Penyempitan hukum. Pada penyempitan hukum, peraturan yang sifatnya umum diterapkan terhadap peristiwa atau hubungan hukum yang khusus dengan penjelasan atau konstruksi dengan memberi ciri-ciri.

(26)

13

perlawanan pengertian antara peristiwa konkrit yang dihadapi dan peristiwa yang diatur dalam undang-undang.

Setidaknya ada tiga karateristik yang sesuai dengan penemuan hukum yang progresif:

1. Metode penemuan hukum bersifat visioner dengan melihat permasalah hukum tersebut untuk kepentingan jangka panjang ke depan dengan melihat case by case;

2. Metode penemuan hukum yang berani dalam melakukan terobosan (rule breaking) dengan melihat dinamika masyarakat, tetapi tetap berpedoman pada hukum, kebenaran, dan keadilan serta memihak dan peka pada nasib dan keadaan bangsa dan negaranya;

3. Metode penemuan hukum yang dapat membawa kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat dan juga membawa bangsa dan Negara keluar dari keterpurukan dan ketidakstabilan social seperti saat ini.8

2. Konseptual

Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang akan diteliti, baik dalam penelitian hukum normatif maupun empiris. Biasanya telah merumuskan dalam definisi-definisi tertentu atau telah menjalankan lebih lanjut dari konsep tertentu.9 Kerangka konseptual merupakan kerangka yang menghubungkan atau menggambarkan konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti yang berkaitan dengan istilah.10

Upaya memudahkan pengertian yang terkandung dalam kalimat judul penelitian ini, maka penulis dalam konseptual ini menguraikan pengertian-pengertian yang

8

Ahmad Rifai, SH, MH, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perpektif Hukum Progresif,Jakarta:

Sinar Grafika, Cet. I, 2010, hal. 93.

9

Sanusi Husin. 1991. Penuntun Praktis Penulisan Skripsi. Fakultas Hukum Universitas Lampung: Bandar Lampung. hal.9

10

(27)

berhubungan erat dengan penulisan sekripsi ini, maka akan dijelaskan beberapa istilah yang dipakai, yaitu sebagai berikut :

a. Analisis adalah suatu proses berfikir manusia tentang sesuatu kejadian atau pristiwa untuk memberikan suatu jawaban atas kejadian atau pristiwa tersebut.11

b. Pertanggungjawaban pidana adalah sesuatu perbuatan pidana yang harus dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukan.12

c. Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.

d. Tindak Pidana Korupsi menurut undang-undang tindak pidana korupsi adalah Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.

e. Turut serta/Penyertaan adalah dua orang atau lebih yang melakukan suatu tindak pidana atau dengan kata lain perakataan ada dua orang atau lebih mengambil sebagian untuk mewujudkan suatu tindak pidana.13

11

Ibid hal:125 12

Roeslan Saleh,. 1981. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Angkasa.

Jakarta.hal.126 13

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, 1982. Asas-asas hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,

(28)

15

E. Sistematika Penulisan

Skripsi ini secara keseluruhan dapat mudah dipahami dari sitematika penulisannya yang disusun sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Bab ini berisikan tentang pendahuluan yang merupakan latar belakang yang menjadi perumusan permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual yang menjelaskan teori dan istilah.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini merupakan pengantar yang berisikan tentang pengertian-pengertian umum pengertian PertanggungJawaban, Tindak pidana Korupsi, pengertian Putusan Pengadilan.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini membahas metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian, terdiri dari pendekatan masalah, sumber dan jenis data, populasi dan sampel, prosedur pengumpulan data dan pengolahan data secara analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

(29)

V. PENUTUP

(30)

17

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Umum Korupsi

Korupsi berasal dari kata latin “Corruptio” atau “Corruptus”, dalam bahasa

Prancis dan Inggris disebut “Corruption”, dalam bahasa Belanda disebut

Corruptie”.15 Arti harfiah dari kata itu ialah kebusukan, keburukan, kebejatan,

ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau menfitnah. Kehidupan yang buruk didalam penjara misalnya, sering disebut sebagai kehidupan yang korup, yang segala macam kejahatan terjadi disana.

Istilah “korupsi” yang telah diterima dalam pembendaharaan kata bahasa

Indonesia itu disimpulkan oleh Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa

Indonesia : “ Korupsi adalah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang,

penerimaan uang sogok dan sebagainya “. Pengertian korupsi secara harfiah itu dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa sesungguhnya korupsi itu sebagai suatu istilah yang sangat luas. Seperti disimpulkan Encyclopedia Americana, korupsi itu adalah suatu hal yang buruk dengan bermacam-macam artinya, bervariasi menurut waktu, tempat dan bangsa.

15

Adami Chazawi,. 2005. Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia. Bayumedia,

(31)

Vito Tanzi sebagaimana dikutip oleh Chaeruddin menyebutkan bahwa ada tujuh jenis-jenis korupsi yaitu :

1. Korupsi transaktif yaitu korupsi yang terjadi atas kesepakatan diantara seorang donor dengan resipien untuk keuntungan kedua belah pihak. 2. Korupsi ekstortif yaitu korupsi yang melibatkan penekanan dan

pemaksaan untuk menghindari bahaya bagi mereka yang terlibat atau orang-orang yang dekat dengan pelaku korupsi.

3. Korupsi investif yaitu korupsi yang berawal dari tawaran yang merupakan investasi untuk mengantisipasi adanya keuntungan dimasa datang.

4. Korupsi nepotisik yaitu korupsi yang terjadi karena perlakuan khusus baik dalam pengangkatan kantor publik maupun pemberian proyek-proyek bagi keluarga dekat

5. Korupsi otogenik yaitu korupsi yang terjadi ketika seorang pejabat mendapat keuntungankarena memiliki pengetahuan sebagai orang dalam (insiders information) tentang berbagai kebijakan publik yang seharusnya dirahasiakan.

6. Korupsi supportif yaitu perlindungan atau penguatan korupsi yang menjadi intrik kekuasaan dan bahkan kekerasan

7. Korupsi defensif yaitu korupsi yang dilakukan dalam rangka mempertahankan diri dari pemerasan.

(32)

19

Tindak Pidana Korupsi, maka pelaku tindak pidana korupsi adalah setiap orang yang berarti orang perseorangan atau korporasi.

Bila diperhatikan ketentuan yang tercantum dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999 dan Undang-undang No. 20 Tahun 2001, tindak Pidana Korupsi dapat dibagi ke dalam dua segi, yaitu aktif dan pasif.

Dari segi aktif maksudnya pelaku tindak pidana korupsi tersebut langsung melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi dengan melakukan penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana. Sedangkan tindak pidana korupsi yang bersifat pasif yaitu yang menerima pemberian atau janji karena berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.

B. Ciri dan Karakteristik Tindak Pidana Korupsi

UU No. 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20/2001 menentukan 34 macam perbuatan sebagai TPK sebagai bentuk-bentuk dari tindak pidana korupsi.

(33)

demokrasi-- tidak lagi dipimpin oleh hukum dan tidak lagi melayani kepentingan rakyat, tetapi tak lebih hanya berupaya melayani dirinya sendiri.16

Korupsi merupakan masalah yang sangat serius. Alinea pertama Penjelasan Umum UU Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 menyatakan: ”Tindak pidana korupsi merupakan ancaman terhadap prinsip-prinsip demokrasi, yang menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas, dan integritas, serta keamanan dan stabilitas bangsa Indonesia. Oleh karena korupsi merupakan tindak pidana yang bersifat sistematik dan merugikan pembangunan berkelanjutan sehingga memerlukan langkah-langkah pencegahan tingkat nasional maupun internasional. Dalam melaksanakan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang efisien dan efektif diperlukan dukungan manajemen tata pemerintahan yang baik dan kerjasama internasional, termasuk pengembalian aset-aset yang berasal dari tindak pidana korupsi.17

Korupsi di manapun dan kapanpun selalu memiliki karakteristik (ciri khas). Beberapa karakteristik Korupsi, antara lain:18

1. Melibatkan lebih dari satu orang,

2. Korupsi tidak hanya berlaku di kalangan pegawai negeri atau anggota birokrasi negara, korupsi juga terjadi di organisasi usaha swasta,

16

Semma, Mansyur. 2008. Negara dan Korupsi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hal. 32.

17

Djaja, Ermansjah. 2008. Memberantas Korupsi Bersama KPK. Jakarta: Sinar Grafika, hal. 3-4

18

(34)

21

3. Korupsi dapat mengambil bentuk menerima sogok, uang kopi, salam tempel, uang semir, uang pelancar, baik dalam bentuk uang tunai atau benda atau pun wanita,

4. Umumnya serba rahasia, kecuali sudah membudaya,

5. Melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik yang tidak selalu berupa uang,

6. Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan, biasanya pada badan publik atau masyarakat umum,

7. Setiap perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggungjawaban dalam tatanan masyarakat,

8. Di bidang swasta, korupsi dapat berbentuk menerima pembayaran uang dan sebagainya, untuk membuka rahasia perusahaan tempat seseorang bekerja, mengambil komisi yang seharusnya hak perusahaan.

C. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Azas dalam pertanggungjawaban pidana adalah ”tidak dipidana jika tidak mempunyai kesalahan”(Geen straf zonder schul; Actus non facit reum nisi mens

sit rea). Azas ini tidak tersebut dalam hukum tertulis akan tetapi dalam hukum

yang tertulis di Indonesia berlaku.

Pertanggungjawaban pidana adalah sesuatu perbuatan pidana yang harus dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukan.19 Setelah melihat Asas diatas kita harus dapat menentukan siapakah orang yang dapat dikatakan bersalah. Menurut pendapat Moeljatno;

19

Saleh, Roeslan. 1981. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Angkasa.

(35)

”Orang yang mempunyai kesalahan adalah jika dia pada waktu melakukan

perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakat dapat dicela karenanya, yaitu kenapa melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat padahal mampu mengetahui makna (jelek) perbuatan tersebut dan karenanya dapat bahkan harus menghindari untuk perbuatan demikian. Jika begitu tentunya perbuatan tersebut

memang sengaja dilakukan”.20

Kesalahan haruslah dipikirkan dua hal disamping melakukan perbuatan pidana: 1. Adanya keadaan psycis (batin) tertentu

2. Adanya hubungan yang tertentu antara keadaan batin tersebut dengan perbuatan yang dilakukan hingga menimbulkan celaan.

Keadaan batin dari orang yang melakukan perbuatan pidana merupakan masalh kemampuan bertanggungjawab dan yang menjadi dasar yang penting untuk menentukan adanya kesalahan yang mana jiwa orang yang melakukan perbuatan pidana haruslah sedemikian rupa hingga dapat dikatakan normal. Menurut Van Hamel mengatakan bahwa ada tiga syarat untuk mampu bertanggung jawab:21

”Kemampuan bertanggungjawab adalh suatu keadaan normalitas psychis dan

kemampuan (kecerdasan) yang membawa tiga kemampuan;

a. Mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat perbuatan sendiri.

b. Mampu untuk menyadari, bahwa perbuatan itu menurut pandangan masyarakat tidak diperbolehkan.

c. Mampu untuk menentukan kehendaknya atas perbuatan-perbuatan itu.

20

Moeljatno, 2002. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bumi Aksara, hal 157

21

Sudarto. 1990. Hukum Pidana 1.Semarang : Yayasan Sudarto Fakultas Hukum

(36)

23

Menurut Simons yang menerangkan tentang mampu bertanggungjawab adalah: 1. Jika orang itu dapat menginsyafi itu perbuatan yang melawan hukum. 2. Sesuai dengan penginsyafan untuk dapat menentukan kehendaknya .

Pendapat Simons dan Van Hamel tersebut dapat dikatakan untuk adanya kemampuan bertanggungjawab harus adanya:

1. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, yang sesuai hukum dann yang melawan hukum.

2. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.

Orang yang tidak mampu menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan yang dilakukannya, dia tidak mempunyai kesalahan melakukan tindak pidana.

D. Pengertian Penyertaan dan Pertanggungjawaban Para Pelakunya

Penyertaan adalah dua orang atau lebih yang melakukan tindak pidana atau dengan kata lain pelaksanaan ada dua orang atau lebih mengambil sebagian untuk mewujudkan suatau tindak pidana.22 (E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, 1982 : 336).

Secara luas dapat disebutkan bahwa seseorang turut serta ambil bagian dalam hubungannya dengan orang lain, untuk mewujudkan tindak pidana, mungkin jauh sebelum terjadinya (merencanakan), dekat sebelum terjadinya (menyuruh atau

22

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, 1982. Asas-asas hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,

(37)

menggerakkan untuk melakukan, memberikan keterangan), saat terjadinya (turut serta, bersama-sama melakukan), setelah terjadinya tindak pidana (menyembunyikan pelaku/hasil tindak pidana).

Ternyata dalam Bab V KUHP yang ditentukan mengenai penyertaan terbatas hanya sejauh yang tercantum dalam Pasal 55 sampai dengan Pasal 60 yang pada garis besaranya bentuk penyertaan dalam arti sempit (Pasal 55) dan pembantu (Pasal 56 dan 59). Pembagian Penyertaan menurut KUHP Indonesia, ialah :

1. Pelaku (Pleger)

Pelaku adalah orang yang melakukan sendiri perbuatan yang memenuhi perumusan delik dan dipandang paling bertanggung jawab atas kejahatan.

2. Orang yang menyuruh lakukan (Doenpleger)

Doenpleger adalah orang yang melakukan perbuatan dengan perantaraan orang lain, sedang perantara itu hanya digunakan sebagai alat. Dengan demikian ada dua pihak, yaitu pembuat langsung (manus ministra/auctor physicus), dan pembuat tidak langsung (manus domina/auctor intellectualis).

Unsur-unsur pada doenpleger adalah: a. Alat yang dipakai adalah manusia; b. Alat yang dipakai berbuat;

c. Alat yang dipakai tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Sedangkan hal-hal yang menyebabkan alat (pembuat materiel) tidak apat dipertanggungjawabkan adalah:

(38)

25

b. Bila ia berbuat karena daya paksa (Pasal 48)

c. Bila ia berbuat karena perintah jabatan yang tidak sah (Pasal 51 (2)) d. Bila ia sesat (keliru) mengenai salah satu unsur delik

e. Bila ia tidak mempunyai maksud seperti yang disyaratkan untuk kejahatan.

Jika yang disuruhlakukan seorang anak kecil yang belum cukup umur maka tetap mengacu pada Pasal 45 dan Pasal 47 jo. UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak.

3. Orang yang turut serta (Medepleger)

Medepleger menurut MvT adalah orang yang dengan sengaja turut berbuat atau turut mengejakan terjadinya sesuatu. Oleh karena itu, kualitas masing-masing peserta tindak pidana adalah sama.

Syarat adanya medepleger :

a. Ada kerjasama secara sadar kerjasama dilakukan secara sengaja untuk bekerja sama dan ditujukan kepada hal yang dilarang undang-undang.

b. Ada pelaksanaan bersama secara fisik, yang menimbulkan selesainya delik tersebut.

4. Penganjur (Uitlokker)

(39)

a. Pada penganjuran, menggerakkan dengan sarana-sarana tertentu (limitatif) yang tersebut dalam undang-undang (KUHP), sedangkan menyuruhlakukan menggerakkannya dengan sarana yang tidak ditentukan.

b. Pada penganjuran, pembuat materiel dapat dipertanggungjawabkan, sedang dalam menyuruhkan pembuat materiel tidak dapat dipertanggungjawabkan. Syarat penganjuran yang dapat dipidana:

a. Ada kesengajaan menggerakkan orang lain

b. Menggerakkan dengan sarana/upaya seperti tersebut limitatif dalam KUHP c. Putusan kehendak pembuat materiel ditimbulkan karena upaya-upaya

tersebut.

d. Pembuat materiil melakukan / mencoba melakukan tindak pidana yang dianjurkan

e. Pembuat materiel dapat dipertanggungjawabkan Penganjuran yang gagal tetap dipidana berdasarkan Pasal 163 bis KUHP.

5. Pembantuan (Medeplichtige)

Sebagaimana disebutkan alam Pasal 56 KUHP, pembantuan ada dua jenis:

a. Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan. Cara bagaimana pembantuannya tidak disebutkan dalam KUHP. Ini mirip dengan medeplegen (turut serta), namun perbedaannya terletak pada:

1. pada pembantuan perbuatannya hanya bersifat membantu/menunjang, sedang pada turut serta merupakan perbuatan pelaksanaan.

(40)

27

melakukan tindak pidana, dengan cara bekerja sama dan mempunyai tujuan sendiri.

3. pembantuan dalam pelanggaran tidak dipidana (Pasal 60 KUHP), sedangkan turut serta dalam pelanggaran tetap dipidana.

4. Maksimum pidana pembantu adalah maksimum pidana yang bersangkutan dikurangi sepertiga, sedangkan turut serta dipidana sama.

b. Pembantuan sebelum kejahatan dilakukan, yang dilakukan dengan cara memberi kesempatan, sarana atau keterangan. Ini mirip dengan penganjuran (uitlokking). Perbedaannya pad niat/kehendak, pada pembantuan kehendak jahat pembuat materiel sudah ada sejak semula/tidak ditimbulkan oleh pembantu, sedangkan dalam penganjuran, kehendak melakukan kejahatan pada pembuat materiel ditimbulkan oleh si penganjur.

Setiap tindak pidana yang terjadi dilakukan oleh beberapa orang jadi pada setiap tindak pidana itu terlibat lebih dari seorang pelaku yang berarti terdapat beberapa orang yang turut serta dalam pelaksanaan tindak pidana itu diluar seorang pelaku. Dapat dikatakan bahwa deelneming pada suatu straafbaarfeit atau delicti terdapat:

“ apabila dalam suatu delik tersangkut beberapa orang atau lebih dari seorang.

(41)

akan tetapi dalam kenyataannya telah dilakukan oleh dua orang atau lebih dalam suatu kerja sama yang terpadu baik secara psikis maupun materiial ”.23

Istilah deelneming adalah istilah yang digunakan oleh negara Belanda. Oleh karena Negara kita adalah bekas jajahan Negara Belanda, maka kita juga menggunakan istilah deelneming seperti yang terdapat dalam “Wetboek van Strafrecht (WvS)” yang diterjemahkan menjadi “Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana”. Didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal-pasal

mengenai penyertaan terdapat pada Buku I dan Buku V yaitu Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP.

Penyertaan diartikan sebagai perbarengan kejahatan dimana terdapat beberapa pihak yang menjalankan suatu kejahatan yang memiliki pertanggungjawaban pidana yang berbeda. Harus dibedakan antara seseorang yang menyuruh dan orang yang disuruh, dengan hubungan seseorang yang menggerakkan (uitlokker) terhadap yang digerakkan (uitgelokte) : hubungan antara seseorang dengan orang lain yang bersama-sama (berbarengan) melakukan tindak pidana, dengan seseorang yang dibantu dengan orang lain yang melakukan kejahatan.

Pasal 55 KUHP menentukan :

a) Dipidana sebagai pembuat (dader) sesuatu perbuatan pidana:

1. Mereka yang melakukan, menyuruh lakukan yang turut serta melakukan perbuatan;

23

(42)

29

2. Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman, penyesatan atau dengan memberi kesempatan, keterangan, sengaja menganjurkan orang lain agar melakukan perbuatan.

b) Terhadap penganjur hanya perbuatan yang disengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan beserta akibat-akibatnya.

Pasal 56 KUHP menentukan:

Dipidana sebagai pembantu (medelictgheid) sesuatu kejahatan :

1. Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan. 2. Mereka sengaja memberikan sarana untuk melakukan kejahatan.

Pasal 56 KUHP pembantu terdiri dari : 1. Membantu saat melakukan kejahatan 2. Membantu sebelum kejahatan dilakukan

Perbedaan antara hubungan para pelaku peserta tersebut adalah sangat penting karena akibat hukum atau pertanggungjawaban yang dikaitkan pada para pelaku peserta diperbedakan secara jelas tergantung erat tidaknya hubungan-hubungan itu. Pertanggungjawaban pidana dari dua orang atau lebih yang bersama sama melakukan suatu tindak pidana adalah sama tapi sanksi pidana yang dijatuhkan antara pelaku (utama) dengan yang membantunya tidak sama.

E. Dasar Pertimbangan Hakim

(43)

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang

menentukan : “Hakim dan Hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan

memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.

Berdasarkan aturan hukum tersebut, terdapat norma hukum “mewajibkan Hakim

untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Untuk memenuhi norma tersebut, maka Hakim

harus mengambil kebijaksanaan hukum”. Penentuan atas tuntutan rasa keadilan

yang harus diterapkan oleh Hakim dalam memutus suatu perkara, secara teori

para Hakim akan melihat “Konsep-konsep keadilan yang telah baku”. Konsep

keadilan tersebut sepanjang sejarah telah banyak macamnya, sejak zaman Yunani Kuno dan Romawi keadilan dianggap sebagai salah satu dari kebajikan utama (cardinal virtue). Dalam konsep ini keadilan merupakan kewajiban moral yang mengikat para anggota masyarakat dalam hubungannya yang satu terhadap yang lainnya. Konsep keadilan sebagai suatu kebajikan tertentu berasal dari filusuf Yunani Kuno, yaitu Plato (427-347 sebelum Masehi) yang dalam bukunya Republic (terjemahan bahasa Inggris, Book IV, Section 12) mengemukakan adanya 4 kebijakan pokok dari konsep keadilan, yakni kearifan (wisdom), ketabahan (courage), pengendalian diri (discipline) dan keadilan (justice).

(44)

(all-31

embracing virtue), dalam pengertian ini keadilan lalu mendekati pengertian

kebenaran dan kebaikan (righteousness).24

Berhubungan erat dengan pengertian tersebut di atas konsepsi tentang keadilan sebagai unsur ideal, suatu cita atau sebuah ide yang terdapat dalam hukum. Dalam pengertian ini keadilan sering diartikan terlampau luas sehingga tampak berbaur dengan seluruh isi dari moralitas.

Bidang ilmu hukum pada umumnya keadilan dipandang sebagai tujuan akhir (end) yang harus dicapai dalam hubungan-hubungan hukum antara perseorangan dengan perseorangan, perseorangan dengan pemerintah dan lembaga-lembaga negara yang berdaulat serta perseorangan dengan masyarakat lainnya. Tujuan mencapai keadilan itu melahirkan konsep keadilan sebagai hasil (result) atau keputusan (decision) yang diperoleh dari penerapan atau pelaksanaan asas-asas dan prinsip-prinsip hukum. Pengertian keadilan ini dapat disebut keadilan

prosedural (“Procedural justice”) dan konsep inilah yang dilambangkan dengan

dewi keadilan, pedang, timbangan dan penutup mata untuk menjamin pertimbangan yang tak memihak dan tak memandang orang. Sejalan dengan ini pengertian keadilan sebagai suatu asas (principle). Asas adalah suatu dalil umum yang dinyatakan dalam istilah umum tanpa memperhatikan cara-cara khusus mengenai pelaksanaannya yang diterapkan pada serangkaian perbuatan untuk menjadi petunjuk yang tepat bagi perbuatan itu.

Ciri atau sifat konsep keadilan dapat diikhtisarkan maknanya sebagai berikut : adil (just), bersifat hukum (legal), sah menurut hukum (lawful), tak memihak

24

(45)

(impartial), sama hak (equal), layak (fair), wajar secara moral (equitable), benar secara moral (righteous). Dari perincian tersebut ternyata bahwa pengertian konsep keadilan mempunyai makna ganda yang perbedaannya satu dengan yang lain samar-samar atau kecil sekali. Dalam setiap pengambilan kebijaksanaan oleh Hakim, maka Hakim selalu berlindung kepada Upaya Hukum yaitu Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, artinya apabila Hakim Tingkat Pertama mengambil kebijaksanaan dalam memutus perkara tidak sesuai dengan norma-norma hukum yang harus dipatuhi, maka solusinya dipersilahkan naik banding untuk diuji kebijaksanaan tersebut, demikian pula kebijaksanaan hukum yang diambil oleh Hakim Tingkat banding apabila melanggar standard suatu norma hukum, pengujiannya melalui Kasasi Mahkamah Agung RI dan seterusnya sampai pengujian di Peninjauan Kembali, oleh karena itu diperlukan norma hukum sebagai standard bagi para Hakim dalam hal pengambilan suatu kebijaksanaan hukum untuk memutus perkara.

(46)

33

Kebijakan yang dibuat dalam bentuk pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka disebut dengan putusan pengadilan, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1 butir ke 11 KUHAP yang menyatakan bahwa :

“Putusan pengadilan merupakan pernyataan hakim yang diucapkan dalam

sidang terbuka yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini”.

Surat dakwaan merupakan dasar bagi hakim untuk menjatuhkan putusan, tetapi hakim tidak terikat kepada surat dakwaan tersebut. Hal ini didaasarkan pada Pasal 183 KUHAP, yang menyatakan :

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila

sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah

melakukannya”.

Hakim dalam memutus suatu perkara harus berdasar pada alat bukti yang sah Pasal 184 KUHAP tersebut yang dimaksud dengan alat bukti adalah:

1. keterangan saksi

Keterangan saksi berkaitan dengan keterangan dari saksi korban maupun saksi dari terdakwa yang menegetahui secara langsung kronologi peristiwa.

2. keterangan ahli

(47)

3. Surat

Surat surat dapat berupa akta, perjanjian, nota-nota dan surat lainnya yang berkaitan erat dengan kasus sebagai bahan pertimbangan hakim dalam memutus suatu perkara.

4. petunjuk

Petunjuk biasanya ditemukan bahwa apabila ada petunjuk atau fakta lain dipersidangan maupun yang telah Hakim gali ditengah masyarakat. 5. keterangan terdakwa

Keterangan terdakwa berkaitan dengan kasus yang sedang dihadapi untuk dinilai oleh hakim dalam rangka pengumpulan alat bukti guna menjadi dasar

pertimbangan hakim.

Pengambilan putusan oleh hakim di pengadilan adalah didasarkan pada surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam sidang pengadilan, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 191 KUHAP. Dengan demikian surat dakwaan dari penuntut umum merupakan dasar hukum acara pidana, karena dengan berdasarkan pada dakwaan itulah pemerikasaan sidang pengadilan itu dilakukan. Suatu persidangan di pengadilan seorang hakim tidak dapat menjatuhkan pidana di luar batas-batas dakwaan.25

25

(48)

35

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Penulisan ini menggunakan dua macam pendekatan masalah yaitu, pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara menelaah teori-teori, konsep-konsep serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan skripsi ini, sedangkan pendekatan yuridis empiris adalah pendekatan dengan melakukan penelitian lapangan (field research), yaitu dengan melihat fakta-fakta yang ada dalam praktik yang ada di lapangan dengan tujuan melihat kenyataan atau fakta-fakta yang konkrit mengenai analisis pertanggungjawaban pidana kasus korupsi di UPK Pagelaran.

Kedua pendekatan ini yaitu pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris, dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang sesungguhnya terhadap permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini.

B. Sumber dan Jenis Data

Penulis menggunakan sumber data dalam rangka penyelesaian skripsi ini, yaitu data skunder.

(49)

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, dalam hal ini yaitu :

1) Undang-undang Nomor 73 Tahun 1978 juncto. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 2) Undang- undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP).

3) Undang-undang Nomor. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

b. Bahan hukum skunder, yaitu :

Bahan hukum sekunder yaitubahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 jo Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 1980 tentang Disiplin PNS. c. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang fungsinya melengkapi dari

(50)

37

C. Penentuan Populasi dan Sampel

Populasi adalah seluruh gejala, seluruh kejadian atau seluruh unit yang akan diteliti. Sampel adalah sejumlah obyek yang jumlahnya kurang dari populasi serta mempunyai persamaan sifat dengan populasi.22

Populasi dalam penelitian ini adalah jaksa yang bertugas di Kejaksaan Tinggi, Pengadilan Tinggi, dan Dosen Fakultas Hukum. Dari penentuan populasi dan sampel yang ada dapat ditentukan responden berupa pengambilan sampel dari beberapa responden yang disesuaikan yang dianggap telah mewakili masalah yang diteliti.

Berdasarkan responden yang menjadi informasi terdiri dari jaksa di Kejaksaan Tinggi, Hakim di Pengadilan Tinggi, dan Dosen Fakultas Hukum Unila, Adapun responden dalam penelitian ini adalah :

a. Jaksa di Kejaksaan Tinggi Lampung : 1 orang b. Hakim di Pengadilan Tinggi Tanjung Karang : 1 orang

c. Dosen bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila : 1 orang +

Jumlah : 3 orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur pengumpulan data

Prosedur pengumpulan data, baik data primer maupun data skunder penulis menggunakan alat-alat pengumpulan data sebagai berikut :

22

(51)

a. Studi Kepustakaan (library Research)

Dilakukan untuk memperoleh data skunder dilakukan melalui serangkaian kegiatan studi kepustakaan dan dokumentasi dengan cara antara membaca, mencatat, mengutip serta menelaah peraturan perundang-undangan, dokumen dan informasi lainnya yang berhubungan dengan penelitian yang akan dilakukan

b. Studi Lapangan (Field Research)

Studi lapangan dilakukan dengan mewawancarai para narasumber dan wawancara yang dilakukan secara mendalam dengan sistem jawaban terbuka yang dilakukan secara lisan dan pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya terlebih dahulu.

2. Prosedur pengolahan data

Metode yang digunakan dalam prosedur pengolahan data ini yaitu :

a. Editing, yaitu data yang diperoleh, diperiksa dan diteliti kembali mengenai kelengkapan, kejelasan dan kebenarannya, sehingga terhindar dari kekurangan dan kesalahan.

b. Klasifikasi, yaitu mengelompokkan data yang telah dievaluasi menurut kerangka yang telah ditetapkan.

(52)

39

E. Analisis Data

(53)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian terhadap penegakan hukum pidana pelaku Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan secara bersama pada Unit Pengelola Kegiatan (UPK) PNPM Pagelaran (Studi Putusan No.06/Pid/Tpk /2013/Pt.Tk). :

1. Pertanggungjawaban pidana pelaku Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan secara bersama pada Unit Pengelola Kegiatan (UPK) PNPM Pagelaran, oleh Hakim terhadap terdakwa Misno dan Ponimin sudah sesuai dan tepat dengan terpenuhinya unsur sifat melawan hukum oleh terdakwa sesuai dengan Undang Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, adanya unsur kesalahan dari sipelaku dengan tidak menyetorkan sejumlah pembayaran yang seharusnya dilakukan terhadap beberapa kelompok UPK di Pagelaran karena patut diketahui dan diduga merupakan tindak pidana korupsi, selain itu juga tidak adanya alasan pemaaf sebagai bukti pembenar.

(54)

64

dari pasal-pasal yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum, apakah unsur-unsur tersebut terpenuhi atau tidak, dan selanjutnya mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan ataupun yang meringankan terdakwa.

B. Saran

Setelah melakukan pembahasan dan memperoleh kesimpulan dalam skripsi ini, maka saran yang dapat disampaikan adalah :

1. Dalam rangka pertanggungjawaban pidana tindak pidana Korupsi di Bandar Lampung apabila ditinjau dari segi pertanggungjawaban putusan oleh hakim telah sesuai tetapi diharapkan mengingat hukuman pidana dan denda yang dijatuhkan kepada terdakwa sangat ringan dan belum mencerminkan rasa keadilan dibandingkan jumlah kerugian yang diderita oleh korban tidak sedikit jumlahnya, sehingga dikhawatirkan menjadi contoh buruk dan tidak memberi efek jera kepada pelaku.

(55)

DAFTAR PUSTAKA

Chazawi, Adami. 2005. Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia. Bayumedia, Malang.

Darwan, Prinst, 2002. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Aditya Bakti. Bandung

Hamdan, M. 1999. Politik Hukum Pidana. Penerbit Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Hamzah, Andi. 2005. KUHP dan KUHAP. Rineka Cipta: Jakarta.

Harahap, Krisna. 2006. Pemberantasan Korupsi Jalan Tiada Ujung. Grafitri, Bandung

Husin, Sanusi. 1991. Penuntun Praktis Penulisan Skripsi. Fakultas Hukum Universitas Lampung: Bandar Lampung.

Kanter,E.Y. dan S.R. Sianturi. 1982. Asas-asas hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni. Jakarta

Lamintang. P.A.F. 1984.Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Citra Aditya Bhakti. Bandung

Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia. 2010. Memahami Gratifikasi. Cetakan Pertama

Moeljatno, 2002. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Cetakan Keduapuluh Dua, Jakarta: Bumi Aksara

Musni Umar ,Syukri Ilyas. 2004. Lembaga Pencegah Korupsi. Gramedia Pustaka Rifai , Ahmad . 2010. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perpektif Hukum

Progresif, Jakarta: Sinar Grafika.

Saleh, Roeslan. 1981. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Angkasa. Jakarta

(56)

Singarimbun, Masri. 1989 Metode Penelitian survei, jakarta LP3ES

Soekanto, Soerjano. 1986. Faktor-Faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, Rajawali: Jakarta.

---. 2007. Pengantar Penelitian Hukum Cetakan 3. Universitas Indonesia pres: Jakarta

Universitas Lampung. 2005. Format Penulisan Karya Ilmiah. Universitas Lampung: Bandar Lampung.

Undang-undang Nomor. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Referensi

Dokumen terkait

Metode penelitian yang dilakukan untuk merancang dan membuat sistem informasi Toko Online KPRI UNS Surakrata ini adalah dengan menggunakan metode penelitian

Hal ini disebabkan karena pengeringan menggunakan oven blower memiliki prinsip konveksi dimana perpindahan panas yang disertai dengan zat perantaranya, sedangkan

Pemerintah juga mengeluarkan Permen ESDM Nomor 3 Tahun 2015 yang mengatur prosedur pembelian tenaga listrik dan harga patokan tenaga listrik dari PLTU Mulut Tambang, PLTU

[r]

Risiko-risiko yang ditemukan dari 5 bagian pada lantai produksi yang dianalisis adalah tertabrak forklift, kaki kejatuhan log kayu, tubuh kejatuhan log kayu, kaki

kedaerahan dan keindonesiaan, belum mampunya menciptakan sistem politik yang kongruen antara pusat dan daerah, adalah kinerja otonomi daerah itu sendiri yang dinilai publik belum

Langkah-langkah yang dilakukan ketika melakukan supervisi akademik dan administrasi ke sekolah adalah menemui kepala sekolah, memberitahukan bahwa akan mengadakan supervisi

Tipe 4 Jawaban benar atau salah yang dengan jelas menunjukkan ciri-ciri karakteristik yang menonjol dari dua urutan tahap berpikir van Hiele dan mengandung